MEMAHAMI BISNIS AYAM RAS DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGELOLAAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MEMAHAMI BISNIS AYAM RAS DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGELOLAAN"

Transkripsi

1 bab sebelas MEMAHAMI BISNIS AYAM RAS DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGELOLAAN Pendahuluan Di masa Ialu, pemikiran kita tentang bisnis ayam ras sering terjebak dalam pemikiran agregasi komoditas. Bisnis ayam ras sering disetarakan dengan bisnis komoditas lainnya, seperti komoditi non pertanian. Padahal, bila dicermati lebih dalam, bisnis ayam ras tidak dapat disamakan dengan bisnis komoditas pertanian lainnya; juga tidak dapat disamakan dengan bisnis komoditas unggas lainnya seperti ayam buras. Penyetaraan bisnis ayam ras dengan bisnis komoditas lainnya selama ini, telah menggiring pengambil keputusan kepada penyetaraan kebijaksanaan pengelolaan bisnis ayam ras dengan kebijaksanaan pengelolaan bisnis komoditas lainnya. Kebijaksanaan pembatasan berusaha dan skala usaha (produksi) yang mungkin tidak menimbulkan masalah pada bisnis komoditas lainnya/ kita terapkan pada bisnis ayam ras melalui Keppres No. 50 Tahun Kebijaksanaan pola Pertanian Inti Rakyat (PIR), yang mungkin berpotensi sukses pada komoditas pertanian lainnya, kita terapkan pada bisnis ayam ras sejak tahun 1984, tanpa memodifikasi pola PIR tersebut. Akibatnya, bukan hanya kebijakan-kebijakan tersebut tidak mencapai sasaran, 115

2 akan tetapi ternyata menimbulkan masalah baru, sementara masalah lama belum terpecahkan. Gejolak yang mewarnai bisnis ayam ras, seperti masalah kepentingan peternak rakyat yang dimulai pada awal tahun 1980, masih tetap berlangsung hinggasekarang. Bahkan, masalah tersebut bukan hanya masalah bisnis semata, tetapi telah merebak menjadi masalah politis. Penanganan bisnis ayam ras yang didasarkan pada agregasi komoditas tidak dapat dipertahankan lagi, Menangani bisnis ayam ras harus didasari oleh pemahaman yang benar tentang karakteristik dasar dari bisnis ayam ras itu sendiri. Dengan demikian, kebijaksanaan yang ditujukan pada bisnis ayam ras tidak bias dengan realitas yang ada, bahkan diharapkan dapat mendorong perkembangan bisnis ayam ras lebih lanjut. Karakteristik Dasar Bisnis Ayam Ras danimplikasinya Terdapat beberapa kerakteristik dasar bisnis ayam ras (the nature of poultry business) yang berimplikasi pada tuntutan pengeiolaan, dan mempengaruhi struktui (structure), perilaku (conduct/behaviour) dan kinerja (performance) industri ayam ras secara keseluruhan. Diantaranya yang penting adalah: pertama / bisnis ayam ras didasarkan pada pemanfaatan serta pendayagunaan pertumbuhan dan produksi ayam ras yang memiliki sifat pertumbuhan yang tergolong cepat dan mengikuti kurva pertumbuhan sigmoid. Hal ini berarti, bisnis ayam ras merupakan bisnis berintensitas tinggi yang keberhasilannya berdasarkan pada ketepatan pengeiolaan fase-fase pertumbuhan ayam ras. Kedua, produk akhir (final product) dari industri ayam ras merupakan produk yang dihasilkan melalui tahapan-tahapan produksi (dari PL/GGPS ke GPS ke PS ke FS/CS ke produk akhir) mulai dari hulu hingga ke hilir, dimana produk antaia (intermediate product) merupakan makhluk biologis bernilai ekonomi tinggi dan rentan terhadap keterlambatan waktu. Anak 116

3 ayam umur sehari (DOC) yang dihasilkan pada setiap tahapan produksi hanya dapat disimpan paling lama 36 jam sehingga harus sesegera mungkin dipelihara. Kemudian, ayam ras pedaging (ayam potong) mempunyai titik waktu optimal untuk dipanen, dimana keterlambatan waktu pemanenan akan meningkatkan biaya pemeliharaan secara cepat. Dan ketiga, produktivitas ayam ras sangat tergantung pada pakan (kualitas, tempat, waktu, baik secara teknis maupun ekonomi). Produktivitas yang tinggi akan diperoleh bila dipenuhi 4 (empat) tepat (tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu, tepat tempat) dan konsumsi pakan yang efisien. Implikasi dari kerakteristik dasar bisnis ayam ras yang demikian adalah bahwa keberhasilan bisnis ayam ras akan ditentukan oleh sinkronisasi skala dan skedul produksi pada setiap tahapan produksi dari hulu ke hilir, Sekali skala dan skedu] produksi pada industri GPS ditetapkan, maka harus diikuti oleh skala dan skedul produksi pada industri PS dan selanjutnya pada usaha budidaya ayam ras (FS) secara sinkron. Sinkronisasi skala dan skedul produksi setiap tahapan produksinya, juga harus diikuti oleh sinkronisasi penyediaanpakan. Ketidaksinkronan skala produksi pada setiap tahapan produksi akan menimbulkan resiko ekonomi yang sangat besar. Setiap satu ekor DOC GPS yang tidak terselamatkan mempunyai biaya oportunitas (opportunity cost) paling sedikit 2717 ekor ayam potong atau dalam nipiah sekitar Rp 12 juta. Sementara itu, waktu yang tetsedia untuk menghindari kerugian yang begitu besar hanyalah maksimum 36 jam. Hanya bisnis ayam ras yang memiliki resiko yang demikian besar. Sinkronisasi setiap tahapan produksi yang demikian hanya mungkin bila setiap tahapan produksi tersebut berada dalam satu perusahaan atau paling sedikit berada pada satu keputusan koordinasi manajemen. Tuntutan yang demikianlah yang merupakan salah satu alasan yang dapat menjelaskan mengapa perusahaan petemakan cendening melakukan integrasi vertikal dari hulu hingga ke hilir. Motivasi melakukan integrasi vertikal dari hulu ke hilir bukan sekedar ingin meraup peluang 117

4 keuntungan yang ada atau menguasai pasar pada setiap tingkatan, akan tetapi lebih banyak didorong untuk menghindari resiko ketidakpastian dan menyelamatkan investasi yang cukup besar pada tingkatan produksi yang lebih hulu. Penjelasan ini juga dapat menerangkan mengapa perusahaan-penisahaan yang memiliki usaha pembibitan (breeding farm) dan industri pakan, masih tetap ngotot untuk tetap rnemasuki usaha budidaya ayam potong di masa lalu meskipun telah dilarang oleh Keppres No. 50 Tahun 1981 dan peraturan pelaksanaan pada waktu itu, Karena, bila perusahaan petemakan yang bersangkutan keluar dari usaha budidaya ayam potong, berarti mereka menghadapi resiko dan ketidakpastian pasar DOC F5 dan pakan. Kondisi tersebut dipandang sebagai sesuatu yang mengancam keamanan investasi perusahaan petemakan yang cukup besar pada industri pembibitan. Oleh sebab itu, respon perusahaan petemakan pada saat itu untuk tetap bertahan pada budidaya ayam potong adalah melakukan pengkaplingan usaha dengan mengatasnamakan karyawan atau keluarga, yang pada dasarnya tetap dimiliki oleh satu perusahaan. Cara-cara yang demikian ini memang dimungkinkan karena tidak bertentangan dengan undangundang/peraturan perseroan di Indonesia. Bisnis Ayam Ras Sebagai Suatu Sistem Agribisnis Di masa lalu, petemakan ayam ras kita pandang terbatas hanya pada kegiatan usaha budidaya ayam ras yang menghasilkan ayam potong dan/atau telur konsumsl Paradigma petemakan ayam ras yang demikian merupakan paradigma lama yang kita adopsi dari pemikiran AT. Mosher tahun 1960-an yang disebut sebagai usahatani (farming). Paradigma yang demikian memang relevan pada awal perkembangan pertanian (pertanian subsisten), dimana keseluruhan sarana produksi dipenuhi dari usahatani itu sendiri. Perkembangan selanjutnya, dengan kemajuan pembangunan di segala bidang, usahatani juga mengalami perkembangan dan memasuki fase komersialisasi. Salah satu ciri komersialisasi ini adalah usahatani mempunyai ketergantungan 118

5 yang tinggi dengan kegiatan ekonomi yang memproduksi sarana produksi usahatani dan kegiatan ekonomi yang mengolah hasilhasil usahatani. Dewasa ini usahatani hanyalah merupakan kegiatan meramu (assembling) sarana produksi yang dihasilkan dari luar usahatani. Kegiatan yang hanya meramu tersebut, sangat kelihatan pada usahatani yang bersifat tidak tergantung pada ketersediaan lahan (non-land based), seperti usaha ayam ras. Selain tanah tempat kandang didirikan, semua sarana produksi peternakan (sapronak) didatangkan dari luar usaha ternak ayam ras. Ini berarti, tanpa kegiatan produksi dan distribusi sapronak, usaha ayam ras tidak dapat melakukan apa-apa. Perkembangan mutakhir yang demikian, menuntut kita merubah cara melihat peternakan ayam ras, dari paradigma lama tersebut ke paradigma baru yang melihat peternakan ayam ras sebagai suatu sistem yang disebut sebagai sistem agribisnis. Dengan paradigma baru ini, agroindustri hulu peternakan (industri pembibitan, industri pakan, industri obatobatan/vaksin, industri peralatan peternakan) beserta kegiatan perdagangannya; kegiatan usaha budidaya ayam ras (potong, telur konsumsi); dan kegiatan agroindustri hilir (kegiatan pengolahan hasil ayam ras) beserta kegiatan perdagangannya, merupakan suatu sistem agribisnis dari hulu hingga ke hilir. Konseptualisasi sistem agribisnis ayam ras dapat disajikan pada Gambar 1 berikut ini. Pada sistem agribisnis ayam ras (Gambar 1) terdapat 4 (empat) subsistem agribisnis sebagai berikut: Pertama, subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness) ayam ras yaitu kegiatan yang menghasilkan sapronak dan kegiatan perdagangannya. Kedalam sub-sistem ini termasuk agroindustri hulu ayam ras seperti industri pembibitan (breeding farm) dengan seluruh pendalaman strukturnya, industri pakan, industri obat-obatan/vaksin dan industri alat serta peralatan peternakan. Menurut data Ditjen Peternakan (1995), agribisnis hulu ayam ras di Indonesia telah memiliki industri galur mumi (pure line) berjumlah satu buah dengan kapasitas produksi 6 juta ekor DOC GPS (grand parent stock), industri ayam nenek 119

6 (GPS) sebanyak 13 buah dengan kapasitas produksi juta ekor DOC PS (parent stock), industri PS berjumlah 105 buah dengan kapasitas produksi sekitar 840 juta -1.4 milyar DOC FS/CS (final stock/commercial stock), industri pakan ternak 60 buah dengan kapasitas produksi 3 juta ton/tahun serta industri obat-obatan/vaksin berjumlah 52 buah perusahaan. (GAMBAR 1. HAL. 95) Kedua, subsistem budidaya agribisnis ayam ras, yaitu kegiatan yang menghasilkan ayam ras potongan dan/atau telur konsumsi, Sub-sistem inilah yang di masa lalu kita lihat sebagai peternakan ayam ras. Menurut data Ditjen Peternakan (1995), pada subsistem ini terdapat 37 perusahaan inti yang membina 1666 plasma, dengan tingkat produksi sekitar 500 juta ekor ayam potong per tahun dan 900 ton telur konsumsi setiap hari. 120

7 Ketiga, subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm) ayam ras, yaitu kegiatan yang mengolah ayam ras potong dan telur konsumsi beserta kegiatan perdagangannya. Termasuk kedalam subsistem ini adalah agroindustri hilir ayam ras seperti RPA/TPA, industri pengalengan d aging ayam ras, dan industri-industri yang menggunakan telur ayam ras sebagai bahan bakunya. Keempat, subsistem jasa penunjang (supporting institutions) agribisnis ayam ras, yaitu seluruh kegiatan yang rnenyediakan jasa yang dibutuhkan agribisnis ayam ras. Termasuk ke dalam subsistem ini adalah lembaga penyuluhan, transportasi, perbankan, asuransi, penelitian dan pengembangan, dan kebijaksanaan pemerintah. Implikasi Dalam Pengelolaan Bisnis Ayam Ras Karakteristik dasar bisnis ayam ras dan bisnis ayam ras sebagai suatu agribisnis mempunyai implikasi yang luas, mulai dari tingkat mikro hingga ke tingkat makro, yang akan diuraikan berikut ini. Bisnis Ayam Ras adalah Bisnis Integrasi Vertikal. Untuk menekan resiko dan ketidakpastian dalam bisnis ayam ras, maka bisnis ayam ras harus terintegrasi secara vertikal dari hulu hingga ke hilir. Seluruh fungsi yang terdapat dalam satu unit agribisnis ayam ras dilaksanakan oleh satu perusahaan (diversifikasi usaha vertikal) atau oleh beberapa perusahaan yang tergolong dalam suatu induk perusahaan (holding company). Sebagian perusahaanperusahaan peternakan dalam bisnis ayam ras telah dan sedang mengarah pada integrasi vertikal ini. Integrasi vertikal bisnis ayam ras yang demikian, cukup menguntungkan dari sudut masyarakat maupun dari sudut kepentingan pengembangan agribisnis dalam jangka panjang. Dari sudut kepentingan masyarakat, melalui integrasi vertikal akan memungkinkan dicapai skala ekonomi (economic of scale), menghilangkan masalah marjin ganda dan jaminan konsistensi 121

8 serta kualitas sedemikian rupa sehingga bersifat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (welfare enlwncing). Dari sudut kepentingan pengembangan agribisnis ayam ras dalam jangka panjang, melalui integrasi vertikai akan menghilangkan masalah transmisi harga dan masalah penikmat bebas, yang menghambat pengembangan agribisnis ayam ras selama ini Bila setiap fungsi atau tahapan produksi agribisnis ayam ras tidak dilaksanakan oleh suatu perusahaan/grup perusahaan, maka masalah transmisi harga akan muncul. Informasi pasar, seperti harga, preferensi konsumen yang diperoleh pada agribisnis hilir tidak ditransmisikan ke agribisnis hulu ayam ras. Bahkan, hal tersebut digunakan perusahaan yang berada pada agribisnis hilir untuk mengeksploitasi budidaya dan agribisnis hulu. Demikian juga dengan masalah penikmat bebas, perusahaan pembibitan atau industri pakan tidak bersedia melakukan inovasi, karena mereka tahu bahwa manfaat inovasi tersebut juga akan dinikmati oleh perusahaan Iain yang berada pada budidaya dan agribisnis hilir ayam ras, padahal tidak ikut menanggung beban biaya inovasi tersebut Sebaliknya, eksportir tidak akan bersedia mengeluarkan tambahan biaya untuk mencari informasi pasar internasional, karena eksportir tersebut tahu bahwa manfaatnya juga akan dinikmati oleh perusahaan Iain yang terlibat dalam agribisnis ayam ras dan tidak ikut menanggung beban biaya tersebut. Dalam bisnis ayam ras yang terintegrasi secara vertikal, masalah transmisi harga dan masalah penikmat bebas tersebut tidak akan terjadi, sehingga sangatkondusif bagi munculnya inovasi-inovasi baru dalam agribisnis ayam ras. Oleh sebab itu, integrasi vertikal agribisnis ayam ras perlu didorong. Namun perlu dicegah agar antar perusahaan agribisnis ayam ras yang terintegrasi secara vertikal tidak melakukan integrasi horizontal, karena bukan hanya tidak merangsang munculnya inovasi, tetapi juga kan membuka peluang kolusi/kartel yang mendistorsi pasar. Hal ini perlu memperoleh perhatian yang serius, terutama dari 122

9 pemerintah, karena perusahaan yang terlibat dalam agribisnis hulu ayam ras (seperti industri pembibitan dan pakan) jumlahnya relatif sedikit, sehingga cukup potensial untuk melakukan integrasi horizontal dengart berbagai konfigurasi. Asosiasi-asosiasi horizontal, seperti Gabungan Perusahaan Pembibit Unggas Indonesia (GPPUI) dan Gabungan Pabrik Makanan Ternak (GPMT) seharusnya tidak diperbolehkan, karena akan membuka kesempatan kolusi secara terbuka atau sembunyi-sembunyi. Bila dikaitkan dengan gejolak yang terjadi dalam bisnis ayam ras dewasa ini, seperti gejolak penyediaan DOC FS dan pakan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam agribisnis ayam ras yang sudah terintegrasi secara vertikal, stabilisasi penyediaan DOC dan pakan sebenarnya dapat diwujudkan melalui perencanaan skala dan struktur populasi induk pembibit pada setiap tahapan pembibitan, mulai dari GGPS > GPS > PS > FS/CS. Adanya gejolak tersebut mengindikasikan bahwa perencanaan skala dan struktur populasi tersebut tidak berjalan dengan optimal. Akibatnya, pada periode tertentu terjadi kelebihan penawaran DOC dan pada periode yang lain terjadi kelebihan permintaan DOC. Kemudian, relatif mahalnya DOC produksi dalam negeri dibanding harga internasional mengindikasikan adanya inefisiensi pada pembibitan domestik. Salah satu penyebab inefisiensi ini adalah adanya kartel/ kolusi dalam industri pembibitan dan industri pakan di bawah GPPUI dan GPMT, baik secara terbuka maupun tersembunyi. Kenaikan harga DOC dan pakan biasanya didahului oleh rapat anggota GPPUI dan GPMT. Selain itu, dari suatu sumber yang Iayak dipercaya, biaya produksi DOC FS domestik adalah sekitar % persen dari harga rata-rata tahunan DOC FS di pasar domestik. Kalau hal ini benar, maka solusinya adalah menghapus kolusi itu sendiri dan mendorong dilaksanakannya perencanaan skala dan struktur populasi induk pada setiap tahapan industri pembibitan. 123

10 Mengembangkan Bisnis Ayam Ras Harus Melalui Pengembangan Sistem Agribisnis Ayam Ras Secara Keseluruhan. Pengembangan bisnis ayam ras tidak akan berhasil bila hanya mengembangkan sub-sistem budidaya saja, atau hanya mengembangkan subsistem agribisnis hulu dan hilir saja. Pengembangan industri pembibitan tidak akan berhasil tanpa diikuti dengan pengembangan budidaya, agribisnis hilir dan pengembangan pasar yang sesuai. Keseluruhan pengembangan ini tidak akan berhasil tanpa disertai pengembangan industri pakan. Demikian juga pengembangan industri pakantidak akan berhasil tanpa disertai pengembangan penyediaan bahan baku pakan dan teknologi pakan. Pengembangan sistem agribisnis ayam ras secara simultan tersebut juga harus disertai pengembangan kemampuan pelaku setiap subsistem yang ad a. Bisnis ayam ras yang menuntut keseriusan dan profesionalisme yang tinggi, tidak dapat berhasil bila pelakunya berbudaya usaha sambilan atau mengandalkan pengalaman beternak ayam bur as, DOC ayam ras yang membutuhkan norma gizi pakan standar tidak dapat dikelola dengan cara pengelolaan ayam buras, yang norma gizi pakannya tidak standar. Demikian juga penangangan dalam pengangkutan ayaam ras. Sifat ayam ras yang mud all mengalami stres (morbiditas), tidak dapat ditangani dengan cara pengangkutan ayam buras yang relatif tahan banting. Keberhasilan pengembangan bisnis ayam ras harus melalui pengembangan sistem agribisnis ayam ras keseluruhan secara konsisten. Kinerja agribisnis ayam ras ditentukan oleh resultante sinergis dari komponen-komponen agribisnis ayam ras, mulai dari hulu ke hilir Nilai penjualan produk akhir dari agribisnis ayam ras merupakan resultante dari efisiensi seluruh proses produksi dari hulu ke hilir. Demikian juga atribut produk akhir dari agribisnis ayam ras merupakan resultante dari cetak biru berupa genetic make up dari DOC hasil industri pembibitan, pakan, dan pengelolaan dalam agribisnis ayam ras. 124

11 Kebijaksanaan Pemerintah harus Integratif dan Efisien*. Kebijaksanaan pemerintah merupakan faktor eksogen yang dapat mempengaruhi struktur (structure), perilaku (conduct/ heliaxriour) dan kinerja {performance) sistem agribisnis ayam ras, Biasanya, tujuan kebijaksanaan penmerintah dikeluarkan adalah untuk mempengaruhi struktur dan/atau perilaku sistem sedemikian rupa, sehingga dicapai kinerja sistem yang dikehendaki, dimana kinerja sistem tersebut tidak dapat dicapai melalui otomatisasi mekanisme sistem yang ada. Dengan karakteristik dasar bisnis ayam ras dan bisnis ayam ras sebagai sistem agribisnis, suatu kebijaksanaan pemerintah yang ditujukan pada bisnis ayam ras haruslah kebijaksanaan yang bersifat integratif. Dalam perumusan dan pelaksanaan suatu kebijaksanaan harus didasarkan pada paradigma yang melihat bisnis ayarn ras sebagai suatu sistem agribisnis. Tradisi perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang didasarkan pada otoritas politik, disamping tidak sesuai dengan perkembangan yang ada, juga akan menimbulkan pesimisme di satu pihak dan optimisme di pihak lain. Pengalaman kita di masa yang lalu menunjukkan bahwa kebijaksanaan yang menyekat-nyekat sistem agribisnis ayam ras temyata bukan hanya mengalami kegagalan, tetapi juga rnenciptakan masalah baru. Kebijaksanaan restrukturisasi dan restriksi skala usaha pada subsistem budidaya (Keppres No. 50 Tahun 1981) ternyata bukan hanya gagal melindungi kepentinganekonomi peternak rakyat tetapi juga menimbulkan masalah baru berupa pengkaplingan semu skala usaha dan penguasaan pada subsistem budidaya. Oleh sebab itu, kebijaksanaan yang demikian harus ditinggalkan. Dimasa yang akan datang, kebijaksanaan yang ditujukan untuk pembinaan bisnis ayam ras harus bersifat integratif. Pembatasan/pengurangan penawaran produk akhir ayam ras (misalnya untuk menaikkan/menstabilkan harga) tidak akan berhasil kalau yang dikurangi hanya pada budidaya saja, tetapi harus dimulai dari industri pembibitan yang paling hulu. 125

12 Demikian juga keinginan melindungi kepentingan ekonomi peternak rakyat tidak akan berhasil bila porsi peternak rakyat hanya pada budidaya saja. Dalam agribisnis ayam ras, nilai tambah yang paling besar berada pada agribisnis hulu dan hilir, sedangkan pada budidaya sangat kecil. Karena itu, kalau bermaksud meningkatkan pendapatan peternak rakyat, mereka harus didorong untuk memasuki agribisnis hulu dan hilir ayam ras atau mengelola satu unit agribisnis ayam ras dari hulu hingga ke hilir. Selain itu, kebijaksanaan pemerintah juga harus efisien dan efektif. Kecenderungan kebiasaan untuk mengatur (regulating) harus diganti dengan pemberian iklim yang kondusif (enabling). Dimasa yang akan datang perlu dikembangkan suatu tradisi kebijaksanaan yang tidak menuntut terlalu banyak pengawasan pelaksanaan suatu kebijakan, sehingga biaya pelaksanaan kebijaksanaan tersebut seminimum mungkin. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat dicapai melalui otomatisasi mekanisme sistem, tidak perlu diatur dalam kebijaksanaan. Sebaliknya, suatu keadaan yang tidak dapat dicapai melalui mekanisme sistem yang ada dan perlu diatur melalui kebijaksanaan, perlu diupayakan agar pesan kebijaksanaan tersebut dapat diinternalisasi ke dalam sistem, tanpa membutuhkan pengawasan pelaksanaan yang ketat Karena, setiap kebijaksanaan yang membutuhkan pengawasan pelaksanaan yang ketat akan menciptakan ekonomi biaya tinggi sehingga bersifat kontraproduktif. Mengakomodasikan Kepentingan Ekonomi Peternak Rakyat- Sejak tahun 1980, kepentingan ekonomi peternak rakyat selalu menjadi masalah dalam bisnis ayam ras, Berbagai kebijaksanaan pemerintah yang bertujuan untuk mengakomodasikan kepentingan peternak rakyat seperti Keppres No. 50 Tahun 1981, pola PIR, dan berbagai bentuk kemitraan, tampaknya masih belum berhasil, Mengapa demikian? Suatu pola kemitraan bisnis akan dapat berjalan secara otomatis bila dipenuhi dua syarat. Pertama, syarat keharusan (neccesary condition) yakni harus ada rasa kebersamaan 126

13 (cohesiveness) yang kuat diantara pihak-pihak yang bermitra. Kedtia, syarat kecukupan (sufficient condition) yakni ada peluang saling menguntungkan yang mungkin lahir melalui pelaksanaan kemitraan tersebut. Kedua syarat tersebut harus dipenuhi untuk menjamin terjalinnya kemitraan yang langgeng. Pola kemitraan yang dilandasi rasa kebersamaan tanpa ada peluang saling menguntungkan hanyalah suatu pekerjaan sosial ir yang dari sudut bisnis sulit bertahan. Sebaliknya, kemitraan yang saling menguntungkan tanpa dilandasi rasa kebersamaan, juga diragukan kelanggengannya. Dalam kasus upaya menciptakan pola kemitraan pada usaha budidaya ayam ras (on farm) perlu terlebih dahulu dikaji karakteristik dari perusahaan pertemakan di satu pihak dan peternak rakyat di pihak lain. Perusahaan peternakan yang memiliki industri pembibitan, industri pakan, dan permodalan yang kuat (berarti juga mud ah memperoleh faktor produksi lainnya), jelas tidak memerlukan pola kemitraan dalam usaha budidaya ayam ras (on-farm). Memang perusahaan peternakan membutuhkan tenaga kerja, akan tetapi tenaga kerja yang dibutuhkan adalah tenaga kerja yang ketrampilannya lebih baik dari rata-rata tenaga kerja peternak rakyat. Selain itu, sesuai dengan tuntutan bisnis ayam ras, pelaksanaan usaha budidaya ayam ras yang dikehendaki perusahaan peternakan adalah tetap di bawah kontrol manajemen perusahaan peternakan secara penuh untuk menghindari resiko dan ketidakpastian. Tambahan pula, dari sudut perusahaan peternakan, untuk melaksanakan kemitraan budidaya ayam ras diperlukan tambahan biaya untuk merekrut, melatih, membina, dan mengawasi peternak rakyat. Sebagai pelaku ekonomi yang rasional, perusahaan peternakan tidak bersedia melakukan kemitraan, karena disamping membutuhkan biaya tambahan, juga mengandung resiko. Di pihak lain, peternak rakyat yang hanya memiliki tenaga kerja yang serba lemah, sangat mengharapkan adanya kemitraan dengan perusahaan peternakan dalam usaha budidaya ayam ras. 127

14 Tanpa ada bentuk kemitraan peternak rakyat umumnya tidak dapat melaksanakan budidaya ayam ras. Dengan perbedaan karakteristik perusahaan peternakan dan peternak rakyat yang demikian, jelas tidak mungkin terjadi kemitraan secara otomatis, Karena, kalau melakukan kemitraan, peternak rakyat dapat menjadi better off sementara perusahaan peternakan merasa worse off, Persoalannya adalah adanya tuntutan politis untuk mewujudkan pola kemitraan antara peternak rakyat dengan perusahaan peternakan. Untuk mengakomodasikan tuntutan politis yang demikian, kita perlu memberikan alternatif-alternatif pola kemitraan berdasarkan karakteristik perusahaan peternakan dan peternak rakyat yang disertai dengan berbagai insentif kepada perusahaan peternakan. Bentuk-bentuk insentif yang disarankan adalah: pertama, penghapusan pungutan-pungutan yang menjadi beban perusahaan peternakan selama ini; dan kedua, kebijaksanaan fiskal berupa keringanan pajak sebagai kompensasi biaya tambahan dan resiko yang timbul bila perusahaan peternakan melakukan pola kemitraan denganpeternak rakyat. Caranya adalah dengan memperlakukan biaya perekrutan / pelatihan, dan pengawasan peternakan rakyat serta nilai resiko akibat kemitraan sebagai biaya tetap perusahaan petemakan. Jadi, biaya tersebut tidak diperhitungkan sebagai bagian dari keuntungan kena pajak. Dengan cara seperti ini, keseimbangan perusahaan petemakan (kondisi optimum) tidak terpengaruh. Keringanan pajak yang demikian, telah ada dalam sistem perpajakan nasional saat ini seperti penggunaan sebagian keuntungan perusahaan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan pada perusahaan yang bersangkutan, sehingga tidak diperhitungkan dalam menentukan besar pajak yang hams dibayar perusahaan. Namun demikian, karena bentuk keringanan pajak yang disarankan di atas berbeda dengan kegiatan penelitian dan pengembangan maka diperlukan persetujuan Menteri Keuangan. 128

15 Kalaupun pola kemitraan dapat diwujudkan dengan memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, pola kemitraan hanyalah solusi jangka pendek untuk mengakomodasikan kepentingan peternak rakyat. Untuk membangun kemandirian dan peningkatan pendapatan peternak rakyat pola kemitraan pada budidaya tidak dapat diandalkan, Sebabnya adalah karena dengan karakteristik bisnis ayam ras yang telah disebutkan terdahulu, keberhasilan dalam bisnis ayam ras tidak ditentukan cleh kegiatan usaha di budidaya, tapi sangat ditentukan oleh kegiatan pada agribisnis hulu dan hilir ayam ras. Selain itu, dalam agribisnis ayam ras, nilai tambah yang paling besar terdapat pada agribisnis hulu dan hilir, sedangkan pada budidaya yang merupakan porsi peternak kecil selama ini, nilai tambahnya sangat kecil. Oleh karena itu, sebagai solusi jangka panjang, peternak rakyat perlu diberi kesempatan bahkan perlu didorong (difasilitasi) agar dapat memasuki agribisnis hulu dan hilir sedemikian rupa sehingga peternak rakyat baik secara individu, kelompok atau koperasi menguasai suatu unit agribisnis dari hulu hingga ke hilir. Kalau di masa lalu koperasi terbatas sebagai wadah bersama peternak rakyat, maka dimasa yang akan datang koperasi haruslah berbentuk perusahaan koperasi agribisnis ayam ras (bukan KUD) yang dapat Ieluasa memiliki agroindustri hulu dan hilir ayam ras beserta kegiatan perdagangannya. Dengan cara seperti ini, kepentingan peternak rakyat dapat diakomodasikan dalam bisnis ayam ras, tanpa harus menuntut perusahaan-perusahaan petemakan ayam ras yang ada untuk melakukan pekerjaan sosial. Membangun Keunggulan Bersaing Bisnis AyamRas Di masa yang akan datang, persaingan yang sangat ketat akan terjadi pada bisnis ayam ras internasional, khususnya di kawasan Asia Pasifik. Menurut perkiraan Bank Dunia, di masa yang akan 129

16 datang kawasan Asia-Pasifik akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia dimana sekitar 50 persen dari GNP dunia akan berada di kawasan ini Indonesia diperkirakan akan menempati urutan ke-5 sebagai negara ekonomi terbesar. Hal ini berarti, kawasan Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, akan menjadi pusat yang sangat potensial bagi bahan pangan yang memiliki sifat income elasticity demand, seperti produk-produk ayam ras. Artinya, persaingan yang ketat antar agribisnis ayam ras akan terjadi di kawasan tersebut, termasuk pada pasar domestik Indonesia. Untuk menghadapi iklim kompetisi yang demlkian, kunci keberhasilan akan terletak pada keunggulan bersaing yang berkesinambungan. Keunggulan bersaing dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat, dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih rendah dari yang ditawarkan pesaing seraya memperoleh laba paling tidak sebesar ongkos penggunaan sumberdaya (opportunity cost). Dengan demikian, keunggulan bersaing tidak cukup hanya memiliki keunggulan komparatif (harga lebih miirah dari pesaing), tapi juga ditentukan oleh kemampuan menyediakan produk dengan atribut yang diinginkan konsumen. Dengan makna keunggulan bersaing yang demikian, dapat dikatakan bahwa pembangunan bisnis ayam ras dengan pendekatan sistem agribisnis seperti yang telah dikemukakan terdahulu, pada hakekatnya merupakan suatu konsep pembangunan yang kondusif untuk mencapai keunggulan bersaing. Dalam konsep sistem agribisnis, persaingan antara perusahaan yang terintegrasi secara vertikal dengan perusahaan yang terintegrasi bertikal lainnya merupakan iklim yang konduktif untuk mengakomodasi syarat-syarat keunggulan bersaing tersebut; seperti efisiensi tertinggi, kontinuitas/stabilitas pasokan, konsistensi mutu, dan hilangnya masalah transmisi harga dan masalah penikmat bebas (free rider), 130

17 Untuk menghadapi masa depan, keimggulan bersaing perlu dikembangkan menjadi keunggulan bersaing yang berkesinambungan. Tulang punggung daya saing yang berkesinambungan adalah inovasi teknologi yang dilakukan secara konsisten dan terus menerus dalam agribisnis ayam ras. Dalam agribisnis ayam ras, terdapat paling tidak tiga ranah inovasi yang diperlukan untuk membangun daya saing yang berkesinambungan. Pertama, inovasi di bidang rekayasa genetik (genetic engineering). Teknologi pembibitan yang menjadi pendorong pertumbuhan industri ayam ras selama ini masih bersumber dari impor. Menghadapi kornpetisi global dalam bisnis ayam ras, ketergantungan teknologi pembibitan dari perusahaan (negara) pesaing akan kuat. Disamping makin mahal, kita juga tidak akan pernah unggul dalam bisnis ayam ras, karena pesaing kita tidak akan menjual teknologi terbaiknya kepada perusahaan Iain. Selain itu, pentingnya inovasi di bidang rekayasa genetik ini adalah karena dalam komoditi ayam ras, cetak biru dari mutu, atribut produk akhir ayain ras berada pada genetic make up dari ayam ras itu sendiri, Kita berharap, melalui inovasi rekayasa genetik (misalnya teknik rekombinan DNA), gen yang mengatur juice daging ayam buras yang terkenal itu dapat dimasukkan ke dalam genetik ayam ras disertai dengan gen-gen yang dapat meningkatkan serat kasar dan menurunkan kadar kolesterol daging ayam ras. Kedua, inovasi di bidang bioteknologi nutrisi dan makanan ternak. Kemampuan bersaing dalam bisnis ayam ras ditentukan oleh penyediaan pakan bermutu dan murah. Sebagai komponen terbesar dalam biaya produksi ayam ras, pakan akan secara langsung menentukan keunggulan komparatif dalam bisnis ayam ras. Perusahaan (negara) yang mampu menyediakan pakan bermutu dan lebih murah, akan menguasai bisnis ayam ras. Selama ini perhatian yang serius dalam inovasi bioteknologi nutrisi dan makanan ternak masih sangat sedikit dan tidak terkoordinasi, sehingga ketergantungan industri pakan pada 131

18 sumber konvensional sangat tinggi. Padahal, Indonesia sebagai negara tropis memiliki sumberdaya keragaman hayati yang potensial sebagai pakan ternak dan inokulan bioteknologi pakan untuk menghasilkan bahan baku pakan murah bergizi tinggi Oleh sebab itu, inovasi di bidang bioteknologi nutrisi dan makan ternak perlu dipacu dan direncanakan dengan baik. Ketiga, inovasi di bidang teknologi pengolahan daging dan telur ayam ras, Dimasa yang akan datang, seiring dengan perubahan gaya hidup (life style) dari masyarakat, daya absorbsi pasar akan produk ayam ras, disamping ditentukan oleh pendapatan konsumen, juga ditentukan oleh keragaman olahan dari produk ayam ras, Daging dan telur ayam ras tidak lagi dipandang sebagai suatu komoditas saja, akan tetapi dipandang sebagai suatu produk beserta atribut yang melekat padanya. Dengan demikian, persoalannya adalah bagaimana menghasilkan produk ayam dengan segala atributnya yang sesuai dengan selera konsumen. Disinilah peran penting dari teknologi pengolahan daging dan telur ayam ras untuk dikembangkan. 132

PETERNAKAN RAKYAT AYAM RAS PERLU DI DORONG MENGUASAI UNIT AGRIBISNIS DARI HULU HINGGA HILIR

PETERNAKAN RAKYAT AYAM RAS PERLU DI DORONG MENGUASAI UNIT AGRIBISNIS DARI HULU HINGGA HILIR bab dua belas PETERNAKAN RAKYAT AYAM RAS PERLU DI DORONG MENGUASAI UNIT AGRIBISNIS DARI HULU HINGGA HILIR Bisnis ayam ras di Indonesia yang tak putus dirundung kemelut, tampaknya tak lepas dari pantauan

Lebih terperinci

INTEGRASI BISNIS PERUNGGASAN

INTEGRASI BISNIS PERUNGGASAN bab sembilan INTEGRASI BISNIS PERUNGGASAN Pendahuluan Sektor perunggasan (ayam ras) Nasional menunjukkan perkembangan yang cukup mengesankan selama PJP-L Bila pada awal Orde Baru sektor perunggasan masih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. serta dalam menunjang pembangunan nasional. Salah satu tujuan pembangunan

I. PENDAHULUAN. serta dalam menunjang pembangunan nasional. Salah satu tujuan pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sub sektor petenakan merupakan salah satu sub sektor yang berperan serta dalam menunjang pembangunan nasional. Salah satu tujuan pembangunan subsektor peternakan seperti

Lebih terperinci

REKONSILIASI PELAKU PERUNGGASAN DEMI MEMBANGUN AGRIBISNIS PERUNGGASAN YANG BERDAYA SAING

REKONSILIASI PELAKU PERUNGGASAN DEMI MEMBANGUN AGRIBISNIS PERUNGGASAN YANG BERDAYA SAING bab delapan belas REKONSILIASI PELAKU PERUNGGASAN DEMI MEMBANGUN AGRIBISNIS PERUNGGASAN YANG BERDAYA SAING Duapuluh tahun sudah kemelut pada agribisnis perunggasan berlangsung, namun tanda-tanda akan berakhir

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA bab enam PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA Pendahuluan Kegiatan ekonomi yang berbasis peternakan merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang

Lebih terperinci

MASALAH DAN PROSPEK AGRIBISNIS PERUNGGASAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN BAHAN PANGAN ASAL UNGGAS DI INDONESIA

MASALAH DAN PROSPEK AGRIBISNIS PERUNGGASAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN BAHAN PANGAN ASAL UNGGAS DI INDONESIA bab tujuh belas MASALAH DAN PROSPEK AGRIBISNIS PERUNGGASAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN BAHAN PANGAN ASAL UNGGAS DI INDONESIA Pendahuluan Sejak dikeluarkannya SK Menperindag No.ll5/MPP/ Kep/2/1998 tanggal

Lebih terperinci

MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TERNAK DOMBA

MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TERNAK DOMBA bab lima belas MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TERNAK DOMBA Pendahuluan Di Indonesia, ternak domba diduga telah mulai dikenal sejak nenek moyang pertama bangsa Indonesia mendiami Indonesia. Adanya ternak

Lebih terperinci

MENINGKATKAN DAYA SAING PERUNGGASAN NASIONAL DENGAN MENGEMBANGKAN KEMITRAAN MELALUI INTEGRASI VERTIKAL

MENINGKATKAN DAYA SAING PERUNGGASAN NASIONAL DENGAN MENGEMBANGKAN KEMITRAAN MELALUI INTEGRASI VERTIKAL bab sepuluh MENINGKATKAN DAYA SAING PERUNGGASAN NASIONAL DENGAN MENGEMBANGKAN KEMITRAAN MELALUI INTEGRASI VERTIKAL Dalam bisnis perunggasan, kerjasarna kemitraan bukanlah hal baru. Sekalipun demikian masalah

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN H. ISKANDAR ANDI NUHUNG Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN MENGHADAPI ERA PERDAGANGAN BEBAS

AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN MENGHADAPI ERA PERDAGANGAN BEBAS bab dua AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN MENGHADAPI ERA PERDAGANGAN BEBAS Pendahuluan Tinggal satu Pelita lagi, Indonesia akan memasuki era perdagangan bebas yakni pada tahun 2003 di kawasan AFTA (Asean

Lebih terperinci

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis 5Kebijakan Terpadu Pengembangan Agribisnis Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan kondisi yang makin seimbang. Persentase sumbangan sektor pertanian yang pada awal Pelita I sangat

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA PADA ASPEK PENYULUHAN DI WILAYAH PERKOTAAN

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA PADA ASPEK PENYULUHAN DI WILAYAH PERKOTAAN bab tujuh PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA PADA ASPEK PENYULUHAN DI WILAYAH PERKOTAAN Banyak pihak berpendapat bahwa dengan direlokasinya usaha peternakan dari wilayah perkotaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agroindustri adalah usaha untuk mengolah bahan baku hasil pertanian menjadi berbagai produk yang dibutuhkan konsumen (Austin 1981). Bidang agroindustri pertanian dalam

Lebih terperinci

Konsep, Sistem, dan Mata Rantai Agribisnis

Konsep, Sistem, dan Mata Rantai Agribisnis Konsep, Sistem, dan Mata Rantai Agribisnis Contents 1. Pertanian berwawasan agribisnis 2. Konsep Agribisnis 3. Unsur Sistem 4. Mata Rantai Agribisnis 5. Contoh Agribisnis Pertanian Moderen berwawasan Agribisnis

Lebih terperinci

3 KERANGKA PEMIKIRAN

3 KERANGKA PEMIKIRAN 12 ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk komoditas basis tanaman pangan. Tahap ketiga adalah penentuan prioritas komoditas unggulan tanaman pangan oleh para stakeholder dengan metode Analytical Hierarchy

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kontribusi sektor peternakan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional antara tahun 2004-2008 rata-rata mencapai 2 persen. Data tersebut menunjukkan peternakan memiliki

Lebih terperinci

PROSPEK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS AYAM RAS DALAM ERA PASAR BEBAS

PROSPEK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS AYAM RAS DALAM ERA PASAR BEBAS bab tiga belas PROSPEK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS AYAM RAS DALAM ERA PASAR BEBAS Pendahuluan Tidak lama lagi era perdagangan bebas akan segera kita masuki. Meskipun secara internasional era perdagangan

Lebih terperinci

14Pengembangan Agribisnis

14Pengembangan Agribisnis 14Pengembangan Agribisnis Berbasis Perikanan Menghadapi Era Perdagangan Bebas Abad 21 Pendahuluan Pengembangan subsektor perikanan dimasa lalu telah menghasilkan berbagai kemajuan. Produksi perikanan laut

Lebih terperinci

untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Ekonomi Pedesaan

untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Ekonomi Pedesaan Sumber Daya Manusia untuk Mendukung Pengembangan 21Pembinaan Agribisnis dan Pendahuluan Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Sekitar 55,6 persen

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.230/12/2016 TENTANG PENYEDIAAN, PEREDARAN, DAN PENGAWASAN AYAM RAS

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.230/12/2016 TENTANG PENYEDIAAN, PEREDARAN, DAN PENGAWASAN AYAM RAS - 731 - PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 61/Permentan/PK.230/12/2016 TENTANG PENYEDIAAN, PEREDARAN, DAN PENGAWASAN AYAM RAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1869, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Ayam Ras. Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/PERMENTAN/PK.230/12/2016 TENTANG

Lebih terperinci

CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN

CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN 2001-2004: VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN Visi Pembangunan Pertanian Visi pembangunan pertanian dirumuskan sebagai : Terwujudnya masyarakat yang sejahtera

Lebih terperinci

Barat yang Integratif Melalui Pegembangan Agribisnis

Barat yang Integratif Melalui Pegembangan Agribisnis Wilayah Jawa Barat yang Integratif Melalui 18Pembangunan Pegembangan Agribisnis Pendahuluan Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I) telah berhasil meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Agribisnis peternakan memberikan banyak kontribusi bagi bangsa Indonesia yaitu sebagai penyedia lapangan pekerjaaan dan berperan dalam pembangunan. Berdasarkan data statistik

Lebih terperinci

MEMBANGUN SISTEM AGRIBISNIS BERBASIS AYAM RAS BERDAYA SAING MEMBANGUN SISTEM AGRIBISNIS BERBASIS AYAM RAS BERDAYA SAING

MEMBANGUN SISTEM AGRIBISNIS BERBASIS AYAM RAS BERDAYA SAING MEMBANGUN SISTEM AGRIBISNIS BERBASIS AYAM RAS BERDAYA SAING bab enam belas MEMBANGUN SISTEM AGRIBISNIS BERBASIS AYAM RAS BERDAYA SAING Agribisnis ayam ras di Indonesia merupakan salah satu agribisnis yang paling cepat perkembangannya. Dimulai dengan usaha keluarga

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/Permentan/PK.230/5/2016 TENTANG PENYEDIAAN, PEREDARAN, DAN PENGAWASAN AYAM RAS

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/Permentan/PK.230/5/2016 TENTANG PENYEDIAAN, PEREDARAN, DAN PENGAWASAN AYAM RAS PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/Permentan/PK.230/5/2016 TENTANG PENYEDIAAN, PEREDARAN, DAN PENGAWASAN AYAM RAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG INVESTASI AYAM BURAS SERTA PEMASARANNYA. Achmad Syaichu *)

POTENSI DAN PELUANG INVESTASI AYAM BURAS SERTA PEMASARANNYA. Achmad Syaichu *) POTENSI DAN PELUANG INVESTASI AYAM BURAS SERTA PEMASARANNYA Achmad Syaichu *) ABSTRAK Komoditas unggas (lebih dari 90 persen adalah kontribusi dari ayam ras) menduduki komoditas pertama untuk konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN YANG TERINTEGRASI DE-NGAN PEMBANGUNAN WILAYAH (KASUS JAWA BARAT)

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN YANG TERINTEGRASI DE-NGAN PEMBANGUNAN WILAYAH (KASUS JAWA BARAT) bab empat PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN YANG TERINTEGRASI DE- NGAN PEMBANGUNAN WILAYAH (KASUS JAWA BARAT) Pendahuluan Wilayah Jawa Barat merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi nasional.

Lebih terperinci

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA 2015-2019 Dalam penyusunan Rencana strategis hortikultura 2015 2019, beberapa dokumen yang digunakan sebagai rujukan yaitu Undang-Undang Hortikultura Nomor

Lebih terperinci

Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam. Informasi Utama :

Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam. Informasi Utama : Nov 10 Des-10 Jan-11 Feb-11 Mar-11 Apr-11 Mei-11 Jun-11 Jul-11 Agust-11 Sep-11 Okt-11 Nop-11 Edisi : 11/AYAM/TKSPP/2011 Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam Informasi Utama : Harga daging ayam di pasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

2017, No Menteri Petanian tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tah

2017, No Menteri Petanian tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tah No.1230, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTAN. Ayam Ras dan Telur Konsumsi. Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/PERMENTAN/PK.230/9/2017

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan pertanian pada masa sekarang adalah dengan meletakkan masyarakat sebagai pelaku utama (subyek pembangunan), bukan lagi sebagai obyek pembangunan

Lebih terperinci

Kalau kita membicarakan upaya pemberdayakan ekonomi rakyat, maka

Kalau kita membicarakan upaya pemberdayakan ekonomi rakyat, maka Peternak Melalui Pengembangan Koperasi 13Memberdayakan Agribisnis Peternakan Kalau kita membicarakan upaya pemberdayakan ekonomi rakyat, maka yang kita maksudkan adalah memberdayakan ekonomi rakyat yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas, pembangunan. (on farm) mengalami pergeseran ke arah yang lebih terintegrasi dan

I. PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas, pembangunan. (on farm) mengalami pergeseran ke arah yang lebih terintegrasi dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas, pembangunan peternakan mengalami pergeseran paradigma. Titik berat kepada sistem budidaya (on farm) mengalami pergeseran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Teknologi mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Teknologi mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teknologi mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Menurut Xiaoyan dan Junwen (2007), serta Smith (2010), teknologi terkait erat dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber daya hewan

Lebih terperinci

Pi sang termasuk komoditas hortikultura yang penting dan sudah sejak. lama menjadi mata dagangan yang memliki reputasi internasional.

Pi sang termasuk komoditas hortikultura yang penting dan sudah sejak. lama menjadi mata dagangan yang memliki reputasi internasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pi sang termasuk komoditas hortikultura yang penting dan sudah sejak lama menjadi mata dagangan yang memliki reputasi internasional. Pisang selain mudah didapat karena

Lebih terperinci

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU Ubi kayu menjadi salah satu fokus kebijakan pembangunan pertanian 2015 2019, karena memiliki beragam produk turunan yang sangat prospektif dan berkelanjutan sebagai

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KOPERASI AGRIBISNIS PETERNAKAN

PENGEMBANGAN KOPERASI AGRIBISNIS PETERNAKAN bab tiga PENGEMBANGAN KOPERASI AGRIBISNIS PETERNAKAN Kalau kita membicarakan upaya memberdayakan ekonomi rakyat, maka yang kita maksudkan adalah memberdayakan ekonomi rakyat yang menggantungkan hidupnya

Lebih terperinci

KONSEP, SISTEM DAN MATA RANTAI AGRIBISNIS ILLIA SELDON MAGFIROH KULIAH III WAWASAN AGRIBISNIS PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI, UNIVERSITAS JEMBER 2017

KONSEP, SISTEM DAN MATA RANTAI AGRIBISNIS ILLIA SELDON MAGFIROH KULIAH III WAWASAN AGRIBISNIS PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI, UNIVERSITAS JEMBER 2017 KONSEP, SISTEM DAN MATA RANTAI AGRIBISNIS ILLIA SELDON MAGFIROH KULIAH III WAWASAN AGRIBISNIS PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI, UNIVERSITAS JEMBER 2017 PERTANIAN MODEREN berwawasan Agribisnis CARA PANDANG KEGIATAN

Lebih terperinci

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Manajemen Usaha Ternak Saragih (1998) menyatakan susu merupakan produk asal ternak yang memiliki kandungan gizi yang tinggi. Kandungan yang ada didalamnya

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan yang dilaksanakan secara terencana rencana

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia Beberapa penelitian yang mengkaji permasalahan usaha ternak ayam buras banyak menunjukkan pertumbuhan produksi ayam

Lebih terperinci

BAGIAN KETIGA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS KOMODITAS DAN SUMBERDAYA

BAGIAN KETIGA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS KOMODITAS DAN SUMBERDAYA BAGIAN KETIGA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS KOMODITAS DAN SUMBERDAYA 12Pemberdayaan Petani Tanaman Pangan dan Hortikultura Keluar dari Jeratan Lingkaran Setan Sosial Ekonomi Pendahuluan Kegiatan ekonomi

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas I. PENDAHULUAN

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN Usaha perunggasan (ayam ras) di Indonesia telah menjadi sebuah industri yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir, dimana perkembangan usaha ini memberikan kontribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Peternakan Ayam Broiler di Indonesia

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Peternakan Ayam Broiler di Indonesia II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Peternakan Ayam Broiler di Indonesia Perkembangan ayam broiler di Indonesia dimulai pada pertengahan dasawarsa 1970-an dan mulai terkenal pada awal tahun 1980-an. Laju perkembangan

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas I. PENDAHULUAN

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN Usaha perunggasan (ayam ras) di Indonesia telah menjadi sebuah industri yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir, dimana perkembangan usaha ini memberikan kontribusi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wirausaha memiliki peran penting dalam perkembangan ekonomi suatu negara, salah satu contohnya adalah negara adidaya Amerika. Penyumbang terbesar perekonomian Amerika

Lebih terperinci

PENGANTAR AGRIBISNIS

PENGANTAR AGRIBISNIS PENGANTAR AGRIBISNIS PENGANTAR AGRIBISNIS I. PEMAHAMAN TENTANG AGRIBISNIS 1. EVOLUSI PERTANIAN MENUJU AGRIBISNIS Berburu dan Meramu budidaya pertanian (farming) ekstensif untuk memenuhi kebutuhan rumah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor pertanian adalah salah satu sektor sandaran hidup bagi sebagian besar

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor pertanian adalah salah satu sektor sandaran hidup bagi sebagian besar BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian adalah salah satu sektor sandaran hidup bagi sebagian besar penduduk Indonesia, sehingga sektor pertanian diharapkan menjadi basis pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. subsistem agribisnis hulu peternakan (upstream agribusiness) yakni kegiatan

I. PENDAHULUAN. subsistem agribisnis hulu peternakan (upstream agribusiness) yakni kegiatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan peternakan yang mampu memberikan peningkatan pendapatan peternak rakyat yang relatif tinggi dan menciptakan daya saing global produk peternakan adalah paradigma

Lebih terperinci

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional 83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan masyarakat terhadap sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan perubahan selera, gaya hidup dan peningkatan pendapatan. Karena, selain rasanya

Lebih terperinci

SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan. Orasi Ilmiah di Universitas Medan Area Tanggal 8 Mei 2004

SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan. Orasi Ilmiah di Universitas Medan Area Tanggal 8 Mei 2004 SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan Orasi Ilmiah di Universitas Medan Area Tanggal 8 Mei 2004 Oleh : Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, MEc Rektor dan Senat Guru Besar

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis 1 Pendahuluan (1) Permintaan terhadap berbagai komoditas pangan akan terus meningkat: Inovasi teknologi dan penerapan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI DALAM AGRIBISNIS

TEKNOLOGI DALAM AGRIBISNIS TEKNOLOGI DALAM AGRIBISNIS Teknologi agribisnis merupakan sarana utama untuk mencapai tujuan efektifitas, efisiensi, serta produktifitas yang tinggi dari usaha agribisnis. Penentuan jenis teknologi sangat

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Berlian Porter Dayasaing diidentikkan dengan produktivitas atau tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan.

Lebih terperinci

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO 10.1. Kebijakan Umum Penduduk Kabupaten Situbondo pada umumnya banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN an sejalan dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat,

I. PENDAHULUAN an sejalan dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengembangan usaha ternak ayam di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1970 an sejalan dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat, yang kemudian mendorong

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling

I. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, selain ikan dan telur, guna memenuhi kebutuhan akan protein.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Peternakan adalah kegiatan membudidayakan hewan ternak untuk mendapatkan manfaat dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen pada faktor-faktor produksi. Peternakan merupakan

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN

ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN Agar pangsa pasar susu yang dihasilkan peternak domestik dapat ditingkatkan maka masalah-masalah di atas perlu ditanggulangi dengan baik. Revolusi putih harus dilaksanakan sejak

Lebih terperinci

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012 Politik Pangan - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012 Politik Pangan merupakan komitmen pemerintah yang ditujukan untuk mewujudkan ketahanan Pangan nasional yang

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor

Lebih terperinci

KEMITRAAN USAHA AYAM RAS PEDAGING: KAJIAN POSISI TAWAR DAN PENDAPATAN TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Magister

KEMITRAAN USAHA AYAM RAS PEDAGING: KAJIAN POSISI TAWAR DAN PENDAPATAN TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Magister KEMITRAAN USAHA AYAM RAS PEDAGING: KAJIAN POSISI TAWAR DAN PENDAPATAN TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Magister PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS Diajukan oleh :

Lebih terperinci

Bahan Kuliah ke 9: UU dan Kebijakan Pembangunan Peternakan Fakultas Peternakan Unpad KEBIJAKAN DALAM INDUSTRI TERNAK NON RUMINANSIA

Bahan Kuliah ke 9: UU dan Kebijakan Pembangunan Peternakan Fakultas Peternakan Unpad KEBIJAKAN DALAM INDUSTRI TERNAK NON RUMINANSIA Bahan Kuliah ke 9: UU dan Kebijakan Pembangunan Peternakan Fakultas Peternakan Unpad KEBIJAKAN DALAM INDUSTRI TERNAK NON RUMINANSIA Pohon Industri Ayam Ras Bagan Roadmap Pengembangan Komoditas Visi Menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang utama di negara-negara berkembang. Peranan atau kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara menduduki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. populasi, produktifitas, kualitas, pemasaran dan efisiensi usaha ternak, baik

BAB I PENDAHULUAN. populasi, produktifitas, kualitas, pemasaran dan efisiensi usaha ternak, baik BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan sektor pertanian dalam arti luas yang bertujuan untuk pemenuhan pangan dan gizi serta menambah

Lebih terperinci

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator)

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator) antara lain dalam memperjuangkan terbitnya

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN: Bahasa Indonesia

LAPORAN PENELITIAN: Bahasa Indonesia LAPORAN PENELITIAN: SOSIO-ECONOMIC IMPACT ASSESMENT OF THE AVIAN INFLUENZA CRISIS ON POULTRY PRODUCTION SYSTEM IN INDONESIA, WITH PARTICULAR FOCUS INDEPENDENT SMALLHOLDERS Bahasa Indonesia Kerjasama PUSAT

Lebih terperinci

Kebijakan Sistem Inovasi dalam Membangun Pusat Unggulan Peternakan

Kebijakan Sistem Inovasi dalam Membangun Pusat Unggulan Peternakan Kebijakan Sistem Inovasi dalam Membangun Pusat Unggulan Peternakan Benyamin Lakitan SEMINAR NASIONAL FORUM KOMUNIKASI INDUSTRI PETERNAKAN BOGOR 18 SEP 2013 Tujuan Pembanguan Iptek http://benyaminlakitan.com

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mempunyai peranan dalam memanfaatkan peluang kesempatan kerja.

I. PENDAHULUAN. mempunyai peranan dalam memanfaatkan peluang kesempatan kerja. 1.1. Latar Belakang Penelitian I. PENDAHULUAN Usaha perunggasan di Indonesia telah menjadi sebuah industri yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir. Perkembangan usaha tersebut memberikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 2001 berdasarkan UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang selanjutnya

Lebih terperinci

KOMPONEN AGRIBISNIS. Rikky Herdiyansyah SP., MSc

KOMPONEN AGRIBISNIS. Rikky Herdiyansyah SP., MSc KOMPONEN AGRIBISNIS Rikky Herdiyansyah SP., MSc KOMPONEN AGRIBISNIS Tujuan Instruksional Umum: Mahasiswa mengetahui tentang komponen agribisnis Tujuan Instruksional Khusus: Setelah menyelesaikan pembahasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Koperasi dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan ekonomi sosial negara sedang berkembang dengan membantu membangun struktur ekonomi dan sosial yang kuat (Partomo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai bobot badan antara 1,5-2.8 kg/ekor dan bisa segera

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai bobot badan antara 1,5-2.8 kg/ekor dan bisa segera BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Ayam broiler merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging. Ayam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nenas diyakini berasal di Selatan Brazil dan Paraguay kemudian

BAB I PENDAHULUAN. Nenas diyakini berasal di Selatan Brazil dan Paraguay kemudian BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Nenas diyakini berasal di Selatan Brazil dan Paraguay kemudian menyebar ke seluruh benua dengan perantara penduduk asli. James Drummond Dole adalah orang pertama yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAGIAN KEEMPAT MEMBANGUN AGRIBISNIS MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT

BAGIAN KEEMPAT MEMBANGUN AGRIBISNIS MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT BAGIAN KEEMPAT MEMBANGUN AGRIBISNIS MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT Sebagai Sektor Utama Ekonomi Rakyat: Prospek dan 16Agribisnis Pemberdayaannya Pendahuluan Satu PELITA lagi, Indonesia akan memasuki era perdagangan

Lebih terperinci

BOKS 2 ANALISIS SINGKAT FAKTOR PENYEBAB VOLATILITAS HARGA DAGING AYAM RAS DI PROPINSI BANTEN DAN ALTERNATIF PEMECAHANNYA

BOKS 2 ANALISIS SINGKAT FAKTOR PENYEBAB VOLATILITAS HARGA DAGING AYAM RAS DI PROPINSI BANTEN DAN ALTERNATIF PEMECAHANNYA BOKS 2 ANALISIS SINGKAT FAKTOR PENYEBAB VOLATILITAS HARGA DAGING AYAM RAS DI PROPINSI BANTEN DAN ALTERNATIF PEMECAHANNYA I. Latar Belakang Inflasi Banten rata-rata relatif lebih tinggi dibandingkan dengan

Lebih terperinci

Krisis ekonomi yang diawali krisis moneter dan berujung pada krisis. multidimensi yang masih melanda Indonesia, telah menyadarkan

Krisis ekonomi yang diawali krisis moneter dan berujung pada krisis. multidimensi yang masih melanda Indonesia, telah menyadarkan 1. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Krisis ekonomi yang diawali krisis moneter dan berujung pada krisis multidimensi yang masih melanda Indonesia, telah menyadarkan terjadinya kekeliruan pembangunan selama

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kemitraan merupakan kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan usaha dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan,

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

PERTANIAN MASIH DITAKUTI PERBANKAN: BAGAIMANA DENGAN AGRIBISNIS?

PERTANIAN MASIH DITAKUTI PERBANKAN: BAGAIMANA DENGAN AGRIBISNIS? PERTANIAN MASIH DITAKUTI PERBANKAN: BAGAIMANA DENGAN AGRIBISNIS? ditulis untuk Infobank, 2003 Bukan hal yang aneh, jika sektor pertanian tidak diminati oleh lembaga keuangan khususnya perbankan. Berbagai

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pengelolaan usahatani pada hakikatnya akan dipengaruhi oleh prilaku petani yang mengusahakan. Perilaku

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan adalah bagian dari sektor pertanian yang merupakan sub sektor yang penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Komoditas peternakan mempunyai prospek

Lebih terperinci

POLA STRATEGI DAN KEBIJAKAN DALAM MEMBANGUN KEUNGGULAN KOMPETITIF AGRIBISNIS JAWA TIMUR

POLA STRATEGI DAN KEBIJAKAN DALAM MEMBANGUN KEUNGGULAN KOMPETITIF AGRIBISNIS JAWA TIMUR POLA STRATEGI DAN KEBIJAKAN DALAM MEMBANGUN KEUNGGULAN KOMPETITIF AGRIBISNIS JAWA TIMUR Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Politik dan Pembangunan Pertanian OLEH: SUGIARTO 09.03.2.1.1.00013 PROGRAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen

Lebih terperinci

Potensi daerah yang berpeluang pengembangan tanaman hortikultura; tanaman perkebunan; usaha perikanan; usaha peternakan; usaha pertambangan; sektor in

Potensi daerah yang berpeluang pengembangan tanaman hortikultura; tanaman perkebunan; usaha perikanan; usaha peternakan; usaha pertambangan; sektor in PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PEDESAAN MELALUI KOPERASI BERBASIS AGRIBISNIS Prof. Dr. H. Almasdi Syahza, SE., MP. Guru Besar Universitas Riau Email: asyahza@yahoo.co.id http://almasdi.unri.ac.id Pendahuluan

Lebih terperinci

Mendorong Petani Kecil untuk Move Up atau Move Out dari Sektor Pertanian

Mendorong Petani Kecil untuk Move Up atau Move Out dari Sektor Pertanian Mendorong Petani Kecil untuk Move Up atau Move Out dari Sektor Pertanian 1. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mendeklarasikan tahun 2014 sebagai International Years of Family Farming. Dalam rangka

Lebih terperinci