TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit Secara anatomis, organ reproduksi betina terdiri atas sepasang ovarium dan saluran reproduksi yaitu tuba Falopii, uterus, serviks dan vagina. Ovarium merupakan organ reproduksi primer dengan ukuran yang bervariasi antara spesies. Sebagai organ reproduksi primer, ovarium berfungsi untuk menghasilkan oosit yang berkembang bersama dengan perkembangan folikel. Oleh karena itu folikel ovarium disebut juga sebagai unit struktural dan fungsional dari ovarium yang merupakan lingkungan yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan oosit (Itoh et al. 2002). Selain menghasilkan oosit, ovarium juga menghasilkan hormon reproduksi seperti estrogen dan progesteron. Ovarium terletak di dalam rongga pelvis pada ventral ginjal terbungkus dalam suatu bursa ovarium yang transparan, menggantung dan bertaut melalui mesovarium ke uterus. Berdasarkan dari gambaran histologis terlihat bahwa ovarium terbagi atas dua bagian yaitu korteks (bagian lateral) dan medula (bagian medial). Pada korteks ovarium dapat ditemukan kumpulan folikel dengan berbagai tahapan perkembangan. Folikelfolikel ini akan berkembang menjadi folikel matang dan mengovulasikan oosit sedangkan pada bagian medula ovarium terdapat pembuluh darah, saraf dan jaringan ikat (Senger 1999). Bagian korteks dilapisi oleh satu lapisan epitelium kuboid rendah dan stroma pada bagian korteks terdiri atas jaringan ikat longgar. Perkembangan folikel di dalam ovarium dikenal dengan nama folikulogenesis merupakan proses perkembangan folikel yang berawal dari terbentuknya folikel primordial sampai berkembang menjadi folikel matang dan siap melakukan proses ovulasi. Folikel primordial akan berkembang menjadi folikel primer, sekunder, tersier, de Graaf dan pada akhirnya oosit akan diovulasikan. Proses folikulogenesis ini disertai dengan proses pertumbuhan dan pematangan oosit yang merupakan bagian dari proses oogonesis yaitu proses yang menghasilkan oosit yang haploid. Perkembangan folikel pada ovarium dipengaruhi oleh endokrin dan mekanisme intraovarian yang mengatur proses pertumbuhan oosit dan proliferasi serta diferensiasi sel somatik (Itoh et al. 2002, Thomas & Van der Hayden 2006). Perkembangan folikel tergantung pada keberadaan faktor yang merangsang pertumbuhan folikel dan menghindarkan

2 folikel dari peristiwa apoptosis. Faktor yang mempengaruhi perkembangan folikel antara lain gonadotrophin, hormon steroid dan beberapa faktor pertumbuhan (Quirk et al. 2004). Follicle stimulating hormone (FSH) merupakan gonadotrophin yang berperan dalam proses proliferasi dan diferensiasi folikel sedangkan estrogen adalah hormon yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka diketahui berperan dalam pembentukan rongga folikel. Diantara beberapa faktor pertumbuhan yang berperan dalam perkembangan folikel adalah epidermal growth factor (EGF), transforming growth factor (TGF), basic fibroblast-like growth factor (bfgf), vascular epithelial growth factor (VEGF) dan nerve growth factor (NGF) (Van den Hurk et al. 1997). Perkembangan folikel berdasarkan morfologinya dapat dibedakan atas folikel preantral dan folikel antral. Folikel preantral merupakan tahapan folikel yang belum memiliki antrum sedangkan folikel antral merupakan tahapan folikel yang telah memiliki antrum. Saat lahir pada korteks ovarium mamalia terdapat banyak kumpulan folikel primordial dan dapat dipergunakan sebagai sumber oosit. Folikel primordial yang terdapat pada korteks ovarium memiliki jumlah yang lebih banyak dibanding folikel antral. Folikel primordial merupakan bentuk awal dari folikel yang mengandung oosit diselaputi oleh selapis sel somatis berbentuk pipih. Folikel primordial akan mengalami pertumbuhan menjadi folikel primer dan sekunder, ketiga bentuk folikel ini digolongkan ke dalam folikel preantral. Tahap pertama pertumbuhan folikel primordial adalah pembesaran oosit yang meningkat diameternya menjadi dua sampai tiga kali lipat. Kemudian diikuti dengan perubahan bentuk lapisan sel-sel granulosa yang mengelilingi oosit dari bentuk pipih menjadi kuboid dan tahapan folikel ini disebut folikel primer. Selanjutnya tahapan pembentukan folikel sekunder adalah proliferasi dari sel kuboid akan membentuk beberapa lapisan sel granulosa dan terbentuk sebuah membran (zona pelusida) yang mengelilingi oosit. Oosit dan sel granulosa berperan dalam proses pembentukan zona pelusida yang mengandung glikoprotein yang berperan pada proses pelekatan spermatozoa pada oosit (Robker & Richard 1998). Pada tahapan folikel primordial dan primer, komunikasi antara oosit dengan sel granulosa dilakukan melalui jalur endositotik yang ditandai dengan

3 banyaknya vesikel dan celah pada oosit (Gambar 1) dan setelah memasuki tahap folikel sekunder, komunikasi dilakukan melalui gap junction yang terbentuk diantara oosit dan sel granulosa (Hyttel et al. 1997, Hogan et al. 1994). Komunikasi diantara sel granulosa dan oosit bertanggung jawab terhadap perubahan biokimia yang penting bagi potensi perkembangan dan proses meiosis oosit. Nutrisi dan elemen pengatur yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan oosit dan mempertahankan istirahat meiosis dan juga substrat untuk pertumbuhan dan pematangan dilewatkan melalui gap junction (Barnes 2000). Gambar 1 Perkembangan folikel (Hogan et al. 1994). Sesudah tahap awal pertumbuhan proliferasi, massa sel granulosa mensekresi cairan folikular yang mengandung estrogen dalam konsentrasi tinggi. Penumpukan cairan ini menyebabkan munculnya antrum di dalam massa sel granulosa, tahap ini disebut folikel tersier (Van den Hurk et al. 1997). Diameter folikel semakin meningkat akibat adanya proliferasi sel granulosa serta pembentukan antrum folikuli yang semakin membesar karena produksi cairan folikuli yang semakin meningkat pula sehingga oosit terdesak ke bagian tepi folikel. Pertumbuhan folikel pada tahap ini akan tergantung pada hormon gonadotrophin untuk mencapai folikel de Graaf sehingga oosit dapat diovulasikan (McGee & Hsueh 2000). Berdasarkan keberadaan antrum atau rongga pada folikel

4 tersier dan de Graaf maka perkembangan folikel tahap ini digolongkan ke dalam folikel antral. Proses folikulogenesis disertai dengan proses oogenesis yaitu pertumbuhan dan perkembangan oosit mencapai pematangan. Pertumbuhan oosit antara lain peningkatan diameter oosit dan pertambahan ukuran dari organelorganel. Pertumbuhan oosit disertai dengan perubahan atau perkembangan pada inti dan sitoplasma. Pada saat lahir, semua oosit primer berada pada fase profase tahap diploten pembelahan meiosis dan akan tetap bertahan dalam fase ini sampai mengalami pubertas (Telfer 1996). Diameter oosit pada mencit saat berada dalam fase profase meiosis I berukuran 20 µm meningkat mencapai diameter 85 µm pada oosit primer dalam folikel de Graaf (Hogan et al. 1994). Umumnya perkembangan oosit pada mamalia sampai dengan diovulasikan mengalami dua fase istirahat yaitu pada tahap profase meiosis I dan tahap metafase II pada meiosis II (Whitaker 1996). Inti oosit pada folikel berada dalam keadaan istirahat pada fase G2 atau tahap germinal vesicle (GV) pada pembelahan meiosis I. Kemudian proses meiosis tersebut akan berlanjut diawali dengan robeknya membran inti dikenal dengan tahap germinal vesicle breakdown (GVBD), terjadi kondensasi kromosom inti kemudian oosit memasuki tahap istirahat pada metafase II dan mengeluarkan polar bodi I (Kidson 2005). Pengeluaran polar bodi I (Gambar 2) digunakan sebagai ciri atau bukti kematangan inti oosit dan tahapan ini disebut oosit sekunder (Schramm & Bavister 1999). Gambar 2 Aktivitas meiosis pada oosit (Johnson & Everitt 1995).

5 Tahap istirahat oosit pada metafase II karena tingginya aktivitas maturation/m-phase promoting faktor (MPF) yang bertanggung jawab terhadap kondensasi kromatin, pecahnya membran inti (GVBD) dan pembentukan kumparan sitoskeleton. Aktivitas MPF tergantung pada interaksi antara protein cyclin dan P34 cdc2 (Alberior et al. 2001, Barnes 2000). Pembelahan meiosis II yaitu tahapan metafase II akan berlanjut jika ada sperma yang mampu mempenetrasi dan membuahi oosit (fertilisasi). Selesainya pembelahan meiosis II ditandai dengan dilepaskan polar bodi II (Moore 1989). Selain perkembangan inti selama proses perkembangan oosit juga terjadi penambahan kandungan sitoplasma oosit dengan meningkatnya jumlah organel seperti retikulum endoplasmik, ribosom, granul kortek, lipid droplet dan komplek golgi serta akumulasi mrna (Hyttel et al. 1997, Cha & Chian 1998). Autotransplantasi Heterotopik Ovarium Transplantasi ovarium merupakan tindakan pemindahan sebagian atau seluruh jaringan ovarium ke daerah yang diinginkan. Berdasarkan hubungan antara donor dan resipien maka transplantasi ovarium dapat dibedakan atas auto-, allo- dan xenotransplantasi. Autotransplantasi ovarium adalah pemindahan jaringan ovarium dilakukan pada individu yang sama (Mohammad et al. 2004), jaringan ovarium yang dipindahkan dari donor ke individu yang berbeda tapi masih satu spesies disebut allotransplantasi (Waterhouse et al. 2004) sedangkan pada xenotransplantasi ovarium pemindahan jaringan ovarium dilakukan pada individu dengan spesies yang berbeda (Kagawa et al. 2005). Berdasarkan tempat transplantasi, ovarium dapat ditransplantasikan di tempat semula (orthotopic transplantation) yaitu bursa ovarium (Candy et al. 2000) dan di tempat lain selain bursa ovarium (heterotopic transplantation) seperti di daerah subkutan (Mohammad et al. 2003, Schnorr et al. 2002), kapsula ginjal (Gook et al. 2001, Liu et al. 2001) dan intraperitoneal (Rosendahl et al. 2006, Salehnia 2002). Masing-masing tempat transplantasi (ortotopik atau heterotopik) memiliki keuntungan dan keterbatasan. Transplantasi ortotopik memiliki teknik yang sulit karena harus dilakukan hati-hati agar bursa ovarium tidak rusak. Transplantasi pada tempat ini umum dilakukan jika ingin melihat viabilitas ovarium sampai

6 dihasilkan keturunan akan tetapi teknik transplantasi ini memungkinkan tersisanya jaringan ovarium asal sehingga menyulitkan evaluasi apakah ovarium yang berkembang berasal dari jaringan ovarium asal yang tersisa atau ovarium donor yang ditransplantasikan. Pada transplantasi heterotopik meskipun evaluasi tidak dapat dilakukan sampai dihasilkan keturunan akan tetapi teknik pengerjaan lebih mudah dan didapatkan kepastian bahwa ovarium yang berkembang hanya berasal dari ovarium donor. Keberhasilan transplantasi ortotopik telah dilaporkan mampu menghasilkan keturunan melalui perkawinan alamiah (Candy et al. 2000). Pada transplantasi heterotopik evaluasi tidak dapat dilakukan sampai dihasilkan keturunan karena tidak memungkinkan untuk terjadi ovulasi dan fertilisasi secara in vivo. Namun dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada ovarium hasil transplantasi heterotopik dapat mengalami perkembangan folikel dan resipien ovarium transplan mampu mengalami siklus estrus secara normal (Schmidt et al. 2003, Schnorr et al. 2002, Mohamad et al. 2004). Keturunan dari transplantasi heterotopik telah berhasil diperoleh secara in vitro dengan mengkoleksi oosit dari ovarium transplan dilanjutkan dengan maturasi, fertilisasi dan kultur in vitro sampai dihasilkan embrio selanjutnya embrio in vitro ditransfer ke induk resipien dan menghasilkan keturunan (Liu et al. 2001). Keberhasilan transplantasi ovarium dapat dipengaruhi oleh lokasi transplantasi, sistem vaskularisasi, besar potongan jaringan serta umur donor dan resipien. Ovarium mencit telah berhasil ditransplantasikan dengan berbagai ukuran mulai dari ovarium fetal sampai ovarium dewasa (Cox et al. 1996, Waterhouse et al. 2004). Pada ovarium dengan ukuran yang lebih besar seperti domba (Gosden et al. 1994) dan manusia (Callejo et al. 2001), transplantasi dilakukan menggunakan potongan kortek ovarium dengan ukuran kecil. Pada daerah kortek ovarium terdapat banyak kumpulan folikel primordial dan penggunaan potongan daerah kortek ovarium memungkinkan semakin banyak folikel primordial yang dapat ditransplantasikan. Lokasi transplantasi di bursa ovarium atau di daerah lain yang kaya dengan pembuluh darah memungkinkan keberhasilan transplantasi lebih baik dibanding daerah dengan vaskularisasi kurang memadai. Menurut Mohamad et al. (2004) autotransplantasi di kapsula

7 ginjal lebih baik dibandingkan di subkutan karena sistem vaskularisasi ginjal lebih baik dibanding subkutan, sehingga pemulihan fungsi ovarium lebih cepat. Superovulasi Individu betina pada saat dilahirkan memiliki sumber oosit dalam jumlah banyak yang terdapat pada folikel dikedua ovarium namun yang berkembang dan dapat diovulasikan hanya beberapa karena sisa folikel yang lain akan mengalami atresia. Hal ini terjadi karena dalam tahap perkembangan folikel antral terdapat peristiwa rekrutmen, seleksi dan dominan (Savio et al. 1993). Rekrutmen adalah fase pada pertumbuhan folikel dimana sekelompok folikel antral kecil mulai tumbuh dan memproduksi estrogen. Setelah melalui rekrutmen, sekelompok folikel yang sedang tumbuh dan tidak mengalami atresia terseleksi. Folikel yang terseleksi dapat menjadi dominan atau mengalami atresia. Folikel dominan yang terseleksi meningkatkan produksi jumlah estrogen dan juga inhibin. Folikel dominan mengontrol pertumbuhan atau perkembangan folikel lainnya dengan memproduksi hormon seperti estrogen, inhibin, aktivin dan produk sekresi lainnya seperti faktor pertumbuhan dan penghambat (Savio et al. 1993, Senger 1999). Proses perkembangan folikel, ovulasi dan pembentukan corpus luteum (CL) pada ovarium dipengaruhi oleh sirkulasi hormon reproduksi dalam tubuh. Gonadotrophin releasing hormone (GnRH) yang dihasilkan oleh hipotalamus berfungsi untuk merangsang pengeluaran follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) oleh hipofisa anterior sebagai respon terhadap estrogen atau progesteron. Selama proses pertumbuhan folikel antral kecil atau tahap rekrutmen, konsentrasi FSH dan LH mulai meningkat sehingga merangsang perkembangan folikel dan mulai menghasilkan estrogen dan sejumlah kecil inhibin. Saat memasuki tahap seleksi, konsentrasi inhibin yang diproduksi oleh folikel mulai meningkat memberikan efek umpan balik negatif terhadap anterior hipofisa sehingga menghambat pelepasan FSH. Saat ini peranan FSH dan LH mulai berubah, konsentrasi FSH mulai menurun dan LH meningkat (Gambar 3). Folikel yang terseleksi dapat menjadi folikel dominan atau mengalami atresia. Pada tahap dominan dicirikan dengan konsentrasi FSH lebih rendah dibandingkan

8 LH, folikel berukuran besar atau dominan mulai memproduksi estrogen dalam jumlah besar. Gambar 3 Proses rekrutmen, seleksi dan dominan pada ovarium selama perkembangan folikel (Senger 1999). Konsentrasi FSH berkurang karena hambatan dari inhibin yang bersifat umpan balik negatif terhadap pelepasan FSH dari hipofisa anterior, hal ini menyebabkan folikel antral lain mengalami atresia. Dari peristiwa ini menyebabkan terjadi perkembangan folikel dominan yang bersifat ovulatoris dan non ovulatoris atau disebut folikel pendamping dan hanya beberapa folikel yang mampu berkembang menjadi dominan ovulatoris dan menekan folikel pendamping lainnya (Sunderland et al. 1994). Penekanan pertumbuhan oleh folikel dominan terhadap folikel pendamping selain karena pengaruh inhibin juga disebabkan oleh estrogen yang dihasilkan pada folikel dominan akan memberi respon positif terhadap pembentukan reseptor FSH pada sel granulosa sehingga meningkatkan rangsangan FSH terhadap folikel dominan (Fortune 1994). Folikel dominan yang mengandung estrogen dan inhibin dengan konsentrasi tinggi berhubungan dengan penekanan konsentrasi FSH dalam sirkulasi darah dan kombinasi antara produksi inhibin oleh folikel dominan serta penurunan konsentrasi FSH dalam suplai darah ke beberapa folikel menyebabkan hambatan

9 perkembangan folikel (Senger 1999). Penyuntikan hormon pregnant mare s serum gonadotrophin (PMSG) yang analog dengan FSH akan mencegah atresi folikel pendamping yang berukuran besar karena peningkatan konsentrasi FSH akan meningkatkan jumlah ikatan reseptor FSH pada folikel sehingga merangsang perkembangan folikel dan meningkatkan jumlah folikel dominan. Apabila konsentrasi estrogen yang dihasilkan oleh folikel dominan telah mencapai batas maksimal maka akan memicu lonjakan pengeluaran LH oleh hipofisa anterior sehingga menyebabkan terjadi ovulasi oosit. Ovulasi didefinisikan sebagai pelepasan oosit dari folikel dominan dan panjang waktu ovulasi dapat berbeda-beda diantara hewan tergantung pada siklus estrusnya. Panjang siklus estrus dan waktu ovulasi dapat dipengaruhi oleh banyak faktor lingkungan dan dapat pula diinduksi secara buatan dengan penyuntikan hormon. Untuk meningkatkan jumlah oosit yang akan dikoleksi dapat dilakukan dengan induksi superovulasi menggunakan PMSG yang memiliki daya kerja seperti FSH dan human chorionic gonadotropin (hcg) yang memiliki daya kerja seperti LH. Secara fisiologis hcg tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan folikel tapi berfungsi membantu pecahnya folikel yang matang sehingga terjadi ovulasi. Induksi superovulasi pada mencit menggunakan PMSG dan hcg diberikan dengan dosis sebanyak 5 IU/ekor secara intraperitonial (i.p.) dalam interval waktu 48 jam (Hogan et al. 1994). Efisiensi dari induksi ovulasi dipengaruhi beberapa faktor seperti perbedaan genetik (Spearow & Barkley 1999) yaitu strain mencit dan juga respon superovulasi dapat berbeda-beda tergantung pada spesies, umur dan berat badan (Hogan et al. 1994, Kon et al. 2005). Pematangan Oosit In Vitro Pematangan oosit baik secara in vivo atau in vitro meliputi pematangan inti dan sitoplasma. Proses pematangan inti dan sitoplasma merupakan hal yang penting bagi oosit untuk mendukung keberhasilan fertilisasi dan perkembangan embrio (Rodriguez & Farin 2004). Oosit mamalia setelah dilepaskan dari folikel ovarium dapat melanjutkan pematangan inti secara spontan di dalam medium kultur secara in vitro. Pematangan oosit secara in vitro dilakukan agar oosit primer dapat menyelesaikan proses meiosis sehingga berkembang menghasilkan oosit

10 sekunder yang haploid dan mempunyai kemampuan untuk berhasil terfertilisasi dan mendukung perkembangan embrio selanjutnya (Hyttel et al. 1997). Proses pematangan inti ditandai dengan perubahan inti dari tahap diploten profase meiosis I ke metafase II (Whitaker 1996) yang ditunjukkan dengan kemampuan membran inti melewati germinal vesicle, kondensasi kromosom, pelepasan polar bodi I dan istirahat pada metafase II. Pada saat diovulasikan oosit berada pada tahap istirahat metafase II sampai terjadi aktivasi pada oosit untuk melanjutkan perkembangan. Inisiasi atau awal meiosis pada oosit dikontrol oleh maturation/m-phase promoting faktor (MPF) yang aktivitasnya meningkat pada saat germinal vesicle breakdown (GVBD), maksimum pada metafase I dan menurun pada metafase II (Crozet et al. 2000). Proses pematangan sitoplasma melibatkan akumulasi mrna maternal dan perubahan molekuler dan struktural antara lain peningkatan yang pesat terhadap jumlah dan ukuran organel seperti ribosom, butir lemak, golgi, mitokondria dan butir korteks sehingga oosit memiliki kemampuan untuk mendukung proses fertilisasi dan perkembangan embrio (Ebner et al. 2003). Kedua pematangan ini harus terjadi sehingga oosit mempunyai kemampuan untuk mendukung perkembangan setelah fertilisasi. Efisiensi kematangan sitoplasma termasuk kemampuan oosit untuk menghambat penetrasi sperma lebih dari satu dan juga mendukung dekondensasi kepala sperma pada ooplasma saat oosit terfertilisasi. Kematangan inti dapat dievaluasi dengan pewarnaan sederhana seperti aceto orcein sedangkan pematangan sitoplasma dapat diketahui secara tidak langsung antara lain dari jumlah blastosis yang dihasilkan, kandungan glutation pada oosit dan persentase pembentukan pronukleus jantan (Kidson 2005). Proses pematangan oosit in vivo dapat ditiru secara in vitro dengan menggunakan medium dan keadaan yang meniru kondisi in vivo. Sistem kultur in vitro melibatkan beberapa faktor seperti sumber gas CO 2, medium sebagai nutrisi, substrat (wadah) dan suhu. Medium yang digunakan dalam pematangan oosit dapat memberikan pengaruh bukan hanya pada oosit tapi juga terhadap perkembangan embrio. Kondisi kultur suboptimal selama pematangan in vitro akan menyebabkan abnormalitas oosit yang dapat mempengaruhi pre- atau postimplantasi embriogenesis (Schramm & Bavister 1999). Medium sebagai

11 sumber nutrisi untuk mendukung pematangan oosit dapat berupa medium racikan sederhana dan medium komersial. Berbagai medium yang umum digunakan untuk pematangan oosit antara lain tissue culture medium (TCM-199) (Mattioli et al. 1994), potassium simplex optimized medium (KSOM) (Gardner & Lane 2000), Ham s F10 (Wu et al. 2001), minimal essential medium (MEM) (Waterhouse et al. 2004), Charles Rosenkrans (CR1aa) (Yulnawati 2006) dan lain sebagainya. Untuk menunjang keberhasilan proses pematangan sejumlah penelitian telah dilakukan dengan menambahkan berbagai macam bahan dalam medium untuk menciptakan medium yang optimum bagi proses pematangan seperti penambahan protein, hormon gonadotrophin serta antibiotik. Umumnya medium diberi tambahan protein seperti fetal calf serum (FCS), fetal bovine serum (FBS), bovine serum albumine (BSA), follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Faktor pertumbuhan berperan penting pada pematangan oosit in vitro seperti penambahan EGF dan TGF mempengaruhi pematangan oosit (Kobayashi et al. 1994). Dalam kultur pematangan oosit in vitro selain faktor medium, kualitas folikel dan oosit juga mempengaruhi tingkat pematangan oosit in vitro. Keberadaan sel kumulus yang mengelilingi oosit berperan penting untuk mendukung proses pematangan oosit secara in vitro. Terdapat korelasi positif dari keberadaan lapisan sel granulosa pada kumulus dan kemampuan perkembangan embrio (Cobo et al. 1999) karena fungsi sel kumulus menyediakan nutrisi untuk oosit selama perkembangan folikel. Gonadotrophin berperan untuk menstimuli proses meiosis pada oosit mamalia dan ekspansi sel kumulus. Ekspansi sel kumulus merupakan salah satu indikator keberhasilan pematangan oosit secara in vitro dan menjadi kriteria pemilihan oosit yang akan digunakan dalam proses fertilisasi in vitro. Fertilisasi In Vitro Fertilisasi merupakan proses yang penting dalam kehidupan makhluk hidup. Proses fertilisasi menandakan dimulainya kehidupan organisme baru dengan terjadinya penggabungan informasi genetik jantan dan betina melalui peleburan sperma dan oosit. Proses fertilisasi bukan hanya peristiwa

12 penggabungan informasi genetik jantan dan betina saja, akan tetapi dalam proses ini melibatkan banyak hal yang sangat komplek. Proses yang terkait dalam fertilisasi (Gambar 4) antara lain kapasitasi, reaksi akrosom, pengikatan sperma dengan oosit, penetrasi sperma ke zona pelusida pada oosit, peleburan antara membran sperma dan oosit, pencegahan polispermia dan diakhiri dengan peleburan pronukleus sperma dan oosit (Tulsiani et al. 1997). Gambar 4 Interaksi oosit-sperma dalam proses fertilisasi (Hafez & Hafez 2000). Secara in vivo fertilisasi terjadi di tuba Falopii saluran kelamin betina sedangkan proses fertilisasi secara in vitro dapat dilakukan pada medium yang dikondisikan. Hambatan dalam teknik fertilisasi in vitro adalah kondisi yang tidak sesuai dengan in vivo sehingga harus diatasi dengan menggunakan medium yang sesuai dengan kondisi in vivo. Dalam proses fertilisasi secara in vitro, sumber oosit dapat berasal dari induk betina yang mengalami ovulasi atau superovulasi atau dari folikel preantral dan antral setelah melalui tahapan kultur in vitro untuk memperoleh oosit yang matang (Liu et al. 2000, 2001). Sperma yang digunakan

13 untuk fertilisasi in vitro dapat berasal dari epididimis atau sperma ejakulat. Agar sperma mampu melakukan fertilisasi dengan oosit, sperma harus mengalami serangkaian perubahan yaitu pematangan dan kapasitasi. Sperma mengalami pematangan selama berada di epididimis sebelum diejakulasikan. Perubahan yang terjadi pada sperma selama pematangan antara lain penghilangan sisa sitoplasma (cytoplasmic droplet), perubahan permukaan plasma membran dan memperoleh kemampuan motilitas. Setelah mengalami pematangan, sperma masih belum siap untuk membuahi oosit. Sperma harus melalui tahap kapasitasi agar mempunyai kemampuan untuk penetrasi ke dalam oosit (Garner & Hafez 2000). Kapasitasi secara in vivo terjadi pada saluran kelamin betina dan proses kapasitasi dapat dilakukan secara in vitro dengan inkubasi di dalam suatu medium tertentu. Awal mula proses kapasitasi in vitro dilakukan menggunakan cairan oviduk, cairan folikel atau serum darah namun kemajuan dan kemudahan kapasitasi in vitro dapat dilakukan atau berhasil dilakukan menggunakan chemically defined medium (Yanagimachi 1988) yang mengandung bovine serum albumine (BSA) dan sumber energi seperti glukosa dan piruvat (Tulsiani et al. 1997). Medium kapasitasi dan fertilisasi in vitro yang telah digunakan antara lain seperti KSOM (Summers et al. 2000), Whittingham s medium (Bagis et al. 2001), Tyrode s medium (Waterhouse et al. 2004) pada mencit, Ham s F10 medium pada manusia (Wu et al. 2001), CR1aa pada domba (Yulnawati 2006) dan lain sebagainya. Penambahan suplemen seperti kafein atau heparin dalam medium kapasitasi dapat meningkatkan kemampuan kapasitasi sperma (Tatham 2000, O Flaherty et al. 2006). Dalam proses kapasitasi terjadi perubahan pada sperma antara lain perubahan pergerakan sperma menjadi lebih aktif (hiperaktivasi), perubahan permeabilitas membran sperma, perubahan konsentrasi ion intraseluler, perubahan akrosom dan perubahan membran plasma (Yanagimachi 1988). Perubahan permeabilitas membran menyebabkan ion ion kalsium (Ca 2+ ) ekstraseluler dapat masuk dan menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler. Disamping peningkatan Ca 2+ juga terjadi perubahan konsentrasi kalium (K + ) dan natrium (Na + ) intraseluler. Kalsium merupakan komponen yang penting dalam proses transisi sperma dari bersifat non fertilizing menjadi fertilizing. Kalsium

14 bertanggung jawab terhadap sistem adenylate cyclase-cyclic AMP sehingga meningkatkan konsentrasi camp. Kalsium juga terlibat dalam aktivasi perubahan proakrosin menjadi akrosin pada reaksi akrosom. Peningkatan konsentrasi Ca 2+ intraseluler merupakan hal yang penting dalam fusi atau peleburan membran antara sperma dengan oosit dan hal ini berhubungan dengan reaksi akrosom (Fraser 1982). Setelah proses kapasitasi, sperma dapat melakukan eksositosis akrosom (reaksi akrosom) dengan tujuan agar dapat menembus zona pelusida serta melakukan peleburan dengan plasma membran oosit. Reaksi akrosom adalah proses yang ditandai dengan peleburan membran luar akrosom dengan plasma membran sperma. Peleburan ini menyebabkan pelepasan isi akrosom dan membukanya membran dalam akrosom (Brown et al. 2002). Peleburan antara kedua membran ini disebut proses vesikulasi dengan terbentuknya banyak vesikel kecil (Gambar 5). Adanya proses vesikulasi membran akrosom menandakan terjadinya reaksi akrosom (Senger 1999). Selanjutnya setelah reaksi akrosom, terjadi interaksi baru antara membran dalam akrosom dengan zona pelusida. Pelepasan enzim akrosom (termasuk hialuronidase dan akrosin) bersama dengan motilitas sperma yang hiperaktif memungkinkan penetrasi sperma melalui zona diikuti pelekatan sperma pada oolema (plasma membran oosit). Gambar 5 Perubahan pada sperma selama reaksi akrosom (Senger 1999). Selama penetrasi sperma ke dalam oosit, peningkatan konsentrasi Ca 2+ intraseluler mengakibatkan peleburan kortikal granul dengan lapisan terluar oolema dan melepaskan isinya ke ruang perivitelin (reaksi kortikal). Kesalahan

15 distribusi kortikal granul setelah penetrasi sperma in vitro dapat mempengaruhi pembentukan lapisan kortikal granul dan menyebabkan tidak efektifnya penahanan terhadap polispermi (Kim et al. 1996). Penetrasi sperma ke dalam oosit akan menyebabkan penyelesaian pembelahan meiosis II yang ditandai dengan terbentuknya polar bodi II. Selanjutnya kromosom oosit akan membentuk pronukleus betina dan kepala sperma akan mengalami dekondensasi dan kemudian membentuk pronukleus jantan. Perangsangan oleh sperma pada oosit matang akan menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler sehingga menurunkan aktifitas maturation/m-phase promoting faktor (MPF) dan mitogenactivated protein (MAP) kinase. Inaktifasi dari MPF dan MAP kinase saat fertilisasi berhubungan dengan pelepasan polar bodi II dan pembentukan pronukleus (Kikuchi et al. 2000). Kondisi pematangan oosit, ekspansi sel kumulus dan sistem kapasitasi sperma in vitro yang kurang memadai bertanggung jawab terhadap penundaan dan rendahnya angka penetrasi. Pematangan sitoplasma melibatkan sejumlah modifikasi struktur dan metabolik yang dipersiapkan untuk rangkaian fertilisasi (Ebner et al. 2003). Keberhasilan fertilisasi in vitro dari oosit yang berasal dari pematangan in vitro tergantung pada metode dan kondisi kultur pematangan. Kondisi kultur pematangan mempengaruhi faktor sitoplasmik yang mempengaruhi kemampuan oosit untuk melalui fertilisasi dan berhasilnya embriogenesis (Cobo et al. 1999). Perkembangan Embrio In Vitro Oosit yang dihasilkan melalui proses pematangan dan fertilisasi in vitro telah berhasil dikembangkan secara in vitro menjadi embrio di dalam medium kultur seperti KSOM (Liu et al. 2001), TCM-199 (Laurincik et al. 1994), CR1aa (Yulnawati 2006), synthetic oviduct fluid (SOF) (Krisher et al. 1999) atau medium dengan komposisi bahan kimia tertentu (chemically defined medium) (Erbach et al. 1994, Yoshioka et al. 2002) dan lain sebagainya. Metode kultur embrio secara in vitro sangat mempengaruhi keberhasilan perkembangan embrio lebih lanjut dan proses implantasi pada resipien (Petters 1992). Hambatan dalam produksi embrio secara in vitro adalah terjadinya fenomena cell block pada pertumbuhan embrio.

16 Hambatan ini sering terjadi pada tahap awal perkembangan embrio atau tahap embrio preimplantasi. Pada embrio tikus dan mencit, hambatan perkembangan terjadi pada tahap dua sel sedangkan embrio sapi dan domba mengalami hambatan perkembangan pada tahap delapan sel. Usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi hambatan perkembangan pada embrio antara lain penggunaan sistem ko-kultur dengan sel-sel somatis seperti monolayer sel-sel kumulus (Malekshah & Moghaddam 2005), sel-sel epitel tuba Falopii (Hendri 1997) atau penggunaan chemically defined medium yang diberi tambahan asam amino (Booth et al. 2005) dan bahan-bahan growth factor tertentu. Menurut Gordon (1994) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan perkembangan embrio in vitro seperti jenis medium yang digunakan, penambahan serum, substrat energi, sistem inkubasi (suhu, fase gas, ph, osmolalitas medium, kualitas air), penggunaan ko-kultur sel epitel tuba Falopii dan sel kumulus. Medium kultur yang digunakan dapat mempengaruhi metabolisme dari embrio yang dihasilkan (Krisher et al. 1999). Pada beberapa penelitian terhadap perkembangan embrio, hambatan perkembangan embrio in vitro tergantung pada substrat energi seperti tahap awal pembelahan pada embrio babi dipengaruhi oleh piruvat dan pada mencit atau hamster dipengaruhi oleh glukosa (Kiernan et al. 1991). Selama perkembangan awal embrio preimplantasi, glukosa berada dalam jumlah yang rendah pada embrio mencit dan manusia. Setelah aktifasi genom embrio pada tahap 2-4 sel pada mencit dan 4-8 sel pada manusia, terdapat penurunan piruvat pada mencit tapi tidak pada manusia dan lonjakan glukosa pada keduanya (Conaghan et al. 1993). Gangguan metabolisme embrio, kemampuan kapasitasi, kemampuan signaling dan perkembangan maternal berhubungan dengan lingkungan yang suboptimal baik secara in vivo atau in vitro yang akan mengaktifkan kondisi stres atau tekanan hal ini akan merangsang embrio untuk mempertahankan keseimbangan homeostatik (Fleming et al. 2004). Perkembangan tahap awal embrio tergantung pada lingkungan mikro pematangan oosit (Kidson 2005). Ketika proses pematangan oosit in vitro tidak memberikan lingkungan yang cocok bagi oosit, walaupun dapat terbentuk kematangan inti dan terjadi fertilisasi setelah IVF namun hasil akhir adalah

17 rendahnya nilai kualitas blastosis/embrio yang dihasilkan (Lucidi et al. 2003). Tidak cukup proses pematangan sitoplasma pada oosit akan mempengaruhi perpindahan atau pertukaran kontrol perkembangan maternal ke embrio dan menghasilkan perkembangan yang salah (Vassena et al. 2003). Menurut Laurincik et al. (2000) tahap pembelahan 1-3 sel tergantung pada maternal genom dan lebih dari 3 sel akan tergantung pada embrionik genom, tahapan ini merupakan keadaan yang sangat kritis karena terjadi transisi maternal-embrionik genom.

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggulan dalam memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di dalamnya pemanfaatan proses rekayasa fungsi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis 3 TINJAUAN PUSTAKA Domba Domba merupakan salah satu sumber protein yang semakin digemari oleh penduduk Indonesia. Fenomena ini semakin terlihat dengan bertambahnya warung-warung sate di pinggiran jalan,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel

2. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel 2. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel Satu siklus estrus terdiri dari fase folikular dan fase luteal. Fase folikular ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit Oosit adalah sel terbesar pada tubuh makhluk hidup. Oosit dihasilkan di ovarium yang merupakan organ reproduksi primer yang memiliki fungsi utama menghasilkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak yang dapat menyediakan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia selain dari sapi, kerbau dan unggas. Oleh karena itu populasi dan kualitasnya

Lebih terperinci

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed Sel akan membelah diri Tujuan pembelahan sel : organisme multiseluler : untuk tumbuh, berkembang dan memperbaiki sel-sel yang rusak organisme uniseluler (misal : bakteri,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL I. Tingkat maturasi oosit domba dalam suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda Tahapan pematangan inti yang diamati pada penelitian ini dikelompokkan menjadi 5 tahap yaitu GV

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Oosit Pada Stadia Folikel Primer Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit pada stadia folikel primer dapat dilihat pada gambar 10.

Lebih terperinci

OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS. Titta Novianti

OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS. Titta Novianti OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS Titta Novianti OOGENESIS Pembelahan meiosis yang terjadi pada sel telur Oogenesis terjadi dalam dua tahapan pembelahan : yaitu mitosis meiosis I dan meiosis II Mitosis : diferensaiasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak di pelihara petani-peternak di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi pesisir dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Seorang wanita disebut hamil jika sel telur berhasil dibuahi oleh sel sperma. Hasil pembuahan akan menghasilkan zigot, yang lalu berkembang (dengan cara pembelahan sel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus norvegicus, L) dengan perbesaran 4x10 menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-eosin

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Embrio partenogenetik memiliki potensi dalam mengatasi permasalahan etika pada penelitian rekayasa embrio. Untuk memproduksi embrio partenogenetik ini, sel telur diambil dari individu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus A. Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian mengenai pengruh pemberian ekstrak kacang merah (Phaseolus vulgaris, L.) terhadap perkembangan folikel ovarium tikus putih diambil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi

TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi Fertilisasi merupakan proses bertemunya sel sperma dengan sel telur. Sel telur diaktivasi untuk memulai perkembangannya dan inti sel dari dua gamet akan bersatu untuk menyempurnakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat produksi daging domba di Jawa Barat pada tahun 2016 lebih besar 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging domba dan kambing di

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. susu untuk peternak di Eropa bagian Tenggara dan Asia Barat (Ensminger, 2002). : Artiodactyla

KAJIAN KEPUSTAKAAN. susu untuk peternak di Eropa bagian Tenggara dan Asia Barat (Ensminger, 2002). : Artiodactyla 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Domba Lokal Domba merupakan hewan ternak yang pertama kali di domestikasi. Bukti arkeologi menyatakan bahwa 7000 tahun sebelum masehi domestik domba dan kambing telah menjadi

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; Fisiologi Reproduksi & Hormonal Wanita Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; 1. Hormon yang dikeluarkan hipothalamus, Hormon pelepas- gonadotropin

Lebih terperinci

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh kelenjar endokrin dan disekresikan ke dalam aliran darah

Lebih terperinci

Gametogenesis. GAMET: Berasal dari Bakal sel kelamin atau primordial germ cells luar gonad 2/4/2014

Gametogenesis. GAMET: Berasal dari Bakal sel kelamin atau primordial germ cells luar gonad 2/4/2014 Gametogenesis GAMET: Berasal dari Bakal sel kelamin atau primordial germ cells luar gonad BSK, Pada Amphibia, Mamalia ameboid lewat mesenterium ke pematang genital (bakal gonad) Aves : pasif dibawa aliran

Lebih terperinci

MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI

MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI MK. ILMU REPRODUKSI 1 SUB POKOK BAHASAN Transport spermatozoa pada organ reproduksi jantan (tubuli seminiferi, epididimis dan ejakulasi) Transport spermatozoa

Lebih terperinci

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12 Nama : Kristina vearni oni samin Nim: 09031 Semester 1 Angkatan 12 Saya mengkritisi tugas biologi reproduksi kelompok 7 tentang siklus menstruasi yang dikerjakan oleh saudari Nela Soraja gusti. Tugas mereka

Lebih terperinci

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi. Nama : Hernawati NIM : 09027 Saya mengkritisi makalah kelompok 9 No 5 tentang siklus menstruasi. Menurut saya makalah mereka sudah cukup baik dan ketikannya juga sudah cukup rapih. Saya di sini akan sedikit

Lebih terperinci

4/18/2015 FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME

4/18/2015 FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME TIPE 1 Sel Sperma ( haploid/ n) Sel telur (haploid/ n) Fertilisasi Zigot (Diploid/ 2n) Cleavage Morfogenesis Individu Sel Sperma ( haploid/

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2011 s.d. Februari 2012. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Folikulogenesis

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Folikulogenesis TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Sistem reproduksi sapi betina lebih kompleks daripada hewan jantan, karena terdiri atas beberapa organ yang memiliki peran dan fungsi masing- masing. Ovarium

Lebih terperinci

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Menstruasi Remaja Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang utuh dari hipotalamus-hipofise-ovarium. Struktur alat reproduksi, status nutrisi,

Lebih terperinci

FERTILISASI DAN. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed DASAR KEPERAWATAN DAN KEPERAWATAN DASAR FIK-UI TUTI N., FIK UI

FERTILISASI DAN. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed DASAR KEPERAWATAN DAN KEPERAWATAN DASAR FIK-UI TUTI N., FIK UI FERTILISASI DAN KONTROL REPRODUKSI TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed DASAR KEPERAWATAN DAN KEPERAWATAN DASAR FIK-UI FERTILISASI Proses penyatuan gamet pria dan wanita yang terjadi di daerah ampulla tuba fallpopii.

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

LAPORAN TAHUNAN HIBAH BERSAING MATURASI OOSIT DAN FERTILISASI IN VITRO MENGGUNAKAN KULTUR SEL GRANULOSA FOLIKEL OVARIUM

LAPORAN TAHUNAN HIBAH BERSAING MATURASI OOSIT DAN FERTILISASI IN VITRO MENGGUNAKAN KULTUR SEL GRANULOSA FOLIKEL OVARIUM LAPORAN TAHUNAN HIBAH BERSAING MATURASI OOSIT DAN FERTILISASI IN VITRO MENGGUNAKAN KULTUR SEL GRANULOSA FOLIKEL OVARIUM Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun Ketua/Anggota Peneliti: Dr. drh. Heru Nurcahyo, M.Kes

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PRODUKSI EMBRIO DOMBA SECARA IN VITRO: PENGGUNAAN MEDIUM CR1aa DAN PENGARUH STATUS REPRODUKSI OVARIUM YULNAWATI

OPTIMALISASI PRODUKSI EMBRIO DOMBA SECARA IN VITRO: PENGGUNAAN MEDIUM CR1aa DAN PENGARUH STATUS REPRODUKSI OVARIUM YULNAWATI OPTIMALISASI PRODUKSI EMBRIO DOMBA SECARA IN VITRO: PENGGUNAAN MEDIUM CR1aa DAN PENGARUH STATUS REPRODUKSI OVARIUM YULNAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK YULNAWATI.

Lebih terperinci

Anatomi/organ reproduksi wanita

Anatomi/organ reproduksi wanita Anatomi/organ reproduksi wanita Genitalia luar Genitalia dalam Anatomi payudara Kelainan organ reproduksi wanita Fisiologi alat reproduksi wanita Hubungan ovarium dan gonadotropin hormon Sekresi hormon

Lebih terperinci

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. ukuran panjang tubuh sekitar 20 cm dan ukuran berat tubuh gram. Di

II. TINJAUAN PUSTAKA. ukuran panjang tubuh sekitar 20 cm dan ukuran berat tubuh gram. Di II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kematangan Gonad Ikan Lele Ikan lele (Clarias sp) pertama kali matang kelamin pada umur satu tahun dengan ukuran panjang tubuh sekitar 20 cm dan ukuran berat tubuh 100-200 gram.

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik Bobot Badan Tikus Ekstrak rumput kebar yang diberikan pada tikus dapat meningkatkan bobot badan. Pertambahan bobot badan tikus normal yang diberi

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN OOSIT SAPI SECARA IN VITRO SETELAH INKUBASI PADA KONDISI TEMPERATUR DAN KOMPOSISI GAS CO 2 BERBEDA DWI WALID RETNAWATI

TINGKAT KEMATANGAN OOSIT SAPI SECARA IN VITRO SETELAH INKUBASI PADA KONDISI TEMPERATUR DAN KOMPOSISI GAS CO 2 BERBEDA DWI WALID RETNAWATI TINGKAT KEMATANGAN OOSIT SAPI SECARA IN VITRO SETELAH INKUBASI PADA KONDISI TEMPERATUR DAN KOMPOSISI GAS CO 2 BERBEDA DWI WALID RETNAWATI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA. Transfer Inti Sel Somatis

Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA. Transfer Inti Sel Somatis 3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan oosit mencit hasil superovulasi dengan penyuntikan hormon PMSG dan hcg secara intraperitonial. Produksi embrio kloning menggunakan teknik TISS yang

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN A.PENGERTIAN

B A B I PENDAHULUAN A.PENGERTIAN B A B I PENDAHULUAN A.PENGERTIAN Ovulasi adalah peristiwa dilepaskannya ovum atau sel telur yang sudah matang dari ovarium.proses ovulasi terjadi apabila alat kelamin betina sudah mencapai dewasa kelamin.ovulasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 1. Perhatikan gambar berikut! Bagian yang disebut dengan oviduct ditunjukkan oleh huruf... A B C D Bagian yang ditunjukkan oleh gambar

Lebih terperinci

DNA (deoxy ribonucleic acid) yang membawa informasi genetik. Bagian tengah

DNA (deoxy ribonucleic acid) yang membawa informasi genetik. Bagian tengah TINJAUAN PUSTAKA Spermatozoa Spermatozoa adalah sel kelarnin jantan yang dibentuk pada tubuli semineferi testes melalui proses yang disebut spermatogenesis (Toelihere, 1993a dan Salisbury dan VanDemark,

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Gambar 4.1 Folikel Primer. 30 Universitas Indonesia

BAB 4 HASIL. Gambar 4.1 Folikel Primer. 30 Universitas Indonesia BAB 4 HASIL Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemajanan medan elektromagnet pada jumlah folikel ovarium mencit. Hasil penelitian ini membandingkan antara kelompok kontrol

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Sistem reproduksi sapi betina lebih kompleks daripada sapi jantan, dimana terdiri dari beberapa organ yang memiliki peran dan fungsi masing-masing. Ovarium

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvi PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Manfaat...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvi PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Manfaat... DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvi PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Manfaat... 3 TINJAUAN PUSTAKA Trenggiling... 4 1. Klasifikasi dan Persebaran... 4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fertilisasi in vitro (FIV) merupakan salah satu cara bagi pasangan infertil untuk memperoleh keturunan. Stimulasi ovarium pada program FIV dilakukan untuk

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ini dilakukan pada 8 induk ikan Sumatra yang mendapat perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukan Spawnprime A dapat mempengaruhi proses pematangan akhir

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali (Bos javanicus)

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali (Bos javanicus) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali (Bos javanicus) Sapi Bali (Bos javanicus) diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng). Payne dan Rollinson (1973) menduga asal mula sapi Bali adalah dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Ovarium yang dikoleksi dari rumah potong hewan biasanya berada dalam fase folikular ataupun fase luteal. Pada Gambar 1 huruf a mempunyai gambaran ovarium pada fase folikuler dan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNOLOGI KULTUR OVARI SEBAGAI SUMBER OOSIT UNTUK PRODUKSI HEWAN DAN BANTUAN KLINIK BAGI WANITA YANG GAGAL FUNGSI OVARI

PEMANFAATAN TEKNOLOGI KULTUR OVARI SEBAGAI SUMBER OOSIT UNTUK PRODUKSI HEWAN DAN BANTUAN KLINIK BAGI WANITA YANG GAGAL FUNGSI OVARI 2004 Retno Prihatini Makalah Pribadi Posted: 20 December 2004 Pengantar ke Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pascasarjana/S3 Institut Pertanian Bogor Tanggal 1 Desember 2004 Pengajar: Prof.Dr.Ir.Rudy C.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita.

BAB 1 PENDAHULUAN. Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita. Reproduksi dimulai dengan perkembangan ovum di dalam ovarium (Guyton dan Hall, 2006). Ovum merupakan oosit

Lebih terperinci

ikan jambal Siam masih bersifat musiman,

ikan jambal Siam masih bersifat musiman, Latar Belakang Ikan jambal Siam (Pangmius hpophthalmus) dengan sinonim Pangmius sutchi termasuk famili Pangasidae yang diioduksi dari Bangkok (Thailand) pada tahun 1972 (Hardjamulia et al., 1981). Ikan-ikan

Lebih terperinci

Tahap pembentukan spermatozoa dibagi atas tiga tahap yaitu :

Tahap pembentukan spermatozoa dibagi atas tiga tahap yaitu : Proses pembentukan dan pemasakan spermatozoa disebut spermatogenesis. Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus. Spermatogenesis mencakup pematangan sel epitel germinal melalui proses pembelahan dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Siklus Menstruasi Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium (Prawirohardjo, 2005), sedangkan

Lebih terperinci

ORGAN GENITAL EKSTERNAL DAN INTERNAL PADA HEWAN BETINA DAN PROSES OOGENESIS. drh. Herlina Pratiwi, M.Si

ORGAN GENITAL EKSTERNAL DAN INTERNAL PADA HEWAN BETINA DAN PROSES OOGENESIS. drh. Herlina Pratiwi, M.Si ORGAN GENITAL EKSTERNAL DAN INTERNAL PADA HEWAN BETINA DAN PROSES OOGENESIS drh. Herlina Pratiwi, M.Si FEMALE GENITAL ORGANS Terdiri dari: 1. Sepasang ovarium 2. Tuba fallopii (tuba uterina) 3. Uterus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan, sanitasi dan lingkungan (Shah et al.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan, sanitasi dan lingkungan (Shah et al. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Jumlah penduduk merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh setiap negara, karena membawa konsekuensi di segala aspek antara lain pekerjaan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Superovulasi. Perkembangan Embrio Praimplantasi

TINJAUAN PUSTAKA. Superovulasi. Perkembangan Embrio Praimplantasi TINJAUAN PUSTAKA Superovulasi Superovulasi adalah usaha meningkatkan jumlah sel telur yang diovulasikan dengan stimulasi hormon. Superovulasi pada mencit dapat dilakukan dengan menyuntikkan hormon gonadotropin

Lebih terperinci

Rijalul Fikri FISIOLOGI ENDOKRIN

Rijalul Fikri FISIOLOGI ENDOKRIN Rijalul Fikri FISIOLOGI ENDOKRIN Kemampuan suatu sel atau jaringan untuk berkomunikasi satu sama lainnya dimungkinkan oleh adanya 2 (dua) sistem yang berfungsi untuk mengkoordinasi semua aktifitas sel

Lebih terperinci

KOMPETENSI PERKEMBANGAN OOSIT DOMBA PADA SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN OVARIUM YANG BERBEDA ARIE FEBRETRISIANA

KOMPETENSI PERKEMBANGAN OOSIT DOMBA PADA SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN OVARIUM YANG BERBEDA ARIE FEBRETRISIANA KOMPETENSI PERKEMBANGAN OOSIT DOMBA PADA SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN OVARIUM YANG BERBEDA ARIE FEBRETRISIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia mempunyai dua ovarium yang berfungsi memproduksi sel telur dan mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur (oogenesis). Pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Kancil Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Kancil Klasifikasi TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Kancil Klasifikasi Kancil termasuk ke dalam ordo Artiodactyla, famili Tragulidae dan genus Tragulus. Famili Tragulidae terdiri dari dua genus yaitu genus Tragulus yang terdiri

Lebih terperinci

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. Mekanisme umpan balik pelepasan hormon reproduksi pada hewan betina Rangsangan luar Cahaya, stress,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersifat sementara dan dapat pula bersifat menetap (Subroto, 2011).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersifat sementara dan dapat pula bersifat menetap (Subroto, 2011). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kontrasepsi Kontrasepsi merupakan bagian dari pelayanan kesehatan untuk pengaturan kehamilan dan merupakan hak setiap individu sebagai makhluk seksual, serta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Berdasarkan tingkat keberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah, maka dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok perlakuan yang tidak menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testes (Susilawati,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testes (Susilawati, 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Spermatogenesis Spermatogenesis adalah suatu proses pembentukan spermatozoa (sel gamet jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testes (Susilawati,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Reproduksi dan Perkembangan Gonad Ikan Lele. Ikan lele (Clarias sp) pertama kali matang kelamin pada umur 6 bulan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Reproduksi dan Perkembangan Gonad Ikan Lele. Ikan lele (Clarias sp) pertama kali matang kelamin pada umur 6 bulan dengan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Reproduksi dan Perkembangan Gonad Ikan Lele Ikan lele (Clarias sp) pertama kali matang kelamin pada umur 6 bulan dengan ukuran panjang tubuh sekitar 45cm dan ukuran berat tubuh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam upaya menjadikan subsektor peternakan sebagai pendorong kemandirian pertanian Nasional, dibutuhkan terobosan pengembangan sistem peternakan. Dalam percepatan penciptaan

Lebih terperinci

BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN

BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN Pokok bahasan kuliah sinkronisasi alami ini meliputi pengertian hormon reproduksi mulai dari definisi, jenis, macam, sumber, cara kerja, fungsi dan pengaruhnya

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng terhadap tikus putih betina pada usia kebuntingan 1-13 hari terhadap rata-rata bobot ovarium dan bobot uterus tikus putih dapat dilihat

Lebih terperinci

Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran

Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran yang menonjol ke luar sel Melalui permukaan sel ini,

Lebih terperinci

SISTEM REPRODUKSI TERNAK BETINA Oleh Setyo Utomo (Kuliah ke 7)

SISTEM REPRODUKSI TERNAK BETINA Oleh Setyo Utomo (Kuliah ke 7) SISTEM REPRODUKSI TERNAK BETINA Oleh Setyo Utomo (Kuliah ke 7) TIU : 1 Memahami bentuk anatomis dan histologis alat reproduksi betina. TIK : 1 Memahami secara anatomis dan histologis ovarium sebagai kelkenjar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Pola kenaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahapan dalam siklus sel. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat an Nuh :

BAB I PENDAHULUAN. tahapan dalam siklus sel. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat an Nuh : 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri kehidupan sel ditandai dengan terjadinya proliferasi. Proliferasi merupakan pertumbuhan yang disebabkan oleh pembelahan sel yang aktif dan bukan

Lebih terperinci

Sistem Reproduksi Pria meliputi: A. Organ-organ Reproduksi Pria B. Spermatogenesis, dan C. Hormon pada pria Organ Reproduksi Dalam Testis Saluran Pengeluaran Epididimis Vas Deferens Saluran Ejakulasi Urethra

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Teknik Reproduksi Berbantu Fertilisasi In Vitro

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Teknik Reproduksi Berbantu Fertilisasi In Vitro BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknik Reproduksi Berbantu Fertilisasi In Vitro Fertilisasi in vitro adalah fertilisasi yang dilakukan diluar tubuh melalui proses tertentu untuk mendapatkan embrio (Speroff,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein. Salah satu komoditas yang menjadi primadona saat ini adalah ikan lele (Clarias sp.). Ikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang

I. PENDAHULUAN. Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang meliputi motilitas, dan morfologinya. Salah satu penyebab menurunnya kualitas dan kuantitas sperma

Lebih terperinci

MORFOLOGI DAN FUNGSI OVARIUM RUSWANA ANWAR

MORFOLOGI DAN FUNGSI OVARIUM RUSWANA ANWAR MORFOLOGI DAN FUNGSI OVARIUM RUSWANA ANWAR SUBBAGIAN FERTILITAS DAN ENDOKRINOLOGI REPRODUKSI BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNPAD BANDUNG 2005 1 MORFOLOGI DAN FUNGSI OVARIUM PENDAHULUAN

Lebih terperinci

SDP. YG MENDPT TEKANAN CUKUP BERAT

SDP. YG MENDPT TEKANAN CUKUP BERAT MEMBERIKAN TEKANAN THDP SDA & LH PERTUMBUHAN PENDUDUK YG SEMAKIN CEPAT KBUTUHAN AKAN PROTEIN HWNI MENINGKAT PENDAHULUAN - LAHAN SEMAKIN SEMPIT - PENCEMARAN PERAIRAN SDP. YG MENDPT TEKANAN CUKUP BERAT UTK

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh ekstrak biji pepaya (Carica papaya, L.) terhadap ketebalan lapisan endometrium dan kadar hemoglobin tikus putih (Rattus

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 36 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Lapisan Granulosa Folikel Primer Pengaruh pemberian ekstrak rimpang rumput teki (Cyperus rotundus L.) terhadap ketebalan lapisan granulosa pada

Lebih terperinci

teka mulai terbentuk mengitari lapis sel-sel granulosa pada tahap akhir folikel sekunder (Dellmann dan Brown 1992).

teka mulai terbentuk mengitari lapis sel-sel granulosa pada tahap akhir folikel sekunder (Dellmann dan Brown 1992). PEMBAHASAN Organ reproduksi betina terdiri atas organ reproduksi primer yaitu ovarium dan organ reproduksi sekunder yaitu tuba uterina, uterus (kornua, korpus, dan serviks), dan vagina. Ovarium memiliki

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Estrus 4.1.1 Tingkah Laku Estrus Ternak yang mengalami fase estrus akan menunjukkan perilaku menerima pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peristiwa ovulasi (Sophia, 2003).Berahi diawali dengan turunnya hormon

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peristiwa ovulasi (Sophia, 2003).Berahi diawali dengan turunnya hormon 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanda tanda Berahi Masa subur ditandai dengan dilepaskannya sel telur betina matang melalui peristiwa ovulasi (Sophia, 2003).Berahi diawali dengan turunnya hormon progesteron

Lebih terperinci

KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT SAPI YANG DISELEKSI MENGGUNAKAN TEKNIK PEWARNAAN BRILLIANT CRESYL BLUE SECARA IN VITRO ZULTINUR MUTTAQIN

KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT SAPI YANG DISELEKSI MENGGUNAKAN TEKNIK PEWARNAAN BRILLIANT CRESYL BLUE SECARA IN VITRO ZULTINUR MUTTAQIN KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT SAPI YANG DISELEKSI MENGGUNAKAN TEKNIK PEWARNAAN BRILLIANT CRESYL BLUE SECARA IN VITRO ZULTINUR MUTTAQIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Lebih terperinci

Fungsi tubuh diatur oleh dua sistem pengatur utama: Sistem hormonal/sistem endokrin Sistem saraf

Fungsi tubuh diatur oleh dua sistem pengatur utama: Sistem hormonal/sistem endokrin Sistem saraf H O R M O N Fungsi tubuh diatur oleh dua sistem pengatur utama: Sistem hormonal/sistem endokrin Sistem saraf Pada umumnya, sistem hormonal terutama berhubungan dengan pengaturan berbagai fungsi metabolisme

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tjitrosoepomo (1997), rumput teki dikelompokkan ke dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tjitrosoepomo (1997), rumput teki dikelompokkan ke dalam 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Rumput Teki (Cyperus rotundus L.) 1. Klasifikasi Menurut Tjitrosoepomo (1997), rumput teki dikelompokkan ke dalam regnum Plantae. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan berbiji terbuka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat, bahkan telah menjadi lambang bagi provinsi

Lebih terperinci

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh. MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO DOSEN PENGAMPU Drh. BUDI PURWO W, MP SEMESTER III JUNAIDI PANGERAN SAPUTRA NIRM 06 2 4 10 375

Lebih terperinci