THEII..ERIOSIS PADA SAPI AKIBAT INFEKSI THEILERIA MUTANS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "THEII..ERIOSIS PADA SAPI AKIBAT INFEKSI THEILERIA MUTANS"

Transkripsi

1 ~.. Dan kami bersyukur kepada Tuhan Yang telah melebarkan gerbang tua ini Dan kami bersyukur pada ibu bapa. Yang sepanjang malam Selalu berdoa tulus dan terbungkuk membiayai kami Dorongan kasih sepenuh hati Dan kami berhutang kepada manusia Yang telah menitiskan sejarah dan ilmu Yang telah menjadi guru-guru kami (Taufiq Ismail).

2 I 'I j I~ I 1"';1 I' THEII..ERIOSIS PADA SAPI AKIBAT INFEKSI THEILERIA MUTANS I / // SKRIPSI oleh ANNA SULISTRI B FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 19 B 5

3 RINGKASAN ANNA SULISTRI. Theileriosis pada Sapi akibat Infeksi Theileria mutans (Dibawah Bimbingan : Dr. Gatut Ashadi). Theileriosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh protozoa dari genus Theileria yang ditularkan melalui vektor caplak. Theileria mutans pertama kali ditemukan oleh Theiler pada tahun Theileria mutans pernah dimasukkan dalam genus Nuttalia, Gonderia, dan Babesia, sehingga peny~ kit yang disebabkan oleh parasit ini mempunyai banyak nama diantaranya adalah Benign bovine theileriosis, Benign bovine gonderiosis, Tzaneen disease, Marico calf disease dan Mild gall sickness (Saidu, 1982). Menurut Soulsby (1982) dan Jensen (1983), Theileriamutans dimasukkan dalam genus Theileria, famili Theileriidae, ordo Piroplasmida, subklas Piroplasmia dan dalam klas Sporozoea. Di Indonesia Theileria mutans pertama kali ditemukan pada kerbau oleh De Blieck dan Kaligis tahun Kemudian ditemukan di Sumatra Barat pada tahun 1972 (Laporan Tahunan Direktorat Kesehatan Bewan, 1983), dan di Sukabumi telah dilaporkan Soekardono tahun 1978, selanjutnya daerah-daerah lain di Indonesia telah dilaporkan. Daerah penyebaran Theileria mutans yang pernah dilaporkan adalah Afrika, Australia, U.S.A., Asia,

4 Kuba, Korea, Inggris dan Jerman bagian Selatan (Saidu, 1982) Bentuk penting Theileria mutans pada sapi adalah dalam eritrosit yang disebut piroplasma dan bentuk dalam limfosit disebut koch bodies skizon. Bentuk dalam vektor caplak adalah zigot dan kinet. Bentuk dalam eritrosit ada bermacam-macam yaitu bentuk bulat, oval, batang, bentuk buah pir dan bentuk seperti anaplasma. Bentuk dalam 1imfosit berupa skizon yaitu makrosy~zon dan mikroskizon. Penularan Theileria mutans dari hewan satu ke hewan yang lain secara alam dilakukan oleh vektor caplak dari genus Amblyomma secara stage to stage, sedang dalam penelitian bisa d.itularkan secara biologik dan secara mekanik. Infeksi Theileria mutans pada sapi umumnya ringan dan tidak fatal, akan tetapi pernah dilaporkan adanya kasus fatal akibat infeksi paras it ini. Kerugian yang ditimbulkan selain kematian juga berupa penurunan berat badan, penurunan produksi susu dan tenaga. Gejala klinik yang ditimbu1kan umumnya terlihat demam ringan, kebengkakan kelenjar limfe, sedikit anemi, kadang-kadang ada ikterus dan produksi susu turun. Sapi yang terinfeksi Theileria mutans baik yang terlihat gejala kliniknya maupun yang tidak, setelah sembuh akan mendapat preimunitas yang sifatnya sementara. Untuk mendiagnosa penyakit akibat infeksi Theileriamutans perlu membuat preparat usap darah untuk melihat

5 bentuk dalam darah, sedang untuk melihat skizoi! dibuat preparat usap dari biopsi limfonodus, pungsi limpa atau limfonodus dan usapan buffy coat. Kemudian melakukan identifikasi caplak, pemeriksaan serologik seperti FAT, CFT dan CTA (Capillary Tube Agglutination). Obat yang dianggap bekerja spesifik terhadap Theile ~ mutans adalah Pamaquine, Plasmaquine atau pentaquine dengan dosis empat kali berturut yaitu 0.5 mg per kg berat badan secara intra vena atau intra muskular dengan interval empat sampai delapan jam. Tindakan pencegahan terhadap infeksi parasit ini sangat bergantung pada keberhasilan pengawasan dan kontrol terha.dap vektor caplak.

6 THEILERIOSIS PADA SAPI AKIBAT INFEYuSI THEILERIA MUTANS SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Dokter Hewan Pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN 1985 BOGOR

7 THEILERIOSIS PADA SAPI AKIBAT INFEKSI THEILERIA MUTANS SKRIPSI oleh ANNA SULISTRI B Te1ah diperiksa dan disetujui oleh :.Dr. G s adi PembimbJ.: g

8 RIWAYAT HIDUP penu1is di1ahirkan pada tangga1 22 Desember 1960 di Singkep, Riau, sebagai putri keempat dari empat bersaudara dari ayah bernama Hasyim dan ibu bernama Sumi1ah. Pada tahun 1965 penu1is masuk sekolah Taman Kanak Kanak dan se1esai pada tahun Pada tahun 1967 penulis masuk Seko1ah dasar di Tuban dan lulus tahun Pada tahun 1973 penulis masuk Sekolah Menengah Pertama di Tuban dan 1ulus pada tahun Kemudian pada tahun 1976 penu1is masuk Seko1ah Menengah Atas dan se1esai pada tahun Penu1is diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 1979 dan memilih FakuHas Kedokteran Hewan pada tahun 1980, lulus sebagai Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 1983.

9 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rakhmat dan hidayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini diajukan sebagai syarat bagi Sarjana Kedokteran Hewan untuk memperoleh gelar Dokter Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menghaturkan rasa terima kasih kepada Bapak Gatut Ashadi yang telah memberi bimbingan dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai. Kepada semua staf pengajar FKB-IPB dengan ini penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingannya hingga penulis dapat menyelesaikan studi di FKH-IPB. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak, Ibu dan saudara-saudaraku yang dengan tulus dan ikhlas membantu penulis dalam menyelesaikan studi ini. Penulis ingin pula menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak dan Ibu JJlardjuki, sahabatku Anda, Atien, Yeyet, Ida, Piah, Parti yang memberi dorongan dan semangat dalam menyelesaikan studi ini. Demikian pula penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada pegawai perpustakaan FKH-IPB, BPPH-Bogor, perpustakaan Pusat-IPB, BPT-Ciawi atas segala bantuannya.

10 Akhirnya sega1a kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk kemajuan menuju kesempurnaan yang merupakan bekal penulisan se1anjutnya dan mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi yang memerlukan. Bogor, Januari 1985 Penulis

11 DAFTAR lsi RINGKASAN... KAT A PENGANTJI..R... DAFI'AR lsi... DAFI'AR TABEL... DAFI'AR GAYiliAR... Halaman i iv vi vii viii I. PENDABULUAN... 1 II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 A. Morfologi 3 B. Siklus Hidup 8 c. Klasi fikasi 12 D. Hewan Rentan dan Daerah Pel...jatdran 13 E. Cara penu1aran 16 F. Patogenitas 18 G. Geja1a K1inik 21 H. Kekebalan Diagnosa 24 J. Diferensia1 Diagnosa 26 K. Pato1ogi dan Histologi L. Pengobatan dan Pengendalian 29 III. KESIMPULAN IV. DAFTAR PUS TAKA

12 Tabe DAFT AR T ABEL Bentuk-bentuk Theileria mutans dan frekuensi C%) Bentuk-bentuk Theileria mutans dan ukurannya (mikrometer) Halaman 4 4

13 Gambar DAFl'AR GAMBAR Sepasang Theileria dalam eritrosit Theileria mutans dalam kelenjar ludah Amblyomma variegatum. Skizon dari Theileria mutans dalam sirkulasi sel mononuklear sapi Siklus Hidup dari Theileria Halaman

14 I. PENDAHULUAN Theileriosis pada sapi adalah penyakit menular yang disebabkan oleh protozoa dari genus Theileria yang ditularkan melalui vektor caplak. Theileria.mutans pertama kali dilaporkan oleh Theiler pada tahun 1906 dengan nama Piroplasma mutans, dimana penemuan ini berdasar pada persamaan dengan Piroplas ~ parvum yang ditemukannya pada tahun Theileriamutans pernah diklasifikasikan ke dalam genus Nuttalia karena persamaan dalam memperbanyak diri, kemudian dimasukkan ke dalam genus Gonderia dengan nama Gonderiamutans dan juga pernah dimasukkan dalam genus Babesia dengan nama Babesia mutans (Saidu, 1982). Banyak nama yang diberikan pada penyakit yang disebabkan oleh Theileria mutans, diantaranya adalah Benign bovine theileriosis, Benign bovine gonderiosis, TZaneen disease, Marico calf disease dan Mild gall sickness (Saidu, 1982). Di Indonesia Theileria mutans pertama kali ditemukan pada kerbau oleh De Blieck dan Kaligis tabun 1912 yang dikatakan menyebabkan penyakit Pseudo East Coast Fever. Kemudian Theileria mutans ini ditemukan di Sumatra Barat tahun 1972 (Laporan Tahunan Direktorat Kesehatan Hewan, 1983) dan juga ditemukan di Sukabumi menyerang sapi perah pada tahun 1978 dan se1anjutnya daerah-daerah

15 lain di Indonesia telah dilaporkan. 2 Menurut Saidu (1982) daerah penyebaran Theileria ~ ~ yang pernah dilaporkan adalah Afrika, Australia, U.S.A., Asia, Turki, Kuba, Korea, Inggris dan Jerman bagian Selatan. Infeksi Theileria mutans pada sapi umumnya ringan dan tidak fatal, akan tetapi pernah dilaporkan adanya kasus fatal akibat infeksi parasit ini. Mortalitas yang disebabkan oleh Theileria mutans sangat kecil yaitu lebih kurang satu persen (Jackson ~ al., 1970). Gejala klinik yang ditimbulkan oleh infeksi Theile Ei~ ~utans bisa terlihat atau tidak. Penularan secara alam dilakukan oleh vektor caplak dan bisa pula ditularkan secara buatan (Young et al., 1978). Untuk mendiagnosa infeksi Theileria mutans dengan membuat preparat usap darah, preparat usap dari biopsi limfonodus, pungsi limpa atau limfonodus dan usapan buffy coat. Mengadakan identifikasi caplak dan pemeriksaan serologik dengan menggunakan metoda Indirect Fluorescent Antibody. Menurut buku Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular II dikatakan bahwa penyebab theileriosis pada ruminansia yang telah diketahui di Indonesia adalah Theileria mutans.

16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. MORFOLOGI Theileria mutans berada pada dua induk semang yaitu pada Vertebrata dan Invertebrata, Bentuk penting pada vertebrata adalah dalam eritrosit yang disebut piroplasma dan bentuk pada limfosit disebut 'Koch bodies schizont', Sedangkan bentuk pada vektor caplak adalah zigot dan bentuk kinet. Bentuk parasit dalam eritrosit menurut Levine (1961) berbentuk bulat dengan diameter satu sampai dua mikron dan bentuk oval dengan ukuran panjang 1.5 mikron sedang lebarnya 0.6 mikron. Menurut Soulsby (1982), Theileria mutans dalam eritrosit mempunyai bentuk bulat dengan ukuran satu sampai dua mikron, bentuk oval, bentuk buah pir dan bentuk se'perti Anaplasma. Theileria mutans yang ada di Australia menurut Hungerford (1970) mempunyai bentuk bulat, batang dan oval dengan ukuran satu sampai lima mikrone Menurut Bruner dan Gillespie (1966), Theileria ~ tans mempunyai bentuk bulat, batang, koma dan bentuk oval. Bentuk Theileria mutans dalam eritrosit yang diuraikan oleh Neitz (1957) mempunyai bentuk batang, koma, oval dan bentuk seperti Anaplasma. Bentuk-bentuk tersebut mempunyai sitoplasma biru dengan nukleus berupa bintik-bintik kecil warna merah ungu. Nukleus selalu menempati daerah yang luas dan terdapat di pinggir sel dari parasite

17 Frekuensi relatif bentuk Theileria IDutans dalam eritrosit dan ukuran relatif dari bermacam-macam bentuk parasit ini dilaporkan Saidu (1982) yang dikutip dari Neitz tahun 1959 dan Saidu tahun 1981, dalam bentuk Tabel 1. dan Tabel 2. Tabel 1. Bentuk-bentuk Theileria mutans dan frekuensi (%) (Saidu, 1982) 4 Bentuk Batang Koma Oval Bulat Buah pir Neitz (1959) Saidu (1981) Tabel 2. Bentuk-bentuk Theileria mutans dan ukurannya (mikrometer) (Saidu, 1982) Bentuk Neitz (1959) Saidu (1981) Batang 1.5 x x 1.0 Koma 1-_2 x x 1.0 Oval 1-2 x 0.7 Bulat x 3.0 Buah pir 2.8 x 1.6 perbedaan ukuran Theileria mutans dapat disebabkan oleh metoda yang dipakai untukbekerja atau adanya perbedaan galur (strain). Virulensi dari galur parasit dapat

18 5 dihubungkan dengan ukuran relatif, tipe dan frekuensipiroplasma. Fase dalam eritrosit induk semang vertebrata tid~~ membentuk skizon. Skizon susah ditemukan akan tetapi bisa ditemukan dalam limfosit dari limpa dan limfonodus dengan ukuran delapan mikron sampai 20 mikron atau lebih (Soulsby, 19-82). Menurut Saidu (1982), skizon terletak pada limfosit dalam limfonodus atau dalam sirkulasi dan pernah ditemukan di luar limfosit pada usapan darah tipis. Skizon mempunyai sitoplasma yang berwarna biru dan di dalamnya berisi titik-titik kecil berwarna merah sampai merah kebiruan dan berjumlah satu sampai 80, dengan ukuran masing masing satu sampai dua milimikron. Akan tetap~ menurut De Vos dan Roos (1981) dalam penelitiannya menemukan skizon dengan diameter 12.5 mikron yang berisi nukleus berjumlah delapan sampai 50, dengan rata-rata 32 nukleus yang umumnya besar, warna pucat dan bentuk tidak teratur. Ada dua bentuk skizon dalam sel limfosit yaitu makroskizon dan mikroskizon. Dalam uraian Young et al. tahun 1978 dikatakan bahwa makroskizon dari Theileria ~ tans berbeda dengan jenis (species) Theileria yang lain pada sapi, dimana makroskizon lebih besar dan berada pada sitoplasma sel induk semang sehingga inti sel induk semang kelihatan terdesak ke pinggir. Sitoplasma dari makroskizon mempunyai banyak vakuola dan warnanya kelihatan

19 6.. ~,'. -"4... ':,:.~,~:.( ::;: :1'~'. " A..~.,l.J f, ;~~:~~LS~~~' ".., ~:,.:. ~ :~~ ~. '- '" ~"":n m'... ~~-.~.~.. ::..~:... )...'.. ~. 1,',.~.. "';".. "...~~> ':~'..~~.: (.~:-~,~t< ;~~,"~t~7~~'~"'.~.... _.L ~. :.I,.,., "%.:.:at.-... ",..f-.f'_~'~ ;-";'I.J.~ Gambar 1. Sepasang Theileria dalam eritrosit : e, eritrosit; n, nukleus; nm, membran nukleus; er, reticulum; c, cytoplasma; pm, membran plasma; dan pb, polar body. (Soulsby, 1966) Gambar 2....:IIhil ("..':',-,. ". ~~~~ ~{~,.{ I..,..-: ~~, a'.r.! '...' "-. ". _~~. ;0".::: '~'.""',.'~ _... ~. ~'~..:. ~':':"- ~ ~.4'..._. j! 04: "'''-r"~. -,.'r,'-co:... i' ~,'... "',.', ~;1~~.',,/",;.;;~.::::'-'~',..?A ~.:.r~.... ~..', , ~... J "f~":.. ~",'~';<" ow - 7<:":: v~ ~..,..... ',.;,~:,.' ;,.. ",', '\"~-,,' "I-fir : '~,,,, -{!... 't.. ~ f)~ '1~".x.""..,!-, ',p. ' ~~... ~ :\ ~ \~~ t-;,~ Yl't"; < ~ :.: :~;.~ '.~ "...,-",,.';'" >'>..,~4,'" I' > ~~",., : IV f -r ~'\...o....,..--,... '" '. <' ii~;";..t:'-x,)"... ~ ~, 1...,.I '.; ,,If.. 4?-... ~ _...,,, I( :Y. ~.~~ ~.9.'~~ {,~ ". """; ",.r~ -\,,~,...::t... ~... ":rv~ '.~\_... f, ~ ;: fl.,.~~}.;,.!#!'".. 9 '.t:~.".,.,. ~;/;~ Theileria mutans dalam kelenjar ludah Amblyomma variegatum (Adam et al., 1971)

20 7 '- B c o E Gambar 3. Skizon dari Theileria mutans dalam sirkulasi sel mononuklear sapi (Young ~ al., 1978) A-F. skizon dari Theileria mutans. A. ma. kroskizon!. mutans, bentuk nukleus tidak teratur dan besar. B. dan C. Makroskizon bentuk besar dengan nukleus besar dan tidak teratur. D. Binuklear sel induk semang yang berisi makroskizon, menunjukkan adanya pembelahan sel induk semang dan makroskizqjl~~ioii(~ E. Mikroskizon dengan nukleus banyak d,' "..'" _<0""." h. eil. F. mikromerozoit yang lepas dari'

21 8 lebih gelap dari sel induk semang pada pewarnaan Giemsa. Makroskizon mempunyai banyak nukleus, besar dan bentuk tidak teratur. Sedang mikroskizon mempunyai lebih banyak nukleus dibanding makroskizon, dimana nukleus mikroskizon berjumlah 120 sampai 160 dan terletak pada sitoplasma sel induk semang. Merozoit terlihat pada usapan tenunan limfoid dan bent uk ini menyebabkan kerusakan sel induk semang yang kemudian merozoit ini akan menyerang sel eritrosit. B. SIKLUS HIDUP Siklus hidup Theileriidae melibatkan induk semang dan vektor yaitu caplak. Pada induk semang parasit berada dalam tenunan limfoid, sirkulasi limfosit dan pada eritrosit (Neitz dan Jansen, 1956). Secara alami cara penularan Theileria mutans hanya dapat dilakukan oleh caplak secara stage to stage. Partikel parasit yang infektif dari sapi yang terinfeksi ditularkan ke sapi yang lain melalui caplak, dimana parasit ini terdapat di dalam kelenjar ludah caplak. Perkembangan Theileria mutans pada sapi Belum banyak peneliti yang menerangkan secara baik siklu6 hidup dari Theileria mutans pada hewan mamalia. Menurut Saidu (1982) dikatakan bahwa siklus hidup parasit ini kemungkinan tidak berbeda dengan jenis Theileria lain.

22 9 Theileria mutans masuk dalam tubuh sapi melalui gigitan caplak diman air liurnya banyak mengandung sporozoit yang merupakan partikel infektif. Sporozoit ini akan mengikuti sistem limfe menuju limfonodus dan atau limpa yang akan tinggal dalam limfosit yang disebut tropozoit. Dalam beberapa hari akan membentuk badan yang berinti banyak disebut skizon yang merupakan bentuk pertama paras it yang ditemukan pada sapi dalam Limfonodi parotidea pada hari kesembilan sampai ke-22 setelah gigitan caplak. Kemudian skizon akan ditemukan pada limfonodus yang lain tiga sampai tujuh hari setelah terlihat pada Limfonodi parotidea (Neitz, 1957). Menurut Young'~ ale (1978), skizon pertama ditemukan pada limfonodi lokal pada hari kesembilan sampai hari ke-20 setelah gigitan caplak. Kemudian akan didapatkan pada limfonodus lain pada hari kesembilan atau lebih setelah terlihat pada limfonodus lokal. Skizon akan bertahan selama tiga kali mengikuti sirkulasi sel darah putih. Skizon mempunyai dua bentuk yaitu makroskizon dan mikroskizon. M~~roskizon pertama ditemukan pada limfonodus lokal pad a 10 sampai 13 hari setelah infeksi dan akan tetap bertahan selama satu sampai lima hari (De Vos dan Roos, 1981). Makroskizon akan mengalami proses skizogoni membentuk makromerozoit. Kemudian makromerozoit ini akan

23 10 menyerang sel limfosit baru dan selanjutnya akan siap memgadakan proses skizogoni lagi. Dalam beberapahari kemudian akan ditemukan badan yang di dalamnya terdapat inti bulat kecil yang berwarna merah yang disebut mikroskizon. Mikroskizon adalah perjalanan perkemba.ngan parasit yang akan menghasilkan mikromerozoit dengan cara pertunasan, dimana mikromerozoit ini selanjutnya akan menyerang eritrosit yang disebut piroplasma. Piroplasma dalam darah pertama diketahui pada hari ke-12 sampai hari ke-29 (De Vos dan Roos, 1981). Piroplasma ini nantinya akan dihisap oleh caplak dan menga1ami perubahan pada tubuh caplak. Perkembangan Theileria mutans dalam tubuh caplak Piroplasma masuk ke dalam tubuh caplak pada waktu caplak menghisap darah sapi. Piroplasma dalam darah ini mengandung gamet jantan dan gamet bet ina dalam lumen usus akan mengalami fase seksual pada hari kelima sampai hari ketujuh setelah cap1ak menghisap darah sapi (Warnecke ~ al. da1am Saidu, 1982). Setelah fase seksual akan menghasilkan zigot yang bisa diamati mu1ai hari ke-29 dalam saluran pencernaan cap1ak. Bentuk zigot inilah yang merupakan fase pertama da1am tubuh caplak (Young dan Leitch, 1980). Zigot kemudian menga1ami transformasi membentuk kinet, yang dapat diamati 30 hari sete1ah caplak menghi-

24 11 'YMPHOCYTES c;> Qj Troph<:>zoilc t () Sponnoiu: r TIC'" FI:.ED... Q, );, S?O~oi.!.c-1 /1.,: LIFE CYCLE OF THEILERIA BOVINE HOST G Schuonu :lil d IYmpb ciivii~ oeytc1 - HAEh10L YMJ'"H --,. tff:z:., MiCfOKbi.tont '*tijj;... ~ M~ro%Qlt.es n:lc:ucd.~ I I from lymphocyte ~C:':ID c ~O o ""_ 1 TICK FEED.. e ERYTHRocYTES 0 0 Cl) m ~ ej'ythrocyu:, ~ Gam~tocyu:s K.in~u:-s -.c;::> / SALlVA~Y GLAND TYPE /II AClNUS ~ TICK HOST TICK GUT Gambar 4. Siklus Hldup dari Theileria (Jensen, J.B., 1983)

25 , 12 sap darah sampai penuh dan tiga sampai empat hari setelah nimfa caplak menjadi dewasa.,kinet kemudian bergerak mengikuti aliran limfe yang dapat dilihat pada hari ke-34, dan selanjutnya kinet memasuki kelenjar ludah caplak yang disebut sporont. Menurut Riek (1966, dalam Soulsby, 1982), 24 sampai 48 jam setelah caplak penuh darah, parasit akan terlihat dalam sel epitel alat pencernaan. Setelah sepulub hari terlihat badan yang berbentuk bulat (sphe,rical bodies) dengan diameter 15 mikron, mempunyai sitoplasma homogen dan nukleus dengan diamater tiga mikron. Kemudian bentuk parasit ini terlihat pada kelenjar ludah nimfa setelab 24 jam menempel pada sapi. Dua sampai lima hari kemudian mengalami pembelahan ganda (multiple fission) yang menghasilkan suatu badan dengan ukuran 30 sampai 40 mikron yang disebut sporoblast dimana badan ini mengandung banyak bentuk parasit yang infektif yang disebut sporozoit. Sporoblast akan pecah ketika caplak menghisap darah sapi lagi dan sporozoit bersama air liur masuk ke tubub sapi. C. KLASIFlKASI Banyak nama yang diberikan pada Tbeileria mutans, disebabkan banyak peneliti mengklasifikasikan atau memasukkan Theileria mutans ini ke dalam beberapa genus diantaranya genus Piroplasma, genus Gonderia, genus Babesia

26 13 dan genus Nuttalia. Akhirnya menurut identifikasi skizon da1am tubuh sapi yang terinfeksi maka Theileria mutans dimasukkan ke dalam genus Theileria (Viljoen and Martinaglia, 1928 dan Theiler and Graf, 1928 da1am Saidu, 1982). Kemudian Levine (1971 dalam Saidu, 1982) mengklasifikasikan Theileriidae ini ke dalam klas Sporozoasida dikarenakan piroplasma ini tidak mengalami proses seksual. Namun ternyata proses seksual terjadi pada anggota dari Theile ~ ini, maka dimasukkan dalam ordo Piroplasmorina (Irvin dan Boarer, 1980). Menurut Soulsby (1982) dan Jensen (1983) Theileria mutans dimasukkan ke dalam Filum Klas Subklas Ordo Famili Genus Jenis. Apicomplexa Sporozoea Pir0I>lasmia : Piroplasmida Theileriidae Theileria : Theileria mutans D. BEWAN RENTAN DAN DAERAH PENYEBARAN Rewan-hewan rentan yang dapat terinfeksi oleh Theile- ~ mutans di Afrike adalah sapi dan kerbau, dimana penetapan diagnosa menggunakan Indirect Fluorescent Antibody Technique (Neitz, 1957). Menurut Irvin et al. (1981) mendefinisikan Theileria mutans adalah parasit pada kerbau

27 14 di Afrika (S. caffer) yang dapat menginfeksi sapi yang kemungkinan pada biri-biri bisa menyebabkan infeksi bersifat 1aten. Theileria mutans yang menginfeksi kerbau di Afrika dapat menu1ar ke sapi yang tingga1 bersama dengan kerbau tersebut dan dikatakan bahwa kerbau merupakan reservoir (Screuder ~ al., 1977 da1am Saidu 1982 ; Kimber and Young, 1977 dan Paling ~ al., 1981). Theileria mutans bisa menginfeksi biri-biri dan kambing, akan tetapi hanya sporozoit dan skizon yang bisa berkembang, sedang fase di dalam eritrosit tidak berkembang (Neitz, 1959 dalam Saidu, 1982). Ada perbedaan kerentanan bangsa-bangsa sapi terhadap infeksi Theileria mutans, dimana sapi dari luar mendapat infeksi cenderung lebih parah dari pada sapi asli daerah endemik (Saidu dalam Saidu, 1982). Kemudian menurut Robson dan Young (1975, da1am Paling et al., 1981) me1aporkan bahwa infeksi Theileria mutans yang berasa1 dari sapi ~ indicus 1ebih patogen menyerang ~ taurus dari pada ke sapi ~ indicus. Akan tetapi menurut peneliti Du Toit (1931, dalam Neitz, 1957) mengatakan bahwa semua sapi di Transvaal dan daerah lain di Afrika selatan merupakan tempat atau daerah Theileria mutans dimana sapi sapi terlihat seperti mendapat infeksi laten. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bangsa pada infeksi yang disebabkan oleh Theileria mutans.

28 Di Indonesia pertama kali ditemukan Theileria mutans pada seekor kerbau di daerah Bogor oleh De Blieck dan Kaligis pada tahun 1912 yang dikatakan menyebabkan penyakit Pseudo East Coast Fever. Kemudian dilaporkan adanya penularan Theileria mutans pada sapi perah di Sukabumi oleh Soekardono (1978). Selanjutnya dilaporkan bahwa Theileriasis di Indonesia pada saat ini telah terdapat di daerah-daerah seperti D.I. Aceh, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur dan juga dilaporkan di Jawa Timur. Theileria ~ pada ternak di Sumatra Barat dilaporkan pada tahun 1972, berdasar konfirmasi yang dilakukan FKH-IPB (1975) diduga penyebabnya adalah Theileria mutans. Penyebab theileriasis pada ruminansia yang telah diketahui di Indonesia adalah Theileria mutans. Menurut Ashadi (1984) jenis Theileria pada sapi potong dan sapi perah di Jawa Barat diduga bukan hanya jenis Theileria mutans saja, akan tetapi juga ditemukan jenis Theileria lain yaitu Theileria parva dan Theileria ~ lata. Menurut Ressang (1984) menyebutkan bahwa Pseudo East Coast Fever bersifat tenang dan menahun disebabkan oleh infeksi Theileria mutans. Selanjutnya penyebaran penyakit akibat infeksi Theileria mutans dikatakan terse bar secara luas di daerah-daerah panas (Afrika iklim sedang, 15

29 16 Eropa Selatan dan Asia antara lain Indonesia). Menurut Souls by (1982) daerah penyebaran Theileria mutans adalah Afrika, Asia, Australia dan Rusia. Adanya Theileria mutans yang menyerang sapi di U.S.A. diuraikan oleh Splitter (1950, dalam Kuttler and Craig, 1975). Sedang Theileria mutans yang ada di Australia pertama kali diidentifikasi pada tahun 1910 oleh Dr. Dodd (Seddon, 1966 dan Hungerford, 1970). Bruner dan Gillespie (1966) mengatakan bahwa Theileria mutans telah dikenal di Eropa bagian Selatan, Afrika, Asia, Australia dan Inggris. Menurut Saidu (1982) selain Afrika Theileria mutans dilaporkan ada di Australia, U.S.L., Asia, Turki, Kuba, Korea, Inggris dan Jerman bagian Selatan. E. CARA PENULARAN Theileria mutans dalam penelitian bisa ditularkan secara biologik dan secara mekanik. Penularan parasit ini dari hewan satu ke hewan lainnya secara alami dilakukan oleh caplak secara stage to stage. Banyak laporan yang mengatakan bahwa jenis cap~ak yang penting dalam proses pemindahan Theileria mutans dilakukan oleh Ambly ~. Amblyomma variegatum dikatakan penting dan efisien dalam memindahkan Theileria mutans. Uilenberg ~ ale (1976, dalam Saidu, 1982) berhasil memindahkan Theileria mutans enam sampai tujuh kali percobaan. Mereka telah

30 17 melakukan percobaan menularkan parasit ini dengan cara stage to stage, dari larva ke nimfa dan dari nimfa ke dewasa. Young ~ al. (1978) menggunakan Amblyomma variega ~ untuk mempelajari perjalanan Theileria.mutans dalam menginfeksi sapi. Mereka berhasil mengadakan empat kali pasase Theileria mutans pada caplak dan sapi, kemudian mereka berpendapat bahwa masihmendapatkan patogenitas dari Theileria mutans pada sapi dengan penularan melalui vektor Amblyomma variegatum. Patogenitas menurun setelah dilakukan pasase dalam darah sebanyak delapan kali. Perie et al, (1980, dalam Saidu, 1982) juga berhasil menularkan Theileria mutans di Nigeria dengan menggunakan Amblyomma variegetv~ Jenis Amblyomma lain yang dilaporkan dapat memindahkan Theileria mutans adalah Amblyomma cohaerens, Amblyom ~ hebraeum, Amblyomma gemma dan Amblyomma lepidum. Young et ale (1977) mengumpulkan larva Amblyomma cohae ~ dari kerbau di Mara Kenya dan kemudian berhasil menularkan Theileria mutans ke tubuh sapi jantan. De Vos dan Roos (1981) te1ah berhasi1 memindaht~n Theileria mutans dari anak sapi yang diambil limpanya ke sapi dewasa melalui vektor Amblyomma gemma dan transmisi terjadi dari larva ke fase nimfa. Amblyomma lepidum juga sebagai vektor dari Theileria mutans (Morzaria, pers. comm. dalam Irvin ~ al., 1981). Menurut Saidu (1982) jenis Amblyom-

31 18 ~ yang berperan dalam hal transmisi Theileria mutans dari hewan satu ke hewan lain, sedang Boophilus, Rhipicephalus, Haemaphysalis dan liyalomma dikatakan tidak terbukti dalam hal menularkan Theileria mutans. Menurut Brocklesby (1978, dalam Saidu, 1982) vektor dari famili Theileriidae yang diterima sepenuhnya adalah sebagai berikut : Rhipicephalus ~ sebagai vektor dari Theileria parva, Haemaphysalis ~ sebagai vektor dari Theileria sergenti, HYalomma ~ sebagai vektor dari Theileria annulata dan kemudian Amblyomma ~ sebagai vektor dari Theileria mutans. Pemindahan secara mekanik telah berhasil dilakukan oleh banyak peneliti, diantaranya secara intra vena, subcutan dan intra peritoneal dengan menggunakan darah yang infektif, dari organ limpa yang dibuat suspensi (Saidu, 1982), dan dari caplak yang infektif dibuat suspensi (Young ~ al., 1978). Theileria mutans masih tahan dalam darah bersitrat selama empat hari pada temperatur ruang dan tahan lebih dari tiga minggu dalam darah bersitrat pada suhu 0 0 C (Neitz, 1957). F. PATOGENITAS Infeksi Theileria mutans pada sapi umumnya' ringan dan tidak fatal. Mortalitas yang disebabkan oleh infeksi

32 Theileria mutans sangat kecil yaitu ± 1 % (Jackson ~ al, 1970 dan Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular II). De Kock ~ al, (1937 dalam Saidu, 1982) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa infeksi Theileria mutans umumnya mempunyai patogenitas rendah atau ringan pada sapi, akan tetapi Theileria mutans akan menjadi patogen bila sapi dalam keadaan stress, pada waktu transportasi atau bersama-sama dengan infeksi parasit darah yang lain. Wilson (1944, dalam Saidu, 1982) mengatakan bahwa Theileria mutans tidak dapat dibedakan denganjenis dari Theileria lain dalam morfologinya, akan tetapi bisa dibedakan dalam hal patogenitasnya, dimana Theileria mutans mempunyai patogenitas rin[ar nan hewan-hewan yang sembuh akan mendapat preimunitas dalam beberapa waktu, sedang Theileria parva menghasilkan imunitas yang steril. Irvin et al, (1972) melaporkan adanya kasus yang fatal akibat infeksi Theileria mutans di Narok Distrik Kenya. Mereka mengatakan parasit tersebut adalah Theileria mutans dimana parasit ini bisa ditularkan secara mekanik pada sapi yang telah mempunyai kekebalan terhadap Theileria parva yang kemudian sapi tersebut menjadi sakit. penularan Theileria mutans dengan cara penyuntikan menyebabkan parasit mengalami penurunan patogenitasnya, dan patogenitas akan pulih kembali bila ditularkan melalui vektor caplak (Young ~ al., 1978). De Kock et al, 19

33 20 (1937, da1am Saidu, 1982) dapat membuat infeksi yang berat pada sapi dengan ja1an memberikan atau infestasi cap1ak yang mengandung Theileria mutans da1am jumlah banyak. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh infestasi berat dari cap1ak menyebabkan banyak Tbeileria mutans yang masuk menginfeksi tubuh sapi, sehingga menyebabkan keadaan 1ebih parah dari infeksi Theileria mutans biasa. Sapi yang te- 1ah diambil limpanya kemudian diinfeksi dengan Theileria mutans yang patogen menyebabkan semua sapi mati terinfeksit sedangkan sapi-sapi yang tidak diambi1 1impanya semua dapat sembuh (Saidu, 1981 da1am Saidu, 1982). Perbedaan induk semang mungkin dapat menyebabkan perbedaau p~togenitasnya (Paling ~ a1., 1981), dimana mereka melihat adanya infeksi berat pada sapi Bos taurus yang diinfeksi dengan Theileria mutans, sedang sapi ~ indicus hanya mendapat infeksi yang ringan saja. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan dari turunan atau bisa disebabkan caplak cenderung menyerang 1ebih banyak pada sapi Bos taurus, atau kemungkinan adanya banyak galur (strain) pada jenis Theileria mutans dan perbedaan galur ini mungkin akan menyebabkan infeksi yang berbeda pula. Patogenitas Theileria mutans dapat dihubungkan dengan kecepatan memperbanyak diri pada tubuh vektor, kecepatan menginfeksi pada tubuh induk semang dan kerentanan dari tubuh induk semang (Saidu, 1982).

34 21 G. GEJALA KLINIK Masa inkuba.si penyakit akibat infeksi Theileria mutans melalui gigitan nimfa AmblYomma variegatum adalah tiga sampai tujuh hari setelah gigitan (Young, 1977). Menurut Saidu(1981, dalam Saidu, 1982) masa inkubasi pada sapi yang dilakukan pengambilan limpanya (splenektomi) adalah empat sampai tujuh hari dan sembilan sampai 16 hari pada sapi-sapi yang tidak dilakukan splenektomi. Masa inkubasi pada sapi yang ditulari Theileria mutans melalui caplak menurut Neitz (1959, dalam Saidu, 1982) terjadi 10 sampai 20 hari setelah gigitan caplak, sedang menurut Paling et al. (1981) mas a inkubasi terjadi 14 hari setelah transmisi oleh caplak. Menurut buku Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan menular II, dikatakan bahwa masa inkubasi infeksi Theileria mutans melalui gigitan caplak adalah 10 sampai 25 hari. Pada infeksi Theileria mutans biasanya tidak terlihat gejala klinik yang jelas, yang terlihat adalah demam ringan kebengkakan kelenjar limfe, sedikit anemia dan kadang-kadang ada ikterus dan produksi turun. Young ~ al. (1977) melaporkan bahwa sapi yang diinfestasi oleh caplak Amblyomma cohaerens memperlihatkan pembengkakan Limfonodus parotidea pada hari ketujuh sete. lah infestasi, hyperplasia dari sel-sel limfoid dalam limfonodus pada hari kesembilan setelah infestasi, sedang

35 22 makroskizon terlihat 12 hari setelah infestasi dan piroplasma dalam eritrosit pertama terlihat 61 hari setelah infestasi. Menurut De Vos dan Roos (1981), makroskizon pertama terlihat 10 sampai 13 hari setelah infestasi dengan Amblyomma hebraeum, sedang piroplasma dalam eritrosit terlihat 12 sampai 29 hari setelah infestasi. Menurut Young et al. (1978) makroskizon pertama terlihat delapan sampai 20 hari setelah infestasi oleh caplak Ambly ~ variegatum, piroplasma dalam eritrosit terlihat 12 sampai 25 hari setelah infestasi, dimana 12 hari oleh caplak yang dewasa. Dikatakan bahwa demam biasanya bersamaan dengan adanya skizon,. dan hiperplasia dari limfonodus merupakan tanda adanya skizon. Sedangkan inokulasi dengan suspensi caplak yang terinfeksi Theileria mutans, piroplasma dalam darah terlihat 11 hari setelah inokulasi. Infeksi oleh Theileria mutans bersifat akut dan kronik. Tanda pertama pada infeksi akut adalah demam tingg1 sampai 4l.6 c dan bertahan dua sampai delapan hari. Kemudian anoreksia, lemah dan malas, limfonodus membengkak, salivasi, lakrimasi, amat lemah, diare, penurunan berat badan, berbaring dan pada kasus yang berat hewan cenderung akan mati. Tanda-tanda lainnya adalah respirasi meningkat, atoni rumen, warna urine coklat gelap, produksi susu turun, tremor muskularis pada daerah bahu, anemia

36 23 dan ikterus, selanjutnya hewan akan berangsur-angsur mulai sembuh atau bisa menyebabkan kematian (De Kock, 1937 dan Neitz, dalam Saidu, 1982). H. KEKEBALAN Sapi yang terinfeksi oleh Theileria mutans umumnya ringan dan tidak fatal, kemudian hewan yang terinfeksi akan memperlihatkan gejala klinik atau bisa tidak ter1ihat dan se1anjutnya hewan yang sembuh akan mendapatkan preimunitas yang tidak tahan lama atau sementara. Imunitas yang ditimbu1kan oleh fase parasit dalam eritrosit berbeda dengan imunitas yang ditimbulkan oleh infeksi pada fase skizon. Keadaa.n ini terlihat dengan 1ebih mudahnya hewan terinfeksi 1agi wa1aupun telah mendapat imunitas dari fase paras it da1am eritrosit (Neitz, 1957). Di 1apang sebagian besar sapi mempunyai imunitas dari fase parasit da1am eritrosit dan dari fase skizon. Young ~ al, (1978) mengatakan bahwa dengan adanya skizon menunjukkan adanya pemindahan atau penu1aran Theileria mutans melalui caplak. Transmisi secara buatan tidak menunjukkan adanya kekeba1an pada sapi, muncu1nya kekebalan ini ternyata bergantung pada adanya skizon. Imunitas atau kekebalan dari Theileria mutans bisa dipengaruhi dengan adanya pengambi1an 1impa. Imunitas ini juga bisa dipengaruhi atau dirusak dengan datangnya

37 24 infeksi penyakit Babesiosis, Rinderpest dan penyakit infeksius lain. Dengan rusaknya kekebalan terhadap Theileria mutans hewan akan rent an terhadap parasit ini dan bersama dengan penyakit infeksius tersebut akan memperparah keadaan penyakit (Neit~, 1957). Morzaria ~ ale (1977) mengatakan bahwa kekebalan terhadap infeksi Theileria mutans berkembang mulai empat sampai 11 minggu setelah hinggapnya caplak. Kekebalan kemudian berkurang mulai 11 minggu sampai 22 bulan setelah hinggapnya caplak. _._- Bewan-hewan yang telah sembuh dari infeksi Theileria mutans secara alam masih mudah terpengaruh dengan infeksi dari jenis Theileria lain (Neitz, 1957), sehingga dikatakan bahwa tidak terjadi kekebalan silang (cross immunity) antara Theileria mutans dengan jenis.theileria lain. I. DIAGNOSA Pertama yang perlu dilak~~an dalam mendiagnosa penyakit parasit ini adalah dengan membuat preparat usap darah tipis, difiksasi dengan metanol absolut dan diwarnai dengan Giemsa, kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Dalam usapan darah bentuk-bentuk yang dapat diidentifikasi adalah piroplasma dalam eritrosit dan bentuk skizon dalam sirkulasi limfosit. Kemudian juga bisa dibuat preparat usap dari biopsi limfonodus, pungsi limpa atau limfonodus dan usapan buffy coat unt~~ melihat ski-

38 zon pada fase awal. Menurut Young ~ al. (1978) mengatakan bahwa makroskizon dari Theileria mutans dari Afrika Timur mempunyai bentuk yang berbeda dari jenis Theileria yang lain. Mikroskizon dari Theileria mutans berbeda dengan jenis lain yaitu adanya inti yang lebih besar. Menurut Brocklesby (1978, dalam Saidu, 1982) mengatakan" bahwa dengan melihat tanda-tanda klinik yang ditimbulkan, menemukan piroplasma dalam usapan darah dan mengidentifikasi vektor caplak yang ada pada tubuh hewan adalah jenis dari Amblyomma, maka sudah menjadi dasar dari diagnosa theileriosis tersebut disebabkan oleh Theileria mutans. Schinder dan Mehlitz (1969, dalam Saidu, 1982) mendeteksi antibodi dari Theileria mutans dengan menggunakan Complemen Fixation Test (CFT), dan dikatakan bahwa bila terjadi infeksi campuran dengan Theileria parva maka uji ini akan menunjukkan titer antibodi yang tinggi. Ross dan Lohr (1972) menggunakan Capillary Tube Agglutination Test untuk mendeteksi dan mentitrasi antibodi dari Theileria mutans pada serum sapi. Metoda yang lebih sensitif dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya adalah dengan menggunakan Indirect Fluorescent Antibody Technique. Metoda ini pertama kali dipergunakan oleh Lohr dan Ross (1969, dalam Saidu. 1982) untuk mendiagnosa theileriosis pada sapi. Kemudian meto- 25

39 da ini diperbaiki oleh Burridge (1971) dan sekarang metoda ini dipergunakan untuk mengidentifikasi maupun menyelesaikan penelitian serologik dari Theileria mutans oleh para peneliti di luar negeri. Dan metoda ini juga yang dipakai untuk membedakan Theileria mutans galur (strain) Afrika dan Theileria ~ dari Australia, Inggris dan Jepang. J. DIFERENSIAL DIAGNOSA Infeksi murni Theileria mutans pada sapi secara klinik sulit dibedakan dengan penyakit lain seperti theileriosis yang disebabkan oleh Theileria parva dan Theileria annulata, penyakit anaplasmosis dan penyakit babesiosis. Untuk membedakan dengan theileriosis lain dapat dilihat dari morfologi dan ukuran parasit, dari vektor yang menempel pada tubuh sapi akan bisa dipakai pedoman, seperti yang diuraikan oleh Brocklesby (1978) yaitu Ehicephalus ~ merupakan vektor dari Theileria parva, ~ lomma ~ sebagai vektor dari Theileria annulata, dan Amblyomma ~ merupakan vektor dari Theileria mutans. Kemudian bisa dilihat dari morbiditas dan mortalitasnya. Menurut Irvin et ale (1972), mengatakan bahwa untuk membedakan penyebab theileriosis bisa mempergunakan uji serologik, transmisi secara mekanik, Xeno Diagnosis dan Indirect Fluorescet Antibody Technique. 26

40 27 Infeksi Theileria mutans dapat dibedakan dengan penyakit anaplasmosis dengan melihat jenis Anaplasma pada usapan darah tipis, dilihat dari gejala penyakit anaplasmosis lebih parah, mortalitas anaplasmosis lebih tinggi dan dapat dilihat dari vektor penyakit. Untuk lebih tepatnya digunakan metoda Fluorescent Antibody Technique (Madden, 1962). Babesiosis atau Red Fever bisa dibedakan dari infeksi oleh Theileria mutans dengan melihat pada usapan darah tipis, juga dapat dilihat dari gejala penyakit yang ditimbulkan terutama theileriosis akibat infeksi oleh ~ leria mutans biasanya tidak disertai dengan hemoglobinuria. Kemudian untuk lebih meyakinkan dengan menggunakan Fluorescent Antibody Technique (Goldman ~ al., 1972). K. PATOLOGI DAN HISTOLOGI Secara patologi klinik yang penting dalam infeksi Theileria mutans adalah anemia dengan PCV (Packed Cell Volume),turun, konsentrasi Rb turun (Irvin et al., 1972 dan Paling ~ al., 1981). Konsentrasi Hb dan PCV menurun lebih jauh pada sapi yang diambil limpanya. Jumlah eritrosit juga menurun setelah adanya infeksi, terlihat nilai eritrosit dari ± 9 x 10 6 per ml menjadi 1.5 x 10 6 per ml pada sapi yang dilakukan splenektomi. Sedangkan sapi yang tidak diambil limpanya jumlah eritrosit ± 9.6 x 10 6 per ml menjadi ± 3.3 x 10 6 per mi. Penu-

41 28 runan pev, konsentrasi Hb dan jumlah eritrosit pada permulaan terlihat setelah bertambahnya piroplasma. Gambaran darah pada sapi menunjukkan poikilositosis, anisositosis, polikhromasia, basofilik granulasi dan makrositosis (Saidu, 1982). De Kock et al. (1937, dalam Saidu, 1982) melaporkan adanya limfositosis dan netrofilia. Mereka cenderung menghubungkan dengan dermatitis akibat gigitan caplak se Cara eksperimen pada telinga sapi. Permulaan leukositosis dihubungkan dengan adanya skizon yang disebabkan oleh infestasi caplak dan dapat disebabkan respon respon dari induk semang untuk membinasakan skizon. Neutrofilia dikatakan sebagai akibat dermatitis yang disebabkan oleh bakteri setelah gigitan caplak. Kejadian kematian akibat infeksi Theileria mutans adalah tidak umum, akan tetapi bila terjadi kematian pada sapi seperti yang dilaporkan oleh Saidu (1981, dalam Irvin et al., 1981), hasil inokulasi Theileria mutans pada sapi yang dilakukan splenektomi di Nigeria memperlihatkan kekuningan umum, limfonodus membesar dan oedematus serta terlihat gastroenteritis. Sedangkan secara histopatologi terlihat infiltrasi sel mononuklear pada periglomerular dan jaringan interstitial ginjal, infiltrasi sel mononuklear pada perivaskular dan perinduduktal dalam sistim portal pada hati.

42 29 Manurut De Kock at a1. (1937. Neitz, 1959 dan Saidu, 1981 da1am Saidu, 1982) me1aporkan adanya kelainan pada sapi yang terinfeksi Theileria mutans seperti adanya pembesaran dan oedematus pada 1imfonodus. Hati lunak dan rapuh, membesar dan warna coklat kekuningan, kadang-kadang terdapat petechiae dan infark pada permukaannya. Fokal nekrotik pada permukaan ginjal dengan lemak disekitar ginjal atropi dan berbentuk sereus terutama lemak bagian pelvis. Kemudian bisa terlihat oedema paru-paru, trakhea dan bronkhi terdapat busa, petechiae dan hemoragi pada membran sereus dan mukeus. Adanya petechiae perikardium dan endokardium, ulcera pada abomasum, mukeus meningkat pada kolon dan rektum. L. PENGOBATAN DAN PENGENDALIAN Umumnya kasus penyakit yang disebabkan oleh infeksi Theileria mutans adalah ringan dan hewan-hewan secara berangsur-angsur dapat sembuh tanpa diberikan pengobatan. Walaupun demikian kasus infeksi paras it ini dapat menyebabkan kematian, penurunan berat badan, penurunan produksi susu, kerugian tenaga kerja karena hewan lemah dan malas, yang sedikit banyak akan merugikan peternak, apalagi bila terjadi kasus yang berat. Da1am keadaan demikian pengobatan akan diper1ukan, oleh karena itu bisa dipergunakan Trypan blue, Phenamidine isothionat, prepa.rat Quinoline, campuran Trypaflavin dengan Acriflavin dan Sulfo-

43 namid. Akantetapi obat tersebut tidak spesifik terhadap parasit secara endoglobular. Obat yang dianggap bekerja sp~sifik untuk Theileria mutans pada fase dalam eritrosit adalah derivat dari 8-amino quinoline yaitu Pamaquine, Plasmaquine dan Pentaquine dengan dosis empat kali berturut-turut 0.5 mg per kg berat badan secara intra vena atau intra muskular dengan interval empat sampai delapan jam. Kemuciian paras it akan hilang dari darah peri fer kira-kira empat minggu. Efek obat ini terhadap paras it adalah merusak sitoplasma dari parasit (Saidu, 1982). Pada kasus yang patogen pada infeksi Theileria mutans maka pengobatan dapat menggunakan obat-obatan yang dipakai untuk mengobati jenis Theileria lain, misalnya dengan menggunakan Halofuginone 1-2 mg per kg berat badan secara oral dengan dosis tunggal, yang biasanya obat ini dipakai pada sapi yang terinfeksi Theileria parva (Uilenberg et al., 1980 dalam Saidu, 1982) Theileria mutans adalah parasit yang cara penularan nya dilakukan oleh caplak, oleh karena itu pencegahan terhadap infeksi parasit ini sangat bergantung pada keberhasila pengawasan dan kontrol terhadap vektor caplak. Dalam mengadakan kontrol terhadap vektor cap~ak bisa menggunakan akarisida. Dalam penggunaan akarisida hendaknya diperhatikan pemilihan akarisida dan cara aplikasi yang 30

44 31 tepat, dan perlu diperhatikan adanya caplak yang resisten terhadap akarisida tertentu. Kontrol terhadap pergerakan sapi dari suatu daerah ke daerah lain atau dari suatu negara ke negara lain, oleh karena itu diperlukan karantina yang ketat dan teliti. Perlunya pengetahuan mengenai ekologi caplak dan kemungkinan adanya hewan lain atau hewan liar yang merupakan induk semang dari caplak tersebut (caplak yang mempunyai induk semang lebih dari satu). Kontrol terhadap paras it kemungkinan bisa dikembangkan imunisasi atau vaksinasi terhadap hewan-hewan yang rentan, dan kemoterapeutika yang bisa membunuh parasit dalam semua fase.

45 , III. KESIMPULAN.< Theileria mutans pada sapi mempunyai bentuk-bentuk yang dapat dilihat dalam eritrosit yang disebut piroplasma dan dalam limfosit disebut 'Koch bodies schizont'. Bentuk dalam eritrosit mempunyai ukuran dan bentuk berbeda-beda. Macam-macam bentuk dalam eritrosit adalah bentuk batang, bentuk bulat, bentuk koma, bentuk oval, bentuk seperti Anaplasma dan bentuk buah pir. Bentuk dalam limfosit dari limfonodus, limpa dan dari sirkulasi darah putih berupa skizon, dimana ada dua tipe yaitu makroskizon dan mikroskizon. Penularan Theileria mutans buatan bisa dilakukan Secara biologik dan secara mekanik. Penularan secara alam dilakukan oleh vektor caplak dimana yang dianggap penting dan efisien dalam proses penularan ini adalah jenis dari AmblYomma diantaranya adalah Amblyomma cohaerens, Ambly ~ gemma, Amblyomma hebraeum, Amblyomma lepidum dan Amblyomma variegatum. Masa inkubasi oleh infeksi Theileria mutans sangat bervariasi yaitu berkisar antara tiga sampai 25 hari setelah gigitan caplak. Gejala klinik bisa terlihat atau tidak ada gejala klinik yang jelas. Kematian yang diakibatkan oleh infeksi parasit ini berkisar satu persen. Kekebalan yang ditimbulkan setelah infeksi Theileria mutans adalah kekebalan yang tidak steril dan dikatakan

46 33 sebagai preimunitas. Sifat preimunitas ini tidak tahan lama dan akan dirusak oleh adanya pengambilan limpa dan datangnya penyakit infeksius. Hewan yang sembuh dari infeksi jenis Theileria lain dan keadaan ini dikatakan tidak ada kekebalan silang (cross immunity). Penyakit theilriosis yang disebabkan Theileria ~ tans sulit dibedakan dengan penyakit infeksi darah lain, sehingga dalam hal ini untuk mendiagnosa dengan tepat digunakan metoda Indirect Fluorescent Antibody Technique. Infeksi Theileria mutans umumnya ringan dan tidak fatal, akan tetapi pernah ditemukan kasus fatal yang diakibatkan paras it ini. Dalam keadaan kasus yang dianggap berat bisa digunakan Pamaquine, plasmaquine atau Pentaquine dengan dosis empat kali berturut-turut 0.5 mg per kg berat badan secara intra vena atau intra muskular dengan interval empat sampai delapan jam. Pengendalian penyakit ini sangat tergantung pada keberhasilan pengawasan atau kontrol terhadap vektor caplake Kontrol terhadap pergerakan sapi dimana diperlukan karantina yang ketat dan teliti, pengetahuan tentang ekologi caplak dan kontrol biologi caplak serta akarisida yang tepat.

47 DAFl'AR PUSTAKA Adam, K.M.G., J. Paul and V. Zaman Medical and Veterinary Protozoology. Churchill Livingstone, London. Ashadi, G Penentuan jenis parasit protozoa darah yang banyak mendatangkan kerugian pada ternak sapi potong dan perah di Jawa Barat. Laporan Pene1itian. Faku1tas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. 54 pp.. Bruner, D.W. and J.B. Gillespie Bagan's Infectious Diseases.of Domestic Animals. 6th ed.- Comstock Publishing Associates. Ithaca and London. p Burridge, M.J Application of the Indirect fluorescent antibody test in experimental. East Coast fever (Theileria parva infection of cattle). Res. Vet. Sci. 12: De Vos, A.J. and J.A. Roos Observations on the transmission of Theileria mutans in Soutt If-ica. Onderstepoort J. Vet. Res. 48: 1-6. Direktorat Kesehatan Bewan Pedoman Pengenda1ian Penyakit Hewan Menu1ar, ji1id II. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. Direktorat Kesehatan Bewan Laporan Tahunan Basil Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia Periode Direktorat Jendera1 Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. Goldman, M E. Pipano and A.S. Rosenberg Fluorescent Antibody Test for Babesia bigemina and_babe ~ bergera. Res. Vet. Sci. 13: Hungerford, T.G Disease of Livestock. 7th ed. Angus and Robertson. _ Sidney, London. Melbourne. Singapore. p Irvin, A.D., C.G.D. Brown, M.J. Burridge, M.P. Cunningham, A.J. _Musoke, -M.A. Pierce. R.E. Purnell and D.E. Radley A pathogenic Theileriae syndrome of cattle in the Narok District of Kenya. I. Transmission studies. Trop. _Anim. Hlth. Prod. 4:

48 Irv~n, A.D., M.P. Cunningham, A.S. Young Advances in the control of Theileriosis. Martinus Nijhoff Publishers. The Hague, Boston, London. ---, and C.D.H. Boarer Some implications of sexual cycle in Theileria. Parasitology. 80: Jackson, G.J., R. Herman and I. Singer Immunity to parasitic Animals Vol. 2 Appleton century Crofts. New York. Jensen, J.B In vitro cultivation of protozoan parasites. CRC press. Florida. p Kimber, C.D. and A.S. Young Serological studies on strains of Theileria mutans isolated in East Africa using the indirect fluorescent antibody technique. Annals Trop. Med. Parasite 71: Kuttler, K.L. and T.M. Craig Isolation of a bovine Theileria. Am. J. Vet. Res. 36: Levine, N.D. mals and 412 pp Protozoa Parasitic of Domestic Aniof man. Burgess Publishing Co. Minnesota. Madden, P.A Structure of Anaplasma marginale observed by using fluorescent antibody technique. Am. J. Vet. Res. 23: Morzaria, S.P., A.S. Young, C.D. Kimber and D.W. Brocklesby The serological relationship of a British Theileria with other Theileria species using the indirect fluorescent antibody test. Res. Vet. Sci. 22: Neitz, W.O Theileriosis, Gonderiosis and Cytauxzoonosis: A. Review. Onderstepoort J. Vet. Res. 27: ~~--~=, and B.C. Jansen A discussion on the classification of the Theileriidae. Onderstepoort J. Vet. Res. 27: Paling, R.W., J.G. Grootenhuis and A.B. Young Isolation.of Theileria mutans from Kenyan buffalo, and transmission by Amblyomma gemma. Vet. Parasite 8:

49 Ressang, A.A Patologi khusus Veteriner. Ed. kedua. Denpasar, Bali. Ross, J.P.J. and K.F. Lohr A capillary tube agglutination test for the detection and titration of Theileria mutans antibodies in bovine serum. Res. Ver:- Sci. 13: Saidu, S.N.A Bovine theileriosis due to Theileria mutans: A review. The Veterinary Bulletin. 53: Seddon, H.R Second ed. Revised by H.E. Albiston Diseases of domestic animals in Australia. Protozoan and Virus Diseases. Commonwealth of Australia Department of Health. Soekardono, S Penularan Theileria mutans pada sapi perah di Sukabumi. Media vet. nomor 3 tahun ke III. FKH - IPB. p Soulsby, E.J.L. veterinary ,;-~ zoa of domesticated nguage Book Society Biology of Parasites. Emphasis on parasites. Academic press. London. p. Helminths, Arthropods and Protoanimals, 7th ed. The English Laand Bailliere, Tindall. London. Wilde, J.K.H The control of theileriosis. In "Theileriosis, Report of workshop held in Nairobi, Kenya", edited by J.B. Henson and M. Camphell, IDRC. Ottawa. p Young, A.S. and B.L. Leitch A probable relationship between the development of Theileria species and the ecdysis of their tick host. J. Parasit 66: , M.J. Burridge and R.C. Payne Trans ~7 -s-s7i-on of a Theileria species to cattle by the ixodid tick, Amblyomma cohaerens (Donitz, 1909). Trop. Anim. Hlth. Prod. 9: ~~--~, R.E. Purnell, R.C. Payne, C.G.D. Brown and G.K. Kanhai Studies on the transmission and course of infectio of a Kenyan strain of Theileria mutans. Parasitology. 76:

THEII..ERIOSIS PADA SAPI AKIBAT INFEKSI THEILERIA MUTANS

THEII..ERIOSIS PADA SAPI AKIBAT INFEKSI THEILERIA MUTANS ~.. Dan kami bersyukur kepada Tuhan Yang telah melebarkan gerbang tua ini Dan kami bersyukur pada ibu bapa. Yang sepanjang malam Selalu berdoa tulus dan terbungkuk membiayai kami Dorongan kasih sepenuh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Persentase Parasit Darah Hasil pengamatan preparat ulas darah pada enam ekor kuda yang berada di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR FKH IPB) dapat dilihat sebagai berikut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Parasit

TINJAUAN PUSTAKA. Parasit 4 Parasit TINJAUAN PUSTAKA Parasit dapat dibedakan menjadi dua yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidupnya menumpang di bagian luar dari tempatnya bergantung atau pada permukaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi Berdasarkan hasil identifikasi preparat ulas darah anjing ras Doberman dan Labrador Retriever yang berasal dari kepolisian Kelapa Dua Depok, ditemukan

Lebih terperinci

TRYPANOSOMIASIS DAN THEILERIOSIS DI KENYA (Suatu tinjauan dari hasil kunjungan ke Kenya, 1983)

TRYPANOSOMIASIS DAN THEILERIOSIS DI KENYA (Suatu tinjauan dari hasil kunjungan ke Kenya, 1983) TRYPANOSOMIASIS DAN THEILERIOSIS DI KENYA (Suatu tinjauan dari hasil kunjungan ke Kenya, 1983) Ismu Prastyawati Balai Penelitian Penyakit Hewan, Bogor PENDAHULUAN Tulisan ini merupakan hasil kunjungan

Lebih terperinci

KOKSIDIOSIS PAD A SAPI YANG DlSEBABKAN EIMERIA ZUERNII (RIVOLTA, 1887)

KOKSIDIOSIS PAD A SAPI YANG DlSEBABKAN EIMERIA ZUERNII (RIVOLTA, 1887) KOKSIDIOSIS PAD A SAPI YANG DlSEBABKAN EIMERIA ZUERNII (RIVOLTA, 1887) SKRIPSI Ole h DESY SUGESTI B. 190046 FAKUL TAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1 988 RINGKASAN Koksidia merupakan paras

Lebih terperinci

PARASIT DARAH PADA TERNAK SAPI dan KAMBING DI LIMA KECAMATAN, KOTA JAMBI ANGGA YUKA ALTA NASUTION

PARASIT DARAH PADA TERNAK SAPI dan KAMBING DI LIMA KECAMATAN, KOTA JAMBI ANGGA YUKA ALTA NASUTION PARASIT DARAH PADA TERNAK SAPI dan KAMBING DI LIMA KECAMATAN, KOTA JAMBI ANGGA YUKA ALTA NASUTION FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 PARASIT DARAH PADA TERNAK SAPI dan KAMBING DI LIMA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Blastocystis hominis 2.1.1 Epidemiologi Blastocystis hominis merupakan protozoa yang sering ditemukan di sampel feses manusia, baik pada pasien yang simtomatik maupun pasien

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Kuda (Dokumentasi)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Kuda (Dokumentasi) TINJAUAN PUSTAKA Kuda Gambar 1 Kuda (Dokumentasi) Kuda (Equus caballus) masih satu famili dengan keledai dan zebra, berjalan menggunakan kuku, memiliki sistem pencernaan monogastrik, dan memiliki sistem

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIHAN (SAP)

SATUAN ACARA PERKULIHAN (SAP) 1.Nama Mata Kuliah Kode Mata Kuliah Jumlah SKS 2. Waktu Pertemuan Pertemuan minggu ke SATUAN ACARA PERKULIHAN (SAP) Parasitologi Veteriner KHP-225 3-1-2 2 x 50 menit 1 3. Capaian Pembelajaran Memahami

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

AKABANE A. PENDAHULUAN

AKABANE A. PENDAHULUAN AKABANE Sinonim : Arthrogryposis Hydranencephaly A. PENDAHULUAN Akabane adalah penyakit menular non contagious yang disebabkan oleh virus dan ditandai dengan adanya Arthrogryposis (AG) disertai atau tanpa

Lebih terperinci

Upaya Peningkatan Kekebalan Broiler terhadap Penyakit Koksidiosis melalui Infeksi Simultan Ookista

Upaya Peningkatan Kekebalan Broiler terhadap Penyakit Koksidiosis melalui Infeksi Simultan Ookista Upaya Peningkatan Kekebalan Broiler terhadap Penyakit Koksidiosis melalui Infeksi Simultan Ookista (Oocyst Simultaneous Infection to Increase Broiler Immunity from Coccidiosis) S.J.A. Setyawati dan Endro

Lebih terperinci

... sesungguhnya segala sesuatu yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat rnenciptakan

... sesungguhnya segala sesuatu yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat rnenciptakan ... sesungguhnya segala sesuatu yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat rnenciptakan seek~r lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk rnenciptakannya. Dan jika lalat itu rnerarnpas sesuatu dari

Lebih terperinci

PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO INFEKSI PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG DI KECAMATAN CIKALONG, TASIKMALAYA HERY NUR ICHSAN

PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO INFEKSI PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG DI KECAMATAN CIKALONG, TASIKMALAYA HERY NUR ICHSAN PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO INFEKSI PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG DI KECAMATAN CIKALONG, TASIKMALAYA HERY NUR ICHSAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN

Lebih terperinci

DEFINISI KASUS MALARIA

DEFINISI KASUS MALARIA DEFINISI KASUS MALARIA Definisi kasus adalah seperangkat criteria untuk menentukan apakah seseorang harus dapat diklasifikasikan sakit atau tidak. Kriteria klinis dibatasi oleh waktu, tempat, dan orang.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi

Lebih terperinci

MEKANISME PATOGENESIS PADA BABESIA CANIS. Vidya Irawan, DVM, M.Sc 1

MEKANISME PATOGENESIS PADA BABESIA CANIS. Vidya Irawan, DVM, M.Sc 1 MEKANISME PATOGENESIS PADA BABESIA CANIS Vidya Irawan, DVM, M.Sc 1 1 Post Graduate Student of Veterinary Science, Faculty of Veterinary Medicine, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. Babesiosis

Lebih terperinci

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVI, No. 84, Juni 2014 ISSN : X

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVI, No. 84, Juni 2014 ISSN : X TRYPANOSOMIASIS PADA SAPI BALI DI BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN TERNAK (Trypanosomiasis in Bali Cattle Seedlings and Live Stock Reaserch Center) NKH Saraswati, Ketut Mastra, Made Sutawijaya,

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDING CENTER SOBANGAN VILLAGE, DISTRICT MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, pemeliharaan stamina tubuh, percepatan regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah

Lebih terperinci

YANG DlTIMBULKANNYA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh SUTIKNQ B

YANG DlTIMBULKANNYA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh SUTIKNQ B EKTOPARASIT PADA KUDA YANG DlTIMBULKANNYA DAN MASALAH Oleh SUTIKNQ B. 160149 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1986 RINGKASAN SUTIKNO. Ektoparasit pada kuda dan masalah yang ditimbulkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan transfusi darah adalah upaya kesehatan berupa penggunaan darah bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan. Sebelum dilakukan transfusi darah

Lebih terperinci

... "". t'..' KEMUNGKINAN Pasteurella multocida SEBAGAI ZOONOSIS B NASIP BIN ELI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR.

... . t'..' KEMUNGKINAN Pasteurella multocida SEBAGAI ZOONOSIS B NASIP BIN ELI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. ',',~:' c '\"~l, ;, ~,,:,~~'".,1'."'... ;,;...~~'.t... J, ".:rr ",.,t;,:..'tr~,'".~"... :~... ;!.t:~* ( ' ~ \ KEMUNGKINAN Pasteurella multocida SEBAGAI ZOONOSIS Oleh NASIP BIN ELI Sarjana Kedokteran Hewan

Lebih terperinci

Rickettsia prowazekii

Rickettsia prowazekii Rickettsia prowazekii Nama : Eva Kristina NIM : 078114026 Fakultas Farmasi Sanata Dharma Abstrak Rickettsia prowazekii adalah bakteri kecil yang merupakan parasit intraseluler obligat dan ditularkan ke

Lebih terperinci

INFEKSI PARASIT DARAH PADA SAPI PERAH DI KAWASAN USAHA TERNAK (KUNAK) CIBUNGBULANG, KABUPATEN BOGOR MURSALIM KALMAN

INFEKSI PARASIT DARAH PADA SAPI PERAH DI KAWASAN USAHA TERNAK (KUNAK) CIBUNGBULANG, KABUPATEN BOGOR MURSALIM KALMAN INFEKSI PARASIT DARAH PADA SAPI PERAH DI KAWASAN USAHA TERNAK (KUNAK) CIBUNGBULANG, KABUPATEN BOGOR MURSALIM KALMAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Lebih terperinci

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl DIAGNOSA PENYAKIT BRUCELLOSIS PADA SAP] DENGAN TEKNIK UJI PENGIKATAN KOMPLEMEN Yusuf Mukmin Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata 30, Bogor 11614 PENDAHULUAN Brucellosis adalah penyakit bakterial

Lebih terperinci

LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO KAJIAN PENYAKIT PROTOZOA DARAH PADA SAPI DI KABUPATEN GORONTALO 1 Tri Ananda Erwin Nugroho ababil.nugroho@gmail.com 2 Rinaldi Usman rinaldyusman01@yahoo.com 3 Risman A. Kasim risman.kasim@yahoo.com 4 Muhammad

Lebih terperinci

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING 1 I Gst Ayu Agung Suartini(38) FKH - Universitas Udayana E-mail: gaa.suartini@gmail.com Tlf : 081282797188 Deskripsi IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO

Lebih terperinci

Latar Belakang Penyakit Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa

Latar Belakang Penyakit Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa Latar Belakang Penyakit Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa parasit yang merupakan golongan Plasmodium, dimana proses penularannya melalui gigitan nyamuk Anopheles. Protozoa parasit

Lebih terperinci

RINGKASAN PENDAHULUAN

RINGKASAN PENDAHULUAN Ternu Teknis Fungsional Non Peneliti 200/ PENERAPAN UJI NETRALISASI SERUM UNTUK DIAGNOSIS SEROLOGIK PENYAKIT BOVINE VIRAL DIARRHOEA (BVD) PADA SAPI PUDJI KURNIADHI Balai Penelitian Veteriner, JI.R.E.Martadinata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia sulit terlepas dari kehidupan hewan, baik sebagai teman bermain atau untuk keperluan lain. Meskipun disadari bahwa kedekatan dengan hewan dapat menularkan

Lebih terperinci

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) Program Studi Kedokteran Hewan

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) Program Studi Kedokteran Hewan RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) Program Studi Kedokteran Hewan 1. Mata Kuliah (MK) : Parasitologi Veteriner Tim Teaching : 2. Semester : III 1.Dr.drh.Ida Ayu Pasti Apsari, MP 3. SKS : 3 (2-1) 2.Dr.drh.Nyoman

Lebih terperinci

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung PREVALENSI NEMATODA GASTROINTESTINAL AT SAPI BALI IN SENTRA PEMBIBITAN DESA SOBANGAN, MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit plasmodium yaitu makhluk hidup bersel satu yang termasuk ke dalam kelompok protozoa. Malaria ditularkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Parasitemia Menurut Ndungu et al. (2005), tingkat parasitemia diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat ringan (mild reaction), tingkat sedang (severe reaction),

Lebih terperinci

THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA

THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa parasit

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa parasit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa parasit yang merupakan golongan plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia.

Lebih terperinci

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2. PROTOZOA Entamoeba coli E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran 15-50 μm 2. sitoplasma mengandung banyak vakuola yang

Lebih terperinci

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( )

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( ) COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI (078114113) KLASIFIKASI ILMIAH Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria Class : Gamma Proteobacteria Order : Legionellales Family : Coxiellaceae Genus :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi parasit internal masih menjadi faktor yang sering mengganggu kesehatan ternak dan mempunyai dampak kerugian ekonomi yang besar terutama pada peternakan rakyat

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Protozoa Parasitik Menurut Subronto (2006) protozoa dalam darah yang sering ditemukan pada anjing, antara lain dari genus Babesia, Hepatozoon dan Trypanosoma. Seringkali

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Pewarnaan Proses selanjutnya yaitu deparafinisasi dengan xylol III, II, I, alkohol absolut III, II, I, alkohol 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 2 menit. Selanjutnya seluruh preparat organ

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog cholera 2.1.1 Epizootiologi Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan di Bali. Hampir setiap keluarga di daerah pedesaan memelihara

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Maternal antibodi atau yang bisa disebut maternally derived antibodies atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Maternal antibodi atau yang bisa disebut maternally derived antibodies atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Maternal Antibodi pada Anak Babi (Piglet) Maternal antibodi atau yang bisa disebut maternally derived antibodies atau kekebalan turunan dari induk pada anak babi yang induknya

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan ke manusia. Gejala klinis dari penyakit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus mengalami peningkatan sehingga permintaan makanan yang memiliki nilai gizi baik akan meningkat.

Lebih terperinci

Kupersembahkan untuk Aldi, Nadia, Annur dan Inaya

Kupersembahkan untuk Aldi, Nadia, Annur dan Inaya Kupersembahkan untuk Aldi, Nadia, Annur dan Inaya PEHGARUH TETRASIKlfN TERHADAP GAMBARAN DARAH ANJING (ERITROSIT DAN HEMOGLOBt~J, Oleh Gambira Dasawati Moran B 2.0.1365 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Salmonella sp. 2.1.1 Klasifikasi Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C termasuk famili Enterobacteriaceae, ordo Eubacteriales, kelas Schizomycetes

Lebih terperinci

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK SITI RUKAYAH. Gambaran Sel

Lebih terperinci

LALAT TABAWIDAE DAN PERANANNYA DALAM EPIDEMIOLOGI PENYAKIT SURRA

LALAT TABAWIDAE DAN PERANANNYA DALAM EPIDEMIOLOGI PENYAKIT SURRA LALAT TABAWIDAE DAN PERANANNYA DALAM EPIDEMIOLOGI PENYAKIT SURRA SUSl SOVIANA B 20.0556 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1988 RINGKASAN SUSI SOVIANA. Lalat Tabanidae dan Peranannya Dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi. Gejala umumnya muncul 10 hingga

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID Definisi: Typhoid fever ( Demam Tifoid ) adalah suatu penyakit umum yang menimbulkan gejala gejala sistemik berupa kenaikan suhu dan kemungkinan penurunan kesadaran. Etiologi

Lebih terperinci

PARASIT DALAM SEL DARAH MERAH MUSANG LUAK (Paradoxurus hermaphroditus) DI JAWA MARITRANA PUTRI

PARASIT DALAM SEL DARAH MERAH MUSANG LUAK (Paradoxurus hermaphroditus) DI JAWA MARITRANA PUTRI PARASIT DALAM SEL DARAH MERAH MUSANG LUAK (Paradoxurus hermaphroditus) DI JAWA MARITRANA PUTRI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran.

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran. ABSTRAK Leucocytozoonosis merupakan salah satu penyakit yang sering menyebabkan kerugian berarti dalam industri peternakan. Kejadian penyakit Leucocytozoonosis dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu umur,

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitemia Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rute inokulasi baik melalui membran korioalantois maupun kantung alantois dapat menginfeksi semua telur tertunas (TET). Namun terdapat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Materi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Materi Penelitian 30 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari sampai bulan Maret 2009 di kandang blok B (unggas) Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, analisa bahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

AGENT AGENT. Faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Jenis. Benda hidup Tidak hidup Enersi Sesuatu yang abstrak

AGENT AGENT. Faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Jenis. Benda hidup Tidak hidup Enersi Sesuatu yang abstrak AGENT AGENT Faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi Jenis Benda hidup Tidak hidup Enersi Sesuatu yang abstrak Dalam jumlah yang berlebih atau kurang merupakan penyebab utama/ esensial

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau lumpur betina, diperoleh jumlah rataan dan simpangan baku dari total leukosit, masing-masing jenis leukosit, serta rasio neutrofil/limfosit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pekerja Seks Komersiil Umumnya telah diketahui bahwa sumber utama penularan penyakit hubungan seks adalah pekerja seks komersial, dengan kata lain penularan lewat prostitusi.

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Hasil Identifikasi Tanaman Identifikasi/determinasi dari bagian-bagian batang, daun, buah yang dilakukan oleh Bidang Botani, Puslit Biologi LIPI menyatakan tanaman ini memiliki

Lebih terperinci

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Juli 2008 di Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis

2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis Kasus tuberkulosis pertama kali dikenal dan ditemukan pada tulang mummi Mesir kuno, kira-kira lebih dari 2000 tahun

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Malaria Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang disebabkan oleh parasit yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. 3 Malaria

Lebih terperinci

SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI. Bogor, 8-9 Agustus 2017

SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI. Bogor, 8-9 Agustus 2017 SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI Bogor, 8-9 Agustus 2017 Latar Belakang Pertambahan populasi lambat Penurunan performa

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

SEROPREVALENSI TRYPANOSOMIASIS DI PULAU SUMBAWA, PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT

SEROPREVALENSI TRYPANOSOMIASIS DI PULAU SUMBAWA, PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT SEROPREVALENSI TRYPANOSOMIASIS DI PULAU SUMBAWA, PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT (Seroprevalence of Trypanosomiasis in Sumbawa Island, West Nusa Tenggara Province) I Ketut Mastra Balai Besar Veteriner Denpasar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif,

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aeromonas salmonicida 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi A. salmonicida A. salmonicida merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek, tidak motil, tidak membentuk spora,

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis B disebabkan oleh virus Hepatitis B (HBV). HBV ditemukan pada tahun 1966 oleh Dr. Baruch Blumberg berdasarkan identifikasi Australia antigen yang sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI

STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN HANI FITRIANI. Studi Kasus Leiomiosarkoma pada Anjing: Potensial

Lebih terperinci

DENY HERMAWAN. SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

DENY HERMAWAN. SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan ii EFEKTIFITAS EKSTRAK SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees) DENGAN PELARUT AIR HANGAT TANPA EVAPORASI DAN KAJIAN DIFFERENSIAL LEUKOSIT PADA AYAM YANG DIINFEKSI DENGAN Eimeria tenella DENY HERMAWAN

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyebab Malaria Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium yang ditransmisikan ke manusia melalui nyamuk anopheles betina. 5,15 Ada lima spesies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Rabies merupakan penyakit zoonosis yang mematikan dan tersebar di seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan 70.000 orang meninggal setiap tahun karena

Lebih terperinci

EVALUASI HASIL PENGUJIAN UJI KEAMANAN VAKSIN GUMBORO AKTIF DI BBPMSOH TAHUN

EVALUASI HASIL PENGUJIAN UJI KEAMANAN VAKSIN GUMBORO AKTIF DI BBPMSOH TAHUN EVALUASI HASIL PENGUJIAN UJI KEAMANAN VAKSIN GUMBORO AKTIF DI BBPMSOH TAHUN 2000-2005 NUR K. HIDAYANTO, IDA L. SOEDIJAR, DEWA M.N. DHARMA, EMILIA, E. SUSANTO, DAN Y. SURYATI Balai Besar Pengujian Mutu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Avian Influenza (AI) adalah salah satu penyakit infeksi penting yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan adanya kematian yang tinggi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi UCAPAN TERIMA KASIH... vii DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR

Lebih terperinci

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

(Zingiber aromaticllmval~) TERHADAP PRODUKSI OOKISTA EilJleria spp P ADA AYAM

(Zingiber aromaticllmval~) TERHADAP PRODUKSI OOKISTA EilJleria spp P ADA AYAM PENGARUH LARUTAN LEMPUYANG WANGI (Zingiber aromaticllmval~) TERHADAP PRODUKSI OOKISTA EilJleria spp P ADA AYAM, > ' SKRIPSI Oleh: OSYE SYANITA ALAMSARI B01496142 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Studi Kasus Infestasi Caplak Boophilus microplus pada Sapi Potong di Kota Banjarbaru

Studi Kasus Infestasi Caplak Boophilus microplus pada Sapi Potong di Kota Banjarbaru Studi Kasus Infestasi Caplak Boophilus microplus pada Sapi Potong di Kota Banjarbaru Sri Sulistyaningsih Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan E-mail: SriSulistyaningsihkwq@gmail.com Abstrak Caplak

Lebih terperinci

kupersembahkan buat kedua orangtuaku dan keempat adikku yang kucintai

kupersembahkan buat kedua orangtuaku dan keempat adikku yang kucintai kupersembahkan buat kedua orangtuaku dan keempat adikku yang kucintai KAUSA DAN CARA PENGENDALIAN PANARITIUM SKRIPSI oleh AMAN IRIANTO B.170715 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR I 9 B

Lebih terperinci

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28.

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28. 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap semua kelompok ayam sebelum vaksinasi menunjukan bahwa ayam yang digunakan memiliki antibodi terhadap IBD cukup tinggi dan seragam dengan titer antara

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infectious Bursal Disease Infectious Bursal Disease (IBD) merupakan penyakit viral pada ayam dan terutama menyerang ayam muda (Jordan 1990). Infectious Bursal Disease pertama

Lebih terperinci

secara sporadik atau endemik yang terdapat pada sapi sapi bali, sapi madura dan kerbau sedangkan jenis sapi

secara sporadik atau endemik yang terdapat pada sapi sapi bali, sapi madura dan kerbau sedangkan jenis sapi I. PENDAHULUAN 1. Latar belakang MCF dikenal sebagai penyakit menular yang berjalan secara sporadik atau endemik yang terdapat pada sapi dan kerbau di seluruh dunia (81). Di Indonesia MCF menyerang sapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang secara ekonomi paling penting pada babi di dunia (Fenner et al., 2003)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang secara ekonomi paling penting pada babi di dunia (Fenner et al., 2003) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog Cholera Hog cholera atau kolera babi merupakan salah satu penyakit menular yang secara ekonomi paling penting pada babi di dunia (Fenner et al., 2003) dengan tingkat kematian

Lebih terperinci

A. Pengorganisasian. E. Garis Besar Materi

A. Pengorganisasian. E. Garis Besar Materi Pokok Bahasan : Malaria Sub Pokok : Pencegahan Malaria Sasaran : Ibu/Bapak Kampung Yakonde Penyuluh : Mahasiswa PKL Politeknik Kesehatan Jayapura Waktu : 18.30 WPT Selesai Hari/tanggal : Senin, 23 Mei

Lebih terperinci

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira interrogans sensu lato. Penyakit ini dapat menyerang

Lebih terperinci

Identifikasi Ookista Isospora Spp. pada Feses Kucing di Denpasar

Identifikasi Ookista Isospora Spp. pada Feses Kucing di Denpasar Identifikasi Ookista Isospora Spp. pada Feses Kucing di Denpasar IDENTIFY OOCYST OF ISOSPORA SPP. IN FAECAL CATS AT DENPASAR Maria Mentari Ginting 1, Ida Ayu Pasti Apsari 2, dan I Made Dwinata 2 1. Mahasiswa

Lebih terperinci

RABBIT FEVER?? Francisella tularensis

RABBIT FEVER?? Francisella tularensis RABBIT FEVER?? Kelinci bisa kena demam?? Gara-gara apa? Fransisca Kurnianingsih 078114084 Francisella tularensis Abstract Francisella tularensis adalah bakteri Gram negatif (bakteri Gram negatif terdiri

Lebih terperinci

\I Binatang yang merayap di bumi dan

\I Binatang yang merayap di bumi dan \I Binatang yang merayap di bumi dan burung yang terbang dengan dua s~ yapnya adalah makhluk Allah sepe ti kamu. Tidaklah:Kami a baikan suatu jua pun, kemudian mereka di kembalikan kepada Tuhannya 11 (

Lebih terperinci

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN ORGAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus VIKA YUNIAR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci