HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Oseanografi. Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Oseanografi. Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Oseanografi Suhu Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di seluruh kedalaman kolom air di stasiun A dan B yang berkisar dari C (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena kondisi cuaca pada saat pengamatan cenderung sama. Berhubungan dengan hal tersebut Lalli dan Parsons (1993) menyatakan bahwa perubahan suhu di perairan tropik yang dangkal lebih kecil dari 2 C. Hasil penelitian yang didapatkan pada pengamatan ini relatif sama dengan penelitian sebelumnya, di mana kisaran suhu perairan pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter sebesar C (Purwanto 1992). Tabel 3. Kondisi oseanografi perairan Teluk Banten Stasiun Kedalaman (m) Suhu ( C) Salinitas ( ) ph A B Secara keseluruhan, suhu di perairan Teluk Banten relatif lebih tinggi dari suhu air laut rata-rata di laut Jawa yang nilainya sebesar C dengan kisaran C (Wyrtki 1961). Kisaran nilai suhu yang didapatkan pada penelitian ini merupakan suhu yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton. Kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah C (Effendi 2003).

2 Salinitas Salinitas di perairan Teluk Banten relatif sama di stasiun A dan B maupun kedalaman inkubasi selama pengamatan, nilai salinitas yang teramati adalah 31 (Tabel 3). Tidak adanya perbedaan salinitas di kedua stasiun tersebut kemungkinan disebabkan oleh posisi stasiun pengamatan berada pada bagian tengah perairan Teluk Banten, yang sama-sama mendapat pengaruh air laut dan air tawar yang terbawa oleh aliran sungai. Salinitas yang didapatkan pada pengamatan ini tidak banyak mengalami perubahan bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya pada perairan yang sama, dimana salinitas pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter berkisar dari (Purwanto 1992). Dilihat dari fluktuasi salinitas dengan penelitian sebelumnya, maka massa air di perairan Teluk Banten tergolong kedalam massa air pantai dengan salinitas kurang dari 32.0 (Wyrtki 1961). Kisaran nilai salinitas masih merupakan nilai yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Nilai salinitas di atas 20 memungkinkan fitoplankton dapat bertahan hidup, memperbanyak diri, dan aktif melakukan proses fotosintesis (Sachlan 1982). ph Nilai ph di stasiun A dan B maupun pada semua kedalaman inkubasi relatif sama selama pengamatan dengan kisaran (Tabel 3). Kisaran nilai tersebut tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya di perairan yang sama, dimana pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter berkisar dari (Purwanto 1992). Nilai ph yang didapatkan masih dalam batas untuk pertumbuhan fitoplankton. ph optimal untuk perkembangan diatom antara (Ray dan Rao 1964) dan nilai

3 ph tersebut masih merupakan kisaran ph perairan laut Indonesia yang berkisar dari (Romimohtarto 1991). Perairan laut tropis memiliki kisaran ph dari (Nybakken 1988). Intensitas Cahaya Matahari Intensitas Cahaya Matahari Permukaan Sumber energi di laut berasal dari cahaya matahari. Cahaya yang dipancarkan matahari terdiri dari 50% sebagai infra merah, 41% sebagai cahaya terang, 9% sebagai ultraviolet, sinar lamda dan sinar gamma (Anikouchine dan Sternberg 1981). Penetrasi cahaya matahari pertama mencapai atmosfir kemudian laut. Cahaya yang terserap atau terpencar di atmosfer sekitar 50% dan mencapai permukaan laut 50% (Lalli dan Parsons 1993). Besarnya nilai intensitas cahaya matahari yang mencapai permukaan laut berbeda-beda dari waktu ke waktu. Fenomena tersebut terjadi pula di perairan Teluk Banten, dimana intensitas cahaya matahari yang mencapai permukaan laut (di udara) selama pengamatan bervariasi (Gambar 6; Lampiran 6). 80 Intensitas Cahaya Matahari (MJ/m 2 ) :00 07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 Waktu Pengamatan Gambar 6. Intensitas cahaya permukaan. Bervariasinya intensitas cahaya disebabkan oleh kondisi perawanan pada saat pengamatan sehingga akan berpengaruh pada besar kecilnya intensitas cahaya

4 matahari yang mencapai permukaan laut. Hal ini berhubungan dengan pernyataan Fritz (1957) in Parsons et al. (1984) bahwa cakupan awan di udara akan mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang mencapai permukaan laut. Intensitas Cahaya Matahari di Kolom Air Penetrasi cahaya matahari (50% cahaya permukaan) akan mengalami pengurangan sekitar 10% di lapisan permukaan (Kirk 1994) atau 90% mencapai lapisan permukaan laut (Iwasaka et al. 2000). Sama halnya dengan intensitas cahaya permukaan, intensitas cahaya di lapisan permukaan bervariasi dari waktu ke waktu (Gambar 7; Lampiran 7). Dari Gambar 6 dan 7 terlihat bahwa besarnya intensitas cahaya pada permukaan laut akan mempengaruhi pula nilai intensitas cahaya di lapisan permukaan. Variasi ini terutama terjadi menurut waktu, dimana pada pagi hari intensitasnya rendah dan akan mengalami peningkatan atau memuncak pada siang hari (tengah hari) dan menurun kembali pada sore hari. Berdasarkan Gambar 7, terlihat intensitas cahaya matahari selama inkubasi pada lapisan permukaan cenderung merata dari jam 10:00 12:00 WIB dimana pada saat itu sudut datang cahaya matahari hampir tegak lurus permukaan laut. Fenomena tersebut akan menyebabkan lapisan permukaan laut semakin besar pula menerima intensitas cahaya matahari dan akan mengalami penurunan dengan bertambahnya kedalaman (Gambar 8). Hal ini berhubungan dengan pernyataan Sumich (1992) bahwa adanya perbedaan nilai intensitas cahaya matahari yang masuk ke kolom air dipengaruhi oleh sudut datang matahari, nilai intensitas semakin besar seiring dengan besarnya sudut datang matahari dan mengalami penurunan dengan semakin kecilnya sudut datang matahari.

5 Intensitas cahaya matahari (MJ/m 2 ) :00 07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 Waktu pengamatan Gambar 7. Intensitas cahaya di lapisan permukaan. Distribusi cahaya matahari di kolom air akan mengalami peredupan. Peredupan cahaya matahari tersebut terlihat dari nilai koefisien peredupan yang diperoleh selama pengamatan di stasiun A sebesar 0.55 per meter dan di stasiun B sebesar 0.47 per meter. Peredupan ini disebabkan oleh bahan -bahan yang ada dalam perairan baik berupa bahan organik maupun partikel-partikel tersuspensi termasuk di dalamnya organisme planktonik dan molekul-molekul air itu sendiri. Hal ini berhubungan dengan pernyataan Wyatt dan Jackson (1989) bahwa distribusi cahaya di kolom air tergantung pada kandungan dan kelompok partikel tersuspensi, seperti tipe partikel termasuk ukuran, bentuk dan struktur internal. Kedalaman zona eufotik selama pengamatan diukur melalui pembacaan keping Secchi dengan nilai yang diperoleh sebesar 3.5 meter di stasiun A dan 4.5 meter di stasiun B. Pendugaan nilai dan persentase intensitas cahaya matahari yang masuk ke kolom air dengan hukum Lambert memperlihatkan pola distribusi cahaya di perairan semakin dalam cahaya menembus lapisan air maka semakin berkurang nilai intensitasnya. Selama pengamatan ditemukan nilai intensitas cahaya 1% dari

6 lapisan permukaan pada kedalaman 8 meter di stasiun A dan 9 meter di stasiun B (Gambar 8; Lampiran 8). Gambar 8. Distribusi cahaya di kolom air perairan Teluk Banten. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa kedalaman inkubasi 0.20 meter, 1 meter, 4 meter dan 5 meter di stasiun A serta 0.20 meter, 2 meter, 5 meter dan 6 meter di stasiun B masih termasuk dalam zona eufotik. Dengan demikian di kedalaman inkubasi tersebut cahaya terdistribusi pada semua kolom air sehingga akan menunjang terjadinya proses fotosintesis di semua kedalaman inkubasi. Perbedaan nilai pencahayaan di stasiun A dan B disebabkan oleh berbedanya nilai koefisien peredupan di kedua stasiun tersebut. Nilai koefisien peredupan di stasiun A sebesar 0.55 per meter dan di stasiun B sebesar 0.47 per meter. Semakin besar nilai koefisien peredupan maka nilai intensitas cahaya yang menembus kolom air akan semakin kecil. Sebaliknya nilai koefisien peredupan yang kecil maka nilai intensitas cahaya yang masuk ke kolom air akan semakin besar (Lampiran 8).

7 Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN) Rata-rata total DIN yang diperoleh selama pengamatan sebesar mg at N/l di stasiun A dan mg at N/l di stasiun B (Lampiran 9). Nilai ini masih berada pada kisaran konsentrasi DIN yang umumnya ditemukan di perairan estuari yang berkisar dari bawah deteksi (0.1 µm) sampai di atas 100 µm atau setara mg at N/l (Nixon dan Pilson 1983). Selama pengamatan terlihat bahwa nitrat merupakan salah satu unsur yang memberikan kontribusi besar terhadap total DIN di perairan. Hal ini disebabkan karena nitrat merupakan unsur yang lebih melimpah di lapisan permukaan perairan (Dawes 1981) dan merupakan bentuk stabil dari nitrogen di laut (Riley dan Chester 1971). Kisaran konsentrasi DIN (ammonia, nitrat, dan nitrit) selama pengamatan cenderung sama dengan variasi yang sangat kecil di kedua stasiun pengamatan (Tabel 4). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh posisi stasiun A dan B yang berada pada bagian tengah perairan Teluk Banten. Tabel 4. Rataan unsur hara menurut stasiun pengamatan di perairan Teluk Banten Stasiun Periode Unsur hara (mg-at/4 l) ke - NH 3 -N NO 3 -N NO 2 -N PO 4 -P Si A I II III B I II III Begitu pula dengan sebaran vertikal DIN cenderung sama dengan variasi yang sangat kecil pada setiap kedalaman inkubasi di stasiun A dan B (Tabel 5). Adanya variasi konsentrasi DIN kemungkinan disebabkan oleh posisi kedalaman inkubasi pada pengamatan ini berada pada zona eufotik, sehingga unsur DIN yang tersedia di

8 perairan dengan cepat dimanfaatkan oleh fitoplankton. Hal ini berhubungan dengan pernyataan Grasshoff (1976) bahwa konsentrasi unsur hara di zona eufotik cepat berkurang karena pemanfaatan oleh fitoplankton. Pernyataan tersebut didukung pula ditemukannya kelimpahan fitoplankton yang tergolong tinggi pada setiap kedalaman inkubasi di stasiun A dan B (Gambar 9; Lampiran 9). Tabel 5. Rataan konsentrasi unsur hara menurut kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten Stasiun Kedalaman Unsur hara (mg at/3 l) (m) NH 3 -N NO 3 -N NO 2 -N PO 4 -P Si A B Ammonia-Nitrogen (NH 3 -N) Nilai konsentrasi ammonia di stasiun A berkisar dari mg at NH 3 -N/4 l, dan stasiun B berkisar dari mg at NH 3 -N/4 l (Tabel 4; Lampiran 9). Kisaran nilai konsentrasi ammonia yang didapatkan pada pengamatan ini lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Purwanto (1992) di perairan yang sama. Kisaran nilai konsentrasi ammonia yang didapatkan oleh Purwanto (1992) pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter berturut-turut mg/3 l atau mg at NH 3 -N/3 l, mg/3 l atau mg at NH 3 -N/3 l, mg/3 l atau mg at NH 3 -N/3 l.

9 Pola distribusi vertikal ammonia di kedua stasiun pengamatan terlihat cenderung sama dengan variasi yang sangat kecil (Tabel 4). Hal ini berhubungan dengan pernyataan bahwa distribusi vertikal ammmonia lebih seragam bila dibanding dengan unsur nitrogen lainnya (Dawes 1981). Nitrat-Nitrogen (NO 3 -N) Konsentrasi nitrat yang didapatkan di stasiun A berkisar dari mg at NO 3 -N/4 l, dan di stasiun B berkisar dari mg at NO 3 -N/4 l (Tabel 4; Lampiran 9), dengan sebaran vertikal di setiap kedalaman inkubasi relatif sama (Tabel.5; Lampiran 9). Nilai konsentrasi nitrat yang didapatkan pada pengamatan ini lebih rendah bila dibandingkan dengan yang didapatkan oleh Purwanto (1992) pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter berturut-turut mg/3 l atau mg at NH 3 -N/3 l, mg/3 l atau mg at NH 3 -N/3 l, mg/3 l atau mg at NH 3 -N/3 l. Konsentrasi nitrat yang didapatkan, bila dilihat dari ketersediaannya di perairan masih berada dalam batas keseimbangan, dimana konsentrasi NO 3 di zona eufotik sebesar 0.03 µg-at/l atau setara mg at NO 3 /l (Goldman dan Glibert 1983). Bila konsentrasi nitrat di perairan di bawah 0.7 µm atau setara dengan µg at NO 3 -N/l maka pembelahan sel fitoplankton akan berhenti (Millero dan Sohn 1992). Sedangkan untuk pertumbuhan optimal fitoplankton memerlukan kandungan nitrat mg/l atau mg at NO 3 -N/l (Mackenthum 1969). Sehubungan dengan hal ini dapat dikatakan bahwa nitrat yang tersedia di perairan pada saat pengamatan telah dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya. Hal ini dipertegas jika konsentrasi nitrat menurun sampai sekitar 6 µm atau setara 0.3 mg-at NO 3 -N/l, ini

10 menunjukkan telah terjadi penyerapan nitrat dengan cepat oleh fitoplankton (Goes et al. 2004). Nitrit-Nitrogen (NO 2 -N) Nitrit ditemukan dalam konsentrasi rendah, karena nitrit merupakan bentuk senyawa peralihan dari nitrat ke ammonia atau sebaliknya. Kisaran konsentrasi nitrit di stasiun A berkisar dari mg at NO 2 -N/3 l, dan di stasiun B berkisar dari mg at NO 2 -N/3 l (Tabel 4; Lampiran 9). Sedangkan sebaran vertikal di setiap kedalaman inkubasi terlihat seragam (Tabel 5; Lampiran 9). Fosfor Inorganik Terlarut (DIP) Ortofosfat (PO 4 -P) Kisaran konsentrasi ortofosfat yang didapatkan selama pengamatan di stasiun A berkisar dari mg at PO 4 -P/3 l, dan di stasiun B berkisar dari mg at PO 4 -P/3 l (Tabel 4). Bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwanto (1992), nilai konsentrasi yang didapatkan pada pengamatan ini lebih tinggi. Purwanto (1992) mendapatkan konsentrasi fosfat pada lapisan permukaan, kedalaman 5 meter, dan 10 meter berturut-turut berkisar dari mg/3 l atau mg at PO 4 -P/3 l, mg/3 l atau mg at PO 4 -P/3 l, dan mg/3 l atau mg at PO 4 -P/3 l. Millero dan Sohn (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan semua jenis fitoplankton tergantung pada konsentrasi ortofosfat, bila konsentrasi ortofosfat dibawah 0.3 µm atau setara mg at P/l maka perkembangan sel menjadi terhambat. Konsentrasi yang didapatkan berada dibawah pertumbuhan optimal fitoplankton disebabkan karena kedalaman inkubasi berada di zona eufotik, sehingga

11 ortofosfat yang ada langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton. Sedangkan untuk pertumbuhan optimal fitoplankton konsentrasi ortofosfat yang dibutuhkan berkisar dari mg/l atau mg-at PO 4 -P/l (Bruno et al in Widjaja et al. 1994). Rendahnya konsentrasi ortofosfat yang didapatkan pada pengamatan ini kemungkinan disebabkan (1) ortofosfat yang ada diperairan telah dimanfaatkan oleh fitoplankton, (2) waktu sampling mempengaruhi nilai konsentrasi ortofosfat, seperti yang terjadi di Teluk Chesapeake konsentrasi ortofosfat menurun dari 0.4 µm 0.1 µm atau setara mg at/l pada jam 3 sore dan meningkat dengan cepat setelah matahari terbenam sampai maksimum pada jam 2 siang (Millero dan Sohn 1992), (3) kandungan fosfat yang dibutuhkan lebih rendah jika nitrogen yang digunakan tersedia dalam bentuk ammonia, sedangkan jika nitrogen dalam bentuk nitrat, maka fosfat yang dibutuhkan lebih tinggi (Chu 1984 in Andarias 1984), atau (4) konsentrasi ortofosfat makin berkurang ke arah laut, karena sumber utama fosfor di laut adalah dari aliran sungai (Lewis et al. 1985). Silikat (Si) Kisaran konsentrasi silikat yang didapatkan selama pengamatan di stasiun A berkisar dari mg at Si/4 l, dan di stasiun B berkisar dari mg at Si/4 l (Tabel 4; Lampiran 9). Sedangkan sebaran vertikal di setiap kedalaman inkubasi cenderung sama dengan variasi yang kecil (Tabel 5; Lampiran 9). Kisaran silikat yang didapatkan pada pengamatan ini lebih tinggi dari yang didapatkan oleh Purwanto (1992), dimana pada kedalaman permukaan, 5 meter dan 10 meter berkisar dari mg/3 l, mg/3 l, dan mg/3 l.

12 Silikat yang didapatkan selama pengamatan masih berada pada konsentrasi yang sesuai untuk pertumbuhan diatom. Diatom tidak dapat berkembang dengan baik pada konsentrasi silikat yang lebih kecil dari 0.5 mg at Si/l (Effendi 2003). Kisaran konsentrasi silikat terlarut di laut adalah 1 mg/l, tapi konsentrasi tersebut bervariasi pada permukaan laut dan perairan laut yang dangkal (Grasshoff 1976). Dengan melihat kisaran konsentrasi DIN (ammonia, nitrat, dan nitrit), DIP (ortofosfat) maupun silikat di perairan selama pengamatan, dapat dikatakan bahwa tingkat variasi unsur-unsur tersebut pada setiap kedalaman inkubasi maupun antar stasiun tidak terlalu jauh berbeda atau cenderung sama. Perbedaan tersebut selain disebabkan oleh pemanfaatan fitoplankton di zona eufotik, kemungkinan juga disebabkan oleh lokasi pengamatan merupakan perairan yang dangkal sehingga pengadukan massa air sangat kuat, yang menyebabkan kolom air menjadi tercampur sehingga unsur hara tidak terperangkap pada suatu kedalaman tertentu. Struktur Komunitas Fitoplankton Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton Terdapat tiga kelas fitoplankton yang ditemukan selama pengamatan di perairan Teluk Banten. Ketiga kelas fitoplankton tersebut terdiri dari Bacillariophyceae, Dinophyceae, dan Cyanophyceae yang tersebar pada semua kedalaman inkubasi di kedua stasiun pengamatan dengan jumlah genera yang bervariasi. Genera fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae merupakan yang dominan pada semua kedalaman inkubasi di stasiun A maupun B dengan 29 genera, Dinophyceae 6 genera, dan Cyanophyceae 1 genera (Lampiran 11, 12, dan 13). Kehadiran genera fitoplankton selama pengamatan di dominasi oleh genera dari kelas

13 Bacillariophyceae baik menurut stasiun pengamatan (Tabel 6) maupun menurut kedalaman inkubasi (Gambar 9). Melimpahnya genera fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae (diatom) dan Dinophyceae (dinoflagellata) pada setiap kedalaman inkubasi disebabkan karena fitoplankton dari kedua kelas tersebut merupakan anggota utama fitoplankton yang terdapat di seluruh bagian perairan laut, baik perairan pantai maupun perairan oseanik (Arinardi et al. 1997). Tabel 6. Rataan jumlah genera fitoplankton menurut stasiun pengamatan di perairan Teluk Banten Sta siun Periode ke - Kelas fitoplankton Bacillariophyceae Cyanophyceae Dinophyceae A I II III B I II III Genera fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae yang dominan ditemukan selama pengamatan terdiri dari Chaetoceros sp, Bacteriastrum sp, Guinardia sp, Rhizosolenia sp, Leptocylindrus sp, Nitzschia sp, Thallasiosira sp, Bidulphia sp, dan Skeletonema sp. Sedangkan dari kelas Dinophyceae adalah Peridinium sp, Ceratium sp, Dinophysis sp, dan Noctiluca sp. Jenis-jenis fitoplankton yang ditemukan dari penelitian sebelumnnya yang predominan diatas 10 % di perairan yang sama terdiri dari Chaetoceros, Rhizosolenia, Thallasiotrix, Bacteriastrum, Bacillaria, Coscinodiscus, Hemiaulus, Ceratium, Noctiluca, (Praseno 1981; Praseno 1982a; Praseno 1982b).

14 Gambar 9. Rataan jumlah genera fitoplankton menurut kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten. Berhubungan dengan hal tersebut Arinardi et al. (1994) menyatakan bahwa jenis-jenis fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae yang umumnya dijumpai di perairan lepas pantai Indonesia antara lain Chaetoceros sp, Thallasiosira sp, dan Bacteriastrum sp, sedangkan dari kelas Dinophyceae yang umumnya dijumpai di laut adalah Noctiluca sp, Ceratium sp, Peridinium sp, dan Dinophysis sp. Kelimpahan sel fitoplankton yang didapatkan selama pengamatan bervariasi di kedua stasiun pengamatan. Secara keseluruhan kelimpahan sel fitoplanton lebih tinggi di stasiun A dibandingkan dengan stasiun B (Tabel 7; Lampiran 9, 11, 12 dan 13). Perbedaan tersebut disebabkan oleh posisi stasiun A yang masih mendapat pengaruh perairan pantai yang mendapat suplai unsur hara dari aliran sungai di sekitarnya. Tabel 7. Rataan kelimpahan sel fitoplankton menurut stasiun pengamatan di perairan Teluk Banten Stasiun Periode Kelimpahan fitoplankton (sel/l) ke - Bacillariophyceae Dinophyceae Cyanophyceae A I

15 II III B I II III Distribusi vertikal kelimpahan sel fitoplankton tertinggi didapatkan pada kedalaman inkubasi 1 meter di stasiun A yang diwakili dari kelas Bacillariophyceae sebesar 3718 sel/l. Sedangkan pada stasiun B di dapatkan di kedalaman 2 meter juga diwakili dari kelas Bacillariophyceae sebesar 1461 sel/l (Gambar 10). Gambar 10. Rataan kelimpahan fitoplankton menurut kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten. Tinggin ya kelimpahan sel fitoplankton disebabkan karena pada kedalaman inkubasi 1 meter (stasiun A) dan 2 meter (stasiun B) intensitas cahaya menunjang pertumbuhan fitoplankton (Gambar 8; Lampiran 8) serta unsur hara yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal. Hal ini berhubungan dengan konsentrasi ortofosfat yang terendah selama pengamatan didapatkan pada kedalaman 1 meter di stasiun A dan 2 meter di stasiun B, ini menunjukkan sebagai indikator telah terjadi penyerapan ortofosfat secara cepat oleh fitoplankton di kedalaman tersebut. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Spencer (1975) bahwa laju penggunaan fosfat mencapai

16 sekitar µg-at P/l/hari di atas kedalaman 2.5 meter dalam kolom air, dan laju penggunaannya bervariasi pada kedalaman antara 2.5 meter dan 17.5 meter, dengan laju penggunaannya mencapai 0.1 µg-at P/l/hari. Indeks Biologi Fitoplankton Indeks keanekaragaman di stasiun A berkisar dari dan stasiun B berkisar dari (Tabel 8). Sedangkan menurut kedalaman inkubasi di stasiun A berkisar dari dan stasiun B berkisar dari (Tabel 9). Kisaran nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh baik menurut stasiun maupun kedalaman inkubasi berdasarkan kriteria Wilhm dan Doris 1968 in Masson 1981 termasuk dalam kategori rendah. Tabel 8. Indeks biologi menurut stasiun pengamatan di perairan Teluk Banten Stasiun Periode Indeks Biologi Ke - H' E D A I II III B I II III Tabel 9. Indeks biologi menurut kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten Kedalaman Indeks Biologi Stasiun (m) H' E D A B

17 Indeks keseragaman di stasiun A berkisar dari , dan stasiun B berkisar dari (Tabel 8) sedangkan menurut kedalaman inkubasi di stasiun A berkisar dari dan di stasiun B berkisar dari (Tabel 9). Nilai indeks keseragaman yang diperoleh selama pengamatan tergolong tinggi baik menurut stasiun maupun kedalaman inkubasi. Semakin tinggi nilai indeks keseragaman suatu perairan (mendekati 1), maka kelimpahan masing-masing jenis merata atau tidak jauh berbeda. Indeks dominansi selama pengamatan di stasiun A berkisar dari dan di stasiun B berkisar dari (Tabel 8), sedangkan menurut kedalaman inkubasi di stasiun A berkisar dari dan stasiun B berkisar dari (Tabel 9). Nilai indeks dominansi yang diperoleh menunjukkan tidak terjadi dominansi baik menurut stasiun maupun kedalaman inkubasi selama pengamatan. Klorofil-a Sebaran konsentrasi klorofil-a menurut stasiun pengamatan maupun kedalaman inkubasi memperlihatkan nilai yang tidak terlalu bervariasi. Nilai konsentrasi klorofil-a menurut stasiun pengamatan terlihat di stasiun A lebih rendah dari pada stasiun B dengan kisaran konsentrasi berturut-turut dari mg chl-a/m 3 di stasiun A dan mg chl-a/m 3 di stasiun B, sedangkan pola sebaran klorofil-a menurut kedalaman inkubasi cenderung merata pada semua kedalaman inkubasi (Tabel 10, 11; Lampiran 9). Nilai konsentrasi yang didapatkan selama pengamatan ini lebih rendah bila dibandingkan dengan kisaran konsentrasi klorofil-a dari pemantauan data satelit di perairan selat Sunda yang berkisar antara mg chl-a/m 3 (Amri 2002).

18 Variasi konsentrasi klorofil-a yang diperoleh memperlihatkan pola variasi yang tidak terlalu jauh berbeda atau cenderung merata baik menurut stasiun pengamatan maupun kedalaman inkubasi (Tabel 10, 11; Lampiran 9). Pola sebaran konsentrasi klorofil-a selama pengamatan kadang terlihat cenderung mengikuti pola sebaran unsur hara. Bila konsentrasi unsur hara sedikit berkurang akan selalu ditemukan konsentras i klorofil-a sedikit tinggi atau sebaliknya (Tabel 5, 11; Lampiran 9), hal tersebut diikuti pula dengan ditemukannya kelimpahan sel fitoplankton yang sedikit lebih tinggi pada kedalaman 1 meter di stasiun A dan 2 meter di stasiun B dibanding kedalaman lainnya (Gambar 10; Lampiran 9). Tabel 10. Konsentrasi klorofil-a menurut stasiun pengamatan di perairan Teluk Banten Stasiun Periode Klorofil-a Ke- (mg chl-a/m 3 ) A I II III B I II III Tabel 11. Konsentrasi klorofil-a menurut kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten Stasiun Kedalaman Klorofil-a (m) (mg chl-a/m 3 ) A B Bila dilihat dari konsentrasi klorofil-a yang diperoleh (Tabel 10, 11; Lampiran 9) belum menunjukkan telah terjadi pertumbuhan fitoplankton

19 secara optimal. Hal ini berhubungan dengan pernyataan Goes et al. (2004) bahwa bila konsentrasi klorofil-a lebih besar dari 1 mg chl-a/m 3 menunjukkan sebagai indikator musim pertumbuhan fitoplankton. Selain hal tersebut, Reynolds (1978) in Spencer (1975) menyatakan bahwa fitoplankton dari kelompok ultraplankton (diameter kurang dari 15 µm) memberikan kontribusi 90% dari total klorofil-a di laut (Reynolds 1978 in Spencer 1975). Sedangkan Wafar et al. (2004) menyatakan bahwa total klorofil-a di laut merupakan kontribusi dari nanoplankton (sekitar 59%), netplankton (29%), dan picoplankton (12%). Produktivitas Primer Perairan Produktivitas Primer Pada Berbagai Kedalaman Inkubasi Kisaran nilai produktivitas primer bersih yang diperoleh selama pengamatan di stasiun A berkisar dari mg C/m 3 /5 jam ( mg C/m 3 /hari), dan stasiun B berkisar dari mg C/m 3 /5 jam ( mg C/m 3 /hari). Sebaran vertikal nilai produktivitas primer bersih menurut kedalaman inkubasi bervariasi dengan nilai tertinggi didapatkan pada kedalaman inkubasi 1 meter (29.59 mg C/m 3 /5 jam atau mg C/m 3 /hari) di stasiun A dan kedalaman inkubasi 2 meter (25.68 mg C/m 3 /5 jam atau mg C/m 3 /hari) di stasiun B (Tabel 12; Gambar 11; dan Lampiran 9). Nilai produktivitas primer bersih antara stasiun A dan B tidak berbeda nyata, sedangkan menurut kedalaman inkubasi berbeda nyata pada taraf Dari hasil uji lanjut Tukey (HSD) terlihat nilai produktivitas primer bersih antara kedalaman 0.2 meter dengan 1 meter, 0.2 meter dengan 2 meter, 0.2 meter dengan 4 meter 0.2 meter dengan 5 meter, 1 meter dengan 5 meter, 1 meter dengan 6 meter, dan

20 2 meter dengan 6 meter menunjukkan perbedaan yang nyata (Lampiran 10). Dari hasil uji lanjut tersebut terlihat pula bahwa kedalaman 1 dan 2 meter memberikan nilai produktivitas primer bersih yang tinggi, sedangkan nilai produktivitas primer bersih yang rendah ditemukan pada kedalaman 0.2, 5 dan 6 meter. Terdapat 2 alasan yang dapat menjelaskan tingginya nilai produktivitas primer bersih di kedalaman inkubasi 1 meter dan 2 meter dibandingkan dengan kedalaman inkubasi lainnya, sebagai berikut (1) intensitas cahaya matahari pada kedalaman inkubasi 1 meter mencapai MJ/m 2 (48.2%) di stasiun A dan MJ/m 2 (32.2%) di stasiun B dari cahaya lapisan permukaan (Gambar 8; Lampiran 8). Tabel 12. Nilai produktivitas primer bersih pada kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten Stasiun Kedalaman Produktivitas Primer (m) (mg C/m 3 /5 jam) A B Intensitas cahaya yang diperoleh ini masih sangat menyokong fitoplankton untuk melakukan aktivitas fotosintesis. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Raymond (1963), Steemann Nielsen (1965) dan Nybaken (1988) bahwa laju fotosintesis tertinggi berada pada kedalaman dimana intensitas cahaya mencapai 50% dan 33%, sedangkan intensitas cahaya di atas persentase ini merupakan cahaya penghambat fotosintesis dan di bawah persentase ini merupakan cahaya pembatas

21 fotosintesis, (2) adanya indikasi yang menunjukkan bahwa unsur hara yang ada di zona eufotik terutama di kedalaman inkubasi 1 meter dan 2 meter telah dimanfaatkan oleh fitoplankton secara optimal untuk pertumbuhannya, hal ini ditunjang pula oleh kelimpahan fitoplankton yang tinggi di kedalaman inkubasi tersebut selama pengamatan mencapai 3718 sel/l (diatom) di stasiun A dan 1461 sel/l (diatom) di stasiun B (Gambar 10; Lampiran 9, 11, 12, dan 13). Gambar 11. Nilai produktivitas primer bersih pada berbagai kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten. Produktivitas Primer Pada Berbagai Lapisan Kolom Air Produktivitas primer bersih di setiap lapisan kolom air diduga dari nilai intensitas cahaya matahari permukaan (waktu inkubasi) setelah mengetahui pola hubungan intensitas cahaya matahari dengan produktivitas primer bersih pada setiap kedalaman inkubasi (Gambar 13; Lampiran 6 dan 8). Nilai produktivitas primer pada setiap lapisan kolom air (setiap 0.1 cm) terlihat mengalami perubahan mengikuti pola

22 perubahan nilai intensitas cahaya matahari dari waktu ke waktu di setiap lapisan kolom air baik di stasiun A maupun B ( WIB) (Lampiran 14 dan15). Pada setiap pergeseran waktu dan lapisan kolom air selalu diikuti pula oleh perubahan nilai produktivitas primer bersih. Produktivitas primer bersih maksimum atau fotosintesis maksimum (P max ) selama pengamatan di peroleh sebesar 3.24 mg C/m 3 /5 jam (7.78 mg C/m 3 /hari) di stasiun A dan 7.32 mg C/m 3 /5 jam (17.57 mg C/m 3 /hari) di stasiun B. Nilai P max di stasiun A diperoleh pada intensitas cahaya 18 dan 19 MJ/m 2 dan di stasiun B diperoleh pada intensitas cahaya 30, 31, 32 dan 33 MJ/m 2 dengan persentase cahaya yang berbeda-beda (Lampiran 14 dan 15). Total produktivitas primer bersih pada setiap lapisan kolom air selama pengamatan diperoleh nilai maksimum pada kedalaman 2.2 meter dengan nilai produktivitas primer bersih 19.1 mg C/m 3 /5 jam (45.84 mg C/m 3 /hari) di stasiun A dan kedalaman 1.4 meter dengan nilai produktivitas primer bersih mg C/m 3 /5 jam ( mg C/m 3 /hari) (Lampiran 14 dan 15) di stasiun B. Bila dilihat dari nilai produktivitas primer bersih yang diperoleh pada setiap lapisan kolom air selalu ditemukan pada lapisan permukaan nilainya lebih rendah, karena intensitas cahaya matahari sangat tinggi sehingga menghambat aktivitas fotosintesis fitoplankton (cahaya penghambat) dan meningkat pada lapisan dibawahnya sampai mencapai nilai produktivitas primer bersih yang maksimum (cahaya optimum) kemudian menurun pada lapisan dibawahnya karena intensitas cahaya mulai berkurang atau hilang (cahaya pembatas). Hubungan Cahaya Dengan Produktivitas Primer Pola hubungan intensitas cahaya matahari dengan produktivitas primer pada setiap kedalaman inkubasi dianalisis dengan menggunakan software kgraph. Hasil

23 analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara intensitas cahaya dengan produktivitas primer bersih di perairan Teluk Banten. Hubungan yang sangat erat tersebut terlihat dari nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang didapatkan di kedua stasiun pengamatan di atas 50%. Nilai koefisien determinasi yang didapatkan di stasiun A sebesar 0.82 (82%) dan di stasiun B sebesar 0.64 (64%) (Gambar 12). Gambar 12. Pola hubungan intensitas cahaya matahari dengan Produktivitas primer bersih di perairan Teluk Banten. Dari Gambar 12 tersebut dapat dikatakan bahwa cahaya optimum selama inkubasi diperoleh pada level cahaya antara 18 dan 20 MJ/m 2 di stasiun A serta 14 dan 16 MJ/m 2 di stasiun B. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas primer fitoplankton di perairan Teluk Banten dengan waktu inkubasi 5 jam di kedalaman 0.2 meter, 1 meter, 2 meter, 4 meter, 5 meter, dan 6 meter pada musim peralihan I (hujan ke kemarau) akan mencapai puncak atau maksimal pada level cahaya dari MJ/m 2. Pola hubungan intensitas cahaya matahari dengan produktivitas primer pada setiap lapisan kolom air (setiap penambahan kedalaman 0.1 cm) menunjukkan pola hubungan yang kuadratik (Gambar 13). Artinya produktivitas primer di perairan

24 Teluk Banten sangat bergantung pada keberadaan intensitas cahaya matahari yang masuk ke kolom air. Setiap peningkatan intensitas cahaya akan selalu diikuti oleh peningkatan nilai produktivitas primer sampai pada suatu titik optimum sedangkan di atas cahaya optimum merupakan cahaya penghambat dan dibawah cahaya optimum merupakan cahaya pembatas. Intensitas cahaya optimum dengan nilai produktivitas primer bersih tertinggi pada pengamatan ini ditemukan pada level cahaya 30.5% ( µmol photon/m 2 /detik) di stasiun A dan 51.9% ( µmol photon/m 2 /detik) di stasiun B (Gambar 13; Lampiran 14 dan 15). Gambar 13. Pola hubungan intensitas cahaya matahari dengan produktivitas primer bersih pada berbagai lapisan kolom air di perairan Teluk Banten. Hubungan Unsur Hara Dengan Produktivitas Primer Hasil analisis regresi sederhana menunjukkan bahwa unsur hara DIN (ammonia, nitrat, nitrit), DIP (ortofosfat) dan silikat dalam mempengaruhi nilai produktivitas primer bersih memiliki korelasi yang rendah, hal ini dapat diketahui dari nilai koefisien determinasi (R 2 ) di bawah 50% di stasiun A dan B (Tabel 13; Gambar

25 14 dan 15). Hal tersebut diperjelas dari hasil uji sidik ragam di stasiun A dengan nilai p (p value) = (ammonia), p = (nitrat), p = (nitrit), p = (DIN), p = (DIP), p = (silikat) dan di stasiun B nilai p (p value) = (ammonia), p = (nitrat), p = (nitrit), p = (DIN), p = (DIP), p = (silikat) masing-masing pada taraf Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa regresi linear (Tabel 13) tidak dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan antara produktivitas primer bersih atau dengan unsur hara DIN, DIP dan silikat dengan kata lain masing-masing unsur hara tersebut tidak secara linear mempengaruhi produktivitas primer bersih. Rendahnya konsentrasi masing-masing unsur hara merupakan salah satu faktor penyebab tidak linear dengan produktivitas primer bersih di perairan. Hal ini disebabkan karena stasiun pengamatan berada pada bagian tengah perairan Teluk Banten yang jauh dari pantai (aliran sungai) sehingga konsentrasi unsur hara yang didapatkan tergolong rendah. Bila dilihat dari pola sebaran data pada Gambar 14 dan 15 terdapat kecenderungan bahwa setiap peningkatan konsentrasi unsur hara akan diikuti oleh peningkatan produktivitas primer bersih. Hal ini menunjukkan bahwa unsur hara yang ada di perairan saat itu telah dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk proses pertumbuhannya meskipun belum pada tingkat pertumbuhan optimal. Kelompok unsur hara DIN terlihat lebih memberi pengaruh terhadap peningkatan nilai produktivitas primer bersih bila dibandingkan dengan unsur hara DIP di kedua stasiun pengamatan. Hal tersebut terlihat dari nilai koefisien determinasi (0.165 dan 0.113) dari kedua kelompok unsur hara tersebut (Tabel 13; Gambar 14 dan 15). Tabel 13. Hubungan produktivitas primer bersih dengan unsur hara

26 Stasiun Unsur Hara Persamaan Regresi Koefisien Determinasi A Ammonia Y = X Nitrat Y = X Nitrit Y = X Silikat Y = X DIP Y = X DIN Y = X B Ammonia Y = X Nitrat Y = X Nitrit Y = X Silikat Y = X DIP Y = X DIN Y = X Catatan : DIP (ortofosfat), dan DIN (ammonia, nitrat, dan nitrit).

27 Gambar 14. Grafik pola hubungan unsur hara dengan produktivitas primer bersih di stasiun A.

28 Gambar 15. Grafik pola hubungan unsur hara dengan produktivitas primer bersih di stasiun B. Hubungan Klorofil-a Dengan Produktivitas Primer Pola hubungan antara klorofil-a dengan produktivitas primer bersih di setiap kedalaman inkubasi selama pengamatan dianalisis dengan menggunakan regresi linear. Hasil analisis antara produktivitas primer fitoplankton dengan konsentrasi klorofil-a di kedua stasiun pengamatan diperoleh korelasi yang sangat rendah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) di stasiun A sebesar 0.01 dan stasiun B sebesar 0.02 (Gambar 16) dengan nilai p (p value) sebesar 0.03 di stasiun A dan 0.11 di stasiun B pada taraf Rendahnya pengaruh klorofil-a tersebut kemungkinan disebabkan oleh konsentrasi klorofil-a yang diperoleh pada pengamatan ini masih sangat rendah dengan kisaran mg chl-a/m 3 di stasiun A dan mg chl-a/m 3 di stasiun B, sehingga belum memberikan pengaruh yang berarti dalam meningkatkan laju produktivitas primer fitoplankton di perairan. Hal ini berhubungan dengan pernyataan Goes et al. (2004) bahwa bila konsentrasi klorofil-a lebih besar dari 1 mg chl-a/m 3 menunjukkan sebagai indikator musim pertumbuhan fitoplankton.

29 Gambar 16. Grafik hubungan klorofil-a dengan produktivitas primer bersih di perairan Teluk Banten.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SUKSESI FITOPLANKTON DENGAN PERUBAHAN RASIO N DAN P DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA SUKSESI FITOPLANKTON DENGAN PERUBAHAN RASIO N DAN P DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN 60 HUBUNGAN ANTARA SUKSESI FITOPLANKTON DENGAN PERUBAHAN RASIO N DAN P DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN Fitoplankton membutuhkan berbagai unsur untuk pertumbuhannya. Elemen - elemen makro nutrien

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali Selat adalah sebuah wilayah perairan yang menghubungkan dua bagian perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak diantara dua

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika Perairan 4.1.1 Suhu Setiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN . HASIL DAN PEMBAHASAN.. Hasil Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pola distribusi vertikal oksigen terlarut, fluktuasi harian oksigen terlarut, produksi primer, rincian oksigen terlarut, produksi

Lebih terperinci

PENGARUH MUSIM TERHADAP KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN

PENGARUH MUSIM TERHADAP KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN 45 PENGARUH MUSIM TERHADAP KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN Perairan Teluk Ambon terdiri atas perairan Teluk Ambon Dalam dan Teluk Ambon Luar yang dibatasi oleh ambang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Unsur Hara

HASIL DAN PEMBAHASAN. Unsur Hara HASIL DAN PEMBAHASAN Unsur Hara Fitoplankton membutuhkan unsur hara makro dan mikro untuk mendukung pertumbuhannya. Besi (Fe) sebagai salah satu unsur hara mikro dalam jumlah kecil berperan dalam sistem

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Produktivitas Primer. walaupun sejumlah kecil produktivitas primer dapat dihasilkan oleh bakteri

TINJAUAN PUSTAKA. Produktivitas Primer. walaupun sejumlah kecil produktivitas primer dapat dihasilkan oleh bakteri TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer Pada umumnya produktivitas primer dianggap sebagai padanan fotosintesis, walaupun sejumlah kecil produktivitas primer dapat dihasilkan oleh bakteri kemosintetik (Nybakken

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan pesisir merupakan wilayah perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik maupun anorganik (Jassby and Cloern 2000; Andersen et al. 2006). Bahan ini berasal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN karena sungai-sungai banyak bermuara di wilayah ini. Limbah itu banyak dihasilkan dari

PENDAHULUAN karena sungai-sungai banyak bermuara di wilayah ini. Limbah itu banyak dihasilkan dari PENENTUAN PARAMETER PALING DOMINAN BERPENGARUH TERHADAP PERTUMBUHAN POPULASI FITOPLANKTON PADA MUSIM KEMARAU DI PERAIRAN PESISIR MAROS SULAWESI SELATAN 1 Rahmadi Tambaru 1, Enan M. Adiwilaga 2, Ismudi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Menentukan Stasiun dan Titik Pengambilan Contoh

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Menentukan Stasiun dan Titik Pengambilan Contoh METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di perairan Teluk Banten, Propinsi Banten. Secara geografis lokasi penelitian berada pada posisi koordinat 106 0 6'-106 0 7 Bujur Timur

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Jurnal KELAUTAN, Volume 3, No.1 April 2010 ISSN : STRUKTUR KOMUNITAS DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN MUARA SUNGAI PORONG SIDOARJO

Jurnal KELAUTAN, Volume 3, No.1 April 2010 ISSN : STRUKTUR KOMUNITAS DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN MUARA SUNGAI PORONG SIDOARJO STRUKTUR KOMUNITAS DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN MUARA SUNGAI PORONG SIDOARJO Indah Wahyuni Abida Dosen Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo E-mail: indahwahyuni@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Kendari bagian dalam yang secara geografis terletak pada 3 o 57 50-3 o 5 30 lintang selatan dan 122 o

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 11 3. METODE PENELITIAN 3. 1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Danau Lido berada pada koordinat 106 48 26-106 48 50 BT dan 6 44 30-6 44 58 LS (Gambar

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS PLANKTON DI PERAIRAN MUARA BADAK, KALIMANTAN TIMUR

IDENTIFIKASI JENIS PLANKTON DI PERAIRAN MUARA BADAK, KALIMANTAN TIMUR 3 Dhani Dianthani Posted 3 May, 3 Makalah Falsafah Sains (PPs ) Program Pasca Sarjana /S3 Institut Pertanian Bogor Mei 3 Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab) Dr Bambang Purwantara IDENTIFIKASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia memiliki banyak hutan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN

HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN Novi Indriyawati, Indah Wahyuni Abida, Haryo Triajie Jurusan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plankton merupakan salah satu jenis biota yang penting dan mempunyai peranan besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam air atau

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

KETERIKATAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI ESTUARI SUNGAI BRANTAS (PORONG), JAWA TIMUR DEWI WULANDARI` SKRIPSI

KETERIKATAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI ESTUARI SUNGAI BRANTAS (PORONG), JAWA TIMUR DEWI WULANDARI` SKRIPSI KETERIKATAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI ESTUARI SUNGAI BRANTAS (PORONG), JAWA TIMUR DEWI WULANDARI` SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KETERKAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN TELUK BANTEN OLEH : A L I A N T O

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KETERKAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN TELUK BANTEN OLEH : A L I A N T O PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KETERKAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN TELUK BANTEN OLEH : A L I A N T O SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 6 ABSTRAK ALIANTO. Produktivitas

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Penentuan Titik Sampling 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Air

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Penentuan Titik Sampling 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Air 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal penambangan pasir tepatnya di Kampung Awilarangan, Desa Cikahuripan, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. Sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer

TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer Produktivitas primer merupakan laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya akan energi dan berasal dari senyawa anorganik. Pada umumnya produktivitas primer

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di perairan Pulau Biawak Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 35 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Penelitian Tahap I 4.1.1.1. Percobaan 1: 4.1.1.1.a. Komposisi Perifiton Selama penelitian ditemukan tiga kelas perifiton yaitu Bacillariophyceae (9 genus),

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

Lampiran 1. Analisis pengaruh peningkatan kepadatan terhadap tingkat kelangsungan hidup (survival rate) benih ikan nilem

Lampiran 1. Analisis pengaruh peningkatan kepadatan terhadap tingkat kelangsungan hidup (survival rate) benih ikan nilem LAMPIRAN 32 Lampiran 1. Analisis pengaruh peningkatan kepadatan terhadap tingkat kelangsungan hidup (survival rate) benih ikan nilem Sumber Keragaman JK DB KT F-hit Sig. Perlakuan 5,662 2 2,831 1,469 0,302

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI DADAP TELUK JAKARTA

KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI DADAP TELUK JAKARTA KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI DADAP TELUK JAKARTA (Density and Diversity of Phytoplankton in Dadap Coastal Water, Jakarta Bay) ABSTRAK D. Djokosetiyanto 1 dan Sinung Rahardjo

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Morotai Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Propinsi Maluku Utara dulunya merupakan wilayah kecamatan di bawah Kabupaten Halmahera Utara dan pada

Lebih terperinci

PARAMETER KUALITAS AIR

PARAMETER KUALITAS AIR KUALITAS AIR TAMBAK PARAMETER KUALITAS AIR Parameter Fisika: a. Suhu b. Kecerahan c. Warna air Parameter Kimia Salinitas Oksigen terlarut ph Ammonia Nitrit Nitrat Fosfat Bahan organik TSS Alkalinitas Parameter

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmiah Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang subur dengan hasil laut yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini berhubungan dengan kehadiran

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke perairan yang menyebabkan pencemaran. Limbah tersebut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau Danau merupakan perairan tergenang yang berada di permukaan tanah, terbentuk akibat proses alami atau buatan. Danau memiliki berbagai macam fungsi, baik fungsi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas primer

2. TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas primer 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produktivitas primer 2.1.1. Fotosintesis Produktivitas primer merupakan laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya akan energi dan berasal dari senyawa anorganik. Pada

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Sekitar Pulau Maspari, Ogan Komering Ilir

Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Sekitar Pulau Maspari, Ogan Komering Ilir Maspari Journal, 2014, 6 (1), 39-45 Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Sekitar Pulau Maspari, Ogan Komering Ilir Isnaini*, Heron Surbakti dan Riris Aryawati Program Studi Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh perairan. Perairan ini meliputi perairan laut, payau, maupun perairan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Dari pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh data mengenai biomassa panen, kepadatan sel, laju pertumbuhan spesifik (LPS), waktu penggandaan (G), kandungan nutrisi,

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON DI PERAIRAN MOROSARI KECAMATAN SAYUNG KABUPATEN DEMAK

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON DI PERAIRAN MOROSARI KECAMATAN SAYUNG KABUPATEN DEMAK Journal Of Marine Research. Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 71-79 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jmr STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON DI PERAIRAN MOROSARI KECAMATAN SAYUNG KABUPATEN

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kualitas Air 5.1.1 Suhu Suhu perairan adalah salah satu parameter yang mengatur proses hidrodinamika suatu perairan. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, ketinggian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Menurut B u t c h e r ( 1 9 5 9 ) klasifikasi Tetraselmis sp. adalah sebagai berikut: Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales Sub ordo Genus

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN SAHABUDDIN PenelitiPada Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Dan Penyuluhan Perikanan Dipresentasikan pada Kuliah umum Praktik Lapang Terpadu mahasiswa Jurusan

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan lokasi budidaya kerang hijau (Perna viridis) Perairan Pantai Cilincing, Jakarta Utara. Sampel plankton diambil

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Coba Lapang Paremeter suhu yang diukur pada penelitian ini meliputi suhu lingkungan, kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi produktivitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Tambak Cibalong (Sumber : Google Earth)

BAB III METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Tambak Cibalong (Sumber : Google Earth) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 15 Juni sampai dengan 6 Juli 2013 di perairan tambak udang Cibalong, Kabupaten Garut (Gambar 2). Analisis

Lebih terperinci

II. TELAAH PUSTAKA. Ketersediaan Karbohidrat. Chrysolaminarin (= leukosin)

II. TELAAH PUSTAKA. Ketersediaan Karbohidrat. Chrysolaminarin (= leukosin) II. TELAAH PUSTAKA Chrysophyta merupakan salah satu divisio fitoplankton. Fitoplankton dikelompokkan ke dalam lima divisio yaitu Chrysophyta, Pyrrophyta, Chlorophyta, Cyanophyta, dan Euglenophyta. Semua

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iluminasi cahaya Cahaya pada pengoperasian bagan berfungsi sebagai pengumpul ikan. Cahaya yang diperlukan memiliki beberapa karakteristik, yaitu iluminasi yang tinggi, arah pancaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang bebas di perairan. Plankton dibagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme berklorofil

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN INTENSITAS CAHAYA DI WADUK CIRATA KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT

HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN INTENSITAS CAHAYA DI WADUK CIRATA KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT 1 2004 Abdurrachman Baksir Posted: 27 November 2004 Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor November 2004 Dosen : Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang memiliki luas 240 ha. Pemanfaatan lahan di sekitar Waduk Cengklik sebagian besar adalah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP Wiwid Prahara Agustin 1, Agus Romadhon 2, Aries Dwi Siswanto 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1. Waktu sampling dan pengukuran parameter in situ di perairan Pesisir Maros

METODE PENELITIAN. Tabel 1. Waktu sampling dan pengukuran parameter in situ di perairan Pesisir Maros METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan pesisir Maros yang dipengaruhi oleh sungai Maros (Gambar 3) selama kurang lebih satu tahun yang dimulai pada bulan

Lebih terperinci

BAB I. Kegiatan manusia di sekitar perairan dapat mengakibatkan masuknya

BAB I. Kegiatan manusia di sekitar perairan dapat mengakibatkan masuknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan manusia di sekitar perairan dapat mengakibatkan masuknya bermacam substansi ke dalam sistem perairan. Sebagian dari substansi ini secara tidak langsung

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Perairan sungai adalah suatu perairan yang di dalamnya dicirikan dengan adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir (perairan lotik).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Indramayu Citra pada tanggal 26 Juni 2005 yang ditampilkan pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa distribusi SPL berkisar antara 23,10-29

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Penelitian Tanah yang digunakan sebagai media tanam kelapa sawit tergolong ke dalam jenis tanah Latosol. Analisis tanah di pembibitan menunjukkan bahwa tanah

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Laut Belawan Perairan Laut Belawan yang berada di Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara banyak digunakan oleh masyarakat setempat untuk berbagai aktivitas.

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

n, TINJAUAN PUSTAKA Menurut Odum (1993) produktivitas primer adalah laju penyimpanan

n, TINJAUAN PUSTAKA Menurut Odum (1993) produktivitas primer adalah laju penyimpanan n, TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produktivitas Primer Menurut Odum (1993) produktivitas primer adalah laju penyimpanan energi sinar matahari oleh aktivitas fotosintetik (terutama tumbuhan hijau atau fitoplankton)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen) 2.1.1. Sumber DO di perairan Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut di dalam air (Wetzel 2001). DO dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dan air laut bertemu dan bercampur. Kebanyakan estuari didominasi oleh substrat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dan air laut bertemu dan bercampur. Kebanyakan estuari didominasi oleh substrat BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Estuari Estuari merupakan teluk di pesisir yang sebagian tertutup, tempat air tawar dan air laut bertemu dan bercampur. Kebanyakan estuari didominasi oleh substrat

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4. Lokasi penelitian di Perairan Selat Nasik, Belitung, April 2010.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4. Lokasi penelitian di Perairan Selat Nasik, Belitung, April 2010. 15 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilakukan di perairan Selat Nasik Kabupaten Belitung pada bulan April 2010 dan di perairan Estuari Donan Cilacap pada bulan Juni

Lebih terperinci