BAB 4 ANALISIS KETERKAITAN ANTAR INDUSTRI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 4 ANALISIS KETERKAITAN ANTAR INDUSTRI"

Transkripsi

1 BAB 4 ANALISIS KETERKAITAN ANTAR INDUSTRI Bab ini merupakan inti dari studi dimana akan dilakukan analisis terhadap data-data yang diperoleh baik dari primer maupun sekunder menggunakan kerangka analisis yang sesuai agar dapat mencapai sasaran-sasaran penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini akan mempermudah dalam menarik kesimpulan mengenai sektor industri apa saja yang memiliki keterkaitan, besaran keterkaitan yang terjadi, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keterkaitan antar industri, serta dukungan dan potensi dukungan yang dimiliki Kota Batam yang dapat mendorong terbentuknya keterkaitan antar industri asing dan industri lokal di wilayah studi. 4.1 Identifikasi Keterkaitan Antar Industri Subsektor industri yang memiliki keterkaitan antara industri asing dan industri lokal di Kota Batam dapat diidentifikasi menggunakan tiga indikator yang menyatakan terjadinya keterkaitan, yakni (1) penggunaan barang produk industri lokal sebagai bahan baku industri asing, (2) penggunaan tenaga kerja lokal oleh industri lokal, dan (3) masuknya investasi baru dalam bentuk industri lokal baru sebagai reaksi terhadap permintaan bahan baku dari industri asing. Keberadaan keterkaitan subsektor industri pada tiap indikator akan mempengaruhi besaran keterkaitan yang terjadi pada subsektor industri terkait. Setelahnya akan dilakukan analisis mengenai faktor yang mempengaruhi perbedaan besaran keterkaitan. Indikator pertama dalam menyatakan keberadaan keterkaitan antar industri yakni penggunaan barang produksi dari industri lokal sebagai bahan baku bagi industri asing menunjukkan keberadaan keterkaitan pada tiga dari enam subsektor industri, yakni pada subsektor industri kertas, mesin, dan elektronika. Subsektor industri yang memiliki keterkaitan terbesar adalah subektor industri mesin dengan keterkaitan mencapai 100 persen, disusul oleh subsektor industri elektronika (82,5 persen), dan subsektor industri kertas (70,6 persen). Subektor industri besi baja 41

2 42 hanya memiliki keterkaitan rendah (40 persen) dan masih terbatas pada salah satu dari dua jenis bahan baku yang dibutuhkan oleh industri asing, sementara subsektor industri logam dan subsektor industri kendaraan dikatakan tidak memiliki keterkaitan dikarenakan adanya perbedaan yang terjadi antara jenis barang produksi yang dihasilkan oleh industri lokal dengan jenis bahan baku yang dibutuhkan oleh industri asing. TABEL IV-1 JENIS DAN VOLUME BAHAN BAKU INDUSTRI ASING SERTA JENIS DAN VOLUME BARANG PRODUK INDUSTRI LOKAL Subsektor Industri Industri asing Jenis Bahan Baku Volume Kertas Carton board ton Logam Besi baja Alumunium galvanis m 2 Industri Lokal Besaran Jenis Volume Keterkaitan Produk Carton board ton 70,6% Alumunium coating m 2 - Stainless steel m 2 - coating Pipa baja unit Pipa baja unit 40% Plat baja Pipa unit alumunium unit - Mesin Komponen unit Komponen Elektronika Kendaraan Komponen Fibreglass unit Komponen unit Komponen logam unit 100% unit 82,5% unit - Subektor industri besi baja sebenarnya memiliki peluang keterkaitan yang baik apabila industri lokal dapat menghasilkan barang produksi sesuai dengan kedua bahan baku yang dibutuhkan oleh industri asing asing pada subsektor tersebut, dan dengan syarat bahwa industri lokal dapat meningkatkan volume produksinya sehingga dapat memenuhi volume kebutuhan bahan baku industri asing.

3 43 TABEL IV-2 STRUKTUR TENAGA KERJA INDUSTRI LOKAL Sektor Asal Tenaga Kerja Besaran Industri Lokal Luar Batam Asing Keterkaitan Kertas % Logam % Besi baja % Mesin % Elektronika % Kendaraan % Indikator kedua dalam menyatakan keberadaan keterkaitan antar industri yakni penggunaan tenaga kerja lokal oleh industri lokal menunjukkan keberadaan keterkaitan pada empat dari enam subsektor industri, yakni pada subsektor industri kertas, logam, mesin, dan elektronika dimana masing-masing subsektor memiliki keterkaitan sebesar 100 persen. Subsektor industri besi baja hanya memiliki keterkaitan kecil yakni 19 persen sementara subsektor industri kendaraan tidak memiliki keterkaitan sama sekali (lihat tabel IV-2). Alasan yang dikemukakan oleh industri lokal mempekerjakan tenaga kerja lokal yang telah tersedia di Kota Batam adalah kemudahan dalam mendapatkan tenaga kerja dibandingkan jika harus mendatangkan dari luar Kota Batam. Selain itu, industri lokal menganggap bahwa tenaga kerja lokal telah memiliki keterampilan yang cukup baik dan sesuai dengan kriteria kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan. Berdasarkan hasil wawancara, industri lokal pada subsektor kendaraan memilih untuk mendatangkan tenaga kerja dari luar Kota Batam dengan alasan tenaga kerja lokal dianggap masih kurang memiliki keterampilan khusus serta ketelitian yang dibutuhkan pada industri terkait. Subektor industri besi baja juga memberikan alasan kurangnya keterampilan tenaga kerja lokal pada bidang industri ini, namun setidaknya subsektor industri besi baja tetap menggunakan tenaga kerja lokal pada posisi pekerjaan yang tidak membutuhkan

4 44 keterampilan khusus, misalnya sekretaris, resepsionis, operator telefon, dan lain sebagainya. Indikator ketiga dalam menyatakan keberadaan keterkaitan antar industri yakni masuknya investasi baru dalam bentuk industri lokal baru sebagai reaksi terhadap permintaan bahan baku dari industri asing menunjukkan keberadaan keterkaitan pada keenam subsektor industri yang diamati (tabel IV-3). Dilihat dari banyaknya jumlah industri lokal yang berhasil ditumbuhkan, keterkaitan terbesar terjadi pada subsektor industri kertas dan industri elektronika (dimana satu industri asing dapat menstimulasi tumbuhnya tujuh industri lokal). Sedangkan bila dilihat dari perbandingan nilai investasi antara industri asing dan industri lokal, keterkaitan terbesar terjadi pada subsektor industri besi baja, industri mesin, dan industri logam. Bila dilihat secara kasar, dapat dikatakan ada indikasi terjadinya multiplier effect antara indutri asing dan industri lokal. TABEL IV-3 PERTUMBUHAN INDUSTRI ASING DAN INDUSTRI LOKAL BARU Sektor Pertumbuhan Industri Asing Industri Lokal Industri Tahun Jumlah Investasi (US$ 000) Tahun Jumlah Investasi (US$ 000) Kertas Logam Besi baja Mesin Elektronika Kendaraan Setelah keberadaan keterkaitan pada masing-masing subsektor industri telah teridentifikasi maka dapat dilakukan klasifikasi besaran keterkaitan yang ditentukan berdasarkan keberadaan keterkaitan masing-masing subsektor industri pada seluruh indikator yang digunakan. Subsektor industri yang memiliki

5 45 keterkaitan pada ketiga indikator tergolong memiliki keterkaitan tinggi, tergolong keterkaitan sedang jika memiliki keterkaitan pada dua indikator, dan tergolong keterkaitan rendah apabila hanya memiliki keterkaitan pada salah satu indikator. TABEL IV-4 BESARAN KETERKAITAN TIAP SUBSEKTOR INDUSTRI Sektor Keberadaan Keterkaitan Besaran Industri Indikator Pertama Indikator Kedua Indikator Ketiga Keterkaitan Kertas Ada Ada Ada Besar Logam Tidak Ada Ada Ada Sedang Besi baja Tidak Ada Tidak Ada Ada Kecil Mesin Ada Ada Ada Besar Elektronika Ada Ada Ada Besar Kendaraan Tidak Ada Tidak Ada Ada Kecil Berdasarkan penggolongan besaran keterkaitan tiap subsektor industri, subsektor industri kertas, industri mesin, dan industri elektronika mampu memenuhi ketiga indikator yang digunakan untuk menyatakan keberadaan keterkaitan, oleh karenanya ketiga subsektor industri tersebut dinyatakan memiliki keterkaitan yang besar. Subsektor industri logam dinyatakan memiliki keterkaitan sedang karena hanya memenuhi dua dari tiga indikator keterkaitan yang digunakan, sedangkan subsektor industri besi baja dan industri kendaran dinyatakan memiliki keterkaitan rendah dikarenakan masing-masing subsektor industri ini hanya memenuhi salah satu dari ketiga indikator keterkaitan yang digunakan. 4.2 Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Keterkaitan Berdasarkan hasil wawancara terhadap pelaku industri asing dan industri lokal, perbedaan pada besaran keterkaitan subsektor industri terjadi dikarenakan pengaruh dari empat faktor utama, meliputi: 1. Siklus permintaan bahan baku industri asing yang terkait dengan siklus produksi barang jadi industri lokal;

6 46 2. Asal bahan baku industri asing terkait dengan target pemasaran barang produksi industri lokal; 3. Prioritas pemilihan bahan baku industri asing terkait dengan prioritas produksi barang jadi industri lokal; dan 4. Prioritas pemilihan tenaga kerja industri lokal. Faktor pertama yang mempengaruhi besaran keterkaitan yang terbentuk adalah siklus permintaan bahan baku industri asing yang terkait dengan siklus produksi barang jadi industri lokal. Siklus yang paling sering digunakan oleh industri dalam memasok bahan baku maupun dalam memproduksi barang jadi adalah siklus harian, bulanan, tahunan, dan tak tentu. Kesamaan yang terjadi antara siklus pasokan bahan baku industri asing terkait dengan siklus produksi barang jadi industri lokal diindikasikan mendorong terjadinya keterkaitan yang berfokus pada siklus tahunan (lihat tabel IV-5). Empat dari enam subsektor industri lokal yang diamati ternyata menggunakan siklus tahunan dalam menghasilkan barang jadi, sedangkan disisi lain lima dari enam subsektor industri asing juga menggunakan siklus tahunan dalam memasok bahan baku. Hal ini berarti siklus tahunan yang digunakan oleh industri asing memberikan peluang keterkaitan yang dimanfaatkan oleh industri lokal dalam menghasilkan barang produksi yang sesuai dengan jenis bahan baku yang dibutuhkan oleh industri asing. Perbedaan kondisi yang terjadi pada subsektor industri logam menyebabkan subsektor industri ini menggunakan siklus harian untuk menciptakan keterkaitan antara industri asing dan industri lokal. Hal ini disebabkan tidak menentunya permintaan produksi yang diterima oleh industri lokal maupun industri asing, sehingga kegiatan industri baru terjadi apabila masing-masing industri telah menerima permintaan produksi. Kondisi ini sebenarnya tidak ideal dan dapat menyebabkan terjadinya penumpukan permintaan pada waktu peak season dan sebaliknya dapat menyebabkan sepinya permintaan pada waktu lainnya.

7 47 TABEL IV-5 KARAKTERISTIK BARANG PRODUK INDUSTRI LOKAL DAN BAHAN BAKU INDUSTRI ASING Subsektor Barang Produk Industri Lokal Bahan Baku Industri Asing Industri Siklus Produksi Target Pemasaran Siklus Bahan Baku Kertas Tahunan Batam Tahunan Batam Logam Tak Tentu Batam Tak Tentu Batam Besi baja Tahunan Batam Tahunan Batam Mesin Harian Luar Batam Tahunan Batam Elektronika Tahunan Batam Tahunan Kendaraan Tahunan Batam Tahunan Asal Bahan Baku Batam Luar Batam Subsektor industri mesin tidak menunjukkan adanya potensi keterkaitan yang disebabkan karena industri lokal yang melakukan proses produksi dengan siklus harian tidak sesuai dengan siklus pasokan bahan baku industri asing yang menggunakan siklus tahunan. Kondisi ini dapat dianggap sebagai sebuah anomali mengingat subsektor industri mesin merupakan salah satu sektor industri yang memiliki besaran keterkaitan tinggi. Namun demikian, menurut industri lokal yang diwawancarai kondisi ini ternyata terjadi dikarenakan adanya kontrak produksi yang diterima untuk memenuhi permintaan dari industri asing yang berada di Singapura. Sedangkan industri asing pada sektor yang sama (industri mesin) mengatakan bahwa pasokan bahan baku yang didatangkan dari luar Kota Batam juga didasarkan pada kondisi kontrak kerja yang serupa dengan yang dimiliki oleh industri lokal. Berdasarkan pernyataan yang diberikan oleh industri asing dan industri lokal tersebut, dapat diberikan pengecualian pada subsektor industri mesin dimana besaran keterkaitan tinggi yang dimiliki subsektor ini kurang dipengaruhi oleh siklus permintaan bahan baku maupun siklus produksi barang jadi. Faktor kedua yang mempengaruhi besaran keterkaitan adalah asal bahan baku industri asing terkait dengan target pemasaran barang produksi industri lokal. Dari enam subsektor industri yang diamati, lima subsektor industri baik

8 48 industri asing dan industri lokal berfokus pada pasar lokal yakni Kota Batam. Kondisi ini menunjukkan bahwa penyediaan bahan baku industri asing dan target pemasaran barang produksi industri lokal diutamakan kepada pasar lokal, yang dimaksudkan untuk menekan biaya transportasi sehingga harga jual barang jadi maupun harga beli bahan baku dapat ditekan seminimum mungkin. Minimnya biaya transportasi berpengaruh terhadap peningkatan peluang pasar yang dihasilkan dikarenakan harga barang yang lebih kompetitif jika dibandingkan harus melakukan impor maupun ekspor barang dari dan menuju keluar Kota Batam. Industri mesin lokal yang menfokuskan pemasaran barang jadinya keluar Kota Batam semata-mata dikarenakan kontrak produksi yang telah dijelaskan sebelumnya. Sementara itu, industri asing yang bergerak pada subsektor kendaraan masih mendatangkan bahan bakunya dari Singapura dikarenakan mereka menilai bahwa barang produksi yang dihasilkan oleh industri kendaraan lokal masih berada dibawah standar kualitas bahan baku yang mereka gunakan. TABEL IV-6 PRIORITAS BAHAN BAKU INDUSTRI ASING DAN PRIORITAS PRODUKSI INDUSTRI LOKAL Kriteria Bahan Baku Industri Asing Modus Median Prioritas Kontinuitas 1 dan Kualitas Volume Harga 4 3,5 4 Kriteria Barang Produk Industri Lokal Modus Median Prioritas Kualitas Harga Kontinuitas Volume 4 3,5 4 Catatan: prioritas tertinggi memiliki nilai 1 sementara prioritas terendah memiliki nilai 4 Faktor ketiga yang mempengaruhi besaran adalah prioritas pemilihan bahan baku industri asing terkait dengan prioritas produksi barang jadi industri

9 49 lokal. Tabel IV-6 menunjukkan bahwa prioritas pemilihan bahan baku yang digunakan oleh industri asing adalah kontinuitas penyediaan bahan baku, kualitas bahan baku, dan volume penyediaan bahan baku. Industri asing menganggap perlunya jaminan penyediaan bahan baku yang berkualitas di Kota Batam pada sepanjang tahun untuk menjaga kontinuitas produksi, mengingat industri asing lebih memfokuskan barang produksinya untuk dipasarkan keluar dari Kota Batam. Industri asing kurang memprioritaskan kriteria harga bahan baku dikarenakan harga bahan baku di Kota Batam dinilai masih lebih rendah dibandingkan harga bahan baku di daerah lainnya maupun bila dibandingkan dengan harga bahan baku impor. Sementara itu, prioritas barang produksi yang dihasilkan oleh industri lokal adalah kualitas dan harga barang produksi yang dihasilkan. Menurut industri lokal hal ini terjadi karena ketatnya persaingan antar sesama industri lokal dalam menghasilkan barang produksi, sehingga industri lokal yang ada berlomba-lomba memproduksi barang dengan kualitas yang baik dan dengan harga yang kompetitif agar dapat menarik permintaan pasar yang sebesar-besarnya. Apabila permintaan pasar terhadap barang produksi industri lokal menjadi besar maka akan sendirinya meningkatkan kontinuitas dan volume barang produksi yang diterima. Kondisi ini menyebabkan faktor kontinuitas dan volume produksi menjadi prioritas yang kurang penting bagi industri lokal. TABEL IV-7 PRIORITAS KUALIFIKASI TENAGA KERJA INDUSTRI LOKAL Kriteria Modus Median Prioritas Keterampilan yang Dimiliki Pendidikan Terakhir Kesehatan Fisik dan Mental Usia 4 3,5 4 Catatan: prioritas tertinggi memiliki nilai 1 sementara prioritas terendah memiliki nilai 4 Faktor keempat yang mempengaruhi besaran keterkaitan adalah prioritas pemilihan tenaga kerja oleh industri lokal. Kriteria yang dianggap penting bagi

10 50 pemilihan tenaga kerja lokal menurut industri lokal adalah kriteria keterampilan yang dimiliki dan jenjang pendidikan terakhir yang ditamatkan oleh tenaga kerja. Kedua kriteria ini tergolong vital bagi industri lokal yang kebanyakan bersifat industri teknik dan menggunakan mesin-mesin industri berteknologi sedang sampai tinggi. Kesehatan fisik dan mental tenaga kerja juga penting bagi pengoperasian mesin-mesin industri tersebut sehingga dapat mendorong tercapainya kapasitas produksi yang optimum sekaligus menekan angka kecelakaan kerja. Usia tenaga kerja dianggap kurang penting sepanjang masih dalam golongan usia produktif sehingga memudahkan pembuatan kontrak kerja dan pengurusan jaminan kesehatan pekerja. Industri lokal yang masih mengeluhkan ketersediaan tenaga kerja yang terampil dalam bidangnya adalah subsektor industri besi baja dan industri kendaraan, sementara industri asing yang mengeluhkan hal yang sama terjadi pada subsektor industri mesin dan industri elektronika. Kedua subsektor industri asing ini sebenarnya pernah mencoba mendiskusikan permasalahan ini dengan Pemerintah Kota Batam namun sampai sekarang belum menghasilkan solusi yang memuaskan. Kondisi ini akhirnya memaksa subsektor industri yang kurang puas terhadap kualitas tenaga kerja lokal yang tersedia untuk melakukan pelatihan awal terhadap tenaga kerja lokal sebelum mereka siap dipekerjakan pada bidangnya, atau alternatif lain adalah dengan mendatangkan tenaga kerja dari luar Kota Batam yang siap pakai. 4.3 Dukungan dan Potensi Dukungan Kota Batam Terhadap Keterkaitan Antar Industri Setelah keberadaan keterkaitan pada industri asing dan industri lokal telah teridentifikasi, maka tahapan analisis selanjutnya adalah melakukan penilaian terhadap kondisi Kota Batam dan rencana pengembangan Kota Batam. Hal ini penting untuk melihat apakah Kota Batam telah memiliki kondisi yang sesuai dalam mendukung tumbuhnya industri baru pada subsektor-subsektor industri yang memiliki keterkaitan antar industri. Dukungan dan potensi dukungan yang dapat diberikan oleh Kota Batam di masa kini maupun pada masa depan dinilai

11 51 berdasarkan empat faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi dalam pendirian industri di Kota Batam, yakni (1) faktor ketenagakerjaan, (2) faktor bahan baku dan energi, (3) faktor sarana prasarana, serta (4) faktor kebijaksanaan pemerintah. Dukungan dan potensi dukungan ketenagakerjaan di Kota Batam akan dinilai berdasarkan kualitas dan kuantitas tenaga kerja yang dibutuhkan subsektor industri tersebut. Kualitas tenaga kerja yang dibutuhkan oleh subsektor industri menurut hasil analisis adalah tenaga kerja dengan tingkat pendidikan terakhir SMA ataupun akademi. Kualitas tenaga kerja ini dibutuhkan karena industri yang ada menggunakan mesin-mesin industri yang berteknologi sedang sampai tinggi sehingga membutuhkan tenaga kerja yang memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi untuk mengoperasikannya. TABEL IV-8 DUKUNGAN KUALITAS TENAGA KERJA KOTA BATAM Pendidikan 2006 Agustus 2007 Terakhir Jumlah Persentase Jumlah Persentase SD 203 0,5 % 131 0,6 % SMP ,7 % ,0 % SMA ,4 % ,6 % Akademi ,4 % ,8 % Jumlah % % Sumber: Dinas Tenaga Kerja Kota Batam, 2008 Berdasarkan tabel diatas, kualitas tenaga kerja yang tercatat di Kota Batam telah memenuhi kebutuhan kualitas tenaga kerja yang dibutuhkan. Sebanyak 95,8 persen dari total tenaga kerja yang tersedia di tahun 2006 memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA ataupun akademi sesuai kualitas yang dibutuhkan oleh subsektor industri, sementara pada tahun 2007 terjadi sedikit penurunan menjadi 94,4 persen. Hal ini dikarenakan keterbatasan jangka waktu pencatatan tenaga kerja di tahun 2007 yang hanya sampai bulan Agustus. Kuantitas tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri di Kota Batam terkait dengan aturan yang dikeluarkan Disperindag RI mengenai Pedoman Kawasan Industri yang mensyaratkan standar kebutuhan minimal tenaga kerja 100 jiwa per satu hektar lahan industri. Pada tahun 2006, tenaga kerja yang tersedia di Kota

12 52 Batam belum dapat memenuhi kuantitas tenaga kerja yang dibutuhkan, namun proyeksi Disnaker Kota Batam terhadap jumlah tenaga kerja yang tersedia pada tahun 2014 memperlihatkan kondisi ini telah dapat diperbaiki dan jumlah tenaga kerja yang tersedia dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja sektor industri. TABEL IV-9 DUKUNGAN KUANTITAS TENAGA KERJA KOTA BATAM Tolok Ukur Tahun Ketersediaan Tenaga Kerja Kebutuhan Minimum Dukungan 100 orang/ha jiwa jiwa Tidak jiwa jiwa Ya Catatan: luas lahan industri tahun 2006 = 6.754,57Ha dan proyeksi tahun 2014 = 5.843,74 Ha Dukungan dan potensi dukungan ketenagakerjaan di Kota Batam dapat dikatakan baik. Hal ini terlihat dari tersedianya tenaga kerja yang dibutuhkan sektor industri dengan kuantitas maupun kualitas yang memadai. Kondisi ini menunjukkan keseriusan Kota Batam dalam mendukung perkembangan sektor industri dari sisi ketenagakerjaan. TABEL IV-10 DUKUNGAN KETERSEDIAAN BAHAN BAKU Sektor Bahan Baku Industri Asing Bahan Baku Industri Lokal Industri Jenis Bahan Baku Asal Bahan baku Jenis Bahan Baku Asal Bahan Baku Kertas Carton board Batam Bubur Kertas Luar Batam Logam Alumunium Plat alumunium Batam Batam galvanis Plat stainless steel Besi baja Pipa baja Plat Baja Batam Batam Plat baja Plat Alumunium Mesin Komponen Batam Komponen Batam Elektronika Komponen Batam Komponen Batam Kendaraan Fibreglass Luar Batam Plat Baja Batam Kota Batam memberikan dukungan yang besar dalam menyediakan bahan baku dan energi yang dibutuhkan oleh sektor industri, kondisi ini terlihat dari

13 53 terpenuhinya kebutuhan bahan baku pada sepuluh dari duabelas industri asing dan industri lokal yang diamati. Jenis bahan baku yang paling banyak dibutuhkan oleh industri-industri tersebut adalah bahan baku logam (meliputi plat alumunium, plat baja, dan plat stainless steel) dan bahan baku komponen (mesin dan elektronika). Sedangkan jenis bahan baku yang belum dapat disediakan oleh Kota Batam adalah bahan baku fibreglass yang dibutuhkan industri kendaraan asing dan bahan baku bubur kertas yang dibutuhkan industri kertas lokal. Ketidakmampuan Kota Batam dalam menyediakan bahan baku bubur kertas lebih dikarenakan tidak terdapatnya industri pengolahan kayu pada wilayah studi yang disebabkan karena industri jenis ini tergolong dalam Negative List industri yang tidak berpotensi untuk dikembangkan di Kota Batam, sedangkan bahan baku fibreglass yang dibutuhkan oleh industri kendaraan asing sebenarnya telah mampu diproduksi di Kota Batam hanya saja kualitasnya masih belum memenuhi prasyarat bahan baku dari industri kendaraan asing tersebut. Dukungan dan potensi dukungan energi yang dapat disediakan oleh Kota Batam dalam mendukung perkembangan sektor industri dapat dinilai dari dua jenis energi yang paling dibutuhkan oleh sektor perindustrian, yakni ketersediaan energi air dan energi listrik. Tolok ukur yang digunakan dalam menilai dukungan dan potensi dukungan energi yang dapat disediakan oleh Kota Batam adalah Standar Teknis Industri yang mensyaratkan kebutuhan energi minimum bagi sektor industri adalah tersedianya pasokan listrik sebesar 0,1 Megawatt per satu hektar lahan industri serta tersedianya pasokan air sebesar 1 sampai 12 liter/detik per satu hektar lahan industri. TABEL IV-11 DUKUNGAN KETERSEDIAAN ENERGI AIR DAN LISTRIK Tolok Ukur Tahun Ketersediaan Energi Kebutuhan Minimum Dukungan Energi Air l/det 6.754,57 l/det Tidak 1-12 l/det/ha l/det 5.843,74 l/det Ya Energi Listrik ,6 Mw 675,5 Mw Ya 0,1 Mw/Ha ,6 Mw Ya Catatan: luas lahan industri tahun 2006 = 6.754,57Ha dan proyeksi tahun 2014 = 5.843,74 Ha

14 54 Berdasarkan tabel IV-11, kebutuhan energi listrik bagi industri di Kota Batam di tahun 2006 telah dapat dipenuhi dengan baik, dan pada tahun 2014 diperkirakan ketersediaan energi listrik masih jauh melampaui kebutuhan dari sektor industri tersebut. Kondisi ini dipengaruhi oleh rencana penambahan kapasitas empat pembangkit listrik yang ada serta ditambah dengan rencana pembangunan enam pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) baru untuk meningkatkan kapasitas tenaga listrik yang dapat dibangkitkan PT. PLN Kota Batam. Berbeda dengan kondisi ketersediaan energi listrik, kondisi ketersediaan energi air di tahun 2006 masih jauh berada dibawah kebutuhan sektor industri (hanya tersedia sepertiga dari kebutuhan minimum), sehingga pada masa yang akan datang PT. ATB Kota Batam berencana untuk meningkatkan kapasitas pengolahan air bersih yang ada sehingga kebutuhan energi air sektor industri di Kota Batam dapat terpenuhi. Tolok Ukur Persentasi jalan arteri primer Persentase jalan kondisi rusak Kapasitas sandar pelabuhan laut TABEL IV-12 DUKUNGAN SARANA DAN PRASARANA TRANSPORTASI DARAT DAN LAUT Tahun Ketersediaan Sarana Prasarana Kebutuhan Minimum Dukungan ,9% Ya 5-10% 2014 Belum diketahui ,26 Tidak <10% 2014 Belum diketahui - Pel. Kabil DWT Pel. Batu Ampar 2006 Tidak DWT Pel. Sekupang DWT DWT 2014 Pel. Kabil DWT Pel. Sekupang DWT Ya Tidak

15 55 Dukungan dan potensi dukungan sarana dan prasarana Kota Batam terhadap sektor perindustrian akan terkait dengan lalu lintas transportasi sektor industri terutama dengan kegiatan pemasokan bahan baku oleh industri asing dan kegiatan distribusi barang produksi industri lokal. Sarana dan prasarana moda transportasi yang dimaksudkan disini adalah moda transportasi darat dan laut, sedangkan moda transportasi udara tidak diperhitungkan lebih lanjut dikarenakan biaya transportasi udara yang lebih tinggi dibandingkan kedua moda transportasi lain sehingga kurang efisien bagi kegiatan transportasi perindustrian. Tolok ukur yang digunakan dalam menilai dukungan dan potensi dukungan sarana dan prasarana transportasi adalah Standar Teknis Industri yang ditetapkan oleh Depperindag RI. Keberadaan jalan arteri primer di Kota Batam tahun 2006 telah mencapai 23,9 persen dari total panjang jalan yang ada. Kondisi ini melebihi Standar Teknis Industri yang mensyaratkan kebutuhan minimum jalan arteri primer sektor perindustrian yang mensyaratkan keberadaan jalan arteri primer sebanyak 5-10 persen dari total jalan yang ada. Hal ini tentunya akan mempermudah sektor industri di Kota Batam untuk melakukan kegiatan transportasi industri, namun sayangnya keberadaan jalan arteri yang memadai ini masih terhambat oleh keberadaan jalan dalam kondisi rusak yang mencapai 12,26 persen dari total jalan yang ada. Padahal, menurut Standar Industri, keberadaan jalan dalam kondisi rusak hendaknya tidak melebihi 10 persen dari total panjang jalan yang ada. Standar Industri mengenai keberadaan jalan arteri primer dan keberadaan jalan dalam kondisi rusak ini dimaksudkan agar transportasi industri dapat berjalan dengan lancar sehingga mengurangi waktu tempuh dan biaya transportasi bahan baku maupun barang jadi. Cukup tingginya persentase jalan dalam kondisi rusak ini menurut Dinas Kimpraswil Kota Batam biasanya diakibatkan oleh pelanggaran kendaraan yang mengangkut beban berlebihan pada kelas jalan yang tidak sesuai serta dipengaruhi pula oleh kejadian alam yang dapat mempercepat rusaknya struktur jaringan jalan seperti pergeseran lempeng tanah, longsor, dan banjir. Panjang jalan yang mengalami kerusakan terus bertambah dari tahun 2002 sepanjang 51,16 km dan mencapai puncaknya pada tahun 2005 yakni sepanjang

16 56 143,9 km. Pada tahun 2007 panjang jalan yang berada dalam kondisi rusak dapat ditekan hingga 107,12 km, namun keberadaan jalan yang rusak ini masih belum sesuai dengan kebutuhan sarana dan prasarana transportasi sektor industri, sehingga diharapkan pada masa depan dapat dilakukan perbaikan jalan untuk memperbaiki jalan-jalan yang berada dalam kondisi rusak tersebut. Dukungan sarana dan prasarana transportasi laut pada sektor industri dapat dilihat dari kapasitas sandar kapal kargo yang mampu ditampung oleh pelabuhan barang di Kota Batam. Standar Teknis Industri mensyaratkan keberadaan pelabuhan kargo dengan kapasitas sandar kapal kargo minimum DWT (Dead Weight Ton/Bobot Mati Kapal) yang bertujuan agar kapal kargo berkapasitas angkut tinggi dapat berlabuh sehingga kegiatan transportasi bahan baku dan barang produk sektor industri dapat berjalan dengan lancar. Pada tahun 2006 ketiga pelabuhan kargo yang ada di Kota Batam belum mampu memenuhi kebutuhan sandar minimum kapal barang yang ditetapkan oleh sektor industri. Hal ini berpotensi memperlambat transportasi laut bagi sektor industri dan akan menciptakan peningkatan biaya transportasi laut yang harus ditanggung pengusaha. Oleh karena itu direncanakan pengembangan pelabuhan kargo Batu Ampar sehingga diharapkan dapat menlancarkan transportasi laut di masa depan. Berdasarkan peta lokasi industri dapat dilihat bahwa pelayanan jalan arteri primer telah dapat menjangkau hampir keseluruhan lokasi industri di Kota Batam. Hal ini akan mempermudah trnasportasi darat bagi sektor industri. Pada sisi lain, letak ketiga pelabuhan kargo di Kota Batam masih strategis. Hal ini terlihat dari lokasi industri yang berada di pusat Kota Batam maupun yang berada di Barat Daya Kota Batam masih berjarak cukup jauh dari pelabuhan kargo yang ada. Hal ini akan menyulitkan bagi industri-industri yang berada di lokasi tersebut untuk mengakses pelabuhan kargo yang ada.

17 57

18 58 Kondisi dan rencana pengembangan sarana dan prasarana transportasi laut dan darat di Kota Batam memperlihatkan masih kurangnya dukungan dan potensi dukungan yang dapat mendukung perkembangan sektor industri. Kondisi ini terlihat dari masih terdapatnya jalan dalam kondisi rusak serta ketiadaan pelabuhan kargo yang dapat menampung kapal kargo berkapasitas tinggi. Oleh karenanya dibutuhkan perbaikan sarana dan prasarana transportasi pada masa depan sehingga dapat mendukung perkembangan sektor perindustrian. TABEL IV-13 BIAYA SEWA GUNA LAHAN INDUSTRI DI KOTA BATAM Cara Biaya Sewa Lokasi Industri (Rupiah/m 2 ) Pembayaran Batam Centre Sei Panas Muka Kuning Sekupang Lunas 30 thn Cicilan 12 bln Cicilan 24 bln Cicilan 36 bln Cara Biaya Sewa Lokasi Industri (Rupiah/m 2 ) Pembayaran Sagulung Nongsa Kabil Tj. Piayu Lunas 30 thn Cicilan 12 bln Cicilan 24 bln Cicilan 36 bln Sumber: Pemerintah Kota Batam, 2009 Dukungan dan potensi dukungan kebijakan Kota Batam terhadap sektor industri terlihat dari visi dan misi Kota Batam dalam mengembangkan sektor industri, serta ditambah dengan berbagai peraturan dan kebijakan yang berpihak pada sektor industri. Kebijakan yang dianggap paling signifikan dalam mendukung perkembangan sektor industri adalah penetapan keseluruhan wilayah Kota Batam sebagai wilayah usaha kawasan berikat (bonded warehouse). Kebijakan ini akan memudahkan kegiatan impor ekspor bahan baku maupun barang produk industri dari dan keluar Pulau Batam. Selain itu kebijakan lainnya yang menarik untuk dilihat adalah biaya sewa lahan yang ditetapkan khusus bagi guna lahan industri (lihat tabel IV-13).

19 59 Pemerintah Kota Batam memberikan kemudahan cara pembayaran sewa guna lahan industri dengan cara pembayaran tunai maupun cicilan (maksimal tiga tahun), serta memberikan keringanan harga sewa bagi industri yang melakukan pelunasan biaya sewa selama tigapuluh tahun secara tunai. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan insentif bagi industri yang berencana untuk melakukan kegiatan produksi di Kota Batam dalam jangka waktu yang lama. GAMBAR 4.2 PERBANDINGAN BIAYA SEWA GUNA LAHAN INDUSTRI Biaya Sewa Lahan Sosial Apartemen Murah Lahan Siap Bangun Pemerintahan Perikanan Pertanian Perumahan Murah Fasilitas Olahraga Industri Pariwisata Perumahan Komersial Sumber: Pemerintah Kota Batam, 2009 Bentuk dukungann lainnya yang diberikan Pemerintah Kota Batam terhadap perkembangan sektor industri adalah penetapan biaya sewa guna lahan yang cukup murah bila dibandingkan dengan harga sewa bagi guna lahan lainnya yang juga diatur oleh Pemerintah Kota Batam. Rata-rata biaya sewa guna lahan industri menempati urutan keempat dalam biaya sewa guna lahan dan masih berada dibawah biaya sewa guna lahan komersial, perumahan, dan pariwisata. Perbedaan biaya sewa guna lahan industri pada berbagai wilayah di Kota Batam dimaksudkan untuk memberikan insentif bagi industri yang berminat untuk mengembangkan usahanya di daerah yang belum padat seperti Muka Kuning,

20 60 Sekupang, dan Tanjung Piayu sekaligus bermaksud untuk membatasi pertumbuhan industri pada daerah yang dianggap sudah jenuh industri seperti Sei. Panas dan Batam Centre. Kondisi ini menunjukkan besarnya dukungan kebijakan Kota Batam bagi pertumbuhan sektor perindustrian.

BAB 5 KESIMPULAN 5.1 Temuan Studi

BAB 5 KESIMPULAN 5.1 Temuan Studi BAB 5 KESIMPULAN Bab ini merupakan penutup dari studi yang dilakukan dimana akan dipaparkan mengenai temuan studi yang dihasilkan dari proses analisis terutama untuk mencapai tujuan penelitian yang telah

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM KOTA BATAM

BAB 3 GAMBARAN UMUM KOTA BATAM BAB 3 GAMBARAN UMUM KOTA BATAM Bab ini berisikan gambaran fisik wilayah, gambaran sosial ekonomi, struktur industri yang terbentuk pada wilayah studi, serta gambaran sarana dan prasarana yang terdapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan bagian awal dari studi yang akan memaparkan latar belakang mengenai dasar munculnya permasalahan studi dan mengapa studi ini penting untuk dilakukan, perumusan masalah,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KETERKAITAN ANTARA INDUSTRI ASING DAN INDUSTRI LOKAL DI KOTA BATAM PL40Z1 TUGAS AKHIR. Oleh: Ali Rizki Pratama

IDENTIFIKASI KETERKAITAN ANTARA INDUSTRI ASING DAN INDUSTRI LOKAL DI KOTA BATAM PL40Z1 TUGAS AKHIR. Oleh: Ali Rizki Pratama IDENTIFIKASI KETERKAITAN ANTARA INDUSTRI ASING DAN INDUSTRI LOKAL DI KOTA BATAM PL40Z1 TUGAS AKHIR Oleh: Ali Rizki Pratama 15404035 PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA SEKOLAH ARSITEKTUR PERENCANAAN

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN LITERATUR

BAB 2 KAJIAN LITERATUR BAB 2 KAJIAN LITERATUR Bab ini berisikan tentang teori yang terkait dengan pembahasan studi yakni teori mengenai perencanaan pengembangan wilayah, teori keterkaitan antar industri, dan teori pemilihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor properti dan infrastruktur, dengan pertumbuhan Compound Annual

BAB I PENDAHULUAN. sektor properti dan infrastruktur, dengan pertumbuhan Compound Annual BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permintaan baja yang masih terus tumbuh didukung oleh pembangunan sektor properti dan infrastruktur, dengan pertumbuhan Compound Annual Growth Rate/CAGR (2003 2012)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk atau barang atau jasa atau pikiran untuk tujuan khusus (dari daerah asal ke daerah

BAB I PENDAHULUAN. penduduk atau barang atau jasa atau pikiran untuk tujuan khusus (dari daerah asal ke daerah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Transportasi merupakan proses yang pembahasannya menekankan pada pergerakan penduduk atau barang atau jasa atau pikiran untuk tujuan khusus (dari daerah asal ke daerah

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU JANUARI 2012

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU JANUARI 2012 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU JANUARI 1. PERKEMBANGAN EKSPOR No.23/04/21/Th. VII, 2 April Nilai ekspor Provinsi Kepulauan Riau mencapai

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua Provinsi Papua terletak antara 2 25-9 Lintang Selatan dan 130-141 Bujur Timur. Provinsi Papua yang memiliki luas

Lebih terperinci

Rencana Strategis Perindustrian di Bidang Energi

Rencana Strategis Perindustrian di Bidang Energi Rencana Strategis Perindustrian di Bidang Energi disampaikan pada Forum Sinkronisasi Perencanaan Strategis 2015-2019 Dalam Rangka Pencapaian Sasaran Kebijakan Energi Nasional Yogyakarta, 13 Agustus 2015

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU MARET 2011

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU MARET 2011 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU No.35/06/21/Th. VI, 1 Juni PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU MARET 1. PERKEMBANGAN EKSPOR Nilai ekspor Provinsi Kepulauan Riau mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayaran antar pulau di Indonesia merupakan salah satu sarana transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan pembangunan nasional yang berwawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kondisi ekonomi, sosial dan pertumbuhan penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kondisi ekonomi, sosial dan pertumbuhan penduduk BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Peningkatan kondisi ekonomi, sosial dan pertumbuhan penduduk menyebabkan meningkatnya tuntutan manusia terhadap sarana transportasi. Untuk menunjang kelancaran pergerakan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU JUNI 2011

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU JUNI 2011 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU JUNI 1. PERKEMBANGAN EKSPOR No.53/09/21/Th. VI, 5 September Nilai ekspor Provinsi Kepulauan Riau mencapai

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka percepatan pembangunan industri perikanan nasional

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOVEMBER 2009

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOVEMBER 2009 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU No.158/02/21/Th. V, 1 Februari 2010 PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOVEMBER 1. PERKEMBANGAN EKSPOR Nilai ekspor Provinsi Kepulauan Riau

Lebih terperinci

STATISTIK PERHUBUNGAN KABUPATEN MAMUJU 2014

STATISTIK PERHUBUNGAN KABUPATEN MAMUJU 2014 s. bp uk ab. am uj m :// ht tp id go. STATISTIK PERHUBUNGAN KABUPATEN MAMUJU 2014 ISSN : - No. Publikasi : 76044.1502 Katalog BPS : 830.1002.7604 Ukuran Buku : 18 cm x 24 cm Jumlah Halaman : v + 26 Halaman

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Sektor unggulan di Kota Dumai diidentifikasi dengan menggunakan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Sektor unggulan di Kota Dumai diidentifikasi dengan menggunakan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Sektor unggulan di Kota Dumai diidentifikasi dengan menggunakan beberapa alat analisis, yaitu analisis Location Quetiont (LQ), analisis MRP serta Indeks Komposit. Kemudian untuk

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU JULI 2017

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU JULI 2017 BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 61/08/21/Th. XII, 15 Agustus PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU JULI A. PERKEMBANGAN EKSPOR Nilai ekspor Provinsi Kepulauan Riau Juli mencapai US$1.002,19

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... i iv ix BAB I PENDAHULUAN... I - 1 I.1 Latar Belakang... I - 1 I.2 Dasar Hukum Penyusunan... I - 3 I.3 Hubungan Antar Dokumen... I - 7 I.4 Sistematika

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU AGUSTUS 2017

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU AGUSTUS 2017 BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 63/09/21/Th. XII, 15 September PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU AGUSTUS A. PERKEMBANGAN EKSPOR Nilai ekspor Provinsi Kepulauan Riau mencapai US$976,89

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN MARET 2016

PERKEMBANGAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN MARET 2016 PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR - IMPOR SUMATERA SELATAN MEI 2006 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. / /Th., Mei 2007 No. 24/05/16/Th.XVIII, 02 Mei PERKEMBANGAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN MARET Jumlah

Lebih terperinci

Transportasi terdiri dari dua aspek, yaitu (1) prasarana atau infrastruktur seperti jalan raya, jalan rel, bandar udara dan pelabuhan laut; serta (2)

Transportasi terdiri dari dua aspek, yaitu (1) prasarana atau infrastruktur seperti jalan raya, jalan rel, bandar udara dan pelabuhan laut; serta (2) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah mengalami perkembangan sebagai akibat adanya kegiatan atau aktivitas manusia yang terjadi di dalamnya. Kegiatan yang dilakukan oleh manusia atau masyarakat

Lebih terperinci

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI...... i 1. GEOGRAFI Tabel : 1.01 Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat Dan Kabupaten/Kota... 1 Tabel : 1.02 Jumlah Kecamatan Dan Desa Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011... 2 2. KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. TINJAUAN UMUM Pemerataan pembangunan di seluruh penjuru tanah air merupakan program pemerintah kita sebagai usaha untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan terutama di bidang ekonomi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah

I. PENDAHULUAN. adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan yang sering dihadapi dalam perencanaan pembangunan adalah adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah penyebaran investasi yang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Dasar Hukum... 1 1.1.2 Gambaran Umum Singkat... 1 1.1.3 Alasan Kegiatan Dilaksanakan... 3 1.2 Maksud dan Tujuan... 3 1.2.1 Maksud Studi...

Lebih terperinci

KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL TAHUN Disampaikan pada acara: Rapat Kerja Kementerian Perindustrian Di Hotel Bidakara

KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL TAHUN Disampaikan pada acara: Rapat Kerja Kementerian Perindustrian Di Hotel Bidakara KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL TAHUN 2015-2019 Disampaikan pada acara: Rapat Kerja Kementerian Perindustrian Di Hotel Bidakara Jakarta, 16 Februari 2016 I. TUJUAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL 2 I. TUJUAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI Juli 2007 INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI Pada Juli 2007, secara tahunan, pertumbuhan tertinggi terjadi pada produksi kendaraan non niaga, sedangkan kontraksi tertinggi terjadi pada penjualan minyak diesel.

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU SEPTEMBER 2015

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU SEPTEMBER 2015 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU SEPTEMBER 1. PERKEMBANGAN EKSPOR No. 81/10/21/Th. X, 15 Oktober Nilai ekspor Provinsi Kepulauan Riau

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal,

V. GAMBARAN UMUM. Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal, V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa ini berbatasan dengan Desa Bantarjati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik pula perekonomian negara

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN JASA MARITIM BERBASIS PERKAPALAN DI SELAT MALAKA

PEMBERDAYAAN JASA MARITIM BERBASIS PERKAPALAN DI SELAT MALAKA Kode : w.23 PEMBERDAYAAN JASA MARITIM BERBASIS PERKAPALAN DI SELAT MALAKA KOORDINATOR : KOLONEL INF JEFRI BUANG BALITBANG KEMENTERIAN PERTAHANAN RI 2012 Saat ini sekitar 96% angkutan ekspor impor dan 55%

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan Pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 38 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memilih lokasi Kota Cirebon. Hal tersebut karena Kota Cirebon merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. diproses lagi menjadi produk-produk baru yang lebih menguntungkan. industri yang dikaitkan dengan sektor ekonomi lain.

1. PENDAHULUAN. diproses lagi menjadi produk-produk baru yang lebih menguntungkan. industri yang dikaitkan dengan sektor ekonomi lain. 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendirian Pabrik Indonesia merupakan salah satu negara yang berpotensi di sektor minyak dan gas bumi, sehingga minyak dan gas bumi dapat dijadikan komoditi penting untuk

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPRI JULI 2009

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPRI JULI 2009 BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 138/10/21/Th. IV, 1 Oktober PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPRI JULI 1. PERKEMBANGAN EKSPOR Nilai ekspor Provinsi Kepri mencapai US$ 544,39 juta atau mengalami

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU JANUARI 2017

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU JANUARI 2017 BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 18/02/21/Th. XII, 16 Februari 2017 PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU JANUARI 2017 A. PERKEMBANGAN EKSPOR Nilai ekspor Provinsi Kepulauan Riau Januari

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU MEI 2016

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU MEI 2016 BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU MEI 2016 1. PERKEMBANGAN EKSPOR No. 47/06/21/Th. XI, 15 Juni 2016 Nilai ekspor Provinsi Kepulauan Riau mencapai US$816,53

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN JUNI 2015

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN JUNI 2015 PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR - IMPOR SUMATERA SELATAN MEI 2006 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. / /Th., 2007 No. 42/08/16/Th.XVIII, 01 Agustus PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN AGUSTUS 2015

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN AGUSTUS 2015 PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR - IMPOR SUMATERA SELATAN MEI 2006 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. / /Th., Mei 2007 No. 56/10/16/Th.XVIII, 01 Oktober PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi 4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam pengembangan suatu wilayah, terdapat beberapa konsep pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS), konsep pengembangan

Lebih terperinci

TESIS JOHAN JOHANNES PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI TEKNIK TRANSPORTASI KELAUTAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2010

TESIS JOHAN JOHANNES PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI TEKNIK TRANSPORTASI KELAUTAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2010 TESIS JOHAN JOHANNES PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI TEKNIK TRANSPORTASI KELAUTAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2010 Latar Belakang Listrik ; satu faktor penting dalam memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI 6.1. Analisis Multiplier Pembangunan Jalan Terhadap Pendapatan Faktor Produksi Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan umumnya membutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota menurut Alan S. Burger The City yang diterjemahkan oleh (Dyayadi, 2008) dalam bukunya Tata Kota menurut Islam adalah suatu permukiman yang menetap (permanen) dengan

Lebih terperinci

RPJMD KABUPATEN LINGGA DAFTAR ISI. Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar

RPJMD KABUPATEN LINGGA DAFTAR ISI. Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar i ii vii Bab I PENDAHULUAN I-1 1.1 Latar Belakang I-1 1.2 Dasar Hukum I-2 1.3 Hubungan Antar Dokumen 1-4 1.4 Sistematika Penulisan 1-6 1.5 Maksud dan Tujuan 1-7 Bab

Lebih terperinci

BADAN PUSAT SATISTIK PROPINSI KEPRI

BADAN PUSAT SATISTIK PROPINSI KEPRI BADAN PUSAT SATISTIK PROPINSI KEPRI No. 14/07/21/Th. II, 2 Juli PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROPINSI KEPRI PEBRUARI 1. PERKEMBANGAN EKSPOR Nilai ekspor Propinsi Kepri mencapai US$ 521,10 juta atau mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dilihat dari sejarah atau proses perkembangannya pada masa yang lalu dapat diketahui bahwa kota-kota pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dilihat dari sejarah atau proses perkembangannya pada masa yang lalu dapat diketahui bahwa kota-kota pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dilihat dari sejarah atau proses perkembangannya pada masa yang lalu dapat diketahui bahwa kota-kota pada umumnya mempunyai corak atau cirinya sendiri yang berbeda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlunya perumahan dan pemukiman telah diarahkan pula oleh Undang-undang Republik

BAB I PENDAHULUAN. perlunya perumahan dan pemukiman telah diarahkan pula oleh Undang-undang Republik BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG I.1.1. Latar Belakang Eksistensi Proyek Pemukiman dan perumahan adalah merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh manusia. Perumahan dan pemukiman tidak hanya

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN OKTOBER 2016

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN OKTOBER 2016 PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR - IMPOR SUMATERA SELATAN MEI 2006 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. / /Th., Mei 2007 No.69/12/16/Th.XVIII, 01 Desember PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN

Lebih terperinci

BAHAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) REGIONAL KALIMANTAN TAHUN 2015

BAHAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) REGIONAL KALIMANTAN TAHUN 2015 BAHAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) REGIONAL KALIMANTAN TAHUN 2015 BALAI SIDANG JAKARTA, 24 FEBRUARI 2015 1 I. PENDAHULUAN Perekonomian Wilayah Pulau Kalimantan

Lebih terperinci

POINTERS MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Dialog Energi Media Indonesia Indonesia & Diversifikasi Energi Menentukan Kebijakan Energi Indonesia 14 April 2015

POINTERS MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Dialog Energi Media Indonesia Indonesia & Diversifikasi Energi Menentukan Kebijakan Energi Indonesia 14 April 2015 POINTERS MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Dialog Energi Media Indonesia Indonesia & Diversifikasi Energi Menentukan Kebijakan Energi Indonesia 14 April 2015 Yang Saya Hormati: 1. Pimpinan Media Indonesia; 2.

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN SEPTEMBER 2016

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN SEPTEMBER 2016 PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR - IMPOR SUMATERA SELATAN MEI 2006 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. / /Th., Mei 2007 No.61/11/16/Th.XVIII, 01 November PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN

Lebih terperinci

BAB VII TATA LETAK PABRIK

BAB VII TATA LETAK PABRIK BAB VII TATA LETAK PABRIK A. Lokasi Pabrik Penentuan lokasi pabrik adalah salah satu hal yang terpenting dalam mendirikan suatu pabrik. Lokasi pabrik akan berpengaruh secara langsung terhadap kelangsungan

Lebih terperinci

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PAPARAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA RAKER KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA, 27 JANUARI 2016

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PAPARAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA RAKER KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA, 27 JANUARI 2016 Menteri Perindustrian Republik Indonesia PAPARAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA RAKER KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA, 27 JANUARI 2016 Yth. : 1. Menteri Perdagangan; 2. Menteri Pertanian; 3. Kepala BKPM;

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS Pada bab sebelumnya telah diuraikan gambaran umum Kabupaten Kebumen sebagai hasil pembangunan jangka menengah 5 (lima) tahun periode yang lalu. Dari kondisi yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa

Lebih terperinci

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR A. KONDISI UMUM Sebagai motor penggerak (prime mover) pertumbuhan ekonomi, sektor industri khususnya industri pengolahan nonmigas (manufaktur) menempati

Lebih terperinci

Boks 2. Kesuksesan Sektor Jasa Angkutan Udara di Provinsi Jambi

Boks 2. Kesuksesan Sektor Jasa Angkutan Udara di Provinsi Jambi Boks 2. Kesuksesan Sektor Jasa Angkutan Udara di Provinsi Jambi Perekonomian Jambi yang mampu tumbuh sebesar 5,89% pada tahun 2006 merupakan prestasi tersendiri. Pada awal tahun bekerjanya mesin ekonomi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pelabuhan merupakan sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya. Perkembangan pelabuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan jangka panjang, sektor industri merupakan tulang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan jangka panjang, sektor industri merupakan tulang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam pembangunan jangka panjang, sektor industri merupakan tulang punggung perekonomian. Tumpuan harapan yang diletakkan pada sektor industri dimaksudkan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA OKTOBER 2009

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA OKTOBER 2009 BADAN PUSAT STATISTIK No. 72/12/Th. XII, 1 Desember PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA OKTOBER A. PERKEMBANGAN EKSPOR Nilai ekspor Indonesia mencapai US$11,88 miliar atau mengalami peningkatan sebesar

Lebih terperinci

S A L I N A N LAMPIRAN I PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN UTARA NOMOR 21 TAHUN 2016

S A L I N A N LAMPIRAN I PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN UTARA NOMOR 21 TAHUN 2016 DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN (TIPE A) LAMPIRAN I NOMOR 21 TAHUN 2016 LAMPIRAN I PERATURAN DAERAH TENTANG NOMOR : PERENCANAAN, DAN BMD PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN PEMBINAAN SMA PEMBINAAN SMK PEMBINAAN

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN UMUM

BAB II KETENTUAN UMUM BAB II KETENTUAN UMUM 2.1. Pengertian Umum Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan

Lebih terperinci

Pusat Pengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian

Pusat Pengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian GREEN CHILLER POLICY IN INDUSTRIAL SECTOR Disampaikan pada: EBTKE CONEX Jakarta Convention Center 21 Agustus 2015 Pusat Pengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup Badan Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN JULI 2015

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN JULI 2015 PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR - IMPOR SUMATERA SELATAN MEI 2006 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. / /Th., Mei 2007 No. 52/09/16/Th.XVIII, 01 September PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA

Lebih terperinci

DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN

DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN JUDUL REKOMENDASI Strategi Peningkatan Aspek Keberlanjutan Pengembangan Energi Laut SASARAN REKOMENDASI Kebijakan yang Terkait dengan Prioritas Nasional LATAR BELAKANGM Dalam

Lebih terperinci

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR A. KONDISI UMUM Sebagai motor penggerak (prime mover) pertumbuhan ekonomi, sektor industri khususnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memikirkan potensi industrinya. Pertumbuhan industri di Indonesia semakin

I. PENDAHULUAN. memikirkan potensi industrinya. Pertumbuhan industri di Indonesia semakin I. PENDAHULUAN Memasuki era globalisasi dan persaingan pasar bebas membuat Indonesia harus memikirkan potensi industrinya. Pertumbuhan industri di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun baik dari

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUKIT BATU 2013

STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUKIT BATU 2013 Katalog BPS : 1101002.6271020 STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUKIT BATU 2013 BADAN PUSAT STATISTIK KOTA PALANGKA RAYA STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUKIT BATU 2013 STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUKIT BATU 2013

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN MARET 2017

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN MARET 2017 PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR - IMPOR SUMATERA SELATAN MEI 2006 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. / /Th., Mei 2007 No. 23/05/16/Th.XIX, 02 Mei PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN

Lebih terperinci

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Dalam memahami karakter sebuah wilayah, pemahaman akan potensi dan masalah yang ada merupakan hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kawasan Gerbangkertosusila (Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya- Sidoarjo-Lamongan) merupakan salah satu Kawasan Tertentu di Indonesia, yang ditetapkan dalam PP No.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi merupakan sektor kegiatan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pentingnya transportasi bagi masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 8 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4. Keadaan Wilayah Kepulauan Seribu merupakan sebuah gugusan pulaupulau kecil yang terbentang dari teluk Jakarta sampai dengan Pulau Sibera. Luas total Kabupaten

Lebih terperinci

KAJIAN PERMASALAHAN EKONOMI DI DAERAH BERPENDAPATAN RENDAH

KAJIAN PERMASALAHAN EKONOMI DI DAERAH BERPENDAPATAN RENDAH Bab 5 KAJIAN PERMASALAHAN EKONOMI DI DAERAH BERPENDAPATAN RENDAH 5.1 Hasil Kajian Daerah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki wilayah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum 2.1.1 Becak Becak (dari bahasa Hokkien : be chia "kereta kuda") adalah suatu moda transportasi beroda tiga yang umum ditemukan di Indonesia dan juga di sebagian

Lebih terperinci

Energy Conservation in the Industry by Utilizing Renewable Energy or Energy Efficiency and Technology Development. Jakarta, 19 Agustus 2015

Energy Conservation in the Industry by Utilizing Renewable Energy or Energy Efficiency and Technology Development. Jakarta, 19 Agustus 2015 MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA Energy Conservation in the Industry by Utilizing Renewable Energy or Energy Efficiency and Technology Development Jakarta, 19 Agustus 2015 PERTUMBUHAN EKONOMI DAN

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

Perluasan Lapangan Kerja

Perluasan Lapangan Kerja VII Perluasan Lapangan Kerja Perluasan lapangan kerja untuk menciptakan lapangan kerja dalam jumlah dan mutu yang makin meningkat, merupakan sebuah keniscayaan untuk menyerap angkatan kerja baru yang terus

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PENGANTAR... I DAFTAR ISI... II DAFTAR TABEL... V DAFTAR GAMBAR... VI BAB I PENDAHULUAN... I-1

DAFTAR ISI PENGANTAR... I DAFTAR ISI... II DAFTAR TABEL... V DAFTAR GAMBAR... VI BAB I PENDAHULUAN... I-1 DAFTAR ISI PENGANTAR... I DAFTAR ISI... II DAFTAR TABEL... V DAFTAR GAMBAR... VI BAB I PENDAHULUAN... I-1 1.1. LATAR BELAKANG... I-1 1.2. DASAR HUKUM... I-1 1.3. GAMBARAN UMUM JAWA BARAT... I-4 1.3.1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber : Data AMDK tahun 2011 Gambar 1.1 Grafik volume konsumsi air minum berdasarkan tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sumber : Data AMDK tahun 2011 Gambar 1.1 Grafik volume konsumsi air minum berdasarkan tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Jakarta sebagai metropolitan dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat menghasilkan permasalahan mendasar yang pelik dan salah satunya adalah ketersediaan

Lebih terperinci

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI Oktober 2008 INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI Pada Oktober 2008, pertumbuhan tertinggi secara tahunan terjadi pada produksi kendaraan niaga, sementara secara bulanan terjadi pada produksi kendaraan non niaga

Lebih terperinci

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 18 TAHUN 2017

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 18 TAHUN 2017 BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Produksi Liquefied Natural Gas (LNG) LNG Indonesia diproduksi dari tiga kilang utama, yaitu kilang Arun, kilang Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar..

DAFTAR ISI. Kata Pengantar.. DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar.. Daftar Isi. Daftat Tabel. Daftar Gambar i-ii iii iv-vi vii-vii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang. 1 I.2. Dasar Hukum...... 4 I.3. Tujuan..... 5 I.4. Manfaat......

Lebih terperinci

Batam Dalam Data

Batam Dalam Data SEJARAH RINGKAS Sebelum menjadi daerah otonom, Kotamadya Batam merupakan Kotamadya ke 2 (dua) di Provinsi Riau yaitu yang pertama Kotamadya Pekanbaru yang bersifat otonom, sedangkan Kotamadya Batam bersifat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2011 2031 I. UMUM Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas yang meliputi

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROPINSI KEPRI

BADAN PUSAT STATISTIK PROPINSI KEPRI BADAN PUSAT STATISTIK PROPINSI KEPRI No.31/01/21/Th. III, 2 Januari 2008 PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROPINSI KEPRI SEPTEMBER 1. PERKEMBANGAN EKSPOR Nilai ekspor Propinsi Kepri September mencapai US$

Lebih terperinci

2. 1 Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai

2. 1 Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai BAB 2 TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG 2. 1 Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten Serdang Bedagai pada prinsipnya merupakan sarana/alat

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang IV. GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Propinsi Kalimantan Timur dengan luas wilayah daratan 198.441,17 km 2 dan luas pengelolaan laut 10.216,57 km 2 terletak antara 113º44 Bujur Timur dan 119º00

Lebih terperinci

BAB III DAYA SAING INDUSTRI OTOMOTIF INDONESIA, PELUANG DAN TANTANGANYA

BAB III DAYA SAING INDUSTRI OTOMOTIF INDONESIA, PELUANG DAN TANTANGANYA BAB III DAYA SAING INDUSTRI OTOMOTIF INDONESIA, PELUANG DAN TANTANGANYA Pada bab yang ketiga ini akan membahas mengenai daya saing industi otomotif Indonesia. Daya saing ini akan dilihat dari sisi kekuatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan minyak bumi dan gas alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan,

Lebih terperinci