BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kondisi Geografis Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5º50' - 7º50' Lintang Selatan dan 104 º 48' º 48' Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya: Sebelah Utara, berbatasan dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta Sebelah Timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudra Indonesia Sebelah Barat, berbatasan dengan Provinsi Banten Jawa Barat memiliki lahan yang subur, sebagian besar dari luas tanahnya digunakan untuk pertanian. Ini lebih dimungkinkan karena Jawa Barat yang beriklim tropis. Luas wilayah Propinsi Jawa Barat adalah ,96 km², terdiri dari 17 kabupaten, 9 kota, 558 kecamatan dan desa atau kelurahan. Secara geografis, letak Propinsi Jawa Barat yang berdekatan dengan ibukota negara menyebabkan Jawa Barat sering disebut sebagai propinsi penyangga ibukota. Posisi strategis tersebut memberikan keuntungan bagi Jawa Barat dari segi komunikasi dan perhubungan.

2 Topografi wilayah Jawa Barat bagian Utara adalah daerah berdataran rendah, sedangkan wilayah Jawa Barat bagian selatan adalah daerah berbukit-bukit dengan sedikit pantai. Selain itu wilayah Jawa Barat bagian tengah adalah dataran tinggi bergunung-gunung. Kawasan pantai utara Propinsi Jawa Barat merupakan dataran rendah. Di bagian tengah merupakan pegunungan, yakni bagian dari rangkaian pegunungan yang membujur dari barat hingga timur Pulau Jawa. Titik tertingginya adalah Gunung Ciremai, yang berada di sebelah barat daya Kota Cirebon. Sungai-sungai yang cukup penting adalah Sungai Citarum dan Sungai Cimanuk, yang bermuara di Laut Jawa. Jawa Barat memiliki lahan yang subur yang berasal dari endapan vulkanis. Banyaknya aliran sungai menyebabkan sebagian besar dari luas tanah di wilayah propinsi Jawa Barat digunakan untuk pertanian. Pengembangan pertanian di Jawa Barat dimungkinkan karena secara umum Jawa Barat beriklim tropis. Pada tahun 2008, Kota Bandung sebagai Ibukota Propinsi Jawa Barat memiliki curah hujan yang tertinggi pada bulan Desember yang mencapai 332,8 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli yaitu 3,6 mm. Kecepatan angin rata-rata selama tahun 2008 sebesar 2 knot dengan tekanan udara sebesar 922,6 mb dan kelembaban nisbi mencapai 79 persen. Sementara pada tahun 2009 bulan Juni kecepatan rata-rata angin berkisar 1,8 knot dengan kelembaban nisbi 82 persen.

3 Gambar 4.1. Peta wilayah Propinsi Jawa Barat Kondisi Demografis Pada tahun 2010 jumlah penduduk di Kabupaten /Kota Jawa Barat yang paling banyak ada di Kabupaten Bogor, yaitu sebesar 4,4 juta jiwa dan diikuti oleh Kabupaten Bandung 3,1 juta jiwa. Hal ini tidak berbeda dengan kondisi di tahun sebelumnya. Sedangkan penduduk terkecil berada di kota Banjar yaitu sebanyak 0,18 juta jiwa. Jumlah rumah tangga pada tahun 2009 di Jawa Barat mencapai rumah tangga, dengan rata-rata per rumah tangga 4 anggota. Jumlah Rumah tangga tertinggi berada di Kabupaten Bogor, yaitu rumah tangga, Kabupaten Bandung sebesar rumah tangga dan ketiga terbesar adalah Kota Bandung sebesar rumah tangga. Menurut Hasil Angka Sementara

4 Sensus Penduduk (SP) jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun 2010 mencapai jiwa. Bedasarkan periode Sensus per sepuluh tahun pada tahun 1980 sebesar 23,4 juta, tahun 1990 sebesar 29,4 juta dan pada tahun 2000 mencapai 35,7 juta. Sex rasio hasil angka sementara sensus pada tahun 2010 sebesar 103,46 naik bila dibandingkan tahun 2000 sebesar 102,11 ataupun tahun 1990 sebesar 100,97 persen. Pada tahun 2010 Laju Pertumbuhan Penduduk sebesar 1,89 persen, Kepadatan Penduduk orang/km, dengan luas wilayah sebesar ,54 km 2. Jumlah Penduduk Miskin di Jawa Barat sebesar ribu jiwa. Adapun penduduk miskin tertinggi berada di Kabupaten Bogor yaitu 446,04 ribu jiwa atau 9,19 persen, dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu jiwa atau 0,30 persen. Persentase penduduk miskin di Jawa Barat sebesar 11,58 persen, tertinggi ada di Kota Tasikmalaya yaitu sebesar 23,55 persen, disusul oleh Kabupaten Cirebon sebesar 18,22 persen, terendah ada di kabupaten Bekasi 5,97 persen. Garis Kemiskinan di Jawa Barat tahun 2009 sebesar Rp ,- per kapita per bulan, tertinggi ada di kota Bekasi sebesar Rp ,- per kapita / bulan dan terendah ada di Kota Banjar yaitu Rp ,- per kapita per bulan. Jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk tiap kota dan kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten adalah sebagai berikut :

5 NO. Tabel 4.1. Jumlah Penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk Dan Kepadatan Penduduk Tiap Kota Dan Kabupaten Di Jabar Dan Banten Tahun 2010 KABUPATEN/KOTA Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan Penduduk (%) Luas Wilayah (km 2 ) Kepadatan Penduduk (orang/km 2 ) 1 Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Sumedang Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Purwakarta Kab. Karawang Kab. Bekasi Kab.Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kab.Pandeglang Kab.Lebak Kab. Serang Kota Serang Kota Cilegon Rata-rata Sumber : Biro Pusat Statisik, 2010

6 4.1.2 Kondisi Ketenagalistrikan di Wilayah Jawa Barat dan Banten Kebutuhan tenaga listrik di wilayah Jawa Barat dan Bali dipenuhi dari sistem interkoneksi Jamali, pembangkit captive, serta pembangkit isolated. Pembangkit captive adalah pembangkit yang produksi listriknya terutama digunakan untuk keperluan sendiri. Pada beberapa pembangkit captive, kelebihan listrik yang diproduksi juga dijual kepada masyarakat umum. Sedangkan pembangkit isolated adalah pembangkit yang berdiri sendiri untuk melayani beban pada daerah setempat. Di Propinsi Banten terdapat banyak industri yang menggunakan captive power yang diperkirakan mencapai MW antara lain PT Krakatau Daya Listrik yang memiliki PLTU gas alam sebesar 400 MW yang waktu malam hari telah menjual listriknya ke PT. PLN (Persero) sebesar 80 MW. Pembangkit besar yang ada di Propinsi Banten adalah PLTU Suralaya dengan total kapasitas terpasang MW. Penduduk Jawa Barat pada tahun 2002 mencapai 37 juta jiwa, dengan jumlah desa Desa berlistrik sudah mencapai hampir 100% sedangkan rasio elektrifikasi baru mencapai 55%. Penjualan tenaga listrik di Propinsi Jawa Barat mencapai GWH sampai dengan Desember 2003 dengan komposisi 57% pelanggan industri, rumah tangga 35%, sektor komersial 6% dan umum kurang lebih 2%. Perkembangan penjualan tenaga listrik tahun menunjukkan bahwa konsumsi tenaga listrik telah tumbuh sebesar 7% per tahun.

7 Jumlah Pelanggan Listrik Realisasi jumlah pelanggan PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten selama tahun mengalami peningkatan dari menjadi atau bertambah rata-rata pelanggan tiap tahunnya. Penambahan pelanggan terbesar masih terjadi pada sektor rumah tangga, yaitu rata-rata per-tahun, dan diikuti sektor komersil dengan rata-rata pelanggan per-tahun dan sektor publik rata-rata pelanggan per-tahun. Tabel 4.2. Jumlah Pelanggan Listrik Di Wilayah PLN Distribusi Jawa Barat Dan Banten Menurut Sektor Pelanggan Dalam Enam Tahun Terakhir JENIS TARIF Rumah Tangga UNIT Plg Komersil Plg Publik Plg Industri Plg Total Plg Growth % Growth Rata-rata % 4.7 Delta Pelanggan Plg Sumber : Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN Tabel 4.2 di atas menunjukkan perkembangan jumlah pelanggan PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten menurut sektor pelanggan dalam enam tahun terakhir.

8 Rasio Elektrifikasi Rasio elektrifikasi didefinisikan sebagai jumlah rumah tangga yang sudah berlistrik dibagi dengan jumlah rumah tangga yang ada di wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten. Perkembangan rasio elektrifikasi PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, yaitu dari 56,84% pada tahun 2003 menjadi 64,37% pada tahun Pada Tabel 4.5 diperlihatkan perkembangan rasio elektrifikasi di wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten. Tabel Rasio Elektrifikasi PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten URAIAN UNIT Rasio Elektrifikasi % Jumlah RT (x000) Rumah Pelanggan RT (x000) Rumah Sumber : Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN Adapun rasio elektrifikasi Jawa Barat berdasarkan Data Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (DJLPE) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI tahun 2010 adalah 67,40 %, dan Banten sebesar 63.9%. Perbandingan rasio elektrifikasi Jawa Barat dengan propinsi-propinsi lainnya di Indonesia ditampilkan pada tabel berikut ini : Tabel 4.4. Rasio Elektrifikasi Jawa Barat Dan Propinsi Lain Di Indonesia NO. PROPINSI RASIO ELEKTRIFIKASI (%) 1 Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi NO. PROPINSI RASIO

9 ELEKTRIFIKASI (%) 6 Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Rata-rata Sumber : DJLPE DEP ESDM RI, 2010 Rasio elektrifikasi Jawa Barat berdasarkan tabel 4.6 berada diatas rata-rata rasio elektrifikasi nasional. Meskipun demikian, rasio elektrifikasi Jawa Barat adalah terendah setelah Propinsi Banten jika dibandingkan dengan propinsi-propinsi lain yang kebutuhan energi listriknya dipasok oleh sistem kelistrikan Jamali. Rasio elektrifikasi Jawa Barat juga lebih rendah dari rasio elektrifikasi beberapa propinsi di luar Pulau Jawa seperti Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (76,98 %), Sumatera Utara (69,8 %), Sumatera Barat (69,37%), Kepulauan Bangka Belitung (72,88 %),

10 Kalimantan Selatan (72,29 %) dan Kalimantan Timur (68,56 %). Rasio elektrifikasi Jawa Barat memang lebih tinggi dibandingkan rasio elektrifikasi propinsi-propinsi di kawasan timur Indonesia yang meliputi Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Pulau Papua dan Kepulauan Nusa Tenggara. Tetapi perbandingan data rasio elektrifikasi tersebut menunjukkan infrastruktur kelistrikan di Propinsi Jawa Barat belum menyentuh seluruh rumah tangga yang terdapat di Propinsi Jawa Barat Rasio elektrifikasi setiap kota/kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten adalah sebagai berikut : Grafik 4.1.Rasio Elektrifikasi Kota dan Kabupaten di Wilayah Jawa Barat dan Banten Banten 69% 78% Banjar 75% 77% Cimahi 68% 81% Bekasi 82% 62% Bandung 78% 73% Bogor 85% 70% Pandeglang 66% 66% Bandung Barat 67% 67% Karawang 74% 81% Subang 66% 64% Sumedang 64% 54% Kab.Cirebon 66% 63% Ciamis 60% 60% Garut 53% 58% Cianjur 52% 58% Kab.Bogor 80% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% Rasio Elektrifikasi (%) Sumber : Data Statistik PLN Jawa Barat dan Banten Tahun 2010

11 Grafik diatas menunjukkan masih belum meratanya rasio elektrifikasi di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat dan Banten. Hal ini menunjukkan pula belum meratanya infrastruktur kelistrikan di wilayah Jawa Barat dan Banten. Beberapa wilayah seperti di Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Kabupaten Bandung, Garut dan Majalengka rasio elektrifikasinya masih rendah, yaitu masih dibawah 60%. Sedangkan Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Bekasi dan Kota Depok rasio elektrifikasinya sudah lebih dari 80% Kapasitas Pembangkit Pada tahun 2008 kapasitas terpasang pembangkit yang ada di wilayah PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten adalah 8.411,80 MW. Dengan terus meningkatnya beban puncak, maka reserve margin pada tahun 2008 diperkirakan akan menurun. Ditambah lagi dengan beberapa permasalahan operasional seperti pasokan BBM dan batubara yang sering tersendat, pasokan gas yang menurun, derating, dan kerusakan pembangkit, maka kondisi tersebut mengakibatkan pada periode waktu beban puncak (WBP) di wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten beberapa waktu yang lalu mengalami kekurangan daya dan energi. Untuk mempertahankan keseimbangan pasokan dan kebutuhan listrik terpaksa dilakukan pemadaman. Pembangkit yang ada di wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten berdasarkan jenis pembangkit dan pengelolaannya dapat dilihat pada tabel berikut:

12 Pembangkit Tabel 4. 5 Kapasitas Terpasang Pembangkit Tahun 2008 Kapasitas MVA Unit Pengelola Lokasi Keterangan PLTA Ubrug 18.4 Indonesia Power Sukabumi Milik PLN PLTA Kracak 18.9 Indonesia Power Bogor Milik PLN PLTA Plengan 6.9 Indonesia Power Pangalengan Milik PLN PLTA Lamajan 19.5 Indonesia Power Pangalengan Milik PLN PLTA Cikalong 18 Indonesia Power Pangalengan Milik PLN PLTA Bengkok 3.9 Indonesia Power Dago Milik PLN PLTA Parakan 9.9 Indonesia Power Sumedang Milik PLN PLTA Saguling Indonesia Power Cianjur Milik PLN PLTA Cirata 948 Pembangkitan Jawa Bali Purwakarta Milik PLN PLTA Jatiluhur 180 PO Jasa Tirta Purwakarta Milik Swasta PLTU Suralaya 3209 Indonesia Power Banten Milik Swasta PLTU Labuan 300 PLTU Labuan Pandeglang Milik PLN PLTU Sumurade 300 PLTU Sumuradem Indramayu Milik PLN PLTU Krakatau DL - Krakatau Daya Listrik Banten Milik Swasta PLTGU Cilegon 460 PLTGU Cilegon Banten Milik PLN PLTGU Muaratawar 840 PLTGU Muaratawar Bekasi Milik PLN PLTGU Pembangkitan Jawa Muaratawar 585 PLTGU Muaratawar 270 Bali Bekasi Milik PLN Pembangkitan Jawa Bali Bekasi Milik PLN PLTG Sunyaragi 72 Indonesia Power Cirebon Milik PLN PLTG Cikarang 150 Cikarang Listerindo Bekasi Milik Swasta PLTP Salak 170 Indonesia Power Bogor Milik PLN PLTP Kamojang 132 Indonesia Power Garut Milik PLN PLTP Darajat 52 Indonesia Power Garut Milik PLN PLTP Salak Daya Bumi Salak Pratama Bogor Milik Swasta PLTP Darajat Chevron Geothermal Garut Milik Swasta PLTP Darajat Chevron Geothermal Garut Milik Swasta PLTP Wayang Windu Magma Nusantara Garut Milik Swasta PLTP Kamojang Pertamina Geothermal Pangalengan Milik Swasta Sumber : Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN

13 Keandalan Pasokan Realisasi keandalan pasokan listrik kepada konsumen yang diukur dengan faktor SAIDI dan SAIFI jaringan di wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten pada enam tahun terakhir menunjukkan perbaikan. Indeks SAIDI membaik dari 487 menit/pelanggan/tahun pada tahun 2003 menjadi 139,25menit/pelanggan/tahun pada tahun Sedangkan SAIFI juga membaik dari 14,26 kali/pelanggan/tahun menjadi 4,73 kali/pelanggan/tahun. Selengkapnya SAIDI dan SAIFI enam tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel SAIDI dan SAIFI Tahun URAIAN UNIT SAIDI mnt/plg/thn SAIFI kali/plg/thn Sumber : Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN Masalah Mendesak : Daerah Krisis Definisi krisis adalah suatu kondisi sistem dimana kemampuan pasokan dari pembangkit PLN tidak mencukupi dari pada kebutuhan beban puncak. Ada beberapa daerah atau sistem kelistrikan pada akhir tahun 2008 mengalami krisis. Hal ini ditandai oleh adanya beberapa gardu induk yang bebannya sudah di atas 80% sementara permintaan sambungan baru calon pelanggan besar jumlahnya cukup banyak. Pada akhir tahun 2008 terdapat 58 buah trafo GI dari jumlah keseluruhan trafo GI sebanyak 199 buah di wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten yang bebannya sudah mencapai diatas 80%. Adapun jumlah gardu induk yang

14 bebannya sudah mencapai 70%-80% jumlahnya sudah mencapai 25 buah dan yang sudah melebihi 80% jumlahnya sudah mencapai 21 buah dari jumlah keseluruhan gardu induk sebanyak 97 buah. Gardu Induk yang sudah berbeban diatas 80% dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 4.7. Gardu Induk Beban Diatas 80% Tahun 2008 Sumber : Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN Penanggulangan Daerah Krisis Kondisi krisis penyediaan tenaga listrik di beberapa daerah di wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten pada dasarnya terjadi karena keterlambatan penyelesaian proyek pembangkitan tenaga listrik, baik proyek PLN

15 maupun IPP (Independent Power Plant) dan proyek-proyek pembangunan gardu induk baru, penambahan kapasitas trafo GI dan beberapa proyek transmisi. Penyebab keterlambatan ada berbagai hal, antara lain kesulitan pendanaan dan kendala pembangunan di lapangan, sehingga proyek yang sudah dijadwalkan tidak dapat beroperasi tepat waktu. Langkah-langkah yang telah diambil oleh PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten untuk menanggulangi daerah krisis sampai saat ini meliputi pembelian energi listrik dari pembangkit skala kecil, bermitra/kerjasama operasi pembangkit dengan Pemda setempat, serta pembelian excess power Wacana Penerapan Tarif Listrik Regional di Wilayah Jawa Barat dan Banten Pada bulan September 2009, DPR akhirnya meloloskan RUU Ketenagalistrikan menjadi UU baru menggantikan UU No 15/1985. Dalam UU Ketenagalistrikan yang baru ini dinyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah daerah. Pemerintah Provinsi, dan Kabupaten/Kota mempunyai peran dan tanggung jawab besar untuk pengembangan sistem ketenagalistrikan, termasuk penentuan tarif listrik regional. Tarif Dasar Listrik (TDL) yang seragam di berbagai daerah hingga saat ini tidak mampu lagi mengimbangi biaya produksi listrik atau Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik.

16 Penerapan tarif listrik regional diharapkan menjadi solusi penting untuk memberi insentif masuknya investasi kelistrikan sehingga dapat menambah kapasitas pembangkit listrik untuk mengatasi persoalan defisit listrik di berbagai daerah di Indonesia. Wilayah Jawa dan Bali sendiri dipandang oleh Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) Departemen Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) telah siap untuk melaksanakan kebijakan ini dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia (Jurnalnet.com 5 Desember 2006 dan Republika 3 Januari 2007). Namun dikarenakan beberapa kendala terkait kesiapan PLN serta belum adanya kajian yang lebih mendalam akan model strategi penerapannya di setiap wilayah, maka sampai dengan saat ini belum ada wilayah di daerah Jawa dan Bali yang telah melaksanakan tarif listrik regional. Pada bulan Maret tahun 2010 dilakukan Studi Tarif Dasar Listrik Untuk Menuju Tata Kelola Ketenagalistrikan Nasional Yang Sehat yang dilaksanakan oleh Konsorsium 6 Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia dan dituangkan pula oleh Nanang Hariyanto dan Sudarmono Sasmono dalam makalah berjudul Model Ukuran Kesiapan Kandidat Daerah Pelaksana Tarif Listrik Regional Di Indonesia, dan disajikan dalam Seminar IV Teknologi dan Bisnis Kelistrikan Institut Teknologi Bandung bulan November tahun Salahsatu hasil dari studi tersebut adalah direkomendasikannya propinsi Jawa Barat dan Banten untuk menerapkan tarif regional. Jawa Barat dan Banten secara umum dipandang salahsatu wilayah yang direkomendasikan untuk menerapkan tarif listrik regional dipandang dari beberapa indikator seperti rata-rata pendapatan perkapita

17 penduduk, kapasitas fiskal, potensi energi serta infrastruktur kelistrikan yang tersedia Hasil dan Pembahasan Analisis kesenjangan (gap) antar wilayah dilakukan dengan menyampaikan daftar pertanyaan/kuesioner serta melakukan wawancara dengan para pakar kelistrikan dan ekonomi energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ahli kelistrikan dan ahli ekonomi energi tersebut adalah : 1. Dr. Ir. Nanang Hariyanto ( Institut Teknologi Bandung) 2. Syarif Hidayat, Ph.D (Institut Teknologi Bandung) 3. Dr. Ir. Muhammad Nurdin (Institut Teknologi Bandung) 4. Dr. Ing. Ir. Yusra Sabri (Institut Teknologi Bandung) 5. Dr. Ir. Agus Purwadi (Institut Teknologi Bandung) 6. Sudarmono Sasmono, ST., MT. (Institut Teknologi Bandung) 7. Fitriana, ST., MT. (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Penulis juga melakukan wawancara dengan Bapak Muncul Daryoto, selaku Deputi Manajer Administrasi Niaga PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten untuk memperoleh informasi mengenai sejauh mana kesiapan dari PLN sendiri dalam rangka rencana penerapan tarif listrik regional khususnya di daerah Jawa Barat dan Banten. Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan/kuesioner sebagai panduan serta wawancara semiterstruktur (Semistructure Interview), yaitu

18 wawancara yang termasuk ke dalam kategori in-depth interview, yang bertujuan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana narasumber/informan yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya. Selama melakukan wawancara, peneliti mendengarkan secara teliti dan mencatat serta merekam apa yang dikemukakan oleh narasumber/informan. Adapun ikhtisar lengkap narasumber penelitian ini terdapat pada tabel 4.8. sebagai berikut :

19 Tabel 4.8. Ikhtisar Narasumber Penelitian No. Nama Deskripsi Posisi/Jabatan Tanggal Tempat 1. Dr. Ir. Nanang Hariyanto a. Kepala Laboratorium Sistem Tenaga dan Distribusi Elektrik STEI ITB b. Konsultan PT. PLN untuk Sistem Tenaga Listrik dan Kebijakan Pengembangan Kelistrikan di Sistem PLN c. Konsultan Sistem Tenaga Listrik dan Kebijakan Pengembangan Kelistrikan Yang Optimal untuk Perusahaan Minyak dan Gas di Indonesia d. Dikenal publik sebagai Ahli Sistem Kelistrikan dan Kebijakan Kelistrikan 2. Syarif Hidayat, Ph.D a. Mantan Ketua Laboratorium Teknik Tegangan dan Arus Tinggi STEI ITB b. Konsultan Teknologi Kabel Laut untuk Penyaluran Listrik di Indonesia bagi PT. PLN c. Konsultan Pemprof DKI untuk Pengembangan Kabel Laut bagi Penyaluran Listrik di Kep. Seribu d. Dikenal publik sebagai Ahli Petir dan Ahli Penyaluran Listrik Melalui Kabel Laut 3. Dr. Ir. M. Nurdin a. Ketua Program Studi Teknik Tenaga Listrik ITB b. Konsultan Kestabilan Sistem Tenaga Listrik di PT. PLN c. Dikenal publik sebagai Ahli Kestabilan Sistem Tenaga Listrik 14 September Oktober Oktober 2011 Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung

20 No. Nama Deskripsi Posisi/Jabatan Tanggal Tempat 4. Dr.Ing. Ir. Yusra Sabri a. Peneliti Senior di bidang Ekonomi Ketenagalistrikan b. Konsultan Pemprof DKI untuk Keekonomian Pengembangan Sistem Kelistrikan c. Dikenal publik sebagai Ahli Ekonomi Kelistrikan 5. Dr. Ir. Agus Purwadi a. Kepala Laboratorium Penelitian Konversi Energi Elektrik STEI ITB dan Laboratorium Energi Terbarukan STEI ITB b. Konsultan PT. PLN untuk Keekonomian di Sistem Distribusi Listrik dan Penggunaan Energi Terbarukan c. Dikenal publik sebagai Ahli Teknologi Pembangkit Energi Terbarukan 6. Sudarmono Sasmono, ST., MT. a. Peneliti Muda di Bidang Energi dan Kebijakan Kelistrikan di Indonesia Energy Institute b. Asisten Akademik di Program Studi Teknik Tenaga Listrik STEI ITB c. Konsultan Pemerintah Provinsi DKI Jaya dan Jawa Barat untuk Kebijakan Pengembangan Kelistrikan d. Dikenal Publik sebagai Ahli Kebijakan Kelistrikan 7. Fitriana, ST., MT Peneliti Bidang Energi Terbarukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 8. Muncul Daryoto Deputi Manajer Administrasi Niaga PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten 8 Maret 2012 Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung 19 Maret Maret 2012 Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung 5 Maret 2012 Gedung 10 Kantor LIPI, Bandung 4 April 2012 Kantor PT. PLN (Persero) Distribusi Jabar&Banten, Bandung

21 4.2.1 Hasil Wawancara serta Pengisian Daftar Pertanyaan/Kuesioner Dari hasil wawancara yang dilakukan mulai dari bulan September tahun 2011 sampai dengan bulan Maret tahun 2012, diperoleh informasi dari setiap narasumber sebagai berikut : 1. Narasumber 1 : Dr. Ir. Nanang Hariyanto (Pakar Kelistrikan dan Ekonomi Energi, Institut Teknologi Bandung) Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 14 September 2011 bertempat di Gedung Kerjasama PLN-ITB, Kampus Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Menurut narasumber, masyarakat yang siap secara ekonomi pasti sudah siap membayar tarif listrik pada nilai keekonomiannya. Karena itu untuk perbandingan berpasangan tingkat pertama yang dilakukan antara kriteria development gap dengan kriteria infrastructure electricity gap dapat dikatakan bahwa tingkat kepentingan kriteria development gap lebih besar atau minimal sama dengan tingkat kepentingan kriteria infrastructure electricity gap. Pada tingkat kedua, perbandingan berpasangan dilakukan di antara masing-masing sub kriteria pembentuk dari development gap dan sub kriteria pembentuk infrastructure electricity gap. Menurut narasumber, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta kontribusi sektor industri dan bisnis sama pentingnya karena merupakan merupakan cerminan dari pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan dalam penerapan tarif listrik regional PDRB serta kontribusi sektor industri dan bisnis sama-sama

22 merupakan hal yang krusial yang harus dipertimbangkan dimana tarif listrik dapat diterapkan pada nilai keekonomiannya di wilayah yang pertumbuhan ekonominya tinggi. Adapun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga. Hal ini karena PDRB lebih mencerminkan pertumbuhan ekonomi secara umum serta menggambarkan keberhasilan pemerintah daerah setempat mengelola sumber daya yang ada, sedangkan konsumsi rumah tangga di suatu daerah hanya sebagai salahsatu gambaran dari kemampuan masyarakat saja. Jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan, maka PDRB lebih penting untuk dipertimbangkan jika suatu wilayah akan menerapkan tarif listrik regional. PDRB mencerminkan kemampuan ekonomi penduduk di suatu wilayah. Semakin tinggi PDRB semakin tinggi pula kemampuan ekonomi penduduk di wilayah tersebut. Berdasarkan teori Trickle Down Effect, kenaikan kapasitas atau kemampuan ekonomi orang orang kaya akan menggulirkan (Trickle Down) peningkatan kesejahteraan pula pada kalangan menengah ke bawah. Akan berbeda halnya jika teori yang dipakai adalah teori kaum sosialis, dimana tingkat kemiskinan menjadi hal utama yang harus dipertimbangkan dalam hal pembangunan di suatu daerah termasuk penerapan tarif listrik regional. Namun dalam pelaksanaannya, kebijakan tarif listrik regional sudah pasti tidak akan diterapkan di wilayah

23 dimana tingkat kemiskinannya masih tinggi ataupun wilayah yang memiliki PDRB yang rendah. Jika dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tingkat kepentingan PDRB menjadi lebih rendah karena PAD lebih mencerminkan kemampuan dari pemerintah daerah itu sendiri. Daerah yang memiliki PAD tinggi dianggap dapat membangun infrastruktur kelistrikan yang lebih memadai meskipun tidak memiliki sumber daya energi yang mencukupi. Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis dipandang narasumber mempunyai tingkat kepentingan yang sama dengan konsumsi rumah tangga. Sektor industri dan bisnis dianggap sektor yang paling memerlukan listrik yang andal dan berkualitas. Penerapan tarif listrik regional dimana listrik dijual pada harga keekonomiannya akan menjamin keandalan dan kualitas listrik yang disalurkan kepada konsumen. Jadi kedua sektor tersebut dianggap paling dapat menerima kebijakan tarif listrik regional selama kualitas dan keandalan listrik tetap terjaga. Sedangkan konsumsi rumah tangga dianggap sama tingkat kepentingannya dengan kontribusi sektor industri dan bisnis karena konsumsi rumah tangga mencerminkan tingkat kebutuhan sektor rumah tangga akan listrik. Daerah yang memiliki tingkat konsumsi rumah tangga yang tinggi menggambarkan bahwa tingkat kebutuhan dan pemakaian energi listrik di daerah tersebut juga tinggi. Kontribusi sektor industri dan bisnis dipandang narasumber sedikit lebih penting jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan merupakan salahsatu kriteria yang merupakan gambaran dari

24 kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk didalamnya kebutuhan akan listrik. Namun angka tingkat kemiskinan seringkali tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya, sehingga kontribusi sektor industri dan bisnis masih sedikit lebih penting untuk dipertimbangkan dengan alasan bahwa angkanya masih lebih reliable, dan kedua sektor tersebut adalah sektor yang memerlukan listrik yang berkualitas dan andal. Sedangkan jika kontribusi sektor industri dan bisnis dibandingkan tingkat kepentingannya dengan PAD, maka kedua subkriteria tersebut adalah sama penting dimana PAD menggambarkan kemampuan pemerintah daerah itu sendiri untuk membangun infrastruktur kelistrikan di daerahnya. Alasan yang sama juga dikemukakan narasumber ketika membandingkan kepentingan antara konsumsi rumah tangga dengan tingkat kemiskinan dan PAD. Tingkat kepentingan konsumsi rumah tangga dari masyarakat di suatu daerah masih lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan serta PAD. Sedangkan tingkat kemiskinan dan PAD dipandang narasumber memiliki tingkat kepentingan yang sama karena sama-sama mencerminkan tingkat kemampuan, yaitu kemampuan masyarakat dan kemampuan pemerintah daerah setempat. Dalam hal perbandingan berpasangan diantara sub kriteria infrastructure electricity gap, narasumber berpendapat bahwa ketersediaan energi primer, density saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu distribusi listrik lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan

25 dengan kualitas dan keandalan listrik. Menurut narasumber, jika suatu wilayah berhasil mengolah energi primer yang dimilikinya menjadi energi listrik dan menyalurkannya dengan baik, maka otomatis akan menjamin kualitas dan keandalan listrik di wilayah tersebut. Daerah dengan ketersediaan energi primer yang melimpah semestinya menanggung tarif listrik yang lebih rendah dari daerah yang jauh dari sumber-sumber energi primer untuk pembangkitan. Namun jika dibandingkan tingkat kepentingannya antara ketersediaan energi primer dengan infrastruktur listrik yang ada, dalam hal ini density saluran distribusi listrik dengan density kapasitas gardu distribusi, maka ketersediaan energi primer dianggap lebih penting. Jika suatu wilayah telah memiliki potensi energi yang mencukupi, maka selanjutnya dapat dibuat saluran distribusi dan gardu untuk penyalurannya. Adapun density saluran distribusi listrik dianggap sama pentingnya dengan density kapasitas gardu distribusi listrik mengingat kedua hal tersebut saling mengiringi satu sama lain dimana pembangunan saluran distribusi listrik akan selalu diikuti oleh pembangunan gardu listrik untuk penyalurannya. Masih menurut narasumber, daerah atau wilayah dengan infrastruktur kelistrikan yang lebih baik sebagai daerah yang didorong menerapkan kebijakan tarif listrik regional. Daerah atau wilayah tersebut adalah daerah atau wilayah yang secara agregat menunjukkan density (kerapatan) infrastruktur distribusi listrik yang tinggi. Adapun daerah atau wilayah dengan infrastruktur kelistrikan yang kurang baik tetap didorong untuk

26 menerapkan kebijakan tarif listrik regional dengan syarat daerah atau wilayah tersebut adalah daerah atau wilayah yang secara agregat menunjukkan density infrastruktur distribusi listrik yang rendah, namun memiliki kemampuan keuangan yang baik. Lebih lanjut menurut narasumber, ada 3 hal utama/pokok yg harus diperhatikan jika suatu wilayah akan menerapkan tarif listrik regional : a. Kesiapan PLN (Infratruktur) : seperti kesiapan jaringan listrik dan pelayanan kepada pelanggan b. Kesiapan sumber daya primer yang dimiliki daerah tersebut c. Kesiapan masyarakat (daya beli, kemampuan dan kemauan masyarakat) Jika 3 hal diatas sudah terpenuhi, maka dpt dikatakan suatu wilayah telah siap untuk menerapakan tarif listrik regional. 2. Narasumber 2 : Syarif Hidayat, Ph.D ( Pakar Kelistrikan Institut Teknologi Bandung) Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 7 Oktober 2011 bertempat di Gedung Kerjasama PLN-ITB, Kampus Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Narasumber mengemukakan pendapatnya mengenai tingkat kepentingan antara kriteria-kriteria yang dibandingkan serta memberikan pendapat dan masukan-masukan terkait penerapan tarif listrik regional. Menurut narasumber, untuk perbandingan berpasangan tingkat pertama yang dilakukan antara kriteria development gap dengan kriteria infrastructure electricity gap maka yang paling penting dipertimbangkan dalam kaitannya

27 dengan rencana penerapan tarif listrik regional di suatu daerah adalah infrastructure electricity gap. Meskipun kedua kriteria tersebut agak sulit untuk dilihat mana yang lebih penting karena saling berkaitan erat satu sama lain, namun narasumber melihat adanya elastisitas antara konsumsi energi listrik dengan PDRB dimana untuk setiap 1% kenaikan energi listrik memerlukan 1,8 kali pertumbuhan listrik. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa infrastructure electricity gap idealnya lebih diperhatikan dalam hal penerapan tarif listrik regional. Pada perbandingan berpasangan tingkat kedua, narasumber berpendapat bahwa dalam kaitannya dengan penerapan tarif listrik regional, PDRB lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan kontribusi sektor industri dan bisnis, konsumsi rumah tangga serta pendapatan asli daerah (PAD). Di dalam PDRB sendiri terdapat komponen kontribusi sektor industri dan bisnis sehingga PDRB lebih dapat mencerminkan kondisi perekonomian di suatu wilayah. Jika dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga, maka PDRB jelas lebih penting karena angka konsumsi rumah tangga di suatu daerah seringkali menyesatkan. Sama halnya jika PDRB dibandingkan tingkat kepentingannya dengan PAD. Angka PAD menurut narasumber sering meragukan atau dengan kata lain sering diakali untuk kepentingan politis. Lebih lanjut narasumber mengemukakan bahwa pemberian subsidi untuk listrik adalah sesuatu yg tidak sehat, tidak menimbulkan iklim dimana orang mau berusaha. Seharusnya jika memang orang mampu membeli, biarkan orang tersebut membelinya. Ironisnya, di negara kita pihak yang disubsidi adalah pihak yang melakukan kegiatan konsumtif (seperti golongan

28 rumah tangga yang menggunakan listrik untuk televisi, AC, mesin cuci, dan lainlain), bukan untuk pihak-pihak yang melakukan kegiatan produktif yang menghidupi dan bermanfaat untuk orang banyak seperti pabrik, industri dan sejenisnya. Oleh karena itu kebijakan makro dari pemerintah sangat diperlukan. Adapun tingkat kemiskinan, lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan PDRB, konsumsi rumah tangga, PAD dan kontribusi sektor industri dan bisnis. Hal ini menurut narasumber karena tingkat kemiskinan mencerminkan pemerataan secara ekonomi. Tingkat kemiskinan juga mencerminkan penyerapan sektor informal yang tidak terhitung. Tingkat kemiskinan rendah akan berakibat pertumbuhan ekonomi yang positif. Kebijakan tarif listrik regional tidak akan diterapkan di daerah yang tingkat kemiskinannya tinggi karena masyarakat di daerah tersebut tidak akan mampu membayar tarif listrik pada tingkat keekonomiannya. Sedangkan kontribusi sektor industri dan bisnis sangat jelas lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional di suatu daerah jika dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga dan PAD, dengan catatan bahwa sektor industri dan bisnis daerah tersebut berkontribusi langsung terhadap PDRB. Dalam hal perbandingan antar sub kriteria yang termasuk ke dalam infrastructure electricity gap, narasumber berpendapat bahwa ketersediaan energi primer adalah kriteria yang harus lebih diutamakan untuk diperhatikan dibandingkan dengan masalah kualitas dan keandalan (reliability). Jika ketersediaan energi sudah mencukupi, maka baru difikirkan bagaimana mengolah sumber energi primer tersebut sehingga dapat menjamin kualitas dan keandalan

29 yang tinggi di daerah tersebut. Jika daerah tersebut tidak mempunyai sumber energi yang memadai namun masyarakat serta pemerintah daerah setempat mampu secara financial, maka daerah tersebut dapat membeli energi dari daerah lain. Sejauh daerah yang bersangkutan mampu untuk membeli energi, maka masalah minimnya ketersediaan energi primer akan terselesaikan. Yang utama adalah memperoleh energi yang andal dan berkualitas. Lebih lanjut narasumber berpendapat bahwa Density Saluran Distribusi Listrik serta Density Kapasitas Gardu Distribusi Listrik lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional di suatu daerah dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik serta ketersediaan energi primer. Pertimbangannya adalah dalam hal pembangunan infrastruktur kelistrikan harus dilihat dulu adanya density saluran distribusi dan density kapasitas gardu, baru kemudian berbicara keandalan. Density saluran distribusi dan density kapasitas gardu adalah enabler bagi keandalan listrik. Adapun jika dibandingkan tingkat kepentingannya antara density saluran distribusi listrik dengan density kapasitas gardu distribusi listrik, maka kedua subkriteria tersebut adalah sama penting karena saling berkaitan erat satu sama lain. Ada gardu listrik, maka harus ada saluran listrik. Begitupun sebaliknya. Narasumber juga memberikan masukan-masukan tambahan terkait rencana pelaksanaan tarif listrik regional di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Barat dan Banten antara lain bahwa yang paling diperlukan adalah adanya kepastian hukum dan ketegasan dari pemerintah sendiri untuk menekan biaya ekonomi lain-

30 lain seperti pungutan liar dan sejenisnya. Baru selanjutnya dipertimbangkan masalah infrastruktur kelistrikannya. Mengenai kesiapan dari wilayah Jawa Barat dan Banten sendiri, narasumber berpendapat bahwa siap atau tidaknya wilayah Jawa Barat dan Banten menerapkan tarif listrik regional sebenarnya tinggal ditawarkan saja dengan beberapa alternatif. Masalah tarif listrik mahal dan murah adalah relatif, yang penting ketersediaan/availibility dari energi yang dimiliki. Dapat dikatakan bahwa sebenarnya jika dilihat dari karakteristik daerah/wilayah maka daerah Jabar dan Banten sudah siap untuk menerapkan tarif listrik regional. Yang paling penting adalah adanya kejelasan serta transparansi dalam proses bisnis yang dijalankan. Selain itu menurut narasumber, pemerintah sendiri masih melakukan kekeliruan dalam mengelola bisnis-bisnis stragtegis yang menyangkut public utility. 3. Narasumber 3 : Dr. Ir. Muhammad Nurdin (Pakar Kelistrikan dan Ekonomi Energi, Institut Teknologi Bandung) Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 3 Oktober 2011 bertempat di Gedung Kerjasama PLN-ITB, Kampus Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Narasumber mengemukakan pendapatnya mengenai tingkat kepentingan antara kriteria-kriteria yang dibandingkan serta memberikan pendapat dan masukan-masukan terkait penerapan tarif listrik regional. Menurut narasumber, untuk perbandingan berpasangan tingkat pertama yang dilakukan antara kriteria development gap dengan kriteria infrastructure electricity gap maka yang paling penting dipertimbangkan dalam kaitannya

31 dengan rencana penerapan tarif listrik regional di suatu daerah adalah infrastructure electricity gap.terlebih untuk daerah di Pulau Jawa dimana berpenduduk lebih padat dibandingkan pulau lain di Indonesia serta kegiatan perekonomian lebih tinggi sehingga pembangunan infrastruktur kelistrikan mutlak dilakukan untuk menjamin listrik yang lebih andal dan berkualitas. Untuk perbandingan berpasangan tingkat kedua dari sub kriteria pembentuk development gap, narasumber berpendapat bahwa dalam kaitannya dengan penerapan tarif listrik regional, PDRB sama pentingnya untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB itu sendiri. Karena kontribusi sektor industri dan bisnis itu sendiri juga akan membentuk PDRB, maka kedua hal tersebut berada dalam tingkat kepentingan yang sama. Adapun PDRB, menurut narasumber, lebih penting untuk dipertimbangkan atau diperhatikan saat akan menerapkan tarif listrik regional di suatu daerah dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga, tingkat kemiskinan, serta Pendapatan Asli Daerah (PAD). PDRB lebih penting dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga karena didalam PDRB sudah termasuk seluruh kegiatan usaha dari penduduk di daerah tersebut seperti dari sektor industri, bisnis, termasuk di dalamnya kegiatan dari sektor rumah tangga. PDRB juga dianggap narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan tingkat kemiskinan dengan alasan jika listrik dianggap sebagai infrastruktur, maka dengan adanya listrik perekonomian akan meningkat sehingga diharapkan tingkat kemiskinan akan berkurang.

32 Adapun PDRB dianggap lebih penting dibandingkan dengan PAD. Menurut narasumber jika PDRB akan dibandingkan dengan PAD maka harus dilihat dulu kebijakan dari subsidi di daerah tersebut. Jika pemerintah daerah memiliki PAD yang tinggi sementara penduduknya masih banyak yang miskin, di Bengkalis misalnya, biasanya pemda setempat bersedia memberikan subsidi serta berinvestasi untuk membangun infrastruktur kelistrikan dalam rangka mendongkrak perekonomian daerahnya. Jika di suatu daerah, listriknya hanya sebagai komoditi, PAD yang tinggi tidak akan terlalu berpengaruh terhadap daerah tersebut. Wilayah Jawa Barat sendiri secara umum ekonomi daerahnya relatif cukup tinggi, sehingga kemungkinan minat pemda untuk pemberian subsidi juga tidak terlalu besar. Jadi dalam hal ini PDRB lebih penting untuk diperhatikan. Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis dinilai narasumber sedikit lebih penting dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga dan tingkat kemiskinan. Khususnya di wilayah Jabar dan Banten, energi listrik yang terjual kepada pelanggan industri dan bisnis lebih besar dari sektor rumah tangga, meskipun dari segi jumlah pelanggan rumah tangga lebih besar dari pelanggan industri dari bisnis. Sektor rumah tangga lebih banyak digunakan untuk keperluan konsumtif daripada untuk kegiatan produktif. Jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan, kontribusi sektor industri dan bisnis dinilai narasumber sedikit lebih penting dengan catatan sektor industri dan bisnis harus ikut memikul baban rumah tangga yang masih miskin. Karena masyarakat miskin masih mengikuti tarif dasar listrik yang ditetapkan pemerintah pusat (masih diberikan subsidi).

33 Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis dinilai oleh narasumber sangat jelas lebih penting untuk diperhatikan jika dibandingkan dengan pendapatan asli daerah (PAD), dengan catatan bahwa kebijakan tarif listrik regional yang akan diterapkan di suatu daerah adalah tidak untuk semua golongan tarif, misalnya hanya untuk golongan industri, bisnis dan rumah tangga kaya (penduduk yang mempunyai kemampuan financial tinggi) sehingga PAD, yang mencerminkan kemampuan pemerintah daerah, tidak terlalu penting untuk dipertimbangkan karena pemda tidak perlu memberikan subsidi. Untuk perbandingan tingkat kepentingan antara konsumsi rumah tangga dengan tingkat kemiskinan, narasumber berpendapat bahwa konsumsi rumah tangga jelas lebih penting dari tingkat kemiskinan karena konsumsi rumah tangga lebih menggambarkan kebutuhan listrik dari pelanggan di suatu daerah. Demikian pula jika konsumsi rumah tangga dibandingkan dengan PAD. Konsumsi rumah tangga dinilai lebih penting karena menurut narasumber, PAD tergantung kepada sejauh mana pemda setempat mau membangun infrastruktur dan mau menanggung subsidi. Meskipun PAD di suatu wilayah tinggi namun tidak ada keinginan dari pemda untuk melakukan pembangunan infrastruktur kelistrikan atau menanggung subsidi bagi penduduk miskin, maka tarif listrik regional akan sulit untuk diterapkan. Namun jika PAD dibandingkan tingkat kepentingannya dengan tingkat kemiskinan, maka PAD dinilai lebih penting untuk dipertimbangkan dalam penerapan tarif listrik regional dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Hal ini dikarenakan PAD terkait kepada sejauh mana pemda setempat mau membangun infrastruktur dan mau menanggung subsidi.

34 Untuk kualitas dan keandalan listrik, menurut narasumber, sangat jelas lebih penting jika dibandingkan dengan ketersediaan energi primer. Khususnya di wilayah Jawa Barat dan Banten yang memiliki energi primer terbatas, maka kualitas dan keandalan listrik menjadi lebih penting. Adapun jika kualitas dan keandalan listrik dibandingkan dengan density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu listrik, maka kedua hal tersebut tidak bisa dibandingkan tingkat kepentingannya mengingat saling terkait satu sama lain. Jika suatu daerah memiliki density saluran distribusi listrik yang tinggi, maka listrik yang dihasilkan pun akan andal dan berkualitas. Begitupun jika kapasitas gardu listrik yang ada cukup besar, maka listrik yang andal dan berkualitas akan dapat tersalurkan dengan baik kepada seluruh pelanggan listrik. Density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu listrik dalam kaitannya dengan penerapan tarif listrik regional menurut narasumber lebih penting dari ketersediaan energi primer karena baik Density saluran distribusi listrik maupun density kapasitas gardu listrik keduanya akan menjamin keandalan dan kualitas listrik yang disalurkan kepada pelanggan. Adapun jika density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu listrik dibandingkan satu sama lain, maka kedudukannya adalah sama penting karena jika density saluran distribusinya banyak namun kapasitas gardunya kecil maka jaringan listrik tidak leluasa untuk bermanuver, yang akan berakibat turunnya keandalan dan kualitas listrik yang disalurkan. Di akhir wawancara, narasumber memberikan penilaian mengenai rencana penerapan tarif listrik regional di wilayah Jawa Barat dan Banten. Menurut

35 narasumber, wilayah Jawa Barat dan Banten secara umum belum terlalu siap untuk menerapkan tarif listrik regional karena belum siapnya PLN setempat, kemampuan pemerintah daerah serta kemampuan penduduknya. Yang sudah siap mungkin beberapa kawasan industri yang terletak di wilayah seperti di Tangerang dan Bekasi. Untuk wilayah lainnya harus dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mempertimbangkan karakteristik wilayahnya. 4. Narasumber 4 : Dr. Ing. Ir. Yusra Sabri (Pakar Kelistrikan dan Ekonomi Energi, Institut Teknologi Bandung) Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 8 Maret 2012 bertempat di Gedung Kerjasama PLN-ITB, Kampus Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Narasumber mengemukakan beberapa pemikirannya mengenai analisis kesenjangan antar wilayah terkait penerapan tarif listrik regional dengan membandingkan tingkat kepentingan dari pasangan kriteria dan sub-sub kriteria setiap wilayah. Menurut narasumber, kesenjangan pembangunan atau development gap, masih lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan infrastructure electricity gap dengan pertimbangan bahwa development gap berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat sedangkan infrastructure electricity gap berkaitan dengan masalah teknis (fasilitas). Development gap terkait dengan kemampuan pemerintah daerah setempat dan masyarakatnya (kemampuan dan kemauan bayar), kondisi budaya serta kondusifitas sosial. Jika keempat hal tersebut terpenuhi dengan baik, maka di wilayah tersebut dapat dikatakan telah siap memberlakukan tarif dengan harga wajar/keekonomian. Jika suatu daerah telah dinilai mampu dari segi pemerintah

36 setempat dan masyarakatnya, maka daerah tersebut dapat dengan leluasa membangun infrastruktur kelistrikan yang lebih handal. Biaya infrastruktur kelistrikan merupakan fungsi dari investasi dan operasi dari listrik itu sendiri. Perbandingan antar sub kriteria dari Development Gap yang pertama, yaitu membandingkan tingkat kepentingan antara PDRB dengan kontribusi sektor industri dan komersial/bisnis. Menurut narasumber, PDRB lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan kontribusi sektor industri dan komersial karena PDRB lebih menggambarkan keseluruhan pendapatan di suatu daerah. Pendapatan berarti menggambarkan kemampuan. Meskipun misalnya di suatu daerah kontribusi industri dan komersialnya tinggi, namun perlu dilihat apakah industri di daerah tersebut mempunyai relevansi dengan kegiatan masyarakat setempat (biasanya industri konvensional). Daerah yg mempunyai banyak industri belum tentu industri tersebut bermanfaat bagi masyarakat setempat. Adapun PDRB dipandang sama pentingnya untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga namun sedikit lebih penting jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. PDRB merupakan representasi dari income bruto, yang berarti kemampuan anggaran yang dapat dibelanjakan. Dengan asumsi rasio tabungan terhadap PDRB tetap/tidak berubah maka dapat diartikan pula bahwa PDRB sebagai jumlah konsumsi rumah tangga. PDRB dipandang sedikit lebih penting jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan dengan anggapan bahwa terkadang angka tingkat kemiskinan di suatu daerah tidak terlalu akurat, sedangkan angka PDRB lebih reliabel. Namun sebenarnya

37 kedua hal tersebut berkaitan erat satu sama lain. Jika tingkat kemiskinan tinggi, maka otomatis PDRB akan rendah. Begitu pula sebaliknya. Jika dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), PDRB dianggap lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional. PDRB berkaitan erat dengan kemampuan masyarakat sedangkan PAD belum tentu menggambarkan kemampuan real dari suatu daerah. Daerah yang PAD-nya tinggi belum tentu PDRB-nya juga tinggi. Contohnya adalah di daerah Kalimantan Timur. Untuk kontribusi sektor industri dan komersial/bisnis dianggap sama penting jika dibandingkan tingkat kepentingannya dengan konsumsi rumah tangga dan tingkat kemiskinan. Sektor industri dan bisnis berkontribusi besar terhadap PDRB, sedangkan PDRB merupakan representasi dari pendapatan bruto, dimana didalamnya terdapat kemampuan anggaran yang dibelanjakan. Kemampuan anggaran yang dibelanjakan dapat dianggap sebagai konsumsi rumah tangga. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat kemiskinan, dimana jika PDRB tinggi maka tingkat kemiskinan rendah dan berlaku sebaliknya. Adapun jika dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka kontribusi sektor industri dan bisnis dianggap lebih penting dalam kaitannya dengan rencana penerapan tarif listrik regional. Menurut narasumber, hampir sama dengan alasan yang dikemukakan pada uraian sebelumnya, sektor industri dan bisnis berkontribusi besar terhadap PDRB. Namun daerah yang PDRB-nya tinggi belum tentu mempunyai PAD yang tinggi atau dengan kata lain meskipun PAD sering dianggap sebagai salahsatu indikator dari kemampuan pemerintah

38 daerah setempat, namun tidak terlalu menggambarkan kemampuan dari masyarakat suatu daerah. Selanjutnya narasumber berpendapat bahwa konsumsi rumah tangga sama pentingnya dengan tingkat kemiskinan. Makin kecil konsumsi rumah tangga, semakin tinggi tingkat kemiskinan. Begitupun jika konsumsi rumah tangga dibandingkan dengan PAD. Keduanya dianggap sama penting untuk diperhatikan dalam hal penerapan tarif listrik regional karena PAD menggambarkan kemampuan pemerintah daerah setempat. Jika PAD besar, maka dapat membangun berbagai infrastruktur kelistrikan yg dibutuhkan untuk masyarakat. Sedangkan konsumsi rumah tangga menggambarkan kemampuan dari masyarakat di daerah tersebut, yang menggambarkan pula konsumsi listrik dari masyarakat tersebut. Jadi dalam hal penerapan tarif listrik regional kemampuan pemerintah dan masyarakat daerah merupakan dua hal yang sama-sama penting untuk dipertimbangkan. Lebih lanjut narasumber berpendapat bahwa tingkat kemiskinan lebih penting jika dibandingkan dengan PAD. Dalam penerapan tarif listrik regional, kemampuan bayar dari masyarakat merupakan hal yang utama, sedangkan PAD menurut narasumber hanya menggambarkan kemampuan pemerintah saja dimana didalamnya terdapat komponen pendapatan daerah dari hasil pajak, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan. Daerah yang mempunyai PAD tinggi tidak otomatis mempunyai tingkat kemiskinan rendah. Sedangkan dlm penerapan tarif listrik

39 regional, kemampuan masyarakat (ability to pay) merupakan hal yg utama untuk dipertimbangkan. Masuk kepada pembahasan mengenai kesenjangan infrakstruktur kelistrikan di setiap daerah, narasumber berpendapat bahwa ketersediaan energi primer sedikit lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik di suatu daerah. Keandalan dan kualitas listrik adalah hasil dari tersedianya sumber energi yang mencukupi untuk melistriki suatu daerah. Adapun density saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu listrik dianggap narasumber sangat jelas lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik. Yang paling utama dilihat di suatu daerah dalam hal infrastruktur kelistrikan adalah ada tidaknya gardu penyalur dan saluran distribusi listriknya. Jika density (kerapatan) saluran distribusi listrik serta kapasitas gardu listriknya tinggi, maka listrik yang dihasilkan pun akan berkulitas dan andal. Kualitas dan keandalan listrik berkaitan dengan kualitas pelayanan. Jika density saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu listrik dibandingkan tingkat kepentingannya dengan ketersediaan energi primer, maka menurut narasumber yang lebih penting untuk dipertimbangkan adalah density saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu listrik. Untuk daerah daerah yang dianggap mampu secara finansial baik itu pemerintah daerah maupun masyarakatnya, walaupun daerah tersebut tidak mempunyai sumber energi primer yang memadai, maka akan mampu membangun saluran distribusi serta gardu

40 listrik sendiri. Listriknya dapat membeli dari daerah lain. Adapun jika density saluran distribusi listrik dibandingkan tingkat kepentingannya dengan density kapasitas gardu listrik maka kedua hal tersebut adalah sama penting karena mutlak ada jika akan membangun jaringan listrik di suatu daerah. Di akhir wawancara narasumber menyampaikan pandangan-pandangannya mengenai rencana penerapan tarif listrik regional di wilayah Jawa Barat dan Banten. Menurut narasumber, meskipun secara umum wilayah Jabar dan Banten dipandang telah mampu menerapkan tarif listrik regional, namun jika dilihat secara perkota/kabupaten masih sulit karena di Jabar dan Banten sendiri masih banyak daerah pelosok yang belum terlistriki. Yang perlu diperhatikan lagi dalam penerapan tarif listrik regional adalah kemampuan (ability to pay) serta kemauan (willingness to pay) bayar listrik dari masyakarat sendiri yang harus terus dimotivasi oleh PLN serta pemerintah daerah setempat. 5. Dr. Ir. Agus Purwadi (Pakar Kelistrikan dan Ekonomi Energi, Institut Teknologi Bandung) Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 19 Maret 2012 bertempat di Laboratorium Konversi, Kampus Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Narasumber mengemukakan beberapa pemikirannya mengenai analisis kesenjangan antar wilayah terkait penerapan tarif listrik regional dengan membandingkan tingkat kepentingan dari pasangan kriteria dan sub-sub kriteria setiap wilayah. Menurut narasumber, kondisi infrasctructure electricity gap di suatu daerah lebih penting untuk diperhatikan dibandingkan dengan development gap. Sebelum menerapkan kebijakan tarif listrik regional,

41 perlu dilihat terlebih dahulu kesiapan dari infrastruktur kelistrikan di daerah tersebut. Salahsatu pertimbangan mengapa tarif listrik regional sudah diterapkan terlebih dahulu di daerah Batam dan Tarakan, dan segera menyusul di daerah Bali, adalah telah siapnya infrastruktur kelistrikan di ketiga daerah tersebut. Jika infrastruktur kelistrikannya telah cukup/memadai, maka kualitas dan keandalan listrik yang disalurkan kepada pelanggan juga akan baik. Sebaiknya sebelum menerapkan tarif listrik regional suatu daerah, infrastruktur kelistrikan yang ada telah memenuhi standar yang ditentukan. Seperti di daerah Jawa dan Bali misalnya. Inftrastruktur kelistrikan di daerah ini dianggap standarnya telah sama. Baru kemudian setelah itu dianalisis development gap nya. Kira-kira masih mampu atau tidak. Jadi dalam penerapan tarif listrik regional, dilihat dulu secara makro infrastructure electricity gap-nya, baru kemudian dianalisis secara mikro masalah-masalah terkait development gap-nya. Masalah utama kelistrikan saat ini adalah masalah subsidi serta rasa keadilan masyarakat akan listrik. Tarif dasar listrik yang berlaku sekarang adalah sama di setiap wilayah, baik itu kota besar maupun daerah, padahal keandalan listrik yang diterima, daya beli, dan requirement pelanggan terhadap listrik di kedua daerah tersebut berbeda. Dengan penerapan tarif listrik regional diharapkan masalah-masalah tersebut dapat teratasi. Selanjutnya narasumber berpendapat bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan PDRB karena konsumen sektor industri dan bisnis merupakan konsumen dengan konsumsi listrik paling besar mskipun secara kuantitas jumlah konsumen ini lebih sedikit

42 dari konsumen rumah tangga. Dalam hal penerapan tarif listrik regional harus diperhatikan terlebih dahulu golongan tarif yang menggunakan listrik paling besar dengan revenue yg besar pula. Konsumsi rumah tangga dianggap narasumber lebih penting untuk diperhatikan dalam penerapan tarif listrik regional dibandingkan dengan PDRB karena menurut narasumber angka yang muncul dalam data PDRB itu rata-rata, terlalu makro/generik. Angka PDRB akan akurat jika distribusi jumlah barang dan jasa yg dihasilkan di suatu daerah itu merata, tidak ada kesenjangan. Sedangkan konsumsi rumah tangga menggambarkan konsumsi/pemakaian listrik dari pelanggan, dimana konsumsi rumah tangga setiap daerah berbeda-beda. Adapun jika PDRB dibandingkan tingkat kepentingannya dengan tingkat kemiskinan, maka narasumber berpendapat bahwa tingkat kemiskinan lebih penting untuk diperhatikan dibandingkan dengan PDRB karena angka PDRB terlalu makro. Untuk melihat kemampuan bayar dari masyarakat setempat salah satunya adalah dengan melihat tingkat kemiskinan. Namun jika PDRB dibandingkan dengan PAD, maka PDRB dianggap lebih penting karena angka PAD menurut narasumber lebih makro dibandingkan dengan angka PDRB. Kontribusi sektor industri dan bisnis dipandang narasumber lebih penting jika dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga, tingkat kemiskinan dan PAD. Seperti telah diuraikan di atas bahwa dalam kaitannya dengan pelaksanaan tarif listrik regional dimana tarif listrik mencapai keekonomiannya, maka sektor industri dan bisnis/komersial merupakan sektor yang harus lebih diperhatikan mengingat kedua sektor ini meskipun dari segi jumlah pelanggan lebih sedikit jika

43 dibandingkan namun dari segi konsumsi listrik jauh lebih banyak dibandingkan dengan sektor rumah tangga. Kedua sektor ini juga dipandang lebih mau membayar tarif listrik dengan harga lebih tinggi selama listrik yang mereka terima andal dan berkualitas. Adapun konsumsi rumah tangga tetap dipandang narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan dan PAD dikarenakan angka tingkat kemiskinan dan PAD masih sangat makro. Tingkat kemiskinan tidak dapat menggambarkan secara real kemampuan masyarakat begitupun angka PAD tidak dapat secara real menggambarkan kemampuan pemerintah daerah. Namun demikian tingkat kemiskinan lebih dianggap penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan PAD karena angka PAD lebih makro jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Selanjutnya, untuk menilai tingkat kepentingan dari subkriteria-subkriteria dalam infrastructure electricity gap, narasumber berpendapat bahwa ketersediaan energi primer adalah sesuatu yang lebih penting dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik. Energi primernya dulu yang harus ada, baru kemudian setelah itu berbicara tentang kualitas dan keandalan listrik. Suatu daerah yang mempunyai ketersediaan energi primer yang mencukupi, ditunjang oleh kemampuan dan keinginan pemerintah daerah setempat untuk membangun infrastruktur kelistrikan yang memadai serta kemampuan dan kemauan masyarakat untuk membeli listrik dengan harga keekonomiaanya, maka akan dihasilkan listrik yang andal dan berkualitas.

44 Adapun density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu listrik dipandang narasumber lebih penting untuk diperhatikan terlebih dahulu dalam penerapan tarif listrik regional dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik di suatu daerah. Hampir sama dengan alasan yang dikemukakan untuk perbandingan antara subkriteria ketersediaan energi primer dengan kualitas dan keandalan listrik di atas, bahwa dalam penerapan tarif listrik regional yang harus lebih dulu diperhatikan adalah density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu listriknya, baru kemudian berbicara kualitas dan keandalan listrik yang akan dihasilkan. Untuk ketersediaan energi primer, menurut narasumber, tingkat kepentingannya sama untuk dipertimbangkan dalam penerapan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu listrik. Jika di suatu daerah energi primernya cukup tersedia, namun density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu listriknya tidak menunjang maka tidak akan terwujud keandalan listrik sehingga akan sulit pula menerapkan tarif listrik regional. Namun jika density kapasitas saluran distribusi listrik dibandingkan kepentingannya dengan density kapasitas gardu distribusi, maka density kapasitas gardu distribusi dipandang narasumber lebih penting karena sebelum membangun saluran distribusi listrik harus dilihat dulu sumber energi yang akan disalurkannya, dalam hal ini harus dibangun terlebih dahulu gardu listriknya. Lebih lanjut narasumber memberikan pandangan-pandangan dan masukan-masukannya mengenai penerapan tarif listrik regional. Menurut

45 narasumber, daerah yang sudah seharusnya menerapkan tarif listrik regional adalah daerah DKI Jaya & Tangerang, karena requirement-nya berbeda dengan daerah lain. Di daerah tersebut sebagian besar penduduknya telah membutuhkan listrik yang tidak saja tersedia, namun juga andal dan berkualitas. Andal berarti tidak bray pet (sering mati), dan berkualitas artinya tidak sering redup. Tarif listrik regional dapat diterapkan pada wilayah yang sudah tidak memerlukan banyak subsidi atau dengan kata lain wilayah yang sudah mampu baik pemerintah daerahnya maupun masyarakatnya. Untuk wilayah Jawa Barat dan Banten sendiri, daerah yang dianggap narasumber sudah siap menerapkan tarif listrik regional adalah kawasan industri seperti cilegon dan bekasi. Daerah ini dapat dipastikan telah siap menerapkan tarif listrik regional mengingat saat ini pun sudah diberlakukan tarif listrik premium. Mereka yang membayar dengan tarif listrik premium membayar listrik lebih tinggi namun memperoleh service level dari PLN yang berbeda dengan pelanggan biasa. Biasanya pelanggan yang membayar tarif listrik premium adalah pelanggan besar seperti industri perakitan otomotif, industri tekstil skala besar, dan industri besar lainnya dimana jika mati listrik beberapa detik saja akan berdampak kerugian yang sangat besar bagi industri yang bersangkutan. Dalam penerapan tarif listrik regional harus dibandingkan antara kemampuan bayar dari pelanggan listrik dengan performance dari PLN itu sendiri. Narasumber berpendapat, sebelum memutuskan untuk menerapkan tarif listrik regional, harus terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap revenue dan komposisi pelanggan PLN tiap wilayah (dari data PLN), sales-nya berapa, profil beban untuk setiap daerahnya bagaimana. Nanti dapat dibandingkan mana

46 wilayah yang kebutuhan listriknya lebih tinggi dan membutuhkan keandalan serta kualitas listrik lebih tinggi, sehingga dipandang lebih siap dalam menerapkan tarif listrik regional dan mana wilayah yang masih belum siap. Menurut narasumber, wilayah dengan komposisi pelanggan industri, komersial/bisnis, serta rumah tangga yang termasuk pelanggan golongan besar, adalah daerah yang paling siap untuk menerapkan kebijakan tarif listrik regional. Jadi harus dilihat dulu kondisi di wilayahnya terlebih dahulu, baik itu sistem kelistrikan dan kemampuan daerahnya, baru kemudian regulasi untuk tarif listrik regionalnya dibuat. Untuk PLN sendiri, jika wilayah dibawah wewenang operasionalnya akan menerapkan tarif listrik regional, harus mampu menyediakan service level quality yang memang sesuai dengan kebutuhan regional yang dilayani. Di Batam dan Tarakan, tarif listrik regional dapat diterapkan karena sistemnya isolated (tersendiri). Adapun kendala dalam penerapan tarif listrik regional menurut narasumber adalah harus adanya keputusan DPRD serta kemauan dari masyarakat setempat. Selain itu harus ada pula sosialisasi yang baik kepada masyarakat sehingga masyarakat mengerti betul apa itu tarif listrik regional, mengapa diberlakukan tarif listrik regional serta dan bagaimana penerapanya. Tarif listrik regional dapat diterapkan untuk wilayah dimana pelanggannya tidak hanya membutuhkan listrik dengan sekedar menyala, namun memerlukan kualitas dan keandalan dari listrik tersebut.

47 6. Narasumber 6 : Sudarmono Sasmono, ST., MT. (Pakar Kelistrikan dan Ekonomi Energi, Institut Teknologi Bandung) Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 14 Maret 2012 bertempat di Ruang Residensi Gedung Kerjasama PLN-ITB, Kampus Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Adapun wawancara melalui telepon dilakukan penulis pada tanggal 25 Maret Narasumber mengemukakan beberapa pemikirannya mengenai analisis kesenjangan antar wilayah terkait penerapan tarif listrik regional dengan membandingkan tingkat kepentingan dari pasangan kriteria dan sub-sub kriteria setiap wilayah serta masukan-masukan serta pandangan-pandangannya mengenai penerapan kebijakan tarif listrik regional. Menurut narasumber, kesenjangan pembangunan atau development gap, lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan kesenjangan dalam pembangunan infrastruktur kelistrikan atau infrastructure electricity gap. Narasumber menjelaskan bahwa sesuai dengan teori ekonomi kelistrikan bahwa ada hubungan elastisitas antara pertumbuhan ekonomi dengan kebutuhan energi. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi di suatu daerah, maka semakin tinggi pula permintaan kebutuhan (demand) akan listrik yang harus dipasok ke daerah tersebut. Oleh karena itu daerah-daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi (daerah makmur), mempunyai kebutuhan (demand) akan listrik yang juga tinggi. Agar pasokan listrik yang disalurkan andal dan berkualitas, maka harus ada pembangunan infrastruktur kelistrikan yang massive dan terus menerus. Hal ini otomatis akan membutuhkan biaya yang juga tinggi yang akan diperoleh dari

48 tarif listrik yang diterapkan pada harga keekonomiannya (tarif listrik regional). Jadi dalam hal penerapan tarif listrik regional dilihat dulu faktor pembangunan di daerah tersebut atau dalam hal ini pertumbuhan ekonominya baru kemudian infrastruktur kelistrikannya. Selanjutnya narasumber berpendapat bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan PDRB karena dalam kaitannya dengan penerapan tarif listrik regional, tujuan utamanya adalah untuk memperoleh listrik yang andal dan berkualitas, dan sektor industri dan bisnis/komersial adalah sektor beban yang paling membutuhkannya. PDRB menunjukkan besaran makro kesejahteraan dari suatu daerah. Jika dibandingkan tingkat kepentingannya dengan konsumsi rumah tangga maka kedua hal tersebut sama pentingnya untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional karena konsumsi rumah tangga juga menunjukkan besaran makro kesejahteraan daerah. Namun jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan maka PDRB lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional. PDRB tidak selalu berbanding terbalik dengan tingkat kemiskinan, atau dengan kata lain suatu daerah yang mempunyai PDRB tinggi belum tentu mempunyai mempunyai tingkat kemiskinan yang rendah, begitupun sebaliknya. PDRB di suatu daerah akan berbanding terbalik dengan tingkat kemiskinan jika distribusi pembangunan di daerah tersebut merata. Sering terjadi dimana suatu daerah yang PDRB-nya tinggi adalah hanya merupakan sumbangsih dari sebagian kecil kelompok masyarakatnya saja, misalnya saja seperti di Kabupaten Mimika. Di kabupaten ini terdapat kecamatan Tembagapura dimana tambang

49 emas milik PT. Freeport berada. Kabupaten Mimika adalah kabupaten dengan PDRB tinggi, namun memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi pula. Ini berarti, pembangunan di daerah tersebut belum merata dan angka PDRB yang diperoleh hanya mewakili sebagian kecil masyarakatnya saja. Di daerah dengan karakter seperti ini, tarif listrik regional dapat diterapkan untuk kelompok masyarakat yang telah mampu saja, sedangkan sebagian besar masyarakat lainnya yang masih dianggap belum mampu mengikuti tarif dasar listrik yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Lebih lanjut narasumber berpendapat bahwa jika dibandingkan dengan PAD, maka PDRB jelas lebih penting untuk diperhatikan dalam penerapan tarif listrik regional karena angka PDRB dianggap lebih dapat mencerminkan kemampuan dari masyarakat daerah tertentu. Untuk kontribusi sektor industri dan bisnis, menurut narasumber sama pentingnya untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga. Berbicara tentang tarif listrik regional berarti berbicara tentang tersedianya listrik yang andal dan berkualitas baik untuk sektor industri dan bisnis maupun untuk sektor rumah tangga. Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis, menurut narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional di suatu daerah jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan dan PAD. Karena penerapan tarif listrik regional adalah tarif listrik pada harga keekonomian, maka sektor industri dan bisnis yang dianggap lebih mampu dan membutuhkan listrik yang andal dan berkualitas yang harus lebih diperhatikan.

50 Sedangkan konsumsi rumah tangga dipandang narasumber sama pentingnya untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Daerah yang memiliki konsumsi rumah tangga tinggi dan tingkat kemiskinan rendah, maka daerah tersebut semakin sejahtera. Daerah yang sejahtera merupakan daerah yang berpeluang besar untuk menerapkan kebijakan tarif listrik regional. Sedangkan jika dibandingkan dengan PAD maka konsumsi rumah tangga lebih penting untuk dipertimbangkan. PAD dipandang narasumber hanya mencerminkan kemampuan keuangan pemerintah daerah, sedangkan tarif listrik regional ditetapkan untuk masyarakat. Sedangkan tingkat kemiskinan jika dibandingkan tingkat kepentingannya dengan PAD, maka PAD dianggap lebih penting oleh penulis dengan alasan yang sama bahwa tingkat kemiskinan hanya merupakan angka demografi, sedangkan PAD mencerminkan kemampuan keuangan pemerintah daerah. Masuk kepada pembahasan mengenai infrastructure electricity gap, narasumber berpendapat bahwa kualitas dan keandalan listrik adalah lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan ketersediaan energi primer. Dalam hal penerapan tarif listrik regional yang paling penting adalah tersedianya listrik yang andal dan berkualitas. Kalaupun suatu daerah tidak memiliki cukup energi primer, namun masyarakat dan pemerintah daerahnya dianggap mampu dan mau bayar tarif listrik dengan harga lebih tinggi namun berkualitas dan andal, maka daerah tersebut dianggap sudah dapat menerapkan tarif listrik regional.

51 Lebih lanjut narasumber berpendapat bahwa dalam penerapan tarif listrik regional, density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik. Kualitas dan keandalan listrik adalah hasil dari density saluran distribusi dan kapasitas gardu yang memadai. Infrastruktur kelistrikannya harus terlebih dahulu diperhatikan, baru berbicara keandalan. Density saluran distribusi adalah panjang saluran distribusi listrik dibagi dengan luas area/ landuse yang didapatkan dari proses pengurangan luas areal kota/kabupaten dengan luas areal hutan dan luas areal sawah. Adapun density kapasitas gardu distribusi adalah jumlah kapasitas gardu distribusi dibagi dengan luas areal landuse. Jika panjang saluran distribusinya lebih besar dari landuse, maka memungkinkan untuk dibuat jaringan secara loop atau spindle (memutar). Jaringan seperti ini akan memudahkan untuk bermanuver jika terjadi mati listrik di satu wilayah, atau dengan kata lain keandalan listriknya lebih baik. SAIDI dan SAIFI-nya pun akan sangat rendah. Jika panjang salurannya lebih kecil atau sama dengan landuse-nya, maka jaringan listrik akan dibuat radial (lurus), yang tidak memungkinkan adanya manuver jika terjadi mati listrik di suatu wilayah. Dapat dikatakan bahwa listrik menjadi tidak andal dan berkualitas. SAIDI dan SAIFInya pun akan cenderung tinggi. Adapun jika di suatu daerah density kapasitas gardu distribusinya besar, maka dapat diartikan bahwa gardu tersebut mampu untuk melayani area yang lebih luas, dibandingkan dengan daerah yang density kapasitas gardu distribusinya lebih kecil.

52 Jika dibandingkan dengan ketersediaan energi primer, maka density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu dipandang narasumber lebih penting karena ada daerah-daerah yang tidak memiliki cukup energi primer namun mampu membangun infrastruktur kelistrikan yang memadai ditunjang pula oleh kemampuan masyarakatnya yang tinggi. Daerah seperti ini merupakan daerah yang dipandang telah siap menerapkan tarif listrik regional. Adapun jika density saluran distribusi listrik dibandingkan tingkat kepentingannya dengan density kapasitas gardu maka akan sama penting karena kedua sub kriteria tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Saluran distribusi dibangun untuk menyalurkan listrik dari gardu. Di akhir wawancara narasumber menyampaikan beberapa pemikiran dan pandangannya mengenai penerapan tarif listrik regional khususnya di daerah Jawa Barat dan Banten. Menurut narasumber, masih sulit untuk menerapkan tarif listrik regional di daerah Jawa Barat dan Banten karena masih belum meratanya karakteristik pelanggan listrik di setiap daerah. Misalnya di tingkat Unit Pelayanan Jaringan (UPJ) dibawah Area Pelayanan Jaringan (APJ) Bandung. UPJ Cipaganti yang notabene berpenduduk kalangan menengah ke atas pastinya mampu untuk membayar listrik lebih. Namun di UPJ Cimahi sulit menerapkan tarif listrik regional karena di daerah-daerah menengah ke atas tersebut juga tercakup penduduk menengah ke bawah. Itulah sebabnya analisis development gap itu penting karena bisa menutupi kekurangan itu. Namun secara umum, narasumber melihat ada beberapa daerah yang siap untuk menerapkan tarif listrik regional, yaitu daerah-daerah dengan karakteristik

53 perkotaan, seperti Bandung, Cimahi, Kota Bogor, Kota Depok, Dan Bekasi. Sedangkan Tasikmalaya, Ciamis, Sukabumi, Banjar, dan Kuningan belum siap menerapkan tarif listrik regional karena bukan merupakan pusat pertumbuhan ekonomi. Di Jawa Barat sendiri ada 6 (enam) daerah pertumbuhan, yaitu : 1. Cekungan Bandung : Kota Bandung 2. Kota Bogor, Depok, Bekasi, Puncak Cianjur 3. Purwakarta, Subang, Karawang 4. Priangan Timur Dan Pangandaran : Daerah Paling Miskin Di Jabar 5. Sukabumi 6. Cianjur, Indramayu, Majalengka, Kuningan : Di daerah Banten, daerah yg mungkin dapat menerapkan tarif listrik regional adalah kota Tangerang. Selain kesiapan dari daerahnya, penerapan tarif listrik regional juga memerlukan kesiapan dari PLN dimana ada ukuran-ukuran pelayanan yang harus dipenuhi oleh PLN jika wilayah di bawahnya menerapkan tarif listrik regional. PLN dituntut untuk konsisten memberikan pelayanan terbaiknya demi memenuhi kebutuhan pelanggan akan listrik yang andal dan berkualitas. 7. Narasumber 7 : Fitriana, ST., MT. (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 5 Maret 2012 bertempat di Gedung 10 Kantor LIPI, Sangkuriang/Cisitu No. 21/154D Bandung. Narasumber mengemukakan pendapatnya mengenai tingkat kepentingan antara kriteria-kriteria yang dibandingkan serta memberikan pendapat dan masukan-masukan terkait penerapan tarif listrik regional. Menurut

54 narasumber, untuk perbandingan berpasangan tingkat pertama yang dilakukan antara kriteria development gap dengan kriteria infrastructure electricity gap maka yang paling penting untuk dipertimbangkan dalam kaitannya dengan rencana penerapan tarif listrik regional di suatu daerah adalah development gap. Alasan yang dikemukakan oleh narasumber adalah karena development gap lebih mencerminkan perkembangan real dari masyarakat. Kalaupun infrastruktur kelistrikan di suatu daerah sudah tersedia, namun kebutuhan dan kemampuan masyarakatnya masih rendah, maka infrastruktur yang dibangun akan sia-sia. Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis dipandang narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan PDRB karena sektor industri dan bisnis/komersial sebagai pengguna paling besar dari energi listrik. Jadi harus dilihat kontribusi industri dan bisnis/komersialnya terlebih dahulu baru kemudian PDRB-nya. Namun jika PDRB dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga maka PDRB lebih penting untuk dipertimbangkan karena PDRB mencerminkan kondisi ekonomi makro dalam arti aktivitas ekonomi yang lebih luas. Sedangkan konsumsi rumah tangga hanya mencerminkan sebagian kecil dari kapasitas total pemakaian listrik dari suatu pembangkit atau dapat dikatakan bahwa konsumsi rumah tangga itu adalah beban dasar. Dalam penerapan tarif listrik regional harus dilihat dulu kekuatan ekonomi makronya dalam hal ini adalah PDRB. Namun jika PDRB dibandingkan tingkat kepentingannya dengan tingkat kemiskinan, maka tingkat kemiskinan dipandang narasumber lebih penting karena dalam hal penerapan tarif listrik regional yang harus dipertimbangkan terlebih

55 dahulu adalah kemampuan masyarakatnya, dalam hal ini tingkat kemiskinan mencerminkan kekuatan ekonomi mikro. Tingkat kemiskinan mencerminkan kemampuan bayar dari masyarakat itu sendiri dan dilihat sebagai kemampuan terendah dari masyarakat akan tarif listrik. Lebih lanjut narasumber berpendapat bahwa PDRB lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan PAD karena PAD hanya mencerminkan kemampuan pemerintah saja dalam hal ini pajak dan retribusi, sedangkan PDRB lebih menggambarkan kekuatan ekonomi secara makro. Dalam hal penerapan tarif listrik regional dimana yang berlaku adalah tarif keekonomian, maka yang utama diperhatikan adalah kemampuan ekonomi dari masyarakatnya. Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis/komersial terhadap PDRB dipandang narasumber sama pentingnya untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Dalam arti, sektor industri dan bisnis penting diperhatikan untuk penentuan batas tarif listrik tertinggi, sedangkan tingkat kemiskinan untuk penentuan batas tarif listrik terendah. Jika dibandingkan dengan PAD, maka kontribusi sektor industri dan bisnis dipandang narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan karena sektor industri dan bisnis merupakan sektor yang dianggap paling mampu untuk membayar listrik pada tarif keekonomiannya, sedangkan PAD dipandang narasumber tidak terlalu mempengaruhi penentuan tarif listrik regional. Lebih lanjut narasumber menyampaikan pandangannya bahwa jika dibandingkan tingkat kepentingannya antara konsumsi rumah tangga dengan tingkat kemiskinan maka kedua hal tersebut sama penting untuk dipertimbangkan

56 dalam hal penerapan tarif listrik regional. Kedua sub kriteria tersebut dipandang narasumber sebagai indikator penentu nilai tarif listrik terendah dari masyarakat atau dengan kata lain sebagai gambaran kemampuan bayar listrik dari masyarakat. Adapun jika dibandingkan dengan PAD, maka konsumsi rumah tangga dan tingkat kemiskinan dianggap lebih penting karena konsumsi rumah tangga dan tingkat kemiskinan lebih mencerminkan kemampuan dasar masyarakat akan tarif listrik. Masuk kepada pembahasan mengenai kesenjangan infrastruktur kelistrikan di setiap daerah, narasumber berpendapat bahwa ketersediaan energi primer di suatu daerah lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik, karena kualitas dan keandalan listrik tidak akan terwujud tanpa melihat ketersediaan energi primer yang dimiliki oleh daerah tersebut yang dibangun untuk fasilitas kelistrikan. Wilayah Jabar dan Banten menurut narasumber kaya akan potensi energi panas bumi, air, dan mikrohidro (seperti angin, matahari, dan sebagainya). Untuk sektor industri dan komersial, energi listrik biasanya diambil dari pembangkit dengan bahan panas bumi atau air agar andal. Sedangkan untuk sektor rumah tangga bisa diambil dari pembangkit dengan bahan bakal mikrohidro. Selanjutnya menurut narasumber density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu lebih penting untuk dipertimbangkan dalam penerapan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik karena sebelum membangun infrastruktur kelistrikan yang berkualitas, harus diperhatikan terlebih dahulu density saluran distribusi listrik serta density

57 kapasitas gardu yang memadai. Jika saluran distribusi serta kapasitas gardu telah memenuhi kebutuhan (demand) dari suatu daerah maka akan dihasilkan listrik yang andal dan berkualitas. Adapun ketersediaan energi primer dipandang narasumber sama pentingnya dengan density saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu. Ketersediaan energi primer dipandang sama penting dengan density saluran distribusi listrik dalam kaitannya dengan penerapan tarif listrik regional karena saluran distribusi listrik akan dibangun di tempat dimana tersedia energi primer. Ketersediaan energi primer juga dipandang sama pentingnya dengan density kapasitas gardu karena density kapasitas gardu disesuaikan dengan keberadaan pusat-pusat beban serta terkait pula dengan potensi energi yang ada di suatu daerah sehingga dapat dibuat pembangkit yang sesuai dengan energi primer yang dimiliki oleh daerah tersebut. Jika density saluran distribusi listrik dibandingkan tingkat kepentingannya dengan density kapasitas gardu maka narasumber berpendapat bahwa density kapasitas gardu lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional karena sebelum dibangun saluran distribusi listrik, dibuat dulu gardu sebagai penyalur listriknya. Lebih lanjut narasumber memberikan masukan-masukan dan pemikirannya terkait penerapan tarif listrik regional. Menurut narasumber penerapan kebijakan tarif listrik regional akan berbeda dengan rencana penerapan tarif listrik regional di wilayah DKI Jaya. Di wilayah Jawa Barat dan Banten yang masih harus menjadi perhatian dan pertimbangan penting adalah sektor rumah tangga sebagai

58 beban dasar, tingkat kemiskinan yang tinggi serta jumlah penduduk yang tidak merata. Sektor industri dan komersial/bisnis di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya cenderung sudah merata serta tingkat kesejahteraan lebih tinggi dari wilayah lain di Indonesia. Di daerah Jawa Barat dan Banten sendiri masih banyak daerah-daerah tertinggal dengan penduduk sedikit. Rasio elektrifikasi pun masih banyak yang rendah (dibawah 60%). Menurut narasumber, wilayah Jawa Barat kaya akan potensi energi panas bumi (geothermal), namun teknologi untuk mengolahnya masih mahal. Hal ini membuat potensi energi yang dimiliki oleh Jawa Barat sendiri belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memperbaiki infrastruktur kelistrikan yang ada. Dengan beberapa pertimbangan diatas, narasumber berpendapat bahwa wilayah Jawa Barat dan Banten saat ini masih belum siap untuk menerapkan kebijakan tarif listrik regional. 8. Narasumber 8 : Muncul Daryoto (Deputi Manajer Administrasi Niaga, PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten) Wawancara dengan Bapak Muncul Daryoto dilakukan pada tanggal 4 April 2012 bertempat di Kantor PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten Jl. Asia Afrika No. 63 Bandung. Narasumber menyampaikan informasi serta mengemukakan pendapatnya mengenai rencana penerapan tarif listrik regional khususnya di wilayah Jawa Barat dan Banten. Menurut Narasumber, pada dasarnya PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten sebagai operator kelistrikan di wilayah Jawa Barat dan Banten secara infrastruktur kelistrikan telah siap untuk melaksanakan kebijakan tarif

59 listrik regional. Namun kebijakan tersebut baru dapat terlaksana/diimplementasikan jika aturan atau regulasinya telah ditetapkan oleh pemerintah serta PLN Pusat. Pertimbangan lain yang menyebabkan kebijakan tarif listrik regional belum diterapkan di wilayah Jawa Barat dan Banten adalah sudah kuatnya sistem kelistrikan di wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali) dimana sistem kelistrikannya sudah interkoneksi. Sistem interkoneksi ini berguna untuk meningkatkan kemampuan suplai tenaga listrik, agar pada saat terjadi gangguan pada salah satu pusat pembangkit tidak terlalu berpengaruh pada konsumen atau dengan kata lain tujuan dari sistem interkoneksi antara lain adalah untuk menjaga kontinuitas penyediaan tenaga listrik karena apabila salah satu pusat pembangkit mengalami gangguan masih dapat disuplai dari pembangkit lain yang terhubung secara interkoneksi. Tujuan lainnya adalah saling memperingan beban yang harus ditanggung oleh suatu pusat listrik. Sistem interkoneksi yang ada di Pulau Jawa adalah sistem tegangan tinggi (75 kv dan 150 kv) serta tegangan ekstra tinggi (500 kv) yang menghubungkan beberapa PLTA dan PLTU yang terdapat di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu antara pusat pembangkit di Suralaya, Saguling, Semarang, Gresik dan Paiton. Pembangkit-pembangkit tersebut saling menopang satu sama lain, dimana jika ada gangguan di wilayah salahsatu pembangkit, maka pembangkit lain akan segera mengirimkan supplai listriknya sehingga ketersediaan energi listrik untuk konsumen selalu dapat terjaga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara umum kualitas dan keandalan listrik di pulau Jawa secara umum sudah cukup baik. Berbeda dengan kondisi kelistrikan di luar Pulau Jawa dimana

60 sistem koneksi listriknya masih radial (lurus) sehingga gangguan di satu wilayah akan langsung berpengaruh terhadap pelanggan listrik di wilayah tersebut. Contoh misalnya di Pulau Batam dan Tarakan dimana disana telah diberlakukan kebijakan tarif listrik regional. Di daerah tersebut, listrik masih dibangkitkan sendiri, dikelola, didistribusikan dan dijual sendiri atau dengan kata lain sistemnya masih isolated. Untuk di Pulau Jawa dan Bali sendiri sudah ada unit PLN yang mengurus langsung masalah pembangkitan yaitu PT. PLN (Persero) Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali (P3B). Lebih lanjut menurut narasumber, untuk daerah perkotaan dimana terdapat pelanggan sektor industri dan bisnis/komersial sangat diperlukan listrik yang berkualitas dan andal. Saat ini listrik dengan tarif khusus telah diberlakukan di kawasan tertentu di wilayah Jawa Barat salah satunya yaitu kawasan industri KIIC Karawang dengan istilah tarif premium. Di kawasan tersebut dapat dikatakan listrik hampir tidak pernah padam. Kalaupun terjadi padam listrik, maka PLN akan terkena penalty berupa kewajiban untuk memberikan potongan/discount pembayaran listrik kepada industri di kawasan tersebut yang diatur dalam kontrak khusus antara PLN dengan industri di kawasan yang menerapkan tarif premium. PLN juga mempunyai suatu standar pelayanan yang dinamakan Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) dimana TMP untuk sektor yang berada di kawasan tarif khusus lebih tinggi dibandingkan dengan TMP untuk sektor-sektor yang lain. Adapun ketentuan tentang pemberlakuan tarif khusus di suatu kawasan ditetapkan oleh pemerintah dan PLN Pusat.

61 Wilayah Jawa Barat dan Banten sendiri menurut narasumber, kaya akan potensi panas bumi dan mikrohidro. Untuk mengolah potensi panas bumi menjadi listrik, sudah dibangun PLTP Kamojang di daerah Garut. Namun untuk uapnya sendiri masih harus membeli dari Pertamina. Dibandingkan dengan bensin, solar, dan gas, sumber energi panas bumi dinilai lebih ekonomis. Adapun potensi mikrohidro di Jabar dan Banten belum dikelola dan dikembangkan dengan baik sehingga daya listrik yang dihasilkan pun masih sangat kecil. Di akhir wawancara narasumber kembali menyatakan bahwa pada intinya, PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten sendiri telah siap melaksanakan kebijakan tarif listrik regional jika memang dari pemerintah daerah dan DPRD juga telah siap dengan regulasinya, PLN siap sebagai operator dan pelaksana sosialisasinya, dan masyarakat setempat telah mau dan mampu untuk membayar listrik dengan tarif keekonomiannya Indikasi Adanya Kesenjangan (Gap) Antar Kota dan Kabupaten di Wilayah Jawa Barat dan Banten Adanya perbedaan karakteristik di setiap kota dan kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten menyebabkan terjadinya kesenjangan (gap) antar wilayah tersebut baik dari segi kekayaan alam, kemampuan masyarakat, kemampuan pemerintah daerah, kualitas dan keandalan listrik serta infrastruktur yang dimiliki. Dari segi kekayaan alam, gap terlihat dari adanya perbedaan dalam hal potensi energi primer yang dimiliki oleh setiap wilayah. Dari segi kemampuan masyarakat, gap terlihat dari PDRB perkapita, kontribusi sektor industri dan

62 bisnis terhadap PDRB, konsumsi rumah tangga dan tingkat kemiskinan. Kemampuan pemerintah daerah dapat terlihat dari gap antar wilayah dalam hal Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kualitas/keandalan listrik terlihat dari SAIDI dan SAIFI di setiap daerah sedangkan gap untuk infrastruktur kelistrikan yang dimiliki dapat terlihat dari kepadatan kapasitas gardu serta kepadatan saluran distribusi jaringan listrik di setiap daerah. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan penulis, gap antar wilayah jelas terlihat dari perhitungan koefisien variansi dari tabel berikut ini :

63 NO. Tabel 4.9. Koefisien Variansi Yang Menunjukkan Gap antar kriteria di setiap kota dan kabupaten di Jawa Barat dan Banten Kabupaten/Kota PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2009 Kontribusi Sektoral Terhadap PDRB Konsumsi RT Perkapita /bulan (Rp.) Tingkat Kemiskinan (%) PAD (ribu rupiah) Keandalan SAIFI SAIDI Total Potensi Energi (Mwe) σ kgd (Kepadatan Kapasitas Gardu) σ TDi (Kepadatan Saluran Distribusi) JAWA BARAT 1 Kab. Bogor % % Kab. Sukabumi % % Kab. Cianjur % % Kab.Bandung % % Kab. Garut % % Kab. Tasikmalaya % % Kab.Ciamis % % Kab. Kuningan % % Kab.Cirebon % % Kab. Majalengka % % Kab.Sumedang % % Kab.Indramayu % % Kab.Subang % % Kab.Purwakarta % % Kab.Karawang % % Kab.Bekasi % %

64 NO. Kabupaten/Kota PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2009 Kontribusi Sektoral Terhadap PDRB Konsumsi RT Perkapita /bulan (Rp.) Tingkat Kemiskinan (%) PAD (ribu rupiah) Keandalan Total Potensi Energi (Mwe) σ kgd (Kepadatan Kapasitas Gardu) σ TDi (Kepadatan Saluran Distribusi) 17 Kab.Bandung Barat % % Kota Bogor % % Kota Sukabumi % % Kota Bandung % % Kota Cirebon % % Kota Bekasi % % Kota Depok % % Kota Cimahi % % Kota Tasikmalaya % % Kota Banjar % % BANTEN 1 Kab. Pandeglang % % Kab. Lebak % % Kab. Serang % % Kota Cilegon % % Kota Serang % % KOTA BATAM % % Rerata % Simpangan baku Koefisien Variansi 90% 31% 29% 65% 69% 76% 58% 259% 119% 113%

65 Koefisien variansi adalah perbandingan antara simpangan standar dengan nilai rata-rata data yang dinyatakan dengan persentase. Makin besar koefisien variansi maka semakin besar pula variasi dan sebaran data, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin besar gap dari kriteria-kriteria antar kota dan kabupaten tersebut. Dari tabel 5.1 terlihat bahwa terdapat gap yang tinggi untuk setiap kriteria dari kota dan kabupaten di Jawa Barat dan Banten (nilai koefisien variansi diatas 44%, perhitungan terlampir) dimana konsumsi rumah tangga adalah kriteria dengan gap terendah diantara kriteria lainnya (29%), diikuti oleh kriteria kontribusi sektor indusri dan bisnis terhadap PDRB (31%), lama waktu gangguan/saidi (58%), tingkat kemiskinan (65%), PAD (69%), frekuensi padam listrik/saifi (76%) dan PDRB perkapita atas dasar harga konstan (90%). Kriteria dengan gap yang sangat tinggi adalah total potensi energi (259%), kepadatan/density kapasitas gardu listrik (119%), dan kepadatan/density jaringan distribusi listrik (113%). Koefisien variansi untuk ketiga kriteria itu lebih dari 100% yang berarti bahwa variansi datanya sangat besar, sebaran datanya sangat lebar dan perbedaan atau gap antar datanya sangat tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat gap yang sangat tinggi dari sisi potensi energi yang dimiliki serta ketersediaan infrastruktur kelistrikan di setiap wilayah. Dengan adanya gap yang sangat tinggi dilihat dari kekayaan alam, kemampuan masyarakat, kemampuan pemerintah daerah, kualitas dan keandalan listrik serta infrastruktur yang dimiliki antar kota dan kabupaten tersebut sewajarnya tarif listrik yang berlaku berbeda disesuaikan dengan kriteria wilayahnya

66 4.2.3 Indikasi Segmentasi Tarif Listrik Regional Di Kota Dan Kabupaten Di Wilayah Jawa Barat dan Banten Dengan Menggunakan Metoda Analitycal Hierarchy Process (AHP) Seperti telah dikemukakan pada Bab 3 tentang metodologi penelitian bahwa untuk memudahkan analisis kesenjangan (gap) antar wilayah di Jawa Barat dan Banten, dari hasil pengumpulan data sekunder serta dari hasil wawancara dan penyebaran daftar pertanyaan/kuesioner kepada para narasumber digunakan metoda Analitycal Hierarchy Process (AHP). Dengan metoda ini akan diketahui urutan prioritas daerah/regional di wilayah Jawa Barat dan Banten yang telah siap dan yang belum siap untuk menerapkan tarif regional dengan menggunakan proses segmentasi berdasarkan analisis kesenjangan dengan pendekatan teori Development Gap dan Infrastructure Electricity Gap. Dari hasil wawancara kepada 7 (tujuh) orang narasumber dari ITB dan LIPI, penulis membuat rekap hasil pengisian kuesionernya sebagai berikut :

67 Tabel Ikhtisar Jawaban Narasumber/Hasil Pengisian Daftar Pertanyaan (Kuesioner) NO KRITERIA/ KONDISI Mutlak Lebih Penting Sangat Jelas Lebih Penting Jelas Lebih Penting Sedikit Lebih Penting PENILAIAN Sama Penting Sedikit Lebih Penting Jelas Lebih Penting Sangat Jelas Lebih Penting Mutlak Lebih Penting KRITERIA/ KONDISI 1 Development Gap 2 PDRB NH,FI, SH,MN, YS,SS AP SH,YS 3 PDRB NH,SH, MN,FI 4 PDRB MN,SS, NH, YS 5 PDRB FI,YS, SH,MN SS,AP 6 Kontribusi Sektor industri & Bisnis thd SH PDRB 7 Kontribusi Sektor industri MN,SS,A & Bisnis thd P,NH PDRB 8 Kontribusi Sektor industri & Bisnis thd PDRB 9 Konsumsi RT 10 Konsumsi RT 11 Tingkat Kemiskinan SH,FI, MN,SS, AP FI,SS SH YS NH,MN YS, SS FI, YS,SS, AP,NH FI, YS NH, FI, SS,AP SH AP SH,FI, AP MN,AP FI, YS,SS NH,SH SH,MN, AP YS, AP, FI YS NH, MN, MN,SS NH NH Infrastructure Electricity Gap Kontribusi Sektor Industri & Bisnis terhadap PDRB Konsumsi Rumah Tangga Tingkat Kemiskinan PAD Konsumsi RT Tingkat Kemiskinan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tingkat Kemiskinan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD)

68 NO KRITERIA/ KONDISI Mutlak Lebih Penting Sangat Jelas Lebih Penting Jelas Lebih Penting Sedikit Lebih Penting PENILAIAN Sama Penting Sedikit Lebih Penting Jelas Lebih Penting Sangat Jelas Lebih Penting Mutlak Lebih Penting KRITERIA/ KONDISI Kualitas dan Keandalan Listrik 13 Kualitas dan Keandalan MN Listrik 14 Kualitas dan Keandalan MN Listrik 15 Ketersediaan Energi Primer NH FI,AP 16 Ketersediaan Energi Primer NH, FI,AP 17 Density Saluran Distribusi Listrik MN SS FI,YS,AP SH NH NH,SH, MN,YS, SS MN, YS,SS MN, YS,SS FI,AP NH,SH, FI,YS, SS,AP NH,FI,Y S,SS,AP SH SH SH Ketersediaan Energi Primer Density Saluran Distribusi Listrik Density Kapasitas Gardu Distribusi Listrik Density Saluran Distribusi Listrik Density Kapasitas Gardu Distribusi Listrik Density Kapasitas Gardu Distribusi Keterangan : 1. NH : Nanang Hariyanto 5. AP : Agus Purwadi 2. SH : Syarif Hidayat 6. SS : Sudarmono Sasmono 3. YS : Yusra Sabri 7. FI : Fitriana 4. MN : Muhammad Nurdin

69 Dari tabel 4.9 di atas terlihat bahwa ada kecenderungan jawaban dari para pakar/tenaga ahli untuk setiap pertanyaan kuesioner (kotak dengan highlight biru) yang dapat dilihat dari mayoritas jawaban dari para pakar yang diwawancarai. Jawaban-jawaban tersebut akan diolah oleh peneliti dengan menggunakan metoda Analitycal Hierarchy Process (AHP). Untuk memperoleh hasil yang akurat, maka peneliti dibantu oleh software Expert Choice 11 dan hasilnya adalah sebagai berikut : 1. Pada tingkat pertama, perbandingan berpasangan dilakukan antara kriteria development gap dan infrastructure electricity gap. Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang narasumber berpendapat bahwa kriteria development gap jelas lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan kriteria infrastructure electricity gap. Perbandingan berpasangan antara kedua kriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini : Gambar 4.2. Perbandingan Berpasangan Antara Development Gap dengan Infrastructure Electricity Gap

70 Mayoritas narasumber berpendapat bahwa masyarakat yang siap secara ekonomi pasti sudah siap membayar tarif listrik pada nilai keekonomiannya. Di Pulau Jawa, termasuk di dalamnya daerah Jawa Barat dimana pertumbuhan penduduk serta tingkat pertumbuhan ekonominya lebih tinggi dibandingkan wilayah lain di Indonesia, mutlak memerlukan pembangunan infrastruktur kelistrikan yang andal dan berkualitas yang dapat menunjang seluruh aktifitas penduduk dan perekomiannya. Sesuai dengan teori ekonomi kelistrikan bahwa ada hubungan elastisitas antara pertumbuhan ekonomi dengan kebutuhan energi maka semakin tinggi pertumbuhan ekonomi di suatu daerah, maka semakin tinggi pula permintaan kebutuhan (demand) akan listrik yang harus dipasok ke daerah tersebut. Oleh karena itu daerah-daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi (daerah makmur), mempunyai kebutuhan (demand) akan listrik yang juga tinggi. Agar pasokan listrik yang disalurkan andal dan berkualitas, maka harus ada pembangunan infrastruktur kelistrikan yang massive dan terus menerus. Hal ini otomatis akan membutuhkan biaya yang juga tinggi yang akan diperoleh dari tarif listrik yang diterapkan pada harga keekonomiannya (tarif listrik regional). Jadi dalam hal penerapan tarif listrik regional dilihat dulu faktor pembangunan di daerah tersebut atau dalam hal ini pertumbuhan ekonominya baru kemudian infrastruktur kelistrikannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa kriteria development gap lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional dibandingkan dengan infrastructure electricity gap.

71 Pada tingkat kedua, perbandingan berpasangan dilakukan diantara subkriteria pembentuk development gap dan diantara subkriteria pembentuk infrastructure electricity gap sebagai berikut : 2. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis sedikit lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan PDRB. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini : Gambar 4.3. Perbandingan Berpasangan Antara PDRB dengan Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis Kontribusi sektor industri dan bisnis dipandang mayoritas narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan PDRB karena pelanggan sektor industri dan bisnis merupakan pelanggan dengan konsumsi listrik paling besar meskipun secara kuantitas jumlah pelanggan ini lebih sedikit dari konsumen rumah tangga. Dalam hal penerapan tarif listrik regional harus diperhatikan terlebih dahulu sektor beban yang menggunakan listrik paling besar dan

72 memerlukan listrik yang andal dan berkualitas, dan dalam hal ini sektor industri dan bisnis/komersial adalah sektor beban yang paling membutuhkannya. 3. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang narasumber berpendapat bahwa PDRB sedikit lebih penting dibandingkan dengan Konsumsi Rumah Tangga. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini : Gambar 4.4. Perbandingan Berpasangan Antara PDRB dengan Konsumsi Rumah Tangga PDRB dipandang mayoritas narasumber sedikit lebih penting dibandingkan dengan Konsusi Rumah Tangga dengan alasan bahwa angka PDRB mencerminkan kondisi ekonomi makro dalam arti aktivitas ekonomi yang lebih luas. Didalam PDRB sudah termasuk seluruh kegiatan usaha dari penduduk di daerah tersebut seperti dari sektor industri, bisnis, termasuk di dalamnya kegiatan dari sektor rumah tangga. Angka konsumsi rumah tangga hanya mencerminkan sebagian kecil dari kapasitas total pemakaian listrik dari suatu pembangkit atau dapat dikatakan bahwa konsumsi rumah

73 tangga itu adalah beban dasar. Dalam penerapan tarif listrik regional harus dilihat dulu kekuatan ekonomi makronya dalam hal ini kekuatan ekonomi makro suatu wilayah tersebut dapat tercermin dalam PDRB. 4. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang narasumber berpendapat bahwa dalam penerapan kebijakan tarif listrik regional, PDRB sedikit lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan Tingkat Kemiskinan. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini : Gambar 4.5. Perbandingan Berpasangan Antara PDRB dengan Tingkat Kemiskinan PDRB dipandang mayoritas narasumber sedikit lebih penting dibandingkan dengan tingkat kemiskinan dengan alasan bahwa terkadang angka tingkat kemiskinan di suatu daerah tidak terlalu akurat, sedangkan angka PDRB lebih reliabel. Namun sebenarnya kedua hal tersebut berkaitan erat satu sama lain. PDRB mencerminkan kemampuan ekonomi penduduk di suatu wilayah. Semakin tinggi PDRB semakin tinggi pula kemampuan ekonomi

74 penduduk di wilayah tersebut. Kemampuan ekonomi tinggi berarti tingkat kemiskinan yang rendah. 5. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang narasumber berpendapat bahwa dalam penerapan kebijakan tarif listrik regional, PDRB jelas lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini : Gambar 4.6. Perbandingan Berpasangan Antara PDRB dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) PDRB dipandang mayoritas narasumber jelas lebih penting dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan alasan PDRB lebih menggambarkan kekuatan ekonomi secara makro, sedangkan PAD hanya mencerminkan kemampuan pemerintah saja dalam hal ini mencakup perolehan pajak dan retribusi dari suatu daerah. Dalam hal penerapan tarif listrik regional dimana yang berlaku adalah tarif keekonomian, maka yang utama diperhatikan adalah kemampuan ekonomi dari masyarakatnya.

75 6. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang narasumber berpendapat bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB sama pentingnya dengan konsumsi rumah tangga. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini : Gambar 4.7. Perbandingan Berpasangan Antara Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis terhadap PDRB dengan Konsumsi Rumah Tangga Kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB di suatu daerah dipandang narasumber sama pentingnya untuk dipertimbangkan dalam penerapan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga. Pendapat ini muncul dengan alasan bahwa berbicara tentang tarif listrik regional berarti berbicara tentang tersedianya listrik yang andal dan berkualitas baik untuk sektor industri dan bisnis maupun untuk sektor rumah tangga. Sektor industri dan bisnis berkontribusi besar terhadap PDRB, sedangkan PDRB merupakan representasi dari pendapatan bruto, dimana didalamnya terdapat kemampuan anggaran yang dibelanjakan. Kemampuan anggaran yang dibelanjakan dapat dianggap sebagai konsumsi rumah

76 tangga. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB sama pentingnya dengan tingkat konsumsi rumah tangga. 7. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang narasumber berpendapat bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB sedikit lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini : Gambar 4.8. Perbandingan Berpasangan Antara Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis terhadap PDRB dengan Tingkat Kemiskinan Kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB dipandang mayoritas narasumber sedikit lebih penting dibandingkan dengan Tingkat Kemiskinan dengan alasan bahwa sektor industri dan bisnis meskipun dari segi kuantitas/jumlah pelanggan lebih sedikit namun dari segi konsumsi listrik jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan sektor rumah tangga. Sektor industri dan bisnis ini juga dipandang lebih mau dan mampu membayar tarif

77 listrik dengan harga lebih tinggi selama listrik yang mereka terima andal dan berkualitas. Selain itu, meskipun tingkat kemiskinan dapat menggambarkan kemampuan bayar dari masyarakat di suatu daerah, namun angka tingkat kemiskinan seringkali tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya. 8. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 5 orang narasumber berpendapat bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB sangat jelas lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini: Gambar 4.9. Perbandingan Berpasangan Antara Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis terhadap PDRB dengan PAD Kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB dipandang mayoritas narasumber sangat jelas lebih penting dibandingkan dengan PAD dengan alasan bahwa kebijakan penerapan tarif listrik regional yang akan diterapkan di suatu daerah adalah tidak untuk semua golongan tarif, yaitu hanya untuk golongan industri, bisnis dan rumah tangga kaya yang memerlukan listrik

78 dengan kualitas dan keandalan tinggi. Golongan pelanggan tersebut juga dianggap paling mampu untuk membayar listrik pada tarif keekonomiannya. Adapun PAD yang mencerminkan kemampuan pemerintah daerah, tidak terlalu penting untuk dipertimbangkan karena pemda setempat yang memberlakukan kebijakan tarif listrik regional tidak perlu memberikan subsidi. 9. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat bahwa konsumsi rumah tangga sama penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini: Gambar 4.10.Perbandingan Berpasangan Antara Konsumsi Rumah Tangga dengan Tingkat Kemiskinan Konsumsi rumah tangga dipandang mayoritas narasumber sama pentingnya dengan tingkat kemiskinan dengan alasan bahwa kedua sub kriteria tersebut adalah saling berkaitan erat dimana makin kecil konsumsi rumah tangga, semakin tinggi pula tingkat kemiskinan. Selain itu konsumsi rumah tangga

79 dan tingkat kemiskinan juga sebagai indikator penentu nilai tarif listrik terendah dari masyarakat atau dengan kata lain sebagai gambaran kemampuan bayar listrik dari masyarakat. 10. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat bahwa konsumsi rumah tangga jelas lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan PAD. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini: Gambar Perbandingan Berpasangan Antara Konsumsi Rumah Tangga dengan Pendapatan Asli Daerah Konsumsi rumah tangga dipandang mayoritas narasumber jelas lebih penting dibandingkan dengan PAD dengan alasan bahwa konsumsi rumah tangga berkaitan langsung dengan kebutuhan energi listrik di suatu daerah sedangkan PAD berkaitan dengan sejauh mana pemda setempat mau membangun infrastruktur dan mau menanggung subsidi. Meskipun PAD di suatu wilayah tinggi namun tidak ada keinginan dari pemda untuk melakukan pembangunan infrastruktur kelistrikan atau menanggung

80 subsidi bagi penduduk miskin, maka tarif listrik regional akan sulit untuk diterapkan. Angka PAD juga dinilai masih sangat makro jika dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga. 11. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat bahwa tingkat kemiskinan lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan PAD. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini: Gambar Perbandingan Berpasangan Antara Tingkat Kemiskinan dengan Pendapatan Asli Daerah Tingkat kemiskinan dipandang mayoritas narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan PAD dengan alasan bahwa dalam hal penerapan tarif listrik regional, hal yang utama adalah kemampuan bayar dari masyarakat. Tingkat kemiskinan dapat menggambarkan kemampuan dasar masyarakat akan tarif listrik, adapun PAD hanya menggambarkan kemampuan pemerintah saja. Jika masyarakat

81 sudah merasa mampu dan mau membayar tarif listrik sesuai dengan keekonomiaannya, maka tanpa harus disubsidi pemerintah maka tarif listrik regional dapat diterapkan. 12. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat bahwa ketersediaan energi primer sedikit lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini: Gambar 4.13 Perbandingan Berpasangan Antara Kualitas dan Keandalan Listrik dengan Ketersediaan Energi Primer Ketersediaan energi primer dipandang mayoritas narasumber sedikit lebih penting jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik dengan alasan bahwa keandalan dan kualitas listrik adalah hasil dari tersedianya sumber energi yang mencukupi untuk melistriki suatu daerah. Kualitas dan keandalan listrik tidak akan terwujud tanpa melihat ketersediaan energi primer yang dimiliki oleh daerah tersebut yang dibangun untuk fasilitas

82 kelistrikan. Suatu daerah yang mempunyai ketersediaan energi primer yang mencukupi, ditunjang oleh kemampuan dan keinginan pemerintah daerah setempat untuk membangun infrastruktur kelistrikan yang memadai serta kemampuan dan kemauan masyarakat untuk membeli listrik dengan harga keekonomiannya, maka akan kebijakan tarif listrik regional akan dapat diterapkan dengan baik. 13. Hampir seluruh narasumber yaitu sebanyak 6 orang narasumber berpendapat bahwa density saluran distribusi listrik sangat jelas lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini: Gambar Perbandingan Berpasangan Antara Kualitas dan Keandalan Listrik dengan Density Saluran Distribusi Listrik Density saluran distribusi listrik dipandang mayoritas narasumber sangat jelas lebih penting jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik dengan pertimbangan bahwa infrastruktur kelistrikannya harus terlebih dahulu diperhatikan, baru berbicara tentang kualitas dan keandalan.

83 Infrastruktur kelistrikan disini salah satunya adalah density saluran distribusi listrik. Jika saluran distribusi listrik telah memenuhi kebutuhan (demand) dari suatu daerah, maka akan dihasilkan listrik yang andal dan berkualitas. 14. Hampir seluruh narasumber yaitu sebanyak 6 orang narasumber berpendapat bahwa density saluran kapasitas gardu sangat jelas lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini: Gambar Perbandingan Berpasangan Antara Kualitas dan Keandalan Listrik dengan Density Kapasitas Gardu Distribusi Density kapasitas gardu distribusi listrik dipandang mayoritas narasumber sangat jelas lebih penting jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik dengan pertimbangan bahwa yang paling utama dilihat di suatu daerah dalam hal pembangunan infrastruktur kelistrikan adalah ada tidaknya gardu penyalur dan saluran distribusi listriknya. Jika density (kerapatan) saluran distribusi listrik serta kapasitas gardu listriknya cukup baik, maka listrik yang dihasilkan pun akan berkulitas dan andal. Jika density saluran

84 distribusi listrik dan density kapasitas gardu listriknya tidak menunjang maka tidak akan terwujud keandalan listrik sehingga akan sulit pula untuk menerapkan tarif listrik regional 15. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat bahwa density saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu distribusi listrik sedikit lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan ketersediaan energi primer. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar-gambar di bawah ini: Gambar 4.16 Perbandingan Berpasangan Antara Ketersediaan Energi Primer dengan Density Saluran Distribusi Listrik Gambar Perbandingan Berpasangan Antara Ketersediaan Energi Primer dengan Density Saluran Kapasitas Gardu Distribusi Listrik

85 Density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu distribusi listrik dipandang mayoritas narasumber sedikit lebih penting jika dibandingkan dengan ketersediaan energi primer dengan pertimbangan bahwa di daerahdaerah yang minim sumber energi primernya pun, namun pemerintah daerah setempat mampu membangun infrastruktur kelistrikan yang memadai dan ditunjang pula oleh kemampuan masyarakatnya yang tinggi, maka daerah tersebut dipandang telah siap untuk menerapkan tarif listrik regional. 16. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 5 orang narasumber berpendapat bahwa density saluran distribusi listrik sama penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan density kapasitas gardu distribusi listrik. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini: Gambar Perbandingan Berpasangan Antara Density Saluran Distribusi Listrik dengan Density Saluran Kapasitas Gardu Distribusi Listrik Density saluran distribus listrik dipandang mayoritas narasumber sama pentingnya dengan density kapasitas gardu distribusi listrik dengan alasan kedua subkriteria tersebut adalah sama penting karena saling berkaitan erat

86 satu sama lain. Saluran distribusi dibangun untuk menyalurkan listrik dari gardu listrik. Ada gardu listrik, maka harus ada saluran listrik, begitupun sebaliknya. Jika density saluran distribusinya banyak namun kapasitas gardunya kecil maka jaringan listrik tidak leluasa untuk bermanuver, yang akan berakibat turunnya keandalan dan kualitas listrik yang disalurkan. Begitu pula jika kapasitas gardu yang dibangun besar, namun saluran distribusinya tidak memadai, maka listrik yang disalurkan tidak akan andal dan berkualitas sehingga tarif listrik regional akan sulit untuk diterapkan. Dari perbandingan berpasangan seluruh kriteria dalam 2 tingkat tersebut, dengan menggunakan perangkat lunak Expert choice dapat ditentukan bobot masing-masing kriteria. Bobot tersebut ditampilkan pada gambar 4.18 dibawah ini : Gambar 4.19 Bobot Kriteria Regionalisasi

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai perusahaan penyedia listrik milik pemerintah di tanah air, PT.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai perusahaan penyedia listrik milik pemerintah di tanah air, PT. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sebagai perusahaan penyedia listrik milik pemerintah di tanah air, PT. (Persero) Perusahaan Listrik Negara (PLN) berusaha untuk terus meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang 56 BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN A. Letak Wilayah dan Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 Lintang selatan dan 104 48-108 48 Bujur Timur, dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan suatu hal yang penting karena merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu wilayah. Sukirno (2006) mengatakan penduduk dapat menjadi faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga termasuk pula percepatan/akselerasi

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota oda perekonomian yang bergulir di Jawa Barat, selama tahun 2007 merupakan tolak ukur keberhasilan pembangunan Jabar.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota eranan ekonomi wilayah kabupaten/kota terhadap perekonomian Jawa Barat setiap tahunnya dapat tergambarkan dari salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK Insider Forum Series Indonesia Energy Roadmap 2017 2025 Jakarta, 25 Januari 2017 I Kondisi

Lebih terperinci

EFISIENSI OPERASIONAL PEMBANGKIT LISTRIK DEMI PENINGKATAN RASIO ELEKTRIFIKASI DAERAH

EFISIENSI OPERASIONAL PEMBANGKIT LISTRIK DEMI PENINGKATAN RASIO ELEKTRIFIKASI DAERAH EFISIENSI OPERASIONAL PEMBANGKIT LISTRIK DEMI PENINGKATAN RASIO ELEKTRIFIKASI DAERAH Abstrak Dalam meningkatkan rasio elektrifikasi nasional, PLN telah melakukan banyak upaya untuk mencapai target yang

Lebih terperinci

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 1 PETA KABUPATEN/KOTA KALIMANTAN TIMUR Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 2 BAB 1. PENDAHULUAN Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan propinsi terluas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN PRESIDEN NOMOR 59 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG PENUGASAN KEPADA PT PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO) UNTUK MELAKUKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bencana banjir berdasarkan data perbandingan jumlah kejadian bencana di Indonesia sejak tahun 1815 2013 yang dipublikasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

Analisis Krisis Energi Listrik di Kalimantan Barat

Analisis Krisis Energi Listrik di Kalimantan Barat 37 Analisis Krisis Energi Listrik di Kalimantan Barat M. Iqbal Arsyad Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik, Universitas Tanjungpura iqbalarsyad@yahoo.co.id Abstract Electrical sector plays important

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis Secara astronomis, Indonesia terletak antara 6 08 Lintang Utara dan 11 15 Lintang Selatan dan antara 94 45 141 05 Bujur Timur dan dilalui oleh garis ekuator atau

Lebih terperinci

Pendahuluan. Distribusi dan Potensi. Kebijakan. Penutup

Pendahuluan. Distribusi dan Potensi. Kebijakan. Penutup Pendahuluan Distribusi dan Potensi Kebijakan Penutup STRUKTUR ORGANISASI DESDM MENTERI Lampiran PERMEN ESDM Nomor : 0030 Tahun 2005 Tanggal : 20 Juli 2005 INSPEKTORAT JENDERAL SEKRETARIAT JENDERAL ITJEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara maritim yang kaya akan potensi ikannya, sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan dan perairan. Sektor perikanan menjadi bagian yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROGRAM LISTRIK PERDESAAN DI INDONESIA: KEBIJAKAN, RENCANA DAN PENDANAAN Jakarta, 20 Juni 2013 DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KONDISI SAAT INI Kondisi

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU, TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI. Disampaikan oleh

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU, TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI. Disampaikan oleh KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU, TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI REGULASI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ENERGI ANGIN Disampaikan oleh Abdi Dharma Saragih Kasubdit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur Jawa Barat Akhir Tahun Anggaran 2011 disusun berdasarkan ketentuan sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

Data yang disajikan merupakan gabungan antara data PLN Holding dan Anak Perusahaan,

Data yang disajikan merupakan gabungan antara data PLN Holding dan Anak Perusahaan, Kata Pengantar Buku Statistik PLN 2015 diterbitkan dengan maksud memberikan informasi kepada publik mengenai pencapaian kinerja perusahaan selama tahun 2015 dan tahun-tahun sebelumnya. Data yang disajikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL LAPORAN KKL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keluaran Kinerja Aparatur Bidang Listrik dan Pemanfaatan Energi

BAB IV HASIL LAPORAN KKL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keluaran Kinerja Aparatur Bidang Listrik dan Pemanfaatan Energi BAB IV HASIL LAPORAN KKL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keluaran Kinerja Aparatur Bidang Listrik dan Pemanfaatan Energi di Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Barat Kinerja aparatur merupakan salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang UU No. 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan menyatakan pada pasal 4 ayat 2 bahwa badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat dapat berpatisipasi dalam

Lebih terperinci

INFRASTRUKTUR ENERGI DI PROVINSI BANTEN

INFRASTRUKTUR ENERGI DI PROVINSI BANTEN INFRASTRUKTUR ENERGI DI PROVINSI BANTEN Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Banten Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B) Jl. Raya Palima Pakupatan, Curug Serang; Telp / Fax : 0254

Lebih terperinci

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT No. 42 / IX / 14 Agustus 2006 PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005 Dari hasil Susenas 2005, sebanyak 7,7 juta dari 58,8 juta rumahtangga

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER

Lebih terperinci

MANFAAT DEMAND SIDE MANAGEMENT DI SISTEM KELISTRIKAN JAWA-BALI

MANFAAT DEMAND SIDE MANAGEMENT DI SISTEM KELISTRIKAN JAWA-BALI MANFAAT DEMAND SIDE MANAGEMENT DI SISTEM KELISTRIKAN JAWA-BALI 1. Kondisi Kelistrikan Saat Ini Sistem Jawa-Bali merupakan sistem interkoneksi dengan jaringan tegangan ekstra tinggi 500 kv yang membentang

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT KOMISI VI DPR RI B I D A N G PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN, KOPERASI DAN UKM, BUMN, INVESTASI, BSN DAN KPPU

LAPORAN SINGKAT KOMISI VI DPR RI B I D A N G PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN, KOPERASI DAN UKM, BUMN, INVESTASI, BSN DAN KPPU LAPORAN SINGKAT KOMISI VI DPR RI B I D A N G PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN, KOPERASI DAN UKM, BUMN, INVESTASI, BSN DAN KPPU Tahun Sidang : 2011-2012 Masa Persidangan : I Rapat ke : 16 Jenis Rapat : Rapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan

Lebih terperinci

ISSN : NO

ISSN : NO ISSN : 0852-8179 NO. 02701-150430 02701-150430 Statistik PLN 2014 Kata Pengantar Buku Statistik PLN 2014 diterbitkan dengan maksud memberikan informasi kepada publik mengenai pencapaian kinerja perusahaan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI Disampaikan pada Dialog Energi Tahun 2017 Jakarta, 2 Maret 2017 1 Outline paparan I. Potensi

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG PENUGASAN KEPADA PT. PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO) UNTUK MELAKUKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK YANG MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PRESIDEN NOMOR 45 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG PENUGASAN KEPADA PT PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO) UNTUK MELAKUKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Provinsi Jawa Barat Kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat berjumlah 26 kabupaten/kota yang terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota dengan 625 kecamatan dan 5.877 desa/kelurahan. Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Otonomi daerah

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT 5.1 Analisis Model Regresi Data Panel Persamaan regresi data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG PENUGASAN KEPADA PT PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO) UNTUK MELAKUKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK YANG MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN. 23 Oktober 2017

PEMBERDAYAAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN. 23 Oktober 2017 PEMBERDAYAAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN 23 Oktober 2017 1 Minyak Solar 48 (Gas oil) Bensin (Gasoline) min.ron 88 Rp.7 Ribu Rp.100 Ribu 59 2 Progress dan Roadmap BBM Satu Harga Kronologis

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Asumsi Dasar 4.1.1 Demografi Provinsi Banten Provinsi Banten secara umum merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0 200 meter di atas permukaan laut, serta

Lebih terperinci

Bidang Studi Teknik Sistem Tenaga Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Bidang Studi Teknik Sistem Tenaga Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya ANALISIS KEBUTUHAN LISTRIK BERKAITAN DENGAN PENYUSUNAN TARIF LISTRIK REGIONAL DI DAERAH PROVINSI BALI GUNA MEMENUHI PASOKAN ENERGI LISTRIK 10 TAHUN MENDATANG I Putu Surya Atmaja 2205 100 107 Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

Materi Paparan Menteri ESDM Strategi dan Implementasi Program MW: Progres dan Tantangannya

Materi Paparan Menteri ESDM Strategi dan Implementasi Program MW: Progres dan Tantangannya Materi Paparan Menteri ESDM Strategi dan Implementasi Program 35.000 MW: Progres dan Tantangannya Bandung, 3 Agustus 2015 Kementerian ESDM Republik Indonesia 1 Gambaran Umum Kondisi Ketenagalistrikan Nasional

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM INFRASTRUKTUR

IV. GAMBARAN UMUM INFRASTRUKTUR 37 IV. GAMBARAN UMUM INFRASTRUKTUR 4.1 Jalan Jalan merupakan infrastruktur yang penting untuk menghubungkan satu daerah ke daerah lain atau satu pusat perekonomian ke pusat perekonomian lainnya. Ketersediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di

BAB I PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di indonesia, perubahaan ini terjadi di berbagai bidang termasuk sistem pemerintahan.

Lebih terperinci

RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN NASIONAL

RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR: 1213 K/31/MEM/2005 TENTANG RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN NASIONAL DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL JAKARTA, 25 April

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FIT (FEED IN TARIFF) ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI INDONESIA. Nanda Avianto Wicaksono dan Arfie Ikhsan Firmansyah

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FIT (FEED IN TARIFF) ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI INDONESIA. Nanda Avianto Wicaksono dan Arfie Ikhsan Firmansyah EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FIT (FEED IN TARIFF) ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI INDONESIA Nanda Avianto Wicaksono dan Arfie Ikhsan Firmansyah Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi

Lebih terperinci

Tabel 20.1 Data Transportasi Provinsi Jawa Barat Tahun

Tabel 20.1 Data Transportasi Provinsi Jawa Barat Tahun 20. TRANSPORTASI 150 1 2 Tabel 20.1 Data Transportasi Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2011 Nama Tahun 2009 2010 2011 Panjang Jalan Menurut Tingkat Kewenangan Pemerintahan (km) a. Negara 1.351 1.351 1.351

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Dukungan Pemerintah terhadap PLN dalam Penyediaan Pasokan Listrik Indonesia

Pemanfaatan Dukungan Pemerintah terhadap PLN dalam Penyediaan Pasokan Listrik Indonesia Pemanfaatan Dukungan Pemerintah terhadap PLN dalam Penyediaan Pasokan Listrik Indonesia Abstrak Dalam menjamin tersedianya pasokan listrik bagi masyarakat, pemerintah telah melakukan berbagai upaya mendukung

Lebih terperinci

PROYEKSI KEBUTUHAN LISTRIK PLN TAHUN 2003 S.D 2020

PROYEKSI KEBUTUHAN LISTRIK PLN TAHUN 2003 S.D 2020 PROYEKSI KEBUTUHAN LISTRIK PLN TAHUN 2003 S.D 2020 Moch. Muchlis dan Adhi Darma Permana ABSTRACT Electricity demand will increase every year to follow population growth, prosperity improvement, and economic

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011) Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km 2 termasuk pulau-pulau yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan keuangan sektor publik khususnya di Indonesia semakin pesat dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah di Indonesia dilandasi

Lebih terperinci

HASIL PEMERIKSAAN BPK RI TERKAIT INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN TAHUN 2009 S.D Prof. Dr. Rizal Djalil

HASIL PEMERIKSAAN BPK RI TERKAIT INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN TAHUN 2009 S.D Prof. Dr. Rizal Djalil HASIL PEMERIKSAAN BPK RI TERKAIT INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN TAHUN 2009 S.D. 2014 Prof. Dr. Rizal Djalil DEPOK, 30 MARET 2015 LANDASAN HUKUM PERENCANAAN BIDANG ENERGI DAN KETENAGALISTRIKAN UU 30/2007 (Energi)

Lebih terperinci

SISTEM TENAGA LISTRIK

SISTEM TENAGA LISTRIK SISTEM TENAGA LISTRIK SISTEM TENAGA LISTRIK Sistem Tenaga Listrik : Sekumpulan Pusat Listrik dan Gardu Induk (Pusat Beban) yang satu sama lain dihubungkan oleh Jaringan Transmisi sehingga merupakan sebuah

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 5.1. Kondisi Geografis V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 Lintang Selatan dan 104 o 48-108 o 48 Bujur Timur, dengan batas wilayah

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH Penetapan indikator kinerja daerah bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai ukuran keberhasilan pencapaian visi dan misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Average Length of Stay (Day) Per Visit. Growth (%)

BAB 1 PENDAHULUAN. Average Length of Stay (Day) Per Visit. Growth (%) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan perekonomian khususnya sektor jasa di Indonesia berlangsung sangat pesat. Salah satu sektor jasa yang menjadi andalan Indonesia adalah industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut memiliki peranan yang cukup penting bila dihubungkan dengan masalah penyerapan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1. Sejarah Perusahaan Listrik Negara Sejarah Ketenagalistrikan di Indonesia dimulai pada akhir abad ke-19, ketika beberapa perusahaan Belanda mendirikan pembangkit tenaga

Lebih terperinci

URGENSI SIPD DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

URGENSI SIPD DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH URGENSI SIPD DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH Cirebon, 22 Desember 2015 OUTLINE PEMBAHASAN 1 SIPD DALAM UU 23 TAHUN 2014 2 PERMENDAGRI 8/2014 TENTANG SIPD AMANAT UU 23 TAHUN 2014 Pasal 274: Perencanaan

Lebih terperinci

Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Sumedang.

Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Sumedang. Letak Kabupaten Majalengka secara geografis di bagian Timur Provinsi Jawa Barat yaitu Sebelah Barat antara 108 0 03-108 0 19 Bujur Timur, Sebelah Timur 108 0 12-108 0 25 Bujur Timur, Sebelah Utara antara

Lebih terperinci

4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT

4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT 4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT 4.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian 4.1.1 Kondisi Geografi Aspek-aspek geografis yang meliputi posisi, susunan keruangan dan lokasi sangat menentukan langkah-langkah

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk melakukan kegiatan ekonomi di dalamnya. Kota Bandung juga memiliki jumlah penduduk yang banyak,

Lebih terperinci

PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN Status Gizi Provinsi

PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN Status Gizi Provinsi LAMPIRAN 1 PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013 Status Gizi No Provinsi Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) 1 Aceh 7,9 18,4

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi. PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 06/PMK.07/2010 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Jawa Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia. Provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah daratan 3.710.061,32 hektar, dan Jawa Barat menduduki

Lebih terperinci

MP3EI Pertanian : Realisasi dan Tantangan

MP3EI Pertanian : Realisasi dan Tantangan Rubrik Utama MP3EI Pertanian : Realisasi dan Tantangan Oleh: Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor olume 18 No. 2, Desember

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu perhatian besar dari berbagai negara-negara di dunia. Sumber daya energi

BAB I PENDAHULUAN. satu perhatian besar dari berbagai negara-negara di dunia. Sumber daya energi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan energi, baik energi primer dan energi sekunder menjadi salah satu perhatian besar dari berbagai negara-negara di dunia. Sumber daya energi telah menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta 3.1.1. Kondisi Geografis Mengacu kepada Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Akhir Masa Jabatan 2007 2012 PemProv DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Kondisi Geografis Negara Indonesia Penulis menyajikan gambaran umum yang meliputi kondisi Geografis, kondisi ekonomi di 33 provinsi Indonesia. Sumber : Badan Pusat Statistik

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR

BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR 1.5 Kondisi Geografis dan Administratif Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah daratan (tidak memiliki wilayah laut) yang berbatasan langsung dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi

Lebih terperinci