PEMERIAN TENTANG DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA (RUMUSAN TENTANG TIPE BAHASA INDONESIA) Oleh: Dra. Rahayu Sulistyowati. Abstrak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMERIAN TENTANG DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA (RUMUSAN TENTANG TIPE BAHASA INDONESIA) Oleh: Dra. Rahayu Sulistyowati. Abstrak"

Transkripsi

1 PEMERIAN TENTANG DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA (RUMUSAN TENTANG TIPE BAHASA INDONESIA) Oleh: Dra. Rahayu Sulistyowati Abstrak Tulisan ini membahas tentang rumusan tipe-tipe deiksis dalam bahasa Indonesia. Pemerian tentang deiksis dalam tulisan ini berkaitan dengan tipologi bahasa berdasarkan pengertian tipologi struktural. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam mendeskripsi bahasa, yaitu (a) bagaimana cara dan strategi menemukan tipe dan semestaan bahasa; dan (b) temuannya (tipe dan semestaan bahasa apa saja yang diperoleh dalam pemerian itu). Berdasarkan kerangka kerja ini, dalam memerikan tentang Deiksis dalam Bahasa Indonesia diusahakan untuk dapat menemukan semestaan bahasa Indonesia berdasarkan kaidah-kaidah tentang deiksis dalam bahasa Indonesia. Dari hasil pemerian dapat disusun sepuluh rumusan mengenai semestaan tentang deiksis untuk bahasa-bahasa yang setipe dengan bahasa Indonesia. Kata kunci: Deiksis, Tipe Bahasa Indonesia 1. Pendahuluan Berbicara masalah tipe bahasa, teringat akan pernyataan tentang semestaan bahasa (language universals) oleh Joseph H. Creenberg. Menurut Greenberg, bahasa-bahasa dunia dapat dikelompokkan berdasarkan tipologinya. Sudaryanto (via Kaswanti Purwo, 1989;77) memberikan pengertian istilah tipologi mengacu pada dua konsep, yaitu konsep mengenai bahasa-objek-linguistik dan konsep mengenai cabang linguistik. Tipologi sebagai cabang linguistik dapat berarti pencorakan bahasa atau pengelompokan bahasa menurut tipenya, dapat juga berarti pencorakan dengan semata-mata melihat struktur internalnya, tanpa memperhatikan sejarah, tempat, dan peranan sosialnya. Berdasarkan pengertian pertama, yaitu tipologi yang berarti pencorakan bahasa sesuai dengan tipenya dapat dibedakan atas (1) tipologi genetis, (2) tipologi struktural, (3) tipologi areal, (4) tipologi sosiolingual, dan (4) tipologi pragmatig (Verhaar, 1980'32-34; Sudaryanto, 1983:22). Pemerian tentang deiksis dalam bahasa Indonesia dalam tulisan ini berkaitan dengan tipologi bahasa (Indonesia) berdasarkan pengertian kedua, yaitu tipologi struktural. Hal pemerian yang demikian itu dilandasi oleh suatu anggapan dasar bahwa pemerian itu selalu bersifat fungsional, dalam arti bahwa pemerian dan hasilnya merupakan suatu yang berada dalam keterikatan dengan dan ditentukan oleh bumi manusia (oleh suatu semestaan). Jadi, sehubungan dengan hal itu, menyangkut pemerian bahasa Indonesia misalnya, sebelum pemerian dilakukan, terlebih dahulu perlu melihat secara kritis kehidupan bahasa Indonesia di tengah-tengah bahasa lain yang juga dikenal oleh pemakai bahasa Indonesia. Konsekuensi dari kesemuanya itu ialah bahwa pemerian tentang bahasa Indonesia (dalam tulisan ini berkaitan dengan deiksis) harus memiliki kemungkinan sebesar-besarnya untuk diperbandingkan dengan bahasa-bahasa lain. Dalam artian, pemerian tersebut juga memperhitungkan pandangan-pandangan semestaan dan corakan bahasa (language universals dan language tipes).

2 Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam mendeskripsi bahasa, yaitu (a) bagaimana cara dan strategi menemukan tipe dan semestaan bahasa; dan (b) temuannya (tipe dan semestaan bahasa apa saja yang diperoleh dalam pemerian itu). Berdasarkan kerangka kerja ini, dalam memerikan tentang Deiksis dalam Bahasa Indonesia diusahakan untuk dapat menemukan semestaan bahasa Indonesia berdasarkan kaidah-kaidah tentang deiksis dalam bahasa Indonesia. Data yang digunakan dalam pemerian ini diambil dari hasil penelitian (Desertasi) yang dilakukan oleh Bambang Kaswanti Purwo tentang Deiksis dalam Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh PN. Balai Pustaka (1984). Data tersebut pada akhirnya dapat untuk menentukan semestaan bahasa Indonesia berkaitan dengan pemakaian kata-kata deiksis. Pemerian tentang deiksis ini dilakukan untuk menggambarkan semestaan bahasa Indonesia dalam hubungannya dengan tipologi struktural berdasarkan tipologi tradisi Greenberg. 2. Tentang Tipe Bahasa Indonesia Penelitian sintaksis yang dikerjakan oleh ahli bahasa akhir-akhir ini (antara lain Li dan Thompson 1976) mengetengahkan dasar pengelompokkan bahasa-bahasa di dunia berdasarkan bahasa penampil topik dan bahasa penampil subjek (topicprominent-languages dan subject-prominent-languages). Di samping kedua tipe tersebut masih ada tipe lain yang sedang dalam proses perkembangan menuju pada salah satu dari kedua tipe tersebut. Bahasa bertipe (i) penampil topik dan subjek sedang berada dalam proses perkembangan yang nantinya berganti menjadi bahasa yang bertipe (ii) penampil topik. Bahasa yang bertipe penampil topik akan berkembang menuju pada bahasa bertipe (iii) penampil bukan topik dan bukan subjek. Bahasa bertipe (iii) ini sedang dalam proses berkembang menjadi bahasa bertipe (iv) penampil subjek. Bahasa bertipe (iv) akan berkembang menjadi bahasa bertipe (i), begitu seterusnya sehingga merupakan suatu lingkaran yang tidak ada titik awal dan titik akhirnya. Dalam kerangka teori tipologi Li dan Thomson tersebut di atas, bahasa Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok bahasa yang bertipe (iv) penampil subjek berada dalam kelompok yang sama dengan bahasa-bahasa Indo-Eropa dan beberapa bahasa lainnya (Kaswanti Purwo, 1984:261). Bahasa Indonesia yang dikelompokkan oleh Li dan Thomson ke dalam tipe (iv) itu adalah bahasa Indonesia hasil analisis Soemarno (1970), yang menggunakan kerangka teori Transformational Grammar. Dalam hal ini yang dimaksud dengan subjek mencakup lebih dari satu tataran. Bahasa Indonesia memiliki fleksibelitas verbal, selain mempunyai bentuk men- juga memiliki bentuk pasif (pasif di- dan pasif nol). Jadi, dalam hal ini bahasa Indonesia mirip dengan bahasa-bahasa Indo-Eropa. Akan tetapi konstruksi pasif dalam BI dan konstruksi pasif dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa memiliki perbedaan yang cukup jauh. Dalam bahasa Indo-Eropa konstituen agentif dalam konstruksi pasif adalah konstituen (menganggur) karena tidak wajib hadir secara formatif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap verbanya. Konstituen agentif dalam konstruksi pasif BI juga opsional dan juga tidak berpengaruh secara fungsional terhadap predikatnya, tetapi konstituen tersebut masih berhubungan erat dengan predikatnya dalam hal peran. Adanya persesuaian subjek dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa menyebabkan harus selalu adanya konstituen formatif di tempat subjek. Oleh karena itu, dikenal adanya subjek semu (dummy subject), seperti terlihat pada kalimat berikut : (1) It rains every day here. (2) It is hot here.

3 Dalam konstruksi (1 ) dan (2) di atas, konstituen subjek diadakan secara formatif untuk menjalankan tugas sintaksis saja dan tidak memiliki arti semantis. Dalam BI gatra untuk subjek semu selalu kosong, seperti terlihat pada contoh berikut : (3) Setiap hari hujan di sini. (4) Panas di sini. Tidak adanya persesuaian subjek dalam BI memungkinkan leksem persona ketiga, seperti bapak, kakak, dokter dapat dipergunakan sebagai penunjuk persona kedua atau pertama. Misalnya, seperti pada contoh berikut : (5) Bapak itu sudak tua. (5a) Bapak mau kemana? Pada kalimat (5a) kata bapak tidak menunjuk pada orang ketiga tetapi menunjuk pada orang kedua. Pelesapan konstituen subjek dalam bahasa Indo-Eropa hanya dimungkinkan dalam, struktur antar klausal, dan klausa dari konstituen nominal yang dilesapkan itu harus berada dalam konteks yang anaforis dengan klausa induknya. Dalam BI pelesapan konstituen nominal juga dimungkinkan dalam konstruksi yang tidak koreferensial, seperti terlihat pada contoh berikut : (6) A : Sudah diambil? B : Sudah. Dan sudah saya kirimkan lewat Eltetha. Mungkin karena BI tidak mengenal adanya persesuaian subjek, maka BI tidak kaya akan bentuk pronominal, sehingga untuk menghindari penyebutan konstituen yang redundan dipergunakan konstituen nol (contoh 6). Kekurangan bentuk pronominal dalam BI juga dilihat pada kenyataan tidak adanya bentuk pronominal untuk persona ketiga yang bukan insan. Untuk itu strategi yang ditempuh dalam konstruksi yang koreferensial adalah menyebut ulang konstituen yang menjadi titik tolaknya (koreferennya). (7)... datanglah tuan bupati dari Rembang dengan mobil. Waktu mobil itu masuk ke Penyebutan ulang seperti pada contoh (7) terjadi karena kedua konstituen yang bersangkutan memiliki bentuk formatif dan referen yang sama. Penyebutan konstituen dapat pula terjadi bila hanya bentuk formatifnya saja yang sama sedangkan referen yang ditunjuknya berbeda, seperti terlihat pada contoh berikut : (8) Kutarik kursiku ke dekat kursi tempat Meri duduk. Hal seperti ini tidak terjadi dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Inggris yang digunakan bukan penyebutan ulang konstituen tetapi dipergunakan bentuk pronominal, seperti pada contoh berikut : (9) I drew my chair nearer to the one on which Mary was sitting. Kekayaan bentuk pronominal mungkin merupakan ciri bahasa yang memiliki persesuaian subjek, sedangkan penyebutan ulang konstituen merupakan ciri bahasa yang tidak mempunyai persesuaian subjek. Hasil perbandingan peristiwa pelesapan dalam struktur antarklausal bahasa-bahasa Indo- Eropa dan BI di atas memperlihatkan bahwa peristiwa pelesapan dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa dikendalikan oleh fungsi, sedangkan dalam BI dikendali oleh peran. Penelitian yang dilakukan Sudaryanto (1979) terhadap konstruksi penguasa-pembatas menunjukkan bahwa dalam BI selain ada transitivitas fungsional juga ada transitivitas peran. Berdasarkan kenyataan ini, kalau dikatakan bahwa BI merupakan bahasa penampil

4 subjek tidak dapat diterima sepenuhnya. Akan tetapi juga tidak dapat dikatakan bahwa BI merupakan bukan bahasa penampil subjek sama sekali. Barangkali apa yang dikatakan oleh Verhaar merupakan jalan keluarnya, yaitu bahwa bahasa penampil subjek dapat dibedakan lagi atas bahasa yang memiliki persesuaian subjek dan yang tidak. Atau mungkin dapat, dikatakan bahwa BI sedang berada dalam proses sebagai bahasa penampil subjek (kedudukan struktur peran mengalami kegoyahan, kedudukkan struktur fungsi belum mantap). 3. Susunan Beruntun dan Deiksis Salah satu ciri utama bahasa adalah bahwa konstituen-konstituennya disusun secara linier. Konstituen-konstituen yang diurutkan itu membentuk susunan beruntun. Satuan ini dapat dibedakan antara yang berupa kata sebagai satuan yang bermakna gramatikal (subjek, predikat, objek) dan kata sebagai satuan semantis. Kemudian masing-masing dapat dibedakan lagi antara yang berada dalam hubungan antarklausal dan hubungan intraklausal. Penelitian terhadap struktur beruntun menghasilkan tipologi bahasa, yaitu bahasa yang bertipe VO dan OV 6 ). Pola urutan susunan beruntun struktur inti dalam bahasa Indonesia telah diteliti secara mendalam oleh Sudaryanto (1979). Apabila kaidah susunan beruntun dalam struktur intraklausal ditentukan oleh ciri tipologis bahasa (OV dan VO), konstituen-konstituen yang membentuk susunan beruntun dalam struktur antarklausal ada yang urutannya mengikuti urutan peristiwa sesuai dengan saat terjadinya, ada pula yang tidak. Pola susunan yang berdasarkan pada urutan waktu kejadian disebut pemetaan kronologis (Kaswanti Purwo, 1984:201 ). Apabila susunan beruntun yang beraspek gramatikal dan yang berada dalam struktur antarklausal berkenaan dengan pemetaan kronologis, susunan beruntun beraspek semantis yang berada dalam hubungan intraklausal dapat ditemukan pada struktur beku. Susunan beruntun beraspek semantis yang berada dalam hubungan antarklausal dijumpai pada struktur koreletif. Deiksis Luar Tuturan dan Pemetaan Kronologis Kata deiksis adalah kata yang mempunyai referen berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi pembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu (Kaswanti Purwo, 1984:1). Kata saya, ini, dan sekarang adalah kata-kata yang bersifat deiktis. Deiksis yang menunjuk pada referen di luar tuturan disebut dengan eksofora. Pembicaraan tentang deiksis luar tuturan bertitik berat pada semantik leksikal. Akan tetapi bidang sintaksis tidak dapat dilepaskan sama sekali dari pembicaraan semantik leksikal ini. Deiksis luar tuturan bersifat egosentris, dalam arti bahwa si pembicara berada pada titik nol, dan segala sesuatunya diarahkan dari sudut pandangnya (Lyons via Kaswanti Purwo, 1984:8). Deiksis luar tuturan ini menyangkut tiga hal, yaitu deiksis persona, deiksis ruang dan deiksis waktu. Deiksis persona menyangkut tentang nomina dan pronomina, Deiksis ruang berhubungan dengan leksem verbal dan adjektival, sedangkan deiksis waktu berhubungan dengan leksem adverbial. Givon (1979) dalam penelitiannya terhadap berbagai bahasa di dunia sampai pada kesimpulan bahwa nomina lahir lebih dulu daripada verba. Lebih lanjut dikemukakan bahwa modalitas utama dari nomina adalah deiksis ruang, sedangkan modalitas yang biasa dikaitkan dengan verba adalah deiksis waktu. Adanya hirarki kedeiktisan tersebut didukung oleh kenyataan bahwa semua leksem persona (dalam BI) adalah leksem deiktis, sedangkan leksem ruang dan waktu ada yang deiktis dan ada yang tidak. Dibanding dengan leksem waktu, leksem ruang lebih tinggi

5 kadar kedeiktisannya, sebab leksem ruang dapat dipergunakan dalam pengertian waktu, tetapi tid,ak sebaliknya. Dalam urutan penyebutan hal ruang dan waktu leksem ruang mendahului penyebutan leksem waktu (dalam struktur beku). Seperti terlihat pada contoh berikut : (10) Pertunjukan semacam itu kabarnya akan dipergelarkan di Jakarta, tempat dan waktunya akan ditentukan kemudian. Akan tetapi pada urutan penyebutan yang tidak beku, urutan penyebutan ruang dan waktu bersifat bebas. Hal ruang dapat mendahului waktu atau sebaliknya, seperti terlihat pada contoh berikut : (11) Rapat itu akan diadakan di Rawamangun pada tanggal 19 April. (12) Rapat itu akan diadakan pada,tanggal 19 April di Rawamangun. Pada, contoh (11) hal ruang mendahului waktu, sedangkan pada (12) sebaliknya hal waktu mendahului ruang. Deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan waktu. Leksemleksem ruang dan waktu yang tidak deiktis menjadi deiktis bila dikaitkan dengan leksem persona. Hal tersebut dapat dijelaskan berdasarkan data berikut : (13) Sala dekat dengan Yogya. (14) Bagi kereta api Indonesia jarak itu terlalu jauh. (15) Menurut ukuran orang Indonesia si Dul itu tinggi. Leksem ruang dekat, jauh, tinggi pada kalimat (13), (14), dan (15) tidak bersifat deiktis. Akan tetapi apabila dirangkaikan dengan bentuk persona leksem ruang yang tidak deiktis itu menjadi deiktis, seperti tampak pada contoh berikut : (16) Rumah si Dul dekat dengan rumah saya. (17) Tempat itu terlalu jauh baginya, meskipun bagimu tidak. (18) Menurut saya si Dul itu pendek, tetapi menurut si Yem tinggi. Berkaitan dengan deiksis persona, dalam bentuk morfemisnya, bentuk persona dibedakan antara bentuk bebas dan bentuk terikat. Dalam distribusi sintaksisnya bentuk terikat dibedakan antara yang lekat kanan dan yang lekat kiri. Karena Bahasa Indonesia adalah bahasa bertipe VO yang konsisten, maka dalam konstruksi posesif bentuk persona senantiasa lekat kanan (Sudaryanto 1979). (19) anakku anakmu anaknya Bentuk yang lekat kiri hanya dapat berupa persona pertama dan kedua saja, dan hanya berada dalam rangkaian dengan verba mengisi gatra untuk konstituen pelaku. (20) Buku itu sudah kuambil. (21) Buku itu sudah kauambil. Bentuk lekat kanan yang mengisi gatra konstituen pelaku hanya dapat berupa persona ketiga saja, dan dengan prefiks dirangkaikan dengan verba. (22) Buku itu sudah diambilnya. Sistem pronomina demonstratif dalam bahasa Indonesia tidak paralel dengan kata penunjuk tempat. Hanya dikenal adanya dua pronomina demonstratif dalam bahasa Indonesia, yaitu ini untuk menunjuk pada benda atau tempat yang dekat dengan

6 persona pertama, dan itu untuk menunjuk pada benda yang jauh dari persona pertama atau dekat dehgan persona kedua. Berkaitan dengan deiksis waktu, ada beberapa leksem ruang yang mengungkapkan pengertian waktu. Leksem ruang seperti depan, belakang, panjang, dan pendek yang dipakai dalam pengertian waktu memberikan kesan seolah-olah waktu merupakan hal yang diam, sedangkan leksem ruang seperti datang, lalu, tiba, dalam pengertian waktu memberikan kesan bahwa waktulah yang bergerak. Contoh: (23) Maka Juli depan, tim ekspedisi Gelanggang... (24) Diketahui belakangan ini memang lahir barisan.. (25) Tapi lima tahun sudah berlalu, ternyata Johny. (26) Makin dekat dengan hari D, Sisroni semakin cemas. Leksem waktu seperti pagi, siang, sore, dan malam tidak bersifat deiktis karena perbedaan masing-masing leksem ditentukan oleh posisi planet bumi terhadap matahari. Leksem waktu menjadi deiktis apabila yang menjadi patokan adalah pembicara. Misalnya, kata sekarang bertitik labuh pada saat si pembicara mengucapkan kata itu. Kata besok bertitik labuh pada satu hari sesudah saat tuturan. Selain istilah deiksis luar tuturan dikenal istilah pemetaan kronologis. Antara keduanya mempunyai kemiripan, yaitu kedua-duanya sama-sama memiliki referen pada setting. Akan tetapi, pemetaan kronologis hanya berkenaan dengan hal waktu saja. Bahasa Jepang dan bahasa Isiwara adalah contoh dari bahasa yang ketat mentaati kaidah pemetaan kronologis (Kaswanti Purwo, 1984:202). Dalam kedua bahasa itu urutan penyusunan konstituen-konstituen harus sesuai dengan urutan terjadinya peristiwa yang digambarkan. Dalam bahasa Indonesia, kaidah pemetaan kronologis tidak perlu dipatuhi apabila konjungsi yang bersangkutan disebutkan secara formatif. Contoh : (27) a. Setelah kau mandi, kau boleh makan. b. Kau boleh makan setelah kau mandi. (28) a. Sebelum berangkat sekolah, dia makan roti. b. Dia makan roti sebelum berangkat sekolah. Apabila konjungsi waktu tidak disebutkan secara formatif, kaidah pemetaan kronologis wajib dipatuhi. Contoh : (29) Melihat polisi, pencuri itu lari. (30) Pencuri itu lari, melihat polisi. Kalimat (28) apabila dibalik menjadi kalimat (29) menjadi tidak gramatikal. Urutan klausa pada (29) menjadi gramatikal apabila konjungsi disebut secara formatif, seperti pada kalimat (30) berikut : (31) Pencuri itu lari ketika melihat polisi. Dalam bahasa Indonesia (dan bahasa-bahasa yang lain) ada elemen-elemen tertentu yang membentuk suatu rangkaian memiliki urutan penyebutan yang tidak dapat dipertukartempatkan. Struktur yang demikian ini disebut dengan struktur beku (freezes menurut istilah Cooper dan Ress via Kaswanti Purwo, 1984;204). Contoh : (32) di sana sini (33) luar dalam

7 (34) dulu atau sekarang Selain itu dalam bahasa Indonesia juga banyak dijumpai adanya struktur beku yang mengikuti kaidah pemetaan kronologis seperti terlihat pada contoh-contoh berikut : (35) tanya jawab (36) jatuh bangun (37) hidup mati (38) siang malam (39) sebelum dan sesudahnya Akan tetapi ada pula struktur beku yang tidak mengikuti kaidah pemetaan kronologis, misalnya : (40) pulang pergi (41) keluar masuk (42) tua muda Struktur beku dalam bahasa Indonesia seperti contoh (36) mengikuti kaidah pemetaan kronologis, sedangkan dalam bahasa Jawa dan Batak Toba struktur beku seperti itu tidak mematuhi kaidah pemetaan kronologis. Contoh : (43) mati urip mati hidup (44) mate manang mangolu mati atau hidup Sebaliknya struktur beku seperti contoh (38) dalam bahasa Indonesia tidak mengikuti kaidah pemetaan kronlologis, sedangkan dalam bahasa Jawa tidak mentaati kaidah pemetaan kronologis, seperti terlihat pada contoh berikut : (45) menyang mulih pergi pulang (46) mlebu metu masuk keluar Berdasarkan perbandingan ketiga bahasa tersebut belum cukup kuat untuk membuktikan bahwa tidak ada alasan kuat untuk menyangkutpautkan tipologi bahasa dengan pemetaan kronologis. Akan tetapi bahwa struktur beku yang mengikuti kaidah pemetaan kronologis merupakan semestaan bahasa masih perlu dikaji lebih lanjut. Deiksis DalamTuturan (Endofora) Dalam pembicaraan tentang deiksis luar tuturan (eksofora) titik fokus pembicaraan pada semantik leksikal, sedangkan dalam endofora berhubungan dengan masalah sintaksis. Salah satu akibat dari penyusunan konstituen-konstituen bahasa secara linier adalah kemungkinan adanya konstituen tertentu yang sudah disebutkan sebelumnya disebut ulang pada penyebutan selanjutnya, baik dengan bentuk pronominal atau tidak. Kedua konstituen yang sama itu disebut sebagai konatituen yang berkoreferensi. Berkaitan dengan endofora dikenal istilah anafora dan katafora. Istilah anafora (anaphora) berarti pengulangan bunyi, kata, atau hal (fungsi) yang menunjuk kembali pada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan katafora adalah penunjukan ke sesuatu yang disebut di belakang Bentuk pronominal dalam bahasa Indonesia dapat menjadi pemarkah katafora apabila bentuk pronominal itu berada dalam konstruksi posesif, dan dalam kedudukan sebagai objek verba transitif, seperti terlihat pada contoh berikut :

8 (47) Dalam sambutannya, Presiden Soeharto mengemukakan bahwa riset dan teknologi... (48) Sebelum lelaki itu sempat melihatnya, Hari sudah bersembunyi di semak-semak. Leksemn nya pada kalimat (47) menunjuk pada leksem Presiden yang disebut kemudian. Begitu juga pada kalimat (48), leksem nya menunjuk pada leksem Hari yang disebut kemudian. Jadi, dalam hal ini nya sebagai pemarkah katafora. Dalam bahasa Indonesia tidak ada pemarkah anafora waktu, yang ada adalah kata itu yang dirangkaikan dengan leksem waktu, misalnya : (49) Tahun 1230, kejatuhan Sriwijaya mulai tampak, demikian tulisannya. Waktu itu, raja dari.. Leksem waktu itu adalah sebagai pemarkah anafora yang menunjuk pada leksem tahun 1230 yang sudah disebut sebelumnya. Diantara ketiga kata penunjuk dalam bahasa Indonesia (sana, situ, dan sini), hanya sana yang dapat dipergunakan sebagai pemarkah anafora tempat. Contoh : (50) Kami menuju ke tempat rapat. Tiba di sana ternyata rapat sudah berlangsung. Pemarkah anafora dan katafora selain diwujudkan oleh leksem, dapat juga berupa konstituen nol. Hal ini dapat dijumpai pada klausa yang berkonjungsi subordinatif. Misalnya seperti terlihat pada data berikut : (51) a. Setelah makan, mereka pergi. b. Mereka pergi setelah makan. (52) a. Ketika masih kecil, ia suka sekali makan telur. b. Ia suka sekali makan telur ketika masih kecil. Dari data tersebut terlihat bahwa klausa yang diawali dengan konjungsi kubordinatif bila disebutkan pertama, maka konstituen nol bersifat kataforis. Sebaliknya, apabila klausa itu disebutkan kedua maka konstituen nol bersifat anaforis. 4. Simpulan: Semestaan tentang Deiksis untuk Bahasa-Bahasa yang Setipe dengan Bahasa Indonesia Berdasarkan uraian-uraian tentang deiksis dalam bahasa Indonesia dalam hubungannya dengan tipe bahasa Indonesia, pada bagian tiga ( dan 3.1 dan 3.2) tulisan ini, maka dapat disusun mengenai semestaan tentang deiksis untuk bahasa-bahasa yang setipe dengan bahasa Indonesia sebagai berikut. 1. Semua leksem persona merupakan leksem deiktis, sedangkan leksem-leksem ruang dan waktu ada yang deiktis ada yang tidak. 2. Deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruamg dan waktu. Leksemleksem yang tidak deiktis menjadi deiktis apabila dikaitkan dengan leksem persona. 3. Apabila dalam konstruksi posesif, bentuk persona selalu lekat kanan. 4. Dalam klausa yang berkonjungsi subordinatif konstituen nol atau frasa nominal yang dilesapkan dapat bersifat anaforis dan juga bersifat kataforis. 5. Apabila klausa yang diawali dengan konjungsi subordinatif disebutkan pertama maka konstituen nol bersifat kataforis. 6. Apabila klausa yang diawali dengan konjungsi subordinatif disebutkan kedua maka konstituen nol bersifat anaforis.

9 7. Apabila konjungsi subordinatif tidak disebutkan secara formatif, konstituen nol hanya bersifat kataforis. 8. Apabila bentuk pronominal berada dalam konstruksi posesif dan dalam kedudukan sebagai objek verba transitif, bentuk Pronominal itu dapat menjadi pemarkah katafora. 9. Apabila konjungsi dalam suatu konstruksi disebutkan secara formatif, kaidah pemetaan kronologis tidak perlu dipatuhi. 10. Apabila konjungsi waktu tidak disebutkan secara formatif, kaidah pemetaan kronologis wajib dipatuhi. DAFTAR PUSTAKA Kaswanti Purwo, Bambang Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Pustaka. Sudaryanto Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia: Keselarasan Pola-Urutan. Jakarta : Djambatan. Balai Linguistik: Esai tentang Bahasa dan pengantar ke dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Perkembnngan Tipologi Bahasa: Tinjauan Selayang. dalam Bambang Kaswanti Purwo (ed.) PELLBA 2. Yogyakarta : Kanisius Metode Linguistik: Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Verhaar. J.W.M Teori Linguistik dan Bahasa Indonesia. Yogyakarta : Kanisius Pengantar Linguistik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Catatan : 1) Tipologi yang dikerjakan oleh Greenberg adalah tipologi struktural. 2) Remakai istilah Van Peursen (dalam Sudaryanto, 1992:22), pemerian bahasa tidak pernah subtansial, pemerian itu selalu fungsional. 3) Pinjam istilah Sudaryanto (1990:22). 4) Dalam tulisan ini berkaitan dengan deiksis dalam bahasa Indonesia. 5) Pinjam istilah Kaswanti Purwo (1984:262) 6) Sudaryanto (1983) menggunakan istilah PO untuk bahasa Indonesia.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi leksikal yang terdapat dalam wacana naratif bahasa Indonesia. Berdasarkan teori Halliday dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani deiktikos yang memiliki arti

BAB I PENDAHULUAN. Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani deiktikos yang memiliki arti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani deiktikos yang memiliki arti penunjukan secara langsung (Purwo, 1984: 2). Dardjowidjojo (1988: 35) bersama beberapa ahli bahasa

Lebih terperinci

PENGGUNAAN DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA

PENGGUNAAN DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA PENGGUNAAN DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA Roely Ardiansyah Fakultas Bahasa dan Sains, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Deiksis dalam bahasa Indonesia merupakan cermin dari perilaku seseorang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Jawa untuk berkomunikasi antarsesama masyarakat Jawa.

PENDAHULUAN Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Jawa untuk berkomunikasi antarsesama masyarakat Jawa. 1 PENDAHULUAN Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Jawa untuk berkomunikasi antarsesama masyarakat Jawa. Dalam interaksi sosial masyarakat Jawa, lebih cenderung menggunakan komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan kekacauan pada tindak berbahasa. Salah satu contoh penggunaan bentuk bersinonim yang dewasa ini sulit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan

BAB I PENDAHULUAN. sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Analisis kalimat dapat dilakukan pada tiga tataran fungsi, yaitu fungsi sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan gramatikal antara

Lebih terperinci

KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA

KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA HUMANIORA Suhandano VOLUME 14 No. 1 Februari 2002 Halaman 70-76 KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA Suhandano* 1. Pengantar ahasa terdiri dari dua unsur utama, yaitu bentuk dan arti. Kedua unsur

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORETIS

BAB 2 LANDASAN TEORETIS BAB 2 LANDASAN TEORETIS 2.1 Kerangka Acuan Teoretis Penelitian ini memanfaatkan pendapat para ahli di bidangnya. Bidang yang terdapat pada penelitian ini antara lain adalah sintaksis pada fungsi dan peran.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka digilib.uns.ac.id BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka Ada tiga kajian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Ketiga kajian tersebut adalah makalah berjudul Teori Pengikatan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian III. METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif ialah penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu

Lebih terperinci

ANALISIS DEIKSIS DALAM CERPEN SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 KARANGANYAR

ANALISIS DEIKSIS DALAM CERPEN SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 KARANGANYAR ANALISIS DEIKSIS DALAM CERPEN SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 KARANGANYAR Erdi Sunarwan, Muhammad Rohmadi, Atikah Anindyarini Universitas Sebelas Maret E-mail: sn_erdi@yahoo.com Abstract: The objective of this

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dalam penilitian Refleksif dengan Kata Diri, Dirinya, Dan Diriya Sendiri dalam Bahasa Indonesia: dari Perspektif Teori Pengikatan ini dapat disimpulkan tiga hal yang merupakan

Lebih terperinci

DEIKSIS ARTIKEL HARIAN SUARA MERDEKA SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN MENULIS NARASI NONFIKSI DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA

DEIKSIS ARTIKEL HARIAN SUARA MERDEKA SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN MENULIS NARASI NONFIKSI DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DEIKSIS ARTIKEL HARIAN SUARA MERDEKA SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN MENULIS NARASI NONFIKSI DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA Oleh: Dwi Setiyaningsih Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kireidedew82@yahoo.co.id

Lebih terperinci

NOMINA DAN PENATAANNYA DALAM SISTEM TATA BAHASA INDONESIA

NOMINA DAN PENATAANNYA DALAM SISTEM TATA BAHASA INDONESIA NOMINA DAN PENATAANNYA DALAM SISTEM TATA BAHASA INDONESIA Suhandano Universitas Gadjah Mada ABSTRAK Tulisan ini membahas bagaimana nomina ditata dalam sistem tata bahasa Indonesia. Pembahasan dilakukan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, karena bahasa tidak terlepas dari

BAB II LANDASAN TEORI. peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, karena bahasa tidak terlepas dari 9 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Semantik Bahasa merupakan alat komunikasi penting bagi umat manusia. Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, karena bahasa tidak terlepas dari makna dan

Lebih terperinci

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015 SINTAKSIS Pengantar Linguistik Umum 26 November 2014 Morfologi Sintaksis Tata bahasa (gramatika) Bahasan dalam Sintaksis Morfologi Struktur intern kata Tata kata Satuan Fungsi Sintaksis Struktur antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengulangan unsur harus dihindari. Salah satu cara untuk mengurangi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengulangan unsur harus dihindari. Salah satu cara untuk mengurangi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada penggabungan klausa koordinatif maupun subordinatif bahasa Indonesia sering mengakibatkan adanya dua unsur yang sama atau pengulangan unsur dalam sebuah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Kepustakaan yang relevan atau sering juga disebut tinjauan pustaka ialah salah satu cara untuk mendapatkan referensi yang lebih tepat dan sempurna

Lebih terperinci

ANALISIS DEIKSIS DALAM TAJUK RENCANA HARIAN KOMPAS DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN MENULIS DI KELAS X

ANALISIS DEIKSIS DALAM TAJUK RENCANA HARIAN KOMPAS DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN MENULIS DI KELAS X ANALISIS DEIKSIS DALAM TAJUK RENCANA HARIAN KOMPAS DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN MENULIS DI KELAS X Oleh: Isnani Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Purworejo

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam mencari informasi dan berkomunikasi. Klausa ataupun kalimat dalam

I. PENDAHULUAN. dalam mencari informasi dan berkomunikasi. Klausa ataupun kalimat dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesatuan bahasa terlengkap dan tertinggi dalam hierarki gramatikal yaitu wacana, pemahaman mengenai wacana tidak bisa ditinggalkan oleh siapa saja terutama dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Deiksis Linguistik adalah ilmu yang mencoba untuk memahami bahasa dari sudut pandang struktur internal (Gleason, 1961:2). Struktur internal linguistik ialah fonologi,

Lebih terperinci

Analisis Deiksis dalam Komik Angkara Tan Nendra Karya Resi Wiji S. dalam Majalah Panjebar Semangat

Analisis Deiksis dalam Komik Angkara Tan Nendra Karya Resi Wiji S. dalam Majalah Panjebar Semangat Analisis Deiksis dalam Komik Angkara Tan Nendra Karya Resi Wiji S. dalam Majalah Panjebar Semangat Oleh: Anis Cahyani Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa namakuaniscahyani@yahoo.com Abstrak:

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai kohesi pada wacana mungkin sudah sering dilakukan dalam penelitian bahasa. Akan tetapi, penelitian mengenai kohesi gramatikal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa harus berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa harus berkomunikasi BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa harus berkomunikasi dengan sesamanya memerlukan sarana untuk menyampaikan kehendaknya. Salah satu sarana komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gramatikal dalam bahasa berkaitan dengan telaah struktur bahasa yang berkaitan. dengan sistem kata, frasa, klausa, dan kalimat.

BAB I PENDAHULUAN. gramatikal dalam bahasa berkaitan dengan telaah struktur bahasa yang berkaitan. dengan sistem kata, frasa, klausa, dan kalimat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian dalam bidang linguistik berkaitan dengan bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa tulis memiliki hubungan dengan tataran gramatikal. Tataran gramatikal

Lebih terperinci

ANALISIS DEIKSIS PADA KARANGAN DESKRIPSI SISWA KELAS X OTOMOTIF SMK MUHAMMADIYAH KARTASURA TAHUN PELAJARAN 2012/2013

ANALISIS DEIKSIS PADA KARANGAN DESKRIPSI SISWA KELAS X OTOMOTIF SMK MUHAMMADIYAH KARTASURA TAHUN PELAJARAN 2012/2013 ANALISIS DEIKSIS PADA KARANGAN DESKRIPSI SISWA KELAS X OTOMOTIF SMK MUHAMMADIYAH KARTASURA TAHUN PELAJARAN 2012/2013 NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat S-1 Pendidikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Verba berprefiks..., Indra Haryono, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Verba berprefiks..., Indra Haryono, FIB UI, Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi dan mengidentifakasikan diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial budaya masyarakat pemakainya (periksa Kartini et al., 1982:1).

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial budaya masyarakat pemakainya (periksa Kartini et al., 1982:1). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa Sunda (BS)1) memiliki kedudukan dan fungsi tertentu di dalam kehidupan sosial budaya masyarakat pemakainya (periksa Kartini et al., 1982:1). Di samping

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II,

BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II, 654 BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II, uji lapangan, dan temuan-temuan penelitian, ada beberapa hal yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek pengajaran yang sangat penting, mengingat bahwa setiap orang menggunakan bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir tidak pernah terlepas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir tidak pernah terlepas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir tidak pernah terlepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi diperlukan sarana berupa bahasa untuk mengungkapkan ide,

Lebih terperinci

PENANDA KOHESI GRAMATIKAL KONJUNGSI ANTARKALIMAT DAN INTRAKALIMAT PADA TEKS PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENANDA KOHESI GRAMATIKAL KONJUNGSI ANTARKALIMAT DAN INTRAKALIMAT PADA TEKS PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENANDA KOHESI GRAMATIKAL KONJUNGSI ANTARKALIMAT DAN INTRAKALIMAT PADA TEKS PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

PEMAKAIAN DEIKSIS SOSIAL DALAM TAJUK RENCANA HARIAN KOMPAS EDISI JANUARI FEBRUARI 2010 SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan

PEMAKAIAN DEIKSIS SOSIAL DALAM TAJUK RENCANA HARIAN KOMPAS EDISI JANUARI FEBRUARI 2010 SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan PEMAKAIAN DEIKSIS SOSIAL DALAM TAJUK RENCANA HARIAN KOMPAS EDISI JANUARI FEBRUARI 2010 SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Objek dalam penelitian kualitatif adalah objek yang alamiah, atau natural setting, sehingga metode

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka Sebagai bentuk perbandingan dan pertimbangan untuk melakukan penelitian ini, penulis menggunakan dua penelitian sebelumnya yang mengkaji penggunaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI Tinjauan pustaka memaparkan lebih lanjut tentang penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Selain itu, dipaparkan konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesalahan berbahasa ini tidak hanya terjadi pada orang-orang awam yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi tertentu, tetapi sering

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka. Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka. Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau yang sudah ada dengan menyebutkan dan membahas seperlunya hasil penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. dan analisis, yaitu mendeskripsikan dan menganalisis verba berprefiks ber- dalam

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. dan analisis, yaitu mendeskripsikan dan menganalisis verba berprefiks ber- dalam BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif karena bersifat deskriptif dan analisis, yaitu mendeskripsikan dan menganalisis verba berprefiks ber- dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semantik merupakan ilmu tentang makna, dalam bahasa Inggris disebut meaning.

BAB I PENDAHULUAN. Semantik merupakan ilmu tentang makna, dalam bahasa Inggris disebut meaning. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semantik merupakan ilmu tentang makna, dalam bahasa Inggris disebut meaning. Vehaar (1999: 14) mengemukakan bahwa semantik (Inggris: semantics) berarti teori

Lebih terperinci

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas dari isi yang

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas dari isi yang BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Struktur adalah perangkat unsur yang di antaranya ada hubungan yang bersifat ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Unsur sintaksis yang terkecil adalah frasa. Menurut pandangan seorang

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Unsur sintaksis yang terkecil adalah frasa. Menurut pandangan seorang BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut KBBI (2003 : 588), konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alat untuk menyampaikan gagasan, pikiran, maksud, serta tujuan kepada orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. alat untuk menyampaikan gagasan, pikiran, maksud, serta tujuan kepada orang lain. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berkomunikasi merupakan suatu kegiatan yang mempergunakan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan gagasan, pikiran, maksud, serta tujuan kepada orang lain.

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat

BAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat BAB V P E N U T U P 5.1 Kesimpulan Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat tunggal bahasa Sula yang dipaparkan bahasan masaalahnya mulai dari bab II hingga bab IV dalam upaya

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. untuk mendeskripsikan KVA/KAV dalam kalimat bahasa Indonesia. Deskripsi ini

BAB IV PENUTUP. untuk mendeskripsikan KVA/KAV dalam kalimat bahasa Indonesia. Deskripsi ini BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Pada bagian pendahuluan telah disampaikan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan KVA/KAV dalam kalimat bahasa Indonesia. Deskripsi ini diwujudkan dalam tipe-tipe

Lebih terperinci

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA Tata bentukan dan tata istilah berkenaan dengan kaidah pembentukan kata dan kaidah pembentukan istilah. Pembentukan kata berkenaan dengan salah satu cabang linguistik

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI

BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI 174 BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Simpulan Berdasarkan analisis data pada bab sebelumnya, pengungkapan modalitas desideratif BI dan BJ dapat disimpulkan seperti di bawah ini. 1. Bentuk-bentuk pegungkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sawardi (2004:1) menjelaskan bahwa teori kebahasaan memahami refleksif berdasarkan pola kalimat umumnya (agen melakukan sesuatu terhadap pasien).

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. sistem modalitas Bahasa Inggris. Modalitas merupakan sistem semantis di mana

BAB V PENUTUP. sistem modalitas Bahasa Inggris. Modalitas merupakan sistem semantis di mana BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Kata kerja bantu modal atau modal memiliki fungsi sebagai pengungkap sistem modalitas Bahasa Inggris. Modalitas merupakan sistem semantis di mana pembicara menyatakan sikapnya

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN PERTANYAAN PENELITIAN. Kerangka teoretis merupakan suatu rancangan teori-teori mengenai hakikat

BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN PERTANYAAN PENELITIAN. Kerangka teoretis merupakan suatu rancangan teori-teori mengenai hakikat BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN PERTANYAAN PENELITIAN A. Kerangka Teoretis Kerangka teoretis merupakan suatu rancangan teori-teori mengenai hakikat yang memberikan penjelasan tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dengan manusia yang lain. Kebutuhan akan bahasa sudah jauh sebelum manusia mengenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peristiwa berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi, manusia

BAB I PENDAHULUAN. peristiwa berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi, manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia hampir tidak dapat terlepas dari peristiwa berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi, manusia memerlukan sarana untuk

Lebih terperinci

BAB 4 UNSUR-UNSUR BAHASA INGGRIS YANG MUNCUL DALAM CAMPUR KODE

BAB 4 UNSUR-UNSUR BAHASA INGGRIS YANG MUNCUL DALAM CAMPUR KODE BAB 4 UNSUR-UNSUR BAHASA INGGRIS YANG MUNCUL DALAM CAMPUR KODE 4.1 Pengantar Bagian ini akan membicarakan analisis unsur-unsur bahasa Inggris yang masuk ke dalam campur kode dan membahas hasilnya. Analisis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembicaraan tentang kohesi tidak akan terlepas dari masalah wacana karena kohesi memang merupakan bagian dari wacana. Wacana merupakan tataran yang paling besar dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kridalaksana (1983: 107) menjelaskan modalitas memiliki beberapa arti.

BAB I PENDAHULUAN. Kridalaksana (1983: 107) menjelaskan modalitas memiliki beberapa arti. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kridalaksana (1983: 107) menjelaskan modalitas memiliki beberapa arti. Pertama, klasifikasi proposisi menurut hal yang menyungguhkan atau mengingkari kemungkinan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia merupakan makhluk yang selalu melakukan. komunikasi, baik itu komunikasi dengan orang-orang yang ada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia merupakan makhluk yang selalu melakukan. komunikasi, baik itu komunikasi dengan orang-orang yang ada di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk yang selalu melakukan komunikasi, baik itu komunikasi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya maupun dengan penciptanya. Saat berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Wolio yang selanjutnya disingkat BW adalah salah satu bahasa daerah yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa Kerajaan Kesultanan

Lebih terperinci

BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS

BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS Nama : Khoirudin A. Fauzi NIM : 1402408313 BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS Pada bab terdahulu disebutkan bahwa morfologi dan sintaksis adalah bidang tataran linguistik yang secara tradisional disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sarana yang berfungsi untuk mengungkapkan ide, gagasan, pikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. sarana yang berfungsi untuk mengungkapkan ide, gagasan, pikiran dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sepanjang hidupnya, manusia tidak pernah terlepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi tersebut, manusia memerlukan sarana yang berfungsi untuk mengungkapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia pada dasarnya mempunyai dua macam bentuk verba, (i) verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaksis,

Lebih terperinci

SINTAKSIS. Sintaksis adalah menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. B. KATA SEBAGAI SATUAN SINTAKSIS

SINTAKSIS. Sintaksis adalah menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. B. KATA SEBAGAI SATUAN SINTAKSIS SINTAKSIS Sintaksis adalah menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. A. STRUKTUR SINTAKSIS Untuk memahami struktur sintaksis, terlebih dahulu kita harus Mengetahui fungsi,

Lebih terperinci

STRUKTUR KALIMAT BAHASA INDONESIA DALAM KARANGAN DESKRIPSI MAHASISWA PROGRAM BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA.

STRUKTUR KALIMAT BAHASA INDONESIA DALAM KARANGAN DESKRIPSI MAHASISWA PROGRAM BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA. STRUKTUR KALIMAT BAHASA INDONESIA DALAM KARANGAN DESKRIPSI MAHASISWA PROGRAM BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA oleh Dra. Nunung Sitaresmi, M.Pd. FPBS UPI 1. Pendahuluan Bahasa

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

Jenis Verba Jenis Verba ada tiga, yaitu: Indikatif (kalimat berita) Imperatif (kalimat perintah) Interogatif (kalimat tanya) Slot (fungsi)

Jenis Verba Jenis Verba ada tiga, yaitu: Indikatif (kalimat berita) Imperatif (kalimat perintah) Interogatif (kalimat tanya) Slot (fungsi) Lecture: Kapita Selekta Linguistik Date/Month/Year: 25 April 2016 Semester: 104 (6) / Third Year Method: Ceramah Credits: 2 SKS Lecturer: Prof. Dr. Dendy Sugono, PU Clues: Notes: Kapita Selekta Linguistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik memiliki tataran tertinggi yang lebih luas cakupannya dari

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik memiliki tataran tertinggi yang lebih luas cakupannya dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan 1.1.1 Latar Belakang Linguistik memiliki tataran tertinggi yang lebih luas cakupannya dari kalimat yang disebut wacana. Wacana merupakan satuan bahasa

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengantar Pada bab ini akan dijabarkan pendapat para ahli sehubungan dengan topik penelitian. Mengenai alat-alat kohesi, penulis menggunakan pendapat M.A.K. Halliday dan Ruqaiya

Lebih terperinci

3. Menambah referensi dalam penelitian lainnya yang sejenis.

3. Menambah referensi dalam penelitian lainnya yang sejenis. 1.4.1 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan kategori verba yang terdapat pada kolom Singkat Ekonomi harian Analisa edisi Maret 2013. 2. Mendeskripsikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak 9 BAB II KAJIAN TEORI Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak bahasa. Chaer (2003: 65) menyatakan bahwa akibat dari kontak bahasa dapat tampak dalam kasus seperti interferensi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana,

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana, 2008:143). Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh para anggota

Lebih terperinci

Analisis Penggunaan Kalimat Bahasa Indonesia pada Karangan Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 10 Sanur, Denpasar

Analisis Penggunaan Kalimat Bahasa Indonesia pada Karangan Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 10 Sanur, Denpasar Analisis Penggunaan Kalimat Bahasa Indonesia pada Karangan Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 10 Sanur, Denpasar Wayan Yuni Antari 1*, Made Sri Satyawati 2, I Wayan Teguh 3 [123] Program Studi Sastra Indonesia,

Lebih terperinci

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN DEMONSTRATIF WAKTU DAN TEMPAT PADA TEKS LAGU IHSAN DALAM ALBUM THE WINNER

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN DEMONSTRATIF WAKTU DAN TEMPAT PADA TEKS LAGU IHSAN DALAM ALBUM THE WINNER ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN DEMONSTRATIF WAKTU DAN TEMPAT PADA TEKS LAGU IHSAN DALAM ALBUM THE WINNER SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana S-1

Lebih terperinci

BAB IV SIMPULAN. Frasa 1 + dan + Frasa 2. Contoh: Veel kleiner dan die van Janneke

BAB IV SIMPULAN. Frasa 1 + dan + Frasa 2. Contoh: Veel kleiner dan die van Janneke BAB IV SIMPULAN Dan sebagai konjungsi menduduki dua kategori sekaligus yaitu konjungsi koordinatif dan konjungsi subordinatif. Posisi konjungsi dan berada di luar elemen-elemen bahasa yang dihubungkan.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA BAB IV ANALISIS DATA Analisis data pada penelitian ini meliputi : (i) perilaku argumen pada perubahan struktur klausa bahasa Indonesia, (ii) pelesapan argumen pada penggabungan klausa bahasa Indonesia,

Lebih terperinci

PELESAPAN FUNGSI SINTAKTIK DALAM KALIMAT MAJEMUK BAHASA INDONESIA THE ELLIPIS OF THE SYNTACTIC IN THE INDONESIAN LANGUANGE COMPOUND SENTENCE

PELESAPAN FUNGSI SINTAKTIK DALAM KALIMAT MAJEMUK BAHASA INDONESIA THE ELLIPIS OF THE SYNTACTIC IN THE INDONESIAN LANGUANGE COMPOUND SENTENCE Pelesapan Fungsi. (Satya Dwi) 128 PELESAPAN FUNGSI SINTAKTIK DALAM KALIMAT MAJEMUK BAHASA INDONESIA THE ELLIPIS OF THE SYNTACTIC IN THE INDONESIAN LANGUANGE COMPOUND SENTENCE Oleh: Satya Dwi Nur Rahmanto,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, yang kemudian disebut dengan komunikasi. Bahasa merupakan alat komunikasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kategori kata dalam kajian gramatik bahasa Indonesia tidak. pernah lepas dari pembicaraan. Begitu kompleks dan pentingnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Kategori kata dalam kajian gramatik bahasa Indonesia tidak. pernah lepas dari pembicaraan. Begitu kompleks dan pentingnya 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kategori kata dalam kajian gramatik bahasa Indonesia tidak pernah lepas dari pembicaraan. Begitu kompleks dan pentingnya permasalahan kategori ini sehingga tidak

Lebih terperinci

RELASI SUBJEK DAN PREDIKAT DALAM KLAUSA BAHASA GORONTALO SKRIPSI

RELASI SUBJEK DAN PREDIKAT DALAM KLAUSA BAHASA GORONTALO SKRIPSI RELASI SUBJEK DAN PREDIKAT DALAM KLAUSA BAHASA GORONTALO SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Wisuda Sarjana Pendidikan di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Oleh NURMA

Lebih terperinci

VERBA TRANSITIF BEROBJEK DAPAT LESAP DALAM BAHASA INDONESIA

VERBA TRANSITIF BEROBJEK DAPAT LESAP DALAM BAHASA INDONESIA VERBA TRANSITIF BEROBJEK DAPAT LESAP DALAM BAHASA INDONESIA Tri Mastoyo Jati Kesuma Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Objek (O) termasuk ke dalam valensi verba transitif. Oleh karena itu, O

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara individual atau secara

Lebih terperinci

Pemakaian Deiksis Persona dalam Bahasa Indonesia

Pemakaian Deiksis Persona dalam Bahasa Indonesia Pemakaian Deiksis Persona dalam Bahasa Indonesia Oleh : Harits Utama 1 Abstrak Pronomina persona dalam bahasa Indonesia terbagi menjadi tiga bentuk, pronomina persona pertama, kedua, dan ketiga yang masing-masing

Lebih terperinci

PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA. Oleh F.X. Sawardi

PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA. Oleh F.X. Sawardi PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA Oleh F.X. Sawardi sawardi_fransiskus@mailcity.com 1. Pengantar Paper ini mencoba mengungkap celah-celah untuk meneropong masalah ergativitas bahasa Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan lain. Manusia memiliki keinginan atau hasrat untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesan yang disampaikan dapat melalui karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. Pesan yang disampaikan dapat melalui karya sastra. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Bahasa memiliki peranan penting dalam hal berkomunikasi. Fungsi penting dari bahasa adalah menyampaikan pesan dengan baik secara verbal atau tulisan. Pesan yang disampaikan

Lebih terperinci

BAB 6 SINTAKSIS. Nama : CANDRA JULIANSYAH NIM :

BAB 6 SINTAKSIS. Nama : CANDRA JULIANSYAH NIM : Nama : CANDRA JULIANSYAH NIM : 1402408239 BAB 6 SINTAKSIS Sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti dengan dan kata tattein yang berarti menempatkan. Secara etimologi sintaksis berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang efektif. Bahasa dan proses

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang efektif. Bahasa dan proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi yang efektif. Bahasa dan proses berbahasa adalah hal yang tidak bisa terlepas dari kehidupan manusia. Dengan berbahasa, seseorang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengumpulkan data penelitianya (Arikonto, 2013: 203). Metode yang digunakan

BAB III METODE PENELITIAN. mengumpulkan data penelitianya (Arikonto, 2013: 203). Metode yang digunakan 40 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode Penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitianya (Arikonto, 2013: 203). Metode yang digunakan dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian bahasa dimulai setelah manusia menyadari keberagaman bahasa merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of Linguistics menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

Dari sudut wacana (tempat acuan) nya, referensi dibagi atas:

Dari sudut wacana (tempat acuan) nya, referensi dibagi atas: Dari sudut wacana (tempat acuan) nya, referensi dibagi atas: Referensi Eksoforis (Eksofora) Referensi dengan objek acuan di luar teks. Saya belum sarapan pagi ini. Kata saya merupakan referensi eksoforis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benar. Ini ditujukan agar pembaca dapat memahami dan menyerap isi tulisan

BAB I PENDAHULUAN. benar. Ini ditujukan agar pembaca dapat memahami dan menyerap isi tulisan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang lingkup pembelajaran bahasa Indonesia mencakup komponenkomponen kemampuan berbahasa Indonesia yang meliputi aspek berbicara, menyimak, menulis, dan

Lebih terperinci

DEIKSIS RUANG DAN WAKTU BAHASA MELAYU JAMBI DI TANJUNG JABUNG TIMUR

DEIKSIS RUANG DAN WAKTU BAHASA MELAYU JAMBI DI TANJUNG JABUNG TIMUR DEIKSIS RUANG DAN WAKTU BAHASA MELAYU JAMBI DI TANJUNG JABUNG TIMUR ABSTRACT Akhyaruddin * FKIP Universitas Jambi This research is pleased with form and context of space and time usage deiksis found in

Lebih terperinci

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK Nama : Wara Rahma Puri NIM : 1402408195 BAB 5 TATARAN LINGUISTIK 5. TATARAN LINGUISTIK (2): MORFOLOGI Morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna. 5.1 MORFEM Tata bahasa tradisional tidak

Lebih terperinci

PENGGUNAAN DEIKSIS SEMANTIK DALAM CERPEN SILUET JINGGA KARYA ANGGI P

PENGGUNAAN DEIKSIS SEMANTIK DALAM CERPEN SILUET JINGGA KARYA ANGGI P PENGGUNAAN DEIKSIS SEMANTIK DALAM CERPEN SILUET JINGGA KARYA ANGGI P Rini Damayanti Universitas Wijaya Kusuma Surabaya just_arinda@yahoo.com Abstract This research aims to determine the use of form semantic

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Campur code..., Annisa Ramadhani, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 5 PENUTUP. Campur code..., Annisa Ramadhani, FIB UI, Universitas Indonesia BAB 5 PENUTUP 5.1 Simpulan Penelitian jenis proses campur kode menunjukkan hasil yang berbeda-beda antara bahasa yang satu dan bahasa yang lain karena subjek penelitian mereka pun berbeda-beda, baik dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan sarana berkomunikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Peranan bahasa sangat membantu manusia dalam menyampaikan gagasan, ide, bahkan pendapatnya

Lebih terperinci

Kemampuan Siswa Kelas XI SMAN 8 Pontianak Menentukan Unsur Kebahasaan Dalam Teks Cerita Ulang Biografi

Kemampuan Siswa Kelas XI SMAN 8 Pontianak Menentukan Unsur Kebahasaan Dalam Teks Cerita Ulang Biografi Kemampuan Siswa Kelas XI SMAN 8 Pontianak Menentukan Unsur Kebahasaan Dalam Teks Cerita Ulang Biografi Astri Saraswati, Martono, Syambasril Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP UNTAN, Pontianak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh sebagian besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, baik dalam bidang pendidikan, pemerintahan, maupun dalam berkomunikasi

Lebih terperinci

KATA MENANGIS : BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA. Kumairoh. Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Dipnegoro. Abstrak

KATA MENANGIS : BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA. Kumairoh. Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Dipnegoro. Abstrak KATA MENANGIS : BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA Kumairoh Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dipnegoro Abstrak Bahasa Indonesia merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh masyarakat dalam

Lebih terperinci

Kata kunci: perilaku objek, kalimat, bahasa Indonesia. Abstract

Kata kunci: perilaku objek, kalimat, bahasa Indonesia. Abstract PERILAKU OBJEK KALIMAT DALAM BAHASA INDONESIA Mas Sukardi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Vetaran Bangun Nusantara Jl. S. Humardani Jombor Sukoharjo/ Mahasiswa S3 Universitas Sebelas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan komunikasi dalam bentuk tulisan. bahasa Indonesia ragam lisan atau omong.

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan komunikasi dalam bentuk tulisan. bahasa Indonesia ragam lisan atau omong. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia lebih banyak melakukan komunikasi lisan daripada komunikasi tulisan oleh sebab itu, komunikasi lisan dianggap lebih penting dibandingkan komunikasi dalam

Lebih terperinci