POSITION PAPER KPPU TERHADAP FUEL SURCHARGE MASKAPAI PENERBANGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "POSITION PAPER KPPU TERHADAP FUEL SURCHARGE MASKAPAI PENERBANGAN"

Transkripsi

1 POSITION PAPER KPPU TERHADAP FUEL SURCHARGE MASKAPAI PENERBANGAN 1. Latar Belakang Fuel surcharge merupakan sebuah komponen tarif baru dalam maskapai penerbangan yang ditujukan untuk menutup biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur yang signifikan sebagai imbas dari kenaikan harga minyak dunia. Fenomena pemberlakuan fuel surcharge dalam industri penerbangan sesungguhnya merupakan sebuah fenomena yang juga berlaku di beberapa belahan dunia. Hal ini bisa dipahami mengingat biaya yang diakibatkan oleh kenaikan avtur sangat signifikan bagi maskapai penerbangan. Semua stakeholder penerbangan telah bersepakat bahwa implementasi fuel surcharge sebagai komponen tarif penerbangan merupakan sebuah hal yang bisa dipahami, selama fuel surcharge tersebut memang ditujukan untuk menutup kenaikan biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur semata. Dalam perkembangan di Indonesia, fuel surcharge memperlihatkan perkembangan yang cukup mencengangkan. Dimulai dengan harga Rp / liter pada Mei 2006 pada saat harga avtur Rp 5.920/liter kemudian merangkak naik dan menjadi Rp pada saat harga avtur Rp 8.206/liter pada bulan Desember Kenaikan 8-24 kali, adalah sebuah kenaikan yang luarbiasa besar, sementara pada saat yang sama kenaikan avtur tidak mencapai 2 kali lipatnya. Memperhatikan hal tersebut, maka KPPU kemudian memutuskan untuk melakukan kajian dan analisa terhadap pemberlakuan fuel surcharge tersebut, dengan hipotesis sangat dimungkinkan bahwa kenaikan yang sangat signifikan tersebut dan menyebabkan tarif yang eksesif tersebut, akibatkan oleh perilaku pelaku usaha yang bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1999 atau karena kebijakan yang tidak tepat. 1

2 2. Definisi Fuel Surcharge Fuel surcharge merupakan sebuah komponen baru dalam tarif jasa penerbangan Indonesia baik domestik maupun internasional, yang terpisah dari komponen biaya yang telah ada selama ini. Pemberlakuan fuel surcharge sebagai komponen tarif merupakan upaya maskapai penerbangan Indonesia seizin Pemerintah (Departemen Perhubungan) selaku regulator, dalam menghadapi kenaikan biaya akibat harga avtur yang meningkat drastis, seiring dengan peningkatan harga minyak dunia. Jadi fuel surcharge merupakan sebuah komponen tarif yang ditujukan untuk menutup biaya maskapai yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur semata, sehingga besaran fuel surcharge keseluruhan harus sama persis dengan selisih harga avtur yang harus dibayar maskapai akibat kenaikan harga avtur. Pemberlakuan kebijakan fuel surcharge merupakan fenomena yang terjadi secara universal di berbagai belahan dunia, dalam menghadapi kenaikan harga avtur yang sangat drastis. Tidaklah mengherankan kemudian apabila Pemerintah Indonesia juga kemudian menyetujui pemberlakuan fuel surcharge tersebut, yang usulnya datang dari maskapai penerbangan. Dalam implementasinya fuel surcharge merupakan sebuah komponen biaya yang semata-mata diberlakukan untuk menutup biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur. Hal ini memiliki pengertian bahwa biaya fuel surcharge ini, tidak boleh menjadi unsur untuk meraih keuntungan. 3 Struktur Pasar Industri Penerbangan Sebelum beranjak lebih jauh, ada baiknya kita melihat struktur industri dalam industri penerbangan Indonesia, yang dapat menjadi gambaran bagaimana dinamika persaingan dalam industri tersebut. Berdasarkan data-data tahun 2008 dalam industri jasa penerbangan domestik, struktur industri penerbangan dapat digambarkan sebagai berikut : 2

3 Tabel 1 Struktur Industri Maskapai Penerbangan Domestik Arus penumpang penerbangan domestik 2008 Maskapai Penumpang Pangsa Pasar Batavia Air % Mandala Airlines % Garuda Indonesia % Merpati Nusantara Airlines % Indonesia AirAsia % Kartika Air % Lion Air % Riau Airlines % Sriwijaya Air % Travel Express % Wing Abadi % Trigana Air Service % Linus Airways % Indonesia Air Transport % Kalstar Aviation % Sumber : Dirjen Perhubungan udara 4. Perkembangan Fuel Surcharge dalam Jasa Penerbangan Indonesia. 4.1 Kontroversi di awal Pemberlakuan fuel surcharge awalnya menimbulkan polemik yang berkepanjangan, terutama berkaitan dengan pihak yang berwenangan mengatur fuel surcharge tersebut. Awalnya fuel surcharge dilakukan sebagai kesepakatan Indonesian National Air Carrier Association (INACA), dengan menentukan besaran sebesar Rp /penumpang 1 pada bulan Mei Besaran ini dibuat dengan berpatokan pada harga avtur rata-rata yang naik ke posisi Rp 5.600/liter sejak 1 Mei 2006, sehingga komposisi bahan bakar dalam biaya meningkat menjadi sekitar 40%. Dasar perhitungan lainnya yang digunakan adalah tipe pesawat Boeing dengan tingkat isian (load factor) 70%. Salah satu asumsi juga disampaikan oleh Menteri Perhubungan saat itu, Bapak Hatta Rajasa yang menyatakan bahwa fuel surcharge diterapkan dengan 1 Bisnis Indonesia 5 Mei 2006 : INACA tetapkan fuel surcharge penerbangan 3

4 memperhitungkan kenaikan harga avtur sebsar 14 % dari posisi awal Rp Melalui asumsi ini, maka disampaikan bahwa fuel surcharge akan hilang dengan sendirinya apabila harga avtur kembali ke posisi tersebut 2. Menteri perhubungan memperbolehkan pemberlakuan fuel surcharge asal diterapkan secara transparan dan dipisahkan dari harga tiket. Penetapan fuel surcharge oleh INACA kemudian mendapatkan penentangan, termasuk dari KPPU karena dianggap merupakan bentuk nyata dari kartel 3. Menyikapi hal ini maka kemudian INACA menyatakan keputusan menetapkan besaran fuel surcharge dibatalkan dan besaran fuel surcharge diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar oleh setiap maskapai penerbangan Fuel Surcharge terus berlaku sekalipun harga avtur turun Selepas INACA membatalkan penetapan harga fuel surcharge dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar, maka kemudian setiap maskapai melakukan penetapan masing-masing. Setiap maskapai memiliki kebebasan untuk menetapkan tarif tanpa terpengaruh pihak maskapai lain. Tanggal 1 Mei 2006 sebagaimana disebutkan sebelumnya, INACA menetapkan fuel surcharge sebesar Rp /kursi. Setelah INACA menyatakan fuel surcharge diserahkan kepada setiap maskapai penerbangan, maka kemudian setiap maskapai mengimplementasikannya masing-masing sesuai dengan kebijakan perusahaannya. Beberapa catatan harga fuel surcharge yang bisa dideteksi dalam perkembangan berikutnya yang dimonitor oleh KPPU berdasarkan berbagai pemberitaan di surat kabar dapat disampaikan sebagai berikut : 1. Tanggal 1 Agustus 2006 Air Asia menaikkan fuel surcharge dari Rp /kursi menjadi Rp /kursi Tanggal 1 Januari 2007 Maskapai penerbangan menaikkan harga fuel surcharge dari Rp /kursi menjadi Rp /kursi 6. 2 Kompas 5 Mei 2006 : Penumpang Dikenai "Fuel Surcharge" 3 Bisnis Indonesia 24 Mei 2006 : INACA dituduh lakukan praktik kartel 4 Jawa Pos 5 Juni 2006 : Fuel Surcharge Dibatalkan 5 Bisnis Indonesia 27 Juli 2006 : IAA naikkan biaya tambahan bahan bakar 4

5 3. Tanggal 15 Agustus 2007 beberapa maskapai antara lain Mandala Air, Adam Air dan Garuda Indonesia menaikkan tarif fuel surcharge dari Rp /kursi menjadi Rp /kursi. Secara khusus Mandala Air menaikkan dari Rp /kursi menjadi Rp /kursi Tanggal 28 September 2007 fuel surcharge Mandala Air naik dari Rp /kursi menjadi Rp /kursi. 5. Tanggal 4 November 2007 Merpati Airlines memberlakukan kenaikan fuel surcharge menjadi Rp dari harga sebelumnya Rp Tanggal 1 April 2008 Garuda Indonesia menaikkan fuel surcharge dari Rp /kursi menjadi Rp /kursi untuk penerbangan dalam waktu <1 jam, dari Rp /kursi menjadi /kursi untuk waktu penerbangan 1<T<2 jam, dan Rp /kursi menjadi Rp /kursi untuk waktu penerbangan >2 jam Tanggal 26 Mei 2008 Garuda Indonesia menaikkan fuel surcharge dari Rp /kursi menjadi Rp /kursi untuk penerbangan dalam T<1 jam, dari Rp /kursi menjadi /kursi untuk penerbangan 1<T<2 jam, dan Rp /kursi menjadi Rp /kursi untuk waktu penerbangan 2<T<3 jam penerbangan Tanggal 3 Juni 2008 harga-harga maskapai yang terdeteksi adalah sebagai berikut 11 : Garuda Indonesia T<1 jam Rp /kursi 1<T<2 Jam Rp /kursi 2<T<3 Jam Rp /kursi T>3 Jam Rp /kursi Lion Air Naik dari Rp /kursi menjadi Rp /kursi Air Asia 6 Bisnis Indonesia 20 Oktober 2007 : Maskapai boleh naikkan fuel surcharge 7 Bisnis Indonesia 16 Agustus 2007 : Sejumlah maskapai naikkan fuel surcharge 8 Bisnis Indonesia 26 Oktober 2007 : Fuel surcharge pesawat dievaluasi 9 Bisnis Indonesia 7 Mei 2008 : Fuel surcharge Penerbangan Naik Lagi 10 Bisnis Indonesia 28 Mei 2008 : Garuda naikkan fuel surcharge 11 Kompas 3 Juni 2008 : "Fuel Surcharge" Naik Lagi 5

6 Rute selain Balikpapan dan Medan naik dari Rp /kursi menjadi Rp /kursi. Rute Balikpapan dan Medan naik dari Rp /kursi menjadi Rp /kursi 9. Pada bulan Agustus diidentifikasi fuel surcharge Lion Air untuk penerbangan 1 jam sebesar Rp /kursi. Untuk penerbangan 2 jam sebesar Rp /kursi, sementara untuk penerbangan 3 jam besarannya mencapai Rp /kursi Tanggal 4 September 2008 Maskapai Sriwijaya Airlines dilaporkan telah menurunkan fuel surcharge untuk rute Medan-Jakarta dari Rp menjadi Rp per orang. 11. Tanggal 15 September 2008 Garuda Indonesia menurunkan harga fuel surcharge Medan Jakarta (>2 Jam) turun dari Rp /kursi menjadi Rp /kursi, kemudian untuk Banda Aceh-Medan (>1 jam) turun dari Rp /kursi menjadi hanya Rp /kursi Tanggal 12 November 2008 Air Asia menghapuskan sama sekali fuel surcharge Tanggal 19 Januari 2009 fuel surcharge Mandala Air telah turun untuk 1 jam terbang menjadi Rp , 1-2 jam terbang Rp , dan di atas 2 jam menjadi Rp Fuel Surcharge Kompensasi Atas Kenaikan Biaya Bahan Bakar Sejak diberlakukan fuel surcharge penerbangan mengalami kenaikan yang signifikan, dan tetap diberlakukan meskipun harga minyak dunia/avtur mengalami penurunan yang signifikan. Seperti dalam fenomena kebanyakan komoditas/jasa di Indonesia, kenaikan yang signifikan ternyata tidak diikuti oleh penurunan yang signifikan ketika komponen pembentuknya ikut turun. Terkait dengan seberapa besar komponen avtur komposisinya terhadap biaya perusahaan secara keseluruhan, sampai saat ini tidak diperoleh penjelasan yang pasti, mengingat setiap pesawat memiliki tingkat konsumsi 12 Kompas 3 Juni 2008 : "Fuel Surcharge" Naik Lagi 13 Bisnis Indonesia 15 September 2008 : Maskapai turunkan fuel surcharge 14 Bisnis Indonesia 12 November 2008 : Air Asia Hapus Biaya Tambahan Bahan Bakar 15 Bisnis Indonesia 21 Januari 2009 : Fuel Surcharge Mandala Turun 6

7 yang berbeda-beda satu sama lain. Tetapi sebagai pegangan, dalam beberapa pemberitaan, terdapat hal-hal yang bisa dijadikan pendekatan tentang besaran komponen avtur dalam biaya maskapai penerbangan. Beberapa hal yang bisa dicatat adalah sebagai berikut : 1. Pada tanggal 5 Maret Direktur Jenderal Perhubungan Udara menyatakan bahwa saat itu biaya avtur sudah mencapai 23% dari biaya operasi langsung. Sebagai catatan harga minyak dunia pada 4 Maret 2008 tercatat sekitar US $ per barel. 2. Sementara itu pada tanggal 7 Mei 2008 Direktur Operasi Garuda Indonesia Ari Sapari mengatakan kontribusi bahan bakar minyak terhadap merupakan komponen pengeluaran operasional terbesar bagi sebuah maskapai penerbangan yaitu mencapai 50%-60% 17. Komposisi ini dihitung berdasarkan asumsi harga minyak dunia US$120 per barel. Gambaran angka ini memperlihatkan korelasi yang tinggi antara harga avtur dengan biaya operasional pesawat. Hanya saja nampaknya perlu diteliti lebih lanjut terkait dengan kenaikan fuel surcharge yang tidak berkorelasi dengan harga minyak dunia di mana data di atas memperlihatkan sebuah proporsi yang berbeda di mana kenaikan minyak sekitar US $16 per barel atau 15 % tetapi kenaikan harga avtur bisa mencapai 2 (dua) kali lipat (200%). 5. Keterangan dari Stakeholder yang menjadi sumber data dan informasi Dalam kajian ini, KPPU melakukan beberapa proses pengumpulan data yang antara lain dilakukan dengan mengundang stakeholder untuk berdiskusi tentang implementasi fuel surcharge di lapangan. Berikut adalah beberapa data dan informasi yang disampaikan ke KPPU: 5.1 Keterangan ASITA (Association of The Indonesia Tour & Travel Agencies) Salah satu pihak yang merasa sangat dirugikan akibat pemberlakuan fuel surcharge ini adalah ASITA. Hal ini terutama diakibatkan oleh tidak adanya prosentase komisi dari fuel surcharge yang diperuntukkan bagi anggota ASITA. ASITA menyatakan kekecewaannya karena ternyata dalam 16 Bisnis Indonesia 6 Maret 2008 : Penyesuaian fuel surcharge diizinkan 17 Bisnis Indonesia 7 Mei 2008 : Fuel surcharge Penerbangan Naik Lagi 7

8 perkembangannya, harga avtur yang turun tidak diimbangi oleh harga fuel surcharge yang turun. Akibatnya komposisi komisi yang mereka dapatkan menjadi semakin kecil saja dari waktu ke waktu. ASITA menyatakan bisa memahami kenaikan biaya tambahan itu untuk membantu tingginya beban operasional penerbangan akibat kenaikan harga bahan bakar pesawat. Tetapi ketika maskapai tidak menurunkannya ketika harga minyak turun, maka ASITA menyatakan kekecewaannya. Dia menjelaskan kenaikan fuel surcharge bagi penumpang relatif tak dikeluhkan karena nilainya idak begitu besar, tapi bagi agen perjalanan sangat berpengaruh. Maskapai penerbangan nasional, di mata ASITA cenderung menurunkan harga tiket selama low season, tapi tak pernah menurunkan fuel surcharge. (Bisnis Indonesia tanggal 16 Agustus 2007). Efek ini berakibat pada komisi yang diterima ASITA yang menjadi sangat kecil, sehingga tidak memadai/ekonomis lagi dilihat dari pendapatan mereka keseluruhan. ASITA memberikan penjelasan bahwa komposisi tiket menjadi terasa aneh saat low season, karena pada saat itu komposisi tiket tetap sama dengan saat peak season tetapi besaran harga tiket turun. Dalam tarif ini komposisi fare basic, mengalami penurunan. Sementara fuel surcharge besarannya tetap. Komposisi yang ekstrim bisa dilihat dari model salah satu tarif rute penerbangan di saat low season di bawah ini. Rute : Jakarta - Surabaya Fare Basic = Rp IWJR = Rp PPN = Rp Fuel Surcharge = Rp Total = Rp

9 Dari komposisi ini, terasa aneh karena fare basic yang mengkompensasi harga avtur Rp 2.700/liter dan biaya-biaya yang lainnya justru lebih kecil dibandingkan dengan fuel surcharge yang mengkompensasi biaya tambahan avtur saja di saat harga avtur tinggi. Kondisi ini dikeluhkan ASITA, karena ternyata ASITA mendapatkan komisi yang besarannya merupakan prosentase terhadap fare basic. Ketika fare basic tersebut mengecil sebagaimana terlihat dalam komposisi di atas, maka kemudian komisi bagi agen perjalananpun menjadi kecil. Dalam hal inilah maka maskapai penerbangan kemudian memperoleh lebih banyak pendapatan karena komisi bagi agen menjadi kecil. Inilah yang kemudian menyebabkan agen perjalanan menjadi tidak memiliki insentif untuk menjual tiket. Tetapi bagi agen perjalanan yang mengandalkan pendapatan dari komisi harga tiket sepenuhnya, maka hal tersebut berarti kematian. Mereka baru mendapatkan komisi yang memadai pada saat peak season. 5.2 Keterangan Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia Secara definisi, fuel surcharge adalah kompensasi dari kenaikan harga avtur yang dipergunakan oleh Garuda Indonesia dalam setiap penerbangannya. Fuel surcharge pertama kali dikenakan ketika harga minyak dunia sebesar US$33 per barrel dengan currency convertion Rp7000,- (pada tahun 2006). Perhitungan fuel surcharge Garuda mengacu pada formulasi dari Departemen Perhubungan dimana pergerakannya dinamis mengikuti perkembangan harga minyak dunia. Namun meskipun harga minyak dunia telah turun, seringkali besaran fuel surcharge belum turun. Hal ini dikarenakan harga beli avtur dari Pertamina belum turun. Formula perhitungan fuel surcharge dari Dephub digunakan oleh Garuda sebagai acuan dalam menentukan formulasi besaran fuel surcharge dan zoning yang diberlakukan maskapai tersebut. 9

10 Formulasi perhitungan fuel surcharge Garuda mempergunakan besaran load factor 60%. Hal itu berdasar pada adanya peak season dan low season dalam setiap tahunnya. Terdapat perbedaan sub classes yang dibuka ketika low season dan peak season. Adapun salah satu faktor yang mempengaruhi besaran fuel surcharge adalah jenis pesawat. Komponen lain adalah adanya biaya pengisian (into plane) diluar harga avtur sebesar US$4/liter. Sebagai market leader, Garuda biasanya menaikkan besaran fuel surcharge terlebih dahulu dibanding maskapai lain. Besaran fuel surcharge sendiri adalah fixed cost, tapi seiring perkembangannya fuel surcharge mulai menjadi bagian dari strategi marketing terutama untuk penerbangan rute domestik. Garuda membuat kebijakan berupa perbedaan harga yang berjenjang dengan berdasar pada perbedaan karakteristik masing-masing pelanggan. Dasar pembedaan besaran tarif adalah batas atas, batas bawah, dan kualitas pelayanan perkelas. Adapun karakteristik konsumen Garuda adalah konsumen yang loyal sehingga Garuda tidak perlu merasa khawatir tiketnya tidak terjual. Besaran fuel surcharge yang diterapkan oleh Garuda Indonesia saat ini untuk penerbangan selama: (diterapkan sejak akhir Februari 2009) <1 jam : Rp ,- 1-2 jam : Rp ,- 2-3 jam : Rp ,- 3-4 jam : Rp ,- >4 jam : Rp ,- Garuda telah menerapkan kebijakan fuel conservation program, yaitu program untuk efisiensi fuel dengan melalui permasalahan perawatan teknis. Pada dasarnya, Garuda Indonedia menyetujui jika besaran fuel surcharge diatur pemerintah asalkan pengaturan tersebut dapat 10

11 mengakomodir komponen-komponen biaya yang harus ditanggung oleh maskapai terkait dengan kenaikan harga avtur Mentari Lion Air Fuel Surcharge telah diterapkan di seluruh dunia. Menurut Lion penentuan fuel surcharge membutuhkan waktu untuk penyesuaian. Sedangkan tarif penerbangan sangat dipengaruhi oleh valuta asing apalagi jika pesawat yang digunakan adalah pesawat sewaan. Tarif ini memiliki batas atas yang ditetapkan oleh Departemen Perhubungan. Lion Air telah menurunkan besaran fuel surcharge karena Pertamina telah menurunkan harga avtur pada bulan Maret Menurut Lion, penurunan ini tidak bisa dilakukan serta merta karena penurunan dari pihak Pertamina sendiri juga dilakukan secara bertahap. Sedangkan tarif, menurut Lion Air merupakan batas atas dan yang digunakan adalah harga jual. Harga tiket pernah melebihi tarif yang ditetapkan oleh regulator. Menurut Lion Air, fare basic ditambah fuel surcharge yang dikenakan kepada penumpang masih berada dibawah batas atas tarif. Menurut Lion Air, pihak airlines banyak yang melakukan wait and see sebagai akibat dari perubahan harga avtur dari Pertamina yang perubahan harganya yang tidak menentu. Selain itu para konsumen juga banyak yang melakukan pemesanan tiket yang memiliki rentang waktu. Lion Air mengakui adanya fuel surcharge menguntungkan pihak airlines. Harga avtur dari Pertamina yang tidak bisa diprediksi mengakibatkan perubahan nilai fuel surcharge tidak banyak. Lion Air setiap minggunya memantau perkembangan harga minyak dunia dan harga avtur yang ditetapkan oleh Pertamina dan hubungan ini tidak linier. Menurut Lion Air sangat dibutuhkan kesepakatan baru dalam penentuan tarif antara pelaku usaha, pemerintah, dan asosiasi. Pada dasarnya semakin lama sebuah pesawat terbang di udara maka semakin irit fuel yang digunakan jika dibandingkan dengan penerbangan 11

12 dengan jarak terbang yang pendek. Demikian juga halnya dengan biaya perawatan pesawat. Untuk beberapa tujuan penerbangan pihak Lion Air tidak mengenakan fuel surcharge. Besaran fuel surcharge ditentukan oleh total konsumsi avtur, jumlah seat, lama penerbangan, maupun persektor atau subsidi silang perwilayah, dan daya beli konsumen. Pihak Lion Air mengakui pernah menetapkan besaran fare basic yang kadang lebih rendah dari besaran fuel surcharge. Kasus ini terjadi pada saat tertentu atau low season dimana jumlah penumpang sedang anjlok. Ini diberlakukan sebagai strategi perusahaan untuk menarik minat konsumen Merpati Air Fuel surcharge pertama kali diterapkan pada bulan Mei 2006 dimana harga avtur berada di atas kisaran 5800/liter. Merpati termasuk salah satu maskapai di Indonesia yang mengenakan fuel surcharge. Terkait dengan besaran fuel surcharge pada bulan Mei 2006 sebesar Rp ,00, Merpati Nusantara menyatakan bahwa besaran tyersebut diperoleh tanpa melalui formula perhitungan. Begitu pula dengan besaran-besaran fuel surcharge selanjutnya sebelum Departemen Perhubungan mengeluarkan formula perhitungan fuel surcharge pada awal tahun Atas perubahan fuel surcharge yang dikenakan, secara berkala Merpati memberikan laporan kepada Departemen Perhubungan. Fuel surcharge dikenakan PPn 10% sebagai pembelian avtur dari Pertamina dimana pajak tersebut kemudian termasuk dalam komponen fuel surcharge. Jika berdasar pada formulasi perhitungan fuel surcharge yang dikeluarkan oleh Departemen Perhubungan, besaran fuel surcharge yang diperoleh dari perhitungan tersebut ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan besaran fuel surcharge yang dikenakan oleh maskapai termasuk Merpati Nusantara. Bagi Merpati Nusantara, meskipun jika menggunakan formula Departemen Perhubungan maka besaran fuel surcharge lebih tinggi, namun adanya kompetitor akan menjadi semacam 12

13 alat kontrol bagi mereka agar tidak mengenakan fuel surcharge yang terlalu tinggi. Merpati Nusantara menyatakan bahwa perhitungan besaran fuel surcharge yang mereka kenakan tidak 100% menggunakan formulasi dari Departemen Perhubungan, melainkan sudah terdapat penyesuaian atas formulasi yang dipergunakan Indonesia Air Asia Fuel surcharge memiliki pengertian sebagai biaya yang terjadi saat terdapat kenaikan harga avtur dimana bagi maskapai fuel surcharge digunakan untuk menutupi selisih harga avtur karena adanya kebijakan tarif batas atas oleh pemerintah. Seperti halnya maskapai lain, pada tahun 2006 Air Asia juga menerapkan fuel surcharge. Adapun perhitungan fuel surcharge menurut Air Asia adalah dengan memperhitungkan beberapa komponen seperti faktor hedging dan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Pada dasarnya besara fuel surcharge diperoleh dari selisih harga fuel dibagi dengan jumlah utilisasi seat. Pada saat harga avtur turun, Air Asia tidak serta merta menurunkan fuel surcharge karena harga avtur yang mudah berubah. Ketika menetapkan besaran fuel surcharge, Air Asia tidak terpengaruh oleh besaran fuel surchage yang diberlakukan oleh maskapai lain. Terdapat panduan perhitungan besaran fuel surcharge dari pemerintah yang berupa formula dalam bentuk pembagian fuel surcharge berdasarkan lama jam terbang suatu pesawat. Saat ini, Air Asia sudah tidak lagi memberlakukan fuel surcharge dengan melakukan efisiensi pengeluaran. Adapun tujuan Air Asia menghilangkan fuel surcharge dari komponen tarifnya adalah untuk meringankan beban konsumen. 13

14 Kebijakan strategi bisnis yang diberlakukan oleh Air Asia sering mengakibatkan terjadinya perbedaan tarif yang sangat signifikan antara tarif saat peak season dan tarif saat low season. Dalam pemasaran tiketnya, Air Asia tidak melakukan kerjasama dengan agen travel karena sistem pemasarannya bersifat on-line sehingga penumpang dapat langsung mengakses. Terkait dengan kenaikan harga avtur terakhir, tetap dimungkinkan jika suatu ketika Air Asia kembali menetapkan fuel surcharge karena menurut mereka tarif batas atas yang ada saat ini sudah harus diperbaiki Sriwijaya Air Pengenaan fuel surcharge dilakukan sejak bulan Mei 2006 saat harga avtur berada pada tingkat harga Rp.5.885,00/lt. Besaran fuel surcharge tersebut ditentukan secara bersama-sama oleh maskapai penerbangan melalui INACA dengan mematok besaran fue surcharge sebesar Rp ,00. Sriwijaya Air mengakui bahwa besaran tersebut diperoleh tanpa melalui perhitungan dengan formula apapun. Baru pada bulan November 2007 formula perhitungan mulai digunakan. Pada bulan Agustus 2008, Sriwijaya Air dan maskapai-maskapai lain diundang oleh Departemen Perhubungan untuk membahas mengenai perhitungan dan besaran fuel surcharge yag ditetapkan oleh maskapai selama ini. Fuel surcharge tidak dikenai PPn. Tarif batas bawah dan tarif batas atas digunakan untuk menentukan besaran fare basic. 5.3 Keterangan dari Pemerintah Pemerintah dalam hal ini Departemen Perhubungan cq Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, menyatakan bahwa tidak ada regulasi yang secara khusus mengatur tentang Fuel Surcharge. Departemen Perhubungan, sesuai dengan anjuran KPPU di awal pemberlakukan fuel surcharge, menyerahkan besaran fuel surcharge kepada setiap maskapai penerbangan. Pemerintah sendiri membolehkan diberlakukannya fuel surcharge dengan alasan bahwa batas atas tarif yang selama ini berlaku dihitung dengan 14

15 basis perhitungan harga avtur masih sebesar Rp 2.700/liter. Kenaikan yang bahkan pernah mencapai hampir 4 kali lipat dari posisi tersebut, menyebabkan maskapai terbebani dengan avtur sebagai salah satu komponen biayanya. Saat ini, tidak ada intervensi Pemerintah terhadap penetapan besaran fuel surcharge. Pemerintah hanya menghimbau agar proses penetapan fuel surcharge dilakukan dengan benar-benar mengacu kepada selisih harga avtur semata, dengan harapan fuel surcharge tidak disalahgunakan untuk menutup biaya selain kenaikan fuel surcharge tersebut. Pemerintah pada tahun 2008, melakukan upaya penataan fuel surcharge dengan membuat formulasi besaran fuel surcharge yang diberikan kepada maskapai penerbangan dengan harapan proses perhitungan fuel surcharge sesuai dengan kaidah yang baku bukan didasarkan pada rumusan yang hanya mengandalkan instuisi. Departemen Perhubungan menyatakan bahwa dari penelusuran mereka, besaran dari fuel surcharge tampak dilakukan maskapai dengan tidak memiliki landasan yang jelas. Hal inilah yang tampaknya memicu kenaikan fuel surcharge yang sangat signifikan di awal Di mana Pemerintah justru menetapkan fuel surcharge yang sangat tinggi dibandingkan dengan fuel surcharge yang selama ini dikenakan oleh maskapai. Dalam tahap awal di tahun 2008 Pemerintah justru menetapkan fuel surcharge yang cukup tinggi yakni Rp , padahal selama periode sebelumnya maskapai menetapkan besaran fuel surcharge di bawah Rp Keterangan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) YLKI menyatakan bahwa dalam pandangan konsumen fuel surcharge belum menjadi hal yang pokok untuk dipermasalahkan. Saat ini yang dipandang penting oleh YLKI untuk dipermasalahkan adalah masalah keselamatan penerbangan. Terkait dengan tarif YLKI belum memberikan perhatian khusus. Dan bagi YLKI, selama pelayanan sesuai dengan tarif yang harus dibayar oleh konsumen, maka tidak menjadi permasalahan. 15

16 6. Analisis 6.1 Definisi Fuel Surcharge Sebagaimana dijelaskan dalam bagian terdahulu, fuel surcharge merupakan sebuah komponen biaya baru dalam industri penerbangan Indonesia yang ditujukan untuk menutup biaya tambahan yang muncul, sebagai akibat dari kenaikan harga avtur. Komponen biaya ini diperbolehkan muncul oleh Pemerintah, karena dasar perhitungan ketentuan batas atas tarif dilakukan saat harga avtur Rp 2.700/liter. Dalam beberapa bulan terakhir, harga avtur mengalami kenaikan yang sangat signifikan seiring dengan naiknya harga minyak dunia. Perkembangan harga avtur digambarkan dalam grafik 1 di bawah ini. Grafik 1 Perkembangan Harga Avtur Indonesia Rupiah Sumber : Departemen Perhubungan May-06 Jul-06 Sep-06 Nov-06 Jan-07 Mar-07 May-07 Jul-07 Sep-07 Nov-07 Jan-08 Mar-08 May-08 Jul-08 Sep-08 Nov-08 Jan1-09 Feb-09 Mar2-09 Apr2-09 May2-09 Jun2-09 Perkembangan harga ini sudah jauh di atas harga avtur yang menjadi dasar penetapan tarif yang saat ini berlaku, (Keputusan menteri perhubungan No 9 tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi). Harga avtur dari ketetapan tersebut adalah Rp /liter. Memperhatikan harga dasar penetapan tarif yang sangat murah tersebut, maka mengakibatkan selisih antara harga avtur faktual dengan harga 16

17 avtur dasar ketetapan tarif cenderung menjadi sangat tinggi karena kecenderungan kenaikan avtur, sebagai akibat kenaikan harga minyak dunia. Gambaran hal ini bisa dilihat dalam grafik 2 di bawah ini. Grafik memperlihatkan bahwa harga avtur memiliki kecenderungan untuk bergerak naik. Bahkan dalam kurun waktu tahun kenaikan harga avtur pernah mencapai hampir 200%, dari Rp pada bulan Mei 2006 menjadi Rp /liter pada bulan Agustus Itulah harga avtur tertinggi dalam perkembangannya selama ini. Setelah angka tersebut avtur cenderung turun dan kini berada di kisaran Rp Grafik 2 Perbandingan Harga Avtur Faktual dan Harga Avtur Dasar Ketetapan Tarif Fuel Fuel batas Atas Rupiah May-06 Aug-06 Nov-06 Feb-07 May-07 Aug-07 Nov-07 Feb-08 May-08 Aug-08 Nov-08 Jan2-09 Mar2-09 May1-09 Jun2-09 Sumber : Departemen perhubungan Memperhatikan definisi fuel surcharge yang merupakan komponen biaya yang ditujukan untuk menutup biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur yang melambung melampaui harga avtur yang menjadi patokan dasar perhitungan ketetapan tarif oleh Pemerintah (Rp 2.700), maka secara sederhana rumus dari perhitungan fuel surcharge adalah : 17

18 FS V Harga Q V * Harga FS = Q = Fuel Surcharge = Volume avtur maskapai dalam satuan waktu tertentu = Harga avtur aktual Rp (harga avtur basis perhitungan tarif Pemerintah) = Jumlah Kapasitas Maskapai Dalam perkembangannya, kemudian Pemerintah menambahkan load factor yang menjadi faktor koreksi terhadap formula ideal tersebut, mengingat dalam prakteknya tidak semua kursi penumpang terpenuhi. Dalam hal ini, load factor yang digunakan adalah 70 % yang dianggap sebagai rata-rata load factor maskapai selama ini. Rumuspun berubah menjadi : V * Harga FS = Q * 70 % Berdasarkan rumus tersebut di atas terlihat bahwa fuel surcharge berbanding lurus dengan perubahan selisih harga avtur aktual dengan harga yang menjadi basis perhitungan tarif Pemerintah, sementara di sisi lain volume avtur (V) dan kuantitas penumpang maskapai (Q) cenderung menjadi konstanta. Akibat dari kondisi ini, maka seharusnya prosentase kenaikan fuel surcharge, sama persis dengan perubahan prosentase selisih harga avtur. Jadi kalau selisih harga avtur naik 10 %, maka fuel surcharge juga naik 10 %. Begitu pula kalau turun. Memperhatikan rumus tersebut, sudah seharusnya fuel surcharge merupakan angka yang tetap, yakni sebuah besaran biaya yang dipastikan akan bisa menutup biaya kenaikan harga avtur. Dalam hal ini maka seharusnya fuel surcharge untuk setiap pesawat yang jenisnya sama pada rute yang sama maka besaran fuel surchargenya menjadi sama. Dalam terminologi konsep 18

19 biaya, seharusnya fuel surcharge merupakan sebuah fixed cost (biaya tetap), yang besarannya bisa dihitung secara pasti. Terkait dengan hal ini, maka kemudian menjadi pertanyaan besar ketika fuel surcharge antar maskapai memperlihatkan variasi yang luar biasa ekstrimnya dari Rp 0 sampai Rp /penumpang. Variasi yang sangat timpang ini mendorong munculnya dugaan bahwa fuel surcharge tidak lagi sekedar diperuntukan untuk menutup biaya akibat kenaikan harga avtur, tetapi juga memiliki fungsi untuk menutup biaya lainnya bahkan untuk menarik keuntungan melalui eksploitasi konsumen dengan tarif yang eksesif. 6.2 Analisis Terhadap Implementasi Fuel Surcharge Sejak Mei 2009, Maskapai Indonesia secara resmi mengimplementasikan fuel surcharge sebagai salah satu komponen tarifnya. Awalnya maskapai memberlakukan fuel surcharge yang sama yakni Rp , yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan dalam INACA. Tetapi kemudian KPPU menyatakan bahwa kesepakatan seperti itu merupakan sebuah praktek kartel, karena itu harus dibatalkan. Maka INACApun membatalkan kesepakatan tarif tersebut dan kemudian menyerahkan penentuan besaran fuel surcharge kepada setiap maskapai penerbangan. Dalam implementasinya perkembangan besaran setiap maskapai penerbangan memperlihatkan kondisi yang berbeda-beda. Inilah yang kemudian harus dianggap aneh dan mencurigakan karena seharusnya variasi itu tidak terlalu ekstrim, karena variasi pesawat yang digunakan oleh maskapai di Indonesia relatif sama. Dapat dipahami apabila variasi memperlihatkan sebuah kondisi keberhasilan maskapai melakukan penghematan penggunaan avtur dalam setiap penerbangannya, tetapi dipastikan penghematan tersebut tidak akan menghasilkan variasi yang esktrim seperti saat ini antara Rp 0 sampai dengan Rp /penumpang. Lalu apa yang sebenarnya terjadi dengan perkembangan fuel surcharge di lapangan? Untuk memahaminya, maka kita lihat perkembangan di lapangan 19

20 sehubungan dengan munculnya hubungan yang mencurigakan antara fuel surcharge dan selisih harga avtur yang terjadi. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan melakukan analisis secara komprehensif terhadap perkembangan harga avtur dan efek yang seharusnya terhadap fuel surcharge. Selain itu kita juga harus melihat perkembangan fuel surcharge yang diimplementasikan oleh setiap maskapai, hal untuk mencocokkan kesesuaian dengan hubungan yang direpresentasikan oleh formulasi terdahulu. Apabila kita ingin melihat perkembangan selisih harga avtur, maka kita akan melihat sebuah perkembangan sebagaimana diperlihatkan oleh grafik 3 dan grafik 4 di bawah ini. Grafik 3 Selisih Harga Avtur Aktual dengan Harga Avtur Basis Perhitungan Tarif Berlaku Selisih Harga Avtur Aktual dengan Harga Basis Perhitungan Tarif Berlaku Harga (Rp) May-06 Jul-06 Sep-06 Nov-06 Jan-07 Mar-07 May-07 Jul-07 Sep-07 Nov-07 Jan-08 Mar-08 May-08 Jul-08 Sep-08 Nov-08 Jan-09 20

21 Grafik 4 Perkembangan Prosentase Kenaikan Selisih Harga Avtur % Rupiah % % % 50.00% 0.00% % May-06 Jul-06 Sep-06 Nov-06 Jan-07 Mar-07 May-07 Jul-07 Sep-07 Nov-07 Jan-08 Mar-08 May-08 Jul-08 Sep-08 Nov-08 Jan1-09 Feb-09 Mar2-09 Apr2-09 May2-09 Jun2-09 Dari kedua grafik tersebut di atas, maka terlihat bahwa kenaikan selisih harga avtur yang terjadi tidak pernah mencapai 200%, atau dua kali lipat dari harga sebelumnya. Kenaikan tertinggi terjadi ketika harga minyak dunia menyentuh harga tertinggi dengan kisaran US $147/barrel. Harga tertinggi avtur di Indonesia tercapai pada bulan Agustus 2008 dengan harga Rp /liter, sehingga pada titik itu selisihnya dengan harga yang menjadi dasar ketentuan tarif mencapai Rp 9.553/liter. Apabila kita mengembangkannya ke dalam satuan harga dengan basis perhitungan fuel surcharge Rp /penumpang pada Mei 2006 dengan harga avtur Rp 5.920/liter, maka kita akan mendapati grafik berikut ini. 21

22 Grafik 5 Perkembangan Fuel Surcharge mengikuti fluktuasi harga avtur Rupiah Mei-06 Jul-06 Sep-06 Nop-06 Jan-07 Mar-07 Mei-07 Jul-07 Sep-07 Nop-07 Jan-08 Mar-08 Mei-08 Jul-08 Sep-08 Nop-08 Jan1-09 Feb-09 Mar2-09 Apr2-09 May2-09 Jun2-09 Dalam grafik terlihat bahwa apabila kita menjadikan harga avtur bulan Mei 2006, dan fuel surcharge saat itu maka saat ini (Juli 2009) harga avtur hanya berada di kisaran Rp /penumpang. Dalam grafik 3 terlihat bahwa selisih harga avtur berfluktuasi dengan terdapat beberapa slop penurunan di dalamnya. Apabila melihat rumusan sebelumnya, maka seharusnya fluktuasi ini, juga diikuti oleh fuel surcharge maskapai. Tetapi fakta tersebut ternyata tidak terjadi. Sebagai gambaran hal ini bisa dilihat dari perkembangan fuel surcharge oleh beberapa maskapai dalam beberapa grafik di bawah ini. 22

23 Grafik 5 Perkembangan Fuel Surcharge Penerbangan T< 1 Jam Garuda Sriwijaya Batavia Lion Mandala Merpati Rupiah Mei-06 Jul-06 Sep-06 Nop-06 Jan-07 Mar-07 Mei-07 Jul-07 Sep-07 Nop-07 Jan-08 Mar-08 Mei-08 Jul-08 Sep-08 Nop-08 Jan-09 Mar-09 Mei-09 Grafik 6 Perkembangan Fuel Surcharge Penerbangan 1<T< 2 Jam Garuda Lion Sriwijaya Mandala Batavia Merpati Mei-06 Jul-06 Sep-06 Nop-06 Jan-07 Mar-07 Mei-07 Jul-07 Sep-07 Nop-07 Jan-08 Mar-08 Mei-08 Jul-08 Sep-08 Nop-08 Jan-09 Mar-09 Mei-09 Rupiah 23

24 Grafik 7 Perkembangan Fuel Surcharge Penerbangan 1<T< 2 Jam Garuda Lion Sriwijaya Mandala Batavia Merpati Mei-06 Jul-06 Sep-06 Nop-06 Jan-07 Rupiah Mar-07 Mei-07 Jul-07 Sep-07 Nop-07 Jan-08 Mar-08 Mei-08 Jul-08 Sep-08 Nop-08 Jan-09 Mar-09 Mei-09 Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa besaran fuel surcharge, dari mulai Mei 2006 sampai dengan September Tampak bahwa besaran fuel surcharge untuk seluruh maskapai yang disurvey sama. Padahal pada Mei 2006, INACA bersepakat untuk membubarkan kartel termasuk penetapan harganya. Hal ini menunjukkan bahwa secara faktual tidak ada perjanjian atau kesepakatan, akan tetapi pada saat yang sama harga yang ditetapkan sama besarannya. Begitu pula trend yang tercipta ke depannya berdasarkan grafik yang telah disampaikan di atas, yang menunjukkan bahwa fuels urcharge naik terus dalam setiap waktu. Dalam grafik-grafik tersebut tidak terdapat penurunan, kecuali di akhir 2008 dan awal 2009, itupun dengan penurunan yang tidak signifikan. Berdasarkan data-data tersebut, maka sesungguhnya dapat disimpulkan bahwa fuel surcharge yang diberlakukan keduanya tidak memiliki korelasi lagi dengan kenaikan harga avtur yang selama ini dikemukakan menjadi acuan penentuan fuel surcharge, yang berarti besaran fuel surcharge sudah tidak lagi mengikuti formula yang telah ditetapkan sebelumnya. Sementara itu di sisi lain, grafik 5, 6 dan 7 memperlihatkan kepada kita bahwa potensi terjadinya kartel harga (price fixing) sangat besar terjadi. Hal 24

25 ini terlihat dari trend harga yang memperlihatkan sebuah harga yang sama selama beberapa periode, dan harga yang juga berkelompok pada tingkat harga yang sama setelahnya baik untuk waktu penerbangan yang kurang dari 1 jam, waktu penerbangan antara 1 dan 2 jam, serta waktu penerbangan antara 2 dan 3 jam. Pemerintah sendiri, terkait dengan implementasi fuel surcharge ini berusaha untuk melakukan pengawasan dengan mengeluarkan besaran fuel surcharge hasil perhitungan Pemerintah yang besarannya bisa dilihat dalam grafik 7. Sayangnya besaran ini tidak memiliki arti apa-apa, terkait dengan upaya pengendalian besaran fuel surcharge. Pemerintah sendiri tidak dapat melakukan intervensi apapun terkait dengan implementasi fuel surcharge, sekalipun besaran fuel surcharge tersebut sudah melebihi fuel surcharge hasil perhitungan Pemerintah. Berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah, terdapat beberapa besaran yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana terlihat dalam grafik 8. Grafik 8 Besaran Fuel Surcharge Menurut Pemerintah < 1 Jam 1<T<2 Jam 2<T<3 jam May-06 Jul-06 Sep-06 Nov-06 Jan-07 Mar-07 May-07 Jul-07 Sep Nov-07 Jan-08 Mar-08 May-08 Jul-08 Sep-08 Nov-08 Jan-09 Mar-09

26 Apabila dibandingkan dengan fuel surcharge yang diberlakukan oleh maskapai penerbangan, maka akan terlihat komprasinya dalam beberapa garfik 9 dan 10 di bawah ini. Dari grafik 9 dan 10 terlihat bahwa dalam perkembangannya, awalnya besaran fuel surcharge maskapai penerbangan, jauh dari besaran yang ditetapkan oleh Pemerintah, tetapi sejak bulan Juli 2007 fuel surcharge maskapai mengalami kenaikan yang signifikan, untuk menyentuh fuel surcharge yang ditetapkan Pemerintah bahkan kemudian melewatinya sekalipun fuel surcharge Pemerintah juga mengalami kenaikan yang signifikan, terutama di bulan September 2008 seiring dengan kenaikan harga avtur yang mengikuti harga minyak dunia. Grafik May-06 Jul-06 Perbandingan Fuel Surcharge Lion & Garuda dengan Pemerintah Untuk Penerbangan 1 Jam Lion Pemerintah Garuda Sep-06 Nov-06 Jan-07 Mar-07 May-07 Jul-07 Sep-07 Nov-07 Jan-08 Mar-08 May-08 Jul-08 Sep-08 Nov-08 Jan-09 Mar-09 26

27 Grafik 10 Perbandingan Fuel Surcharge Garuda dan Lion dengan Pemerintah Untuk Penerbangan 1< T< 2 Jam Lion Pemerintah Garuda May-06 Jul-06 Sep-06 Nov-06 Jan-07 Mar-07 May-07 Jul-07 Sep-07 Nov-07 Jan-08 Mar-08 May-08 Jul-08 Sep-08 Nov-08 Jan-09 Mar-09 Dari keterangan Pemerintah, kemudian diketahui bahwa pada awalnya maskapai tidak memiliki referensi sama sekali tentang formula perhitungan fuel surcharge. Angka-angka yang ditetapkan di awal masa berlakunya fuel surcharge didasarkan pada instuisi mereka atas perhitungan komersial dengan tidak menggunakan rumus yang baku. Sebagaimana diberitakan di berbagai media massa, pada Mei 2006 mereka memberlakukan fuel surcharge dengan besaran Rp , dengan dasar pertimbangan harga avtur saat itu dan pesawat yang digunakan basis perhitungan adalah Boeing dengan load factor 70%. Tetapi ternyata besaran itu hanya sebuah angka yang tidak jelas asal-usulnya. Bahkan kalau dibandingkan dengan harga fuel surcharge yang dipatok Pemerintah sangat jauh. Dalam hal inilah maka kemudian dapat disimpulkan bahwa pada awalnya tidak ada perhitungan baku untuk menghitung besaran fuel surcharge tersebut. Hal inilah yang patut dicurigai kemudian mendorong fuel surcharge bergerak liar seolah menggunakan mekanisme pasar tanpa ada yang bisa mengendalikannya. Berdasarkan keterangan Pemerintah dan pelaku usaha diketahui bahwa menjelang tahun 2008 maskapai penerbangan dipanggil oleh Pemerintah untuk 27

28 kemudian diberikan pengarahan terkait dengan besaran fuel surcharge dan formulasinya. Dalam kaitan dengan inilah, maka kemudian kita bisa melihat kenaikan yang signifikan dari fuel surcharge yang ditetapkan Pemerintah pada akhir 2008 merupakan upaya maskapai untuk menyesuaikan besaran dengan yang menjadi acuan yang ditetapkan Pemerintah. Pada saat itu maskapai mengetahui bahwa besaran avtur yang mereka tetapkan jauh di bawah acuan yang dihitung Pemerintah. Terkait dengan besaran fuel surcharge yang ditetapkan oleh Pemerintah, maka KPPU juga dapat melihat korelasinya dengan selisih harga avtur yang terjadi untuk melihat apakah besaran yang ditetapkan Pemerintah konsisten dengan rumus/formula yang diakuinya. Hasil uji korelasi antara selisih avtur dengan besaran fuel surcharge yang ditetapkan oleh Pemerintah dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 3 Hasil Uji Korelasi Selisih Avtur VS Fuel surcharge Lion Air No Penerbangan Hasil Uji Korelasi 1 1 jam < T 2 Jam < T 3 jam Hasil uji korelasi ini memperlihatkan bahwa korelasi antara fuel surcharge sangat kecil, sehingga bisa disimpulkan tidak ada korelasi antara keduanya. Hal ini tentu saja merupakan sebuah inkonsistensi, karena Pemerintah sendiri yang menetapkan rumus perhitungan fuel surcharge. Hal ini tentu saja menjadi sebuah pertanyaan besar. Secara grafis perkembangan antara fuel surcharge yang ditetapkan Pemerintah dengan perkembangan selisih harga avtur dapat dilihat dari grafik

29 Grafik 11 Perbandingan Antara Fuel Surcharge Pemerintah dengan Selisih Avtur Rupiah < 1 Jam 1<T<2 Jam 2<T<3 jam Selisih Avtur Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08 Mei-08 Jun-08 Jul-08 Agust- 08 Sep-08 Okt-08 Nop-08 Des-08 Jan-09 0 Secara grafis, grafik 11 memberikan gambaran bahwa fluktuasi selisih avtur ternyata tidak diikuti oleh fluktuasi fuel surcharge yang ditetapkan oleh Pemerintah, hanya pada akhir periode 2008 dan awal 2009 terdapat kecenderungan penurunan yang sama santara fuel surcharge Pemerintah dan selisih harga avtur. Hal ini sekali lagi memperkuat kecilnya korelasi antara fuel surcharge dengan selisih harga avtur sebagaimana diperlihatkan oleh rumusan fuel surcharge oleh Pemerintah. Pada akhirnya dari hasil analisis terhadap implementasi fuel surcharge di lapangan, dapat disimpulkan bahwa besaran fuel surcharge yang berlaku sudah tidak lagi mengacu kepada definisi awal yang sudah ditetapkan. Tidak ada hubungan yang baku antara kenaikan avtur dan selisih harga yang harus ditutupnya dengan besaran fuel surcharge baik yang ditetapkan maskapai maupun Pemerintah yang ditujukan untuk mengontrolnya. Dalam implementasinya, besaran fuel surcharge sudah tidak lagi hanya menjadi alat untuk menutup selisih harga avtur yang semakin tinggi, tetapi juga sudah memiliki fungsi untuk menutup biaya lainnya atau bahkan menjadi 29

30 sarana untuk melakukan eksploitasi konsumen karena tidak ada batasan terhadap fuel surcharge yang diberlakukan oleh maskapai penerbangan. Fakta yang terkait dengan kondisi ini, diperkuat oleh pengakuan beberapa maskapai penerbangan yang tidak konsisten menjawab peruntukan dari fuel surcharge, di mana beberapa jawaban mereka secara tidak langsung menyatakan bahwa fuel surcharge tidak hanya diperuntukan untuk menutup kenaikan avtur, tetapi juga untuk menutup biaya lainnya yang melonjak seiring dengan perkembangan waktu. Pemerintah juga mengakui bahwa peruntukan fuel surcharge dalam implementasinya, juga tidak hanya untuk menutup biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur saja, tetapi juga untuk menutupi kenaikan biaya lainnya. Pada akhirnya, melalui analisis ini dapat disimpulkan bahwa fuel surcharge telah diselewengkan dan tidak lagi sesuai dengan definisinya. Fuel surcharge telah menjadi alat untuk mendapatkan tambahan pendapatan baik untuk menutup kenaikan biaya lainnya atau juga untuk melakukan eksploitasi konsumen. Hasil temuan tersebut semakin diperkuat oleh fakta di lapangan, saat Indonesia Air Asia sejak bulan November 2008 menghapus sama sekali besaran fuel surcharge sebagai bagian dari komponen tarif. Hal ini mengindikasikan bahwa besaran tarif sekarang sudah bisa memenuhi kebutuhan maskapai untuk beroperasi dan meraih untung di dalamnya. Variasi yang sangat ekstrem dalam besaran fuel surcharge (Rp 0 untuk Air Asia dan Rp untuk Garuda dengan lama penerbangan di atas 4 jam), mencerminkan bahwa dugaan fungsi fuel surcharge tidak hanya untuk menutup selisih harga avtur menjadi sangat kuat. Secara khusus, melalui simulasi dengan menggunakan basis perhitungan harga avtur dan besaran fuel surcharge Pemerintah pada awal Januari 2008 (saat Pemerintah pertama kali memantau besaran fuel surcharge melalui hasil perhitungan), bisa dianalisis besaran fuel surcharge tersebut terutama untuk kemudian membandingkannya dengan besaran fuel surcharge 30

31 milik Pemerintah. Beberapa grafik di bawah ini memberikan gambaran tersebut. Grafik 12 Pendekatan Perhitungan Fuel Surcharge untuk T<1 Jam Rupiah Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08 Pemerintah Seharusnya Garuda Lion Sriwijaya Mandala Batavia Merpati Mei-08 Jun-08 Jul-08 Agust-08 Sep-08 Okt-08 Nop-08 Des-08 Jan-09 Feb-09 Mar-09 Apr-09 Mei-09 Jun-09 Untuk waktu terbang 1 jam< T, fuel surcharge maskapai penerbangan selalu berada di atas fuel surcharge Pemerintah dan hasil perhitungan. Harga fuel surcharge maskapai berkelompok di kisaran Rp , sebuah harga yang mencurigakan karena setiap maskapai memiliki volume dan kapasitas yang berbeda-beda. Harga fuel surcharge Garuda senantiasa berada di atas maskapai lainnya. Tetapi harga Batavia, Sriwijaya, Lion dan Mandala senantiasa berkelompok di kisaran yang hampir sama. Bahkan Mandala, Sriwijaya dan Batavia pada bulan Mei 2009 memberlakukan fuel surcharge yang sama yakni Rp Dalam waktu penerbangan T < 1 jam ini, persaingan tampak bisa berperan menjadi alat untuk menekan agar fuel surcharge tidak jauh berbeda satu sama lainnya. Garuda menetapkan harga yang hanya berselisih Rp dari maskapai lainnya. 31

32 Grafik 13 Pendekatan Perhitungan Fuel Surcharge untuk 1<T<2 Jam Rupiah Jan-08 Feb-08 Mar-08 Pemerintah Seharusnya Garuda Lion Sriwijaya Mandala Batavia Merpati Apr-08 Mei-08 Jun-08 Jul-08 Agust-08 Sep-08 Okt-08 Nop-08 Des-08 Jan-09 Feb-09 Mar-09 Apr-09 Mei-09 Jun-09 Untuk waktu terbang 1<T<2 jam fuel surcharge maskapai selalu berada di atas fuel surcharge Pemerintah dan hasil perhitungan. Secara khusus besaran fuel surcharge Garuda senantiasa berada di atas maskapai lainnya. Besaran Batavia, Sriwijaya, Lion dan Mandala senantiasa berkelompok di kisaran yang hampir sama Rp Bahkan Mandala dan Lion sejak Januari 2009 memberlakukan fuel surcharge yang sama Rp Potensi price fixing, sekali lagi berpeluang besar terjadi. Persaingan dalam kelompok waktu terbang ini masih tampak terjadi dengan ketat sehingga fuel surcharge berkelompok dalam kisaran tersebut, tetapi Garuda mulai menunjukkan bahwa segmen mereka agak berbeda, karena fuel surcharge mereka mulai meninggalkan maskapai lainnya dengan selirih bahkan mencapai Rp /seat. 32

33 Grafik 14 Pendekatan Perhitungan Fuel Surcharge untuk 2<T<3 Jam Rupiah Jan-08 Feb-08 Pemerintah Seharusnya Garuda Lion Sriwijaya Mandala Batavia Merpati Mar-08 Apr-08 Mei-08 Jun-08 Jul-08 Agust-08 Sep-08 Okt-08 Nop-08 Des-08 Jan-09 Feb-09 Mar-09 Apr-09 Mei-09 Jun-09 Untuk waktu terbang 2<T<3 jam fuel surcharge maskapai penerbangan selalu berada di atas fuel surcharge Pemerintah dan hasil perhitungan. Dalam kelompok ini, besaran fuel surcharge Garuda senantiasa berada di atas maskapai lainnya. Persaingan tampak masih ketat terjadi tetapi fuel surchargenya mulai bervariasi, Garuda berada di depan dengan selisih sampai Rp /penumpang. Tetapi besaran fuel surcharge maskapai lainnya bervariasi, tidak ada yang sama. Analisis trend ini semakin memperkuat bahwa potensi price fixing dalam industri penerbangan muncul. 6.3 Implementasi Fuel Surcharge Dalam Strategi Bersaing Maskapai Maskapai penerbangan secara konsisten menerapkan fuel surcharge sebagai salah satu komponen tarif. Berdasarkan keterangan Pemerintah komponen tarif penerbangan terdiri dari : Basic fare (Tarif dasar) IWJR PPN Fuel Surcharge 33

2 Indonesia dalam hal melakukan penyelesaian permasalahan di bidang hukum persaingan usaha, yang diharapkan terciptanya efektivitas dan efisiensi dala

2 Indonesia dalam hal melakukan penyelesaian permasalahan di bidang hukum persaingan usaha, yang diharapkan terciptanya efektivitas dan efisiensi dala 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hukum persaingan usaha sehat diperlukan dalam era dunia usaha yang berkembang dengan pesat. Globalisasi erat kaitannya dengan efisiensi dan daya saing dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi pemenuhan kebutuhan transportasi yang cepat dan aman. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. bagi pemenuhan kebutuhan transportasi yang cepat dan aman. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin berkembangnya bidang teknologi dan perubahan pola kehidupan manusia yang semakin cepat membuat begitu banyak aktivitas yang harus dilakukan oleh manusia untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memuaskan dalam usaha pengembangan ekonomi suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. yang memuaskan dalam usaha pengembangan ekonomi suatu negara. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam aspek perekonomian, jasa angkutan yang cukup serta memadai sangat diperlukan sebagai penunjang pembangunan ekonomi. Tanpa adanya transportasi sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi telah mendorong timbulnya persaingan yang sangat kompetitif

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi telah mendorong timbulnya persaingan yang sangat kompetitif BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Globalisasi telah mendorong timbulnya persaingan yang sangat kompetitif dalam segala bidang usaha. Keberhasilan kompetisi ini sangat ditentukan oleh antisipasi pasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, mendukung mobilitas manusia, barang dan jasa serta

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, mendukung mobilitas manusia, barang dan jasa serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia penerbangan saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dan merupakan salah satu unsur penting dalam menggerakan dinamika pembangunan, mendukung mobilitas

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Keberhasilan fenomenal Southwest Airlines di Amerika Serikat sebagai

BAB I. PENDAHULUAN. Keberhasilan fenomenal Southwest Airlines di Amerika Serikat sebagai BAB I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Keberhasilan fenomenal Southwest Airlines di Amerika Serikat sebagai maskapai Low Cost Carrier (LCC) dapat dilihat dari keuntungan yang diperoleh setiap tahunnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. datang dan berangkat mencapai dan (Buku Statistik

BAB I PENDAHULUAN. datang dan berangkat mencapai dan (Buku Statistik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bersamaan dengan pulihnya perekonomian Indonesia setelah krisis pada tahun 1997, Industri Penerbangan pun mengalami perkembangan yang signifikan. Indikasi perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Profil Perusahaan PT. AirAsia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Profil Perusahaan PT. AirAsia Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 1.1.1 Profil Perusahaan PT. AirAsia Indonesia Bisnis penerbangan di Indonesia semakin terlihat menjanjikan. Pengguna jasa penerbangan di negara kita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pangsa pasar terbesar di dunia. Pertumbuhan industri penerbangan juga cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pangsa pasar terbesar di dunia. Pertumbuhan industri penerbangan juga cenderung BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang penelitian Industri penerbangan merupakan salah satu sektor industri yang memiliki pangsa pasar terbesar di dunia. Pertumbuhan industri penerbangan juga cenderung relatif

Lebih terperinci

TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR HOTEL BINTANG PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BULAN DESEMBER 2009 MENCAPAI 60,59 PERSEN

TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR HOTEL BINTANG PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BULAN DESEMBER 2009 MENCAPAI 60,59 PERSEN No. 06/02/34/TH.XII, 01 Februari 2010 TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR HOTEL BINTANG PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BULAN DESEMBER 2009 MENCAPAI 60,59 PERSEN Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel bintang di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tetap ingin survive dalam menciptakan keunggulan kompetitif yang UKDW

BAB I PENDAHULUAN. yang tetap ingin survive dalam menciptakan keunggulan kompetitif yang UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemasaran merupakan aspek yang sangat penting bagi semua perusahaan yang tetap ingin survive dalam menciptakan keunggulan kompetitif yang berkesinambungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan bisnis yang semakin ketat sekarang ini menyebabkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan bisnis yang semakin ketat sekarang ini menyebabkan banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persaingan bisnis yang semakin ketat sekarang ini menyebabkan banyak perusahaan yang terlibat dalam pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen. Hal ini seakan menuntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Menurut Hurriyati (2005, p.49) : untuk bauran pemasaran jasa mengacu

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Menurut Hurriyati (2005, p.49) : untuk bauran pemasaran jasa mengacu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemasaran merupakan aspek yang sangat penting bagi semua perusahaan yang tetap ingin survive dalam menciptakan keunggulan kompetitif yang berkesinambungan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang sangat banyak yaitu kurang lebih 210 juta, dengan total wilayahnya

I. PENDAHULUAN. yang sangat banyak yaitu kurang lebih 210 juta, dengan total wilayahnya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah penduduk yang sangat banyak yaitu kurang lebih 210 juta, dengan total wilayahnya sebesar 5,2 juta kilometer persegi.

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Mahkamaa P U T U S A N No. 613 K/PDT.SUS/2011 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata khusus Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Lebih terperinci

mempengaruhi eksistensi maskapai penerbangan di Indonesia pada umumnya, karena setiap pelaku usaha di tiap kategori bisnis dituntut untuk memiliki

mempengaruhi eksistensi maskapai penerbangan di Indonesia pada umumnya, karena setiap pelaku usaha di tiap kategori bisnis dituntut untuk memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum dan Objek Observasi Setiap manusia di dunia memiliki kebutuhan dan keinginan dalam usaha untuk mempertahankan hidup, namun sering kali manusia tidak suka memperhatikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan global diproyeksikan tumbuh sebesar 3,5 % pada

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan global diproyeksikan tumbuh sebesar 3,5 % pada 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pertumbuhan global diproyeksikan tumbuh sebesar 3,5 % pada 2012,seperti yang tercantum pada theglobal-review.com menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Akhir-akhir ini perkembangan industri jasa transportasi di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Akhir-akhir ini perkembangan industri jasa transportasi di Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir-akhir ini perkembangan industri jasa transportasi di Indonesia berkembang sangat pesat, terutama pada jasa penerbangan yang setiap tahun selalu meningkat secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jasa transportasi merupakan salah satu bidang usaha yang memegang

BAB I PENDAHULUAN. Jasa transportasi merupakan salah satu bidang usaha yang memegang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jasa transportasi merupakan salah satu bidang usaha yang memegang peranan penting dalam perekonomian terutama kebutuhan mobilisasi manusia dari satu tempat ke tempat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 92 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan, berikut akan disajikan kesimpulan hasil penelitian tersebut, yaitu sebagai berikut : 1. Hasil pengujian hipotesis pertama

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN SIMPANAN *) BANK UMUM POSISI NOVEMBER 2011

PERTUMBUHAN SIMPANAN *) BANK UMUM POSISI NOVEMBER 2011 Nop-06 Feb-07 Mei-07 Agust-07 Nop-07 Feb-08 Mei-08 Agust-08 Nop-08 Feb-09 Mei-09 Agust-09 Nop-09 Feb-10 Mei-10 Agust-10 Nop-10 Feb-11 Mei-11 Agust-11 PERTUMBUHAN SIMPANAN *) BANK UMUM POSISI NOVEMBER 2011

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri jasa penerbangan di Indonesia, khususnya untuk penerbangan komersial berjadwal semakin marak sejak dikeluarkannya deregulasi yang mengatur transportasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENETAPAN TARIF ANGKUTAN PENUMPANG. Adapun dasar hukum penetapan tarif angkutan penumpang yaitu:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENETAPAN TARIF ANGKUTAN PENUMPANG. Adapun dasar hukum penetapan tarif angkutan penumpang yaitu: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENETAPAN TARIF ANGKUTAN PENUMPANG A. Dasar Hukum Penetapan Tarif Angkutan Penumpang Undang-undang pengangkutan Indonesia menggunakan istilah orang untuk pengangkutan penumpang.

Lebih terperinci

KEBUTUHAN FREKUENSI PENERBANGAN RUTE JAKARTA JOGYAKARTA JAKARTA PT INDONESIA AIR ASIA

KEBUTUHAN FREKUENSI PENERBANGAN RUTE JAKARTA JOGYAKARTA JAKARTA PT INDONESIA AIR ASIA KEBUTUHAN FREKUENSI PENERBANGAN RUTE JAKARTA JOGYAKARTA JAKARTA PT INDONESIA AIR ASIA MB Tampubolon Eddy Suhaedi Robby Ariyanto STMT Trisakti STMT Trisakti STMT Trisakti stmt@indosat.net stmt@indosat.net

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Perusahaan penerbangan adalah Perusahaan yang bergerak dalam bidang angkutan udara yang mengangkut penumpang, barang, pos, dan kegiatan keudaraan lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan informasi yang sudah diproses dan dilakukan penyimpanan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan informasi yang sudah diproses dan dilakukan penyimpanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi informasi pada masa sekarang sangat cepat. Teknologi Informasi adalah salah satu alat yang digunakan para manajer untuk mengatasi perubahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada tahun 2010, Indonesia yang memiliki populasi 237 juta jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada tahun 2010, Indonesia yang memiliki populasi 237 juta jiwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahun 2010, Indonesia yang memiliki populasi 237 juta jiwa (www.bps.go.id) menjadikannya sebagai negara terbesar ke empat di dunia setelah China, India, dan Amerika

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.212, 2014 KEMENHUB. Biaya Tambahan. Tarif. Kelas Ekonomi. Angkutan Udara. Dalam Negeri. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 2 TAHUN 2014 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkembangan jasa pelayanan maskapai penerbangan dari tahun ke tahun semakin menjadi perhatian masyarakat luas. Hal itu dapat dilhat dari ketatnya persaingan

Lebih terperinci

Boks 2. Kesuksesan Sektor Jasa Angkutan Udara di Provinsi Jambi

Boks 2. Kesuksesan Sektor Jasa Angkutan Udara di Provinsi Jambi Boks 2. Kesuksesan Sektor Jasa Angkutan Udara di Provinsi Jambi Perekonomian Jambi yang mampu tumbuh sebesar 5,89% pada tahun 2006 merupakan prestasi tersendiri. Pada awal tahun bekerjanya mesin ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekstrem dapat dikatakan pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan. mengakibatkan kepemilikan apapun (Kotler, 2002:83).

BAB I PENDAHULUAN. ekstrem dapat dikatakan pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan. mengakibatkan kepemilikan apapun (Kotler, 2002:83). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrem dapat dikatakan pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia.pelayanan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anisa Rosdiana, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anisa Rosdiana, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia. Laju pertumbuhan yang sangat pesat mencapai 1,5 persen pertahun atau 3,5 juta jiwa, terhitung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. yang sedang berkembang (emerging market), kondisi makro ekonomi

BAB I PENDAHULAN. yang sedang berkembang (emerging market), kondisi makro ekonomi BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi ini pasar modal merupakan instrumen penting dalam perekonomian suatu negara. Pasar modal yang ada di Indonesia merupakan pasar yang sedang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penerbangan untuk masuk berkompetisi di industri penerbangan Indonesia. Data

BAB I PENDAHULUAN. penerbangan untuk masuk berkompetisi di industri penerbangan Indonesia. Data BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Persaingan di industri penerbangan Indonesia semakin meningkat, ditunjukkan dengan semakin banyak pemain maskapai penerbangan yang masuk ke pasar Indonesia,

Lebih terperinci

UKDW. 1.1 Latar Belakang Masalah. Akhir-akhir ini perkembangan industri jasa transportasi di Indonesia berkembang

UKDW. 1.1 Latar Belakang Masalah. Akhir-akhir ini perkembangan industri jasa transportasi di Indonesia berkembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini perkembangan industri jasa transportasi di Indonesia berkembang sangat pesat, terutama pada jasa penerbangan yang setiap tahun selalu meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Mobilitas masyarakat saat ini memang bisa dibilang sangat tinggi dan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Mobilitas masyarakat saat ini memang bisa dibilang sangat tinggi dan Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mobilitas masyarakat saat ini memang bisa dibilang sangat tinggi dan Indonesia mempunyai wilayah kepulauan terbesar di dunia maka tidak heran apabila banyak orang yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Indonesia dan Amerika Serikat. Untuk mengetahui bagaimana praktik. Sherman Act; Clayton Act; Celler Kefauver Act; Robinson-Patman

BAB V PENUTUP. Indonesia dan Amerika Serikat. Untuk mengetahui bagaimana praktik. Sherman Act; Clayton Act; Celler Kefauver Act; Robinson-Patman BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengumpulan data, analisis serta pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka Penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan perkembangan

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Nomor. 30/AN/B.AN/2010 0 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN SIMPANAN *) BANK UMUM POSISI FEBRUARI 2012

PERTUMBUHAN SIMPANAN *) BANK UMUM POSISI FEBRUARI 2012 Nop-06 Feb-07 Mei-07 Agust-07 Nop-07 Feb-08 Mei-08 Agust-08 Nop-08 Feb-09 Mei-09 Agust-09 Nop-09 Feb-10 Mei-10 Agust-10 Nop-10 Feb-11 Mei-11 Agust-11 Nop-11 PERTUMBUHAN SIMPANAN *) BANK UMUM POSISI FEBRUARI

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI CQWWka BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No.15/12/62/Th.X, 1 Desember PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI Selama Oktober, Jumlah Penumpang Angkutan Laut dan Udara Masing Masing 19.470 Orang dan 136.444 Orang.

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM KPP PMA LIMA

BAB III GAMBARAN UMUM KPP PMA LIMA BAB III GAMBARAN UMUM KPP PMA LIMA 3.1. Gambaran Umum KPP PMA Lima Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Lima (KPP PMA Lima) dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 443/KMK/0172001

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencari keuntungan, Namun untuk mencegah terjadinya persaingan. tidak sehat dalam dunia penerbangan.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencari keuntungan, Namun untuk mencegah terjadinya persaingan. tidak sehat dalam dunia penerbangan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penerbangan merupakan salah satu sektor transportasi yang banyak diminati. Selain dapat menghemat waktu, penerbangan juga memberikan tarif yang cukup murah untuk setiap

Lebih terperinci

Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam. Informasi Utama :

Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam. Informasi Utama : Sep-10 Okt-10 Nov 10 Des-10 Jan-11 Feb-11 Mar-11 Apr-11 Mei-11 Jun-11 Jul-11 Agust-11 Sep-11 Okt-11 Edisi : 10/AYAM/TKSPP/2011 Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam Informasi Utama : Harga daging ayam di

Lebih terperinci

Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-2009 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik

Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-2009 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik B O K S Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-29 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL Pertumbuhan ekonomi Zona Sumbagteng terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepuasan konsumen sehingga dapat mendatangkan profit bagi perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. kepuasan konsumen sehingga dapat mendatangkan profit bagi perusahaan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap perusahaan yang berorientasi pada keuntungan selalu mengharapkan profit dari usaha yang mereka keluarkan, profit tersebut digunakan baik untuk eksistensi

Lebih terperinci

DATA DISTRIBUSI SIMPANAN PADA BPR DAN BPRS

DATA DISTRIBUSI SIMPANAN PADA BPR DAN BPRS DATA DISTRIBUSI SIMPANAN PADA BPR DAN BPRS SEMESTER II-2016 Divisi Statistik, Kepesertaan, dan Premi Penjaminan Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko Daftar Isi Daftar Isi... 1 KETERANGAN... 2 I.

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan UKDW. Usaha Milik Negara (BUMN) untuk go public. Salah satu perusahaan BUMN. yang melakukan go public adalah Garuda Indonesia.

Bab I. Pendahuluan UKDW. Usaha Milik Negara (BUMN) untuk go public. Salah satu perusahaan BUMN. yang melakukan go public adalah Garuda Indonesia. Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk., suatu perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan Akta Notaris Nomor 8 tanggal 4 Maret 1975 dan memperoleh status badan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN SIMPANAN PADA BPR DAN BPRS

PERTUMBUHAN SIMPANAN PADA BPR DAN BPRS PERTUMBUHAN SIMPANAN PADA BPR DAN BPRS Juni 2016 Divisi Statistik, Kepesertaan, dan Premi Penjaminan Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko Daftar Isi Daftar Isi... 1 KETERANGAN... 2 I. Total Simpanan...

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN SIMPANAN *) BANK UMUM POSISI APRIL 2012

PERTUMBUHAN SIMPANAN *) BANK UMUM POSISI APRIL 2012 I. TOTAL SIMPANAN NASABAH PERTUMBUHAN SIMPANAN *) BANK UMUM POSISI APRIL 2012 Total pada bulan April 2012 mengalami kenaikan sebesar Rp14,48 Triliun dibandingkan dengan total pada bulan Maret 2012 sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). 1 Pernyataan tersebut secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Beberapa tahun belakangan, industri penerbangan nasional berkembang dengan cukup pesat. Harga tiket penerbangan untuk berbagai rute domestik secara rata-rata

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Pasar penerbangan di Indonesia adalah pasar yang potensial, hal ini didasarkan pada karakteristik demografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Selain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Transportasi menyangkut pergerakan orang dan barang pada hakekatnya telah dikenal

I. PENDAHULUAN. Transportasi menyangkut pergerakan orang dan barang pada hakekatnya telah dikenal I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transportasi menyangkut pergerakan orang dan barang pada hakekatnya telah dikenal secara alamiah semenjak manusia ada di bumi, meskipun pergerakan atau perpindahan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL DAN BAHASAN BAB 4 HASIL DAN BAHASAN 4.1 Hasil dan Bahasan 4.1.1 Penentuan Suku Cadang Prioritas Untuk menentukan suku cadang prioritas pada penulisan tugas akhir ini diperlukan data aktual permintaan filter fleetguard

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daya tarik (attractiveness) industri penerbangan cukup besar dan menjanjikan.

I. PENDAHULUAN. Daya tarik (attractiveness) industri penerbangan cukup besar dan menjanjikan. ` I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan jasa pelayanan maskapai penerbangan dari tahun ke tahun semakin menjadi perhatian masyarakat luas. Hal itu dapat dilihat dari ketatnya persaingan pelayanan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekitar 56,5 persen dari total jumlah penduduk (Kelas Menengah dan Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. sekitar 56,5 persen dari total jumlah penduduk (Kelas Menengah dan Perilaku BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 2000 setelah melewati krisis ekonomi pada dua tahun sebelumnya, perlahan perekonomian Indonesia tumbuh positif. Pertumbuhan perekonomian yang positif ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak hanya produk berupa barang yang banyak memberikan manfaat untuk kelangsungan hidup manusia. Di era modern dan perkembangan teknologi serta meningkatnya kebutuhan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI CQWWka BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No.15/01/62/Th.XI, 3 Januari 2017 PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI Selama November, Jumlah Penumpang Angkutan Laut dan Udara Masing-Masing 15.421 Orang dan 134.810 Orang.

Lebih terperinci

DATA DISTRIBUSI SIMPANAN PADA BPR DAN BPRS

DATA DISTRIBUSI SIMPANAN PADA BPR DAN BPRS DATA DISTRIBUSI SIMPANAN PADA BPR DAN BPRS SEMESTER I-2017 Group Penanganan Premi Penjaminan Daftar Isi Daftar Isi... 1 Daftar Tabel dan Gambar...2 Keterangan... 3 I. Jumlah BPR dan BPRS... 4 II. Total

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi transportasi saat ini yang sangat pesat membuat

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi transportasi saat ini yang sangat pesat membuat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi transportasi saat ini yang sangat pesat membuat persaingan dalam penyediaan jasa transportasi menjadi sangat tajam dan ketat. Salah satunya adalah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004 KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 81 TAHUN 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UDARA MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2001 telah

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN STATISTIK TRANSPORTASI JAWA TENGAH BULAN APRIL 2015

PERKEMBANGAN STATISTIK TRANSPORTASI JAWA TENGAH BULAN APRIL 2015 No.41/06/33/Th.IX, 01 Juni 2015 PERKEMBANGAN STATISTIK TRANSPORTASI JAWA TENGAH BULAN APRIL 2015 Jumlah keberangkatan (embarkasi) penumpang angkutan udara komersial dari Jawa Tengah pada April 2015 secara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Transportasi udara merupakan pilihan transportasi yang strategis untuk dapat melancarkan arus pergerakan barang dan mobilitas individu mengingat bahwa Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. berjuang untuk menjadi pemenang dalam memasarkan produknya. Sejalan dengan

BAB 1. Pendahuluan. berjuang untuk menjadi pemenang dalam memasarkan produknya. Sejalan dengan 13 BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pada saat seperti ini, kemajuan jaman dan adanya era globalisasi dunia usaha membuat persaingan semakin kompetitif sehingga setiap perusahaan berusaha berjuang untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat pesat. Terkait dengan pertumbuhan industri jasa, di sisi lain juga semakin

BAB I PENDAHULUAN. sangat pesat. Terkait dengan pertumbuhan industri jasa, di sisi lain juga semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini industri jasa di Indonesia menunjukan perkembangan yang sangat pesat. Terkait dengan pertumbuhan industri jasa, di sisi lain juga semakin meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Citilink Indonesia Profil Perusahaan Gambar 1.1 Logo Citilink

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Citilink Indonesia Profil Perusahaan Gambar 1.1 Logo Citilink BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Citilink Indonesia 1.1.1 Profil Perusahaan Citilink adalah Unit Strategi Bisnis (USB) yang mandiri dari PT. Garuda Indonesia Airlines. Citilink lebih ditujukan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelancaran kehidupan. Transportasi menjadi bagian penting atas perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. kelancaran kehidupan. Transportasi menjadi bagian penting atas perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring berkembangnya zaman, transportasi di Indonesia semakin diperlukan bagi semua kalangan. Keberadaan sebuah sarana transportasi dalam kehidupan manusia menjadi

Lebih terperinci

TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR (TPK) HOTEL BINTANG PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BULAN SEPTEMBER ,34 PERSEN

TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR (TPK) HOTEL BINTANG PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BULAN SEPTEMBER ,34 PERSEN No. 44/11/34/Th.XIII, 1 November 2011 TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR (TPK) HOTEL BINTANG PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BULAN SEPTEMBER 2011 56,34 PERSEN Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel bintang di Provinsi D.I.

Lebih terperinci

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI Pendahuluan 1. Situasi perberasan yang terjadi akhir-akhir ini (mulai Maret 2008) dicirikan dengan

Lebih terperinci

Sumber: BPS, 2004 Gambar 1. Grafik Data Penumpang Angkutan Udara yang Berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta (Jan-Nov 2004)

Sumber: BPS, 2004 Gambar 1. Grafik Data Penumpang Angkutan Udara yang Berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta (Jan-Nov 2004) I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penumpang angkutan udara dari waktu ke waktu cenderung meningkat, hal ini terlihat dari pengguna Bandara Soekarno-Hatta seperti terlihat dari Gambar 1. orang 1000000 900000

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (Lembaran Negara Republik Indon

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (Lembaran Negara Republik Indon BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.106, 2016 KEMENHUB. Tarif. Angkutan Udara Niaga. Pelayanan Kelas Ekonomi. Batas Atas. Batas Bawah Penumpang. Formulasi. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

bagi Indonesia dalam menghadapi persaingan regional maupun global. Kedua, Infrastruktur industri penerbangan juga memiliki kelebihan berupa banyaknya

bagi Indonesia dalam menghadapi persaingan regional maupun global. Kedua, Infrastruktur industri penerbangan juga memiliki kelebihan berupa banyaknya BAB V KESIMPULAN Fenomena ASEAN Open Sky menjadi fenomena yang tidak dapat dihindari oleh Pemerintah Indonesia. sebagai negara yang mendukung adanya iklim perdagangan bebas dunia, Indonesia harus mendukung

Lebih terperinci

Harga Avtur Naik, Maskapai Penerbangan Hapus Kelas Murah. Bagaimana Pertumbuhan Pengguna Jasa Pesawat Terbang Kedepan?

Harga Avtur Naik, Maskapai Penerbangan Hapus Kelas Murah. Bagaimana Pertumbuhan Pengguna Jasa Pesawat Terbang Kedepan? Harga Avtur Naik, Maskapai Penerbangan Hapus Kelas Murah. Bagaimana Pertumbuhan Pengguna Jasa Pesawat Terbang Kedepan? Sitti Raha A.Salim Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI CQWWka BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 15/11/62/Th.X, 1 November PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI Selama September, Jumlah Penumpang Angkutan Laut dan Udara Masing-Masing 24.894 Orang dan 132.010 Orang.

Lebih terperinci

KAJIAN PENGATURAN SLOT PENERBANGAN DI BANDARA SENTANI JAYAPURA

KAJIAN PENGATURAN SLOT PENERBANGAN DI BANDARA SENTANI JAYAPURA KAJIAN PENGATURAN SLOT PENERBANGAN DI BANDARA SENTANI JAYAPURA Efendy Tambunan 1 dan Novalia Cicilia Manafe 2 1 Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Universitas Kristen Indonesia, Jl. Sutoyo, Cawang, Jakarta

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT NOVEMBER 2016 No. 04/01/32/Th.XIX, 03 Januari 2017 A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR NOVEMBER 2016 MENCAPAI USD

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR HOTEL BINTANG

PERKEMBANGAN TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR HOTEL BINTANG No. 04/01/81/Th. VIII, 3 Januari 2017 2014 PERKEMBANGAN TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR HOTEL BINTANG DI PROVINSI MALUKU NOVEMBER TPK HOTEL BINTANG NOVEMBER MENCAPAI 38,23 % Tingkat penghunian kamar (TPK) hotel

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA NOVEMBER 2014

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA NOVEMBER 2014 No. 02/01/Th. VI, 2 Januari 2015 PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA NOVEMBER 2014 Nilai ekspor Sulawesi Tenggara pada bulan November 2014 tercatat US$ 8,99 juta atau mengalami penurunan sebesar

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. diperbaharui, atau perbahuruannya membutuhkan waktu yang sangat lama.

IV. GAMBARAN UMUM. diperbaharui, atau perbahuruannya membutuhkan waktu yang sangat lama. 45 IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Sejarah Perminyakan Indonesia Minyak bumi merupakan salah satu jenis sumber energi yang tidak dapat diperbaharui, atau perbahuruannya membutuhkan waktu yang sangat lama. Minyak

Lebih terperinci

PRESENSI DOSEN DIPEKERJAKAN KOPERTIS WILAYAH V

PRESENSI DOSEN DIPEKERJAKAN KOPERTIS WILAYAH V Pangkat/Gol. : Perguruan Tinggi : Universitas Ahmad Dahlan Jabatan Fungsional : Bulan : Januari 2014 No. HARI TANGGAL DATANG PULANG. DATANG PULANG 1 Rabu 01-Jan-14 Libur Libur Libur 2 Kamis 02-Jan-14 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahan baku di dalam banyak industri perlu disediakan pada waktu, tempat, dimungkinkan dengan pemeliharaan inventori yang baik.

BAB I PENDAHULUAN. Bahan baku di dalam banyak industri perlu disediakan pada waktu, tempat, dimungkinkan dengan pemeliharaan inventori yang baik. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahan baku di dalam banyak industri perlu disediakan pada waktu, tempat, serta harga yang tepat untuk memuluskan pelaksanaan organisasi. Berbagai bisnis perlu

Lebih terperinci

BAB II PROFIL BISNIS. Asal mula sang pendiri mendirikan bisnis tour and travel ini dikarenakan melihat

BAB II PROFIL BISNIS. Asal mula sang pendiri mendirikan bisnis tour and travel ini dikarenakan melihat BAB II PROFIL BISNIS 2.1. Sejarah Berdirinya Usaha Asal mula sang pendiri mendirikan bisnis tour and travel ini dikarenakan melihat adanya peluang bisnis yang bagus yaitu banyaknya mahasiswa yang berasal

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN SIMPANAN *) BANK UMUM POSISI JANUARI 2012

PERTUMBUHAN SIMPANAN *) BANK UMUM POSISI JANUARI 2012 Jan-07 Apr-07 Jul-07 Oct-07 Jan-08 Apr-08 Jul-08 Oct-08 Jan-09 Apr-09 Jul-09 Oct-09 Jan-10 Apr-10 Jul-10 Oct-10 Jan-11 Apr-11 Jul-11 Oct-11 PERTUMBUHAN SIMPANAN *) BANK UMUM POSISI JANUARI 2012 I. TOTAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional sangatlah diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi

I. PENDAHULUAN. nasional sangatlah diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang masih memiliki tingkat kesejahteraan penduduk yang relatif rendah. Oleh karena itu kebutuhan akan pembangunan nasional sangatlah diperlukan

Lebih terperinci

Konsep KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI BBM

Konsep KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI BBM tatus: 10012007 DEPARTEMEN ENERGI DAN UMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL MINYAK DAN GA BUMI Konsep KEBIJAKAN PENGURANGAN UBIDI BBM www.migas.esdm.go.id Jakarta, Januari 2006 KEBIJAKAN UBIDI BBM tatus:

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA JULI 2016

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA JULI 2016 No. 48/09/Th. VII, 1 September 2016 PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA JULI 2016 Nilai ekspor Sulawesi Tenggara pada bulan Juli 2016 tercatat US$ 11,47 juta atau mengalami peningkatan sebesar

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI CQWWka BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 15/09/62/Th.X, 1 September PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI Selama Juli, Jumlah Penumpang Angkutan Laut dan Udara Masing-Masing 77.639 Orang dan 154.425 Orang. Jumlah

Lebih terperinci

Benny Marbun Kepala Divisi Niaga PT PLN (Persero) Batam, 23 November 2012

Benny Marbun Kepala Divisi Niaga PT PLN (Persero) Batam, 23 November 2012 Benny Marbun Kepala Divisi Niaga PT PLN (Persero) Batam, 23 November 2012 1. 1 Proses produksi menuntut tersedianya pasokan listrik yang cukup, handal dan berkualitas 2. 2 PLN belum dapat menyediakan pasokan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pertumbuhan sektor jasa di Indonesia berkembang dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pertumbuhan sektor jasa di Indonesia berkembang dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini pertumbuhan sektor jasa di Indonesia berkembang dengan pesat, hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan kumulatif PDB tahun 2010 pada sektor perusahaan

Lebih terperinci

JUL LI ,43. senilai US$ juta. 327,07 ribu. senilai. ton atau. Ekspor. negeri yang. perdagangan luar 16,63

JUL LI ,43. senilai US$ juta. 327,07 ribu. senilai. ton atau. Ekspor. negeri yang. perdagangan luar 16,63 PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA JUL LI 2015 No. 02/09/Th. VI, 1 September 2015 Nilai ekspor Sulawesi Tenggara pada bulan Juli 2015 tercatat US$ 37,48 juta atau mengalami peningkatan sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Transportasi berperan penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Transportasi berperan penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Transportasi merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Transportasi berperan penting dalam menunjang

Lebih terperinci

Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam

Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam Sep-10 Okt-10 Nov 10 Des-10 Jan-11 Feb-11 Mar-11 Apr-11 Mei-11 Jun-11 Jul-11 Agust-11 Sep-11 Edisi : 9/AYAM/TKSPP/ Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam Informasi Utama : Harga daging ayam di pasar domestik

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN STATISTIK TRANSPORTASI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2015

PERKEMBANGAN STATISTIK TRANSPORTASI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2015 No.74 /11/33/Th.IX, 02 November 2015 PERKEMBANGAN STATISTIK TRANSPORTASI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2015 Jumlah keberangkatan (embarkasi) penumpang angkutan udara komersial dari Jawa Tengah pada September

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring pesatnya kemajuan teknologi, segala sesuatu semakin mudah dilakukan, misalnya untuk mengakses informasi sangat mudah dilakukan dan cepat dilakukan semenjak

Lebih terperinci

SURVEY PENJUALAN ECERAN

SURVEY PENJUALAN ECERAN SURVEY PENJUALAN ECERAN September Indeks riil penjualan eceran pada September mengalami penurunan Harga-harga umum diperkirakan meningkat dan tingkat suku bunga kredit diperkirakan relatif stabil Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. signifikan di Indonesia. Sejumlah maskapai penerbangan saling. berkompetitif untuk merebut pasar domesitik maupun internasional.

BAB I PENDAHULUAN. signifikan di Indonesia. Sejumlah maskapai penerbangan saling. berkompetitif untuk merebut pasar domesitik maupun internasional. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era modern saat ini sarana transportasi memiliki peranan yang sangat vital untuk melakukan berbagai kegiatan, terlebih dalam dunia bisnis. Pertumbukan industri

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA BARAT JUNI 2017

PROVINSI JAWA BARAT JUNI 2017 BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR No. 43/08/32/Th.XIX, 01 Agustus 2017 PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT JUNI 2017 A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR JUNI 2017 MENCAPAI USD 1,95 MILYAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan kapasitas produksi dan ketersediaan bahan.

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan kapasitas produksi dan ketersediaan bahan. V-21 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Perkembangan industri manufaktur di Indonesia semakin pesat, masing-masing perusahaan dituntut untuk memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan perusahaan pesaing

Lebih terperinci

Dela Wanti Widyantari, Hanif Nur Widhiyanti, SH., M.Hum., M. Zairul Alam, SH., MH.

Dela Wanti Widyantari, Hanif Nur Widhiyanti, SH., M.Hum., M. Zairul Alam, SH., MH. TINJAUAN YURIDIS KETERKAITAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA (Studi Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 26/KPPU-L/2007 Tentang Kartel SMS dan Nomor 25/KPPU-I/2009

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri penerbangan sudah banyak menjamur di Indonesia yang disebabkan adanya deregulasi pemerintah dalam bidang penerbangan. Deregulasi penerbangan di Indonesia

Lebih terperinci