HASIL DAN PEMBAHASAN
|
|
- Sudomo Tanuwidjaja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 HASIL DAN PEMBAHASAN Viabilitas berdasarkan morfologi zigot dan blastosis Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan terhadap morfologi zigot sebelum dan setelah vitrifikasi tunggal (Gambar 3) dan morfologi blastosis sebelum dan setelah vitrifikasi ganda (Gambar 4). Morfologi zigot pascavitrifikasi tunggal (Gambar 3 (F)) relatif sama seperti zigot pravitrifikasi (Gambar 3 (A)), yaitu ditandai adanya zona pelusida yang utuh, membran plasma, sitoplasma utuh (intact) dan jernih (homogenus) serta tidak terjadi fragmentasi. Gambar 3 Morfologi zigot pada proses pembekuan dengan vitrifikasi tunggal. (A) zigot sebelum vitrifikasi (B) zigot yang dipapar pada medium ekuilibrasi, terjadi pengkerutan ditandai dengan melebarnya rongga perivitelin (RP) (C) zigot yang dipapar pada medium vitrifikasi, terjadi pengkerutan maksimal (D-E) zigot yang dipapar pada medium warming, terjadi re-ekspansi kembali (F) zigot setelah dua jam kultur in vitro. Keterangan: PN: Pronukleus (kepala panah), BK: Badan Kutub, SP: Sitoplasma, MP: Membran Plasma, RP: Ruang Perivitelin, ZP: Zona Pelusida. Bar: 20 µm Seperti halnya vitrifikasi tunggal pada zigot, morfologi blastosis pascavitrifikasi ganda (Gambar 4(F)) tidak berbeda dengan morfologi blastosis pravitrifikasi (Gambar 4 (A)), yaitu ditandai adanya zona pelusida yang utuh, membran plasma, ekspansi rongga blastosul, jumlah sel ICM dan trofoblas utuh, kompak dan simetris.
2 17 Gambar 4 Morfologi blastosis pada proses pembekuan dengan vitrifikasi ganda. (A) blastosis sebelum vitrifikasi (B) blastosis yang dipapar pada medium ekuilibrasi, terjadi pengkerutan ditandai dengan melebarnya rongga perivitelin (RP) (C) blastosis yang dipapar pada medium vitrifikasi, terjadi pengkerutan maksimal (D-E) blastosis yang dipapar pada medium warming, terjadi re-ekspansi kembali (F) blastosis setelah dua jam kultur in vitro. Keterangan: RP: Ruang Perivitelin, ZP: Zona Pelusida, BS: Blastosul, ICM: Inner Cell Mass, TB: Trofoblas. Bar: 20 µm Keberhasilan vitrifikasi tidak terlepas dari optimalisasi masing-masing tahapan vitrifikasi, mulai dari ekuilibrasi, vitrifikasi, penghangatan, sampai kultur in vitro. Ekuilibrasi embrio dalam krioprotektan sebelum pembekuan dilakukan untuk menarik air dan menggantikan air dengan krioprotektan intraseluler. Pada embrio mencit, air dan krioprotektan intraseluler akan merembes secara perlahan dengan difusi melalui protein aquaporin pada membran plasma (Kasai & Edashige 2007), sehingga ruang perivitelin akan tampak lebih longgar (Gambar 3 & 4(B)). Periode dan suhu ekuilibrasi tergantung krioprotektan yang digunakan, dengan memperhatikan faktor minimalisasi toksisitas dan tekanan osmotik yang disebabkan oleh krioprotektan. Terdapat perbedaan morfologi antara zigot, embrio tahap pembelahan, morula dan blastosis. Pada tahap blastosis telah terjadi diferensasi sel dimana akan terbentuk kumpulan sel trofoblas, inner cell mass (ICM) dan rongga blastosul yang berisi cairan. Secara umum telah diketahui bahwa keberadaan cairan fisiologis di dalam sel akan menyebabkan kerusakan organel sel selama
3 18 proses vitrifikasi. Oleh karena itu, keberadaan air dalam blastosul pada embrio tahap blastosis juga akan berdampak negatif terhadap kerusakan sel embrio pada proses vitrifikasi. Pengeluaran sebagian besar air dalam embrio selanjutnya digantikan dengan krioprotektan yang tepat dapat meningkatkan viabilitas embrio pascavitrififikasi. Hal ini berkaitan dengan pencegahan terbentuknya kristal es yang bersifat letal dan upaya mempersingkat waktu ekuilibrasi mengingat krioprotektan yang bersifat toksik terhadap embrio. Proses pendinginan embrio dilakukan dengan sangat cepat (> C/menit), sehingga diharapkan embrio dan lingkungan sekitarnya di dalam medium vitrifikasi berubah menjadi vitreus atau glassy state. Medium vitrifikasi memiliki tingkat viskositas yang sangat tinggi sehingga embrio menjadi mengerut (Gambar 3 & 4 (C)). Hal tersebut bertujuan agar menghindari terjadinya pembentukan kristal es ekstraseluler dan intraseluler. Selanjutnya embrio dapat disimpan didalam nitrogen cair bersuhu -196 C. Berdasarkan berbagai penelitian terdahulu, suhu yang paling ideal untuk menyimpan sel dalam waktu yang lama adalah -196 C (dalam nitrogen cair). Pada suhu tersebut, metabolisme sel berlangsung dengan sangat minimal bahkan nol, sehingga hanya berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya tanpa melakukan aktivitas apapun (nonaktif). Saat dibutuhkan, sel tersebut dapat direaktivasi kembali dengan cara dihangatkan hingga mencapai suhu awalnya (Halim et al. 2010). Prosedur penghangatan dapat dilakukan secara cepat dengan dianginudarakan. Pengeluaran krioprotektan intraseluler dapat dilakukan dengan larutan sukrosa yang berfungsi sebagai buffer osmotik sehingga krioprotektan dapat dikeluarkan tanpa pengeluaran air intraseluler secara berlebihan (Gambar 3 & 4 (D-E)). Pewarnaan vital pada zigot dan blastosis setelah vitrifikasi Kerusakan atau abnormalitas secara molekuler (kromosomal) yang diakibatkan oleh perlakuan vitrifikasi tidak selalu terlihat secara morfologi. Oleh karena itu, diperlukan pewarnaan vital yang bertujuan untuk mendeteksi kondisi kromatin pada sel hidup ataupun sel yang mengalami degenerasi. Viabilitas embrio hasil vitrifikasi dievaluasi dengan menggunakan pewarna Hoechstpropidium iodide (Hoechst-PI).
4 19 Hoechst merupakan pewarna inti sel yang terikat baik pada pasangan basa adenin-timin (AT) dan dapat menembus membran sel hidup, sedangkan PI hanya dapat menembus membran sel yang telah mati (Garner 2009). Inti sel embrio yang terwarnai oleh Hoechst akan berwarna biru, sedangkan yang terwarnai oleh PI akan berwarna merah. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa sebagian besar inti sel embrio hasil vitrifikasi, baik vitrifikasi tunggal ataupun ganda, berwarna biru atau terbukti hidup setelah diwarnai dengan pewarna Hoechst-PI (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa embrio tersebut masih memiliki kemampuan untuk memperbaiki kerusakan struktural dan melanjutkan perkembangan setelah vitrifikasi. Gambar 5 Gambaran embrio setelah vitrifikasi dengan pewarnaan vital Hoechstpropidium iodide (Hoechst-PI). (A) zigot setelah vitrifikasi (B) blastosis hasil kultur in vitro zigot setelah vitrifikasi tunggal zigot (VZ) (C) blastosis hasil kultur in vitro zigot setelah vitrifikasi tunggal blastosis (VB) (D) blastosis hasil kultur in vitro zigot setelah vitrifikasi ganda. Kepala Panah: PN: Pronukleus, Sel Mati (Merah), Sel Hidup (Biru). Bar: 20 µm Hoechst dan PI bersifat reaktif terhadap gelombang ultra violet (UV) yang berasal dari laser ion-argon atau sumber eksitasi lainnya, seperti lampu merkuri. Dengan panjang gelombang nm, Hoechst dapat mengukur tingkat kandungan DNA dengan tepat, sedangkan PI membutuhkan panjang gelombang
5 20 yang lebih besar, yaitu nm. PI hanya mewarnai sel yang mati (Invitrogen 2009). Pola pewarnaan yang dihasilkan dari kombinasi Hoechst dan PI memungkinkan untuk membedakan populasi sel normal, sel apoptosis dan sel mati (Elstein & Zucker 1994). Kelangsungan hidup (survival rate) zigot dan blastosis setelah vitrifikasi Hasil pengamatan setelah vitrifikasi tunggal dan ganda terhadap perkembangan embrio dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Zigot mampu bertahan hidup setelah divitrifikasi baik vitrifikasi tunggal pada tahap zigot, blastosis atau vitrifikasi ganda pada tahap zigot dan dilanjutkan pada tahap blastosis. Pada penelitian ini, kelangsungan hidup setelah vitrifikasi tunggal tahap zigot (VZ) tidak berbeda nyata (P>0.05) dibandingkan dengan vitrifikasi ganda tahap zigot (VZB), begitu pula dengan kelangsungan hidup blastosis setelah vitrifikasi ganda tahap blastosis (VZB) tidak berbeda (P>0.05) dengan vitrifikasi tunggal tahap blastosis (VB). Tabel 2 Kemampuan perkembangan embrio setelah vitrifikasi tunggal dan ganda Perlakuan Tahap Perkembangan Kontrol Vitrifikasi Zigot Vitrifikasi Vitrifikasi Embrio & Blastosis Zigot (VZ) Blastosis (VB) (VZB) Zigot awal 95 (100.00) 91 (100.00) 92 (100.00) 94 (100.00) Survival rates setelah vitrifikasi - 83 (91.21) a - 91 (96.81) a (n(%)) Cleavage (n(%))* 63 (66.32) b 72 (86.75) ab 81 (88.04) a 80 (87.91) ab Morula (n(%))* 59 (62.11) b 68 (81.93) ab 79 (85.87) ab 80 (87.91) a Blastosis (n(%))* 54 (56.84) b 63 (75.90) ab 79 (85.87) ab 80 (87.91) a Survival rates setelah vitrifikasi (94.94) a 74 (92.50) a (n(%)) Blastosis Ekspan (n(%))** 54 (100) a 63 (100) a 67 (89.33) a 61 (82.43) a Blastosis Hatching (n(%))** 45 (83.33) ab 57 (90.48) a 60 (80.00) ab 49 (66.22) b Blastosis Hatched (n(%))** 43 (79.62) ab 56 (88.89) a 60 (80.00) ab 49 (66.22) b Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Data yang ditampilan berupa jumlah (n) dan %. * Nilai % dihitung dari jumlah zigot yang digunakan atau jumlah zigot yang survive pada tahap perkembangan sebelumnya. ** Nilai % dihitung dari jumlah blastosis yang digunakan atau jumlah blastosis yang survive pada tahap perkembangan sebelumnya.
6 21 Dalam tahap vitrifikasi maupun tahap penghangatan kembali, embrio tersebut masih berpotensi untuk mengalami kerusakan. Biasanya tidak semua embrio yang disimpan beku dapan bertahan hidup melalui vitrifikasi dan penghangatan kembali. Berdasarkan optimasi dari berbagai metode simpan beku yang ada saat ini, vitrifikasi dapat dikatakan cukup berhasil bila viabilitas sel pascavitrifikasi mencapai lebih dari 80% (Halim et al. 2010). Pada penelitian ini, kelangsungan hidup setelah vitrifikasi pada masing-masing perlakuan mencapai lebih dari 80%. Hasil ini membuktikan bahwa metode vitrifikasi ganda dengan wadah hemi-straw efektif dan dapat dilakukan pada embrio, baik tahap zigot ataupun blastosis. Pernah dilaporkan kesuksesan pembekuan ganda konvensional pada embrio mencit (Vitale et al. 1997), embrio manusia (Baker et al. 1996), dan diikuti dengan vitrifikasi ganda pada embrio sapi tahap blastosis ekspan hingga menghasilkan kebuntingan (Vajta et al. 1998). Penelitian tentang vitrifikasi ganda pada tahap zigot dan dilanjutkan pada tahap blastosis baik pada mencit maupun embrio mamalia lainnya yang menggunakan wadah hemi-straw sampai saat ini belum dilakukan. Namun, vitrifikasi tunggal oosit dan embrio tahap blastosis dengan menggunakan wadah ini telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Vandervorst et al. (2001) melaporkan bahwa kelangsungan hidup (survival rate) blastosis pada manusia setelah divitrifikasi tunggal dengan metode hemi-straw adalah 78%. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Vanderzwalmen et al. (2003), persentase kelangsungan hidup oosit tahap metafase II mencapai 74% dan blastosis mencapai 72%. Murakami et al. (2011) melaporkan tentang viabilitas setelah vitrifikasi tunggal pada tahap pronukleus dengan menggunakan wadah cryotop mencapai 97.6%. Persentase kelangsungan hidup pasca vitrifikasi ganda yang diperoleh pada penelitian ini, yaitu 92.5%. Vitrifikasi ganda terbukti berhasil dilakukan karena viabilitasnya lebih dari 80%, walaupun lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian Murakami et al. (2011) yang melakukan vitrifikasi ganda dengan wadah cryotop pada embrio tahap perkembangan pronukleus dan dilanjutkan pada tahap blastosis sebesar 98.1%. Lain halnya dengan Isachenko et al. (2003) yang melaporkan temuannya tentang penggunaan teknologi openpulled straw (OPS), straw yang dilengkapi super-fine-pulled tip (SOPS) dengan prosedur vitrifikasi ganda mampu memperoleh viabilitas yang tinggi pada embrio tahap morula, namun rendah pada tahap blastosis. Hal ini juga didukung oleh
7 22 hasil penelitian Sheehan et al. (2006) bahwa perkembangan embrio mencit tahap 8 sel pada hari ke-3 dan blastosis pada hari ke-5 tidak dipengaruhi oleh vitrifikasi ganda, namun berefek kurang baik pada proses implantasinya. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan menurunnya atau bahkan hilangnya kelangsungan hidup embrio yaitu jenis dan konsentrasi krioprotektan, jenis wadah serta karakteristik morfologi embrio. Kecenderungan penurunan daya hidup zigot setelah vitrifikasi dapat disebabkan pula oleh kerusakan fisik akibat pembentukan kristal es selama pembekuan, efek toksik krioprotektan dan stress osmotik selama pengeluaran krioprotektan dari sel saat penghangatan. Krioprotektan dengan konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan tingginya tekanan osmotik sehingga memicu rusaknya membran plasma, membran inti bahkan organel sitoplasma. Pemaparan yang lama terhadap embrio ke dalam krioprotektan mengakibatkan efek toksik pada embrio yang dapat menyebabkan tingkat kelangsungan hidup menurun (Nowshari & Brem 2001). Hal ini berkaitan dengan lamanya kontak antara embrio dan krioprotektan, sehingga untuk mengurangi toksisitas krioprotektan pemaparan sebaiknya dilakukan dengan waktu yang tepat. Meskipun krioprotektan bersifat toksik, kombinasi pemakaian krioprotektan intra dan ekstraseluler dapat mengurangi toksisitas krioprotektan serta menurunkan kerusakan akibat tekanan osmosis yang tinggi. Krioprotektan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi krioprotektan intraseluler, yaitu etilen glikol dan DMSO dengan konsentrasi masing-masing krioprotektan sebanyak 15% dan sukrosa 0.5M sebagai krioprotektan ekstraseluler. Menurut Mukaida et al. (2003), konsentrasi ini efektif untuk mencegah penurunan daya hidup, terbentuknya kristal es dan mengurangi resiko toksik krioprotektan pada saat dilakukan vitrifikasi. Kombinasi antara krioprotektan intra dengan ekstraseluler, seperti sukrosa dapat mengurangi toksisitas serta kerusakan akibat tekanan osmotik (Rall 1992). Disamping itu, proses penghangatan menggunakan larutan sukrosa dengan konsentrasi bertingkat, yaitu: 0.5M, 0.25M, 0.1M dapat meminimumkan kerusakan akibat tekanan osmotik (Dattena et al. 2004). Massip et al. (1995) melaporkan bahwa sukrosa sangat efektif dalam mempertahankan integritas struktur serta fungsi membran. Jenis wadah juga dapat mempengaruhi keberhasilan vitrifikasi. Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah hemi-straw dimana embrio ditempatkan dengan sedikit krioprotektan (< 1.0 µl) diatas straw 0.25 ml yang
8 23 telah disayat bagian ujungnya sepanjang 1 cm. Dengan demikian, embrio langsung dicelupkan dalam nitrogen cair dengan posisi vertikal sehingga didapatkan derajat pendinginan yang cukup tinggi. Dinding straw yang lebih tipis dan permukaan krioprotektan yang langsung bersentuhan dengan permukaan nitrogen cair membantu perpindahan panas menjadi lebih cepat. Penggunaan wadah ini dapat meminimalkan penggunaan volume larutan vitrifikasi, mempercepat laju pendinginan dan memudahkan proses warming sehingga mampu menjaga daya hidup dan viabilitas setelah vitrifikasi (Liebermann & Tucker 2002). Hal serupa diungkapkan oleh Vanderzwalmen et al. (2003) bahwa persentase kelangsungan hidup oosit dan embrio tahap blastosis pada manusia setelah vitrifikasi dengan menggunakan wadah hemistraw masih tetap tinggi. Dengan demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan vitrifikasi dengan wadah hemi-straw dan keberhasilan perkembangan zigot setelah divitrifikasi tidak berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup (survival rate) embrio (P<0.05) jika dibandingkan dengan zigot yang tidak divitrifikasi. Kemampuan perkembangan embrio (developmental rate) setelah vitrifikasi Penilaian kemampuan perkembangan embrio (developmental rate) didasarkan pada kemampuan embrio yang dikultur in vitro untuk berkembang lebih lanjut hingga mencapai tahap blastosis hatched baik pada embrio setelah penghangatan maupun embrio kontrol. Tingkat pembelahan embrio (cleavage) mencapai 66.32% dan 86.75% masing-masing pada zigot yang tidak divitrifikasi (kontrol) dan zigot setelah vitrifikasi (P>0.05) (Tabel 2). Persentase perkembangan zigot kontrol menjadi embrio tahap cleavage mengalami penurunan yang sangat signifikan (Tabel 3). Hal ini mungkin disebabkan oleh kualitas zigot yang digunakan, karena zigot dikultur sebelum terjadi pembelahan, sehingga tidak ada parameter morfologi standar untuk membantu proses seleksi. Akibatnya, zigot dengan kompetensi perkembangan yang rendah terkadang ikut dikultur atau dibekukan. Pada penelitian ini ditemukan beberapa kejadian abnormalitas embrio seperti pembelahan asimetris, fragmentasi dan embrio tanpa zona pelusida. Hasil pada Tabel 3 menunjukkan bahwa penurunan persentase perkembangan zigot menjadi embrio tahap cleavage (Gambar 6 (A-C)), morula
9 24 (Gambar 6 (D)) dan blastosis (Gambar 6 (E)) hampir terjadi pada semua perlakuan, baik yang divitrifikasi maupun yang tidak divitrifikasi setelah kultur in vitro. Persentase zigot setelah penghangatan lebih rendah dibandingkan dengan zigot yang tidak divitrifikasi. Hal ini disebabkan zigot yang divitrifikasi setelah dilakukan penghangatan akan mengalami penyesuaian terlebih dahulu terhadap medium kultur sehingga kecepatan perkembangan zigot yang divitrifikasi lebih lambat daripada yang tidak divitrifikasi. Tabel 3 Laju penurunan perkembangan embrio setelah vitrifikasi Perlakuan Perkembangan Kontrol Embrio Vitrifikasi Vitrifikasi Blastosis Zigot (VZ) (VB) Zigot awal Vitrifikasi Zigot & Blastosis (VZB) Survival rates setelah vitrifikasi (%)* Zigot - Cleavage (%)* Cleavage Morula (%)* Morula - Blastosis (%)* Survival rates setelah vitrifikasi (%)** Blastosis Ekspan - Hatching (%)** Blastosis Hatching - Hatched (%)** Keterangan : * Nilai % merupakan selisih dari persentase zigot yang hidup (survive) setelah vitrifikasi dengan jumlah zigot awal atau tahap perkembangan sebelumnya ** Nilai % merupakan selisih dari persentase zigot yang hidup (survive) setelah vitrifikasi dengan jumlah zigot awal atau tahap perkembangan sebelumnya Perkembangan embrio secara in vitro sangat dipengaruhi oleh kualitas embrio, respon individu embrio, komposisi medium kultur yang digunakan dan lingkungan inkubasi sistem kultur. Sato dan Marrs (1989) melaporkan bahwa kualitas oosit dan embrio dipengaruhi oleh jumlah hormon gonadotropin yang digunakan untuk stimulasi superovulasi. Superovulasi pada mencit menyebabkan keterlambatan perkembangan embrio secara in vitro ataupun in vivo, abnormalitas bentuk blastosis dan pertumbuhan fetus terhambat (Van der Auwera & Hooghe 2001). Selain itu, Ghaemi et al. (2008) mengungkapkan bahwa superovulasi menyebabkan penurunan viabilitas dan perkembangan embrio serta peningkatan kematian atau degenerasi embrio. Penurunan viabilitas kemungkinan disebabkan oleh tingginya abnormalitas pada kromosom oosit dan
10 25 embrio pada mencit betina yang disuperovulasi. Namun demikian, hal ini juga dimungkinkan bahwa degenerasi embrio pada mencit yang disuperovulasi disebabkan oleh proses apoptosis. Apoptosis adalah suatu proses kematian sel yang terprogram, diatur secara genetik, bersifat aktif, ditandai dengan adanya kondensasi kromatin, fragmentasi sel dan fagositosis sel tersebut oleh sel tetangganya. Apoptosis terjadi pada sitoplasma, nukleus dan DNA. Apoptosis berperan penting pada proses embryonic arrest. Proses ini terjadi baik pada perkembangan embrio yang dikultur in vitro maupun in vivo. Embrio yang mengalami proses tersebut menunjukkan abnormalitas pada kromosom. Peningkatan abnormalitas pada kromosom dapat disebabkan ketidakteraturan atau defisiensi sitoskeleton serta adanya gangguan pada proses mitosis dan sitokinesis (Hardy et al. 2001). Komposisi medium kultur juga berpengaruh pada perkembangan embrio secara in vitro. Pada kultur in vitro embrio mencit, diperlukan medium yang mampu mendukung perkembangan embrio mencit dari zigot menjadi blastosis hatched. Li et al. (2010) melaporkan bahwa pada tahap awal perkembangan (tahap cleavage) embrio mencit biasanya memperlihatkan fenomena cell block. Pada penelitian ini, cell block terjadi pada tahapan dua sel. Pada saat cell block terinisiasi, embrio tidak dapat berkembang lebih lanjut dan degenerasi. Selain itu, terjadi fragmentasi sel berupa pembelahan sel-sel embrio yang tidak beraturan dan tidak sama ukurannya. Secara umum setiap tahapan embrio memerlukan syarat medium yang berbeda karena pada saat perkembangan terjadi perubahan morfologi, fisiologi dan biokimiawi. Komposisi medium sangat berpengaruh terhadap perkembangan embrio. Oleh karena itu, medium yang digunakan harus sesuai dengan kebutuhan embrio. Pada penelitian ini, jenis medium kultur tidak dibedakan antara embrio yang divitrifikasi maupun yang tidak divitrifikasi. Medium kultur yang digunakan pada penelitian ini adalah medium sekuensial ISM1 TM dan ISM2 TM. Medium kultur ISM1 TM berfungsi memberikan nutrisi pada embrio tahap zigot sampai 8 sel, sedangkan medium kultur ISM2 TM untuk perkembangan embrio tahap 8 sel sampai blastosis hatched. Kandungan medium yang penting adalah sumber energi, protein serta larutan buffer. Sumber energi dapat berupa asam laktat, glukosa atau glutamin tergantung tahapan perkembangan embrio serta jenis sel yang dikultur. Protein berfungsi sebagai bahan untuk pembangun sel yang sedang membelah serta
11 26 fungsi fisiologis yang lain. Larutan buffer digunakan untuk menjaga stabilitas medium kultur dari perubahan ph. Glukosa diperlukan oleh embrio 8 sel untuk perkembangan embrio lebih lanjut, jika tidak ada glukosa perkembangan embrio mencit akan berhenti sampai tahap morula (Gardner 2007). Keberadaaan EDTA (Ethylenediaminetetraacetic acid) dan glutamin dalam medium kultur bermanfaat untuk mengurangi kejadian cell block. EDTA berfungsi sebagai chelator yang dapat mencegah pembentukan radikal bebas oksigen di dalam medium kultur. EDTA yang ada dalam medium kultur sangat esensial untuk tahap cleavage embrio. Glutamin sangat bermanfaat pada 48 jam pertama kultur embrio dan digunakan oleh embrio sebagai substrat energi pengganti glukosa. Gambar 6 Perkembangan embrio setelah vitrifikasi. (A) embrio tahap 2 sel (B) embrio tahap 4 sel (C) embrio tahap 8 cel (D) morula (E) blastosis (F) Blastosis tahap ekspan setelah dikultur 24 jam (G) Blastosis tahap hatching setelah dikultur jam (H) Blastosis tahap hatched setalah dikultur jam. Keterangan: BM: Blastomer, ICM: Inner Cell Mass, TB: Trofoblas, RP: Ruang Perivitelin, ZP: Zona Pelusida. Bar: 20 µm
12 27 Faktor lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan kultur embrio meliputi: O 2, CO 2, ph, suhu, inkubator, cahaya, volume inkubasi dan jumlah embrio yang dikultur dalam satu kelompok. Karbondioksida diperlukan untuk mempertahankan ph protein dan asam nukleat oleh embrio mencit pada semua tahap perkembangan sebelum implantasi. Beberapa faktor yang dapat mengurangi tingkat perkembangan embrio sampai ke tahap blastosis diantaranya ialah: fluktuasi ph yang signifikan, fluktuasi suhu pada tahap awal perkembangan embrio, lama waktu pemaparan embrio pada suhu ruang dan jumlah embrio yang dikultur. Mikromanipulasi dan kultur embrio di bawah cahaya redup akan meningkatkan perkembangan embrio (Gardner 2007). Penelitian ini menggunakan inkubator CO 2 5% suhu 37%. Medium berada di luar inkubator CO 2 pada saat handling embrio dan manipulasi embrio. Hal ini diduga menyebabkan terjadinya fluktuasi ph dan fluktuasi suhu, sehingga mengurangi tingkat perkembangan embrio. Selain itu, koleksi dan manipulasi embrio dilakukan pada suhu ruang dalam waktu relatif lama (lebih dari sepuluh menit) di bawah cahaya terang. Hal tersebut kemungkinan akan menyebabkan embrio mengalami kerusakan sebelum dikultur, sehingga akan mempengaruhi tingkat pembelahan dan perkembangan lebih lanjut. Gardner (2007) menyatakan bahwa tingkat pembelahan dan pembentukan blastosis pada embrio mencit akan meningkat apabila embrio dikultur dalam grup (dengan jumlah 5 10 embrio dalam satu drop media). Hal ini karena embrio mamalia tahap preimplantasi memproduksi faktor pertumbuhan (growth factor) yang dapat memberikan pengaruh positif terhadap embrio lainnya. Persentase kelangsungan hidup dan tingkat perkembangan blastosis setelah vitrifikasi menurun pada pengamatan dua jam setelah penghangatan. Walaupun vitrifikasi dilakukan dengan sederhana melalui laju pendinginan yang cepat, masih memungkinkan perlukaan pada sel akibat efek toksik dari konsentrasi krioprotektan dan stress karena perubahan suhu yang ekstrim (cold shock). Salah satu alasan kecenderungan penurunan nilai viabilitas selama 24 jam kultur in vitro setelah vitrifikasi disebabkan karena embrio mamalia pada setiap tahap perkembangan yang berbeda, memiliki mekanisme tersendiri dan kemampuan yang relatif berbeda dalam menyerap krioprotektan, serta mencapai tingkat dehidrasi sempurna selama proses penyerapan larutan vitrifikasi. Berdasarkan Lane et al. (1999) bahwa parameter viabilitas blastosis baik pada
13 28 mencit maupun manusia mencakup kemampuan untuk tumbuh pada medium in vitro. Parameter perkembangan vitrifikasi meliputi kemampuan re-ekspansi (Gambar 6 (F)), berkembang ke tahap selanjutnya, hatching (Gambar 6(G)) dan hatched atau embrio keluar dari zona pelusida (Gambar 6 (H)). Hasil pada Tabel 2 menunjukkan bahwa perkembangan blastosis menjadi blastosis ekspan setelah vitrifikasi ganda yang diperoleh setelah kultur 24 jam tidak berbeda (P>0.05) dengan kontrol, vitrifikasi tunggal zigot dan vitrifikasi tunggal blastosis. Hasil yang diperoleh pada blastosis tahap hatching dan hatched setelah vitrifikasi ganda berbeda (P<0.05) dibandingkan vitrifikasi tunggal zigot, namun tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan vitrifikasi tunggal blastosis dan kontrol (Tabel 2). Perolehan jumlah blastosis yang mencapai tahap ekspan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian oleh Isachenko et al. (2003) bahwa blastosis tikus hasil vitrifikasi ganda setelah dikultur dalam medium HEPES + TCM-199 mencapai tahap ekspan sebesar 76.3%. Adanya perbedaan sifat individual blastosis untuk berkembang dan beradaptasi pada lingkungan in vitro dan banyaknya jumlah sel-sel blastomer tahap blastosis yang mengalami kerusakan selama proses vitrifikasi, menyebabkan terjadinya variasi daya hidup untuk berkembang setelah dikultur in vitro. Pada penelitian ini, persentase blastosis ekspan mencapai tahap haching setelah vitrifikasi ganda mengalami penurunan sebesar 16.21% (Tabel 3). Demikian pula dengan penurunan persentase perkembangan blastosis tahap hatching mencapai hatched. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua blastosis ekspan mampu mengalami hatching dan blastosis yang mengalami hatching mampu mencapai tahap hatched. Embrio hasil vitrifikasi baik satu kali atau dua kali vitrifikasi tidak semuanya berkembang dengan baik dan mencapai blastosis hatched. Penurunan kemampuan blastosis ekspan untuk hatching diduga disebabkan oleh fenomena zona hardening. Walaupun terdapat kecenderungan penurunan persentase blastosis ekspan yang berkembang setelah vitrifikasi (Tabel 3), namun blastosis ekspan yang berhasil hidup setelah vitrifikasi memiliki kemampuan yang relatif cepat untuk berkembang ke tahap selanjutnya, karena waktu dan energi yang dibutuhkan untuk mencapai hatching dan hatched lebih sedikit dibandingkan ke tahap lainnya.
14 29 Tharasanit et al. (2005) melaporkan bahwa perlakuan vitrifikasi pada suhu yang rendah menyebabkan depolimerasi struktur protein dari sitoskeletal oosit, mikrotubuli dan mikrofilamen yang dibutuhkan pada saat pematangan sel. Hal ini memberikan hipotesis bahwa pengerasan dari lipid (stumbling block) menyebabkan deformasi dan gangguan pada sitoskeletal. Menurut Vincent et al. (1990) pengerasan zona pelusida disebabkan oleh lamanya pemaparan dalam krioprotektan yang menyebabkan menipisnya jumlah butiran kortikal yang mendasari permukaan embrio. Pengerasan zona pelusida akibat lamanya pemaparan dapat diatasi dengan perlakuan assisted hatching. Assisted hatching adalah prosedur yang digunakan untuk meningkatkan hatching rate blastosis dengan manipulasi mikro, yaitu dengan menyayat zona pelusida sehingga sel dapat keluar (Hiraoka et al. 2004). Vitrifikasi ganda setelah penghangatan atau beberapa jam setelah proses kultur secara teori dan prakteknya tentunya akan berdampak pada morfologi embrio. Prosedur vitrifikasi dinilai efektif apabila embrio mampu bertahan hidup setelah proses vitrifikasi ganda dan menunjukkan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Perlakuan vitrifikasi tunggal atau ganda akan menghasilkan tingkat kelangsungan hidup (survival rate) dan perkembangan (developmental rate) yang tinggi apabila kualitas embrio yang akan divitrifikasi mempunyai kualitas sangat baik. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa kelangsungan hidup (survival rate) setelah vitrifikasi tunggal zigot dan blastosis maupun vitrifikasi ganda zigot yang dilanjutkan pada tahap blastosis menggunakan wadah hemi-straw tidak berbeda (P>0.05) dengan embrio yang tidak divitrifikasi. Kemampuan perkembangan embrio (development rate) mencapai tahap blastosis hatched setelah vitrifikasi ganda berbeda (P<0.05) dengan vitrifikasi tunggal zigot, namun tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan vitrifikasi tunggal blastosis dan kontrol.
TINJAUAN PUSTAKA. Superovulasi. Perkembangan Embrio Praimplantasi
TINJAUAN PUSTAKA Superovulasi Superovulasi adalah usaha meningkatkan jumlah sel telur yang diovulasikan dengan stimulasi hormon. Superovulasi pada mencit dapat dilakukan dengan menyuntikkan hormon gonadotropin
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2010 sampai dengan Januari 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi
Lebih terperinciHASIL. Medium V3+ embrio
3 (PBS + 20% serum + 10% etilen glikol) selama 10-15 menit. Lalu embrio dipindahkan kedalam medium vitrifikasi (PBS + 20% serum + 0.5 M sukrosa + 15% etilen glikol + 15% DMSO) selama 30 detik, kemudian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Teknologi reproduksi manusia telah berkembang. sangat pesat pada beberapa dekade terakhir ini.
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Teknologi reproduksi manusia telah berkembang sangat pesat pada beberapa dekade terakhir ini. Ruang lingkup teknologi reproduksi antara lain meliputi fertilisasi in
Lebih terperinciKRIOPRESERVASI DENGAN VITRIFIKASI GANDA PADA TAHAP PERKEMBANGAN ZIGOT DAN DILANJUTKAN PADA TAHAP BLASTOSIS CANDRANI KHOIRINAYA
VIABILITAS EMBRIO MENCIT (Mus musculus albinus) SETELAH KRIOPRESERVASI DENGAN VITRIFIKASI GANDA PADA TAHAP PERKEMBANGAN ZIGOT DAN DILANJUTKAN PADA TAHAP BLASTOSIS CANDRANI KHOIRINAYA FAKULTAS KEDOKTERAN
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Embrio partenogenetik memiliki potensi dalam mengatasi permasalahan etika pada penelitian rekayasa embrio. Untuk memproduksi embrio partenogenetik ini, sel telur diambil dari individu
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi
TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi Fertilisasi merupakan proses bertemunya sel sperma dengan sel telur. Sel telur diaktivasi untuk memulai perkembangannya dan inti sel dari dua gamet akan bersatu untuk menyempurnakan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
14 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Domba Segera Setelah Koleksi Pemeriksaan karakteristik semen domba segera setelah koleksi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pemeriksaan secara makroskopis
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2011 s.d. Februari 2012. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi dan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggulan dalam memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di dalamnya pemanfaatan proses rekayasa fungsi
Lebih terperinciPada rnasa kini, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk. mempercepat peningkatan populasi, produksi dan mutu ternak adalah dengan
1. Latar Belakang Pada rnasa kini, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat peningkatan populasi, produksi dan mutu ternak adalah dengan penyediaan bibit berkuaiitas tinggi meialui penerapan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada ternak sapi telah banyak diterapkan di Indonesia. Menurut SNI 4896.1 (2008),
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN HASIL
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL I. Tingkat maturasi oosit domba dalam suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda Tahapan pematangan inti yang diamati pada penelitian ini dikelompokkan menjadi 5 tahap yaitu GV
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memicu timbulnya penyakit degeneratif termasuk kanker. Kandungan terbesar dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan alkohol sebagai minuman yang sudah tentu bertentangan dengan ajaran islam saat ini ada kecenderungan meningkat di masyarakat. Penggunaan alkohol terutama
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
11 HASIL DAN PEMBAHASAN Ovarium yang dikoleksi dari rumah potong hewan biasanya berada dalam fase folikular ataupun fase luteal. Pada Gambar 1 huruf a mempunyai gambaran ovarium pada fase folikuler dan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Vitamin E (α-tokoferol) dalam Media DMEM terhadap Konfluenitas Sel Ginjal Fetus Hamster yang Dikultur Primer Berdasarkan hasil penelitian dan analisis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tahapan dalam siklus sel. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat an Nuh :
13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri kehidupan sel ditandai dengan terjadinya proliferasi. Proliferasi merupakan pertumbuhan yang disebabkan oleh pembelahan sel yang aktif dan bukan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Seiring bertambahnya jumlah penduduk tiap tahunnya diikuti dengan
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring bertambahnya jumlah penduduk tiap tahunnya diikuti dengan semakin meningkat pula permintaan masyarakat terhadap bahan pangan untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan
Lebih terperinciII KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari
6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Semen Kambing Semen adalah cairan yang mengandung gamet jantan atau spermatozoa dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari suspensi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. domba lokal yang digunakan dalam penelitian inibaik secara makroskopis
31 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Semen Segar Domba Lokal Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap evaluasi semen domba lokal yang digunakan dalam penelitian inibaik secara
Lebih terperinciEMBRIOGENESIS DAN INDUKSI EMBRIO (BAGIAN I) LABORATORIUM EMBRIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Indikator pencapaian: Definisi dan tahapan embriogenesis (pembelahan, blastulasi,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Pemeriksaan semen segar secara makroskopis meliputi volume, warna,
29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Semen Segar Pemeriksaan semen segar secara makroskopis meliputi volume, warna, konsistensi, ph dan secara mikroskopis meliputi gerakan massa, konsentrasi sperma,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya protein hewani bagi tubuh. Hal ini
Lebih terperinciPENDAHULUAN. sehingga dapat memudahkan dalam pemeliharaannya. Kurangnya minat terhadap
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang dikenal di Indonesia sebagai ternak penghasil daging dan susu. Kambing adalah salah satu ternak yang telah didomestikasi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik semen
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Segar Dari hasil penampungan semen yang berlangsung pada bulan Oktober 2003 sampai dengan Juli 2004 dan rusa dalam kondisi rangga keras memperlihatkan bahwa rataan
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. dengan kambing Kacang (Devendra dan Burns, 1983). Menurut tipenya, rumpun
6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Kambing Peranakan Etawah Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Etawah yang berasal dari India yang memiliki iklim tropis/subtropis dan beriklim kering dengan
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang.
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang. Persilangan antara kedua jenis kambing ini telah
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam ringer laktat, kemudian dilanjutkan
Lebih terperinciVIABILITAS EMBRIO MENCIT (Mus musculus albinus) SETELAH KRIOPRESERVASI GANDA DENGAN METODE VITRIFIKASI PADA TAHAP PEMBELAHAN DAN BLASTOSIS
VIABILITAS EMBRIO MENCIT (Mus musculus albinus) SETELAH KRIOPRESERVASI GANDA DENGAN METODE VITRIFIKASI PADA TAHAP PEMBELAHAN DAN BLASTOSIS RISKA SAFTIANY DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
9 HASIL DAN PEMBAHASAN Semen merupakan salah satu komponen penting dalam penghantaran spermatozoa baik secara konseptus alami maupun inseminasi buatan (IB). Keberhasilan IB sangat dipengaruhi oleh kualitas
Lebih terperinciJurnal Sains & Matematika (JSM) ISSN Volume 14, Nomor 4, Oktober 2006 Artikel Penelitian:
Jurnal Sains & Matematika (JSM) ISSN 0854-0675 Volume 14, Nomor 4, Oktober 2006 Artikel Penelitian: 183-189 Agregasi Embrio Tahap Pembelahan 8 Sel pada Medium Kultur KSOMaa untuk Menghasilkan Embrio Hasil
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar
HASIL DAN PEMBAHASAN Semen adalah cairan yang mengandung suspensi sel spermatozoa, (gamet jantan) dan sekresi dari organ aksesori saluran reproduksi jantan (Garner dan Hafez, 2000). Menurut Feradis (2010a)
Lebih terperinciPENDAHULUAN. kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan dari
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing merupakan komoditas ternak yang banyak dikembangkan di Indonesia. Salah satu jenis kambing yang banyak dikembangkan yaitu jenis kambing Peranakan Etawah (PE).
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Sel Darah Merah Pemeriksaan darah dilakukan selama tiga puluh hari dari awal kebuntingan, yaitu hari ke-1, 3, 6, 9, 12, 15, dan 30. Pemilihan waktu pemeriksaan dilakukan
Lebih terperinciBAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo. Tabel 4 Karakteristik fisik reproduksi lele dumbo
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo Lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan konsumsi air tawar yang memiliki bentuk tubuh memanjang, memiliki sungut dengan permukaan tubuh
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen Beku Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai prosedur teknis pengawasan mutu bibit ternak kemudian dimasukkan ke dalam straw dan dibekukan
Lebih terperinciRuang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA. Transfer Inti Sel Somatis
3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan oosit mencit hasil superovulasi dengan penyuntikan hormon PMSG dan hcg secara intraperitonial. Produksi embrio kloning menggunakan teknik TISS yang
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Vitamin E (α-tocoferol) dalam Media DMEM (Dulbeccos Modified Eagles Medium) terhadap Konfluen Sel Paru-Paru Fetus Hamster Kultur Primer Berdasarkan hasil
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Penggunan Microwave oven semakin meningkat dari tahun ke tahun. Negara maju maupun di Negara berkembang.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunan Microwave oven semakin meningkat dari tahun ke tahun tidak hanya di Negara maju maupun di Negara berkembang. Microwave oven adalah oven yang menggunakan bantuan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang ada (Mulyono dan Sarwono, 2004). K isaran volume semen per ejakulat
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen Domba Ekor Tipis Domba ekor tipis merupakan domba yang bersifat profilik yaitu mampu mengatur jumlah anak yang akan dilahirkan sesuai dengan ketersediaan pakan yang
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Penelitian Pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa mencit yang terpapar 2-ME
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa mencit yang terpapar 2-ME Telah dilakukan penelitian pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa
Lebih terperinciEMBRIOGENESIS DAN INDUKSI EMBRIO (BAGIAN I) LABORATORIUM EMBRIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Indikator pencapaian: Definisi dan tahapan embriogenesis (pembelahan, blastulasi,
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran
Lebih terperinciMAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN MEMBRAN PLASMA UTUH. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta
MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN MEMBRAN PLASMA UTUH Gambar mas Disusun oleh Mas Mas Mas Faisal Ernanda h0510030 Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta 2012 Mas tolong
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terhadap tubuh karena akan mengalami proses detoksifikasi di dalam organ tubuh.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alkohol merupakan zat kimia yang dapat menimbulkan berbagai dampak terhadap tubuh karena akan mengalami proses detoksifikasi di dalam organ tubuh. Penggunaan alkohol
Lebih terperinciKebuntingan Hasil Transfer Blastosis Mencit yang Dibekukan dengan Metode Vitrifikasi Kriolup
Jurnal Veteriner September 211 Vol. 12 No. 3: 185-191 ISSN : 1411-8327 Kebuntingan Hasil Transfer Blastosis Mencit yang Dibekukan dengan Metode Vitrifikasi Kriolup (THE PREGNANCY OF THE MOUSE AFTER TRANFER
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK)
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK) Peremajaan dan purifikasi terhadap kedelapan kultur koleksi isolat bakteri dilakukan terlebih dahulu sebelum pengujian
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kehidupan modern dewasa ini menyebabkan tingkat stress yang tinggi, sehingga menjadi salah satu faktor pemicu berkembangnya berbagai macam penyakit yang memerlukan penanganan
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi. Evaluasi semen segar yang telah
7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Karakteristik Semen Kambing Semen adalah sekresi kelamin jantan yang secara umum diejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi. Evaluasi semen segar yang
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Karakteristik Semen Segar Domba Lokal Karakteristik. Volume (ml) 1,54 ± 0,16. ph 7,04±0,8
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Semen Segar Karakteristik semen segar yang didapatkan selama penelitian disajikan pada tabel sebagai berikut : Tabel 3. Karakteristik Semen Segar Domba Lokal Karakteristik
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara
1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kambing merupakan salah satu jenis ternak yang mudah dipelihara dan dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara tradisional. Salah satu bangsa
Lebih terperinciBAB II TIJAUAN PUSTAKA. penis sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari sel-sel kelamin jantan yang dihasilkan
4 BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen Semen merupakan suatu produk yang berupa cairan yang keluar melalui penis sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari sel-sel kelamin jantan yang dihasilkan oleh testis dan
Lebih terperinciRetikulum Endoplasma (Mader, 2000) Tuti N. dan Sri S. (FIK-UI)
Retikulum Endoplasma (Mader, 2000) RETIKULUM ENDOPLASMA Ada dua jenis retikum endoplasma (ER) yang melakukan fungsi yang berbeda di dalam sel: Retikulum Endoplasma kasar (rough ER), yang ditutupi oleh
Lebih terperinciPENGARUH LEVEL GLISEROL DALAM PENGENCER TRIS- KUNING TELUR TERHADAP MEMBRAN PLASMA UTUH DAN RECOVERY RATE SPERMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH POST THAWING
PENGARUH LEVEL GLISEROL DALAM PENGENCER TRIS- KUNING TELUR TERHADAP MEMBRAN PLASMA UTUH DAN RECOVERY RATE SPERMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH POST THAWING THE EFFECT OF GLYCEROL LEVEL ON TRIS-YOLK EXTENDER
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis
3 TINJAUAN PUSTAKA Domba Domba merupakan salah satu sumber protein yang semakin digemari oleh penduduk Indonesia. Fenomena ini semakin terlihat dengan bertambahnya warung-warung sate di pinggiran jalan,
Lebih terperincimerangsang skutelum menghasilkan GA. GA dikirim ke sel-sel protein untuk membentuk enzim baru sebagai pelarut cadangan makanan.
Pertemuan : Minggu ke 13 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Perkembangan buah dan biji Sub pokok bahasan : 1. Terbentuknya biji 2. Perkembangan buah 3. Perkecambahan biji 4. Penuaan dan kematian
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. Spirulina sp. merupakan mikroalga yang menyebar secara luas, dapat ditemukan di berbagai tipe lingkungan, baik di perairan payau, laut dan tawar. Spirulina
Lebih terperinciA. Pengertian Sel. B. Bagian-bagian Penyusun sel
A. Pengertian Sel Sel adalah unit strukural dan fungsional terkecil dari mahluk hidup. Sel berasal dari bahasa latin yaitu cella yang berarti ruangan kecil. Seluruh reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh
Lebih terperinciUji Sitotoksik Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Sitotoksik Analisis Siklus Sel dengan Flow Cytometry
8 serta doxorubicin 1 µm. Penentuan nilai konsentrasi pada flow cytometry berdasarkan daya penghambatan yang dimungkinkan pada uji sel hidup dan rataan tengah dari range konsentrasi perlakuan. Uji Sitotoksik
Lebih terperinciPROSEDUR TETAP PENGAMATAN APOPTOSIS DENGAN METODE DOUBLE STAINING
Halaman 1 dari 5 FARMASI UGM Dokumen nomor : 0201100 Tanggal : 24 Maret 2009 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJUI OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf Nama Aditya Fitriasari
Lebih terperinciHASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Variabel pertumbuhan yang diamati pada eksplan anggrek Vanda tricolor
IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Variabel pertumbuhan yang diamati pada eksplan anggrek Vanda tricolor berupa rerata pertambahan tinggi tunas, pertambahan jumlah daun, pertambahan jumlah tunas, pertambahan
Lebih terperinciS E L. Suhardi, S.Pt.,MP
S E L Suhardi, S.Pt.,MP Foreword Struktur sel, jaringan, organ, tubuh Bagian terkecil dan terbesar didalam sel Aktivitas metabolisme sel Perbedaan sel hewan dan tumbuhan Metabolisme sel Fisiologi Ternak.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk mempertahankan integritas membran sel, sehingga kondisi sel tersebut
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Vitamin E dalam media kultur mempunyai peran penting, diantarannya adalah untuk mempertahankan integritas membran sel, sehingga kondisi sel tersebut seimbang dan dapat
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penentuan perbandingan berat jamur merang dengan dry ice dan lama pembekuan Jumlah dry ice yang digunakan dalam proses pembekuan berpengaruh terhadap laju pembekuan. Semakin
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ginogenesis Ginogenesis pada penelitian dilakukan sebanyak delapan kali (Lampiran 3). Pengaplikasian proses ginogenesis ikan nilem pada penelitian belum berhasil dilakukan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Domba merupakan salah satu ternak penghasil daging yang banyak diminati
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak penghasil daging yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Kebutuhan masyarakat akan daging domba setiap tahunnya terus meningkat.
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rasio Kelamin Ikan Nilem Penentuan jenis kelamin ikan dapat diperoleh berdasarkan karakter seksual primer dan sekunder. Pemeriksaan gonad ikan dilakukan dengan mengamati
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi,
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan terhadap proses induksi akar pada eksplan dilakukan selama 12 minggu. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan pengaruh pada setiap perlakuan yang diberikan.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Sel Fibroblas dalam Kultur In Vitro Hasil pengamatan kultur sel otot fetus tikus menunjukkan secara morfologi adanya dua bentuk sel, yakni sel fibrosit, berbentuk spindel
Lebih terperinci3.1 Membran Sel (Book 1A, p. 3-3)
Riswanto, S. Pd, M. Si SMA Negeri 3 Rantau Utara 3 Gerakan zat melintasi membran sel 3.1 Membran Sel (Book 1A, p. 3-3) A Bagaimana struktur dari membran sel? (Book 1A, p. 3-3) Struktur membran sel dapat
Lebih terperinciLampiran 1. Jumlah Zigot yang Membelah >2 Sel pada Hari Kedua
Lampiran 1. Jumlah Zigot yang Membelah >2 Sel pada Hari Kedua 1 48 32 2 40 29 3 40 20 4 26 36 5 36 35 6 35 26 7 32 22 Jumlah 257 200 Rataan 36,71 ± 6,95 28,57 ± 6,21 Lampiran 2. Uji Khi-Kuadrat Jumlah
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Peternakan babi yang ada di Indonesia khususnya di daerah Bali masih merupakan peternakan rakyat dalam skala kecil atau skala rumah tangga, dimana mutu genetiknya masih kurang
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. ph Tanah Data hasil pengamatan ph tanah gambut sebelum inkubasi, setelah inkubasi, dan setelah panen (Lampiran 4) menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan ph tanah.
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL Perkembangan embrio pada mencit dimulai setelah ovum dibuahi oleh sperma. Ovum yang telah dibuahi akan berkembang menjadi zigot. Selanjutnya, zigot akan mengalami proses
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Pola kenaikan
Lebih terperinciMAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.
MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO DOSEN PENGAMPU Drh. BUDI PURWO W, MP SEMESTER III JUNAIDI PANGERAN SAPUTRA NIRM 06 2 4 10 375
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui
Lebih terperinciPERKEMBANGAN EMBRIO PRAIMPLANTASI MENCIT
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini industri dan perdagangan produk herbal serta suplemen makanan di seluruh dunia yang berasal dari bahan alami cenderung mengalami peningkatan. Di Indonesia,
Lebih terperinciLAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN
LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN Disusun Oleh: Musthari Ningrum Wahyuni Kamis, 17 November 2011 Tujuan Praktikum Agar mahasiswa dapat melakukan teknik mengisolasi bakteri di media sederhana Agar mahasiswa
Lebih terperinciKIMIA KEHIDUPAN, BIOLOGI SEL, GENETIKA, DAN BIOLOGI MOLEKULAR
OLIMPIADE NASIONAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PERGURUAN TINGGI 2017 (ONMIPA- PT) BIDANG BIOLOGI (TES I) 22 MARET 2017 WAKTU 120 MENIT KIMIA KEHIDUPAN, BIOLOGI SEL, GENETIKA, DAN BIOLOGI MOLEKULAR
Lebih terperinciBAB 5 HASIL PENELITIAN
BAB 5 HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek sitotoksik kitosan terhadap berbagai jenis sel kanker yang dilakukan secara eksperimental di dalam laboratorium. Sel kanker yang digunakan
Lebih terperinciKomponen Kimia penyusun Sel (Biologi) Ditulis pada September 27, 2012
Komponen Kimia penyusun Sel (Biologi) Ditulis pada September 27, 2012 Sel disusun oleh berbagai senyawa kimia, seperti karbohidrat, protein,lemak, asam nukleat dan berbagai senyawa atau unsur anorganik.
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.
Lebih terperinciMEKANISME TRANSPOR PADA MEMBRAN SEL
MEKANISME TRANSPOR PADA MEMBRAN SEL Berbagai organel yang terdapat di dalam sitoplasma memiliki membran yang strukturnya sama dengan membran plasma. Walaupun tebal membran plasma hanya ± 0,1 μm, membran
Lebih terperinciFAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI
ISOLASI TOTAL DNA TUMBUHAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA PHYTOPURE Halaman : 1 dari 5 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan tumbuhan, dapat dari daun, akar, batang,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang populasinya
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang populasinya menyebar di Sumatera Barat dan sebagai plasma nutfah Indonesia dan komoditas unggulan spesifik wilayah
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Isolasi Bakteri Penitrifikasi Sumber isolat yang digunakan dalam penelitian ini berupa sampel tanah yang berada di sekitar kandang ternak dengan jenis ternak berupa sapi,
Lebih terperincijuga akan mengaktifkan enzim yang dapat merusak struktur sel, sehingga terjadi kebocoran dan kerusakan sel. Upaya dalam menjaga viabilitas kultur
55 PEMBAHASAN UMUM Pengeringan kemoreaksi adalah proses pengeringan dengan menggunakan bahan yang sangat reaktif terhadap uap air, seperti kalsium oksida (CaO) yang banyak terkandung dalam kapur api. Kandungan
Lebih terperinciKULTUR PROTOPLAS Berkembang pada tahun1960, setelah diketemukan cara menghilangkan dinding sel secara enzimatis
BIOTEKNOLOGI Victoria Henuhili, MSi *)., Jurdik Biologi FMIPA UNY Sub Topik : FUSI PROTOPLAS KULTUR PROTOPLAS Berkembang pada tahun1960, setelah diketemukan cara menghilangkan dinding sel secara enzimatis
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi
TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Sistem reproduksi sapi betina lebih kompleks daripada sapi jantan, dimana terdiri dari beberapa organ yang memiliki peran dan fungsi masing-masing. Ovarium
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk Indonesia. Produksi padi nasional mencapai 68.061.715 ton/tahun masih belum mencukupi
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Laju Pertumbuhan Mutlak Nila Gift Laju pertumbuhan rata-rata panjang dan berat mutlak ikan Nila Gift yang dipelihara selama 40 hari, dengan menggunakan tiga perlakuan yakni
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan,
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan, Viabilitas, dan Abnormalitas Kultur Primer Sel Paru-Paru Fetus Hamster Yang Dipapar Etanol
Lebih terperinciDAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C
DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C Disajikan oleh : Hotmaria Veronika.G (E10012157) dibawah bimbingan : Ir. Teguh Sumarsono, M.Si 1) dan Dr. Bayu Rosadi, S.Pt. M.Si 2)
Lebih terperinciMetode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan
4 Metode Penelitian ini dilakukan pada beberapa tahap yaitu, pembuatan media, pengujian aktivitas urikase secara kualitatif, pertumbuhan dan pemanenan bakteri, pengukuran aktivitas urikase, pengaruh ph,
Lebih terperinciIV HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Semen Segar Kambing PE Semen ditampung dari satu ekor kambing jantan Peranakan Etawah (PE) menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
35 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Suhu, Lama Perendaman dan Interaksi (suhu dan lama perendaman) terhadap Daya Kecambah (Persentase Jumlah Kecambah) Biji Ki Hujan (Samanea saman) Berdasarkan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Penentuan ph optimum untuk pertumbuhan T. asperellum TNJ63 pada media produksi enzim selulase. Optimalisasi pertumbuhan T. asperellum TNJ63 dilakukan dengan
Lebih terperinci4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis zat antibakteri isolat NS(9) dari bekasam ikan nila (Oreochromis niloticus) terdiri dari tiga tahap penelitian. Tahap pertama adalah karakterisasi isolat NS(9) yang bertujuan
Lebih terperinci