BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Transferrin receptor merupakan transmembran homodimer yang
|
|
- Indra Sugiarto
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Serum Transferrin receptor (stfr) Transferrin receptor merupakan transmembran homodimer yang terdiri dari dua monomer yang identik, berat molekul sekitar 90 kda, dimana tiap monomer dihubungkan oleh ikatan 2 sulfida pada Cys89 dan Cys98. Reseptor ini memiliki region sitoplasmik NH2-terminal (residu 1-67), single transmembrant pass (residu 68-88) dan bagian ektraseluler yang besar (ektodomain, residu ). 19,20,21 Ektodomain larut dan mengandung satu site yang sensitif trypsin, dan mengandung site untuk berikatan dengan transferin. stfr disintesa di retikulum endoplasma. 19 Domain ekstraseluler memiliki tiga posisi N-linked glycosilation pada Asn251, Asn317 dan Asn727 dan posisi O-linked glycosilation pada Thr104. Posisi ini sangat penting untuk fungsi stfr. 19 Ektodomain merupakan homodimer yang berbentuk seperti kupukupu. Tiap monomer terdiri dari tiga domain globular yang berbeda, yaitu protease-like, apical dan helical domain, membentuk cleft lateral sehingga dapat berikatan dengan molekul transferin. 19,20,22 Ektodomain dipisahkan dari membran oleh sebuah tangkai. Transferrin receptor berikatan dengan dua molekul transferin dengan affinitas yang bervariasi. Protein dalam bentuk diferik memiliki affinitas yang lebih tinggi dibandingkan bentuk monoferik dan bentuk apo. 19 7
2 Transferin receptor diekspresikan pada semua sel yang berinti seperti sel erytroid, hepatosit, sel intestinal, monosit (makrofag), otak, blood brain barrier, tetapi dalam jumlah yang berbeda. Pada sel yang membelah dengan cepat dapat dijumpai sampai molekul per sel, sebaliknya ekspresi TfR pada sel yang tidak berproliferasi sagat rendah bahkan sering tidak dapat dideteksi. 19 Jumlah TfR berbeda selama maturasi seri erytroid, mencapai puncaknya pada normoblast polikromatofilik. Jumlah paling sedikit dijumpai pada burst-forming unit-erythroid cells, dan sedikit meningkat pada colony- forming unit-erythroid cells. Pada setiap sel normoblast basofilik dijumpai reseptor dam meningkat mencapai pada tiap sel normoblast polikromatofilik. Tingkat uptake besi secara langsung berhubungan dengan jumlah reseptor. Jumlah TfR berkurang pada retikulosit, dimana sel erythroid melepaskan sisa TfR melalui eksosotosis dan proteolisis. Jumlah reseptor yang lepas dapat dijumpai pada plasma dalam konsentrasi tertentu yang berhubungan dengan laju erythropoesis. Peningkatan stfr merupakan indikator yang sensitif untuk massa erytroid dan defisiensi besi jaringan. 6 Kadar stfr berubah selama ontogenesis, meningkat pada umur minggu kehidupan fetal. Pada saat lahir kadar stfr dua kali lebih tinggi dari pada usia dewasa. 23 Anak usia satu tahun memiliki nilai stfr sedikit lebih tinggi dibandingkan usia dewasa. 23,24 Nilai stfr tidak ada 8
3 korelasi dengan usia (19-79 tahun) dan tidak ada perbedaan antara lakilaki dan perempuan atau perempuan pre dan post menopause. 23,24 Pada anemia defisiensi besi nilai stfr meningkat 3-5 kali lipat dibandingkan orang normal. Kandungan besi tubuh pada orang yang dilakukan phlebotomy secara kuantitatif menjadi berkurangnya, tetapi stfr masih relatif stabil dalam batas normal sampai cadangan menjadi kosong. Pada saat kompartemen besi semakin deplesi, nilai stfr meningkat secara progresif berbanding terbalik dengan tingkat defisit besi. Keadan ini mencerminkan peningkatan besar reseptor yang diekspresikan tiap sel pada defisiensi besi. 25 Feritin serum mempunyai keterbatasan dalam menilai status besi pada anak-anak, masa pertumbuhan, kehamilan dan atlet, karena cadangan besi biasanya berkurang pada masa ini. Karena faktor-faktor lain yang mempengaruhi dapat terjadi peningkatan palsu kadar feritin, sehingga konsentrasi stfr merupakan penilaian yg baik. Kerusakan lever akut dan inflamasi tidak mempunyai efek terhadap pengukuran kadar stfr. Maka stfr dapat membedakan anemia karena penyakit kronis dan inflamasi. Sebelum pemeriksaan stfr dikembangkan hanya evaluasi sumsum tulang untuk pewarnaan besi merupakan pemeriksaan yang reliabel untuk membedakannya ADB dan APK. Pada keadaan dijumpai kombinasi ADB dan APK, dengan pemeriksaan stfr diketahui defisit besi fungsional. 19 9
4 Serum transferrin receptor meningkat pada keadaan aktivitas erytripoesis sumsum tulang yang meningkat meskipun tidak dijumpai deplesi besi fungsional yaitu anemia hemolitik atau inefektif eritropoesis seperti pada anemia megaloblastik, myelodisplasia, dan talasemia mayor. Pada keadaan yang disebut di atas nilai feritin serum normal atau meningkat. Pada anemia hemolitik dijumpai retikulositosis dan nilai MCV normal atau meningkat. Anemia megaloblastik dan myelodisplasia pada umumnya terjadi peningkatan MCV. 19 Konsentrasi stfr tetap normal pada APK. Ratio stfr terhadap feritin merupakan perkiraan kuantitatif jumlah besi di tubuh, dan indeks stfr-f secara langsung berbanding dengan jumlah cadangan besi. Dengan menggunakan indeks stfr-f, pemeriksaan pewarnaan sumsum tulang dengan prussian blue besidapat berkurang pada pasien inflamasi kronik untuk mengetahui apakah terdapat defisiensi. 20 Dengan pemeriksaan feritin dan stfr dapat dihasilkan nilai indeks stfr-f yaitu rasio stfr/log feritin. Rasio ini sangat baik untuk mengestimasi cadangan besi. Cut-off untuk indeks stfr F adalah 1,5. Pada ADB indeks stfr F lebih besar dari 1,5, dan pada APK lebih kecil dari 1, Anemia defisiensi besi Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa Hb yang beredar di sirkulasi tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh
5 Menurut WHO, dikatakan anemia bila: 27 Laki-laki dewasa Perempuan dewasa tidak hamil Perempuan hamil Anak umur 6-12 tahun Anak umur 6 bulan-6 tahun Hb < 13 g/dl Hb < 12 g/dl Hb < 11 g/dl Hb < 12 g/dl Hb < 11 g/dl Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong yang akhirnya mengakibatkan pembentukan Hb berkurang. 13 Penilaian status besi merupakan tambahan pemeriksaan Hb dan hematokrit (Ht), dan dapat dinilai dengan beberapa test yang telah ditetapkan. Hanya saja tidak ada pemeriksaan tunggal yang standart untuk menilai defisiensi besi tanpa anemia. Penggunaan test yang beragam hanya sebagian mengatasi keterbatasan test tunggal dan tidak menjadi pilihan pada keadaan sumber daya yang terbatas. Indikator yang terbaik untuk deteksi defisiensi besi adalah feritin serum pada saat tidak dijumpai infeksi. 27,28 Feritin serum merupakan indikator yang terbaik untuk menilai interfensi besi dan deplesi besi. WHO merekomendasikan konsentrasi konsentrasi feritin < 12 ug/l mengindikasikan deplesi cadangan besi pada anak-anak < 5 tahun, dan nilai < 15 ug/l mengindikasikan deplesi cadangan besi pada umur > 5 tahun. Tetapi feritin merupakan protein fase akut sehingga nilainya meningkat pada keadaan inflamasi. 10,11 11
6 Pengukuran protein fase akut yang berbeda dapat membantu menginterpretasi nilai serum feritin, jika konsentrasi protein fase akut ini meningkat menandakan dijumpai inflamasi. Pemeriksaan protein fase akut yang sering digunakan adalah CRP, karena meningkat dengan cepat terhadap inflamasi dan juga turun dengan cepat Mekanisme transport besi Besi merupakan ion yang bermuatan dan tidak dapat berdifusi bebas melewati membrane sel, sehingga dibutuhkan protein karier spesifik untuk transfer transmembran. Secara umum ada dua jalan transport besi. Beberapa sel seperti sel epitel intestinal, hepatosit dan makrofag dilengkapi keduanya yaitu mekanisme import besi ke dalam sel dan pelepasan (eksport) besi dari luar sel. Sel-sel ini terlibat dalam penerimaan, penyimpanan dan mobilisasi besi. Pada sel lain seperti prekursor eritroid hanya terjadi import besi tetapi tidak melepaskannya kecuali sel tersebut hancur. 29 Sekitar 25 mg besi dibutuhkan setiap hari untuk mendukung produksi Hb pada eritrosit yang matur. Jumlah ini sangat besar dibandingkan dengan 1-2 mg besi yang masuk ke dalam tubuh setiap hari. Besi untuk eritropoiesis diperoleh dari makrofag retikuloendotelial yang menjalankan fungsi siklus besi dari eritrosit tua. 29 Besi diabsorbsi dalam lingkungan asam pada mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Makanan dalam bentuk non heme adalah bentuk 12
7 ferri (Fe 3+ ) harus direduksi menjadi ferro (Fe 2+ ) oleh ferrireductase, yang diidentifikasi merupakan duodenal cytochrome b (DCYTB). Ion Fe 2+ melalui divalent metal transporter 1 (DMT1, disebut juga Nramp 2) memasuki sitoplasma. Besi yang masuk dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral transporter (ferroportin disebut juga IREG 1) ke dalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi perubahan dari feri menjadi fero oleh enzim ferooksidase, antara lain hephaestin. 29,30.31 Di dalam plasma, besi berikatan dengan transferin. Transferin mempunyai tiga fungsi penting. Pertama, menjaga besi dalam bentuk terlarut. Kedua transferin membuat besi tidak reaktif sehingga menjadi tidak toksik dalam sirkulasi. Ketiga, transferin memfasilitasi pengiriman besi menuju sel yang memiliki transferin reseptor di permukaannya. 29 Transferin mengirim besi ke normoblast dan sel-sel lain melalui ikatan dengan transferin reseptor. Setelah interaksi reseptor dengan ligan, transferin yang mengandung besi mengalami endositosis yang diawali dengan invaginasi clathrin-coated pits, membentuk endosom. Endosom mengalami asidifikasi (ph 5-6) melalui influks proton sehingga memudahkan pelepasan besi dari transferin dan memperkuat interaksi apotransferin-reseptor. Besi dirubah dari bentuk ferro menjadi ferri dan keluar dari endosome melalui divalent metal ion transporter 1 (DMT1) menuju tempat penyimpanan (feritin) dan digunakan dalam sel (mitokondria). Kompleks transferin-tfr kemudian mengalami 13
8 eksternalisasi kembali ke permukaan sel dan apotransferin dilepaskan kembali. 6, Stadium klinis defisiensi besi dan diagnosis laboratorium. Karakteristik penting dari defisiensi besi adalah pelepasan besi dari makrofag dan cadangan hepatosit bersama-sama dengan masukan dari makanan tidak mencukupi kebutuhan besi untuk eritropoiesis. Pada fase awal yang disebut juga defisiensi besi laten, semua cadangan besi akan dimobilisasi. Pada keadaan ini semua parameter laboratorium masih dalam batas normal, meskipun konsentrasi feritin dan cadangan besi di sumsum tulang (feritin dan hemosiderin) berkurang secara bertahap. 16 Reseptor transferin masih stabil. 32 Fase kedua yang disebut eritropoesis defisiensi besi, cadangan besi kosong sehingga jumlah besi tidak cukup untuk produksi Hb dan protein lain yang mengandung besi. Konsentrasi Hb masih normal, tetapi feritin serum menurun, SI rendah, transferin serum tinggi (akibatnya saturasi transferin berkurang) dan terjadi peningkatan stfr di plasma. 16,32 Pada fase ketiga yaitu anemia defisiensi besi, kadar Hb sudah berkurang. Pada keadaan kronik, dengan berkurangnya Hb lebih lanjut, MCV dan MCH dapat menjadi rendah, bersamaan dengan munculnya eritroblast patologis pada sumsum tulang dan morfologi eritrosit yang patologis pada darah tepi. 16 Penurunan feritin lebih berat dan peningkatan stfr jauh lebih tinggi
9 Petunjuk pertama pada defisiensi besi adalah anemia, akan tetapi penilaian Hb dan Ht memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang rendah dan dibutuhkan pemeriksaan laboratorium tambahan. Selain gambaran laboratorium untuk erytropoesis defisiensi besi, pemeriksaan lain seperti saturasi transferin, mean corpuscular hemoglobin consentration (MCHC), erythrocyte zinc protoporphyrin, konsentrasi hemoglobin eritrosit dan retikulosit dapat meningkatkan diagnosa. Akan tetapi perubahan dari parameter ini pada defisiensi besi tidak dapat dibedakan dari APK. Hal ini karena inflamasi menyebabkan peningkatan hepcidin sehingga menghalangi pelepasan besi dari enterosit dan sistem retikuloendotelial dan menghasilkan defisiensi besi eritropoeisis. 16 Saturasi transferin memiliki kelebihan yaitu biaya yang murah dan banyak tersedia, tetapi mengalami variasi diurnal dan dipengaruhi beberapa kelainan klinis. Pemeriksaan darah tepi dapat dipercaya bila diperiksa yang berpengalaman. MCV merupakan indikator yang dapat dipercaya, tetapi parameter ini berubah tergantung onset defisiensi eritropoeisis. Persentase eritrosit yang hipokrom dapat diukur dengan hematology analyzer tertentu, tetapi merupakan indikator yang lambat untuk mendeteksi eritropoeisis defisensi besi. 16 Pendekatan diagnostik yang optimal untuk ADB dengan menilai serum feritin dan stfr. Pemeriksaan feritin serum tersedia luas dan telah dibakukan dengan baik dan merupakan indeks status besi yang lebih dipercaya. Nilai feritin yang rendah merupakan diagnosa untuk ADB. 15
10 WHO merekomendasikan konsentrasi feritin < 12 ug/l mengindikasikan deplesi cadangan besi pada anak-anak < 5 tahun, dan nilai < 15 ug/l mengindikasikan deplesi cadangan besi pada umur > 5 tahun. 10,11 Penelitian Pasricha dkk mendapatkan dengan pemakaian cut-off feritin <15 ug/l memberikan sensitivitas 44% dan spesifisitas 80%, dan cut-off < 30% memberikan sensitivitas 72% dan spesifisitas 52%. 12 Penelitian di Bali dengan memakai feritin serum < 12 ug/l dan 20 ug/l memberikan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan 96%. 13 Penelitian Mast AE dkk mendapatkan sensitivitas 25% dan spesivisitas 98% dengan memakai feritin < 12 ug/l. Akan tetapi dengan memakai feritin < 30 ug/l diperoleh sensitivitas 92% dan spesifisitas 98%. 14 Tetapi feritin merupakan protein fase akut dan pada keadaan inflamasi akut atau kronis feritin meningkat tidak tergantung pada status besi. Perbedaan antara APK dan ADB sangat sulit karena konsentrasi feritin serum yang meningkat tidak mengeksklusi ADB yang bersamaan dengan inflamasi. Sebaiknya pada negara berkembang dengan frekwensi infeksi yang tinggi dilakukan pemeriksaan marker inflamasi seperti CRP. 16 Dalam waktu relatif singkat (6-8) jam setelah terjadi reaksi radang akut / kerusakan jaringan, sintesa dan sekresi CRP meningkat dengan tajam, dan hanya dalam waktu jam telah mencapai nilai puncaknya. Kadar CRP akan menurun dengan tajam bila proses radan / kerusakan jaringan 16
11 telah mereda. Dalam waktu sekitar jam telah dicapai nilai normalnya kembali Perubahan metabolisme besi pada anemia penyakit kronis Anemia penyakit kronis didefinisikan sebagai anemia yang terjadi pada infeksi kronis, inflamasi atau neoplasma dan bukan oleh karena adanya tumor pada sumsum tulang, perdarahan atau hemolisis, yang ditandai dengan hypoferemia dan dijumpai cadangan besi. 34 Disregulasi besi pada APK terjadi karena peningkatan hepcidin sebagai respon terhadap sitokin yang meningkat karena inflamasi dan juga karena efek langsung sitokin seperti IFN - dan TNF-α yang merangsang makrofag untuk mengakusisi besi melalui DMT1 dan menginhibisi feroportin 1 untuk melepaskan besi. Kedua mekanisme ini menyebabkan sekuestrasi besi dalam fagosit mononuklear, sehingga ketersediaan besi untuk eritropoesis berkurang. 34,35 Gambaran ini tampak melalui parameter hematologi yaitu, SI berkurang, saturasi transferin berkurang < 16 %, dan nilai feritin serum normal hingga meningkat. Pengukuran nilai stfr dan indeks stfr-f dapat membedakan ADB dengan APK Metode pemeriksaan stfr Metode yang umum dipakai untuk mengukur stfr adalah enzyme linked immunosorbent assay ( ELISA) dan immunoturbidimetry
12 1. Prinsip ELISA berdasarkan microplate sandwich enzyme immunoassay menggunakan dua antibodi monoklonal spesifik untuk stfr. stfr sebagai antigen berikatan dengan antibodi monoklonal yang berada pada microplate. Setelah dicuci kemudian ditambahkan antibodi monoklonal berkonjugasi dengan enzyme, sehingga terjadi kompleks antibodi-stfr-antibodi. Jumlah kompleks ini sebanding dengan konsentrasi stfr pada sampel. 37 Pemeriksaan dengan metode ELISA dilakukan secara manual, sehingga cukup merepotkan, memerlukan banyak waktu dan memerlukan peralatan khusus. Selain itu belum ada kalibrator yang sama untuk penetapan nilai stfr Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode particle enhanced immunoturbidimetric assay. stfr dalam serum sebagai antigen berikatan dengan antibodi soluble transferrin receptor yang dilapisi dengan partikel lateks. Komplek antigen antibodi yang terjadi diukur secara fotometer pada panjang gelombang 583 nm. 39 Jumlah analit berbanding terbalik dengan jumlah sinar yang diteruskan 40. Partikel lateks berguna untuk memperbesar kompleks imun sehingga terjadi amplifikasi reaksi dan sensitivitas reaksi meningkat secara bermakna. 41 Pemeriksaan dengan metode immunoturbidimetry dilakukan secara automatis dan memerlukan waktu yang lebih singkat dibandingkan 18
13 dengan metode ELISA. Koefisien variasi intra dan interassay dua sampai tiga kali lebih rendah dibandingkan dengan metode ELISA. Akan tetapi metode ini memerlukan analyzer yang tidak dijumpai pada semua laboratorium klinik. 38 Gambar 2.1. Skema reaksi imunoturbidimetri (dikutip dari kepustakaan 42) 19
ABSTRAK. Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya
ABSTRAK Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Untuk membedakan ADB
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hemoglobin Hemoglobin adalah pigmen yang terdapat didalam eritrosit,terdiri dari persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein yang disebut globin,dan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh populasi. 1 Wanita hamil merupakan
Lebih terperinciB A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,
B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang saat ini terus melakukan pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, peningkatan taraf hidup setiap
Lebih terperinciPEMERIKSAAN KADAR SERUM TRANSFERRIN RECEPTOR (stfr) UNTUK DIAGNOSTIK ANEMIA DEFISIENSI BESI
PEMERIKSAAN KADAR SERUM TRANSFERRIN RECEPTOR (stfr) UNTUK DIAGNOSTIK ANEMIA DEFISIENSI BESI T E S I S OLEH PITA OMAS LUMBAN GAOL DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN
7 BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Metabolisme Besi 2.1.1. Komposisi Besi dalam Tubuh Besi merupakan mineral penting bagi semua sel tubuh manusia. Kemampuan besi untuk berubah pada reaksi oksidasi stabil,
Lebih terperinciMetabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin
Metabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin a. Metabolisme besi Zat besi normal dikonsumsi 10-15 mg per hari. Sekitar 5-10% akan diserap dalam bentuk Fe 2+ di duodenum dan sebagian kecil di jejunum. Pada
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk
BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1 Anemia Defisiensi Besi 1.1.1 Definisi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bervariasi berdasarkan usia, sebagian besar disebabkan oleh defisiensi besi,
1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia merupakan masalah kesehatan global pada negara maju maupun negara yang sedang berkembang serta berdampak pada kesehatan, sosial dan ekonomi. Prevalensi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia pada Penyakit Kronis Anemia dijumpai pada sebagian besar pasien dengan PGK. Penyebab utama adalah berkurangnya produksi eritropoetin (Buttarello et al. 2010). Namun anemia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Ketersediaan kantong darah di Indonesia masih. sangat kurang, idealnya 2,5% dari jumlah penduduk untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan kantong darah di Indonesia masih sangat kurang, idealnya 2,5% dari jumlah penduduk untuk satu tahun. Pada tahun 2013, secara nasional terdapat kekurangan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman M.tuberculosis dengan droplet nuclei akan terhirup dan mencapai alveolus akibat ukurannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia merupakan masalah kesehatan global yang mempengaruhi derajat kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih menjadi masalah
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Anemia Defisiensi Besi a. Definisi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan
Lebih terperinciCurriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan
Curriculum vitae Nama : AA G Sudewa Djelantik Tempat/tgl lahir : Karangasem/ 24 Juli 1944 Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Jln Natuna 9 Denpasar Bali Istri : Dewi Indrawati Anak : AAAyu Dewindra Djelantik
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi kesehatan masyarakat
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia merupakan masalah kesehatan global pada negara maju dan negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi kesehatan masyarakat namun juga segi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anemia Anemia adalah penurunan jumlah normal eritrosit, konsentrasi hemoglobin, atau hematokrit. Anemia merupakan kondisi yang sangat umum dan sering merupakan komplikasi dari
Lebih terperinci1 Universitas Kristen Maranatha
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia adalah penyakit kelainan darah yang diturunkan secara herediter. Centre of Disease Control (CDC) melaporkan bahwa thalassemia sering dijumpai pada populasi
Lebih terperinciRuswantriani, Pembimbing : Penny Setyawati, dr, SpPK, M. Kes
ABSTRAK GAMBARAN LABORA TORIUM ANEMIA DEFISIENSI NUTRISI (STUDI PUST AKA) Ruswantriani, 2005. Pembimbing : Penny Setyawati, dr, SpPK, M. Kes Anemia merupakan masalah kesehatan dunia dan cenderung meningkat
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Anemia mempengaruhi secara global 1,62 miliar penduduk dunia,
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia mempengaruhi secara global 1,62 miliar penduduk dunia, berkaitan dengan 24,8% populasi dunia. Defisiensi besi adalah penyebab yang paling umum. Defisiensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia secara klinis didefinisikan sebagai tidak cukupnya massa sel darah merah (hemoglobin) yang beredar di dalam tubuh. Anemia defisiensi zat besi merupakan masalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Adanya eritropoiesis inefektif dan hemolisis eritrosit yang mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada talasemia mayor (TM), 1,2 sehingga diperlukan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESRD / End Stage Renal Disease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan suatu keadaan kadar hemoglobin di dalam darah kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur. Kriteria anemia berdasarkan WHO
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan terjadi akibat adanya hiperplasia sel (bertambahnya jumlah
5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fisiologi Pertumbuhan Pertumbuhan terjadi akibat adanya hiperplasia sel (bertambahnya jumlah sel), hipertrofi sel (bertambahnya ukuran sel) dan apoptosis (kematian sel).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk.
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ada empat masalah gizi utama yang ada di Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk. Kedua, kurang vitamin
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. diberi Fructooligosaccharide (FOS) pada level berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.
50 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kadar Hemoglobin Itik Cihateup Data hasil pengamatan kadar hemoglobin itik cihateup fase grower yang diberi Fructooligosaccharide (FOS) pada level berbeda dapat dilihat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEFINISI Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong, yang akhirnya mengakibatkan pembentukan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. ANEMIA DEFISIENSI BESI 2.1.1. Definisi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted
Lebih terperinciREFERAT Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis. Pembimbing: Oleh
REFERAT Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis Pembimbing: Oleh HALAMAN PENGESAHAN TUGAS REFERAT Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis Oleh Disusun untuk memenuhi tugas Diterima dan disahkan, Purwokerto,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terjadinya anemia. Defisiensi mikronutrien (besi, folat, vitamin B12 dan vitamin
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan dunia yang dapat terjadi pada seluruh tahap kehidupan, mulai dari bayi, balita, remaja putri, wanita usia subur dan ibu hamil. Ibu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan yang banyak dijumpai di berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Wanita muda memiliki risiko yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi fungsinya untuk membawa O 2 dalam jumlah yang cukup ke
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia 2.1.1 Pengertian Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin (protein pembawa O 2 ) dari nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat memenuhi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia dalam kehamilan adalah suatu kondisi ibu dengan kadar nilai hemoglobin di bawah 11 gr % pada trimester satu dan tiga, atau kadar nilai hemoglobin kurang dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan dampak masalah gizi pada remaja putri. Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin, dapat karena kekurangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk memenuhi tumbuh kembang janinnya. Saat ini
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. masa kehamilan. Anemia fisiologis merupakan istilah yang sering. walaupun massa eritrosit sendiri meningkat sekitar 25%, ini tetap
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehamilan memberikan perubahan yang besar terhadap tubuh seorang ibu hamil. Salah satu perubahan yang besar yaitu pada sistem hematologi. Ibu hamil sering kali
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat. Pertumbuhan yang cepat pada tubuh remaja membawa
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Zat besi Besi (Fe) adalah salah satu mineral zat gizi mikro esensial dalam kehidupan manusia. Tubuh
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. rawat inap di RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga. kanker payudara positif dan di duga kanker payudara.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga pada bulan Desember 2012 - Februari 2013. Jumlah sampel yang diambil
Lebih terperinciPOLA HUBUNGAN ANTARA JUMLAH RETIKULOSIT DENGAN MEAN CORPUSCULAR VOLUME (MCV) Oleh Nugroho Tristyanto Prodi Analis Kesehatan AAKMAL Malang ABSTRAK
POLA HUBUNGAN ANTARA JUMLAH RETIKULOSIT DENGAN MEAN CORPUSCULAR VOLUME (MCV) Oleh Nugroho Tristyanto Prodi Analis Kesehatan AAKMAL Malang ABSTRAK Retikulosit merupakan eritrosit muda, sehingga jika terjadi
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Metabolisme bilirubin meliputi sintesis, transportasi, intake dan konjugasi serta
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metabolisme Bilirubin Metabolisme bilirubin meliputi sintesis, transportasi, intake dan konjugasi serta ekskresi. Bilirubin merupakan katabolisme dari heme pada sistem retikuloendotelial.
Lebih terperinciIndek Eritrosit (MCV, MCH, & MCHC)
Indek (MCV, MCH, & MCHC) Pemeriksaan Darah Lengkap (Complete Blood Count / CBC) yaitu suatu jenis pemeriksaaan penyaring untuk menunjang diagnosa suatu penyakit dan atau untuk melihat bagaimana respon
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Transfusi darah adalah salah satu praktek klinis yang umum dilakukan pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1.Perumusan masalah Transfusi darah adalah salah satu praktek klinis yang umum dilakukan pada perawatan pasien di rumah sakit. Banyak orang mendonorkan darahnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan
Lebih terperinciBAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hemoglobin 1. Pengertian Hemoglobin merupakan pigmen yang mengandung zat besi terdapat dalam sel darah merah dan berfungsi terutama dalam pengangkutan oksigen dari paru- paru
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Milenium Development Goals (MDG) terutama tujuan keempat dan kelima terkait
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Saat ini pemerintah Indonesia tengah berupaya keras mewujudkan target Milenium Development Goals (MDG) terutama tujuan keempat dan kelima terkait kematian
Lebih terperinciMetabolisme Bilirubin di Hati 1. Pembentukan bilirubin Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme
Metabolisme Bilirubin di Hati 1. Pembentukan bilirubin Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar terdapat dalam
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran darah berupa jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit sapi perah FH umur satu sampai dua belas bulan ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Gambaran Eritrosit
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. rusak dan terkontaminasi oleh zat-zat yang tidak berbahaya maupun yang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pencemaran Udara Pencemaran udara adalah suatu kondisi di mana kualitas udara menjadi rusak dan terkontaminasi oleh zat-zat yang tidak berbahaya maupun yang membahayakan kesehatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus. Telah ditemukan lima kategori virus yang menjadi agen
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (Manuabaet al., 2012).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intrauteri mulai sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (Manuabaet al., 2012). Selama proses kehamilan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian Anemia Defisiensi Besi (ADB)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan pustaka 1. Anemia Defisiensi Besi a. Pengertian Anemia Defisiensi Besi (ADB) Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA)
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan salah satu penyakit di bidang hematologi yang terjadi akibat reaksi autoimun. AIHA termasuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia /AIHA)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia /AIHA) merupakan salah satu penyakit otoimun di bagian hematologi. AIHA tergolong penyakit yang jarang, akan
Lebih terperinciAnemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya
Anemia Megaloblastik Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik : anemia makrositik yang ditandai peningkatan ukuran sel darah merah yang
Lebih terperinciT E S I S BUDI ANDRI FERDIAN /IKA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH PEMBERIAN TERAPI BESI TERHADAP PERUBAHAN NILAI INDEKS MENTZER DAN INDEKS RDW (RED CELL DISTRIBUTION WIDTH) PADA ANAK SEKOLAH DASAR USIA 9-12 TAHUN YANG MENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI T E S I
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanda dan gejala klasik apendisitis akut pertama kali dilaporkan oleh Fitz pada tahun 1886 (Williams, 1983). Sejak saat itu apendisitis akut merupakan salah satu kegawatdaruratan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Eritrosit (Sel Darah Merah) Profil parameter eritrosit yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit kucing kampung (Felis domestica) ditampilkan
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metabolisme Bilirubin Bilirubin adalah pigmen kristal berbentuk jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
17 HASIL DAN PEMBAHASAN Eritrosit, Hemoglobin, Hematokrit dan Indeks Eritrosit Jumlah eritrosit dalam darah dipengaruhi jumlah darah pada saat fetus, perbedaan umur, perbedaan jenis kelamin, pengaruh parturisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) yang. tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) yang tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
Lebih terperinciCLINICAL MENTORING TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI DALAM PRAKTEK SEHARI-HARI
CLINICAL MENTORING TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI DALAM PRAKTEK SEHARI-HARI Oleh : Dr.Prasetyo Widhi Buwono,SpPD-FINASIM Program Pendidikan Hematologi onkologi Medik FKUI RSCM Ketua Bidang advokasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah membuktikan bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh sumber daya manusianya (SDM) dan SDM sangat ditentukan oleh pertumbuhan dan perkembangan sejak dini.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia Anemia secara praktis didefenisikan sebagai kadar Ht, konsentrasi Hb, atau hitung eritrosit di bawah batas normal. Namun, nilai normal yang akurat untuk ibu hamil sulit
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Rata-rata peningkatan jumlah eritrosit. Jumlah eritrosit darah (juta/ mm 3 ) ulangan ke
30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Hasil analisis jumlah eritrosit darah. Berdasarkan analisis stastik jumlah eritrosit hasil perlakuan adalah sebagai berikut Tabel 4.1 Rata-rata peningkatan
Lebih terperinciBAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN
BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang disebabkan karena terganggunya sekresi hormon insulin, kerja hormon insulin,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIK a. Definisi Anemia World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan konsentrasi hemoglobin < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita
Lebih terperinciGDS (datang) : 50 mg/dl. Creatinin : 7,75 mg/dl. 1. Apa diagnosis banding saudara? 2. Pemeriksaan apa yang anda usulkan? Jawab :
Seorang laki laki 54 tahun datang ke RS dengan keluhan kaki dan seluruh tubuh lemas. Penderita juga merasa berdebar-debar, keluar keringat dingin (+) di seluruh tubuh dan sulit diajak berkomunikasi. Sesak
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Viskositas darah didefinisikan sebagai kontribusi faktor reologik darah terhadap
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Viskositas Darah Viskositas darah didefinisikan sebagai kontribusi faktor reologik darah terhadap resistensi aliran darah. Viskositas darah tergantung beberapa faktor, dimana
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metabolisme Bilirubin Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit peradangan hati akut atau menahun disebabkan oleh virus Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh seperti saliva, ASI, cairan
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk penelitian ilmu penyakit dalam yang menitikberatkan pada
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian ilmu penyakit dalam yang menitikberatkan pada gambaran prevalensi dan penyebab anemia pada pasien penyakit ginjal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang sering dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini disebabkan oleh demam dimana terdapat kenaikan suhu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Hematologi Hasil pemeriksaan hematologi disajikan dalam bentuk rataan±simpangan baku (Tabel 1). Hasil pemeriksaan hematologi individual (Tabel 5) dapat dilihat pada lampiran dan dibandingkan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah
23 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, persentase hematokrit, MCV, MCH dan MCHC ayam broiler dengan perlakuan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hepcidin merupakan hormon regulator kadar zat besi dalam tubuh,
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hepcidin 2.1.1. Definisi Hepcidin merupakan hormon regulator kadar zat besi dalam tubuh, yang tersusun atas 25 asam amino peptida. Pertama kali ditemukan tahun 2000 sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama
Lebih terperincimembutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia tahun, secara normal akan mengalami
PENDAHULUAN Latar belakang Anemia zat besi di Indonesia masih menjadi salah satu masalah gizi dan merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian. Anemia zat besi akan berpengaruh pada ketahanan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler. mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta atau morbus Hansen merupakan infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Kusta dapat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kadar Hemoglobin Kadar hemoglobin adalah ukuran pigmen respiratorik dalam butiranbutiran darah merah. Jumlah hemoglobin dalam darah normal adalah kirakira 15gr setiap 100 ml
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut pada saluran pencernaan yang masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian demam tifoid di
Lebih terperinciBAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur
BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh
Lebih terperinciBAB 4 METODE PENELITIAN. Jenis penelitian adalah eksperimental dengan rancangan pre and post
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Desain penelitian Jenis penelitian adalah eksperimental dengan rancangan pre and post test design sehingga dapat diketahui perubahan yang terjadi akibat perlakuan. Perubahan
Lebih terperinciRENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN
RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN Pertemuan : Minggu ke 3 Waktu : 50 menit Pokok Bahasan : 1. Evaluasi Eritrosit dan Interpretasinya (Lanjutan) Subpokok Bahasan : a. Fase fase proses pembentukan eritrosit.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. gizi mikro. Defisiensi besi sering ditemukan bersamaan dengan obesitas.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas dan defisiensi besi memberi dampak buruk terhadap kesehatan anak. Obesitas adalah kelebihan gizi, sedangkan defisiensi besi merupakan kekurangan gizi mikro.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi rantai globin mengalami perubahan kuantitatif. Hal ini dapat menimbulkan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Thalassemia Thalassemia merupakan kelainan genetik dimana terjadi mutasi di dalam atau di dekat gen globin yang ditandai dengan tidak ada atau berkurangnya sintesis rantai globin.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
26 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 MCV (Mean Corpuscular Volume) Nilai MCV (Mean Corpuscular Volume) menunjukkan volume rata-rata dan ukuran eritrosit. Nilai normal termasuk ke dalam normositik, nilai di bawah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyebab intrakorpuskuler (Abdoerrachman et al., 2007). dibutuhkan untuk fungsi hemoglobin yang normal. Pada Thalassemia α terjadi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Thalassemia adalah suatu penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orangtua kepada anak-anaknya secara resesif yang disebabkan karena kelainan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum HIV/AIDS HIV merupakan virus yang menyebabkan infeksi HIV (AIDSinfo, 2012). HIV termasuk famili Retroviridae dan memiliki genome single stranded RNA. Sejauh ini
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
11 Adaptasi (kelompok AP,AIS,AIP) H H + 2 H - 14 Pengambilan darah simpan (kelompok AP) pre post Perdarahan 30% via splenektomi + autotransfusi (kelompok AP,AIS,AIP) H + 7 Panen (kelompok AP,AIS,AIP) Gambar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Donasi darah merupakan proses pengambilan darah. secara sukarela dari seseorang kemudian darahnya akan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Donasi darah merupakan proses pengambilan darah secara sukarela dari seseorang kemudian darahnya akan disimpan di bank darah. Total darah yang dapat didonasikan tidak
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Pertumbuhan dan perkembangan
Lebih terperinciPRAKTIKUM II : DARAH, PEMBULUH DARAH, DARAH DALAM BERBAGAI LARUTAN, PENGGOLONGAN DARAH SISTEM ABO DAN RHESUS.
PRAKTIKUM II : DARAH, PEMBULUH DARAH, DARAH DALAM BERBAGAI LARUTAN, PENGGOLONGAN DARAH SISTEM ABO DAN RHESUS. Praktikum IDK 1 dan Biologi, 2009 Tuti Nuraini, SKp., M.Biomed. 1 TUJUAN Mengetahui asal sel-sel
Lebih terperinci