TINJAUAN PUSTAKA. Sel gamet mempakan sel-sel hapioid yang pembentukannya berlangsung melalui

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. Sel gamet mempakan sel-sel hapioid yang pembentukannya berlangsung melalui"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan garnet, fertilisasi dan cleavage. Pertumbuhan sel gamet. Sel gamet mempakan sel-sel hapioid yang pembentukannya berlangsung melalui proses pembelahan mitosis maupun meiosis (Gilbezt, 1988). Terbentuknya sel ketamin betina berasal dari sel germinal primordial yang berpindah menuju gonad clan -menjadi oogonia, oogonia ini masih merupakan sel diploid Melalui beberapa proses pembelahan mitosis akhirnya oosit berkembang menjadi oosit primer, pada saat profase oosit primer mulai mengalami pemhlahan meiosis. Pada saat meiosis pertarna terbentuk benda kutub pertama, setelah proses meiosis kedua, terbentuklah ootid dan benda kutub kedua, ootid merupakan sel gamet haploid. Oosit sekunder ini merupakan oosit yang dikeluarkan pada saat ovulasi (Becker, 1990; Homa dm Brown, 1992). Proses terlepasnya oosit sekunder dari ovariurn diawali kejadian pembesaran folikei, akhimya pecah di bagian permukaan ovarium, setelah itu oosit sekunder memasuki ovidak clan tuba falopii. Semua proses pematangan oosit dan ovulasi ini berlangsung di bawah kontrol hormonal (Wassarman, 1988). Kejadian tahaptahap pembelahan ini tidak selalu berurutan dengan kejadian ovulasi. Biasanya pada saat diestrus bersamaan dengan waktu istirahat pembelahan sel gamet yaitu fase profase I. Daiam waktu yang cepat sebelum tejadinya ovulasi, oosit berpeluang mengalami fase meiosis tahap kedua, pa& saat itu benda kutub kedua terbentuk (Kanagawa dkk..1989). Menurut Becker { 1990) sebuah oogonium primer akan menjadi sebuah msit, sedangkan sebuah spermatosit primer akan berkernbang menjadi empat buah spermatozoa. Spermatogonia mengalami pembelahan mitosis di tubuli seminiferi testis, spermatogonia tersebut berasosiasi dengan basal lamina dari garis epitel tubuli. Spennatogoniurn bersifat 10

2 rnudah terpolarisasi, sebagai akibat sifat tersebut spermatogonium mudah terlepas dari basal lamina. Meskipun sperrnatogoniwn telah terlepas dan basal lamina akan menjadi spermatosit primer, tetapi seialu terdapat sel asal yang masih tersisa menempel pa& basal lamina. Sel asztl ini siap mengalami pembelahm untuk menjadi spermatogoniwn lag, sedangkan spermatosit primer masuk kedalam tubuli. Disini spermatosit primer akan mengalami pembelahan meiosis tahap pertarna untuk menjadi dua buah spermatosit sekunder. Pada pembelahan meiosis tahap kedua masing-masing spermatosit sekunder tersebut akan membelah menjadi dua buah sel sperma yang haploid yaitu spermatozoa (lihat gambar 1) (Becker, 1990; Eddy,1988). sel germinal primordial spermatozoa TESTIS Gambar 1. Diagram proses spermatogenesis (modifikasi dari Becker, 1990)

3 Spermatozoa setelah mengalami pematangan, akan terlepas menuju lumen tubuli serniniferi pa& saat sudah matang (Ashdown dan Hanock, 1987; Eddy, 1988). Kedua tahap meiosis tersebut berlangsung secara seimbang dan terus menerus dimana pada akhirnya sebuah sel spermatogonium yang diploid akan menghasilkan empat buah sel spermatozoa. Secara kuantitatif pada proses spermatogenesis akan menghasilkan banyak sel gamet dibandingkan oogenesis ( Hafe~ 1987; Gamer dan Hafez. 1987). Oosit. Fertilisasi dimuiai pads saat benda kutub pertama terekshaksi, saat itu pula spermatozoa mulai melakukan penetrasi terhadap oosit yang sedang mengalami pembelahan meiosis tahap kedua. Kejadian ini tejadi di bagian arnpula ovidak (Yanagimachi, 1988). Pada saat memasuki ampula, sel-sel oosit terbungkus dalarn bungkusan mukosa protein yang di sebut zona pelusida dan rnasih ditempeli sel-sel granulosa berasal dari sel-sel foliket ovmi yang tertinggal, pada tahap ini sel-sel granulosa sering disebut sei kumulus. Selanjutnya oosit yang tidak terpenetrasi dengan spermatozoa akan mengalami degenerasi (Kanagawa dlrk., 1989). Spermatozoa. Menurut Kanagawa dkk. (1989) meskipun jumlah total spermatozoa pada saat ejakulasi sampai ratusan juta. tetapi yany mampu sampai ke ampula tidak banyak. Ada beberapa spermatozoa yang sampai kt: tempat fertilisasi sangat cepat kira-kira 15 menit setelah perkawinan. Setelah itu spermatozoa mengalami pembahan yang sering disebut kapasitasi. Setelah spermatozoa mengalami kapasitasi penuh, oosit sarnpai di ampula. Masa subur oosit ini sangat pendek pa& sapi 8-12 jam, sedangkan masa subur spermatozoa sapi berkisar 3048 jam.

4 Keberhasilan fertilisasi banyak tergantung terhadap banyaknya spermatowa di daerah ampula bertepatan dengan adanya oosit di daerah tersebut. Hal ini menunjukkan besarnya peluang pertemuan -sit dengan spermatozoa. Sel-sel kumdus juga berfungsi untuk membantu penangkapan spermatozoa yang berada berdekatan dengan oosit, sel-sel kumulus ini juga mempunyai peranan dalam proses kapasitasi spermatozoa. Disamping itu morfologi spermatozoa juga sangat berperan dalam penetrasi spermatozoa terhadap zona pelusida (Liu dan Baker,1992). Fertilisasi. Fertilisasi merupakan suatu proses peleburan antara dua buah sel gamet yaitu oosit dari hewan betina dan spermatozoa dari hewan jantan untuk membentuk sebuah sel tunggal yang disebut sigot (Mc Laren, 1987). Terjadinya proses fertilisasi tersebut melalui peristiwa-peristiwa sebagai berikut : Kapasitasi dan akrosom reaksi sperma. Sperma masak yang berasal dari epididimis atau sperma ejakulat masih belum mampu membuahi sel-sel telur, sperma hams melalui traktus genitalis betina berahi sebelurn meningkatkan kemampuannya untuk membuahi sel telur. Pa& saat itu sperma mengalami perubahan-perubahan fisiologis, sehingga mampu melakukan pembuahan, proses ini sering disebut kapasitasi (Yanagimachi, 1988). Selama proses kapasitasi ini sperma mengalami motilisasi dan sering disebut hiperaktifasi (Yanagimachi dalam Luconi dkk., 1996). Pada saat kapasitasi tejadi peristiwa biokimiawi dan biofisik yang kompleks antara lain meningkatnya intraseluler ca2+ bebas dan fosforilasi protein (Luconi dkk., 1996). Disamping proses kapasitasi terjadi pula reaksi akrosom, yaitu terjadinya perubahan-

5 perubahan fisiologis bagian akrosom dan kepala spermatozoa, sehlngga memudahkan sperma menembus zona pelusida (Fulka, 1991). Setelah tejadi kedua proses tersebut sperma berpeluang untuk membuahi oosit yang sudah masak. Proses masuknya spermatozoa ke dalrm oosit Untuk memasuki oosit, spermatozoa harus melakukan penetrasi pada kumpulaif selsel kumulus, zona pelusida dan membran vitelin. Spermatozoa memasuki sel-sel kurnulus sesuai dengan kemampuan motilitas, yaitu dengan cara membuat akses untuk menernbus matriks asam hyaluronit. Spermatozoa tersebut mempunyai enzim hyaluronidase, asam ini bermanfaat untuk melarutkan kumpulan set-sel kumulus. Dari keadaan ini dapat diketahui hanya sperma tertentu yang mendapat kesempatan melakukan penetrasi pada zona pelusida (Gray dalam Slavik clan Fulka, 1992). Proses penetrasi spermatozoa terhadap oosit adalah dengan cara menempelnya spermatozoa pada dinding vitelus. Secara bertahap kepala spermatozoa tersebut berasosiasi dengan permukaan vitelus dan akhimya tejadi fusi dengan oosit. Setelah itu terbentuk pronukleus jantan dan betina, setelah melalui proses singami yaitu kedua pronukleus tersebut rnelebur menjadi satu, terbentuklah sigot (lihat gambar Z)(Kanagawa dkk.,1989). Menurut Yanagimachi (1988) hambatan sperma berikutnya adalah untuk menembus zona pelusida yang mengandung glikoprotein. Pada tahap ini oosit memproduksi substansi yang disebut lirtllizin yang rnempunyai fungsi khusus untuk proses penggumpalan pa& saat fertilisasi. Proses penggumpalan ini tidak berlangsung lama, pada saat ini sperma menernpel membentuk lorong sempit pada zona pelusida. Pada tahap ini daerah akrosom mulai pecah (larut), sehingga berfungsi sebagai alat pelubang. Proses

6 penembusan ini berlangsung dibantu oleh enzim proteolitik sehingga spermatozoa dapat menembus zona pelusida. Garnbar 2. Ilustrasi proses fertilisasi secara lengkap sampai te jadinya singarni (Kanagawa dkk., 1989) Shamsudin clan Rodriguez-Martinez (1993) melakukan penelitian dengan menggunakan 380 oosit sapi dan diperlakukan inseminasi dengan metoda yang berbeda, temyata kisaran oosit yang teqxnetrasi 51,9 s.d. 749 persen, sedangkan tejadinya polispermi pada masing-masing perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Cieavnge. Cleavage adalah suatu peristiwa pembelahan sel ovum yang telah dibuahi dan telah mengalami proses singami sempurna. Pembelahan sel ini berasal dari sel tunggal sehingga menjadi banyak sel tetapi relatif tidak diikuti pembesaran ukuran, karena pembesarannya

7 masih dihambat adanya zona pelusida. Sel tunggal ovum tersebut merupakan sel yang berukuran relatif sangat besar di bandingkan sel somatis (Mc Laren, 1987) Cleavage terjadi sekitar satu hari setelah te jadinya ferttlisasi, biasanya dimulai disekitar ampula ovidak. Pembelahan sel berlangsung secara bertahap dari dua sel sarnpai mencapai tahap morula clan blastosis, ukuran embrio tahap momla tidak terlafu beda dengan sigot karena selarna proses pembelahan tersebut zona pelusida tidak mengalami perubahan ukuran, sementara itu cilia pada ovidak mendorong embrio menuju uterus, pa& saat itu embrio berkembang sarnpai tahap blastosis (Gilbert, 1988; Sukra dkk.,i989). Selsel embrio atau blastomer melekat satu sama lain oleh suatu perekat yang disebut tigmotaksis (Sukra dkk., 1989). Innrl trt: Am...*-. <.,\ Gambar 3. Diagram proses te jadinya kembar monozigotik (longman dalam Gilbert,1988). 16

8 Terjadin ya kembar identik alamiah Menurut Longman dalam Gilbert (1988), te rjadinya kembar identik secara alamiah dimunglunkan melalui beberapa peristiwa sebagai berikut: A. Terjadinya awal kennbar sebelum terbentuknya trofektoderm, sehingga tiap kembar mempunyai chorion dan amnion sendiri. B.Tejadinya awal kembar setelah terbentuknya trofektoderm tetapi sebelum terbentuk amnion sehingga menghasilkan kembar mempunyai kantung amnion sendiri tetapi memanfaatkan satu chorion bersama. C.Terjadi awal kembar setelah pembentukan amnion sehingga kembar mempunyai satu kantung amnion dan chorion (Gambar 3). Pematangan garnet, fertilisasi, dan pertumbuhan ernbrio in vitro. Fertilisasi in vifro adalah proses fertilisasi buatan yang dilakukan oleh manusia dengan memanfaatkan oosit maupun sperma diluar tub& hewan. Menurut Fulka (1991) proses fertilisasi in vitro dilakukan dengan cara membuat imitasi kondisi lingkungan yang tejadi pada saat fertilisasi in vivo. Kondisi tersebut berupa kondisi fisiologis berupa hormonal, nutrisional, serta kondisi lainnya yang mendukung terjadinya fertilisasi. Proses ini terdiri dari pematangan oosit in vitro, kapasitasi dan turnbuh kembang embrio In vitro, proses tersebut adalah sebagai berikut: Pematangan oosit in vitro (PIV). Langkah awal dari PIV adalah seleksi oosif menurut Machatkova dkk., (1996) salah satu faktor penting dalam menyeleksi oosit adalah simus estrus dari sapi penyumbang oosit, pa& akhir fase luteal menghasilkan produk embrio yang tumbuh lebih cepat. Disamping itu

9 menurut faktor lain yang sangat penting adalah kondisi oosit pada pertumbuhan folikelnya, kondisi oosit ini berkaitan dengan metode clan lama kultur yang di gunakan untuk pematangan oosit (Telfer, 1996; Crozet dkk., 1995; Cecconi dkk., 1996). Metode kultur oosit dan yang embrio banyak dikembangkan oleh para peneliti adalah conditioned medium (Hernandez-ledezma dkk., 1996; Shamsudin dkk., 1993; Duran dkk., 1996), Chemicaily defined medium (Lim dkk., 1994; Iritani dkk., 1984) dan kokultur (Rehman 'dkk., 1994;Goto dkk., 1988; Goto dkk., 1994;Sakkas dkk., 1989; Shamsudin, 1993 ). Salah satu problem utama dalam fertilisasi in vitro adalah pematangan oosit. Menurut Xu dan Greve (1988) pematangan oosit sapi merupakan sebuah proses pematangan sitoplasma yang dilengkapi dengan pematangan inti sel, proses ini merupakan bagian terpenting bagi oosit untuk fertilisasi. Menurut Sirard dkk.(1992) proses pematangan melalui peristiwa meiosis tejadi secara spontan apabila oosit terlepas dari folikelnya. Pada kultur oosit in ritro, oosit sapi berasal dari folikel belum masak dapat dilakukan pematangan sampai tahap siap dibuahi meskipun rata-rata perkembanga~ya masih sangat terbatas. Boone clan Shapiro dalam Shamsudin dkk.(1993) menyatakan proses pematangan oosit adalah merupakan proses reorganisasi organela-organela tersebut di dalam sitoplasma yang berguna untuk memobilisasi organela-organela dari granula kortikal menuju darrah subplasmalema, proses ini bukan akibat pengaruh kondisi medium kultur. Kondisi Lultur yang mempengaruhi proses pematangan oosit adalah adanya gonadotropin, steroid, slstern buffer, komposisi gas, keadaan fisiologis, dan fisik serta parameter kimiawi lainnya. Menurut Shamsudin dkk. (1993) secara berumtan proses pematangan oosit sap8 secara in vitro di bawah pengamatan light-electron microscope adalah sebagai berikut:

10 Tahap I. Organela-organela sitoplasma, sebagian besar merupakan mitokondria, membentuk kumpulan kecil dan menyebar disekitar periferi oosit. Butir-butir lemak, gelembunggelembung menyebar merata di bagian tengah oosit. Pada tahap ini butir-butir lam& dm gelembung-gelembung berjumlah lebih banyak serta berukuran lebih besar dibandingkan tahaptahap selanjutnya. Tahap II. Beberapa mitokondria telah tidak berada di daerah kortikal dan menyebar di daerah ooplasma. Butir-butir lemak dan gelembung-gelembung jumlahnya berkurang serta hnnya mengecil dan mulai pindah dari bagian tengah menuju ke periferi. Setelah 12 jam masa inkubasi semua oosit memasuki masa ini. Tahap 111. Organela-organela sitoplasma, butir-butir lernak dan gelembung-gelembung bercampur secara merata diseluruh ooplasma. Mitokondria telah meninggalkan daerah kortikal dan bercampur dengan retimum endoplasma. Granula-granula kortikal telab di rnobilisasikan ke dalam daerah subplasmalema. Kejadian ini tejadi setelah 20 jam di inkubasi, terlepas dari kondisi medium hltur. Pamsh dkk. (1992) menambahkan untuk memahami proses meiosis hams dipaharni proses genetis maupun biokimiawi pada kontrol siklus sel, pengaturan proses pembelahan sel tersebut sangat dipengaruhi oieh beberapa reaksi kinase dan fosfatase. Sato dkk. (1988) menyatakan bahwa dibutyril cyclic udenosin 3'5'-monophosphate mempercepat proses terbentuknya badan kutub I, namun caimodulrn antagonist w7 (20pM) justru menekan terbentuknya badan kutub I, sedangkan inti secara spontan terbentuk dengan

11 adanya drbutyril cyclic adenostn 3'5'-monophosphare (20 pm). Secara bersama-sama tejadi pula segmentasi, perubahan-perubahan degeneratif dengan penambahan bovine fblliculair fluid-glycosaminoglycans pada konsentrasi 250 fig/ml. Dari hail ini menunjukkan bahwa pemaiangan, aktivasi maupun degenerasi oosit sapi &pat dimodulasikan oleh bahan-bahan biokimiawi tersebut. Hawk dkk. (1992) juga mencoba sel-sel kumulus pada oosit sapi temyata juga dapat meningkatkan angka fertilisasi (Lihat tabel 1). Percobaan lain juga dilakukan pada tikus oleh Eppig dkk. (1992) ternyata penambafian hormon FSH dan LH pa& medium kultur rnernberikan pengaruh terhadap pematangan oosit. Tabel 1. Pen& keberadaan sel-sel kurnulus pada oosit pada saat pematangan oosit terhadap tingkat fertilisasi (Hawk dkk., 1992). LJkuran Oosit dengan - kumulus ~enuh oosit den- kurnulus sebaeian tidak di pipet di pipet tidak dip;- di pipet- Ova yg diuj i ~ertil polispermi pronukleus Menurut Amstrong dkk.( 1992) perbandingan tingkat pematangan oosit yang berasal dari pedet-pedet di superovulasi dan dari sapi dewasa tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Penelitian lain menunjukkan pada oosit sapi yang sudah mas& dapat pula dilakukan kriopreservasi, tetapi setelah dilakukan fertilisasi in vifro keberhasilan berkembang menjadi embrio sampai tahap blastosis lebih rendah dibandingkan embrio yang berasal dari oosit bukan hasil kriopreservasi (Otoi dkk-1992; Parks &n Ruffing,

12 Kapasitasi dan reaksi akrosom sperma in vitro. Menurut Hatings dan Kay (1992) kapasitasi ini &pat pula dilakukan secara in vih.o.iritani dkk. (1984), memodifikasi larutan Krebs bikarbonat (Lamtan KRB) untuk digunakan sebagai bahan kapasitasi spermatozoa sapi dibandingkan dengan sistem kapasitasi uterus sapi estrus, ternyata larutan KRB dapat digunakan pula sebagai bahan kapasitasi spermatozoa dengan hasil yang baik. Salah satu bahan biokimiawi yang sangat potensial sebagai aktifator &lam proses kapasitasi sperma sapi secara in virro, adalah heparin. Leclerc dkk.(1992) menambahkan disamping heparin bahan yang berperanan dalam kapasitasi sperma adalah calrnodulin (CaM), Calmodulin ini beke jasama dengan heparin secara antagouistik daiam proses kapasitasi sperma. Heparin sebagai salah satu bahan biokimiawi yang berperan dalam proses kapasitasi juga berperan dalam proses reaksi akrosom pada kepaia spermatozoa. Fraser (1987) ca2+ dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitasi, akrosom reaksi, rnotilitas, penetrasi Zona pelusida dan h i garnet pada percobaan FIV tikus. White dkk. (1992) rnelakukan penelitian dengan mengamati perubahan-perubahan zat metabolit pada saat spermatozoa sapi sedang mengalami kapasitasi. Penelitian tersebut dilakukan dengan mengamati konsumsi oksigen dan adanya CAMP dalam spermatozoa sesaat sebelum dm setelah spermatozoa di inkubasikan dengan sistem ko-kultur dan tanpa kokultur (lihat tabel 2).Spermatozoa yang telah mengalami kapasttasi berpeluang untuk melakukan penetrasi pada zona pelusida menurut Liu clan Beker (1992) menyatakan bahwa zona pelusida rnernpunyai kemampuan yang sangat tinggi dalam menseleksi spermatozoa untuk melakukan penetrasi, meskipun spermatozoa tersebut mempunyai morfologi yang normal

13 Tabel 2. Konsumsi oksigen dan konsentrasi CAMP &lam spermatozoa sapi sesaat sebelum dan sesudah inkubasi dengan - ko-kulhu dan tanpa sel ephitil ovidak sapi - (White. dkk. 1992). Percobaan waktu Oksigen Uptake camf (ml/l~~sperma/jam) (pmou 108spem) inkubasi (jam) kontrol kokultur kontro t kokultur k ,9?3, Fertilisasi in vitro. Fertilisasi in vi~o adalah fertilisasi buatan yang dilakukan oleh manusia dengan memanfaatkark oosit maupun sperma diluar tubuh hewan (Kanagawa, dkk. 1989). Spermatozoa dapat rnelakukan penetrasi terhadap zona pelusida memerlukan beberapa proses biokimiawi, proses ini disamping membantu proses penetrasi juga membentuk zona pelusida blok untuk rnenghindari sigot polispermi (disarikan dari Shabanowitz dan O'Rand,1988). Proses fertilisasi di awali dengan pengenalan masing-masing gamet (sperma-oosit) melalui molekul-molekul proteidglikoprotein pa& masing-masing membran (Vacquier dm Lee, 1993), dilanjutkan dengan proses htndrtzg Jan fusi antara sperma dan oosit (Ash dkk., 1995). Setelah tejadi penetrasi terbentuklah pronukleus jantan dm betina (Zirkin dkk ; Perreult,l990; Hoshi dkk ; Funahashi dkk., 1994) dan diikuti singami sehingga terbentuk sigot (Kanagawa dkk, 1989). Transformasi sigot menjadi embrio dipengaruhi o$eh kondisi lingkungan maupun genetis (DeFelice, 1994). Menurut Coy dkk. (1993) untuk meningkatkan keberhasilan proses-proses tersebut diperlukan sistim inkubasi medium kultur yang cukup memenuhi sarat peristiwa -peristiwa tersebut &pat berlangsung,

14 Menurut Bavister dkk.il992) teknik FIV pada oosit sapi telah berkembang sampai menghasilkan embrio pada tahap akhir preimplantasi, penelitian di bidang ini banyak bermanfaat karena dapat menarnbah informasi tentang mekanisme regulator dengan mudah dan relatif murah guna memperoleh embrio untuk penelfan dan di transfer. Narnun sam+ saat ini efisiensi teknik untuk menghasilkan embrio sarnpai tahap blastosis masih belum memuaskan. De Leeuw (1992), menyatakan embrio yang dikoleksi secara in vivo mempunyai viabiiitas yang Iebih tinggi dibandingkan secara in vitro. Parrish dkk. (1992) mengemukakm keberhasilan perkembangan embrio tergantung pada berfungsinya kontrol siklus sel dari embrio untuk berkemhng secara in vitro. Demikian pula Sparks dkk. (1992) kegagalan memahami secara sempuma kebut. untuk pertumbuhan embrio sapi dari 1 set sampai tahap blastosis alcan menghambat pertumbuhan embrio &lam medium kultur. Tabel 3.Prosentase pembelahan embrio sapi yang dihasilkan melalui fertlisasi m vitro dengan metode kokultur sel-sel ephitel ovidak (Xu dkk 1992). Tahap hari setelah fertilisasi pembelahan sel 7,l ,l 5,4 5,l sel 62,5 20,7 5,9 4,4 1,s 8 sel 18,2 60, ,2 5,4 morula awal ,9 34,5 7,8 7,3 1,s morula ,l ,6 3,O 0,s BIastosis 9,4 39,s 23,3 2,3 0,s BIastosis berkembang 8,8 40,l ,l 7,3 Penetasan 4,7 35,l 55,X 65,7 Degenerasi 92,9 1,l 5,9 7,7 13,4 21,2 24,5 26,3 26,3 Chian dkk. (1992) menyatakan didalam medium kultur embrio, pembelahan dari dua sel menjadi empat sel te jadi sekitar 48 jam setelah inserninasi, sedangkan embryo berkembang

15 dari empat sel menjadi 16 sel memerlukan waktu 72 s.d 96 jam setelah fertilisasi. Sedangkan menurut Prokiev dkk. (1992) embrio berkembang mencapai tafiap blastosis memerlukan waktu sampai 7 hari. Xu dkk. (1992) melakukan penelitian perkembangan embrio dengan sistem kokultur menggunakan sel-sel ovidak dengan hasil seperti tampak pada tabel 3. Bahan-bahaa yang diperlukan sebagai medium kultur fertiiksi in vitro Karbohidrat, bahan ini sangat dibutuhkan dalam semua kultur sel, baik untuk maturasi oosit, kapasitasi spermatozoa, maupun tumbuh kembang embrio (Salem dkk., 1992; Takahashi dm First, 1992). Pada kultur embrio kebutuhan energi yang berasal dari karbohidrat meningkat, terutama dalam membentuk rongga blastosul (Kim dkk., 1993). Pada kultur pertumbuhan embrio sapi penambahan D-Glukosa dilakukan setelah 3 sarnpai 4 hari pascafertilisasi, karena pada masa kultur sebelumnya penambahan glukosa diperkirakan menghambat pertumbuhan sel-sel embrio (Kim dkk., 1993; Lu dkk., 1988). Pada banyak penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil saja dari glukosa &pat dioksidasikan melalui siklus asam trikarboksilat, sebagian besar berakibat pada produksi asam laktat, asam laktat dalam jumlah berlebihan bersifat toksik buat embrio (Gardner dkk., 1993). Meskipun demikian penambahan piruvat clan L-laktat dalam jumlah tertentu dan dalam waktu yang tepat dapat meningkatkan produktiiitas embrio (Kim dkk., 1993~; Kim dkk., 1993b; Matsuyama dkk.,1993). Brown dm Whittingham (1992) memanfaatkan laktat dan piruvat serta glukosa sebagai suplemen &lam medium perkembangan embrio in vitro. Dari pengujian peran ketiga bahan ini pada pertumbuhan ernbrio diperoleh basil sebagai berikut: Apabila ketiganya disuplementasikan kedalam medium perkembangan embrio in vifro, maka

16 embrio hanya tumbuh sarnpai tahap 4 sel. Apabila ditambahkan hanya piruvat saja atau laktat dan pinrvat, embrio-dapat berkembang sampai morula. Pada percobaan berikutnya perkembangan embrio in vitro disuplementasikan piruvat saj+ laktat dan piruvat atau piruvat dan glokusa untuk 24 jam pertama Pada 24 jam berikutnya embrio &transfer ke medium TJY berisi laktat, piruvat dan glukosa temyata dengan metode suplementasi semacam ini dapat menghasilkan embrio sampai tahap blastosis. Kegagalan perkembangan embrio untuk mencapai tabp blastosis ini sering disebut "fenornena sei blok", fenomena ini disebabkan karena aktifiias genom embrio pada tahap ini cukup sensitif, sehingga mudah terhambat dalam krkembangannya apabila kondisi lingkungan dalam sistim kulturnya yang kurang sesuai dengan sensitifitas embrio. Diperldrakan sebagai akibat defisiensi bahan tertentu pa& proses transkripsi dari genom embrio dari urutan sintesa protein, tetapi juga sangat erat hubungannya dengan metabolisme energi, terutama adalah glukosa. Sebagai akibatnya glukosa sering dianggap sebagai faktor penting dalam fenomena sel-sel blok pada: marrnut, &us, sapi dan domba. Sedangkan menurut Reed dkk.(1992) dengan rnrmodikiasi sistim kokultur ternyata glukosa bukan merupakan inhibitor pertumbuhan embrio babi. Schini dan Bavister (1988) telah menemukan masalah penting dengan tanpa memberikan glukosa dan fosfat pa& kultur embrio hamster, ternyata embrio dapat berkembang rnelewati sel blok, dua substansi ini p& cairan fisiologis dapat memberikan pengaruh keracunan pada embrio tahap 2 sel meskipun pa& level yang relatif sangat rendah (0,lmM). Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah secara in vivo embrio dilapisi semacam lapisan film, kemungkinan sel-sel ovidak hamster gaga1 mensekresikan glukosa dadatau fosfat dalam jumlah yang cukup, kemungkinan yang lain adalah adanya

17 aktifitas diabetogenik yang mengakibat ketidaksetimbangnya konsentrasi glukosa dan fosfat. Asam amino. Menurut Thompson (1996) asam amino merupakan Wan yang sangat penting untuk pertumbuhan embrio, asam amino terdiri dari dua kelornpok yaitu : asam amino esensial dan non esensial. Telah banyak dilakukan penelitian tentang peran kedua macarn asam-amino tersebut terhadap pertumbuhan ernbrio in virro, dan juga pada embrio pasca transfer ternyata tidak sernwya dapat berperan dalam pertumbuhan embrio bahkan ada beberapa asam amino menghambat pertumbuhan embrio fbavister clan Arlotto, 1990; Carney dan Bavister, 1987; Van Winkle dan Campione, 1996). Asam amino yang menjadi kunci untuk peitumbuhan embrio adalah glutamin, terutama pada perwbaan tikus pa& tahap pertumbuhan 2 sel (Chatot dkk., 1989). Konsentrasi beberapa asam amino pada cairan ovidak dan uterus jauh lebih tin& dibandingkan dengan plasma &ah, terubna glisin, taurin clan alanin (Moore dan Bondioli, 1993; Nancarrow dkk., 1992). Dari hasil percobaan yang dilakukan Moore dan Bondioli (1993) melakukan suplementasi alanin dan glisin dengan konsentrasi seperti pada cairan ovidak ternyata dapat meningkatkan angka pertumbuhan embrio. Partridge dkk.(1996) rnenggunakan medium MEM esensial dan non esensial ditambahkan arginin, glutamat, serin, treonin, dan tirosin &pat meningkatkan angka blastosis. Faktor peoumbuh, menurut Tsafiiri (1988) faktor penumbuh merupakan zat yang sangat esensial bagi proses pematangan oosit maupun pertumbuhan embrio, pada proses fertilisasi in vitro kebutuhannya dalam medium kuitur berjumlah beberapa nanogram atau sub nanogram. Beberapa zat penurnbuh yang berperan dalam proses pematangan adalah antara lain Ephidennal growth factor (EGF), Transforming Growth factor-8 (TGF),

18 Fibroblast growth factor (FGF), Platelet-derivedgrowth factor(pdgf) Insulin-like growth factor (IGF), Platelet activating factor (PAF), Embryo-derived platelet activating f~ctor (EDPAF) (Flood dkk., 1993;Larson dkk., 1992a;Larson dkk., 1992b; Zheng dan Hu, 1996; Stock clan Hansel, 1992). Melalui proses transkripsi mrna beberapa faktor penumbuh dibuat pada tahap perkembangan embrio yang berbeda, pada embrio kambing maupun sapi akitifitas faktor penumbufi mempunyai karakter aktifitas autokrin atau parakrin. Menurut Fry dkk., (1992) beberapa cairan yang disekresikan oleh sel-sel epithel mengandung beberapa jenis faktor penumbuh. Dari beberapa penelitian sebenarnya faktor penumbuh dapat digunakan pada spesies yaitu tikus, hamster, kelinci, domba, babi clan sapi juga manusia, embrio-embrio &pat berkembang meskipun tanpa penambahan War-faktor penumbuh, tetapi diantara faktor-faktor penumbuh tersebut ada yang dapat memicu pertumbuhan embrio sehingga beberapa peneliti menggunakan sebagai suplemen pada medium kultur (Carney dan Foote. 1991; Caro dan Troumon, 1986, Sirard, 1992; Slavik dkk., 1992; Vajta dkk., 1992; Zheng dan Sirard, 1992). Insulin-like Growth facror-i ( IGF- I): parakrin dan banyak dimanfaatkan pada kultur pemaiangan oosit maupun pertumbuhan embrio, pada tikus reseptor mrna IGF-I terdapat pada embrio tahap 8 sel s.d. blastosis (Rappolu dkk., 1990). Diindikasikan bahwa IGF-I melalui proses parakrin menuju ke embrio dengan cara berinteraksi dengan reseptor insulin (Kapur dkk., 1992: Harvey dan Kaye, 1991 ). Gonadotropin, De Smedt dkk.(1992) melakukan percobaan pematanban oosit secara in vitro, oosit yang terdapat sel-sel kumulus di tambah dengan sel-sel granulosa. hormon FSH dan LH serta Estradiol 17 P temyata 85 persen oosit yang berasal dari fol~kel berukuran diamater 2-6 mm berkembang sarnpai mengalami meiosis tahap metafase 11.

19 sedangkan oosit yang berasal dari folikel berdiameter 1-2 hanya mencapai 24 persen. Diantara hormon chorionic gonadotropin (CG) yang berasal dari bangsa-bangsa equidae yang telah Iengkap diidentifikasi adalah yang berasal dari kuda. Hormon ini sering disebut pregnant mare serum gonadotropin (PMSG), hormon ini punya peran fisiologis untuk merangsang ke rja sel-sel interstatial untck tumbuh dan berkenibang dan terbentuknya selsel luteal (Solomon, 1988). Hormon dengan Chorionic gonadotropin pada rnanusia (hcg) ini banyak digunakan pada percobaan supemlasi seperti dilakukan oleh Ertzeid clan Storeng (1992) superovulasi pada mencit dapat meningkatkan tingkat ovulasi tetapi juga meningkatkan abnormalitas embrio pa& post implantasi begitu pula meningkat mortalitas fetus. Pemanfaatan hormon PMSG dan hcg sebagai suplenientasi medium pematangan oosit babi dilakukan oleh Wang (1995), dimana PMSG clan hcg disuplementasikan pada medium TCM 199 yang telah di tambah FCS 10 Persen dengan konsentrasi PMSG dan hcg masing 10 IUIml medium. Lemak, lemak sangat dibutuhkan oleh set-sei garnet maupun ernbrio untuk hidup dan berkembang, kebutuhan tersebut berbentuk asam lemak esensiaf, fosfolipid, lesitin dan kolesterol, lemak-lemak semacam ini banyak terkandung ddam serum (Homa dan Brown, 1992). Lemak sebenarnya pada medium kultur tidak perlu ditambahlcan secara khusus, karena kebutuhan lemak oleh sel-sel garnet maupun embrio sangat sedikit, meskipun lemak dapat digunakan sumber energi tetapi pada umumnya embrio mendapatkannya dengan metabolisme karbohidrat (Dorland dkk.,1995). Sahkan menurut Bavister dkk.(1992) telah berhasil mengkultur embrio kambing dengan medium bebas 1emak.Yoshida dkk. (1992) rnemanfaatkan cairan folikel pada percobaan pematangan oosit babi, ternyata cairan folikel dapat meningkatkan pematangan oosit. Homa dan Brown (1992) meneliti kandungan asam lemak pada cairan folikel sapi berukuran kecil (diameter 1-3mm) dan besar (diameter 7-28

20 13mm) dan diamati pengaruhi asam lemak jenuh maupun asam lemak talc jenuh terhadap terjadinya pecahnya germinal vesikel (GVBD) dsri hasil penelitianriya rnenunjukkan, dalam batas tertentu asam linoleat dibutuhkan untuk memelihara terjadinya proses meiosis pada oosit. demikian pula penurunan konsentrasi asam linoleat selarna perkembangan foiikel juga mengharnbat pecahnya genninal vesikel. Zat-zat bioaktif iainnya, menunit Shamsudin dkk. (1993) untuk mendapatkan program fertilisasi in virro dengan hasil yang konsisten ada dua prasarat utama yaitu: (1) kemampuan mahxasi oosit (2) kemampuan berkapasitasi untuk melakukan fungsi fisiologis berupa reaksi akrosom pada sebuah populasi sperma motil. Hanya dengan memberikan suplementasi medrurn FIV yang mengandung hyaiuronit saja, dari 88 oosit yang terfertilisasi hanya 4.5 persen. Ternyata diketahui pula bahwa membran sperma mengandung heparin binding protein, pada oosit sapi protein-protein ini tidak mungkin teraktifasi kalau Wor dekapasitasi rnasih terdapat di membran sperma Interaksi antar asam hialuronit dengan membran sperma tersebut &pat berfungsi bila terdapat heparin. Lassale dan Testrat (1992) dengan menggunakan rnenggwnakan heparin dan glutatione (GSH) dapat rneningkatkan tingkat penetrasi sperma manusia terhadap oosit hamster sebesar 66 persen, glutation 28 persen dan heparin saja 27 persen, sedangkan kontrol (tanpa penambahan) 46 persen. Serum. Serum banyak sekali digunakan sebagai suplemen dalam medium antara lain serum anak sapi, BSA (Bovine serum Albumin), menurut Zheng dan Sirard (1992). serum-serum ini sangat berperan dalarn mengurangi kejadian polispermi pada fertilisasi oosit babi, begitu pula dalarn proses maturasi oosit. Disamping itu mcnurut Bakst dm Cecil (1992) menyatakan bahwa BSA &pat rneningkatkan motilitas dan fertilitas dari sperma.

21 Serum drtri beberapa tahap estrus yang digunakan untuk suplementasi medium Mtur in vitro, diharapkan serum tersebut punya spesifikasi berupa kandungan hormonal clan nutrsional yang berfimgsi &lam proses pematangan oosit seperti tampak pada tabel 4 (Widt dkk., 1992). Demikian pula Suzuki dkk. (1992) melakukan suplementasi serum estrus herbau sebesar 5 persen pcla medium kultur ur~tuk pematangan oosit, temyata dengan menggunakan serum ini sel-sel kumulus berkembang cukup baik, perkembangan sel-sel ini sangat berkaitan erat dengan pematangan oosit. pa& saat awal kebuntingan serum sapi akan banyak mengandung progresteron, sekitar sepuluh hari setelah fertilisasi PGE2 meningkat, sedangkan PGF2a menurun, 1.B-dihydro-15 keto PGF2a (PGFM) meningkat, demikian pula tejadi sekresi embryonic iuteorropin oleh ernbrio blastosis, peristiwa ini sangat berperan dalarn pemeliharaan tumbuh kembang embrio blastosis in vivo.(choi dkk., 1987; Neswender dan Nett, 1988). Tabel 4. Pengaruh serum fetus sapi terhadap kejadian penetrasi sperma pa& oosit in vitro (~idt dkk., 1992). Konsentrasi jumlah jumlah oosit terpenetrasi serum fertus sapi oosit % PVS VS IPN 2PN Miwral dan unsur jaraog, mineral yang dibutuhkan di dalam medium kultur rnerupakan elernen anorganik jarang, misalnya ~a*'. Unsur ini terikat dalarn bentuk Calmodulin berperan sebagai ko-faktor dalam berbagai proses kultur oosit, embrio maupun kapasitasi sperma (Leclerc dkk., 1992; Fraser, 1987).

22 Pemanfaatan sel-sel kumulus dalam sistim kokultur Konsentrasi sel-se1 granulosa rendah (sekitar 1 s.d. 5 x lo6 sei/ml) ditambah gonadotropin atau serum menstimulasi berlangsung kembali proses meiosis (Lu dkk., 1987; Sirard dan Beladeau, 1990 ), tetapi secara in vivo mereka tetap menjaga untuk tidak tejadi meiosis. Dari penelitian Sirard dkk.(1992) peningkatan konsentrasi sel-sel granulosa (5 s.d. 100 x lo6 sevm1) dalam TCM 199 yang disuplementasi 10 persen FCS terhyata rneningkatkan penghambtan berlangsung kembali proses meiosis (dari 2 persen sampai 80 persen). Selain sel-sel granulosa, sel-sel lain yang banyak dimanfaatkan untuk kultur embrio dengan sistem kokultur adalah sel-sel kurnulus. Menurut Sirard dkk.(1992), sel-sel kumulus juga mempunyai sinyal penghambat proses berlangsung kembali proses meiosis, tetapi akm tercuci dalam medium Mtur yang bervolurne relatif besar. Lu dkk. (1987) menambahkan tejadi interaksi sinergis antara sel-sel kumdus dengan dbc AMP dalm medium PN, nukleotida ini menghambat berlangsung proses meiosis, tetapi bila CAMP ditambahkan maka proses meiosis berlangsung kembali. Secara in vitro peningkatan CAMP mengakibatkan sel-sel kumulus terekspansi sedangkan meningkatnya CAMP akan mengaktifasi proses meiosis. O.M.I. (oocpe maturation inhibitor) merupakan peptida penghambat proses berlangsungnya proses miosis yang disekresi sel-sel granulosa (Tsafriri dkk., 1975; Sato dan Ishibashi, 1990). Hubungan yang sangat dekat antara sel-sel granulosa dan sel-sel kumulus disekitar oosit akan tetap mernpertahankan oosit tidak mengalami miosis. Apabila hubungan ini sudah merenggang oieh faktor-faktor pematangan oosit dan atau sel-sel kumulus terekspansi akan mengakibatkan gap junction dengan cepat menurun jurnlahnya dari sel-sel tersebut, sebagai akibatnya akses penghambatan berlangsungnya meiosis berkurang drastis.

23 Embrio kembar identik buatan (Kloning embrio). Menurut Yang dan Enderson (1992) kemajuan dibidang mikromanipulasi embrio di luar tub& induk dalam sepuluh tahun terakhir ini telah berkembang dengan sangat cepat, salah saol jenis mikromanipulasi embrio tersebut adalah pembuatan kembar identik dengan metoda spiitting.westhusin dkk. (1992) daim melakuhl manipulasi embrio dilal,vkan manipulasi oosit terlebih dahulu dengan membuat oosit paruh. Demikian pula Taniguchi dan Kanagawa (1992) memanfiaatkan msit paruh dalam melakukan percobaan manipulasi embrio. Rekayasa embrio adalah me~pakan usaha manusia untuk merubah dan memanipulasi keadaan embrio dengan tujuan-tujuan tertentu. Rekayasa embrio ini antara lain addah penyayatan embrio, pemisahan blastomer-biastomer embrio, pemindahan embrio dari zona pellusida, agregasi embrio, pembuatan embrio partenot, sexing, transfer inti baik pada embrio rnaupun msit.(kono dkk. 1992; Ozil dkkf982; Woolliam clan Wilmut, 1989; Yang clan Anderson, i 992).Menurut Shelton (1 988) tujuan utama memproduksi kembar i&ntik adalah untuk meningkatkan produktifitas ternak untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat, penggunaan teknologi baru ini sangat bermanfaat karena dapat mernpercepat regenerasi dan evaluasi genetik. Salah satu manfaa! lain produksi embrio kembar a&lah untuk efisiensi produksi terutama pa& indusm sapi perah maupun potong, efis~ensi tersebut berupa efisiensi angka reproduksi (Davis dkk : Bredbacka dkk., 1992; Shelton dkk.,1988; Wooliam dan Wilmut, f 989), sedangkan menurut Guerra-Martinez dkk.(1987) pembuatan kembar identik akan meningkatkan efisiensi biologis dan ekonomis sebesar 20 s.d.25 persen pada produksi sapi potong. Menurut Smith dkk.(1982) clan Reid dkk. (1986) serta Cady dan Van Vleck (1978) produksi kembar identik meningkatkan our put berat sapih per ekor sapi. tetapi 32

24 sering meningatlcan masalah menejerial, seperti sering terjadinya distokia, kerusakan plasenta, clan akan memperpanjang breeding interval serta ketidak cukupan produksi susu untuk Met. Masalah utama pa& saat mikromanipulasi embrio sapi untuk memproduksi kembar adalah terjadinya kerusakamkerusakan pada sel-sel blastomer, meskipun sel-sel tersebut akan berkembang kembali tahap cleavage awal sehingga terbentuk blastosis. Metode produksi kembar dengan biseksi dapat clilakukan pada embrio tahap morula akhir atau blastosis awal (Ozil dkk., 1982; Ozil, 1983). Brebbacka dkk(1992) membandingkan pemunbuhan embrio kembar dua dan kembar empat, setelah di transfer masing-masing dengan sebuah embrio pstruh pa& seekor induk dan masing-masing dua buah embrio seperempatan, viabilitas embrio pada pengamatan kehamilan hari ke 35, 48 dan 60 dihasilkan tingkat kehamilan seperti tertera pada tabel 5. Menurut Davidson (1986) pada umumnya pa& marnalia rekayasa embrio dilakukan sebelum tahap blastosis, karena blastomer-blastomer ernbrio pada a t ini rnasih bersifat totipoten atau belum mempunyai karakteristik maupun takdir tetap, sehingga pemisahan blastomer ataupun penyayatan embrio untuk memproduksi embrio kembar identik tidak menghilangkan integritas hewan di waktu dewasa. Palmer (1978) menarnbahkan berdasarkan kemampuan ini rnaka kerusakan yang texjadi pada salah satu sel blastomer mampu digantikan sel blastomer lain tanpa memgikan keteraturan proses perkembangan embrio secara lengkap. Dengan kata lain kerusakan blastomer yang terja& pada awal perkembangan embrio tidak &pat dilacak pada perkembangan lanjut sebab tidak menimbulkan bekas yang nyata. Kultur set-set ernbrio semacam ini sudah pernah dilakukan pada beberapa marnaiia seperti mencit ( Evans dm Kaufman, 1981). marmut (Doetschman

25 dkk., 1988), babi (Natorianni dkk., 1990), sapi (Saito dkk., 1992; Strelchenko dan Stice, 19941, tikus (Iannaccone dkk., 1994) dan kelinci (Graves dan Moreadith, 1993). Tabel 5.Tingkat kebuniingan sapi dara dan induk resipien hasil transfer sebuah embrio par& atau dua buah embrio seperempatan (Brebacka dkk., 1992). -. Resipien JlPe Tingkat kehamilan pada hari ke transfer embrio Induk sebuah embrio 47,7 33,3 33,3 paruh dua buah embrio 16, seperernpat Dara sebuah embrio 61,5 53,8 46,2 paruh dua buah ernbrio 61,s 61,5 61,5 Berdasarkan pemikiran teori tersebut manipulasi embrio dapat dilakukan pada saat awal perkembangan embrio. Sedangkan beberapa peneliti telah mengembangkan metoda pembuatan embrio kembar identik terdiri dari dua metoda yaitu penyayatan embrio (Slicing atau bisection) atau pemisahan blastomer menjadi dua bagian (.<piitling) dengan cara pemipetan ber-ulang-ulang setelah zona pelusida di buka. Hishinuma, dkk (1996) menyayat embrio mencit menjadi dua bagan yang sama besar pada fase morula kompak, setelah di kultur secara in vrtro. embrio-embrio pamh tersebut di klasifikasikan menjadi 4 kelompok yaitu : 1. Eublastosis, merupakan klon embrio dengan inner cell muss (ICM) dan tropoblas berkembang dengan baik. 2.Pseudoblastosis, merupakan embrio paruh dengan tt7nt.r cen mas.% tidak berkembang dengan baik tetapi masih terdapat tropektoderm di wkitarnya. 3. Vesjkula tropektoderm tanpa disekelilingi sei-sel lain.

26 4.Sel-sel berbentuk tidak terintegrasi, dimana sel-sel ini menyebar secara tidak teratur. King dkk. (1992) melakukan percobaan penyayatan embrio pada sapi pada tahap morula akhir, dengan perlakuan kultur, kokultur, setelah dikultur dilakukan analisis kromosom untuk mengetahui jenis kelamin embrio-embrio tembut temyata seks rationya berbeda nyata dari ratio ekspektasi 1 : 1, karena akibat manipulasi banyak embrio betina mati. Sedangkan Willadsen dan Godke (1984) memanfaatkan embrio domba pada tahap morula akhir, blastosis awal, blastosis akhir (Expanded) dan blastosis tetas untuk membuat kembar identik dan dengan mengkultur dengan atau tanpa zona pelusida. Begtu pula Ozil dkk.(1982) memanfaatkan embrio sapi pada fase blatosis awal untuk di sayat menjadi dua bagian dari 16 embrio yang dimanipulasi menghasilkan 14 pasangan embrio kembar monosigotik setelah di transfer menghasilkan frekuensi kebuntingan 64,2 persen.

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggulan dalam memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di dalamnya pemanfaatan proses rekayasa fungsi

Lebih terperinci

PENDAaULUAN. Latar belabng. merupaksn pemasok terbesar kebutuhan daging maupun susu masyarakat, berlangsung

PENDAaULUAN. Latar belabng. merupaksn pemasok terbesar kebutuhan daging maupun susu masyarakat, berlangsung PENDAaULUAN Latar belabng Sapi merupakan salah satu jenis temak yang tetah memberikan kontibusi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia. Diperkirakan kebutuhan daging maupun

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi

TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi Fertilisasi merupakan proses bertemunya sel sperma dengan sel telur. Sel telur diaktivasi untuk memulai perkembangannya dan inti sel dari dua gamet akan bersatu untuk menyempurnakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

DNA (deoxy ribonucleic acid) yang membawa informasi genetik. Bagian tengah

DNA (deoxy ribonucleic acid) yang membawa informasi genetik. Bagian tengah TINJAUAN PUSTAKA Spermatozoa Spermatozoa adalah sel kelarnin jantan yang dibentuk pada tubuli semineferi testes melalui proses yang disebut spermatogenesis (Toelihere, 1993a dan Salisbury dan VanDemark,

Lebih terperinci

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed Sel akan membelah diri Tujuan pembelahan sel : organisme multiseluler : untuk tumbuh, berkembang dan memperbaiki sel-sel yang rusak organisme uniseluler (misal : bakteri,

Lebih terperinci

MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI

MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI MK. ILMU REPRODUKSI 1 SUB POKOK BAHASAN Transport spermatozoa pada organ reproduksi jantan (tubuli seminiferi, epididimis dan ejakulasi) Transport spermatozoa

Lebih terperinci

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS. Titta Novianti

OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS. Titta Novianti OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS Titta Novianti OOGENESIS Pembelahan meiosis yang terjadi pada sel telur Oogenesis terjadi dalam dua tahapan pembelahan : yaitu mitosis meiosis I dan meiosis II Mitosis : diferensaiasi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel

2. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel 2. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel Satu siklus estrus terdiri dari fase folikular dan fase luteal. Fase folikular ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2011 s.d. Februari 2012. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi dan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik Bobot Badan Tikus Ekstrak rumput kebar yang diberikan pada tikus dapat meningkatkan bobot badan. Pertambahan bobot badan tikus normal yang diberi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Embrio partenogenetik memiliki potensi dalam mengatasi permasalahan etika pada penelitian rekayasa embrio. Untuk memproduksi embrio partenogenetik ini, sel telur diambil dari individu

Lebih terperinci

Pada rnasa kini, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk. mempercepat peningkatan populasi, produksi dan mutu ternak adalah dengan

Pada rnasa kini, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk. mempercepat peningkatan populasi, produksi dan mutu ternak adalah dengan 1. Latar Belakang Pada rnasa kini, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat peningkatan populasi, produksi dan mutu ternak adalah dengan penyediaan bibit berkuaiitas tinggi meialui penerapan

Lebih terperinci

4/18/2015 FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME

4/18/2015 FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME TIPE 1 Sel Sperma ( haploid/ n) Sel telur (haploid/ n) Fertilisasi Zigot (Diploid/ 2n) Cleavage Morfogenesis Individu Sel Sperma ( haploid/

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Sistem reproduksi sapi betina lebih kompleks daripada sapi jantan, dimana terdiri dari beberapa organ yang memiliki peran dan fungsi masing-masing. Ovarium

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Semen Kambing Semen adalah cairan yang mengandung gamet jantan atau spermatozoa dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari suspensi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL I. Tingkat maturasi oosit domba dalam suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda Tahapan pematangan inti yang diamati pada penelitian ini dikelompokkan menjadi 5 tahap yaitu GV

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat produksi daging domba di Jawa Barat pada tahun 2016 lebih besar 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging domba dan kambing di

Lebih terperinci

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh. MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO DOSEN PENGAMPU Drh. BUDI PURWO W, MP SEMESTER III JUNAIDI PANGERAN SAPUTRA NIRM 06 2 4 10 375

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing Peranakan Etawah atau kambing PE merupakan persilangan antara kambing kacang betina asli Indonesia dengan kambing Etawah jantan yang berasal dari daerah Gangga,

Lebih terperinci

SET 5 REPRODUKSI SEL 2 (GAMETOGENESIS) Gametogenesis adalah pembentukan gamet pada tubuh makhluk hidup. a. GametOGenesis pada manusia dan hewan

SET 5 REPRODUKSI SEL 2 (GAMETOGENESIS) Gametogenesis adalah pembentukan gamet pada tubuh makhluk hidup. a. GametOGenesis pada manusia dan hewan 05 MATERI DAN LATIHAN SBMPTN TOP LEVEL - XII SMA BIOLOGI SET 5 REPRODUKSI SEL 2 (GAMETOGENESIS) Gametogenesis adalah pembentukan gamet pada tubuh makhluk hidup. a. GametOGenesis pada manusia dan hewan

Lebih terperinci

REPRODUKSI SEL REPRODUKSI SEL AMITOSIS. Profase I. Pembelahan I. Metafase I. Anafase I MEIOSIS. Telofase I. Interfase. Profase II.

REPRODUKSI SEL REPRODUKSI SEL AMITOSIS. Profase I. Pembelahan I. Metafase I. Anafase I MEIOSIS. Telofase I. Interfase. Profase II. REPRODUKSI SEL AMITOSIS REPRODUKSI SEL Pembelahan I Profase I Metafase I Anafase I Proleptotene Leptotene Zygotene Pachytene Diplotene Diakinesis MEIOSIS Interfase Telofase I Pembelahan II Profase II Metafse

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Seorang wanita disebut hamil jika sel telur berhasil dibuahi oleh sel sperma. Hasil pembuahan akan menghasilkan zigot, yang lalu berkembang (dengan cara pembelahan sel

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Entok (Cairina moschata) Entok (Cairina moschata) merupakan unggas air yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Entok lokal memiliki warna bulu yang beragam

Lebih terperinci

Tahap pembentukan spermatozoa dibagi atas tiga tahap yaitu :

Tahap pembentukan spermatozoa dibagi atas tiga tahap yaitu : Proses pembentukan dan pemasakan spermatozoa disebut spermatogenesis. Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus. Spermatogenesis mencakup pematangan sel epitel germinal melalui proses pembelahan dan

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3

LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3 LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3 MEMPELAJARI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MANUSIA MELALUI BIOTEKNOLOGI Bioteknologi berkebang sangat pesat. Produk-produk bioteknologi telah dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testes (Susilawati,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testes (Susilawati, 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Spermatogenesis Spermatogenesis adalah suatu proses pembentukan spermatozoa (sel gamet jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testes (Susilawati,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Domba Segera Setelah Koleksi Pemeriksaan karakteristik semen domba segera setelah koleksi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pemeriksaan secara makroskopis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali (Bos javanicus)

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali (Bos javanicus) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali (Bos javanicus) Sapi Bali (Bos javanicus) diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng). Payne dan Rollinson (1973) menduga asal mula sapi Bali adalah dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis 3 TINJAUAN PUSTAKA Domba Domba merupakan salah satu sumber protein yang semakin digemari oleh penduduk Indonesia. Fenomena ini semakin terlihat dengan bertambahnya warung-warung sate di pinggiran jalan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak yang dapat menyediakan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia selain dari sapi, kerbau dan unggas. Oleh karena itu populasi dan kualitasnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Superovulasi. Perkembangan Embrio Praimplantasi

TINJAUAN PUSTAKA. Superovulasi. Perkembangan Embrio Praimplantasi TINJAUAN PUSTAKA Superovulasi Superovulasi adalah usaha meningkatkan jumlah sel telur yang diovulasikan dengan stimulasi hormon. Superovulasi pada mencit dapat dilakukan dengan menyuntikkan hormon gonadotropin

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 1. Perhatikan gambar berikut! Bagian yang disebut dengan oviduct ditunjukkan oleh huruf... A B C D Bagian yang ditunjukkan oleh gambar

Lebih terperinci

ikan jambal Siam masih bersifat musiman,

ikan jambal Siam masih bersifat musiman, Latar Belakang Ikan jambal Siam (Pangmius hpophthalmus) dengan sinonim Pangmius sutchi termasuk famili Pangasidae yang diioduksi dari Bangkok (Thailand) pada tahun 1972 (Hardjamulia et al., 1981). Ikan-ikan

Lebih terperinci

Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA. Transfer Inti Sel Somatis

Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA. Transfer Inti Sel Somatis 3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan oosit mencit hasil superovulasi dengan penyuntikan hormon PMSG dan hcg secara intraperitonial. Produksi embrio kloning menggunakan teknik TISS yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Volume Semen Domba

HASIL DAN PEMBAHASAN. Volume Semen Domba HASIL DAN PEMBAHASAN Volume Semen Domba Pengukuran volume semen domba dilakukan untuk mengetahui jumlah semen yang dihasilkan oleh satu ekor domba dalam satu kali ejakulat. Volume semen domba dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

Anatomi/organ reproduksi wanita

Anatomi/organ reproduksi wanita Anatomi/organ reproduksi wanita Genitalia luar Genitalia dalam Anatomi payudara Kelainan organ reproduksi wanita Fisiologi alat reproduksi wanita Hubungan ovarium dan gonadotropin hormon Sekresi hormon

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persentase Ikan Jantan Salah satu faktor yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan proses maskulinisasi ikan nila yaitu persentase ikan jantan. Persentase jantan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit Secara anatomis, organ reproduksi betina terdiri atas sepasang ovarium dan saluran reproduksi yaitu tuba Falopii, uterus, serviks dan vagina. Ovarium merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu usaha yang mutlak dibutuhkan untuk mengembangkan budi daya ikan adalah penyediaan benih yang bermutu dalam jumlah yang memadai dan waktu yang tepat. Selama ini

Lebih terperinci

Sistem Reproduksi Pria meliputi: A. Organ-organ Reproduksi Pria B. Spermatogenesis, dan C. Hormon pada pria Organ Reproduksi Dalam Testis Saluran Pengeluaran Epididimis Vas Deferens Saluran Ejakulasi Urethra

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Segar Hasil evaluasi semen segar merupakan pemeriksaan awal semen yang dijadikan dasar untuk menentukan kelayakan semen yang akan diproses lebih lanjut. Pemeriksaan

Lebih terperinci

Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro

Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro Teguh Suprihatin* *Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Hewan Jurusan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa negara berkembang seperti Indonesia memiliki kepadatan penduduk yang cukup besar sehingga aktivitas maupun pola hidup menjadi sangat beraneka ragam. Salah satu

Lebih terperinci

LAPORAN TAHUNAN HIBAH BERSAING MATURASI OOSIT DAN FERTILISASI IN VITRO MENGGUNAKAN KULTUR SEL GRANULOSA FOLIKEL OVARIUM

LAPORAN TAHUNAN HIBAH BERSAING MATURASI OOSIT DAN FERTILISASI IN VITRO MENGGUNAKAN KULTUR SEL GRANULOSA FOLIKEL OVARIUM LAPORAN TAHUNAN HIBAH BERSAING MATURASI OOSIT DAN FERTILISASI IN VITRO MENGGUNAKAN KULTUR SEL GRANULOSA FOLIKEL OVARIUM Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun Ketua/Anggota Peneliti: Dr. drh. Heru Nurcahyo, M.Kes

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Vitamin E (α-tokoferol) dalam Media DMEM terhadap Konfluenitas Sel Ginjal Fetus Hamster yang Dikultur Primer Berdasarkan hasil penelitian dan analisis

Lebih terperinci

http://aff.fkh.ipb.ac.id Lanjutan EMBRIOGENESIS DAN INDUKSI EMBRIO (BAGIAN II) LABORATORIUM EMBRIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Konsep Organiser, yang menjelaskan tentang proses

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Berdasarkan tingkat keberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah, maka dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok perlakuan yang tidak menyebabkan

Lebih terperinci

Fertilisasi dan Penurunan. Kromosom

Fertilisasi dan Penurunan. Kromosom Fertilisasi dan Penurunan Kromosom Laboratorium Embriologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Indikator Pencapaian Fungsi fertilisasi: fungsi reproduksi (penurunan genetik), fungsi perkembangan

Lebih terperinci

PROSES KONSEPSI DAN PERTUMBUHAN JANIN Oleh: DR.. H. Moch. Agus Krisno Budiyanto, M.Kes.

PROSES KONSEPSI DAN PERTUMBUHAN JANIN Oleh: DR.. H. Moch. Agus Krisno Budiyanto, M.Kes. HAND OUT PROSES KONSEPSI DAN PERTUMBUHAN JANIN Oleh: DR.. H. Moch. Agus Krisno Budiyanto, M.Kes. Spermatogenesis Sperma diproduksi di spermatogonia (sel epidermis tubulus seminiferus testis. Hormon yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ginogenesis Ginogenesis pada penelitian dilakukan sebanyak delapan kali (Lampiran 3). Pengaplikasian proses ginogenesis ikan nilem pada penelitian belum berhasil dilakukan

Lebih terperinci

EMBRIOGENESIS DAN INDUKSI EMBRIO (BAGIAN I) LABORATORIUM EMBRIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Indikator pencapaian: Definisi dan tahapan embriogenesis (pembelahan, blastulasi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit Oosit adalah sel terbesar pada tubuh makhluk hidup. Oosit dihasilkan di ovarium yang merupakan organ reproduksi primer yang memiliki fungsi utama menghasilkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pemeriksaan semen segar secara makroskopis meliputi volume, warna,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pemeriksaan semen segar secara makroskopis meliputi volume, warna, 29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Semen Segar Pemeriksaan semen segar secara makroskopis meliputi volume, warna, konsistensi, ph dan secara mikroskopis meliputi gerakan massa, konsentrasi sperma,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN Latar belakang 16 PENDAHULUAN Latar belakang Ikan nila merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Beberapa kelebihan yang dimiliki ikan ini adalah mudah dipelihara,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang

I. PENDAHULUAN. Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang meliputi motilitas, dan morfologinya. Salah satu penyebab menurunnya kualitas dan kuantitas sperma

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN A.PENGERTIAN

B A B I PENDAHULUAN A.PENGERTIAN B A B I PENDAHULUAN A.PENGERTIAN Ovulasi adalah peristiwa dilepaskannya ovum atau sel telur yang sudah matang dari ovarium.proses ovulasi terjadi apabila alat kelamin betina sudah mencapai dewasa kelamin.ovulasi

Lebih terperinci

HASlL DAN PEMBAHASAN

HASlL DAN PEMBAHASAN HASlL DAN PEMBAHASAN Siklus Estrus Alamiah Tanda-tanda Estrus dan lama Periode Estrus Pengamatan siklus alamiah dari temak-ternak percobaan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi dan sore hari.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Ovarium yang dikoleksi dari rumah potong hewan biasanya berada dalam fase folikular ataupun fase luteal. Pada Gambar 1 huruf a mempunyai gambaran ovarium pada fase folikuler dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peternakan babi yang ada di Indonesia khususnya di daerah Bali masih merupakan peternakan rakyat dalam skala kecil atau skala rumah tangga, dimana mutu genetiknya masih kurang

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Kacang betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKS) : ILMU REPRODUKSI & INSEMINASI BUATAN

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKS) : ILMU REPRODUKSI & INSEMINASI BUATAN RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKS) Nama Mata Kuliah : ILMU REPRODUKSI & INSEMINASI BUATAN Kode / SKS : KH 4062 / 2-1 Prasyarat : Fisiologi II Status Mata Kuliah : Wajib, Team Teaching

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Pola kenaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fertilisasi in vitro (FIV) merupakan salah satu cara bagi pasangan infertil untuk memperoleh keturunan. Stimulasi ovarium pada program FIV dilakukan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia mempunyai dua ovarium yang berfungsi memproduksi sel telur dan mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur (oogenesis). Pada

Lebih terperinci

Gametogenesis. GAMET: Berasal dari Bakal sel kelamin atau primordial germ cells luar gonad 2/4/2014

Gametogenesis. GAMET: Berasal dari Bakal sel kelamin atau primordial germ cells luar gonad 2/4/2014 Gametogenesis GAMET: Berasal dari Bakal sel kelamin atau primordial germ cells luar gonad BSK, Pada Amphibia, Mamalia ameboid lewat mesenterium ke pematang genital (bakal gonad) Aves : pasif dibawa aliran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita.

BAB 1 PENDAHULUAN. Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita. Reproduksi dimulai dengan perkembangan ovum di dalam ovarium (Guyton dan Hall, 2006). Ovum merupakan oosit

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Viabilitas berdasarkan morfologi zigot dan blastosis Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan terhadap morfologi zigot sebelum dan setelah vitrifikasi tunggal (Gambar 3) dan morfologi

Lebih terperinci

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI 5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI Pengukuran parameter reproduksi akan menjadi usaha yang sangat berguna untuk mengetahui keadaan kelamin, kematangan alat kelamin dan beberapa besar potensi produksi dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus norvegicus, L) dengan perbesaran 4x10 menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-eosin

Lebih terperinci

DIAN KURNIAWATI M

DIAN KURNIAWATI M Perbandingan tingkat keberhasilan perkembangan embrio hasil fertilisasi in vitro pada oosit mencit (mus musculus l.) Strain swiss webster dengan menggunakan spermatozoa epididimis dan SPERMATOZOA hasil

Lebih terperinci

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. Kebuntingan dan Kelahiran Kebuntingan Fertilisasi: Proses bersatunya/fusi antara sel kelamin betina (oosit)

Lebih terperinci

BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN

BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN Pokok bahasan kuliah sinkronisasi alami ini meliputi pengertian hormon reproduksi mulai dari definisi, jenis, macam, sumber, cara kerja, fungsi dan pengaruhnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Folikulogenesis

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Folikulogenesis TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Sistem reproduksi sapi betina lebih kompleks daripada hewan jantan, karena terdiri atas beberapa organ yang memiliki peran dan fungsi masing- masing. Ovarium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya protein hewani bagi tubuh. Hal ini

Lebih terperinci

DIKTAT EMBRIOLOGI HEWAN

DIKTAT EMBRIOLOGI HEWAN DIKTAT EMBRIOLOGI HEWAN Tim Penyusun: Dr. Agung Pramana W.M., MS. Dr. Sri Rahayu, M.Kes. Dr. Ir. Sri Wahyuningsih, MS. Drs. Aris Soewondo, MS. drh. Handayu Untari drh. Herlina Pratiwi PROGRAM KEDOKTERAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Oosit Pada Stadia Folikel Primer Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit pada stadia folikel primer dapat dilihat pada gambar 10.

Lebih terperinci

URAIAN MATERI A. Fertilisasi dan Perkembangan Embrio Fertilisasi adalah proses penyatuan atau peleburan inti sel ovum (ovum) dengan inti sel

URAIAN MATERI A. Fertilisasi dan Perkembangan Embrio Fertilisasi adalah proses penyatuan atau peleburan inti sel ovum (ovum) dengan inti sel URAIAN MATERI A. Fertilisasi dan Perkembangan Embrio Fertilisasi adalah proses penyatuan atau peleburan inti sel ovum (ovum) dengan inti sel spermatozoa yang membentuk makhluk hidup menjadi zigot. Meskipun

Lebih terperinci

II. Bagaimana sifat diwariskan

II. Bagaimana sifat diwariskan II. Bagaimana sifat diwariskan Gen-gen letaknya pada kromosom ( inti sel). Kromosom dan gen-gennya gennya diwariskan saat fertilisasi. Pada gonad pembentukan sel kelamin ( meiosis) Contoh; Kromosom dalam

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 2

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 2 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 2 1. Pasangan antara bagian alat reproduksi laki-laki dan fungsinya berikut ini benar, kecuali... Skrotumberfungsi sebagai pembungkus

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Perlakuan penyuntikan hormon PMSG menyebabkan 100% ikan patin menjadi bunting, sedangkan ikan patin kontrol tanpa penyuntikan PMSG tidak ada yang bunting (Tabel 2).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen Beku Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai prosedur teknis pengawasan mutu bibit ternak kemudian dimasukkan ke dalam straw dan dibekukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sehingga dapat memudahkan dalam pemeliharaannya. Kurangnya minat terhadap

PENDAHULUAN. sehingga dapat memudahkan dalam pemeliharaannya. Kurangnya minat terhadap I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang dikenal di Indonesia sebagai ternak penghasil daging dan susu. Kambing adalah salah satu ternak yang telah didomestikasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak di pelihara petani-peternak di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi pesisir dapat

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Hasil percobaan perkembangan bobot dan telur ikan patin siam disajikan pada Tabel 2. Bobot rata-rata antara kontrol dan perlakuan dosis tidak berbeda nyata. Sementara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kucing Domestik

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kucing Domestik TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kucing Domestik Kucing domestik (Felis catus, Linneaus 1758) (Gambar 1) menempati sebagian besar penjuru dunia. Bukti arkeologi menunjukkan domestikasi kucing terjadi di

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit

PEMBAHASAN Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit 17 PEMBAHASAN Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit Efek Whitten merupakan salah satu cara sinkronisasi siklus berahi secara alami tanpa menggunakan preparat hormon. Metode

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Batur Domba Batur merupakan salah satu domba lokal yang ada di Jawa Tengah tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba Batur sangat

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN OOSIT SAPI SECARA IN VITRO SETELAH INKUBASI PADA KONDISI TEMPERATUR DAN KOMPOSISI GAS CO 2 BERBEDA DWI WALID RETNAWATI

TINGKAT KEMATANGAN OOSIT SAPI SECARA IN VITRO SETELAH INKUBASI PADA KONDISI TEMPERATUR DAN KOMPOSISI GAS CO 2 BERBEDA DWI WALID RETNAWATI TINGKAT KEMATANGAN OOSIT SAPI SECARA IN VITRO SETELAH INKUBASI PADA KONDISI TEMPERATUR DAN KOMPOSISI GAS CO 2 BERBEDA DWI WALID RETNAWATI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12 Nama : Kristina vearni oni samin Nim: 09031 Semester 1 Angkatan 12 Saya mengkritisi tugas biologi reproduksi kelompok 7 tentang siklus menstruasi yang dikerjakan oleh saudari Nela Soraja gusti. Tugas mereka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pernah mengalami masalah infertilitas ini semasa usia reproduksinya dan

I. PENDAHULUAN. pernah mengalami masalah infertilitas ini semasa usia reproduksinya dan I. PENDAHULUAN Infertilitas merupakan suatu masalah yang dapat mempengaruhi pria dan wanita di seluruh dunia. Kurang lebih 10% dari pasangan suami istri (pasutri) pernah mengalami masalah infertilitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. ukuran panjang tubuh sekitar 20 cm dan ukuran berat tubuh gram. Di

II. TINJAUAN PUSTAKA. ukuran panjang tubuh sekitar 20 cm dan ukuran berat tubuh gram. Di II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kematangan Gonad Ikan Lele Ikan lele (Clarias sp) pertama kali matang kelamin pada umur satu tahun dengan ukuran panjang tubuh sekitar 20 cm dan ukuran berat tubuh 100-200 gram.

Lebih terperinci