KALIMAT KOORDINASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH ANCANGAN TIPOLOGI SINTAKTIS Mulyadi Universitas Sumatera Utara

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KALIMAT KOORDINASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH ANCANGAN TIPOLOGI SINTAKTIS Mulyadi Universitas Sumatera Utara"

Transkripsi

1 KALIMAT KOORDINASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH ANCANGAN TIPOLOGI SINTAKTIS Mulyadi Universitas Sumatera Utara Abstrak Artikel ini membahas perilaku argumen sintaktis pada struktur kalimat koordinasi bahasa Indonesia. Dengan menggunakan ancangan tipologi sintaktis, penelitian ini bertujuan untuk menguraikan tipe-tipe kalimat koordinasi dalam bahasa Indonesia. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahasa Indonesia memiliki properti ergativitas sintaktis sebab pada struktur kalimat koordinasi bahasa indonesia dimungkinkan pelesapan argumen referensial apabila fungsinya adalah pasien dan subjek. Namun, bahasa Indonesia juga memiliki properti akusatif sintaktis karena argumen dari klausa intransitif yang dilesapkan berkoreferensi dengan agen. Kata kunci: kalimat koordinasi, tipologi sintaktis, argumen sintaktis, relasi koreferensial Abstract This article discusses behavior of syntactic argument in the sentence structure of coordination in bahasa Indonesia. By using syntactic tipological approach, the research purpose is to describe the sentence types in bahasa Indonesia. The results of the research show that bahasa Indonesia has syntactic ergativity properties because they allow the deletion of coreferencial argument if their functions are as pasient and subject. But bahasa Indonesia also has the syntactic accusative properties because argument of deleted intransitive clauses coreference with agent. Key words: coordination sentences, syntactic typologies, syntactic argument, coreferencial relations 1. Pengantar Konstruksi sintaktis sebuah bahasa pada dasarnya dibentuk oleh tiga relasi inti dasar atau tiga primitif gramatikal-semantis (lihat Dixon, 1989; Song, 2001: 40 41). Ketiga primitif itu terdiri atas subjek (S) klausa intransitif, agen (A) atau subjek logis klausa transitif, dan pasien (P) atau objek logis klausa transitif. Menurut Song (2001: 40 41), ketiga primitif itu secara tipologis berguna 1

2 sebagai pemarkah kasus, terutama untuk penentuan profil sebuah bahasa, misalnya apakah sebuah bahasa tergolong bertipe akusatif atau bertipe ergatif. Bahasa Indonesia umumnya disebut bertipe akusatif (mis. Fokker, 1980; Keraf, 1984, 1989; Parera, 1991; Alwi dkk, 2000). Sebaliknya, Verhaar (1989) berpendapat bahwa bahasa Indonesia secara tipologis terpisah atas dua tipe, yaitu tipe akusatif untuk bahasa Indonesia ragam resmi dan tipe ergatif untuk bahasa Indonesia ragam tak resmi. Sejalan dengan Verhaar, Artawa (1997) mengklaim bahwa bahasa Indonesia memiliki properti ergatif secara sintaktis. Dalam artikel ini dianalisis perilaku argumen S, A, dan P pada kalimat koordinasi bahasa Indonesia. Tujuan penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan tipe-tipe kalimat koordinasi bahasa Indonesia. Pemilihan kalimat koordinasi berdasarkan pertimbangan bahwa tipe kalimat ini sangat cocok dengan tipologi verba-objek (VO) yang menjadi tipe bahasa Indonesia (lihat Purwo, 1989: 351; Verhaar, 1996: 288). Korpus penelitian ini sebagian besar berisi data tulis. Perilaku S, A, dan P pada kalimat koordinasi dikumpulkan dari berbagai sumber seperti novel, cerita pendek, dan surat kabar. Data tulis itu dijaring dengan metode simak. Metode reflektif-instrospektif diterapkan untuk melengkapi data yang ada. Selanjutnya, semua data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan kesamaan perilaku argumennya. Perilaku argumen sintaktis itu diuji dengan teknik kepivotan, 3 yang sangat cocok diterapkan pada bahasa-bahasa yang memiliki pemarkahan sintaktis pada argumennya, seperti pada bahasa Indonesia. 2

3 2. Konsep dan Landasan Teori 2.1 Konsep Ada dua konsep yang perlu dibatasi, yakni kalimat koordinasi dan susunan beruntun. Kalimat koordinasi merujuk pada aliansi dua klausa atau lebih dalam hubungan setara (lihat Verhaar, 1996: 282; Alwi dkk, 2000: 386). Aliansi itu terjadi karena pemakaian konjungsi, seperti pada (1) atau penggunaan tanda koma, seperti pada (2). Dalam bahasa Indonesia, kedua klausa itu biasanya dihubungkan oleh konjungsi aditif (mis. dan, lalu, kemudian), kontrastif (mis. [te]tapi, sedang[kan], namun), dan alternatif (mis. atau). Jika aliansinya menggunakan tanda koma, hubungan antarklausa ditafsirkan secara semantis. (1) Ia bisa datang dan pergi kapan saja dengan bebas. [Nayla, 2005] (2) Ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak. [RSK, 1996:23] Dalam pohon biologis, dua konstituen kalimat (K) atau lebih pada kalimat koordinasi disebut anak dan ko-inti dari K (Kroeger, 2004: 40). Tiaptiap klausa anak itu mempunyai struktur internal yang mandiri pada kalimat kompleks. Pada kalimat koordinasi yang berupa aliansi dua klausa, FN subjek dapat dilesapkan pada klausa kedua apabila berkoreferensi dengan subjek dari klausa pertama. Misalnya, kedua klausa pada kalimat koordinasi pada (1) dan (2) di atas memiliki subjek yang sama sehingga subjek dari klausa kedua dapat dilesapkan, yang ditandai dengan [ ]. Struktur kalimat koordinasi pada (1) dan (2) digambarkan pada (3). 3

4 (3) K K Konj K ia bisa datang dan [ ] pergi kapan saja dengan bebas ia telentang di ranjangnya [ ] enggan bergerak Susunan beruntun mengacu pada penggolongan bahasa-bahasa yang berbasis pada tiga konstituen utama: S, V, dan O. S mengacu pada entitas yang mengawali tindakan, O merujuk pada entitas yang menjadi sasaran tindakan, dan V adalah tindakan itu sendiri. Song (2001: 49) mengklaim bahwa ada enam susunan beruntun dasar yang direalisasikan pada bahasa-bahasa di dunia, yakni SOV, SVO, VSO, VOS, OVS, dan OSV. Song (2001: 138) menambahkan bahwa fungsi utama dari susunan beruntun dasar pada tingkat klausa ialah untuk menunjukkan siapa melakukan sesuatu (X) pada siapa. Bahasa Indonesia dalam beberapa literatur digolongkan bersusunan SVO (Sudaryanto, 1983; Purwo, 1989: 351). Pola susunan ini tampak jika dibandingkan contoh (4) dan (5) di bawah. Peran semantis FN perampok itu dan polisi pada (4) berbeda dengan peran semantis FN pada (5) kendatipun kedua kalimatnya memuat kata dan konstituen yang sama. Dengan peran yang bersangkutan, hubungannya berlaku antara FN dan verba, dan juga antara FN itu sendiri. Jelasnya, pada (4) perampok itu adalah agen dan polisi adalah pasien, sementara pada (5), polisi adalah agen dan perampok itu adalah pasien. (4) Perampok itu menembak polisi. (5) Polisi menembak perampok itu. 4

5 Perbedaan dalam peran FN dalam kalimat (4) dan (5) ditandai secara langsung oleh perbedaan dalam penempatan FN. FN praverbal ditafsirkan sebagai orang yang melakukan tindakan penembakan, sedangkan FN posverbal dipahami sebagai orang yang menjadi korban dari tindakan penembakan. Peran FN ditafsirkan begitu karena bahasa Indonesia memiliki mekanisme gramatika yang melibatkan bentuk-bentuk morfologis untuk mengekspresikan peran semantis atau relasi gramatikal FN pada sebuah klausa. Bentuk-bentuk morfologis itu biasanya direalisasikan dalam bentuk afiks dan pemarkah pada verba yang merupakan unsur sentral pada sebuah klausa. 2.2 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan ancangan tipologi sintaksis. Dalam kajian tipologi sintaktis, penentuan tipe sebuah bahasa didasarkan pada tiga argumen sintaktis berikut: (6) S = argumen subjek kalimat intransitif A = argumen agen kalimat transitif P = argumen pasien kalimat transitif Relasi S, A, dan P di atas secara eksplisit menerangkan jumlah argumen yang hadir pada sebuah klausa. Pada klausa intransitif hadir satu argumen (S), tetapi pada klausa transitif terdapat dua argumen, A dan P. Penetapan tipe sebuah bahasa, akusatif atau ergatif, mengacu pada perilaku sintaktis A dan P. Artinya, dari argumen A dan P dipilih satu argumen yang berperilaku sintaktis sama 5

6 dengan argumen S pada klausa intransitif. Apabila argumen A berperilaku sama dengan argumen S dan berbeda dengan argumen P, bahasa itu digolongkan bertipe akusatif. Sebaliknya, sebuah bahasa bertipe ergatif jika argumen P berperilaku sama dengan argumen S dan berbeda dengan argumen A. Perbedaan kedua tipe bahasa ini digambarkan sebagai berikut. (7) akusatif ergatif S S A P A P Contoh bahasa yang dikenal memiliki properti ergatif secara sintaktis adalah bahasa Dyirbal, sebuah bahasa Aborigin di Australia. Dalam bahasa Dyirbal, dua jenis klausa dapat berkoordinasi apabila kedua FN-nya berfungsi sebagai P dan S. Argumen yang berkoreferensi pada klausa kedua biasanya dilesapkan. (8) Marri Jani-nggu bura-n nyina-nyu. Mary (P) John-ERG see-nonfut sit down-nonfut Pada contoh (8), S pada klausa intransitif dinyatakan secara implisit. Pada kalimat ini, S secara sintaktis berkoreferensi dengan P (Mary) pada klausa transitif yang mendahuluinya. Jadi, pada bahasa Dyirbal argumen yang berkoreferensi dalam struktur kalimat koordinasi dapat dilesapkan kalau masing-masing berfungsi sebagai P dan S. 6

7 Fakta gramatikal yang diterangkan di atas berbeda dengan bahasa yang bertipe akusatif, seperti bahasa Inggris. Pada kalimat seperti (9) John (A) saw Mary (P) and [ ] sat down. konstituen yang dilesapkan pada klausa kedua, yang disimbolkan dengan [ ], adalah S yang berkoreferensi dengan A pada klausa pertama, dan bukan dengan P. Dengan kata lain, dalam bahasa Inggris A berperilaku sama dengan S sehingga ditetapkan sebagai bahasa akusatif. 3. Interpretasi Tipologis Bahasa Indonesia Interpretasi terhadap relasi S, A, dan P berbasis pada tipe-tipe aliansi klausa yang membentuk kalimat koordinasi bahasa Indonesia. Dengan mengamati hubungan koreferensi yang terbentuk pada ketiga argumen tersebut, seperti yang diringkas pada Tabel 1, berikut ini diterangkan interpretasi tipologis pada kalimat koordinasi bahasa Indonesia. Tabel 1 Tipe Aliansi Klausa pada Kalimat Koordinasi Bahasa Indonesia Tipe Klausa I Klausa II Hubungan Koreferensi I Intransitif Intransitif S1 = S2 II Intransitif Transitif S1 = P2 S1 = A2 III Transitif Intransitif P1 = S2 A1 = S2 IV Transitif Transitif P1 = P2 A1 = A2 P1 = A2 A1 = P2 P1 = P2 dan A1 = A2 P1 = A2 dan A1 = P2 7

8 3.1 Intransitif-Intransitif Kalimat koordinasi dapat dibentuk oleh dua klausa intransitif yang kedua argumen S-nya berkoreferensi. Ini diilustrasikan pada (10) dan (11) (10) Dan laki-laki itu melangkah dengan tenang ke muka, tapi kepalanya tepekur sebagai orang kalah. [RSK, 1996:64] (11) Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. [RSK, 1996:15] Pada (10), FN subjek kepalanya pada klausa kedua mengacu pada FN subjek laki-laki itu pada klausa pertama. Pada (11) FN subjek mereka pada klausa kedua merujuk pada FN subjek anak cucu kami itu pada klausa pertama. Namun, kekoreferensialan dalam bahasa Indonesia tidak selalu direalisasikan oleh relasi antarkonstituen, tetapi bisa direalisasikan oleh relasi konstituen dengan klausa, seperti pada (12). (12) a. Belakangan ini, korban tewas bunuh diri di Karangasem terus bertambah dan itu cukup memprihatinkan. [BP] b.?belakangan ini, korban tewas bunuh diri di Karangasem terus bertambah dan [korban tewas bunuh diri di Karangasem] cukup memprihatinkan. c. Belakangan ini, korban tewas bunuh diri di Karangasem terus bertambah dan [penambahan terus korban tewas bunuh diri di Karangasem] cukup memprihatinkan. Pada contoh (12b), pronomina itu sebagai argumen S pada klausa kedua secara semantis kurang tepat ditafsirkan berkoreferensi dengan argumen S pada 8

9 klausa pertama. Munculnya keprihatinan (masyarakat) tidak semata-mata dikarenakan adanya korban tewas bunuh diri, tetapi lebih disebabkan terjadinya penambahan jumlah korban, seperti pada (12c). Dalam bahasa Indonesia, hubungan anaforis ini dimungkinkan sebab pronomina demonstratif seperti itu, dan pronomina yang lain seperti ini dan demikian, dapat mengacu pada tataran di atas konstituen, seperti klausa, kalimat, atau paragraf. Apabila dua argumen S yang referensial digabungkan ke dalam sebuah kalimat koordinasi, argumen S pada klausa kedua dapat dilesapkan. Contohnya, S2 pada kalimat (13) dan (14) dapat dilesapkan karena berkoreferensi dengan S1, yakni FN Om Indra pada (13) dan FN terdakwa pada (14). Ditafsirkan seperti itu sebab tidak ada argumen S lain yang hadir pada kalimat itu. Satu-satunya argumen sintaktis yang dapat mengisi slot yang ditinggalkan S2 ialah argumen S yang mendahuluinya, yaitu S1. (13) Om Indra tinggal di rumah dan [ ] tidur di kamar ibu. [Nayla, 2005:96] (14) Terdakwa mengaku tidak bersalah dan [ ] tidak menyesal terhadap perbuatan yang telah dilakukannya. [BP] Mengingat hubungan koreferensi terjalin di antara konstituen dan klausa pada kalimat koordinasi, seperti pada (12), implikasinya ialah bahwa argumen S2 yang lesap juga dapat diinterpretasikan berkoreferensi dengan klausa, bukan dengan sebuah konstituen. Dengan tes sintaktis, contoh (15) menunjukkan bahwa S2 lebih tepat berkoreferensi dengan sebuah klausa, seperti pada (15c), daripada berkoreferensi dengan sebuah konstituen, seperti pada (15b). 9

10 (15) a. Ompi bertanya dengan suara yang mendesis, tapi [ ] terburu-buru berdesakan keluar. [RSK, 1996:26] b. *Ompi bertanya dengan suara yang mendesis, tapi [Ompi] terburu-buru berdesakan keluar. c. Ompi bertanya dengan suara yang mendesis, tapi [pertanyaan Ompi] terburu-buru berdesakan keluar. Pelesapan S2 pada tipe kalimat koordinasi ini dibolehkan asalkan kedua argumen S-nya referensial dan S2 yang dilesapkan tidak mesti berkoreferensi dengan konstituen, tetapi dapat juga berkoreferensi dengan klausa. 3.2 Intransitif-Transitif Kekoreferensialan argumen S dan P ditunjukkan pada kalimat (16a) dan (17a). Argumen P pada klausa kedua tidak boleh dilesapkan langsung sebab akan terbentuk kalimat yang tidak gramatikal, seperti pada (16b) dan (17b). (16) a. Dia masuk ke dalam dan saya mengintipnya dari lobang kunci. b. *Dia masuk ke dalam dan saya mengintip [ ] dari lobang kunci (17) a. Temanku baik-baik, tapi aku suka menjahili mereka. b. *Temanku baik-baik, tapi aku suka menjahili [ ]. Untuk melesapkan argumen P, klausa kedua harus dipasifkan. Dengan mekanisme ini, P akan berpindah ke slot subjek pada struktur derivasi dan pada gilirannya dapat diakses oleh argumen S klausa intransitif. Pada kalimat (16c) dan (17c) di bawah ini, pemasifan klausa transitif ditandai oleh verbanya yang tidak bermarkah. 10

11 (16) c. Dia masuk ke dalam dan [ ] saya intip dari lobang kunci. (17) c. Temanku baik-baik, tapi [ ] suka aku jahili. Begitu juga: (18) Alam di luar menghijau dan [ ] disungkup oleh awan yang memutih di langit. [RSK, 1996:55] (19) Ia kini jadi lemah dan [ ] sempoyongan oleh pukulan itu. [RSK, 1996:59] Struktur pasif pada kedua contoh di atas berbeda. Pada (18), verba pasifnya dimarkahi oleh afiks di. Pada (19), verba pasifnya tidak bermarkah, seperti pada (16c) dan (17c). Oleh sebab itu, untuk contoh (19) diperlukan penjelasan dalam menandainya sebagai struktur pasif. Identifikasi (19) sebagai kalimat pasif didasarkan pada ciri semantis predikatnya dan ciri ini diperkuat dengan hadirnya FN pukulan itu yang berperan sebagai agen. Tes sintaktis berikut mendukung argumentasi ini. (18) a. Alam di luar menghijau dan awan yang memutih di langit menyungkup alam. (19) a. Ia kini jadi lemah dan pukulan itu menyempoyongkannya. b. Ia kini jadi lemah dan pukulan itu membuatnya sempoyong. Perubahan struktur pasif menjadi struktur aktif, seperti pada (18a) dan (19a-b), memperlihatkan bahwa argumen yang dilesapkan pada klausa kedua adalah P, dan argumen ini berkoreferensi dengan argumen S pada klausa pertama. 11

12 Dengan demikian, pada tipe kalimat koordinasi ini, perilaku S dan P sama dan merupakan ciri-ciri keergatifan sintaktis dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, argumen S pada klausa pertama dan argumen A pada klausa kedua dapat berkoreferensi. Misalnya, pada (20), A2 yang berupa FN matanya berkoreferensi dengan S1 Lena; pada (21), A2 yang berupa FN aku berkoreferensi dengan S1 dengan jenis FN yang sama. (20) Lena tertegun dan matanya melihat anak dalam gendongan itu. [RSK, 1996:86] (21) Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. (RSK, 1996:8) Namun, struktur kedua kalimat di atas berbeda. Pada (20), klausa keduanya dalam bentuk aktif, sedangkan pada (21) klausa keduanya dalam bentuk pasif. Fakta gramatikal ini mengindikasikan bahwa pelesapan A2 dapat terjadi, baik klausa keduanya aktif maupun pasif. Sekarang pertimbangkan contoh ini. (22) Mereka mandi dan [ ] mencuci pakaian bergantian di sana. (Nayla, 2005:15) (23) Lama baru orang tahu dan [ ] memapahnya ke ranjangnya di kamar. (RSK, 1996:24) Pelesapan A2 pada (22) dan (23) terjadi pada klausa aktif. Pertanyaannya adalah apakah A2 dapat dilesapkan kalau struktur klausa keduanya adalah pasif? Untuk mengetahuinya, struktur klausa kedua pada (22) dan (23) dipasifkan menjadi (22a) dan (23a). Hasilnya adalah kalimat yang tidak gramatikal. 12

13 (22) a. *Mereka mandi dan [ ] dicuci pakaian bergantian di sana. (23) a. *Lama baru orang tahu dan [ ] dipapahnya ke ranjangnya di kamar. Jelas bahwa pada tipe koordinasi ini pelesapan A terjadi apabila klausa kedua berstruktur aktif. A mesti dimunculkan jika klausa keduanya dalam bentuk pasif. Karena A klausa transitif berperilaku sama dengan S klausa intransitif, bahasa Indonesia memperlihatkan properti akusatif secara sintaktis. 3.3 Transitif-Intransitif Argumen P klausa transitif dan argumen S klausa intransitif berkoreferensi apabila klausa transitifnya berstruktur pasif. Pertimbangkan: (24) Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. (RSK, 1996:16) (25) Aku beri kau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. (RSK, 1996:15) Namun, ada fakta sintaktis lain bahwa dalam hubungan koreferensi antara argumen P dan S, pelesapan S klausa intransitif dapat dibenarkan, baik klausa pertamanya berstruktur aktif maupun berstruktur pasif. Misalnya, (26) a. Saya melihat dia minggu lalu dan kini [ ] menghilang. b. Dia saya lihat minggu lalu dan kini [ ] menghilang. (27) a. Ibu baru saja memasak nasi dan [ ] masih hangat. b.nasi baru saja dimasak ibu dan [ ] masih hangat. 13

14 Pada (26), FN dia sebagai P pada klausa pertama berkoreferensi dengan argumen S yang dilesapkan pada klausa kedua. Begitu juga, FN nasi pada (27) yang merupakan P pada klausa pertama berkoreferensi dengan argumen S pada klausa kedua. Tes sintaktis berikut membuktikan hal ini. (26) c. Saya melihat dia minggu lalu dan kini [dia] menghilang. d. *Saya melihat dia minggu lalu dan kini [saya] menghilang. e. Dia saya lihat minggu lalu dan kini [dia] menghilang. f. *Dia saya lihat minggu lalu dan kini [saya] menghilang. (27) c. Ibu baru saja memasak nasi dan [nasi] masih hangat. d. *Ibu baru saja memasak nasi dan [ibu] masih hangat e. Nasi baru saja dimasak ibu dan [nasi] masih hangat. f. *Nasi baru saja dimasak ibu dan [ibu] masih hangat. Ketidakgramatikalan (26d) dan (26f) serta (27d) dan (27f) menegaskan bahwa bukan argumen A pada klausa pertama yang berkoreferensi dengan argumen S pada klausa kedua, melainkan argumen P. Dapat diikhtisarkan bahwa bahasa Indonesia pada tipe koordinasi ini memperlihatkan perilaku keergatifan secara sintaktis. Sekarang perhatikan contoh berikut: (28) a. Djenar mematikan rokoknya dan [ ] kembali beringsut ke dalam selimut. [Nayla, 2005] (29) a. Matanya tidak memandang suaminya, melainkan [ ] tetap menatap bulat ke daun palam. [RSK, 1996:82] 14

15 Pada dua contoh di atas, konstituen yang dilesapkan pada klausa intransitif adalah S yang berkoreferensi dengan A, bukan dengan P. Tidak logis pada (28a) bahwa rokok yang beringsut ke dalam selimut atau pada (29a) suaminya yang menatap bulat ke daun palam. Ini berarti bahwa hubungan koreferensi antara A1 dan S2 terjadi karena struktur klausa transitifnya dalam bentuk aktif. Andai klausa transitif dipasifkan, kalimatnya tidak gramatikal, seperti pada (28b) dan (29b). Pada contoh terakhir ini, tidak diinterpretasikan bahwa konstituen yang dilesapkan pada klausa intransitif berkoreferensi dengan argumen A klausa transitif. (28) b. *Rokoknya dimatikan Djenar dan [ ] kembali beringsut ke dalam selimut. (29) b. *Suaminya tidak dipandang matanya, melainkan [ ] tetap menatap bulat ke daun palam. Akan tetapi, jika argumen S klausa intransitif tidak dilesapkan, klausa transitif berstruktur pasif. Pada kalimat seperti (30) Diambilnya bungkusan kainnya, lalu ia melangkah ke pintu. (RSK, 1996:64) argumen A klausa transitif, yang bermarkah pronomina nya, berkoreferensi dengan argumen S klausa intransitif, yang ditandai oleh FN ia. Dengan demikian, pada tipe konstruksi koordinatif ini, bahasa Indonesia memiliki properti keakusatifan secara sintaktis. 15

16 3.4 Transitif-Transitif Hubungan koreferensi dari dua argumen P dapat terjadi pada kalimat koordinasi yang dibentuk oleh aliansi dua klausa transitif. Perhatikan: (31) a. Ayah membaca koran, tapi ibu merebutnya. b. *Ayah membaca koran, tapi ibu merebut [ ]. c. Ayah membaca koran, tapi [ ] direbut ibu. d. Koran dibaca ayah, tapi [ ] direbut ibu. Pada (31a), P2 berkoreferensi dengan P1 dan kedua klausanya berstruktur aktif. Dengan struktur klausa seperti ini, pelesapan P2 tidak diizinkan, seperti pada (31b). Untuk melesapkan P2, operasi sintaktisnya adalah dengan merevaluasi struktur klausa kedua, seperti pada (31c) atau dengan merevaluasi struktur klausa pertama dan struktur klausa kedua, seperti pada (31d). Jadi, pelesapan P2 hanya dimungkinkan apabila P2 menempati fungsi subjek pada struktur derivasi. Patut dicatat bahwa ada data lain yang memperlihatkan kekoreferensialan dua argumen P. Pada data ini, yang dilesapkan adalah klausa kedua dan kalimatnya tetap berterima, seperti pada (32a). Namun, seperti pada contoh (31b), pada contoh ini pelesapan P2 juga tidak dimungkinkan apabila klausa keduanya berstruktur aktif. (32) a. Beberapa kelompok mencari kerabatnya atau kenalannya dengan menggunakan suluh. (RSK, 1996:97) b. *Beberapa kelompok mencari kerabatnya atau beberapa kelompok mencari [ ] dengan menggunakan suluh. 16

17 Lebih jauh, apabila dua argumen A bersifat referensial dan kedua klausanya berstruktur aktif, argumen A pada klausa kedua dapat dilesapkan. Perilaku A ini dicontohkan pada (33a) (34a). (33) a. Ia mengecup kening ibu dan [ ] menjabat tangan Nayla. [Nayla, 2005:96] b. *Kening ibu dikecupnya dan [ ] menjabat tangan Nayla. (34) a. Dengan sigap Nayla memapah Juli keluar dari dalam toilet menuju konsul DJ lalu [ ] memesankan Coca Cola [...] (Nayla, 2005:60) b. *Dengan sigap Juli dipapah Nayla keluar dari dalam toilet menuju konsul DJ lalu [ ] memesankan Coca Cola. Pada contoh di atas, konstituen yang dilesapkan pada klausa kedua berkoreferensi dengan argumen A pada klausa pertama. Kalau klausa pertama direvaluasi, kalimatnya tidak gramatikal, seperti pada (33b) dan (34b). Apakah pelesapan A2 hanya terjadi pada klausa aktif? Untuk menjawabnya, bandingkan dengan contoh berikut. (35) a. Aku tak ingin cari kaya, [ ] bikin rumah. [RSK, 1996:10] Pada kalimat (35a), argumen A2 dilesapkan dan argumen itu berkoreferensi dengan argumen A1. Struktur kalimatnya menyerupai pasif karena verbanya tidak bermarkah. Seperti yang dikatakan oleh Artawa (1997: 119), verba pada kalimat aktif secara morfologis lebih kompleks daripada verba pada kalimat pasif. Namun, pemarkah morfologis bukan satu-satunya paramater kepasifan. Peran semantis juga menentukan. Dalam konteks ini, kalimat (35a) lebih tepat 17

18 disebut kalimat aktif daripada kalimat pasif karena relasi agen-pasien pada kalimat itu begitu kuat. Dalam kalimat pasif, agen biasanya ditempatkan sebagai frasa ajung atau dihilangkan. Tambahan pula, dalam bahasa lisan yang dituliskan, ada kecenderungan untuk menghilangkan pemarkah nasal pada verba bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, struktur (35a) dapat dinormalkan menjadi (35b). (35) b. Aku tak ingin mencari kekayaan, [ ] membikin rumah. Bukti lain bahwa pelesapan A2 terjadi apabila kedua klausanya berstruktur aktif diilustrasikan pada contoh (36). Apabila salah satu atau kedua klausanya pasif, kalimatnya tidak gramatikal, seperti (36a) dan (36b). Slot yang kosong pada klausa kedua tidak bisa diisi oleh argumen A, kecuali kedua struktur klausanya diaktifkan, seperti pada (36c). (36) a. *Dibelainya rambutku lalu [ ] mengucapkan kata sayang. b. *Dibelainya rambutku lalu [ ] diucapkan kata sayang. c. Dia membelai rambutku lalu [ ] mengucapkan kata sayang. Sekarang cermati contoh berikut: (37) a. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. [RSK, 1996:7] b. *Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang [ ] tak pernah meminta imbalan apa-apa. c.?dia suka dimintai tolong orang-orang, sedang [ ] tak pernah meminta imbalan apa-apa. 18

19 Kalimat koordinasi pada (37a) secara eksplisit menandai kekoreferensialan argumen P, yang dimarkahi oleh -nya pada klausa pertama dan argumen A, yang dimarkahi oleh ia, pada klausa kedua. Kedua klausanya berstruktur aktif dan A2 tidak bisa dilesapkan, seperti pada (37b). Sementara klausa pertama dipasifkan, pelesapan A2 tampaknya dimungkinkan dalam bahasa Indonesia. Sebagai pembanding, perhatikan contoh (38). (38) a. Tidak pernah aku melihat kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. [RSK, 1996:8] b. *Tidak pernah aku melihat kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahuti [ ] seperti saat itu. c. Tidak pernah kakek kulihat begitu durja dan belum pernah salamku tak disahuti [ ] seperti saat itu. Contoh (38a) di atas menerangkan bahwa P1 dan A2 berkoreferensi. Seperti pada (37b), pada struktur kalimat seperti ini, A2 tidak dapat dilesapkan. Pelesapan A2 dimungkinkan apabila klausa pertama dipasifkan, seperti pada (38c). Jadi, pada tipe koordinasi ini, bahasa Indonesia memiliki ciri keakusatifan secara sintaktis. Kalimat koordinasi sebagai aliansi dua klausa transitif memberi alternatif untuk argumen A pada klausa pertama berkoreferensi dengan argumen P pada klausa kedua. Pada kalimat (39), anak itu adalah A yang berkoreferensi dengan dia sebagai P, sementara pada kalimat (40) dia sebagai A berkoreferensi dengan nya sebagai P. 19

20 (39) Anak itu mengacungkan tangannya lalu dia diminta guru untuk menjawab. (40) Dia membezuk kakak di rumah sakit, tapi ibu malah memarahinya. Pada kedua contoh di atas, A2 dapat dilesapkan, seperti pada (39a) dan (40a). Apabila struktur klausa pertama dipasifkan, pelesapan A2 tidak diizinkan, seperti pada (39b) dan (40b). Karena kesamaan perilaku argumen A dan P, properti keakusatifan terlihat pada tipe koordinasi ini. (39) a. Anak itu mengacungkan tangannya lalu [ ] diminta guru untuk menjawab. b. *Tangannya diacungkan anak itu lalu [ ] diminta guru untuk menjawab. (40) a. Dia membezuk kakak di rumah sakit, tapi [ ] malah dimarahi ibu. b. Kakak dibezuknya di rumah sakit, tapi [ ] malah dimarahi ibu. Kalimat koordinasi dapat dibentuk oleh dua FN yang sama, yang menggambarkan hubungan koreferensi di antara argumennya. Pada (41a), argumen P pada kedua klausa transitif itu berkoreferensi, yang direalisasikan oleh pronomina nya. Begitu juga, argumen A pada klausa pertama dan klausa kedua berkoreferensi, yang direalisasikan pada klausa pertama oleh FN seorang gadis perawat, sedangkan pada klausa kedua argumen tersebut dilesapkan. Jadi, A2 dapat dilesapkan pada klausa yang berstruktur aktif. Jika argumen P2 yang dilesapkan, kalimatnya tidak gramatikal, seperti pada (41b). (41) a. Seorang gadis perawat menghampirinya dan [ ] merebahkannya lagi. [RSK, 1996:105] b. *Seorang gadis perawat menghampirinya dan dia merebahkan [ ] lagi. 20

21 Patut dicatat bahwa argumen P2 boleh dilesapkan apabila kalimatnya berstruktur pasif. Perilaku argumen ini dicontohkan pada (42a). Slot kosong pada klausa kedua milik argumen P dan hal itu bisa dirujuk pada argumen P pada klausa pertama, yang direalisasikan oleh FN air itu. Pelesapan argumen A pada klausa kedua gagal sebab argumennya tidak diinterpretasikan berkoreferensi dengan argumen A pada klausa pertama, seperti pada (42b). Tegasnya, pelesapan argumen A atau P pada klausa kedua bergantung pada diatesis kalimatnya. (42) a. Ditampungnya air itu dengan kedua telapak tangannya, lalu [ ] dibawanya ke mulutnya. (RSK, 1996:99) b. *Ditampungnya air itu dengan kedua telapak tangannya, lalu air itu dibawa [ ] ke mulutnya. Selanjutnya, konstruksi (43a) mendeskripsikan tipe koreferensi yang lain pada dua FN yang sama. FN yang sama itu adalah argumen A (= dia) pada klausa pertama dan argumen P (= -nya) pada klausa kedua dan kemudian argumen P (= saya) pada klausa pertama dan argumen A (= saya) pada klausa kedua. (43) a. Dia menipu saya dan saya tidak mencurigainya. b. *Dia menipu saya dan saya tidak mencurigai [ ]. c. *Dia menipu saya dan [ ] tidak mencurigainya. Pada struktur aktif seperti ini, A2 dan P2 tidak dapat dilesapkan, seperti pada (43b) dan (43c). Mekanisme gramatika untuk melesapkan A2 atau P2 ialah merevaluasi struktur klausa pertama. 21

22 Model kalimat yang klausa pertamanya sudah direvaluasi tampak pada contoh (44a). Karena struktur klausa pertama dalam bentuk pasif, argumen A2 atau P2 dapat dilesapkan tanpa menyalahi kaidah sintaksis. Pada (44b), pelesapan terjadi pada argumen A2, sedangkan pada (44c) pada argumen P2. (44) a. Aku hukum kamu, tapi kamu malah menantangku. [Nayla, 2005:7] b. Aku hukum kamu, tapi [ ] malah menantangku. c. Aku hukum kamu, tapi kamu malah menantang [ ]. Dari perilaku argumen di atas disimpulkan bahwa A dan P pada klausa kedua boleh lesap kalau struktur klausa pertama direvaluasi. Perilaku argumen ini memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia mempunyai ciri-ciri keakusatifan. 4. Simpulan Kalimat koordinasi bahasa Indonesia dibentuk oleh empat tipe, yaitu (1) intransitif-intransitif, (2) intransitif-transitif, (3) transitif-intransitif, dan (4) transitif-transitif. Secara tipologis, perilaku argumen sintaktis pada kalimat koordinasi terbelah. Di satu sisi, bahasa Indonesia dapat digolongkan sebagai bahasa yang ergatif secara sintaktis karena memperlakukan P sama dengan S dan perlakuan yang berbeda pada A. Pada sejumlah kalimat koordinasi, dimungkinkan pelesapan argumen yang koreferensial apabila argumen itu berfungsi sebagai P dan S. Di sisi lain, bahasa Indonesia memiliki properti keakusatifan sintaktis. Argumen klausa intransitif yang dilesapkan ditafsirkan berkoreferensi dengan argumen A, dan bukan dengan argumen P, pada klausa transitif. 22

23 Catatan Akhir: 1 Song (2001) mengusulkan bahwa primitif S, A, dan P dapat menghasilkan lima kemungkinan logis dalam pengelompokan bahasa-bahasa di dunia, yaitu nominatif-akusatif, ergatif-absolutif, tripartit, AP/S, dan netral. 2 Lihat, antara lain, Fokker (1980), Keraf (1984, 1991), Parera (1991), Alwi dkk (2005). 3 Verhaar (1996:7) mengatakan bahwa bahasa tulis memuat banyak masalah yang perlu diselidiki karena bukan representasi langsung dari bahasa tutur. 4 Uraian yang mendalam lihat Dixon (1994). Sumber Data 1. Nayla, 2005, Jenar Maesa Ayu, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2. Robohnya Surau Kami (RSK) A.A. Navis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 3. Bali Post (BP), 30 Oktober

24 DAFTAR PUSTAKA Alwi, H. dkk Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Artawa, K Keergatifan Sintaktis dalam Bahasa: Bahasa Bali, Sasak, dan Indonesia. Dalam B.K. Purwo Pellba 10. Jakarta: Kanisius. Comrie, B Language Universal and Linguistic Typology. Oxford: Blackwell. Dixon, R. M. W Ergativity. Cambridge: Cambridge University Press. Fokker, A. A Pengantar Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita. Keraf, G Tata Bahasa Indonesia. Ende: Nusa Indah. Keraf, G Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Kroeger, P. R Analyzing Syntax: A Lexical-Functional Approach. Cambridge: Cambridge University Press. Parera, J.D Sintaksis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Purwo, B. K Diatesis di dalam Bahasa Indonesia: Telaah Wacana. Dalam B. K. Purwo Serpih-Serpih Telaah Pasif Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Song, J. J Linguistic Typology. England: Pearson Education Limited. Sudaryanto Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Djambatan. Verhaar, J. W. M Keergatifan Sintaktis di dalam Bahasa Indonesia Modern. Dalam B.K. Purwo (ed.) Serpih-Serpih Telaah Pasif Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Verhaar, J. W. M Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 24

KALIMAT KOORDINASI BAHASA INDONESIA Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis

KALIMAT KOORDINASI BAHASA INDONESIA Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis Halaman 90 KALIMAT KOORDINASI BAHASA INDONESIA Mulyadi Fakultas Sastra Abstract This article discusses behaviour of syntactic argument in the sentence structure of coordination in bahasa Indonesia. By

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengulangan unsur harus dihindari. Salah satu cara untuk mengurangi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengulangan unsur harus dihindari. Salah satu cara untuk mengurangi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada penggabungan klausa koordinatif maupun subordinatif bahasa Indonesia sering mengakibatkan adanya dua unsur yang sama atau pengulangan unsur dalam sebuah

Lebih terperinci

PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA. Oleh F.X. Sawardi

PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA. Oleh F.X. Sawardi PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA Oleh F.X. Sawardi sawardi_fransiskus@mailcity.com 1. Pengantar Paper ini mencoba mengungkap celah-celah untuk meneropong masalah ergativitas bahasa Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian bahasa dimulai setelah manusia menyadari keberagaman bahasa merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of Linguistics menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Penelitian Terdahulu Penelitian pertama yang berhubungan dengan penelitian mengenai pelesapan argumen dilakukan Sawardi pada tahun 2011 dengan judul Pivot dan

Lebih terperinci

NOMINA DAN PENATAANNYA DALAM SISTEM TATA BAHASA INDONESIA

NOMINA DAN PENATAANNYA DALAM SISTEM TATA BAHASA INDONESIA NOMINA DAN PENATAANNYA DALAM SISTEM TATA BAHASA INDONESIA Suhandano Universitas Gadjah Mada ABSTRAK Tulisan ini membahas bagaimana nomina ditata dalam sistem tata bahasa Indonesia. Pembahasan dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA BAB IV ANALISIS DATA Analisis data pada penelitian ini meliputi : (i) perilaku argumen pada perubahan struktur klausa bahasa Indonesia, (ii) pelesapan argumen pada penggabungan klausa bahasa Indonesia,

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi leksikal yang terdapat dalam wacana naratif bahasa Indonesia. Berdasarkan teori Halliday dan

Lebih terperinci

KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA

KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA HUMANIORA Suhandano VOLUME 14 No. 1 Februari 2002 Halaman 70-76 KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA Suhandano* 1. Pengantar ahasa terdiri dari dua unsur utama, yaitu bentuk dan arti. Kedua unsur

Lebih terperinci

FENOMENA TIPOLOGI GRAMATIKAL BAHASA MINANGKABAU: Akusatif, Ergatif, atau Campur? 1. Jufrizal 2 Universitas Negeri Padang

FENOMENA TIPOLOGI GRAMATIKAL BAHASA MINANGKABAU: Akusatif, Ergatif, atau Campur? 1. Jufrizal 2 Universitas Negeri Padang FENOMENA TIPOLOGI GRAMATIKAL BAHASA MINANGKABAU: Akusatif, Ergatif, atau Campur? 1 Abstrak Jufrizal 2 Universitas Negeri Padang e-mail: juf_ely@yahoo.com Dikotomi tipologis struktur gramatikal bahasa-bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan

BAB I PENDAHULUAN. sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Analisis kalimat dapat dilakukan pada tiga tataran fungsi, yaitu fungsi sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan gramatikal antara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka. Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka. Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau yang sudah ada dengan menyebutkan dan membahas seperlunya hasil penelitian

Lebih terperinci

PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA 1

PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA 1 PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA 1 F. X. Sawardi Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret saward2012@gmail.com Abstrak Artikel ini membicarakan perilaku tipe

Lebih terperinci

SISTEM KOREFERENSIAL KLAUSA SUBORDINATIF BAHASA INDONESIA

SISTEM KOREFERENSIAL KLAUSA SUBORDINATIF BAHASA INDONESIA Anstrak SISTEM KOREFERENSIAL KLAUSA SUBORDINATIF BAHASA INDONESIA I Made Netra, Petrus Pita, I Wayan Mandra, Paulus Subiyanto Universitas Udayana, Univeritas Flores, IHDN, PNB Artikel ini membahas tentang

Lebih terperinci

VERBA TRANSITIF BEROBJEK DAPAT LESAP DALAM BAHASA INDONESIA

VERBA TRANSITIF BEROBJEK DAPAT LESAP DALAM BAHASA INDONESIA VERBA TRANSITIF BEROBJEK DAPAT LESAP DALAM BAHASA INDONESIA Tri Mastoyo Jati Kesuma Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Objek (O) termasuk ke dalam valensi verba transitif. Oleh karena itu, O

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Sebagai makhluk yang berbudaya, manusia butuh berinteraksi dengan sesama manusia. Dalam berinteraksi dibutuhkan norma-norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Pakpak Dairi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Pakpak Dairi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang / Masalah Penelitian Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Pakpak Dairi (selanjutnya disingkat BPD) tidak hanya berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah,

Lebih terperinci

ALIANSI GRAMATIKAL BAHASA DAWAN: KAJIAN TIPOLOGI BAHASA

ALIANSI GRAMATIKAL BAHASA DAWAN: KAJIAN TIPOLOGI BAHASA ALIANSI GRAMATIKAL BAHASA DAWAN: KAJIAN TIPOLOGI BAHASA I Wayan Budiarta STIBA Mentari Kupang Jalan Mentari II/4 Km 06 Oesapa Kupang Telepon 0380-823132 budy4rt4@yahoo.com ABSTRAK Artikel ini berjudul

Lebih terperinci

PEMERIAN TENTANG DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA (RUMUSAN TENTANG TIPE BAHASA INDONESIA) Oleh: Dra. Rahayu Sulistyowati. Abstrak

PEMERIAN TENTANG DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA (RUMUSAN TENTANG TIPE BAHASA INDONESIA) Oleh: Dra. Rahayu Sulistyowati. Abstrak PEMERIAN TENTANG DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA (RUMUSAN TENTANG TIPE BAHASA INDONESIA) Oleh: Dra. Rahayu Sulistyowati Abstrak Tulisan ini membahas tentang rumusan tipe-tipe deiksis dalam bahasa Indonesia.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka digilib.uns.ac.id BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka Ada tiga kajian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Ketiga kajian tersebut adalah makalah berjudul Teori Pengikatan

Lebih terperinci

STRUKTUR INFORMASI PADA KLAUSA BAHASA MINANGKABAU Sebuah telaah tipologi grammatical dan struktur informasi 1. Abstract

STRUKTUR INFORMASI PADA KLAUSA BAHASA MINANGKABAU Sebuah telaah tipologi grammatical dan struktur informasi 1. Abstract STRUKTUR INFORMASI PADA KLAUSA BAHASA MINANGKABAU Sebuah telaah tipologi grammatical dan struktur informasi 1 Jufrizal FBSS Universitas Negeri Padang Rusdi FBSS Universitas Negeri Padang Lely Refnita (FKIP

Lebih terperinci

Pelesapan Preposisi dalam Gramatika Bahasa Indonesia i

Pelesapan Preposisi dalam Gramatika Bahasa Indonesia i Pelesapan Preposisi dalam Gramatika Bahasa Indonesia i F.X. Sawardi FIB Universitas Sebelas Maret sawardi2012@gmail.com Diterima 14 Januari 2018/Disetujui 27 Maret 2018 Abtract This paper is based on the

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Studi dalam penelitian ini berkonsentrasi pada kelas verba dalam kalimat

BAB I PENDAHULUAN. Studi dalam penelitian ini berkonsentrasi pada kelas verba dalam kalimat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Studi dalam penelitian ini berkonsentrasi pada kelas verba dalam kalimat bahasa Sunda. Dalam pandangan penulis, kelas verba merupakan elemen utama pembentuk keterkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Masyarakat awam, dalam kehidupan sehari-hari, tidak terlalu peduli dengan berbagai fenomena bahasa beserta kerumitan lain yang menyertainya. Kebanyakan

Lebih terperinci

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015 SINTAKSIS Pengantar Linguistik Umum 26 November 2014 Morfologi Sintaksis Tata bahasa (gramatika) Bahasan dalam Sintaksis Morfologi Struktur intern kata Tata kata Satuan Fungsi Sintaksis Struktur antar

Lebih terperinci

ANALISIS PENGGUNAAN KONJUNGSI KOORDINATIF DAN SUBORDINATIF PADA RUBRIK HUKUM DAN KRIMINAL DALAM SURAT KABAR SOLOPOS EDISI AGUSTUS-OKTOBER 2013

ANALISIS PENGGUNAAN KONJUNGSI KOORDINATIF DAN SUBORDINATIF PADA RUBRIK HUKUM DAN KRIMINAL DALAM SURAT KABAR SOLOPOS EDISI AGUSTUS-OKTOBER 2013 ANALISIS PENGGUNAAN KONJUNGSI KOORDINATIF DAN SUBORDINATIF PADA RUBRIK HUKUM DAN KRIMINAL DALAM SURAT KABAR SOLOPOS EDISI AGUSTUS-OKTOBER NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kategori leksikal, komplemen, keterangan, spesifier, dan kaidah struktur frasa.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kategori leksikal, komplemen, keterangan, spesifier, dan kaidah struktur frasa. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu frasa, FP, kategori leksikal, komplemen, keterangan, spesifier, dan kaidah

Lebih terperinci

VERBAL CLAUSAL STRUCTURE IN INDONESIAN AND JAPANESE: CONTRASTIVE ANALYSIS

VERBAL CLAUSAL STRUCTURE IN INDONESIAN AND JAPANESE: CONTRASTIVE ANALYSIS STRUKTUR KLAUSA VERBAL DALAM BAHASA INDONESIA DAN BAHASA JEPANG: SUATU ANALISIS KONTRASTIF Wahya, Nani Sunarni, Endah Purnamasari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Jatinangor, Bandung 40600 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan kekacauan pada tindak berbahasa. Salah satu contoh penggunaan bentuk bersinonim yang dewasa ini sulit

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. untuk mendeskripsikan KVA/KAV dalam kalimat bahasa Indonesia. Deskripsi ini

BAB IV PENUTUP. untuk mendeskripsikan KVA/KAV dalam kalimat bahasa Indonesia. Deskripsi ini BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Pada bagian pendahuluan telah disampaikan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan KVA/KAV dalam kalimat bahasa Indonesia. Deskripsi ini diwujudkan dalam tipe-tipe

Lebih terperinci

Analisis Fungsi Sintaksis Kata Apa dan Mana dalam Bahasa Indonesia

Analisis Fungsi Sintaksis Kata Apa dan Mana dalam Bahasa Indonesia Analisis Fungsi Mana dalam Bahasa Sri Puji Astuti Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro sripujiastuti0116@gmail.com Abstract The characteristic of interrogative sentence, one of them is the presence

Lebih terperinci

FUNGSI KETERANGAN DALAM KALIMAT MAJEMUK BERTINGKAT DALAM KOMPAS MINGGU

FUNGSI KETERANGAN DALAM KALIMAT MAJEMUK BERTINGKAT DALAM KOMPAS MINGGU Fungsi eterangan dalam alimat Majemuk Bertingkat dalam ompas Minggu FUNGSI ETERANGAN DALAM ALIMAT MAJEMU BERTINGAT DALAM OMPAS MINGGU TRULI ANJAR YANTI Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Lebih terperinci

PELESAPAN ARGUMEN PADA PENGGABUNGAN KLAUSA BAHASA INDONESIA

PELESAPAN ARGUMEN PADA PENGGABUNGAN KLAUSA BAHASA INDONESIA PELESAPAN ARGUMEN PADA PENGGABUNGAN KLAUSA BAHASA INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Lebih terperinci

Bentuk Tuturan Imperatif Bahasa Indonesia dalam Interaksi Guru-Siswa di SMP Negeri 1 Sumenep

Bentuk Tuturan Imperatif Bahasa Indonesia dalam Interaksi Guru-Siswa di SMP Negeri 1 Sumenep Andriyanto, Bentuk Tuturan Imperatif Bahasa Indonesia... 9 Bentuk Tuturan Imperatif Bahasa Indonesia dalam Interaksi Guru-Siswa di SMP Negeri 1 Sumenep Andriyanto Bahasa Indonesia-Universitas Negeri Malang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gramatikal dalam bahasa berkaitan dengan telaah struktur bahasa yang berkaitan. dengan sistem kata, frasa, klausa, dan kalimat.

BAB I PENDAHULUAN. gramatikal dalam bahasa berkaitan dengan telaah struktur bahasa yang berkaitan. dengan sistem kata, frasa, klausa, dan kalimat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian dalam bidang linguistik berkaitan dengan bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa tulis memiliki hubungan dengan tataran gramatikal. Tataran gramatikal

Lebih terperinci

PELESAPAN FUNGSI SINTAKTIK DALAM KALIMAT MAJEMUK BAHASA INDONESIA THE ELLIPIS OF THE SYNTACTIC IN THE INDONESIAN LANGUANGE COMPOUND SENTENCE

PELESAPAN FUNGSI SINTAKTIK DALAM KALIMAT MAJEMUK BAHASA INDONESIA THE ELLIPIS OF THE SYNTACTIC IN THE INDONESIAN LANGUANGE COMPOUND SENTENCE Pelesapan Fungsi. (Satya Dwi) 128 PELESAPAN FUNGSI SINTAKTIK DALAM KALIMAT MAJEMUK BAHASA INDONESIA THE ELLIPIS OF THE SYNTACTIC IN THE INDONESIAN LANGUANGE COMPOUND SENTENCE Oleh: Satya Dwi Nur Rahmanto,

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konjungsi adalah kata yang berfungsi untuk menghubungkan kata dengan kata, frasa

BAB I PENDAHULUAN. Konjungsi adalah kata yang berfungsi untuk menghubungkan kata dengan kata, frasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konjungsi adalah kata yang berfungsi untuk menghubungkan kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa (Ramlan, 2008:39). Tanpa kehadiran konjungsi, adakalanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sawardi (2004:1) menjelaskan bahwa teori kebahasaan memahami refleksif berdasarkan pola kalimat umumnya (agen melakukan sesuatu terhadap pasien).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI Tinjauan pustaka memaparkan lebih lanjut tentang penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Selain itu, dipaparkan konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menerangkan nomina dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, kategori yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. menerangkan nomina dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, kategori yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kajian lintas bahasa, adjektiva merupakan kategori yang memberikan keterangan terhadap nomina (Scrachter dan Shopen, 2007: 18). Senada dengan pernyataan tersebut,

Lebih terperinci

KALIMAT TANYA PESERTA BIMBINGAN SMART GENIUS SANDEN BANTUL YOGYAKARTA SEBUAH KAJIAN DESKRIPTIF

KALIMAT TANYA PESERTA BIMBINGAN SMART GENIUS SANDEN BANTUL YOGYAKARTA SEBUAH KAJIAN DESKRIPTIF Kalimat Tanya Peserta (Dewi Restiani) 1 KALIMAT TANYA PESERTA BIMBINGAN SMART GENIUS SANDEN BANTUL YOGYAKARTA SEBUAH KAJIAN DESKRIPTIF INTERROGATIVE SENTENCE OF SMART GENIUS TUTORING CENTER S STUDENTS

Lebih terperinci

1. KALIMAT. 1. Satuan bahasa berupa kata/rangkaian kata yang dapat berdiri sendiri dan menyatakan makna yang lengkap. 2. Memiliki intonasi final.

1. KALIMAT. 1. Satuan bahasa berupa kata/rangkaian kata yang dapat berdiri sendiri dan menyatakan makna yang lengkap. 2. Memiliki intonasi final. 1. KALIMAT 1. Satuan bahasa berupa kata/rangkaian kata yang dapat berdiri sendiri dan menyatakan makna yang lengkap. 2. Memiliki intonasi final. Perbedaan kalimat dan klausa Klausa : gabungan kata yang

Lebih terperinci

FUNGSI DAN PERAN SINTAKSIS PADA KALIMAT TRANSITIF BAHASA JEPANG DALAM NOVEL CHIJIN NO AI KARYA TANIZAKI JUNICHIRO

FUNGSI DAN PERAN SINTAKSIS PADA KALIMAT TRANSITIF BAHASA JEPANG DALAM NOVEL CHIJIN NO AI KARYA TANIZAKI JUNICHIRO FUNGSI DAN PERAN SINTAKSIS PADA KALIMAT TRANSITIF BAHASA JEPANG DALAM NOVEL CHIJIN NO AI KARYA TANIZAKI JUNICHIRO Ni Kadek Nomi Dwi Antari Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra dan Budaya Universitas

Lebih terperinci

HIPOTESIS SAPIR-WHORF, PENTOPIKALAN, DAN KESANTUNAN BERBAHASA DALAM BAHASA MINANGKABAU

HIPOTESIS SAPIR-WHORF, PENTOPIKALAN, DAN KESANTUNAN BERBAHASA DALAM BAHASA MINANGKABAU Halaman 79 HIPOTESIS SAPIR-WHORF, PENTOPIKALAN, DAN KESANTUNAN BERBAHASA DALAM BAHASA MINANGKABAU Jufrizal, Zul Amri, dan Refnaldi Fakultas Bahasa Sastra dan Seni Universitas Negeri Padang Abstract Linguistic

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dalam penilitian Refleksif dengan Kata Diri, Dirinya, Dan Diriya Sendiri dalam Bahasa Indonesia: dari Perspektif Teori Pengikatan ini dapat disimpulkan tiga hal yang merupakan

Lebih terperinci

KESALAHAN PENULISAN KONJUNGTOR DALAM NOVEL GARIS WAKTU: SEBUAH PERJALANAN MENGHAPUS LUKA KARYA FIERSA BESARI

KESALAHAN PENULISAN KONJUNGTOR DALAM NOVEL GARIS WAKTU: SEBUAH PERJALANAN MENGHAPUS LUKA KARYA FIERSA BESARI p-issn 2086-6356 e-issn 2614-3674 Vol. 8, No. 2, September 2017, Hal. 59-63 KESALAHAN PENULISAN KONJUNGTOR DALAM NOVEL GARIS WAKTU: SEBUAH PERJALANAN MENGHAPUS LUKA KARYA FIERSA BESARI Rahmad Hidayat 1,

Lebih terperinci

KATA TANYA DALAM KONSTRUKSI INTEROGATIF BAHASA INDONESIA: KAJIAN SINTAKTIS DAN SEMANTIS

KATA TANYA DALAM KONSTRUKSI INTEROGATIF BAHASA INDONESIA: KAJIAN SINTAKTIS DAN SEMANTIS Kata Tanya dalam Konstruksi Interogatif Bahasa Indonesia: Kajian Sintaktis dan Semantis (Wini Tarmini) KATA TANYA DALAM KONSTRUKSI INTEROGATIF BAHASA INDONESIA: KAJIAN SINTAKTIS DAN SEMANTIS Wini Tarmini

Lebih terperinci

Kemampuan Siswa Kelas XI SMAN 8 Pontianak Menentukan Unsur Kebahasaan Dalam Teks Cerita Ulang Biografi

Kemampuan Siswa Kelas XI SMAN 8 Pontianak Menentukan Unsur Kebahasaan Dalam Teks Cerita Ulang Biografi Kemampuan Siswa Kelas XI SMAN 8 Pontianak Menentukan Unsur Kebahasaan Dalam Teks Cerita Ulang Biografi Astri Saraswati, Martono, Syambasril Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP UNTAN, Pontianak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Istilah deskriptif berasal dari dari

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Istilah deskriptif berasal dari dari BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Istilah deskriptif berasal dari dari bahasa Inggris to describe yang berarti memaparkan atau menggambarkan

Lebih terperinci

RAGAM KALIMAT DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI

RAGAM KALIMAT DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI RAGAM KALIMAT DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Disusun Oleh:

Lebih terperinci

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia VERBA PREDIKAT BAHASA REMAJA DALAM MAJALAH REMAJA Renadini Nurfitri Abstrak. Bahasa remaja dapat dteliti berdasarkan aspek kebahasaannya, salah satunya adalah mengenai verba. Verba sangat identik dengan

Lebih terperinci

BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS

BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS Nama : Khoirudin A. Fauzi NIM : 1402408313 BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS Pada bab terdahulu disebutkan bahwa morfologi dan sintaksis adalah bidang tataran linguistik yang secara tradisional disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alat untuk menyampaikan gagasan, pikiran, maksud, serta tujuan kepada orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. alat untuk menyampaikan gagasan, pikiran, maksud, serta tujuan kepada orang lain. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berkomunikasi merupakan suatu kegiatan yang mempergunakan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan gagasan, pikiran, maksud, serta tujuan kepada orang lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dulunya pernah menjadi bagian dari Republik Indonesia, yaitu provinsi ke-27

BAB I PENDAHULUAN. dulunya pernah menjadi bagian dari Republik Indonesia, yaitu provinsi ke-27 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Republica Democratica de Timor Leste yang (selanjutnya disebut RDTL) dulunya pernah menjadi bagian dari Republik Indonesia, yaitu provinsi ke-27 yang bernama Timor

Lebih terperinci

ANALISIS RAGAM KALIMAT DAN HUBUNGAN MAKNA ANTARKLAUSA DALAM KALIMAT MAJEMUK PADA TERJEMAHAN ALQURAN SURAT AR-RUM

ANALISIS RAGAM KALIMAT DAN HUBUNGAN MAKNA ANTARKLAUSA DALAM KALIMAT MAJEMUK PADA TERJEMAHAN ALQURAN SURAT AR-RUM ANALISIS RAGAM KALIMAT DAN HUBUNGAN MAKNA ANTARKLAUSA DALAM KALIMAT MAJEMUK PADA TERJEMAHAN ALQURAN SURAT AR-RUM Supadmi, A310090132, Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan

Lebih terperinci

SINTAKSIS. Sintaksis adalah menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. B. KATA SEBAGAI SATUAN SINTAKSIS

SINTAKSIS. Sintaksis adalah menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. B. KATA SEBAGAI SATUAN SINTAKSIS SINTAKSIS Sintaksis adalah menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. A. STRUKTUR SINTAKSIS Untuk memahami struktur sintaksis, terlebih dahulu kita harus Mengetahui fungsi,

Lebih terperinci

STRUKTUR KALIMAT BAHASA INDONESIA DALAM KARANGAN DESKRIPSI MAHASISWA PROGRAM BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA.

STRUKTUR KALIMAT BAHASA INDONESIA DALAM KARANGAN DESKRIPSI MAHASISWA PROGRAM BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA. STRUKTUR KALIMAT BAHASA INDONESIA DALAM KARANGAN DESKRIPSI MAHASISWA PROGRAM BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA oleh Dra. Nunung Sitaresmi, M.Pd. FPBS UPI 1. Pendahuluan Bahasa

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain ( Kridalaksana,

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain ( Kridalaksana, BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Frasa Verba Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pesebab (Payne, 2002: 175). Ketiga, konstruksi tersebut menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pesebab (Payne, 2002: 175). Ketiga, konstruksi tersebut menunjukkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai bagian dari kajian tipologi gramatikal, konstruksi kausatif cukup menarik untuk dikaji. Hal itu dilandaskan pada beberapa alasan. Pertama, konstruksi tersebut

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN PERTANYAAN PENELITIAN. Kerangka teoretis merupakan suatu rancangan teori-teori mengenai hakikat

BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN PERTANYAAN PENELITIAN. Kerangka teoretis merupakan suatu rancangan teori-teori mengenai hakikat BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN PERTANYAAN PENELITIAN A. Kerangka Teoretis Kerangka teoretis merupakan suatu rancangan teori-teori mengenai hakikat yang memberikan penjelasan tentang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini

BAB V PENUTUP. fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Tesis ini menguraikan analisis mengenai konstruksi gramatikal, makna, dan fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini dimulai

Lebih terperinci

Pelesapan Fungsi Sintaksis dalam Kalimat

Pelesapan Fungsi Sintaksis dalam Kalimat Pelesapan Fungsi Sintaksis dalam Kalimat Majemuk Bahasa Indonesia Siti Sangadah dan Mukhlish FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta e-mail: saasangadah@gmail.com Abstrak Tujuan penelitian

Lebih terperinci

RINGKASAN PENELITIAN

RINGKASAN PENELITIAN RINGKASAN PENELITIAN KONSTRUKSI KALIMAT BAHASA INDONESIA DALAM KARANGAN DESKRIPSI GURU-GURU SEKOLAH DASAR KABUPATEN CIAMIS OLEH DRA. NUNUNG SITARESMI, M.PD. FPBS UPI Penelitian yang berjudul Konstruksi

Lebih terperinci

Oleh Ratna Novita Punggeti

Oleh Ratna Novita Punggeti KALIMAT DLM BI Oleh Ratna Novita Punggeti STRUKTUR KALIMAT 1. SUBJEK Bagian kalimat yang menunjukkan pelaku/masalah. Menjawab pertanyaan: siapa, apa. Biasanya berupa kata benda/frasa (kongkret/abstrak)

Lebih terperinci

BAB 6 SINTAKSIS. Nama : CANDRA JULIANSYAH NIM :

BAB 6 SINTAKSIS. Nama : CANDRA JULIANSYAH NIM : Nama : CANDRA JULIANSYAH NIM : 1402408239 BAB 6 SINTAKSIS Sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti dengan dan kata tattein yang berarti menempatkan. Secara etimologi sintaksis berarti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Istilah klausa dalam dunia linguistik bukanlah hal yang baru. Namun,

BAB 1 PENDAHULUAN. Istilah klausa dalam dunia linguistik bukanlah hal yang baru. Namun, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah klausa dalam dunia linguistik bukanlah hal yang baru. Namun, pemerian mengenai klausa tidak ada yang sempurna. Satu sama lain pemerian klausa saling melengkapi

Lebih terperinci

AGEN DALAM KALIMAT PASIF BAHASA INDONESIA

AGEN DALAM KALIMAT PASIF BAHASA INDONESIA AGEN DALAM KALIMAT PASIF BAHASA INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam Bab 1 ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam Bab 1 ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN Dalam Bab 1 ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi latar belakang dilakukannya penelitian. Selanjutnya dalam Bab 1 ini, penulis juga menjelaskan tentang identifikasi masalah, pembatasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Nusa Tenggara Timur terdiri atas empat kabupaten: Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Nusa Tenggara Timur terdiri atas empat kabupaten: Kabupaten BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Timur terdiri atas empat kabupaten: Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Tengah, dan Kabupaten Sumba Timur. Kota

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. jawaban suatu permasalahan. Atau konsep adalah gambaran mental diri objek, proses, atau

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. jawaban suatu permasalahan. Atau konsep adalah gambaran mental diri objek, proses, atau BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah suatu rangkaian kegiatan yang terencana dan sistematis untuk menemukan jawaban suatu permasalahan. Atau konsep adalah gambaran

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat

BAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat BAB V P E N U T U P 5.1 Kesimpulan Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat tunggal bahasa Sula yang dipaparkan bahasan masaalahnya mulai dari bab II hingga bab IV dalam upaya

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Unsur sintaksis yang terkecil adalah frasa. Menurut pandangan seorang

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Unsur sintaksis yang terkecil adalah frasa. Menurut pandangan seorang BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut KBBI (2003 : 588), konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Surat kabar atau dapat disebut koran merupakan lembaran-lembaran kertas

BAB I PENDAHULUAN. Surat kabar atau dapat disebut koran merupakan lembaran-lembaran kertas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Surat kabar atau dapat disebut koran merupakan lembaran-lembaran kertas yang bertuliskan berita-berita dan sebagainya (Sugono ed., 2015:872). Beritaberita dalam surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (sikap badan), atau tanda-tanda berupa tulisan. suatu tulisan yang menggunakan suatu kaidah-kaidah penulisan yang tepat

BAB I PENDAHULUAN. (sikap badan), atau tanda-tanda berupa tulisan. suatu tulisan yang menggunakan suatu kaidah-kaidah penulisan yang tepat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa secara umum dapat diartikan sebagai suatu alat komunikasi yang disampaikan seseorang kepada orang lain agar bisa mengetahui apa yang menjadi maksud dan

Lebih terperinci

VOLUME 12, NOMOR 1, APRIL 2013 ISSN

VOLUME 12, NOMOR 1, APRIL 2013 ISSN VOLUME 12, NOMOR 1, APRIL 2013 ISSN 1412-2596 Berdasarkan SK Dirjen Dikti Nomor: 66b/DIKTI/Kep/2011, tanggal 9 September 2011 tentang Hasil Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah, LITERA dinyatakan sebagai

Lebih terperinci

Analisis Penggunaan Kalimat Bahasa Indonesia pada Karangan Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 10 Sanur, Denpasar

Analisis Penggunaan Kalimat Bahasa Indonesia pada Karangan Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 10 Sanur, Denpasar Analisis Penggunaan Kalimat Bahasa Indonesia pada Karangan Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 10 Sanur, Denpasar Wayan Yuni Antari 1*, Made Sri Satyawati 2, I Wayan Teguh 3 [123] Program Studi Sastra Indonesia,

Lebih terperinci

OBJEK DALAM BAHASA INDONESIA. Oleh: Wagiati*) Abstract

OBJEK DALAM BAHASA INDONESIA. Oleh: Wagiati*) Abstract OBJEK DALAM BAHASA INDONESIA Oleh: Wagiati*) Abstract Object as one of syntactic function with the following features (1) it is on the rightmost of transitive active verbs, (2) it becomes subject if the

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan Mempertanggungjawabkan hasil penelitian bukanlah pekerjaan mudah. Seorang penulis harus mempertanggungjawabkan hasil penelitiannya disertai data-data

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kejadian, komponen semantis, kategorisasi, dan makna.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kejadian, komponen semantis, kategorisasi, dan makna. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu verba kejadian, komponen semantis, kategorisasi, dan makna. Verba kejadian

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSATAKA. frasa pemerlengkap. Konsep-konsep tersebut perlu dibatasi untuk menghindari

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSATAKA. frasa pemerlengkap. Konsep-konsep tersebut perlu dibatasi untuk menghindari 6 BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSATAKA 2.1 Konsep Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu struktur, kalimat tanya, infleksi, frasa infleksi, komplemen, spesifier,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan kembali kepada orang-orang lain sebagai bahan komunikasi.

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan kembali kepada orang-orang lain sebagai bahan komunikasi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semua orang menyadari betapa pentingnya peranan bahasa sebagai alat komunikasi. Dengan adanya bahasa sebagai alat komunikasi, maka yang berada di sekitar manusia

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORETIS

BAB 2 LANDASAN TEORETIS BAB 2 LANDASAN TEORETIS 2.1 Kerangka Acuan Teoretis Penelitian ini memanfaatkan pendapat para ahli di bidangnya. Bidang yang terdapat pada penelitian ini antara lain adalah sintaksis pada fungsi dan peran.

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut KBBI (2002:588) konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses,

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut KBBI (2002:588) konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut KBBI (2002:588) konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal

Lebih terperinci

KALIMAT. Menu SK DAN KD. Pengantar: Bahasa bersifat Hierarki 01/08/2017. Oleh: Kompetensi Dasar: 3. Mahasiwa dapat menjelaskan kalimat

KALIMAT. Menu SK DAN KD. Pengantar: Bahasa bersifat Hierarki 01/08/2017. Oleh: Kompetensi Dasar: 3. Mahasiwa dapat menjelaskan kalimat KELOMPOK 5 MATA KULIAH: BAHASA INDONESIA Menu KALIMAT Oleh: A. SK dan KD B. Pengantar C. Satuan Pembentuk Bahasa D. Pengertian E. Karakteristik F. Unsur G. 5 Pola Dasar H. Ditinjau Dari Segi I. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun sebagai komunikan (mitra baca, penyimak, pendengar, atau pembaca).

BAB I PENDAHULUAN. maupun sebagai komunikan (mitra baca, penyimak, pendengar, atau pembaca). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah lepas dari peristiwa komunikasi. Dalam berkomunikasi,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. dalam penelitian ini karena sejauh ini belum ditemukan peneliti lain yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. dalam penelitian ini karena sejauh ini belum ditemukan peneliti lain yang BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Relasi gramatikal BMk kajian tipologi sintaksis dipilih sebagai topik dalam penelitian ini karena sejauh ini belum

Lebih terperinci

16, Vol. 06 No. 1 Januari Juni 2015 Pada dasarnya, secara semantik, proses dalam klausa mencakup hal-hal berikut: proses itu sendiri; partisipan yang

16, Vol. 06 No. 1 Januari Juni 2015 Pada dasarnya, secara semantik, proses dalam klausa mencakup hal-hal berikut: proses itu sendiri; partisipan yang TRANSITIVITAS DALAM ANTOLOGI CERPEN KAKI YANG TERHORMAT KARYA GUS TF SAKAI Ogi Raditya Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui transitivitas dalam antologi cerpen Kaki yang Terhormat. Penelitian

Lebih terperinci

Konjungsi yang Berasal dari Kata Berafiks dalam Bahasa Indonesia. Mujid F. Amin Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro

Konjungsi yang Berasal dari Kata Berafiks dalam Bahasa Indonesia. Mujid F. Amin Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro Konjungsi yang Mujid F. Amin Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro moejid70@gmail.com Abstract Conjunctions are derived from the basic + affixes, broadly grouped into two, namely the coordinative

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pengolahan data, sampai pada tahap pengambilan kesimpulan, disesuaikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pengolahan data, sampai pada tahap pengambilan kesimpulan, disesuaikan BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan prosedur dan langkah kerja yang digunakan dalam kegiatan penelitian mulai dari perencanaan, pengumpulan data, pengolahan data,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan kesalahpahaman dalam memaknai kalimat bahasa Inggris adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan kesalahpahaman dalam memaknai kalimat bahasa Inggris adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu fenomena bahasa yang terkadang membuat permasalahan dan menimbulkan kesalahpahaman dalam memaknai kalimat bahasa Inggris adalah penggunaan kata it sebagai

Lebih terperinci

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas dari isi yang

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas dari isi yang BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Struktur adalah perangkat unsur yang di antaranya ada hubungan yang bersifat ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia merupakan makhluk yang selalu melakukan. komunikasi, baik itu komunikasi dengan orang-orang yang ada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia merupakan makhluk yang selalu melakukan. komunikasi, baik itu komunikasi dengan orang-orang yang ada di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk yang selalu melakukan komunikasi, baik itu komunikasi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya maupun dengan penciptanya. Saat berkomunikasi

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KLAUSA INTI DAN KLAUSA SEMATAN BAHASA INDONESIA DAN BAHASA INGGRIS. Oleh. Suci Sundusiah

PERBANDINGAN KLAUSA INTI DAN KLAUSA SEMATAN BAHASA INDONESIA DAN BAHASA INGGRIS. Oleh. Suci Sundusiah PERBANDINGAN KLAUSA INTI DAN KLAUSA SEMATAN BAHASA INDONESIA DAN BAHASA INGGRIS Oleh Suci Sundusiah 1. Klausa sebagai Pembentuk Kalimat Majemuk Dalam kajian struktur bahasa Indonesia, kumpulan dua kluasa

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN SINTAKSIS BAGI PEMBELAJAR ASING YANG BERBAHASA PERTAMA BAHASA INGGRIS

PEMBELAJARAN SINTAKSIS BAGI PEMBELAJAR ASING YANG BERBAHASA PERTAMA BAHASA INGGRIS PEMBELAJARAN SINTAKSIS BAGI PEMBELAJAR ASING YANG BERBAHASA PERTAMA BAHASA INGGRIS Latifah Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Siliwangi Bandung Latifahtif357@gmail.com Abstrak Sintaksis

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II,

BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II, 654 BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II, uji lapangan, dan temuan-temuan penelitian, ada beberapa hal yang dapat

Lebih terperinci

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA Tata bentukan dan tata istilah berkenaan dengan kaidah pembentukan kata dan kaidah pembentukan istilah. Pembentukan kata berkenaan dengan salah satu cabang linguistik

Lebih terperinci

Analisis Morfologi Kelas Kata Terbuka Pada Editorial Media Cetak. Abstrak

Analisis Morfologi Kelas Kata Terbuka Pada Editorial Media Cetak. Abstrak Analisis Morfologi Kelas Kata Terbuka Pada Editorial Media Cetak Rina Ismayasari 1*, I Wayan Pastika 2, AA Putu Putra 3 123 Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana

Lebih terperinci

KATA MENANGIS : BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA. Kumairoh. Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Dipnegoro. Abstrak

KATA MENANGIS : BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA. Kumairoh. Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Dipnegoro. Abstrak KATA MENANGIS : BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA Kumairoh Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dipnegoro Abstrak Bahasa Indonesia merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh masyarakat dalam

Lebih terperinci

PEMARKAH KOHESI GRAMATIKAL DALAM WACANA TAJUK RENCANA HARIAN SINGGALANG EDISI APRIL-MEI 2014 ARTIKEL ILMIAH DESI PATRI YENTI NPM

PEMARKAH KOHESI GRAMATIKAL DALAM WACANA TAJUK RENCANA HARIAN SINGGALANG EDISI APRIL-MEI 2014 ARTIKEL ILMIAH DESI PATRI YENTI NPM PEMARKAH KOHESI GRAMATIKAL DALAM WACANA TAJUK RENCANA HARIAN SINGGALANG EDISI APRIL-MEI 2014 ARTIKEL ILMIAH DESI PATRI YENTI NPM 10080151 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SEKOLAH TINGGI

Lebih terperinci