BAB II KAJIAN PUSTAKA. cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk
|
|
- Sonny Sumadi
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1 Anemia Defisiensi Besi Definisi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan ini ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer, besi serum menurun, TIBC (Total Iron Binding Capacity) meningkat, saturasi transferin menurun, feritin serum menurun, pengecatan besi sumsum tulang negatif dan adanya respon terhadap pengobatan dengan preparat besi (Bakta, 2006) Epidemiologi Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan sekitar 24,8% dari penduduk di dunia menderita anemia dengan kelompok yang paling tinggi prevalensinya adalah ibu hamil, usia lanjut dan diikuti oleh bayi dan anak usia dua tahun, anak usia pra sekolah, anak usia sekolah dan wanita tidak hamil. Pada jumlah absolut anemia terjadi pada 1,62 miliar orang di seluruh dunia dengan komposisi 293 juta anak usia balita, 56 juta ibu hamil dan 468 juta wanita yang tidak hamil (WHO, 2005). Setengah dari kejadian anemia di seluruh dunia merupakan anemia defisiensi besi. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2004 ADB telah menyebabkan kematian dimana 45% terjadi di Asia Tenggara, 31% di Afrika, 9% di Mediterania timur, 7% di Amerika, 4% di area Pasifik Barat dan 3% di Eropa dengan 97% dari kejadian ini ditemukan pada negara dengan tingkat pendapatan
2 rendah sampai menengah. Akibat ADB terjadi penurunan produktivitas kerja yang berakibat menurunnya pendapatan negara dengan rerata pada 10 negara berkembang sebesar $16,78 per kapita atau 4% dari pendapatan negara secara kasar (Pasricha, et al. 2013). Di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil 59%, anak-anak 70,1%, wanita usia subur (WUS) 59,9% dan laki-laki dewasa sebesar 33,4%. Untuk prevalensi ADB di Indonesia belum ada data yang pasti. Martoatmojo et al. memperkirakan ADB pada laki-laki 16 50% dan 25 84% pada perempuan tidak hamil. Pada pensiunan pegawai negeri di Bali didapatkan prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan oleh karena defisiensi besi (Martoatmojo, et al. 1973). Survei pada suatu desa di bali didapatkan angka prevalens ADB sebesar 27% (Bakta, 2015). Sebuah studi yang dilakukan oleh Suega et al. tahun 2002 yang khususnya meneliti prevalensi ADB pada wanita hamil di Bali menemukan sebesar 46,2% ibu hamil menderita ADB ringan Metabolisme Besi Besi merupakan trace element dan mikronutrien esensial yang penting dan dibutuhkan oleh hampir semua organisme baik mikroba, tanaman, hewan maupun manusia. Fungsi besi didalam tubuh adalah sebagai katalisator untuk oksigenasi, hidroksilasi dan proses metabolisme penting lainnya. Selain itu besi juga penting sebagai kofaktor enzim-enzim pada respirasi mitokondrial. Proliferasi dan aktifasi dari sel T, sel B dan sel NK juga memerlukan besi. Dalam keadaan normal seorang laki dewasa mempunyai kandungan besi 50 mg/kgbb sedangkan perempuan dewasa adalah 35 mg/kgbb (Suega, 2006 ; Gisbert, 2009).
3 Tubuh mendapatkan masukan besi berasal dari makanan dalam usus. Proses absorpsi besi paling banyak terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal. Membran apikal enterosit di duodenum berperan untuk transport besi dari lumen intestinal ke dalam sel enterosit dimana molekul transporter yang terpenting adalah Divalent Metal Transporter 1 (DMT1) (Sharp, 2007 ; Andrews, 2009 ; Kaushansky, et al. 2010). Setelah diabsoprsi di duodenum, besi akan beredar di sirkulasi dalam bentuk transferin menuju sistem portal dari hepar yang merupakan tempat penyimpan besi yang utama. Sel hepatosit akan mengikat besi melalui Transferrin Receptor 1 (TfR1) yang klasik namun sebagian besar melalui TfR2 yang tersedia dalam jumlah lebih besar (Flemmig dan Sly, 2001 ; Andrews, 2009). Tempat utama penggunaan besi adalah sumsum tulang dimana besi diikat oleh TfR pada sel prekursor eritrosit dan digunakan untuk sintesis heme. Besi pada heme selanjutnya akan didaur ulang melalui proses tertangkapnya eritrosit yang sudah tua pada makrofag sistem retikuloendotelial. Besi dalam makrofag dapat tersimpan di makrofag sebagai feritin atau dilepaskan ke plasma yang kemudian akan terikat transferin dan beredar di plasma untuk digunakan kembali. Hati dan sistem retikuloendotelial merupakan tempat utama penggunaan cadangan besi (Fleming dan Sly, 2001 ; Andrews, 2009). Setiap hari 1-2 mg besi hilang dari tubuh karena perdarahan, menstruasi atau eksfoliasi dari epitel yang mengandung besi di kripta usus, traktus urinarius, rambut dan kulit dan dalam jumlahnya yang samapun setiap harinya diserap. Karena tubuh tidak mempunyai mekanisme spesifik dalam mengekskresi besi
4 maka keseimbangan besi dalam tubuh dijaga oleh regulator proses absorpsi besi di duodenum (Sharp, 2007 ; Gisbert, 2009). Seluruh proses ini terjadi melalui sirkulasi yang tertutup dimana jumlah yang diserap dan jumlah yang diekskresi bersifat tetap. Besi yang diserap usus setiap hari berkisar antara 1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama melalui eksfoliasi epitel (Bakta, 2006 ; Andrews, 2009). Proses ini dapat dilihat pada gambar berikut : Gambar 2.1 Siklus Pertukaran Besi dalam Tubuh (Bakta, 2015) Patogenesis Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi semakin menurun. Jika cadangan besi menurun maka keadaan ini disebut iron depleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar serum feritin, peningkatan absorpsi besi dalam usus serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif (Bakta, 2015). Apabila kekurangan besi berlanjut maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan
5 gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi dimana keadaan ini disebut iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan TIBC meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor transferin dalam serum (Bakta, 2015). Kondisi kekurangan besi yang terus berkepanjangan akan menyebabkan jumlah besi menurun terus dan eritropoesis akan semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun sehingga timbullah anemia hipokromik mikrositer yang disebut sebagai anemia defisiensi besi. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan kelainan pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya. Perjalanan patogenesis defisiensi besi dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Gambar 2.2 Stadium Patogenesis Defisiensi Besi (Kaushansky et al., 2010) Klasifikasi derajat defisiensi besi Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan : (Bakta, 2015)
6 1. Deplesi besi (iron depleted state) : cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu 2. Eritropoesis defisiensi besi ( iron deficient erythropoiesis) : cadangan besi kosong penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu tetapi belum timbul anemia secara laboratorik 3. Anemia defisiensi besi : cadangan besi kosong disertai penurunan kadar hemoglobin Komplikasi defisiensi besi Defisiensi besi selain menyebabkan anemia juga menyebabkan hal negatif seperti berikut : (Bakta, 2015) 1. Pada sistem neuromuskular menyebabkan gangguan kapasitas kerja 2. Gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan 3. Gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi. 4. Gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Seluruh gangguan ini dapat timbul pada anemia ringan dan bahkan sebelum anemia bermanifestasi Diagnosis anemia defisiensi besi Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan anamnesa yaitu adanya gejala umum anemia dan gejala khas defisiensi besi serta adanya penyakit dasar diikuti dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Modifikasi dari Kriteria Kerlin dipakai sebagai kriteria diagnosis ADB yaitu anemia dengan gambaran hipokrom mikrositer pada hapusan darah tepi atau Mean Corpuscular Volume (MCV) < 80
7 fl dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) < 31% dan salah satu dari 1, 2, 3, atau 4, yaitu : 1. Dua dari tiga parameter di bawah ini : a. Besi Serum <50 mg/dl b. TIBC >350 mg/dl c. Saturasi Transferin : <15% 2. Serum Feritin <20 g/l 3. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl s Stain) menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif. 4. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl. Baku emas diagnosis ADB adalah pemeriksaan besi sumsum tulang dengan pengecatan tinta biru prusia untuk mencari butir-butir hemosiderin (Ann, 2002 ; Brugnara, 2002 ; Mast, 2008) Penatalaksanaan dan penilaian respons terapi ADB Fokus penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengatasi penyebab dan pemberian suplementasi besi agar dapat memenuhi kebutuhan besi tubuh sekaligus mengisi cadangan besi yang kosong. Pemberian preparat besi dapat dilakukan secara oral maupun parenteral. Pada umumnya preparat oral yang lebih sering diberikan sampai dengan kadar hemoglobin normal kemudian dilanjutkan sampai 6 bulan untuk mengisi cadangan besi tubuh. Besi parenteral dapat diberikan dengan indikasi adanya intoleransi dengan pemberian obat, kepatuhan berobat rendah, adanya kondisi kolitis ulseratif, gangguan absorpsi besi di saluran cerna, kondisi anemia defisiensi besi yang berat, pasien dengan hemodialisis, dan
8 kondisi defisiensi besi fungsional karena penggunaan eritropoetin yang berulang (Bakta, 2015). Terapi lain dengan memberikan diet tinggi protein, pemberian vitamin C untuk meningkatkan absorpsi besi dan mengatasi penyakit dasar. Transfusi darah hanya diberikan pada kondisi adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung, anemia yang sangat simptomatik misalnya anemia dengan gejala pusing yang sangat mencolok, penderita memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi. (Bakta, 2015). Berdasarkan modifikasi kriteria Kerlin diagnosis ADB dapat ditegakkan pula dengan adanya kenaikan kadar hemoglobin sebesar 1-2 g/dl setelah mendapatkan terapi besi dan hal ini dapat menjadi indikator keberhasilan terapi pada ADB (Bakta, 2015). Respons terhadap terapi sebenarnya dapat dinilai sejak minggu pertama ditandai dengan peningkatan retikulosit namun kadar retikulosit akan menurun sehingga tidak dapat dijadikan sebagai prediktor awal (Santen, et.al, 2014 ; Parodi, et.al 2015). Parameter yang lain seperti hematokrit, MCV dan MCH juga mengalami peningkatan setelah mendapatkan terapi tetapi lebih lambat sehingga tidak dapat dipakai sebagai indikator keberhasilan terapi (Afzal, et.al 2009) Problem diagnostik dan penilaian respons terapi ADB Baku emas diagnosis ADB adalah pemeriksaan besi sumsum tulang untuk menemukan hemosiderin tetapi prosedur ini invasif, terdapat variabilitas antar
9 pemeriksa dan biaya pemeriksaan yang tinggi sehingga pemeriksaan ini mulai digantikan oleh tes hematologi dan tes biokimia yang sesuai dengan metabolisme besi (Brugnara, 2002 ; Mast, 2008). Pemeriksaan hematologi yang dipakai adalah hemoglobin, indeks eritrosit, retikulosit. Pemeriksaan ini lebih umum ditemukan, terjangkau, dan dengan biaya yang lebih murah. Anemia ditandai dengan kadar hemoglobin <10 gr/dl. Gambaran eritrosit yang hipokromik merupakan indikator langsung adanya kondisi iron deficient erythropoiesis. Jumlah retikulosit pada kondisi defisiensi besi akan menurun tetapi bila kondisi defisiensi yang berat disertai dengan perdarahan kronis maka jumlah retikulosit akan sedikit meningkat. Diagnosis ADB dengan hanya menggunakan pemeriksaan hematologi belum dapat ditegakkan karena anemia pada penyakit kronis juga akan memberikan gambaran eritrosit yang hipokromik (Thomas dan Thomas, 2002 ; Wu, et al. 2002). Metabolisme besi dapat dinilai dengan menggunakan pemeriksaan biokimia. Walaupun dari segi biaya pemeriksaan ini lebih mahal daripada tes hematologi tetapi dengan kombinasi kedua pemeriksaan ini maka diagnosis ADB dapat ditegakkan. Pemeriksaan biokimia yang sering dipakai adalah feritin, besi serum, saturasi transferin, dan serum soluble transferrin receptor (stfr) (Wu, et al. 2002). Feritin mengukur ketersediaan cadangan besi. Kadar feritin berkorelasi langsung dengan total cadangan besi di tubuh. Bila cadangan besi berkurang maka kadar feritin akan menurun sehingga feritin merupakan penanda yang paling awal dari kondisi defisiensi besi. Menurut WHO, nilai cut off feritin untuk mendiagnosis ADB digunakan angka 15 μg/l tetapi untuk daerah tropik dimana
10 angka infeksi dan inflamasi masih tinggi maka nilai cut off yang diajukan di negeri barat tampaknya perlu dikoreksi. Hercberg tahun 1991 menganjurkan untuk daerah tropik digunakan batas nilai serum feritin sebesar <20μg/L. Kadar feritin <20μg/l dikombinasi dengan anemia hipokromik mikrositer secara klinis paling sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis ADB (Bakta, 2015 ; Thomas dan Thomas, 2002 ; Wu, et al ; Hercberg, 1991). Suega tahun 2007 mencoba mencari nilai cut off feritin untuk mendiagnosis ADB di RSUP Sanglah Denpasar dengan hasil yaitu feritin memiliki sensitivitas 90,7% dan spesivisitas 90,6% dengan nilai cut off 35,4 g/l. Feritin merupakan suatu protein fase akut dimana kadarnya akan ikut berubah pada kondisi penyakit kronis seperti kanker, infeksi atau inflamasi kronis, penyakit hati, konsumsi alkohol, hipertiroid dan penggunaan kontrasepsi oral serta dipengaruhi pula oleh jenis kelamin sehingga penggunaannya menjadi terbatas. Studi oleh Thomas dan Thomas tahun 2002 yang mencoba membandingkan sensitivitas dan spesifisitas feritin dalam mendiagnosis ADB pada kondisi tanpa inflamasi dan dengan inflamasi menemukan bahwa terdapat penurunan persentase sensitivitas dan spesivisitas serta malahan terjadi peningkatan nilai cut off feritin pada kondisi inflamasi (Mast, et al ; Thomas dan Thomas, 2002 ; Brugnara, 2003 ; Karlsson 2011 ; Swart, et al. 2014). Beberapa keterbatasan tes biokimia lain bila digunakan dalam mendiagnosis ADB adalah : (Thomas dan Thomas, 2002 ; Wu, et al. 2002; Brugnara, 2003 ; Ullrich, et al ; Wish, 2006)
11 1. Total Iron Binding Capacity (TIBC) yang mengukur secara tidak langsung kadar transferin dimana akan meningkat bila kadar besi serum dan cadangan besi menurun. TIBC ternyata juga dipengaruhi oleh inflamasi, malnutrisi, infeksi kronis dan kanker yang akan menyebabkan penurunan kadar. 2. Besi serum dapat diukur secara langsung dan kadarnya menurun bila cadangan besi berkurang. Namun pemeriksaan ini tidak dapat mencerminkan secara langsung cadangan besi karena dapat dipengaruhi oleh variasi diurnal dimana konsentrasinya lebih tinggi pada siang hari, jenis diet dan suplementasi besi, kondisi inflamasi serta infeksi juga ikut mempengaruhi perubahan kadar besi serum. 3. Saturasi Transferin (TSAT) merefleksikan jumlah besi yang terikat oleh protein transport dan proses transport besi tersebut. Nilai TSAT didapatkan berdasarkan pembagian besi serum dengan TIBC dan dengan demikian juga dipengaruhi oleh inflamasi dan variasi diurnal tetapi berkebalikan dengan feritin, kadar saturasi transferin akan menurun pada kondisi inflamasi. 4. Serum Soluble Transferin Receptor yang mengukur jumlah reseptor transferrin pada retikulosit diketahui merupakan indikator defisiensi besi yang terbaik. Penggunaan rasio stfr terhadap Feritin (R/F ratio) juga memberikan gambaran yang cukup baik dalam mengestimasi cadangan besi. Namun tes ini juga dipengaruhi oleh proses inflamasi dan belum terdapat banyak studi mengenai efisiensi tes ini dalam mendiagnosis defisiensi besi, belum terdapat nilai cut off yang resmi serta tidak banyak tersedia.
12 Alternatif lain untuk menegakkan diagnosis ADB adalah berdasarkan respons hematologi setelah pemberian terapi suplementasi besi. Peningkatan Hb sebesar 1-2 gr/dl baru terjadi setelah terapi diberikan selama 4 minggu. Retikulosit juga dapat digunakan untuk menilai respons terapi karena peningkatan jumlah telah terjadi sejak minggu pertama tetapi kemudian jumlahnya akan menetap bahkan sedikit menurun sehingga tidak dapat digunakan sebagai indikator awal keberhasilan terapi ADB (Pritchard, 1961 ; Buttarello, 2004 ; Santen, et.al 2014 ; Parodi, et.al 2015). Indikator lain seperti MCV, MCH juga meningkat tetapi peningkatan tiap minggu tergolong kecil dan baru terlihat signifikan pada minggu ke 4 terapi (Afzal, et.al 2009). Dengan ditemukan hal-hal tersebut diatas, diagnosis ADB walaupun mudah dapat menyulitkan. Tidak terdapat 1 jenis tes yang paling superior bila dibandingkan dengan tes-tes yang lain untuk mendiagnosis ADB. Bila digunakan pada kondisi inflamasi dan penyakit kronis maka hasil yang didapatkan kurang maksimal sehingga diperlukan sebuah modalitas diagnosis yang lebih praktis, ekonomis dan tidak terpengaruh oleh kondisi inflamasi. Diperlukan juga pemeriksaan yang dapat mendeteksi respon terapi lebih cepat sehingga keberhasilan pengobatan ADB dapat diketahui lebih awal. 1.2 Pemeriksaan Ekuivalen Hemoglobin Retikulosit (Ret-He) dalam Diagnosis ADB Pendahuluan Keseimbangan besi terutama diregulasi oleh kecepatan eritropoesis dan cadangan besi. Defisiensi besi adalah salah satu contoh kondisi kekurangan gizi
13 yang dapat menyebabkan anemia. Diagnosis ADB mudah tetapi akibat beberapa kondisi seperti inflamasi, penyakit kronis, dll sehingga diagnosis menjadi menyulitkan. Deteksi dini defisiensi besi sebelum terjadi anemia penting dilakukan untuk mencegah komplikasi namun dikarenakan tidak adanya 1 jenis tes yang superior dan tidak terpengaruh oleh kondisi penyakit penyerta, proses deteksi dini menjadi kurang akurat. Diperlukan modalitas diagnosis yang praktis, ekonomis, dan tidak terpengaruh oleh inflamasi dalam diagnosis dan deteksi dini defisiensi besi Sistem eritroid, eritropoesis dan retikulosit Sistem eritroid terdiri atas sel darah merah (red cell) atau eritrosit dan prelursor eritroid. Unit fungsional dari sistem eritroid ini dikenal sebagai eritron yang mempunyai fungsi penting sebagai pembawa oksigen. Prekursor eritroid dalam sumsum tulang berasal dari sel induk hemopoetik melalui jalur sel induk myeloid kemudian menjadi sel induk eritroid yaitu Burst Forming Unit Erythroid (BFU-E) dan selanjutnya menjadi Colony Forming Unit Erythroid (CFU-E) (Bakta, 2006). Perkembangan selanjutnya adalah sel pronormoblast kemudian menjadi normoblast lalu berkembang menjadi retikulosit yang akan dilepas ke darah tepi dan menjadi eritrosit dewasa. Retikulosit adalah sel darah merah imatur, tidak berinti yang berasal dari proses pematangan normoblas di sumsum tulang dengan masa hidup selama 1-2 hari di sirkulasi darah tepi sebelum mengalami maturasi menjadi sel darah merah. Peningkatan pelepasan retikulosit ke sirkulasi darah tepi disebabkan oleh kondisi anemia, kehilangan darah, hemolisis dan lain-lain. Pada pasien tanpa anemia, hitung retikulositnya berkisar antara 1-2% dimana jumlah ini
14 penting karena dapat digunakan sebagai indikator produktivitas dan aktivitas eritropoesis. Dalam kondisi defisiensi besi jumlah retikulosit akan menurun dan dengan pemberian terapi subtitusi besi jumlahnya akan meningkat (Wu, et al ; Bakta, 2006 ; Suega, 2010). Bahan pembentuk eritrosit seperti besi, vitamin B12, asam folat juga diperlukan dalam proses ini. Eritrosit hidup dan beredar dalam darah tepi rata-rata selama 120 hari dan setelah itu akan mengalami penuaan kemudian dikeluarkan dari sirkulasi oleh sistem retikuloendotelial (RES). Kadar besi dianggap konstan pada setiap fase sel saat eritropoesis (Buttarello, 2004 ; Bakta, 2006) Automated hematology analyser 80 tahun yang lalu seorang ahli hematologi yang bernama Dr Maxwell Myer Wintrobe menemukan suatu klasifikasi anemia berdasarkan indeks Wintrobe yaitu penghitungan manual MCV, MCH dan MCHC berdasarkan nilai hemoglobin dan eritrosit (Brugnara dan Mohandas, 2013 ; Urrechaga, 2014). Tahun 1940 konsep dari Wintrobe tersebut berusaha diaplikasi dengan ditemukannya alat penghitung otomatis dari sel-sel darah oleh Wallace H Coulter dan sampai dengan tahun 1980 alat pemeriksaan hematologi mampu memberikan 7 nilai parameter pemeriksaan darah lengkap dan 3 parameter hitung jenis sel (Urrechaga, 2014). Pada tahun 1990 ditemukan parameter pemeriksaan yang mampu mengetahui distribusi dari MCV yaitu Red Cell Distribution Width (RDW). RDW memberikan informasi mengenai variasi ukuran dari masing-masing sel darah merah. Dalam tahun terakhir teknologi semakin canggih dengan ditemukannya pengukuran otomatis dari jumlah retikulosit dan parameter selular dari retikulosit termasuk kandungan hemoglobin serta indeks maturitasnya (Brugnara dan Mohandas, 2013 ; Urrechaga, 2014).
15 Sebuah teknologi analisis retikulosit yang terbaru dapat mengukur kandungan hemoglobin dalam retikulosit atau ekuivalennya sehingga dapat memberikan penilaian langsung tentang ketersediaan cadangan besi adekuat untuk proses eritropoesis (Mast, et al. 2002; Brugnara, 2003 ; Brugnara, et al. 2006; Mast, et al. 2007; Urrechaga, et al. 2009). Karena masa hidup retikulosit yang singkat maka pemeriksaan ini merupakan indikator yang sensitif terhadap kondisi iron deficient erythropoiesis bahkan pada stadium awal karena pemeriksaan ini mencerminkan ketersediaan besi untuk proses eritropoesis dalam jangka waktu 2-4 hari kedepan sehingga pemeriksaan ini dapat dipakai untuk mendiagnosis defisiensi besi (Mast, et al ; Brugnara, 2003 ; Brugnara, et al. 2006; Mast, et al ; Urrechaga, et al. 2009). Bayer Diagnostic memproduksi Advia dan memperkenalkan pemeriksaan kadar hemoglobin retikulosit atau CHr yang merupakan produk konsentrasi hemoglobin dan volume sel dari retikulosit sedangkan Sysmex Corporation memproduksi Sysmex seri XE dan XN mengeluarkan pemeriksaan ekuivalen retikulosit hemoglobin atau Ret-He dengan menggunakan teknologi yang sama tetapi pada Ret-He langsung mengukur inkorporasi besi di dalam hemoglobin eritrosit sehingga dapat menghasilkan estimasi langsung dari ketersediaan besi dalam erythron. Terdapat hasil yang senada antara CHr dan Ret-He menurut studi yang dilakukan oleh Thomas, et al. tahun 2005, David, et al. tahun 2006 dan Brugnara, et al. tahun 2006 (Mast, et al ; Brugnara, 2003 ; Brugnara, et al ; Mast, et al ; Urrechaga, et al. 2009). 1.3 Aplikasi Klinis Ret-He dalam Diagnosis ADB Ret-He telah terbukti sebagai indikator yang sensitif pada stadium awal dari iron deficient erythropoiesis. Dengan tambahan pemeriksaan seperti HYPO% (ADVIA ) maka diagnosis defisiensi besi fungsional dapat ditegakkan.
16 Penggunaan Indeks stfr / Feritin dianggap paling sensitif dalam mendeteksi defisiensi besi fungsional. Dengan ditemukannya pemeriksaan kadar hemoglobin retikulosit maka dengan kombinasi nilai pemeriksaan tersebut dan indeks stfr/feritin maka dapat dibuat klasifikasi sebagai berikut : (Brugnara, 2003 ; Mast, et al. 2007) a. Eritropoesis normal dengan cadangan besi normal b. Eritropoesis normal dengan cadangan besi yang menurun c. Gangguan eritropoesis dengan candangan besi yang cukup d. Gangguan eritropoesis dengan cadangan besi yang normal Aplikasi klinis pemeriksaan Ret-He terutama untuk menentukan kebutuhan pemberian suplementasi besi pada pasien dengan defisiensi besi fungsional. Misalnya pada pasien hemodialisis regular atau pasien kanker dengan anemia yang menggunakan eritropoetin karena eritropoetin akan menyebabkan kondisi iron deficient erythropoiesis. Kondisi defisiensi besi fungsional terjadi pada anemia penyakit kronik. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah peningkatan hepcidin yang akan mengganggu homeostasis besi. Hal ini dapat menurunkan respon eritropoetin pada proses eritropoesis dan akan menghasilkan eritrosit yang hipokromik. (Brugnara, 2003 ; Mast, et al. 2007). Ret-He juga digunakan pada skrining kondisi defisiensi besi pada bayi dan anakanak dan telah terbukti sebagai prediktor yang paling kuat terhadap kondisi defisiensi besi dengan atau tanpa anemia (Ullrich, et al. 2005). CHr dan Ret-He juga dapat digunakan sebagai prediktor keberhasilan terapi besi. Berdasarkan kriteria Kerlin, keberhasilan terapi besi pada ADB ditandai dengan peningkatan kadar Hb sebanyak 2 gr/dl setelah diberikan terapi selama 4
17 minggu. Studi yang dilakukan oleh Brugnara menemukan bahwa terdapat kenaikan kadar CHr dengan rata-rata 3,2 pg setelah diberikan terapi besi oral dan kenaikan tersebut telah terjadi dalam waktu 1-2 minggu. Pada pemberian terapi besi intravena, CHr merupakan indikator awal terhadap respons terapi dimana kadar CHr mulai meningkat dalam 2-4 hari sejak pemberian terapi (Brugnara, et al ; Mast et al., 2002). 1.4 Keterbatasan Ret-He dalam Diagnosis ADB CHr dan Ret-He telah banyak digunakan dalam mendeteksi kondisi defisiensi besi, namun belum terdapat standar internasional dari nilai cut off-nya. Walaupun terdapat nilai rentang normal CHr dan Ret-He yang telah ditentukan oleh produsen namun banyak studi yang menemukan nilai cut-off yang bervariasi (Urrechaga, 2014 ; Swart, 2014). Studi oleh Brugnara menemukan nilai CHr < 27,2 pg merupakan prediktor defisiensi besi yang signifikan pada bayi, sedangkan pada anak dipakai nilai <28,4 pg. Sedangkan Ullrich tahun 2005 melakukan skrining defisiensi besi pada bayi yang sehat menemukan nilai CHr sebesar 27,5 pg sebagai nilai cut-off. Urrechaga tahun 2009 mencoba mencari nilai cut off Ret-He menegakkan diagnosis ADB pada penderita dewasa dan ditemukan nilai < 29 pg. Sedangkan studi oleh Karlsson tahun 2011 pada orang tua dengan kondisi anemia menemukan nilai CHr 30,5 pg sebagai cut off (Brugnara, 2003 ; Karlsson, 2011). Keterbatasan yang lain adalah CHr tidak dapat digunakan digunakan pada pasien dengan thalassemia dan kelainan hemoglobin lainnya karena angka CHr tergantung dari MCV dimana pada kondisi tersebut telah terjadi anemia mikrositer
18 karena gangguan dari struktur pembentuk hemoglobin. Demikian pula halnya pada kondisi anemia megaloblastik (Mast, et al ; Mast, et al. 2008). Pada pasien dengan riwayat pemberian transfusi, terapi besi, defisiensi B12 dan folat serta adanya kelainan dari analisis hemoglobin maka hasil pemeriksaan CHr dan Ret-He kurang memberikan hasil yang maksimal (Mast, et al. 2008).
B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,
B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang saat ini terus melakukan pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, peningkatan taraf hidup setiap
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh populasi. 1 Wanita hamil merupakan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia pada Penyakit Kronis Anemia dijumpai pada sebagian besar pasien dengan PGK. Penyebab utama adalah berkurangnya produksi eritropoetin (Buttarello et al. 2010). Namun anemia
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bervariasi berdasarkan usia, sebagian besar disebabkan oleh defisiensi besi,
1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia merupakan masalah kesehatan global pada negara maju maupun negara yang sedang berkembang serta berdampak pada kesehatan, sosial dan ekonomi. Prevalensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia merupakan masalah kesehatan global yang mempengaruhi derajat kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih menjadi masalah
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi kesehatan masyarakat
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia merupakan masalah kesehatan global pada negara maju dan negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi kesehatan masyarakat namun juga segi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hemoglobin Hemoglobin adalah pigmen yang terdapat didalam eritrosit,terdiri dari persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein yang disebut globin,dan
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Anemia mempengaruhi secara global 1,62 miliar penduduk dunia,
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia mempengaruhi secara global 1,62 miliar penduduk dunia, berkaitan dengan 24,8% populasi dunia. Defisiensi besi adalah penyebab yang paling umum. Defisiensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Ketersediaan kantong darah di Indonesia masih. sangat kurang, idealnya 2,5% dari jumlah penduduk untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan kantong darah di Indonesia masih sangat kurang, idealnya 2,5% dari jumlah penduduk untuk satu tahun. Pada tahun 2013, secara nasional terdapat kekurangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk.
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ada empat masalah gizi utama yang ada di Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk. Kedua, kurang vitamin
Lebih terperinciABSTRAK. Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya
ABSTRAK Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Untuk membedakan ADB
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anemia Anemia adalah penurunan jumlah normal eritrosit, konsentrasi hemoglobin, atau hematokrit. Anemia merupakan kondisi yang sangat umum dan sering merupakan komplikasi dari
Lebih terperinci1 Universitas Kristen Maranatha
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia adalah penyakit kelainan darah yang diturunkan secara herediter. Centre of Disease Control (CDC) melaporkan bahwa thalassemia sering dijumpai pada populasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Zat besi Besi (Fe) adalah salah satu mineral zat gizi mikro esensial dalam kehidupan manusia. Tubuh
Lebih terperinciCurriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan
Curriculum vitae Nama : AA G Sudewa Djelantik Tempat/tgl lahir : Karangasem/ 24 Juli 1944 Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Jln Natuna 9 Denpasar Bali Istri : Dewi Indrawati Anak : AAAyu Dewindra Djelantik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia secara klinis didefinisikan sebagai tidak cukupnya massa sel darah merah (hemoglobin) yang beredar di dalam tubuh. Anemia defisiensi zat besi merupakan masalah
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN
7 BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Metabolisme Besi 2.1.1. Komposisi Besi dalam Tubuh Besi merupakan mineral penting bagi semua sel tubuh manusia. Kemampuan besi untuk berubah pada reaksi oksidasi stabil,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan yang banyak dijumpai di berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Wanita muda memiliki risiko yang
Lebih terperinciDIAGNOSIS LABORATORIK ANEMIA DEFISIENSI BESI LABORATORIC DIAGNOSIS OF IRON DEFICIENCY ANEMIA
DIAGNOSIS LABORATORIK ANEMIA DEFISIENSI BESI 1 Dina Sophia Margina, 2 Sianny Herawati, 2 I W P Sutirta Yasa 1 Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2 Bagian Patologi Klinik
Lebih terperinciCLINICAL MENTORING TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI DALAM PRAKTEK SEHARI-HARI
CLINICAL MENTORING TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI DALAM PRAKTEK SEHARI-HARI Oleh : Dr.Prasetyo Widhi Buwono,SpPD-FINASIM Program Pendidikan Hematologi onkologi Medik FKUI RSCM Ketua Bidang advokasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESRD / End Stage Renal Disease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia dalam kehamilan adalah suatu kondisi ibu dengan kadar nilai hemoglobin di bawah 11 gr % pada trimester satu dan tiga, atau kadar nilai hemoglobin kurang dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Anemia defisiensi besi (ADB) masih menjadi. permasalahan kesehatan saat ini dan merupakan jenis
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Anemia defisiensi besi (ADB) masih menjadi permasalahan kesehatan saat ini dan merupakan jenis malnutrisi dengan prevalensi tertinggi di dunia sehingga
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Milenium Development Goals (MDG) terutama tujuan keempat dan kelima terkait
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Saat ini pemerintah Indonesia tengah berupaya keras mewujudkan target Milenium Development Goals (MDG) terutama tujuan keempat dan kelima terkait kematian
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Transferrin receptor merupakan transmembran homodimer yang
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Serum Transferrin receptor (stfr) Transferrin receptor merupakan transmembran homodimer yang terdiri dari dua monomer yang identik, berat molekul sekitar 90 kda, dimana
Lebih terperinciAnemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya
Anemia Megaloblastik Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik : anemia makrositik yang ditandai peningkatan ukuran sel darah merah yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) yang. tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) yang tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman M.tuberculosis dengan droplet nuclei akan terhirup dan mencapai alveolus akibat ukurannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Status Gizi a. Definisi Status Gizi Staus gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KEPATUHAN 1. Defenisi Kepatuhan Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan. Dengan menggambarkanpenggunaan obat sesuai petunjuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat. Pertumbuhan yang cepat pada tubuh remaja membawa
Lebih terperinciIndek Eritrosit (MCV, MCH, & MCHC)
Indek (MCV, MCH, & MCHC) Pemeriksaan Darah Lengkap (Complete Blood Count / CBC) yaitu suatu jenis pemeriksaaan penyaring untuk menunjang diagnosa suatu penyakit dan atau untuk melihat bagaimana respon
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemeriksaan hematologi adalah pemeriksaan yang digunakan secara luas pada praktek klinis sehari-hari. Rentang referensi hematologi yang sesuai sangatlah diperlukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anemia pada ibu hamil merupakan salah satu masalah yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia pada ibu hamil merupakan salah satu masalah yang sampai saat ini masih terdapat di Indonesia yang dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas ibu dan
Lebih terperinciMetabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin
Metabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin a. Metabolisme besi Zat besi normal dikonsumsi 10-15 mg per hari. Sekitar 5-10% akan diserap dalam bentuk Fe 2+ di duodenum dan sebagian kecil di jejunum. Pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Adanya eritropoiesis inefektif dan hemolisis eritrosit yang mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada talasemia mayor (TM), 1,2 sehingga diperlukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan,
A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Gizi seimbang merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan, perkembangan, menurunkan produktifitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. masa kehamilan. Anemia fisiologis merupakan istilah yang sering. walaupun massa eritrosit sendiri meningkat sekitar 25%, ini tetap
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehamilan memberikan perubahan yang besar terhadap tubuh seorang ibu hamil. Salah satu perubahan yang besar yaitu pada sistem hematologi. Ibu hamil sering kali
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia Anemia secara praktis didefenisikan sebagai kadar Ht, konsentrasi Hb, atau hitung eritrosit di bawah batas normal. Namun, nilai normal yang akurat untuk ibu hamil sulit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler. mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta atau morbus Hansen merupakan infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Kusta dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Pertumbuhan dan perkembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di bidang kesehatan berkaitan erat dengan mewujudkan kesehatan anak sejak dini, sejak masih dalam kandungan. Untuk itulah upaya kesehatan ibu sebaiknya dipersiapkan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran darah berupa jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit sapi perah FH umur satu sampai dua belas bulan ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Gambaran Eritrosit
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian Anemia Defisiensi Besi (ADB)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan pustaka 1. Anemia Defisiensi Besi a. Pengertian Anemia Defisiensi Besi (ADB) Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. gizi mikro. Defisiensi besi sering ditemukan bersamaan dengan obesitas.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas dan defisiensi besi memberi dampak buruk terhadap kesehatan anak. Obesitas adalah kelebihan gizi, sedangkan defisiensi besi merupakan kekurangan gizi mikro.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus untuk meningkatkan taraf hidup. Untuk mewujudkan cita-cita pembangunan diperlukan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEFINISI Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong, yang akhirnya mengakibatkan pembentukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan dampak masalah gizi pada remaja putri. Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin, dapat karena kekurangan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. rawat inap di RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga. kanker payudara positif dan di duga kanker payudara.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga pada bulan Desember 2012 - Februari 2013. Jumlah sampel yang diambil
Lebih terperinciT E S I S BUDI ANDRI FERDIAN /IKA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH PEMBERIAN TERAPI BESI TERHADAP PERUBAHAN NILAI INDEKS MENTZER DAN INDEKS RDW (RED CELL DISTRIBUTION WIDTH) PADA ANAK SEKOLAH DASAR USIA 9-12 TAHUN YANG MENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI T E S I
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu yang akhirnya akan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang
Lebih terperinciPERBANDINGAN KADAR RET HE, FE, DAN TIBC PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI FE DENGAN ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS
PERBANDINGAN KADAR RET HE, FE, DAN TIBC PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI FE DENGAN ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS ABSTRAK Renaldi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha Bandung Latar belakang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (Manuabaet al., 2012).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intrauteri mulai sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (Manuabaet al., 2012). Selama proses kehamilan
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Viskositas darah didefinisikan sebagai kontribusi faktor reologik darah terhadap
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Viskositas Darah Viskositas darah didefinisikan sebagai kontribusi faktor reologik darah terhadap resistensi aliran darah. Viskositas darah tergantung beberapa faktor, dimana
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat. Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering terjadi pada semua kelompok umur di Indonesia, terutama terjadinya anemia defisiensi besi. Masalah anemia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi ketika kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari batas normal kelompok orang yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Anemia adalah suatu kondisi ketika kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari batas normal kelompok orang yang bersangkutan. Hemoglobin merupakan protein berpigmen
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia terutama negara berkembang yang diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia. Anemia banyak terjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terjadinya anemia. Defisiensi mikronutrien (besi, folat, vitamin B12 dan vitamin
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan dunia yang dapat terjadi pada seluruh tahap kehidupan, mulai dari bayi, balita, remaja putri, wanita usia subur dan ibu hamil. Ibu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan terganggu, menurunnya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Mikrositer hipokrom adalah gambaran morfologi sel darah merah
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Mikrositer hipokrom adalah gambaran morfologi sel darah merah dengan nilai MCV lebih kecil dari normal (< 80fl) dan MCH lebih kecil dari nilai normal (
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA ASUPAN
HUBUNGAN ANTARA ASUPAN Fe DENGAN KADAR HEMOGLOBIN (Hb) PADA ANAK USIA 2-5 TAHUN DENGAN BERAT BADAN BAWAH GARIS KUNING MENURUT KMS DI KELURAHAN SEMANGGI KOTA SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Oleh : LAILA MUSFIROH
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Anemia Defisiensi Besi a. Definisi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Salah satu kondisi berbahaya yang dapat terjadi. pada ibu hamil adalah anemia.
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Salah satu kondisi berbahaya yang dapat terjadi pada ibu hamil adalah anemia. Anemia adalah berkurangnya massa sel darah merah yang berarti dan berhubungan dalam penurunan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi fungsinya untuk membawa O 2 dalam jumlah yang cukup ke
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia 2.1.1 Pengertian Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin (protein pembawa O 2 ) dari nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat memenuhi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan gizi kurang dapat ditemukan pada setiap kelompok masyarakat. Pada hakekatnya keadaan gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses kurang asupan makanan ketika
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi mikro yang cukup serius dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia. Sebagian besar anemia di Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia khususnya anemia defisiensi besi, yang cukup menonjol pada anak-anak sekolah khususnya remaja (Bakta, 2006).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, didapatkan peningkatan insiden dan prevalensi dari gagal ginjal, dengan prognosis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia pada remaja putri merupakan salah satu dampak masalah kekurangan gizi remaja putri. Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk memenuhi tumbuh kembang janinnya. Saat ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan fisiknya dan perkembangan kecerdasannya juga terhambat.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan keadaan masa eritrosit dan masa hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh (Handayani, 2008). Anemia
Lebih terperinciRuswantriani, Pembimbing : Penny Setyawati, dr, SpPK, M. Kes
ABSTRAK GAMBARAN LABORA TORIUM ANEMIA DEFISIENSI NUTRISI (STUDI PUST AKA) Ruswantriani, 2005. Pembimbing : Penny Setyawati, dr, SpPK, M. Kes Anemia merupakan masalah kesehatan dunia dan cenderung meningkat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Transfusi darah adalah salah satu praktek klinis yang umum dilakukan pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1.Perumusan masalah Transfusi darah adalah salah satu praktek klinis yang umum dilakukan pada perawatan pasien di rumah sakit. Banyak orang mendonorkan darahnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) wanita dengan usia tahun
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi utama yang terjadi di seluruh dunia. Menurut World Health Organization (WHO) wanita dengan usia 15-49 tahun yang menderita anemia di enam
Lebih terperinciBAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan suami istri. Setiap pasangan menginginkan kehamilan berlangsung dengan baik, bayi
Lebih terperincimenunjukkan 19,7% diderita oleh perempuan dewasa perkotaan, 13,1% lakilaki dewasa, dan 9,8% anak-anak. Anemia pada perempuan masih banyak ditemukan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia merupakan salah satu penyakit dengan penyebab multifaktorial, dapat dikarenakan reaksi patologis dan fisiologis yang bisa muncul sebagai konsekuensi dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat dilakukan. pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat 2010-2015 dilakukan pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan bangsa. Pemerintah memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dewasa. Remaja adalah tahapan umur yang datang setelah masa anak anak
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan tahap seseorang mengalami masa transisi menuju dewasa. Remaja adalah tahapan umur yang datang setelah masa anak anak berakhir. Hal ini ditandai dengan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. ANEMIA DEFISIENSI BESI 2.1.1. Definisi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang sering dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini disebabkan oleh demam dimana terdapat kenaikan suhu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan suatu keadaan kadar hemoglobin di dalam darah kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur. Kriteria anemia berdasarkan WHO
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Anemia Gizi Pada Ibu Hamil BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Anemia merupakan kondisi kurangnya sel darah merah (eritrosit) dalam tubuh seseorang. Anemia dapat terjadi karena kurangnya haemoglobin yang
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah
23 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, persentase hematokrit, MCV, MCH dan MCHC ayam broiler dengan perlakuan
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Proposal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proposal Anemia merupakan masalah kesehatan yang sangat sering ditemukan di klinik di seluruh dunia, disamping masalah kesehatan utama masyarakat, terutama dinegara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen dalam darah, yakni hemoglobin (Hb) dalam darah atau jumlahnya kurang dari kadar normal. Di Indonesia prevalensi anemia pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. makanan pada masa itu menjadi penyebab utama munculnya masalah gizi remaja
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya peningkatan status gizi untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas pada hakekatnya harus dimulai sedini mungkin, yakni sejak manusia itu masih berada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. usia subur. Perdarahan menstruasi adalah pemicu paling umum. kekurangan zat besi yang dialami wanita.meski keluarnya darah saat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah gizi di Indonesia masih banyak ditemukan, baik masalah akibat kekurangan zat gizi maupun akibat kelebihan zat gizi. Masalah gizi akibat kekurangan zat gizi diantaranya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan masalah kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang ditimbulkan cukup serius dengan spektrum
Lebih terperinciUJI DIAGNOSTIK EKUIVALEN HEMOGLOBIN RETIKULOSIT DAN INDIKATOR RESPON TERAPI PADA ANEMIA DEFISIENSI BESI
TESIS UJI DIAGNOSTIK EKUIVALEN HEMOGLOBIN RETIKULOSIT DAN INDIKATOR RESPON TERAPI PADA ANEMIA DEFISIENSI BESI ARUNDINA SANYOTO NIM : 1114048101 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI BIO-MEDIK KEKHUSUSAN KEDOKTERAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan dimana kebutuhan ibu terhadap zat besi mengalami peningkatan dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang sedang tumbuh
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman
39 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum SMK N 1 Sukoharjo 1. Keadaan Demografis SMK Negeri 1 Sukoharjo terletak di Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 2012, angka kematian ibu di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 359 per
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kematian ibu di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 359 per 100.000 kelahiran hidup. Pada
Lebih terperinciRENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN
RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN Pertemuan : Minggu ke 3 Waktu : 50 menit Pokok Bahasan : 1. Evaluasi Eritrosit dan Interpretasinya (Lanjutan) Subpokok Bahasan : a. Fase fase proses pembentukan eritrosit.
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk penelitian ilmu penyakit dalam yang menitikberatkan pada
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian ilmu penyakit dalam yang menitikberatkan pada gambaran prevalensi dan penyebab anemia pada pasien penyakit ginjal
Lebih terperinci