EUTROFIKASI DUA SITU BEKAS GALIAN PASIR DI DESA CIKAHURIPAN KABUPATEN CIANJUR PELITA OCTORINA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EUTROFIKASI DUA SITU BEKAS GALIAN PASIR DI DESA CIKAHURIPAN KABUPATEN CIANJUR PELITA OCTORINA"

Transkripsi

1 EUTROFIKASI DUA SITU BEKAS GALIAN PASIR DI DESA CIKAHURIPAN KABUPATEN CIANJUR PELITA OCTORINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Eutrofikasi Dua Situ Bekas Galian Pasir di Desa Cikahuripan Kabupaten Cianjur adalah benar merupakan hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 2011 Pelita Octorina C

3 ABSTRACT PELITA OCTORINA Eutrophication of Two Sand Pit lake in Cikahuripan Village Cianjur. Supervised by NIKEN TUNJUNG MURTI PRATIWI and ENAN M ADIWILAGA Sandpit lake is an artificial water bodies with small size filled with water because it has penetrated the underground water channels. As a new water body it has the potential to be exploited but without proper management, the usability of this sandpit lake can be short due to eutrophication process. The aims of this research were to describe eutrophication level and to analysis the trophic status of two sandpit lake in Cikahuripan Village wich is Situ no 5 and Situ no 6. The methodology of this research is descriptive analysis with sampling in Mei and July TRIX calculation results show the trophic status of both sandpit lake has been eutrofik that indicates eutrophication processes take place very quickly. This is supported by the parameters of physics, chemistry and biology both sandpit lake that characterized by high nutrients and productivity as well as the lack of brightness. Although there were observed that sandpit lake is still relatively new waters, but based on trophic status indicates eutrophication process has been going very quickly as a result of anthropogenic activities Keywords: Eutrophication, sandpitlake, trophic level.

4 RINGKASAN PELITA OCTORINA. Eutrofikasi dua situ bekas galian pasir di Desa Cikahuripan Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh NIKEN TUNJUNG MURTI PRATIWI dan ENAN M ADIWILAGA. Situ-situ bekas galian di Desa Cikahuripan hingga saat ini masih merupakan lahan tidur yang belum dikelola dengan baik sedangkan situ tersebut sebagai habitat air tergenang memiliki fungsi ekosistem dan fungsi ekonomi yang cukup potensial (Kattner et al. 2000). Situ yang terbentuk di Desa Cikahuripan telah digunakan sebagai tempat pembuangan limbah rumah tangga atau tempat pencucian kendaraan sehingga situ tersebut telah mendapatkan tekanan antropogenik. Pada perairan yang mendapatkan tekanan dari kegiatan manusia proses eutrofikasi berlangsung lebih cepat sebagai akibat dari peningkatan unsur hara yang memicu peledakan produksi biomassa fitoplankton. Indikasi terjadinya suatu eutrofikasi di ekosistem perairan adalah deplesi oksigen terlarut pada lapisan hipolimnion dan peningkatan produksi biomassa fitoplankton. Bila eutrofikasi dibiarkan tak terkendali maka umur guna perairan akan semakin pendek. Umumnya situ-situ galian pasir memiliki ukuran yang kecil dan umurnya masih relatif muda dengan sumber air masuk dan air keluar yang tidak terlalu besar. Keadaan ini tentu akan mempengaruhi ketersediaan unsur hara dan bahan organik disuatu badan perairan sebab keduanya dipengaruhi jumlah yang masuk keperairan dan lamanya molekul tersebut berada dalam badan perairan (Walker et al. 2007). Dengan kondisi perairan seperti itu muncul sebuah pertanyaan bagaimanakah perubahan yang terjadi pada situ-situ galian pasir yang relatif masih berumur muda. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tingkat eutrofikasi dan menganalisis status trofik dua situ bekas galian pasir yang terletak di Desa Kahuripan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan bentuk pengelolaan yang tepat bagi situ-situ bekas galian pasir agar tetap dapat memberikan fungsinya secara optimal Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 di lokasi penggalian pasir Desa Cikahuripan Kab.Cianjur. Pengamatan dilakukan di dua situ dari enam situ yang terdapat pada lokasi tersebut yaitu Situ no 5 dan Situ no 6. Kegiatan penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu kegiatan di lapangan dan kegiatan di laboratorium. Kegiatan di lapangan meliputi pengambilan sampel air yang dilakukan sebanyak 4 kali sampling dengan selang waktu 14 hari. Penentuan pengambilan sampel didasarkan pada kedalaman perairan dengan mempertimbangkan penetrasi cahaya pada lapisan perairan, yaitu pada permukaan, kedalaman Secchi, kedalaman kompensasi, 7 meter, dan 16 meter untuk Situ no 5, sedangkan pada Situ no 6 diambil pada titik permukaan, kedalaman Secchi, kedalaman kompensasi, 6 meter dan 10 meter. Contoh air dan fitoplankton diambil secara vertikal dengan menggunakan Kemerrer water sampler dengan volume 4 liter. Parameter-parameter yang diukur meliputi parameter fisika berupa suhu dan kedalaman; parameter kimia berupa ph, oksigen terlarut, oksigen saturasi, nitrat, nitrit, amonia, total nitrogen, orthofosfat, dan total fosfat; sedangkan biomassa fitoplankton diukur dari kelimpahan fitoplankton dan klorofil-a. Analisis data yang digunakan untuk

5 menganalisis status trofik adalah indeks TRIX (Trophic Index) (Giovanardi and Vollenweider 2004). Untuk menguji rata-rata parameter kualitas air antara kedua situ digunakan uji t dua rata-rata. Lokasi penelitian terletak di kawasan proyek penggalian pasir di Kampung Awilarangan, Desa Cikahuripan, Kecamatan Gekbrong. Situ no 5 terletak pada 107 o 01`49`` BT-6 o 52`31`` LS dengan ketinggian dari permukaan laut 853 dpl, dengan luas 4,3 ha, volume m 3 dan retention time 111, 4 hari. Situ no 5 memiliki satu inlet berupa saluran air pembuangan limbah yang berasal dari pemukiman dan memiliki dua buah outlet. Situ no 6 terletak pada 107 o 02`08`` BT-6 o 52`31`` dengan ketinggian dari permukaan laut 824 dpl, dengan luas 3,4 ha, volume m 3 dan retention time 17 hari. Situ no 6 memiliki satu inlet berupa selokan yang berasal dari daerah persawahan dan memiliki satu buah outlet. Distribusi vertikal rata-rata suhu air pada Situ no 5 memiliki nilai antara 21,25-25 o C sedangan rataan Situ no 6 bernilai antara 20,5-21,75 o C. Nilai ph di ke dua stasiun penelitian selama pengamatan berkisar antara 6-9 dimana nilai tersebut masih menunjang untuk kehidupan organisme perairan. Kandungan oksigen terlarut di lapisan epilimnion dan hypolimnion selama pengamatan berkisar antara 1,93-10,95 mg/liter pada Situ no 5 dan 1,56-9,56 mg/liter pada Situ no 6. Distribusi vertikal amonia total Situ no 5 berkisar antara 0,46-1,12 mg/liter dengan nilai tertinggi pada kedalaman 7 m dan terendah pada permukaan. Pada Situ no 6 konsentrasi ammonia total berkisar antara 0,27-0,51 mg/liter dengan konsentrasi tertinggi terukur pada kedalaman 12 m dan konsentrasi terendah terukur pada kedalaman kompensasi. Distribusi vertikal konsentrasi nitrit pada Situ no 5 berada pada kisaran antara tidak terdeteksi-0,247 mg/liter. Pada situ no 6 rata-rata kisaran konsentrasi nitrit berada pada nilai tidak terdeteksi-0,11 mg/liter. Hasil pengamatan selama penelitian mendapatkan konsentrasi nitrat pada Situ no 5 berkisar antara 0,12-1,1 mg/liter, sedangkan pada Situ no 6 konsentrasi nitrat berkisar antara 0,075-1,65 mg/liter. Distribusi kandungan fosfor di situ bekas galian pasir digambarkan oleh besarnya konsentrasi orthofosfat dan total fosfor. Dari hasil penelitian diperoleh distribusi vertikal konsentrasi orthofosfat di Situ no 5 berkisar antara 0,027-0,198 mg/liter, sedangkan konsentrasi total fosfor bernilai antara 0,037-0,27 mg/liter. Pada Situ no 6 ratarata konsentrasi orthofosfat bernilai antara tidak terdeteksi 0,34 mg/liter dan ratarata konsentrasi total fosfor bernilai antara 0,075-0,35 mg/liter. Gambaran mengenai kelimpahan fitoplankton di situ bekas galian pasir dilakukan dengan pencacahan dan penghitungan hingga tingkat genera. Pada Situ no 5 tercatat ditemukan empat kelas yaitu Chlorophyceae (12 genera), Bacillariophyceae (3 genera), Cyanophyceae (5 genera) dan Dinophyceae (3 genera). Pada Situ no 6 juga ditemukan empat kelas yaitu Chlorophyceae (16 genera), Bacillariophyceae (12 genera), Cyanophyceae (15 genera) dan Dinophyceae (4 genera). Kelimpahan fitoplankton Situ no 5 di dominansi oleh kelas Cyanophyceae sedangkan pada Situ no 6 banyak ditemukan Chlorophyceae. Konsentrasi khlorofil a pada Situ no 5 berkisar antara 2,38-81,396 mg/m 3 dan Situ no 6 berkisar antara 0,859-15,708 mg/m 3. Rata-rata produktivitas primer Situ no 5 berkisar antara169,63-56,02 mg C/ m 3 /jam sedangkan Situ no 6 berkisar antara 161,47-16,61 mg C/ m 3 /jam. Hasil identifikasi kedua situ galian pasir berdasarkan parameter fisika, kimia dan biologi menggambarkan status trofik kedua situ pada

6 setiap kedalaman telah eutrofik dicirikan dengan tingginya unsur hara dan produktivitas serta kurangnya tingkat kecerahan. Sebagai saran tindakan pengelolaan pengurangan unsur P baik yang akan memasuki perairan atau yang telah berada dalam perairan dianggap cara yang efektif dalam mengkontrol eutrofikasi. Mengontrol point source merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan di Situ no 5 dengan cara mengalihkan saluran pembuangan limbah rumah tangga untuk tidak berakhir di situ ini.pengurangan jumlah unsur hara pada kedua situ dapat dilakukan dengan introduksi tanaman air. Diharapkan tanaman air tersebut dapat memanfaatkan unsur hara dan mengikat partikel-partikel tersuspensi juga mencegah sedimentasi. Sebagai pengontrol tumbuhan air, sebaiknya juga di introduksikan ikan herbivor seperti ikan koan. Pengendalian fitoplankton pada Situ no 5 dapat dilakukan dengan meningkatkan grazing melalui pengayaan zooplankton herbivor. Selain pengayaan zooplankton introduksi ikan pemakan fitoplankton dapat dilakukan untuk mengkontrol biomassa fitoplankton. Kata kunci : Situ bekas galian pasir, kualitas air, biomassa fitoplankton, status trofik

7 @Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan untuk atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB

8 EUTROFIKASI DUA SITU BEKAS GALIAN PASIR DI DESA CIKAHURIPAN KABUPATEN CIANJUR PELITA OCTORINA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

9 Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ir Hefni Effendi, M.Phill

10 Judul Tesis Nama Mahasiswa NRP : Eutrofikasi Dua Situ Bekas Galian Pasir di Desa Cikahuripan Kabupaten Cianjur : Pelita Octorina : C Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Niken T.M.Pratiwi, M.Si Ketua Dr. Ir. Enan M.Adiwilaga Anggota Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Enan M.Adiwilaga Dr. Ir. Dahrul Syah Tanggal Ujian 28 Februari 2011 Tanggal Lulus : 11 Maret 2011

11 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini merupakan hasil penelitian dengan judul Eutrofikasi Dua Situ Bekas Galian Pasir di Desa Cikahuripan Kabupaten Cianjur. Penulis menyadari bahwasanya tesis ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tinggi kepada: 1. Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si dan Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku dosen pembimbing yang dengan sabar memberikan bimbingan, arahan dan saran selama proses penyelesaian tesis. 2. Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil selaku penguji luar komisi yang berkenan memberikan masukan untuk kesempurnaan tesis ini. 3. Alm Dr. Ir. Sutrisno Sukimin, DEA yang sempat memberikan arahan selama penyusunan proposal penelitian. 4. Civitas akademika Universitas Muhammadiyah Sukabumi yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pasca Sarjana IPB. 5. Mutiara-mutiara kecil Aji, Ojan dan Hasna dan teman hidupku Mohamad Ridwan, S.Kom., MT yang selalu menjadi penyemangat. 6. Keluarga besar di Sukabumi (Mama, Kakek, Tante Mia, Tante Lela, Om Ance, Sandra DEK, S.Pi.,M.Si) yang selalu mendukung dan membantu selama penulis melanjutkan studi. 7. Rekan-rekan mahasiswa Pasca Sarjana IPB dari Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan angkatan 2 : Budiono Senen (Maluku), Juli Nursandi (Lampung), Ali Mashar (Bogor), Nurfadilla (Aceh), Iwan Hasri (Aceh), Desrita (Padang), Karmon Kenanga Putra (Palembang), Rahmat Mawardi (NTB) dan Rosmawati La Benua (Ternate) yang telah memberikan saran serta masukan untuk tesis ini. 8. Tim Peneliti Gekbrong yaitu Bambang, Dian, Rizky, Ridha, S.Pi, Neneng, S.Pi, Tubagus, S.Pi, dan Yogie, S.Pi serta Dr. Ir. Yulfiperius, M.Si yang telah mendorong penulis untuk melanjutkan studi. 9. Semua pihak yang turut memberikan dukungan, bantuan dan sumbangsih dalam penyelesaian tesis ini (khususnya mas Muklis dan Mas Budi Proling). Bogor, Maret 2011

12 RIWAYAT HIDUP Pelita Octorina Penulis dilahirkan di Bandung, 6 Oktober 1979 sebagai anak kedua dari enam bersaudara pasangan Cece Sukarya (alm) dan Icke Rahmat. Saat ini penulis telah menikah dengan Mohamad Ridwan, S.Kom.,MT dan dikaruniai tiga orang anak yaitu M. Fajri Fathurahman, M. Fauzan Nurul Ilmi dan Hasnaa Zahira. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Pasir Halang 1 Sukabumi pada tahun 1991, lalu dilanjutkan pada Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Sukabumi hingga selesai pada tahun Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sukabumi hingga selesai pada tahun Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas, penulis melanjutkan pendidikan ke Universitas Padjajaran melalui UMPTN pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, lalu penyelesaikan jenjang tersebut pada tahun Penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Sumberdaya Perairan pada tahun 2008 melalui program BPPS.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xvii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Situ Bekas Galian Pasir Unsur Hara Nitrogen Fosfor Struktur Komunitas Fitoplankton Khlorofil-a Produktivitas Primer Eutrofikasi Status Trofik METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penentuan Titik Sampling Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Air Nilai debit dan retention time Pengukuran kadar oksigen jenuh Pengukuran Kelimpahan dan Biomassa Fitoplankton Analisa Data Indeks Keanekaragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominasi Stadia Suksesi Pengukuran Produktivitas Primer Penentuan Status Trofik Uji Statistik KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Air Suhu... 20

14 5.1.2 ph Oksigen terlarut Unsur Hara Amonia Total Nitrit Nitrat Fosfor Rasio N : P Struktur Komunitas Fitoplankton Klorofil-a Produktivitas Primer Status Trofik Pengelolaan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 50

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Alur pendekatan masalah Denah lokasi penelitian Pola distribusi suhu di situ bekas galian pasir Pola distribusi ph di situ bekas galian pasir Pola distribusi vertikal oksigen terlarut di situ bekas galian pasir Pola distribusi vertikal total amonia di situ bekas galian pasir Distribusi vertikal nitrit di perairan situ bekas galian pasir Distribusi vertikal nitrat di perairan situ bekas galian pasir Distribusi vertikal fosfor di perairan situ beka galian pasir Rank Frequency Diagram Frontier Situ no Rank Frequency Diagram Frontier Situ no Pola distribusi vertikal klorofil-a diperairan situ bekas galian pasir Pola distribusi produktivitas bersih di perairan situ bekas galian pasir... 39

16 DAFTAR TABEL Halaman 1 Tingkat kesuburan danau dan waduk berdasarkan kadar beberapa parameter kualitas air Metode dan alat-alat yang digunakan dalam pengukuran masing masing parameter Morfometri stasiun penelitian Nilai rata-rata kualitas air di situ bekas galian pasir Nilai N : P di situ bekas galian pasir Kelimpahan fitoplankton di situ bekas galian pasir Struktur komunitas fitoplankton di situ bekas galian pasir Rata rata produktivitas primer bersih kedua situ Status trofik Situ No.5 dan Situ No.6 dengan model trix Status trofik kedua situ berdasarkan rata-rata parameter kualitas air dibandingkan dengan kriteria Wetzel (2001)... 41

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta Lokasi Situ Galian Pasir Data hasil kualitas air Hasil uji t Lampiran struktur komunitas fitoplankton Situ No Lampiran struktur komunitas fitoplankton Situ No Lembar kerja frontier Situ No Lembar kerja frontier Situ No Hasil perhitungan klorofil-a Hasil perhitungan produktivitas primer Lembar kerja trix... 66

18 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kenaikan populasi penduduk pada saat ini berakibat pada meningkatnya kebutuhan tempat tinggal, sehingga permintaan bahan bangunan seperti pasir dan batu juga ikut bertambah. Sebagai akibat lebih lanjut dari kondisi ini adalah semakin banyak muncul ekosistem perairan buatan yang terbentuk akibat penggalian yang dalam di bawah urat air untuk mendapatkan pasir dan batu. Desa Cikahuripan yang masuk dalam wilayah Kecamatan Gekbrong Kabupaten Cianjur merupakan salah satu lokasi tempat penambangan pasir di Jawa barat. Pada desa ini terdapat enam lubang bekas galian pasir yang telah terisi air sejak tahun Situ bekas galian pasir yang terbentuk memiliki ukuran luas yang bervariasi yaitu mulai 3,1-4,8 ha. Situ-situ bekas galian tersebut hingga saat ini masih merupakan lahan tidur yang belum dikelola dengan baik, sedangkan situ tersebut sebagai habitat air tergenang memiliki fungsi ekosistem dan fungsi ekonomi yang cukup potensial (Kattner et al. 2000). Umumnya situ-situ bekas galian pasir terbentuk di daerah yang dekat dengan pemukiman penduduk (Celik 2002), akan memungkinkan mendapatkan beban masuk dari kegiatan manusia. Begitupun situ yang terbentuk di Desa Cikahuripan, beberapa dari situ tersebut digunakan sebagai tempat pembuangan limbah rumah tangga atau tempat pencucian kendaraan sehingga situ tersebut telah mendapatkan tekanan antropogenik. Umumnya situ galian pasir memiliki status oligotrofik, setidaknya pada tahun-tahun pertama terisi air (Kattner et al. 2000). Namun jika situ-situ tersebut telah mendapatkan tekanan antropogenik, maka kemungkinan status trofiknya telah berubah. Perairan secara alami akan mengalami perubahan status trofik dalam jangka waktu tertentu. Perubahan status suatu perairan dipengaruhi oleh umur, hidromorfometri, batasan unsur hara, dan produksi biomassa. Peningkatan unsur hara yang masuk ke dalam situ melalui buangan sisa limbah masyarakat yang terus menerus mendorong terjadinya proses eutrofikasi. Jika suatu perairan tidak dikelola dengan benar, maka kemungkinan eutrofikasi cepat terjadi sehingga badan perairan tersebut tidak dapat lagi dimanfaatkan

19 secara optimal. Sebagai wadah penampung air tawar dan sebuah habitat yang dapat digunakan untuk perikanan, keberadaan situ-situ ini perlu dipertahankan kelestariannya agar tetap dapat memberikan fungsinya dalam jangka waktu yang lama. Dengan demikian diperlukan data-data dasar mengenai unsur hara, kualitas air, struktur komunitas, dan status trofik situ galian pasir untuk menentukan pendekatan dan teknologi pengelolaannya. 1.2 Perumusan Masalah Situ bekas galian pasir merupakan badan perairan buatan dengan ukuran kecil yang terisi air karena telah menembus saluran air bawah tanah (Grajner dan Gladys 2009). Selanjutnya dikatakan meskipun situ bekas galian merupakan badan perairan yang berpotensi namun pada perairan tersebut mahluk hidup sulit membentuk sebuah koloni dan struktur komunitas. Hal ini disebabkan karakteristik umum dari situ bekas galian yang relatif kecil dan dalam serta bukan merupakan perairan yang stabil. Kestabilan suatu perairan terkait dengan umurnya. Setiap perairan, baik yang terbentuk secara alami maupun hasil dari kegiatan penggalian akan mengalami perubahan atau suksesi. Dalam proses pematangan perairan terjadi perubahan-perubahan pada status trofik yang juga membawa perubahan pada struktur komunitas plankton, ketersediaan unsur hara, serta bentuk fisik perairan tersebut. Dengan demikian struktur komunitas plankton dapat dijadikan bioindikator untuk mengkatagorikan status trofik suatu perairan. Secara alami perairan yang tidak mendapatkan tekanan dari kegiatan manusia akan mengalami eurofikasi sehingga terjadi perubahan status trofik yang berlangsung secara gradual. Pada perairan yang mendapatkan tekanan dari kegiatan manusia proses eutrofikasi berlangsung lebih cepat sebagai akibat dari peningkatan unsur hara yang memicu peledakan produksi biomassa fitoplankton. Selama terdapat beban masukan, eutrofikasi berlanjut sampai faktor intensitas sinar matahari menjadi pembatas. Indikasi terjadinya suatu eutrofikasi di ekosistem perairan adalah deplesi oksigen terlarut pada lapisan hipolimnion, peningkatan produksi biomassa fitoplankton, perubahan stratifikasi fitoplankton, dan perubahan jejaring makanan. Bila eutrofikasi dibiarkan tak terkendali, maka umur guna perairan akan semakin pendek.

20 Umumnya situ-situ galian pasir memiliki ukuran yang kecil dan umurnya masih relatif muda dengan sumber air masuk dan air keluar yang tidak terlalu besar. Keadaan ini tentu akan mempengaruhi ketersediaan unsur hara dan bahan organik disuatu badan perairan sebab keduanya dipengaruhi jumlah yang masuk keperairan dan lamanya molekul tersebut berada dalam badan perairan (Walker et al. 2007). Ketersediaan unsur hara sudah tentu akan menjadi pembatas pembentukan struktur komunitas plankton yang akan membentuk dasar rantai makanan pada perairan tersebut. Dengan kondisi perairan seperti itu muncul sebuah pertanyaan bagaimanakah perubahan yang terjadi pada situ-situ galian pasir (Gambar 1). 1.3 Tujuan dan Manfaat penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tingkat eutrofikasi dan menganalisis status trofik dua situ bekas galian pasir yang terletak di Desa Cikahuripan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan bentuk pengelolaan yang tepat bagi situ-situ bekas galian pasir agar tetap dapat memberikan fungsinya secara optimal dan berkelanjutan.

21 Hydromorfometri Beban masukan Hidrodina mika Unsur Hara Kualitas air Eutrofikasi Status trofik Perairan Fitoplankton Zooplankton biomassa plankton Gambar 1 Alur perumusan masalah eutrofikasi dua situ bekas galian pasir

22 TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Situ Bekas Galian Pasir Situ bekas galian pasir dapat juga disebut sebagai kolong galian pasir. Kolong adalah cekungan di permukaan tanah yang terjadi akibat proses penggalian bahan tambang atau tanah urug. Kolong yang telah habis bahan galiannya dapat berfungsi untuk menampung air sehingga membentuk badan air baru. Badan air tersebut memiliki ciri-ciri morfologi tebing yang curam, daerah litoral sempit, kedalaman air relatif dangkal, fluktuasi air 1-2 meter, wilayah tangkapan sempit, teluk sedikit, garis pantai pendek, badan air berbentuk elips atau persegi panjang dengan luas berkisar antara 0,5 hingga 5 ha, serta berlokasi di pedesaan (Krismono et al. 1998). Lubang bekas penambangan pada awal pembentukannya belum dapat digunakan bagi keperluan manusia sehari-hari karena dikhawatirkan masih mengandung bahan pencemar yang tinggi. Seiring dengan bertambahnya usia kolong atau lubang bekas galian, kondisi biolimnologi kolam bekas galian tambang berubah menjadi hampir menyerupai habitat alami seperti kolam atau danau tua sehingga dapat digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Berdasarkan iklim, kondisi hidrologi dan morfologi lubang galian, situ galian pasir memiliki dua tipe dasar yaitu perairan yang mengalir (flow-through) dan tergenang (terminal) (Garnier & Billen 1994). Situ galian pasir tipe mengalir dicirikan dengan memiliki sumber air baik air tanah maupun air permukaan yang memungkinkan pergantian air secara kontinu sedangkan tipe terminal sumber air yang mengisi situ tersebut tidak memungkinkan pergantian atau hanya berganti dengan jangka waktu yang sangat lama. Situ tipe terminal biasanya merupakan situ tadah hujan dimana kondisi perairan tergantung pada curah hujan dan penguapan. 3.2 Unsur hara Nitrogen

23 Nitrogen anorganik terlarut di perairan dapat berbentuk gas nitrogen (N 2 ), ammonia tidak terionisasi (NH3), ammonium (NH + 4 ), nitrit (NO - 2 ), nitrat (NO - 3 ), dan senyawa bentuk lain yang berasal dari limbah pertanian, pemukiman, dan limbah industri (Goldman & Horne 1983). Nitrogen dalam bentuk senyawa anorganik dimanfaatkan oleh tumbuhan menjadi protein nabati yang selanjutnya dimanfaatkan sebagai pakan. Pada umumnya nitrogen diserap oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat dan ammonia. Fitoplankton lebih banyak menyerap ammonia jika dibandingkan dengan nitrat karena lebih banyak ditemukan di perairan baik dalam kondisi aerobic maupuan anaerobic. Senyawa-senyawa nitrogen sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen terlarut dalam air, pada saat kandungan oksigen rendah nitrogen berubah menjadi ammonia dan saat kandungan oksigen tinggi berubah menjadi nitrat Fosfor Fosfor adalah unsur hara yang diperlukan oleh tumbuhan untuk berfotosintesis selain nitrogen. Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Barbieri & Simona 2001). Fitoplankton hanya dapat menggunakan fosfor dalam bentuk fosfat untuk pertumbuhannya. Wetzel (2001) menjelaskan bahwa kisaran fosfat yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton adalah 0,09 1,80 mg/liter. Di perairan bentuk umum fosfor berubah secara terus menerus akibat proses dekomposisi dan sintesis antara bentuk organik dengan bentuk anorganik yang dilakukan oleh mikroba. Keberadaan fosfor diperairan alami biasanya relatif kecil, dengan kadar yang lebih sedikit daripada kadar nitrogen karena sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan. Sumber alami fosfor di perairan adalah pelapukan batuan mineral dan bahan organik (Setacharnwit et al. 2003). 3.3 Struktur Komunitas Fitoplankton Fitoplankton merupakan kelompok plankton nabati atau plankton tumbuhan yang tersebar di perairan tawar maupun perairan laut dan payau. Odum (1993) mendefinisikan fitoplankton sebagai tumbuhan terapung kecil yang tersebar di seluruh kolom dimana cahaya matahari masih menembus kolom perairan

24 tersebut. Dalam jumlah yang banyak fitoplankton dapat menyebabkan warna air terlihat seperti warna pigmen utama dari fitoplankton yang sedang blooming. Dalam ekosistem perairan, fitoplankton berperan sebagai produsen yaitu organisme yang mampu menghasilan makanan dari senyawa anorganik sederhana yang terdapat dalam perairan menjadi zat organik kompleks melalui proses fotosintesis. Dengan pigmen klorofil fitoplankton melaksanakan proses fotosintesis dengan memanfaatkan air, karbondioksida, cahaya matahari dan garam-garam hara untuk menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat. Fitoplankton umumnya merupakan kelompok alga yang berukuran mikroskopis. Dalam perairan fitoplankton dapat berbentuk filament, sel tunggal atau hidup berkoloni. Odum (1993) menyatakan bahwa komunitas adalah kumpulan populasi yang hidup pada lingkungan tertentu atau habitat fisik tertentu yang saling berinteraksi. Sedangkan stuktur komunitas adalah susunan individu dari berbagai jenis atau spesies yang terorganisir membentuk komunitas. Stuktur komunitas dapat dipelajari melalui satu atau dua aspek khusus seperti keragaman, zonasi, dan kelimpahan. Dalam suatu komunitas setiap organisme mempunyai satu dari tiga fungsi dasar yaitu sebagai produsen, konsumen dan pengurai. Stuktur komunitas secara alami tergantung pada pola penyebaran organisme dalam ekosistem tersebut. Organisme di perairan dapat menyebar di perairan dengan cara hanyut atau mengikuti pergerakan air, bergerak aktif dengan cara berenang dan menempel pada benda-benda yang bergerak. Struktur komunitas plankton difokuskan pada penyelidikan distribusi, komposisi, kelimpahan biomassa plankton keanekaragaman, keseragaman dan dominansi. Indeks keanekaragaman fitoplankton dikatakan sebagai keheterogenan spesies dan merupakan ciri khas dari struktur komunitas, sedangkan indeks keseragaman dikatakan sebagai keseimbangan komposisi setiap spesies dalam suatu komunitas dan hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan. Morfologi perairan (kedalaman dan luas), perubahan suhu, kecerahan, dan kandungan nutrien pada setiap perairan berbeda sehingga menimbulkan variasi kondisi bagi pertumbuhan biomasa dan komposisi spesies plankton (Wasielewska & Goldyn 2005). Status trofik perairan galian pasir pada saat terbentuk biasanya masih oligorofik kemudian akan berubah menjadi eutrofik, perubahan ini jelas

25 sangat mempengaruhi biomassa dan komposisi spesies plankton. Suatu jenis plankton tertentu akan bertahan terhadap perubahan lingkungan dan dapat dijadikan indikator perairan misalnya cyanobakteria. Wetzel (2001) menyatakan bahwa pada danau oligitrofik memiliki keanekaragaman yang tinggi dan struktur komunitas fitooplankton didominasi oleh kelas Chrysophyceae, Cryptophyceae, Dinophyceae dan Bacillariophyceae. Selanjutnya dikatakan bahwa pada danau eutrofik struktur komunitas memiliki keanekaragaman yang menurun dan struktur komunitas fitoplankton didominasi oleh kelas Chlorophyceae, Cyanophyceae, Euglenophyceae dan Bacillariophyceae. Kuantitas dan kualitas fitoplankton dalam kolom air selalu berubah-ubah sesuai dengan kondisi lingkungan hidupnya. Disetiap perairan terdapat perkembangan komunitas yang dinamin sehingga suatu spesies dapat lebih dominan dari pada spesies lainnya pada interval waktu yang relatif pendek sepanjang tahun. Spesies yang dominan pada satu bulan tertentu bisa menjadi spesies yang langka pada bulan berikutnya dan digantikan dengan spesies lain yang lebih dominan. 3.4 Khlorofil-a Khlorofil adalah katalisator fotosintesa yang penting dan terdapat sebagai pigmen hijau dalam jaringan tumbuhan fotosintesis. Khlorofil terdapat pada khloroplast dalam jumlah yang banyak dan terikat dengan protein namun mudah diekstrasi dalam pelarut lipid seperti aseton (Hatta 2007). Ekstrak khlorofil dari algae yang berbeda menunjukan sifat spektrumnya, khlorofil-a menyerap cahaya dengan panjang gelombang nm sedangkan khlorofil-b menyerap cahaya dengan panjang gelombang nm. Khlorofil sering digunakan untuk mengukur biomassa fitoplankton yang kemudian akan digunakan untuk mengevaluasi tahapan trofik suatu danau (Kasprzak et al. 2008). 3.5 Produktivitas primer Produktivitas primer merupakan laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya akan energi dan berasal dari senyawa anorganik. Produktivitas primer disuatu sistem ekologi merupakan laju penyimpanan energi radiasi melalui aktivitas fotosisntesis dan kemosintesis dari produser atau organisme (terutama tumbuhan hijau) dalam bentuk bahan organik yang dapat digunakan sebagai bahan

26 pakan (Odum 1993). Sedangkan Wetzel (2001) menyatakan di dalam ekosistem akuatik sebagian besar produktivitas primer dilakukan oleh fitoplankton. Produktivitas primer pada dasarnya tergantung pada aktivitas fotosintesis dari produsen primer oleh karena itu pendugaan produktivitas primer alami didasarkan pada pengukuran aktivitas fotosintesis yang terutama dilakukan alga. Fotosintesis sangat dipengaruhi oleh cahaya matahari, konsentrasi karbondioksida terlarut dan suhu perairan. Laju fotosintesis bertambah 2-3 kali lipat untuk kenaikan suhu sekitar 10 o C (Barus 2002), meskipun demikian intensitas cahaya dan temperatur yang ekstrim cenderung memiliki pengaruh yang menghambat laju fotosintesis. Secara sederhana fotosintesis adalah proses penyerapan energi cahaya dan karbondioksida serta pelepasan oksigen yang merupakan salah satu produk dari fotosintesis. Sebagai proses kebalikan dari fotosintesis adalah proses respirasi yaitu pengambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida beserta energi. Kedua proses inilah yang digunakan alam pengukuran produktivitas primer. Cara-cara yang umum digunakan dalam mengukur suatu produktivitas perairan adalah dngan menggunakan botol gelap dan botol terang. Botol terang digunakan untuk mengukur laju fotosisntesis sementara botol gelap digunakan untuk mengukur laju respirasi. Produktivitas primer dapat diukur sebagai produktivitas primer kotor dan produktivitas primer bersih. Studi tentang produktivitas primer sangat penting dalam memahami aliran energi dan materi pada ekosistem pelagis. Fitoplankton merupakan dasar dari jaring makanan sehingga perubahan dalam biomassa, komposisi spesies dan pola produktivitas primer memiliki pengaruh pada seluruh komunitas termasuk ikan. Produktivitas primer merupakan cara yang cepat dan mudah untuk dapat menduga potensi ikan pada suatu perairan dan pengukuran produktivitas primer secara musiman akan memberikan hasil yang lebih baik dalam pendugaan potensi ikan ( Hooker et al dalam Tilahun & Ahlgren 2009). 3.6 Eutrofikasi Eutrofkasi merupakan proses peningkatan produksi biomassa produsen primer sehubungan dengan beban masukan unsur hara allochtonous. Peningkatan unsur hara di perairan akan meningkatkan produksi fitoplankton dan makrofita air

27 dan memperburuk kualitas air sehingga mengurangi umur guna suatu perairan (Chrisman et al. 2001) Proses eutrofikasi akan berlangsung secara bertahap dari oligotrofik, mesotrofik, eutrofik, hypertrofik, distrofik dan terakhir safrobik. Proses eutrofikasi suatu danau sangat ditentukan oleh proses fotosintesis, produksi biomassa fitoplankon dan mineralisasi bahan organik menjadi unsur hara (Sager 2009). Proses penentu eutrofikasi berlangsung secara dinamik dan berhubungan dengan tingkat beban masukan, eutrofikasi pembentukan biomassa fitoplankton dari unsur hara yang tersedia, trofodinamik sebagai penentu struktur komunitas ekosistem perairan dan cadangan oksigen terlarut. Akibat dari eutrofikasi yang tidak terkendali adalah deplesi oksigen, peningkatan produksi biologis, perubahan diversivikasi fitoplankton dan perubahan jejaring makanan. 3.7 Status Trofik Status trofik suatu perairan mengacu kepada kandungan zat hara yang terdapat dalam suatu ekosistem danau. Status trofik juga mengacu pada biomassa tumbuhan yang berada di perairan (Carson & Simpson 1996 dalam Walter et al. 2007) sehingga berhubungan dengan nilai produktivitas. Perairan dengan biomassa tumbuhan (produktivitas primer) rendah disebut sebagai perairan oligotrofik, dengan biomassa tumbuhan yang sedang disebut mesotrofik dan dengan biomassa tumbuhan yang tinggi disebut eutrofik (Walter et al. 2007). Berdasarkan status nutrien suatu perairan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu oligotrofik, mesotrofik dan eutrofik. Kesuburan perairan tergenang umumnya disebabkan oleh pengkayaan unsur hara. Status trofik atau status nutrient dapat dijadikan indikasi kesuburan suatu badan air. Kondisi status trofik suatu perairan tergantung pada ketersediaan nitrogen dan fosfat sebab kedua unsur tersebut akan mempengaruhi biomassa fitoplankton dan saturasi oksigen. Konsentrasi oksigen terlarut rendah dan peningkatan biomassa fitoplankton merupakan ciri kualitas air memburuk pada danu eutrofik (Carpenter et al. 2001). Status trofik atau tingkat kesuburan dapat dinyatakan berdasarkan kandungan nitrogen total, fosfat total, khlorofil-a dan biomassa fitoplankton (Tabel 1).

28 Tabel 1 Tingkat kesuburan danau dan waduk berdasarkan kadar beberapa parameter kualitas air Klasifikasi Kesuburan Parameter Oligotrof Mesotrof Eutrof 1. Fosfor total (µg /liter) < > Nitrogen total (µg /liter) < > Klorofil (µg/liter) < > Kecerahan secchi disk (m) > < 2 5. Persentase kadar oksigen saturasi pada lapisan hipplimnion > < Produksi fitoplankton (g C/m²/hari) Sumber : Wetzel (2001)

29 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal penambangan pasir tepatnya di Kampung Awilarangan, Desa Cikahuripan, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. Sebagai stasiun penelitian dipilih dua situ yaitu situ nomor 5 dan 6 (Lampiran 1). Penelitian dilakukan selama 2 bulan yaitu pada bulan Mei Juli 2010 dengan jeda waktu pengambilan sampling 14 hari sekali sehingga total pengambilan sampel adalah 4 kali. 3.2 Penentuan Titik Sampling Penentuan titik sampling dilakukan secara vertikal berdasarkan kedalaman perairan sedangkan secara horizontal tidak dilakukan karena berdasarkan hasil survey pendahuluan secara horizontal perairan diperkirakan bersifat homogen. Secara vertikal ditentukan 5 titik pengamatan yaitu untuk mewakili lapisan epilimnion adalah bagian permukaan dan kedalaman Secchi, kemudian titik kedalaman kompensasi, dan untuk mewakili lapisan hipolimnion diambil pada titik 7 meter dan 16 meter pada situ no 5. Sedangkan pada situ no 6 titik pengamatan pada permukaan, kedalaman Secchi, kedalaman kompensasi, 6 meter dan 10 meter. Kompensasi merupakan kedalaman yang memiliki intensitas cahaya sebesar 1% dari intensitas cahaya di permukaan. Umumnya kedalaman kompensasi ditentukan dengan menggunakan persamaan Beer-Lambert Law, namun kedalaman kompensasi pada penelitian ini ditentukan dengan cara kedalaman Secchi pada kedua situ dikalikan tiga. Pertimbangan dari penentuan kedalaman kompensasi ini adalah tidak tersedianya data mengenai koefisien peredupan cahaya matahari pada kedua situ yang diperlukan dalam persamaan Beer-Lambert Law. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Air Contoh air diambil dari setiap titik pengamatan dengan menggunakan Kemmerer water sample yang miliki volume 4000 ml. Contoh air yang diambil dipisahkan pada wadah yang telah disediakan untuk dianalisis. Untuk pengukuran parameter kimia contoh air diberi pengawet H 2 SO 4 hingga ph 2 sedangkan untuk

30 parameter fisika hanya di simpan pada suhu 4 o C. Parameter fisika-kimia air yang diukur serta metodenya disajikan pada Tabel Nilai Debit Air dan Retention Time Untuk mendapatkan nilai debit dan retention time digunakan formulasi sebagai berikut: Pengukuran Kadar Oksigen Jenuh Saturasi Menurut Effendi (2003), kadar oksigen jenuh akan tercapai jika kadar oksigen yang terlarut di perairan sama dengan kadar oksigen yang terlarut secara teoritis. Kadar oksigen tidak jenuh terjadi jika kadar oksigen yang terlarut lebih kecil daripada kadar oksigen secara teoritis. Kadar oksigen yang melebihi nilai jenuh disebut lewat jenuh (supersaturasi). Adapun perhitungan persen saturasi adalah sebagai berikut : Keterangan : DO DOt : Konsentrasi oksigen terlarut (mg/liter) : Konsentrasi oksigen jenuh (mg/lliter) pada suhu tertentu dengan tekanan 760 mmhg(mg/liter) Pengkuran Kelimpahan Biomassa Fitoplankton Pengukuran kelimpahan dan biomassa plankton dilakukan dengan pengambilan sampel air pada berbagai strata kedalaman dengan menggunakan Kemerer Water Sampler bervolume 4000 ml sebanyak 20 liter. Contoh air tersebut disaring dengan menggunakan plankton net dengan ukuran mata jaring 35 µ. Contoh air yang tersaring sebanyak 30 ml dimasukan dalam botol koleksi yang telah dilabeli dan diberi pengawet lugol sebanyak 3 4 tetes hingga berwarna seperti teh kental. Sampel plankton selanjutnya diamati di bawah mikroskop dan diidentifikasi dengan menggunakan buku petunjuk Prescot (1970).

31 Kelimpahan plankton dinyatakan secara kuantitatif dalam jumlah sel/liter. Pencacahan dilakukan dengan metode sapuan. Untuk memperoleh nilai kelimpahan plankton digunakan rumus sebagai berikut: Keterangan: N :Kelimpahan plankton (sel/liter) n :Jumlah pankton yang diamati pada Sedgwick Rafter Counting Call (sel) Vr :Volume air yang disaring pada botol contoh (30 ml) Vo :Volume sampel pada Sedgwick Rafter Counting Call (1 ml) Vs :Volume air yang disaring (20 liter) Tabel 2 Metode dan alat-alat yang digunakan dalam pengukuran masing-masing parameter No Parameter Satuan Alat ukur Analisis Fisika 1 Suhu o C Termometer In situ 2 Kecerahan cm Sechhi disk In Situ Kimia 3 ph ph indikator In situ 4 DO mg/liter Titrasi In situ 5 NO 2 mg/liter Spektro Lab 6 NO 3 mg/liter Spektro Lab 7 NH 3 mg/liter Spektro Lab 8 PO 4 mg/liter Spektro Lab 9 Total P mg/liter Spektro Lab 10 Total N mg/liter Spektro Lab 11 Oksigen saturasi mg/liter Biologi 12 Produktivitas primer mg C/m 3 /jam Titrasi In situ 13 Khlorofil-a mg/liter Spektro Lab Biomassa fitoplankton dihitung berdasarkan prosedur analisis khlorofil-a dengan metode spektrofotometrik Boyd dan Tucker (1992) sebagai berikut : Keterangan : Khlorofil-a: dalam mg/m 3 A665 : Absorban pada panjang gelombang 665 nm A750 : Absorban pada panjang gelombang 750 nm V : Volume ekstrasi aseton (ml) L : Panjang lintasan cahaya pada kuvet (cm) S : Volume contoh air yang disaring

32 3.4 Analisa Data Indek keanekaragaman Keanekaragaman plankton dihitung dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Legendre and Legendre 1983 dalam Barus 2002) Keterangan: Diketahui: H = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener n i = Jumlah individu spesies ke-i N = Jumlah total individu Kisaran indeks keanekaragaman: H < 2.30 : keanekaragaman rendah, kesetabilan komunitas rendah 2.30 < H < 6.08 : keanekaragaman sedang, kesetabilan komunitas sedang H > 6,08 : keanekaragaman tinggi, kesetabilan komunitas tinggi Legendre and Legendre (1983) dalam Barus (2002), menyatakan jika H = 0 maka komunitas terdiri dari satu genera atau spesies (spesies tunggal). Nilai H akan mendekati nilai yang besar jika semua spesies terdistribusi secara merata dalam komunitas Indeks Keseragaman Untuk mengetahui penyebaran individu tiap genera yang mendominasi populasi maka digunakan indeks keseragaman Eveness sebagai berikut: Keterangan: E = indeks keseragaman H = Indeks keanekaragaman H maks = ln S (S = Jumlah spesies yang ditemukan) Kriteria yang digunakan: E < 0.4 : keseragaman kecil 0.4 < E < 0.6 : keseragaman sedang E > 0.6 : keseragaman tinggi

33 3.4.3 Indeks Dominansi Dominasi jenis ditentukan dengan menggunakan indeks dominasi Simpson (Barus 2002), dengan persamaan: Keterangan: C n i N = indeks dominansi simpson = Jumlah individu spesies ke-i = Jumlah total individu Pada umumnya perairan dengan keanekaragaman jenis yang rendah cendrung memiliki keseragaman yang rendah pula. Nilai indeks keseragaman (E) dan indeks dominasi (C) berkisar antara 0-1. Jika indeks keseragaman mendekati 0, maka nilai indeks dominasi akan mendekati 1. Hal ini jika keseragaman suatu populasi semakin kecil, maka ada kecendrungan suatu jenis mendominasi populasi tersebut (Odum 1993) Stadia Suksesi Untuk melihat stadia suksesi yang terjadi dalam komunitas fitoplankton digunakan analisis Rank Frequency Diagram. Dalam analisis ini tiap genus fitoplankton diurutkan (ranking) dan diplot sehingga membentuk pola yang akan dibandingkan dengan pola standar (Frontier 1985 ) Produktivitas Primer Produktivitas primer diukur dengan menggunakan metode botol gelap dan botol terang dan titrasi winkler. Kandungan oksigen terlarut dari botol inisial diukur pada saat akan dilakukan inkubasi. Sedangkan kandungan oksigen botol terang dan botol gelap di ukur setelah inkubasi selama 4 jam. Waktu inkubasi dilakukan didasarkan pada saat sinar matahari optimal yaitu pada pukul WIB. Secara vertikal titik inkubasi berdasarkan kedalaman di bagi menjadi tiga titik yaitu pada permukaan, kedalaman Secchi dan kedalaman kompensasi Perhitungan produktivitas primer fitoplankton dilakukan menurut (Umaly dan Culvin 1988 dalam Hatta 2007) dengan menggunakan rumus : Fotosintesis Bersih (mgc/m 3 /jam) = (O 2 BT) (O 2 BA) x 1000 x 0,375 (PQ) x t

34 Keterangan : O 2 BT = Oksigen terlarut botol terang O 2 BA = Oksigen terlarut botol awal t = Lama inkubasi 1000 = Konversi liter menjadi m 3 0,375 = Koefisien konversi oksigen menjadi karbon (12/32) Penentuan Status Tropik Status trofik ditentukan dengan menggunakan TRIX (trofiks index). TRIX didefinisikan sebagai kombinasi linear logaritmik dari empat variabel yaitu khlorofil a, oksigen terlarut jenuh, total nitrogen dan total fosfor (Giovanardi and Vollenweider 2004). Distribusi data TRIX indeks dapat dianalisis dengan distribusi statistik yang memiliki keuntungan yaitu dapat dikombinasikan dengan dua atau lebih parameter yang dapat diinterpretasikan. Adapun formula yang digunakan adalah : Keterangan : k : scaling factor (10) n : jumlah parameter (4) U : batas atas (uper) L : batas bawah (lower) M : nilai rataan parameter Dalam TRIX tropik index diukur dengan skala 0-10, semakin besar nilai indeks tersebut semakin tinggi tingkat eutrofikasi pada perairan tersebut. Nilai mendekati 10 menunjukan eutrofikasi yang kuat. Batas nilai indeks TRIX adalah : TRIX < 2 : oligotrofik 2 TRIX < 4 : mesotrofik 4 TRIX < 6 : eutrofik TRIX 6 : hipereutrofik Uji Statistik Untuk menguji rata-rata parameter fisika, kimia dan biologi antara kedua situ digunakan uji t dua rata-rata dengan menggunakan aplikasi MINITAB 14.

35 4. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi penelitian terletak di kawasan proyek penggalian pasir di Kampung Awilarangan, Desa Cikahuripan, Kecamatan Gekbrong. Batas-batas wilayah Kecamatan Gekbrong yaitu di sebelah Utara Kabupaten Bogor, disekitar Selatan adalah Cibeber, di sebelah Barat adalah Kecamatan Sukalarang, dan di sebelah Timur adalah Kecamatan Warung Kondang. Situ no 5 terletak pada 107 o 01`49`` BT-6 o 52`31`` LS dengan ketinggian dari permukaan laut 853 dpl. Situ no 5 memiliki satu inlet berupa saluran air pembuangan limbah yang berasal dari pemukiman dan memiliki dua buah outlet. Situ no 6 terletak pada 107 o 02`08`` BT- 6 o 52`31`` dengan ketinggian dari permukaan laut 824 dpl. Situ no 6 memiliki satu inlet berupa selokan yang berasal dari daerah persawahan dan memiliki satu buah outlet. Morfometri kedua situ secara lengkap disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Morfometri stasiun penelitian Parameter Stasiun Situ no 5 Situ no 6 Kedalaman maksimum ( m) Kedalaman rata-rata (m) 16,7 6,4 Luas ( m 2 ) Volume (m 3 ) Debit (m 3 /detik) 0,08 0,15 Retention time ( hari) 111,4 17 Kawasan ini memiliki curah hujan tahunan mm, curah hujan tertinggi terjadi sekitar bulan November-Desember, sedangkan musim kemarau terjadi sekitar bulan Juli-September, suhu rata-rata C, kelembaban Udara antara 70%-90%, dan kecepatan angin 5 10 km/jam (Bapeda Kabupaten Cianjur 2007). Situ-situ yang terbentuk di Kecamatan Gekbrong-Kabupaten Cianjur, umumnya ditambang oleh perusahaan-perusahaan swasta diantaranya adalah PT. Minerina Bhakti dan PT. Riyadi. Cara penambangan dilakukan dengan sistem

36 penerapan Modified Hydraulic Mining dengan mengunakan Exavator (sistem kering) kemudian disemprot air dengan monitor hingga terbentuk puip pasir selanjutnya dipompa ke unit pencucian (panglong), jenis tambang berupa deposit pasir hitam. Situ no 5 telah digenangi air sejak tahun 2000 dan baru sempurna terbentuk menjadi sebuah situ yaitu sekitar tahun 2005, sedangkan Situ no 6 telah tergenangi air sejak tahun 2001 dan baru sempurna sekitar tahun Daerah sekitar Situ no 5 dan Situ no 6 dimanfaatkan oleh penduduk untuk berbagai kegiatan. Bagian tepi Situ dimanfaatkan sebagai areal perkebunan dan persawahan. Aktivitas perikanan yang dilakukan oleh penduduk pada Situ no 5 dan Situ no 6 hanya sebatas penangkapan ikan dengan menggunakan jala dan pancing. Untuk pemanfaatan Situ no 5 sebelumnya pernah dilakukan usaha jaring apung oleh masyarakat sekitar namun tidak berjalan baik. Ikan-ikan yang terdapat di Situ antara lain ikan mujair (Oreochromis mossambicus) ikan lele (Clarias bathracus) dan ikan nila (Oreochromis niloticus). U Keterangan : Tempat tinggal Pertanian Gambar 2 Denah situasi lokasi penelitian Gambar 2 Denah situasi lokasi penelitian

37 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kualitas Air Suhu Suhu perairan adalah salah satu parameter yang mengatur proses hidrodinamika suatu perairan. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, ketinggian dari permukaan laut, penutupan awan, aliran dan kedalaman air. Distribusi vertikal rata-rata suhu air pada Situ no 5 memiliki nilai antara 21,25-25 o C sedangan rataan situ no 6 bernilai antara 20,5-21,75 o C (Gambar 3). Pola distribusi menunjukkan terjadi penurunan suhu sesuai dengan bertambahnya kedalaman yang disebabkan oleh semakin berkurangnya cahaya matahari yang masuk ke dalam badan air sehingga pemanasan berkurang. Nilai suhu tertinggi pada Situ no 5 terukur pada periode pengamatan ke empat sedangkan pada Situ no 6 terukur pada periode pertama (Lampiran 2). Tingginya nilai suhu yang terukur disebabkan pada periode pertama dan ke empat tersebut cuaca cukup cerah dan tidak terjadi hujan lebat pada hari sebelumnya. Hasil uji statistik menunjukkan nilai rataan suhu pada situ no 5 pada permukaan, kedalaman Secchi dan kedalaman di bawah kedalaman kompensasi berbeda nyata dengan situ no 6 (P< 0,05), sedangkan pada kedalaman kompensasi tidak berbeda nyata (lampiran 3) dengan nilai P>0,05. Meskipun kedalaman kompensasi pada situ no 6 lebih dalam dari pada situ no 5 tetapi suhu keduanya tidak berbeda, hal ini dapat disebabkan karena kurangnya penetrasi cahaya akibat tertutupi bayangan fitoplankton yang lebih banyak pada situ no 5. Sehubungan hal tersebut maka pada kedalaman itu Situ no 5 dan Situ no 6 mendapatkan penetrasi cahaya yang hampir sama untuk memanaskan badan air. Situ no 5 yang terletak pada daerah yang lebih tinggi dan memiliki aliran air yang lebih lambat sehingga matahari sempat lebih lama memanaskan air tersebut memiliki suhu yang lebih tinggi dari situ no 6. Perbedaan stratifikasi suhu antara kedua situ akan dapat menjelaskan variasi hidrokimia dan variasi biologi meskipun keduanya memiliki kondisi meteorologi yang sama (Tavernini et al. 2009). Penurunan suhu antar lapisan kedalaman pada kedua situ relatif kecil, perbedaan suhu air antara 0-10 m kurang dari 3 o C sehingga tidak ada gejala

38 ph ph stratifikasi suhu. Secara keseluruhan suhu pada kedua situ masih menunjang perkembangan fitoplankton yang membutuhkan suhu antara o C. Gambar 3. Pola distribusi Suhu di situ bekas galian pasir ph ph merupakan hasil pengukuran ion hidrogen dalam perairan yang menunjukkan kesetimbangan asam dan basa. Nilai ph di ke dua stasiun penelitian selama pengamatan berkisar antara 6-9 dimana nilai tersebut masih menunjang untuk kehidupan organisme perairan. Sepanjang waktu pengamatan nilai ph tidak menunjukkan variasi yang signifikan (Gambar 4). Hasil penelitian sebelumnya pada Situ no 5 menunjukkan nilai ph berkisar antara 6-9 (Octorina et al. 2009). Hal tersebut serupa dengan pengamatan Celik (2002) yang mendapatkan nilai ph pada situ bekas galian pasir di Texas dalam kurun waktu satu tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan. ph Situ No Periode Pengamatan Permukaan Kedalaman Secchi Dibawah secchi 7 m 16 m ph Situ No Periode Pengamatan Permukaan Kedalaman Secchi Dibawah secchi 6 m 12 m Gambar 4. Pola distribusi ph di situ bekas galian pasir

39 Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Situ no 5 cenderung memiliki ph yang lebih tinggi dari Situ no 6 sehingga dapat dikatakan Situ no 5 lebih basa dari Situ no 6. ph berkaitan erat dengan alkalinitas dan karbondioksida, semakin tinggi nilai ph semakin besar alkalinitas dan semakin rendah karbondioksida (Boldan & Padovan 2002 dalam Octorina et al. 2009). Tingginya ph pada Situ no 5 sesuai dengan tingginya nilai alkalinitas yaitu lebih dari 40 mg/liter dan minimnya konsentrasi CO2, bahkan hingga tidak terdeteksi pada lapisan epilimnion (Octorina et al. 2009). Salah satu penyebab tingginya ph di Situ no 5 adalah perairan tersebut banyak mendapat masukan ion-ion OH - yang bersifat basa yang berasal dari sisa-sisa sabun pencucian kendaraan proyek penggalian pasir Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan faktor yang penting dalam metabolisme suatu mahluk hidup akuatik, sehingga bila ketersediannya dalam air tidak mencukupi akan dapat menghambat pertumbuhannya. Kdanungan oksigen terlarut di lapisan epilimnion dan hypolimnion selama pengamatan berkisar antara 1,93-10,95 mg/liter pada Situ no 5 dan 1,56-9,56 mg/liter pada Situ no 6 (lampiran 2). Distribusi vertikal oksigen terlarut menunjukkan semakin dalam perairan maka kelarutan oksigen akan semakin berkurang (Gambar 5). Hal tersebut berkaitan dengan semakin minimnya sumber oksigen yaitu hasil fotosintesis fitoplankton dan difusi dari udara serta semakin besarnya kebutuhan oksigen untuk penguraian bahan organik. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa konsentrasi oksigen antara situ no 5 dan no 6 pada setiap kedalaman tidak berbeda nyata (Lampiran 3). Tingginya suhu di Situ no 5 menyebabkan meningkatnya konsumsi oksigen oleh organisme air karena peningkatan metabolisme dan respirasi. Brown (1987) dalam Effendi (2003) menyatakan bahwa peningkatan suhu sebesar 1 o C akan meningkatkan konsumsi oksigen sebesar 10%. Dengan demikian walaupun kelimpahan fitoplanton yang tercatat lebih tinggi dari Situ no 6 tetapi konsumsi oksigen yang lebih besar di Situ no 5 menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut di kedua situ tidak berbeda. Pada Situ no 5 terjadi penurunan yang drastis dari konsentrasi oksigen terlarut pada kedalaman di bawah zona euphotik. Kondisi ini mencerminkan suatu perairan berada dalam kondisi eutrofik. Seperti halnya dikemukankan oleh Sager

40 (2009) yang menyatakan pada bagian permukaan perairan terjadi kegiatan fotosintesis secara intensif yang menyebabkan kadar oksigen terlarut sangat tinggi, kemudian menurun drastis karena digunakan untuk mendekomposisi alga yang telah mati dan bahan organik lainnya. Oksigen terlarut sangat dipengaruhi oleh kdanungan bahan organik suatu perairan sehingga jika kandungan bahan organik cukup tinggi maka akan terjadi proses degradasi secara aerobik oleh bakteri sehingga menyebabkan defisit oksigen terlarut (Wetzel 2001). Gambar 5. Pola distribusi vertikal Oksigen terlarut di situ bekas galian pasir Pada Situ no 5 terjadi rata-rata oksigen terlarut saturasi menunjukkan fenomena oksigen terlarut super saturasi pada bagian permukaan dan kedalaman Secchi (Lampiran 3). Kondisi ini diperkirakan berhubungan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang dicirikan dengan tingginya nilai khlorofil-a pada kedalaman tersebut (Lampiran 8). Hal serupa dilaporkan oleh Brooks et al. (2003) yang menemukan fenomena supersaturasi oksigen terlarut pada Danau Patzcuaro berhubungan dengan nilai khlorofil-a yang tinggi yaitu 44 mg/m 3. Selain itu situ bekas galian pasir umumnya memiliki sumber oksigen selain dari hasil fotosintesis adalah melalui difusi dari udara terutama untuk bagian permukaan (Pincock & Holt 2006). Difusi oksigen atmosfer ke air terjadi pada kondisi air diam maupun bergolak karena tertiup angin, pada saat air bergolak terjadi peningkatan peluang bagi molekul air untuk bersentuhan dengan atmosfer (Wetzel 2001). Dengan demikian pada lapisan permukaan di situ bekas galian fenomena super saturasi

41 oksigen terlarut sangat memungkinkan jika dihubungkan dengan sumber oksigen yang banyak. 5.2 Unsur hara Amonia Total Amonia yang terukur di perairan adalah ammonia total yang terdiri dari amonia bebas (NH 3 -N) dan amonium (NH 4 -N). Distribusi vertikal amonia total Situ no 5 berkisar antara 0,46-1,12 mg/liter dengan nilai tertinggi pada kedalaman 7 m dan terendah pada permukaan. Pada situ no 6 konsentrasi ammonia total berkisar antara 0,27-0,51 mg/liter dengan konsentrasi tertinggi terukur pada kedalaman 12 m dan konsentrasi terendah terukur pada kedalaman kompensasi. Pada situ no 5 pola distribusi vertikal amonia menunjukkan peningkatan seiring dengan bertambahnya kedalaman, sedangkan pada situ no 6 terdapat pola yang sedikit berbeda namun konsentrasi tertinggi tetap pada bagian terdalam (Gambar 6). Distribusi vertikal ammonia secara umum akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman (Pratiwi et al. 2006). Hal ini berhubungan dengan kondisi perairan yang semakin dalam semakin turun konsentrasi oksigen terlarut sehingga menghambat proses nitrifikasi yang mengakibatkan nitrogen terbanyak dalam bentuk amonia. Gambar 6. Distribusi vertikal konsentrasi amonia di perairan situ bekas galian pasir

42 Rata-rata konsentrasi amonia di kedua situ menunjukan nilai yang cukup tinggi. Tingginya nilai amonia pada kedua situ diduga berasal dari pemecahan nitrogen anorganik yang terdapat dalam air dan sedimen yang terjadi di dalam perairan (Walter et al. 2007). Selain itu kegiatan pertanian di tepian situ menyebabkan air tanah yang masuk ke perairan telah kaya akan nitrogen anorganik sebagai sumber amonia sebagai akibat dari penggunaan pupuk (Kattner et al. 2000) Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kandungan amonia di Situ no 5 dan Situ no 6 tidak berbeda nyata kecuali pada kedalaman kompensasi dan kedalaman di bawah kompensasi (7 meter untuk Situ no 5 dan 6 meter untuk Situ no 6). Pada kedalaman tersebut kandungan amonia Situ no 5 lebih tinggi jika dibandingkan dengan Situ no 6. Tingginya konsentrasi amonia tersebut dapat disebabkan lebih banyaknya bahan pembentuk amonia yang tersedia pada situ no 5 namun tidak diiringi ketersediaan oksigen yang cukup sehingga yang terjadi adalah bentuk amonia yang banyak Nitrit (NO 2 -N) Distribusi vertikal konsentrasi nitrit pada Situ no 5 berada pada kisaran antara tidak terdeteksi-0,247 mg/liter (Gambar 7). Pada situ no 6 rata-rata kisaran konsentrasi nitrit berada pada nilai tidak terdeteksi-0,11 mg/liter (Lampiran 2). Pada perairan alami nitrit umumnya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit karena segera teroksidasi menjadi nitrat atau tereduksi menjadi amonia. Rata-rata konsentrasi nitrit pada kedua situ (Tabel 4) menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diduga salah satunya adalah beban masukan nitrogen dari luar perairan yang cukup besar.

43 Gambar 7. Pola distribusi vertikal nitrit di situ bekas galian pasir Hasil uji statistik menunjukkan bahwa konsentrasi nitrit di kedua situ tidak berbeda nyata dengan nilai P>0,05 (Lampiran 3). Meskipun Situ no 6 terletak di daerah persawahan sehingga dimungkinkan menerima beban masukan nitrogen yang lebih tinggi, namun morfologi Situ no 6 yang menyebabkan situ tersebut memiliki retensi time 17 hari atau lebih cepat dari Situ no 5 (111,4 hari) membuat unsur hara lebih cepat terbilas sehingga tidak berpengaruh terhadap konsentrasi nitrogen Nitrat (NO 3 -N) Nitrat nitrogen memegang peranan penting di perairan alami dengan peranannya sebagai unsur hara utama yang dibutuhkan makrofita air dan fitoplankton (Wetzel 2001). Hasil pengamatan selama penelitian mendapatkan konsentrasi nitrat pada situ no 5 berkisar antara 0,12-1,1 mg/liter, sedangkan pada situ no 6 konsentrasi nitrat berkisar antara 0,075-1,65 mg/liter (Lampiran 2). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi nitrat pada kedua situ tidak berbeda nyata (P>0,05). Berdasarkan rata-rata distribusi vertikal terlihat penurunan konsentrasi nitrat dengan bertambahnya kedalaman (Gambar 8). Hal ini sesuai dengan pernyataan Goldman dan Horne (1983) tentang penyebaran nitrat yang berbeda disetiap kedalaman dan akan berkurang seiring dengan pertambahan kedalaman.

44 Nitrat merupakan hasil proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan dengan demikian pada kolom perairan yang kaya akan oksigen terlarut akan cenderung memiliki konsentrasi nitrat yang lebih tinggi. Gambar 8. Distribusi vertikal konsentrasi N-NO 3 di perairan situ bekas galian pasir Konsentrasi nitrat pada situ no 5 dan itu no 6 selama empat periode pengamatan tergolong cukup tinggi dengan rata-rata konsentrasi melebihi 0,2 mg/liter (Tabel 4). Kegiatan pertanian dengan pemupukan unsur nitrogen di daerah sekitar situ galian pasir dapat meningkatkan konsentrasi nitrat air tanah (Kattner et al. 2000) yang menjadi sumber air situ galian pasir. Konsentrasi yang melebihi 0,2 mg/liter di kedua situ mampu menstimulir pertumbuhan fitoplankton dengan sangat cepat. Tabel 4. Nilai rata-rata kualitas air di situ bekas galian pasir (mg/liter) Stasiun Kedalaman (m) Suhu DO NO 2 NO 3 Amonia TN PO 4 TP Situ no 5 Situ no 6 Permukaan 25 9,51 0,09 0,59 0,46 0,78 0,07 0,14 Secchi 25 8,49 0,08 0,60 0,50 0,81 0,12 0,16 Kompensasi 24 7,73 0,10 0,48 0,82 1,15 0,05 0, ,7 3,51 0,09 0,53 1,12 1,48 0,07 0, ,3 2,44 0,09 0,44 0,91 1,05 0,05 0,12 Permukaan 21,75 7,20 0,04 0,74 0,32 0,90 0,09 0,16 Secchi 21,75 7,43 0,06 0,54 0,33 0,75 0,13 0,17 Kompensasi 21,75 6,03 0,04 0,51 0,27 0,95 0,15 0, ,75 4,32 0,07 0,40 0,29 1,17 0,10 0, ,50 2,77 0,04 0,34 0,51 0,98 0,18 0,21

45 Berdasarkan konsentrasi nitrat pada kedua situ pun menunjukkan kondisi perairan yang eutrofik. Kadar nitrat di kedua situ tercatat melebihi 0,2 mg/liter sehingga mendukung percepatan proses eutrofikasi dengan menstimulir pertumbuhan fitoplankton secara cepat (Goldman & Horne 1983). Pada situ no 5 rata-rata konsentrasi nitrat sebesar 0,352 mg/liter dan konsentrasi nitrit sebesar 0,004 mg/liter pada tahun 2007 (Bapeda Kabupaten Cianjur 2007) menjadi 0,44 0,60 mg/liter NO 3 dan 0,08-0,10 mg/liter NO 2 pada saat pengamatan menunjukkan peningkatan masukan nitrogen sebagai salah satu hal yang memicu percepatan proses eutrofikasi (Kagalau et al. 2008) Fosfor Distribusi kandungan fosfor di situ bekas galian pasir digambarkan oleh besarnya konsentrasi ortofosfat dan total fosfor. Dari hasil penelitian diperoleh distribusi vertikal konsentrasi ortofosfat di Situ no 5 berkisar antara 0,027-0,198 mg/liter, sedangkan konsentrasi total fosfor bernilai antara 0,037-0,27 mg/liter. Pada situ no 6, rata-rata konsentrasi ortofosfat bernilai antara tidak terdeteksi-0,340 mg/liter dan rata-rata konsentrasi total fosfor bernilai antara 0,075-0,346 mg/liter (Lampiran 2). Uji statistik menunjukkan bahwa konsentrasi ortofosfat dan total fosor di kedua situ tidak berbeda nyata (Lampiran 3). Konsentrasi ortofosfat pada Situ no 6 di lapisan permukaan memiliki nilai yang terendah sedangkan yang tertinggi berada pada kedalaman 10 m (Gambar 9). Rendahnya konsentrasi ortofosfat pada permukaan disebabkan oleh penggunaan unsur hara tersebut oleh fitoplankton. Adapun pada kedalaman 10 m, konsentrasi ortofosfat tinggi disebabkan oleh kurangnya penggunaan oleh fitoplankton mengendapnya fosfat bersama sedimen ke lapisan yang lebih dalam (Tuzun & Ince 2006). Air tanah yang merupakan sumber air situ bekas galian pasir juga menyumbangkan sediaan fosfat sehingga dasar perairan memiliki konsentrasi fosfat yang lebih kaya dari permukaan (Mirdana & Matvienko 2003).

46 Gambar 9. Distribusi vertikal konsentrasi Fosfor di perairan Situ bekas galian pasir Kondisi yang berbeda ditemukan pada Situ no 5, konsentrasi ortofosfat tertinggi ditemukan pada kedalaman Secchi dan konsentrasi terendah pada kedalaman 16 m. Pada lapisan permukaan fitoplankton yang melimpah memanfaatkan ortofosfat sehingga konsentrasinya kecil. Konsentrasi ortofosfat yang lebih tinggi pada lapisan kedalaman Secchi kemungkinan disebabkan oleh kurangnya penggunaan oleh fitoplankton dan besarnya masukan ortofosfat dari kegiatan antropogenik bukan dari pelepasan sedimen, dimana situ no 5 merupakan lokasi pencucian sehingga banyak menerima masukan detergen sebagai sumber fosfor. Konsentrasi fosfor merupakan salah satu indikator kondisi eutrofikasi (Walter et al. 2007). Berdasarkan nilai konsentrasi ortofosfat yang terukur selama pengamatan kedua stasiun penelitian memiliki kriteria kesuburan eutrofik karena rata-rata konsentrasi yang terukur melebihi nilai 0,051 mg/liter (Fachrul 1993 dalam Octorina et al. 2009) Rasio N:P Rata-rata nilai fosfat di kedua stasiun pengamatan menunjukkan angka lebih besar dari 0,005 mg/liter yang mengindikasikan bahwa fosfor tidak menjadi faktor pembatas pertumbuhan fitoplankton (Warsa et al. 2006). Sedangkan

47 konsentrasi nitrogen juga menunjukkan angka lebih dari 0,02 mg/liter sehingga nitrogen pun tidak menjadi faktor pembatas dalam pertumbuhan fitoplankton. Jika kedua unsur tersebut memiliki konsentrasi yang melebihi batas, maka untuk menentukan unsur tersebut pembatas digunakan rasio N:P. Dalam perhitungan rasio N:P dapat dibandingkan dengan nilai atom 16:1 atau nilai massa 7:1 (Bergstrom et al. 2005). Jika nilai rasio > 16:1 atau > 7:1 maka unsur P yang berpotensi sebagai faktor pembatas. Bila nilai rasio <16:1 atau < 7:1 maka unsur N yang berpotensi sebagai faktor pembatas. Pada penelitian ini digunakan cara yang lebih praktis yaitu dengan rasio massa N:P (dalam unit mg/liter). Bila ditinjau dari hubungan rasio N:P, maka didapat bahwa pada Situ no 5 rasio N:P memiliki nilai < 7 pada permukaan dan kedalaman Secchi sedangkan sisanya memiliki nilai N:P > 7 (Tabel 5). Berarti pada perairan tersebut unsur N berpotensi sebagai pembatas pada kolom permukaan dan kedalaman Secchi dan P berpotensi sebagai unsur hara pembatas pada kedalaman kompensasi hingga 16 meter. Berdasarkan pada Situ no 6 rasio N:P memiliki nilai < 7 yang berarti unsur N yang lebih berpotensi sebagai faktor pembatas (Tabel 5). Tabel 5. Nilai N:P di situ bekas galian pasir Stasiun Kedalaman Periode Pengamatan Rata-rata Situ No 5 Permukaan 11,1 2,23 9,93 4,47 5,68 Secchi 5,56 2,51 6,69 4,8 5,11 Kompensasi 22,6 23,4 18,8 7,66 13,31 7 (m) 32,1 13,9 14,8 10,2 14,40 16 (m) 15,8 6,25 5,64 12,3 8,90 Situ No 6 Permukaan 2,43 2,94 7,25 8,19 5,59 Secchi 2,03 4,67 7,35 5,57 4,39 Kompensasi 2,8 7,42 6,79 5,27 4,72 6 (m) 4, ,74 5,5 6,45 10 (m) 3,15 5,28 2,76 8,95 4,58 Nilai N:P pada kedua situ menunjukkan adanya penambahan unsur hara nitrogen dan fosfor yang berlebihan, sehingga rasio massa N:P tidak sama dengan 7. Hal tersebut ditunjukan oleh kdanungan fosfat yang sangat tinggi pada Situ no 6 dan nitrogen yang tinggi pada Situ no 5. Namun pada kedua situ konsentrasi

48 nitrogen dan fosfat tergolong cukup tinggi yang mengindikasikan perairan eutrofik sehingga memungkinkan rasio N:P di perairan ini tidak berpengaruh terhadap kelimpahan fitoplankton (Juhar 2008). Hal senada diungkapkan Basmi (1988) dalam Octorina et al. (2009) yang menyatakan bahwa pada perairan eutrofik meskipun konsentrasi unsur hara di perairan menurun tidak akan memberikan efek pertumbuhan yang minus pada fitoplankton karena ketersediaan unsur hara melebihi konsumsi optimal fitoplankton. 5.3 Struktur Komunitas Fitoplankton Fitoplankton diperairan merupakan produsen primer yang memegang peranan penting dalam kesinambungan rantai makanan. Nilai beberapa parameter kualitas air terutama konsentrasi unsur hara mempengaruhi variasi dan kelimpahan fitoplankton dalam perairan. Selain ketersediaan unsur hara kelimpahan fitoplankton akan dipengaruhi oleh morfologi perairan, dengan demikian meskipun konsentrasi unsur hara yang terukur pada saat penelitian sama namun perbedaan morfologi perairan akan menyebabkan perbedaan kelimpahan fitoplakton. Gambaran mengenai struktur komunitas fitoplankton di situ bekas galian pasir dilakukan dengan pencacahan dan penghitungan hingga tingkat genera. Pada Situ no 5 tercatat ditemukan empat kelas yaitu Chlorophyceae (12 genera), Bacillariophyceae (3 genera), Cyanophyceae (5 genera) dan Dinophyceae (3 genera) (Lampiran 4). Pada Situ no 6 juga ditemukan empat kelas yaitu Chlorophyceae (16 genera), Bacillariophyceae (12 genera), Cyanophyceae (15 genera) dan Dinophyceae (4 genera) (Lampiran 5). Distribusi vertikal rata-rata kelimpahan fitoplankton menunjukkan penurunan sesuai dengan kedalaman yang menggambarkan kelimpahan fitoplankton terkait dengan cahaya matahari (Tabel 6). Pada Situ no 5 di kedalaman permukaan tercatat rata-rata kelimpahan fitoplankton yang tertinggi dari semua kedalaman yaitu sel/liter dan didominansi oleh kelas Cyanophyceae sebesar 74,6%. Kelimpahan Bacillariphyceae 14,62% sedangkan Chlorophyceae 10,39% dan Dinophyceae 0,39%. Pada kedalaman Secchi rata-rata kelimpahan fitoplankton adalah sel/liter yang juga didominansi oleh Cyanophyceae sebesar 83,96% lalu Bacillariophyceae 11,50%, Chlorophyceae 3,67% dan Dinophyceae 0,86%.

49 Tabel 6 Rata-rata kelimpahan fitoplankton di situ bekas galian pasir. Stasiun Situ No 5 Situ No 6 Persentase (%) Kelimpahan Total Kedalaman Chloro Baciloro Cyano Dino Kelimpahan phyceae phyceae phyceae phyceae (sel/liter) 0 m 10,38 14,62 74,6 0, Secchi 3,67 11,5 83,9 0, Kompensasi 27,5 41,18 30,17 1, m 21,98 13,43 62,52 2, m 18,25 14,11 67, m 93,56 1,05 4,89 0, Secchi 81,5 4,63 13,6 0, Kompensasi 56,27 9,38 34,24 0, m 42,15 20,87 36,52 0, m 88,92 2,91 6,74 1, Pada kedalaman kompensasi rata-rata kelimpahan fitoplankton adalah sel/liter dan terjadi perubahan struktur komunitas dimana kelimpahan yang terbanyak berasal dari kelas Bacillariophyceae sebesar 41,18% kemudian Cyanophyceae 30,17% sedangkan Chlorophyceae 27,7% dan Dinophyceae 1,07%. Kedalaman 7 meter dan 16 meter rata-rata kelimpahan fitoplankton adalah sel/liter dan sel/liter. Pada kedalaman tersebut kembali Cyanophyceae tercatat sebagai kelas dengan kelimpahan terbanyak yaitu 62,52% dan 67,64%. Pada seluruh kedalaman di Situ no 5 rata-rata kelimpahan yang terbanyak tercatat berasal dari kelas Cyanophyceae, kecuali pada kedalaman kompensasi ditemukan kelimpahan terbanyak dari kelas Bacillariophyceae. Pada lapisan permukaan dan kedalaman Secchi pendominansian oleh kelas Cyanophyceae berhubungan dengan laju penenggelaman dan kemampuan mengapung. Laju penenggelaman Cyanophyceae adalah 0,15 m/hari sedangkan Chlorophyceae dan Bacillariophyceae 0,4 m/hari. Kelas Cyanophyceae memiliki kemampuan mengapung paling tinggi sehingga banyak ditemukan di lapisan permukaan. Reynolds (1984) dalam Baksir (1999) menjelaskan kemampuan mengapung fitoplankton dibagi menjadi tiga kelompok yaitu positif, netral, dan negatif. Cyanophyceae memiliki kemampuan mengapung positif, Chlorophyceae memiliki kemampuan mengapung netral dan Bacillariophyceae memiliki kemampuan renang negatif. Selain itu bertahannya kelas Cyanophyceae dalam cahaya yang

50 terik diduga akibat lendir yang dimiliki kelas ini mampu melindungi mereka dari cahaya yang terik (Sperling et al. 2008) Perubahan struktur komunitas di kedalaman kompensasi pada Situ no 5 rata-rata kelimpahan terbanyak berasal dari kelas Bacillariophyceae disebabkan karena kelas ini merupakan fitoplankton tipe teduh hingga banyak berkumpul pada lapisan ini. Namun kelas Cyanophyceae juga mampu menyaingi fitoplankton lain dalam pemanfaatan unsur hara dan cahaya bahkan hingga tahap ketersediaan unsur hara yang sangat kritis, dengan demikian kelimpahannya tercatat paling banyak di hampir seluruh kedalaman. Ditinjau dari struktur komunitas fitoplankton pada Situ no 5 secara umum memiliki nilai keanekaragaman yang tergolong rendah dan juga terdapat pedominansian oleh salah satu kelas fitoplankton (Tabel 7). Pada seluruh kedalaman hampir didominansi oleh kelas Cyanophyceae, hal ini sesuai dengan kondisi perairan yang memiliki konsentrasi fosfat diatas 0,1 mg/liter, suhu tinggi, cahaya rendah dan cenderung basa (Pratiwi 2003). Melimpahnya Polycistis dari kelas Cyanophyceae dan Melosira dari kelas Bacillariophyceae menunjukkan bahwa Situ no 5 telah berstatus eutrofik. Status ini didukung dengan kondisi keragaman jenis yang rendah (Mason 1981 dalam Pratiwi 2003). Kondisi yang berbeda terjadi pada Situ no 6 baik dari sisi kelimpahan (Tabel 6) maupun struktur komunitas. Pada lapisan permukaan tercatat kelimpahan fitoplankton yang paling banyak dari seluruh kedalaman yaitu sel/liter. Chlorophyceae merupakan penyusun utama komunitas dengan presentasi kelimpahan sebesar 93,56% lalu Cyanophyceae 4,89%, Bacillariophyceae 1,05% dan Dinophyceae 0,49%. Pada kedalaman Secchi kelimpahan fitoplankton sebesar sel/liter masih didominansi oleh kelas Chlorophyceae dengan kelimpahan sebesar 81,50 %. Terdapat kenaikan presentasi kehadiran Cyanophyceae menjadi 13,60 % dan Bacillariophyceae 4,63 % lalu Dinophyceae sebesar 0,27%.

51 Tabel 7 Struktur komunitas fitoplankton di situ bekas galian pasir. Stasiun Penga matan Situ no 5 Situ no 6 H E C Kedalaman Pengamatan Pengamatan Pengamatan Permukaan 0,48 1,04 0,82 1,26 0,18 0,43 0,34 0,47 0,81 0,46 0,61 0,40 Secchi 0,12 0,75 1,31 0,17 0,06 0,29 0,57 0,08 0,96 0,69 0,36 0,95 Kompensasi 0,06 0,71 1,50 0,89 0,04 0,31 0,68 0,41 0,98 0,65 0,29 0,50 7 m 0,05 0,55 1,71 1,10 0,03 0,23 0,69 0,48 0,99 0,77 0,27 0,42 16 m 0,07 1,40 0,06 1,51 0,03 0,72 0,05 0,84 0,98 0,36 0,98 0,26 Permukaan 1,41 1,20 1,66 0,85 0,49 0,43 0,65 0,30 0,33 0,40 0,24 0,60 Secchi 0,44 1,39 1,96 0,45 0,18 0,47 0,69 0,19 0,83 0,32 0,18 0,81 Kompensasi 1,99 1,23 0,34 0,86 0,72 0,45 0,19 0,41 0,18 0,37 0,87 0,58 6 m 1,82 1,49 0,87 1,38 0,76 0,56 0,62 0,66 0,20 0,31 0,50 0,29 10 m 1,33 0,27 1,28 0,05 0,53 0,20 0,71 0,07 0,33 0,40 0,24 0,60 Pada kedalaman kompensasi kembali terjadi perubahan penyusun struktur komunitas dari kelimpahan fitoplankton sebesar sel/liter tetap Chlorophyceae sebagai kelas terbanyak dengan kelimpahan 56,27 % dan tetapi kelas Cyanophyceae pun semakin meningkat dengan kelimpahan sebesar 34,24%. Bacillariophyceae pun meningkat menjadi 9,38% dan Dinophyceae berkurang menjadi 0,12%. Pada kedalaman 6 meter kelimpahan fitoplankton yang tercatat adalah sel/liter kelimpahan Chlorophyceae semakin berkurang menjadi 42,15% sedangkan Cyanophyceae dan Bacillariophyceae bertambah masingmasing menjadi 36,52% dan 20,87% lalu Dinophyceae sebesar 0,46%. Kedalaman 10 meter yang memiliki kelimpahan fitoplankton terendah yaitu 7678 sel/liter kembali kelas Chlorophyceae tercatat sebagai kelas terbanyak dengan presentase 88,92 %, Cyanophyceae 6,74%, Bacillariophyceae 2,91% dan Dinophyceae 1,44%. Struktur komunitas pada situ no 6 menunjukkan kecenderungan nilai indeks keanekaragaman yang besar pada kolom perairan yang lebih dalam mengindikasikan semakin banyak genera yang ditemukan (Tabel 7). Keadaan ini mengindikasikan banyak genera fitoplankton yang bertipe teduh sehingga menyenangi daerah yang intensitas cahaya tidak begitu kuat. Namun lain halnya pada kedalaman 10 meter, penunurunan jumlah genera yang ditemukan pada kolom ini menunjukkan hanya tersisa genera-genera tertentu yang tahan pada kondisi kurang cahaya.

52 Perbedaan lainnya antara Situ no 6 dengan Situ no 5 adalah secara umum hampir tidak ada pedominansian pada Situ no 6. Meskipun nilai indeks keseragaman tidak menunjukkan nilai yang tinggi dominansi hampir tidak muncul karena ada beberapa genera yang memiliki jumlah yang tidak berbeda jauh. Meskipun hasil uji statistik menyatakan bahwa kondisi nutrien pada kedua situ umumnya tidak berbeda nyata, namun struktur komunitas fitoplankton menunjukkan perbedaan komposisi, pada Situ no 5 didominasi oleh Cyanophyceae sedangkan pada Situ no 6 banyak ditemukan Chlorophyceae. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu suhu perairan dan ketersediaan cahaya matahari. Hal ini mengacu pada hasil penelitian Abrantes et al. (2006) yang menemukan perubahan komposisi fitoplankton di Danau Vela Portugal yang semula di dominasi oleh Chlorophyceae berubah menjadi Cyanophyceae ketika ada peningkatan suhu. Hasil pengukuran suhu pada saat penelitian menunjukkan bahwa Situ no 5 memiliki suhu yang lebih tinggi dari Situ no 6 sehingga perbedaan komposisi fitoplankton dapat dijelaskan berdasarkan perbedaan suhu. Faktor lain yang mungkin menjadi penyebab perbedaan komposisi adalah cahaya matahari. Pada Situ no 5 memiliki kecerahan yang lebih rendah dari pada situ no 6 sehingga Cyanophyceae yang mampu berkembang dalam kondisi cahaya yang sedikit memiliki peluang tumbuh lebih besar dibdaningkan kelas lain di perairan Situ no 5. Hal ini mengacu pada hasil penelitian Gurung et al. (2006) yang mengemukakan bahwa perbedaan padatan tersuspensi yang masuk ke perairan akan mempengaruhi tingkat kecerahan dan pada tingkat kecerahan rendah ditemukan lebih banyak Cyanophyceae yang berkembang di bandingkan Chlorophyceae. Kebanyakan genera fitoplankton yang ditemukan pada kedua situ merupakan jenis yang tidak mempunyai daya gerak dan berasal dari kelas Cyanophyceae dan Chlorophyceae. Wasielka dan Goldyn (2005) menemukan bahwa komunitas fitoplankton pada perairan tergenang dapat didominansi oleh Cyanophyceae dan Chlorophyceae. Pada kedua situ jumlah genera dan kelimpahan Dinophyceae hanya sedikit ditemukan karena kelas ini memiliki pertumbuhan yang lebih lambat daripada Cyanophyceae dan Chlorophyceae.

53 Kondisi komunitas fitoplankton pada Situ no 5 berdasarkan Rank Frequency Diagram Frontier (Gambar 10) berada dalam stadia 1 yang menggambarkan keadaan produktivitas biologi rendah, kondisi tidak stabil (juvenile) yang ditunjukan dengan keanekaragaman rendah (H < 2,30) dan keseragaman yang juga rendah (Frontier 1985). Selanjutnya disebutkan ciri-ciri lain dari stadia ekosistem juvenile adalah kompetisi antar jenis tinggi serta rantai makanan dan organisme dalam keadaan tertekan. Kelabilan ekosistem pada Situ no 5 diperjelas dengan hadirnya genera yang mendominansi di hampir seluruh kedalaman (Hagnes 1972 dalam Baksir 1999) yaitu Policystis dari kelas Cyanophyceae. Gambar 10. Rank Frequency Diagram Frontier Situ no 5

54 Meskipun struktur komunitas Situ no 6 berbeda dengan Situ no 5 namun berdasarkan Rank Frequency Diagram Frontier (Gambar 11) kondisi ekosistemnya hampir serupa yaitu berada dalam stadia satu (juvenile). Ketidakstabilan ekosistem ditunjukan dengan nilai keanekaragaman yang tergolong rendah. Gambar 11. Rank Frequency Diagram Frontier Situ no 6

55 5.4 Khlorofil-a Khlorofil-a merupakan katalisator fotosintesis yang terdapat pada semua jaringan tumbuhan dengan fungsi sebagai penyerap cahaya matahari. Sebaran tinggi rendahnya konsentrasi khlorofil-a terkait dengan kondisi fisik-kimia perairan terutama intensitas cahaya dan unsur hara. Konsentrasi khlorofil a pada Situ no 5 berkisar antara 2,38-81,396 mg/m 3 dan Situ no 6 berkisar antara 0,859-15,708 mg/m 3 (Lampiran 8). Distribusi vertikal nilai rata-rata khlorofil-a di kedua stasiun pengamatan menunjukkan penurunan sesuai dengan bertambahnya kedalaman perairan (Gambar 12). Hal tersebut menunjukkan densitas fitoplankton akan berkurang dengan berkurangnya intensitas cahaya seiring bertambahnya kedalaman. Penurunan produksi tersebut terjadi sebagai akibat penaungan sendiri sehingga peningkatan produktivitas akan terhambat meskipun jumlah unsur hara yang tersedia cukup (Wetzel 2001). Gambar 12. Pola distribusi vertikal khlorofil-a di perairan situ bekas galian pasir Jika dibandingkan hasil uji statistik menunjukkan kosentrasi khlorofil-a yang terukur pada Situ No 5 lebih tinggi dari Situ no 6 (Lampiran 3). Kondisi ini dapat terbukti dengan lebih tingginya kelimpahan fitoplanton pada Situ no 5. Selain itu perbedaan biomassa fitoplanton antara kedua situ juga dapat diperkuat oleh perbedaan kecerahan perairan dan konsentrasi oksigen terlarut. Meskipun jumlah unsur hara yang tersedia di kedua situ tidak berbeda nyata (Lampiran 3) namun morfologi situ yang berbeda menyebabkan biomassa

56 fitoplankton di kedua berbeda nyata. Debit Situ no 6 yang lebih besar dari Situ no 5 menyebabkan banyak fitoplankton hanyut ke arah outlet sehingga mengurangi biomassa fitoplankton. Khlorofil-a selain digunakan untuk menduga biomassa algae juga dapat digunakan untuk menentukan tingkat kesuburan perairan (Magadza 2008). Kisaran jumlah khlorofil-a 0-4 mg/m 3 merupakan ciri perairan oligotrofik, kisaran 5-10 mg/m 3 merupakan perairan mesotrofik dan kisaran mg/m 3 merupakan tipe eutropik. Konsentrasi khlorofil-a yang tercatat selama empat periode pengamatan meskipun menunjukkan penurunan konsentrasi pada periode dua dan tiga akibat terjadi hujan lebat namun tetap mengindikasikan perairan tersebut memiliki tipe eutrofik. 5.5 Produktivitas Primer Hasil perhitungan produktivitas primer di Situ no 5 dan 6 menunjukkan penurunan nilai rata-rata produktivitas (Tabel 8) bersih sesuai dengan bertambahnya kedalaman yang mendanakan pengaruh cahaya terhadap produktivitas primer (Gambar 13). Selain itu pula biomassa fitoplankton yang lebih besar di lapisan permukaan mendukung tingginya hasil proses fotosintesis pada lapisan tersebut. Hasil uji t menunjukkan bahwa nilai produktivitas primer pada kedua situ tidak berbeda nyata kecuali pada kedalaman Secchi, dimana Situ no 5 memiliki nilai yang lebih besar dari Situ no 6. Hal ini kemungkinan disebabkan karena letak kedalaman Secchi pada Situ no 5 hampir dekat dengan permukaan sehingga nilai produktivitasnya tidak jauh berbeda karena kondisi cahaya yang hampir sama, sedangkan pada Situ no 6 letaknya lebih dalam dari permukaan.

57 Gambar 13. Pola distribusi vertikal produktivitas primer di perairan situ bekas galian pasir Tabel 8 Rata-rata produktivitas primer bersih kedua situ Kedalaman Situ no 5 Situ no 6 mg C/m 3 /jam mg C/m 2 /jam mg C/m 3 /jam mg C/m 2 /jam Permukaan 169,63 161,47 Secchi 169,25 115,47 62,25 39,27 Kompensasi 56,02 16, Status Trofik Situ galian pasir merupakan situ buatan berumur lebih muda dari pada perairan alami, demikian pula situ galian pasir yang berada di lokasi penelitian umumnya masih berumur dibawah 20 tahun. Pada tahun-tahun pertama setelah penggalian biasanya situ-situ galian pasir masih berstatus oligotropik (Kattner et al. 2000). Namun proses perubahan pada situ galian pasir umumnya lebih cepat dari perairan alami (Tavernini et al. 2009) terutama pada situ-situ yang terletak dekat pemukiman. Infiltrasi air tanah merupakan sumber air utama bagi situ galian pasir, namun masukan air limbah dan air hujan diduga memberian pengaruh pada perubahan sifat fisika dan kimia perairan (Brooks et al. 2003) Pengidentifikasi status trofik Situ no 5 dan situ no 6 digunakan model trix dimana unsur hara direpresentatifkan melalui konsentrasi total nitrogen dan total fosfor sedangan biomassa fitoplankton diwakili khlorofil-a sedangkan intensitas

58 produksi dari badan air diwakili kdanungan oksigen saturasi (Lampiran 13). Penentuan status trofik dengan menggunakan model trix menunjukkan pada Situ No 5 dan Situ no 6 untuk setiap kedalaman telah berstatus eutrofik dengan nilai dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Status tropik Situ no 5 dan Situ no 6 dengan menggunakan model Trix Stasiun Kedalaman Nilai Trix Status trofik Permukaan Eutrofik Secchi Eutrofik Situ no 5 Kompensasi Eutrofik 7 meter Eutrofik 16 meter Eutrofik Permukaan Eutrofik Secchi Eutrofik Situ no 6 Kompensasi Eutrofik 6 meter Eutrofik 10 meter Eutrofik Hasil identifikasi kedua situ galian pasir menggambarkan status trofik kedua situ telah eutrofik dicirikan dengan tingginya unsur hara dan produktivitas serta kurangnya tingkat kecerahan (Tabel 10). Meskipun situ galian pasir yang diamati tergolong perairan yang masih baru, namun berdasarkan status trofiknya menunjukkan proses eutrofikasi telah berlangsung sangat cepat. Tabel 10 Status trofik kedua situ berdasarkan rata-rata parameter kualitas air dibdaningkan dengan kriteria Wetzel (2001) Parameter Situ No.5 Situ No.6 Hasil Status Hasil Status Oligotrofik Mesotrofik Eutrofik Total Fosfor (mg/m 3 ) 120,7 Eutrofik 177,6 Eutrofik < >20 Total Nitrogen (mg/m 3 ) 1055,1 Eutrofik 951,5 Eutrofik < > 500 Chlorofil-a (mg/m 3 ) 40,43 Eutrofik 8,83 Mesotrofik < >10 Produktivitas Primer 1.385,64 Eutrofik 471,24 Eutrofik (mgc/m 2 /hari) Kecerahan (m) 0,57 Eutrofik 0,93 Eutrofik >4 2-4 <2

59 5.7 Pengelolaan Perairan alami akan mengalami perkembangan status trofik dari oligotrofik menjadi eutrofik melalui proses eutrofikasi. Kegiatan manusia dapat mempercepat proses ini secara drastis melalui peningkatan masuknya unsur hara serta sedimen. Proses eutrofikasi yang sangat cepat akibat kegiatan manusia diidentifikasikan sebagai cultural eutrofication. Kondisi ini pula yang ditemukan di lokasi penelitian dimana situ-situ bekas galian pasir telah berstatus eutrofik. Mengingat umur Situ no 5 dan Situ no 6 yang masih muda yaitu 11 tahun dan 10 tahun, namun kegiatan penduduk di sekitar lokasi penambangan telah menyebabkan cultural eutrophication. Sebagaimana situ-situ bekas galian pasir lainnya yang terdapat di Desa Cikahuripan, tidak ada upaya pengelolaan dalam bentuk apapun untuk menjaga kualitas air pada perairan tersebut. Cepatnya perubahan status trofik akibat cultural eutrophication bila dibiarkan lebih lanjut akan menyebabkan krisis ekosistem yang mengakibatkan daya guna situ bekas galian pasir sebagai ekosistem perairan akan cepat hilang. Perairan yang telah memiliki status eutrofik lebih sulit untuk dikelola dari pada perairan oligotrofik. Lebih mudah dan murah mencegah eutrofikasi dibandingkan dengan merestorasi perairan yang telah berstatus eutrofik sebagai akibat dari cultural eutrofication. Unsur hara disebut sebagai elemen yang paling bertanggung jawab dalam proses eutrofikasi, karena keberadaannya yang berlebihan akan menstimulan pertumbuhan fitoplankton. Sperling et al. (2008) mengemukakan berberapa kesulitan dalam strategi pengelolaan perairan eutrofik di daerah tropis terutama masalah blooming fitoplankton akibat tingginya suhu serta masukan unsur hara yang konstan. Diperkirakan demikian pula yang akan dihadapi dalam pengelolaan situ bekas galian pasir dimana beban masukan unsur hara sangat besar dan konstan sedangkan suhu cukup ideal bagi perkembangan fitoplankton. Situ no 5 dan Situ no 6 meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua situ tersebut telah mengalami proses cultural eutrofication dan memiliki status trofik yang sama yaitu eutrofik namun morfologi situ yang berbeda menyebabkan strategi pengelolaan pada kedua situ pun akan berbeda. Pengurangan unsur P baik yang akan memasuki perairan atau yang telah berada

60 dalam perairan dianggap cara yang efektif dalam mengkontrol eutofikasi (Barbieri dan Simona 2001). Karena unsur ini yang menjadi faktor kunci pertumbuhan fitoplankton dan keberadaanya dalam perairan bisa menumpuk sebab tidak mengalami proses seperti nitrifikasi. Selain itu pengurangan unsur nitrogen dari perairan dianggap jauh lebih sulit. Mengontrol point source merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan di Situ no 5 dengan cara mengalihkan saluran pembuangan limbah rumah tangga untuk tidak berakhir di situ ini. Mempertahankan kualitas air kedua situ melalui pencegahan masukan unsur hara yang berlebihan melalui non point source cukup sulit untuk dilakukan di lokasi penelitian. Kesulitan ini disebabkan karena daerah tangkapan air di sekitar situ penelitian telah diperuntukkan bagi kegiatan pertanian sebagai cara pihak perusahaan penambang pasir untuk mengganti lahan pertanian yang hilang akibat penggalian. Unsur hara yang masuk melalui rembesan air tanah sulit untuk dikontrol dan memberikan kontribusi yang cukup besar pada proses eutrofikasi bagi situ galian pasir (Kattner et al. 2000). Secara hidromorfologi Situ no 6 memiliki kedalaman yang lebih dangkal dari Situ no 5 dan debit air yang keluar juga lebih besar sehingga memiliki retention time yang lebih singkat. Meskipun unsur hara yang tersedia tinggi namun tidak sempat menyebabkan peledakan populasi fitoplankton dan penumpukan unsur hara yang terjebak dalam perairan dapat dihindari. Dengan demikian pada situ no 6 memungkinkan untuk dilakukan usaha karamba jaring apung. Namun berhubung konsentrasi unsur hara sudah cukup tinggi maka diperlukan pengaturan jumlah ikan yang boleh dipelihara dalam karamba sebab akan berkaitan dengan banyaknya buangan sisa pakan yang dapat memperburuk kualitas air. Dilihat dari struktur komunitas fitoplankton, meskipun kodisi ekosistem masih labil, Situ no 6 yang didominasi Chlorophyceae mampu mendukung kehidupan ikan khususnya ikan pemakan plankton sehingga dapat dimanfaatkan untuk usaha budidaya ikan berbasis pakan alami. Pemanfaatan Situ no 5 sebagai area karamba jaring apung belum dapat direkomendasikan sebab morfologi situ tersebut dapat menyebabkan bahan organik sisa pakan dan metabolisme terjebak dalam air lebih lama, sehingga cenderung meningkatkan unsur hara yang memang sudah tinggi di perairan tersebut. Bila

61 dipaksakan memasang karamba jaring apung maka hanya akan memperburuk kualitas air dan menstimulan tumbuhnya fitoplankton yang tidak dapat dimanfaatkan. Dengan buruknya kualitas air dapat menyebabkan ikan yang dipelihara stress yang kemudian akan mempengaruhi produksi. Situ no 5 sangat rentan pada terjadinya blooming fitoplankton, hasil penelitian menunjukkan situ ini telah didominasi fitoplankton dari kelas Cyanophyceae yang umumnya tidak disukai oleh ikan. Bahkan pada tahun 2009 Situ no 5 telah didominansi oleh Mycrocystis (Octorina et al. 2009). Pengendalian fitoplankton pada Situ no 5 dapat dilakukan dengan meningkatkan grazing melalui pengayaan zooplankton herbivor. Mengacu pada pernyataan Abrantes et al. (2006) yang mengemukakan bahwa zooplankton dapat berpengaruh terhadap komposisi dan kelimpahan fitoplankton melalui grazing. Selain pengayaan zooplankton introduksi ikan pemakan fitoplankton dapat dilakukan untuk mengkontrol biomassa fitoplankton. Berhubung keanekaragaman fitoplankton yang ditemukan di situ tersebut tergolong rendah, maka diperlukan introduksi ikan yang memiliki relung makanan luas atau ikan yang tidak selektif dalam memanfaatkan makanan. Introduksi ikan tidak akan membahayakan struktur komunitas ikan di situ tersebut sebab Situ no 5 adalah perairan buatan yang tidak memiliki ikan endemik. Bahkan introduksi ikan yang bernilai ekonomis dapat bermanfaat bagi penduduk kampung Awilarangan yang mengandalkan mata pencaharian melalui penggalian pasir liar. Meskipun kecil peluang Situ no 5 untuk dimanfaatkan sebagai lokasi budidaya ikan, situ ini tetap dapat dimanfaatkan untuk wisata pemancingan sebab lokasinya yang lebih mudah dicapai jika dibandingkan Situ no 6. Pengurangan jumlah unsur hara pada kedua situ dapat dilakukan dengan introduksi tanaman air. Diharapkan tanaman air tersebut dapat memanfaatkan unsur hara dan mengikat partikel-partikel tersuspensi juga mencegah sedimentasi. Sebagai pengontrol tumbuhan air, sebaiknya juga di introduksikan ikan herbivor seperti ikan koan.

62 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa perairan situ bekas galian pasir dilokasi penelitian yaitu Situ no 5 dan Situ no 6 telah memiliki status trofik eutrofik. Meskipun kedua situ memiliki hidromorfologi yang berbeda dan umur yang juga berbeda namun kondisi unsur hara keduanya tidak berbeda nyata, sehingga memiliki status trofik yang sama. Perbedaan morfologi perairan menyebakan kedua situ memiliki struktur komunitas yang berbeda dimana Situ no 5 memiliki kelimpahan fitoplankton yang lebih banyak dari situ no 6, dan Situ no 5 di dominansi oleh Cyanophyceae sedangkan pada Situ no 6 lebih banyak ditemukan Chlorophyceae Kedua situ penelitian tergolong perairan yang masih labil atau masih berada pada stadia satu yang digambarkan melalui rendahnya keanekaragaman fitoplankton. Meskipun umur situ masih tergolong muda, namun proses eutrofikasi yang berlangsung pada kedua situ termasuk sangat cepat dan hal ini lebih disebabkan oleh cultural eutrophication. 6.2 Saran Pengelolaan pada situ-situ bekas galian pasir hendaknya dititik beratkan pada pengurangan beban masukan unsur hara dan pengendalian fitoplankton. Pengurangan unsur fosfor baik yang telah berada dalam perairan maupun yang akan masuk perairan dapat dengan cara introduksi tanamanan air. Pengayaan zooplankton herbivor perlu untuk dilakukan di kedua situ. Introduksi ikan-ikan pemakan fitoplankton dapat dilakukan untuk mengedalikan fitoplankton di kedua situ. Perlu penelitian lebih lanjut pada Situ no 6 mengenai daya dukung perairan terhadap kemungkinan usaha karamba jaring apung berdasarkan konsentrasi fosfor dan oksigen.

63 DAFTAR PUSTAKA Abrantes N, SC Antunes, M.J Pereira and F Goncalves Seasonal succession of cladoceran and phytoplankton and their interaction in a shallow eutrophic lake (Lake Vela, Portugal). Acta Oecologica 29 : Baksir A Hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dan intensitas cahaya di Waduk Cirata, Kabupaten Cianjur Jawa Barat [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 62 hal. Bapeda Kabupaten Cianjur Review Feasibility Studi Pemanfaatan Air Baku Bekas Galian Pasir Cikahuripan. Pemerintah Kabupaten Cianjur (tidak dipublikasikan). 63 hal. Barbieri A and M Simona Trophic evolution of Lake Lugano related to external load reduction: Changes in phosphorus and nitrogen as well as oxygen balance and biological parameters. Lakes & Reservoirs: Research and Management 6: Barus A Pengantar Limnologi. DIKTI. Jakarta Bergstrom AK, P Blomqvist and M Jansons Effects of atmospheric nitrogen deposition on nutrien limitation and phytoplankton biomass in unproductive Swedish Lake. Limnol.Oceanogr 50 : Brooks B, W Fernand, LD Lind and TO Lind Seasonal and spatial variation in algal growth potential and growth limiting nutrients in a shallow endorheic lake: Lake Patzcuaro (Mexico). Lakes & Reservoirs: Research and Management 8: Boyd CE and CS Tucker Water quality and pond soil analyses for aquaculture. Departemen of Fisheries and Allied Aquacultures. Agricultural Experiment Station, Auburn University. Alabama. 183p Carpenter SR, JJ Cole, JR Hodgson, JF Kitchell, ML Pace, D Bade, KL Cottingham, TE Essington, JF Houser and DE Schindler Trophic cascades, nutrients and lake productivity: Whole lake eksperiments. Ecologycal Monographs 71(2) : Celik K Comunity structur of macrobenthos of Southeast Texas sand-pit lake related to water temperatur, ph and disolve oksigen concentration. Turkey Journal Zoology 26 : Chisman TL, LJ Chapman, CA Chapman and J Prenger Cultural eutrophycation of a Ugandan highland crater lake : a 25 years comparison of limnological parameters. Verh.Internat.Verein.Limnol 27 : Effendi H Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta. Frontier S Diversity and structure In aquatic ecosystem. Oceanogr.Mar.Biol.Ann.Rev 23:

64 Garnier J and G Billen Ecological interaction in a shallow sand-pit lake (Lake Creteil, Parisian Basin, France) : a modelling aproach. Hydrobiologia 275 : Giovanardi F and RA Vollenweider Trophic conditions of marine coastal waters : experience in applying the trophic indeks TRIX to two areas of Adriatic and Tyrrhenian Seas. Limnologyca 63 : Goldman CR and AJ Horman Limnology. McGraw-hill Book Company. USA. 464 p. Grajner IB and A Gladysz Planktonic rotifer in mining lakes in the Silesian upland : relationshif to environmental parameters. Limnologyca inpress. Gurung TB, RP Dhakal and JD Bista Phytoplankton primary production, chlorofil-a and nutrient contrentration in the water column of mountainous Lake Phewa Nepal. Lakes and Reservoir : Research and Management 11 : Hatta M Hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan unsure hara pada kedalaman secchi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang, Riau [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 70 hal. Jorgensen SE Lake management: Water development, supply and management 14. Pergamon Press. Oxford, England. xii+167 p. Juhar R Karakteristik Fe, nitrogen, fosfor, dan fitoplankton pada beberapa tipe perairan kolong bekas galian timah [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 69 hal. Kagalaou I, E Papastergiadou and I Leonardos Long term changes in the eutrophication process in a shallow Mediterranean lake ecosystem of W.Greece: Response after the reduction of external load. Journal of Environmental Management 87: Kasprazak P, J Padisak, R Koschel, L Krienitz and F Gervais Chlorophyll a concentration across a trophic gradient of lakes : An estimator of phytoplankton biomass?. Limnologica 38 : Kattner E, D Schwarz and G Maier Eutrophication of Gravel Pit Lake which are Situated in Close Vicinity to the River Donau: Water and Nutrient Transport. Limnologica 30: Krismono ASN, S Nuroniah dan ES Kartamiharja Kondisi Biolimnologi Sumberdaya Perairan Kolong Bekas Galian Pasir di Jawa Barat dan Kesesuainya Bagi Budidaya Perikanan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia IV (1). Magazda CHD Management of Eutrophication in Lake Chivero : Succes and failures: A case studi. Proceeding of The 12th World Lake Conference :

65 Miranda S and A Matvienko Rain and groundwater as phosphorus sources of a small reservoir. Lakes & Reservoirs: Research and Management 8: Needham JG and PR Needham A guide to the study of Fresh water biology. Fifth Edition. Holden-Day inc. San Francisco. Pincock A and Holt Overview of pit lakes : Part 1. Pincock perspectives 77 Pratiwi NTM, E Adiwilaga, M Kristianti dan HD Distribusi spasial fitoplankton di kawasan karamba jaring apung Waduk Ir. Juanda Purwakarta, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Limnologi: Pengelolaan Sumberdaya Perairan Darat Secara Terpadu di Indonesia: Pratiwi NTM Peran plankton dalam mengevaluasi kualitas air. Manajemen Bioregional Jabodetabek : profil dan pengelolaan situ, rawa dan danau. Puslit LIPI. Odum EP Fundamental of Ecology. Third Edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia. Octorina P, I Lidinillah dan U Dindin Kondisi biolimnologi situ bekas galian pasir Cimangkok. Laporan Penelitian. Universitas Muhammadiyah Sukabumi. 80 hal. Nuryanto S Model Eutrofikasi Akibat Kegiatan Perikanan Sistem KJA Di Waduk Saguling Jawa Barat[tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 91hal. Prescott GW How to know the fresh water algae. WM.C.Brown. Iowa Sager L Measuring the thropic status of ponds : Relationships between summer rate of periphytic net primary productivity and water physicchemistri. Water Research 43 : Settacharnwit S, TR Buckney and PR Lim The nutrient status of Nong Han, a shallow tropical lake in North Eastern Thailand: Spatial and temporal variations. Lakes & Reservoirs: Research and Management 8: Sitorus M Hubungan Nilai Produktivitas Primer Dengan Konsentrasi Klorofil a, Dan Faktor Fisik Kimia Di Perairan Danau Toba, Balige, Sumatera Utara[tesis]. Pascasarjana USU, Universitas Sumatra Utara. Medan. 70 hal. Sperling EV, AC da Silva Ferreira and LNL Gomes Comparative eutrophycation development in two Brazilian water supply reservoir with respect to nutrient concentration and bacteria growth. Desalination 226 : Tavernini S, D Nizzoli, G Rossetti and P Viaroli Trophic state and seasonal dynamics of phytoplankton communities in two sand-pit lakes at different successional stages. J.Limnol 68(2):

66 Tjahyo DWH dan SE Purnamaningtyas Kajian kualitas air dan potensi sumberdaya perikanan Di Waduk Darma Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Tahunan IV. DKP. Tuzun I. and O Ince Relationship between water flow volume and in-lake total phosphorus concentrations via dissolved oxygen concentrations and temperature in a warm temperate reservoir: Implications by path analysis. Lakes & Reservoirs: Research and Management 11: Walker JL, T Younus and C Zipper Nutrients in lakes and reservoir : Aliterature review for use in nutrient criteria development. Virginia Polytechnic Institute and State University Blacksburg. 40 p. Warsa A, LP Astuti dan A Krismono Hubungan nutrient (N dan P) terhadap kelimpahan fitoplankton di Waduk Koto panjang Provinsi Riau. Prosiding Seminar Nasional Ikan IV : Wasielska ES and R Goldyn Vertical Variation Of Phytoplankton Structure In The Owinska Gravel Pit Lake In Oceanological and Hydrobiological Studies 3. Hal : Wetzel RG Lymnology lake and river ecosystem. W.B Saunders Co. Philadelphia p.

67 Lampiran 1 Peta lokasi situ galian pasir Peta Situ no 5, Cikahuripan, Kabupaten Cianjur. Peta Situ No 5 Legenda : Stasiun Pengamatan Skala : 0 80 m Inset : Jawa Barat S E Sumber : 1. Google Eart (2010) 2. Wikipedia; Provinsi Jawa Barat Peta Situ no 6, Cikahuripan, Kabupaten Cianjur. Peta Situ No 6 Legenda : Stasiun Pengamatan Skala : 0 70 m S Inset : Jawa Barat E Sumber : 1. Google Eart (2010) 2. Wikipedia; Provinsi Jawa Barat

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Penentuan Titik Sampling 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Air

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Penentuan Titik Sampling 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Air 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal penambangan pasir tepatnya di Kampung Awilarangan, Desa Cikahuripan, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. Sebagai

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kualitas Air 5.1.1 Suhu Suhu perairan adalah salah satu parameter yang mengatur proses hidrodinamika suatu perairan. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, ketinggian

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 11 3. METODE PENELITIAN 3. 1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Danau Lido berada pada koordinat 106 48 26-106 48 50 BT dan 6 44 30-6 44 58 LS (Gambar

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN SAHABUDDIN PenelitiPada Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Dan Penyuluhan Perikanan Dipresentasikan pada Kuliah umum Praktik Lapang Terpadu mahasiswa Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang memiliki luas 240 ha. Pemanfaatan lahan di sekitar Waduk Cengklik sebagian besar adalah

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Keterangan : Peta Lokasi Danau Lido. Danau Lido. Inset. 0 km 40 km 6 40' 42" ' 47" Gambar 2. Peta lokasi Danau Lido, Bogor

3. METODE PENELITIAN. Keterangan : Peta Lokasi Danau Lido. Danau Lido. Inset. 0 km 40 km 6 40' 42 ' 47 Gambar 2. Peta lokasi Danau Lido, Bogor 3. METODE PENELITIAN 5.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2009, berlokasi di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Sampel yang didapat dianalisis di Laboratorium Biologi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan lokasi budidaya kerang hijau (Perna viridis) Perairan Pantai Cilincing, Jakarta Utara. Sampel plankton diambil

Lebih terperinci

TINGKAT KESUBURAN PERAIRAN SITU CIGUDEG SERTA HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER DAN UNSUR HARA

TINGKAT KESUBURAN PERAIRAN SITU CIGUDEG SERTA HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER DAN UNSUR HARA TINGKAT KESUBURAN PERAIRAN SITU CIGUDEG SERTA HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER DAN UNSUR HARA Oleh: NUR INDRAYAN1 C02495009 SKRIPSI Sebagai Salah Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN . HASIL DAN PEMBAHASAN.. Hasil Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pola distribusi vertikal oksigen terlarut, fluktuasi harian oksigen terlarut, produksi primer, rincian oksigen terlarut, produksi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen) 2.1.1. Sumber DO di perairan Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut di dalam air (Wetzel 2001). DO dibutuhkan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2009 berlokasi di Danau Lido, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Danau Lido berada pada koordinat 106 0 48

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau Lido 2.2. Kesuburan Perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau Lido 2.2. Kesuburan Perairan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau Lido Danau memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan secara ekologis maupun secara ekonomis. Secara ekologis danau antara lain sebagai daerah resapan air, sumber

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan

Lebih terperinci

Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities.

Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities. Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities Dedy Muharwin Lubis, Nur El Fajri 2, Eni Sumiarsih 2 Email : dedymuh_lubis@yahoo.com This study was

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Tambak Cibalong (Sumber : Google Earth)

BAB III METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Tambak Cibalong (Sumber : Google Earth) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 15 Juni sampai dengan 6 Juli 2013 di perairan tambak udang Cibalong, Kabupaten Garut (Gambar 2). Analisis

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi air tawar yang kaya akan mineral dengan ph sekitar 6. Kondisi permukaan air tidak selalu

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Penelitian Jenis nutrien Kandungan (%) 2.2 Metode Penelitian Rancangan Penelitian

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Penelitian Jenis nutrien Kandungan (%) 2.2 Metode Penelitian Rancangan Penelitian II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Penelitian Ikan nilem yang digunakan berasal dari Cijeruk. Pada penelitian ini digunakan ikan nilem berumur 4 minggu sebanyak 3.150 ekor dengan ukuran panjang 5,65 ± 0,62

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Air merupakan salah satu sumber daya alam dan kebutuhan hidup yang penting dan merupakan sadar bagi kehidupan di bumi. Tanpa air, berbagai proses kehidupan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2011 di kawasan KJA Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat (Lampiran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang bebas di perairan. Plankton dibagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme berklorofil

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Kendari bagian dalam yang secara geografis terletak pada 3 o 57 50-3 o 5 30 lintang selatan dan 122 o

Lebih terperinci

Kajian Variabel Kualitas Air Dan Hubungannya Dengan Produktivitas Primer Fitoplankton Di Perairan Waduk Darma Jawa Barat

Kajian Variabel Kualitas Air Dan Hubungannya Dengan Produktivitas Primer Fitoplankton Di Perairan Waduk Darma Jawa Barat Jurnal Perikanan Kelautan Vol. VII No. 1 /Juni 2016 (93-102) Kajian Variabel Kualitas Air Dan Hubungannya Dengan Produktivitas Primer Fitoplankton Di Perairan Waduk Darma Jawa Barat Ega Cahyadi Rahman,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plankton merupakan salah satu jenis biota yang penting dan mempunyai peranan besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam air atau

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan dan berbentuk pelebaran alur atau badan atau palung sungai (PerMen LH No 28 Tahun 2009). Waduk

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di ekosistem perairan rawa. Perairan rawa merupakan perairan tawar yang menggenang (lentik)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia memiliki banyak hutan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan di kawasan perairan Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, dimulai dari bulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Danau Danau adalah suatu badan air alami yang selalu tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air tertentu yang beragam dari satu danau ke danau yang lain serta

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan perikanan keramba jaring apung (KJA) di Waduk Ir. H. Juanda Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 4). Kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan air tawar, salah satunya waduk menempati ruang yang lebih kecil bila dibandingkan dengan lautan maupun daratan, namun demikian ekosistem air tawar memiliki

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di perairan Pulau Biawak Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April-Mei 2013 di perairan Pantai Balongan, Kabupaten Indramayu. Pengambilan sampel dilakukan dengan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: BETZY VICTOR TELAUMBANUA 090302053 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009- Juli 2010 di Danau Lut Tawar. Metode yang digunakan dalam penentuan stasiun adalah dengan metode Purposive

Lebih terperinci

n, TINJAUAN PUSTAKA Menurut Odum (1993) produktivitas primer adalah laju penyimpanan

n, TINJAUAN PUSTAKA Menurut Odum (1993) produktivitas primer adalah laju penyimpanan n, TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produktivitas Primer Menurut Odum (1993) produktivitas primer adalah laju penyimpanan energi sinar matahari oleh aktivitas fotosintetik (terutama tumbuhan hijau atau fitoplankton)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2013

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2013 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelititan Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2013 bertempat di Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh perairan. Perairan ini meliputi perairan laut, payau, maupun perairan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

PENGARUH AKTIVITAS MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS AIR DAN KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI SUNGAI BELAWAN MEDAN

PENGARUH AKTIVITAS MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS AIR DAN KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI SUNGAI BELAWAN MEDAN Jamaran Kaban Daniel PENGARUH AKTIVITAS MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS AIR DAN KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI SUNGAI BELAWAN MEDAN Mayang Sari Yeanny Biologi FMIPA USU Abstract The research about the influence

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 35 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Penelitian Tahap I 4.1.1.1. Percobaan 1: 4.1.1.1.a. Komposisi Perifiton Selama penelitian ditemukan tiga kelas perifiton yaitu Bacillariophyceae (9 genus),

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan sampel dilakukan di Perairan Morotai bagian selatan, Maluku Utara (Gambar 1) pada Bulan September 2012 dengan Kapal Riset Baruna Jaya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian dilakukan menggunakan metode penelitian deskriptif (Nazir, 1999: 63). Penelitian ini hanya mengungkapkan fakta mengenai struktur komunitas fitoplankton

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan 15 PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan organik merupakan salah satu indikator kesuburan lingkungan baik di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan kualitas tanah dan di perairan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer

TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer Produktivitas primer merupakan laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya akan energi dan berasal dari senyawa anorganik. Pada umumnya produktivitas primer

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam.air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah

Lebih terperinci

ANALISIS KADAR NITRAT DAN KLASIFIKASI TINGKAT KESUBURAN DI PERAIRAN WADUK IR. H. DJUANDA, JATILUHUR, PURWAKARTA

ANALISIS KADAR NITRAT DAN KLASIFIKASI TINGKAT KESUBURAN DI PERAIRAN WADUK IR. H. DJUANDA, JATILUHUR, PURWAKARTA Analisis Kadar Nitrat dan... Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta (Kusumaningtyas, D.I.) ANALISIS KADAR NITRAT DAN KLASIFIKASI TINGKAT KESUBURAN DI PERAIRAN WADUK IR. H. DJUANDA, JATILUHUR, PURWAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke perairan yang menyebabkan pencemaran. Limbah tersebut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Penentuan

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Penentuan 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Penentuan lokasi dilakukan dengan purposive sampling (penempatan titik sampel dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem Rawa Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem Rawa Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen 22 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Rawa Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif dengan metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif dengan metode BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif dengan metode observasi. B. Populasi dan Sampel 1. Populasi : Seluruh

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau Danau merupakan perairan tergenang yang berada di permukaan tanah, terbentuk akibat proses alami atau buatan. Danau memiliki berbagai macam fungsi, baik fungsi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi secara purposive sampling (penempatan titik sampel dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. keseimbangan ekologi dan tata air. Dari sudut ekologi, waduk dan danau

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. keseimbangan ekologi dan tata air. Dari sudut ekologi, waduk dan danau 1. Profil Waduk Cengklik Boyolali BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka Keberadaan waduk dan danau sangat penting dalam turut menciptakan keseimbangan ekologi dan tata air. Dari sudut ekologi, waduk

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Lingkungan Waduk Koto Panjang 4.1.1. Suhu air Suhu air perairan pada setiap stasiun, kedalaman, dan waktu pengamatan berkisar antara 25,0 32,7 o C, pada bulan Maret

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan zat yang paling banyak terdapat dalam protoplasma dan merupakan zat yang sangat esensial bagi kehidupan, karena itu dapat disebut kehidupan adalah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memonitor kualitas perairan (Leitão, 2012), melalui pemahaman terhadap siklus

BAB I PENDAHULUAN. memonitor kualitas perairan (Leitão, 2012), melalui pemahaman terhadap siklus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status trofik merupakan indikator tingkat kesuburan suatu perairan yang dapat ditentukan oleh faktor-faktor yang meliputi nutrien perairan, produktivitas fitoplankton

Lebih terperinci

ABSTRACT THE IMPACT OF AGRICULTURAL ACTIVITIES IN THE VARIOUS LEVELS OF EUTROPHICATION AND DIVERSITY OF PHYTOPLANKTON IN BUYAN LAKE BULELENG BALI

ABSTRACT THE IMPACT OF AGRICULTURAL ACTIVITIES IN THE VARIOUS LEVELS OF EUTROPHICATION AND DIVERSITY OF PHYTOPLANKTON IN BUYAN LAKE BULELENG BALI ABSTRACT THE IMPACT OF AGRICULTURAL ACTIVITIES IN THE VARIOUS LEVELS OF EUTROPHICATION AND DIVERSITY OF PHYTOPLANKTON IN BUYAN LAKE BULELENG BALI This research was conducted to find out the impact of agricultural

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan Saptosari dan desa Karangasem kecamatan Paliyan, kabupaten Gunungkidul. B. Waktu Penelitian

Lebih terperinci

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan. Perairan memiliki fungsi baik secara ekologis, ekonomis, estetika, politis,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan dari bulan Juni Juli 2015.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan dari bulan Juni Juli 2015. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan dari bulan Juni Juli 2015. Pengambilan sampel dilakukan pada saat awal pergantian musim dari musim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk meningkatkan produksi perikanan adalah melalui budidaya (Karya

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk meningkatkan produksi perikanan adalah melalui budidaya (Karya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan merupakan salah satu sumber makanan yang sangat digemari masyarakat karena mengandung protein yang cukup tinggi dan dibutuhkan oleh manusia untuk pertumbuhan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kualitas perairan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi sebelum menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya perikanan tidak sekedar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmiah Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang subur dengan hasil laut yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini berhubungan dengan kehadiran

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September Tahapan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September Tahapan III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September 2014. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian terdiri dari peninjauan lokasi penelitian pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. rumah tangga dapat mempengaruhi kualitas air karena dapat menghasilkan. Rawa adalah sebutan untuk semua daerah yang tergenang air, yang

PENDAHULUAN. rumah tangga dapat mempengaruhi kualitas air karena dapat menghasilkan. Rawa adalah sebutan untuk semua daerah yang tergenang air, yang 16 PENDAHULUAN Latar Belakang Rawa sebagai salah satu habitat air tawar yang memiliki fungsi yang sangat penting diantaranya sebagai pemancingan, peternakan, dan pertanian. Melihat fungsi dan peranan rawa

Lebih terperinci

ARUS ENERGI DALAM EKOSISTEM

ARUS ENERGI DALAM EKOSISTEM ARUS ENERGI DALAM EKOSISTEM Transformasi Energi dan Materi dalam Ekosistem KONSEP ENERGI Energi : kemampuan untuk melakukan usaha Hukum Thermodinamika 1 : Energi dapat diubah bentuknya ke bentuk lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu senggangnya (leisure time), dengan melakukan aktifitas wisata (Mulyaningrum, 2005). Lebih

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika Perairan 4.1.1 Suhu Setiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang sudah menjadi kebutuhan vital bagi makhluk hidup. Tidak hanya untuk mandi atau mencuci, tapi kebutuhan akan air bersih juga diperlukan

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2010 di Danau Lut Tawar Kecamatan Lut Tawar Kota Takengon Kabupaten Aceh Tengah, dan Laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Teluk Ratai Kabupaten Pesawaran,

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Teluk Ratai Kabupaten Pesawaran, III. METODOLOGI PENELITIAN.. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Teluk Ratai Kabupaten Pesawaran, Lampung. Penelitian ini secara umum mencakup tahapan yaitu survei lapangan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN karena sungai-sungai banyak bermuara di wilayah ini. Limbah itu banyak dihasilkan dari

PENDAHULUAN karena sungai-sungai banyak bermuara di wilayah ini. Limbah itu banyak dihasilkan dari PENENTUAN PARAMETER PALING DOMINAN BERPENGARUH TERHADAP PERTUMBUHAN POPULASI FITOPLANKTON PADA MUSIM KEMARAU DI PERAIRAN PESISIR MAROS SULAWESI SELATAN 1 Rahmadi Tambaru 1, Enan M. Adiwilaga 2, Ismudi

Lebih terperinci