RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI DELAPAN SPESIES BURUNG DICKY ARI WIBOWO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI DELAPAN SPESIES BURUNG DICKY ARI WIBOWO"

Transkripsi

1 RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI DELAPAN SPESIES BURUNG DICKY ARI WIBOWO FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) Gen Sitokrom b DNA Mitokondria dari Delapan Spesies Burung adalah karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber Informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi. Bogor, Agustus 2009 Dicky Ari Wibowo NIM B

3 ABSTRAK DICKY ARI WIBOWO. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) Gen Sitokrom b DNA Mitokondria dari Delapan Spesies Burung. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan WAHONO ESTHI PRASETYANINGTYAS Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) delapan spesies burung lokal berdasarkan fragmen Sitokrom b DNA mitokondria. Hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai dasar informasi untuk mengenali spesies burung. Delapan sampel jaringan burung diperoleh di sekitar Bogor dan disimpan dalam larutan NaCl 4,5 M yang mengandung DMSO 25 %. DNA diisolasi dengan metode presipitasi amonium asetat. Primer universal Sitokrom b L14841/H15149 digunakan untuk amplifikasi fragmen gen sitokrom b DNA mitokondria dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dilanjutkan dengan elektroforesis. DNA hasil PCR (amplikon) kemudian dicerna (dipotong) dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I (2,5 unit) dan Rsa I (20 unit) masing-masing selama 2 jam dan 6 jam. Penghitungan ukuran DNA amplikon dan fragmen hasil pemotongan dilakukan dengan mengukur jarak antara migrasi DNA sampel dengan migrasi DNA ladder dalam gel agarose 2 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa delapan spesies burung lokal mempunyai amplikon yang berukuran 359 pb, serta mempunyai ukuran fragmen restriksi Hinf I yang berbeda kecuali bondol peking dan manyar jambul. Fragmen restriksi Rsa I yang dihasilkan juga berbeda kecuali manyar jambul dan dederuk jawa, serta ayam kampung dan merbah cerukcuk. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metode PCR menggunakan primer universal sitokrom b serta pemotongan fragmen dengan enzim restriksi Hinf I dan atau Rsa I dapat digunakan untuk mengenali kedelapan spesies burung. Kata kunci : sitokrom b, DNA mitokondria, Hinf I, Rsa I, burung

4 ABSTRACT DICKY ARI WIBOWO. The Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) of Cytochrome b Gene Mitochondrial DNA from Eight Birds Species. Under direction of ITA DJUWITA and WWAHONO ESTHI PRASETYANINGTYAS The aim of this research is to study the Restriction Fragment Length Polyorphism (RFLP) of eight species local birds based on the cytochrome b mitochondrial DNA fragment. The results gained from this study is expected to be used as basic information for tissue birds species recognition. Eight bird tissues collected from Bogor area were preserved in 4,5 M NaCl containing 25 % DMSO. DNA were isolated using ammonium acetat precipitation. Universal oligonucleotide cytochrome b primers L14841/H15149 were used for amplification of the cytochrome b gene mitochondrial DNA fragment using Polymerase Chain Reaction (PCR) method, followed by determination of the PCR product by electrophoresis. The amplicon were digested using restriction enzymes Hinf I (2,5 unit) and Rsa I (20 unit) for 2 and 6 hours, respectively. The calculation of the DNA amplicon and restriction fragment is done by measuring the distance between sample DNA migration with the ladder DNA in 2 % agarose gel. The results showed that eight local birds species have 359 bp amplicon, and have different Hinf I restriction fragment size except between scaly-breasted munia and streaked weaver, and also have different Rsa I restriction fragment size except streaked weaver and javan turtle dove, and also chicken and yellow-vented bulbul. In conclusion, universal oligonucleotide cytochrome b primer followed by digestion with Hinf I and Rsa I restriction enzymes can be used for the eight birds species recognition. Key words : cytochrome b, mitochondrial DNA, Hinf I, Rsa I, birds

5 RINGKASAN DICKY ARI WIBOWO. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) Gen Sitokrom b DNA Mitokondria dari Delapan Spesies Burung. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan WAHONO ESTHI PRASETYANINGTYAS. Indonesia mempunyai 1359 jenis burung yang merupakan 17 % dari jumlah total spesies burung di seluruh dunia. Namun, menurut data International Union for Conservation of Nature and natural Resources (IUCN) red list of threatened species pada tahun 2008 telah menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai 133 jenis burung terancam punah, sehingga kondisi ini telah menyebabkan Indonesia masuk ke peringkat dua negara yang mempunyai burung terancam punah di dunia. Penurunan populasi dan peningkatan status keterancaman punah burung liar disebabkan oleh adanya degradasi habitat, konversi lahan serta adanya perburuan liar dan perdagangan sehubungan dengan meningkatnya permintaan pasar. Hal ini memerlukan suatu langkah penegakan hukum terkait dengan produk-produk perdagangan ilegal satwa tersebut supaya kelestarian di alam tetap terjaga. Namun, penegakan hukum sering mengalami kendala ketika morfologi satwa liar sudah tidak terlacak, sehingga diperlukan teknik identifikasi spesies melalui analisa DNA yang dapat dilakukan dengan cara sekuensing DNA, PCR dan dengan menggunakan enzim restriksi. Analisa DNA tersebut pada umumnya menggunakan gen sitokrom b dari DNA mitokondria karena daerah tersebut dapat digunakan untuk identifikasi spesies dan analisis evolusi. Identifikasi burung lokal secara molekuler dengan menggunakan gen sitokrom b DNA mitokondria belum pernah dilakukan kecuali pada ayam dan itik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi pengumpulan sampel, ekstraksi DNA genom dari jaringan otot, amplifikasi fragmen DNA mitokondria melalui PCR, pemotongan DNA dengan enzim restriksi Hinf I dan Rsa I, pembacaan hasil dengan menggunakan elektroforesis, serta penghitungan ukuran fragmen restriksi. Pengumpulan sampel delapan jaringan tubuh berupa otot burung lokal dilakukan di pedagang burung sekitar Bogor yang kemudian disimpan di dalam larutan DMSO 25 % dan NaCl 4.5 M sampai dilakukan ekstraksi DNA genom. Langkah selanjutnya adalah dilakukan ekstraksi DNA genom dengan menggunakan metode presipitasi amonium asetat (Sambrook et al. 1982). Kemudian DNA genom tersebut diamplifikasi pada daerah sitokrom b DNA mitokondria dengan menggunakan primer universal L14841/H15149 (Kocher et al. 1989) masing-masing 1μg, enzim taq polymerase sebanyak 2,5 unit serta DNA template sebanyak ± 100ng dalam total volume 25μl. Setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan hasil PCR melalui elektroforesis dengan menggunakan gel agarose 1,5% dan hasilnya dilihat di atas sinar UV transluminator (260nm). DNA hasil PCR atau amplikon kemudian dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I dan Rsa I dengan urutan sebagai berikut; dicampurkan ddh2o sebanyak 12,25μl untuk Hinf I dan 10,5μl untuk Rsa I, buffer sebanyak 2,5μl, enzim Hinf I sebanyak 2,5 unit dan enzim Rsa I sebanyak 20 unit, serta DNA hasil PCR sebanyak 10μl dalam total volume 25μl selama 2 jam untuk Hinf I dan 6 jam untuk Rsa I pada suhu 37 C. Hasil pemotongan dibaca dengan menggunakan agarose gel elektroforesis 2% di atas sinar UV transluminator (260nm). Penghitungan ukuran DNA hasil PCR

6 (amplikon) dan fragmen hasil pemotongan dilakukan dengan mengukur jarak anatara migrasi DNA sampel dengan migrasi DNA ladder dalam gel agarose (Sambrook et al. 1982). Delapan spesies burung lokal mempunyai DNA hasil amplifikasi sebesar 359 pb. Semua amplikon delapan spesies burung lokal dapat dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I, sedangkan pemotongan amplikon dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I hanya dapat digunakan untuk memotong tujuh amplikon sampel dari delapan amplikon sampel burung. Amplikon sampel burung yang tidak dapat terpotong dengan enzim restriksi endonuklease Rsa I adalah itik (Anas domesticus). Burung cucak kutilang dan merbah cerukcuk mempunyai ukuran frgamen restriksi Hinf I dan Rsa I yang berbeda meskipun kedua burung ini mempunyai persamaan taksonomi pada tingkat genus dan persamaan morfologi yang dekat. Burung manyar jambul dan bondol peking yang hanya mempunyai persamaan tingkat taksonomi pada tingkat famili dan mempunyai ciri morfologi yang sedikit berbeda ternyata mempunyai ukuran fragmen restriksi Hinf I yang sama, sedangkan anatara burung bondol peking dan bondol jawa yang mempunyai persamaan taksonomi pada tingkat genus dan ciri morfologi yang berdekatan ternyata mempunyai ukuran fragmen restriksi Hinf I yang berbeda, hal ini menandakan bahwa enzim restriksi Hinf I tidak mempunyai situs pemotongan yang sama anatara bondol peking dan bondol jawa. Pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi Rsa I pada burung manyar jambul, bondol peking, dan bondol jawa menghasilkan ukuran fragmen restriksi yang berbeda. Burung dederuk jawa, ayam kampung dan itik yang hanya mempunyai persamaan tingkat taksonomi dengan burung lokal lainnya dan mempunyai ciri morfologi yang berbeda ternyata menghasilkan ukuran frgamen restriksi yang berbeda ketika dipotong dengan enzim restriksi Hinf I. Namun, ketika dipotong dengan enzim restriksi Rsa I diantara ketiga burung tersebut ternyata menghasilkan ukuran fragmen yang berbeda dan mempunyai persamaan fragmen, yaitu antara burung dederuk jawa dengan manyar jambul dan anatara ayam kampung dengan merbah cerukcuk, serta itik tidak mempunyai situs restriksi untuk enzim restriksi Rsa I sehingga ukuran fragmen sama dengan ukuran amplikon. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metode PCR menggunakan primer universal sitokrom b serta pemotongan fragmen dengan enzim restriksi Hinf I dan atau Rsa I dapat digunakan untuk mengenali kedelapan spesies burung. Kata kunci : sitokrom b, DNA mitokondria, Hinf I, Rsa I, burung

7 RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI DELAPAN SPESIES BURUNG DICKY ARI WIBOWO Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

8 Judul Skripsi Nama Mahasiswa NIM : Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) Gen Sitokrom b DNA Mitokondria dari Delapan Spesies Burung : Dicky Ari Wibowo : B Disetujui Dr. drh. Hj. Ita Djuwita, M. phil Ketua drh. Wahono Esthi Prasetyaningtyas, M.Si Anggota Diketahui Dr. Dra. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal lulus :

9 PRAKATA Segala puji hanya milik Allah SWT atas segala nikmat yang telah dikaruniakannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi hasil penelitian yang berjudul Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) Gen Sitokrom b DNA Mitokondria dari Delapan Spesies Burung. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi besar Muhammad SAW. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada Ibu Dr. drh. Hj. Ita Djuwita, M. phil selaku pembimbing skripsi pertama, ibu drh. Wahono Esthi Prasetyaningtyas, M.Si selaku pembimbing skripsi kedua, bapak Dr. drh. Nurhidayat, MS selaku pembimbing akademik, staf Laboratorium Pendidikan dan Layanan Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan IPB, staf laboratorium Embriologi FKH IPB, bapak Harry Soebagyo, ibu Sri Redjeki, keluarga besar di Rembang, Denny Saputra, Thufeil Yunindika dan Ruli Oktoriadi, Agus Efendi, Tiara Widyaputri sebagai teman sepenelitian, Gobleters, Divisi Konservasi Burung Uni Konservasi Fauna IPB, KIBC, serta semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak. Semoga karya tulis ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2009 Dicky Ari Wibowo

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Rembang pada 12 Januari 1987, anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis merupakan putra dari Harry Soebagyo dan Sri Redjeki. Penulis menghabiskan masa sekolah TK sampai SMA di Rembang. Lulus dari TK Pertiwi Rembang dilanjutkan ke SD Negeri Kutoharjo I Rembang. Kemudian dilanjutkan di SLTP Negeri 2 Rembang. Setelah lulus dari pendidikan lanjutan pertama, pendidikan dilanjutkan di SMU Negeri 1 Rembang. Penulis lulus dari sekolah lanjutan atas pada tahun Penulis diterima di IPB melalui jalur USMI pada tahun yang sama. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi anggota UKM Uni Konservasi Fauna - Divisi Konservasi Burung. Selama kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan, penulis juga tercatat pernah menjadi anggota Himpro Hewan Kesayangan dan Satwa akuatik serta anggota IMAKAHI. Selain itu, organisasi di luar kampus yang pernah diikuti oleh penulis adalah menjadi anggota Kutilang Indonesia Birdwatching Club (KIBC).

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Manfaat... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Definisi Burung... 4 Beberapa Jenis Burung Lokal... 4 Kondisi dan Pemanfaatan Burung Liar Di Indonesia Peranan Studi Molekuler Dalam Kegiatan Konservasi Identifikasi Spesies Genom Mitokondria Untuk Identifikasi Spesies Gen Sitokrom b untuk Identifikasi Spesies PCR RFLP sebagai Alat Bantu dalam Identifikasi Spesies Polymerase Chain Reaction (PCR) Primer (Oligonukleotida) DNA Polymerase (Taq Polymerase) Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Alat Penelitian Bahan Penelitian Metode Kerja Pengumpulan Sampel Ekstraksi DNA Genom dari Jaringan Otot Amplifikasi Fragmen DNA Mitokondria melalui PCR Pemotongan DNA dengan Hinf I dan Rsa I Pembacaan Hasil Menggunakan Elektroforesis Penghitungan Ukuran Fragmen Restriksi HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan Analisis Pemotongan Amplikon Sitokrom b dari DNA Mitokondria Delapan Burung Lokal dengan Menggunakan Enzim Restriksi Endonuklease Identifikasi Fragmen Restriksi Delapan Jenis Burung Lokal melalui Perbedaan Ukuran Basa Sitokrom b dari DNA Mitokondria xii xiii xv x

12 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA xi

13 DAFTAR TABEL Halaman 1 Taksonomi delapan jenis burung lokal yang digunakan dalam penelitian Ukuran fragmen-fragmen hasil PCR dan pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi Hinf I dan Rsa I xii

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Cucak kutilang Merbah cerukcuk Manyar jambul Bondol jawa Bondol peking Dederuk jawa Ayam kampung Itik Genom mitokondria burung (a dan b), mamalia dan Xenopus (c) Tahapan yang dibutuhkan untuk amplifikasi sekuen DNA dengan PCR DNA ladder (a) serta amplikon delapan jenis burung lokal yaitu; bondol jawa (b), bondol peking (c), merbah cerukcuk (d), cucak kutilang (e), dederuk jawa (f), manyar jambul (g) dan itik (h) DNA ladder (a), fragmen restriksi merbah cerukcuk (b) dan fragmen restriksi cucak kutilang (c) yang dipotong dengan menggunakan Hinf I DNA ladder (a), fragmen restriksi dederuk jawa (b), fragmen restriksi cucak kutilang (c) dan fragmen restriksi merbah cerukcuk (d) yang dipotong dengan enzim Rsa I DNA ladder (a) dan fragmen restriksi manyar jambul (b) yang dipotong dengan enzim Hinf I DNA ladder (a) dan fragmen restriksi manyar jambul (b) yang dipotong dengan enzim Rsa I DNA ladder (a), fragmen restriksi bondol jawa (b) dan bondol peking (c) yang dipotong dengan Hinf I DNA ladder (a), fragmen restriksi bondol jawa (b) dan bondol peking (c) yang dipotong dengan Rsa I DNA ladder (a) serta fragmen restriksi dederuk jawa (b) yang dipotong dengan enzim Hinf I Fragmen restriksi ayam kampung yang dipotong dengan Hinf I (a) dan ukuran basa pada DNA ladder (b) xiii

15 20 Fragmen restriksi ayam kampung yang dipotong dengan Rsa I (a) dan ukuran basa pada DNA ladder (b) DNA ladder (a) dan fragmen restriksi itik (b) yang dipotong dengan enzim Hinf I DNA ladder (a) dan fragmen restriksi itik (b) yang dipotong dengan enzim Rsa I xiv

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Perhitungan manual amplikon bondol jawa, bondol peking, merbah cerukcuk, cucak kutilang, dederuk jawa, manyar jambul dan itik Penghitungan manual fragmen restriksi Hinf I ayam kampung Penghitungan manual fragmen restriksi Rsa I ayam kampung Penghitungan manual fragmen restriksi Hinf I bondol jawa dan bondol peking Penghitungan manual fragmen restriksi Rsa I bondol jawa dan bondol peking Penghitungan manual fragmen restriksi Rsa I dederuk jawa, cucak kutilang dan merbah cerukcuk Penghitungan manual fragmen restriksi Hinf I merbah cerukcuk dan cucak kutilang Penghitungan manual fragmen restriksi Hinf I dederuk jawa Penghitungan manual fragmen restriksi Hinf I manyar jambul dan itik Penghitungan manual fragmen restriksi Rsa I manyar jambul Penghitungan manual fragmen restriksi Rsa I itik xv

17 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Data International Union for Conservation of Nature and natural Resources (IUCN) red list of threatened species pada tahun 2008 menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang masuk peringkat sepuluh besar negara yang mempunyai burung-burung terancam punah, yakni berada di peringkat kedua setelah Brazil. Menurut data IUCN, jumlah spesies burung di Indonesia yang terancam punah yaitu sebanyak 133 jenis. Ancaman terbesar terhadap kelestarian jenis-jenis burung antara lain peningkatan kegiatan pertanian (sebesar 73%) dan juga melalui penggunaan sumberdaya alam yang berlebihan oleh manusia, salah satunya adalah eksploitasi terhadap populasi burung secara tidak langsung misalnya dalam ilegal logging (sebesar 71%). Serta ancaman utama terhadap kelestarian burung adalah adanya degradasi lingkungan dan konversi hutan yang mengancam kelestarian jenis-jenis burung sebesar 95% secara global karena hutan merupakan habitat terpenting bagi burung-burung terancam punah (Shannaz et al. 1995). Indonesia mempunyai 17 % spesies burung dari jumlah di seluruh dunia, juga tidak dapat menghindari ancaman terhadap kelestarian burung. Pembunuhan dan perdagangan merupakan ancaman yang berarti, khususnya bila suatu populasi telah menurun akibat perubahan habitat (Shannaz et al. 1995). Menurut Moehayat (2008), dari survei yang dilakukan oleh Burung Indonesia tahun 2007 mengenai burung peliharaan terhadap 1781 sampel di Jawa dan Bali, menyatakan bahwa burung merupakan satwa yang paling banyak dipelihara (sebanyak 35.7%) dan juga menurut hasil survei, menyatakan bahwa dari total jumlah burung dipelihara, lebih dari setengahnya (58.5%) merupakan jenis burung hasil tangkapan dari alam. Selain itu, menurut Iskandar (2000), ribuan ekor burung dari ratusan jenis burung telah diperdagangkan, dari burung-burung yang berharga murah sampai yang masuk dalam kategori dilindungi. Beberapa jenis burung asli Indonesia yang banyak dipelihara menurut LSM Burung Indonesia diantaranya adalah cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) dan merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier), sedangkan jenis burung

18 2 yang sering diperdagangkan adalah bondol peking (Lonchura punctulata) dan bondol jawa (Lonchura leucogastroides) (Iskandar 2000). Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), kelompok burung yang paling banyak diminati di pasar global adalah bondol, pipit dan gelatik, sedangkan jenis yang diekspor terbanyak adalah jenis bondol Lonchura spp. Sedangkan menurut SNI , beberapa jenis burung non apendiks CITES yang diperdagangkan adalah bondol jawa, bondol peking, cucak kutilang, dan merbah cerukcuk. Ancaman terhadap kelestarian satwa burung yang berasal dari Indonesia harus ditekan serendah mungkin melalui kegiatan konservasi sehingga keanekaragaman hayati Indonesia dapat dipertahankan. Salah satu kegiatan konservasi yang dapat dilakukan terhadap kelestarian satwa burung adalah dengan mengetahui data molekuler spesies burung lokal. Data molekuler merupakan alat yang ampuh untuk mempelajari ekologi dan manajemen satwa liar (Deyoung dan Honeycutt 2005). Salah satu cara untuk mengetahui data molekuler spesies hewan adalah dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Lenghth Polymorphism (PCR-RFLP) berdasarkan sitokrom b dari DNA mitokondria. Metode PCR-RFLP berdasarkan sitokrom b dari DNA mitokondria sudah digunakan secara luas untuk mengetahui data molekuler hewan, misalnya adalah untuk melakukan identifikasi spesies mamalia (Malisa et al. 2005; Pfeiffer et al. 2004), identifikasi kekerabatan ikan (Farias et al. 2001), serta identifikasi kekerabatan burung (Leeton et al. 1994; Dodge et al. 1995; Desmon et al. 2001; Zink & Blackwell 1998; Monteros & Cracraft 1997; Klicka et al. 2001). Sedangkan selain menggunakan sitokrom b dari DNA mitokondria, data molekuler burung juga sudah pernah diidentifikasi pada burung elang dengan menggunakan daerah 12S rrna mtdna (Nobata et al. 2007). Walaupun metode PCR-RFLP sitokrom b dari DNA mitokondria sudah secara luas digunakan untuk mengetahui data molekuler spesies burung, tetapi identifikasi data molekuler burung-burung lokal yang berasal dari Indonesia belum pernah dilakukan sehingga belum terdapat data molekuler burung-burung lokal kecuali pada itik dan ayam kampung (Partis et al. 2000; Amin 2005). Metode PCR-RFLP sudah sering digunakan untuk mengetahui data molekuler hewan (Pfeiffer et al. 2004). Metode PCR-RFLP dapat digunakan

19 3 untuk melakukan identifikasi terhadap sampel biologi yang tidak dikenal (Prusak et al. 2005), produk-produk perburuan satwa liar (Malisa et al. 2005) yang banyak beredar di pasar-pasar dan produk hewan yang digunakan sebagai pakan ternak (Martin et al. 2007) yang banyak mengalami kesulitan identifikasi karena morfologi dari hewan sudah hilang. Selain itu, metode PCR-RFLP juga digunakan untuk analisis filogeni (Shen et al. 1999). Keunggulan metode PCR-RFLP untuk mengetahui data molekuler spesies burung adalah metode PCR-RFLP membutuhkan waktu yang singkat dan tidak mahal daripada sekuensing DNA, walaupun teknik PCR-RFLP dalam mendeteksi pasangan basa hanya pada daerah khusus DNA (Pfeiffer et al. 2004; Fajardo et al diacu dalam Nobata et al. 2007). Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan identifikasi delapan spesies burung lokal berdasarkan perbedaan fragmen restriksi gen sitokrom b dari DNA Mitokondria melalui metode PCR-RFLP. Manfaat Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi dasar fragmen restriksi delapan jenis burung lokal berdasarkan perbedaan fragmen restriksi gen sitokrom b dari DNA Mitokondria melalui metode PCR-RFLP.

20 4 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Burung Menurut Brotowidjoyo (1989), aves adalah vertebrata dengan tubuh yang ditutupi oleh bulu (asal epidermal). Aves adalah vertebrata yang dapat terbang karena mempunyai sayap yang merupakan modifikasi anggota gerak anterior. Sayap pada aves berasal dari elemen-elemen tubuh tengah dan distal. Sedangkan kaki pada aves digunakan untuk berjalan, bertengger, atau berenang dengan menggunakan selaput interdigital. Burung menempati semua daratan sampai ketinggian 6000m, dari lautan sampai daerah arktik dan antartika dimana semakin dingin daerah maka semakin sedikit jumlah jenis (spesies) tetapi semakin besar jumlah individu tiap spesies. Burung mempunyai temperatur tubuh berkisar antara 40.5 C 42.0 C dan kecepatan terbang antara km per jam. Sedangkan menurut Mackinnon (1990) bentuk tubuh burung telah terbukti sangat berhasil dalam penyebarannya di seluruh muka bumi. Mereka menempati setiap tipe habitat dari khatulistiwa sampai daerah kutub. Menurut Dono (2003), keberadaan burung dapat dijadikan alat indikator/alat bantu untuk menentukan skala prioritas dalam penanganan permasalahan lingkungan di Indonesia karena burung mempunyai atribut yang mendukung, hidup di seluruh habitat di dunia, relatif mudah diidentifikasi, peka terhadap perubahan lingkungan, data penyebarannya relatif cukup diketahui dan terdokumentasi dengan baik serta taksonominya cukup lengkap. Menurut Soejoedono (1999), umumnya bangsa burung diternakkan karena keindahan bulu dan suaranya. Beberapa Jenis Burung Lokal Menurut MacKinnon (1990), cucak kutilang atau scooty-headed bulbul (Pycnonotus aurigaster) merupakan burung yang mempunyai ukuran sedang (20 cm). Cucak kutilang mempunyai ciri berupa topi berwarna hitam dengan tungging keputih-putihan dan perut bawah berwarna jingga, dahi dan bagian atas kepala berwarna hitam, leher dan tungging berwarna putih serta dada dan perut juga berwarna putih, punggung dan sayap serta ekor berwarna coklat, iris

21 5 berwarna merah, paruh berwarna hitam dan kaki berwarna hitam. Penyebaran cucak kutilang adalah Cina Selatan, Asia Tenggara, Sumatera, Jawa, Bali dan Sulawesi (introduksi). Kebiasaan dari cucak kutilang adalah hidup dalam kelompok yang aktif dan ribut, sering bercampur dengan burung kutilang lainnya, hidup dalam kelompok campuran atau kelompok burung srigunting. Cucak kutilang biasanya memilih hutan terbuka atau habitat bersemak, tepi hutan sekunder, taman dan kebun bahkan di kota besar. Makanan dari burung kutilang berupa buah-buah kecil dan beberapa serangga. Gambar 1 Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) (MacKinnon et al. 2007). Menurut MacKinnon (1990), merbah cerukcuk atau yellow-vented bulbul (Pycnonotus goiavier) merupakan burung yang mempunyai ukuran sedang (20 cm), merbah cerukcuk mempunyai ciri-ciri berupa warna tubuhnya adalah coklat dan putih, perut bawah berwarna kuning yang tampak jelas, mahkota berwarna coklat gelap, alis mata bergaris putih, kekang bergaris hitam, tubuh bagian atas berwarna coklat, kerongkongan, dada dan perut berwarna putih dengan garis coklat terang pada bagian sisi, iris berwarna coklat, paruh berwarna hitam, kaki berwarna abu-abu agak merah muda. Penyebaran merbah cerukcuk adalah Asia Tenggara, Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali, Filipina, Lombok dan Sulawesi Selatan (introduksi). Kebiasaan dari merbah cerukcuk adalah membentuk kelompok sosial, sering bercampur dengan jenis kutilang lainnya, memilih habitat yang terbuka dan hutan sekunder. Merbah cerukcuk menghabiskan waktu makan di atas tanah lebih banyak daripada jenis kutilang

22 6 lainnya dan berkumpul pada tempat bertengger secara ramai-ramai pada malam hari. Gambar 2 Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) (MacKinnon et al. 2007). Menurut MacKinnon (1990), manyar jambul atau streaked weaver (Ploceus manyar) merupakan burung yang mempunyai ukuran sedang (14 cm). Manyar jambul mempunyai ciri-ciri berupa tutup kepala berwarna emas. Ciri-ciri yang lain adalah warna tubuh jantan yang berbeda saat musim kawin dan di luar musim kawin. Jantan pada musim kawin mempunyai mahkota berwarna kuning emas, bagian dari kepala, dagu dan kerongkongan berwarna hitam, tubuh bagian bawah berwarna putih dengan burik hitam pada dada, tubuh bagian atas berwarna coklat agak hitam dengan ujung bulu berwarna merah tua. Sedangkan jantan dan betina di luar musim kawin mempunyai ciri berupa kepala berwarna coklat dengan burik hitam pada mahkota dan alis mata berwarna kuning tua serta terdapat bercak keputih-putihan pada leher, iris berwarna coklat, paruh berwarna abu-abu hitam sampai coklat, serta kaki berwarna coklat pucat. Penyebaran dari manyar jambul adalah India, Cina, Asia Tenggara, Jawa dan Bali. Kebiasaan dari manyar jambul adalah hidup dalam koloni besar disekitar pohon tempat berbiak atau dalam kelompok yang berpindah-pindah di luar musim kawin. Manyar jambul jantan bersifat poligami dan setiap betina membuat sarangnya dengan rumit. Manyar jambul memilih habitat paya berumput dan padang rumpun bambu buluh atau sawah. Makanan dari manyar jambul adalah berupa padi, biji rumput dan beberapa serangga.

23 7 Gambar 3 Manyar jambul (Ploceus manyar) (MacKinnon et al. 2007). Menurut MacKinnon (1990), bondol jawa atau javan munia (Lonchura leucogastroides) merupakan burung yang bertubuh padat dan mempunyai ukuran kecil (11 cm). Ciri-ciri dari burung bondol jawa adalah tubuhnya berwarna coklat, hitam dan putih. Ciri lain adalah tubuh bagian atas berwarna coklat, tidak berburik, pada muka dan perut serta bagian rusuk berwarna putih, tubuh bagian bawah ekor berwarna coklat gelap. Iris bondol jawa berwarna coklat, paruh berwarna berwarna coklat dan kaki berwarna abu-abu. Penyebaran bondol jawa meliputi Singapura (hasil introduksi), Sumatera Selatan, Jawa, Bali dan Lombok. Kebiasaan dari bondol jawa adalah sering mengunjungi berbagai daerah garapan dan padang rumput alami. Bondol jawa akan membentuk kelompok pada saat masa pemanenan padi. Namun, biasanya bondol jawa hidup berpasangan atau hidup dalam kelompok kecil. Bondol jawa sering melakukan aktivitas makan di atas permukaan tanah atau mengambil biji dari rumput. Makanan dari bondol jawa berupa biji, rumput dan padi. Gambar 4 Bondol jawa (Lonchura leucogastroides) (MacKinnon et al. 2007). Menurut MacKinnon (1990), bondol peking atau scaly-breasted munia (Lonchura punctulata) merupakan burung yang berukuran kecil (11 cm). Ciri dari

24 8 bondol peking tubuh yang berwarna coklat. Tubuh bagian atas berwarna coklat burik dengan tangkai bulu putih, kerongkongan berwarna coklat kemerahan, tubuh bagian bawah berwarna berwarna putih berisik dengan coklat gelap pada dada dan rusuk. Bondol peking yang belum dewasa mempunyai warna kuning tua tanpa sisik pada tubuh bagian bawah. Iris bondol peking berwarna coklat, paruh berwarna abu-abu gelap dan kaki berwarna hitam abu-abu. Penyebaran bondol peking adalah India, China, Filipina, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan dimasukkan ke Australia. Bondol peking sering berada di tempat terbuka berumput di daerah garapan, sawah, kebun, dan vegetasi sekunder. Kebiasaan bondol peking adalah berpasangan atau berkelompok dan mudah bercampur dengan bondol jenis lain. Perilaku bondol peking aktif dan lincah serta mempunyai gerakan ekor yang bergoyang secara khas. Makanan dari bondol peking adalah padi, biji dan rumput. Gambar 5 Bondol peking (Lonchura punctulata) (MacKinnon et al. 2007). Menurut MacKinnon (1990), dederuk jawa atau puter atau javan turtle dove (Streptopelia bitorquata) merupakan burung yang berukuran sedang (39 cm). Ciri dari dederuk jawa adalah tubuh berwarna coklat merah jambu denan ekor yang agak panjang. Dederuk jawa mirip dengan tekukur biasa yang lebih umum ditemui tetapi dapat dibedakan dari warna kepala yang lebih abu-abu dan bercak hitam pada sisi leher bertepi putih, dederuk jawa tidak mempunyai totoltotol putih, bagian tengah yang membujur dari bulu ekor berwarna coklat, kedua sisi bulu ekor berwarna abu-abu dengan tepi berwarna agak putih. Iris berwarna kuning jingga, paruh berwarna hitam, kaki berwarna merah keunguan. Penyebaran dari dederuk jawa/puter adalah seluruh Filipina dan kepulauan Sunda Kecil pada dataran rendah yang terbuka. Dederuk jawa sering terdapat di pedesaan dengan

25 9 hutan terbuka termasuk perkebunan, tetapi terutama terdapat di daerah hutan bakau. Dederuk jawa sering terlihat beristirahat pada dahan-dahan kecil dan makan di daerah terbuka di atas permukaan tanah, dederuk jawa sering terlihat berpasangan atau dalam kelompok-kelompok kecil. Makanan dederuk jawa adalah biji rumput-rumputan. Gambar 6 Dederuk jawa (Streptopelia bitorquata) (MacKinnon et al. 2007). Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) merupakan keturunan langsung dari salah satu subspesies ayam hutan yang dikenal sebagai ayam hutan merah (Gallus gallus bankiva) (Anonim 2008 [1] ). Sedangkan menurut MacKinnon (1990), ayam hutan merah adalah ayam yang berukuran besar (jantan : 70 cm dan betina : 42 cm) dan merupakan anggota ayam peliharaan. Ciri dari ayam hutan merah adalah pada jantan mempunyai jengger, gelambir dan muka berwarna merah. Ciri lain adalah bulu tengkuk dan penutup ekor serta bulu primer berwarna merah, bulu ekor panjang dan penutup sayap berkilau hitam kehijau-hijauan, bagian bawah berwarna keabu-abuan gelap. Sedangkan ciri ayam betina adalah berwarna coklat suram dengan coretan-coretan hitam pada leher dan tengkuk. Iris ayam jantan dan betina berwarna merah, paruh berwarna kuning gading dan kaki berwarna abu-abu kebiruan.

26 10 Gambar 7 Ayam Kampung (Gallus gallus domesticus) ( wiki/ayam). Menurut anonim (2009), itik pekin (Anas domesticus) mempunyai ukuran tubuh dewasa sekitar 8 sampai 9 pound. Ciri lain dari itik adalah mempunyai bulu berwarna putih serta mempunyai paruh, kaki dan telapak berwarna kuning. Beberapa diantaranya mempunyai paruh berwana kuning. Sedangkan menurut anonim (2005 [2] ), itik dikenal juga dengan istilah bebek (bahasa Jawa). Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara merupakan itik liar (Anas moscha) atau Wild mallard yang terus menerus dijinakkan oleh manusia sampai menjadi itik yang diperlihara sekarang yang disebut Anas domesticus (ternak itik). Secara internasional ternak itik terpusat di negara-negara Amerika utara, Amerika Selatan, Asia, Filipina, Malaysia, Inggris, Perancis (negara yang mempunyai musim tropis dan subtropis). Sedangkan di Indonesia ternak itik terpusatkan di daerah pulau Jawa (Tegal, Brebes dan Mojosari), Kalimantan (Kecamatan Alabio, Kabupaten Amuntai) dan Bali serta Lombok. Gambar 8 Itik (Anas domesticus) (

27 11 Tabel 1 Taksonomi delapan jenis burung lokal yang digunakan dalam penelitian Jenis Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies Cucak kutilang Merbah cerukcuk Manyar jambul Bondol jawa Bondol peking Dederuk jawa Ayam kampung Animalia Chordata Aves Passeriformes Pycnonotidae Pycnonotus aurigaster Animalia Chordata Aves Passeriformes Pycnonotidae Pycnonotus goiavier Animalia Chordata Aves Passeriformes Passeridae Ploceus manyar Animalia Chordata Aves Passseriformes Passeridae Lonchura leucogastroides Animalia Chordata Aves Passeriformes Passeridae Lonchura punctulata Animalia Chordata Aves Columbiformes Columbidae Streptopelia bitorquata Animalia Chordata Aves Galliformes Phasianidae Gallus gallus domesticus Itik Animalia Chordata Aves Anseriformes Anatidae Anas domesticus Sumber : The Bay Science Foundation (2008), Kondisi dan Pemanfaatan Burung Liar di Indonesia Kebaradaan satwa burung di Indonesia semakin hari semakin menurun populasinya. Hal ini disebabkan oleh perburuan liar sehubungan dengan meningkatnya permintaan pasar. Selain itu, penurunan kualitas habitat sebagai akibat dari aktivitas manusia, lemahnya pengamanan, pengawasan, penerapan sanksi hukum, serta rendahnya kesadaran masyarakat tentang konservasi juga turut mengakibatkan penurunan populasi burung di alam. Walaupun telah berstatus dilindungi (termasuk oleh pemerintah daerah dimana habitat dan jenis burung berada), namun perburuan liar masih tetap berjalan hingga saat ini (Setio & Takandjandji 2006). Pemanfaatan keanekaragaman jenis satwa liar secara tradisional telah lama dilakukan oleh masyarakat terutama untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Jenis burung air termasuk salah satu yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di pesisir pantai. Awal pemanfaatan dari jenis-jenis burung tersebut adalah hanya sebatas untuk pemenuhan kebutuhan protein bagi

28 12 masyarakat setempat. Namun, dalam perkembangannya ternyata jenis-jenis burung tersebut tidak saja dimanfaatkan untuk kebutuhan protein tetapi juga untuk diperjualbelikan kepada masyarakat kota untuk menambah sumber pendapatan, sehingga pengeksploitasian jenis-jenis burung tersebut secara terus-menerus tanpa adanya pengendalian dikhawatirkan akan mengancam kepunahan (Iskandar & Karlina 2004). Selain itu, pemanfaatan burung terbesar oleh masyarakat Indonesia adalah masyarakat penghobi burung kicauan dengan jumlah uang yang beredar sebanyak Rp 7 triliun (Moehayat 2008). Menurut MacKinnon (1990), perdagangan burung secara keseluruhan mempunyai nilai penting dalam perdagangan dan sampai skala tertentu akan menghabiskan populasi burung liar. Nilai penting burung dalam perekonomian di Pulau Jawa adalah sabagai hama pertanian (pipit, bondol dan manyar sebagai hama padi), jenis burung yang menguntungkan (elang), bahan makanan (mandar, ayam hutan, puyuh dan punai), serta perdagangan burung piaraan (perkutut, kucica hutan, beo, kutilang dan jalak) dan pada tahun 1980 terdapat lebih dari burung secara ilegal diekspor dari Indonesia dimana jenis-jenis ekspor yang disukai adalah bondol, pipit benggala, gelatik, perkutut, beo, dan serindit. Menurut anonim (2002), perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar di Indonesia. Lebih dari 90 persen satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20 persen satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia, seperti orangutan, penyu, beberapa jenis burung, harimau sumatera dan beruang. Semakin langka satwa tersebut maka harganya semakin mahal. Perdagangan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penurunan populasi suatu jenis burung, disamping akibat menghilangnya habitat dan degradasi habitat. Perusakan habitat dan eksploitasi spesies secara berlebihan menyebabkan Indonesia mempunyai daftar spesies fauna terancam punah terpanjang di dunia (Lambert 1993; Sumardja 1998 diacu dalam Widodo 2007).

29 13 Peranan Studi Molekuler dalam Kegiatan Konservasi Kegiatan konservasi diperlukan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati karena saat ini kerusakan lingkungan akibat ulah manusia tidak hanya mengurangi populasi spesies hewan dan tumbuhan, tetapi juga menyebabkan spesies-spesies tersebut terancam punah. Ilmu konservasi mempelajari individu dan populasi yang sudah terpengaruh oleh kerusakan habitat, eksploitasi, dan perubahan lingkungan. Informasi ini digunakan untuk membuat suatu keputusan yang dapat mempertahankan keberadaan suatu spesies di alam. Sudah lebih dari satu dekade ini, studi genetik digunakan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dalam pengambilan keputusan tersebut karena dengan studi genetik, informasi tentang keragaman antar individu di dalam dan antar populasi, terutama pada spesies-spesies yang terancam punah, dapat diketahui (Damayanti 2007). Menurut Suryanto (2003), biologi molekuler dapat digunakan untuk menunjang pengetahuan klasik (taksonomi klasik) tentang keanekaragaman hayati, dan selanjutnya biologi molekuler dapat digunakan untuk tujuan konservasi dan menjaga serta memanfaatkan berbagai organisme. Sedangkan menurut Girman (1996), penggunaan penanda molekuler untuk menyelidiki struktur populasi spesies terancam punah merupakan komponen kunci dalam manajemen genetik pada spesies terancam punah. Identifikasi Spesies Masalah umum dalam pelaksanaan hukum satwa liar adalah identifikasi spesies yang berasal dari karkas, daging, atau darah ketika karakter morfologi seperti rambut atau tulang tidak tersedia (Cronin et al. 1991). Analisis sekuens DNA merupakan teknik yang efektif untuk identifikasi sumber-sumber sampel yang berasal dari spesies-spesies yang terancam (Palumbi & Cipriano 1998). Identifikasi spesies melalui analisis DNA dilakukan melalui sekuensing, polymerase chain reaction (PCR) dan enzim restriksi (Teletchea et al diacu dalam Nobata et al. 2007). Menurut Burgener dan Hübner (1998), gen sitokrom b telah ditentukan sebagai target untuk analisis evolusi dan identifikasi spesies. Analisis data molekuler seperti frekuensi allozyme, restriction fragment length polymorphism (RFLP), dan sekuensing langsung DNA mitokondria (mtdna)

30 14 menghasilkan informasi tentang karakter evolusi dan hubungan filogenetik (Hillis et al. 1990; Avise 1994 diacu dalam Dodge et al. 1995). Genom Mitokondria untuk Identifikasi Spesies Mitokondria berbentuk sferik atau memanjang, strukturnya seperti batang dikelilingi oleh membran dalam dan membran luar. Membran luar berbentuk halus, sedangkan membran dalam melekuk menjadi lembaran atau tubuli yang disebut dengan cristae yang memanjang menuju ruangan dalam (matrix). Mitokondria ditemukan di seluruh sitoplasma. Terdapat dalam jumlah besar sekitar 1000 buah pada sel-sel yang menggunakan sejumlah besar energi, sedangkan sel-sel yang kurang aktif mengandung lebih sedikit. Mitokondria terutama menyangkut dengan proses kimia dimana energi yang dibuat cukup untuk sel-sel dalam bentuk adenosine triphosphate (ATP) (Vander et al. 1990). Menurut Guyton dan Hall (1996), jumlah mitokondria dalam suatu sel cukup bervariasi antara ratusan hingga ribuan tergantung besarnya energi yang dibutuhkan oleh sel tersebut. Selain itu, bentuk dan ukuran mitokondria juga berbeda-beda, mulai dari yang hanya memiliki diameter beberapa ratus nanometer dan berbentuk granul, beberapa ratus milimikron dan berbentuk globular sampai yang berdiameter 1 7 mikron dalam bentuk filamen bercabang. Menurut Khan et al. (2007), sebagian besar sel eukaryotik mengandung banyak mitokondria, dimana dapat berpindah, menyatu dan terpisah di dalam sel. Mitokondria terdiri dari membran ganda yang sama dengan struktur membran plasma. Beberapa protein berfungsi dalam respirasi seluler, termasuk enzim untuk membuat ATP yang berlokasi di krista membran dalam mitokondria, dan banyak tahap-tahap metabolik menyangkut respirasi terkonsentrasi di matriks. Mitokondria mengandung 70S ribosom dan beberapa DNA berfungsi sebagai mesin untuk replikasi, transkripsi dan translasi informasi yang tersandi oleh DNA (Tortora et al. 1998). Sedangkan menurut anonim (2008 [3] ), mitokondria merupakan struktur di dalam sel yang dapat merubah makanan menjadi bentuk energi dimana sel-sel dapat memanfaatkannya. Walaupun kebanyakan DNA terbungkus dalam kromosom di dalam nukleus, mitokondria juga mempunyai jumlah kecil DNA.

31 15 Material genetik tersebut disebut dengan DNA mitokondria atau mtdna. DNA mitokondria mengandung 37 gen, semuanya diperlukan untuk fungsi normal mitokondria. Tiga belas gen dari 37 gen tersebut menyediakan perintah untuk membuat enzim yang terlibat dalam fosforilasi oksidatif. DNA mitokondria inilah yang kemudian kerap dijadikan alat dalam menentukan kondisi dan keragaman genetik pada setiap organisme maupun individu yang tujuan utamanya adalah menelusuri perjalanan kolonisasi populasi, pemisahan biogeografi populasi, hubungan filogeni, dan menelusuri asal-usul hewan (Du Praw 1970; Sumartini 2001; Pereira 2000 diacu dalam Yasa 2007). Menurut Yuwono (2005), untai ganda DNA tersusun oleh dua rantai polinukleotida yang berpilin. Kedua rantai mempunyai orientasi yang berlawanan (antiparalel) : rantai yang satu mempunyai orientasi 5 3, sedangkan rantai yang lain berorientasi 3 5. Kedua rantai tersebut berikatan dengan adanya ikatan hidrogen antara basa adenin (A) dengan timin (T), dan antara guanin (G) dngan sitosin (C). Menurut Jain (2004), sekuens mtdna telah digunakan secara luas dalam studi evolusi genetik karena mudah diperoleh, mempunyai nilai yang tinggi dalam evolusi dan secara umum mengikuti pola klonal pewarisan yang sesuai dengan rekonstruksi filogenetik. Sebagian besar studi molekuler filogenetik pada vertebrata menggunakan dasar sekuens DNA Mitokondria. DNA Mitokondria berkembang secara cepat dan secara khusus berguna untuk memecahkan hubungan diantara kelompok. Menurut Prusak et al. (2005), mtdna mempunyai stabilitas yang lebih tinggi dan jumlah kopian yang lebih tinggi daripada DNA inti. Menurut anonim (2000), DNA mitokondria burung mempunyai protein gen yang sangat mirip terhadap gen-gen homolog pada mamalia dan amfibi serta gen-gen tersebut ditranslasikan menggunakan kode genetik yang sama. Meskipun banyak kesamaan dengan mtdna semua vertebrata tetapi genom burung tetap mempunyai perbedaan. Perbedaan pertama adalah urutan gen-gen burung berbeda jika dibandingkan dengan genom mamalia dan amfibi. Misalnya adalah gen ND5 (nicotinamide adenine dinucleotide dehydrogenase subunit) diikuti oleh cytochrome b, trna Thr dan trna pro, ND6 dan trna Glu pada arah 5 3 pada

32 16 L-strand burung. Kedua, asal replikasi L-strand yang ditemukan diantara trna Cys dan trna Asn pada vertebrata lain tidak terdapat pada genom burung. Gambar 9 Genom mitokondria burung (a dan b), mamalia dan Xenopus (c). ( DNA mitokondria burung berbentuk sirkular dengan panjang genom sekitar pb dan hampir sama dengan mtdna mamalia (Shen et al. 1999). Perbandingan susunan gen mitokondria merupakan alat yang kuat untuk menarik kesimpulan filogeni (Boore 1999; Boore & Brown 1998 diacu dalam Lavrov & Lang 2005).

33 17 Gen Sitokrom b untuk Identifikasi Spesies Gen sitokrom b mitokondria (cyt-b) secara luas digunakan dalam studi secara sistematik untuk memecahkan perbedaan pada banyak level taksonomi dan gen sitokrom b telah dipertimbangkan sebagai salah satu gen yang digunakan dalam kerja filogenetik (Farias 2001). Sitokrom b juga sangat berguna untuk membandingkan spesies dalam genus yang sama atau famili yang sama (Castresana 2001). Menurut Zehner et al. (2000); Budowle et al. (2003) diacu dalam Prusak et al. (2005), gen sitokrom b dari DNA mitokondria merupakan indikator yang kuat untuk identifikasi spesies melalui teknik analisis DNA, selain itu menurut Kocher et al. (1989); Montgelard et al. (1997); Prusak et al. (2004) diacu dalam Prusak et al. (2005), gen sitokrom b dari DNA mitokondria juga digunakan untuk mempelajari evolusi molekuler, serta untuk kedokteran (Barlett & Davidson 1992 diacu dalam Prusak et al. 2005). Menurut Prusak et al. (2005), dalam studi saat ini, bagian sekuen gen sitokrom b telah digunakan untuk identifikasi tiga jenis sampel biologi yang belum diketahui yang mewakili bidang-bidang berbeda dalam konservasi satwa dan kesehatan, yaitu pengembangan pengetahuan tentang spesies satwa liar (ornithological trace), pengamatan terhadap peraturan perburuan (forest trace), dan kontrol perdagangan internasional terhadap spesies-spesies terancam punah (zoological trace). PCR RFLP Sebagai Alat Bantu dalam Identifikasi Spesies Polymerase Chain Reaction (PCR) Menurut Rådström et al. (2004), PCR merupakan keterangan yang berharga untuk monitoring ekspresi gen, mengukur patogen food-borne, menguji kandungan virus, dan juga untuk diagnosa klinis. Menurut Guatelli (1989), PCR dapat meningkatkan jumlah kopian sekuens asam nukleat spesifik dari panjang 100 sampai 2000 pasang basa. Reaksi ini membutuhkan dua oligonukleotida primer yang komplemen kepada sekuens target beberapa ratus pasang basa yang terpisah satu sama lain. Masing-masing oligonukleotida adalah komplemen terhadap untai DNA target yang berlawanan. Tahap pertama adalah denaturasi

34 18 thermal dari untai ganda molekul DNA target dengan kehadiran primer dengan ukuran molar yang besar. Primer tersebut akan mengalami annealing pada sekuens target yang komplemen oleh reduksi temperatur. DNA polymerase yang ditambahkan akan mengkatalisasi primer dan secara langsung akan menyebabkan reaksi sintesis DNA. Hasilnya kira-kira jumlah ganda dari sekuens target. Ekstensi masing-masing primer berjalan pada sisi yang berlawanan. Sintesa DNA diawali dari satu oligonukleotida yang menghasilkan untai baru dengan daerah yang komplemen dengan primer oligonukleotida. Untai hasil tersebut tersedia sebagai template pada reaksi sintesis DNA selanjutnya. Melalui pengulangan siklus denaturasi, annealing primer dan sinesis DNA (ekstensi primer), jumlah kopian sekuens DNA target akan meningkat secara eksponensial. Karakteristikkarakteristik dari PCR adalah efisiensi, spesifitas dan nilai eror/kesalahan. Efisiensi dari amplifikasi PCR tergantung pada banyak variabel, beberapa diantaranya adalah jumlah siklus, jumlah target asli, panjang sekuens target yang diamplifikasi dan temperatur primer untuk annealing dan ekstensi. Spesifitas PCR terutama tergantung pada sekuens target, temperatur annealing, jumlah DNA polymerase yang digunakan dan polimerisasi setiap siklus. Sedangkan nilai eror/kesalahan merupakan hal yang penting dimana hasil amplifikasi menggambarkan kopian DNA sekuens target yang tepat dan juga mempunyai beberapa kesalahan, khususnya adalah ketika hasil dianalisa oleh hibridisasi asam nukleat atau sekuens nukleotida. Menurut Yuwono (2006), empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15 25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dntp), terdiri atas datp, dctp, dgtp, dttp, dan (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer. Konsep asli teknologi PCR adalah mensyaratkan bahwa bagian tertentu sekuen DNA yang akan dilipatgandakan harus diketahui terlebih dahulu sebelum proses pelipatgandaan tersebut dilakukan.

35 19 Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denaturasi DNA dilakukan dilakukan dengan menggunakan panas (95 C) selama 1 2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55 C sehingga primer akan menempel (annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer. Suhu 55 C yang digunakan untuk penempelan primer pada dasarnya merupakan kompromi. Amplifikasi akan lebih efisien jika dilakukan pada suhu yang lebih rendah (37 C), tetapi biasanya akan terjadi mispriming yaitu penempelan primer pada tempat yang salah. Pada suhu yang lebih tinggi (55 C), spesifitas reaksi amplifikasi akan meningkat, tetapi secara keseluruhan efisiensinya akan menurun (Yuwono 2006). Berdasarkan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR), DNA diamplifikasi secara in vitro melalui siklus polimerisasi berseri yang terdiri dari tiga tahapan temperatur: denaturasi DNA, annealing primer-template, dan sintesis DNA oleh DNA polymerase termostabil. Kemurnian dan hasil produk reaksi tergantung pada beberapa parameter, satu diantaranya adalah temperatur annealing (Ta) (Rychlik et al. 1990).

36 20 Gambar 10 Tahapan yang dibutuhkan untuk amplifikasi sekuen DNA dengan PCR (Guatelli et al. 1989). Keberhasilan PCR sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu (1) deoksiribonukleotida triphosphat (dntp), (2) oligonukleotida primer, (3) DNA template (cetakan), (4) komposisi larutan buffer, (5) jumlah siklus reaksi, (6) enzim yang digunakan, dan (7) faktor teknis dan non-teknis lainnya, misalnya kontaminasi. Keunggulan metode PCR adalah kemampuannya dalam melipatgandakan suatu fragmen DNA sehingga dapat mencapai 10 9 kali lipat. Dengan demikian, kontaminasi fragmen DNA dalam jumlah sangat sedikit sekalipun dapat menyebabkan terjadinya kesalahan yaitu dengan didapatkannya produk amplifikasi yang tidak diinginkan. Kontaminasi tersebut dapat berasal dari beberapa sumber, antara lain dari reaksi-reaksi PCR yang dilakukan sebelumnya

37 21 (Yuwono 2006). Polimerisasi DNA (replikasi DNA) hanya dapat dimulai jika tersedia molekul primer, yaitu suatu molekul yang digunakan untuk mengawali proses polimerisasi untaian DNA. Molekul primer dapat berupa molekul DNA, RNA atau bahkan protein spesifik. Hal ini berbeda dengan dengan proses polimerisasi untaian RNA (proses transkripsi) yang tidak memerlukan primer. Selain itu, polimerisasi DNA juga mutlak memerlukan cetakan (template) yang dapat berupa untaian DNA atau RNA. Dalam proses replikasi DNA secara in vivo, primer berupa molekul RNA yang berukuran sekitar nukleotida. Pada jasad eukaryot yang mempunyai kromosom berupa untaian DNA linear, fungsi primer yang digunakan untuk replikasi ujung kromosom diketahui dilakukan oleh suatu protein khusus. Dalam proses polimerisasi DNA secara in vitro, misalnya amplifikasi DNA dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR), biasanya digunakan molekul DNA sebagai primer. Fungsi primer adalah menyediakan ujung 3 -OH yang akan digunakan untuk menempelkan molekul DNA pertama dalam proses polimerisasi (Yuwono 2005). Primer (Oligonukleotida) Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu rantai DNA cetakan pada ujung 5 -fosfat, dan oligonukleotida yang kedua identik dengan sekuen pada ujung 3 -OH rantai DNA cetakan yang lain (Yuwono 2006). Serta menurut Saiki et al. 1988, amplifikasi PCR membutuhkan dua oligonukleotida primer yang dapat mengapit segmen DNA untuk diamplifikasi dengan siklus yang berulang melalui pemanasan denaturasi DNA, annealing primer menuju sekuens komplemen dan ekstensi primer yang telah mengalami annealing dengan menggunakan DNA polymerase. Menurut Mahardika (2005), Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mengoptimalkan kemungkinan bahwa primer yang digunakan dapat bekerja dengan baik adalah : a. Pertimbangan umum, satu pasang primer hendaknya menempel (hybridize) pada urutan yang hendak diperbanyak, sementara kemungkinan penempelan pada posisi lain harus ditekan sekecil mungkin.

38 22 b. Komplementeritas terhadap sasaran dimana untuk berbagai penerapan, primer disintesis khusus agar komplementer secara sempurna dengan cetakan sasaran. c. Panjang primer dimana primer yang baik mempunyai panjang 20 sampai 30 basa. d. Urutan primer dimana primer hendaknya mempunyai komponen GC yang serupa dengan sasaran. e. Primer dimer dimana primer dimer merupakan artefak yang paling sering diamati bila sejumlah kecil cetakan digunakan untuk siklus yang banyak. Menurut Suryanto (2003), primer biasanya terdiri dari nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah konservatif dalam genom tersebut. Makin panjang primer, makin harus spesifik daerah yang diamplifikasi. Jika suatu kelompok organisme memang berkerabat dekat, maka primer dapat digunakan untuk mengamplifikasi daerah tertentu yang sama dalam genom kelompok tersebut. DNA Polymerase (Taq Polymerase) Menurut Yuwono (2006), DNA polimerase awal yang digunakan adalah fragmen Klenow DNA polimerase I yang berasal dari Escherichia coli. Fragmen klenow ini adalah DNA polimerase yang telah dihilangkan aktivitas eksonuklease (5 3 ). Alternatif bagi fragmen klenow yang kemudian digunakan dalam PCR adalah DNA polimerase yang berasal dari mikrobia termofilik, yaitu Taq DNA polimerase yang berasal dari bakteri Thermus aquaticus BM, yaitu suatu strain yang tidak mempnyai endonuklease restriksi Taq I. Taq DNA polimerase tersusun atas satu rantai polipeptida dengan berat molekul kurang lebih 95 kd. Enzim ini mempunyai kemampuan polimerisasi DNA yang sangat tinggi, tetapi tidak mempunyai aktivitas eksonuklease 3 5. Enzim ini paling aktif pada ph 9 (pada suhu 20 C) dan suhu aktivitas optimumnya sekitar 75 C 80 C. Keunggulan enzim Taq DNA polimerase adalah bahwa enzim ini tahan terhadap suhu tinggi yang diperlukan untuk memisahkan rantai DNA cetakan. Sedangkan salah satu kelemahan enzim Taq polimerase adalah bahwa enzim tersebut mempunyai potensi untuk melakukan kesalahan dalam menggabungkan nukleotida sehingga ada kemungkinan terjadi mutasi pada fragmen gen hasil

39 23 amplifikasi. Aktivitas Taq DNA polimerase dipengaruhi oleh konsentrasi ion magnesium. Serta menurut Innis et al. (1988), DNA polymerase yang sangat termostabil dari Thermus aquaticus (Taq) adalah cara ideal untuk sekuensing DNA secara manual dan otomatis karena proses cepat dan mempunyai sedikit atau tidak mempunyai aktivitas 3' -eksonuklease, serta aktif pada temperatur di atas rata-rata. Sedangkan menurut Chien et al. (1976), asam deoxyribonukleat (DNA) polymerase dengan temperatur optimum 80 C merupakan hasil purifikasi dari Thermus aquaticus termofilik ekstrim. Enzim ini bebas dari phosphomonoesterase, phosphodiesterase dan aktivitas rantai tunggal eksonuklease. Menurut Saiki et al. (1988), DNA polymerase termostabil digunakan dalam prosedur amplifikasi DNA in vitro, yaitu melalui polymerase chain reaction. Enzim ini diisolasi dari Thermus aquaticus yang dapat menyederhanakan prosedur dan memungkinkan reaksi berjalan pada temperatur yang tinggi, secara signifikan dapat meningkatkan spesifitas, hasil, sensitivitas dan panjang produk yang dapat diamplifikasi. Spesifitas Taq DNA polymerase yang berhubungan dengan amplifikasi dapat dipengaruhi oleh waktu dalam penyediaan tahap ekstensi primer dan melalui kuantitas enzim yang digunakan dalam reaksi. Selain itu, menurut Guatelli et al. (1989), pemanfaatan dan efikasi dari amplifikasi menggunakan PCR akan ditingkatkan dengan penggunaan DNA polymerase dari bakteri termofilik Thermus aquaticus (Taq). Taq DNA polymerase bersifat termostabil dan mampu mentoleransi tahapan denaturasi PCR tanpa kehilangan aktivitas yang penting. Pemanfaatan Taq polymerase memungkinkan pengembangan proses amplifikasi sekuens otomatis. Taq polymerase juga memungkinkan PCR untuk meningkatkan efisiensi dan spesifitasnya. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) Menurut Becker et al. (2000), analisis pola restriction fragment dihasilkan ketika DNA dicerna oleh enzim restriksi. Praktek dalam aplikasi analisis restriction fragment didasari dari fakta bahwa tidak ada dua orang atau lebih yang kembar identik mempunyai sekuens basa DNA yang persis. Walaupun perbedaan sekuens DNA diantara dua orang cukup kecil, tetapi terdapat perubahan panjang

40 24 fragmen-fragmen DNA yang diproduksi oleh enzim restriksi. Perbedaan dalam panjang fragmen disebut Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP), dapat dianalisa melalui gel elektroforesis. Hasil pola fragmen tersedia sebagai fingerprint yang dapat mengidentifikasi individu dari DNA yang diperoleh. Enzim restriksi merupakan tipe dari endonuklease (enzim yang dapat memotong DNA dari dalam) yang ditemukan dalam bakteri. Enzim tersebut dapat membantu bakteri untuk melindungi dirinya melawan invasi molekul DNA asing, terutama DNA bakteriofag. Faktanya, nama enzim restriksi berasal dari temuan dimana enzim ini membatasi kemampuan DNA asing untuk mengambil alih proses transkripsi dan translasi sel bakteri. Enzim restriksi spesifik terhadap DNA untai ganda dan selalu memecah kedua untai. Masing-masing enzim restriksi mengenal sekuens DNA spesifik yang biasanya empat atau enam (tetapi mungkin delapan atau lebih) panjang pasangan-pasangan nukleotide. Serta menurut Lewin (1983), enzim restriksi akan memotong untai ganda DNA pada situs spesifik dimana enzim restriksi yang berbeda akan mempunyai target sekuens yang berbeda. Menurut Suryanto (2003), PCR-RFLP digunakan untuk melihat polimorfisme dalam genom organisme dimana digunakan suatu enzim pemotong tertentu (restriction enzymes), karena sifatnya yang spesifik, maka enzim ini akan memotong situs tertentu yang dikenali oleh enzim ini. Situs enzim pemotong dari genom suatu kelompok organisme yang kemudian berubah karena mutasi atau berpindah karena genetic rearrangement dapat menyebabkan situs tersebut tidak lagi dikenali oleh enzim atau enzim restriksi akan memotong daerah lain yang berbeda. Proses ini menyebabkan terbentuknya fragmen-fragmen DNA yang berbeda ukurannya dari satu organisme ke organisme lainnya. Polimorfisme ini selanjutnya digunakan untuk membuat pohon filogeni kekerabatan kelompok. RFLP ditentukan ketika amplikon dipotong dengan Alu I, Rsa I, Taq I dan Hinf I (Jain 2004).

41 BAHAN DAN METODE 25 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan dan Layanan Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dalam kurun waktu antara bulan Agustus 2008 sampai dengan bulan Desember Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tabung/botol, gunting bedah, pinset, timbangan analitik, penumbuk, mikropipet 1 10 μl, mikoropipet 2 20 μl, mikropipet μl, mikrotip, tabung eppendorf 1,5 ml, tabung PCR, parafilm, erlenmeyer, gelas piala, vortex mixer, sentrifuse, microwave, waterbath, agarose DNA electrophoresis, UV transluminator, AB GeneAmp PCR System 9700, kertas Semi-Log (One Cycle Semi-Log) dan refrigerator. Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel jaringan otot delapan jenis burung lokal, yaitu cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier), manyar jambul (Ploceus manyar), bondol jawa (Lonchura leucogastroides), bondol peking (Lonchura punctulata), dederuk jawa (Streptopelia bitorquata), ayam kampung (Gallus gallus domesticus) dan itik (Anas domesticus). Sampel jaringan tersebut dipreservasi dalam larutan DMSO 25 % + NaCl 4,5 M, bahan lain yang digunakan adalah milique steril, larutan lysis buffer (Tris-HCl 10 mm, EDTA 25 mm, NaCl 100 mm, SDS 0,5 % pada ph 8), proteinase k, larutan RNAse k, larutan ammonium asetat 5 M, isopropanol, etanol 70 %, larutan TAE (Tris Asetat EDTA) 1 X, loading dye 6 X (Bromophenol blue 0,25 %, Xylene cyanol RF 0,25 % sucruze dalam H 2 O 40 %), ethidum bromide, Applied Biosystem GeneAmp PCR Reagen Kit, dntp mix 2 mm, amplitag polimerase Applied Biosystem GeneAmp 5 U/μl, serta Universal oligonucleotide sitokrom b (cyt b) primers, yaitu cytb-1-5 CCATCCAACATCTCAGCATGATGAAA3 dan cytb-2 -

42 26 5 CCCCTCAGAATGATATTTGTCCTCA3, serta Hinf I (10 U/UL), dan Rsa I (10 U/UL). Metode Kerja Analisis DNA mitokondria delapan burung lokal melibatkan beberapa prosedur kerja, yaitu meliputi : a. Pengumpulan sampel b. Ekstraksi DNA genom dari jaringan otot c. Amplifikasi fragmen DNA mitokondria melalui PCR d. Pemotongan fragmen DNA dengan enzim restriksi Hinf I dan Rsa I e. Pembacaan hasil menggunakan elektroforesis f. Penghitungan ukuran fragmen restriksi Pengumpulan Sampel Pengumpulan sampel jaringan tubuh (jaringan otot) delapan burung lokal yaitu cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier), manyar jambul (Ploceus manyar), bondol jawa (Lonchura leucogastroides), bondol peking (Lonchura punctulata), dederuk jawa (Streptopelia bitorquata), ayam kampung (Gallus gallus domesticus) dan itik (Anas sp) didapatkan dari pedagang burung di sekitar Bogor, kemudian sampel jaringan tubuh burung tersebut dipreservasi di dalam lartuan DMSO 25 % dan NaCl 4,5 M dan disimpan di dalam refrigerator. Ekstraksi DNA Genom dari Jaringan Otot Sampel jaringan otot yang sudah dipreservasi dalam larutan NaCl 4,5 M yang mengandung DMSO 25 % diekstraksi dengan menggunakan metode ekstraksi jaringan presipitasi ammonium asetat (Sambrook et al. 1982). Sebanyak 100mg jaringan burung diambil dan dimasukkan ke dalam tabung ependorf kemudian dihancurkan hingga halus dengan penumbuk. Jaringan burung tersebut kemudian dilarutkan dalam larutan lysis buffer sebanyak 500 μl dan diinkubasi dengan menggunakan water

43 27 bath selama 1 jam pada suhu 55 C. Kemudian ke dalam larutan tersebut ditambahkan 6 μl proteinase-k (10 mg/ml) dan diinkubasi kembali selama 3 jam pada suhu 55 C atau satu malam. Sebanyak 3 μl RNAase solution (20 mg/ml) ditambahkan dan dicampur sampai merata dengan cara membolak-balikkan larutan sebanyak 25 kali, setelah itu diinkubasi pada suhu 37 C selama menit. Setelah itu, larutan yang ada di dalam tabung disimpan dan didiamkan dalam es selama 30 menit. Larutan tersebut kemudian disentrifuse pada kecepatan 9000 g selama 30 menit. Setelah dilakukan sentrifuse, larutan tersebut akan terbagi menjadi dua yaitu endapan dan supernatan yang terdapat pada bagian atas tabung ependorf. Supernatan tersebut kemudian diambil dan ditempatkan pada tabung ependorf baru. Di dalam supernatan yang sudah dipindahkan tersebut ditambahkan 500 μl ammonium acetate 5 M, larutan tersebut kemudian dihomogenkan dengan menggunakan vortex selama 20 detik pada kecepatan maksimum dan didiamkan selama kurang lebih 10 menit pada suhu ruang. Setelah itu, larutan tersebut disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm, suhu 4 C selama 15 menit. Lapisan supernatan yang terbentuk kemudian dipindahkan ke dalam tabung ependorf baru yang sudah diisi dengan larutan isopropanol absolut sebanyak 600 μl pada suhu ruang. Larutan tersebut kemudian dihomogenkan dengan cara membolakbalikkan tabung. Setelah itu larutan tersebut didiamkan dalam suhu ruang selama satu malam sampai terbentuk pelet DNA. Setelah satu malam, larutan tersebut kemudian disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm, suhu 4 C selama 5 menit sehingga DNA akan terlihat sebagai pelet putih kecil. Supernatan dibuang dan apabila diperlukan dilakukan sentrifuse ulang untuk membuang sisa isopropanol. Pelet yang tersisa kemudian ditambahkan 500 μl alkohol 70 % dingin, kemudian dihomogenkan dengan cara membolak-balikkan tabung beberapa kali untuk membantu pencucian DNA. Setelah itu, larutan tersebut disentrifuse pada kecepatan g, selama 1 menit. Supernatan (sisa alkohol) dibuang secara hati-hati supaya pelet tidak

44 28 terikut. Pelet yang tersisa kemudian dikeringkan pada suhu kamar atau pada suhu 75 C selama 5 menit. Setelah pelet tersebut kering, pada pelet DNA kemudian ditambahkan μl ddh2o (MQ) dan didiamkan semalam atau diinkubasi pada suhu 60 C selama 3 menit atau 55 C selama menit. Amplifikasi Fragmen DNA Mitokondria melalui PCR Proses amplifikasi fragmen DNA mitokondria dilakukan dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan GeneAmp PCR System Apabila digunakan sampel hasil ekstraksi DNA (DNA template) sebanyak 1 μl maka secara berurutan reagen yang dicampurkan ke dalam tabung PCR adalah ddh 2 O sebanyak 16,55 μl, kemudian dicampurkan dengan buffer 1 X sebanyak 2,5 μl, lalu dicampurkan dntp (2mM) sebanyak 2,7 μl. Setelah itu dimasukkan primer sitokrom b1 (1,27 Ug/UL) dan primer sitokrom b2 (1,40 Ug/UL) masing-masing sebanyak 1μl, dan selanjutnya dimasukkan taq polymerase Applied Biosystem GeneAmp (5 U/μl) sebanyak 0,25 μl, serta dicampurkan DNA template (DNA sampel) sebanyak 1 μl (volume total untuk satu kali reaksi dalam PCR ini adalah 25 μl). Tabung PCR yang sudah berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam mesin PCR yang sudah diprogram untuk berjalan dalam 35 siklus pada kondisi : - 94 C selama 90 detik (denaturasi awal) - 94 C selama 45 detik (denaturasi akhir) - 53 C selama 45 detik (annealing primer) - 72 C selama 90 detik (extention awal) - 72 C selama 10 menit (extention akhir) Pemotongan DNA dengan Enzim Restriksi Hinf I dan Rsa I Proses pemotongan DNA hasil amplifikasi (amplikon) dilakukan dengan mengguanakan Hinf I dan Rsa I. Beberapa reagen yang digunakan dalam pemotongan DNA hasil PCR dengan Hinf I secara berurutan adalah ddh 2 O sebanyak 12,25 μl, kemudian larutan buffer sebanyak 2,5 μl,

45 29 setelah itu dicampurkan enzim Hinf I (10 U/UL) sebanyak 0,25 μl (2,5 unit), serta DNA hasil PCR sebanyak 10 μl (volume total dalam pemotongan dengan Hinf I ini adalah 25 μl). Sedangkan beberapa reagen yang digunakan dalam pemotongan DNA hasil PCR dengan Rsa I secara berurutan adalah ddh 2 O sebanyak 10,5 μl, kemudian larutan buffer sebanyak 2,5 μl, setelah itu dicampurkan enzim Rsa I (10 U/UL) sebanyak 2 μl (2 unit), serta DNA hasil PCR sebanyak sebanyak 10 μl (volume total dalam pemotongan DNA hasil PCR dengan Rsa I adalah 25 μl). DNA hasil PCR yang dipotong selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 C selama 2 jam untuk pemotongan dengan Hinf I dan selama 6 jam untuk pemotongan dengan Rsa I. Pembacaan Hasil Menggunakan Elektroforesis Hasil PCR (Polymerase Chain Reaction) dan pemotongan dengan enzim Hinf I dan Rsa I dibaca dengan menggunakan elektroforesis gel yang kemudian dilihat di atas sinar ultraviolet. Tahapan pembacaan hasil dengan menggunakan elektroforesis gel diawali dengan pembuatan gel/agar. Gel yang digunakan adalah agarose DNA electrophoresis. Agarose yang digunakan untuk pembacaan hasil ekstraksi DNA genom adalah agarose 1 % dengan rincian 0,5 gram agarose dicampur dengan 50 ml TAE 1 X. Agarose yang yang digunakan untuk PCR adalah agarose 1,5 % dengan rincian 0,75 gram agarose dicampur dengan 50 ml TAE 1 X. Sedangkan untuk hasil pemotongan adalah agarose 2% dengan rincian 1 gram agarose dicampur dengan 50 ml TAE 1 X, kemudian dipanaskan dalam microwave dan ditambahkan dengan ethidium bromide, setelah itu dibuat sumur pada agar untuk memasukkan DNA hasil dengan menggunakan sisir pembentuk sumur. Setelah didiamkan beberapa menit maka gel agarose dapat digunakan untuk pembacaan hasil. Masing-masing DNA hasil dimasukkan ke dalam sumur yang sebelumnya pada DNA hasil sudah ditambah dengan loading dye. Setelah semua masuk maka DNA hasil PCR dan DNA hasil pemotongan dapat dilakukan elektroforesis gel. Setelah kurang lebih 45 menit gel agarose yang berisi DNA hasil diangkat

46 30 dan diletakkan di atas UV transluminator untuk pembacaan hasil (melalui pemotretan sehingga didapatkan foto/gambar). Penghitungan Ukuran Fragmen Restriksi DNA sampel pada foto/gambar dapat diukur besarnya dengan menggunakan kertas Semi-Log (One Cycle Semi-Log). Langkah pertama dalam pengukuran DNA sampel adalah menentukan sumbu y untuk berat molekul (pasangan basa atau pb untuk berat molekul DNA) serta sumbu x untuk jarak migrasi DNA (dalam cm). Setelah itu, migrasi DNA ladder pada foto/gambar diukur kemudian diplot pada kertas Semi-Log sehingga terbentuk garis lurus/garis miring. Langkah berikutnya adalah pengukuran migrasi DNA setiap sampel atau fragmen restriksi setiap sampel kemudian diplot pada kertas Semi-Log sehingga dapat diketahui berat molekul (pb) DNA setiap sampel atau fragmen restriksi setiap sampel (Sambrook et al. 1982).

47 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sampel jaringan tubuh dari delapan jenis burung lokal yaitu ayam kampung, bondol jawa, bondol peking, cucak kutilang, merbah cerukcuk, manyar jambul, dederuk jawa dan itik di ekstraksi menggunakan metode ekstraksi jaringan presipitasi amonium asetat, kemudian dilakukan amplifikasi fragmen sitokrom b dari DNA mitokondria menggunakan primer universal L1484/H15149 (Kocher et al. 1989) melalui metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan menghasilkan DNA hasil PCR (amplikon) dengan ukuran sebesar 359 pasangan basa (pb). Ukuran amplikon dapat dilihat pada gambar 11. Gambar 11 DNA ladder (a) serta amplikon delapan jenis burung lokal yaitu; bondol jawa (b), bondol peking (c), merbah cerukcuk (d), cucak kutilang (e), dederuk jawa (f), manyar jambul (g) dan itik (h). Amplikon yang sudah diperoleh kemudian dicerna/dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I dan Rsa I sehingga diperoleh fragmen restriksi. Pengukuran fragmen hasil pemotongan/fragmen restriksi

48 32 dilakukan secara manual sehingga dapat diperoleh prediksi ukuran fragmen restriksi. Hasil dari amplikon dan fragmen restriksi dari delapan jenis burung lokal dapat dilihat pada tabel 2. Semua amplikon dari delapan sampel jaringan tubuh burung lokal dapat dipotong menjadi 2 fragmen dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I, sedangkan enzim restriksi endonuklease Rsa I hanya dapat digunakan untuk memotong tujuh amplikon dari delapan amplikon sampel burung. Amplikon sampel burung yang tidak dapat terpotong dengan enzim restriksi endonuklease Rsa I adalah itik (Anas domesticus). Burung manyar jambul (Ploceus manyar) dan bondol peking (Lonchura punctulata) mempunyai lokasi yang sama dalam pemotongan dengan enzim restriksi endonuklease Hinf I tetapi mempunyai lokasi yang berbeda dalam pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I. Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) dan merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) mempunyai persamaan lokasi pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I, hal ini juga tejadi pada manyar jambul (Ploceus manyar) dan dederuk jawa (Streptopelia bitorquata). Burung merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) yang mempunyai amplikon berukuran 359 pb akan terpotong menjadi dua fragmen dengan pemotongan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I dan Rsa I. Fragmen restriksi hasil pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I berukuran 183 pb dan 176 pb (Gambar 12), serta fragmen restriksi hasil pemotongan dengan enzim restriksi endonuklease RSA I berukuran 200 pb dan 159 pb (Gambar 13). Amplikon burung cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) yang dipotong dengan enzim restriksi endonuklease Hinf I terpotong menjadi dua fragmen yang masing-masing diperkirakan berukuran 300 pb dan 59 pb dimana dapat dilihat pada Gambar 12, fragmen yang diperkirakan berukuran 59 pb pada gambar tidak terlihat karena berat molekul DNA terlalu kecil sehingga bergerak lebih cepat. Sedangkan pemotongan amplikon cucak kutilang dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I menghasilkan dua fragmen restriksi yang masing-masing berukuran 209 pb dan 150 pb (Gambar 13).

49 33 Gambar 12 DNA ladder (a), fragmen restriksi merbah cerukcuk (b) dan fragmen restriksi cucak kutilang (c) yang dipotong dengan menggunakan Hinf I. Gambar 13 DNA ladder (a), fragmen restriksi dederuk jawa (d), fragmen restriksi cucak kutilang (e) dan fragmen restriksi merbah cerukcuk (f) yang dipotong dengan enzim Rsa I.

50 34 Amplikon burung manyar jambul (Ploceus manyar) yang dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I menghasilkan dua fragmen restriksi yang berukuran 255 pb dan 104 pb (Gambar 14), serta amplikon burung manyar jambul yang dipotong dengan menggunakan enzim restiksi endonuklease RSA I menghasilkan fragmen restriksi yang berukuran 197 pb dan 162 pb (Gambar 15). Gambar 14 DNA ladder (a) dan fragmen restriksi manyar jambul (b) yang dipotong dengan enzim Hinf I. Gambar 15 DNA ladder (a) dan fragmen restriksi manyar jambul (b) yang dipotong dengan enzim Rsa I.

51 35 Amplikon burung bondol jawa (Lonchura leucogastroides) yang dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I menghasilkan fragmen restriksi yang berukuran 243 pb dan 116 pb (Gambar 16). Sedangkan pemotongan amplikon bondol jawa dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I menghasilkan fragmen yang berukuran 189 pb dan 170 pb (Gambar 17). Amplikon bondol peking (Lonchura punctulata) yang dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I menghasilkan fragmen restriksi yang berukuran 255 pb dan 104 pb (Gambar 16), serta pemotongan amplikon bondol peking menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I menghasilkan fragmen yang berukuran 182 pb dan 177 pb (Gambar 17). Gambar 16 DNA ladder (a), fragmen restriksi bondol jawa (b) dan bondol peking (c) yang dipotong dengan Hinf I.

52 36 Gambar 17 DNA ladder (a), fragmen restriksi bondol jawa (b) dan bondol peking (c) yang dipotong dengan Rsa I. Burung dederuk jawa (Streptopelia bitorquata) yang mempunyai ukuran amplikon 359 pb diperkirakan terpotong menjadi dua fragmen yang masingmasing berukuran 271 pb dan 88 pb pada pemotongan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I yang dapat dilihat pada Gambar 18 (fragmen yang diperkirakan berukuran 88 pb pada gambar tidak terlihat karena berat molekul DNA terlalu kecil sehingga bergerak lebih cepat), serta berukuran 197 pb dan 162pb pada pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I (Gambar 13).

53 37 Gambar 18 DNA ladder (a) serta fragmen restriksi dederuk jawa yang dipotong dengan enzim Hinf I. Amplikon ayam kampung yang dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I menghasilkan fragmen restriksi yang berukuran 198 pb dan 161 pb (Gambar 19). Sedangkan amplikon ayam kampung yang dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I menghasilkan fragmen restriksi yang berukuran 200 pb dan 159 pb (Gambar 20).

54 38 Gambar 19 Fragmen restriksi ayam kampung yang dipotong dengan Hinf I (a) dan ukuran basa pada DNA ladder (b). Gambar 20 Fragmen restriksi ayam kampung yang dipotong dengan Rsa I (a) dan ukuran basa pada DNA ladder (b).

55 39 Amplikon itik (Anas domesticus) berukuran 359 pb dapat terpotong menjadi dua fragmen yang berukuran 231 pb dan 128 pb dengan enzim restriksi endonuklease Hinf I (Gambar 21). Sedangkan pemotongan amplikon itik menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I tidak menghasilkan fragmen restriksi (Gambar 22). Gambar 21 DNA ladder (a) dan fragmen restriksi itik (b) yang dipotong dengan enzim Hinf I. Gambar 22 DNA ladder (a) dan fragmen restriksi itik yang dipotong dengan enzim Rsa I.

56 40 Tabel 2 Ukuran Fragmen-fragmen hasil PCR dan pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi Hinf I dan Rsa I No. Spesies Amplikon Hinf I Rsa I 1. Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster) 2. Merbah Cerukcuk (Pycnonotus goiavier) 3. Manyar Jambul ( Ploceus manyar) Fragmen 1 Fragmen 2 Fragmen 1 Fragmen pb 300 pb 59 pb 209 pb 150 pb 359 pb 183 pb 176 pb 200 pb 159 pb 359 pb 255 pb 104 pb 197 pb 162 pb 4. Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides) 5. Bondol Peking (Lonchura punctulata) 6. Dederuk Jawa (Streptopelia bitorquata) 7. Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) 8. Itik (Anas domesticus) 359 pb 243 pb 116 pb 189 pb 170 pb 359 pb 255 pb 104 pb 182 pb 177 pb 359 pb 271 pb 88 pb 197 pb 162 pb 359 pb 198 pb 161 pb 200 pb 159 pb 359 pb 231 pb 128 pb 359 pb 0 pb

57 41 Pembahasan Analisis Pemotongan Amplikon Sitokrom b dari DNA Mitokondria Delapan Burung Lokal dengan Menggunakan Enzim Restriksi Endonuklease Amplikon sitokrom b dari DNA mitokondria (cyt b mtdna) dari delapan spesies burung lokal yang dipotong dengan menggunakan dua enzim restriksi endonuklease Hinf I dan Rsa I menunjukkan bahwa kedua enzim restriksi endonuklease tersebut menemukan situs pemotongan pada amplikon tersebut, kecuali pada amplikon itik (Anas domesticus) dimana enzim restriksi endonuklease Rsa I tidak dapat menemukan situs pemotongan. Ukuran fragmen restriksi yang dihasilkan melalui pemotongan amplikon sitokrom b dari DNA mitokondria dari delapan spesies burung lokal dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I dan Rsa I mempunyai persamaan dan perbedaan. Perbedaan dan persamaan ukuran fragmen restriksi disebabkan oleh perbedaan dan persamaan urutan pasangan basa pada daerah sitokrom b DNA mitokondria masing-masing spesies burung. Beberapa gambar fragmen yang dihasilkan dari pemotongan amplikon dengan enzim restriksi endonuklease Hinf I dan Rsa I terdapat fragmen yang kurang jelas/terlihat menyebar (gambar 16 dan gambar 19), hal ini kemungkinan disebabkan oleh kualitas DNA yang rendah atau oleh berat molekul regio DNA yang kecil (Nobata et al. 2007). Identifikasi Fragmen Restriksi Delapan Jenis Burung Lokal melalui Perbedaan Ukuran Basa Sitokrom b Dari DNA Mitokondria Menurut The Bay Science Foundation (2008), delapan jenis burung lokal (cucak kutilang, merbah cerukcuk, manyar jambul, bondol jawa, bondol peking, dederuk jawa, ayam kampung dan itik) masuk ke dalam kelas aves. Burung merbah cerukcuk masuk ke dalam famili pycnonotidae dan genus pycnonotus. Ordo, famili dan genus dari burung merbah cerukcuk sama dengan burung cucak kutilang. Burung merbah cerukcuk mempunyai nama spesies Pycnonotus goiavier sedangkan burung cucak kutilang mempunyai nama spesies Pycnonotus aurigaster (The Bay Science Foundation 2008 [6,7] ).

58 42 Burung merbah cerukcuk dan cucak kutilang mempunyai ciri morfologi yang hampir sama. Menurut Mackinnon (1990) kedua burung ini mempunyai ukuran yang sama besar yaitu 20cm. Persamaan morfologi lainnya adalah bagian dada dan bagian perut berwarna putih serta punggung, sayap dan ekor berwarna coklat. Perbedaan ciri morfologi terdapat pada kepala dan kaki. Burung merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) mempunyai mahkota kepala berwarna coklat gelap dan alis mata bergaris putih sedangkan pada burung cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) mempunyai kepala berwarna hitam, serta kaki burung merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) berwarna abu-abu agak merah muda sedangkan kaki pada burung cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) berwarna hitam. Meskipun banyak persamaan antara burung merbah cerukcuk dan burung cucak kutilang yang masih dalam satu genus ternyata tidak diikuti oleh persamaan situs pemotongan oleh enzim restriksi endonuklease Hinf I dan Rsa I, burung merbah cerukcuk mempunyai dua fragmen hasil pemotongan amplikon cyt b mtdna dengan enzim restriksi endonuklease Hinf I sebesar 183 pb dan 176 pb, sedangkan burung cucak kutilang mempunyai dua fragmen sebesar 300 pb dan 59 pb. Pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I mempunyai situs pemotongan yang berbeda tetapi memberikan potongan fragmen dengan ukuran yang hampir sama, yaitu 200 pb dan 159 pb untuk burung merbah cerukcuk dan 209 pb dan 150 pb untuk burung cucak kutilang. Hal ini menandakan bahwa enzim restriksi endonuklease Hinf I dan Rsa I dapat digunakan untuk membedakan jenis burung merbah cerukcuk dan cucak kutilang yang mempunyai kemiripan dalam taksonomi dan morfologi, serta dapat digunakan untuk membedakan kedua jenis burung tersebut dengan jenis burung lainnya. Namun, untuk membedakan kedua jenis burung tersebut secara molekuler lebih baik digunakan enzim restriksi endonukleae Hinf I karena fragmen restriksi Rsa I mempunyai ukuran fragmen yang hampir sama dimana hanya mempunyai selisih 9 pb. Burung bondol jawa (Lonchura leucogastroides), bondol peking (Lonchura punctulata) dan manyar jambul (Ploceus manyar) mempunyai persamaan taksonomi sampai tingkatan famili (The Bay Science Foundation

59 [3,4,5] ) yaitu passeridae. Burung bondol jawa dan bondol peking masuk ke dalam genus Lonchura sedangkan burung manyar jambul masuk ke dalam genus Ploceus. Ketiga burung tersebut mempunyai ciri morfologi yang hampir sama terutama pada burung bondol jawa dan bondol peking. Burung bondol jawa dan bondol peking mempunyai ukuran tubuh yang sama yaitu 11cm sedangkan burung ploceus manyar mempunyai ukuran tubuh yang sedikit lebih besar yaitu 14 cm. Persamaan morfologi dari ketiga burung tersebut yang paling utama adalah pada bentuk tubuh burung. Menurut Mackinnon (1990), ciri umum yang dimiliki oleh burung bondol jawa adalah tubuh bagian atas berwarna coklat dan tidak berburik dan bagian dada sampai perut berwarna putih, paruh berwarna coklat dan kaki berwarna abu-abu. Burung bondol peking mempunyai ciri utama tubuh bagian atas berwarna coklat berburik dan tubuh bagian dada sampai perut berwarna putih berburik, paruh berwarna abu-abu gelap dan kaki berwarna hitam abu-abu. Sedangkan burung manyar jambul mempunyai ciri utama mempunyai tutup kepala berwarna emas; bagian kepala, bagian dagu dan kerongkongan berwarna hitam serta tubuh bagian atas berwarna coklat agak hitam dan tubuh bagian bawah berwarna putih dengan burik hitam pada bagian dada. Burung manyar jambul mempunyai warna paruh abu-abu hitam sampai coklat dan warna kaki coklat pucat. Persamaan taksonomi sampai tingkatan famili dan ciri morfologi yang hampir sama juga diikuti oleh persamaan molekuler. Burung bondol peking dan burung manyar jambul mempunyai situs pemotongan yang sama oleh enzim restriksi endonuklease Hinf I dengan menghasilkan dua fragmen restriksi yaitu sebesar 255 pb dan 104 pb, sedangkan pada burung bondol jawa dengan enzim restriksi yang sama menghasilkan dua fragmen sebesar 243 pb dan 116 pb. Pemotongan dengan enzim restriksi endonuklease Rsa I, ketiga burung tidak mempunyai situs pemotongan yang sama tetapi pada burung bondol jawa dan bondol peking mempunyai ukuran fragmen yang berdekatan yaitu 189 pb dan 170 pb pada burung bondol jawa serta 182 pb dan 177 pb pada burung bondol peking. Sedangkan pada burung manyar jambul dengan enzim restriksi yang sama mempunyai ukuran fragmen restriksi yang berbeda jauh yaitu sebesar 197 pb dan 162 pb. Enzim restriksi endonuklease Hinf I dapat digunakan untuk membedakan

60 44 antara burung manyar jambul dan bondol jawa atau antara bondol jawa dan bondol peking walaupun kedua burung tersebut secara taksonomi dan morfologi mempunyai kemiripan. Sedangkan enzim restriksi endonuklease Rsa I dapat digunakan untuk membedakan ketiga spesies burung tersebut. Namun, antara burung bondol jawa dan bondol peking masih mempunyai kedekatan ukuran fragmen Rsa I sehingga lebih baik digunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I untuk membedakannya. Burung dederuk jawa secara taksonomi masuk ke dalam ordo columbiformes, famili columbidae dan genus streptopelia. Dederuk jawa mempunyai nama spesies Streptopelia bitorquata (The Bay Science Foundation 2008 [8] ) sehingga dari ciri taksonomi, burung dederuk jawa berbeda dari ketujuh burung lokal lainnya. Secara morfologi, burung dederuk jawa berbeda dengan ketujuh burung lokal lainnya. Ciri umum burung dederuk jawa menurut Mackinnon (1990) adalah burung dederuk jawa mempunyai ukuran tubuh 39cm. Ciri umum lainnya adalah tubuh mirip burung tekukur dan burung merpati, warna tubuh didominasi oleh warna coklat merah jamu dengan ekor yang agak panjang. Secara molekuler, burung dederuk jawa mempunyai perbedaan situs pemotongan cytochrome b mtdna yang dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I dengan ketujuh burung lokal lainnya. Namun, burung dederuk jawa mempunyai situs pemotongan dan ukuran fragmen restriksi yang sama sebesar 197 pb dan 162 pb dengan burung manyar jambul (Ploceus manyar) ketika dipotong dengan enzim restriksi endonuklease Rsa I. Hal ini menandakan bahwa terdapat lokasi pemotongan yang sama oleh enzim restriksi endonuklease Rsa I pada sitokrom b DNA mitokondria antara burung dederuk jawa dan manyar jambul. Ayam kampung mempunyai ordo galliformes, famili phasianidae, genus gallus dan nama spesiesnya adalah Gallus gallus domesticus. Berdasarkan urutan taksonomi tersebut ayam kampung tidak mempunyai persamaan taksonomi dengan tujuh burung lokal lainnya di bawah tingkatan kelas. Selain itu menurut ciri morfologinya, ayam kampung mempunyai perbedaan dari tujuh burung lokal lainnya. Perbedaan morfologi dapat dilihat dari ayam jantan yang berukuran 70 cm, mempunyai jengger, gelambir dan muka berwarna merah, serta ciri lain

61 45 adalah mempunyai bulu tengkuk, bulu penutup ekor dan bulu primer berwarna merah, bulu ekor berukuran panjang dan penutup sayap berkilau hitam kehijauhijauan, bagian bawah berwarna keabu-abuan gelap. Sedangkan ciri ayam betina adalah berukuran 42 cm berwarna coklat suram dengan coretan-coretan hitam pada leher dan tengkuk. Iris ayam jantan dan betina berwarna merah, paruh berwarna kuning gading dan kaki berwarna abu-abu kebiruan (Mackinnon 1990). Ciri ayam kampung secara molekuler berupa amplikon sitokrom b dari DNA mitokondria yang dipotong dengan enzim restriksi endonuklease Hinf I mempunyai dua fragmen sebesar 198 pb dan 161 pb, besarnya ukuran fragmen ini berbeda dari tujuh burung lokal lainnya yang dipotong dengan enzim yang sama sehingga enzim restriksi endonuklease Hinf I dapat digunakan untuk membedakan jenis antara ayam kampung (Gallus gallus domesticus) dengan jenis burung lainnya. Ayam kampung mempunyai fragmen amplikon cyt b mtdna sebesar 200 pb dan 159 pb yang dipotong dengan enzim restriksi endonuklease Rsa I, dengan enzim yang sama pada burung merbah cerukcuk menghasilkan ukuran fragmen yang sama. Sehingga enzim restriksi endonuklease Rsa I tidak dapat digunakan untuk membedakan antar ayam kampung dan burung merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier). Merbah cerukcuk secara taksonomi hanya mempunyai persamaan dalam tingkatan kelas dengan ayam kampung dan masuk ke dalam ordo passeriformes yang jelas berbeda dengan ordo ayam kampung yaitu galliformes (The Bay Science Foundation 2008 [7] ) serta perbedaan ini terlihat jelas pada ciri morfologinya. Itik mempunyai tingkatan taksonomi dan morfologi yang berbeda dari ketujuh jenis burung lokal lainnya. Berdasarkan tingkatan taksonomi, itik mempunyai persamaan dengan jenis-jenis burung lainnya dalam tingkat kelas (aves), sedangkan untuk tingkatan di bawah kelas menunjukkan perbedaan. Itik masuk ke dalam ordo anseriformes, famili dari itik adalah anatidae dan genus itik adalah anas, serta nama spesies dari itik adalah Anas platyrhynchos domesticus Linnaeus (The Bay Science Foundation 2008 [1] ), sedangkan menurut anonim (2009 [2] ), nama spesies itik adalah Anas domesticus.

62 46 Menurut anonim (2005 [5] ), itik merupakan kelas aves yang berhasil dijinakkan oleh manusia. Ciri morfologi itik menurut anonim (2009 [2] ) adalah itik mempunyai bulu berwarna putih serta kaki dan paruh berwarna kuning. Itik mempunyai telapak kaki berselaput yang tidak terdapat pada ketujuh burung lokal lainnya. Itik (Anas domesticus) mempunyai situs pemotongan yang berbeda dengan jenis burung lain dengan enzim restriksi endonuklease Hinf I, serta amplikon itik tidak dapat terpotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I. Hal ini menandakan bahwa enzim restriksi endonuklease Rsa I tidak mempunyai situs pemotongan pada cytochrome b mtdna. Berdasarkan hasil yang diperoleh, terdapat dua jenis burung yang mempunyai ukuran fragmen restriksi Hinf I yang sama, yaitu burung manyar jambul dan burung bondol peking. Selain itu terdapat empat jenis burung yang mempunyai ukuran fragmen restriksi Rsa I yang sama, yaitu burung dederuk jawa dengan manyar jambul, serta ayam kampung dengan merbah cerukcuk. Pembedaan jenis-jenis burung yang mempunyai ukuran fragmen yang sama dapat dilakukan pemotongan amplikon dengan menggunakan enzim yang lain, sehingga semakin banyak enzim yang menghasilkan ukuran fragmen yang berbeda antara dua jenis burung maka kedua jenis burung tersebut berkerabat jauh atau berbeda jenisnya. Metode lain untuk membedakan jenis juga dapat dilakukan melalui pemetaan fragmen DNA serta sekuensing DNA.

63 47 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Delapan jenis burung lokal mempunyai ukuran amplikon sebesar 359 pb. Ukuran fragmen delapan jenis burung lokal dapat dibedakan dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I karena ukuran fragmen berbeda kecuali antara bondol peking (Lonchura punctulata) dan manyar jambul (Ploceus manyar). Ukuran fragmen delapan jenis burung lokal juga dapat dibedakan dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I kecuali antara burung manyar jambul (Ploceus manyar) dan dederuk jawa (Streptopelia bitorquata), serta antara ayam kampung (Gallus gallus domesticus) dan merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier). Metode PCR dengan menggunakan primer universal sitokrom b serta pemotongan fragmen dengan enzim restriksi Hinf I dan atau Rsa I dapat digunakan untuk mengenali delapan jenis burung lokal. Saran Identifikasi spesies burung dapat dilakukan dengan menggunakan metode PCR-RFLP berdasarkan perbedaan fragmen restriksi gen sitokrom b DNA mitokondria sehingga perlu dilakukan identifikasi pada spesies burung lainnya dengan metode yang sama. Hal ini dapat digunakan untuk mendukung upaya konservasi burung lokal.

64 48 DAFTAR PUSTAKA Amama F, Triwiduri R Memelihara burung yang bertanggung jawab. [28 Agu 2008]. Amin M [1]. Keragaman sekuens asam amino gen partial cytochrome-b pada famili anatidae. &src=k&id=7187. [1 Mar 2009]. Anonim [1]. Ayam. [27 Des 2008]. Anonim White pekin duck. The Central Pets Educational Foundation and its licensors. [3 Jan 2009]. Anonim Laporan status lingkungan hidup Indonesia. Keanekaragaman Hayati. MAN%20HAYATI% pdf [25 Sep 2008]. Anonim [2]. What s new (2008). science/species/global_species_programme/whats_new.html. [9 Agu 2008]. Anonim [2]. Budidaya ternak itik (Anas spp.). ind/?mnu=6. [27 Des 2008]. Anonim [3]. Mitochondrial DNA. Lister Hill National Center for Biomedical Communications. U.S. National Library of Medicine. National Institute of Health. Department of Health & Human Services. USA gov. [25 Sep 2008]. Anonim Mitochondrial DNA. Oulu University Library. [29 Des 2008]. Anonim [4]. Birds on the IUCN red list. science/species/global_species_programme/red_list.html. [9 Agu 2008]. Becker WM, Kleinsmith LJ, Hardin J The World of The Cell. Edisi keempat. The Benjamin Publishing Company. Brotowidjoyo MD Zoologi Dasar. Jakarta : Penerbit Erlangga. [BSN] Badan Standardisasi Nasional Standar Nasional Indonesia Tentang Nama Tumbuhan dan Satwa Liar Yang Diperdagangkan (SNI ). Jakarta : Badan Standardisasi Nasional. Burgener M, Hübner P Mitochondrial DNA enrichment for species identification and evolutionary analysis. Journal European Food Research and Technology 207 (4).

65 49 Butchart S Species are being hit by the double whammy of habitat loss and climate change. [9 Agu 2008]. Castresana J Cytochrome b phylogeny and the taxonomy of great apes and mammals. Molecular Biology and Evolution 18(4): Chien A, Edgar DB, Trela JM Deoxyribonucleic acid polymerase from the extreme thermophile Thermus aquaticus. Journal of Bacteriology 127(3): Cronin MA, Palmisciano DA, Vyse ER, Cameron DG Mitochondrial DNA in wildlife forensic science: species identification of tissues. Wildlife Society Bulletin 19: Damayanti CS Peranan studi genetik dalam kegiatan konservasi. [23 Des 2008]. Desmond MJ, Parsons TJ, Powers TO, Savidge JA An initial examination of mitochondrial DNA structure in burrowing owl populations. Journal of Raptor Research 35(4): DeYoung RW, Honeycutt RL The molecular toolbox : genetic techniques in wildlife ecology and management. Journal of Wildlife Management 69(4). Dodge AG, Fry AJ, Blackwell RC, Zink RM Comparison of phylogenesis derived from two molecular data sets in the avian genera pipilo and spizella. The Wilson Buletin 107(4): Dono T Ada burung, ada keanekaragaman. Sinar Harapan (IPTEK & Lingkungan) No [23 Des 2008]. Farias IP, Orti G, sampaio I, Schneider H, Meyer A The cytochrome b gene as a phylogenetic marker: the limits of resolution for analyzing relationships among cichlid fishes. Journal of Molecular Evolution 53: Girman DJ The Use Of PCR-Based Single-Stranded Conformation Polymorphism Analysis (PCR-SSCP) In Conservation Genetics. Di dalam : Smith TB, Wayne RK, editor. Molecular Genetic Approaches in Conservation. USA : Oxford University Press. Hlm : 167. Guatelli JC, Gingeras TR, Richman DD Nucleic acid amplification in vitro : detection of sequences with low copy numbers and application to diagnosis of human immunodeficiency virus type 1 infection. Clinical Microbiology Reviews 2(2):

66 50 Guyton AC, Hall JE Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Terjemahan dari : Textbook of Medical Physiology. Penerjemah : Rengadi KA, Santoso A. Jakarta : EGC. Iskandar J Perdagangan hidupan liar makin mencolok. Tajuk Warta Kehati Edisi Oktober November. Iskandar S, Karlina E Kajian pemanfaatan jenis burung air di pantai utara Indramayu, Jawa Barat. Buletin Plasma Nutfah 10(2). Innis MA, Myambo KB, Gelfand DH, Brow MAD DNA sequencing with Thermus aquaticus DNA polymerase and direct sequencing of polymerase chain reaction-amplified DNA. Proceedings of The National Academy of Sciences 85: Jain S Use Of Cytochrome b Gene Variability In Detecting Meat Species By Multiplex PCR Assay [Thesis]. Anand. Department Of Veterinary Public Health, College Of veterinary Science And Animal Husbandry, Anand Agricultural University. Khan SM, Smigrodzki RM, Swerdlow RH Cell and animal models of mtdna biology : progress and prospects. American Journal Physiology-Cell Physiology 292: Klicka J, Fry AJ, Zink RM, Thompson CW A cytochrome-b perspective on Passerina bunting relationships. The Auk 118(3): Kocher TD, Thomas WK, Meyer A, Edwards SV, Paabo S, Villablanca FX, Wilson AC Dynamics of mitochondrial DNA evolution in animals : amplification and sequencing with conserved primers. Proceedings of The National Academy of Sciences 86: Lavrov DV, Lang BF Poriferan mtdna and animal phylogeny based on mitochondrial gene arrangements. Systematic Biology 54(4): Leeton PRJ, Christidis L, Westerman M, Boles WE Molecular phylogenetic affinities of the night parrot (Geopsittacus occidentalis) and the ground parrot (Pezoporus wallicus). The Auk 111(4): Lewin B Genes. Canada : John Wiley and Sons, Inc. Mackinnon J Field Guide To The Birds Of Java And Bali. Yogyakarta : Gajah Mada University press. Mackinnon J, Phillips K, Balen BV Burung-Burung Di Sumatera, Jawa, Bali Dan Kalimantan (Termasuk Sabah, Serawak Dan Brunei Darusssalam). Puslitbang Biologi LIPI & BirdLife International-Indonesia Programme.

67 51 Mahardika IGNK Polymerase Chain Reaction. archive/51. [31 Des 2008]. Malisa A, Gwakisa P, Balthazary S, Wasser S, Mutayoba B Species and gender differentiation between and among domestic and wild animals using mitochondrial and sex-linked DNA markers. African Journal of Biotechnology 4(11): Martin I, Garcia T, Fajardo V, Calleja IL, Hernandez PE, Gonzalez I, Martin R Species-specific PCR for the identification of ruminant species in feedstuffs. Meat Science 75: Moehayat P Triliunan rupiah beredar dalam hobi burung kicauan. burung Indonesia. [23 Okt 2008]. Monteros AEDL, Cracraft J Intergeneric relationships of the new world jays inferred from cytochrome b gene sequences. The Condor 99: Murray BW, McGillivray WB, Barlow JC, Beech R N, Strobeck C The use of cytochrome b sequence variation in estimation of phylogeny in the vireonidae. The Condor 96: Nobata S, Asakawa C, Shinozawa T A preliminary study of PCR-RFLP for spesies identification among the falconiformes of Japan. Ornithological Sciences 6: Palumbi SR, Cipriano F Species identification using genetic tools : the value of nuclear and mitochondrial gene sequences in whale conservation. Article Abstract. The Journal of Heredity. Oxford University Press. [31 Des 2008]. Partis L, Croan D, Guo Z, Clark R, Coldham T, Murby J. Evaluation of a DNA fingerprinting method for determining the species origin of meats. Meat Science 54: Pfeiffer I, Burger J, Brenig B Diagnostic polymorphisms in the mitochondrial cytochrome b gene allow discrimination between cattle, sheep, goat, roe buck and deer by PCR-RFLP. BMC Genetics 5:30. Prusak B, Grzybowski T, Bednarek J Cytochrome b gene (cytb) in analysis of anonymous biological traces and its application in veterinary diagnostics and animal conservation. Animal Science Papers and Reports 23(4):

68 52 Rådström P, Lövenklev M, Wolffs P, Löfström C, Knutsson R Pre-PCR Processing Strategies. Di dalam : Weissensteiner T, Griffin HG, Griffin A. PCR Technology Current Innovations, Edisi kedua. CRC Press. Rychlik W, Spencer WJ, Rhoads RE Optimization of the annealing temperature for DNA amplification in vitro. Nucleic Acids Research 18(21). Saiki RK, Gelfand DH, Stoffel S, Scharf SJ, Higuchi R, Horn GT, Mullis KB, Erlich HA Primer-directed enzymatic amplification of DNA with a thermostable DNA polymerase. American Association for The Advancement of Science 239: Sambrook J, Fritsch FF, Maniatis T Molecular Cloning A. Laboratory Manual. Cold Spring Harbor Laboratory. Setio P, Takandjandji M Konservasi ex situ burung endemik langka melalui penangkaran. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. [3 Des 2008]. Shannaz J, Jepson P, Rudyanto Burung-Burung Terancam Punah Di Indonesia. PHPA/BirdLife International-Indonesia Programme. Shen XJ, Kimura M, Iwasawa A, Nakamura T PCR-RFLP analysis of cytochrome b (Cyt b) inheritance in the wild-type strain and laboratory population of Japanese quail. Research Bulletin of The Faculty of Agriculture, Gifu University (64): Soehartono T, Mardiastuti A Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Japan International Cooperation Agency (JICA). Jakarta. Soejoedono RR Sukses Memelihara Derkuku Dan Puter. Penebar Swadaya. Suryanto D Melihat keanekaragaman organisme melalui beberapa teknik genetika molekuler. [30 Des 2008]. Tortora GJ, Funke BR, Case CL Microbiology An Introduction Sixth Edition. California : Addison Wesley Longman, Inc. The Bay Science Foundation [1]. Anas platyrhynchos domesticus. [1 Mar 2009]. The Bay Science Foundation [2]. Gallus gallus domesticus (Chicken). [1 Mar 2009]. The Bay Science Foundation [3]. Lonchura leucogastroides. [1 Mar 2009].

69 53 The Bay Science Foundation [4]. Lonchura punctulata (Scaly-Breasted Munia). [1 Mar 2009]. The Bay Science Foundation [5]. Ploceus manyar (Streaked Weaver). [1 Mar 2009]. The Bay Science Foundation [6]. Pycnonotus aurigaster. [1 Mar 2009]. The Bay Science Foundation [7]. Pycnonotus goiavier. [1 Mar 2009]. The Bay Science Foundation [8]. Streptopelia bitorquata (Island Collared- Dove, Javanese Turtle-Dove). Streptopelia_Genus.asp. [1 Mar 2009]. Vander AJ, Sherman JH, Luciano DS Human Physiology The Mechanism Of Body Function. International Edition. USA : McGraw-Hill Publishing Company, Inc. Widodo W Profil dan persepsi para pedagang burung terhadap perdagangan perkici pelangi (Trichoglossus haematodus) dan upaya pelestariannya. Berk Penel Hayati 13: Yasa IWW Analisis Kekerabatan Babi Hutan Sulawesi (Sus Celebensis) Berdasarkan Variasi Genetik Daerah D-Loop DNA Mitokondria [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Yuwono T Biologi Molekular. Jakarta : Penerbit Erlangga. Yuwono T Teori Dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Yogyakarta : C.V Andi Offset. Zink RM, Blackwell RC Molecular systematics of the scaled quail complex (genus callipepla). The Auk115(2):

70 LAMPIRAN 54

71 55 Lampiran 1 Perhitungan manual amplikon bondol jawa, bondol peking, merbah cerukcuk, cucak kutilang, dederuk jawa, manyar jambul dan itik

72 56 Lampiran 2 Penghitungan manual fragmen restriksi Hinf I ayam kampung

73 57 Lampiran 3 Penghitungan manual fragmen restriksi Rsa I ayam kampung

74 58 Lampiran 4 Penghitungan manual fragmen restriksi Hinf I bondol jawa dan bondol peking

75 59 Lampiran 5 Penghitungan manual fragmen restriksi Rsa I bondol jawa dan bondol peking

76 60 Lampiran 6 Penghitungan manual fragmen restriksi Rsa I dederuk jawa, cucak kutilang dan merbah cerukcuk

77 61 Lampiran 7 Penghitungan manual fragmen restriksi Hinf I merbah cerukcuk dan cucak kutilang

78 62 Lampiran 8 Penghitungan manual fragmen restriksi Hinf I dederuk jawa

79 63 Lampiran 9 Penghitungan manual fragmen restriksi Hinf I manyar jambul dan itik

80 64 Lampiran 10 Penghitungan manual fragmen restriksi Rsa I manyar jambul

GAMBARAN RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI SEMBILAN SPESIES IKAN AIR TAWAR KONSUMSI DENNY SAPUTRA

GAMBARAN RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI SEMBILAN SPESIES IKAN AIR TAWAR KONSUMSI DENNY SAPUTRA GAMBARAN RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI SEMBILAN SPESIES IKAN AIR TAWAR KONSUMSI DENNY SAPUTRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Purifikasi DNA Total DNA total yang diperoleh dalam penelitian bersumber dari darah dan bulu. Ekstraksi DNA yang bersumber dari darah dilakukan dengan metode phenolchloroform,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau PENGANTAR Latar Belakang Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau Wild Mallard). Proses penjinakan telah terjadi berabad-abad yang lalu dan di Asia Tenggara merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis),

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah ketersediaan keanekaragaman sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang

BAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang mudah dikenali dan distribusinya tersebar luas di dunia. Dominan hidupnya di habitat terestrial. Kelimpahan

Lebih terperinci

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI 1 ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI PENDAHULUAN Polimerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah suatu reaksi invitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh kokoh, leher pendek, paruh ramping dan cere berdaging. Distribusi burung Famili Columbidae tersebar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Babi Babi adalah sejenis hewan ungulata yang bermoncong panjang dan berhidung leper dan merupakan hewan yang aslinya berasal dari Eurasia. Didalam Al-Qur an tertera dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah.

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

Teknik-teknik Dasar Bioteknologi

Teknik-teknik Dasar Bioteknologi Teknik-teknik Dasar Bioteknologi Oleh: TIM PENGAMPU Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jember Tujuan Perkuliahan 1. Mahasiswa mengetahui macam-macam teknik dasar yang digunakan

Lebih terperinci

BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI

BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI Di dalam Bab XII ini akan dibahas pengertian dan kegunaan teknik Reaksi Polimerisasi Berantai atau Polymerase Chain Reaction (PCR) serta komponen-komponen dan tahapan

Lebih terperinci

Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf

Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Masyarakat FIKK Universitas Negeri Gorontalo Abstrak (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang berada di sana.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Indonesia Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah beradaptasi dengan iklim tropis dan beranak sepanjang tahun. Domba lokal ekor tipis

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni

TINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni TINJAUAN PUSTAKA Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni siklus hidupnya terdiri dari telur larva pupa imago. E. kamerunicus

Lebih terperinci

BIO306. Prinsip Bioteknologi

BIO306. Prinsip Bioteknologi BIO306 Prinsip Bioteknologi KULIAH 7. PUSTAKA GENOM DAN ANALISIS JENIS DNA Konstruksi Pustaka DNA Pustaka gen merupakan sumber utama isolasi gen spesifik atau fragmen gen. Koleksi klon rekombinan dari

Lebih terperinci

Gambar 2.1 udang mantis (hak cipta Erwin Kodiat)

Gambar 2.1 udang mantis (hak cipta Erwin Kodiat) 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Udang Mantis 2.1.1 Biologi Udang Mantis Udang mantis merupakan kelas Malocostraca, yang berhubungan dengan anggota Crustasea lainnya seperti kepiting, lobster, krill, amphipod,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mampu mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya terus. dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. mampu mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya terus. dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian Anorganik Dan Organik Padi merupakan salah satu sumber makanan pokok bagi sebagian besar bangsa Indonesia (Idham & Budi, 1994). Menurut Pracaya (2002) upaya untuk mampu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DNA Mitokondria Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga sistem organ. Dalam sel mengandung materi genetik yang terdiri dari DNA dan RNA. Molekul

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Kualitas DNA

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Kualitas DNA HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Sumber DNA pada Aves biasanya berasal dari darah. Selain itu bulu juga dapat dijadikan sebagai alternatif sumber DNA. Hal ini karena pada sebagian jenis Aves memiliki pembuluh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Ayam Kampung Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia, Phylum : Chordata, Subphylum : Vertebrata,

Lebih terperinci

Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( )

Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( ) Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella (10.2011.185) Identifikasi gen abnormal Pemeriksaan kromosom DNA rekombinan PCR Kromosom waldeyer Kromonema : pita spiral yang tampak pada kromatid Kromomer : penebalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak jenis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia masuk dalam urutan ketiga dari ketujuh negara dunia lainnya sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa atau sekitar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus ( Rattus norvegicus Gen Sitokrom b

TINJAUAN PUSTAKA Tikus ( Rattus norvegicus Gen Sitokrom b TINJAUAN PUSTAKA Tikus (Rattus norvegicus) Tikus termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Rodentia, dan famili Muridae. Spesies-spesies utama yang terdapat

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel 16 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menggambarkan tahapan penelitian yang terdiri dari pengambilan sampel, penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel, amplifikasi D-loop mtdna dengan teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fungsi dan Struktur Mitokondria Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma. Mitokondria berfungsi sebagai organ respirasi dan pembangkit energi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. BAB I PENDAHULUAN B. Latar Belakang Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Sukmantoro et al. (2007) menyebutkan bahwa jumlah burung di Indonesia mencapai 1598 jenis dari

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Merak hijau 2.1.1 Taksonomi Grzimek (1972) menyatakan bahwa klasifikasi merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) sebagai berikut : Kingdom Phyllum : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hewan Babi Hewan babi berasal dari Genus Sus, Linnaeus 1758 mempunyai bentuk hidung yang rata sangat khas, hewan ini merupakan jenis hewan omnivora atau hewan pemakan segala.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut: BAB III METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel, lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh, amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Dalam bab ini akan dipaparkan hasil dari tahap-tahap penelitian yang telah dilakukan. Melalui tahapan tersebut diperoleh urutan nukleotida sampel yang positif diabetes dan sampel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut ditemukan dalam jumlah besar. Daerah-daerah yang menjadi lokasi peneluran di Indonesia umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, merupakan negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan lainnya dipisahkan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini

Lebih terperinci

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Disusun oleh: Hanif Wahyuni (1210411003) Prayoga Wibhawa Nu Tursedhi Dina Putri Salim (1210412032) (1210413031) SEJARAH Teknik ini dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1985

Lebih terperinci

REKAYASA GENETIKA. By: Ace Baehaki, S.Pi, M.Si

REKAYASA GENETIKA. By: Ace Baehaki, S.Pi, M.Si REKAYASA GENETIKA By: Ace Baehaki, S.Pi, M.Si Dalam rekayasa genetika DNA dan RNA DNA (deoxyribonucleic Acid) : penyimpan informasi genetika Informasi melambangkan suatu keteraturan kebalikan dari entropi

Lebih terperinci

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas PRAKATA Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas segala nikmat dan karunia-nya, penulisan Tugas Akhir dengan judul Keragaman Genetik Abalon (Haliotis asinina) Selat Lombok

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

menggunakan program MEGA versi

menggunakan program MEGA versi DAFTAR ISI COVER... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii PRAKATA... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x INTISARI... xi ABSTRACT... xii PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI OPTIMAL REAKSI AMPLIFIKASI Sintesis fragmen 688--1119 gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur A/Indonesia/5/2005 dilakukan dengan teknik overlapping extension

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan disajikan hasil dan pembahasan berdasarkan langkah-langkah penelitian yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya dalam empat bagian yang meliputi; sampel mtdna,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-) HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Daerah D-loop Amplifikasi daerah D-loop DNA mitokondria (mtdna) pada sampel DNA sapi Bali, Madura, Pesisir, Aceh, dan PO dilakukan dengan menggunakan mesin PCR Applied

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR...... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... ABSTRACT... PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang...

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki banyak bangsa sapi dan hewan-hewan lainnya. Salah satu jenis sapi yang terdapat di Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi fauna melimpah yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi fauna melimpah yang tersebar di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara yang berada di antara dua wilayah biogeografis utama yaitu Benua Asia dan Australia yang memiliki kekayaan flora dan fauna yang

Lebih terperinci

REPLIKASI DAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

REPLIKASI DAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) REPLIKASI DAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Debbie S. Retnoningrum Sekolah Farmasi, ITB Pustaka: 1. Glick, BR and JJ Pasternak, 2003, hal. 27-28; 110-120 2. Groves MJ, 2006, hal. 40 44 3. Brown TA, 2006,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis KATAPENGANTAR Fuji syukut ke Hadirat Allah SWT. berkat rahmat dan izin-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang beijudul "Skrining Bakteri Vibrio sp Penyebab Penyakit Udang Berbasis Teknik Sekuens

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan

URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan sekuen non kode (sekuen yang tidak mengalami sintesis

Lebih terperinci

The Origin of Madura Cattle

The Origin of Madura Cattle The Origin of Madura Cattle Nama Pembimbing Tanggal Lulus Judul Thesis Nirmala Fitria Firdhausi G352080111 Achmad Farajallah RR Dyah Perwitasari 9 Agustus 2010 Asal-usul sapi Madura berdasarkan keragaman

Lebih terperinci

GAMBARAN RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI SEMBILAN SPESIES IKAN AIR TAWAR KONSUMSI DENNY SAPUTRA

GAMBARAN RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI SEMBILAN SPESIES IKAN AIR TAWAR KONSUMSI DENNY SAPUTRA GAMBARAN RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI SEMBILAN SPESIES IKAN AIR TAWAR KONSUMSI DENNY SAPUTRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Amplifikasi Gen Mx Amplifikasi gen Mx telah berhasil dilakukan. Hasil amplifikasi gen Mx divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

replikasi akan bergerak melebar dari ori menuju dua arah yang berlawanan hingga tercapai suatu ujung (terminus).

replikasi akan bergerak melebar dari ori menuju dua arah yang berlawanan hingga tercapai suatu ujung (terminus). Secara sederhana: Mula-mula, heliks ganda DNA (merah) dibuka menjadi dua untai tunggal oleh enzim helikase (9) dengan bantuan topoisomerase (11) yang mengurangi tegangan untai DNA. Untaian DNA tunggal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perserikatan Bangsa Bangsa telah mendirikan FAO Global Strategy for the Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan mengatur pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Mengenal Itik Itik adalah nama umum untuk spesies daripada famili Anatidae dan kelas burung. Itik pada dasarnya adalah burung akuatik, lebih kecil daripada

Lebih terperinci

SKRIPSI. PENGGUNAAN METODE MOLECULAR SEXING UNTUK PENENTUAN JENIS KELAMIN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rothschildi)

SKRIPSI. PENGGUNAAN METODE MOLECULAR SEXING UNTUK PENENTUAN JENIS KELAMIN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rothschildi) SKRIPSI PENGGUNAAN METODE MOLECULAR SEXING UNTUK PENENTUAN JENIS KELAMIN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rothschildi) Disusun oleh: Putu Indra Pramana Wirastika NPM : 080801055 UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Potensi Ternak Sapi Potong di Indonesia Populasi penduduk yang terus berkembang, mengakibatkan permintaan terhadap kebutuhan pangan terus meningkat. Ternak memberikan kontribusi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Burung beo (Gracula religiosa Linnaeus 1758) merupakan salah satu satwa yang banyak digemari masyarakat, karena kepandaiannya dalam menirukan ucapan-ucapan manusia ataupun suara

Lebih terperinci

Pengujian DNA, Prinsip Umum

Pengujian DNA, Prinsip Umum Pengujian DNA, Prinsip Umum Pengujian berbasis DNA dalam pengujian mutu benih memang saat ini belum diregulasikan sebagai salah satu standar kelulusan benih dalam proses sertifikasi. Dalam ISTA Rules,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuna mata besar (Thunnus obesus) atau lebih dikenal dengan bigeye tuna adalah salah satu anggota Famili Scombridae dan merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan tuna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagi sel tersebut. Disebut sebagai penghasil energi bagi sel karena dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagi sel tersebut. Disebut sebagai penghasil energi bagi sel karena dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mitokondria Mitokondria merupakan salah satu organel yang mempunyai peranan penting dalam sel berkaitan dengan kemampuannya dalam menghasilkan energi bagi sel tersebut. Disebut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi ini membutuhkan primer spesifik (sekuen oligonukelotida khusus) untuk daerah tersebut. Primer biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah konservatif

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth III. MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Pengambilan sampel darah domba dilakukan di Kecamatan Koto Tengah Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober 2012. Amplifikasi gen Growth Hormone menggunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Virus Hepatitis B Gibbon Regio Pre-S1 Amplifikasi Virus Hepatitis B Regio Pre-S1 Hasil amplifikasi dari 9 sampel DNA owa jawa yang telah berstatus serologis positif terhadap antigen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Itik atau yang lebih dikenal dimasyarakat disebut bebek (bahasa jawa),

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Itik atau yang lebih dikenal dimasyarakat disebut bebek (bahasa jawa), 1 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Sejarah Perkembangan Itik Itik atau yang lebih dikenal dimasyarakat disebut bebek (bahasa jawa), golongan terdahulunya merupakan itik liar bernama Mallard (Anas plathytynchos)

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 29 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik isolat bakteri dari ikan tuna dan cakalang 4.1.1 Morfologi isolat bakteri Secara alamiah, mikroba terdapat dalam bentuk campuran dari berbagai jenis. Untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR Alu-1 Amplifikasi fragmen gen FSHR Alu-1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60 C selama 45 detik dan diperoleh produk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tersebar luas di Daratan Asia Tenggara, Lempeng Sunda, Kepulauan Filipina, dan daerah Wallacea Selatan. Monyet ekor panjang di Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia Ternak sapi di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu terak asli, ternak yang telah beradaptasi dan ternak impor (Sarbaini,

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia besar yang hidup di Pulau Jawa. Menurut Alikodra (1823), satwa berkuku genap ini mempunyai peranan

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA

TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA Oleh: Gregorius Widodo Adhi Prasetyo A2A015009 KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu pengumpulan sampel berupa akar rambut, ekstraksi mtdna melalui proses lisis akar rambut, amplifikasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Sapi Bali Sapi bali (Bos Sondaicus) adalah sapi asli Indonesia hasil domestikasi banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI ISOLAT BAKTERI DARI PANTAI BANDEALIT JEMBER BERDASARKAN SEKUEN DNA PENGKODE 16S rrna SKRIPSI. Oleh Dina Fitriyah NIM

IDENTIFIKASI ISOLAT BAKTERI DARI PANTAI BANDEALIT JEMBER BERDASARKAN SEKUEN DNA PENGKODE 16S rrna SKRIPSI. Oleh Dina Fitriyah NIM IDENTIFIKASI ISOLAT BAKTERI DARI PANTAI BANDEALIT JEMBER BERDASARKAN SEKUEN DNA PENGKODE 16S rrna SKRIPSI Oleh Dina Fitriyah NIM 061810401071 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Masalah BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Masalah Penelitian mengenai biodiversitas mikroba termofilik telah membuka banyak informasi mengenai interaksi mikroba dengan lingkungannya (Newman dan Banfield, 2002).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies burung dunia. Tiga ratus delapan puluh satu spesies di antaranya merupakan endemik Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Burung Puyuh Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan

Lebih terperinci

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Februari-Agustus 2010 di Laboratorium Zoologi Departemen Biologi, FMIPA, IPB.

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Februari-Agustus 2010 di Laboratorium Zoologi Departemen Biologi, FMIPA, IPB. Kolokium Ajeng Ajeng Siti Fatimah, Achmad Farajallah dan Arif Wibowo. 2009. Karakterisasi Genom Mitokondria Gen 12SrRNA - COIII pada Ikan Belida Batik Anggota Famili Notopteridae. Kolokium disampaikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap penyiapan templat mtdna, amplifikasi fragmen mtdna pada daerah D-loop mtdna manusia dengan teknik PCR, deteksi

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Beberapa ratus tahun yang lalu di Jepang telah diadakan penjinakan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Beberapa ratus tahun yang lalu di Jepang telah diadakan penjinakan II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sejarah Perkembangan Puyuh Beberapa ratus tahun yang lalu di Jepang telah diadakan penjinakan terhadap burung puyuh. Mula-mula ditujukan untuk hewan kesenangan dan untuk kontes

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi asli Indonesia secara genetik dan fenotipik umumnya merupakan: (1) turunan dari Banteng (Bos javanicus) yang telah didomestikasi dan dapat pula (2) berasal dari hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 2 Gen GH exon 2 pada ternak kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA) berhasil diamplifikasi menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Pasangan

Lebih terperinci

Identifikasi mikroba secara molekuler dengan metode NCBI (National Center for Biotechnology Information)

Identifikasi mikroba secara molekuler dengan metode NCBI (National Center for Biotechnology Information) Identifikasi mikroba secara molekuler dengan metode NCBI (National Center for Biotechnology Information) Identifikasi bakteri pada saat ini masih dilakukan secara konvensional melalui studi morfologi dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Itik (Anas platyrhynchos)

TINJAUAN PUSTAKA. Itik (Anas platyrhynchos) TINJAUAN PUSTAKA Itik (Anas platyrhynchos) Menurut Achmanu (1997), itik termasuk ke dalam unggas air (waterfowl) yang mempunyai klasifikasi sebagai berikut : kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae,

Lebih terperinci

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. BIO210 Mikrobiologi Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. Kuliah 10. GENETIKA MIKROBA Genetika Kajian tentang hereditas: 1. Pemindahan/pewarisan sifat dari orang tua ke anak. 2. Ekspresi

Lebih terperinci

A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup

A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup B. TUJUAN PRAKTIKUM 1. Menginventarisasi karakter morfologi individu-individu penyusun populasi 2. Melakukan observasi ataupun pengukuran terhadap

Lebih terperinci