4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Protozoa Parasitik Menurut Subronto (2006) protozoa dalam darah yang sering ditemukan pada anjing, antara lain dari genus Babesia, Hepatozoon dan Trypanosoma. Seringkali gejala yang ditimbulkan oleh infeksi protozoa sulit diketahui secara kasat mata hingga tidak teramati dan tidak diperhitungkan di dalam penentuan diagnosis. Kemungkinan dikarenakan oleh jumlah parasit yang tidak begitu banyak atau patogenitas parasit yang rendah. Untuk menentukan protozoa sebagai penyebab penyakit sangat ditentukan oleh tersedianya spesimen untuk diperiksa antara lain darah dan atau tinja. Akan tetapi tersedianya bahan pemeriksaan tersebut juga tidak selalu dapat membantu dalam menegakkan diagnosa penyakit yang disebabkan protozoa. Kesulitan lainnya adalah tidak segera dapat ditentukannya penyebab penyakit protozoa karena hampir-hampir penyakit-penyakit tersebut tidak memiliki gejala yang bersifat patognomonik. Ada berbagai macam pemeriksaan untuk mengetahui keberadaan protozoa terutama protozoa parasit darah. Salah satunya adalah pemeriksaan mikroskopis menggunakan sediaan ulas darah tipis yang telah diwarnai dengan pewarnaan giemsa dan menggunakan perbesaran 10 x 100. Dari pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap 30 preparat ulas darah anjing, pada 11 preparat ulas darah dapat ditemukan protozoa parasit darah dan dari satu preparat ulas darah anjing dapat ditemukan lebih dari satu jenis parasit darah. Parasit darah yang paling banyak ditemukan pada saat pengamatan adalah Babesia sp. (81,8%). Protozoa parasit darah yang terlihat pada pengamatan preparat ulas darah anjing merupakan protozoa intraeritrositik berbentuk titik atau bulat dengan warna yang lebih gelap dibandingkan dengan area sitoplasma dari sel darah merah. Karakteristik ini cocok dengan morfologi Babesia sp. yang merupakan parasit intraeritrositik.

2 Babesia sp. Protozoa hasil pengamatan (Sumber: (Perbesaran Objektif 100 kali) Gambar 1 Hasil pengamatan dibandingkan dengan literatur dari genus Babesia. Protozoa yang termasuk dalam genus Babesia sp. merupakan organisme yang dalam eritrosit dengan perkembangan secara aseksual menjadi dua, empat atau lebih parasit yang tidak berpigmen berbentuk amoeboid. Babesia merupakan protozoa dari ordo Piroplasmida famili Babesiidae. Delapan belas jenis Babesia telah diketahui, dan secara umum terbagi menjadi dua kelompok, bentuk besar dengan diameter rata-rata 3 mikron dan bentuk kecil dengan diameter rata-rata kurang dari 2,5 mikron. Dua spesies dari genus Babesia yang dominan menginfeksi anjing, yaitu Babesia canis dan Babesia gibsoni. Dari dua spesies Babesia ini terbagi lagi menjadi tiga subspesies, yaitu Babesia canis canis, Babesia canis vogeli dan Babesia canis rossi. Masingmasing subspesies ini dapat dibedakan berdasarkan analisis rangkaian gen rrna dan perbedaan sifat alami dan virulensinya pada anjing. Babesia canis rossi ditularkan melalui gigitan serangga Haemaphysalis spp. dan merupakan yang paling patogen dari ketiga subspesies tersebut. Babesia canis canis ditularkan melalui gigitan serangga Dermacentor spp. dan dapat menunjukkan gejala klinis yang bervariasi, sedangkan Babesia canis vogeli ditularkan oleh Riphicephalus sanguineus dan menyebabkan timbulnya gejala klinis yang ringan bahkan seringkali tidak menunjukkan gejala klinis. Babesia canis adalah piroplasma yang besar, berbentuk seperti buah pir, memiliki diameter 4-5 mikron meruncing pada satu ujung dan tumpul pada ujung yang lain. Sering terdapat satu vakuol dalam sitoplasma. Bentuk buah pir dapat membentuk sudut satu dengan yang lain, tetapi pada bentuk pleomorfis dapat terlihat organisme dengan berbagai bentuk, dari bentuk amoeboid sampai bentuk

3 cincin tergantung pada stadium perkembangan dalam hidupnya. Terkadang dapat lebih dari 16 organisme dalam satu sel darah merah. Dapat juga ditemukan dalam sel-sel makrofag, mungkin karena berhubungan dengan fagositosis eritrosit. Babesia gibsoni berukuran lebih kecil, pleomorfik dan bentuk pyriform, tropozoit dengan bentuk annular atau oval, bentuk cincin dapat terjadi tetapi jarang, bentuk ovoid sampai bentuk bulat, kira-kira setengah garis tengah sel induk semang atau bentuk memanjang terbentang sepanjang sel induk semang. Siklus perkembangan kedua protozoa ini sama, vektor utamanya adalah Rhipicephalus sanguineus yang terdapat di seluruh dunia. Ditemukan juga organisme dalam darah lainnya, yaitu Anaplasma sp.. Anaplasma pada awalnya dianggap sebagai parasit protozoa, namun dari hasil penelitian-penelitian tidak menunjukkan bahwa Anaplasma dapat dimasukkan ke dalam protozoa, sehingga Anaplasma dimasukkan ke golongan Rickettsia (Ristic & Kreier 1984 dalam Rajput et al & Sparagano 2003). Anaplasma sp. merupakan parasit intraeritrositik. Pada pengamatan mikroskopis terlihat bentuk dan ukuran mirip seperti Babesia sp. namun letaknya berada di tepi dari sel darah merah dan memiliki ukuran yang lebih kecil. Dalam satu sel darah merah dapat ditemukan lebih dari satu organisme genus Anaplasma. Anaplasma sp. (Sumber: Protozoa hasil pengamatan (Perbesaran Objektif 100 kali) Gambar 2 Hasil pengamatan dibandingkan dengan literatur dari genus Anaplasma Menurut Ashadi dan Handayani (1992), Anaplasma memiliki bentuk seperti bola dengan diameter 0,2 sampai 0,5 mikron, tidak memiliki sitoplasma namun terdapat lingkaran terang tidak nyata yang berada di sekitarnya. Kadangkadang dua organisme dapat terletak berdekatan satu sama lain, memberikan

4 gambaran seolah-olah sedang mengalami pembelahan, kadang-kadang perbanyakan dapat terjadi pada satu sel yang diinvasi. Hasil pengamatan mengarahkan pada spesies Anaplasma marginale karena letaknya yang berada di tepi eritrosit. Anaplasma memiliki dua tipe bentuk, bentuk globe atau bulat dan bentuk spiral atau filamen, namun biasanya pada pemeriksaan morfologi hanya organisme yang berbentuk bulat yang sering terlihat. Anaplama dapat ditularkan paling sedikit melalui 20 jenis caplak, antara lain Argas persicus, Ornithodoros lahorensis, Boophilus annulatus, B. decoloratus, B. microplus, Dermacentor albipictus, D. andersoni, D. occidentalis, D. variabilis, Hyalomma excavatum, Ixodes ricinus, Rhipicephalus bursa, R. sanguineus dan R. simus (Yabsley et al. 2008) tetapi yang paling banyak menyebabkan kejadian Anaplasmosis adalah Boophilus microplus. Penularan yang disebabkan oleh vektor mekanis pada inangnya adalah melalui gigitan. Haemobartonella sp. (Sumber: imagesendo/haemobartonella1.jpg Protozoa hasil pengamatan (Perbesaran Objektif 100 kali) Gambar 3 Hasil pengamatan dibandingkan dengan literatur dari genus Haemobartonella. Pada pengamatan juga ditemukan bentuk seperti batang dan bulat di dalam sel darah merah. Bentuk ini memiliki kesamaan dengan ciri-ciri dari genus Haemobartonella. Menurut Ashadi dan Handayani (1992) bentuk genus Haemobartonella ini seperti batang, bulat, cincin atau bentuk pleomorfis pada dan diantara sel-sel darah merah hewan terinfeksi. Genus ini termasuk dalam bentukbentuk yang berhubungan dengan golongan Rickettsia. Pengamatan menggunakan mikroskop elektron menunjukan bentuk bulat, badan oval, biasanya dalam bentuk berpasangan dan mengandung massa struktur internal yang tidak dapat dibedakan.

5 Hal terakhir inilah yang menunjukkan bahwa genus ini tidak termasuk ke dalam Protozoa. Tidak ditemukan keterangan yang jelas mengenai cara pemindahan Haemobartonella pada anjing. Kemungkinan bahwa arthropoda penghisap darah berperan untuk pemindahan organisme tersebut diantara sel-sel darah merah hewan terinfeksi. Tabel 1. Hasil pengamatan preparat ulas darah No Nama Asal Negara Ras Rambut Parasit Darah Babesia Anaplasma Haemobartonella 1 Cookie USA Shih Tzu Rambut panjang Baram Korsel Mini Pincher Rambut pendek Alex Perancis Brangue Rambut pendek Snoopy UEA Crossbreed Rambut panjang Simba Thailand Golden Retreiver Rambut panjang Brandy Singapura Shih Tzu Rambut panjang Amelia USA Cooker Spaniel Rambut panjang Collete USA Poodle Rambut panjang Smoocie USA Yorkshire Terrier Rambut panjang Peggy Jerman Rottweiler Rambut pendek Tag Indonesia Teckel Rambut pendek Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa parasit darah lebih banyak ditemukan pada anjing-anjing yang berasal dari USA (36%) dibandingkan dengan yang berasal dari negara lainnya. Sedangkan dilihat dari rasnya Shih Tzu terlihat lebih sering terinfeksi parasit darah (18%) dibandingkan dengan ras lain yang masuk ke instalasi karantina selama penelitian. 4.2 Hubungan tipe rambut dengan vektor Pengaruh dari tipe rambut terhadap infeksi protozoa parasit darah berhubungan dengan keberadaan vektor (ektoparasit). Rambut pada mamalia menjadi bagian yang penting dalam kehidupannya. Demikian juga pada anjing yang memiliki berbagai macam tipe rambut. Ada tiga tipe rambut pada anjing. Tipe rambut normal coat. Rambut tipe normal seperti tampak pada anjing Herder

6 (German shepherd), corgi atau anjing liar seperti serigala atau coyote. Tipe rambut normal ini ditandai oleh adanya rambut primer (kasar, panjang) dan rambut sekunder (rambut halus, undercoat). Berdasarkan jumlah (bukan berat), proporsi rambut sekunder lebih banyak dibanding rambut primer. Dua tipe rambut yang lain juga didasarkan atas ada dan tidaknya atau proporsi rambut primer dan sekunder. Tipe rambut short coat. Rambut pendek dapat dibagi dalam rambut pendek halus dan rambut pendek kasar. Rambut pendek yang kasar dapat ditemui pada anjing Rottweiler dan berbagai terrier. Tipe rambut ini mempunyai pertumbuhan rambut primer yang bagus sedang rambut sekunder tidak begitu berkembang. Berat total rambut lebih ringan dibanding tipe rambut normal dan rambut sekunder lebih sedikit dibanding tipe rambut normal. Rambut pendek halus dapat ditemui pada anjing Boxer, Dachshunds dan miniature Pinschers. Anjing dengan tipe rambut ini mempunyai jumlah rambut lebih banyak per unit area. Jumlah rambut sekunder banyak dan berkembang baik, sedang ukuran rambut primer lebih kecil dibanding tipe rambut normal. Ketiga adalah tipe rambut long coat yang terbagi menjadi dua, yaitu rambut panjang dan halus (the fine long coat) serta rambut panjang bergelombang dan kasar (the wooly atau the coarse long coat). Rambut panjang dan halus terdapat pada anjing Cocker spaniel, Pomeranian atau Chow chow. Rambut tipe ini mempunyai berat rambut lebih berat per area dibanding dengan tipe rambut normal kecuali breed kecil (toy) dimana berat rambut lebih ringan karena memiliki rambut yang lebih halus. Tipe rambut wooly atau kasar dapat ditemui pada anjing Poodle, Bedlington terrier dan the Kerry blue terrier. Berat rambut sekunder lebih dari 70% dari berat rambut total atau kira-kira 80% jumlah rambut sekunder. Rambut sekunder relatif kasar dan tidak mempunyai medulla (tipe lanugo) dan ketiga jenis anjing tersebut cenderung tidak mengalami kerontokan rambut dibanding dengan sebagian besar anjing yang lain. Dari hasil yang diperoleh, diketahui sebanyak 11 ekor anjing terinfeksi parasit darah dan 7 diantaranya atau sebesar 63% dari total anjing yang terinfeksi merupakan anjing dengan tipe rambut panjang. Berdasarkan hasil pengamatan, tingkat kejadian infeksi oleh parasit protozoa banyak terjadi pada anjing-anjing yang memiliki tipe

7 rambut yang panjang. Hal ini berhubungan dengan infestasi ektoparasit terutama caplak yang berkembang biak pada permukaan kulit anjing. Tipe rambut panjang merupakan predisposisi pada penularan caplak. Caplak yang menginfestasi anjing dengan tipe rambut yang panjang lebih sulit untuk dikendalikan karena tertutupi oleh lebatnya rambut. Caplak juga amat menyukai tempat yang lembab dan hangat guna menyelesaikan siklus hidupnya. Hal ini sesuai dengan kondisi rambut anjing yang panjang dan lebat. Pada negara yang memiliki empat musim, caplak biasanya akan muncul pada musim panas, sedangkan masalah infestasi caplak di Indonesia yang memiliki iklim tropis, dapat terjadi sepanjang tahun. Infeksi parasit darah pada anjing yang memiliki tipe rambut pendek salah satunya dapat dipengaruhi oleh banyaknya infestasi caplak. Namun caplak pada anjing yang memiliki rambut pendek cenderung lebih mudah dimusnahkan karena keberadaan caplak mudah untuk ditemukan sehingga penanganan dapat dilakukan dengan lebih cepat. Infeksi oleh protozoa pada anjing yang memiliki rambut yang pendek melalui perantara caplak juga dapat terjadi. Infeksi ini dapat terjadi karena keterlambatan pengobatan terhadap caplak atau kekebalan pada tubuh anjing yang sedang menurun sehingga infeksi protozoa dapat terjadi dengan mudah. 4.3 Hubungan infeksi parasit dengan vektor Dari beberapa spesies caplak yang paling sering menyerang anjing adalah caplak yang termasuk dalam famili Ixodidae. Di Indonesia spesies caplak dari famili tersebut yang paling banyak ditemukan di lapangan adalah Rhipicephalus sanguineus. Akan tetapi keberadaan caplak spesies lain tidak mustahil ditemukan juga di Indonesia, apalagi dalam beberapa dasawarsa terakhir dilakukan importasi berbagai jenis anjing dari luar negeri. Daerah tropik seperti Indonesia merupakan tempat yang ideal untuk perkembangbiakan caplak (ticks) anjing. Caplak telah lama dikenal sebagai pengganggu baik pada hewan domestik maupun pada manusia. Caplak (Rhipicephalus sanguines) merupakan parasit yang dapat menjadi penyebab utama dari penyakit sistemik selain nekrosa pada tempat gigitan dan reaksi peradangan pada inang yang diserangnya. Rhipicephalus sanguines merupakan caplak berumah tiga (three host tick), dimana setiap

8 stadium parasitik (larva, nimfa dan dewasa) dapat hidup pada inang yang berbeda (domba, sapi, anjing), akan tetapi ketiga stadium dari parasit ini dapat pula berlangsung pada inang yang sama (Aikawa & Sterling 1974). Secara umum siklus hidupnya menjadi sempurna dalam waktu 12 bulan, tetapi jika tidak dapat menemukan inang yang sesuai siklus hidupnya dapat berlangsung selama 2-3 tahun untuk menjadi sempurna karena larva dapat bertahan untuk periode waktu yang lama di luar inang dan mengalami hibernasi. Caplak betina bertelur butir yang menetas hari dan kemudian larva menempel pada hospes 1 (rambut panjang belakang leher anjing). Larva menghisap darah 2-6 hari, jatuh, dan menyilih menjadi nimfa 5-23 hari. Lalu nimfa menempel pada hospes 2, terutama di belakang leher, menghisap darah selama 4-9 hari lalu jatuh dan berkembang menjadi dewasa pada hari. Caplak dewasa kemudian menempel pada hospes ketiga terutama pada bagian telinga dan sela-sela jari anjing, menghisap darah pada 6-21 hari dan lalu jatuh untuk bertelur. Telur-telur caplak yang tidak menempel pada inang dapat mengotori lingkungan. Larva dapat hidup tanpa makanan sampai dengan 8,5 bulan, nimfa dewasa sampai dengan 19 bulan (Ahantarig et al & Torres 2008). Caplak akan bertaut secara kuat pada inang untuk periode waktu yang lama. Pada saat makan, caplak sering mengalami regurgitasi yang memungkinkan terjadinya perpindahan patogen melalui air liur ke dalam tubuh inang. Banyak penyakit sistemik yang diperantarai oleh caplak pada berbagai hewan domestik merupakan penyakit yang bersifat zoonosis. Rhipicephalus sanguineus merupakan transmiter dari infeksi protozoa parasit darah Babesia sp. dan Rickettsia Erhlichia sp. serta Anaplasma sp. pada anjing dan juga sejumlah penyakit lainnya. 4.4 Fasilitas Instalasi Karantina Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terhadap fasilitas yang terdapat pada instalasi karantina hewan, instalasi karantina hewan anjing terletak dalam satu area instalasi karantina hewan secara keseluruhan. Setiap kandang instalasi memiliki spesifikasi tersendiri sesuai dengan hewan yang dikarantina. Pada instalasi karantina hewan anjing, kandang yang digunakan dapat dibedakan

9 atas kandang untuk anjing ras besar seperti great dane, dan kandang anjing untuk ras kecil seperti terrier. Keduanya terdiri dari masing-masing kandang luar dan kandang dalam yang terhubung melalui celah atau pintu kecil untuk memberikan keleluasaan pergerakan anjing di dalam kandang instalasi karantina ini. Fasilitas yang dimiliki antara lain Air Conditioner (AC), kain kasa anti nyamuk dan ruang pemeriksaan fisik. Setiap lantai pada kandang beralaskan keramik sehingga memudahkan untuk melakukan pembersihan dan sanitasi. Kapasitas instalasi karantina untuk hewan anjing ini dapat menampung sebanyak 50 ekor. (a) (b) Gambar 4 Kondisi kandang Instalasi Karantina (a) kandang dalam dan (a) kandang luar. Kondisi lokasi studi baik pada kandang ras besar maupun kandang ras kecil terjaga dengan baik dan bersih karena setiap hari rutin dibersihkan. Setiap kandang memiliki sistem sanitasi dan drainase yang baik. Pemeriksaan hewan pun dilaksanakan secara rutin setiap hari untuk memantau kondisi kesehatan hewan. Kemungkinan untuk menyebarnya suatu penyakit dalam kandang instalasi ini sangat kecil. Keluar masuknya orang dalam instalasi karantina ini juga dibatasi untuk mencegah masuknya atau menyebarnya suatu penyakit. Kemungkinan penyebaran penyakit terutama yang disebabkan oleh protozoa parasit darah sangat tergantung pada sifat alamiah dari vektornya, dalam hal ini adalah caplak. Caplak dapat bertahan hidup di lingkungan dalam jangka waktu yang lama tanpa ketersediaan makanan dan mengalami hibernasi, namun setelah mendapatkan inang yang cocok maka caplak akan segera menghisap darah inang. Penularan dapat terjadi walaupun dalam jeda waktu yang cukup lama. Akan tetapi dilihat

10 juga dari siklus hidup caplak, kecil kemungkinan anjing-anjing tersebut terinfeksi parasit darah di instalasi karantina. 4.5 Prosedur Tindakan Karantina Ada beberapa prosedur yang wajib dilaksanakan pada saat membawa hewan melintas masuk atau keluar suatu daerah atau negara. Proses tindakan karantina untuk anjing yang merupakan hewan pembawa rabies (HPR) merupakan salah satu aturan umum melalulintaskan HPR, sedangkan aturan-aturan lain yang umum dilakukan antara lain setiap pengiriman atau pemasukan anjing ke luar pulau atau negara harus dilengkapi sertifikat kesehatan dari dokter hewan karantina dan dilaporkan kepada petugas karantina di pintu pemasukan atau pengeluaran (exit atau entry point) pelabuhan laut atau udara, pengiriman atau pemasukan anjing dari wilayah atau pulau atau negara bebas rabies ke wilayah atau pulau bebas lainnya di Indonesia dengan izin pemasukan Pemda penerima hewan dan anjing-anjing yang berasal dari wilayah atau pulau atau negara yang belum bebas rabies dilarang dikirimkan atau dimasukkan ke dalam wilayah atau pulau bebas rabies di Indonesia. Anjing yang dimasukkan ke wilayah atau pulau bebas rabies di Indonesia diperbolehkan apabila untuk kepentingan umum, ketertiban umum dan pertahanan keamanan dengan seizin menteri pertanian atau izin khusus. Karantina hewan merupakan salah satu tindakan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan. Karantina hewan adalah tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia (UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan). Persyaratan karantina yang harus dimiliki untuk melakukan pengiriman domestik antar area atau pulau (interinsuler) antara lain dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh Dokter Hewan Karantina dari tempat pengeluaran atau exit point (pelabuhan laut atau udara), surat keterangan sehat dan atau vaksinasi dari dokter hewan praktek, surat rekomendasi pemasukan atau pengeluaran yang diterbitkan oleh dinas peternakan atau dinas yang menangani

11 kesehatan hewan dan dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pemasukan dan pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina. Persyaratan untuk karantina impor antara lain dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh dokter hewan pemerintah di negara asal, surat persetujuan pemasukan (SPP) dari Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian dan dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina. Sedangkan untuk persyaratan karantina ekspor yaitu dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh Dokter Hewan Karantina di tempat pengeluaran (bandara atau pelabuhan laut), surat keterangan sehat dan vaksinasi dari Dokter Hewan Praktek,surat persetujuan pengeluaran dari Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, memenuhi persyaratan lainnya yang ditetapkan atau diminta oleh negara pengimpor atau tujuan dan dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di pelabuhan atau tempat pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina (Anonim [a] 2009). Setiap pemasukan atau pengeluaran anjing harus dilaporkan ke karantina hewan di pelabuhan udara atau laut untuk keperluan tindakan karantina sesuai peraturan perundangan, baik pada tatanan nasional maupun internasional. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya penyakit yang membahayakan kesehatan hewan itu sendiri maupun kesehatan manusia (zoonosis) (PP No. 82 tahun 2000 mengenai Karantina Hewan). Selama masa karantina, anjing akan menjalani pemeriksaan fisik atau klinis dan lebih lanjut dapat diambil sampel atau spesimennya untuk pemeriksaan laboratorium dan jika perlu diberikan perlakuan seperti vaksinasi, pengobatan dan sebagainya. Lamanya proses pengasingan atau pengamatan per masa karantina adalah 14 hari tergantung masa inkubasi penyakitnya. Titik berat pemeriksaan pada anjing-anjing yang masuk ke instalasi karantina adalah pemeriksaan penyakit rabies karena Indonesia merupakan negara yang bebas penyakit rabies. Dengan demikian pemeriksaan terhadap parasit darah tidak dilakukan di instalasi karantina hewan. Padahal tidak tertutup kemungkinan terdapat parasitparasit darah lainnya yang dapat menular dan mengganggu kesehatan hewan lain, bahkan yang bersifat zoonosis. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan dengan ditemukannya Babesia sp., Anaplasma sp. dan Haemobartonella sp..

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi Berdasarkan hasil identifikasi preparat ulas darah anjing ras Doberman dan Labrador Retriever yang berasal dari kepolisian Kelapa Dua Depok, ditemukan

Lebih terperinci

FAKULTAS HEWAN BOGOR 20100

FAKULTAS HEWAN BOGOR 20100 IDENTIFIKASI PROTOZOA PARASIT DARAH PADA ANJING (Canis sp.) ) RAS IMPOR DI BALAI BESAR KARANTINA PERTANIANN SOEKARNO HATTA SUPRIYONO DWI ATMOJO FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUTT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lalu. Salah satu bukti hubungan baik tersebut adalah adanya pemanfaatan

BAB I PENDAHULUAN. yang lalu. Salah satu bukti hubungan baik tersebut adalah adanya pemanfaatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anjing merupakan salah satu jenis hewan yang dikenal bisa berinteraksi dengan manusia. Interaksi demikian telah dilaporkan terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Salah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Persentase Parasit Darah Hasil pengamatan preparat ulas darah pada enam ekor kuda yang berada di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR FKH IPB) dapat dilihat sebagai berikut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Parasit

TINJAUAN PUSTAKA. Parasit 4 Parasit TINJAUAN PUSTAKA Parasit dapat dibedakan menjadi dua yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidupnya menumpang di bagian luar dari tempatnya bergantung atau pada permukaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai parasit sperti cacing telah dikenal beratus-ratus tahun yang lalu oleh nenek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai parasit sperti cacing telah dikenal beratus-ratus tahun yang lalu oleh nenek 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Parasit Parasit adalah organisme yang eksistensinya tergangung adanya organisme lain yang dikenal sebagai induk semang atau hospes. Organisme yang hidup sebagai parasit sperti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Ongole (Bos indicus) Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di Indonesia, sapi ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu Sumba ongole dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi parasit internal masih menjadi faktor yang sering mengganggu kesehatan ternak dan mempunyai dampak kerugian ekonomi yang besar terutama pada peternakan rakyat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan

Lebih terperinci

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI Kegiatan Infeksi cercaria Schistosoma japonicum pada hewan coba (Tikus putih Mus musculus) 1. Latar belakang Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan

Lebih terperinci

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Menimbang PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, : a. bahwa rabies merupakan

Lebih terperinci

*37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 82/2000, KARANTINA HEWAN *37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Kuda (Dokumentasi)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Kuda (Dokumentasi) TINJAUAN PUSTAKA Kuda Gambar 1 Kuda (Dokumentasi) Kuda (Equus caballus) masih satu famili dengan keledai dan zebra, berjalan menggunakan kuku, memiliki sistem pencernaan monogastrik, dan memiliki sistem

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Perah Sapi perah merupakan salah satu komoditi peternakan yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan bahan pangan bergizi tinggi yaitu susu. Jenis sapi perah yang paling

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU Menimbang : a. bahwa rabies merupakan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN I. UMUM Pengaturan pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan menjadi

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5543 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 130) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

KBM 8 : Arthropoda Sebagai Vektor dan Penyebab Penyakit didik.dosen.unimus.ac.id

KBM 8 : Arthropoda Sebagai Vektor dan Penyebab Penyakit didik.dosen.unimus.ac.id Parasitologi Kesehatan Masyarakat KBM 8 : Arthropoda Sebagai Vektor dan Penyebab Penyakit Mapping KBM 8 2 Tujuan Pembelajaran Tujuan Instruksional Umum : Mahasiswa mampu menggunakan pemahaman tentang parasit

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

Rickettsia prowazekii

Rickettsia prowazekii Rickettsia prowazekii Nama : Eva Kristina NIM : 078114026 Fakultas Farmasi Sanata Dharma Abstrak Rickettsia prowazekii adalah bakteri kecil yang merupakan parasit intraseluler obligat dan ditularkan ke

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan

TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan Instalasi karantina hewan (IKH) adalah bangunan berikut peralatan, lahan dan sarana pendukung lainnya yang diperlukan sebagai tempat pelaksanaan tindakan karantina

Lebih terperinci

2 POLA TRANSMISI PENYAKIT PADA BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

2 POLA TRANSMISI PENYAKIT PADA BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON 2 POLA TRANSMISI PENYAKIT PADA BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Pendahuluan Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan spesies badak yang ada di Indonesia yang keberadaannya terancam punah. IUCN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang 5 4 TINJAUAN PUSTAKA A. Kutu Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang memiliki bagian-bagian mulut seperti jarum (stilet) yang dapat masuk ke dalam kulit inangnya. Bagian-bagian mulut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. memenuhi kebutuhan akan protein, juga diharapkan akan meningkatkan pendapatan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. memenuhi kebutuhan akan protein, juga diharapkan akan meningkatkan pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengembangan usaha peternakan sampai saat ini masih merupakan program yang diprioritaskan oleh pemerintah. Peningkatan populasi ternak selain bertujuan memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen 3 TINJAUAN PUSTAKA Nematoda Entomopatogen 1. Taksonomi dan Karakter Morfologi Nematoda entomopatogen tergolong dalam famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae termasuk dalam kelas Secernenta, super

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ayam dan telur bukanlah jenis makanan yang asing bagi penduduk indonesia. Kedua jenis makanan tersebut sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan

Lebih terperinci

DEFINISI KASUS MALARIA

DEFINISI KASUS MALARIA DEFINISI KASUS MALARIA Definisi kasus adalah seperangkat criteria untuk menentukan apakah seseorang harus dapat diklasifikasikan sakit atau tidak. Kriteria klinis dibatasi oleh waktu, tempat, dan orang.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

THEII..ERIOSIS PADA SAPI AKIBAT INFEKSI THEILERIA MUTANS

THEII..ERIOSIS PADA SAPI AKIBAT INFEKSI THEILERIA MUTANS ~.. Dan kami bersyukur kepada Tuhan Yang telah melebarkan gerbang tua ini Dan kami bersyukur pada ibu bapa. Yang sepanjang malam Selalu berdoa tulus dan terbungkuk membiayai kami Dorongan kasih sepenuh

Lebih terperinci

Studi Kasus Infestasi Caplak Boophilus microplus pada Sapi Potong di Kota Banjarbaru

Studi Kasus Infestasi Caplak Boophilus microplus pada Sapi Potong di Kota Banjarbaru Studi Kasus Infestasi Caplak Boophilus microplus pada Sapi Potong di Kota Banjarbaru Sri Sulistyaningsih Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan E-mail: SriSulistyaningsihkwq@gmail.com Abstrak Caplak

Lebih terperinci

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92 Darmawan, Dyah Estikoma dan Rosmalina Sari Dewi D Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK Untuk mendapatkan gambaran antibodi hasil vaksinasi Rabivet Supra

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN, PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PAYAKUMBUH,

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pediculus Humanus Capitis Pediculus humanus capitis merupakan ektoparasit yang menginfeksi manusia, termasuk dalam famili pediculidae yang penularannya melalui kontak langsung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

Proses Penyakit Menular

Proses Penyakit Menular Proses Penyakit Menular Bagaimana penyakit berkembang? Spektrum penyakit Penyakit Subklinis (secara klinis tidak tampak) Terinfeksi tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit; biasanya terjadi perubahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2 No.1866, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Hewan. Penyakit. Pemberantasan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit plasmodium yaitu makhluk hidup bersel satu yang termasuk ke dalam kelompok protozoa. Malaria ditularkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2. PROTOZOA Entamoeba coli E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran 15-50 μm 2. sitoplasma mengandung banyak vakuola yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.130, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5543) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Blastocystis hominis 2.1.1 Epidemiologi Blastocystis hominis merupakan protozoa yang sering ditemukan di sampel feses manusia, baik pada pasien yang simtomatik maupun pasien

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. garis keturunannya tercatat secara resmi sebagai kucing trah atau galur murni

BAB I PENDAHULUAN. garis keturunannya tercatat secara resmi sebagai kucing trah atau galur murni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kucing adalah salah satu hewan peliharaan terpopuler di dunia. Kucing yang garis keturunannya tercatat secara resmi sebagai kucing trah atau galur murni (pure breed),

Lebih terperinci

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS PARASITOLOGI OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS DEFINISI PARASITOLOGI ialah ilmu yang mempelajari tentang jasad hidup untuk sementara atau menetap pada/ di dalam jasad hidup lain dengan maksud mengambil sebagian

Lebih terperinci

Jenis-Jenis dan Prevalensi Ektoparasit Pada Anjing Peliharaan

Jenis-Jenis dan Prevalensi Ektoparasit Pada Anjing Peliharaan Jenis-Jenis dan Prevalensi Ektoparasit Pada Anjing Peliharaan Ectoparasite Species and Their Prevalence on Pet Dogs Kiki Martha Puri, Dahelmi *) dan Mairawita Laboratorium Taksonomi Hewan, Jurusan Biologi,

Lebih terperinci

PARASTOLOGI. Tugas 1. Disusun untuk memenuhi tugas praktik komputer 1. Editor : Vivi Pratika NIM : G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN

PARASTOLOGI. Tugas 1. Disusun untuk memenuhi tugas praktik komputer 1. Editor : Vivi Pratika NIM : G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN 1 PARASTOLOGI Tugas 1 Disusun untuk memenuhi tugas praktik komputer 1 Editor : Vivi Pratika NIM : G0C015098 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Diare Penyakit diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Selain penyakit ini masih endemis di hampir semua daerah, juga sering muncul

Lebih terperinci

PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN

PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN Ketua Program studi/koordinator Mayor: drh., MS., Ph.D. Pengajar: DR.drh. Ahmad Arif Amin DR.drh., MSi DR.drh. Elok Budi Retnani, MSi drh. Fadjar Satrija, MSc., Ph.D.

Lebih terperinci

Proses Penularan Penyakit

Proses Penularan Penyakit Bab II Filariasis Filariasis atau Penyakit Kaki Gajah (Elephantiasis) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Filariasis disebabkan

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS Oleh : 1. Drh. Muhlis Natsir NIP 080 130 558 2. Drh. Sri Utami NIP 080 130 559 BALAI

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 41 Hasil Identifikasi Berdasarkan hasil wawancara terhadap peternak yang memiliki sapi terinfestasi lalat Hippobosca sp menyatakan bahwa sapi tersebut berasal dari Kabupaten

Lebih terperinci

MATRIKS DOMESTIK MASUK MEDIA PEMBAWA HPHK BKP KELAS II GORONTALO

MATRIKS DOMESTIK MASUK MEDIA PEMBAWA HPHK BKP KELAS II GORONTALO MATRIKS DOMESTIK MASUK MEDIA PEMBAWA HPHK BKP KELAS II GORONTALO NO JENIS MEDIA PEMBAWA PEMERIKSAAN DOKUMEN TINDAKAN KARANTINA HEWAN PEMERIKSAAN TEKNIS MASA KARANTINA KETERANGAN 1. HPR 14 hari Bagi HPR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kopi (Coffea spp.) Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah Brazil, Vietnam dan Colombia. Dari total produksi, sekitar 67% diekspor sedangkan

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PUBLIK JANGKA WAKTU LAYANAN KARANTINA ( SERVICE LEVEL AGREEMENT )

STANDAR PELAYANAN PUBLIK JANGKA WAKTU LAYANAN KARANTINA ( SERVICE LEVEL AGREEMENT ) 1 STANDAR PELAYANAN PUBLIK JANGKA WAKTU LAYANAN KARANTINA ( SERVICE LEVEL AGREEMENT ) KEMENTERIAN PERTANIAN BADAN KARANTINA PERTANIAN BALAI KARANTINA PERTANIAN KELAS I BANJARMASIN 2015 2 STANDAR PELAYANAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.214, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Veteriner. Hewan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MALARIA BALAI LABORATORIUM KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MALARIA BALAI LABORATORIUM KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MALARIA BALAI LABORATORIUM KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 TUJUAN Mampu membuat, mewarnai dan melakukan pemeriksaan mikroskpis sediaan darah malaria sesuai standar : Melakukan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN. Jenis Ektoparasit Jenis ektoparasit yang ditemukan dari empat belas ekor tikus putih (R. norvegicus) galur Sprague Dawley terdiri atas tiga jenis, yaitu tungau Laelaps echidninus,

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan sebagai perantara (vektor) beberapa jenis penyakit terutama Malaria

BAB I PENDAHULUAN. berperan sebagai perantara (vektor) beberapa jenis penyakit terutama Malaria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nyamuk adalah Serangga yang termasuk dalam Phylum Arthropoda, yaitu hewan yang tubuhnya bersegmen-segmen, mempunyai rangka luar dan anggota garak yang berbuku-buku.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta

HASIL DAN PEMBAHASAN Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta HASIL DAN PEMBAHASAN Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta Rumah Sakit Hewan Jakarta dibangun pada tanggal 25 Desember 1992, atas restu dan bantuan yang sangat besar dari Ibu Negara pada saat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1995 TENTANG PERLINDUNGAN TANAMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1995 TENTANG PERLINDUNGAN TANAMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1995 TENTANG PERLINDUNGAN TANAMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tingkat produksi budidaya tanaman yang mantap sangat menentukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik anjing impor Berdasarkan data Pusat Karantina Hewan (2008), tercatat sebanyak 548 ekor anjing impor dari berbagai negara yang dilalulintaskan melalui Balai Besar Karantina

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyebab Malaria Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium yang ditransmisikan ke manusia melalui nyamuk anopheles betina. 5,15 Ada lima spesies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepadatan penduduk. Menurut WHO (2009), Sekitar 2,5 miliar penduduk dunia

BAB I PENDAHULUAN. kepadatan penduduk. Menurut WHO (2009), Sekitar 2,5 miliar penduduk dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit demam berdarah dengue (DBD) sampai saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama. Jumlah penderita maupun luas daerah penyebarannya semakin bertambah

Lebih terperinci

Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah?

Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah? Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah? Upik Kesumawati Hadi *) Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 3586 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 12) UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah E. histolytica Penyebab amebiasis adalah parasit Entamoeba histolytica yang merupakan anggota kelas rhizopoda (rhiz=akar, podium=kaki). 10 Amebiasis pertama kali diidentifikasi

Lebih terperinci

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES 1 WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PARIAMAN, Menimbang

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 Tentang : Perlindungan Tanaman

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 Tentang : Perlindungan Tanaman Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 Tentang : Perlindungan Tanaman Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 6 TAHUN 1995 (6/1995) Tanggal : 28 PEBRUARI 1995 (JAKARTA) Sumber : LN 1995/12; TLN NO. 3586

Lebih terperinci

Penyakit Layu Bakteri pada Kentang

Penyakit Layu Bakteri pada Kentang Penyakit Layu Bakteri pada Kentang Penyakit layu bakteri dapat mengurangi kehilangan hasil pada tanaman kentang, terutama pada fase pembibitan. Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Ulat sutera adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi keempat stadia, yaitu telur, larva atau lazim

Lebih terperinci

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus) Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor

Lebih terperinci

KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN

KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN KEGIATAN PENELITIAN Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong dalam genus Schistosoma. Ada tiga spesies Schistosoma yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat dilakukan dengan banyak metoda. Salah satu metoda yang paling diyakini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat dilakukan dengan banyak metoda. Salah satu metoda yang paling diyakini BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sediaan Malaria Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa penyakit malaria dapat dilakukan dengan banyak metoda. Salah satu metoda yang paling diyakini dapat menemukan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI KOTA DUMAI Hasil Rapat Bersama DPRD Tanggal 21 Juli 2008 LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI Nomor : 10 Tahun 2008 Seri : D Nomor 06 PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMELIHARAAN TERNAK DAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Anjing (Canis familiaris)

TINJAUAN PUSTAKA. Anjing (Canis familiaris) 5 TINJAUAN PUSTAKA Anjing (Canis familiaris) Anjing merupakan salah satu hewan yang banyak dipelihara karena mempunyai hubungan erat dengan manusia. Beberapa tujuan dari pemeliharaan anjing antara lain

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 02-6730.2-2002 Standar Nasional Indonesia Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok disusun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015 PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR 2015 Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015 1 BAB VI PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMELIHARAAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMELIHARAAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMELIHARAAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem pemeliharaan yang kurang baik salah satunya disebabkan oleh parasit (Murtidjo, 1992). Menurut Satrija

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan ternak lain, yaitu laju pertumbuhan yang cepat, mudah dikembangbiakkan,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 51/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 51/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 51/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG REKOMENDASI PERSETUJUAN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH DAN/ATAU BIBIT TERNAK KE DALAM DAN KE LUAR WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.20, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Otoritas Veteriner. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6019) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/Permentan/OT.140/3/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/Permentan/OT.140/3/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/Permentan/OT.140/3/2014 TENTANG TlNDAKAN KARANTINA HEWAN TERHADAP PEMASUKAN DAN PENGELUARAN UNGGAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

... sesungguhnya segala sesuatu yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat rnenciptakan

... sesungguhnya segala sesuatu yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat rnenciptakan ... sesungguhnya segala sesuatu yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat rnenciptakan seek~r lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk rnenciptakannya. Dan jika lalat itu rnerarnpas sesuatu dari

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA,

Lebih terperinci