5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kualitas Air Suhu Suhu perairan adalah salah satu parameter yang mengatur proses hidrodinamika suatu perairan. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, ketinggian dari permukaan laut, penutupan awan, aliran dan kedalaman air. Distribusi vertikal rata-rata suhu air pada Situ no 5 memiliki nilai antara 21,25-25 o C sedangan rataan situ no 6 bernilai antara 20,5-21,75 o C (Gambar 3). Pola distribusi menunjukkan terjadi penurunan suhu sesuai dengan bertambahnya kedalaman yang disebabkan oleh semakin berkurangnya cahaya matahari yang masuk ke dalam badan air sehingga pemanasan berkurang. Nilai suhu tertinggi pada Situ no 5 terukur pada periode pengamatan ke empat sedangkan pada Situ no 6 terukur pada periode pertama (Lampiran 2). Tingginya nilai suhu yang terukur disebabkan pada periode pertama dan ke empat tersebut cuaca cukup cerah dan tidak terjadi hujan lebat pada hari sebelumnya. Hasil uji statistik menunjukkan nilai rataan suhu pada situ no 5 pada permukaan, kedalaman Secchi dan kedalaman di bawah kedalaman kompensasi berbeda nyata dengan situ no 6 (P< 0,05), sedangkan pada kedalaman kompensasi tidak berbeda nyata (lampiran 3) dengan nilai P>0,05. Meskipun kedalaman kompensasi pada situ no 6 lebih dalam dari pada situ no 5 tetapi suhu keduanya tidak berbeda, hal ini dapat disebabkan karena kurangnya penetrasi cahaya akibat tertutupi bayangan fitoplankton yang lebih banyak pada situ no 5. Sehubungan hal tersebut maka pada kedalaman itu Situ no 5 dan Situ no 6 mendapatkan penetrasi cahaya yang hampir sama untuk memanaskan badan air. Situ no 5 yang terletak pada daerah yang lebih tinggi dan memiliki aliran air yang lebih lambat sehingga matahari sempat lebih lama memanaskan air tersebut memiliki suhu yang lebih tinggi dari situ no 6. Perbedaan stratifikasi suhu antara kedua situ akan dapat menjelaskan variasi hidrokimia dan variasi biologi meskipun keduanya memiliki kondisi meteorologi yang sama (Tavernini et al. 2009). Penurunan suhu antar lapisan kedalaman pada kedua situ relatif kecil, perbedaan suhu air antara 0-10 m kurang dari 3 o C sehingga tidak ada gejala

2 ph ph stratifikasi suhu. Secara keseluruhan suhu pada kedua situ masih menunjang perkembangan fitoplankton yang membutuhkan suhu antara o C. Gambar 3. Pola distribusi Suhu di situ bekas galian pasir ph ph merupakan hasil pengukuran ion hidrogen dalam perairan yang menunjukkan kesetimbangan asam dan basa. Nilai ph di ke dua stasiun penelitian selama pengamatan berkisar antara 6-9 dimana nilai tersebut masih menunjang untuk kehidupan organisme perairan. Sepanjang waktu pengamatan nilai ph tidak menunjukkan variasi yang signifikan (Gambar 4). Hasil penelitian sebelumnya pada Situ no 5 menunjukkan nilai ph berkisar antara 6-9 (Octorina et al. 2009). Hal tersebut serupa dengan pengamatan Celik (2002) yang mendapatkan nilai ph pada situ bekas galian pasir di Texas dalam kurun waktu satu tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan. ph Situ No Periode Pengamatan Permukaan Kedalaman Secchi Dibawah secchi 7 m 16 m ph Situ No Periode Pengamatan Permukaan Kedalaman Secchi Dibawah secchi 6 m 12 m Gambar 4. Pola distribusi ph di situ bekas galian pasir

3 Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Situ no 5 cenderung memiliki ph yang lebih tinggi dari Situ no 6 sehingga dapat dikatakan Situ no 5 lebih basa dari Situ no 6. ph berkaitan erat dengan alkalinitas dan karbondioksida, semakin tinggi nilai ph semakin besar alkalinitas dan semakin rendah karbondioksida (Boldan & Padovan 2002 dalam Octorina et al. 2009). Tingginya ph pada Situ no 5 sesuai dengan tingginya nilai alkalinitas yaitu lebih dari 40 mg/liter dan minimnya konsentrasi CO2, bahkan hingga tidak terdeteksi pada lapisan epilimnion (Octorina et al. 2009). Salah satu penyebab tingginya ph di Situ no 5 adalah perairan tersebut banyak mendapat masukan ion-ion OH - yang bersifat basa yang berasal dari sisa-sisa sabun pencucian kendaraan proyek penggalian pasir Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan faktor yang penting dalam metabolisme suatu mahluk hidup akuatik, sehingga bila ketersediannya dalam air tidak mencukupi akan dapat menghambat pertumbuhannya. Kdanungan oksigen terlarut di lapisan epilimnion dan hypolimnion selama pengamatan berkisar antara 1,93-10,95 mg/liter pada Situ no 5 dan 1,56-9,56 mg/liter pada Situ no 6 (lampiran 2). Distribusi vertikal oksigen terlarut menunjukkan semakin dalam perairan maka kelarutan oksigen akan semakin berkurang (Gambar 5). Hal tersebut berkaitan dengan semakin minimnya sumber oksigen yaitu hasil fotosintesis fitoplankton dan difusi dari udara serta semakin besarnya kebutuhan oksigen untuk penguraian bahan organik. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa konsentrasi oksigen antara situ no 5 dan no 6 pada setiap kedalaman tidak berbeda nyata (Lampiran 3). Tingginya suhu di Situ no 5 menyebabkan meningkatnya konsumsi oksigen oleh organisme air karena peningkatan metabolisme dan respirasi. Brown (1987) dalam Effendi (2003) menyatakan bahwa peningkatan suhu sebesar 1 o C akan meningkatkan konsumsi oksigen sebesar 10%. Dengan demikian walaupun kelimpahan fitoplanton yang tercatat lebih tinggi dari Situ no 6 tetapi konsumsi oksigen yang lebih besar di Situ no 5 menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut di kedua situ tidak berbeda. Pada Situ no 5 terjadi penurunan yang drastis dari konsentrasi oksigen terlarut pada kedalaman di bawah zona euphotik. Kondisi ini mencerminkan suatu perairan berada dalam kondisi eutrofik. Seperti halnya dikemukankan oleh Sager

4 (2009) yang menyatakan pada bagian permukaan perairan terjadi kegiatan fotosintesis secara intensif yang menyebabkan kadar oksigen terlarut sangat tinggi, kemudian menurun drastis karena digunakan untuk mendekomposisi alga yang telah mati dan bahan organik lainnya. Oksigen terlarut sangat dipengaruhi oleh kdanungan bahan organik suatu perairan sehingga jika kandungan bahan organik cukup tinggi maka akan terjadi proses degradasi secara aerobik oleh bakteri sehingga menyebabkan defisit oksigen terlarut (Wetzel 2001). Gambar 5. Pola distribusi vertikal Oksigen terlarut di situ bekas galian pasir Pada Situ no 5 terjadi rata-rata oksigen terlarut saturasi menunjukkan fenomena oksigen terlarut super saturasi pada bagian permukaan dan kedalaman Secchi (Lampiran 3). Kondisi ini diperkirakan berhubungan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang dicirikan dengan tingginya nilai khlorofil-a pada kedalaman tersebut (Lampiran 8). Hal serupa dilaporkan oleh Brooks et al. (2003) yang menemukan fenomena supersaturasi oksigen terlarut pada Danau Patzcuaro berhubungan dengan nilai khlorofil-a yang tinggi yaitu 44 mg/m 3. Selain itu situ bekas galian pasir umumnya memiliki sumber oksigen selain dari hasil fotosintesis adalah melalui difusi dari udara terutama untuk bagian permukaan (Pincock & Holt 2006). Difusi oksigen atmosfer ke air terjadi pada kondisi air diam maupun bergolak karena tertiup angin, pada saat air bergolak terjadi peningkatan peluang bagi molekul air untuk bersentuhan dengan atmosfer (Wetzel 2001). Dengan demikian pada lapisan permukaan di situ bekas galian fenomena super saturasi

5 oksigen terlarut sangat memungkinkan jika dihubungkan dengan sumber oksigen yang banyak. 5.2 Unsur hara Amonia Total Amonia yang terukur di perairan adalah ammonia total yang terdiri dari amonia bebas (NH 3 -N) dan amonium (NH 4 -N). Distribusi vertikal amonia total Situ no 5 berkisar antara 0,46-1,12 mg/liter dengan nilai tertinggi pada kedalaman 7 m dan terendah pada permukaan. Pada situ no 6 konsentrasi ammonia total berkisar antara 0,27-0,51 mg/liter dengan konsentrasi tertinggi terukur pada kedalaman 12 m dan konsentrasi terendah terukur pada kedalaman kompensasi. Pada situ no 5 pola distribusi vertikal amonia menunjukkan peningkatan seiring dengan bertambahnya kedalaman, sedangkan pada situ no 6 terdapat pola yang sedikit berbeda namun konsentrasi tertinggi tetap pada bagian terdalam (Gambar 6). Distribusi vertikal ammonia secara umum akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman (Pratiwi et al. 2006). Hal ini berhubungan dengan kondisi perairan yang semakin dalam semakin turun konsentrasi oksigen terlarut sehingga menghambat proses nitrifikasi yang mengakibatkan nitrogen terbanyak dalam bentuk amonia. Gambar 6. Distribusi vertikal konsentrasi amonia di perairan situ bekas galian pasir

6 Rata-rata konsentrasi amonia di kedua situ menunjukan nilai yang cukup tinggi. Tingginya nilai amonia pada kedua situ diduga berasal dari pemecahan nitrogen anorganik yang terdapat dalam air dan sedimen yang terjadi di dalam perairan (Walter et al. 2007). Selain itu kegiatan pertanian di tepian situ menyebabkan air tanah yang masuk ke perairan telah kaya akan nitrogen anorganik sebagai sumber amonia sebagai akibat dari penggunaan pupuk (Kattner et al. 2000) Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kandungan amonia di Situ no 5 dan Situ no 6 tidak berbeda nyata kecuali pada kedalaman kompensasi dan kedalaman di bawah kompensasi (7 meter untuk Situ no 5 dan 6 meter untuk Situ no 6). Pada kedalaman tersebut kandungan amonia Situ no 5 lebih tinggi jika dibandingkan dengan Situ no 6. Tingginya konsentrasi amonia tersebut dapat disebabkan lebih banyaknya bahan pembentuk amonia yang tersedia pada situ no 5 namun tidak diiringi ketersediaan oksigen yang cukup sehingga yang terjadi adalah bentuk amonia yang banyak Nitrit (NO 2 -N) Distribusi vertikal konsentrasi nitrit pada Situ no 5 berada pada kisaran antara tidak terdeteksi-0,247 mg/liter (Gambar 7). Pada situ no 6 rata-rata kisaran konsentrasi nitrit berada pada nilai tidak terdeteksi-0,11 mg/liter (Lampiran 2). Pada perairan alami nitrit umumnya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit karena segera teroksidasi menjadi nitrat atau tereduksi menjadi amonia. Rata-rata konsentrasi nitrit pada kedua situ (Tabel 4) menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diduga salah satunya adalah beban masukan nitrogen dari luar perairan yang cukup besar.

7 Gambar 7. Pola distribusi vertikal nitrit di situ bekas galian pasir Hasil uji statistik menunjukkan bahwa konsentrasi nitrit di kedua situ tidak berbeda nyata dengan nilai P>0,05 (Lampiran 3). Meskipun Situ no 6 terletak di daerah persawahan sehingga dimungkinkan menerima beban masukan nitrogen yang lebih tinggi, namun morfologi Situ no 6 yang menyebabkan situ tersebut memiliki retensi time 17 hari atau lebih cepat dari Situ no 5 (111,4 hari) membuat unsur hara lebih cepat terbilas sehingga tidak berpengaruh terhadap konsentrasi nitrogen Nitrat (NO 3 -N) Nitrat nitrogen memegang peranan penting di perairan alami dengan peranannya sebagai unsur hara utama yang dibutuhkan makrofita air dan fitoplankton (Wetzel 2001). Hasil pengamatan selama penelitian mendapatkan konsentrasi nitrat pada situ no 5 berkisar antara 0,12-1,1 mg/liter, sedangkan pada situ no 6 konsentrasi nitrat berkisar antara 0,075-1,65 mg/liter (Lampiran 2). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi nitrat pada kedua situ tidak berbeda nyata (P>0,05). Berdasarkan rata-rata distribusi vertikal terlihat penurunan konsentrasi nitrat dengan bertambahnya kedalaman (Gambar 8). Hal ini sesuai dengan pernyataan Goldman dan Horne (1983) tentang penyebaran nitrat yang berbeda disetiap kedalaman dan akan berkurang seiring dengan pertambahan kedalaman.

8 Nitrat merupakan hasil proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan dengan demikian pada kolom perairan yang kaya akan oksigen terlarut akan cenderung memiliki konsentrasi nitrat yang lebih tinggi. Gambar 8. Distribusi vertikal konsentrasi N-NO 3 di perairan situ bekas galian pasir Konsentrasi nitrat pada situ no 5 dan itu no 6 selama empat periode pengamatan tergolong cukup tinggi dengan rata-rata konsentrasi melebihi 0,2 mg/liter (Tabel 4). Kegiatan pertanian dengan pemupukan unsur nitrogen di daerah sekitar situ galian pasir dapat meningkatkan konsentrasi nitrat air tanah (Kattner et al. 2000) yang menjadi sumber air situ galian pasir. Konsentrasi yang melebihi 0,2 mg/liter di kedua situ mampu menstimulir pertumbuhan fitoplankton dengan sangat cepat. Tabel 4. Nilai rata-rata kualitas air di situ bekas galian pasir (mg/liter) Stasiun Kedalaman (m) Suhu DO NO 2 NO 3 Amonia TN PO 4 TP Situ no 5 Situ no 6 Permukaan 25 9,51 0,09 0,59 0,46 0,78 0,07 0,14 Secchi 25 8,49 0,08 0,60 0,50 0,81 0,12 0,16 Kompensasi 24 7,73 0,10 0,48 0,82 1,15 0,05 0, ,7 3,51 0,09 0,53 1,12 1,48 0,07 0, ,3 2,44 0,09 0,44 0,91 1,05 0,05 0,12 Permukaan 21,75 7,20 0,04 0,74 0,32 0,90 0,09 0,16 Secchi 21,75 7,43 0,06 0,54 0,33 0,75 0,13 0,17 Kompensasi 21,75 6,03 0,04 0,51 0,27 0,95 0,15 0, ,75 4,32 0,07 0,40 0,29 1,17 0,10 0, ,50 2,77 0,04 0,34 0,51 0,98 0,18 0,21

9 Berdasarkan konsentrasi nitrat pada kedua situ pun menunjukkan kondisi perairan yang eutrofik. Kadar nitrat di kedua situ tercatat melebihi 0,2 mg/liter sehingga mendukung percepatan proses eutrofikasi dengan menstimulir pertumbuhan fitoplankton secara cepat (Goldman & Horne 1983). Pada situ no 5 rata-rata konsentrasi nitrat sebesar 0,352 mg/liter dan konsentrasi nitrit sebesar 0,004 mg/liter pada tahun 2007 (Bapeda Kabupaten Cianjur 2007) menjadi 0,44 0,60 mg/liter NO 3 dan 0,08-0,10 mg/liter NO 2 pada saat pengamatan menunjukkan peningkatan masukan nitrogen sebagai salah satu hal yang memicu percepatan proses eutrofikasi (Kagalau et al. 2008) Fosfor Distribusi kandungan fosfor di situ bekas galian pasir digambarkan oleh besarnya konsentrasi ortofosfat dan total fosfor. Dari hasil penelitian diperoleh distribusi vertikal konsentrasi ortofosfat di Situ no 5 berkisar antara 0,027-0,198 mg/liter, sedangkan konsentrasi total fosfor bernilai antara 0,037-0,27 mg/liter. Pada situ no 6, rata-rata konsentrasi ortofosfat bernilai antara tidak terdeteksi-0,340 mg/liter dan rata-rata konsentrasi total fosfor bernilai antara 0,075-0,346 mg/liter (Lampiran 2). Uji statistik menunjukkan bahwa konsentrasi ortofosfat dan total fosor di kedua situ tidak berbeda nyata (Lampiran 3). Konsentrasi ortofosfat pada Situ no 6 di lapisan permukaan memiliki nilai yang terendah sedangkan yang tertinggi berada pada kedalaman 10 m (Gambar 9). Rendahnya konsentrasi ortofosfat pada permukaan disebabkan oleh penggunaan unsur hara tersebut oleh fitoplankton. Adapun pada kedalaman 10 m, konsentrasi ortofosfat tinggi disebabkan oleh kurangnya penggunaan oleh fitoplankton mengendapnya fosfat bersama sedimen ke lapisan yang lebih dalam (Tuzun & Ince 2006). Air tanah yang merupakan sumber air situ bekas galian pasir juga menyumbangkan sediaan fosfat sehingga dasar perairan memiliki konsentrasi fosfat yang lebih kaya dari permukaan (Mirdana & Matvienko 2003).

10 Gambar 9. Distribusi vertikal konsentrasi Fosfor di perairan Situ bekas galian pasir Kondisi yang berbeda ditemukan pada Situ no 5, konsentrasi ortofosfat tertinggi ditemukan pada kedalaman Secchi dan konsentrasi terendah pada kedalaman 16 m. Pada lapisan permukaan fitoplankton yang melimpah memanfaatkan ortofosfat sehingga konsentrasinya kecil. Konsentrasi ortofosfat yang lebih tinggi pada lapisan kedalaman Secchi kemungkinan disebabkan oleh kurangnya penggunaan oleh fitoplankton dan besarnya masukan ortofosfat dari kegiatan antropogenik bukan dari pelepasan sedimen, dimana situ no 5 merupakan lokasi pencucian sehingga banyak menerima masukan detergen sebagai sumber fosfor. Konsentrasi fosfor merupakan salah satu indikator kondisi eutrofikasi (Walter et al. 2007). Berdasarkan nilai konsentrasi ortofosfat yang terukur selama pengamatan kedua stasiun penelitian memiliki kriteria kesuburan eutrofik karena rata-rata konsentrasi yang terukur melebihi nilai 0,051 mg/liter (Fachrul 1993 dalam Octorina et al. 2009) Rasio N:P Rata-rata nilai fosfat di kedua stasiun pengamatan menunjukkan angka lebih besar dari 0,005 mg/liter yang mengindikasikan bahwa fosfor tidak menjadi faktor pembatas pertumbuhan fitoplankton (Warsa et al. 2006). Sedangkan

11 konsentrasi nitrogen juga menunjukkan angka lebih dari 0,02 mg/liter sehingga nitrogen pun tidak menjadi faktor pembatas dalam pertumbuhan fitoplankton. Jika kedua unsur tersebut memiliki konsentrasi yang melebihi batas, maka untuk menentukan unsur tersebut pembatas digunakan rasio N:P. Dalam perhitungan rasio N:P dapat dibandingkan dengan nilai atom 16:1 atau nilai massa 7:1 (Bergstrom et al. 2005). Jika nilai rasio > 16:1 atau > 7:1 maka unsur P yang berpotensi sebagai faktor pembatas. Bila nilai rasio <16:1 atau < 7:1 maka unsur N yang berpotensi sebagai faktor pembatas. Pada penelitian ini digunakan cara yang lebih praktis yaitu dengan rasio massa N:P (dalam unit mg/liter). Bila ditinjau dari hubungan rasio N:P, maka didapat bahwa pada Situ no 5 rasio N:P memiliki nilai < 7 pada permukaan dan kedalaman Secchi sedangkan sisanya memiliki nilai N:P > 7 (Tabel 5). Berarti pada perairan tersebut unsur N berpotensi sebagai pembatas pada kolom permukaan dan kedalaman Secchi dan P berpotensi sebagai unsur hara pembatas pada kedalaman kompensasi hingga 16 meter. Berdasarkan pada Situ no 6 rasio N:P memiliki nilai < 7 yang berarti unsur N yang lebih berpotensi sebagai faktor pembatas (Tabel 5). Tabel 5. Nilai N:P di situ bekas galian pasir Stasiun Kedalaman Periode Pengamatan Rata-rata Situ No 5 Permukaan 11,1 2,23 9,93 4,47 5,68 Secchi 5,56 2,51 6,69 4,8 5,11 Kompensasi 22,6 23,4 18,8 7,66 13,31 7 (m) 32,1 13,9 14,8 10,2 14,40 16 (m) 15,8 6,25 5,64 12,3 8,90 Situ No 6 Permukaan 2,43 2,94 7,25 8,19 5,59 Secchi 2,03 4,67 7,35 5,57 4,39 Kompensasi 2,8 7,42 6,79 5,27 4,72 6 (m) 4, ,74 5,5 6,45 10 (m) 3,15 5,28 2,76 8,95 4,58 Nilai N:P pada kedua situ menunjukkan adanya penambahan unsur hara nitrogen dan fosfor yang berlebihan, sehingga rasio massa N:P tidak sama dengan 7. Hal tersebut ditunjukan oleh kdanungan fosfat yang sangat tinggi pada Situ no 6 dan nitrogen yang tinggi pada Situ no 5. Namun pada kedua situ konsentrasi

12 nitrogen dan fosfat tergolong cukup tinggi yang mengindikasikan perairan eutrofik sehingga memungkinkan rasio N:P di perairan ini tidak berpengaruh terhadap kelimpahan fitoplankton (Juhar 2008). Hal senada diungkapkan Basmi (1988) dalam Octorina et al. (2009) yang menyatakan bahwa pada perairan eutrofik meskipun konsentrasi unsur hara di perairan menurun tidak akan memberikan efek pertumbuhan yang minus pada fitoplankton karena ketersediaan unsur hara melebihi konsumsi optimal fitoplankton. 5.3 Struktur Komunitas Fitoplankton Fitoplankton diperairan merupakan produsen primer yang memegang peranan penting dalam kesinambungan rantai makanan. Nilai beberapa parameter kualitas air terutama konsentrasi unsur hara mempengaruhi variasi dan kelimpahan fitoplankton dalam perairan. Selain ketersediaan unsur hara kelimpahan fitoplankton akan dipengaruhi oleh morfologi perairan, dengan demikian meskipun konsentrasi unsur hara yang terukur pada saat penelitian sama namun perbedaan morfologi perairan akan menyebabkan perbedaan kelimpahan fitoplakton. Gambaran mengenai struktur komunitas fitoplankton di situ bekas galian pasir dilakukan dengan pencacahan dan penghitungan hingga tingkat genera. Pada Situ no 5 tercatat ditemukan empat kelas yaitu Chlorophyceae (12 genera), Bacillariophyceae (3 genera), Cyanophyceae (5 genera) dan Dinophyceae (3 genera) (Lampiran 4). Pada Situ no 6 juga ditemukan empat kelas yaitu Chlorophyceae (16 genera), Bacillariophyceae (12 genera), Cyanophyceae (15 genera) dan Dinophyceae (4 genera) (Lampiran 5). Distribusi vertikal rata-rata kelimpahan fitoplankton menunjukkan penurunan sesuai dengan kedalaman yang menggambarkan kelimpahan fitoplankton terkait dengan cahaya matahari (Tabel 6). Pada Situ no 5 di kedalaman permukaan tercatat rata-rata kelimpahan fitoplankton yang tertinggi dari semua kedalaman yaitu sel/liter dan didominansi oleh kelas Cyanophyceae sebesar 74,6%. Kelimpahan Bacillariphyceae 14,62% sedangkan Chlorophyceae 10,39% dan Dinophyceae 0,39%. Pada kedalaman Secchi rata-rata kelimpahan fitoplankton adalah sel/liter yang juga didominansi oleh Cyanophyceae sebesar 83,96% lalu Bacillariophyceae 11,50%, Chlorophyceae 3,67% dan Dinophyceae 0,86%.

13 Tabel 6 Rata-rata kelimpahan fitoplankton di situ bekas galian pasir. Stasiun Situ No 5 Situ No 6 Persentase (%) Kelimpahan Total Kedalaman Chloro Baciloro Cyano Dino Kelimpahan phyceae phyceae phyceae phyceae (sel/liter) 0 m 10,38 14,62 74,6 0, Secchi 3,67 11,5 83,9 0, Kompensasi 27,5 41,18 30,17 1, m 21,98 13,43 62,52 2, m 18,25 14,11 67, m 93,56 1,05 4,89 0, Secchi 81,5 4,63 13,6 0, Kompensasi 56,27 9,38 34,24 0, m 42,15 20,87 36,52 0, m 88,92 2,91 6,74 1, Pada kedalaman kompensasi rata-rata kelimpahan fitoplankton adalah sel/liter dan terjadi perubahan struktur komunitas dimana kelimpahan yang terbanyak berasal dari kelas Bacillariophyceae sebesar 41,18% kemudian Cyanophyceae 30,17% sedangkan Chlorophyceae 27,7% dan Dinophyceae 1,07%. Kedalaman 7 meter dan 16 meter rata-rata kelimpahan fitoplankton adalah sel/liter dan sel/liter. Pada kedalaman tersebut kembali Cyanophyceae tercatat sebagai kelas dengan kelimpahan terbanyak yaitu 62,52% dan 67,64%. Pada seluruh kedalaman di Situ no 5 rata-rata kelimpahan yang terbanyak tercatat berasal dari kelas Cyanophyceae, kecuali pada kedalaman kompensasi ditemukan kelimpahan terbanyak dari kelas Bacillariophyceae. Pada lapisan permukaan dan kedalaman Secchi pendominansian oleh kelas Cyanophyceae berhubungan dengan laju penenggelaman dan kemampuan mengapung. Laju penenggelaman Cyanophyceae adalah 0,15 m/hari sedangkan Chlorophyceae dan Bacillariophyceae 0,4 m/hari. Kelas Cyanophyceae memiliki kemampuan mengapung paling tinggi sehingga banyak ditemukan di lapisan permukaan. Reynolds (1984) dalam Baksir (1999) menjelaskan kemampuan mengapung fitoplankton dibagi menjadi tiga kelompok yaitu positif, netral, dan negatif. Cyanophyceae memiliki kemampuan mengapung positif, Chlorophyceae memiliki kemampuan mengapung netral dan Bacillariophyceae memiliki kemampuan renang negatif. Selain itu bertahannya kelas Cyanophyceae dalam cahaya yang

14 terik diduga akibat lendir yang dimiliki kelas ini mampu melindungi mereka dari cahaya yang terik (Sperling et al. 2008) Perubahan struktur komunitas di kedalaman kompensasi pada Situ no 5 rata-rata kelimpahan terbanyak berasal dari kelas Bacillariophyceae disebabkan karena kelas ini merupakan fitoplankton tipe teduh hingga banyak berkumpul pada lapisan ini. Namun kelas Cyanophyceae juga mampu menyaingi fitoplankton lain dalam pemanfaatan unsur hara dan cahaya bahkan hingga tahap ketersediaan unsur hara yang sangat kritis, dengan demikian kelimpahannya tercatat paling banyak di hampir seluruh kedalaman. Ditinjau dari struktur komunitas fitoplankton pada Situ no 5 secara umum memiliki nilai keanekaragaman yang tergolong rendah dan juga terdapat pedominansian oleh salah satu kelas fitoplankton (Tabel 7). Pada seluruh kedalaman hampir didominansi oleh kelas Cyanophyceae, hal ini sesuai dengan kondisi perairan yang memiliki konsentrasi fosfat diatas 0,1 mg/liter, suhu tinggi, cahaya rendah dan cenderung basa (Pratiwi 2003). Melimpahnya Polycistis dari kelas Cyanophyceae dan Melosira dari kelas Bacillariophyceae menunjukkan bahwa Situ no 5 telah berstatus eutrofik. Status ini didukung dengan kondisi keragaman jenis yang rendah (Mason 1981 dalam Pratiwi 2003). Kondisi yang berbeda terjadi pada Situ no 6 baik dari sisi kelimpahan (Tabel 6) maupun struktur komunitas. Pada lapisan permukaan tercatat kelimpahan fitoplankton yang paling banyak dari seluruh kedalaman yaitu sel/liter. Chlorophyceae merupakan penyusun utama komunitas dengan presentasi kelimpahan sebesar 93,56% lalu Cyanophyceae 4,89%, Bacillariophyceae 1,05% dan Dinophyceae 0,49%. Pada kedalaman Secchi kelimpahan fitoplankton sebesar sel/liter masih didominansi oleh kelas Chlorophyceae dengan kelimpahan sebesar 81,50 %. Terdapat kenaikan presentasi kehadiran Cyanophyceae menjadi 13,60 % dan Bacillariophyceae 4,63 % lalu Dinophyceae sebesar 0,27%.

15 Tabel 7 Struktur komunitas fitoplankton di situ bekas galian pasir. Stasiun Penga matan Situ no 5 Situ no 6 H E C Kedalaman Pengamatan Pengamatan Pengamatan Permukaan 0,48 1,04 0,82 1,26 0,18 0,43 0,34 0,47 0,81 0,46 0,61 0,40 Secchi 0,12 0,75 1,31 0,17 0,06 0,29 0,57 0,08 0,96 0,69 0,36 0,95 Kompensasi 0,06 0,71 1,50 0,89 0,04 0,31 0,68 0,41 0,98 0,65 0,29 0,50 7 m 0,05 0,55 1,71 1,10 0,03 0,23 0,69 0,48 0,99 0,77 0,27 0,42 16 m 0,07 1,40 0,06 1,51 0,03 0,72 0,05 0,84 0,98 0,36 0,98 0,26 Permukaan 1,41 1,20 1,66 0,85 0,49 0,43 0,65 0,30 0,33 0,40 0,24 0,60 Secchi 0,44 1,39 1,96 0,45 0,18 0,47 0,69 0,19 0,83 0,32 0,18 0,81 Kompensasi 1,99 1,23 0,34 0,86 0,72 0,45 0,19 0,41 0,18 0,37 0,87 0,58 6 m 1,82 1,49 0,87 1,38 0,76 0,56 0,62 0,66 0,20 0,31 0,50 0,29 10 m 1,33 0,27 1,28 0,05 0,53 0,20 0,71 0,07 0,33 0,40 0,24 0,60 Pada kedalaman kompensasi kembali terjadi perubahan penyusun struktur komunitas dari kelimpahan fitoplankton sebesar sel/liter tetap Chlorophyceae sebagai kelas terbanyak dengan kelimpahan 56,27 % dan tetapi kelas Cyanophyceae pun semakin meningkat dengan kelimpahan sebesar 34,24%. Bacillariophyceae pun meningkat menjadi 9,38% dan Dinophyceae berkurang menjadi 0,12%. Pada kedalaman 6 meter kelimpahan fitoplankton yang tercatat adalah sel/liter kelimpahan Chlorophyceae semakin berkurang menjadi 42,15% sedangkan Cyanophyceae dan Bacillariophyceae bertambah masingmasing menjadi 36,52% dan 20,87% lalu Dinophyceae sebesar 0,46%. Kedalaman 10 meter yang memiliki kelimpahan fitoplankton terendah yaitu 7678 sel/liter kembali kelas Chlorophyceae tercatat sebagai kelas terbanyak dengan presentase 88,92 %, Cyanophyceae 6,74%, Bacillariophyceae 2,91% dan Dinophyceae 1,44%. Struktur komunitas pada situ no 6 menunjukkan kecenderungan nilai indeks keanekaragaman yang besar pada kolom perairan yang lebih dalam mengindikasikan semakin banyak genera yang ditemukan (Tabel 7). Keadaan ini mengindikasikan banyak genera fitoplankton yang bertipe teduh sehingga menyenangi daerah yang intensitas cahaya tidak begitu kuat. Namun lain halnya pada kedalaman 10 meter, penunurunan jumlah genera yang ditemukan pada kolom ini menunjukkan hanya tersisa genera-genera tertentu yang tahan pada kondisi kurang cahaya.

16 Perbedaan lainnya antara Situ no 6 dengan Situ no 5 adalah secara umum hampir tidak ada pedominansian pada Situ no 6. Meskipun nilai indeks keseragaman tidak menunjukkan nilai yang tinggi dominansi hampir tidak muncul karena ada beberapa genera yang memiliki jumlah yang tidak berbeda jauh. Meskipun hasil uji statistik menyatakan bahwa kondisi nutrien pada kedua situ umumnya tidak berbeda nyata, namun struktur komunitas fitoplankton menunjukkan perbedaan komposisi, pada Situ no 5 didominasi oleh Cyanophyceae sedangkan pada Situ no 6 banyak ditemukan Chlorophyceae. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu suhu perairan dan ketersediaan cahaya matahari. Hal ini mengacu pada hasil penelitian Abrantes et al. (2006) yang menemukan perubahan komposisi fitoplankton di Danau Vela Portugal yang semula di dominasi oleh Chlorophyceae berubah menjadi Cyanophyceae ketika ada peningkatan suhu. Hasil pengukuran suhu pada saat penelitian menunjukkan bahwa Situ no 5 memiliki suhu yang lebih tinggi dari Situ no 6 sehingga perbedaan komposisi fitoplankton dapat dijelaskan berdasarkan perbedaan suhu. Faktor lain yang mungkin menjadi penyebab perbedaan komposisi adalah cahaya matahari. Pada Situ no 5 memiliki kecerahan yang lebih rendah dari pada situ no 6 sehingga Cyanophyceae yang mampu berkembang dalam kondisi cahaya yang sedikit memiliki peluang tumbuh lebih besar dibdaningkan kelas lain di perairan Situ no 5. Hal ini mengacu pada hasil penelitian Gurung et al. (2006) yang mengemukakan bahwa perbedaan padatan tersuspensi yang masuk ke perairan akan mempengaruhi tingkat kecerahan dan pada tingkat kecerahan rendah ditemukan lebih banyak Cyanophyceae yang berkembang di bandingkan Chlorophyceae. Kebanyakan genera fitoplankton yang ditemukan pada kedua situ merupakan jenis yang tidak mempunyai daya gerak dan berasal dari kelas Cyanophyceae dan Chlorophyceae. Wasielka dan Goldyn (2005) menemukan bahwa komunitas fitoplankton pada perairan tergenang dapat didominansi oleh Cyanophyceae dan Chlorophyceae. Pada kedua situ jumlah genera dan kelimpahan Dinophyceae hanya sedikit ditemukan karena kelas ini memiliki pertumbuhan yang lebih lambat daripada Cyanophyceae dan Chlorophyceae.

17 Kondisi komunitas fitoplankton pada Situ no 5 berdasarkan Rank Frequency Diagram Frontier (Gambar 10) berada dalam stadia 1 yang menggambarkan keadaan produktivitas biologi rendah, kondisi tidak stabil (juvenile) yang ditunjukan dengan keanekaragaman rendah (H < 2,30) dan keseragaman yang juga rendah (Frontier 1985). Selanjutnya disebutkan ciri-ciri lain dari stadia ekosistem juvenile adalah kompetisi antar jenis tinggi serta rantai makanan dan organisme dalam keadaan tertekan. Kelabilan ekosistem pada Situ no 5 diperjelas dengan hadirnya genera yang mendominansi di hampir seluruh kedalaman (Hagnes 1972 dalam Baksir 1999) yaitu Policystis dari kelas Cyanophyceae. Gambar 10. Rank Frequency Diagram Frontier Situ no 5

18 Meskipun struktur komunitas Situ no 6 berbeda dengan Situ no 5 namun berdasarkan Rank Frequency Diagram Frontier (Gambar 11) kondisi ekosistemnya hampir serupa yaitu berada dalam stadia satu (juvenile). Ketidakstabilan ekosistem ditunjukan dengan nilai keanekaragaman yang tergolong rendah. Gambar 11. Rank Frequency Diagram Frontier Situ no 6

19 5.4 Khlorofil-a Khlorofil-a merupakan katalisator fotosintesis yang terdapat pada semua jaringan tumbuhan dengan fungsi sebagai penyerap cahaya matahari. Sebaran tinggi rendahnya konsentrasi khlorofil-a terkait dengan kondisi fisik-kimia perairan terutama intensitas cahaya dan unsur hara. Konsentrasi khlorofil a pada Situ no 5 berkisar antara 2,38-81,396 mg/m 3 dan Situ no 6 berkisar antara 0,859-15,708 mg/m 3 (Lampiran 8). Distribusi vertikal nilai rata-rata khlorofil-a di kedua stasiun pengamatan menunjukkan penurunan sesuai dengan bertambahnya kedalaman perairan (Gambar 12). Hal tersebut menunjukkan densitas fitoplankton akan berkurang dengan berkurangnya intensitas cahaya seiring bertambahnya kedalaman. Penurunan produksi tersebut terjadi sebagai akibat penaungan sendiri sehingga peningkatan produktivitas akan terhambat meskipun jumlah unsur hara yang tersedia cukup (Wetzel 2001). Gambar 12. Pola distribusi vertikal khlorofil-a di perairan situ bekas galian pasir Jika dibandingkan hasil uji statistik menunjukkan kosentrasi khlorofil-a yang terukur pada Situ No 5 lebih tinggi dari Situ no 6 (Lampiran 3). Kondisi ini dapat terbukti dengan lebih tingginya kelimpahan fitoplanton pada Situ no 5. Selain itu perbedaan biomassa fitoplanton antara kedua situ juga dapat diperkuat oleh perbedaan kecerahan perairan dan konsentrasi oksigen terlarut. Meskipun jumlah unsur hara yang tersedia di kedua situ tidak berbeda nyata (Lampiran 3) namun morfologi situ yang berbeda menyebabkan biomassa

20 fitoplankton di kedua berbeda nyata. Debit Situ no 6 yang lebih besar dari Situ no 5 menyebabkan banyak fitoplankton hanyut ke arah outlet sehingga mengurangi biomassa fitoplankton. Khlorofil-a selain digunakan untuk menduga biomassa algae juga dapat digunakan untuk menentukan tingkat kesuburan perairan (Magadza 2008). Kisaran jumlah khlorofil-a 0-4 mg/m 3 merupakan ciri perairan oligotrofik, kisaran 5-10 mg/m 3 merupakan perairan mesotrofik dan kisaran mg/m 3 merupakan tipe eutropik. Konsentrasi khlorofil-a yang tercatat selama empat periode pengamatan meskipun menunjukkan penurunan konsentrasi pada periode dua dan tiga akibat terjadi hujan lebat namun tetap mengindikasikan perairan tersebut memiliki tipe eutrofik. 5.5 Produktivitas Primer Hasil perhitungan produktivitas primer di Situ no 5 dan 6 menunjukkan penurunan nilai rata-rata produktivitas (Tabel 8) bersih sesuai dengan bertambahnya kedalaman yang mendanakan pengaruh cahaya terhadap produktivitas primer (Gambar 13). Selain itu pula biomassa fitoplankton yang lebih besar di lapisan permukaan mendukung tingginya hasil proses fotosintesis pada lapisan tersebut. Hasil uji t menunjukkan bahwa nilai produktivitas primer pada kedua situ tidak berbeda nyata kecuali pada kedalaman Secchi, dimana Situ no 5 memiliki nilai yang lebih besar dari Situ no 6. Hal ini kemungkinan disebabkan karena letak kedalaman Secchi pada Situ no 5 hampir dekat dengan permukaan sehingga nilai produktivitasnya tidak jauh berbeda karena kondisi cahaya yang hampir sama, sedangkan pada Situ no 6 letaknya lebih dalam dari permukaan.

21 Gambar 13. Pola distribusi vertikal produktivitas primer di perairan situ bekas galian pasir Tabel 8 Rata-rata produktivitas primer bersih kedua situ Kedalaman Situ no 5 Situ no 6 mg C/m 3 /jam mg C/m 2 /jam mg C/m 3 /jam mg C/m 2 /jam Permukaan 169,63 161,47 Secchi 169,25 115,47 62,25 39,27 Kompensasi 56,02 16, Status Trofik Situ galian pasir merupakan situ buatan berumur lebih muda dari pada perairan alami, demikian pula situ galian pasir yang berada di lokasi penelitian umumnya masih berumur dibawah 20 tahun. Pada tahun-tahun pertama setelah penggalian biasanya situ-situ galian pasir masih berstatus oligotropik (Kattner et al. 2000). Namun proses perubahan pada situ galian pasir umumnya lebih cepat dari perairan alami (Tavernini et al. 2009) terutama pada situ-situ yang terletak dekat pemukiman. Infiltrasi air tanah merupakan sumber air utama bagi situ galian pasir, namun masukan air limbah dan air hujan diduga memberian pengaruh pada perubahan sifat fisika dan kimia perairan (Brooks et al. 2003) Pengidentifikasi status trofik Situ no 5 dan situ no 6 digunakan model trix dimana unsur hara direpresentatifkan melalui konsentrasi total nitrogen dan total fosfor sedangan biomassa fitoplankton diwakili khlorofil-a sedangkan intensitas

22 produksi dari badan air diwakili kdanungan oksigen saturasi (Lampiran 13). Penentuan status trofik dengan menggunakan model trix menunjukkan pada Situ No 5 dan Situ no 6 untuk setiap kedalaman telah berstatus eutrofik dengan nilai dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Status tropik Situ no 5 dan Situ no 6 dengan menggunakan model Trix Stasiun Kedalaman Nilai Trix Status trofik Permukaan Eutrofik Secchi Eutrofik Situ no 5 Kompensasi Eutrofik 7 meter Eutrofik 16 meter Eutrofik Permukaan Eutrofik Secchi Eutrofik Situ no 6 Kompensasi Eutrofik 6 meter Eutrofik 10 meter Eutrofik Hasil identifikasi kedua situ galian pasir menggambarkan status trofik kedua situ telah eutrofik dicirikan dengan tingginya unsur hara dan produktivitas serta kurangnya tingkat kecerahan (Tabel 10). Meskipun situ galian pasir yang diamati tergolong perairan yang masih baru, namun berdasarkan status trofiknya menunjukkan proses eutrofikasi telah berlangsung sangat cepat. Tabel 10 Status trofik kedua situ berdasarkan rata-rata parameter kualitas air dibdaningkan dengan kriteria Wetzel (2001) Parameter Situ No.5 Situ No.6 Hasil Status Hasil Status Oligotrofik Mesotrofik Eutrofik Total Fosfor (mg/m 3 ) 120,7 Eutrofik 177,6 Eutrofik < >20 Total Nitrogen (mg/m 3 ) 1055,1 Eutrofik 951,5 Eutrofik < > 500 Chlorofil-a (mg/m 3 ) 40,43 Eutrofik 8,83 Mesotrofik < >10 Produktivitas Primer 1.385,64 Eutrofik 471,24 Eutrofik (mgc/m 2 /hari) Kecerahan (m) 0,57 Eutrofik 0,93 Eutrofik >4 2-4 <2

23 5.7 Pengelolaan Perairan alami akan mengalami perkembangan status trofik dari oligotrofik menjadi eutrofik melalui proses eutrofikasi. Kegiatan manusia dapat mempercepat proses ini secara drastis melalui peningkatan masuknya unsur hara serta sedimen. Proses eutrofikasi yang sangat cepat akibat kegiatan manusia diidentifikasikan sebagai cultural eutrofication. Kondisi ini pula yang ditemukan di lokasi penelitian dimana situ-situ bekas galian pasir telah berstatus eutrofik. Mengingat umur Situ no 5 dan Situ no 6 yang masih muda yaitu 11 tahun dan 10 tahun, namun kegiatan penduduk di sekitar lokasi penambangan telah menyebabkan cultural eutrophication. Sebagaimana situ-situ bekas galian pasir lainnya yang terdapat di Desa Cikahuripan, tidak ada upaya pengelolaan dalam bentuk apapun untuk menjaga kualitas air pada perairan tersebut. Cepatnya perubahan status trofik akibat cultural eutrophication bila dibiarkan lebih lanjut akan menyebabkan krisis ekosistem yang mengakibatkan daya guna situ bekas galian pasir sebagai ekosistem perairan akan cepat hilang. Perairan yang telah memiliki status eutrofik lebih sulit untuk dikelola dari pada perairan oligotrofik. Lebih mudah dan murah mencegah eutrofikasi dibandingkan dengan merestorasi perairan yang telah berstatus eutrofik sebagai akibat dari cultural eutrofication. Unsur hara disebut sebagai elemen yang paling bertanggung jawab dalam proses eutrofikasi, karena keberadaannya yang berlebihan akan menstimulan pertumbuhan fitoplankton. Sperling et al. (2008) mengemukakan berberapa kesulitan dalam strategi pengelolaan perairan eutrofik di daerah tropis terutama masalah blooming fitoplankton akibat tingginya suhu serta masukan unsur hara yang konstan. Diperkirakan demikian pula yang akan dihadapi dalam pengelolaan situ bekas galian pasir dimana beban masukan unsur hara sangat besar dan konstan sedangkan suhu cukup ideal bagi perkembangan fitoplankton. Situ no 5 dan Situ no 6 meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua situ tersebut telah mengalami proses cultural eutrofication dan memiliki status trofik yang sama yaitu eutrofik namun morfologi situ yang berbeda menyebabkan strategi pengelolaan pada kedua situ pun akan berbeda. Pengurangan unsur P baik yang akan memasuki perairan atau yang telah berada

24 dalam perairan dianggap cara yang efektif dalam mengkontrol eutofikasi (Barbieri dan Simona 2001). Karena unsur ini yang menjadi faktor kunci pertumbuhan fitoplankton dan keberadaanya dalam perairan bisa menumpuk sebab tidak mengalami proses seperti nitrifikasi. Selain itu pengurangan unsur nitrogen dari perairan dianggap jauh lebih sulit. Mengontrol point source merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan di Situ no 5 dengan cara mengalihkan saluran pembuangan limbah rumah tangga untuk tidak berakhir di situ ini. Mempertahankan kualitas air kedua situ melalui pencegahan masukan unsur hara yang berlebihan melalui non point source cukup sulit untuk dilakukan di lokasi penelitian. Kesulitan ini disebabkan karena daerah tangkapan air di sekitar situ penelitian telah diperuntukkan bagi kegiatan pertanian sebagai cara pihak perusahaan penambang pasir untuk mengganti lahan pertanian yang hilang akibat penggalian. Unsur hara yang masuk melalui rembesan air tanah sulit untuk dikontrol dan memberikan kontribusi yang cukup besar pada proses eutrofikasi bagi situ galian pasir (Kattner et al. 2000). Secara hidromorfologi Situ no 6 memiliki kedalaman yang lebih dangkal dari Situ no 5 dan debit air yang keluar juga lebih besar sehingga memiliki retention time yang lebih singkat. Meskipun unsur hara yang tersedia tinggi namun tidak sempat menyebabkan peledakan populasi fitoplankton dan penumpukan unsur hara yang terjebak dalam perairan dapat dihindari. Dengan demikian pada situ no 6 memungkinkan untuk dilakukan usaha karamba jaring apung. Namun berhubung konsentrasi unsur hara sudah cukup tinggi maka diperlukan pengaturan jumlah ikan yang boleh dipelihara dalam karamba sebab akan berkaitan dengan banyaknya buangan sisa pakan yang dapat memperburuk kualitas air. Dilihat dari struktur komunitas fitoplankton, meskipun kodisi ekosistem masih labil, Situ no 6 yang didominasi Chlorophyceae mampu mendukung kehidupan ikan khususnya ikan pemakan plankton sehingga dapat dimanfaatkan untuk usaha budidaya ikan berbasis pakan alami. Pemanfaatan Situ no 5 sebagai area karamba jaring apung belum dapat direkomendasikan sebab morfologi situ tersebut dapat menyebabkan bahan organik sisa pakan dan metabolisme terjebak dalam air lebih lama, sehingga cenderung meningkatkan unsur hara yang memang sudah tinggi di perairan tersebut. Bila

25 dipaksakan memasang karamba jaring apung maka hanya akan memperburuk kualitas air dan menstimulan tumbuhnya fitoplankton yang tidak dapat dimanfaatkan. Dengan buruknya kualitas air dapat menyebabkan ikan yang dipelihara stress yang kemudian akan mempengaruhi produksi. Situ no 5 sangat rentan pada terjadinya blooming fitoplankton, hasil penelitian menunjukkan situ ini telah didominasi fitoplankton dari kelas Cyanophyceae yang umumnya tidak disukai oleh ikan. Bahkan pada tahun 2009 Situ no 5 telah didominansi oleh Mycrocystis (Octorina et al. 2009). Pengendalian fitoplankton pada Situ no 5 dapat dilakukan dengan meningkatkan grazing melalui pengayaan zooplankton herbivor. Mengacu pada pernyataan Abrantes et al. (2006) yang mengemukakan bahwa zooplankton dapat berpengaruh terhadap komposisi dan kelimpahan fitoplankton melalui grazing. Selain pengayaan zooplankton introduksi ikan pemakan fitoplankton dapat dilakukan untuk mengkontrol biomassa fitoplankton. Berhubung keanekaragaman fitoplankton yang ditemukan di situ tersebut tergolong rendah, maka diperlukan introduksi ikan yang memiliki relung makanan luas atau ikan yang tidak selektif dalam memanfaatkan makanan. Introduksi ikan tidak akan membahayakan struktur komunitas ikan di situ tersebut sebab Situ no 5 adalah perairan buatan yang tidak memiliki ikan endemik. Bahkan introduksi ikan yang bernilai ekonomis dapat bermanfaat bagi penduduk kampung Awilarangan yang mengandalkan mata pencaharian melalui penggalian pasir liar. Meskipun kecil peluang Situ no 5 untuk dimanfaatkan sebagai lokasi budidaya ikan, situ ini tetap dapat dimanfaatkan untuk wisata pemancingan sebab lokasinya yang lebih mudah dicapai jika dibandingkan Situ no 6. Pengurangan jumlah unsur hara pada kedua situ dapat dilakukan dengan introduksi tanaman air. Diharapkan tanaman air tersebut dapat memanfaatkan unsur hara dan mengikat partikel-partikel tersuspensi juga mencegah sedimentasi. Sebagai pengontrol tumbuhan air, sebaiknya juga di introduksikan ikan herbivor seperti ikan koan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Penentuan Titik Sampling 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Air

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Penentuan Titik Sampling 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Air 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal penambangan pasir tepatnya di Kampung Awilarangan, Desa Cikahuripan, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. Sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen) 2.1.1. Sumber DO di perairan Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut di dalam air (Wetzel 2001). DO dibutuhkan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang memiliki luas 240 ha. Pemanfaatan lahan di sekitar Waduk Cengklik sebagian besar adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN . HASIL DAN PEMBAHASAN.. Hasil Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pola distribusi vertikal oksigen terlarut, fluktuasi harian oksigen terlarut, produksi primer, rincian oksigen terlarut, produksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Unsur Hara

HASIL DAN PEMBAHASAN. Unsur Hara HASIL DAN PEMBAHASAN Unsur Hara Fitoplankton membutuhkan unsur hara makro dan mikro untuk mendukung pertumbuhannya. Besi (Fe) sebagai salah satu unsur hara mikro dalam jumlah kecil berperan dalam sistem

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau Danau merupakan perairan tergenang yang berada di permukaan tanah, terbentuk akibat proses alami atau buatan. Danau memiliki berbagai macam fungsi, baik fungsi

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau Lido 2.2. Kesuburan Perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau Lido 2.2. Kesuburan Perairan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau Lido Danau memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan secara ekologis maupun secara ekonomis. Secara ekologis danau antara lain sebagai daerah resapan air, sumber

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam.air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di ekosistem perairan rawa. Perairan rawa merupakan perairan tawar yang menggenang (lentik)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 35 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Penelitian Tahap I 4.1.1.1. Percobaan 1: 4.1.1.1.a. Komposisi Perifiton Selama penelitian ditemukan tiga kelas perifiton yaitu Bacillariophyceae (9 genus),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang bebas di perairan. Plankton dibagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme berklorofil

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan air tawar, salah satunya waduk menempati ruang yang lebih kecil bila dibandingkan dengan lautan maupun daratan, namun demikian ekosistem air tawar memiliki

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Laut Belawan Perairan Laut Belawan yang berada di Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara banyak digunakan oleh masyarakat setempat untuk berbagai aktivitas.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Danau Danau adalah suatu badan air alami yang selalu tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air tertentu yang beragam dari satu danau ke danau yang lain serta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Perairan sungai adalah suatu perairan yang di dalamnya dicirikan dengan adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir (perairan lotik).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke perairan yang menyebabkan pencemaran. Limbah tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kualitas perairan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi sebelum menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya perikanan tidak sekedar

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Mulur Sukoharjo merupakan objek wisata alam yang terletak di provinsi Jawa Tengah.Tepatnya berada di daerah Kabupaten Sukoharjo, Kecamatan Bendosari, Kelurahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Lingkungan Waduk Koto Panjang 4.1.1. Suhu air Suhu air perairan pada setiap stasiun, kedalaman, dan waktu pengamatan berkisar antara 25,0 32,7 o C, pada bulan Maret

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan 15 PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan organik merupakan salah satu indikator kesuburan lingkungan baik di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan kualitas tanah dan di perairan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN SAHABUDDIN PenelitiPada Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Dan Penyuluhan Perikanan Dipresentasikan pada Kuliah umum Praktik Lapang Terpadu mahasiswa Jurusan

Lebih terperinci

PARAMETER KUALITAS AIR

PARAMETER KUALITAS AIR KUALITAS AIR TAMBAK PARAMETER KUALITAS AIR Parameter Fisika: a. Suhu b. Kecerahan c. Warna air Parameter Kimia Salinitas Oksigen terlarut ph Ammonia Nitrit Nitrat Fosfat Bahan organik TSS Alkalinitas Parameter

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. keseimbangan ekologi dan tata air. Dari sudut ekologi, waduk dan danau

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. keseimbangan ekologi dan tata air. Dari sudut ekologi, waduk dan danau 1. Profil Waduk Cengklik Boyolali BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka Keberadaan waduk dan danau sangat penting dalam turut menciptakan keseimbangan ekologi dan tata air. Dari sudut ekologi, waduk

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan, 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas air memegang peranan penting dalam bidang perikanan terutama untuk kegiatan budidaya serta dalam produktifitas hewan akuatik. Parameter kualitas air yang sering

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan dan berbentuk pelebaran alur atau badan atau palung sungai (PerMen LH No 28 Tahun 2009). Waduk

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika Perairan 4.1.1 Suhu Setiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Maret 2016 di Telaga Bromo dapat dilihat di Tabel 1.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Maret 2016 di Telaga Bromo dapat dilihat di Tabel 1. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Parameter Fisik dan Kimia Perairan Telaga Bromo Rata-rata hasil pengukuran terhadap parameter fisik dan kimia perairan yang telah dilakukan setiap pengambilan sampel pada

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memonitor kualitas perairan (Leitão, 2012), melalui pemahaman terhadap siklus

BAB I PENDAHULUAN. memonitor kualitas perairan (Leitão, 2012), melalui pemahaman terhadap siklus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status trofik merupakan indikator tingkat kesuburan suatu perairan yang dapat ditentukan oleh faktor-faktor yang meliputi nutrien perairan, produktivitas fitoplankton

Lebih terperinci

EUTROFIKASI DUA SITU BEKAS GALIAN PASIR DI DESA CIKAHURIPAN KABUPATEN CIANJUR PELITA OCTORINA

EUTROFIKASI DUA SITU BEKAS GALIAN PASIR DI DESA CIKAHURIPAN KABUPATEN CIANJUR PELITA OCTORINA EUTROFIKASI DUA SITU BEKAS GALIAN PASIR DI DESA CIKAHURIPAN KABUPATEN CIANJUR PELITA OCTORINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambangan timah di Indonesia dimulai pada abad ke-18. Sejak tahun 1815 penambangan timah di pulau Bangka dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda dan berlanjut sampai PT.

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer

TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer Produktivitas primer merupakan laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya akan energi dan berasal dari senyawa anorganik. Pada umumnya produktivitas primer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Oseanografi. Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Oseanografi. Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Oseanografi Suhu Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di seluruh kedalaman kolom air di stasiun A dan B yang berkisar dari 28 29 C (Tabel 3).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi air tawar yang kaya akan mineral dengan ph sekitar 6. Kondisi permukaan air tidak selalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia memiliki banyak hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. rumah tangga dapat mempengaruhi kualitas air karena dapat menghasilkan. Rawa adalah sebutan untuk semua daerah yang tergenang air, yang

PENDAHULUAN. rumah tangga dapat mempengaruhi kualitas air karena dapat menghasilkan. Rawa adalah sebutan untuk semua daerah yang tergenang air, yang 16 PENDAHULUAN Latar Belakang Rawa sebagai salah satu habitat air tawar yang memiliki fungsi yang sangat penting diantaranya sebagai pemancingan, peternakan, dan pertanian. Melihat fungsi dan peranan rawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plankton merupakan salah satu jenis biota yang penting dan mempunyai peranan besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam air atau

Lebih terperinci

Kajian Variabel Kualitas Air Dan Hubungannya Dengan Produktivitas Primer Fitoplankton Di Perairan Waduk Darma Jawa Barat

Kajian Variabel Kualitas Air Dan Hubungannya Dengan Produktivitas Primer Fitoplankton Di Perairan Waduk Darma Jawa Barat Jurnal Perikanan Kelautan Vol. VII No. 1 /Juni 2016 (93-102) Kajian Variabel Kualitas Air Dan Hubungannya Dengan Produktivitas Primer Fitoplankton Di Perairan Waduk Darma Jawa Barat Ega Cahyadi Rahman,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 11 3. METODE PENELITIAN 3. 1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Danau Lido berada pada koordinat 106 48 26-106 48 50 BT dan 6 44 30-6 44 58 LS (Gambar

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 39 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Terumbu Karang di Lokasi Penelitian 5.1.1 Kondisi Terumbu Karang Pulau Belanda Kondisi terumbu karang di Pulau Belanda berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang termasuk dalam bentuk mikro terdiri dari Fe, Co, Zu, B, Si, Mn, dan Cu (Bold

I. PENDAHULUAN. yang termasuk dalam bentuk mikro terdiri dari Fe, Co, Zu, B, Si, Mn, dan Cu (Bold 1 I. PENDAHULUAN Nutrien adalah unsur atau senyawa kimia yang digunakan untuk metabolisme atau proses fisiologi organisme. Nutrien di suatu perairan merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah satu unsur yang dapat mempengaruhi kualitas air yakni unsur karbon (Benefield et al., 1982).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Danau Secara umum, ekosistem perairan darat dapat dibagi menjadi dua seri yaitu perairan lentik dan perairan lotik. Perairan lentik disebut juga perairan tenang karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah sekitarnya. Oleh karena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

TINGKAT KESUBURAN PERAIRAN SITU CIGUDEG SERTA HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER DAN UNSUR HARA

TINGKAT KESUBURAN PERAIRAN SITU CIGUDEG SERTA HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER DAN UNSUR HARA TINGKAT KESUBURAN PERAIRAN SITU CIGUDEG SERTA HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER DAN UNSUR HARA Oleh: NUR INDRAYAN1 C02495009 SKRIPSI Sebagai Salah Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waduk Waduk merupakan badan air tergenang yang dibuat dengan cara membendung sungai, umumnya berbentuk memanjang mengikuti bentuk dasar sungai sebelum dijadikan waduk. Terdapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem Rawa Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem Rawa Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen 22 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Rawa Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Laju Pertumbuhan Spesifik (Specific Growth Rate) Selama 40 hari masa pemeliharaan nilem terjadi peningkatan bobot dari 2,24 ± 0,65 g menjadi 6,31 ± 3,23 g. Laju

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Perairan merupakan perpaduan antara komponen fisika, kimia dan biologi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Perairan merupakan perpaduan antara komponen fisika, kimia dan biologi PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan merupakan perpaduan antara komponen fisika, kimia dan biologi dalam suatu media air pada wilayah tertentu. Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi, jika terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh perairan. Perairan ini meliputi perairan laut, payau, maupun perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan oleh makhluk hidup baik itu manusia, hewan maupun tumbuhan sebagai penunjang kebutuhan dasar. Oleh karena itu, keberadaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang sudah menjadi kebutuhan vital bagi makhluk hidup. Tidak hanya untuk mandi atau mencuci, tapi kebutuhan akan air bersih juga diperlukan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali Selat adalah sebuah wilayah perairan yang menghubungkan dua bagian perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak diantara dua

Lebih terperinci

n, TINJAUAN PUSTAKA Menurut Odum (1993) produktivitas primer adalah laju penyimpanan

n, TINJAUAN PUSTAKA Menurut Odum (1993) produktivitas primer adalah laju penyimpanan n, TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produktivitas Primer Menurut Odum (1993) produktivitas primer adalah laju penyimpanan energi sinar matahari oleh aktivitas fotosintetik (terutama tumbuhan hijau atau fitoplankton)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berdampak buruk bagi lingkungan budidaya. Hal ini erat kaitannya dengan

I. PENDAHULUAN. berdampak buruk bagi lingkungan budidaya. Hal ini erat kaitannya dengan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Budidaya ikan merupakan kegiatan pemeliharaan ikan dalam lingkungan yang terkontrol. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan salah satunya adalah pemberian pakan.manajemen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan pesisir merupakan wilayah perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik maupun anorganik (Jassby and Cloern 2000; Andersen et al. 2006). Bahan ini berasal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011

PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 1 EKOSISTEM Topik Bahasan: Aliran energi dan siklus materi Struktur trofik (trophic level) Rantai makanan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber irigasi, sumber air minum, sarana rekreasi, dsb. Telaga Jongge ini

BAB I PENDAHULUAN. sumber irigasi, sumber air minum, sarana rekreasi, dsb. Telaga Jongge ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telaga merupakan wilayah tampungan air yang sangat vital bagi kelestarian lingkungan. Telaga merupakan salah satu penyedia sumber air bagi kehidupan organisme atau makhluk

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen Kualitas air merupakan salah satu sub sistem yang berperan dalam budidaya, karena akan mempengaruhi kehidupan komunitas biota

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Siklus Biogeokimia 33 BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Kompetensi Dasar: Menjelaskan siklus karbon, nitrogen, oksigen, belerang dan fosfor A. Definisi Siklus Biogeokimia Siklus biogeokimia atau yang biasa disebut

Lebih terperinci

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan Kelangsugan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Nilem Pada penelitian yang dilakukan selama 30 hari pemeliharaan, terjadi kematian 2 ekor ikan dari total 225 ekor ikan yang digunakan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk meningkatkan produksi perikanan adalah melalui budidaya (Karya

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk meningkatkan produksi perikanan adalah melalui budidaya (Karya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan merupakan salah satu sumber makanan yang sangat digemari masyarakat karena mengandung protein yang cukup tinggi dan dibutuhkan oleh manusia untuk pertumbuhan.

Lebih terperinci