BAB 2 KAJIAN LITERATUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 KAJIAN LITERATUR"

Transkripsi

1 BAB 2 KAJIAN LITERATUR Bab ini berisikan tentang teori yang terkait dengan pembahasan studi yakni teori mengenai perencanaan pengembangan wilayah, teori keterkaitan antar industri, dan teori pemilihan lokasi industri. Bab ini bertujuan untuk membangun kerangka teoritis yang kuat dan terstruktur sehingga memudahkan pelaksanaan analisis studi sekaligus membatasi fokus pembahasan pada permasalahan yang diangkat. 2.1 Teori Perencanaan Pengembangan Wilayah Terdapat dua pendekatan dalam perencanaan pengembangan wilayah, yakni pendekatan sektoral dan pendekatan regional (wilayah). Pendekatan sektoral memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada pada wilayah tersebut, dengan mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor seragam atau yang dianggap seragam. Sementara itu pendekatan regional melihat pemanfaatan ruang serta interaksi yang terjadi pada berbagai kegiatan dalam ruang wilayah. Perbedaan cara pendekatan ini terjadi karena perbedaan lokasi, potensi, dan aktivitas utama pada masing-masing wilayah (Firman, 2006). Pendekatan sektoral merupakan pendekatan dimana seluruh kegiatan ekonomi di dalam wilayah perencanaan dikelompokkan atas sektor-sektor, yang selanjutnya tiap sektor dianalisis satu per satu. Setiap sektor dianalisis potensi dan peluangnya sebagai masukan untuk menetapkan sektor yang dapat ditingkatkan dan dimana lokasi dari kegiatan peningkatan itu. Caranya adalah dengan membagi-bagi sektor ke dalam kelompok yang bersifat homogen kemudian dianalisis satu persatu. Misalnya, untuk menganalisis sektor perindustrian, sektor tersebut dibagi atas subsektor industri kecil, menengah, besar, dan sebagainya. Masing-masing subsektor dapat lagi diperinci atas dasar komoditi, seperti subsektor industri besar dapat diperinci atas industri kertas, kimia, kayu, dan lain sebagainya. Setelah informasi ini diketahui, metoda aregasi dapat menyimpulkan tentang keadaaan subsektor dan selanjutnya dapat menggambarkan keadaan sektor 17

2 18 secara keseluruhan. Analisis sektor tidak berarti bahwa satu sektor dengan sektor lain terpisah total dalam analisis. Salah satu pendekatan yang melihat kaitan pertumbuhan antara satu sektor dengan sektor lain dan sebaliknya adalah dengan analisis masukan-keluaran, dimana perubahan pada input atau output pada satu sektor/industri secara otomatis akan mendorong perubahan pada sektor industri lainnya. Pendekatan sektoral terlebih dahulu memperhatikan sektor/komoditi yang kemudian setelah dianalisis akan menghasilkan proyek-proyek peningkatan yang diusulkan untuk dilaksanakan. Pendekatan regional sangat berbeda dengan pendekatan sektoral walaupun tujuan akhirnya adalah sama. Pendekatan sektoral adalah pendekatan yang pada mulanya mengabaikan faktor ruang (spasial). Memang pendekatan sektoral dapat diperinci atas daerah yang lebih kecil, misalnya analisis sektoral per kabupaten, perkecamatan, atau per desa, sehingga seakan-akan faktor ruang telah terpenuhi. Namun hal ini belum memenuhi pendekatan regional karena pendekatan regional memiliki segi-segi tersendiri. Pendekatan regional dalam pengertian sempit adalah perencanaan pengembangan wilayah dengan memperhatikan ruang dengan segala kondisinya. Setelah analisis dilakukan, ditemukan adanya ruang yang belum dimanfaatkan atau penggunaannya masih belum optimal, sehingga direncanakan kegiatan apa sebaiknya yang diadakan pada lokasi tersebut, agar pengunaan ruang menjadi serasi dan efisien serta optimal. Pendekatan regional adalah analisis atas penggunaan ruang saat ini, analisis atas aktivitas yang akan mengubah penggunaan ruang dan perkiraan atas bentuk penggunaan ruang di masa datang. Analisis regional didasarkan pada anggapan bahwa perpindahan orang dan barang dari satu daerah ke daerah lain adalah bebas dan bahwa orang juga modal akan berpindah berdasarkan daya tarik suatu daerah yang lebih kuat dari daerah lain. Perencanaan pendekatan regional memandang wilayah sebagai kumpulan dari bagian wilayah yang lebih kecil dengan potensi dan daya tarikan masing-masing. Hal inilah yang membuat setiap wilayah saling menjalin hubungan untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya.

3 19 Perbedaan antar kedua pendekatan tersebut hanya terletak pada cara memulai analisis serta sifat analisisnya. Pendekatan regional dalam pengertian yang luas selain memperhatikan penggunaan ruang untuk kegiatan produksi juga memprediksi arah konsentrasi kegiatan dan memperkirakan kebutuhan fasilitas untuk masing-masing konsentrasi serta merencanakan jaringan penghubung sehingga berbagai konsentrasi dapat dihubungkan secara efisien. 2.2 Teori Keterkaitan Antar Industri Keberadaan keterkaitan (linkage) antara industri lokal dan industri asing akan menghasilkan dampak sosioekonomi yang baik, sebagaimana dikemukakan oleh Blakely (1989). Blakely mengatakan bahwa kegiatan menimbulkan daya tarik, melakukan ekspansi, atau menciptakan industri yang memiliki keterkaitan dengan aktivitas ekonomi yang telah ada di kawasan tersebut akan memberikan dampak sosioekonomi yang lebih bermanfaat dibandingkan industri yang tidak memiliki keterkaitan sama sekali. Dampak sosioekonomi tersebut adalah: 1. Penggunaan bahan mentah lokal; Keberadaan industri asing pada suatu wilayah yang menggunakan bahan mentah yang tersedia di wilayah tersebut akan memberikan dampak positif terhadap industri tersebut maupun terhadap wilayah dimana industri tersebut berlokasi. Dampak positif yang diterima oleh industri adalah mereka dapat mendapatkan bahan mentah bagi kegiatan produksi dengan mudah, dan disisi lain wilayah dimana industri tersebut berlokasi akan mendapatkan dampak pengembangan wilayah yang baik dari keberadaan industri ini. Kondisi ini terjadi terutama pada industri asing yang bersifat process oriented, dimana tipe industri ini lebih memilih untuk mendekati lokasi yang dapat menyediakan bahan baku produksi dibandingkan mendekati lokasi pasar dimana barang produksinya akan dipasarkan. Kondisi ini biasa terjadi pada

4 20 industri asing yang bergerak di sektor pertambangan, misalnya subsektor industri pengolahan batubara, emas, nikel, dan sebagainya. 2. Penggunaan barang produksi lokal sebagai input produksi; Keberadaan industri asing yang menggunakan bahan baku yang dihasilkan oleh industri lokal pada satu ruang lingkup wilayah akan memberikan dampak positif yang hampir serupa dengan keberadaan industri yang menggunakan bahan mentah lokal. Perbedaannya hanya terletak pada bentuk dampak positif yang didapatkan oleh wilayah tersebut. Jika pada industri asing yang menggunakan bahan mentah lokal dampak positif tersebut bisa langsung dirasakan oleh wilayah, pada penggunaan barang produksi lokal ini dampak yang dirasakan oleh wilayah berupa dampak tidak langsung yang disebabkan oleh keberadaan industri intermediate lokal yang menghasilkan barang produksi sebagai bahan baku bagi industri asing tersebut. Kondisi ini biasa terjadi pada subsektor industri yang bergerak di bidang mesin, elektronika, kendaraan, komunikasi, serta industri yang menghasilkan produk berteknologi tinggi lainnya. 3. Memberikan lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal; Industri asing yang berada pada suatu wilayah pada umumnya menggunakan tenaga kerja lokal dengan maksud untuk menekan biaya upah kerja dan menekan biaya yang harus ditanggung apabila industri tersebut harus mendatangkan tenaga kerja dari tempat lain. Kondisi ini akan membuka lapangan pekerjaan baru bagi tenaga kerja yang berada di lokasi industri asing tersebut. Namun, sebuah industri bisa saja memutuskan untuk mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah bahkan tenaga kerja asing apabila mereka menilai bahwa kualitas ataupun kuantitas tenaga kerja lokal masih belum memenuhi kriteria tenaga kerja yang mereka butuhkan.

5 21 4. Pendistribusian barang dan jasa yang diproduksi kepada pasar lokal; Industri asing yang bersifat market oriented biasanya berlokasi di daerah yang mereka anggap potensial sebagai target pemasaran barang yang dihasilkan oleh proses produksi yang mereka lakukan. Kondisi ini akan memberikan dampak positif terhadap sebuah wilayah dimana akan tersedia barang maupun jasa yang dihasilkan oleh sebuah industri yang bersifat market oriented tersebut dengan harga yang kompetitif. Kondisi ini juga akan mendorong masyarakat di lokasi industri tersebut untuk menggunakan barang dan jasa yang diproduksi secara lokal ini dan berdampak baik bagi pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. 5. Menarik masuknya investasi baru; dan Industri asing yang berada di sebuah wilayah dapat mengakibatkan tumbuhnya industri lokal baru pada lokasi industri yang sama. Hal ini biasanya terjadi apabila pada sebuah wilayah terdapat industri asing intermediate yang melakukan kegiatan produksi namun kekurangan keberadaan industri intermediate yang dapat menyediakan kualitas serta kuantitas bahan baku yang dibutuhkan. Kondisi ini tentu saja akan memberikan dampak positif berupa masuknya industri baru, bertambahnya penerimaan daerah, terbukanya lapangan kerja baru, dan lain sebagainya. 6. Menarik masuknya tenaga kerja tambahan. Industri asing yang berada pada suatu wilayah dapat menimbulkan daya tarik bagi tenaga kerja yang berada di lokasi lain untuk datang ke wilayah tersebut. Kondisi ini dapat menimbulkan dampak positif sekaligus dampak negatif bagi wilayah tersebut. Dampak positif yang didapatkan adalah transfer teknologi dan informasi yang berguna bagi peningkatan kualitas tenaga kerja lokal yang telah ada disebabkan masuknya tenaga kerja baru dari wilayah lain. Dampak positif lainnya

6 22 adalah migrasi tenaga kerja ini juga berarti masuknya penduduk baru yang akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan wilayah tersebut. Namun, dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari masuknya tenaga kerja baru ini adalah bertambahnya pemanfaatan sarana dan prasarana umum wilayah serta berpotensi meningkatkan persaingan kerja antara tenaga kerja lokal dan tenaga kerja pendatang. Dari keseluruhan dampak sosioekonomi yang dapat ditimbulkan oleh keberadaan keterkaitan antara industri asing dan industri lokal tersebut, tidak semuanya akan digunakan sebagai indikator untuk menyatakan adanya keterkaitan antara industri lokal dan industri asing di Kota Batam. Hal ini dikarenakan beberapa indikator dianggap kurang berpengaruh dalam memberikan dampak yang positif terhadap sektor industri di Kota Batam. Studi ini hanya akan menggunakan tiga dari enam dampak sosioekonomi sebagai indikator untuk menyatakan adanya keterkaitan antara industri asing dan industri lokal di wilayah studi, yakni (1) penggunaan barang produk dari industri lokal sebagai bahan baku bagi industri asing, (2) penggunaan tenaga kerja lokal (tenaga kerja yang tersedia di Kota Batam) oleh industri lokal, dan (3) masuknya investasi baru dalam bentuk industri lokal baru disebabkan keberadaan permintaan bahan baku dari industri asing. Sedangkan tiga dampak sosioekonomi lainnya dirasakan tidak tepat untuk digunakan sebagai indikator untuk menyatakan adanya keterkaitan antar industri pada studi ini berdasarkan asumsi sebagai berikut: 1. Penggunaan bahan mentah lokal; Indikator ini dianggap tidak sesuai dikarenakan tidak terdapatnya industri yang melakukan kegiatan ekstraksi sumber daya alam di Kota Batam,

7 23 2. Pendistribusian barang dan jasa yang diproduksi kepada pasar lokal; Indikator ini dianggap tidak sesuai dikarenakan industri yang berada di Kota Batam kebanyakan merupakan industri intermediate dan industri yang berorientasi ekspor sesuai dengan Keputusan Ketua OPDIP Batam No. 045/AP-KPTS/IV/1990 mengenai kebijakan jenis industri yang dikembangkan di Kota Batam. 3. Menarik masuknya tenaga kerja tambahan; Indikator ini dianggap tidak sesuai dikarenakan jumlah tenaga kerja yang tersedia di Kota Batam sudah cukup banyak dan migrasi tenaga kerja ini akan menambah beban penyediaan sarana dan prasarana umum di Kota Batam. 2.3 Teori Pemilihan Lokasi Industri Teori yang mengatakan terdapatnya preferensi pemilihan bagi suatu lokasi industri sudah sejak lama dibahas. Secara umum, teori pemilihan lokasi terbagi kedalam tiga kategori, yakni teori lokasi yang berorientasi pada daerah lokasi, teori lokasi yang berorientasi pada tempat lokasi, dan yang berorientasi pada keseimbangan spasial. Teori lokasi yang berorientasi pada daerah lokasi awalnya dipopulerkan oleh Weber (1969) dan Launhart yang mengargumenkan bahwa pemilihan lokasi industri hanya terpengaruh oleh sifat industri yang berproduksi, industri process oriented akan mendekatkan lokasinya pada tempat tersedianya bahan baku, sedangkan industri market oriented akan mendekatkan lokasinya pada tempat dimana barang produksi akan dipasarkan. Teori lokasi yang berorientasi pada keseimbangan spasial diawali oleh Christaller (1966) dengan Central Place Theory yang ia kemukakan. Christaller mengatakan bahwa lokasi industri akan tergantung pada threshold dan range of good or services. Artinya, sebuah industri akan berlokasi pada wilayah yang populasi penduduknya sesuai atau melebihi target konsumen industri tersebut, serta dipengaruhi pula oleh jarak maksimum dimana target konsumen bersedia bergerak untuk mendapatkan barang

8 24 dan jasa yang mereka butuhkan. Sedangkan teori yang paling mengalami perkembangan yang pesat adalah teori lokasi yang berorientasi pada tempat lokasi. Teori-teori awal yang menyatakan keterkaitan antara tempat lokasi dengan pemilihan lokasi industri adalah kurva Von Thunen (dalam Rhind, 1981). Secara sederhana, kurva Von Thunen mengatakan bahwa setiap lokasi yang memiliki jarak yang sama dari sebuah titik pusat (biasanya berupa sebuah kota atau pusat kegiatan) memiliki biaya lokasi (biaya transportasi) yang sama dan secara alamiah menghasilkan daya tarik yang sama bagi pendirian sebuah industri. Teori ini lalu diperbaiki oleh Greenhut (1956) yang mengatakan bahwa pemilihan lokasi industri selain terkait dengan biaya lokasi (biaya angkutan, tenaga, dan pengelolaan) juga terkait dengan faktor lokasi yang berhubungan dengan banyaknya permintaan pasar, faktor yang dapat menurunkan biaya dan meningkatkan pendapatan, dan faktor pribadi. Sayangnya, ketiga kategori pemilihan lokasi industri yang telah dijelaskan sebelumnya masih kurang menggambarkan faktor-faktor pemilihan lokasi industri di Kota Batam. Hal ini dikarenakan industri yang berada di Kota Batam mayoritas adalah industri footloose yang tidak memperhitungkan lokasi bahan baku maupun lokasi pasar dimana barang produk industri akan dipasarkan, sehingga dibutuhkan teori yang lebih modern yang dapat menggambarkan preferensi pemilihan lokasi industri footloose seperti teori yang dikemukakan oleh Djojodipuro (1992). Dalam teorinya, Djojodipuro menyatakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemilihan lokasi industri adalah: 1. Faktor endowment (tanah, tenaga, modal); Faktor endowment sangat berpengaruh pada karakteristik masingmasing wilayah. elemen tanah sangat berpengaruh pada industri ekstraktif seperti industri tambang dan bahan galian. Faktor harga tanah biasanya berpengaruh pada industri footloose yang hanya berencana untuk berproduksi dalam jangka waktu pendek, namun bagi

9 25 industri dengan jangka waktu produksi panjang hal ini sering tidak diperhatikan. Faktor tenaga terkait dengan kegiatan industri itu sendiri, industri rokok misalnya akan lebih memilih untuk berlokasi di daerah Jawa Timur mengingat tenaga kerja yang ada di daerah ini sudah memiliki keterampilan khusus yang tidak dimiliki tenaga kerja ditempat lain dan cocok untuk diperkerjakan di industri rokok. Faktor modal sendiri lebih terkait pada kebijakan perusahaan, apakah industri ini bersifat padat karya atau padat modal. Industri padat karya akan lebih baik berlokasi di pinggiran kota dengan jumlah tenaga kerja yang terkonsentrasi dan upah yang lebih rendah, sementara industri padat modal lebih baik berlokasi di dekat pusat kota untuk mempermudah perawatan mesin-mesin industri apabila mengalami kerusakan. 2. Faktor pasar dan harga (jumlah penduduk, pendapatan perkapita, distribusi pendapatan); Faktor pasar dan harga terkait dengan tujuan akhir proses produksi yakni pemasaran bahan produksi ke konsumen. Industri yang langsung menghasilkan barang siap pakai mungkin memilih untuk mendekatkan diri pada wilayah dengan jumlah penduduk besar, sementara industri dengan harga barang produksi tinggi mungkin akan memilih berlokasi di daerah dengan pendapatan perkapita dan distribusi pendapatan yang tinggi. 3. Faktor bahan baku dan energi; Faktor bahan baku dan energi terkait dengan proses produksi dimana industri dengan kebutuhan energi tinggi mungkin akan lebih mendekatkan dirinya pada wilayah dengan harga energi yang murah, sedangkan industri dengan bahan baku spesifik yang hanya terdapat di wilayah tertentu misalnya industri tambang emas mungkin akan memilih berlokasi pada daerah dengan cadangan emas tinggi.

10 26 4. Faktor aglomerasi, keterkaitan antar industri, dan penghematan intern (sarana dan prasarana); Faktor aglomerasi terkait dengan penghematan yang dapat diberikan akibat adanya pengelompokan industri dengan jenis yang sama. Pada dasarnya, ada dua jenis penghematan, yakni penghematan yang diperoleh industri sejenis atau industri yang memiliki hubungan satu sama lain dan yang kedua adalah penghematan yang diperoleh perusahaan individual yang berlokasi di daerah perkotaan. Faktor sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sebuah wilayah industri juga dapat berpengaruh terhadap pemilihan lokasi industri. Lokasi industri dengan fasilitas lengkap tentunya akan lebih menarik bagi calon industri dibandingkan industri tersebut harus menyediakan kelengkapan infrastruktur secara mandiri. 5. Faktor kebijaksanaan pemerintahdan; Faktor kebijaksanaan pemerintah dapat memberikan insentif atau disinsentif terhadap pemilihan lokasi industri, misalnya dengan memberikan tax holiday, keringanan pajak pada jenis industri tertentu, dan lain sebagainya. 6. Faktor kebijaksanaan pengusaha. Kebijakan pengusaha biasanya merupakan hal internal dan tidak dapat diganggu gugat oleh pihak manapun. Sebuah industri bisa saja memilih untuk berlokasi di tempat yang tidak strategis dikarenakan industri tersebut membutuhkan lokasi yang aman apabila terjadi kegagalan proses produksi, dan sebagainya.

11 27 Pada kenyataannya, dari keenam faktor yang dinyatakan sebagai faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan lokasi industri tersebut, tidak semuanya sesuai untuk digunakan dalam studi ini. Faktor-faktor yang dianggap berpengaruh dalam pemilihan lokasi industri di Kota Batam adalah faktor ketenagakerjaan, bahan baku dan energi, sarana dan prasarana, serta faktor kebijaksanaan pemerintah. Sedangkan faktor-faktor lainnya dianggap tidak memiliki pengaruh didasarkan asumsi sebagai berikut: 1. Faktor endowment a. Elemen tanah tidak digunakan karena topografi dan struktur tanah hanya berpengaruh pada pemilihan lokasi industri ekstraksi serta elemen harga lahan kurang berpengaruh dalam pemilihan lokasi industri dalam jangka panjang. b. Elemen modal termasuk dalam kebijakan internal perusahaan dan tidak akan dibahas lebih lanjut. 2. Faktor pasar dan harga tidak digunakan karena industri lokal dan asing yang ada di Kota Batam tidak menjual langsung barang produksinya ke konsumen dan cenderung mengarahkan penjualannya pada daerah diluar Kota Batam. 3. Faktor aglomerasi tidak digunakan karena sangat tergantung pada struktur industri yang terbentuk secara alami pada wilayah studi. 4. Faktor kebijaksanaan pengusaha termasuk dalam kebijakan internal perusahaan dan tidak akan dibahas lebih lanjut.

BAB 5 KESIMPULAN 5.1 Temuan Studi

BAB 5 KESIMPULAN 5.1 Temuan Studi BAB 5 KESIMPULAN Bab ini merupakan penutup dari studi yang dilakukan dimana akan dipaparkan mengenai temuan studi yang dihasilkan dari proses analisis terutama untuk mencapai tujuan penelitian yang telah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan bagian awal dari studi yang akan memaparkan latar belakang mengenai dasar munculnya permasalahan studi dan mengapa studi ini penting untuk dilakukan, perumusan masalah,

Lebih terperinci

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur XII Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Globalisasi ekonomi menuntut produk Jawa Timur mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain, baik di pasar lokal maupun pasar internasional. Kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan jangka panjang, sektor industri merupakan tulang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan jangka panjang, sektor industri merupakan tulang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam pembangunan jangka panjang, sektor industri merupakan tulang punggung perekonomian. Tumpuan harapan yang diletakkan pada sektor industri dimaksudkan

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

Pola Gunalahan Perkotaan dan Teori Lokasi Kegiatan Ekonomi. Adipandang Yudono 2013

Pola Gunalahan Perkotaan dan Teori Lokasi Kegiatan Ekonomi. Adipandang Yudono 2013 Pola Gunalahan Perkotaan dan Teori Lokasi Kegiatan Ekonomi Adipandang Yudono 2013 Sistem Perkotaan Merupakan aglomerasi kota dengan wilayah sekitarnya yang masih memiliki sifat kekotaan. Sekumpulan kota-kota

Lebih terperinci

Ketergantungan Lokasi & Keseimbangan Spasial. Adipandang Yudono 2012

Ketergantungan Lokasi & Keseimbangan Spasial. Adipandang Yudono 2012 Ketergantungan Lokasi & Keseimbangan Spasial Adipandang Yudono 2012 Pemahaman Tentang Lokasi Teori lokasi adalah suatu teori yang dikembangkan untuk memperhitungkan pola lokasi kegiatankegiatan ekonomi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. pendapat para ahli yang berkaitan dengan variabel-variabel penelitian. Geografi

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. pendapat para ahli yang berkaitan dengan variabel-variabel penelitian. Geografi II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Geografi Industri Sebagai dasar pada penelitian ini, maka perlu dikemukakan landasan teoritis dan pendapat para ahli yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 25 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR 26 Masterplan Pengembangan Kawasan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Timur Tahun 2015 2019

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah memberikan wewenang dan jaminan bagi masing-masing daerah untuk

BAB I PENDAHULUAN. daerah memberikan wewenang dan jaminan bagi masing-masing daerah untuk 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan wilayah dapat dipacu dengan pembangunan infrastruktur dan sistem jaringan yang memadai di wilayah tersebut. Dalam hal ini otonomi daerah memberikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Sebagai dasar pada penelitian ini, maka perlu dikemukakan landasan teoritis dan

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Sebagai dasar pada penelitian ini, maka perlu dikemukakan landasan teoritis dan 12 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Geografi Industri Sebagai dasar pada penelitian ini, maka perlu dikemukakan landasan teoritis dan pendapat para ahli yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

ANDRI HELMI M, SE., MM. SISTEM EKONOMI INDONESIA

ANDRI HELMI M, SE., MM. SISTEM EKONOMI INDONESIA ANDRI HELMI M, SE., MM. SISTEM EKONOMI INDONESIA Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi atau barang jadi menjadi barang yang bermutu tinggi dalam

Lebih terperinci

Pola Gunalahan Perkotaan dan pengantar Lokasi Industri

Pola Gunalahan Perkotaan dan pengantar Lokasi Industri Pola Gunalahan Perkotaan dan pengantar Lokasi Industri Adipandang Yudono 2012 Sistem Perkotaan Merupakan aglomerasi kota dengan wilayah sekitarnya yang masih memiliki sifat kekotaan. Sekumpulan kota-kota

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM KOTA BATAM

BAB 3 GAMBARAN UMUM KOTA BATAM BAB 3 GAMBARAN UMUM KOTA BATAM Bab ini berisikan gambaran fisik wilayah, gambaran sosial ekonomi, struktur industri yang terbentuk pada wilayah studi, serta gambaran sarana dan prasarana yang terdapat

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan

Lebih terperinci

PENERAPAN TEORI LOKASI INDUSTRI PT PETROJAYA BORAL PLASTERBOARD, GRESIK

PENERAPAN TEORI LOKASI INDUSTRI PT PETROJAYA BORAL PLASTERBOARD, GRESIK PENERAPAN TEORI LOKASI INDUSTRI PT PETROJAYA BORAL PLASTERBOARD, GRESIK Oleh AGI SUGIHARTO ( 24 2014 048 ) JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNOLOGI SIPIL DAN PERENCANAAAN INSTITUT TEKNOLOGI

Lebih terperinci

TEORI CHRISTALLER DAN LOSCH dalam kaitannya dengan Central Place

TEORI CHRISTALLER DAN LOSCH dalam kaitannya dengan Central Place T E O R I K E R U A N G A N P e r t e m u a n k e - 5, 1 8 O k t o b e r 2017 TEORI CHRISTALLER DAN LOSCH dalam kaitannya dengan Central Place NI MAH MAHNUNAH U N I V E R S I T A S A M I K O M PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS KETERKAITAN ANTAR INDUSTRI

BAB 4 ANALISIS KETERKAITAN ANTAR INDUSTRI BAB 4 ANALISIS KETERKAITAN ANTAR INDUSTRI Bab ini merupakan inti dari studi dimana akan dilakukan analisis terhadap data-data yang diperoleh baik dari primer maupun sekunder menggunakan kerangka analisis

Lebih terperinci

PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL DALAM PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH

PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL DALAM PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL DALAM PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH PENDAHULUAN Perencanaan wilayah merupakan perencanaan penggunaan ruang wilayah (termasuk perencanaan pergerakan di dalam ruang wilayah)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009 di Sektor Industri Manufaktur, Pemerintah Pusat memprioritaskan pengembangan agroindustri. Prioritas

Lebih terperinci

MENENTUKAN LOKASI INDUSTRI

MENENTUKAN LOKASI INDUSTRI MENENTUKAN LOKASI INDUSTRI TEORI LOKASI INDUSTRI adalah suatu teori yang dikembangkan untuk memperhitungkan pola lokasi kegiatan ekonomi termasuk di dalamnya kegiatan industri dengan cara konsisten dan

Lebih terperinci

Manajemen Industri Perikanan

Manajemen Industri Perikanan Manajemen Industri Perikanan A. Definisi dan pengertian industri Perikanan. Industri adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi barang jadi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan wilayah memiliki konsep yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan perannya dalam menata kehidupan masyarakat dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, pendidikan

Lebih terperinci

Kajian Konseptual Pengembangan Kawasan Industri Tembakau

Kajian Konseptual Pengembangan Kawasan Industri Tembakau Pekerjaan Jasa Konsultansi Kajian Konseptual Pengembangan Kawasan Industri Tembakau 2.1 Kriteria Penentuan Lokasi Kawasan Industri Secara Umum 2.1.1. Teori Lokasi Industri menurut Alfred Weber Teori lokasi

Lebih terperinci

INDUSTRI.

INDUSTRI. INDUSTRI INDUSTRI Istilah industri mempunyai 2 arti: Himpunan perusahaan2 sejenis Suatu sektor ekonomi yg didalamnya terdapat kegiatan produktif yg mengolah bahan mentah menjadi barang jadi atau ½ jadi.

Lebih terperinci

Teori lokasi mempelajari pengaruh jarak terhadap intensitas orang bepergian dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Analisis pengaruh jarak terhadap

Teori lokasi mempelajari pengaruh jarak terhadap intensitas orang bepergian dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Analisis pengaruh jarak terhadap TEORI LOKASI (Tarigan, 2006:77) : Ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang potensial serta hubungan-nya dengan

Lebih terperinci

1/22/2011 TEORI LOKASI

1/22/2011 TEORI LOKASI TEORI LOKASI (Tarigan, 2006:77) : Ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang potensial serta hubungan-nya dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 38 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memilih lokasi Kota Cirebon. Hal tersebut karena Kota Cirebon merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa

Lebih terperinci

PERENCANAAN WILAYAH. GG 425

PERENCANAAN WILAYAH. GG 425 PERENCANAAN WILAYAH GG 425 nandi@upi.edu Pengertian Faktor-Faktor Perencanaan Wilayah Permasalahan Perencanaan Wilayah Pendekatan dalam Perencanaan Wilayah 1. Pengertian perencanaan adalah penetapan langkahlangkah

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) BAB V PEMBAHASAN Pembahasan ini berisi penjelasan mengenai hasil analisis yang dilihat posisinya berdasarkan teori dan perencanaan yang ada. Penelitian ini dibahas berdasarkan perkembangan wilayah Kecamatan

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM Konsentrasi pembangunan perekonomian Kota Batam diarahkan pada bidang industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata. Akibat krisis ekonomi dunia pada awal tahun 1997 pertumbuhan

Lebih terperinci

ALTERNATIF POLA HUBUNGAN KOTA TEGAL DALAM KONTEKS KAWASAN BREGAS TUGAS AKHIR

ALTERNATIF POLA HUBUNGAN KOTA TEGAL DALAM KONTEKS KAWASAN BREGAS TUGAS AKHIR ALTERNATIF POLA HUBUNGAN KOTA TEGAL DALAM KONTEKS KAWASAN BREGAS TUGAS AKHIR Oleh: DONY WARDONO L2D 098 426 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2003 iv

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di Asia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di Asia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di Asia Tenggara dan dilalui oleh garis khatulistiwa, sehingga Negara Indonesia memiliki iklim tropis. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan suatu daerah terkait dengan interaksi yang terjadi dengan daerah-daerah sekitarnya. Interaksi tersebut membentuk tatanan yang utuh dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Tinjauan Teknologi Teknologi merupakan sumberdaya buatan manusia yang kompetitif dan selalu mengalami perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global.

BAB I PENDAHULUAN. dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam perjalanan menuju negara maju, Indonesia memerlukan dana yang tidak sedikit untuk melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara-negara maju, baik di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara-negara maju, baik di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perekonomian Indonesia selalu mengalami perjalanan yang berfluktuasi, minyak dan gas alam yang selama ini menjadi mesin pertumbuhan, harganya dipasar internasional

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

RESUME SKRIPSI PENINGKATAN PERSAINGAN CINA AS DALAM MEMPEREBUTKAN PASAR DI AFRIKA. Oleh : ELFA FARID SYAILILLAH

RESUME SKRIPSI PENINGKATAN PERSAINGAN CINA AS DALAM MEMPEREBUTKAN PASAR DI AFRIKA. Oleh : ELFA FARID SYAILILLAH RESUME SKRIPSI PENINGKATAN PERSAINGAN CINA AS DALAM MEMPEREBUTKAN PASAR DI AFRIKA Oleh : ELFA FARID SYAILILLAH 151070247 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pembangunan Ekonomi Pengertian pembangunan ekonomi selama tiga dasawarsa yang lalu menurut Lincolin Arsyad (1999) adalah kemampuan ekonomi suatu negara dimana

Lebih terperinci

KOMPONEN AGRIBISNIS. Rikky Herdiyansyah SP., MSc

KOMPONEN AGRIBISNIS. Rikky Herdiyansyah SP., MSc KOMPONEN AGRIBISNIS Rikky Herdiyansyah SP., MSc KOMPONEN AGRIBISNIS Tujuan Instruksional Umum: Mahasiswa mengetahui tentang komponen agribisnis Tujuan Instruksional Khusus: Setelah menyelesaikan pembahasan

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN PERTANIAN & KEBIJAKAN PEMERINTAH

PEMBANGUNAN PERTANIAN & KEBIJAKAN PEMERINTAH PEMBANGUNAN PERTANIAN & KEBIJAKAN PEMERINTAH TIK ; MAHASISWA DIHARAPKAN DAPAT MENJELASKAN SYARAT - SYARAT POKOK PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEBIJAKAN PENDUKUNGNYA PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

Kebijakan Fiskal untuk Mendukung Akselerasi Sektor Industri yang Berdaya Saing

Kebijakan Fiskal untuk Mendukung Akselerasi Sektor Industri yang Berdaya Saing KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Kebijakan Fiskal untuk Mendukung Akselerasi Sektor Industri yang Berdaya Saing Andin Hadiyanto Kementerian Keuangan RI Tantangan Utama Sektor Industri Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam pengembangan suatu wilayah, terdapat beberapa konsep pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS), konsep pengembangan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah. Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif.

Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah. Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif. A Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah. Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif. Namun demikian, ada beberapa teori yang secara parsial

Lebih terperinci

MATERI 4 ASPEK TEKNIS DAN TEKNOLOGIS. e. Spesfifikasi Bahan Baku dan Hasil c. Tenaga Kerja

MATERI 4 ASPEK TEKNIS DAN TEKNOLOGIS. e. Spesfifikasi Bahan Baku dan Hasil c. Tenaga Kerja MATERI 4 ASPEK TEKNIS DAN TEKNOLOGIS 1. Perencanaan Kapasitas Produksi Aspek-aspek yang berpengaruh dalam perencanaan kapasitas produksi yaitu : 1. Perencanaan & Pemilihan Proses Tidak berarti pemilihan

Lebih terperinci

POLA SPASIAL DISTRIBUSI MINIMARKET DI KOTA KOTA KECIL

POLA SPASIAL DISTRIBUSI MINIMARKET DI KOTA KOTA KECIL POLA SPASIAL DISTRIBUSI MINIMARKET DI KOTA KOTA KECIL TUGAS INDIVIDU Oleh: MUHAMMAD HANIF IMAADUDDIN (3613100050) JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Pemilihan lokasi usaha oleh suatu organisasi (perusahaan) akan mempengaruhi risiko (risk) dan keuntungan (profit) perusahaan tersebut secara keseluruhan. Kondisi ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komoditas Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komoditas adalah: 1. Barang dagangan utama, benda niaga, hasil bumi dan kerajinan setempat dapat dimanfaatkan sebagai

Lebih terperinci

SMA. Tersedia bahan mentah Tersedia tenaga kerja Tersedia modal Manajemen yang baik Dapat mengubah masyarakat agraris menjadi Negara industri

SMA. Tersedia bahan mentah Tersedia tenaga kerja Tersedia modal Manajemen yang baik Dapat mengubah masyarakat agraris menjadi Negara industri JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMA XII (DUA BELAS) GEOGRAFI ANALISIS LOKASI INDUSTRI 1. Pengertian industri: Industri adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Definisi industri dalam istilah ekonomi dikategorikan dalam lingkup mikro dan

I. PENDAHULUAN. Definisi industri dalam istilah ekonomi dikategorikan dalam lingkup mikro dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Definisi industri dalam istilah ekonomi dikategorikan dalam lingkup mikro dan makro. Pada lingkup mikro industri didefinisikan sebagai kumpulan dari perusahaanperusahaan

Lebih terperinci

VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan

VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN 7.1. Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan Peran strategis suatu sektor tidak hanya dilihat dari kontribusi terhadap pertumbuhan output, peningkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

TEORI, KONSEP, METODE DAN TEKNIK ANALISIS DASAR GEOGRAFI EKONOMI (1) Ratna Saraswati

TEORI, KONSEP, METODE DAN TEKNIK ANALISIS DASAR GEOGRAFI EKONOMI (1) Ratna Saraswati TEORI, KONSEP, METODE DAN TEKNIK ANALISIS DASAR GEOGRAFI EKONOMI (1) Ratna Saraswati FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN LOKASI 1. Faktor Endowment 2. Pasar dan Harga 3. Bahan baku dan Energi 4. Aglomerasi,

Lebih terperinci

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) OLEH SRI MULYANI H14103087 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PEMILIHAN LOKASI INDUSTRI PENGOLAHAN KARET DI KOTA PADANG

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PEMILIHAN LOKASI INDUSTRI PENGOLAHAN KARET DI KOTA PADANG ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PEMILIHAN LOKASI INDUSTRI PENGOLAHAN KARET DI KOTA PADANG Oleh MILL FADHILA 0910223072 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2013 DAFTAR ISI Halaman KATA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan implementasi serta bagian integral dari pembangunan nasional. Dengan kata lain, pembangunan nasional tidak akan lepas dari peran

Lebih terperinci

Kawasan Cepat Tumbuh

Kawasan Cepat Tumbuh Terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi Terjadi dorongan kerjasama pembangunan antar wilayah secara fungsional Kawasan Cepat Tumbuh Meningkatnya nilai tambah dan daya saing produk unggulan Tercipta keterpaduan,

Lebih terperinci

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PAPARAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA RAKER KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA, 27 JANUARI 2016

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PAPARAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA RAKER KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA, 27 JANUARI 2016 Menteri Perindustrian Republik Indonesia PAPARAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA RAKER KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA, 27 JANUARI 2016 Yth. : 1. Menteri Perdagangan; 2. Menteri Pertanian; 3. Kepala BKPM;

Lebih terperinci

INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT

INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT L A P O R A N K A J I A N INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT K E R J A S A M A P R O D I P E R E N C A N A A N W I L A Y A H S E K O L A H P A S C A S A R A J A N A U N I V E R S I T A S S

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN BOYOLALI

PRODUKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN BOYOLALI PRODUKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN BOYOLALI Yetti Anita Sari Fakultas Geografi UGM; Yogyakarta E-mail: yettianitasari@gmail.com ABSTRAK Sektor pertanian merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan disahkannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan direvisi menjadi Undang-undang No. 32 tahun 2004

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. efektif melalui perencanaan yang komprehensif (Miraza, 2005).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. efektif melalui perencanaan yang komprehensif (Miraza, 2005). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Ekonomi Daerah Wilayah adalah kumpulan daerah berhamparan sebagai satu kesatuan geografis dalam bentuk dan ukurannya. Wilayah memiliki sumber daya alam dan sumber

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sektor Unggulan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sektor unggulan adalah sektor yang keberadaannya pada saat ini telah berperan besar kepada perkembangan perekonomian suatu wilayah, karena mempunyai keunggulan-keunggulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk kota yang semakin pesat saat ini harus dapat berjalan seiring dengan peningkatan usaha pemenuhan kebutuhan hidup penduduk kota itu sendiri. Meningkatnya

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi memiliki pengertian yang sangat luas. Menurut akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai suatu fenomena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kawasan Gerbangkertosusila (Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya- Sidoarjo-Lamongan) merupakan salah satu Kawasan Tertentu di Indonesia, yang ditetapkan dalam PP No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peran pertanian bukan hanya menghasilkan produk-produk domestik. Sebagian

BAB I PENDAHULUAN. peran pertanian bukan hanya menghasilkan produk-produk domestik. Sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara agraris. Sebagai negara agraris, salah satu peran pertanian bukan hanya menghasilkan produk-produk domestik. Sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. 1. Berdasarkan klasifikasi tipologi kabupaten/kota dan analisis autokorelasi

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. 1. Berdasarkan klasifikasi tipologi kabupaten/kota dan analisis autokorelasi BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5. 1 Simpulan 1. Berdasarkan klasifikasi tipologi kabupaten/kota dan analisis autokorelasi spasial maka yang menjadi kutub pertumbuhan adalah Kota Medan. Karakteristik utama yang

Lebih terperinci

Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan. Skala peta = 1: Jangka waktu perencanaan = 20 tahun

Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan. Skala peta = 1: Jangka waktu perencanaan = 20 tahun Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan Skala peta = 1: 100.000 Jangka waktu perencanaan = 20 tahun Fungsi : Menciptakan keserasian pembangunan kota inti dengan Kawasan Perkotaan sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis dan agroindustri pada dasarnya menunjukkan arah bahwa pengembangan agribisnis merupakan suatu upaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peranan industri pertambangan batu andesit penting sekali di sektor konstruksi,

BAB I PENDAHULUAN. Peranan industri pertambangan batu andesit penting sekali di sektor konstruksi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan penduduk yang semakin pesat berdampak pada pembangunan. Peranan industri pertambangan batu andesit penting sekali di sektor konstruksi, terutama dalam pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan berbagai potensi besar yang dimilikinya baik potensi alam, sumberdaya manusia, maupun teknologi tentunya memiliki berbagai

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KETERKAITAN ANTARA INDUSTRI ASING DAN INDUSTRI LOKAL DI KOTA BATAM PL40Z1 TUGAS AKHIR. Oleh: Ali Rizki Pratama

IDENTIFIKASI KETERKAITAN ANTARA INDUSTRI ASING DAN INDUSTRI LOKAL DI KOTA BATAM PL40Z1 TUGAS AKHIR. Oleh: Ali Rizki Pratama IDENTIFIKASI KETERKAITAN ANTARA INDUSTRI ASING DAN INDUSTRI LOKAL DI KOTA BATAM PL40Z1 TUGAS AKHIR Oleh: Ali Rizki Pratama 15404035 PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA SEKOLAH ARSITEKTUR PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Lebih terperinci

Menteri Perindustrian Republik Indonesia

Menteri Perindustrian Republik Indonesia Menteri Perindustrian Republik Indonesia BUTIR-BUTIR BICARA MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA RAPAT KOORDINASI PEMERINTAH PUSAT, PEMERINTAH DAERAH, DAN BANK INDONESIA MEMPERCEPAT DAYA SAING INDUSTRI UNTUK

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. dampak penerapan Tax Holiday (pembebasan pajak) pada penanaman modal asing di

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. dampak penerapan Tax Holiday (pembebasan pajak) pada penanaman modal asing di BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.1. Simpulan Dari pembahasan dan analisis yang dilakukan oleh penulis berkenan dengan dampak penerapan Tax Holiday (pembebasan pajak) pada penanaman modal asing di Indonesia pada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini Bab I Pendahuluan Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. mengedepankan dethronement of GNP, pengentasan garis kemiskinan,

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. mengedepankan dethronement of GNP, pengentasan garis kemiskinan, 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional yang berfokus pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. transformasi struktur ekonomi di banyak Negara. Sebagai obat, industrialisasi. ketimpangan dan pengangguran (Kuncoro, 2007).

BAB 1 PENDAHULUAN. transformasi struktur ekonomi di banyak Negara. Sebagai obat, industrialisasi. ketimpangan dan pengangguran (Kuncoro, 2007). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sektor Industri merupakan sektor yang menjadi mesin pertumbuhan bagi sebuah perekonomian. Industiralisasi dianggap sebagai strategi sekaligus obat bagi banyak Negara.

Lebih terperinci

Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si.

Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si. Modul ke: Fakultas FIKOM Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si. Program Studi Periklanan dan Komunikasi Pemasaran. www.mercubuana.ac.id Materi Pembelajaran Persaingan Sempurna Persaingan Tidak Sempurna Struktur

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Dalam melakukan penelitian ini diambil acuan dari penelitian terdahulu oleh Ulviani (2010) yang berjudul : Analisis Pengaruh Nilai Output dan Tingkat Upah

Lebih terperinci

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perekonomian Indonesia tahun 2004 yang diciptakan UKM berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pemerataan pembangunan ekonomi merupakan hasil yang diharapkan oleh seluruh masyarakat bagi sebuah negara. Hal ini mengingat bahwa tujuan dari pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik potensi wilayah baik yang bersifat alami maupun buatan, merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan pembangunan. Pemahaman

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Berdasarkan hasil seminar lokakarya (SEMLOK) tahun 1988 (Suharyono dan Moch. Amien,

I. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Berdasarkan hasil seminar lokakarya (SEMLOK) tahun 1988 (Suharyono dan Moch. Amien, I. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Berdasarkan hasil seminar lokakarya (SEMLOK) tahun 1988 (Suharyono dan Moch. Amien, 1944:15), geografi adalah ilmu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Memasuki era perdagangan bebas, saat ini persaingan dunia usaha dan perdagangan semakin kompleks dan ketat. Hal tersebut tantangan bagi Indonesia yang sedang

Lebih terperinci

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era otonomi daerah, pembangunan ekonomi menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam daerah maupun faktor eksternal, seperti masalah kesenjangan dan isu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT,

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Kuncoro (2010: 4) menyebutkan bahwa pembangunan di Negara Sedang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Kuncoro (2010: 4) menyebutkan bahwa pembangunan di Negara Sedang BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Kuncoro (2010: 4) menyebutkan bahwa pembangunan di Negara Sedang Berkembang (NSB) pada awalnya identik dengan strategi pertumbuhan ekonomi, yaitu usaha untuk meningkatkan

Lebih terperinci