4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT"

Transkripsi

1 4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT 4.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian Kondisi Geografi Aspek-aspek geografis yang meliputi posisi, susunan keruangan dan lokasi sangat menentukan langkah-langkah kebijakan dalam pembangunan ekonomi. Pengambilan keputusan ekonomi perlu mempertimbangkan keuntungan lokasi dan pengaruh ruang secara eksplisit agar keputusan yang diambil realistis dan tidak salah (Sjafrizal, 2008). Kondisi geografis Jawa Barat yang strategis merupakan keuntungan bagi daerah Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara merupakan daerah berdataran rendah, sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung-gunung ada di kawasan tengah. Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50' - 7 o 50' Lintang Selatan dan 104 o 48' o 48' Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya: sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta, sebelah timur berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah, sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia, dan sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Banten. Perkembangan utama Propinsi Jawa Barat adalah pemekaran propinsi yang dilakukan pada akhir tahun 2000 sehingga menjadi dua wilayah yaitu Propinsi Jawa Barat yang meliputi 16 kabupaten, 6 kota dan Propinsi Banten yang terdiri dari 5 kabupaten/kota. Pemekaran ini dipastikan akan membawa dampak terhadap pembangunan secara makro. Pemekaran wilayah daerah otonomi baru semakin marak sejak disahkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun Propinsi Jawa Barat dalam jangka waktu melakukan pemekaran tiga kabupaten sehingga Jawa Barat mempunyai tambahan tiga kota yaitu Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar dan Kabupaten Bandung Barat. Kota Cimahi dimekarkan dari Kabupaten Cimahi, Kota Tasikmalaya dimekarkan dari Kabupaten Tasikmalaya, Kota Banjar dimekarkan dari Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Bandung Barat dimekarkan dari Kabupaten Bandung. Pada akhirnya

2 46 pada tahun 2008 jumlah daerah otonom di Jawa Barat mencapai 26 yang terdiri atas 17 kabupaten dan 9 kota (Gambar 5). Berkaitan dengan cakupan penelitian yang akan dilakukan, yaitu dimulai dari tahun 2001 sampai 2008, maka wilayah kabupaten/kota yang dimekarkan digabungkan dengan kabupaten induknya sehingga objek penelitian yaitu sejumlah 23 kabupaten/kota. Hal ini dimaksudkan agar objek penelitian dapat konsisten dan berkelanjutan dari tahun 2001 sampai dengan Sumber : Bappeda Jawa Barat Gambar 5 Peta wilayah Jawa Barat menurut daerah administratif 26 kabupaten/kota.. Potensi wilayah Jawa Barat ditunjukkan dengan luas wilayah yang mencapai ,82 km 2. Kabupaten terluas adalah Kabupaten Sukabumi, mencapai 3.160,51 km 2. Kabupaten terluas kedua adalah Kabupaten Cianjur dengan luas wilayah 2.977,44 km 2, disusul oleh Kabupaten Tasikmalayaa dan Kabupaten Ciamis. Kabupaten/kota dengan luas terkecil adalah Kota Cirebon, yaitu hanya mencapai 36,97 km 2. Tabel 3 menunjukkann bahwa kecamatan terbanyak berada di Kabupaten Sukabumi sebagai kabupaten terluas, yaitu sejumlah 47 kecamatan yang terdiri atas 364 desa. Selanjutnya Kabupaten Garut mempunyai 42 kecamatan dan 403

3 47 desa. Sementara itu kabupaten/kota dengan jumlah kecamatan yang paling sedikit adalah Kota Cimahi, yang hanya terdiri atas 3 kecamatan dan 22 kelurahan. Tabel 3 Luas area jumlah kecamatan, desa dan kelurahan di Jawa Barat menurut kabupaten tahun 2008 Luas Area Km 2 Persen tase Jumlah No Kabupaten/Kota Keca Kelura Desa matan han 1 Bogor 2.237,09 7, Sukabumi 3.160,51 10, Cianjur 2.977,44 10, Bandung 2.284,61 7, Garut 2.179,51 7, Tasikmalaya 2.479,57 8, Ciamis 2.377,28 8, Kuningan 816,88 2, Cirebon 958,27 3, Majalengka 1.068,69 3, Sumedang 1.062,88 3, Indramayu 1.636,51 5, Subang 1.855,01 6, Purwakarta 757,57 2, Karawang 1.533,86 5, Bekasi 1.065,35 3, Kota Bogor 108,98 0, Kota Sukabumi 49,81 0, Kota Bandung 167,91 0, Kota Cirebon 36,97 0, Kota Bekasi 209,55 0, Kota Depok 212,24 0, Kota Cimahi 40,23 0, Jawa Barat ,72 100, Sumber: BPS Provini Jawa Barat, Kewilayahan Pembangunan Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal batas wilayah. Namun, untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman produktif, dan berkelanjutan sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang bertanggungjawab, penataan ruang menuntut kejelasan pendekatan dalam proses perencanaaannya demi menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan keterpaduan antardaerah, antar pusat dan daerah, antarsektor, dan antarpemangku kepentingan.

4 48 Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut, wewenang penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah dan pemerintah daerah yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan mengacu kepada Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat Tahun , wilayah administratif kabupaten dan kota di Jawa Barat dibagi dalam empat Wilayah Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan (WKPP), yaitu: 1. WKPP 1 Bogor, merupakan wilayah inti dari pengembangan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Perkotaan Bodebek dengan lingkup kerja Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kota Sukabumi, Kabupaten Cianjur, dan Kota Depok. Fokus pengembangan masing-masing kabupaten/kota, sebagai berikut: a. Kota Bogor, Kota Depok dan Kota Bekasi diarahkan sebagai kota terdepan yang berbatasan dengan Jakarta yang merupakan bagian dari pengembangan Kawasan Strategis Nasional (KSN) Jabodetabekpunjur untuk mendorong pengembangan PKN Perkotaan Bodebek b. Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi, diarahkan menjadi kawasan penyangga dalam sistem PKN Perkotaan Bodebek c. Kawasan Puncak di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, diarahkan pada kegiatan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan lindung di KSN Jabodetabekpunjur. Sektor unggulan yang dapat dikembangkan adalah: pariwisata, industri manufaktur, perikanan, perdagangan, jasa, pertambangan, agribisnis dan agrowisata. Rencana pengembangan infrastruktur wilayah, terdiri atas: a. Pengembangan infrastruktur jalan b. Pengembanngan infrastruktur perhubungan c. Pengembangan infrastruktur sumberdaya air d. Pengembangan infrastruktur energi e. Pengembangan infrastruktur permukiman (perkotaan dan perdesaan) f. Otimalisasi kawasan industri.

5 49 2. WKPP II Purwakarta, menjadi simpul pendukung bagi pengembangan PKN Perkotaan Bodebek dan Bandung Raya dengan lingkup kerja Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi. Fokus pengembangan masing-masing kabupaten/kota, sebagai berikut: a. PKW Cikampek-Cikopo, diarahkan untuk memenuhi fungsinya sebagai PKW dengan melengkapi saran dan prasarana yang terintegrasi dengan wilayah pengaruhnya (hinterland) b. Kabupaten Purwakarta, diarahkan untuk kegiatan industri non-polutif dan nonekstraktif c. Kabupaten Subang, diarahkan menjadi simpul pendukung pengembanngan PKN Perkotaan Bandung Raya d. Kabupaten Karawang, diarahkan menjadi simpul pendukung pengembangan PKN Kawasan Perkotaan Bodebek. Sektor unggulan yang dapat dikembangkan adalah: pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, bisnis kelautan, industri pengolahan, pariwisata, dan pertambangan. Rencana pengembangan infrastruktur wilayah, terdiri atas: a. Pengembangan infrastruktur jalan b. Pengembangan infrastruktur perhubungan c. Pengembangan infrastruktur sumberdaya air d. Pengembangan infrastruktur energi e. Pengembangan infrastruktur permukiman (perkotaan dan perdesaan). 3. WKPP III Cirebon, merupakan wilayah dari pengembangan PKN Cirebon dengan lingkup kerja Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Kuningan. Fokus pengembangan masing-masing kabupaten/kota, sebagai berikut: a. Kota Cirebon, diarahkan sebagai kota inti dari PKN dengan sarana dan prasarana yang terintegrasi dengan wilayah pengaruhnya (hinterland) b. Kabupaten Cirebon, diarahkan sebagai bagian dari PKN dengan sarana dan prasarana yang terintegrasi

6 50 c. Kabupaten Indramayu, diarahkan menjadi Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang berfungsi melayani kegiatan skala propinsi atau beberapa kabupaten/kota d. Kabupaten Majalengka, diarahkan menjadi lokasi Bandara Internasional Jawa Barat dan Aerocity di Kertajati e. Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Sumedang, diarahkan sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL) Perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan Sektor yang dapat dikembangkan adalah: agribisnis, agroindustri, perikanan, pertambangan, dan pariwisata. Rencana pengembangan infrastruktur wilayah, terdiri atas: a. Pengembangan infrastruktur jalan b. Pengembangan infrastruktur perhubungan c. Pengembangan infrastruktur sumberdaya air d. Pengembangan infrastruktur energi e. Pengembangan infrastruktur telekomunikasi perdesaan f. Pengembangan infrastruktur permukiman (perkotaan dan perdesaan) g. Pengembangan Kawasan Industri Kertajati Aerocity di Kabupaten Majalengka. 4. WKPP IV Priangan, dengan ruang lingkup kerja Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kota Tasikmalaya. WKPP Priangan merupakan wilayah inti dari pengembangan PKN Perkotaan Bandung Raya, meningkatkan manajemen pembangunan yang berkarakter lintas kabupaten/kota yang secara kolektif berbagi peran membangun dan mempercepat perwujudan PKN Perkotaan Bandung Raya. Fokus pengembangan masing-masing kabupaten/kota, sebagai berikut: a. Kota Tasikmalaya, diarahkan sebagai bagian dari PKW b. Kabupaten Tasikmalaya, Garut, dan Kabupaten Ciamis, diarahkan untuk kegiatan pertanian, industri pengolahan

7 51 c. Kota Banjar, diarahkan sebagai PKW dengan sarana dan prasaran perkotaan yang teringrasi dan sebagai pintu gerbang daerah berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah. Sektor yang dapat dikembangkan adalah: pertanian, hortikultura, perkebunan, perikanan tangkap, industri pengolahan, industri non-polutif, industri kreatif, perdagangan, jasa, pariwisata dan pertambangan, Rencana pengembangan infrastruktur wilayah, terdiri atas: a. Pengembangan infrastruktur jalan b. Pengembangan infrastruktur perhubungan c. Pengembangan infrastruktur sumberdaya air d. Pengembangan infrastruktur energi e. Pengembangan infrastruktur telekomunikasi Penduduk dan Kepadatannya Masalah kependudukan merupakan bagian yang krusial dalam perekonomian karena tidak bisa dilepaskan dalam kegiatan pembangunan. Penduduk mempunyai peran ganda dalam pembangunan yaitu sebagai obyek dan sebagai subyek. Pertambahan jumlah penduduk akan menyebabkan pertambahan jumlah penduduk usia kerja, yang merupakan faktor produksi. Bertambahnya penduduk tidak menjamin meningkatnya kesejahteraan penduduk karena ketersediaan lapangan kerja yang terbatas, sehingga muncul masalah kependudukan yang kompleks. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk dapat memberikan penjelasan lain tentang mengapa sebagian negara kaya dan sebagian lainnya miskin (Mankiw, 2007). Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah teritorial selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan menetap (BPS, 2008). Jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun 2008 mencapai 42,19 juta jiwa dengan rasio jenis kelamin mencapai 102. Ini berarti bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada jumlah penduduk perempuan. Kabupaten/kota dengan rasio jenis kelamin terbesar yaitu Kota Bekasi dan Kabupaten Cianjur. Sedangkan kabupaten/kota dengan rasio jenis kelamin terkecil yaitu Cirebon dan Kabupaten Ciamis (Tabel 4). Nilai rasio

8 52 jenis kelamin biasanya berhubungan dengan pola migrasi di daerah tersebut, pada umumnya kabupaten dengan rasio rendah adalah kabupaten pengirim migran. Tabel 4 Jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk dan sex ratio di Jawa Barat menurut kabupaten/kota tahun 2008 No Propinsi Jumlah Penduduk Persentase (000 jiwa) (%) Laju Pertumbuhan (%) Sex Ratio 1 Bogor , Sukabumi , Cianjur , Bandung , Garut , Tasikmalaya , Ciamis , Kuningan , Cirebon , Majalengka , Sumedang , Indramayu , Subang , Purwakarta , Karawang , Bekasi , Kota Bogor , Kota Sukabumi , Kota Bandung , Kota Cirebon , Kota Bekasi , Kota Depok , Kota Cimahi , Jawa Barat ,0 1, Sumber: BPS Jawa Barat, 2008 Distribusi penduduk Jawa Barat relatif merata di seluruh wilayah. Penduduk paling banyak berdomisili di Kabupaten Bogor mencapai 4,4 juta jiwa atau sebesar 10,4 persen dari total penduduk Jawa Barat. Selanjutnya Kabupaten Bandung mempunyai jumlah penduduk sebesar 3,1 juta jiwa (7,4 persen). Sementara jumlah penduduk yang paling sedikit berada di Kota Banjar yaitu sebanyak 0,18 juta jiwa. Penambahan jumlah penduduk tidak dapat dilepaskan dari angka pertumbuhannya. Pertumbuhan penduduk Propinsi Jawa Barat dalam kurun

9 53 waktu mencapai 1,81 persen dan kurun waktu mencapai 1,73 persen. Tahun 2008, kepadatan penduduk Jawa Barat mencapai 1.441orang per kilo meter persegi. Kota Bandung masih merupakan daerah terpadat, yaitu sebesar orang per kilometer persegi, sedangkan yang terendah Kabupaten Ciamis hanya sebesar 710 orang per kilometer persegi. Kepadatan penduduk, di Propinsi Jawa Barat pada tahun 2008 menempati posisi ke dua yaitu sebesar km 2 setelah DKI Jakarta yang berada di urutan pertama dengan kepadatan sebesar km 2. Jumlah penduduk merupakan salah satu dari faktor produksi, hal ini menyebabkan kegiatan perekonomian terkonsentrasi di wilayah yang menyediakan faktor produksi yang besar. Tidak mengherankan jika pusat-pusat industri besar yang bersifat padat karya di Jawa Barat berada di kabupatenkabupaten dengan konsentrasi penduduk yang tinggi. Gambaran ketimpangan penyebaran penduduk juga menunjukkan daya dukung lingkungan dan prasarana yang kurang seimbang di antara kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat Kondisi Perekonomian Jawa Barat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah tertentu. PDRB sering dianggap sebagai ukuran terbaik untuk kinerja perekonomian. Tujuan dari penghitungan PDRB adalah meringkas aktivitas ekonomi di suatu wilayah dalam suatu nilai uang tertentu selama periode waktu tertentu. Ada tiga pendekatan untuk menghitung statistik ini. Pertama, pendekatan produksi, yaitu dengan menghitung jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi. Kedua, pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi. Ketiga, pendekatan pengeluaran, dengan menghitung semua komponen permintaan akhir. Ukuran yang dihitung dari PDRB atas dasar harga konstan yang menunjukkan peningkatan volume output ekonomi dari tahun ke tahun setelah menghilangkan unsur inflasi (kenaikan harga secara terus-menerus) yaitu pertumbuhan ekonomi. Ukuran ini

10 54 masih digunakan sampai sekarang sebagai ukuran kinerja pembangunan. Tabel 5 Nilai dan laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 di Jawa Barat menurut kabupaten/kota tahun 2001, 2005 dan 2008 No. Kabupaten/Kota PDRB ADHK 2000 (Juta Rupiah) Rata-rata Pertumbuhan per tahun (%) 01. Bogor , Sukabumi , Cianjur , Bandung , Garut , Tasikmalaya , Ciamis , Kuningan , Cirebon , Majalengka , Sumedang , Indramayu , Subang , Purwakarta , Karawang , Bekasi , Bogor , Sukabumi , Bandung , Cirebon , Bekasi , Depok , Cimahi ,62 Jawa Barat ,92 Sumber: PDRB , BPS (diolah) Secara makro untuk tingkat Jawa Barat pertumbuhan ekonomi menunjukkan kecenderungan adanya kenaikan terus menerus. Hal tersebut dapat dilihat dari tahun 2001 sampai tahun 2008 yang terus mengalami peningkatan yaitu dari 3,16 persen tahun 2001 sampai dengan 5,83 persen di tahun 2008 (Tabel 5). Selama kurun waktu bahkan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mampu berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional, namun demikian memasuki tahun 2008 pertumbuhan ekonomi tersebut sedikit mengalami perlambatan hampir di semua sektor kegiatan ekonomi. Hal tersebut diakibatkan oleh meningkatnya inflasi dan BI rate sebagai pengaruh dari kebijakan pemerintah pusat untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kinerja perekonomian Jawa Barat selalu menunjukkan pertumbuhan yang terus positif.

11 55 Tingkat Pertumbuhan ( % ) Kab. Bogor 2. Kab. Sukabumi 3. Kab. Cianjur 4. Kab. Bandung 5. Kab. Garut 6. Kab. Tasikmalaya 7. Kab. Ciamis 8. Kab. Kuningan 9. Kab. Cirebon 10. Kab. Majalengka 11. Kab. Sumedang 13. Kab. Subang 14. Kab. Purwakarta 15. Kab. Karawang 16. Kab. Bekasi 17. Kab. Bandung Barat 18. Kota Bogor 19. Kota Sukabumi 20. Kota Bandung 21. Kota Cirebon 22. Kota Bekasi 23. Kota Depok 24. Kota Cimahi 25. Kota Tasikmalaya 26. Kota Banjar Gambar 6 Pertumbuhan ekonomi menurut kabupaten tahun Pada tahun 2008, PDRB Jawa Barat mencapai milyar rupiah secara keseluruhan atau senilai milyar rupiah tanpa minyak dan gas jika dihitung menurut harga konstan 2000, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,83 persen secara keseluruhan dan 5,81 persen jika tanpa migas. Penurunan pertumbuhan ekonomi dari minyak dan gas yang tidak besar menunjukkan bahwa peranan produksi minyak dan gas dalam kegiatan ekonomi di Jawa Barat telah menurun. Pada level kabupaten/kota daerah dengan pertumbuhan yang paling berfluktuasi adalah Kabupaten Karawang dan Kabupaten Indramayu. Nilai PDRB atas dasar harga konstan yang menyatakan jumlah output dari aktivitas ekonomi di Jawa Barat dalam jangka panjang secara umum meningkat secara signifikan. Perkembangan nilai PDRB tidak dapat dipisahkan dari potensi faktor-faktor produksi yang digunakan pada tahun yang bersangkutan. PDRB masing-masing kabupaten/kota dari tahun 2002 sampai dengan 2008 berfluktuasi sesuai dengan kondisi politik dan ekonomi yang memengaruhinya (Gambar 6). Secara umum pendapatan setiap penduduk suatu wilayah dicerminkan oleh pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita dapat didekati dengan PDRB per kapita yang dihitung dengan membagi nilai PDRB dengan jumlah penduduk pada

12 56 pertengahan tahun. PDRB perkapita dapat digunakan sebagai ukuran tingkat kesejehteraan penduduk. Angka ini menunjukkan ukuran secara agregat, namun sampai sekarang masih dianggap sebagai ukuran yang cukup relevan digunakan, khususnya untuk membandingkan tingkat kesejahteraan wilayah di Jawa Barat. Tabel 6 PDRB atas dasar harga berlaku di Jawa Barat menurut kabupaten/kota tahun 2001, 2005 dan 2008 No Kabupaten/Kota PDRB ADHB (Juta Rupiah) Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Sumber: PDRB , BPS Nilai output yang digunakan dalam penghitungan kesejahteraan penduduk adalah PDRB atas dasar harga berlaku (PDRB nominal). PDRB Jawa Barat atas dasar tahun berlaku 2008 secara keseluruhan adalah sebesar milyar rupiah, sedangkan jika dihitung tanpa minyak dan gas sebesar milyar rupiah. Tabel 6 menunjukkan bahwa output ekonomi terbesar di Jawa Barat dihasilkan di Kabupaten Bekasi senilai juta rupiah. Selanjutnya adalah Kota Bandung sebesar juta rupiah, Kabupaten Bogor sebesar juta rupiah dan Kabupaten Bandung sebesar juta rupiah.

13 57 Besaran pendapatan per kapita suatu daerah bergantung pada besaran PDRB dan jumlah penduduk. Besarnya pendapatan per kapita pada tahun 2008 di Jawa Barat adalah ribu rupiah. Kabupaten/Kota dengan PDRB per kapita tertinggi yaitu Kabupaten Bekasi, Kota Cirebon dan Kota Bandung. Kabupaten Bekasi memiliki PDRB per kapita yang tinggi karena di kabupaten tersebut banyak terdapat industri besar berskala nasional dengan nilai tambah yang besar. Sedangkan Kota Cirebon dan Kota Bandung merupakan kota dengan jumlah industri kecil yang terbesar di Jawa Barat. Kabupaten/Kota yang mempunyai PDRB per kapita terendah yaitu Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Garut. PDRB atas dasar harga berlaku menurut sektor menunjukkan peranan sektor ekonomi dalam suatu daerah. Sektor-sektor yang mempunyai peranan besar menunjukkan basis perekonomian di daerah tersebut. PDRB atas dasar harga berlaku menurut sektor juga dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur perekonomian. Pada tingkat regional propinsi, sektor industri manufaktur mempunyai kontribusi yang paling tinggi dibandingkan dengan sektor yang lainnya (Gambar 7). Pada tahun 2000, sektor industri menyumbang 42,35 persen terhadap total PDB, sedangkan sektor pertanian hanya 15,956 persen. Kontribusi sektor industri terus menunjukkan peningkatan hingga tahun Kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik pada tahun 2003 membuat sektor industri terpuruk dan mengalami penurunan yang paling tajam dibandingkan dengan sektor lainnya. Peran sektor industri pun mengalami penurunan pada tahun Setelah tahun 2005 hingga 2007 kontribusi sektor industri mulai mengalami peningkatan lagi. Namun demikian mulai tahun 2008 kontribusi sektor industri mulai mengalami penurunan sedikit demi sedikit, walaupun kontribusinya masih paling besar dibandingkan sektor lainnya. Penurunan ini mengindikasikan adanya deindustrialisasi di Jawa Barat. Deindustrialisasi dapat diartikan sebagai menurunnya peran industri dalam perekonomian secara menyeluruh. Menurunnya peranan industri dalam perekonomian bisa dilihat dari berbagai sisi, misalnya turunnya pekerja di sektor industri, turunnya produk industri, serta turunnya sektor industri dibandingkan sektor lain. Deindustrialisasi bagi suatu negara lebih merupakan masalah daripada sesuatu yang diharapkan (Kuncoro, 2007).

14 58 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% pertanian 3. industri pengolahan 5. bangunan 7. pengangkutan & komunikasi 9. jasa-jasa 2. pertambangan & penggalian 4. listrik, gas & air bersih 6. perdag., hotel & restoran 8. keu. persewaan, & jasa perusahaan Sumber: PDRB , BPS Gambar 7 Kontribusi sektor terhadap PDRB Jawa Barat tahun Kabupaten/kota di Jawa Barat mempunyai pola komponen penyususn PDRB yang berbeda-beda banyak disebabkan karena perbedaan faktor endowment yaitu sumber dayaa dan infrastruktur yang sangat dipengaruhi oleh faktor geografis. Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa pada tahun 2008 kontribusi dari setiap sektor terhadap PDRB untuk masing-masing kabupaten/kota bervariasi. Sektor industri pengolahan ternyata mendominasi perekonomian hampir setiap kabupaten/kota di Jawa Barat. Kabupaten/kota dengan peranan sektor industri paling dominan dibandingkan sektor lainnya adalah Kabupaten Bekasi Cimahi (59,78%), dan Kabupaten Karawang (54%). Hal ini memberikan gambaran bahwa di daerah (Gambar 7). Hal ini berarti sebagian besar kabupaten/kota mempunyai spesialisasi yang berbeda-beda. Perbedaan ini lebih (78,63%), Kabupaten Bogor (61,76%), Kabupaten Bandung (60,80%), Kota daerah tersebut terdapat kawasan kawasan industri yang mampu mendorong roda perekonomian di wiayah tersebut, sehingga secara total sektor industri mempunyai peranan yang paling besar. Setelah sektor industri manufaktur, sektor yang besar peranannya dalam perekonomian Jawa Barat adalah perdagangan. Pada tahun 2007 sektor ini

15 59 menyumbang 19,13 persen, sedangkan tahun 2008 sedikit menurun menjadi 19,11 persen. Perolehan tingginya kontribusi sektor perdagangan dikumpulkan oleh seluruh daerah perkotaan di Jawa Barat. Tabel 7 menunjukkan bahwa Kota Banjar adalah satu-satunya daerah perkotaan yang sektor pertaniaannya masih cukup besar, hal ini dimungkinkan karena Kota Banjar adalah daerah relatif baru yang merupakan pecahan dari Kabupaten Ciamis. Kabupaten ini mempunyai share pertanian cukup besar dalam perekonomian Jawa Barat. Kontriusi per sektor untuk masing-masing kabupaten/kota selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 7. Tabel 7 Kontribusi sektor terhadap PDRB menurut kabupaten/kota tahun 2008 No Kabupaten/ Kota Sektor (%) Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Total Keterangan: (1) Pertanian, (2) Pertambangan & Penggalian, (3) Industri Pengolahan, (4) Perdagangan, Hotel & Restoran, (5) Lainnya Sumber: PDRB 2008, BPS (diolah)

16 Dinamika Pembangunan Infrastruktur Infrastruktur Jalan Infrastruktur jalan sangat penting dalam perekonomian karena angkutan darat sampai saat ini masih menjadi sistem transportasi yang utama. Pelayanan dan kapasitas jalan berkaitan dengan terselenggaranya mobilitas penduduk maupun barang dan jasa, menunjang aktivitas ekonomi dalam pembangunan dan menjadi penghubung antar wilayah yang menjadi pusat produksi dengan daerah pemasarannya. Ketersediaan jalan yang efektif memungkinkan penularan pertumbuhan ekonomi ke daerah lainnya. Penularan disini memiliki arti bahwa prasarana jalan turut berperan dalam merangsang tumbuhnya wilayah-wilayahh baru yang akhirnya akan menimbulkan trip generation baru yang akan meningkatkan volume lalu lintas yang terjadi. Keunggulan bagi suatu negara untuk bersaing secara kompetitif dalam memasarkan produknya harus didukung dengan sistem jalan yang baik. Disisi lain, sistem jalan yang berkualitas juga dapat meningkatkan pengembangan industri, mendistribusikan populasi dan meningkatkan pendapatan. Sebaliknya, prasarana jalan yang minim dan buruk menjadi hambatan dalam mengembangkan perekonomian. Sistem jalan yang tidak memadai dapat menghambat aktivitas ekonomi. 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 90.0% 6.9% 2.0% 0.8% 36.5% 27.0% 23.8% 12.7% Aspal Kerikil Tanah Lainnya Baik Sedang Rusak R. Berat Jenis Permukaan Kualitas Jalan Gambar 8 Persentase Panjang jalan menurut jenis permukaannya dan kualitas jalan di Jawa Barat tahun 2008

17 61 Panjang jalan di Jawa Barat pada akhir tahun 2008 adalah km. Jalan tersebut termasuk dalam semua kategori (aspal, kerikil, tanah dan lainnya) ataupun segala kondisi (baik, sedang, rusak dan rusak berat). Jika dirinci menurut jenis permukaan jalan maka sepanjang ,44 km atau sebesar 90,0 persen sudah beraspal, 1.542,32 km atau 6,9 persen berkerikil, sisanya sepanjang 622,26 km atau sebesar 2,8 persen masih batu dan tidak dirinci (Gambar 8). Panjang jalan beraspal merupakan yang terpanjang dibandingkan jenis permukaan yang lain. Dari seluruh jalan yang ada di Jawa Barat, hanya 8.221,04 km (35,53 persen) dalam kondisi baik, sepanjang 6.754,94 km (29,19 persen) dalam kondisi sedang sedangkan sisanya sepanjang 8.162,72 km (35,28 persen) dalam kondisi rusak dan rusak berat (Tabel 8). Dibandingkan tahun yang sebelumnya, kualitas jalan raya sedikit mengalami peningkatan. Prasarana jalan tebanyak untuk wilayah Jawa Barat berada di Kabupaten Karawang, yang mencapai 2,64 ribu km, disusul oleh Kabupaten Bogor (1,75 ribu km) dan Kabupaten Sukabumi (1,73 ribu km). Sedangkan kabupaten/kota dengan panjang jalan paling rendah yaitu Kota Cimahi yaitu 119 kilometer dan Kota Sukabumi dengan panjang hanya 143 kilometer. Apabila dilihat menurut kualitasnya, jalan di Jawa Barat masih kurang memadai karena masih banyak jalan yang rusak ringan dan rusak berat seperti ditunjukkan pada Tabel 8. Panjang jalan yang mengalami kerusakan pada tahun 2008 yaitu sebesar 36,49 persen. Kabupaten/kota yang memiliki persentase jalan yang rusak tertinggi yaitu Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur, masing-masing sebesar 56,9 dan 53,7 persen. Hal ini perlu mendapat perhatian karena jalan yang rusak dan tidak berkualitas akan meningkatkan biaya sosial dalam kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Berdasarkan aksesibilitas terhadap jalan yang ditunjukkan dengan nilai rasio panjang jalan per luas wilayah, maka semua daerah perkotaan mempunyai rasio lebih dari satu, sedangkan untuk kabupaten maka satu satunya kabupaten yang mempunyai rasio aksesibilitas lebih dari satu adalah Kabupaten Karawang. Aksesibilitas tertinggi yaitu di Kota Bandung Sebesar 7,06 sedangkan aksesibilitas terendah ada di Kabupaten Ciamis sebesar 0,34. Hal

18 62 tersebut disebabkan oleh kondisi geografis Kabupaten Ciamis yang topografinya tidak merata. Tabel 8 Panjang jalan dan persentasenya menurut kondisi dan kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2008 No Kabupaten/Kota Baik dan Sedang Panjang (Km) Persentase (%) Rusak dan Rusak Berat Panjang (Km) Persentase (%) Jumlah (Km) 01 Bogor , , Sukabumi , , Cianjur , , Bandung , , Garut , , Tasikmalaya 1, , Ciamis Kuningan , , Cirebon , , Majalengka , , Sumedang , , Indramayu , , Subang , , Purwakarta , , Karawang , , Kab Bekasi , , Kota Bogor , , Kota Sukabumi , , Kota Bandung , , Kota Cirebon ,32 1 0, Kota Bekasi , Kota Depok , , Kota Cimahi , , Jawa Barat , , Sumber: BPS, 2008 (diolah) Selain tingkat aksesibilitas, kinerja jalan juga dapat diukur dengan tingkat mobilitas, tingkat mobilitas merupakan ukuran kemudahan dalam berpindah yang berhubungan erat dengan kemacetan (degree of saturation). Tingkat mobilitas diukur dengan kondisi kepadatan jalan yaitu rasio jumlah kendaraan bermotor dibagi dengan panjang jalan. Semakin tinggi nilai ini menggambarkan semakin padat kendaraan dan semakin menuju kemacetan. Kondisi macet terjadi jika nilai rasionya sebesar satu kendaraan per meter atau 1000 kendaraan per kilometer. Berdasarkan hasil penghitungan rasio jumlah

19 63 kendaraan per meter jalan pada tahun 2008, Propinsi Jawa Barat memiliki nilai rasio dibawah satu. Walaupun suatuu wilayah memiliki panjang jalan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya tetapi karena jumlah kendaraan bermotor yang terlalu banyak maka akan menghasilkan tingkat mobilitas yang rendah (nilai rasio tinggi). Hal ini disebabkan penambahan panjang jalan lebih rendah dibandingkan dengan penambahan kendaraan bermotor. Hal ini perlu mendapat perhatian yang serius karena adanya keterbatasan daya dukung suatu wilayah sehingga jika tingkat mobilitas terlalu rendah maka akan menimbulkan kemacetan dan dapat mengganggu kegiatan investasi sehingga padaa akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi Infrastruktur Listrik Listrik merupakan salah satu energi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi maupun konsumsi. Ketersediaan pasokan listrik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya kegiatan ekonomi karena hampir semua aktivitas masyarakat bergantung pada tenaga listrik. Sebagian besar kebutuhan listrik di Jawa Barat dipenuhi oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) walaupun masih belum menjangkau seluruh wilayah. Jawa Barat merupakan salah satu pengguna energi listrik terbesar di Indonesia selain DKI Jakarta. Hal ini disebabkan oleh banyaknya jumlah industri dan rumah tangga di daerah tersebut jika dibandingkan dengan jumlah industri/ rumah tangga di daerah lain Pelanggan Energi Terjual Rumah Tangga Sosial Bisnis Industri Publik Pemerintah Gambar 9 Persentase pelanggan dan energi jual menurut kelompok pelanggan di Jawa Barat tahun 2008

20 64 Total jumlah pelanggan PT PLN di Jawa Barat pada tahun 2008 sebesar 7,4 juta pelanggan. Persentase kelompok pelanggan terbesar yaitu rumah tangga (94 persen), sedangkan kelompok bisnis dan industri hanya sekitar 2,9 persen dan 0,1 persen. Jumlah pelanggan dan konsumsi listrik dari terus meningkat, baik dari kelompok pelanggan rumah tangga, bisnis, industri, maupun lainnya. Hal tersebut harus disertai dengan peningkatan jumlah pasokan listrik ke konsumen untuk menghindari krisis pasokan listrik. Pertumbuhan sektor listrik cukup tinggi yaitu rata rata 6,3%, hal yang menarik yaitu bahwa penjualan listrik terutama di sektor industri menunjukkan pertumbuhan yang paling kecil dibandingkan dengan pertumbuhan penjualan listrik di sektor lain. Jumlah agregat pelanggan kelompok rumah tangga mendominasi, tetapi dari sisi penggunaan energi jual untuk kelompok rumah tangga lebih kecil daripada kelompok industri. Kelompok pelanggan industri dengan jumlah yang hanya 0,1 persen dari total pelanggan mengkonsumsi energi listrik sebesar 52,8 persen dari total energi jual (Gambar 9). Dengan kondisi pertumbuhan penjualan listrik ke sektor industri yang paling lambat tidak menutup kemungkinan jika beberapa tahun ke depan nilai dominan konsumsi listrik industri akan tergeser oeh sektor lain. Tabel 9 Energi listrik PLN yang terjual di Jawa Barat menurut lokasi tahun 2005 dan 2008 Lokasi Energi yang Terjual (GWh Cirebon Tasikmalaya G a r u t Cianjur Sukabumi B o g o r Purwakarta C i m a h i Bandung Majalaya B e k a s i D e p o k Karawang Sumedang Jawa Barat Sumber : BPS

21 65 Berdasarkan Tabel 9 pengguna energi listrik terbesar yaitu daerah sekitar Bekasi, Bogor dan Bandung. Hal ini disebabkan penggunaan energi listrik paling banyak dimanfaatkan untuk industri dan rumah tangga yang berada di daerah tersebut. Ketiga daerah tersebut merupakan daerah dengan konsentrasi industri yang tinggi yang tentu saja akan diikuti dengan aktifitas sektor ekonomi yang lain. Rumah tangga sebagai penyedia tenaga kerja pada industri-industri tersebut jumlahnyapun tentu juga besar, akibatnya tingkat konsumsi energi listrikpun semakin besar Aglomerasi Industri Manufaktur Struktur perekonomian suatu negara dapat digunakan sebagai salah satu indikator dalam menilai kinerja pembangunan ekonominya. Struktur perekonomian yang relatif maju ditandai oleh semakin dominannya peran sektor modern dalam perekonomian negara tersebut. Sektor ini berangsur-angsur menggantikan peran sektor tradisional (pertanian) dalam penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan daerah. Teori perubahan struktural menyatakan bahwa mekanisme yang memungkinkan negara-negara yang masih terbelakang untuk mentransformasikan struktur perekonomian dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi perkotaan, serta memiliki sektor industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa yang tangguh (Todaro dan Smith, 2006). Peran sektor industri manufaktur terhadap perekonomian di Jawa Barat jauh lebih menonjol dibandingkan peran sektor pertanian dan posisi tersebut relatif konstan dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari besarnya sumbangan sektor industri manufaktur terhadap PDB Jawa Barat dari 42,25 persen pada tahun 2000 menjadi 43,43 persen pada tahun 2008 (Gambar 10). Sektor industri manufaktur bukan sektor penyerap terbesar tenaga kerja di Jawa Barat. Peran sektor industri manufaktur dalam menyerap tenaga kerja nasional memang masih relatif rendah yaitu hanya 7,6 persen pada tahun Distribusi penyerapan tenaga kerja masih terkonsentrasi pada sektor pertanian (41,4 persen) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (25,5 persen), pangsa tenaga kerja industri manufaktur besar sedang hanya 13,8 persen dari tenaga kerja industri manufaktur.

22 Pertanian 2. Perdagangan, Hotel dan Restoran 3. Industri Pengolahan Gambar 10. Kontribusi sektor pertanian, pertambangan dan perdagangan hotel dan restoran, dan industri manufaktur terhadap PDB Jawa Barat tahun Jumlah perusahaan industri manufaktur besar sedang dari tahun 2001 hingga tahun 2005 cenderung stagnan, dan bahkan cenderung berada dalam tren yang menurun, hal ini dapat dipahami karena pada tahun tersebut industri di Indonesia masih merasakan dampak krisis 1997 dan baru mulai untuk recovery. Kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik pada tahun 2004 membuat sektor industri terpuruk dan mengalami penurunan yang paling tajam dibandingkan dengan sektor lainnya. Peran sektor industri dan jumlah perusahaan industri manufakturpun mengalami penurunan pada tahun Peningkatan peran sektor industri dan jumlah perusahaan kembali terjadi pada tahun 2006 yang mencapai jumlah tertinggi selama satu dekade, dan selanjutnya mengalami tren menurun sampai tahun 2008 (Gambar 11). 1,300,000 1,250,000 1,200,000 1,150,000 1,100,000 1,050,000 1,000, ,000 yang tenaga kerja Gambar 11 Jumlah perusahaan Industri Besar Sedang (IBS) tahun

23 67 Tenaga kerja industri manufaktur mengalami tren yang sama yaitu cenderung menurun. Penurunan ini mengindikasikan adanya deindustrialisasi di Jawa Barat. Deindustrialisasi dapat diartikan sebagai menurunnya peran industri dalam perekonomian secara menyeluruh. Menurunnya peranan industri dalam perekonomian bisa dilihat dari berbagai sisi, misalnya turunnya pekerja di sektor industri, turunnya produk industri, serta turunnya sektor industri dibandingkan sektor lain jml perusahaan Gambar 12 Jumlah tenaga kerja Industri Besar Sedang tahun Apabila dilihat menurut wilayah, jumlah tenaga kerja sektor industri manufaktur besar sedang terkonsentrasi di Kabupaten Bekasi yaitu 18,6 persen dari total seluruh tenaga kerja di Jawa Barat pada tahun Berdasarkan Tabel 10 dan Gambar 12, kabupaten/kota dengan jumlah tenaga kerja terbanyak pada tahun yang sama yaitu Kabupaten Bandung (169 ribu) dan Kabupaten Bogor (154 ribu). Sedangkan kabupaten yang menyumbang jumlah tenaga kerja industri manufaktur terendah yaitu Kuningan (2,5 ribu) dan Kota Sukabumi (3,67 ribu). Secara rata-rata pertumbuhan per tahun tenaga kerja industri besar sedang dari tahun 2001 sampai 2008 yaitu sebesar -0,01 persen. Jawa Barat mengalami penurunan jumlah tenaga kerja, yang diindikasikan dengan rata-rata pertumbuhan yang negatif. Rata rata pertumbuhan negatif disumbang oleh daerah dua daerah konsentrasi industri yaitu Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bogor, hal tersebut mengindikasikan mulai terjadinya deindustrialisasi di Jawa Barat. Rata-rata pertumbuhan positif tertinggi berada di Kabupaten Cirebon. Pertumbuhan yang

24 68 tinggi di kabupaten tersebut tersebut tidak diimbangi dengan meningkatnya kontribusi sumbangannya terhadap jumlah tenaga kerja secara total, hal ini dikarenakan kabupaten tersebut relatif mempunyai jumlah tenaga kerja yang rendah. Tabel 10 Jumlah tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) menurut kabupaten/kota tahun 2001, 2005 dan 2008 No Kab/Kota Jumlah Tenaga Kerja Rata-rata Pertumbuhan per Tahun (%) 01 Kab. Bogor ,01 02 Kab. Sukabumi ,14 03 Kab. Cianjur ,05 04 Kab. Bandung ,07 05 Kab. Garut ,10 06 Kab. Tasikmalaya ,13 07 Kab. Ciamis ,07 08 Kab. Kuningan ,13 09 Kab. Cirebon ,17 10 Kab. Majalengka ,04 11 Kab. Sumedang ,03 12 Kab. Indramayu ,13 13 Kab. Subang ,11 14 Kab. Purwakarta ,01 15 Kab. Karawang ,02 16 Kab. Bekasi ,03 17 Bogor ,00 18 Sukabumi ,11 19 Bandung ,02 20 Cirebon ,03 21 Bekasi ,04 22 Depok ,07 23 Cimahi ,02 Jawa Barat ,01 Sumber: BPS, (diolah) Aktifitas industri manufaktur moderen di Jawa Barat jika dilihat menurut wilayah pengembangan maka terkonsentrasi di wilayah Koordinasi Pembangunan II dan IV. Bahkan bila kita telah mengelompokkan 23 kabupaten/kota di Jawa Barat ke dalam empat wilayah koordinasi pembangunan, maka wilayah tersebut menyerap lebih dari 70 persen tenaga kerja Jawa Barat selama periode (Tabel 11). Pangsa tenaga kerja dari WKPP IV cenderung agak menurun,

25 69 sedangkan pangsa WKPP II cenderung naik secara substabsial. Pangsa WKPP IV (Bandung dan sekitarnya) turun dari 44 persen pada tahun 2001 menjadi 33 persen pada tahun Pangsa WKPP II (Bekasi dan sekitarnya) tumbuh dari 30 menjadi 36 persen dalam periode yang sama. Persentase tenaga kerja manufaktur yang paling sedikit adalah WKPP III (Cirebon dan sekitarnya) hanya sekitar empat persen pada tahun 2001 dan tujuh persen pada tahun Tabel 11 Persentase tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) menurut Wilayah Pengembangan di Jawa Barat tahun Wilayah Pengembangan Tahun WKPP I 22,0 23,4 22,6 23,7 23,6 24,2 24,6 23,3 WKPP II 29,8 34,9 35,7 35,9 36,3 34,3 34,1 36,5 WKPP III 4,1 4,6 4,8 4,8 5,0 5,7 5,9 6,4 WKPP IV 44,1 37,0 36,9 35,6 35,0 35,8 35,4 33,8 Jawa Barat 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: BPS (diolah) Dari hasil identifikasi terdapat tiga lokasi aglomerasi industri manufaktur. Lokasi yang pertama yaitu di Kabupaten Bekasi, lokasi kedua yaitu di Bogor, dan lokasi ketiga berada di Kabupaten Bandung. Jumlah tenaga kerja sektor industri manufaktur besar sedang terkonsentrasi di Kabupaten Bekasi yaitu 18,6 persen dari total seluruh tenaga kerja di Jawa Barat pada tahun 2008 dengan nilai tambah mencapai 48,87 persen. Berdasarkan Tabel 10, Kabupaten/kota dengan jumlah tenaga kerja terbanyak pada tahun yang sama yaitu Kabupaten Bandung (169 ribu) dengan nilai tambah mencapai 20,1 persen dan Kabupaten Bogor (154 ribu) dengan nilai tambah mencapai 20,1 persen dari nilai tambah industri manufaktur Jawa Barat. Sementara itu apabila menyimak lebih mendalam kawasan industri di Jawa Barat merupakan bagian dari Greater Jakarta dan Bandung, maka akan terlihat fenomena yang cukup menarik untuk diamati lebih lanjut. Di wilayah Jawa Barat terdapat kecenderungan perkembangan aktifitas industri manufaktur di kota-kota inti dalam hal ini Kabupaten Bogor (sebagai core dari greater Jakarta) dan

26 70 Bandung terlihat menurun. Sementara itu di kota-kota pinggiran (fringe region) seperti Bekasi, Karawang, Purwakarta aktifitas industri manufaktur justru semakin meningkat. Fakta ini dapat dilihat dari sudut pangsa tenaga kerja, nilai tambah maupun jumlah perusahaan yang beroperasi di wilayah ini.

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang 56 BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN A. Letak Wilayah dan Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 Lintang selatan dan 104 48-108 48 Bujur Timur, dengan luas

Lebih terperinci

No Kawasan Andalan Sektor Unggulan

No Kawasan Andalan Sektor Unggulan LAMPIRAN I PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 22 TAHUN 2010 TANGGAL : 30 NOVEMBER 2010 TENTANG : RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT ARAHAN PEMBAGIAN WILAYAH PENGEMBANGAN I. KAWASAN

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi 4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur Jawa Barat Akhir Tahun Anggaran 2011 disusun berdasarkan ketentuan sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota eranan ekonomi wilayah kabupaten/kota terhadap perekonomian Jawa Barat setiap tahunnya dapat tergambarkan dari salah

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota oda perekonomian yang bergulir di Jawa Barat, selama tahun 2007 merupakan tolak ukur keberhasilan pembangunan Jabar.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga termasuk pula percepatan/akselerasi

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk melakukan kegiatan ekonomi di dalamnya. Kota Bandung juga memiliki jumlah penduduk yang banyak,

Lebih terperinci

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 15/02/32/Th.XVII, 16 Februari 2014 TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014 Pendataan Potensi Desa (Podes) dilaksanakan 3 kali dalam 10 tahun. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis dan Administrasi Kabupaten Majalengka GAMBAR 4.1. Peta Kabupaten Majalengka Kota angin dikenal sebagai julukan dari Kabupaten Majalengka, secara geografis terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Kebijaksanaan pembangunan dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Provinsi Jawa Barat Kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat berjumlah 26 kabupaten/kota yang terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota dengan 625 kecamatan dan 5.877 desa/kelurahan. Jawa

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Otonomi daerah

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI 4.1 Keadaan Umum Provinsi Jambi secara resmi dibentuk pada tahun 1958 berdasarkan Undang-Undang No. 61 tahun 1958. Secara geografis Provinsi Jambi terletak antara 0º 45

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan 41 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia dan merupakan salah satu Provinsi di Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi

Lebih terperinci

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017 DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017 I. REALISASI INVESTASI PMA & PMDN 1. Total Realisasi Investasi PMA dan PMDN berdasarkan Laporan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Geografis Daerah Kota Bengkulu merupakan ibukota dari Provinsi Bengkulu dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 5.1. Kondisi Geografis V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 Lintang Selatan dan 104 o 48-108 o 48 Bujur Timur, dengan batas wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT 5.1 Analisis Model Regresi Data Panel Persamaan regresi data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung pada permasalahan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya pendapatan nasional di era globalisasi seperti saat ini

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya pendapatan nasional di era globalisasi seperti saat ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Meningkatnya pendapatan nasional di era globalisasi seperti saat ini adalah hasil dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin pesat. Hal ini dapat

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua Provinsi Papua terletak antara 2 25-9 Lintang Selatan dan 130-141 Bujur Timur. Provinsi Papua yang memiliki luas

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI...... i 1. GEOGRAFI Tabel : 1.01 Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat Dan Kabupaten/Kota... 1 Tabel : 1.02 Jumlah Kecamatan Dan Desa Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011... 2 2. KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan pembangunan di pusat. Hal tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa merupakan unit terkecil dalam sistem pemerintahan di Indonesia namun demikian peran, fungsi dan kontribusinya menempati posisi paling vital dari segi sosial dan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

Pendapatan Regional / Product Domestic Regional Bruto

Pendapatan Regional / Product Domestic Regional Bruto Kabupaten Penajam Paser Utara Dalam Angka 2011 258 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam bab ini disajikan data dalam bentuk tabel dan grafik dengan tujuan untuk mempermudah evaluasi terhadap data

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari pulau-pulau yang memiliki penduduk yang beraneka ragam, dengan latar

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah tidak lepas dari pembangunan. yang dimiliki oleh daerahnya. Pembangunan nasional dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah tidak lepas dari pembangunan. yang dimiliki oleh daerahnya. Pembangunan nasional dilakukan untuk A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi daerah tidak lepas dari pembangunan nasional, karena pembangunan nasional di Indonesia dilakukan agar mampu menciptakan pemerataan pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Wilayah Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Wilayah Joglosemar terdiri dari kota Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Semarang. Secara geografis ketiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penelitian Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang melibatkan pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan

Lebih terperinci

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5 IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN.1. Kondisi Geografi dan Topografi Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis dan Kondisi Alam 1. Letak dan Batas Wilayah Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang ada di pulau Jawa, letaknya diapit oleh dua provinsi besar

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kelemahan strategi pembangunan ekonomi di masa lalu dan krisis ekonomi yang berkepanjangan, telah menimbulkan berbagai persoalan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah.

BAB I PENDAHULUAN. dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah. Sektor pertanian sampai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN LITERATUR

BAB 2 TINJAUAN LITERATUR 9 BAB 2 TINJAUAN LITERATUR 2.1 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi menurut Profesor Simon Kuznets adalah kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya produksi total suatu daerah. Selain itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta meningkatnya kesejahteraan

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH Penetapan indikator kinerja daerah bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai ukuran keberhasilan pencapaian visi dan misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN TULUNGAGUNG

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN TULUNGAGUNG IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN TULUNGAGUNG 4.1. Indikator Kependudukan Kependudukan merupakan suatu permasalahan yang harus diperhatikan dalam proses pembangunan yang mencakup antara lain mengenai distribusi,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

PROFIL PEMBANGUNAN JAWA BARAT

PROFIL PEMBANGUNAN JAWA BARAT 1 PROFIL PEMBANGUNAN JAWA BARAT A. GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI WILAYAH Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 Lintang Selatan dan 104 o 48-108o48 Bujur Timur, dengan batas

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi, infrastrukur dan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian yang diperlukan bagi terciptanya pertumbuhan yang terus menerus. Pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perekonomian Indonesia tahun 2004 yang diciptakan UKM berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Jawa Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia. Provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah daratan 3.710.061,32 hektar, dan Jawa Barat menduduki

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH A. Kondisi Geografi dan Iklim Kota Madiun Gambar 4.1. Peta Wilayah Kota Madiun Kota Madiun berada di antara 7 o -8 o Lintang Selatan dan 111 o -112 o Bujur Timur. Kota Madiun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 No. 64/11/32/Th. XIX, 6 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Agustus 2017 : Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta 1. Kondisi Fisik Daerah Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara 7.33-8.12 Lintang Selatan dan antara 110.00-110.50 Bujur

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 11/02/34/Th.XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN SEBESAR 5,40 PERSEN Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang terjadi pada awal tahun 1996 dan puncaknya pada tahun 1997 mendorong pemerintah pusat mendelegasikan sebagian wewenang dalam hal pengelolaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan permasalahan pembangunan

Lebih terperinci

5 DISPARITAS REGIONAL DAN KONSENTRASI INDUSTRI MANUFAKTUR DI JAWA BARAT

5 DISPARITAS REGIONAL DAN KONSENTRASI INDUSTRI MANUFAKTUR DI JAWA BARAT 5 DISPARITAS REGIONAL DAN KONSENTRASI INDUSTRI MANUFAKTUR DI JAWA BARAT Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan sesuatu yang wajar pada awal proses pembangunan baru dimulai terutama di negara berkembang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pembangunan diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Pembangunan yang dilaksanakan melalui serangkaian program dan kebijakan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. transformasi struktur ekonomi di banyak Negara. Sebagai obat, industrialisasi. ketimpangan dan pengangguran (Kuncoro, 2007).

BAB 1 PENDAHULUAN. transformasi struktur ekonomi di banyak Negara. Sebagai obat, industrialisasi. ketimpangan dan pengangguran (Kuncoro, 2007). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sektor Industri merupakan sektor yang menjadi mesin pertumbuhan bagi sebuah perekonomian. Industiralisasi dianggap sebagai strategi sekaligus obat bagi banyak Negara.

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN 61 BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN A. Letak Geografis Kabupaten Tasikmalaya meliputi area seluas 2,563.35 km persegi. Kabupaten Tasikmalaya ini berbatasan dengan Kabupaten Garut dari sebelah timur,

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten Subang

Lebih terperinci