THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA"

Transkripsi

1 THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Theileriosis pada Sapi Potong Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2009 Risma Juniarti Paulina Silitonga NIM B

3 ABSTRACT RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA. Theileriosis in Australian Cattle Imported through Tanjung Priok Port. Under direction of A. WINNY SANJAYA and TUTUK ASTYAWATI. The study was conducted for three months started from August until October The purpose of this study were to identify (i) theileriosis case prevalence on cattle imported from Australia, (ii) the risk factors of theileriosis incidences like ship transportation and installation sanitary, vectors, management during quarantine and sex, age, breed as parameter (iii) prevention and control of theileriosis. Blood samples were collected randomly from 409 cattle, in four different quarantine installation at Teluk Naga, Legok, Lebak and Cileungsi. Blood samples were stained with Giemsa and examined under the microscope. The result showed that theileriosis prevalence was 55,01%. Prevalence from four different quarantine installation successively were 83,3%, 46,8%, 43% and 46,9%. Brahman cross cattle had higher prevalence compare to Santa gertrudis (OR=1,95;SK95%=1,24-3,08). The other factor like sanitary, the presence of vector, management during quarantine could not used as a parameter in this study that happened at this research, caused they were in the same condition. Keywords : prevalence, theileriosis, cattle, quarantine, Australia

4 RINGKASAN RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA. Theileriosis pada Sapi Potong Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Dibimbing oleh A. WINNY SANJAYA, dan TUTUK ASTYAWATI. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Protozoologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian dan di empat lokasi Instalasi Karantina Hewan Sementara Teluk Naga, Legok, Lebak, dan Cileungsi, yang berlangsung mulai bulan Agustus sampai Oktober Tujuan penelitian ini adalah : (1) Menghitung prevalensi kasus theileriosis pada sapi potong impor Australia. (2) Mencari faktor-faktor pemicu terjadinya theileriosis seperti sanitasi kapal dan instalasi, letak kandang/pen di kapal, manajemen di instalasi karantina dan adanya vektor (caplak) di kapal/instalasi selama masa karantina. (3) Pencegahan dan pengendalian theileriosis di Indonesia dihubungkan dengan tindakan karantina di masa yang akan datang. Pada penelitian ini telah diambil sebanyak 409 sampel darah sapi dari 4 lokasi IKHS milik importir sapi yang berlokasi di Teluk Naga, Legok, Lebak dan Cileungsi. Penentuan sampel di kandang dilakukan dengan acak random. Sampel darah dibuat preparat ulas darah, lalu dilakukan pewarnaan dengan larutan Giemsa, dan diperiksa dengan mikroskop. Hasil pemeriksaan ulas darah untuk menentukan prevalensi theileriosis. Kemudian dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui nilai pack cell volume (PCV) dan butir darah merah (BDM), penghitungan average daily gain (ADG) serta pengumpulan data kuesioner. Parameter yang diamati dibuat dalam blanko kuesioner meliputi keterangan tentang sapi yang diimpor (bangsa, umur, jenis kelamin), keadaan selama perjalanan dari Australia (kematian, lamanya perjalanan, adanya hewan lain yang diangkut), kondisi kesehatan hewan (ketersediaan pakan, penyakit), kondisi kapal dan instalasi (sanitasi, kapasitas, konstruksi), populasi caplak di kapal dan instalasi, populasi sapi di sekitar instalasi serta perlakuan yang pernah diberikan. Analisis data menggunakan uji chi-square (x 2 ) dan uji-t (t-test). Data kuesioner diolah berdasarkan peubah yang dilihat yaitu jenis kelamin, kelompok umur, bangsa sapi, daerah asal peternakan (farm), serta lokasi instalasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin dan umur sapi semua sama sehingga tidak dapat dijadikan sebagai peubah. Waktu pengambilan sampel juga tidak mempengaruhi, 4 lokasi pengambilan sampel juga memiliki kondisi yang sama sehingga tidak dapat diukur pengaruhnya. Hasil pemeriksaan mikroskopik preparat ulas darah menunjukkan bahwa di semua lokasi ditemukan bentuk Theileria sp. di dalam eritrosit. Dari 409 sampel yang diperiksa, 225 sampel dinyatakan positif Theileria sp., sehingga prevalensi keseluruhan adalah 55,01%. Prevalensi di masing-masing lokasi IKHS sebagai berikut Teluk Naga 85/102 (83,3%), Legok 51/109 (46,8%), Lebak 43/100 (43%) dan Cileungsi 46/98 (46,9%). Sapi-sapi yang diamati tidak menunjukkan kelainan klinis seperti halnya sapi yang terinfeksi theileriosis. Sapi yang diamati seluruhnya berasal dari peternakan (farm) di Australia bagian utara. Sebelum pengapalan ke negara tujuan sapi diberi perlakuan yang sama yaitu telah diberikan acaricide, ivermectin atau

5 anthelmintic. Transportasi sapi dari Australia sampai ke Pelabuhan Tanjung Priok berlangsung selama minimal 5 hari dan paling lama 7 hari bila kondisi cuaca buruk. Sapi ditempatkan dalam kandang terbuat dari besi, dengan batas antar kandang berupa tiang besi, lantai tidak beralas, dilengkapi dengan bak pakan dan air minum. Bahan-bahan konstruksi semua mudah dibersihkan. Tempat pakan terbuat dari bahan plastik, demikian juga bak air minum terbuat dari plastik dengan kran otomatis. Selama pengangkutan hewan keempat kapal yang diamti tidak singgah di pelabuhan lain dan tidak memuat hewan lain, pakan dan air minum cukup tersedia, ada kematian 1-2 ekor karena diinjak/trauma fisik dan bukan karena adanya penyakit infeksius, kapasitas kandang/pen < 2-3 m 2 /ekor. Sanitasi kapal yaitu pembersihan kandang dilakukan setiap kali setelah di bongkar atau diturunkan sapi-sapinya, serta kondisi ventilasi baik karena ada exhaust fan yang terus dinyalakan di deck kapal bagian bawah dan di deck kapal yang tidak ada jendela. Tidak ditemukan populasi caplak di kapal maupun di instalasi. Tingkat parasitosis 1% dalam penelitian ini termasuk dalam kategori tingkat lebih berat namun tidak mengakibatkan hewan terlihat lebih hebat infeksinya karena kasus 1% hanya terjadi pada 16 ekor sapi dan 209 ekor sapi lainnya memiliki tingkat parasitemia 0,5%. Pemeriksaan darah memperlihatkan bahwa dari 163 sampel darah yang diperiksa diperoleh bahwa nilai PCV tidak signifikan (P>0,05) terhadap terpaparnya theileriosis. Nilai BDM juga tidak signifikan (P>0,05) dengan kejadian infeksi Theileria sp. pada selang kepercayaan 95%. Bangsa/breed sebagai peubah berkaitan secara signifikan terhadap keterpaparan theileriosis (OR=1,95;SK95%=1,24-3,08) artinya bahwa infeksi theileriosis ini lebih tinggi kejadiannya pada Brahman cross dibandingkan Santa gertrudis. Kenaikan berat badan sapi tidak signifikan atau tidak berbeda nyata terhadap terpaparnya theileriosis pada selang kepercayaan 95% (P>0,05). Lokasi IKHS yang diamati semua memiliki kondisi yang hampir sama. Kata kunci : prevalensi, theileriosis, sapi potong, Australia, karantina

6 Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. drh. Sri Utami Handajani, M.S.

9 Judul Tesis Nama NIM : Theileriosis pada Sapi Potong Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok : Risma Juniarti Paulina Silitonga : B Disetujui Komisi Pembimbing Dr. drh. A. Winny Sanjaya, M.S. Ketua drh. Tutuk Astyawati, M.S. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 15 Januari 2009 Tanggal Lulus : Januari 2009

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan berkatnya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini bertemakan parasit darah pada sapi potong yang diimpor dari Australia yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2008 dengan judul Theileriosis pada Sapi Potong Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Terima kasih penulis ucapkan kepada Badan Karantina Pertanian khususnya Bapak Ir. Syukur Iwantoro, M.S. MBA., yang memberikan dukungan moril dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana, Ibu Dr. drh. A. Winny Sanjaya, M.S. dan Ibu drh. Tutuk Astyawati, M.S. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran, tenaga serta motivasi dalam membimbing dari saat persiapan penelitian sampai selesainya tesis ini. Demikian juga kepada pimpinan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu proses pendidikan dan berlangsungnya penelitian. Ucapan yang sama disampaikan kepada Kepala dan staf di Laboratorium Protozoologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), Kepala dan staf di Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok khususnya Bapak drh. Hadi Wardoko, MM., drh. Pratiwi, drh. Agus Wasana dan temanteman paramedis yang telah membantu selama pengumpulan dan pengujian sampel, Kepala dan staf Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB, Kepala dan staf Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta khususnya Bapak D. Indra Mulya S.Sos, M.Si., Bapak drh. Dwi Agus Sudaryanto serta Bapak drh. Basir Nainggolan yang turut serta membantu proses pendidikan, memberikan motivasi dan memberikan ijin. Tidak terkecuali, kepada teman-teman seangkatan Kelas Khusus Karantina Hewan (Rita, Edi, Arif, Duma, Nunung, Muji, Era, Tatit, Yoyok, Iswan, Endah, Maya, Melani, Arum), teman-teman Pascasarjana lainnya (Sophia, Elfa, Umi, dkk) dan teman-teman kantor. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ananda, ibunda tercinta serta seluruh keluarga besar Op. Gabriel Nababan dan Op. Gilbert Silitonga atas segala doa, pengorbanan, semangat dan kasih sayang yang diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk ilmu pengetahuan khususnya karantina hewan. Jakarta, Januari 2009 Risma Juniarti Paulina Silitonga

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tapanuli Utara pada tanggal 21 Juni 1976 dari Ayahanda Ir. Jannes Silitonga (Alm) dan Ibunda Ir. Sumarni Nurhaida, BSc. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Tamat dari Sekolah Dasar Negeri IX Dili Timor-Timur tahun 1988 dan Sekolah Menengah Pertama Negeri I Dili Timor-Timur tahun Pada tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 11 Yogyakarta dan tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Gadjah Mada melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan, lulus Sarjana Kedokteran Hewan tahun 1998 dan lulus Ujian Profesi Dokter Hewan tahun Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Kesehatan Masyarakat Veteriner pada tahun ajaran 1997/1998. Tahun 1999 penulis mulai bekerja sebagai Medik Veteriner Pertama di Balai Karantina Hewan Kelas I Tanjung Priok dan tahun 2007 sampai sekarang sebagai Medik Veteriner Muda di Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang. 1 Permasalahan 2 Tujuan dan Manfaat Penelitian 2 Hipotesis Penelitian.. 2 TINJAUAN PUSTAKA. 3 Ternak Sapi Potong Australia... 3 Etiologi Theileriosis.. 3 Siklus Hidup.. 5 Gejala Klinis.. 6 Epizootiologi. 7 Vektor.. 7 Cara Penularan 8 Infeksi pada Inang... 8 Infeksi pada Caplak. 9 Kejadian Theileriosis di Indonesia.. 10 Kejadian Theileriosis di Australia Pengenalan Penyakit.. 11 Berdasarkan Gejala Klinis 11 Berdasarkan Hematologi.. 12 Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian Persyaratan Karantina Dampak Theileriosis terhadap Masyarakat BAHAN DAN METODE 16 Bahan.. 16 Tempat dan Waktu Penelitian. 16 Bahan Penelitian.. 16 Metode 16 Pengambilan Sampel Pemeriksaan Parasit 17 Pemeriksaan Darah.. 18 Penimbangan Berat Badan Pengumpulan Data Kuesioner. 18 Pengolahan Data.. 19 iii iv 13 14

13 HASIL DAN PEMBAHASAN 20 Pengambilan Sampel.. 20 Pemeriksaan Parasit Gejala Klinis Daerah Asal Peternakan. 22 Perlakuan di Negara Asal Kondisi Kapal selama Perjalanan dari Negara Asal.. 24 Kondisi Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS). 25 Vektor. 25 Tingkat Parasitemia 25 Pemeriksaan Darah. 26 Bangsa/breed.. 27 Kenaikan Berat Badan Perhari/Average Daily Gain (ADG). 28 SIMPULAN DAN SARAN 30 Simpulan 30 Saran DAFTAR PUSTAKA.. 31 LAMPIRAN 36

14 DAFTAR TABEL Halaman 1 Jumlah sampel yang diambil di IKHS 20 2 Prevalensi Theileria sp. di IKHS 21 3 Hasil pemeriksaan tingkat parasitemia pada preparat ulas darah Hasil pemeriksaan darah dengan metode automatic hematology analyzer Prevalensi Theileria sp. berdasarkan bangsa/breed sapi. 28

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Skizon di dalam limfosit dan piroplasma di dalam eritrosit Siklus hidup Theileria sp Theileria sp. di dalam sel darah merah... 21

16 DAFTAR SINGKATAN HPHK = Hama Penyakit Hewan Karantina spp = sub spesies sp = spesies LAI = Lembaga Australia Indonesia kg = kilogram ECF = East Coast Fever OIE = The Office of International des Epizooties AS = Amerika Serikat WOAH = World Organization for Animal Health IL-2 = Interleukin-2 µm = mikrometer IFAT = Indirect Fluorescent Antibody Technique BPPH = Balai Penyidikan Penyakit Hewan FH = Friesian Holstein DI = Daerah Istimewa DPIF = Department of Primary Industries and Fisheries WTO = World Trade Organization DFID = Department for International Development TD = Tunisia Dollar Tsh = Tanzania shilling IKHS = Instalasi Karantina Hewan Sementara BBUS KP = Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian FKH = Fakultas Kedokteran Hewan IPB = Institut Pertanian Bogor BBKP = Balai Besar Karantina Pertanian EDTA = Ethylene Diamine Tetraacetic Acid ml = Mililiter PCV = Pack Cell Volume BDM = Butir Darah Merah ADG = Average Daily Gain DOF = Day Of Feed 0 C = derajat celcius m 2 = meter persegi SE = Septikemia Epizootica OR = Odds Ratio SK = Selang Kepercayaan

17 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dalam memenuhi kebutuhan pangan hewani khususnya daging sapi, masih harus mengimpor sapi potong dan salah satunya dilakukan dari Australia. Data Departemen Pertanian tahun 2007 menyatakan hampir setiap tahun terjadi peningkatan impor sapi potong. Jumlah impor sapi potong dari Australia tahun 2002 sampai 2005 rata-rata ekor sapi, untuk tahun 2006 dan 2007 meningkat menjadi ekor sapi (Boediyana 2008). Menurut Meat Livestock Australia (2007), jumlah ekspor sapi potong Australia ke Indonesia tahun 1997 sebesar ekor atau sekitar 47% dari total ekspor sapi Australia. Tahun 1998 terjadi penurunan drastis sekitar ekor karena terjadi devaluasi rupiah dan tahun 2002 terjadi peningkatan drastis menjadi ekor. Kewaspadaan terhadap masuknya berbagai macam penyakit hewan menular tetap harus ditingkatkan sesuai dengan peningkatan impor sapi karena Australia merupakan negara dengan status penyakit yang hampir sama dengan Indonesia. Setiap hewan yang dilalulintaskan harus bebas dari Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK). Dalam hal ini Karantina Hewan harus mampu mendeteksi berbagai penyakit yang mungkin saja lolos dari hasil pemeriksaan di negara asal. Salah satu jenis penyakit yang harus dicegah penyebarannya melalui importasi sapi potong adalah theileriosis. Theileriosis merupakan salah satu HPHK Golongan II yaitu jenis penyakit yang sudah diketahui cara penanganannya dan telah dinyatakan ada di suatu area atau wilayah Negara Republik Indonesia (Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.110/Kpts/TN.530/2/2008). Penyakit parasit darah yang disebabkan oleh Theileria spp. dan Babesia spp. lebih dikenal dengan nama piroplasmosis. Penyakit ini sudah lama menyerang ternak di Indonesia, kejadian penyakit selalu meningkat setiap tahun dan penyebarannya ke seluruh dunia dilakukan oleh caplak. Protozoa ini mengalami siklus hidup di dalam tubuh induk semang antara dan induk semang definitif. Piroplasmosis sangat merugikan peternakan sapi perah dan sapi pedaging karena menyebabkan demam, anemia akibat kerusakan eritrosit, penurunan produksi susu dan kematian (Astyawati 1987).

18 Permasalahan Kajian tentang theileriosis pada sapi potong asal Australia belum pernah dilakukan. Dalam sertifikat kesehatan hewan (health certificate) yang diterbitkan oleh Australia dinyatakan bahwa sapi-sapi yang diekspor ke Indonesia berasal dari peternakan (farm) yang dalam enam bulan terakhir telah bebas wabah atau tidak menunjukkan gejala klinis theileriosis. Sehubungan hal tersebut perlu dilakukan penelitian lebih mendalam terhadap theileriosis karena tanpa disadari dampak penyakit ini sangat besar terutama secara ekonomi dapat menyebabkan kerugian akibat penurunan produksi daging dari sapi potong (berat badan turun). Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menghitung prevalensi kasus theileriosis pada sapi potong impor Australia. 2. Mencari faktor-faktor pemicu terjadinya theileriosis seperti sanitasi kapal dan instalasi, letak kandang/pen di kapal, manajemen di instalasi karantina dan adanya vektor (caplak) di kapal/instalasi selama masa karantina. 3. Pencegahan dan pengendalian theileriosis di Indonesia dihubungkan dengan tindakan karantina di masa yang akan datang. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat dan memberikan informasi tentang Theileria sp. pada sapi potong impor serta dapat dijadikan sebagai bahan rekomendasi pembuat kebijakan dalam menyusun persyaratan kesehatan hewan (health requirement) untuk importasi hewan khususnya sapi potong asal Australia. Hipotesis Penelitian Theileria sp. ditemukan atau terdeteksi pada sapi potong impor Australia sejak dari pengapalan, kepadatan kandang dan sanitasi kapal mempengaruhi prevalensi theileriosis.

19 TINJAUAN PUSTAKA Ternak Sapi Potong Australia Menurut LAI (1999), ternak sapi banyak dipelihara di daerah tropis di Australia sebelah utara dan di daerah beriklim sedang di bagian selatan. Sebagian besar dipelihara di Australia sebelah utara, di sepanjang pantai maupun di daerah pedalaman. Cara pemeliharaannya dengan menempatkan sapi di kawasan berpagar dan diberi makan. Tujuannya adalah untuk menggemukkan sapi tersebut dalam jangka waktu yang pendek sehingga berat badannya dapat bertambah 1 kilogram beratnya setiap hari. Sekitar 26 juta ekor sapi yang dipelihara terdiri dari berbagai macam keturunan diantaranya sapi campuran khusus yang sangat berhasil diternakkan di daerah tropis. Sapi campuran ini adalah kombinasi antara sapi jenis Eropa Bos taurus dengan sapi jenis Asia berleher bonggol Bos indicus. Beberapa jenis ternak sapi yang dipelihara di Australia adalah Brahman-Bos indicus, Hereford-Bos taurus, Belman Red-Africander/Hereford/Shorthorn (Bos indicus/bos taurus), Braford-Brahman, Droughtmaster (Bos indicus/bos taurus), Santa Gertrudis-Shorthorn/Brahman (Bos indicus/bos taurus). Australia mengekspor ternak hidup ke Indonesia terutama jenis sapi Bos indicus seperti sapi jenis Brahman atau jenis campuran silang seperti sapi jenis Braford dan Droughtmaster. Sapi-sapi jenis ini sangat berhasil diternakkan di daerah tropis. Sapi ini mempunyai ciri yang dimiliki sapi jenis Bos indicus seperti tahan panas, tahan terhadap kekeringan dan serangan kutu. Sapi tersebut juga mempunyai ciri sapi jenis Bos taurus misalnya laju pertumbuhannya tinggi, produksi susunya banyak dan tingkat kesuburannya tinggi. Tahun 1995 Indonesia mulai menjadi tujuan ekspor ternak paling penting bagi Australia dan Indonesia mengimpor lebih dari ekor sapi pertahun (LAI 1999). Etiologi Theileriosis Theileria spp. tergolong protozoa dalam Phylum Apicomplexa, Class Sporozoa, Subclass Piroplasma, Ordo Piroplasmida, Famili Theileriidae. Apicomplexa merupakan parasit pada hewan dan spesies lainnya yang dapat menyebabkan penyakit malaria, coccidiosis, babesiosis dan theileriosis. Spesies

20 Theileria yang menginfeksi sapi yaitu T. parva, T. annulata, T. mutans, T. sergenti, T. taurotragi dan T. velifera (Uilenberg 1981 ; Billiouw 2005). Theileriae adalah obligat parasit protozoa intraselular yang menginfeksi sapi domestik maupun liar di seluruh bagian dunia, beberapa spesies juga menginfeksi ruminansia kecil. Parasit ini ditularkan oleh caplak ixodidae dan memiliki siklus hidup yang komplek di dalam inang vertebrata dan invertebrata. Ada enam spesies Theileria spp. yang menginfeksi sapi, dua spesies yang bersifat patogen dan dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi adalah T. parva dan T. annulata (Siegel et al. 2006). Theileria parva menginfeksi sapi di 13 negara di Sub-Saharan Afrika mengakibatkan East Coast Fever (ECF), Corridor Disease dan January disease. Theileria annulata menyebabkan Tropical Theileriosis terjadi di Pesisir Mediterania bagian utara Afrika, sampai ke Sudan bagian utara dan Eropa Selatan, Eropa Selatan bagian timur, Timur Tengah, India, China dan Asia Tengah. Theileria taurotragi dan T. mutans umumnya tidak menyebabkan sakit atau penyakit yang ditimbulkannya ringan dan T. velifera bersifat non patogenik. Theileria taurotragi, T. mutans dan T. velifera ditemukan terutama di Afrika, secara epidemiologi hal ini menimbulkan hambatan di dalam mengetahui penyebaran theileriosis pada sapi. Kelompok parasit ini berhubungan dengan T. sergenti/t. buffeli/t. orientalis dan terdistribusi di seluruh dunia (OIE 2008). East Coast Fever ditularkan oleh African brown ear tick Rhipicephalus appendiculatus dengan karakterisasi proliferasi limfoblast oleh skizon Theileria yang masuk ke tubuh inang khususnya pada bagian nodul limpatikus, limpa, ginjal, hati dan paru-paru. Lebih dari 20 juta ekor sapi tertular dan mengalami kerugian sebesar 100 juta dollar AS pertahun. ECF merupakan tick borne disease yang sangat penting di Afrika bagian timur dan tengah (Billiouw 2005). Theileria sp. menginfeksi sapi, kambing dan domba. Parasit ini terdistribusi di seluruh dunia, umumnya mengancam produksi peternakan. Spesies paling penting dan dikenal yaitu T. annulata dan T. parva bersifat lymphoproliferative dengan mortalitas serta morbiditas yang tinggi. Disamping spesies Theileria yang memiliki sifat patogen (ganas), ada pula jenis yang tidak ganas (benign) ditemukan menyebar luas pada sapi-sapi di daerah subtropis dan daerah dingin. Taxonomi dan nomenklatur kelompok parasit ini memang masih

21 membingungkan. Karakteristik parasit ini kadang sama tetapi sering diberi nama berbeda tergantung pada geografisnya. Pada umumnya, benign Theileria yang dikenal adalah T. sergenti, T. buffeli dan T. orientalis tersebar di Jepang, Australia dan Eropa (Kerdmanee et al. 2001). Gambar 1 Skizon di dalam limfosit dan piroplasma di dalam eritrosit. (Sumber : Anonim 2007) Siklus Hidup Sporozoit protozoa diproduksi oleh kelenjar ludah nimfa atau caplak dewasa kemudian diinokulasi masuk ke tubuh hewan yang peka pada waktu pemberian pakan. Sporozoit merupakan bentuk infektif masuk ke dalam tubuh sapi melalui gigitan caplak. Sporozoit masuk ke inang melalui sistem limfe menuju ke jaringan limfoid terutama limfonodus dan limpa yang dalam beberapa hari berkembang membentuk badan berinti banyak yang disebut Skizon (Koch s body) berada dalam sitoplasma limfosit, membentuk merozoit. Merozoit bergerak masuk ke dalam eritrosit, terjadi binary fission di dalam eritrosit. Beberapa merozoit memasuki eritrosit lain, membentuk fase spherical atau ovoid (gamon). Melalui isapan darah gamon masuk ke intestinal nimfa caplak membentuk mikrogamon. Mikrogamon 4 inti membelah menjadi mikrogamet 1 inti kemudian bergabung dengan makrogamet membentuk zigot. Setelah terlihat zigot maka terbentuk kinet motil dari ovoid immobile zigot dan masuk ke dalam sel intestinal caplak. Kinet menjadi menonjol membentuk vakuola. Setelah caplak mengalami rontok (moult) dan menempel ke inang baru, kinet masuk ke dalam sitoplasma sel kelenjar ludah. Selanjutnya kinet membentuk sporon muda yang tumbuh dan mengalami pembelahan inti berulang. Parasit menuju ke dalam sel inang dan dalam sel inang giant, sporon membentuk ribuan sporozoit. Kemudian disebarkan melalui isapan darah (Siegel et al. 2006).

22 Gambar 2 Siklus hidup Theileria sp. Keterangan : 1. Sporozoit 3. Merozoit 6. Gamon Mikrogamon dengan 4 inti 8.2 mikrogamet 1 inti. 9. Makrogamet. 10. Zigot Kinete motil 14. sporon muda (Sumber : Mehlhorn, Schein 1984) Gejala Klinis Masa inkubasi infeksi T. mutans melalui gigitan caplak ialah hari. Biasanya tidak terlihat gejala-gejala klinik yang jelas, hanya terlihat demam ringan, kebengkakkan kelenjar-kelenjar limfe, ikterus, tremor, menurunnya berat badan, kelemahan dan sedikit anemia. Infeksi T. mutans yang akut pernah dilaporkan dari Afrika Selatan (Tzaneen disease), Jepang, Korea, India dan Australia. Bentuk-bentuk cerebral theileriosis pada sapi yang di Afrika dikenal turning sickness yang disebabkan oleh skizon-skizon T. mutans (WOAH 2005). Patogenesis T. mutans seluruhnya terkait dengan adanya proliferasi intraeritrosit piroplasmosis. Penyakit ini bersifat ringan kadang-kadang terlihat gejala anemia, ikterus dan hemoglobinuria. T. lestoquardi (T. hirci) sangat patogen pada domba dan kambing menunjukkan gejala klinis yang sama dengan

23 ECF pada sapi yaitu tingkat morbiditas 100% dan mortalitas % (Brown 2007). Menurut Morzaria (1990) patogenesitas Theileria untuk setiap spesies berbeda-beda tergantung kepada strain parasit, tingkat kepekaan inang dan jumlah parasit. Theileria mutans adalah salah satu jenis yang dikenal benign, meskipun strain yang patogen ditemukan di Afrika Selatan. Theileria mutans mengalami limfositik merogoni, pembelahan terjadi di eritrosit dan menyebabkan piroplasma parasitemia dan hemolitik anemia pada inang. Theileria parva membelah di dalam limfosit dan secara patologi dihubungkan dengan kerusakan limfosit. Eritrositik merogoni terbatas dan hemolitik anemia tidak terjadi. Theileria annulata membelah di dalam limfosit dan eritrosit, menyebabkan limfositopenia berat, anemia dan kadang-kadang jaundice. Theileria taurotragi mengalami limfositik dan eritrositik merogoni, dapat menjadi patogen pada rusa tetapi tidak patogen pada sapi. Epizootiologi Vektor Jenis caplak yang berperan sebagai vektor T. orientalis, T. sergenti dan T. buffeli adalah Haemaphysalis sp. (Fujisaki et al. 1994). Galur caplak disetiap lokasi dapat berbeda kemampuannya dalam menularkan Theileria sp. misalnya H. longcornis di Australia hanya dapat menularkan T. sergenti tetapi tidak menularkan T. buffeli, sebaliknya H. longcornis di Jepang dapat menularkan kedua spesies tersebut (Fujisaki et al. 1993). Pada tahun 1974, Australia mengalami kerugian akibat caplak pada sapi diperkirakan sekitar 62 juta dollar AS (Springell 1983). Brazil mengalami kerugian sekitar 2 juta dollar AS pertahun (Grisi et al. 2002). Caplak mengakibatkan kerugian ekonomi secara langsung menghisap darah dan secara tidak langsung sebagai vektor patogen dan beracun (Rajput et al. 2006). Caplak berpengaruh terhadap menurunnya produksi peternakan melalui perannya sebagai vektor, sebagai contoh kerugian langsung adalah turunnya berat badan, kulit rusak, serta penurunan produksi susu. Kehilangan berat badan pada sapi karena Rhipicephallus appendiculatus betina sekitar 4,4 gram dan Amblyoma

24 haebraeum betina sekitar 10 gram. Caplak dapat mempengaruhi 800 juta ekor sapi dan sama dengan jumlah domba di dunia. Kerugian secara moneter akibat caplak pada industri peternakan sapi diperkirakan sekitar 7 juta dollar AS pertahun (Imamura et al. 2007). Cara Penularan Theileriosis secara alami hanya dapat ditularkan oleh caplak secara stage to stage, tanpa ada penularan transovarial karena parasit ini tidak dapat hidup dalam caplak lebih lama dari satu kali ekdisis (penyilihan). Theileria parva dan T. annulata disebarkan oleh caplak. Vektor penting untuk T. parva adalah R. appendiculatus. R. zembeziensis di Afrika Selatan dan R. duttoni di Angola juga dapat menyebarkan ECF, sedangkan T. annulata ditularkan melalui caplak genus Hyalomma (Siegel et al. 2006). Infeksi pada Inang Mekanisme infeksi T. orientalis dalam tubuh inang dimulai dengan tahap skizogoni yang berlangsung di limfosit dan berakhir dengan bentuk piroplasma yang menginfeksi eritrosit. Mula-mula sporozoit yang dilepaskan oleh caplak dari kelenjar ludah segera menginfeksi leukosit (Morrisson, Taracha, Keever 1995). Sel leukosit yang diinfeksi oleh Theileria sp. pada umumnya adalah limfosit sel-t kecuali T. parva menginfeksi sel-t dan sel-b (Baldwin et al. 1988) dan T. annulata menginfeksi monosit dan sel-b (Spooner et al. 1989). Bentuk sporozoit T. orientalis menginfeksi monosit yaitu setelah kontak dengan monosit sporozoit segera menembus ke dalam monosit secara progresif dan mengikatkan ligand di permukaannya ke reseptor di permukaan monosit. Sporozoit kemudian segera melisiskan membran sel inang yang mengelilinginya, sehingga sporozoit terhindar dari pengaruh lisosomal dan kerusakan serta bebas berkembang di dalam sitoplasma. Di dalam limfosit sporozoit membesar dan intinya membelah berulang-ulang sehingga terbentuk skizon banyak inti yang disebut makroskizon agamon atau Koch s blue bodies. Makroskizon melekat pada mikrotubuli sel limfosit dan ikut terbelah menjadi dua selama proses mitosis, sehingga makroskizon akan ditemukan lagi pada kedua sel anak (Eichhorn, Dobbelaere

25 1994). Selama terinfeksi oleh makroskizon, monosit terangsang secara aktif untuk mengekskresikan bahan autokrin yang berfungsi menggertak interleukin-2 (IL-2), sehingga selama terinfeksi monosit mengalami perubahan bentuk dan berproliferasi dengan hebat (Eichhorn, Dobbelaere 1994 ; Morrisson et al. 1995). Selama memperbanyak diri, makroskizon juga melepaskan makromerozoit untuk menyerang monosit baru, kemudian makromerozoit berubah menjadi makroskizon baru, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh. Setelah 2 minggu, di dalam eritrosit ditemukan makroskizon yang akan menghasilkan mikromerozoit, kemudian mikromerozoit menginfeksi eritrosit dan di dalam eritrosit akan berubah menjadi bentuk piroplasma yang selanjutnya akan menulari caplak lain (Preston 1992). Infeksi pada Caplak Mekanisme infeksi Theileria sp. pada larva caplak dimulai dari terjadinya perubahan bentuk piroplasma menjadi mikrogamon, mikrogamet, makrogamet, zigot dan kinet di dalam usus, sampai ditemukannya sporozoit dalam kelenjar ludah caplak. Terjadinya infeksi piroplasma pada caplak dimulai sejak larva caplak menghisap darah inang terinfeksi, dan setelah kenyang larva akan jatuh ke tanah. Menurut Higuchi (1987) setelah larva jatuh ke tanah, 10 jam kemudian di dalam isi ususnya ditemukan merozoit, baik di dalam maupun di luar eritrosit terinfeksi. Dalam waktu 24 jam sebagian besar eritrosit hancur, dan di dalam usus nimfa ditemukan merozoit dalam berbagai bentuk, yakni bentuk bundar seperti koma dan bentuk kumparan dengan ukuran antara 1 sampai 2,5 µm. Sekitar 24 sampai 48 jam kemudian, merozoit mengalami perubahan bentuk menjadi seperti cincin yang berukuran 1-2 µm, dengan sitoplasma bersifat basofilik. Dalam waktu jam bentuk cincin berubah menjadi makrogamet, yaitu berbentuk bundar dan lonjong berukuran 3-4 µm dengan inti bersifat eosinofilik dan sitoplasmanya basofilik. Makrogamet juga mengalami perubahan bentuk menjadi mikrogamet yaitu seperti kumparan yang berukuran panjang 5 µm. Setelah 3 sampai 5 hari sejak terinfeksi, di dalam usus nimfa akan ditemukan zigot yang berbentuk bundar dan lonjong, dengan ukuran 4-5 µm dan sitoplasmanya berwarna biru terang. Pada

26 hari ke-6 post infeksi, jumlah zigot dalam usus terlihat mulai berkurang dan pada hari ke-8 semua zigot lenyap dari usus. Pada hari ke-9 di dalam epitel usus nimfa ditemukan protozoa berbentuk bundar berukuran 4-5 µm dan sitoplasmanya berwarna biru gelap. Selanjutnya pada hari ke-13, protozoa bundar membentuk kelompok seperti koloni bakteri pada sitoplasma epitel usus. Kinet terbentuk segera terlihatnya bentuk zigot (Warnecke et al. 1980) dan pada hari ke-50 sporozoit ditemukan pada kelenjar ludah nimfa (Fujisaki, Kamio 1988 diacu dalam Siswansyah 1996). Kejadian Theileriosis di Indonesia Prevalensi Theileria sp. pada sapi di Indonesia masih belum banyak diketahui. Theileriosis pada sapi di Indonesia pertama kali ditemukan di Pulau Jawa pada tahun 1912 dan agen penyebabnya mula-mula diduga T. mutans. Namun berdasarkan identifikasi morfologi piroplasma dan uji serologi Indirect Fluorescent Antibody Technique (IFAT), agen penyebab theileriosis pada sapi di Indonesia ditetapkan T. orientalis (Astyawati 1987). Menurut Siswansyah (1990) theileriosis pada ternak sapi dan kerbau di Indonesia umumnya disebabkan oleh T. orientalis (sin. T. mutans). Gejala yang ditimbulkan biasanya tidak jelas dan dikenal pula dengan nama benign bovine theileriosis. Prevalensi T. orientalis pada sapi dilaporkan sebesar 30,8% (178/578) dengan tingkat parasitemia 1% pada 6 kabupaten di Kalimantan Selatan. Menurut Marquerita et al. (1997) berdasarkan pemeriksaan spesimen yang masuk ke Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH) Wilayah I Medan Sumatera Utara pada 10 kabupaten tahun 1995 maka prevalensi atau kejadian theileriosis sebesar 1,3% (4/307) lebih rendah dibandingkan prevalensi Daerah Istimewa Aceh (DI. Aceh) yaitu sebesar 4,3% (10/231). Pada tahun 1996 kejadian theileriosis di Sumatera Utara meningkat menjadi sebesar 3,8% (7/185) sedangkan di Propinsi DI.Aceh menurun menjadi sebesar 0,4% (1/251). Prevalensi rata-rata T. orientalis pada sapi perah Friesian Holstein (FH) laktasi di Kabupaten Bogor dan Cianjur adalah (77/247) 31,2% (Siswansyah 1996).

27 Kejadian Theileriosis di Australia Distribusi dan prevalensi T. buffeli pada sapi di Queensland, Australia berturut-turut adalah 75% dan 41 %. Hasil tersebut diperoleh dengan pemeriksaan 8854 serum darah diambil dari 357 peternakan menggunakan metode IFAT dan 347 serum darah perifer diambil dari 147 peternakan dengan identifikasi piroplasma. Berdasarkan penelitian tersebut disimpulkan bahwa kejadian theileriosis tertinggi di bagian utara dan barat Australia (Stewart et al. 2008). Caplak pada sapi pertama kali ditemukan di Benua Australia bagian utara sebelum abad-19, kemudian menyebar dari Darwin sampai hampir seluruh bagian utara Australia. Distribusi caplak paling utama disebabkan oleh faktor iklim yaitu dibutuhkan kondisi dengan kelembaban tinggi serta berkembang baik pada suhu C untuk bertelur dan menetas. Kondisi tersebut ditemukan hanya di bagian utara dan pantai utara timur Australia (Anonim 2005). Di Queensland bagian selatan, jumlah caplak menurun diantara pertengahan bulan April sampai bulan Juni. Caplak betina menurun jumlahnya pada awal musim gugur dan dapat memproduksi larva dan bertahan sampai musim dingin, akhirnya menghasilkan jumlah caplak yang sangat banyak pada musim semi. Jika tidak dapat dikendalikan maka caplak berkembang biak lebih banyak pada awal musim gugur dan musim semi. Di bagian utara, caplak meletakkan telur yang produktif di mana saja. Di Queensland bagian tengah, jumlah caplak menurun selama musim dingin ketika di bagian utara Queensland berlangsung musim hujan yang menghambat produksi caplak (DPIF 2007). Di Australia, beberapa caplak keras (ixodid ticks) merupakan vektor penyebab parasit darah pada sapi yaitu T. buffeli. Caplak sapi, Boophilus microplus dianggap merupakan vektor penting. Sekarang ini paling tidak 2 spesies Haemaphysalis yaitu H. longicornis dan H. bancrofti yang dipercaya merupakan vektor paling utama untuk T. buffeli di Australia (Stewart et al. 1987). Pengenalan Penyakit Berdasarkan Gejala Klinis Gejala klinis yang biasa tampak pada sapi yang terinfeksi adalah kelemahan, berat badan turun, anoreksia, suhu tubuh tinggi, petekia pada mukosa konjunctiva,

28 pembengkakkan nodus limfatikus, anemia dan batuk. Infeksi pada stadium lanjut menyebabkan hewan tidak bisa berdiri, suhu tubuh dibawah normal (T<38,5 0 C), ikterus, dehidrasi, dan ada kalanya darah ditemukan di feses (Keles et al. 2001). Terjadinya demam hebat ada kaitannya dengan meningkatnya makroskizon, mikroskizon dan piroplasma. Pengamatan klinis ditentukan dengan temperatur rektal dan demam dinyatakan pada temperatur lebih dari 39,5 0 C (Preston 1992). Pemeriksaan parasitologi dilakukan dengan cara mikroskopik pada sediaan ulas darah tipis dan sediaan sentuh limfoglandula, yang diwarnai dengan Giemsa. Pemeriksaan sediaan ulas darah bertujuan untuk menemukan bentuk piroplasma dalam eritrosit dan menentukan tingkat parasitemia hewan terinfeksi, sedangkan pemeriksaan pada sediaan seluruh limfoglandula bertujuan untuk menemukan bentuk makroskizon dan mikroskizon (Preston 1992). Cara menentukan tingkat parasitemia antara lain dapat berdasarkan pada persentasi (%) jumlah eritrosit berparasit dalam eritrosit (Kamio, Fujisaki, Minami 1989), jumlah eritrosit yang ditemukan dalam 50 lapangan pandang mikroskop dibagi dengan 100 lapangan pandang (Flach, Ouhelli 1992) atau berdasarkan persentasi eritrosit berparasit dalam beberapa ratus sampai eritrosit (Garcia 2001) Berdasarkan Hematologi Theileria sergenti menyebabkan hypertermia dan anemia (Tanaka et al. 1993). Theileria orientalis menyebabkan anemia kronik yang progresif pada hewan terinfeksi di alam (Uilenberg 1981). Pada keadaan stres, dapat menyebabkan terjadinya peningkatan parasitemia yang diikuti oleh anemia akut, dengan ditandai turunnya nilai hematokrit, jumlah eritrosit dan lekosit (Kamio et al. 1990). Theileriosis dapat menyebabkan anemia normositik, kemudian berubah menjadi makrositik, yang diikuti dengan menurunnya jumlah limfosit dan meningkatnya jumlah monosit (Preston 1992). Menurut Mbassa et al. (1994), theileriosis dapat menyebabkan panleukemia, yang terdiri dari neutropenia, limfopenia dan eosinopenia. Profil hematologi yang diamati pada penyakit theileriosis adalah nilai hematokrit, eritrosit, lekosit, hemoglobin dan deferensial lekosit yang terdiri dari limfosit, netrofil, eosinofil, monosit dan basofil. Anemia

29 ditentukan berdasarkan jumlah eritrosit sebesar < /ml, lekopenia berdasarkan jumlah lekosit < /ml, dan lekositik berdasarkan jumlah lekosit > /ml. Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian Pengobatan infeksi Theileria sp. adalah dengan theilericidal yakni senyawa parvaquone dan turunannya (Keles et al. 2001). Efektifitas penggunaan obat tersebut sangat efektif jika digunakan pada stadium awal munculnya gejala klinis tetapi kurang efektif pada stadium lanjut karena telah terjadi kerusakan yang lebih luas pada limfoid dan jaringan hematopoietik (Siegel et al ; Kahn et al. 2008). Beberapa obat lain seperti parvaquone, buparvaquone dan halofuginone laktat dapat digunakan untuk pengobatan ECF. Tetrasiklin juga dapat diberikan tetapi kadang menyebabkan resisten terhadap antibiotika. Keberhasilan pengobatan sangat ditentukan oleh waktu pemberiannya yaitu pada awal munculnya gejala klinis. Umumnya metode pencegahan theileriosis adalah memberi perlakuan terhadap hewan yang peka. Hewan diinokulasi sporozoit dengan dosis sangat tinggi, yang diperoleh dari caplak dan diberikan secara bersamaan dengan salah satu jenis obat theilericidal. Bila tidak terbentuk proteksi silang (cross protection), maka inokulum harus berisi berbagai spesies atau strain Theileria. Imunitas yang terbentuk dari metode ini akan berlangsung kira-kira 3,5 tahun lamanya. Pengendalian penyakit ini berdasarkan banyak faktor termasuk manajemen, seleksi kelompok hewan resisten, pengendalian caplak, dan imunisasi (Siegel et al. 2006). Persyaratan Karantina Menurut badan kesehatan hewan dunia (The Office of International des Epizooties/OIE) bekerjasama dengan World Trade Organization (WTO) menetapkan standar perdagangan hewan dan produknya. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam importasi sapi dan kerbau dari negara yang dianggap terinfeksi ECF harus tercantum dalam dokumen kesehatan hewan (International Veterinary Certificate). Adapun persyaratan yang ditetapkan adalah hewan tidak menunjukkan gejala klinis theileriosis pada saat keberangkatan atau pengapalan, sejak lahir hewan dipelihara di daerah bebas theileriosis selama 2 tahun

30 sebelumnya, telah dilakukan uji laboratorium 30 hari sebelum pengapalan dengan hasil negatif terhadap parasitemia pada ulas darah dengan metode mikroskopik dan berdasarkan kondisi diatas hewan juga telah diberi perlakuan acaricid sebelum keberangkatan dan sama sekali bebas dari caplak (Siegel et al. 2006). Dampak Theileriosis terhadap Masyarakat Penyakit disebabkan protozoa genus Theileria, Babesia, Anaplasma dan Cowdria mengakibatkan kerugian besar dalam dunia peternakan. Theileriosis, babesiosis dan anaplasmosis menyebabkan ekor sapi mati setiap tahunnya, atau sekitar 74,4% dari total kematian sapi di Tanzania. Bila dikonversikan dengan kerugian daging atau karkas harga Tsh/kg (Tsh = Tanzania shilling), dan rata-rata berat karkas yang dihasilkan 100 kg untuk setiap ekor sapi maka ekuivalen dengan Tsh atau dollar AS. Jika dianggap 40% sapi yang mati adalah betina dewasa dan mampu memproduksi susu rata-rata 1,5 liter maka hal ini ekuivalen dengan liter susu yang rugi setiap tahunnya. Bila dikonversikan 200 Tsh/liter maka kerugian sebesar Tsh atau dollar AS, belum termasuk biaya pengobatan. Total kerugian karkas, susu dan biaya pengobatan atau lebih dari 14 juta dollar AS. Kerugian langsung juga mengakibatkan penurunan berat badan hewan, penurunan keuntungan dari penjualan karkas, terlambatnya proses pencapaian target berat badan, penurunan produksi dalam satu generasi/keturunan, kelemahan atau penyakit keturunan, pengafkiran karkas dan organ, penurunan kualitas daging, pembuangan dari kematian atau pengafkiran karkas atau organ, kerugian produksi susu, kerusakan kulit, kehilangan pekerjaan pekerja di peternakan, meningkatnya biaya lain-lain seperti jasa dokter hewan, laboratorium, surveilans, ganti kerugian, vaksinasi, administrasi dan munculnya penyakit harus diimbangi dengan upaya pencegahan dan pengendalian yang tidak dapat tergantikan (Mbassa 1998). Kerugian langsung akibat wabah theileriosis di Zambia Timur didasarkan hanya pada kematian hewan dan biaya pengendalian yang dihitung selama lebih dari 4 tahun diperkirakan sebesar 6 dollar AS pertahun/hewan (Billiouw et al. 2002).

31 Theileriosis disebabkan oleh T. annulata dapat mengakibatkan kematian berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gharbi et al. (2006) terhadap 24 kasus sapi terdiagnosa secara klinis pada tiga peternakan di Tunisia Utara, diperkirakan mengalami kerugian sebesar TD (TD = Tunisia Dollar) atau rata-rata sekitar TD setiap kasus yang terjadi. Sapi yang mengalami theileriosis tetap mengalami peningkatan berat badan, pada sapi tidak terinfeksi peningkatan berat badan lebih tinggi dibandingkan sapi terinfeksi theileriosis sub-klinis tanpa anemia. Kehilangan berat badan merupakan komponen paling utama kerugian theileriosis yaitu sekitar 70%, kerugian akibat kematian 22% dan kerugian untuk biaya pengendalian penyakit sebesar 8%. Menurut DFID (2009) tick borne disease termasuk kendala utama dalam dunia peternakan di daerah tropis. Pengaruh theileriosis di Afrika Timur dan Afrika Selatan diperkirakan 168 juta dollar AS, untuk sapi lokal biaya pengendalian penyakit ini diperkirakan 5-14 AS dollar setiap hewan per tahun. Dampak theileriosis di Indonesia yang pernah diteliti pada kasus di Sukabumi pada tahun 1979 terhadap 48 ekor sapi mengakibatkan penurunan produksi susu sekitar 1-2 liter. Disamping itu gejala klinis yang nyata berupa demam dan sebagian besar memperlihatkan gejala subklinis (Supadmo 1980).

32 BAHAN DAN METODE Bahan Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah kerja Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Tanjung Priok meliputi Pelabuhan Tanjung Priok dan 4 lokasi Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS). Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian (BBUS KP) Jakarta dan Laboratorium Protozoologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB). Penelitian berlangsung selama 3 bulan mulai bulan Agustus 2008 sampai Oktober Bahan Penelitian Sebagai bahan penelitian adalah sapi potong impor dari Australia yang diambil sampel darahnya, metanol absolut (95%) untuk fiksasi preparat apus darah, larutan Giemsa sebagai zat pewarna dan minyak emersi. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung venojek ukuran 5 ml dengan jarum dan holder, tabung EDTA (ethylene diamine tetraacetic acid) ukuran 5 ml, gelas obyek, rak preparat, bak pengecatan, mikroskop perbesaran 1000 kali. Metode Pengambilan Sampel Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel di IKHS. IKHS merupakan lokasi yang ditunjuk oleh Kepala Badan Karantina Pertanian sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina milik importir sapi selama masa karantina. Penentuan jumlah sampel berdasarkan rumus jumlah sampel untuk menduga prevalensi penyakit pada tingkat kepercayaan 95% menurut Thrusfield (2005) yaitu :

33 1,96 2 P exp (1 P exp ) n = d 2 n = ukuran contoh P exp = prevalensi yang diharapkan d = tingkat kesalahan Kemudian jumlah sampel di sesuaikan (adjust) dengan formula : N x n n adj = N + n* n adj = ukuran contoh disesuaikan n = ukuran contoh n* = ukuran contoh pada populasi besar N = ukuran populasi Berdasarkan rumus diatas, data prevalensi theileriosis di Australia 41% (Stewart et al. 2008) serta asumsi bahwa jumlah populasi rata-rata sapi yang masuk setiap satu bulan melalui Pelabuhan Tanjung Priok sekitar ekor maka jumlah sampel yang diambil adalah 372 sampel. Sampel tersebut diperoleh dari berbagai lokasi IKHS milik importir sapi yang berlokasi disekitar wilayah Jakarta. Penentuan sampel di kandang dilakukan dengan acak random. Pemeriksaan Parasit Preparat ulas darah tipis dibuat dengan darah sapi yang diambil dari vena coccygealis menggunakan tabung venojek steril berukuran 5 ml yang berisi zat antikoagulan EDTA. Cara pembuatan sediaan ulas darah yaitu mula-mula darah EDTA diulaskan setipis mungkin pada gelas obyek, kemudian segera dikeringkan di udara dengan cara dikipas-kipaskan. Setelah kering difiksasi dengan metanol absolut (95%) selama 2-3 menit. Kemudian dilakukan pewarnaan dengan larutan Giemsa selama 30 menit, dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan di udara, lalu diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000 kali dengan minyak emersi (Ditkeswan 1999). Tujuan pemeriksaan preparat ulas darah tipis ini adalah untuk menemukan bentuk Theileria sp. dalam eritrosit dan menentukan

34 tingkat parasitemianya yaitu persentasi (%) eritrosit berparasit dalam 200 eritrosit yang diperiksa (Garcia 2001). Prevalensi (%) ditentukan berdasarkan persentasi dari jumlah sapi sampel terinfeksi dari semua sampel yang diperiksa atau jumlah hewan yang sakit pada periode waktu tertentu dari jumlah individu dalam populasi yang berisiko pada periode waktu tertentu (Budiharta 2007). Pemeriksaan Darah Pemeriksaan darah ditujukan untuk mengetahui adanya anemia dan tipe anemia pada hewan yang diperiksa berdasarkan nilai pack cell volume (PCV) dan butir darah merah (BDM). Pemeriksaan dilakukan menggunakan automatic hematology analyzer yang hasil analisanya bisa langsung dibaca setelah sampel darah masuk. Penimbangan Berat Badan Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh infeksi Theileria sp. terhadap kenaikan berat badan sapi. Data diperoleh dengan menimbang berat badan sapi pada awal kedatangan dan satu bulan setelah tiba di IKHS. Sapi ditimbang berat badannya sebanyak 95 ekor berasal dari satu lokasi IKHS yaitu Lebak-Banten. Kenaikan berat badan perhari atau average daily gain (ADG) dihitung dengan membagi selisih berat badan dengan jumlah hari pemberian pakan atau day of feed (DOF). Pengumpulan Data Kuesioner Pengumpulan data kuesioner dilakukan oleh peneliti dengan cara wawancara langsung kepada petugas karantina (Dokter Hewan/Paramedis) dan perusahaan feedloters. Parameter yang diamati dibuat dalam blanko kuesioner (Lampiran 1) yaitu meliputi keterangan tentang sapi yang diimpor (bangsa, umur, jenis kelamin), keadaan selama perjalanan dari Australia (kematian, lamanya perjalanan, adanya hewan lain yang diangkut), kondisi kesehatan hewan (ketersediaan pakan, penyakit), kondisi kapal dan instalasi (sanitasi, kapasitas, konstruksi), populasi caplak di kapal dan instalasi, populasi sapi di sekitar instalasi serta perlakuan yang pernah diberikan.

35 Pengolahan Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji chi-square (x 2 ) untuk menganalisis signifikansi asosiasi antara kejadian penyakit dan faktor resiko dan uji-t (t-test) untuk menganalisis perbedaan data kontinyu (jujuh) berdasarkan dua kategori (Martin et al. 1987). Data kuesioner diolah berdasarkan peubah yang dilihat yaitu kelompok umur, lokasi atau daerah asal peternakan (farm), waktu pengambilan sampel (bulan, musim), jenis kelamin serta lokasi instalasi.

36 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengambilan Sampel Jumlah sampel menurut Thrusfield (2005) dihitung berdasarkan prevalensi theileriosis di Australia 41% (Stewart et al. 2008) dan rata-rata populasi sapi yang diimpor sebanyak ekor maka jumlah sampel yang diambil sebanyak 372 sampel, sedangkan dalam penelitian ini sampel yang diambil sebanyak 409 dari 4 lokasi IKHS (Tabel 1). Tabel 1 Jumlah sampel yang diambil di IKHS No Lokasi IKHS Jumlah sampel (ekor) Jenis kelamin Jantan Betina < 1 tahun Umur 1-3 tahun >3 tahun 1 Teluk Naga-Tangerang Legok-Tangerang Lebak-Banten Cileungsi-Bogor Total Berdasarkan tabel diatas semua sapi yang diimpor berjenis kelamin jantan dan berumur 1-3 tahun sehingga dalam hal ini tidak dapat dijadikan sebagai peubah. Parameter waktu pengambilan sampel, apakah musim hujan atau kemarau tidak dapat dijadikan acuan karena pengambilan sampel seluruhnya dilakukan pada bulan September (musim kemarau), jadi peubah ini seragam. Pengambilan sampel darah sapi dilakukan di empat lokasi (Tabel 1) IKHS yang berada pada kondisi lingkungan dan manajemen pemeliharaan sapi juga seragam. Pemeriksaan Parasit Hasil pemeriksaan mikroskopik preparat ulas darah menunjukkan bahwa di semua lokasi ditemukan bentuk Theileria sp. di dalam eritrosit (Gambar 3).

THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA

THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BABESIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RITA SARI DEWI

BABESIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RITA SARI DEWI BABESIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RITA SARI DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Parasit

TINJAUAN PUSTAKA. Parasit 4 Parasit TINJAUAN PUSTAKA Parasit dapat dibedakan menjadi dua yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidupnya menumpang di bagian luar dari tempatnya bergantung atau pada permukaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Persentase Parasit Darah Hasil pengamatan preparat ulas darah pada enam ekor kuda yang berada di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR FKH IPB) dapat dilihat sebagai berikut

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

THEII..ERIOSIS PADA SAPI AKIBAT INFEKSI THEILERIA MUTANS

THEII..ERIOSIS PADA SAPI AKIBAT INFEKSI THEILERIA MUTANS ~.. Dan kami bersyukur kepada Tuhan Yang telah melebarkan gerbang tua ini Dan kami bersyukur pada ibu bapa. Yang sepanjang malam Selalu berdoa tulus dan terbungkuk membiayai kami Dorongan kasih sepenuh

Lebih terperinci

KUALITAS MIKROBIOLOGIK MENTEGA IMPOR DARI PERANCIS DAN SELANDIA BARU EDI DARUDJATI

KUALITAS MIKROBIOLOGIK MENTEGA IMPOR DARI PERANCIS DAN SELANDIA BARU EDI DARUDJATI KUALITAS MIKROBIOLOGIK MENTEGA IMPOR DARI PERANCIS DAN SELANDIA BARU EDI DARUDJATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran.

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran. ABSTRAK Leucocytozoonosis merupakan salah satu penyakit yang sering menyebabkan kerugian berarti dalam industri peternakan. Kejadian penyakit Leucocytozoonosis dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu umur,

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi Berdasarkan hasil identifikasi preparat ulas darah anjing ras Doberman dan Labrador Retriever yang berasal dari kepolisian Kelapa Dua Depok, ditemukan

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

BABESIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RITA SARI DEWI

BABESIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RITA SARI DEWI BABESIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RITA SARI DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

TRYPANOSOMIASIS DAN THEILERIOSIS DI KENYA (Suatu tinjauan dari hasil kunjungan ke Kenya, 1983)

TRYPANOSOMIASIS DAN THEILERIOSIS DI KENYA (Suatu tinjauan dari hasil kunjungan ke Kenya, 1983) TRYPANOSOMIASIS DAN THEILERIOSIS DI KENYA (Suatu tinjauan dari hasil kunjungan ke Kenya, 1983) Ismu Prastyawati Balai Penelitian Penyakit Hewan, Bogor PENDAHULUAN Tulisan ini merupakan hasil kunjungan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Mei 2011, bertempat di kandang pemuliaan ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di kandang Fapet Farm dan analisis proksimat bahan pakan dan pemeriksaan darah dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PARASIT DARAH PADA TERNAK SAPI dan KAMBING DI LIMA KECAMATAN, KOTA JAMBI ANGGA YUKA ALTA NASUTION

PARASIT DARAH PADA TERNAK SAPI dan KAMBING DI LIMA KECAMATAN, KOTA JAMBI ANGGA YUKA ALTA NASUTION PARASIT DARAH PADA TERNAK SAPI dan KAMBING DI LIMA KECAMATAN, KOTA JAMBI ANGGA YUKA ALTA NASUTION FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 PARASIT DARAH PADA TERNAK SAPI dan KAMBING DI LIMA

Lebih terperinci

TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA

TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA ITA KRISSANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS Oleh : 1. Drh. Muhlis Natsir NIP 080 130 558 2. Drh. Sri Utami NIP 080 130 559 BALAI

Lebih terperinci

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK SITI RUKAYAH. Gambaran Sel

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Kuda (Dokumentasi)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Kuda (Dokumentasi) TINJAUAN PUSTAKA Kuda Gambar 1 Kuda (Dokumentasi) Kuda (Equus caballus) masih satu famili dengan keledai dan zebra, berjalan menggunakan kuku, memiliki sistem pencernaan monogastrik, dan memiliki sistem

Lebih terperinci

DENY HERMAWAN. SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

DENY HERMAWAN. SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan ii EFEKTIFITAS EKSTRAK SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees) DENGAN PELARUT AIR HANGAT TANPA EVAPORASI DAN KAJIAN DIFFERENSIAL LEUKOSIT PADA AYAM YANG DIINFEKSI DENGAN Eimeria tenella DENY HERMAWAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH, BIBIT TERNAK, DAN TERNAK POTONG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus

BAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus hewan dan manusia dengan ratusan strain yang berbeda, baik yang berbahaya maupun yang

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Indocement Citeureup, Bogor selama 10 minggu. Penelitian dilakukan pada awal bulan Agustus sampai pertengahan bulan Oktober

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal dan usus pada manusia sangat erat kaitanya dengan bakteri Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang bersifat zoonosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan transfusi darah adalah upaya kesehatan berupa penggunaan darah bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan. Sebelum dilakukan transfusi darah

Lebih terperinci

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA,

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, Trogoderma granarium Everts., (COLEOPTERA: DERMESTIDAE) DAN HAMA GUDANG LAINNYA DI WILAYAH DKI JAKARTA, BEKASI, SERANG, DAN CILEGON MORISA PURBA SEKOLAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia sulit terlepas dari kehidupan hewan, baik sebagai teman bermain atau untuk keperluan lain. Meskipun disadari bahwa kedekatan dengan hewan dapat menularkan

Lebih terperinci

PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)

PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) DANI WANGSIT NARENDRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK DANI

Lebih terperinci

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVI, No. 84, Juni 2014 ISSN : X

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVI, No. 84, Juni 2014 ISSN : X TRYPANOSOMIASIS PADA SAPI BALI DI BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN TERNAK (Trypanosomiasis in Bali Cattle Seedlings and Live Stock Reaserch Center) NKH Saraswati, Ketut Mastra, Made Sutawijaya,

Lebih terperinci

SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI. Bogor, 8-9 Agustus 2017

SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI. Bogor, 8-9 Agustus 2017 SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI Bogor, 8-9 Agustus 2017 Latar Belakang Pertambahan populasi lambat Penurunan performa

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach) DENGAN PELARUT AIR TERHADAP MORTALITAS LARVA CAPLAK ANJING (Rhipicephalus sanguineus)

PENGARUH EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach) DENGAN PELARUT AIR TERHADAP MORTALITAS LARVA CAPLAK ANJING (Rhipicephalus sanguineus) PENGARUH EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach) DENGAN PELARUT AIR TERHADAP MORTALITAS LARVA CAPLAK ANJING (Rhipicephalus sanguineus) R. DANG PINA MANGGUNG FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1070, 2013 KEMENTERIAN PERTANIAN. Sapi. Bakalan. Induk Potong. Pemasukan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85/Permentan/PD.410/8/2013

Lebih terperinci

KOKSIDIOSIS PAD A SAPI YANG DlSEBABKAN EIMERIA ZUERNII (RIVOLTA, 1887)

KOKSIDIOSIS PAD A SAPI YANG DlSEBABKAN EIMERIA ZUERNII (RIVOLTA, 1887) KOKSIDIOSIS PAD A SAPI YANG DlSEBABKAN EIMERIA ZUERNII (RIVOLTA, 1887) SKRIPSI Ole h DESY SUGESTI B. 190046 FAKUL TAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1 988 RINGKASAN Koksidia merupakan paras

Lebih terperinci

PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI

PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui sistem produksi ternak kerbau sungai Mengetahui sistem produksi ternak kerbau lumpur Tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. peternakan skala besar saja, namun peternakan skala kecil atau tradisional pun

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. peternakan skala besar saja, namun peternakan skala kecil atau tradisional pun BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Peternakan merupakan salah satu sektor penting dalam menunjang perekonomian bangsa Indonesia dan sektor peternak juga menjadi salah satu sektor yang menunjang

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. ventilasi tidak memadai, suhu dan kelembaban ekstrem serta kecepatan angin

PENDAHULUAN. Latar Belakang. ventilasi tidak memadai, suhu dan kelembaban ekstrem serta kecepatan angin PENDAHULUAN Latar Belakang Transportasi melibatkan beberapa potensi yang dapat menimbulkan ternak menjadi stres di antaranya penanganan kasar selama bongkar muat, pencampuran dengan ternak baru dan asing

Lebih terperinci

RABBIT FEVER?? Francisella tularensis

RABBIT FEVER?? Francisella tularensis RABBIT FEVER?? Kelinci bisa kena demam?? Gara-gara apa? Fransisca Kurnianingsih 078114084 Francisella tularensis Abstract Francisella tularensis adalah bakteri Gram negatif (bakteri Gram negatif terdiri

Lebih terperinci

Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia.

Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia. A. WAKTU BEKU DARAH Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia. Prinsip Darah yang keluar dari pembuluh darah akan berubah sifatnya, ialah dari sifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi parasit internal masih menjadi faktor yang sering mengganggu kesehatan ternak dan mempunyai dampak kerugian ekonomi yang besar terutama pada peternakan rakyat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Road-map Penelitian

Lampiran 1. Road-map Penelitian LAMPIRAN Lampiran 1. Road-map Penelitian Persiapan Penelitian Persiapan wadah dan ikan uji Bak ukuran 40x30x30cm sebanyak 4 buah dicuci, didesinfeksi, dan dikeringkan Diletakkan secara acak dan diberi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau lumpur betina, diperoleh jumlah rataan dan simpangan baku dari total leukosit, masing-masing jenis leukosit, serta rasio neutrofil/limfosit

Lebih terperinci

DEFINISI KASUS MALARIA

DEFINISI KASUS MALARIA DEFINISI KASUS MALARIA Definisi kasus adalah seperangkat criteria untuk menentukan apakah seseorang harus dapat diklasifikasikan sakit atau tidak. Kriteria klinis dibatasi oleh waktu, tempat, dan orang.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Malaria masih menjadi masalah kesehatan di daerah tropis dan sub tropis terutama Asia dan Afrika dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Patel

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara

Lebih terperinci

CROSSBREEDING PADA SAPI FH DENGAN BANGSA SAHIWAL. Oleh: Sohibul Himam Haqiqi FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2008

CROSSBREEDING PADA SAPI FH DENGAN BANGSA SAHIWAL. Oleh: Sohibul Himam Haqiqi FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2008 CROSSBREEDING PADA SAPI FH DENGAN BANGSA SAHIWAL Oleh: Sohibul Himam Haqiqi 0710510087 FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2008 PENDAHULUAN Saat ini jenis sapi perah yang ada di Indonesia

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Leptospirosis disebabkan oleh Spirochaeta termasuk genus Leptospira. Pada

PENGANTAR. Latar Belakang. Leptospirosis disebabkan oleh Spirochaeta termasuk genus Leptospira. Pada PENGANTAR Latar Belakang Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia dan hewan (zoonosis). Penyakit ini sangat penting dan ditemukan hampir di seluruh dunia, terutama di belahan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

KAJIAN KEBERADAAN PARASIT DARAH (ANAPLASMA, BABESIA, THEILERIA) DAN GAMBARAN FISIOLOGIS SAPI BAKALAN IMPOR ASAL AUSTRALIA IMELDA KARTINI TEFI

KAJIAN KEBERADAAN PARASIT DARAH (ANAPLASMA, BABESIA, THEILERIA) DAN GAMBARAN FISIOLOGIS SAPI BAKALAN IMPOR ASAL AUSTRALIA IMELDA KARTINI TEFI KAJIAN KEBERADAAN PARASIT DARAH (ANAPLASMA, BABESIA, THEILERIA) DAN GAMBARAN FISIOLOGIS SAPI BAKALAN IMPOR ASAL AUSTRALIA IMELDA KARTINI TEFI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit plasmodium yaitu makhluk hidup bersel satu yang termasuk ke dalam kelompok protozoa. Malaria ditularkan

Lebih terperinci

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL SKRIPSI NURLAELA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN NWUAELA. D24101054.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan Nasional Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2012. Pemeliharaan burung merpati dilakukan di Sinar Sari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Pengamatan profil darah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Malaria Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang disebabkan oleh parasit yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. 3 Malaria

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI CACING Fasciola spp SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai GelarSarjanaKedokteranHewan Diajukan Oleh EkaWidyana

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN

KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan untuk pengambilan sampel darah yaitu obyek glass, cover glass, Haemicitometer, jarum suntik, pipet kapiler, mikroskop monokuler. Vitamin E

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Detection of Antibody Against Avian Influenza Virus on Native Chickens in Local Farmer of Palangka

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN

PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

ABSTRAK. PENGARUH SARI BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.) TERHADAP PARASITEMIA PADA MENCIT JANTAN STRAIN BALB/c YANG DIINOKULASI Plasmodium berghei

ABSTRAK. PENGARUH SARI BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.) TERHADAP PARASITEMIA PADA MENCIT JANTAN STRAIN BALB/c YANG DIINOKULASI Plasmodium berghei ABSTRAK PENGARUH SARI BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.) TERHADAP PARASITEMIA PADA MENCIT JANTAN STRAIN BALB/c YANG DIINOKULASI Plasmodium berghei Lisa Marisa, 2009 Pembimbing I : Dr. Susy Tjahjani,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Upaya perbaikan kesehatan masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Upaya perbaikan kesehatan masyarakat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan dalam bidang kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan telur terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Untuk memenuhi

Lebih terperinci

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus) Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor

Lebih terperinci

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PELAYANAN KARANTINA HEWAN BERDASARKAN KATEGORISASI MEDIA PEMBAWA HPHK DAN WAKTU PELAYANAN

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PELAYANAN KARANTINA HEWAN BERDASARKAN KATEGORISASI MEDIA PEMBAWA HPHK DAN WAKTU PELAYANAN PERSYARATAN DAN PROSEDUR PELAYANAN KARANTINA HEWAN BERDASARKAN KATEGORISASI MEDIA PEMBAWA HPHK DAN WAKTU PELAYANAN BIDANG KARANTINA HEWAN BALAI BESAR KARANTINA PERTANIAN BELAWAN TAHUN 2014 PERSYARATAN

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2016 Januari Lokasi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2016 Januari Lokasi 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2016 Januari 2017. Lokasi pemeliharaan ayam broiler di Peternakan milik Bapak Hadi Desa Sodong Kecamatan Mijen Kota Semarang. Analisis

Lebih terperinci

MODUL PRAKTIKUM PARASITOLOGI PARASIT DARAH DAN JARINGAN BLOK 14 (AGROMEDIS DAN PENYAKIT TROPIS)

MODUL PRAKTIKUM PARASITOLOGI PARASIT DARAH DAN JARINGAN BLOK 14 (AGROMEDIS DAN PENYAKIT TROPIS) MODUL PRAKTIKUM PARASITOLOGI PARASIT DARAH DAN JARINGAN BLOK 14 (AGROMEDIS DAN PENYAKIT TROPIS) Oleh: Dr.rer.biol.hum. dr. Erma Sulistyaningsih, M.Si NAMA :... NIM :... FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH PROFIL PASIEN HIV DENGAN TUBERKULOSIS YANG BEROBAT KE BALAI PENGOBATAN PARU PROVINSI (BP4), MEDAN DARI JULI 2011 HINGGA JUNI 2013

KARYA TULIS ILMIAH PROFIL PASIEN HIV DENGAN TUBERKULOSIS YANG BEROBAT KE BALAI PENGOBATAN PARU PROVINSI (BP4), MEDAN DARI JULI 2011 HINGGA JUNI 2013 i KARYA TULIS ILMIAH PROFIL PASIEN HIV DENGAN TUBERKULOSIS YANG BEROBAT KE BALAI PENGOBATAN PARU PROVINSI (BP4), MEDAN DARI JULI 2011 HINGGA JUNI 2013 Oleh : YAATHAVI A/P PANDIARAJ 100100394 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hematologi Hasil pemeriksaan hematologi disajikan dalam bentuk rataan±simpangan baku (Tabel 1). Hasil pemeriksaan hematologi individual (Tabel 5) dapat dilihat pada lampiran dan dibandingkan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Road-map Penelitian

Lampiran 1. Road-map Penelitian LAMPIRAN Lampiran 1. Road-map Penelitian Persiapan Penelitian Persiapan wadah dan ikan uji (15-30 Agustus 2013) Bak ukuran 45x30x35cm sebanyak 4 buah dicuci, didesinfeksi, dan dikeringkan Diletakkan secara

Lebih terperinci

KAJIAN PENGGUNAAN ELISA SEBAGAI UJI CEPAT DALAM MENDETEKSI SALMONELLA SPP PADA HATI SAPI IMPOR NURYANI ZAINUDDIN

KAJIAN PENGGUNAAN ELISA SEBAGAI UJI CEPAT DALAM MENDETEKSI SALMONELLA SPP PADA HATI SAPI IMPOR NURYANI ZAINUDDIN KAJIAN PENGGUNAAN ELISA SEBAGAI UJI CEPAT DALAM MENDETEKSI SALMONELLA SPP PADA HATI SAPI IMPOR NURYANI ZAINUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KULIT DAGING BUAH KOPI YANG DIAMONIASI PADA PAKAN DOMBA TERHADAP PERSENTASE NON KARKAS DOMBA LOKAL JANTAN LEPAS SAPIH SKRIPSI

PEMANFAATAN KULIT DAGING BUAH KOPI YANG DIAMONIASI PADA PAKAN DOMBA TERHADAP PERSENTASE NON KARKAS DOMBA LOKAL JANTAN LEPAS SAPIH SKRIPSI 1 PEMANFAATAN KULIT DAGING BUAH KOPI YANG DIAMONIASI PADA PAKAN DOMBA TERHADAP PERSENTASE NON KARKAS DOMBA LOKAL JANTAN LEPAS SAPIH SKRIPSI EDEN PRANATHA GINTING 060306025 PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2015.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2015. 19 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2015. Penginduksian zat karsinogen dan pemberian taurin kepada hewan uji dilaksanakan di

Lebih terperinci

Proses Penyakit Menular

Proses Penyakit Menular Proses Penyakit Menular Bagaimana penyakit berkembang? Spektrum penyakit Penyakit Subklinis (secara klinis tidak tampak) Terinfeksi tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit; biasanya terjadi perubahan

Lebih terperinci

GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM

GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDING CENTER SOBANGAN VILLAGE, DISTRICT MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49/Permentan/PK.440/10/2016 TENTANG PEMASUKAN TERNAK RUMINANSIA BESAR KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

KOMPOSISI FISIK POTONGAN KOMERSIAL KARKAS DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SELAMA DUA BULAN PENGGEMUKAN

KOMPOSISI FISIK POTONGAN KOMERSIAL KARKAS DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SELAMA DUA BULAN PENGGEMUKAN KOMPOSISI FISIK POTONGAN KOMERSIAL KARKAS DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SELAMA DUA BULAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NURMALASARI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS

Lebih terperinci

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira interrogans sensu lato. Penyakit ini dapat menyerang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Cacing Tambang Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar 30 50 % di perbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di

Lebih terperinci

2 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 97/Permentan/PD.410/9/2013, dengan Peraturan Menteri Pertanian; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 t

2 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 97/Permentan/PD.410/9/2013, dengan Peraturan Menteri Pertanian; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1275, 2014 KEMENTAN. Sapi Bakalan. Sapi Indukan. Sapi Siap Potong. Pemasukan. Wilayah Negara. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108/Permentan/PD.410/9/2014

Lebih terperinci

IQBAL OCTARI PURBA /IKM

IQBAL OCTARI PURBA /IKM PENGARUH KEBERADAAN JENTIK, PENGETAHUAN DAN PRAKTIK PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI KECAMATAN SIANTAR TIMUR KOTA PEMATANG SIANTAR TAHUN 2014 TESIS OLEH IQBAL OCTARI

Lebih terperinci

infeksi bakteri : Borrelia spp. vektor : louse (kutu) dan tick (sengkenit)

infeksi bakteri : Borrelia spp. vektor : louse (kutu) dan tick (sengkenit) Rita Shintawati Pendahuluan Relapsing fever (RF) demam berulang infeksi bakteri : Borrelia spp. vektor : louse (kutu) dan tick (sengkenit) Gejala klinis yg khas timbulnya demam berulang diselingi periode

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN CAIRAN AMNION DALAM AIR MINUM TERHADAP PROFIL HEMATOLOGIS AYAM BROILER UMUR 28 HARI SKRIPSI. Oleh: SETYO INGGARIS AMIEN RAIS

PENGARUH PENAMBAHAN CAIRAN AMNION DALAM AIR MINUM TERHADAP PROFIL HEMATOLOGIS AYAM BROILER UMUR 28 HARI SKRIPSI. Oleh: SETYO INGGARIS AMIEN RAIS PENGARUH PENAMBAHAN CAIRAN AMNION DALAM AIR MINUM TERHADAP PROFIL HEMATOLOGIS AYAM BROILER UMUR 28 HARI SKRIPSI Oleh: SETYO INGGARIS AMIEN RAIS PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN

Lebih terperinci

KAJIAN TINGKAT KEAMANAN KEJU IMPOR DITINJAU DARI PENCEMARAN Listeria monocytogenes ISWAN HARYANTO

KAJIAN TINGKAT KEAMANAN KEJU IMPOR DITINJAU DARI PENCEMARAN Listeria monocytogenes ISWAN HARYANTO KAJIAN TINGKAT KEAMANAN KEJU IMPOR DITINJAU DARI PENCEMARAN Listeria monocytogenes ISWAN HARYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Brucellosis Penyakit keguguran / keluron menular pada hewan ternak kemungkinan telah ada sejak berabad-abad lalu seperti deskripsi dari Hippocrates dan mewabah pertama

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MALARIA BALAI LABORATORIUM KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MALARIA BALAI LABORATORIUM KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MALARIA BALAI LABORATORIUM KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 TUJUAN Mampu membuat, mewarnai dan melakukan pemeriksaan mikroskpis sediaan darah malaria sesuai standar : Melakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi. Gejala umumnya muncul 10 hingga

Lebih terperinci