TRANSFORMASI STRUKTURAL PEREKONOMIAN INDONESIA DALAM KERANGKA MODEL INPUT OUTPUT TAHUN BUDI KURNIAWAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TRANSFORMASI STRUKTURAL PEREKONOMIAN INDONESIA DALAM KERANGKA MODEL INPUT OUTPUT TAHUN BUDI KURNIAWAN"

Transkripsi

1 TRANSFORMASI STRUKTURAL PEREKONOMIAN INDONESIA DALAM KERANGKA MODEL INPUT OUTPUT TAHUN BUDI KURNIAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis berjudul Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia dalam Kerangka Model Input Output Tahun adalah karya Saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, April 2011 Budi Kurniawan, SE NRP H

3

4 ABSTRACT BUDI KURNIAWAN. Study of Indonesian Structural Transformation using the Input Output Framework Supervised under MUHAMMAD FIRDAUS and SRI MULATSIH. In assessing the economic impact of a sector or a group of sectors on a single or multiregional economy, input-output analysis has proven to be a popular method. This paper explores the degree of structural change of the Indonesian economy using the input-output frame work. It examines how linkages among economic sectores evolved over and identifies which economic sectors exhibited the highest intersectoral linkages. The study finds that manufacturing is consistenly as the key sector in the Indonesian economy. Indonesian cannot afford to leapfrog the industrialization stage and largely depend on a service-oriented economy when the potensial for growth still lies primarily on manufacturing. The graphical presentation of interindustry relationship through the Multiplier Product Matrix (MPM) and its associated economic landscape provides a visualization of the Indonesian economic structure for selected years and how it has changed over time. Keywords : economic landscape, input output model, key sector

5

6 RINGKASAN BUDI KURNIAWAN. Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia dalam Kerangka Model Input Output Tahun Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan SRI MULATSIH. Stabilisasi dan liberalisasi ekonomi pada akhir dekade 1960-an terbukti merupakan titik awal bagi pembangunan ekonomi dan industri. Pergeseran kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto pada tahun 1966 membuka cakrawala baru bagi Indonesia dalam bidang politik dan ekonomi (Weinstein 1976). Pembangunan ekonomi yang lebih serius dan terencana dengan baik di Indonesia baru dimulai sejak awal pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun pertama (Repelita I) tahun 1969 dan prosesnya berjalan mulus sejak itu hingga terjadi krisis ekonomi tahun Upaya stabilisasi dan rehabilitasi dilakukan dalam semangat desentralisasi dan detatisme untuk mengatasi kondisi ekonomi yang buruk pada akhir masa orde lama. Perubahan struktur PDB merupakan akibat dari industrialisasi di Indonesia (Kuncoro 2007). Proses industrialisasi di Indonesia telah dimulai sejak akhir tahun 1980 (Dasril 1993), dan berdasarkan kriteria United Nation Industrial Development Organization sampai dengan tahun 2008 Indonesia termasuk kedalam kategori negara semi industri. Pertanyaannya adalah apakah benar telah terjadi perubahan struktural yang mendasar dalam perekonomian Indonesia seiring dengan pertumbuhan ekonomi? Apakah model input-output cukup akurat jika digunakan dalam perencanaan ekonomi? Bagaimana peran sektoral dalam proses transformasi struktural perekonomian Indonesia? Sektor ekonomi apa yang memiliki keterkaitan antarsektor yang tinggi dan menjadi kunci dalam perekonomian Indonesia? Fakta terjadinya deindustrialisasi negatif pada perekonomian Indonesia memunculkan pertanyaan, apakah stategi industrialisasi yang diterapkan di Indonesia telah berbasis sumberdaya? Apakah transformasi perekonomian Indonesia sebaik transformasi negara berkembang lainnya? Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian empirik terhadap perubahan struktur perekonomian (economic landscape) di Indonesia dalam kerangka model input output (IO) selama kurun waktu 1971 sampai dengan Penelitian dilakukan dengan menelaah Tabel IO Indonesia yang bersumber dari BPS meliputi data tahun 1971, 1975, 1980, 1985, 1990, 1995, 2000, 2005 dan Sektor-sektor dalam runtun data IO diagregasikan secara seragam (common set) menjadi 66 sektor mengacu pada klasifikasi Tabel IO Tahun 2008 (updating 2005). Model IO digunakan untuk menjawab beberapa tujuan penelitian. Analisis perubahan teknis dilakukan dengan cara meregresikan koefisien teknis input output periode (n+1) terhadap koefisien teknis input output periode ke-n. Model persamaan X = (I-A) -1 F yang diturunkan dari matriks kebalikan Leontief untuk menguji apakah koefisien teknis input output yang diprediksi dari (I-A) -1 tahun ke-n mempunyai kekuatan peramalan yang baik sampai satu periode kedepan (n+1), dilakukan dengan mensubstitusikan data permintaan akhir (F) tahun (n+1) kedalam persamaan sehingga diperoleh data total output (X) untuk tahun (n+1) hasil peramalan. Matriks pengganda output (Multiplier Product Matrix) disajikan dalam grafik tiga dimensi untuk memvisualisasikan struktur perekonomian.

7 Deviasi hasil estimasi total output dengan uji matriks Leontief memiliki kecenderungan over estimate untuk setiap periode. Hal ini disebabkan oleh adanya deviasi yang terlalu tinggi (outlier) pada beberapa sektor, antara lain sektor tanaman bahan makanan lainnya (6), hasil tanaman serat (15), industri kimia (40), industri dasar besi dan baja (45), industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik (48) dan sektor lain-lain (66). Keenam sektor sebagaimana tersebut memiliki deviasi yang sangat tinggi hampir disetiap periode. Deviasi total tertinggi terjadi pada tahun 1990 sebesar 19,33 persen dengan rata-rata 11 persen perperiode. Tidak terjadi perubahan teknis yang signifikan antara satu periode ke periode berikutnya, terindikasi dari hasil uji regresi koefisien teknis x ij *= + x ij dengan hipotesis =0 dan =1. Terdapat 20 (dua puluh) sektor yang menjadi sektor kunci dalam dinamika proses perubahan struktur perekonomian Indonesia selama periode pengamatan, namun tidak satupun sektor primer pernah menjadi sektor kunci. Selama periode analisis terdapat 5 (lima) sektor yang mengolah hasil pertanian yang bisa disebut sebagai sektor kunci antara lain; sektor industri minyak dan lemak (28), industri makanan lainnya (32), industri tekstil, pakaian dan kulit (36), industri bambu, kayu dan rotan (37) dan industri kertas, barang dari kertas dan karton (38). Sektor industri lain yang menjadi sektor kunci adalah industri pupuk dan pestisida (39), industri kimia (40), pengilangan minyak bumi (41) serta industri barang karet dan plastik (42). Beberapa industri berat yang menjadi sektor kunci adalah sektor industri dasar besi dan baja (45), industri logam dasar bukan besi (46), industri barang dari logam (47), industri mesin, alat dan perlengkapan listrik (48) serta sektor industri alat angkutan dan perbaikannya (49). Sektor listrik, gas dan air (51) dan sektor bangunan (52) adalah dua sektor yang selalu menjadi sektor kunci disepanjang periode analisis. Sektor tersier yang pernah menjadi sektor kunci antara lain adalah sektor perdagangan (53), jasa lainnya (65), restoran dan hotel (54) serta sektor angkutan darat (56). Berdasarkan visualisasi perubahan lanskap ekonomi, peningkatan peranan yang terjadi antara lain terkait dengan dua sektor primer yaitu pertambangan batubara dan biji logam (24) dan pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25). Peningkatan ini juga terkait dengan sektor industri pupuk dan pestisida (39), industri kimia (40), pengilangan minyak (41) dan industri alat-alat dan perlengkapan listrik (48). Sektor tersier yang terkait dengan peningkatan peranan adalah sektor lembaga keuangan (61) dan usaha persewaan bangunan dan jasa perusahaan (62). Penurunan peranan antara lain terlihat pada beberapa sel yang terkait dengan sektor padi (1), perdagangan (53), angkutan darat (56) dan lain-lain yang tidak jelas batasannya (66). Transformasi struktur perekonomian Indonesia jika dibandingkan dengan proses perubahan struktur perekonomian yang terjadi pada negara-negara BRIC (Brazil, Rusia, India dan China) dalam jangka waktu sekitar 40 tahun menunjukkan pola yang berbeda. Pergeseran struktur GDP negara-negara BRIC diawali pergeseran peran sektor pertanian oleh sektor industri yang selanjutya diikuti peningkatan peran sektor jasa. Pergeseran struktur yang terjadi di Indonesia diawali pada kondisi dimana sektor jasa telah mendominasi perekonomian, selanjutnya terjadi peningkatan peran sektor industri menggeser sektor pertanian dan akhirnya mendominasi perekonomian. Perkembangan struktur tenaga kerja di Indonesia menunjukkan pola yang tidak biasa (unusual pattern) dan bertentangan dengan

8 teori perkembangan tenaga kerja. Tinjauan tentang tingkat produktifitas tenaga kerja memberikan justifikasi kesimpulan atas apa yang terjadi bahwa sebenarnya tenaga kerja yang bergeser dari sektor pertanian tidak beralih ke sektor yang produktifitasnya lebih tinggi. Daya penyebaran yang tinggi pada sektor-sektor sekunder tidak diikuti derajat kepekaan yang tinggi pada sektor-sektor primer mengindikasikan tidak adanya link and match antara industri yang dibangun dengan sumber bahan baku yang tersedia. Strategi industrialisasi yang kurang tepat menyebabkan proses deindustrialisasi di Indonesia berjalan tidak alami dan cenderung negatif. Kebijakan industrialisasi sebaiknya mempertimbangkan link and match antara industri yang dibangun dengan sumber bahan baku yang tersedia. Seiring perjalanan waktu seharusnya terjadi konvergensi tingkat produktifitas pada keseluruhan sektor walaupun pada awalnya produktifitas tenaga kerja sektor jasa memang tertinggi dibanding sektor industri dan pertanian. Peningkatan produktivitas sektor primer memerlukan dukungan teknologi dan jaminan ketersediaan input dalam proses produksinya.

9

10 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

11

12 TRANSFORMASI STRUKTURAL PEREKONOMIAN INDONESIA DALAM KERANGKA MODEL INPUT OUTPUT TAHUN BUDI KURNIAWAN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

13

14 Judul Tesis Nama NRP : Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia dalam Kerangka Model Input Output Tahun : Budi Kurniawan : H Disetujui Komisi Pembimbing Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D Ketua Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian: 30 April 2011 Tanggal Lulus:

15

16 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Supriyanto, SE, MA.

17

18 PRAKATA Pertama, izinkan Saya memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga tesis dengan judul Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia dalam Kerangka Model Input Output Tahun telah dapat terselesaikan. Penelitian ini telah dimulai sejak Oktober 2010 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian dan penulisan tesis ini. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepada, yang terhormat : 1. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menempuh pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB. 2. Kepala Pusdiklat BPS beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran administrasi selama Penulis mengikuti program Tugas Belajar. 3. Kepala BPS Provinsi Jambi beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran administrasi kepegawaian selama Penulis menempuh pendidikan. 4. Bpk. Muhammad Firdaus dan Ibu Sri Mulatsih selaku Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat dalam menyusun tesis ini. 5. Bpk. Supriyanto (Kepala Direktorat Neraca Produksi BPS), selaku Penguji Luar Komisi pada pelaksanaan Ujian Tesis. 6. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran proses kegiatan belajar. 7. Teman-teman mahasiswa pascasarjana IPB, khususnya PS Ilmu Ekonomi. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu penyelesaian tesis ini meskipun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya, semoga hasil penelitian ini berguna dan memberikan kontribusi bagi semua pihak terutama pemerintah dan kalangan akademisi. Bogor, April 2011 Budi Kurniawan, SE

19

20 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 29 Agustus 1974 sebagai anak kedua dari pasangan Munzili Madjid dan Sumiati. Pendidikan Diploma III Statistik ditempuh di Akademi Ilmu Statistik Jakarta, lulus pada tahun Penulis melanjutkan pendidikan tinggi pada Program Diploma IV di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta, lulus tahun Gelar sarjana diperoleh melalui Program Alih Jenjang pada Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor tahun Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi sejak tahun Bidang tugas yang pernah menjadi tanggung jawab penulis antara lain adalah koordinator statitik kecamatan, seksi statistik sosial dan seksi statistik produksi pada BPS Kabupaten Batang Hari. Sebelum mengikuti program Tugas Belajar di IPB, bidang tugas yang menjadi tanggung jawab penulis adalah seksi analisis statistik lintas sektor pada Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik BPS Provinsi Jambi.

21 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Manfaat dan Tujuan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoritis Teori Klasik Pembangunan Ekonomi Perubahan Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi Teori Perubahan Struktural Peranan Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Model Input Output Simplifikasi Tabel Input Output Asumsi Dasar Model Input Output Teori Keterkaitan Antarsektor Multiplier Product Matrix Tinjauan Empiris Transformasi Struktural Peranan Sektoral Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Analisis Perubahan Teknis Analisis Keterkaitan Analisis Pengganda Analisis Ketergantungan Ekspor Analisis Perubahan Struktur Perekonomian HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Model Input Output Uji Regresi Koefisien Teknis Uji Matriks Leontief Perkembangan Peran Sektoral dalam Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia Struktur Permintaan dan Penawaran Kontribusi Sektoral dalam Permintaan Antara Kontribusi Sektoral dalam Output Total xv xvi xvii xiii

22 Komposisi Permintaan Agregat Analisis Struktur Produk Domestik Bruto dan Pangsa Tenaga Kerja Analisis Pengganda Analisis Pengganda Output Analisis Pengganda Pendapatan Analisis Ketergantungan Ekspor Analisis Keterkaitan Analisis Peran Sektoral Dinamika Sektor Kunci dalam Proses Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia Dinamika Sektor Kunci Multiplier Product Matrix Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia diantara Negara Berkembang lainnya RANGKUMAN HASIL KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiv

23 DAFTAR TABEL Halaman 1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Struktur Produk Domestik Regional Bruto berdasarkan Tabel Input Output Indonesia Tahun Simplifikasi Tabel Input Output Banyaknya Sektor dan Pedoman Klasifikasi Tabel IO Indonesia Klasifikasi Sektor dalam Tabel Input Output Indonesia Rumus Perhitungan Angka Pengganda Deviasi Output Hasil Estimasi terhadap Output Aktual Struktur PDB menurut Pendapatan Struktur PDB menurut Pengeluaran Struktur PDB menurut Lapangan Usaha Angka Pengganda Output Rata-rata Angka Pengganda Pendapatan Rata-rata Derajat Ketergantungan Ekspor Rata-rata Angka Pengganda Ekspor Rata-rata Sektor-sektor Kunci Perekonomian Indonesia Perubahan (signifikan) Peran Sektoral antar Periode Sel-sel MPM dengan Perubahan Negatif Sel-sel MPM dengan Perubahan Positif xv

24 DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1. Kerangka Dasar Model Input-Output Alur Pemikiran Strategis Alur Kerja Studi Struktur PDB Pangsa Tenaga Kerja menurut Sektor Plot Tren Pangsa Output dan Tren Pangsa Permintaan Antara Plot Tren Pangsa Ekspor terhadap Permintaan Agregat dan Tren Pangsa Permintaan Antara terhadap Permintaan Agregat Plot Tren Pangsa Input dan Tren Pangsa Nilai Tambah Bruto Plot Tren Pengganda Pendapatan dan Tren Pengganda Output Plot Tren Keterkaitan ke Depan dan Tren Keterkaitan ke Belakang Lanskap Ekonomi Indonesia berdasarkan Hirarki Tahun Perubahan Peran Sektoral antar Periode Akumulasi Perubahan Peran Sektoral Tahun Struktur GDP Brazil Tahun Struktur GDP Rusia Tahun Struktur GDP India Tahun Struktur GDP China Tahun Struktur PDB Indonesia Tahun Pangsa Tenaga Kerja Brazil, India dan China Pangsa Tenaga Kerja Indonesia Tahun xvi

25 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Nilai R-square pada Uji Kebaikan Suai Model Perubahan Teknis Sektor-sektor Primer Nilai R-square pada Uji Kebaikan Suai Model Perubahan Teknis Sektor-sektor Sekunder Nilai-nilai pada Model Perubahan Teknis Sektor-sektor Primer Nilai-nilai pada Model Perubahan Teknis Sektor-sektor Sekunder Nilai-nilai pada Model Perubahan Teknis Sektor-sektor Primer Nilai-nilai pada Model Perubahan Teknis Sektor-sektor Sekunder Deviasi Output Hasil Estimasi terhadap Output Aktual Sektor-sektor Primer Deviasi Output Hasil Estimasi terhadap Output Aktual Sektor-sektor Sekunder Deviasi Output Hasil Estimasi terhadap Output Aktual Sektor-sektor Tersier Pangsa Permintaan Antara Sektor-sektor Primer Pangsa Permintaan Antara Sektor-sektor Sekunder Pangsa Permintaan Antara Sektor-sektor Tersier Pangsa Output Sektor-sektor Primer Pangsa Output Sektor-sektor Sekunder Pangsa Output Sektor-sektor Tersier Pangsa Permintaan Antara terhadap Permintaan Total pada Sektor-sektor Primer Pangsa Permintaan Antara terhadap Permintaan Total pada Sektor-sektor Sekunder Pangsa Permintaan Antara terhadap Permintaan Total pada Sektor-sektor Tersier Pangsa Ekspor terhadap Parmintaan Total pada Sektor-sektor Primer Pangsa Ekspor terhadap Permintaan Total pada Sektor-sektor Sekunder Pangsa Ekspor terhadap Permintaan Total pada Sektor-sektor Tersier Pangsa Impor terhadap Penawaran Total pada Sektor-sektor Primer Pangsa Impor terhadap Penawaran Total pada Sektor-sektor Sekunder Pangsa Impor terhadap Penawaran Total pada Sektor-sektor Tersier Pangsa Nilai Tambah Bruto Sektor-sektor Primer Pangsa Nilai Tambah Bruto Sektor-sektor Sekunder xvii

26 27. Pangsa Nilai Tambah Bruto Sektor-sektor Tersier Angka Pengganda Output Sektor-sektor Primer Angka Pengganda Output Sektor-sektor Sekunder Angka Pengganda Output Sektor-sektor Tersier Angka Pengganda Output Sektor-sektor Primer (Type II) Angka Pengganda Output Sektor-sektor Sekunder (Type II) Angka Pengganda Output Sektor-sektor Tersier (Type II) Angka Pengganda Pendapatan Sektor-sektor Primer Angka Pengganda Pendapatan Sektor-sektor Sekunder Angka Pengganda Pendapatan Sektor-sektor Tersier Angka Pengganda Pendapatan Sektor-sektor Primer (Type II) Angka Pengganda Pendapatan Sektor-sektor Sekunder (Type II) Angka Pengganda Pendapatan Sektor-sektor Tersier (Type II) Derajat Ketergantungan Ekspor Sektor-sektor Primer Derajat Ketergantungan Ekspor Sektor-sektor Sekunder Derajat Ketergantungan Ekspor Sektor-sektor Tersier Angka Pengganda Ekspor Sektor-sektor Primer Angka Pengganda Ekspor Sektor-sektor Sekunder Angka Pengganda Ekspor Sektor-sektor Tersier Indeks Keterkaitan ke Belakang Sektor-sektor Primer Indeks Keterkaitan ke Belakang Sektor-sektor Sekunder Indeks Keterkaitan ke Belakang Sektor-sektor Tersier Indeks Keterkaitan ke Depan Sektor-sektor Primer Indeks Keterkaitan ke Depan Sektor-sektor Sekunder Indeks Keterkaitan ke Depan Sektor-sektor Tersier Indeks Penyebaran Keterkaitan ke Belakang Sektor-sektor Primer Indeks Penyebaran Keterkaitan ke Belakang Sektor-sektor Sekunder Indeks Penyebaran Keterkaitan ke Belakang Sektor-sektor Tersier Indeks Penyebaran Keterkaitan ke Depan Sektor-sektor Primer Indeks Penyebaran Keterkaitan ke Depan Sektor-sektor Sekunder Indeks Penyebaran Keterkaitan ke Depan Sektor-sektor Tersier Peringkat Pangsa Output Sektor-sektor Primer Peringkat Pangsa Output Sektor-sektor Sekunder Peringkat Pangsa Output Sektor-sektor Tersier xviii

27 61. Peringkat Pangsa Nilai Tambah Bruto Sektor-sektor Primer Peringkat Pangsa Nilai Tambah Bruto Sektor-sektor Sekunder Peringkat Pangsa Nilai Tambah Bruto Sektor-sektor Tersier Urutan Sektor berdasarkan Indeks Keterkaitan ke Belakang Urutan Sektor berdasarkan Indeks Keterkaitan ke Depan Tren; Pangsa Output (p.o), Pangsa Permintaan Antara (p.id), Pangsa Ekspor terhadap Permintaan Total (p.xoad), Pangsa Permintaan Antara terhadap Permintaan Total (p.idoad), Pangsa Nilai Tambah Bruto (p.va), Pengganda Pendapatan (IM), Pengganda Output (OM), Keterkaitan ke Depan (FL) dan Keterkaitan ke Belakang (BL) Sektor-sektor Primer Tren; Pangsa Output (p.o), Pangsa Permintaan Antara (p.id), Pangsa Ekspor terhadap Permintaan Total (p.xoad), Pangsa Permintaan Antara terhadap Permintaan Total (p.idoad), Pangsa Nilai Tambah Bruto (p.va), Pengganda Pendapatan (IM), Pengganda Output (OM), Keterkaitan ke Depan (FL) dan Keterkaitan ke Belakang (BL) Sektor-sektor Sekunder Tren; Pangsa Output (p.o), Pangsa Permintaan Antara (p.id), Pangsa Ekspor terhadap Permintaan Total (p.xoad), Pangsa Permintaan Antara terhadap Permintaan Total (p.idoad), Pangsa Nilai Tambah Bruto (p.va), Pengganda Pendapatan (IM), Pengganda Output (OM), Keterkaitan ke Depan (FL) dan Keterkaitan ke Belakang (BL) Sektor-sektor Tersier Lanskap Ekonomi Indonesia Tahun Lanskap Ekonomi Indonesia Tahun berdasarkan Hirarki Tahun Lanskap Ekonomi Indonesia Tahun berdasarkan Hirarki Tahun xix

28 Halaman ini sengaja dikosongkan xx

29 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Stabilisasi dan liberalisasi ekonomi pada akhir dekade 1960-an terbukti merupakan titik awal bagi pembangunan ekonomi dan industri. Pergeseran kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto pada tahun 1966 membuka cakrawala baru bagi Indonesia dalam bidang politik dan ekonomi (Weinstein 1976). Pembangunan ekonomi yang lebih serius dan terencana dengan baik di Indonesia baru dimulai sejak awal pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun pertama (Repelita I) tahun 1969 dan prosesnya berjalan mulus sejak itu hingga terjadi krisis ekonomi tahun Upaya stabilisasi dan rehabilitasi dilakukan dalam semangat desentralisasi dan detatisme untuk mengatasi kondisi ekonomi yang buruk pada akhir masa orde lama (Kuncoro 2007). Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tingkat kesejahteraaan masyarakat dilihat dari aspek ekonomi dapat diukur dengan pendapatan perkapita. Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu target penting yang harus dicapai dalam pembangunan ekonomi untuk dapat meningkatkan pendapatan nasional. Pada awal pembangunan ekonomi, umumnya di banyak negara perencanaan pembangunan ekonomi lebih berorientasi pada pertumbuhan dan bukan distribusi pendapatan. Selain pertumbuhan, proses pembangunan ekonomi juga akan membawa dengan sendirinya suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi. Dari sisi permintaan agregat, perubahan/pendalaman struktur ekonomi terjadi terutama didorong oleh peningkatan pendapatan. Sedangkan dari sisi penawaran agregat, faktor-faktor pendorong utama adalah perubahan teknologi, peningkatan sumberdaya manusia dan penemuan material-material baru sebagai input produksi. Diduga adanya suatu korelasi positif antara pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi. Pertumbuhan yang berkesinambungan dalam jangka panjang akan membawa perubahan ekonomi lewat efek dari sisi permintaan dan pada gilirannya perubahan tersebut akan menjadi faktor pemicu pertumbuhan ekonomi.

30 2 Transformasi struktural merupakan proses perubahan struktur perekonomian dari sektor pertanian ke sektor industri atau jasa dan masing-masing perekonomian/negara akan mengalami transformasi yang berbeda-beda. Transformasi struktural adalah gejala ilmiah yang harus dialami oleh setiap perekonomian yang sedang tumbuh. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan perubahan struktur perekonomian di Indonesia yang berjalan seiring perkembangan laju pertumbuhan ekonomi sebagaimana terlihat pada Tabel 1.1. Rata-rata laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia periode lima tahunan selama kurun waktu tahun 1971 sampai dengan tahun 2008 tergolong tinggi dalam kisaran 5-8 persen pertahun kecuali pada periode akibat krisis ekonomi global. Sementara struktur PDB Indonesia mengalami perubahan yang terlihat dari menurunnya peranan (share) sektor primer dan kecenderungan (trend) meningkatnya peranan sektor sekunder maupun sektor tersier. Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Struktur Produk Domestik Bruto berdasarkan Tabel Input Output Indonesia Tahun Tahun (t) Rata-rata* Pertumbuhan (%) Struktur PDB (%) Primer Sekunder Tersier ,35 21,19 41, ,07 44,90 19,25 35, ,92 49,09 17,39 33, ,76 37,03 23,21 39, ,26 32,42 26,98 40, ,13 25,14 31,40 43, ,02 28,89 33,69 37, ,73 24,64 35,22 40, ,88 26,88 36,75 36,37 *) rata-rata tahun (t-1) s/d tahun (t) Sumber : BPS, diolah Pertumbuhan ekonomi yang diukur dari pertumbuhan PDB sebagaimana terlihat pada Tabel 1.1 diduga menjadi penyebab terjadinya transformasi struktural dalam perekonomian Indonesia selama kurun waktu tersebut. Perubahan struktur PDB merupakan akibat dari industrialisasi di Indonesia (Kuncoro 2007). Proses industrialisasi di Indonesia telah dimulai sejak akhir tahun 1980 (Dasril

31 3 1993), dan berdasarkan kriteria United Nation Industrial Development Organization sampai dengan tahun 2008 Indonesia termasuk kedalam kategori negara semi industri. Teori pertumbuhan wilayah yang dikemukakan oleh Kaldor dalam Dasgupta dan Singh (2006) menyebutkan bahwa sektor manufaktur merupakan mesin pertumbuhan bagi suatu negara atau wilayah. Teori ini mendorong banyak negara untuk melakukan industrialisasi demi memperoleh pertumbuhan ekonomi yang pesat. Pada beberapa periode terakhir ternyata terjadi fenomena deindustrialisasi (deindustrialization) di negara-negara maju yang digambarkan oleh penurunan proporsi pekerja di sektor manufaktur terhadap total jumlah pekerja (IMF 1997). Argumentasi dari Rowthorn dan Coutts (2004) tentang terjadinya deindustrialisasi di negara-negara maju adalah bahwa hal tersebut merupakan sebuah konsekuensi atas proses pembangunan pada suatu sistem perekonomian yang telah maju. Deindustrialisasi dapat diartikan sebagai pergantian peran dominan sektor manufaktur oleh sektor jasa. Fenomena deindustrialisasi seperti ini biasa disebut dengan deindustrialisasi positif. Fenomena yang terjadi pada perekonomian Indonesia sejak tahun 2002 memperlihatkan dengan jelas tanda-tanda terjadinya proses deindustrialisasi (Ruky 2008). Berdasarkan analisis dengan pendekatan Kaldorian yang dilakukan oleh Dewi (2010) dapat disimpulkan bahwa sektor manufaktur telah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi selama tahap industrialisasi dan memacu pertumbuhan sektor selain manufaktur. Akan tetapi telah terjadi proses deindustrialisasi kearah yang negatif di Indonesia sejak tahun 2002 yang antara lain ditandai dengan rendahnya trade balance. Deindustrialisasi yang terjadi bukanlah dampak alamiah dari proses pembangunan yang sangat maju melainkan lebih disebabkan oleh guncangan (shock) terhadap perekonomian Indonesia Perumusan Masalah Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan struktural sangatlah berbeda untuk masing-masing wilayah. Perubahan struktural bisa disebabkan antara lain oleh dampak dari suatu kebijakan, perubahan sumber daya, penduduk maupun keadaan sosial yang sifatnya permanen. Proses transformasi struktural yang terjadi di Indonesia merupakan hasil dari penerapan kebijakan

32 4 pembangunan jangka panjang yang terencana. Kebijakan rekayasa transformasi struktural diperlukan untuk memaksimalkan dampak positif dari transformasi tersebut dalam perekonomian. Banyak yang sependapat bahwa salah satu syarat perlu (necessary condition) untuk dapat dicapainya transformasi struktural dari pertanian (primer) ke industri manufaktur (sekunder) adalah adanya keterkaitan sektor pertanian dan sektor industri yang tangguh (Kuncoro 1996). Implikasi penting dari model perubahan struktural Gollin et al. (2002) yang merupakan pengembangan dari model pertumbuhan neoklasik adalah bahwa pertumbuhan produktivitas sektor pertanian merupakan kunci penting proses pertumbuhan. Berbagai teori telah menjelaskan bagaimana keterkaitan antar sektor memengaruhi perekonomian suatu negara, antara lain pemikiran Mellor dan Lele (1973) serta Mellor (1976, 1986, 1989) yang terkenal dengan model rural led strategy of growth, serta Johnston dan Kilby (1975) yang mengembangkan konsep agricultural and structural transformation model. Kaldor (1967) diacu dalam Felipe (1998) mengungkapkan alasan mengapa pertumbuhan nilai tambah sektor manufaktur memengaruhi pertumbuhan sektor selain manufaktur, yaitu bahwa sektor manufaktur memiliki backward linkage dan forward linkage yang lebih besar dibandingkan sektor-sektor lainnya. Perroux (1955) diacu dalam Daryanto dan Hafizrianda (2010) mengatakan bahwa keterkaitan antar sektor merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh pusat pertumbuhan (growth pole) dalam pembangunan ekonomi. Growth pole tersebut seharusnya lebih mengacu pada suatu sektor yang bisa menyebar dalam berbagai aktivitas sektor produksi sehingga mampu menggerakkan ekonomi secara keseluruhan. Pertanyaannya adalah apakah benar telah terjadi perubahan struktural yang mendasar dalam perekonomian Indonesia seiring dengan pertumbuhan ekonomi? Apakah model input-output cukup akurat jika digunakan dalam perencanaan ekonomi? Bagaimana peran sektoral dalam proses transformasi struktural perekonomian Indonesia? Sektor ekonomi apa yang memiliki keterkaitan antarsektor yang tinggi dan menjadi kunci dalam perekonomian Indonesia? Fakta terjadinya deindustrialisasi negatif pada perekonomian Indonesia memunculkan pertanyaan, apakah strategi industrialisasi yang diterapkan di Indonesia telah

33 5 berbasis sumberdaya? Apakah transformasi perekonomian Indonesia sebaik transformasi negara berkembang lainnya? 1.3. Manfaat dan Tujuan Penelitian Kajian mengenai keterkaitan antar sektor dan dampak perkembangannya melalui pendekatan input output selama ini lebih terbatas pada kajian satu tahun. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian empirik terhadap perubahan struktur perekonomian (economic landscape) di Indonesia dalam kerangka model input output (IO) selama kurun waktu 1971 sampai dengan Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menguji model input output untuk perencanaan ekonomi dengan analisis perubahan teknis dan uji Matriks Leontief. 2. Menguraikan perkembangan peran sektoral dalam transformasi struktural di Indonesia dengan indikator struktur penawaran dan permintaan, struktur nilai tambah, angka pengganda, indeks keterkaitan dan derajat ketergantungan ekspor. 3. Mengidentifikasi dan menganalisa dinamika sektor kunci dalam proses transformasi struktural perekonomian Indonesia. Penelitian ini memanfaatkan informasi dari Tabel Input Output (Tabel IO) Indonesia sejak pertama kali disusun tahun 1971 hingga yang terakhir tahun 2008 (updating 2005) secara sekaligus. Hasil kajian dapat dijadikan sebagai masukan akademis dan pertimbangan berbagai pihak dalam penyusunan strategi perencanaan pembangunan terkait dengan kebijakan rekayasa transformasi struktural yang diperlukan untuk memaksimalkan dampak positif dari proses transformasi tersebut.

34 6 Halaman ini sengaja dikosongkan

35 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis Beberapa teori yang ditinjau untuk mendukung penelitian ini adalah teori pembangunan ekonomi, hubungan perubahan struktur dan pertumbuhan ekonomi, teori perubahan struktural, peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi dan model input output untuk melihat perubahan struktural (economic landscape) yang terjadi Teori Klasik Pembangunan Ekonomi Kepustakaan pembangunan ekonomi pasca perang dunia kedua didominasi empat aliran pemikiran yang terkadang bersaing satu sama lain. Keempat pendekatan itu adalah: (1) model pertumbuhan tahapan linear (linear stage of growth models); (2) teori dan pola struktural (theories and pattern of structural changes); (3) revolusi ketergantungan internasional (the international-dependence revolution); serta (4) kontra revolusi pasar bebas neoklasik (the neo classical free market counter-revolution). Berbagai modifikasi dari pendekatan teori-teori klasik telah banyak dikemukakan pada beberapa tahun belakangan ini (Todaro dan Smith 2006). Model pertumbuhan tahapan linear mengindentikkan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi agregat secara cepat. Pendekatan ini tergusur oleh dua aliran pemikiran ekonomi yang berkembang pada dekade 1970-an yaitu aliran pemikiran yang menitikberatkan pada teori dan pola perubahan struktural, dan aliran pemikiran revolusi ketergantungan internasional. Sepanjang dekade an dan awal 1990-an pemikiran yang paling menonjol adalah pendekatan kontra revolusi neoklasik atau seringkali disebut neo-liberal, suatu pemikiran yang menekankan pada peranan menguntungkan perekonomian terbuka, pasar-pasar bebas dan swastanisasi. Pendekatan yang ada saat ini menggambarkan variasi keempat perspektif pemikiran klasik sebagaimana tersebut diatas Perubahan Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi Perubahan struktur dalam perekonomian merujuk pada perubahan struktur perekonomian yang mendasar dalam jangka panjang, bukan hanya perubahan struktur dalam lingkup mikro dan dalam jangka pendek. Struktur perekonomian

36 8 yang dimaksud adalah formasi sektor/industri dalam suatu perekonomian. Salah satu contoh perubahan struktural adalah perekonomian subsisten yang mengalami industrialisasi sehingga kontribusi dominan sektor pertanian bergeser ke sektor manufaktur. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan struktural sangatlah berbeda untuk masing-masing wilayah. Perubahan struktural bisa disebabkan antara lain oleh dampak dari suatu kebijakan, perubahan sumber daya, penduduk maupun keadaan sosial yang sifatnya permanen. Perubahan struktur ekonomi berjalan seiring dengan pertumbuhan PDB yang merupakan total pertumbuhan nilai tambah bruto (NTB) dari semua sektor ekonomi. Bila dalam suatu sistem perekonomian hanya ada dua sektor, yaitu industri (i) dan pertanian (p) dengan NTB masing-masing ; NTB i dan NTB p yang membentuk PDB, maka persamaannya menjadi PDB = NTB i + NTB p... (2.1) atau, 1 = [a(t) i + a(t) p] PDB... (2.2) di mana a(t) i dan a(t) p adalah pangsa PDB masing-masing dari industri dan pertanian; t menunjukkan periode. Pada tahap awal pembangunan (t=0), sebelum industrialisasi dimulai atau sektor industri belum berkembang a(t) i < a(t) p. Dalam proses pembangunan terjadi transformasi ekonomi, dimana pangsa PDB dari sektor industri meningkat dan pangsa PDB dari sektor pertanian menurun. Pada tahap akhir pembangunan ekonomi (t=1) nilai a(1) i > a(1) p dimana a(1) i > a(0) p dan a(1) p < a(0) p (Tambunan 2006) Teori Perubahan Struktural Teori Perubahan Struktural (structural change theory) memusatkan perhatiannya pada mekanisme yang memungkinkan negara-negara yang masih terbelakang untuk mentransformasikan perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan, serta memiliki sektor industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh. Pertumbuhan ekonomi telah mengakibatkan perubahan struktur perekonomian. Transformasi struktural sendiri merupakan proses perubahan struktur perekonomian dari sektor

37 9 pertanian ke sektor industri atau jasa, dimana masing-masing perekonomian akan mengalami transformasi yang berbeda-beda. Pada umumnya transformasi yang terjadi di negara sedang berkembang adalah transformasi dari sektor pertanian ke sektor industri. Perubahan struktur atau transformasi ekonomi dari tradisional menjadi modern, secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan dalam ekonomi yang berkaitan dengan komposisi permintaan, perdagangan, produksi dan faktor-faktor lain yang diperlukan secara terus menerus, untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan sosial melalui peningkatan pendapatan perkapita (Chenery 1960, 1964; Chenery et. al. 1986; Chenery dan Syrquin 1975; Chenery dan Taylor 1968; Chenery dan Watanabe 1958). Aspek penting lain dari transformasi struktural adalah sisi ketenagakerjaan. Clark dalam Nasoetion (1991) merumuskan bahwa pertumbuhan ekonomi melalui proses transformasi dapat dicapai melalui (1) peningkatan produktivitas tenaga kerja di setiap sektor dan (2) transfer tenaga kerja dari sektor yang produktivitas tenaga kerjanya rendah ke sektor yang produktivitas tenaga kerjanya lebih tinggi. Menurut model pembangunan yang dikemukakan oleh Lewis (1954) diacu dalam Firdaus (1998), perekonomian terbelakang terdiri dari dua sektor, yakni: (1) sektor tradisional, yaitu sektor pedesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja yang sama dengan nol dan (2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor subsisten. Sama halnya dengan model yang disusun oleh Lewis, analisis pola pembangunan (pattern of development analysis) terhadap perubahan struktural juga memusatkan perhatiannya pada proses yang mengubah struktur ekonomi, industri dan kelembagaan secara bertahap pada perekonomian yang terbelakang sehingga memungkinkan tampilnya industri-industri baru untuk menggantikan sektor pertanian sebagai roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Hipotesis utama dari model perubahan struktural adalah bahwa pembangunan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perubahan yang dapat diamati, yang ciri-ciri pokoknya sama di semua negara. Perbedaan-perbedaan dapat terjadi diantara negara berkembang dalam hal langkah-langkah yang

38 10 ditempuh serta pola umum pembangunannya tergantung sejumlah faktor. Pendekatan yang menekankan pada pola dan bukan teori, membuat para praktisi beresiko mengambil kesimpulan yang salah tentang hubungan sebab akibat (kausalitas). Studi empiris tentang proses perubahan struktural mengarah pada kesimpulan bahwa langkah dan pola pembangunan dapat berbeda karena faktorfaktor domestik maupun internasional, dan banyak diantaranya diluar kendali negara-negara berkembang secara individual. Para ekonom meyakini adanya polapola tertentu dalam proses pembangunan di hampir semua negara, meskipun rumusannya bervariasi. Para analis perubahan struktural optimis bahwa ramuan kebijakan ekonomi yang benar akan memberikan pola pertumbuhan ekonomi yang menguntungkan secara berkesinambungan Peranan Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Banyak yang sependapat bahwa salah satu syarat perlu (necessary condition) untuk dapat dicapainya transformasi struktural dari pertanian (primer) ke industri manufaktur (sekunder) adalah adanya keterkaitan sektor pertanian dan sektor industri yang tangguh (Kuncoro 1996). Kuznet (1961) telah menelaah perkembangan peran sektor pertanian dalam transformasi pembangunan. Peran sektor pertanian menurut Kuznet antara lain adalah; (i). kontribusi produk, yaitu sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan baku industri; (ii). kontribusi pasar, yaitu rumah tangga sektor pertanian adalah sasaran utama konsumsi output sektor industri baik yang bersifat konsumsi langsung maupun yang digunakan sebagai input dalam proses produksi pertanian; (iii). kontribusi devisa, dimana sektor pertanian juga berperan dalam menyumbangkan devisa atas ekspor barangbarang yang dihasilkan dari proses produksinya. Gollin et. al. (2002) menyatakan bahwa model perubahan struktural dapat menjawab dua pertanyaan penting mengenai proses industrialisasi. Pertanyaan tersebut adalah mengapa proses industrialisasi pada setiap negara mempunyai waktu permulaan yang berbeda-beda dan mengapa pada beberapa negara proses tersebut berjalan lambat. Implikasi penting dari model perubahan struktural tersebut adalah bahwa pertumbuhan produktivitas sektor pertanian merupakan kunci penting proses pertumbuhan. Model Gollin adalah pengembangan dari model pertumbuhan neoklasik yang memasukkan sektor pertanian secara eksplisit.

39 11 Analisis pada beberapa negara industri dengan menggunakan model ini memberikan jawaban atas pertanyaan awal. Perbedaan income antar negara pada tahun 2000 ternyata bukanlah perbedaan steady state. Negara-negara yang terlambat memulai proses pembangunan akan mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat jika dibandingkan negara-negara yang memulai lebih dulu proses pembangunannya. Pembangunan merupakan proses yang berjalan dengan lambat. Negara yang memulai industrialisasi pada tahun 1950 akan mencapai tingkat steady state setidaknya dalam 100 tahun; suatu transisi yang lebih lambat jika dibandingkan dengan model pertumbuhan neoklasik. Adanya distorsi dari aktivitas sektor pertanian akan semakin menyebabkan tenaga kerja berpindah ke sektor manufaktur. Berdasarkan model ini dapat disimpulkan bahwa rendahnya produktivitas sektor pertanian dapat memperlambat proses industrialisasi. Sebuah negara dengan proses industrialisasi yang berjalan lambat perlu mengetahui faktor-faktor yang dapat memicu peningkatan produktivitas sektor pertaniannya Model Input Output Hubungan antara susunan input dan distribusi output merupakan teori dasar yang melandasi model input output (IO). Secara sederhana, model IO menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antarsatuan kegiatan ekonomi untuk suatu waktu tertentu yang disajikan dalam bentuk tabel. Isian sepanjang baris menunjukkan alokasi output dan isian menurut kolom menunjukkan pemakaian input dalam proses produksi (BPS 2000). Sebagai model kuantitatif, model IO mampu memberi gambaran menyeluruh tentang: (1) Struktur perekonomian yang mencakup struktur output dan nilai tambah masing-masing kegiatan ekonomi di suatu daerah, (2) Struktur input antara (intermediate input), yaitu penggunaan barang dan jasa oleh kegiatan produksi di suatu daerah, (3) Struktur penyediaan barang dan jasa baik yang berupa produksi dalam negeri maupun barang-barang yang berasal dari impor, dan (4) Struktur permintaan barang dan jasa, baik permintaan oleh kegiatan produksi maupun permintaan akhir untuk konsumsi, investasi dan ekspor.

40 12 Gambar 2.1. Kerangka dasar model IO terdiri atas empat kuadran seperti disajikan pada Kuadran I : Transaksi antarkegiatan (nxn) Kuadran II : Permintaan akhir (nxm) Kuadran III : Input primer sektor produksi (pxn) Kuadran IV : Input primer permintaan akhir (pxm) Sumber: BPS, 2000 Gambar 2.1. Kerangka Dasar Model Input-Output Kuadran I Kuadran II Kuadran III Kuadran IV : Menunjukkan arus barang dan jasa yang dihasilkan dan digunakan oleh sektor-sektor ekonomi dalam proses produksi di suatu perekonomian. Kuadran ini menunjukkan distribusi penggunaan barang dan jasa untuk suatu proses produksi sehingga disebut juga sebagai transaksi antara (intermediate transaction). : Menunjukkan permintaan akhir (final demand). Permintaan akhir yaitu penggunaan barang dan jasa bukan untuk proses produksi yang biasanya terdiri atas konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, perubahan persediaan (stock), dan ekspor. : Memperlihatkan input primer dari sektor-sektor produksi, yaitu semua balas jasa setiap faktor produksi yang biasanya meliputi upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tidak langsung neto. : Memperlihatkan input primer yang langsung didistribusikan ke sektor-sektor permintaan akhir. Informasi ini digunakan dalam Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau dikenal dengan sebutan data Social Accounting Matrix (SAM). Dalam penyusunan Tabel IO, kuadran ini tidak disajikan. Tiap kuadran dinyatakan dalam bentuk matriks, masing-masing dengan dimensi seperti tertera pada Gambar 2.1. Bentuk seluruh matriks ini menunjukkan

41 13 kerangka model IO yang berisi uraian statistik mengenai transaksi barang dan jasa antar berbagai kegiatan ekonomi dalam suatu periode tertentu. Kumpulan sektor produksi pada kuadran pertama, yang berisi kelompok produsen, memanfaatkan berbagai sumberdaya dalam menghasilkan barang dan jasa yang secara makro disebut sebagai sistem produksi. Sektor di dalam sistem produksi ini dinamakan sektor endogen. Sedangkan sektor di luar sistem produksi, yaitu yang berada di kuadran kedua, ketiga dan keempat dinamakan sektor eksogen. Model IO membedakan dengan tegas sektor endogen dan sektor eksogen. Output, selain digunakan dalam sistem produksi dalam bentuk permintaan antara, juga digunakan di luar sistem produksi dalam bentuk permintaan akhir. Input yang digunakan dalam sistem produksi ada yang berasal dari dalam sistem produksi berupa input antara dan juga ada yang berasal dari luar sistem produksi yang disebut input primer (Isard 1998). Model analisis IO dapat digunakan sebagai alat pengambilan keputusan dalam merencanakan pembangunan sektoral. Model IO menghasilkan kajian tentang penentuan leading sector yang dapat dijadikan fokus pembangunan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi. Integrasi perekonomian dalam model IO merefleksikan hubungan atau keterkaitan antar sektor (intersectoral) yang merupakan hubungan saling ketergantungan satu dengan lainnya. Perroux (1955) dalam Daryanto dan Hafizrianda (2010) mengatakan bahwa keterkaitan antar sektor merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh pusat pertumbuhan (growth pole) dalam pembangunan ekonomi. Growth pole tersebut seharusnya lebih mengacu pada suatu sektor yang bisa menyebar dalam berbagai aktivitas sektor produksi sehingga mampu menggerakkan ekonomi secara keseluruhan Simplifikasi Tabel Input Output Tabel IO pertama kali diperkenalkan oleh W. Leontief pada tahun an. Tabel IO adalah suatu tabel yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa yang terjadi antar sektor produksi di dalam suatu perekonomian dengan bentuk penyajian berupa matriks. Angka-angka di dalam Tabel IO menunjukkan hubungan dagang antar sektor yang berada dalam perekonomian suatu wilayah. Setiap baris menunjukkan secara rinci jumlah penjualan dari sebuah sektor, yang tertera pada kolom penjual, ke berbagai sektor, yang tertulis

42 14 di bawah label pembeli. Karena suatu sektor tidak menjual barangnya kepada semua sektor yang ada, maka umum dijumpai angka nol dalam suatu baris di dalam Tabel IO. Adapun kolom dalam Tabel IO mencatat berbagai pembelian yang dilakukan suatu sektor terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai sektor yang ada di dalam wilayah tersebut. Jika angka-angka yang berada pada kolom suatu sektor juga banyak dijumpai angka nol, hal ini karena suatu sektor tidak selalu membeli barang dan jasa dari seluruh sektor yang ada di perekonomian negara tersebut (Nazara 1997). Selain transaksi antar sektor, terdapat beberapa transaksi yang juga dicatat dalam Tabel IO. Perusahaan-perusahaan di dalam suatu sektor menjual hasil produknya ke konsumen (rumah-tangga), pemerintah dan perusahaan di luar negeri, ditambah lagi sebagian hasil produksi juga dijadikan bagian dari investasi oleh sektor lainnya. Penjualan-penjualan yang baru saja disebutkan ini dapat dikelompokkan ke dalam satu neraca yang disebut konsumsi akhir. Dalam hal pembelian, selain barang dan jasa dari berbagai sektor, perusahaan juga membutuhkan jasa tenaga kerja dan memberikan kompensasi pada pemilik modal atau kapital. Pembayaran jasa kepada tenaga kerja dan pemilik modal disebut pembayaran untuk nilai tambah. Selain itu perusahaan juga membeli barang dan jasa dari luar negeri, dengan kata lain, perusahaan mengimpor barang dan jasa. Transaksi impor barang dan jasa ini dicatat pada baris impor. Secara sederhana simplifikasi dari Tabel IO dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Simplifikasi Tabel Input Output Sektor Sektor Pembeli Konsumsi Total Penjual n Akhir Produksi 1 x 11 x x 1n f 1 X 1 2 x 21 x x 2n f 2 X n x n1 x n2... x nn f n X n Nilai v 1 v 2... v n Tambah Impor m 1 m 2... m n Total Input X 1 X 2... X n Sumber: BPS, 2000

43 15 berimbang: Dari Tabel IO pada Tabel 2.1 dapat dibuat dua persamaan neraca yang n Baris : x f X i 1,..., n... (2.3) j 1 n ij i i Kolom : xij v j mj X j j 1,..., n... (2.4) i 1 dimana x ij adalah nilai aliran barang atau jasa dari sektor i ke sektor j; f i adalah total konsumsi akhir; v j adalah nilai tambah dan m j adalah impor. Definisi neraca yang berimbang adalah jumlah output sama dengan jumlah input. Aliran antar industri dapat ditransformasi menjadi koefisien-koefisien dengan mengasumsikan bahwa jumlah berbagai pembelian adalah tetap untuk suatu tingkat total output (dengan kata lain, tidak ada economies of scale) dan tidak ada kemungkinan substitusi antara suatu bahan baku input dan bahan baku input lainnya (dengan kata lain, bahan baku input dibeli dalam proporsi yang tetap). Koefisien-koefisien ini adalah: aij xij / X j... (2.5) atau x a X... (2.6) ij ij j Dengan menggabungkan kedua persamaan di atas didapat: n j 1 a X f X i 1,..., n... (2.7) ij j i i Dalam notasi matriks persamaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut: AX f X... (2.8) dimana : a ij A... (2.9) nxn; f i f nx1; dan X i X nx1 Dengan memanipulasi persamaan di atas didapat hubungan dasar dari Tabel IO, yaitu: (I - A) -1 f = X... (2.10) dimana (I - A ) -1 dinamakan sebagai matriks kebalikan Leontief (Leontief 1986). Matriks ini mengandung informasi penting tentang bagaimana kenaikan produksi dari suatu sektor akan menyebabkan berkembangnya sektor-sektor lainnya.

44 16 Karena setiap sektor memiliki pola (pembelian dan penjualan dengan sektor lain) yang berbeda-beda, maka dampak dari perubahan produksi suatu sektor terhadap total produksi sektor-sektor lainnya berbeda-beda. Matriks kebalikan Leontief merangkum seluruh dampak dari perubahan produksi suatu sektor terhadap total produksi sektor-sektor lainnya ke dalam koefisien-koefisien yang disebut sebagai multiplier ( ij ). Multiplier ini adalah angka-angka yang terlihat di dalam matriks kebalikan Leontief (I A) Asumsi Dasar Model Input Output Secara konseptual terdapat 3 (tiga) asumsi dasar yang melandasi penyusunan model IO dan model-model ekonomi yang diturunkan dari Tabel IO (BPS 2000), antara lain berangkat dari asumsi-asumsi sebagai berikut: a. Asumsi homogenitas, yang mensyaratkan bahwa tiap sektor hanya memproduksi satu jenis output dengan struktur input tunggal dan bahwa tidak ada substitusi otomatis antara berbagai sektor. b. Asumsi proporsionalitas, yang mensyaratkan bahwa dalam proses produksi hubungan antara input dengan output merupakan fungsi linier, yaitu tiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik atau turun sebanding (berbanding lurus) dengan kenaikan atau penurunan output sektor yang dihasilkan. c. Asumsi aditivitas, yaitu suatu asumsi yang menyebutkan bahwa efek total pelaksanaan produksi di berbagai sektor dihasilkan oleh masing-masing sektor secara terpisah. Ini berarti bahwa di luar sistem Tabel I-O semua pengaruh luar diabaikan. Dengan asumsi-asumsi tersebut, model analisis I-O mempunyai keterbatasan-keterbatasan, antara lain: karena rasio input-output konstan sepanjang periode analisis, produsen tidak dapat menyesuaikan perubahanperubahan inputnya atau mengubah proses peroduksi. Selain itu, hubungan yang tetap ini berarti bahwa apabila input suatu sektor diduakalikan maka outputnya akan dua kali juga. Asumsi ini menolak adanya pengaruh perubahan teknologi ataupun produktivitas yang berarti perubahan kuantitas dan harga input sebanding dengan perubahan kuantitas dan harga output (Nazara 1997).

45 Teori Keterkaitan Antarsektor Berbagai teori telah menjelaskan bagaimana keterkaitan antar sektor mempengaruhi perekonomian suatu negara, antara lain pemikiran Mellor dan Lele (1973) serta Mellor (1976, 1986, 1989) yang terkenal dengan model rural led strategy of growth, serta Johnston dan Kilby (1975) yang mengembangkan konsep agricultural and structural transformation model. King dan Byerlee (1978) menemukan bahwa keterkaitan industri dengan sektor pertanian akan sangat kuat jika sektor industri mempunyai keterkaitan kebelakang yang tinggi. Adelman (1984) menekankan pentingnya agricultural demand led industrialization (ADLI) dan membuktikan bahwa strategi ini lebih superior dibanding strategi export led growth apabila diterapkan di negara berkembang dimana peran sektor pertanian masih substansial Multiplier Product Matrix Jiemin dan Planting (2000) menggunakan suatu matriks pengganda output atau Multiplier Product Matrix (MPM) untuk melihat dampak suatu sektor secara keseluruhan dalam suatu perekonomian. MPM dapat memotret pengaruh suatu sektor berdasarkan keterkaitan ke belakang dan ke depan yang sekaligus pula bisa menjelaskan hubungan antara suatu sektor dengan sektor-sektor lainnya. Untuk mencari Matrix of Product Multiplier dilakukan dengan rumusan sebagai berikut : dimana : b1. b... (2.11). b n. 2. MPM 1 1 i j V b. b. V. b.1 b....2 b. n V = jumlah semua komponen di dalam matriks Leontief Invers V = n n b ij i 1 j 1 b i. = jumlah semua kolom dalam baris i dari matriks Leontief Invers, atau sering digunakan untuk mengukur besaran forward linkage. b.j = jumlah semua baris dalam kolom j dari matriks Leontief Invers, atau sering digunakan untuk mengukur backward linkage.

46 18 Sehingga persamaan MPM tersebut dapat dituliskan sebagai berikut : MPM = (1/V * FL * BL)...(2.12) dimana : FL = Forward Linkage BL = Backward Linkage Melalui analisis MPM dapat diamati bagaimana keadaan struktur perekonomian suatu daerah dari periode ke periode, sehingga dapat dilihat bagaimana perubahan struktur itu terjadi setiap waktu Tinjauan Empiris Studi empiris tentang perubahan struktural perekonomian telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Sebagian besar yang dirujuk dalam tulisan ini adalah penelitian tentang transformasi struktural yang terjadi di Indonesia maupun di negara lain dalam kerangka model IO. Penelitian lain yang mendukung adalah model ekonomi yang melihat peran dan keterkaitan sektoral dalam perekonomian secara keseluruhan Transformasi Struktural Penelitian Saraan (2006) menggunakan data key indicator of developping asian and pasific countries tahun dengan metode Ordinary Least Square menyimpulkan bahwa telah terjadi transformasi struktural perekonomian di Indonesia pada periode pengamatan yaitu transformasi sektor pertanian ke sektor industri. Fabiomarta (2004) dengan metode yang sama mengembangkan Model Chenery-Syrquin untuk data Indonesia tahun menemukan adanya kecenderungan menurunnya peranan sektor primer. Sementara itu, Hill (1996) menguraikan transformasi struktural pada periode dengan obyek penelitian perekonomian Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan, bahwa transformasi yang terjadi di Indonesia pada kurun waktu tersebut dinilai terlalu cepat. Hal ini ditandai dengan sumbangan sektor pertanian terhadap Gross Domestic Product (GDP) telah menyusut hingga kurang dari setengahnya sejak tahun 1966, dan pada tahun 1992 sumbangannya hanya tinggal 36%. Penurunan ini ternyata diikuti dengan kenaikan sumbangan sektor industri (secara luas mencakup pertambangan, industri manufaktur, fasilitas umum dan kontruksi), yang sumbangannya pada saat itu sebesar 35% lebih besar dari nilainya pada

47 19 pertengahan dekade 1960-an. Selanjutnya, Nasoetion (1991) mengatakan bahwa transformasi struktural adalah gejala alamiah yang harus dialami oleh setiap perekonomian yang sedang tumbuh. Oleh sebab itu kebijakan rekayasa transformasi struktur dibutuhkan untuk memaksimumkan dampak positif dari transformasi tersebut. Nazara dan Amir (2005) dalam kerangka Model Input Output menguraikan bahwa selama kurun waktu tahun telah terjadi perubahan struktur perekonomian Jawa Timur, yang ditunjukkan oleh perubahan dalam visualisasi economic landscape dengan menggunakan Multiplier Product Matrix. Perubahan ini mengindikasi adanya perubahan pengaruh sektoral terhadap perekonomian atau perubahan peranan sektor-sektor penting bagi perekonomian pada tahun 1994 dan tahun Perubahan struktur ekonomi Jawa Timur periode masih terlalu kecil, namun dapat diterangkan bahwa telah terjadi perubahan kontribusi output sektor ekonomi, perubahan sektor unggulan dan keterkaitan antar sektor ekonomi. Jacob (2003) dalam hasil penelitiannya yang berjudul Structural Change, Liberalisation and Growth: The Indonesian Experience in an Input Output Perspective menggunakan data IO menguraikan pengaruh policy regimes terhadap rekayasa kebijakan transformasi struktural perekonomian di Indonesia. Sementara Marks (2007), dalam Ocupational structure and stuctural change in Indonesia, mengaitkan transformasi struktural perekonomian Indonesia dengan data ketenagakerjaan. Hayashi (2005) melakukan penelitian tentang perubahan struktural sektor perekonomian dan perdagangan yang terjadi di Indonesia menggunakan pendekatan analisis IO. Beberapa penelitian lain yang berkaitan dengan proses transformasi struktural perekonomian suatu negara menggunakan kerangka Model IO pernah dilakukan, antara lain: Jiemin & Planting (2000) di US ; Guilhoto, et. al. (2000) di Brazil ; Hewings & Sonis (1998 & 2003) di China dan Chicago serta Hewings, et. al. (1996) di Chicago Penelitian terakhir dilakukan oleh Ramos, et. al. (2010) menggunakan Multiplier Product Matrix untuk menguraikan perubahan struktural perekonomian di Philipina periode tahun

48 Peranan Sektoral Kuncoro (1996) melakukan studi empiris mengenai struktur, prilaku dan kinerja agroindustri di Indonesia dan membuktikan bahwa agroindustri terutama industri pengolahan hasil pertanian memiliki kaitan yang erat dengan subsektor penyedia inputnya khususnya dengan sektor pertanian. Uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan struktural dalam agro industri yang bersifat mendasar selama tahun Penelitian Firdaus (1998) tentang peran sektoral ekonomi Indonesia pada fase industrialisasi menyimpulkan bahwa industri pertanian secara umum menunjukkan keragaan yang lebih baik dalam struktur produksi, multiplier tenaga kerja dan pendapatan, serta keterkaitan kebelakang dan kedepan. Analisis IO menunjukkan pembangunan ekonomi pada fase industrialisasi sudah sejalan dengan konsep agribisnis, namun masih kurang didukung oleh pengembangan sektor jasa/lembaga keuangan. Menurut Hayashi (2005), selama tahun 1985 sampai dengan tahun 2000 sektor manufaktur memberikan peningkatan kontribusi output, peningkatan ekspor dan penurunan ketergantungan impor. Tetapi kemajuan tersebut bukan dihasilkan dari peningkatan permintaan ekspor melainkan lebih disebabkan oleh depresiasi nilai tukar rupiah. Sholihah (2008) melakukan penelitian tentang pengaruh keterkaitan antar sektor terhadap pertumbuhan ekonomi beberapa daerah di Indonesia. Penelitiannya antara lain menyimpulkan bahwa: keterkaitan total ke belakang sektor industri pengolahan dengan sektor pertanian berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah; sementara keterkaitan total ke depan sektor industri pengolahan dengan sektor perdagangan, hotel, restoran berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Kaldor (1967) dalam Felipe (1998) mengungkapkan alasan mengapa pertumbuhan nilai tambah sektor manufaktur mempengaruhi pertumbuhan sektor selain manufaktur yaitu bahwa sektor manufaktur memiliki backward linkage dan forward linkage yang lebih besar dibandingkan sektor-sektor lainnya. Selanjutnya Dewi (2010) menyimpulkan dari hasil analisis hukum Kaldor I, II dan III bahwa secara umum sektor manufaktur turut berperan dalam roda perekonomian

49 21 Indonesia. Kenyataan yang menunjukkan bahwa pertumbuhan nilai tambah sektor perdagangan turut memberikan kontribusi yang sama besarnya dengan kontribusi pertumbuhan nilai tambah sektor manufaktur dalam pertumbuhan PDB, dapat dijelaskan oleh hasil analisis regresi linear sederhana yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan nilai tambah sektor perdagangan dipengaruhi oleh pertumbuhan nilai tambah sektor manufaktur. Riset yang akan dilakukan berikut ini memiliki perbedaan dalam hal cakupan dan ruang lingkup penelitian jika dibandingkan beberapa penelitian sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Penelitian ini mengkaji data input output Indonesia tahun 1971 sampai dengan tahun 2008 mencakup keseluruhan sektor dalam perekonomian yang dirinci menjadi 66 sektor. Runtun data IO yang tersusun dapat memperlihatkan peran sektoral dalam proses perubahan struktur perekonomian (economic landscape) secara lebih terperinci Kerangka Pemikiran Perekonomian Indonesia Struktur Ekonomi Model IO? Peran Sektoral Sektor Kunci Economic Landscape Transformasi Struktural Gambar 3.1. Alur Pemikiran Strategis

50 22 Proses transformasi struktural yang terjadi di Indonesia merupakan hasil dari penerapan kebijakan pembangunan jangka panjang yang terencana. Perencanaan pembangunan semestinya beorientasi pada tujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi telah mengakibatkan perubahan struktur perekonomian. Kebijakan rekayasa transformasi struktural diperlukan untuk memaksimalkan dampak positif dari transformasi tersebut dalam perekonomian. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian empirik terhadap perubahan struktur perekonomian (economic landscape) di Indonesia dalam kerangka model IO selama kurun waktu 1971 sampai dengan Model IO digunakan dalam analisis struktur, perilaku dan kinerja sektoral dalam proses transformasi struktural. Multiplier Product Matrix akan memvisualisasikan perubahan struktur perekonomian yang terjadi. Bagan alur penelitian ditampilkan pada Gambar 3.2. Data IO Model IO Analisis Struktur demand/ supply Kinerja Sektoral Analisis Perilaku key sector MPM Economic Lanscape Gambar 3.2. Alur Kerja Studi Transformasi Struktural

51 Hipotesis Penelitian Beberapa hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Tabel Input Output Indonesia relatif baik untuk digunakan sebagai model perencanaan ekonomi 2. Sektor sekunder memiliki peran dominan dalam proses transformasi struktural perekonomian Indonesia 3. Dinamika sektor kunci memengaruhi proses transformasi struktural perekonomian Indonesia.

52 24 Halaman ini sengaja dikosongkan

53 3. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian dilakukan dengan menelaah Tabel IO Indonesia yang bersumber dari BPS meliputi data tahun 1971, 1975, 1980, 1985, 1990, 1995, 2000, 2005 dan Sektor-sektor dalam series data IO diagregasikan secara seragam (common set) menjadi 66 sektor mengacu pada klasifikasi Tabel IO Tahun 2008 untuk melihat keterbandingan antar tahun pengamatan dan mendukung tujuan analisis. Tabel 3.1 memperlihatkan perbedaan banyaknya sektor dan pedoman pengklasifikasian yang digunakan dalam penyusunan Tabel IO Indonesia, sehingga harus dilakukan pengklasifikasian kembali (re-classification) dan agregasi sektor pada beberapa Tabel IO sesuai kebutuhan penelitian. Tabel 3.1. Banyaknya Sektor dan Pedoman Klasifikasi Tabel IO Indonesia Tabel IO Banyaknya Sektor Klasifikasi Penyesuaian Agregasi Sektor Tahun KLUI/KKI KBLI Tahun KLUI/KKI KBLI Tahun KLUI/KKI KBLI Tahun KLUI/KKI KBLI Tahun KLUI/KKI KBLI Tahun KLUI/KKI KBLI Tahun KBLI 2000 KBLI Tahun KBLI Tahun KBLI 2005 Catatan: tanda ( ) menunjukkan data pada periode tersebut telah disesuaikan Sumber : BPS, diolah Sebelum dilakukan agregasi sektor pada masing-masing Tabel IO, terlebih dulu dilakukan pemetaan sektor menurut Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Tahun 2005 pada sektor-sektor dalam Tabel IO periode sebelum tahun 2005 karena terdapat perbedaan referensi klasifikasi lapangan usaha yang digunakan, antara lain didasarkan atas Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI) dan Klasifikasi Komoditi Indonesia (KKI). Penyusunan KLUI merupakan modifikasi dari ISIC (international standard industrial classification) yang masih terus direvisi. Selain itu juga terdapat beberapa perbedaan dalam pemberian kode sektor antar periode walaupun referensi klasifikasinya sama.

54 26 Daftar nama sektor hasil agregasi berikut kode sektor dan penjelasannya dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Klasifikasi Sektor dalam Tabel Input Output Indonesia (1) Padi (34) Industri rokok (2) Tanaman kacang-kacangan (35) Industri pemintalan (3) Jagung (36) Industri tekstil, pakaian dan kulit (4) Tanaman umbi-umbian (37) Industri bambu, kayu dan rotan (5) Sayur-sayuran dan buah-buahan (38) Industri kertas, barang dari kertas dan karton (6) Tanaman Bahan Makanan Lainnya (39) Industri pupuk dan pestisida (7) Karet (40) Industri kimia (8) Tebu (41) Pengilangan minyak bumi (9) Kelapa (42) Industri barang karet dan plastik (10) Kelapa sawit (43) Industri barang-barang mineral bukan logam (11) Tembakau (44) Industri semen (12) Kopi (45) Industri dasar besi dan baja (13) Teh (46) Industri logam dasar bukan besi (14) Cengkeh (47) Industri barang dari logam (15) Hasil tanaman serat (48) Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik (16) Tanaman perkebunan lainnya (49) Industri alat pengangkutan dan perbaikannya (17) Tanaman lainnya (50) Industri barang lainnya (18) Peternakan (51) Listrik, gas dan air minum (19) Pemotongan hewan (52) Bangunan (20) Unggas dan hasil-hasilnya (53) Perdagangan (21) Kayu (54) Restoran dan hotel (22) Hasil hutan lainnya (55) Angkutan kereta api (23) Perikanan (56) Angkutan darat (24) Penambangan batubara dan bijih logam (57) Angkutan air (25) Penambangan minyak, gas dan panas bumi (58) Angkutan udara (26) Penambangan dan penggalian lainnya (59) Jasa penunjang angkutan (27) Industri pengolahan dan pengawetan makanan (60) Komunikasi (28) Industri minyak dan lemak (61) Lembaga keuangan (29) Industri penggilingan padi (62) Usaha persewaan bangunan dan jasa perusahaan (30) Industri tepung, segala jenis (63) Pemerintahan umum dan pertahanan (31) Industri gula (64) Jasa sosial kemasyarakatan (32) Industri makanan lainnya (65) Jasa lainnya (33) Industri minuman (66) Lain-lain kegiatan yang tak jelas batasannya Sumber: BPS, Data utama yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari tabel transaksi total atas dasar harga produsen yang selanjutnya diolah menggunakan perangkat lunak (software) MS Excel dengan tambahan add-ins program untuk perhitungan matriks (matrix.xla) Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini akan menguraikan keterkaitan antar sektor dalam proses transformasi struktural perekonomian di Indonesia, antara lain meliputi; analisis keterkaitan dan analisis perubahan struktur perekonomian yang selanjutnya divisualisasikan dengan grafik economic landscape. Tabel IO digunakan untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan suatu sektor terhadap pertumbuhan ekonomi regional dan sektor meliputi analisis

55 27 keterkaitan antar sektor seperti backward and forward linkage analysis, analisis dampak pengganda (multiplier efect analysis) yang sangat penting dalam perencanaan sektoral. Model IO juga digunakan untuk menunjukkan sektor mana yang seharusnya diprioritaskan sehingga sektor ini dapat menarik/mendorong sektorsektor yang lain dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Analisis model IO antara lain didasarkan pada dua jenis matriks yang diturunkan dari Tabel IO, yaitu matriks koefisien teknologi dan matriks pengganda. Matrix koefisien teknologi berisikan koefisien a ij, dimana nilai a x X... (3.1) ij ij j dimana : a ij = koefisien teknologi x ij = pembelian input i oleh sektor j (input antara). X j = total input untuk sektor j. Nilai nilai koefisien teknologi tersebut dapat disusun dalam sebuah matriks koefisien teknologi (direct requirement matrix) atau matrix A. Tabel 2.1 (Tabel Input-Output) sebagaimana diilustrasikan pada bab sebelumnya dapat dinyatakan dalam persamaan berikut: X = AX + F... (3.2) dimana : X : matriks output, sebuah matriks kolom yang anggotanya adalah X i A : matriks koefisien teknologi, matriks bujur sangkar dengan anggota a ij F : matriks permintaan akhir, matriks kolom dengan anggota f i Selanjutnya persamaan diatas dapat ditransformasikan bentuknya menjadi: X = (I-A) -1 F... (3.3) Jika (I-A) -1 = B, maka X = B F... (3.4) Matrix B merupakan matriks pengganda (multiplier) atau Leontief Inverse Matrix yang mencerminkan efek langsung dan tidak langsung dari perubahan permintaan akhir terhadap output sektor sektor di dalam perekonomian. Matriks ini digunakan untuk melihat bagaimana output terjadi jika terdapat perubahan di final demand. Anggota matriks B baris ke-i dan kolom ke-j disebut b ij.

56 Analisis Perubahan Teknis Uji matriks kebalikan Leontief dan uji regresi dilakukan untuk melihat perubahan teknis atau kekuatan koefisien input output untuk perencanaan ekonomi. Sebagaimana dikemukakan pada persamaan 3.3 bahwa X = (I-A) -1 F maka untuk menguji apakah koefisien teknis input output yang diprediksi dari (I- A) -1 tahun ke-n mempunyai kekuatan peramalan yang baik sampai 5 tahun kedepan (n+1), dapat dilakukan dengan mensubstitusikan data permintaan akhir (F) tahun (n+1) kedalam persamaan tersebut sehingga diperoleh data total output (X) untuk tahun (n+1) hasil peramalan. Data output total hasil peramalan ini kemudian dibandingkan dengan data output total aktual. Uji regresi selanjutnya dilakukan dengan cara meregresikan koefisien teknis input output tahun (n+1) terhadap koefisien teknis input output tahun ke-n. Persamaan regresi linear sederhana dapat dituliskan sebagai berikut: X * ij = + X ij Regresi pada persamaan 3.12 terdiri dari 52 unit analisis (banyaknya sektor primer dan sekunder) pada masing-masing persamaan yang diuji. Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis nol, =0 dan =1. Jika hipotesis ini diterima berarti tidak terjadi perubahan teknis pada sektor-i maka dengan demikian koefisien teknis input output valid bila digunakan untuk peramalan atau dengan kata lain perubahan teknis konstan Analisis Keterkaitan Analisis keterkaitan antar sektor biasa digunakan untuk mengetahui sektor-sektor kunci dalam perekonomian. Dikenal dua jenis keterkaitan, yakni (1) keterkaitan ke belakang yang merupakan keterkaitan dengan bahan mentah dan dihitung menurut kolom, dan (2) keterkaitan ke depan yang merupakan keterkaitan kepada pengguna barang jadi dan dihitung menurut baris. a. Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkages) Backward linkages (BL) menggambarkan hubungan antara suatu sektor dengan input input sektornya (banyaknya sektor dalam perekonomian adalah n). Semakin besar angka keterkaitan ke belakang suatu sektor berarti semakin besar kemampuan sektor tersebut, jika dikembangkan atau ditingkatkan permintaan akhirnya, menarik sektor-sektor lain untuk ikut berkembang (naik

57 29 outputnya). Secara umum terdapat dua jenis keterkaitan ke belakang, yakni keterkaitan ke belakang langsung (BLL) dan keterkaitan ke belakang total (BLT). BLL BLT j j 1 n 1 n 1 n 1 n n a ij i 1 n 2 aij i, j 1 n b ij i 1 n 2 bij i, j 1... (3.5)... (3.6) Analisis keterkaitan ke belakang total dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) keterkaitan ke belakang langsung dan tidak langsung (direct and indirect backward linkages) atau keterkaitan total terbuka, (2) keterkaitan langsung, tidak langsung dan terimbas (direct, indirect and induced backward linkages) atau keterkaitan total tertutup, yang masing-masing dapat dibedakan menurut output, pendapatan dan kesempatan kerja ataupun parameter ekonomi lainnya seperti nilai tambah, pajak, keuntungan usaha dan impor. b. Keterkaitan ke Depan (Forward Linkages ) Forward linkages (FL) merupakan suatu perhitungan untuk melihat keterkaitan antara suatu sektor dengan sektor lainnya yang akan memakainya sebagai input dalam proses produksi. Secara umum terdapat dua jenis keterkaitan ke depan, yakni keterkaitan ke depan langsung (FLL) dan keterkaitan ke depan total (FLT). Adapun rumusan perhitungan dari forward linkage adalah sebagai berikut : FLL i FLT i 1 n 1 n 1 n 1 n n a ij j 1 n 2 aij i, j 1 n b ij j 1 n 2 bij i, j 1... (3.7)... (3.8)

58 30 Seperti halnya analisis keterkaitan ke belakang, analisis keterkaitan ke depan total juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) keterkaitan ke depan langsung dan tidak langsung (direct and indirect forward linkages) atau keterkaitan total terbuka dan (2) keterkaitan langsung, tidak langsung dan terimbas (direct, indirect and induced forward linkages) atau keterkaitan total tertutup, yang masing-masing dapat dibedakan menurut output, pendapatan dan kesempatan kerja. Analisis indeks keterkaitan mulanya dikembangkan untuk melihat keterkaitan antar sektor, terutama untuk menentukan strategi kebijakan pembangunan (Rasmussen 1956, Hirschman 1958 dan Cella 1984, diacu dalam Daryanto & Hafizrianda 2010). Mengukur indeks keterkaitan saja dianggap tidak cukup karena belum mencerminkan keragaman pengaruh ganda antar sektor, untuk itu indeks penyebaran perlu dihitung guna mengetahui keragaman ketergantungan antar sektor. Indeks penyebaran yang tinggi pada sektor i berarti sektor i hanya tergantung pada satu atau beberapa sektor saja. Sedangkan bila indeks penyebaran sektor i rendah, ini menggambarkan bahwa sektor i tergantung secara merata terhadap seluruh sektor dalam perekonomian. Poot, et. al. (1992) menyarankan bahwa dalam menentukan sektor andalan, selain tingginya indeks keterkaitan juga harus diikuti dengan rendahnya indeks penyebaran. Indeks penyebaran langsung masing-masing juga dapat dibedakan menurut output, pendapatan dan kesempatan kerja. Sebagai ilustrasi, Indeks penyebaran (spread index) kebelakang langsung output sektor j di rumuskan sebagai : 2 n a n a 1 ij n a ij PBLO 1 j 1 1 i i ij... (3.9) Analisis Pengganda Berdasarkan matriks kebalikan leontif, baik model terbuka maupun model tertutup dapat ditentukan nilai-nilai dari pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja berdasarkan rumusan yang tercantum dalam Tabel 3.3 yang diacu dari Miller dan Blair (1985). Pada penelitian ini angka pengganda tenaga kerja tidak dihitung karena alasan keterbatasan series data tenaga kerja yang tidak dapat dirinci menurut 66 sektor.

59 31 Tabel 3.3. Rumus Perhitungan Angka Pengganda Tipe Dampak Output Pendapatan Dampak Awal 1 p i Pengaruh Langsung a ij a ij p i Pengaruh Tidak Langsung b ij a ij b ij p i - p i - a ij p i Dampak Imbasan Konsumsi (b* ij - b ij ) (b* ij p i - b ij p i ) Dampak Total b* ij b* ij p i Dampak Luberan b* ij - 1 b* ij p i - p i Sumber: Miller dan Blair (1985) Dimana, p i adalah koefisien pendapatan rumah tangga; a ij adalah koefisien input langsung; b ij adalah koefisien matriks kebalikan terbuka; dan b* ij adalah koefisien matriks kebalikan tertutup Analisis Ketergantungan Ekspor Formulasi angka ketergantungan ekspor dan multiplier output untuk ekspor dilakukan dengan mengikuti metodologi yang diperkenalkan oleh Kaneko (1985). Derajat ketergantungan ekspor menunjukkan proporsi produksi suatu sektor yang secara langsung maupun tidak langsung dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Indikator ini menunjukkan keterkaitan suatu sektor dengan aktivitas ekspor. Semakin tinggi derajat ketergantungan ekspor suatu sektor berarti semakin besar ketergantungan ekspor terhadap sektor tersebut. Derajat ketergantungan ekspor suatu sektor diperoleh dengan mengalikan invers koefisien matriks model Leontief setelah dimodifikasi dengan koefisien impor I- (I-M)A -1 dengan vektor kolom ekspor dan kemudian membaginya dengan total output dari masing-masing sektor. Ketergantungan ekspor suatu sektor (dk) diformulasikan sebagai berikut : dk n b X E ij j i i 1... (3.10) i dimana : b ij = elemen invers Matriks Leontief E j X i = ekspor sektor-j = total output untuk sektor-i Dampak pengganda ekspor akan berkaitan dengan output yang dihasilkan oleh suatu sektor dan daya penyerapan tenaga kerja sektor tersebut. Hal ini dapat

60 32 diakomodasi dengan analisis pengganda ekspor untuk output dan pengganda ekspor untuk penyerapan tenaga kerja. Angka pengganda ekspor terhadap output mengukur dampak aktivitas ekspor dari suatu sektor terhadap peningkatan output bagi perekonomian secara keseluruhan. Analisis pengganda tersebut mengukur kinerja ekspor dan dampaknya terhadap perekonomian domestik. Indeks pengganda ekspor terhadap output (poi) dinyatakan dalam formula sebagai berikut: poi i n ij i n E j b E j j 1... (3.11) Analisis Perubahan Struktur Perekonomian Hasil perhitungan matriks pengganda output (Multiplier Product Matrix) disajikan dalam grafik tiga dimensi untuk memvisualisasikan struktur perekonomian (economic landscape). Multiplier Product Matrix (MPM) adalah suatu matriks yang menunjukkan nilai dari first orderintensity dan field of influence seluruh sel, yang menerangkan tentang reaksi pertama yang akan terjadi pada field of influence dari masing-masing sel bila terjadi perubahan pada suatu sel dari matriks kebalikan Leontief (B) akibat adanya suatu shock eksternal. MPM menyediakan suatu ukuran interaksi sektor-sektor dalam perekonomian yang menyajikan pengaruh suatu sektor terhadap sektor-sektor lainnya yang besaran pengaruhnya dapat diperbandingkan dengan sektor lainnya atau sektor itu sendiri untuk waktu yang berbeda. Kegiatan produksi suatu sektor memiliki dua efek bagi sektor lain dalam perekonomian yaitu efek meningkatkan permintaan dan penawaran. Keterkaitan ini menggambarkan interaksi sektor j dengan sektor-sektor lain yang menyediakan outputnya sebagai input bagi kegiatan produksi sektor j (backward linkage) dan interaksi sektor j tersebut dengan sektor-sektor lain pengguna output sektor j sebagai inputnya (forward linkage). Oleh karena MPM menyediakan ukuran kuantitatif atas hubungan antar sektor dalam perekonomian maka besaran nilai yang bervariasi tersebut dapat disusun berdasarkan hierarki tertentu. Semakin besar nilai MPM suatu sel akan semakin tinggi grafik batang yang menunjukkan

61 33 bahwa sel tersebut memiliki nilai backward linkage dan forward linkage yang makin besar. Nilai MPM juga menggambarkan peranan suatu sektor dalam perekonomian. MPM masing-masing periode yang disusun secara runtun menurut hirarki tahun 1971 memperlihatkan proses perubahan struktur ekonomi sepanjang periode analisis, sementara runtun MPM yang disusun menurut hirarki tahun 2008 menguraikan kilas balik perubahan struktur ekonomi tersebut. MPM masingmasing periode yang disusun menurut hirarki satu periode sebelumnya menggambarkan perubahan terakhir yang membentuk struktur perekonomian dimaksud.

62 34 Halaman ini sengaja dikosongkan

63 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengujian Model Input Output Koefisien teknis dalam Tabel Input Output menunjukkan kontribusi suatu sektor dalam pembentukan output total secara langsung. Besaran koefisien teknis ini menentukan pengganda dan tingkat keterkaitan suatu sektor. Perubahan koefisien input suatu sektor dapat diamati kecenderungannya apakah meningkat, menurun atau konstan. Aplikasi data input output dalam perencanaan ekonomi (forecasting) biasanya menggunakan asumsi tingkat koefisien teknis yang konstan selama periode perencanaan (biasanya lima tahun). Dari data input output Indonesia yang dikeluarkan BPS sejak tahun 1971 sampai dengan tahun 2008 akan diamati perubahan tersebut Uji Regresi Koefisien Teknis Hasil uji kebaikan suai (goodness of fit test) terhadap model perubahan teknis memperlihatkan bahwa model yang digunakan sangat baik untuk estimasi (highly significant) kecuali untuk koefisien teknis sektor karet (7) tahun 1980, sektor tanaman lainnya (17) tahun 1995 dan sektor tanaman bahan makanan lainnya (6) tahun 2005 yang tidak signifikan. Model-model regresi tersebut memiliki nilai R-square yang tinggi atau dengan perkataan lain koefisien teknis periode sebelumnya (x ij ) mampu menjelaskan koefisien teknis periode berikutnya (x ij *). Nilai R-square sebagaimana dimaksud disajikan pada Lampiran 1 dan 2. Tidak terjadi perubahan teknis yang signifikan antara satu periode ke periode berikutnya, terindikasi dari hasil uji regresi koefisien teknis x ij *= + x ij dengan hipotesis =0 dan =1. Nilai-nilai untuk masing-masing sektor ditampilkan pada Lampiran 3 dan 4, sedangkan untuk nilai-nilai koefisien disajikan pada Lampiran 5 dan Uji Matriks Leontief Uji ini dilakukan untuk mendukung analisis, yaitu dengan menguji deviasi nilai output sektoral hasil estimasi dengan data output aktual. Uji dilakukan sebanyak delapan kali dengan menggunakan matriks Leontief tahun 1975, 1980, 1985, 1990, 1995, 2000, 2005 dan Deviasi hasil estimasi total output

64 36 dengan uji matriks Leontief memiliki kecenderungan over estimate untuk setiap periode. Hal ini disebabkan oleh adanya deviasi yang terlalu tinggi (outlier) pada beberapa sektor, antara lain sektor tanaman bahan makanan lainnya (6), hasil tanaman serat (15), industri kimia (40), industri dasar besi dan baja (45), industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik (48) dan sektor lain-lain (66). Keenam sektor sebagaimana tersebut memiliki deviasi yang sangat tinggi hampir disetiap periode. Deviasi total tertinggi terjadi pada tahun 1990 sebesar 19,33 persen (Tabel 4.1). Tabel 4.1. Deviasi Output Hasil Estimasi terhadap Output Aktual Sektor Deviasi (%) Total 12,97 10,52 0,41 19,33 7,48 10,87 12,65 14,05 Primer 15,77 (0,52) 3,60 6,07 3,30 10,28 8,77 1,11 Sekunder 14,45 22,41 5,13 22,34 12,97 21,67 12,14 26,68 Tersier 14,92 14,05 0,41 20,86 8,69 8,96 9,38 19,49 Rata-rata 20,85 13,92 4,39 19,74 10,08 19,92 12,98 18,43 Deviasi terbesar pada sektor primer terjadi di sektor tanaman bahan makanan lainnya (6) dan hasil tanaman serat (15). Sektor 6 merupakan agregasi dari beberapa sektor yang menghasilkan produk tanaman bahan makanan lainnya sehingga deviasi yang besar sangat mungkin terjadi, sementara deviasi sektor 15 mungkin disebabkan oleh perubahan harga output yang berorientasi ekspor. Deviasi yang cukup besar juga sering terjadi antara lain pada sektor tanaman kacang-kacangan (2), tebu (8), kopi (12), teh (13), dan pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25), kesemuanya disebabkan oleh perubahan harga output yang dipengaruhi nilai tukar rupiah. Nilai deviasi sektorsektor primer ditampilkan pada Lampiran 7. Pada sektor sekunder sebagaimana terlihat pada Lampiran 8, deviasi yang terbesar terjadi di sektor industri dasar, besi dan baja (45). Jika dilihat antar periode pengamatan deviasi yang terjadi pada sektor-sektor sekunder cenderung semakin kecil, artinya matriks Leontief semakin tepat untuk meramalkan perubahan output sektoral yang terjadi akibat perubahan permintaan akhir. Sampai dengan tahun 2008 deviasi antara output aktual dengan hasil estimasi menggunakan matriks Leontief pada sektor tersier seperti terlihat pada Lampiran 9 secara umum relatif kecil. Deviasi terbesar terjadi di sektor angkutan

65 37 air (57) diikuti sektor jasa penunjang angkutan (59) dan usaha persewaan bangunan dan jasa perusahaan (62). Dari kedua hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa koefisien teknis data input output nasional cukup baik untuk digunakan dalam perencanaan ekonomi lima tahun ke depan. Kecenderungan perubahan koefisien teknis yang relatif lebih konstan dan deviasi yang relatif semakin kecil memungkinkan penggunaan matriks Leontief untuk perencanaan ekonomi ke depan. Perkembangan teknik pengumpulan dan pengolahan data dalam penyusunan Tabel IO diharapkan akan meningkatkan akurasi matriks Leontief untuk perencanaan Perkembangan Peran Sektoral dalam Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia Peran sektoral dalam proses transformasi struktural perekonomian terlihat dari perkembangan beberapa indikator yang diturunkan dari model IO, antara lain; perubahan struktur permintaan dan penawaran, struktur nilai tambah, angka pengganda, indeks keterkaitan dan derajat ketergantungan ekspor. Runtun data IO memperlihatkan kecenderungan perubahan berbagai indikator tersebut. Hal ini menggambarkan dinamika peran sektoral dalam proses perubahan struktural perekonomian Struktur Permintaan dan Penawaran Keseimbangan umum dalam suatu sistem perekonomian dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi permintaan agregat (agregat demand) dan penawaran agregat (agregat supply). Permintaan terhadap output suatu sektor terdiri atas permintaan antara (intermediate demand) dan permintaan akhir (final demand). Permintaan antara adalah permintaan yang tercipta oleh suatu sektor yang menggunakan sektor lain sebagai input dalam proses produksinya, sedangkan permintaan akhir merupakan permintaan terhadap output suatu sektor yang langsung menjadi konsumsi akhir. Permintaan akhir terdiri atas permintaan domestik (domestic demand) yang berasal dari konsumsi swasta (consumption), konsumsi pemerintah (goverment expenditure) dan investasi (investment) serta permintaan ekspor (export). Penawaran suatu sektor dalam perekonomian terbuka dapat berasal dari produksi domestik (production) maupun impor (import).

66 Kontribusi Sektoral dalam Permintaan Antara Data input output menunjukkan komposisi penawaran dan permintaan sektoral. Komposisi penawaran dari data input output meliputi kontribusi masingmasing sektor terhadap permintaan antara (intermediate demand) dan output total. Pada Lampiran terlihat bahwa secara keseluruhan sektor padi (1) merupakan sektor yang mempunyai kontribusi terbesar terhadap total permintaan antara pada periode 1971 sampai dengan tahun Kontribusi sektor ini terus menurun dari kisaran 16 persen pada tahun 1971 menjadi 3 persen pada tahun Peranannnya digeser oleh sektor perdagangan (53) sejak 1995 sampai tahun Menurunnya kontribusi sektor ini dimungkinkan oleh meningkatnya transaksi produksi sektor-sektor lainnya seiring dengan perkembangan ekonomi. Margin perdagangan yang relatif besar mengakibatkan peranan sektor perdagangan mampu mengambil alih peranan, mengingat sektor ini adalah sektor yang menghubungkan konsumen dengan produsen. Sektor pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25) merupakan sektor primer dengan kontribusi terbesar kedua setelah padi (1) dengan tren yang positif. Meningkatnya kontribusi sektor ini dalam komposisi permintaan antara sejalan dengan peningkatan upaya pengolahan lanjutan produk turunan dari hasil pertambangan minyak, gas dan panas bumi. Sektor industri kimia (40) dan pengilangan minyak bumi (41) merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar diantara sektor-sektor sekunder dengan kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu. Sebagian besar kontribusi sektor-sektor sekunder agak berfluktuasi bahkan cenderung menurun diakhir periode pengamatan terutama setelah tahun 2000, kecuali sektor industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik (48). Peran sektor sekunder pada fase industrialisasi terindikasi semakin meningkat jika dilihat dari kontribusi beberapa sektor terhadap permintaan antara, namun proses deindustrialisasi yang terjadi sejak tahun 2002 mengakibatkan penurunan peran sektor-sektor tersebut. Sektor manufaktur telah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi selama tahap industrialisasi berdasarkan analisis dengan pendekatan Kaldorian. Proses deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2002 cenderung menuju kearah yang negatif (Dewi 2010).

67 39 Pada sektor tersier kontribusi terbesar disumbangkan oleh sektor perdagangan (53) yang berfluktuasi pada kisaran 8 hingga 11 persen. Kontribusi sektor-sektor tersier cenderung terlihat lebih merata dan relatif konstan dari waktu ke waktu. Sektor komunikasi (60) dan lembaga keuangan (61) memiliki kecenderungan meningkat walaupun kontribusinya masih relatif kecil. Keragaan sektor tersier dalam komposisi permintaan antara sangat tergantung pada penguasaan teknologi yang digunakan dalam proses produksi dan aglomerasi industri yang terjadi sebagai akibat industrialisasi. Pertumbuhan sektor manufaktur akan memicu pertumbuhan sektor selain manufaktur Kontribusi Sektoral dalam Output Total Pada bagian lain (Lampiran 13-15) dapat diamati pula kontribusi masingmasing sektor terhadap output total, dimana output total merupakan penjumlahan total permintaan antara dan total permintaan akhir (final demand). Secara keseluruhan sektor bangunan (52) memberikan kontribusi terbesar dan cenderung terus meningkat dari waktu ke waktu dalam kisaran 8 hingga 12 persen, diikuti sektor perdagangan (53) dengan kontribusi yang relatif konstan pada kisaran 8 hingga 9 persen. Kontribusi sektor bangunan (52) yang tinggi dalam pembentukan output total sangat terkait dengan tingginya nilai investasi yang biasa ditanamkan dalam pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari pembentukan modal tetap bruto sektor-sektor produksi. Sektor pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25) merupakan sektor primer yang mempunyai peranan terbesar pada pembentukan output total bahkan dengan kontribusi lebih dari 10 persen pada era tahun 80-an. Kontribusi sektor ini terus menurun seiring menipisnya cadangan minyak, berbeda dengan dua sektor pertambangan lainnya; pertambangan batubara dan biji logam (24) dan pertambangan dan penggalian lainnya (26) yang cenderung meningkat seiring eksplorasi temuan sumber-sumber mineral baru. Sektor-sektor primer lain kontribusinya cenderung terus menurun, kecuali sektor sayur dan buah (5), kelapa sawit (10) dan perikanan (23). Peningkatan kontribusi sektor-sektor ini merupakan indikasi semakin pentingnya agroindustri (Firdaus, 1998). Selain sektor bangunan (52), pada sektor sekunder terlihat beberapa sektor yang memiliki kontribusi relatif besar dan stabil seperti sektor industri

68 40 penggilingan padi (29), sektor industri tekstil, pakaian dan kulit (36), sektor pengilangan minyak bumi (41) dan sektor industri mesin dan alat perlengkapan listrik (48). Sedangkan sektor industri kimia (40) memiliki kontribusi yang terus meningkat. Sektor-sektor sekunder yang memiliki output relatif besar merupakan sektor yang memanfaatkan output sektor primer sebagai input pada proses produksinya. Sektor-sektor tersebut juga merupakan penghasil barangbarang konsumsi akhir yang sangat dibutuhkan untuk memenuhi permintaan akhir domestik. Strategi industrialisasi yang bertujuan mengurangi impor barang konsumsi (substitusi impor) menjadi salah satu faktor penyebab tingginya output sektor-sektor sekunder (Kuncoro 2007). Sektor perdagangan (53) masih mendominasi kontribusi sektor-sektor tersier diikuti sektor hotel dan restoran (54) yang relatif stabil. Kontribusi sektor-sektor tersier yang lain relatif merata dengan fluktuasi yang sangat kecil antar periode pengamatan. Perubahan peringkat pangsa output sektoral sebagaimana terlihat pada Lampiran menunjukkan kecenderungan menurunnya peran sektor primer dan semakin meningkatnya peranan sektor tersier. Sementara peranan sektor sekunder mengalami pasang surut, bahkan cenderung menurun yang mengindikasikan adanya proses deindustrialisasi. Peranan sektor tersier dalam perekonomian akan semakin meningkat seiring kemajuan perekonomian suatu negara, namun kekuatan sektor primer menjadi landasan memuluskan proses industrialisasi. Fakta empiris menunjukkan bahwa tidak ada satu negarapun dapat mencapai fase ekonomi maju (developed countries) tanpa diawali fase tinggal landas (take-off) sektor pertanian, dan tidak ada satu negarapun dapat mencapai kemakmuran ekonomi jika masih didominasi oleh sektor pertanian Komposisi Permintaan Agregat Sektor-sektor yang memiliki permintaan antara (intermediate demand) lebih besar daripada permintaan akhir (final demand) menunjukkan sektor tersebut berperan penting dalam transaksi produksi, artinya keluaran (output) sektor tersebut dominan digunakan oleh sektor lainnya sebagai input dalam proses produksi lanjutan. Sebaliknya sektor yang memiliki permintaan akhir lebih besar

69 41 daripada permintaan antara menunjukkan output sektor tersebut lebih dominan dikonsumsi secara langsung. Tabel pada Lampiran 16 memperlihatkan bahwa sebagian besar sektor primer lebih didominasi oleh permintaan antara daripada permintaan akhir. Keragaan ini menunjukkan adanya proses produksi lanjutan output sektor primer. Sektor dengan kecenderungan permintaan antara yang terus meningkat antara lain sektor jagung (3), sayur dan buah (5), tanaman perkebunan lain (16) dan pemotongan hewan (19). Hal ini seiring dengan berkembangnya industri yang mengolah hasil pertanian dan mengindikasikan semakin pentingnya peran agroindustri dalam perekonomian. Sebagian besar sektor sekunder menunjukkan komponen permintaan akhir yang lebih besar daripada permintaan antara, terutama sektor industri hilir. Sementara sektor industri hulu lebih didominasi permintaan antara. Hal ini dimungkinkan karena output sektor ini dimanfaatkan oleh sektor lain sebagai masukan (input). Sektor yang menunjukkan kecenderungan komposisi permintaan akhir yang terus meningkat adalah sektor industri minuman (33), industri rokok (34) dan industri tekstil, pakaian dan kulit (36). Peningkatan ini disebabkan oleh naiknya kontribusi permintaan ekspor yang menunjukkan semakin pentingnya peran sektor ini dalam perekonomian. Dapat dilihat bahwa tidak terdapat sektor yang menunjukkan peningkatan komposisi permintaan akhir secara terus menerus, karena output sektor ini banyak digunakan sektor lain sebagai input (Lampiran 17). Sebagian besar output sektor tersier merupakan permintaan akhir dan tidak banyak yang menjadi input bagi sektor lain. Namun demikian pangsa permintaan antara cenderung terus meningkat kecuali sektor angkutan kereta api (55) dan komunikasi (60) sebagaimana terlihat pada Lampiran 18. Permintaan antara yang semakin meningkat memperlihatkan peranan sektor tersier dalam pembentukan output sektor lain semakin besar sekaligus mengindikasikan bahwa perekonomian mulai memasuki fase ekonomi maju (developed countries). Perkembangan teknologi komunikasi dan moda transportasi meningkatkan peranan sektor ini dalam memenuhi permintaan akhir domestik yang meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk.

70 42 Selanjutnya dapat diamati komposisi permintaan akhir masing-masing sektor. Komposisi permintaan akhir secara umum lebih banyak didominasi oleh konsumsi domestik daripada permintaan ekspor. Pada sektor primer sebagaimana terlihat pada Lampiran 19 sampai dengan tahun 2008 hanya sektor kopi (12) dan tanaman perkebunan lain (16) yang memiliki pangsa permintaan ekspor lebih besar daripada permintaan domestik. Pada awal periode pengamatan terdapat beberapa sektor yang memiliki pangsa ekspor cukup besar namun terus berkurang dari waktu kewaktu. Upaya mengurangi ekspor bahan mentah, terutama produk pertanian tercermin pada menurunnya pangsa ekspor produk sektor primer. Hal ini juga mengindikasikan meningkatnya peran agroindustri dalam perekonomian. Industri minyak dan lemak (28) dan industri logam dasar bukan besi (46) merupakan sektor sekunder yang lebih didominasi permintaan ekspor sebagai akibat kelebihan produksi yang tidak terserap oleh permintaan domestik, sedangkan sebagian besar sektor sekunder yang lain lebih banyak memenuhi permintaan domestik. Hal ini terlihat pada Lampiran 20 dengan kecenderungan permintaan ekspor yang terus meningkat kecuali sektor industri makanan lain (32) dan industri barang karet dan plastik (42). Permintaan ekspor sektor 32 yang terus menurun lebih disebabkan oleh meningkatnya konsumsi akhir produk tersebut, sedangkan penurunan ekspor sektor 42 lebih disebabkan oleh meningkatnya permintaan terhadap output sektor tersebut yang berasal dari sektor lain yang menjadikannya sebagai input dalam proses produksi lanjutan. Pada Lampiran 21 terlihat bahwa pangsa ekspor sektor tersier masih relatif kecil, dominasi permintaan domestik masih sangat tinggi. Volume ekspor jasa masih jauh lebih kecil dibandingkan ekspor barang, hal ini lebih disebabkan karena masih rendahnya daya saing sektor jasa di pasar internasional. Tingginya permintaan domestik beberapa sektor tersier bahkan masih harus dipenuhi oleh penyediaan yang berasal dari impor. Pangsa ekspor sektor angkutan air (57) yang mencapai 80 persen pada tahun 1971 terus menurun hingga tinggal 30 persen pada tahun Penurunan ini mungkin disebabkan perkembangan moda transportasi lain yang berhasil menggeser peranan sektor angkutan air (57).

71 43 Penawaran agregat (agregat supply) dalam sistem perekonomian terbuka dapat dibagi menjadi dua sumber yaitu penawaran yang berasal dari produksi domestik dan impor. Sisi penawaran (supply) sektor primer masih dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Sektor tanaman bahan makanan lain (6) dan hasil tanaman serat (15) merupakan sektor yang masih sangat didominasi impor dengan pangsa diatas 90 persen. Tanaman kacang-kacangan (2) dan pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25) memiliki kecenderungan impor yang terus meningkat (Lampiran 22). Masih tingginya impor sektor primer mengindikasikan rendahnya produktifitas sektor primer sehingga tidak mampu memenuhi permintaan domestik. Permintaan tersebut bahkan digunakan sebagai input antara oleh beberapa sektor produksi sehingga biaya produksi sangat dipengaruhi oleh nilai tukar (kurs) mata uang rupiah. Krisis ekonomi yang berdampak pada penurunan nilai tukar rupiah akhirnya membuat biaya produksi menjadi meningkat dan berimbas pada peningkatan harga output. Inflasi menjadi tidak terkendali ketika harga barang-barang konsumsi sangat dipengaruhi oleh import content dalam proses produksinya. Pangsa impor sektor sekunder rata-rata dibawah 40 persen kecuali sektor industri dasar, besi dan baja (45) yang masih diatas 60 persen. Impor sektor sekunder cenderung menurun kecuali sektor industri pengilangan minyak (41) yang meningkat dari 4,62 persen pada tahun 1971 menjadi 28,31 persen pada tahun Meningkatnya impor sektor industri pengilangan minyak (41) disebabkan oleh semakin tingginya permintaan bahan bakar minyak (BBM) yang tidak mampu dipenuhi oleh produksi domestik. Output produksi sektor pertambangan yang relatif besar tidak seluruhnya dapat diolah menjadi produk turunan oleh sektor produksi domestik, sementara kebutuhan akan BBM terus mengalami peningkatan (Lampiran 23). Pangsa impor sektor tersier relatif kecil yaitu dibawah 30 persen, supply masih dipenuhi oleh produksi domestik. Rincian pangsa impor menurut sektor terlihat pada Lampiran Analisis Struktur Produk Domestik Bruto dan Pangsa Tenaga Kerja Tabel IO merupakan suatu sistem perekonomian yang seimbang sehingga nilai tambah bruto (value added) yang tercipta dapat dilihat dari sisi pendapatan

72 44 (income approach) maupun sisi pengeluaran (expenditure approach). Penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pendapatan dapat di dekomposisi menjadi beberapa komponen nilai tambah, antara lain upah/gaji, surplus usaha, penyusutan, pajak tak langsung dan subsidi. Dari Tabel 4.2 dapat dilihat struktur PDB (gross domestic product) menurut balas jasa faktor produksi berdasarkan Tabel IO Indonesia. Tabel 4.2. Struktur PDB menurut Pendapatan Balas Jasa Struktur PDB (%) Upah/gaji 29,54 24,89 24,14 27,73 27,42 30,51 29,87 30,67 30,58 Surplus Usaha 62,02 68,12 71,22 63,83 60,74 56,78 57,09 57,58 58,80 Penyusutan 5,33 4,97 5,42 6,36 7,41 8,12 8,16 10,14 9,90 Pajak Tak Langsung 3,11 2,02 2,31 2,90 4,98 4,60 5,12 3,90 4,56 Subsidi - - (3,08) (0,83) (0,55) (0,01) (0,25) (2,29) (3,84) Komponen upah/gaji tidak banyak berubah sejak tahun 1971 sampai dengan tahun 2008 dengan pangsa berkisar pada angka 30 persen, sedangkan komponen surplus usaha yang cenderung meningkat pada periode mengalami penurunan pada periode selanjutnya hingga mencapai 58,80 persen pada tahun Pangsa surplus usaha yang mencapai dua kali lipat dari komponen upah/gaji memperlihatkan bahwa balas jasa atas faktor produksi yang diterima oleh rumah tangga sebagai pekerja relatif kecil dibanding balas jasa yang diterima pengusaha. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya ketimpangan pendapatan di masyarakat. Jika surplus usaha digunakan untuk investasi maka diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kesenjangan pendapatan. Disisi lain terlihat beban subsidi terjadi sejak tahun 1980 pada kisaran 3 persen dan terus dikurangi sampai tahun 1985 tetapi kembali meningkat hingga hampir mencapai angka 4 persen pada tahun Struktur PDB menurut pengeluaran sebagaimana terlihat pada Tabel 4.3 terdiri atas komponen konsumsi swasta (C), pengeluaran pemerintah (G), investasi (I) dan ekspor netto (NX). Komponen investasi dalam Tabel IO terdiri

73 45 atas pembentukan modal tetap bruto (303) dan perubahan stok (304), sedangkan ekspor netto adalah selisih antara total ekspor ( ) dan total impor (409). Konsumsi swasta (C) masih menjadi komponen utama yang membentuk PDB sampai dengan tahun 2008 dengan kontribusi 61,52 persen. Meskipun tren nya terlihat menurun sepanjang periode pengamatan namun angkanya masih relatif tinggi dan mengindikasikan struktur perekonomian yang kurang baik. Tabel 4.3. Struktur PDB menurut Pengeluaran Pengeluaran Struktur PDB (%) C 74,41 62,68 52,96 58,58 59,76 67,19 62,70 62,07 61,52 G 7,57 9,93 10,65 11,67 8,97 6,67 6,64 7,82 8,03 I 23,55 22,03 24,61 23,30 31,18 28,31 21,33 25,35 29,05 NX (5,53) 5,36 11,78 6,44 0,09 (2,16) 9,33 4,76 1,40 Kecenderungan meningkatnya pangsa investasi (I) memberikan sinyal positf kearah perekonomian yang lebih berkualitas. Komponen ekspor bersih (NX) bernilai positif kecuali pada tahun 1971 dan 1995 yang berarti bahwa nilai ekspor masih lebih besar dibanding nilai impor. Ekspor bersih tertinggi terjadi pada tahun 1980 yang merupakan era bom minyak, selanjutnya angka NX tidak pernah lagi mencapai 10 persen. PDB juga dapat dirinci menurut lapangan usaha/sektoral untuk melihat peran sektoral dalam perekonomian, seperti terlihat pada Tabel 4.4. Struktur nilai tambah bruto menurut lapangan usaha memperlihatkan terjadinya transformasi struktural yang ditandai oleh kecenderungan menurunnya peranan sektor primer diiringi peningkatan peran sektor sekunder. Pada tahun 1971 kontribusi sektor primer sebesar 37,35 persen dan sektor sekunder 21,19 persen. Tahun 2008 kontribusi sektor primer menjadi 26,88 persen sedangkan sektor sekunder 36,75 persen. Kontribusi sektor tersier terlihat lebih fluktuatif pada kisaran persen. Kontribusi sektor primer pada pembentukan nilai tambah bruto lebih didominasi sektor-sektor usaha pertambangan dan penggalian (24, 25 dan 26) sementara sektor pertanian secara luas (1-23) masing-masing hanya memiliki kontribusi dibawah 3 persen.

74 46 Tabel 4.4. Struktur PDB menurut Lapangan Usaha Sektor Struktur PDB menurut Lapangan Usaha (%) Primer 37,35 44,90 49,09 37,03 32,42 25,14 28,89 24,64 26,88 (1) 30,09 26,32 23,36 22,11 20,08 17,47 16,62 13,62 15,82 (2) 7,26 18,58 25,73 14,92 12,34 7,68 12,27 11,02 11,06 Sekunder 21,19 19,25 17,39 23,21 26,98 31,40 33,69 35,22 36,75 (3) 15,67 13,36 11,57 16,43 20,58 23,65 27,47 27,10 27,17 (4) 0,94 0,61 0,48 0,41 0,72 1,08 0,61 0,94 0,89 (5) 4,58 5,27 5,34 6,37 5,68 6,67 5,60 7,19 8,69 Tersier 41,45 35,85 33,52 39,76 40,61 43,45 37,42 40,14 36,37 (6) 19,28 14,89 13,94 14,77 15,76 15,54 14,72 15,06 13,20 (7) 7,69 5,62 4,57 5,89 6,43 6,94 4,76 6,76 6,47 (8) 3,81 4,44 4,87 6,56 7,89 11,69 8,45 8,32 7,41 (9) 10,67 10,90 10,13 12,55 10,52 9,30 9,50 10,00 9,29 Peranan sektor-sektor primer dalam pembentukan nilai tambah bruto memiliki kecenderungan yang terus menurun, kecuali sektor pertambangan batubara dan biji logam (24) yang kontribusinya terus meningkat. Pemberlakuan Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang memberi keleluasan pada pemerintah daerah dalam mengeksplorasi mineral dan batubara sejalan dengan era otonomi daerah mengakibatkan produksi sektor ini terus meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 25. Kontribusi sektor sekunder dalam pembentukan nilai tambah bruto seperti terlihat pada Lampiran 26 dari tahun ke tahun cenderung meningkat kecuali sektor industri tepung (30) dan industri gula (31) yang cenderung turun. Kontribusi terbesar dimiliki oleh sektor bangunan (52) yang cenderung meningkat dari 4,58 persen pada tahun 1971 menjadi 8,69 persen pada tahun Sektor lain yang terlihat meningkat secara signifikan adalah sektor pengilangan minyak bumi (41). Penurunan produktifitas pabrik gula yang usianya relatif sudah tua mengakibatkan inefisiensi industri gula (Mardianto, et. al. 2005) sementara industri tepung tidak didukung oleh ketersediaan bahan baku utama seperti gandum (Deptan 2008). Peningkatan nilai tambah bruto sektor bangunan (52) lebih disebabkan oleh pengeluaran pemerintah melalui desentralisasi fiskal yang mengiringi otonomisasi (Ruky 2008).

75 47 Kontribusi sektor perdagangan (53) merupakan yang terbesar disektor tersier namun peranannya perlahan-lahan terus menurun dari 17,65 persen pada tahun 1971 hingga menjadi 10,27 persen pada tahun Hal ini diperlihatkan oleh Lampiran 27. Sektor-sektor tersier lain terlihat berfluktuasi pada kisaran angka dibawah 4 persen. Sektor jasa sosial kemasyarakatan (64) memperlihatkan tren positif seiring peningkatan kebutuhan masyarakat akan jasa sosial kemasyarakatan dan mengindikasikan pergeseran pola konsumsi akibat adanya peningkatan pendapatan ,45 37,35 21,19 44,90 35,85 19,25 33,52 17,39 49,09 39,76 40,61 43,45 32,42 31,40 37,03 23,21 26,98 25,14 37,42 40,14 33,69 35,22 28,89 24,64 36,75 36,37 26, primer sekunder tersier Gambar 4.1. Struktur PDB Struktur PDB menurut lapangan usaha memperlihatkan terjadinya transformasi struktural yang ditandai oleh kecenderungan menurunnya peranan sektor primer diiringi peningkatan peran sektor skunder (Gambar 4.1). Berbeda dengan struktur PDB menurut lapangan usaha yang memperlihatkan terjadinya transformasi struktural, perubahan pangsa tenaga kerja tidak berjalan seiring (Gambar 4.2) ,4 61,3 57,2 56,8 56,6 48,1 45,3 45,5 45, ,4 28,3 30,5 30,6 30, ,8 37,8 37, ,9 16,9 16,7 16,8 8,2 10,4 12,3 12, primer sekunder tersier Gambar 4.2. Pangsa Tenaga Kerja menurut Sektor

76 48 Pada tahun 1971 tenaga kerja sektor primer sebesar 64,4 persen dan sektor sekunder 8,2 persen. Tahun 2008 tenaga kerja di sektor primer menjadi 45,4 persen sedangkan sektor sekunder 16,8 persen. Tenaga kerja sektor tersier meningkat dari 27,4 persen pada tahun 1971 menjadi 37,8 persen tahun Pergeseran peran sektor primer oleh sektor sekunder tidak mampu menyerap kelebihan tenaga kerja dari sektor primer sehingga berdampak pada meningkatnya pengangguran (Hayashi, 2005) Analisis Pengganda Analisis Pengganda Output Peran suatu sektor dalam analisis input output dapat diukur dari besaran dampak pengganda (multiplier) dan koefisien keterkaitannya. Secara umum dari Tabel 4.5 terlihat bahwa besaran pengganda output (output multiplier) rata-rata seluruh sektor pada awalnya turun dari 1,66 pada tahun 1971 menjadi 1,60 pada tahun 1975 dan selanjutnya terus meningkat hingga akhirnya menjadi 1,87 pada tahun 2008 yang berarti peningkatan satu rupiah permintaan akhir akan menyebabkan peningkatan output total sebesar rupiah (nilai output diukur dalam ribuan rupiah). Tabel 4.5. Angka Pengganda Output Rata-rata Sektor Angka Pengganda Output Terbuka Total 1,66 1,60 1,68 1,73 1,76 1,76 1,81 1,83 1,87 Primer 1,23 1,22 1,30 1,34 1,37 1,39 1,42 1,45 1,52 Sekunder 2,05 2,03 2,12 2,16 2,18 2,13 2,15 2,18 2,18 Tersier 1,72 1,51 1,57 1,64 1,70 1,74 1,92 1,90 1,94 Demikian pula halnya dengan angka pengganda output rata-rata sektor primer, pada tahun 1971 sebesar 1,23 persen turun menjadi 1,22 pada tahun 1975 dan selanjutnya terus meningkat hingga mencapai 1,52 pada tahun Pergerakan angka pengganda output rata-rata sektor tersier searah dengan angka pengganda output rata-rata sektor primer, berbeda dengan pergerakan angka pengganda output rata-rata sektor sekunder yang lebih berfluktuasi. Angka pengganda output rata-rata sektor sekunder selalu lebih tinggi dibanding sektor

77 49 primer, tersier maupun angka pengganda output rata-rata seluruh sektor, sedangkan angka pengganda output sektor primer adalah yang terkecil. Angka-angka pengganda output sektor primer secara umum cenderung meningkat walaupun peningkatannya relatif kecil (Lampiran 28). Sampai dengan tahun 2008 hanya ada tiga sektor yang memiliki besaran angka pengganda output lebih dari 2, yaitu sektor tembakau (11), pemotongan hewan (19) dan unggas dan hasil-hasilnya (20). Sebagian besar angka pengganda output sektor-sektor sekunder sebagaimana terlihat pada Lampiran 29 bernilai lebih besar dari 2 dan hanya terdapat lima sektor yang bernilai kurang dari 2, antara lain adalah sektor pengilangan minyak bumi (41), industri rokok (34), industri semen (44), industri barang mineral bukan logam (43) dan industri pupuk dan pestisida (39). Tiga sektor yang disebut terakhir bahkan juga nyaris mendekati nilai 2. Angka-angka pengganda output sektor tersier relatif lebih besar daripada angka pengganda output sektor primer. Sampai dengan tahun 2008 sebagian besar nilainya lebih dari 1,5 kecuali sektor komunikasi (60) yang hanya sebesar 1,39 atau menurun dari 1,80 pada tahun 1971 (Lampiran 30) Analisis Pengganda Pendapatan Pengganda pendapatan (income multiplier) dihitung dari data upah/gaji, yang menunjukkan besarnya peningkatan pendapatan rumah tangga sebagai akibat peningkatan permintaan akhir. Secara umum dari Tabel 4.6 terlihat bahwa besaran pengganda pendapatan rata-rata seluruh sektor pada awalnya turun dari 2,18 pada tahun 1971 menjadi 1,79 pada tahun 1975 dan kembali meningkat menjadi 1,92 pada tahun Selanjutnya menjadi 2,07 pada tahun 1985 dan cenderung konstan pada kisaran 1,99 sampai dengan tahun 2008 yang berarti peningkatan satu rupiah permintaan akhir akan menyebabkan peningkatan pendapatan total sebesar rupiah (nilai diukur dalam ribuan rupiah). Tabel 4.6. Angka Pengganda Pendapatan Rata-rata Sektor Angka Pengganda Pendapatan Total 2,18 1,79 1,92 2,07 1,99 1,97 1,99 1,98 1,99 Primer 1,79 1,24 1,33 1,30 1,36 1,37 1,33 1,41 1,47 Sekunder 2,88 2,46 2,71 3,14 2,83 2,75 2,64 2,67 2,62 Tersier 1,58 1,57 1,52 1,52 1,62 1,61 1,99 1,73 1,77

78 50 Pergerakan angka pengganda pendapatan disektor primer diawali penurunan pada tahun 1975 dan cenderung meningkat pada periode dengan sedikit kontraksi pada 1985 dan Pergerakan angka pengganda pendapatan sektor sekunder dan tersier terlihat fluktuatif dengan kecenderungan yang sedikit berbeda. Sektor tersier cenderung meningkat, sementara sektor sekunder cenderung menurun tetapi nilai pengganda pendapatan sektor sekunder jauh lebih tinggi daripada sektor tersier. Angka pengganda pendapatan sektor pemotongan hewan (19) merupakan yang tertinggi disektor primer sejak tahun 1971 namun terus menurun sampai tahun sebagian besar angka pengganda pendapatan sektor-sektor primer bernilai kurang dari 1,5 (Lampiran 34). Angka pengganda pendapatan sektor-sektor sekunder relatif lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor primer maupun tersier dengan pergerakan yang fluktuatif seperti terlihat pada Lampiran 35. Sektor industri penggilingan padi (29) dan industri dasar besi dan baja (45) bahkan memiliki nilai lebih dari 4 dan hanya ada empat sektor yang nilainya kurang dari 2 yaitu sektor industri pupuk dan pestisida (39), pengilangan minyak bumi (41), industri barang mineral bukan logam (43) dan industri barang logam (47). Angka-angka pengganda pendapatan sektor-sektor tersier yang disajikan pada Lampiran 36 terlihat lebih moderat dengan kecenderungan meningkat selama periode pengamatan, kecuali sektor restoran dan hotel (54) dan komunikasi (60) yang cenderung menurun. Nilai angka pengganda pendapatan sektor angkutan air (57) dan angkutan udara (58) merupakan yang terbesar. Angka pengganda pendapatan sektor tersier yang terlihat tinggi menjelaskan bahwa peningkatan pendapatan yang relatif besar akan terjadi seiring peningkatan permintaan akhir sektor tersebut. Peningkatan angka pengganda pendapatan akan lebih berdampak pada perekonomian ketika peningkatan tersebut terjadi pada sektor yang banyak menyerap tenaga kerja Analisis Ketergantungan Ekspor Derajat ketergantungan ekspor menunjukkan proporsi produksi suatu sektor yang secara langsung maupun tidak langsung dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor, dengan kata lain indikator ini menunjukkan

79 51 keterkaitan suatu sektor dengan aktivitas ekspor. Semakin tinggi derajat ketergantungan ekspor suatu sektor berarti semakin besar ketergantungan ekspor terhadap sektor tersebut. Pada Lampiran 40 terlihat bahwa sektor kelapa sawit (10), kopi (12), tanaman perkebunan lain (16), pertambangan batubara (24) dan pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25) adalah sektor-sektor primer yang memiliki derajat ketergantungan ekspor yang tinggi. Sektor kelapa sawit (10) dan kopi (12) memiliki derajat ketergantungan ekspor yang cenderung meningkat, sementara tiga sektor lainnya relatif konstan. Meningkatnya luasan perkebunan kelapa sawit tidak sebanding dengan perkembangan industri yang mengolah hasil perkebunan tersebut sehingga menjadikan sektor ini sangat bergantung pada permintaan ekspor. Sektor pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25) memang merupakan sumber utama devisa negara sehingga ketergantungan ekspornya relatif tinggi, disamping itu juga disebabkan oleh tidak adanya industri pengolahan lanjutan dari hasil produksi sektor tersebut. Derajat ketergantungan ekspor sebagian besar sektor-sektor sekunder cenderung mengalami peningkatan yang relatif kecil dan mengalami kontraksi pada periode setelah tahun 2000 seperti terlihat pada Lampiran 41. Namun demikian terdapat beberapa sektor yang mengalami peningkatan cukup signifikan yaitu sektor industri minyak dan lemak (28), industri pemintalan (35) dan industri logam dasar bukan besi (46). Peningkatan yang terjadi lebih terlihat pada sektor-sektor sekunder yang memanfaatkan sektor primer sebagai input dalam proses produksinya. Sementara kontraksi yang terjadi setelah tahun 2000 pada beberapa sektor sekunder awalnya disebabkan oleh krisis ekonomi global. Daya beli beberapa negara tujuan ekspor Indonesia mengalami penurunan pasca krisis ekonomi. Selanjutnya era perdagangan bebas menuntut daya saing produk yang tinggi untuk dapat bertahan di pasar internasional. Dibagian lain sebagaimana terlihat pada Lampiran disajikan angka pengganda ekspor terhadap output. Angka pengganda ekspor terhadap output dapat mengukur dampak aktivitas ekspor dari suatu sektor terhadap peningkatan output bagi perekonomian secara keseluruhan. Angka pengganda ekspor terhadap output sektor pertambangan batubara dan biji logam (24) dan pertambangan

80 52 minyak, gas dan panas bumi (25) merupakan yang terbesar di sektor primer akan tetapi arah pergerakannya berbeda dimana sektor pertambangan batubara dan biji logam (24) cenderung meningkat sedangkan sektor pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25) cenderung turun. Aktivitas ekspor sektor primer yang berdampak pada peningkatan output sangat bergantung pada sumberdaya alam tak terbarukan (un renewable resources) sehingga tidak menjamin keberlanjutannya sebagai mesin pertumbuhan. Pada sektor sekunder, sektor industri lemak dan minyak (28) dan pengilangan minyak bumi (41) memiliki angka pengganda ekspor terhadap output yang terbesar dengan kecenderungan meningkat, berbeda dengan sektor industri barang karet dan plastik (42) yang cenderung menurun. Daya saing produk menjadi faktor yang sangat berpengaruh pada ekspor sektor sekunder yang menghasilkan barang-barang konsumsi. Derajat ketergantungan ekspor sektorsektor tersier relatif rendah seperti terlihat pada Lampiran 42, demikian pula halnya dengan angka penganda ekspornya yang terlihat pada Lampiran 45. Kecenderungan peningkatan angka pengganda ekspor terhadap output juga terjadi pada sektor-sektor tersier dengan nilai terbesar pada sektor perdagangan (53). Pada tahun 1971 angka pengganda ekspor sektor angkutan air (57) relatif lebih besar dibanding angka pengganda ekspor sektor tersier yang lain, tetapi menjadi relatif kecil pada periode-periode selanjutnya sampai dengan tahun Hal ini menunjukkan bahwa dampak aktivitas ekspor sektor-sektor tersier tidak signifikan memengaruhi output perekonomian secara keseluruhan. Tabel 4.7. Derajat Ketergantungan Ekspor Rata-rata Sektor Derajat Ketergantungan Ekspor Total 0,16 0,17 0,18 0,19 0,26 0,13 0,58 0,27 0,25 Primer 0,22 0,24 0,25 0,24 0,29 0,01 0,95 0,26 0,24 Sekunder 0,11 0,12 0,12 0,16 0,25 0,24 0,38 0,32 0,29 Tersier 0,13 0,14 0,16 0,17 0,25 0,15 0,27 0,22 0,19 Secara umum derajat ketergantungan ekspor sepanjang periode pengamatan, rata-rata sekitar 20 persen kecuali pada tahun 2000 yang relatif tinggi yaitu hampir 60 persen. Derajat ketergantungan ekspor tahun 2000 lebih didominasi sektor-sektor primer yang secara rata-rata sebesar 95 persen (Tabel

81 53 4.7). Hal ini disinyalir sebagai salah satu faktor yang mempercepat pemulihan ekonomi pasca krisis tahun Angka pengganda ekspor rata-rata sektor sekunder sebagaimana terlihat pada Tabel 4.9 merupakan yang terbesar diantara angka pengganda ekspor ratarata sektor primer maupun tersier. Aktivitas ekspor sektor-sektor sekunder secara rata-rata lebih memberi pengaruh terhadap peningkatan output perekonomian secara keseluruhan. Angka pengganda ekspor rata-rata sektor sekunder cenderung meningkat selama periode analisis, berbeda dengan angka pengganda ekspor ratarata sektor primer yang cenderung turun. Tabel 4.8. Angka Pengganda Ekspor Rata-rata Sektor Angka Pengganda Ekspor Total 0,0221 0,0183 0,0189 0,0212 0,0218 0,0219 0,0237 0,0241 0,0251 Primer 0,0255 0,0321 0,0355 0,0259 0,0170 0,0093 0,0127 0,0140 0,0149 Sekunder 0,0164 0,0071 0,0056 0,0188 0,0270 0,0325 0,0345 0,0323 0,0330 Tersier 0,0263 0,0130 0,0122 0,0168 0,0208 0,0258 0,0243 0,0279 0, Analisis Keterkaitan Koefisien keterkaitan merupakan indikator sejauh mana kemampuan suatu sektor menyerap input dari sektor lain atau indikator besar kecilnya peran suatu sektor dalam pembentukan output sektor lain. Tingkat keterkaitan diukur dengan indeks keterkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung atau disebut keterkaitan total (total linkage) yang terdiri dari keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan (forward linkage). Tidak banyak perubahan nilai indeks keterkaitan ke belakang (IBL) yang terjadi pada sektor-sektor primer sebagaimana terlihat pada Lampiran 46. Sebagian besar nilai IBL sektor primer kurang dari 1 yang mengindikasikan bahwa peningkatan output sektor primer tidak akan banyak mengakibatkan peningkatan output sektor-sektor yang menjadi inputnya. Sampai dengan tahun 2008 hanya terdapat tiga sektor yang memiliki nilai IBL lebih besar dari 1 yaitu sektor tembakau (11), pemotongan hewan (19) dan unggas dan hasilhasilnya (20).

82 54 Sebagian IBL sektor-sektor sekunder memiliki nilai lebih besar dari 1 artinya sebagian besar sektor sekunder memiliki kemampuan yang tinggi dalam menyerap sektor-sektor lain sebagai input. Sampai dengan tahun 2008 hanya terdapat dua sektor yang memiliki nilai IBL lebih kecil dari 1 yaitu sektor industri rokok (34) dan pengilangan minyak bumi (41) walaupun pada awalnya memiliki nilai IBL lebih besar dari 1 (Lampiran 47). IBL sektor-sektor tersier mengindikasikan adanya keterkaitan ke belakang yang tidak sebesar keterkaitan sektor-sektor sekunder, bahkan sampai tahun 2008 masih terdapat sektor-sektor tersier dengan nilai IBL lebih kecil dari 1. Sektorsektor tersier tidak banyak menggunakan output sektor lain sebagai input dalam proses produksinya. Sektor perdagangan (53) yang memiliki kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDB justru memiliki IBL yang tidak pernah mencapai angka 1 sebelum tahun Indeks keterkaitan sektor komunikasi mengindikasikan keterkaitan ke belakang yang terus berkurang dari sektor tersebut terhadap sektor lain (Lampiran 48). Sebagian besar sektor primer memiliki nilai indeks keterkaitan ke depan (IFL) yang lebih kecil dari 1, artinya peran sektor-sektor primer dalam pembentukan output sektor-sektor lain juga relatif kecil. Sampai dengan tahun 2008 sektor primer yang memiliki IFL relatif besar adalah sektor pertambangan batubara dan biji logam (24), pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25), padi (1) dan peternakan (18). Peningkatan output sektor-sektor sebagaimana dimaksud memberi dampak pada perkembangan industri yang menggunakan produk sektor tersebut sebagai input. Sektor-sektor primer yang memiliki output relatif besar semestinya memiliki keterkaitan ke depan yang besar pula, sehingga output tersebut dapat memberikan nilai tambah (value added) dalam perekonomian secara keseluruhan. Lampiran 49 justru memperlihatkan bahwa sektor primer tidak memiliki derajat kepekaan yang tinggi. Analisis pada bagian sebelumnya tentang ketergantungan ekspor juga memperlihatkan bahwa sebagian besar sektor primer memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap aktivitas ekspor. Permintaan akhir yang tinggi terhadap produk sektor primer mengakibatkan derajat kepekaannya menjadi rendah. Kebijakan pemerintah yang melarang ekspor bahan mentah terutama

83 55 produk pertanian antara lain bertujuan untuk menciptakan nilai tambah pada perekonomian secara keseluruhan. Daya penyebaran yang tinggi pada sektorsektor sekunder tidak diikuti derajat kepekaan yang tinggi pada sektor-sektor primer. Hal ini mengindikasikan tidak adanya link and match antara industri yang dibangun dengan sumber bahan baku yang tersedia. Strategi industrialisasi yang kurang tepat menyebabkan proses deindustrialisasi di Indonesia berjalan tidak alami dan cenderung negatif (Dewi 2010). Sektor industri makanan lain (32), industri pupuk dan pestisida (39), pengilangan minyak bumi (41), industri barang karet dan plastik (42), industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik (48) dan industri alat pengangkutan dan perbaikannya (49) adalah sektor-sektor sekunder dengan IFL yang bernilai lebih besar dari 1 dengan kecenderungan meningkat. Sementara sektor industri kertas, barang dari kertas dan karton (38), industri dasar besi dan baja (45), dan listrik, gas dan air minum (51) yang juga mempunyai nilai IFL lebih besar dari 1 namun cenderung menurun. Sektor lain dengan IFL bernilai lebih besar dari 1 adalah sektor industri kimia (40) dan bangunan (52) dengan besaran yang fluktuatif antar periode (Lampiran 50). Keterkaitan yang tinggi antar sektor dalam sektor sekunder akan mengakibatkan terjadinya proses aglomerasi. Selanjutnya aglomerasi yang terjadi diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan jika didukung atau berbasis pada sektor primer. Indeks keterkaitan ke depan sektor-sektor tersier disajikan pada Lampiran 51. Sektor perdagangan (53) adalah sektor tersier dengan IFL tertinggi sejak tahun 1971 dengan kecenderungan yang menurun. Sektor tersier lain yang memiliki nilai IFL lebih besar dari 1 adalah sektor angkutan darat (56), lembaga keuangan (61), usaha persewaan bangunan dan jasa perusahaan (62), dan jasa lain (65). Peranan sektor tersier akan menjadi semakin signifikan ketika proses industrialisasi berjalan mulus diikuti proses deindustrialisasi positif yang terjadi secara alamiah sebagaimana terjadi pada negara-negara industri Analisis Peran Sektoral Hubungan antara tren pangsa output dan tren pangsa permintaan antara terlihat pada Gambar 4.3 yang mengelompokkan sektor kedalam kuadran (urutan kuadran dibaca mulai dari kanan atas berlawanan arah jarum jam). Kuadran

84 trend pangsa permintaan antara 56 pertama memperlihatkan sektor-sektor yang semakin besar kontribusinya pada pertumbuhan output sekaligus semakin dibutuhkan dalam proses produksi sektor lain. Kuadran ini ditempati antara lain oleh sektor pertambangan selain minyak dan gas, sektor industri padat modal, sektor jasa teknologi informasi dan moda transportasi modern. Sementara kuadran ketiga ditempati subsektor pertanian tanaman pangan, moda transportasi dan beberapa industri pengolah produk pertanian seperti industri tepung (30), industri gula (31) dan industri rokok (34). Permasalahan bahan baku, inefisiensi produksi dan penurunan pangsa pasar menjadi faktor penyebab menurunnya tren pangsa output sektor industri tersebut (4,50) (3,00) (1,50) - 1,50 3, ,00 (1,00) 0,70 32 (3,00) (5,00) (0,35) , (0,70) (0,35) - 0,35 0, (0,70) 1 (7,00) trend pangsa output Gambar 4.3. Plot Tren Pangsa Output dan Tren Pangsa Permintaan Antara Tren pangsa permintaan antara sektor pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25) yang positif memperlihatkan sektor ini semakin dibutuhkan, namun dengan tren pangsa output yang negatif menjadikannya sebagai pencilan di kuadran kedua. Hal ini diakibatkan menurunnya eksplorasi dan produksi. Sektor-sektor ekonomi dituntut untuk mengadopsi teknologi untuk mampu memaksimalkan output sesuai tuntutan modernisasi di era informasi dan teknologi.

85 trend pangsa permintaan antara terhadap permintaan agregat 57 Gambar 4.4 memperlihatkan hubungan antara tren pangsa ekspor dan tren pangsa permintaan antara terhadap permintaan agregat. Sektor sekunder dengan tren pangsa ekspor terhadap permintaan agregat yang positif memiliki tren pangsa permintaan antara terhadap permintaan agregat yang negatif. Terdapat tiga sektor industri yang menempati kuadran pertama yaitu sektor industri pengawetan makanan (27), industri kimia (40) dan industri alat perlengkapan listrik (48). Artinya sektor ini memiliki pangsa pasar domestik maupun pangsa pasar ekspor yang cukup baik , (3,50) (1,75) , (0,75) , (2,25) trend pangsa ekspor terhadap permintaan agregat Gambar 4.4. Plot Tren Pangsa Ekspor terhadap Permintaan Agregat dan Tren Pangsa Permintaan Antara terhadap Permintaan Agregat Sementara itu hanya terdapat dua sektor primer yang memiliki tren pangsa ekspor terhadap permintaan agregat positif yaitu cengkeh (14) dan pertambangan lainnya (26) namun hanya sektor 26 yang menempati kuadran pertama. Sebagian besar sektor primer yang memiliki tren pangsa ekspor negatif memiliki tren pangsa permintaan antara positif (trade off) tetapi banyak juga yang

86 trend pangsa nilai tambah bruto 58 memiliki hubungan searah antara lain beberapa sektor pertanian tradisional. Upaya mengurangi ekspor bahan mentah produk pertanian terindikasi dari plot sektor pada Gambar 4.4 dan diharapkan terjadi penciptaan nilai tambah dari industri yang mengolah produk pertanian tersebut. Tren pangsa input (input akan sama dengan output) berbanding lurus dengan tren pangsa nilai tambah bruto seperti terlihat pada Gambar 4.5. Sektorsektor dengan tren pangsa input yang positif (seperti penjelasan Gambar 4.3) memiliki tren pangsa nilai tambah bruto yang juga positif demikian pula sektor dengan tren pangsa output negatif memiliki Tren pangsa nilai tambah bruto yang juga negatif kecuali sektor pemotongan hewan (19), industri rokok (34) dan sektor lain-lain (66). Sektor padi (1) dan pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25) menjadi pencilan dengan pangsa output maupun pangsa nilai tambah bruto yang terus menurun (4,50) (3,00) (1,50) ,50 3, (0,75) 34 1, , (2,75) (4,75) trend pangsa input ,20 0, (0,20) 8 (0,05) ,10 0, (0,10) (0,25) Gambar 4.5. Plot Tren Pangsa Input dan Tren Pangsa Nilai Tambah Bruto Meskipun tren pangsa output dan tren pangsa nilai tambah bruto bersifat searah tetapi sampai dengan tahun 2008 masih banyak sektor yang memiliki pangsa output dan pangsa nilai tambah bruto dibawah rata-rata. Bahkan terdapat beberapa sektor dengan pangsa output diatas rata-rata tetapi memiliki pangsa nilai

87 trend pengganda output 59 tambah bruto dibawah rata-rata, antara lain sektor industri minyak dan lemak (28), industri penggilingan padi (29), industri makanan lainnya (32), industri bambu, kayu, rotan (37) serta industri barang karet dan plastik (42). Sebagian besar sektor (lebih dari 70 persen) memiliki tren angka pengganda pendapatan yang positif. Pada kelompok sektor primer hanya Teh (13) sektor pertanian yang memiliki tren pengganda pendapatan negatif bersama dengan dua sektor pertambangan ; (24) dan (25). Sementara di kelompok tersier hanya ada sektor komunikasi (60) dan restoran dan hotel (54). 3, , (2,50) (1,25) ,25 2, (1,50) (3,00) trend pengganda pendapatan Gambar 4.6. Plot Tren Pengganda Pendapatan dan Tren Pengganda Output Sektor dengan tren pengganda pendapatan negatif juga memiliki tren pengganda output negatif, kecuali sektor industri tepung (30) dan pemotongan hewan (19). Gambar 4.6 memperlihatkan hubungan antara tren angka pengganda pendapatan dan tren angka pengganda output. Sektor 19 merupakan pencilan

88 trend keterkaitan kebelakang 60 dengan tren penurunan angka pengganda pendapatan yang sangat besar, tetapi sampai dengan tahun 2008 sektor ini masih memiliki angka pengganda pendapatan dan angka pengganda output diatas rata-rata. Hal ini berbeda dengan ketiga sektor primer dengan tren pengganda pendapatan negatif sebagaimana disebutkan sebelumnya, dimana ketiganya ternyata juga memiliki angka pengganda pendapatan dan angka penganda output dibawah rata-rata. Dari ketujuh indikator tren yang digunakan sebagai dasar keempat plot sektoral pada Gambar 4.3, 4.4, 4.5 dan 4.6 terdapat 4 (empat) sektor yang selalu memiliki tren positif. Keempat sektor tersebut adalah sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan (27), industri alat-alat dan perlengkapan listrik (48), angkutan udara (58) serta sektor usaha persewaan bangunan dan jasa perusahaan (62). Sampai dengan tahun 2008 sektor 27 dan sektor 48 masih memiliki pangsa output dan pangsa nilai tambah bruto diatas rata-rata, sedangkan kedua sektor lainnya memiliki pangsa dibawah rata-rata , , (2,00) (0,50) ,00 2, (1,00) (2,50) trend keterkaitan kedepan Gambar 4.7. Plot Tren Keterkaitan ke Depan dan Tren Keterkaitan ke Belakang Sektor-sektor yang memiliki potensi untuk menjadi sektor kunci dapat dilihat dari plot hubungan antara tren indeks keterkaitan antar sektor, baik ke depan (forward linkage) maupun ke belakang (backward linkage). Gambar 4.7 memperlihatkan hubungan antara tren kedua indeks keterkaitan tersebut. Sektor

89 61 primer yang berpotensi untuk menjadi sektor kunci antara lain jagung (3), kelapa sawit (10), tanaman perkebunan lain (16), tanaman lain (17) dan unggas (20). Sektor lain yang juga berpotensi untuk menjadi sektor kunci adalah sektor industri tepung (30) dan usaha persewaan bangunan dan jasa perusahaan (62). Sektor industri alat-alat dan perlengkapan listrik (48) dengan tren BL dan FL yang positif menjadikannya akan terus bertahan sebagai sektor kunci, berbeda dengan sektor listrik, gas dan air (51) serta sektor industri dasar besi dan baja (45) yang dikhawatirkan tidak dapat bertahan sebagai sektor kunci karena memiliki tren BL dan tren FL negatif. Sektor industri alat-alat dan perlengkapan listrik (48) merupakan satusatunya sektor kunci dalam perekonomian Indonesia yang memiliki Tren positif pada semua indikator sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Sektor usaha persewaan bangunan dan jasa perusahaan (62) juga memiliki tren positif pada semua indikator tetapi sampai dengan tahun 2008 belum mempunyai keterkaitan ke belakang yang kuat sehingga bukan merupakan sektor kunci. Dari hasil pengamatan tidak mungkin sektor pertanian secara luas (1-23) dapat diharapkan bisa menjadi sektor kunci, sementara sektor industri yang mengolah hasil pertanian juga belum memiliki kinerja yang bagus. Perlu perubahan teknis dalam upaya menciptakan pertumbuhan output dan nilai tambah pada sektor-sektor yang memiliki keterkaitan antar sektor yang tinggi (Gollin, et. al. 2002) Dinamika Sektor Kunci dalam Proses Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia Analisis keterkaitan antar sektor dapat mengidentifikasi sektor-sektor mana yang menjadi sektor kunci (key sector), yang dalam hal ini adalah sektorsektor yang mempunyai nilai indeks keterkaitan baik keterkaitan ke belakang (BL) maupun keterkaitan ke depan (FL) lebih besar dari 1. Pada sektor primer tidak terdapat sektor yang memiliki nilai IBL sekaligus nilai IFL yang lebih besar dari 1, artinya tidak ada sektor primer yang bisa disebut sebagai sektor kunci. Hal ini berarti tidak ada sektor primer yang menimbulkan penyerapan input dari sektor lain atau sektor itu sendiri serta alokasi output kepada sektor-sektor lainnya dan sektor itu sendiri secara langsung dan tidak langsung akibat peningkatan satu satuan output akhir sektor tersebut.

90 62 Sektor-sektor sekunder yang dapat dijadikan sebagai sektor kunci selain dilihat dari nilai IBL dan IFL yang lebih besar daripada 1, juga dilihat dari indeks penyebaran keterkaitan (spread index) nya. Indeks ini melihat bagaimana variasi penyebaran keterkaitan antar sektor, semakin kecil nilai indeks tersebut maka suatu sektor dikatakan memiliki keterkaitan yang lebih merata. Sektor kunci yang baik semestinya memiliki nilai indeks penyebaran keterkaitan yang kecil baik ke belakang (backward spread) maupun ke depan (forward spread). Jika suatu sektor memiliki keterkaitan yang kuat dan merata pada semua sektor dalam perekonomian maka dipastikan bahwa peningkatan output sektor tersebut akan menciptakan peningkatan besar pada output secara keseluruhan Dinamika Sektor Kunci Berdasarkan klasifikasi 66 sektor selama periode analisis terdapat 5 (lima) sektor yang mengolah hasil pertanian yang bisa disebut sebagai sektor kunci antara lain; sektor industri minyak dan lemak (28) pada tahun 1971 dan 1975, industri makanan lainnya (32) pada tahun , industri tekstil, pakaian dan kulit (36) pada tahun , industri bambu, kayu dan rotan (37) tahun 1971 dan 1975 dan industri kertas, barang dari kertas dan karton (38) pada tahun 1975, 1980, 1990 dan Sektor industri lain yang menjadi sektor kunci adalah industri pupuk dan pestisida (39) sejak tahun 1980 sampai tahun 2008, industri kimia (40) pada tahun 1971, 1975 dan , pengilangan minyak bumi (41) pada tahun serta industri barang karet dan plastik (42) pada tahun 1975, 1985, dan Selain itu juga terdapat beberapa industri berat yang menjadi sektor kunci, yaitu sektor industri dasar besi dan baja (45) hampir disepanjang periode pengamatan kecuali tahun 1975, industri logam dasar bukan besi (46) pada tahun 1971, 1990 dan 1995, industri barang dari logam (47) pada tahun , industri mesin, alat dan perlengkapan listrik (48) pada tahun 1971, 1975 dan serta sektor industri alat angkutan dan perbaikannya (49) pada tahun 1971, 1975, 1985 dan Sektor listrik, gas dan air (51) dan sektor bangunan (52) adalah dua sektor yang selalu menjadi sektor kunci di sepanjang periode analisis.

91 63 Sektor perdagangan (53) adalah sektor tersier yang baru menjadi sektor kunci pada tahun 2008, berbeda dengan sektor jasa lainnya (65) yang telah menjadi sektor kunci sejak 1975 sampai dengan tahun 2008 sementara restoran dan hotel (54) hanya menjadi sektor kunci pada tahun Sektor tersier lain yang merupakan sektor kunci adalah sektor angkutan darat (56) yaitu pada tahun 1980,1985 dan Tabel 4.9 berikut memperlihatkan 20 (dua puluh) sektor yang pernah menjadi sektor kunci sepanjang periode analisis. Sektor kunci yang masih bertahan pasca krisis (setelah tahun 2000) terlihat tetap menjadi sektor kunci pada periode berikutnya. Sektor-sektor industri yang mengolah hasil pertanian tidak mampu bertahan sebagai sektor kunci kecuali sektor industri barang dari karet dan plastik (42). Tabel 4.9. Sektor-sektor Kunci Perekonomian Indonesia Sektor Sektor Kunci (key sector) Keterangan: tanda ( ) menunjukkan eksistensi sektor kunci pada suatu periode Dinamika sektor kunci dalam perekonomian Indonesia memperlihatkan bahwa sektor yang mampu bertahan saat krisis ekonomi berhasil mempertahankan eksistensinya pasca krisis sampai akhir periode analisis. Beberapa sektor yang pernah menjadi sektor kunci pada awal periode analisis bahkan tidak mampu

92 64 mempertahankan eksistensinya. Terdapat beberapa faktor yang dimungkinkan menjadi penyebab tidak mampunya sektor kunci tersebut untuk bertahan. Sektor kunci sebagaimana dimaksud dapat dikelompokkan menurut karakteristik faktor penyebab ketidakmampuan bertahannya. Kelompok pertama adalah sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang besar sepanjang periode tetapi memiliki keterkaitan ke depan yang kecil diakhir periode, diikuti derajat ketergantungan ekspor yang tinggi (diatas 50 persen) dan cenderung meningkat. Sektor tersebut antara lain yaitu ; sektor industri minyak dan lemak (28), industri tekstil, pakaian dan kulit (36), industri bambu, kayu dan rotan (37) dan industri logam dasar bukan besi (46). Kelompok kedua adalah sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang maupun keterkaitan ke depan yang tinggi sepanjang periode analisis tetapi dengan daya sebar keterkaitan yang kecil (spread index yang tinggi) diakhir periode. Sektor tersebut adalah sektor industri kertas, barang dari kertas dan karton (38), industri kimia (40), industri alat angkutan dan perbaikannya (49). Sektorsektor ini masih bisa disebut sebagai sektor kunci tetapi memiliki angka pengganda yang cenderung menurun. Sektor industri barang dari logam (47) awalnya merupakan sektor kunci dengan keterkaitan ke belakang yang tinggi sepanjang periode tetapi diakhir periode memiliki keterkaitan ke depan yang rendah. Permintaan akhir yang terus meningkat sejak 1990 terhadap produk sektor ini diduga menjadi penyebabnya. Sementara itu sektor restoran dan hotel (54) dengan keterkaitan ke belakang yang tinggi disepanjang periode hanya memiliki keterkaitan ke depan yang tinggi pada tahun Hal ini karena sebagian besar output sektor ini merupakan permintaan akhir swasta (C) yang terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk. Hal ini berbeda dengan sektor perdagangan (53) dengan keterkaitan ke depan yang tinggi sepanjang periode tetapi memiliki keterkaitan ke belakang yang rendah, kecuali tahun Meskipun output sektor perdagangan merupakan yang terbesar kedua dalam komposisi output total sepanjang periode analisis, tetapi sektor ini bukanlah sektor kunci karena karakteristiknya yang tidak banyak menggunakan output sektor lain sebagi input.

93 Multiplier Product Matrix Multiplier Product Matrix (MPM) yang diilustrasikan secara grafis memperlihatkan perubahan struktural perekonomian (economic landscape) Indonesia sejak 1971 hingga Variasi ukuran kuantitatif atas hubungan antarsektor dalam perekonomian yang diperoleh dari MPM dapat disusun berdasarkan hirarki tertentu, dimana FL diurutkan dari nilai terkecil dan BL diurutkan dari nilai terbesar sesuai urutan sebagaimana terlihat pada Lampiran 64 dan 65. Gambar pada Lampiran 69 menggambarkan lanskap ekonomi Indonesia tahun yang disusun berdasarkan besarnya nilai MPM dari sudut yang paling besar sampai yang terkecil dari seluruh sel untuk masing-masing periode. Urutan ini mengindikasikan urutan besarnya pengaruh total sektor tersebut kedalam perekonomian. Gambar 4.8. Lanskap Ekonomi Indonesia berdasarkan Hirarki Tahun 1971 Gambar 4.8 menggambarkan lanskap ekonomi Indonesia tahun 1971 dan 2008 yang disusun berdasarkan hirarki tahun Sel tertinggi pada hirarki tahun 1971 adalah (53;66) dan terendah adalah (63;63). Sektor perdagangan (53) memiliki IFL tertinggi dan sektor lain-lain (66) memiliki IBL tertinggi. Sektor pemerintahan umum dan pertahanan (63) pada awal periode penelitian merupakan sektor dengan indeks keterkaitan yang paling rendah. Penggambaran lanskap untuk masing-masing periode dengan hirarki tahun tertentu dilakukan untuk membuat perbandingan antara satu periode dengan periode dasar hirarki. Lampian 70 menyajikan visualisasi lanskap ekonomi Indonesia tahun berdasarkan hirarki tahun 1971, sedangkan lanskap ekonomi yang

94 66 didasarkan pada hirarki tahun 2008 disajikan pada Lampiran 71. Perbedaan tinggi grafik batang dalam setiap sel untuk kedua periode menunjukkan adanya perubahan keterkaitan antarsektor tersebut dengan sektor-sektor lainnya atau terjadi perubahan struktur dalam perekonomian. Grafik ini memperlihatkan bahwa telah terjadi perubahan dalam struktur perekonomian Indonesia dari tahun 1971 ke tahun 2008, dimana visualisasi lanskap ekonomi tahun 2008 sudah tidak mulus sebagaimana tahun 1971 walaupun tidak mengalami perubahan drastis. Perubahan struktur secara lebih detil dapat dilihat dari selisih besaran angka MPM untuk setiap sel. Sel yang memiliki nilai selisih yang relatif besar menunjukkan adanya perubahan yang relatif besar dari interaksi sektor-sektor tersebut dalam perkonomian. Perubahan dari periode ke periode yang disajikan pada Gambar 4.9 menggambarkan perubahan peran sektoral dalam proses transformasi struktural perekonomian Indonesia. Selisih besaran sel MPM periode tertentu dengan MPM periode sebelumnya menggambarkan perubahan peranan sektoral. Perubahan yang terjadi antara lain terkait dengan sektor-sektor sebagaimana terlihat pada Tabel Tabel Perubahan (signifikan) Peran Sektoral antar Periode Perubahan Negatif 25, 41, 53, 56, 65, , 45, , 41, 53 4, 40, 48, Positif 40, 45, 48, 49 25, 38, 40, 41, 45, 48, 49 41, 53, 66 40, , 25, 32, 41, 49, 53 41, 48 25, 39 Perubahan negatif yang relatif signifikan hampir selalu terjadi pada sel MPM yang terkait dengan sektor perdagangan (53). Hal ini menunjukkan kecenderungan penurunan peran sektor perdagangan. Sementara itu perubahan positif yang signifikan terjadi pada beberapa sel yang antara lain terkait dengan sektor pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25), pengilangan minyak bumi (41), industri alat dan perlengkapan listrik (48) dan industri alat pengangkutan (49). Peningkatan peran sektor-sektor tersebut juga terlihat pada perkembangan beberapa indikator yang diturunkan dari analisis model IO sebelumnya.

95 Gambar 4.9. Perubahan Peran Sektoral antar Periode

96 68 Gambar 4.10 memperlihatkan akumulasi perubahan yang terjadi pada lanskap ekonomi Indonesia sejak tahun 1971 sampai dengan tahun Akumulasi perubahan yang signifikan pada sel-sel MPM sepanjang periode penelitian yang diilustrasikan oleh gambar tersebut antara lain terkait dengan sektor-sektor sebagaimana terlihat pada Tabel 4.11 dan Tabel Sel-sel MPM dengan Perubahan Negatif Baris Kolom 1; 33, 34, 36, 39, 40, 41, 44, 45, 47, 54, 60, 66 9; 66 21; 66 23; 66 28; 66 36; 66 37; 66 42; 66 45; 66 46; 66 51; 66 53; 33, 34, 36, 39, 41, 44, 45, 47, 54, 60, 66 56; 33, 34, 36, 39, 40, 41, 44, 45, 47, 50, 52, 54, 55, 60, 66 65; 66 66; 34, 36, 39, 44, 45, 47, 54, 66 Keterangan: sel MPM (baris;kolom) menunjukkan interaksi antarsektor Sel-sel yang mengalami perubahan negatif cukup signifikan dengan besaran penurunan diatas 0,02 meliputi beberapa sel pada baris dan kolom sebagaimana terlihat pada Tabel Sel-sel yang mengalami perubahan negatif tersebut artinya mengalami penurunan tingkat peranan dalam perekonomian tahun 2008 dibanding kondisi tahun Penurunan peranan antara lain terlihat pada beberapa sel yang terkait dengan sektor padi (1), perdagangan (53), angkutan darat (56) dan lain-lain yang tidak jelas batasannya (66). Sementara itu, sel-sel yang mengalami perubahan positif dengan besaran peningkatan diatas 0,02 dapat dilihat pada Tabel Sel-sel yang mengalami perubahan positif tersebut artinya mengalami peningkatan peranan dalam perekonomian dibanding kondisi tahun 1971.

97 Gambar Akumulasi Perubahan Peran Sektoral Tahun

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Stabilisasi dan liberalisasi ekonomi pada akhir dekade 1960-an terbukti merupakan titik awal bagi pembangunan ekonomi dan industri. Pergeseran kepemimpinan nasional dari

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis Teori Klasik Pembangunan Ekonomi Perubahan Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis Teori Klasik Pembangunan Ekonomi Perubahan Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis Beberapa teori yang ditinjau untuk mendukung penelitian ini adalah teori pembangunan ekonomi, hubungan perubahan struktur dan pertumbuhan ekonomi, teori perubahan

Lebih terperinci

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif.

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif. 5. RANGKUMAN HASIL Dari hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat dirangkum beberapa poin penting sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu: 1. Deviasi hasil estimasi total output dengan data aktual

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengujian Model Input Output Koefisien teknis dalam Tabel Input Output menunjukkan kontribusi suatu sektor dalam pembentukan output total secara langsung. Besaran koefisien

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Distribusi Input dan Output Produksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Distribusi Input dan Output Produksi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Dasar 2.1.1 Distribusi Input dan Output Produksi Proses produksi adalah suatu proses yang dilakukan oleh dunia usaha untuk mengubah input menjadi output. Dunia usaha

Lebih terperinci

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 TABEL INPUT OUTPUT Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Penelitian ini mencakup perekonomian nasional dengan obyek yang diteliti adalah peranan sektor kehutanan dalam perekonomian nasional dan perubahan struktur

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 27 III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Kerangka Pemikiran Kebutuhan untuk menggunakan I-O Regional dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi NTT semakin terasa penting jika dikaitkan dengan pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti pertumbuhan pendapatan perkapita, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi

Lebih terperinci

DEINDUSTRIALISASI DI INDONESIA : ANALISIS DENGAN PENDEKATAN KALDORIAN DIAH ANANTA DEWI

DEINDUSTRIALISASI DI INDONESIA : ANALISIS DENGAN PENDEKATAN KALDORIAN DIAH ANANTA DEWI DEINDUSTRIALISASI DI INDONESIA 1983 2008: ANALISIS DENGAN PENDEKATAN KALDORIAN DIAH ANANTA DEWI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 ABSTRACT DIAH ANANTA DEWI. Deindustrialization

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Kuncoro (2010: 4) menyebutkan bahwa pembangunan di Negara Sedang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Kuncoro (2010: 4) menyebutkan bahwa pembangunan di Negara Sedang BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Kuncoro (2010: 4) menyebutkan bahwa pembangunan di Negara Sedang Berkembang (NSB) pada awalnya identik dengan strategi pertumbuhan ekonomi, yaitu usaha untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang, mengikuti pertumbuhan pendapatan nasional, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi

Lebih terperinci

SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI INDONESIA TAHUN 2008 ISSN : 0216.6070 Nomor Publikasi : 07240.0904 Katalog BPS : 9503003 Ukuran Buku : 28 x 21 cm Jumlah Halaman : 94 halaman Naskah : Subdirektorat Konsolidasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan III. METODE PENELITIAN Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan hipotesis, melainkan hanya mendeskripsikan

Lebih terperinci

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH J. Agroland 17 (1) : 63 69, Maret 2010 ISSN : 0854 641X PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH The Effect of Investment of Agricultural

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Perekonomian Provinsi Jambi 5.1.1 Struktur Permintaan Berdasarkan tabel Input-Output Provinsi Jambi tahun 2007 klasifikasi 70 sektor, total permintaan Provinsi Jambi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Kesimpulan yang dapat dikemukakan terkait hasil penelitian, yaitu.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Kesimpulan yang dapat dikemukakan terkait hasil penelitian, yaitu. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat dikemukakan terkait hasil penelitian, yaitu. 1. Sektor industri pengolahan memiliki peranan penting terhadap perekonomian Jawa Barat periode

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi. III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Input-Output Integrasi ekonomi yang menyeluruh dan berkesinambungan di antar semua sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengetahui dinamika pembangunan suatu negara, dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengetahui dinamika pembangunan suatu negara, dapat dilihat dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk mengetahui dinamika pembangunan suatu negara, dapat dilihat dari besarnya kontribusi sektoral terhadap pendapatan nasional dari tahun ke tahun, perubahan kontribusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA TENGAH (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA TENGAH (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman 1-9 http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan

Lebih terperinci

Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di

Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di 120 No. 1 2 3 4 Tabel 3.5 Kegiatan Pembangunan Infrastruktur dalam MP3EI di Kota Balikpapan Proyek MP3EI Pembangunan jembatan Pulau Balang bentang panjang 1.314 meter. Pengembangan pelabuhan Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Kewenangan Pemerintah Daerah menjadi sangat luas dan strategis setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan berpedoman

Lebih terperinci

PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA (ANALISA INPUT OUTPUT)

PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA (ANALISA INPUT OUTPUT) M-4 PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA (ANALISA INPUT OUTPUT) Arif Rahman Hakim 1), Rai Rake Setiawan 2), Muhammad Safar Nasir 3), Suripto 4), Uswatun Khasanah 5) 1,2,3,4,5) Prodi

Lebih terperinci

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) OLEH SRI MULYANI H14103087 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

Analisis Input-Output (I-O)

Analisis Input-Output (I-O) Analisis Input-Output (I-O) Di Susun Oleh: 1. Wa Ode Mellyawanty (20100430042) 2. Opissen Yudisyus (20100430019) 3. Murdiono (20100430033) 4. Muhammad Samsul (20100430008) 5. Kurniawan Yuda (20100430004)

Lebih terperinci

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah 48 V. DUKUNGAN ANGGARAN DALAM OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN BERBASIS SEKTOR UNGGULAN 5.1. Unggulan Kota Tarakan 5.1.1. Struktur Total Output Output merupakan nilai produksi barang maupun jasa yang dihasilkan

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau

I. PENDAHULUAN. (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan (4)

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT 5.1. Peran Infrastruktur dalam Perekonomian Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbagai teori pembangunan ekonomi, mulai dari teori ekonomi klasik (Adam Smith, Robert Malthus dan David Ricardo) sampai dengan teori ekonomi modern (W.W. Rostow dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang perekonomian pada suatu wilayah adalah dengan melihat pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan sejauh

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Simulasi Model Pertumbuhan kegiatan kepariwisataan di Indonesia yang dikaitkan dengan adanya liberalisasi perdagangan, dalam penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan model

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Suryana (2000 : 3), mengungkapkan pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat

Lebih terperinci

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono UNIVERSITAS INDONESIA TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono NAMA Sunaryo NPM 0906584134 I Made Ambara NPM 0906583825 Kiki Anggraeni NPM 090xxxxxxx Widarto Susilo NPM 0906584191 M. Indarto NPM 0906583913

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten Banjarnegara Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai peranan ekonomi sektoral ditinjau dari struktur permintaan, penerimaan

Lebih terperinci

ANALISIS POLA PERUBAHAN STRUKTURAL DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN DALAM EKONOMI JAWA BARAT

ANALISIS POLA PERUBAHAN STRUKTURAL DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN DALAM EKONOMI JAWA BARAT Pola Perubahan Struktural dan Sumber-Sumber Pertumbuhan dalam Ekonomi (E.W. Nugrahadi et al.) ANALISIS POLA PERUBAHAN STRUKTURAL DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN DALAM EKONOMI JAWA BARAT (Analysis of Structural

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut,

Lebih terperinci

JURNAL AKUNTANSI & EKONOMI FE. UN PGRI Kediri Vol. 2 No. 2, September 2017

JURNAL AKUNTANSI & EKONOMI FE. UN PGRI Kediri Vol. 2 No. 2, September 2017 PERAN SEKTOR BERBASIS INDUSTRI PADA PEREKONOMIAN PROVINSI JAWA TIMUR (Pendekatan Input-Output) Edy Santoso FEB - Universitas Jember edysantoso@unej.ac.id Abstract The development of industrial sector strongly

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. mengedepankan dethronement of GNP, pengentasan garis kemiskinan,

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. mengedepankan dethronement of GNP, pengentasan garis kemiskinan, 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional yang berfokus pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Subsidi Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung

Lebih terperinci

(Klasifikasi 14 Propinsi Berdasarkan Tabel IO Propinsi Tahun 2000) Dyah Hapsari Amalina S. dan Alla Asmara

(Klasifikasi 14 Propinsi Berdasarkan Tabel IO Propinsi Tahun 2000) Dyah Hapsari Amalina S. dan Alla Asmara 69 Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009) KETERKAITAN ANTAR SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN DI INDONESIA Dyah Hapsari Amalina S. 1 dan Alla Asmara 2 1 Alumni Departemen

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan adalah data sekunder yang sebagian besar berasal

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan adalah data sekunder yang sebagian besar berasal 39 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data sekunder yang sebagian besar berasal dari Tabel Input-Output Kota Bontang Tahun 2010 klasifikasi 46 sektor yang diagregasikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN INDONESIA

PEREKONOMIAN INDONESIA PEREKONOMIAN INDONESIA Modul ke: TRANSFORMASI STRULTURAL Matsani, S.E, M.M EKONOMI BISNIS Fakultas Program Studi AKUNTANSI www.mercubuana.ac.id TRANSFORMASI STRUKTURAL. Transformasi struktural berarti

Lebih terperinci

DAMPAK KETERGANTUNGAN PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI TERHADAP SUMBERDAYA ALAM TAK TERBARUKAN (PEMBERLAKUAN KUOTA EKSPOR BATUBARA)

DAMPAK KETERGANTUNGAN PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI TERHADAP SUMBERDAYA ALAM TAK TERBARUKAN (PEMBERLAKUAN KUOTA EKSPOR BATUBARA) DAMPAK KETERGANTUNGAN PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI TERHADAP SUMBERDAYA ALAM TAK TERBARUKAN (PEMBERLAKUAN KUOTA EKSPOR BATUBARA) OLEH BUDI KURNIAWAN H14094019 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA

V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA 5.1. Struktur Perkonomian Sektoral Struktur perekonomian merupakan suatu analisis yang dilakukan terhadap struktur Produk Domestik

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN DAN SIMULASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SUATU PEREKONOMIAN

IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN DAN SIMULASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SUATU PEREKONOMIAN IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN DAN SIMULASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SUATU PEREKONOMIAN Hadi Sutrisno Dosen Fakultas Ekonomi Prodi Akuntansi Universitas Darul Ulum Jombang Jl Gus Dur 29 A Jombang Email : hadiak@undaracid

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAN DAMPAK PENGGANDA SEKTOR PERIKANAN PADA PEREKONOMIAN JAWA TENGAH : ANALISIS INPUT OUTPUT

ANALISIS KETERKAITAN DAN DAMPAK PENGGANDA SEKTOR PERIKANAN PADA PEREKONOMIAN JAWA TENGAH : ANALISIS INPUT OUTPUT ANALISIS KETERKAITAN DAN DAMPAK PENGGANDA SEKTOR PERIKANAN PADA PEREKONOMIAN JAWA TENGAH : ANALISIS INPUT OUTPUT OLEH: Abdul Kohar Mudzakir Dosen Lab Sosek Perikanan, Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik pula perekonomian negara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Ekonomi Pembangunan Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ALAT ANALISIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ALAT ANALISIS DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv PRAKATA... v DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PETERNAKAN DAN PERIKANAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT

PERANAN SEKTOR PETERNAKAN DAN PERIKANAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT PERANAN SEKTOR PETERNAKAN DAN PERIKANAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT THE ROLE OF THE LIVESTOK AND FISHERY SECTOR TO ECONOMY OF RIAU PROVINCE: ANALYSIS OF THE INPUT-OUTPUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Kesempatan Kerja Para pakar ekonomi dan perencanaan pembangunan cenderung sepakat dalam memandang pembangunan ekonomi sebagai suatu kebutuhan bagi suatu

Lebih terperinci

Sebagai suatu model kuantitatif, Tabel IO akan memberikan gambaran menyeluruh mengenai: mencakup struktur output dan nilai tambah masingmasing

Sebagai suatu model kuantitatif, Tabel IO akan memberikan gambaran menyeluruh mengenai: mencakup struktur output dan nilai tambah masingmasing Model Tabel Input-Output (I-O) Regional Tabel Input-Output (Tabel IO) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian yang digunakan Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitatif, yaitu penelitian yang sifatnya memberikan gambaran secara umum bahasan yang diteliti

Lebih terperinci

V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO. Komparasi sektor industri agro Indonesia dengan China dan Thailand

V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO. Komparasi sektor industri agro Indonesia dengan China dan Thailand V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO 5.1. Struktur Industri Agro Komparasi sektor industri agro Indonesia dengan China dan Thailand diawali dengan meneliti persentase

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian.

I. PENDAHULUAN. kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bukti empiris menunjukkan sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian sebagian besar negara berkembang. Hal ini dilihat dari peran sektor

Lebih terperinci

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) IRIO memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa analisa. Kemampuan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI,PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI, DAN KRISIS EKONOMI

PERTUMBUHAN EKONOMI,PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI, DAN KRISIS EKONOMI PERTUMBUHAN EKONOMI,PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI, DAN KRISIS EKONOMI Pertambahan jumlah penduduk setiap tahun akan menimbulkan konsekwensi kebutuhan konsumsi juga bertambah dan dengan sendirinya dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur masuk dan keluarnya perusahaan dari sebuah indutri, standar mutu

BAB I PENDAHULUAN. mengatur masuk dan keluarnya perusahaan dari sebuah indutri, standar mutu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu Negara, pemerintah mempunyai berbagai kekuasaan untuk mengatur masuk dan keluarnya perusahaan dari sebuah indutri, standar mutu produk, menetapkan

Lebih terperinci

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL 7.. Analisis Multiplier Output Dalam melakukan kegiatan produksi untuk menghasilkan output, sektor produksi selalu membutuhkan input, baik input primer

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pikir Penelitian Kerangka pikir merupakan suatu hal yang diperlukan dalam setiap penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya

Lebih terperinci

STRUKTUR EKONOMI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

STRUKTUR EKONOMI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR STRUKTUR EKONOMI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Fitriadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman Abstract Economic structure of the province of East Kalimantan, tend not to change because it is still

Lebih terperinci

M-3 SEKTOR TERSIER DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA (ANALISA INPUT OUTPUT)

M-3 SEKTOR TERSIER DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA (ANALISA INPUT OUTPUT) M-3 SEKTOR TERSIER DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA (ANALISA INPUT OUTPUT) Arif Rahman Hakim 1), Mita Adhisti 2), Rifki Khoirudin 3), Lestari Sukarniati 4), Suripto 5) 1,2,3,4,5) Prodi Ekonomi Pembangunan

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT

PERANAN SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT PERANAN SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT THE ROLE OF THE AGROINDUSTRY SECTOR TO ECONOMY OF RIAU PROVINCE: ANALYSIS OF THE INPUT-OUTPUT STRUCTURE Pradita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu pertumbuhan, penanggulangan kemiskinan, perubahan atau transformasi

BAB I PENDAHULUAN. yaitu pertumbuhan, penanggulangan kemiskinan, perubahan atau transformasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu pertumbuhan, penanggulangan kemiskinan, perubahan atau transformasi ekonomi dan keberlanjutan

Lebih terperinci

ANALISA KETERKAITAN SEKTOR EKONOMI DENGAN MENGGUNAKAN TABEL INPUT - OUTPUT

ANALISA KETERKAITAN SEKTOR EKONOMI DENGAN MENGGUNAKAN TABEL INPUT - OUTPUT ANALISA KETERKAITAN SEKTOR EKONOMI DENGAN MENGGUNAKAN TABEL INPUT - OUTPUT Pertumbuhan ekonomi NTT yang tercermin dari angka PDRB cenderung menunjukkan tren melambat. Memasuki awal tahun 2008 ekspansi

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL INPUT-OUTPUT

ANALISIS MODEL INPUT-OUTPUT PELATIHAN UNTUK STAF PENELITI Puslitbang Penyelenggaraan Pos dan Telekomunikasi ANALISIS MODEL INPUT-OUTPUT Oleh Dr. Uka Wikarya Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universtas

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR PEREKONOMIAN BALI: PENDEKATAN SHIFT SHARE

ANALISIS STRUKTUR PEREKONOMIAN BALI: PENDEKATAN SHIFT SHARE ANALISIS STRUKTUR PEREKONOMIAN BALI: PENDEKATAN SHIFT SHARE Christina Hani Putri 1 Surya Dewi Rustariyuni Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana ABSTRAK Tujuan penelitian ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkembangnya perekonomian dunia pada era globalisasi seperti saat ini memacu setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya saing. Salah satu upaya

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG 2008 2011 NOMOR KATALOG : 9302008.1114 UKURAN BUKU JUMLAH HALAMAN : 21,00 X 28,50 CM : 78 HALAMAN + XIII NASKAH : - SUB BAGIAN TATA USAHA - SEKSI STATISTIK SOSIAL

Lebih terperinci

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H14101038 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA 6.1. Perkembangan Peranan dan Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Maluku Utara Kemajuan perekonomian daerah antara lain diukur dengan: pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri.

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu pertumbuhan, penanggulangan kemiskinan, perubahan atau transformasi ekonomi dan keberlanjutan pembangunan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA Andi Tabrani Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing, BPPT, Jakarta Abstract Identification process for

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. transformasi struktur ekonomi di banyak Negara. Sebagai obat, industrialisasi. ketimpangan dan pengangguran (Kuncoro, 2007).

BAB 1 PENDAHULUAN. transformasi struktur ekonomi di banyak Negara. Sebagai obat, industrialisasi. ketimpangan dan pengangguran (Kuncoro, 2007). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sektor Industri merupakan sektor yang menjadi mesin pertumbuhan bagi sebuah perekonomian. Industiralisasi dianggap sebagai strategi sekaligus obat bagi banyak Negara.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hal-hal yang akan diuraikan dalam pembahasan dibagi dalam tiga bagian yakni bagian (1) penelaahan terhadap perekonomian Kabupaten Karo secara makro, yang dibahas adalah mengenai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Ketenagakerjaan merupakan isu penting dalam sebuah aktivitas bisnis dan perekonomian Indonesia. Angkatan kerja, penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi (suprime mortgage) di AS secara tiba-tiba berkembang menjadi krisis

BAB I PENDAHULUAN. tinggi (suprime mortgage) di AS secara tiba-tiba berkembang menjadi krisis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian dunia saat ini dihadapkan pada suatu perubahan drastis yang tak terbayangkan sebelumnya. Krisis kredit macet perumahan beresiko tinggi (suprime mortgage)

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada 9 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Definsi Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada wilayah analisis. Tingkat pendapatan dapat diukur dari total pendapatan wilayah

Lebih terperinci

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jadi, dengan menggunakan simbol Y untuk GDP maka Y = C + I + G + NX (2.1)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jadi, dengan menggunakan simbol Y untuk GDP maka Y = C + I + G + NX (2.1) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Investasi Pendapatan nasional membagi PDB menjadi empat kelompok, antara lain konsumsi (C), investasi (I), pembelian pemerintah (G), dan ekspor netto

Lebih terperinci

VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan

VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN 7.1. Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan Peran strategis suatu sektor tidak hanya dilihat dari kontribusi terhadap pertumbuhan output, peningkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama. Industrialisisasi dimasa sekarang tidak dapat terlepas dari usaha dalam

I. PENDAHULUAN. utama. Industrialisisasi dimasa sekarang tidak dapat terlepas dari usaha dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian dewasa ini masih sering dianggap sebagai penunjang sektor industri semata. Meskipun sesungguhnya sektoral pertanian bisa berkembang lebih dari hanya

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE KATA PENGANTAR Buku Indikator Ekonomi Kota Lubuklinggau ini dirancang khusus bagi para pelajar, mahasiswa, akademisi, birokrat, dan masyarakat luas yang memerlukan data dan informasi dibidang perekonomian

Lebih terperinci