BAB II PENDEKATAN TEORITIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB VI PROSES DIFUSI, KATEGORI ADOPTER DAN LAJU ADOPSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI DUSUN MUHARA

BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI

Lampiran 1. Gambar Paradigma Laju Adopsi Inovasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skala prioritas utama dan strategi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ditujukan

STUDI DIFUSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI KABUPATEN TASIKMALAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dirasa baru oleh individu atau unit adopsi lain. Sifat dalam inovasi tidak hanya

BAB VI UNSUR-UNSUR DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Pengaturan Pola Tanam dan Tertib Tanam (P2T3) pola tanam bergilir, yaitu menanam tanaman secara bergilir beberapa jenis

program yang sedang digulirkan oleh Badan Litbang Pertanian adalah Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian yang

Praktikum Perilaku Konsumen

Lampiran 1. Peta wilayah Provinsi Bali

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. seperti industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian. Menurut Rogers (1983),

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Teori Adopsi dan Difusi Inovasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar, Definisi Operasional dan Pengukuran. variabel- variabel yang digunakan dalam penelitian ini akan diukur dan

BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PRIMA TANI OLEH PETANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA

dari semua variabel karakteristik individu dan rumahtangga dapat dilihat pada Lampiran 4.

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

KARAKTERISTIK PETANI PENERIMA METODE SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) PADI DI KECAMATAN CIAWI BOGOR.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pepi Rospina Pertiwi, Rinda Noviyanti, Dewi Juliah Ratnaningsih 1. ABSTRAK

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI. ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan,

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. pola bertanam yang berselang-seling antara dua atau lebih (biasanya dua atau

I. PENDAHULUAN. substitusinya sebagaimana bahan bakar minyak. Selain itu, kekhawatiran global

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Penelitian menyimpulkan sebagai berikut:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

VI KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

VI. ADOPSI PROGRAM SISTEM INTEGRASI TANAMAN- TERNAK. partisipatif di lahan petani diharapkan dapat membawa dampak terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PADI SAWAH DI DESA KARANG ANYAR KECAMATAN SEMIDANG ALAS MARAS KABUPATEN SELUMA

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

DIFUSI INOVASI. Agustina Bidarti Fakultas Pertanian Unsri

SRI SUATU ALTERNATIVE PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN SAWAH (PADI) YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN

TINJAUAN PUSTAKA. Tumbuhan padi (Oryza sativa L) termasuk golongan tumbuhan. Tumbuhan padi bersifat merumpun, artinya tanaman tanamannya anak beranak.

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER DI PERDESAAN

Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir. kualitas hidup rakyat melalui peningkatan partisipasinya secar aktif dalam

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

TEORI KOMUNIKASI KONTEKS BUDAYA DAN MASYARAKAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB VIII HUBUNGAN PARTISIPASI DENGAN SIKAP DAN KARAKTERISTIK INTERNAL INDIVIDU PETANI

I. PENDAHULUAN. mutu hidup serta kesejahteraan masyarakat. Salah satu upaya peningkatan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. bagi masyarakat peternak di Kabupaten Pandeglang. Usaha peternakan kerbau di

Salah satu bekal yang berguna bagi usaha memasyarakatkan inovasi atau ide-ide baru adalah pemahaman yang mendalam mengenai bagaimana inovasi tersebut

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

PENINGKATAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MELALUI PENERAPAN KOMPONEN TEKNOLOGI PTT DI SULAWESI TENGGARA

KAJIAN PENGGUNAAN VARIETAS UNGGUL PADI BERLABEL DI KECAMATAN CURUP SELATAN KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Jaringan Komunikasi

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

PENDAHULUAN Latar Belakang

ALUR INFORMASI DAN KEPUTUSAN INOVASI TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA TERPADU DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR *)

BAB VI PEMBAHASAN. pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

PENDAHULUAN Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Wonosari merupakan salah satu dari 7 kecamatan yang ada di

TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI PADA USAHATANI PADI SAWAH SYSTEM

I. PENDAHULUAN. yang semakin meningkat menyebabkan konsumsi beras perkapita per tahun

BUDIDAYA TANAMAN PADI menggunakan S R I (System of Rice Intensification)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melalui pendekatan edukatif (Subejo, 2010). Pendekatan edukatif diartikan sebagai

BAB III METODOLOGI. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitiatif dan kualitatif.

SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 2 September 2012

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Meskipun sebagai bahan makanan pokok, padi dapat digantikan atau disubstitusi

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. seluruh uang atau hasil material lainnya yang dicapai dari penggunaan kekayaan

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian

5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida

METODE PENELITIAN. deskriptif analisis, pelaksanaan penelitian ini menggunakan studi komparatif,

I. PENDAHULUAN. BPS (2016) menyatakan bahwa, selama periode waktu tahun jumlah

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Kerangka Pemikiran

PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) Bunaiyah Honorita

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir

Transkripsi:

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1.Perbandingan Inovasi Budidaya Padi Metode SRI dan Budidaya Padi Konvensional Terdapat sejumlah perbedaan kegiatan dan/atau komponen budidaya padi menurut inovasi SRI dengan budidaya padi konvensional. Lembaga NORC, mengemukakan informasi selengkapnya berkenaan perbedaan tersebut, sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbedaan Sistem Tanam Padi Organik SRI dengan Sistem Konvensional No Komponen SRI-Organik Konvensional 1. Pupuk Pupuk kompos Pupuk sintetik 2. Jarak tanam 30 x 30 cm, 40 x 40 cm 20 x 20 cm 3. Air Tanah macak-macak (sedikit air) Tanah digenangi (banyak air) 4. Jumlah Benih 5 kg per Ha 30-40 kg per Ha 5. Pembenihan Di nampan dengan pemilihan benih bermutu Di sawah tanpa pemilihan benih bermutu 6. Umur tanam benih 7-10 hari 20-30 hari 7. Cara tanam Benih tunggal, horizontal (L) dan dangkal Benih banyak, vertikal dan dalam 8. Pestisida 4-5 kali per musim tanam 2 kali per musim tanam 9. Jumlah anakan per rumpun 35-90 anakan 20-30 anakan 10. Jumlah malai per rumpun 30-60 malai 20 malai 11. Jumlah bulir per malai 200-280 bulir 150 bulir 12. Masa produksi 100 hari 110 hari 13. Hasil Gabah Kering Pungut 8-12 ton per ha 4-6 ton per ha 14. Berat yang dihasilkan Beras organik tanpa pestisida Beras anorganik dengan pestisida 15. Harga Jual Tinggi dengan daya saing Rendah tanpa daya saing 16. Return of Invesment 100-200 % 50-100% 17. Ramah Lingkungan Ya, menjaga struktur dan tekstur tanah Keterangan: HSS = Hari setelah semai Sumber: Profile Nagrak-SRI Organik Center Tidak dan merusak struktur dan tekstur tanah Keunggulan lainnya adalah bahwa kebutuhan pupuk dan pestisida organik dalam metode SRI dapat diproduksi sendiri oleh petani, antara lain dengan memanfaatkan sumberdaya lokal (Mutakin, 2008). Di samping itu, hasil analisis usahatani padi dengan metode SRI bisa menghemat biaya sarana produksi dan tenaga kerja sekitar Rp. 297.500,- per ha. Berdasar hasil penelitian demplot SRI di Pringgarata, Lombok Tengah, NTB pada MT I Tahun 2004/2005, diketahui

bahwa keuntungan yang didapat dari metode SRI lebih tinggi sebesar Rp. 2.345.700,- dibanding budidaya padi konvensional (DISIMP, 2006). 2.2.Pengertian dan Unsur-Unsur Difusi Konsep dan teori tentang difusi inovasi yang diuraikan dalam sub-bab ini merujuk pada pendapat Rogers dan Shoemaker (1971) serta Rogers (1995) yang dikutip oleh Mugniesyah (2006). Konsep difusi inovasi (diffusion of innovation) didefinisikan Rogers dan Shoemaker (1971) sebagai suatu tipe komunikasi khusus, yakni suatu proses melalui mana inovasi menyebar dalam suatu sistem sosial. Rogers (1995) kemudian melengkapinya sehingga difusi inovasi diartikan sebagai suatu proses melalui mana suatu inovasi dikomunikasikan kepada anggota-anggota sistem sosial melalui saluran-saluran tertentu dalam suatu periode waktu tertentu. Terdapat 4 (empat) unsur dalam suatu proses difusi, yaitu: inovasi, saluran komunikasi, waktu dan sistem sosial. Keempat unsur tersebut senantiasa dapat diidentifikasi dalam setiap riset atau studi difusi. Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau objek yang dipandang sebagai baru oleh seorang individu. Suatu inovasi senantiasa mencakup 2 komponen, yaitu: (1) komponen gagasan (idea) berupa keterampilan manajerial atau sistem nilai (values) tertentu, dan (2) komponen objek (object), yakni material atau aspek fisik produk dari suatu gagasan. Bila inovasinya berupa teknologi, mencakup dua aspek, yaitu piranti keras (alat berbentuk fisik) dan aspek piranti lunak, berupa informasi tentang teknologi (Rogers, 1995). Terdapat sejumlah karakteristik inovasi yang dapat mempengaruhi petani dalam pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak inovasi, yaitu: keuntungan relatif (relative advantage), kompatibilitas (compatibility), kompleksitas, kemudahan untuk dicoba (trialability), dan kemudahan untuk diamati (observability). Saluran komunikasi adalah cara-cara melalui mana sebuah pesan diperoleh penerima dari sumber, yang dibedakan ke dalam saluran interpersonal dan media massa. Saluran komunikasi interpersonal lebih efektif membangun dan merubah sikap, sementara saluran media massa efektif merubah pengetahuan tentang inovasi. Dalam konteks komunikasi interpersonal, melibatkan pertukaran pesan antara dua atau lebih orang secara tatap muka. Dalam hal waktu, terdapat tiga 7

aspek penting yang berhubungan dengan proses difusi, yakni: (a) proses pengambilan keputusan inovasi (the innovation-decision process), (b) keinovativan (innovativeness), dan (c) laju adopsi suatu inovasi (innovation s rate of adoption) dalam sistem sosial. Proses pengambilan keputusan inovasi (selanjutnya ditulis PK Inovasi) merupakan suatu proses mental, melalui mana seorang individu melangsungkan tahapan-tahapan sejak mengetahui suatu inovasi sampai ke pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak inovasi dan untuk mengukuhkan keputusan yang telah diambilnya itu. Terdapat empat tipe proses PK Inovasi, yaitu opsional, kolektif, otoritas dan kontingensi; yang dibedakan menurut siapa yang menjadi unit pengambil keputusan dan unit adopsi dalam PK Inovasi tersebut. Pada tipe opsional, unit pengambil keputusan dan unit adopsi adalah individu, sedangkan pada tipe kolektif baik unit pengambil keputusan maupun unit adopsi dilakukan oleh sistem sosial. Khusus pada tipe otoritas, unit pengambil keputusan dilakukan oleh mereka yang mempunyai wewenang lebih tinggi dari unit adopsi yang terdiri atas anggota sistem sosial. Adapun pada tipe kontingensi, pengambilan keputusan merupakan kombinasi dari dua atau lebih keputusan inovasi, atau keputusan inovasi dibuat setelah ada keputusan tipe lain yang mendahuluinya. Keinovativan (inovativeness) adalah derajat di mana seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya secara relatif lebih dini atau lebih dahulu mengadopsi sesuatu inovasi daripada rata-rata anggota sistem sosial dimana dia menjadi anggotanya. Adanya keinovativan yang berbeda memungkinkan untuk melihat kategori adopter suatu inovasi tertentu, yang dibedakan ke dalam inovator (innovator), penganut dini (early adopter), penganut dini terbanyak (early majority), penganut lambat terbanyak (late majority) dan penolak (laggard). Laju adopsi adalah kecepatan relatif di mana suatu inovasi diadopsi oleh anggota-anggota suatu sistem sosial. Laju adopsi ini biasanya diukur sebagai jumlah penerima yang mengadopsi inovasi dalam suatu sistem sosial pada periode waktu tertentu. Terdapat sejumlah faktor yang menentukan laju adopsi, dan pada masing-masing faktor terdapat sejumlah komponen atau variabel (independent variables). Adapun hubungan masing-masing unsur dari beberapa variabel yang 8

menentukan laju adopsi inovasi (independent variables) dan laju adopsi inovasi (dependent variable) digambarkan sebagaimana terlihat pada Lampiran 1. Unsur keempat difusi inovasi adalah sistem sosial, yang diartikan suatu seperangkat unit-unit (kolektivitas) yang berhubungan satu sama lain dalam upaya mencapai tujuan bersama, khususnya dalam penyelesaian masalah. Anggotaanggota sistem sosial bisa terdiri atas individu, kelompok informal, organisasi, kompleks organisasi dan/atau subsistem-subsistem. Oleh karena difusi inovasi terjadi dalam sistem sosial, maka struktur sosial dipandang ke Rogers dan Shoemaker (1971) mempengaruhi difusi inovasi melalui beberapa cara, diantaranya peranan tokoh pemuka pendapat (tokoh masyarakat) dan agen perubah. Dalam konteks peranan tokoh masyarakat, dimungkinkan adanya individu yang mengembangkan struktur komunikasi homofili dan heterofili. Semakin homofili struktur komunikasi, semakin cepat laju adopsi, dan sebaliknya. Sistem sosial dibedakan ke dalam sistem tradisional dan sistem modern. Sistem tradisional, dicirikan antara lain oleh rendahnya/kurangnya orientasi terhadap perubahan serta tingkat pendidikan, pola komunikasi yang cenderung intepersonal lokalit, dan rendahnya kemampuan berempati di kalangan warga masyarakatnya. Sebaliknya pada sistem sosial yang modern, dicirikan oleh sikap positif terhadap perubahan, cenderung menerima teknologi yang menuntut pembagian kerja yang kompleks, tingginya orientasi pada pendidikan, perilaku komunikasi kosmopolit dan kemampuan empati yang tinggi. 2.3. Hasil-hasil Studi Adopsi dan Difusi Inovasi di Indonesia Hasil studi Soewardi (1972), menemukan bahwa penyebaran (difusi) inovasi Panca Usaha Pertanian (PUP) di Desa Cianjur berlangsung dari lapisan atas ke lapisan bawah terjadi melalui warga lapisan atas yang secara visual menyerupai orang-orang lapisan bawah, namun mereka menjadi tempat bertanya atau bidang kontak antara lapisan atas dan lapisan bawah. Warga lapisan atas sebagai innovator tidak suka menyuluh secara sengaja, juga tidak merupakan tempat bertanya bagi petani-petani lapisan bawah pada umumnya (Sajogyo dan Sajogyo 1982). Selanjutnya, Soewardi menyatakan bahwa hal tersebut terjadi karena warga lapisan atas pada umumnya bersikap responsif terhadap 9

pembaharuan, dan menerima unsur-unsur pembaharuan itu langsung dari penyuluh sebagai media yang menyebarkannya. Lapisan atas tersebut tidak berdaya memaksakan pandangan atau kehendaknya kepada para pengikutnya, baik untuk mengadopsi maupun untuk menghalangi terjadinya adopsi, karena terjadinya adopsi inovasi baru adalah atas pengaruh pergaulan akrab, dimana keakraban ini dimulai sejak kecil. Dalam studinya di Desa Babakan, Tangerang, Sastramihardja dan Veronica (1976), melaporkan bahwa hipotesa yang menyatakan proses adopsi melalui 5 (lima) tahap, yaitu tahap kesadaran, berminat, evaluasi, mencoba dan adopsi ternyata tidak berlaku di desa tersebut.. Hal ini terbukti dari para petani yang baru pada tahap sadar atau aware sebanyak 93,5%, sementara yang terus menerima Panca Usaha sebanyak 79% tanpa melalui tahap-tahap seperti berminat dahulu, kemudian menilainya dan mencobanya (Gunardi, 1980). Selanjutnya, para petani di desa Babakan sebagian besar melaksanakan anjuran dalam Panca Usaha Pertanian setelah mendengar kampanye Bimas di Balai Desa yang dilakukan oleh Penyuluh Pertanian dan Kepala Desa. Setelah mendengar bagaimana baiknya menggunakan pupuk, bibit unggul dan obat hama, kemudian langsung menerimanya tanpa melalui pertimbangan tentang baik tidaknya pupuk, bibit atau obat hama tersebut. Mugniesyah dan Lubis (1990), menemukan adanya hubungan yang nyata antar variabel terpengaruh pada PK Inovasi Supra Insus, khususnya antar tahap pengenalan dengan tahap persuasi, tahap persuasi dengan tahap keputusan, serta antar tahap implementasi dengan tahap keputusan; kecuali antar tahap keputusan dengan tahap implementasi. Hal yang terakhir ini berhubungan dengan adanya gejala disonansi inovasi yang diduga sebagai akibat dari dominannya pendekatan otoritatif dalam tahap pengambilan keputusan inovasi, dan atau karena adanya dukungan kelembagaan Koperasi Unit Desa (KUD) yang menekan petani responden untuk menerapkan inovasi. Terdapat beberapa faktor di luar berbagai sub-sistem di atas yang turut menentukan rendahnya penerapan Paket Teknologi Supra Insus (PTSI) di tingkat kelompok tani kasus di dua Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian (WKPP) kasus, yaitu: (1) perubahan struktur agraris yang sangat fluktuatif setiap musim atau setiap tahunnya, (2) perkembangan/perubahan 10

dalam pola nafkah di kalangan petani responden, (3) perubahan dalam hubungan sosial produksi antara petani pemilik-penggarap dengan buruh tani, dan (4) perubahan dalam pola pasca panen, khususnya penjualan atau pemasaran hasil. Novarianto (1999) menyatakan bahwa, karakteristik internal petani yang berhubungan nyata dengan tingkat penerapan teknologi Tanam Benih Langsung (TABELA) adalah: lama pendidikan formal, frekuensi mengunjungi sumber informasi, tingkat keuntungan dari kesesuaian; sedangkan karakteristik eksternal petani yang berhubungan nyata dengan penerapan teknologi TABELA adalah intensitas penyuluhan. Namun demikian, penelitian Novarianto melaporkan bahwa penerapan teknologi TABELA belum menunjukkan hubungan yang nyata dengan tingkat produktivitas usahatani. Dalam studi Sadono (1999) tentang Tingkat Adopsi Inovasi Pengendalian Hama Terpadu oleh Petani di Kabupaten Karawang ditemukan bahwa tingkat persepsi petani Pengamat Hama Terpadu-Pengendalian Hama Terpadu (PHT- PHP) dan PHT-Petandu terhadap PHT termasuk kategori tinggi. Namun demikian, tingkat persepsi petani PHT-PHP lebih baik dibanding dengan petani PHT-Petandu; demikian pula halnya lanjut dalam hal tingkat penerapan PHT, dilaporkan bahwa pada petani PHT-PHP hal tersebut lebih baik dibanding petani PHT-Terpadu dan secara statistik perbedaan tersebut berbeda nyata. Studi inipun melaporan bahwa faktor-faktor internal petani yang berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan PHT adalah tingkat pendidikan dan persepsi petani terhadap PHT, sementara faktor luas lahan garapan dan pekerjaan utama tidak berhubungan nyata dengan tingkat penerapan PHT. Adapun faktor-faktor eksternal petani yang berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan PHT adalah status keanggotaan petani dalam kelompok dan pemandu. Hasil studi Agussabti (2002) menemukan adanya hubungan antara tingkat kemandirian petani hortikutura dengan kemajuan usahatani yang dicapai oleh dua kategori petani, yakni petani maju dan petani berkembang. Ada tiga faktor penting yang secara positif mempengaruhi kemandirian petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi baik pada petani maju maupun petani berkembang, yaitu: (1) tingkat kesadaran petani terhadap kebutuhannya; (2) karakteristik individu petani, meliputi: motivasi berprestasi, persepsi terhadap inovasi, 11

keberanian mengambil resiko, serta kreativitas; dan (3) Akses petani terhadap informasi. Temuan lainnya adalah bahwa semakin maju petani semakin berkurang pengaruh lingkungan sosial terhadap dirinya dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi. Syafril (2002) dari hasil studinya menemukan bahwa adopsi inovasi Teknologi Sistem Usaha Pertanian Jagung bekorelasi nyata dengan: (a) karakteristik pribadi, khususnya kekosmopolitan,(b) karakteristik rumahtangga, khususnya ketersediaan modal dan (c) kesesuaian stimulan dan frekuensi pembinaan teknologi SUP Jagung, serta (d) jaringan komunikasi. Selanjutnya Syafril melaporkan bahwa derajat integrasi individu, keterbukaan klik dan keterbukaan sistem dalam jaringam komunikasi sangat mempengaruhi penerimaan dan pertukaran informasi di dalam jaringan komunikasi yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat adopsi. Selain itu, opinion leader, liaison dan bridge, serta pendekatan melalui klik-klik yang terdapat dalam sistem juga cukup efektif dalam mempenaruhi adopsi inovasi Teknologi Sistem Usaha Pertanian Jagung Dalam studinya, Purnaningsih (2006), menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan petani dalam pola kemitraan agribisnis terjadi melalui interaksi antara petugas atau pihak mitra dengan petani, kemudian menyebar melalui interaksi sesama petani dan keluarganya dalam suatu komunitas. Beberapa alasan petani untuk memutuskan bermitra adalah adanya jaminan pemasaran hasil, tersedia bibit, pupuk dan pestisida, produktivitas yang lebih tinggi, ada pendampingan petugas, dan meniru petani lain. Beberapa variabel yang mempengaruhi keputusan petani untuk bermitra adalah tingkat kebutuhan bermitra, kepastian pasar, pengalaman berusahatani, persepsi tentang tingkat kerumitan proses bermitra dan ketersediaan sarana transportasi dan telekomunikasi. Keterlibatan petani dalam pola kemitraan memberi manfaat pada peningkatan pendapatan, penggunaan teknologi produksi, panen dan pasca panen, pestisida tepat guna, peningkatan mutu produk, penyerapan tenaga kerja dan modal, serta kesinambungan usaha bagi petani. 12

2.4 Kerangka Pemikiran Penelitian yang berjudul Studi Difusi Inovasi SRI di Kabupaten Tasikmalaya ini merujuk pada konsep dan teori proses difusi dari Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1983) yang dikutip Mugniesyah (2006) serta dari hasil empiris beberapa penelitian berkenaan adopsi dan/atau pengambilan keputusan inovasi sebagaimana telah dieskripsikan di atas. Sebagaimana dikemukakan di atas, salah satu unsur difusi inovasi adalah unsur waktu, yang menurut pendapat kedua ahli tersebut di atas dinyatakan berhubungan dengan proses difusi, diantaranya aspek keinovativan dan laju adopsi, maka variabel terpengaruh dalam penelitian ini akan diukur oleh variabel tingkat keinovativan petani (Y1) dan laju adopsi inovasi SRI (Y2). Dengan mengacu pada paradigma laju adopsi, diduga laju adopsi SRI berhubungan dengan sejumlah faktor yang meliputi: persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI, tipe pengambilan keputusan inovasi SRI, saluran komunikasi, karakteristik sistem sosial, dan promosi oleh petugas penyuluh/agen perubah. Terdapat lima variabel pada faktor persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI yang diduga mempengaruhi baik tingkat keinovativan petani (Y1) dan laju adopsi (Y2), yaitu: tingkat keuntungan relatif (X1), tingkat kompatibilitas (X2), tingkat kerumitan (X3), tingkat kemungkinan dicoba (X4), dan tingkat kemungkinan diamati (X5) dari inovasi SRI. Mengingat dimungkinkannya ada keragaman unit adopsi dan unit pengambil keputusan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan inovasi SRI yang dilakukan petani, maka tipe pengambilan keputusan inovasi SRI (X6) juga diduga berhubungan langsung dengan kedua variabel terpengaruh tersebut di atas. Selanjutnya, ada dua variabel pada faktor saluran komunikasi yang diduga mempengaruhi dua variabel pada proses difusi inovasi SRI, yaitu tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa (X7) dan tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8). Sejumlah variabel pada sistem sosial yang diduga turut mempengaruhi, diantaranya adalah keterikatan pada norma berkenaan budidaya padi, yang dalam hal ini diukur melalui variabel tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9). Seperti diketahui, pada pendapat kedua ahli tersebut di atas yang menyatakan bahwa salah satu indikator pembeda sistem sosial tradisional 13

dan modern adalah tinggi rendahnya integrasi anggota sistem sosial yang tercermin dari keanggotaan mereka dalam beragam kelompok/organisasi serta status mereka di dalamnya. Sehubungan dengan itu, variabel kedua dari sistem sosial yang diduga berpengaruh adalah tingkat integrasi petani (X10). Di pihak lain, mengingat dalam menyebarkan inovasi, penyuluh umumnya menggunakan beragam metode penyuluhan, oleh karena itu, variabel pada faktor promosi penyuluh yang diduga mempengaruhi difusi inovasi SRI adalah tingkat keragaman metode penyuluhan (X11) yang digunakan penyuluh dalam mengintroduksikan inovasi SRI, serta frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain pada petani (X12). Lebih lanjut oleh karena tingkat keinovativan diukur oleh jumlah individu anggota masyarakat petani yang mengadopsi inovasi dalam satuan waktu tertentu, maka selain sejumlah variabel pengaruh tersebut di atas, karakteristik individu petani tersebut diduga juga mempengaruhi difusi inovasi SRI. Merujuk pada pendapat ahli tersebut di atas dan pada hasil empiris penelitian Mugniesyah dan Lubis (1990), variabel-variabel pada karakteristik individu yang diduga mempengaruhi tingkat keinovativan adalah: adalah tingkat pendidikan formal (X13), tingkat pendidikan non-formal (X14), pola perilaku komunikasi (X15), tingkat pengalaman berusahatani (X16), tingkat stratum rumahtangga petani (X17) dan tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI (X18). Berdasar pada kerangka pemikiran tersebut di atas, hubungan antara variabel pengaruh dan terpengaruh dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. 2.5 Hipotesis Pengarah 1. Semakin tinggi semua variabel pada tingkat persepsi petani terhadap karakteritik inovasi SRI -kecuali pada tingkat kerumitan-, semakin tinggi tingkat keinovativan petani dan laju adopsi inovasi SRI. 2. Tipe pengambilan keputusan inovasi kolektif berhubungan positif dengan tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi SRI. 14

3. Semakin tinggi tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa dan tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI semakin tinggi tingkat keinovativan petani dan laju adopsi inovasi SRI. 4. Semakin tinggi tingkat ketaatan petani dalam berbudidaya padi konvensional, dan semakin tradisional pola komunikasi petani, maka semakin rendah tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi SRI. 5. Semakin tinggi tingkat keragaman metode penyuluhan dan frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau oleh agen perubah lainnya, semakin tinggi tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi SRI. 6. Semakin tinggi semua variabel pada karakteristik individu petani (tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal, pola perilaku komunikasi, tingkat pengalaman berusahatani, tingkat stratum rumahtangga petani, dan tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI), semakin tinggi tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi SRI. 15

Variabel Pengaruh (Independent Variables) Variabel Pengaruh (Independent Variables) PERSEPSI PETANI TENTANG KARAKTERISTIK INOVASI SRI 1. Tingkat Keuntungan Relatif (X 1 ) 2. Tingkat Kompatibilitas (X 2 ) 3. Tingkat Kerumitan (X 3 ) 4. Tingkat Kemungkinan Dicoba (X 4 ) 5. Tingkat Kemungkinan Diamati (X 5 ) Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi SRI (X 6 ) Variabel Terpengaruh (Dependent Variables) DIFUSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI): Tingkat Keinovativan Petani (Y 1 ) Laju Adopsi (Y 2 ) KARAKTERISTIK SISTEM SOSIAL: 1. Tingkat Ketaatan Petani Berbudidaya Padi Konvensional (X 9 ) 2. Tingkat Integrasi Petani (X 10 ) PROMOSI OLEH AGEN PERUBAHAN: 1. Tingkat Keragaman Metode Penyuluhan (X 11 ) 2. Frekuensi Kunjungan Penyuluh dan/atau Agen Perubah lain (X 12 ) SALURAN KOMUNIKASI 1. Tingkat Pengenalan Inovasi SRI dari Media Massa (X 7 ) 2. Tingkat Partisipan Petani Mengikuti Penyuluhan Inovasi SRI (X8) Keterangan: : Berhubungan KARAKTERISTIK INDIVIDU PETANI 1. Tingkat Pendidikan Formal (X 13 ) 2. Tingkat Pendidikan Non-Formal (X 14 ) 3. Pola Perilaku Komunikasi (X 15 ) 4. Tingkat Pengalaman Berusahatani (X 16 ) 5. Tingkat Stratum Rumahtangga Petani (X 17 ) 6. Tingkat Kebutuhan Petani terhadap Inovasi SRI (X 18 ) Gambar 1. Hubungan antar variabel pengaruh (independent variables) dengan variabel terpengaruh (dependent variables) dalam proses Difusi Inovasi Padi System of Rice Intensification (SRI). 16

2.6 Definisi Operasional 1. Tingkat keinovativan (Y1) adalah waktu (bulan) yang dibutuhkan petani sejak mendengar/mengenal inovasi SRI sampai dengan menerapkannya di usahatani sawah mereka. Pada saat penelitian berlangsung, sejak diintroduksikannya, inovasi SRI telah dibudidayakan 32 bulan. Oleh karenanya, tingkat keinovativan dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) rendah, jika petani mengadopsi inovasi SRI pada periode 0-11 bulan, (2) sedang, jika petani mengadopsi inovasi SRI pada periode 12-22 bulan dan (3) tinggi, jika petani mengadopsi inovasi SRI pada periode 23-32 bulan. 2. Laju adopsi inovasi SRI (Y2) adalah jumlah rumahtangga petani yang mengadopsi inovasi SRI dalam periode waktu (tahun) sejak SRI diintroduksikan sampai dengan diterapkan oleh sebagian besar anggota sistem sosial (kampung). Dari hasil perhitungan diperoleh laju adopsi sebesar 72 persen, 52 persen dan 50 persen berturut-turut di Kampung Cinusa, Kampung Muhara, dan di Kampung Tanjung Sirna. Berdasar hal tersebut, Laju Adopsi dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah (skor 1) untuk responden yang berasal dari Kampung Tanjungsirna, (2) sedang (skor 2) untuk responden yang berasal dari Kampung Muhara, dan (3) tinggi (skor 3) untuk responden yang berasal dari Kampung Cinusa. 3. Tingkat keuntungan relatif inovasi SRI (X1) adalah rata-rata keuntungan (rupiah dan atau produksi) yang diperoleh dari usahatani padi dengan metode SRI. Tingkat keuntungan relatif inovasi SRI ini dihitung dengan dua metode: (a) produktivitas adalah jumlah produksi padi SRI dalam satuan ton per ha, dimana minimal produktivitasnya adalah 0,66 ton dan maksimalnya adalah 15,40 ton, dibedakan ke dalam kategori-kategori: (1) rendah, jika produktivitas yang diperoleh petani antara 0,66 5,56 ton; (2) sedang, jika produktivitas yang diperoleh petani antara 5,57 10,46 ton; dan (3) tinggi, jika produktivitas diperoleh petani antara 10,47 15,40 ton. (b) keuntungan relatif pendapatan adalah hasil jual produksi padi SRI dikurangi biaya produksi padi SRI, dimana minimal pendapata yang diperoleh adalah Rp. 108.000 dan maksimalnya adalah Rp. 9.306.500, dibedakan ke dalam kategori-kategori: (1) rendah, jika keuntungan relatif pendapatan yang 17

diperoleh petani antara Rp. 108.000 - Rp. 3.174.000, (2) sedang, jika keuntungan relatif pendapatan yang diperoleh petani antara Rp. 3.174.100 - Rp. 6.240.000 dan (3) tinggi, jika keuntungan relatif pendapatan yang diperoleh petani antara Rp. 6.240.100 Rp. 9.306.500. 4. Tingkat kesesuaian budidaya inovasi SRI (X2) adalah derajat dimana aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI dipandang sesuai (tidak bertentangan/konsisten) dengan aktivitas dan/atau teknologi pada budidaya padi konvensional. Secara keseluruhan ada 12 komponen budidaya inovasi SRI, dimana minimalnya adalah lima komponen dan maksimalnya adalah sepuluh komponen, dibedakan ke dalam kriteria: (1) rendah, jika mengganti antara sembilan sampai dengan sepuluh komponen aktivitas dan/atau teknologi pada budidaya padi konvensional (2) sedang, jika mengganti antara tujuh sampai dengan delapan komponen aktivitas dan/atau teknologi budidaya konvensional, dan (3) tinggi, jika mengganti antara lima sampai dengan enam komponen aktivitas dan/atau teknologi yang sudah diterapkan dalam budidaya padi konvensional. 5. Tingkat kerumitan inovasi SRI (X3) adalah derajat dimana sejumlah komponen (aktivitas dan/atau teknologi) dalam inovasi SRI dianggap relatif lebih sulit diaplikasikan dibanding metode budidaya konvensional. Secara keseluruhan ada 12 komponen budidaya inovasi SRI, dimana minimalnya ada dua komponen yang dirasa sulit oleh petani dan maksimal tujuh komponen yang dirasa sulit oleh petani, dibedakan ke dalam kriteria: (1) rendah, jika antara dua sampai tiga komponen aktivitas dan/atau teknologi dianggap sulit oleh petani, (2) sedang, jika antara empat sampai dengan lima komponen aktivitas dan/atau teknologi dianggap sulit oleh petani, dan (3) tinggi, jika antara enam sampai tujuh komponen aktivitas dan/atau teknologi dianggap sulit oleh petani. 6. Tingkat kemungkinan dicobanya inovasi SRI (X4) adalah derajat dimana sejumlah komponen (aktivitas dan/atau teknologi) dalam inovasi SRI dianggap relatif mudah diaplikasikan oleh petani. Secara keseluruhan ada 12 komponen budidaya inovasi SRI, dimana minimal yang dianggap relatif mudah diaplikasikan oleh petani adalah lima komponen dan maksimal 18

sepuluh komponen, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika antara lima sampai enam komponen aktivitas dan/atau teknologi Inovasi SRI dianggap mudah diaplikasikan, (2) sedang, jika antara tujuh sampai dengan delapan komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI mudah diaplikasikan, dan (3) tinggi, jika antara sembilan sampai sepuluh komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI mudah diaplikasikan. 7. Tingkat kemungkinan diamatinya inovasi SRI (X5) adalah derajat dimana hasil-hasil penerapan komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI dapat diamati dan dirasakan manfaatnya oleh petani. Secara keseluruhan ada 12 komponen budidaya inovasi SRI, dimana minimal ada lima komponen yang dapat diamati dan maksimal sepuluh komponen, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika antara lima sampai dengan enam komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI dapat diamati manfaatnya; (2) sedang, jika tujuh sampai dengan delapan komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI dapat diamati manfaatnya oleh petani; dan (3) tinggi, jika antara sembilan sampai dengan sepuluh komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI dapat diamati manfaatnya oleh petani. 8. Tipe pengambilan keputusan inovasi SRI (X6) adalah keterlibatan petani sebagai unit pengambil keputusan dan/atau unit adopsi dalam pengambilan keputusan inovasi SRI, ada tiga jenis/tipe PK inovasi SRI (1) opsional, jika petani berperan sebagai unit pengambil keputusan sekaligus unit adopsi inovasi SRI, (2) kolektif, jika petani bersama-sama kelompok taninya berperan sebagai unit pengambil keputusan sekaligus unit adopsi inovasi SRI, dan (3) otoritas, jika unit pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak berwenang (instruksi pihak-pihak di luas sistem sosial, seperti Dinas Pertanian Pemda Kabupaten Tasikmalaya), dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika PK inovasi SRI adalah kolektif atau opsional, (2) sedang, jika PK inovasi SRI adalah kolektif dan opsional, dan (3) tinggi, jika PK inovasi SRI adalah otoritas, kolektif dan opsional. 9. Tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa (X7) adalah keterdedahan petani pada informasi inovasi SRI yang diperoleh dari media massa: radio, televisi, surat kabar, dibedakan ke dalam tiga kategori : (1) rendah, jika petani 19

memperoleh informasi inovasi SRI hanya dari satu jenis media massa atau tidak sama sekali, (2) sedang, jika petani memperoleh informasi inovasi SRI dari dua jenis media massa, dan (3) tinggi, jika petani memperoleh informasi inovasi SRI dari tiga dan/atau lebih jenis media massa. 10. Tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8) adalah frekuensi peranserta petani dalam mengikuti kegiatan penyuluhan tentang inovasi SRI sebelum dia menerapkan inovasi SRI. Pada saat penelitian berlangsung, penyuluhan inovasi SRI telah diadakan sebanyak 14 kali pertemuan, dimana minimal ada enam pertemuan yang dihadiri oleh petani dan maksimal adalah 12 pertemuan, dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika petani mengikuti antara enam sampai dengan tujuh kegiatan penyuluhan inovasi SRI, (2) sedang, jika petani mengikuti sekitar delapan sampai dengan sembilan kegiatan penyuluhan inovasi SRI, dan (3) tinggi, jika petani mengikuti antara sepuluh sampai dengan 12 kegiatan penyuluhan inovasi SRI. 11. Tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9) adalah derajat dimana petani cenderung lebih menerapkan aktivitas dan/atau teknologi budidaya padi konvensional. Secara keseluruhan budidaya padi konvensional ada 12 komponen budidaya padi konvensional, dimana minimal ada tiga komponen yang petani lebih cenderung menerapkan budidaya padi konvensional dan maksimal ada delapan komponen, dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika petani menerapkan tiga sampai dengan empat aktivitas dan/atau teknologi budidaya padi konvensional, (2) sedang, jika petani menerapkan lima sampai dengan enam aktivitas dan/atau teknologi budidaya padi konvensional; dan (3) tinggi, jika petani menerapkan antara tujuh sampai dengan delapan aktivitas dan/atau teknologi budidaya padi konvensional. 12. Tingkat integrasi petani (X10) adalah total skor dari jumlah kelompok dan/atau organisasi yang aktivitasnya diikuti oleh petani. Keikutsertaan pada setiap kelompok diberi skor satu. Total keseluruhan aktivitas kelompok dan/atau organisasi yang diikuti oleh petani ada 38 kegiatan, dimana minimal aktivitas yang diikuti oleh petani ada delapan sedangkan maksimalnya ada 24 20

aktivitas yang diikuti. Selanjutnya Tingkat Integrasi Petani dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika petani mengikuti delapan sampai dengan 12 aktivitas kelompok dan/atau organisasi; (2) sedang, jika petani mengikuti 13 sampai dengan 18 aktivitas kelompok dan/atau organisasi; dan (3) tinggi, jika petani mengikuti antara 19 sampai dengan 24 aktivitas kelompok dan/atau organisasi. 13. Tingkat keragaman metode penyuluhan (X11) adalah jumlah dan ragam metode penyuluhan yang digunakan Pemda Tasikmalaya dan pemangku kepentingan dalam mendiseminasikan inovasi SRI kepada petani di lokasi penelitian. Minimal tingkat keragaman metode penyuluhan adalah empat metode dan maksimalnya adalah 13 metode, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika antara empat sampai tujuh metode penyuluhan; (2) sedang, jika antara delapan sampai sepuluh metode penyuluhan; dan (3) tinggi, jika antara 11 sampai 13 metode penyuluhan. 14. Frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain (X12) adalah total kegiatan kunjungan (rumah, usahatani) yang dilakukan penyuluh dan/atau agen perubah lain dalam mendiseminasikan inovasi SRI sampai petani mengadopsi inovasi. Minimal frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain adalah enam kunjungan, sedangkan maksimalnya adalah adalah 12 kunjungan, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika kunjungan penyuluh/agen perubah lainnya antara enam sampai dengan tujuh kunjungan pada komunitas petani; (2) sedang, jika kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lainnya antara delapan sampai dengan sembilan kunjungan; dan (3) tinggi, jika kunjungan penyuluh/agen perubah lainnya antara sepuluh sampai dengan 12 kunjungan. 15. Tingkat pendidikan formal (X 13 ) adalah jenis pendidikan sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden, dibedakan ke dalam kategori: (a) rendah, jika tidak tamat tamat dan SD dan sederajat, (2) sedang, jika SLTP dan sederajat; dan (3) tinggi, jika SLTA dan sederajat. 16. Tingkat pendidikan non-formal (X 14 ) adalah total skor kegiatan pendidikan di luar sekolah (PLS) yang pernah diikuti oleh petani, baik pelatihan dan/atau kursus, seminar, lokakarya, pameran, mimbar sarasehan dan lainnya dilihat 21

menurut tingkatan penyelenggaraannya (tingkat kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional berturut-turut diberi skor 1, skor 2, skor 3, skor 4 dan skor 5), dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika total skor petani mengikuti kegiatan PLS satu kegiatan PLS; (2) sedang, jika total skor petani mengikuti kegiatan PLS dua kegiatan PLS, (2) tinggi, jika total skor petani mengikuti kegiatan PLS lebih atau sama dengan tiga kegiatan PLS. 17. Pola perilaku komunikasi (X 15 ) adalah akumulasi skor dari interaksi komunikasi (pergaulan) petani dengan beragam sumber informasi yang diperoleh melalui komunikasi interpersonal, baik lokalit maupun kosmopolit dan komunikasi bermedia dan media massa. Pada komunikasi interpersonal lokalit diukur dari pola interaksi dominan dengan sumber-sumber informasi yang berdomisili di: satu RT, satu RW, satu kampung, satu dusun, dan satu desa; berturut-turut diberi skor 1, skor 2, skor 3, skor 4 dan skor 5. Pada komunikasi interpersonal kosmopolit diukur dari status sumber informasi yang berinteraksi dengan petani: ketua kelompok tani, kontak tani/tokoh masyarakat di tingkat: desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional; berturut-turut diberi: skor 1, skor 2, skor 3, skor 4, skor 5, dan skor 6. Pada komunikasi bermedia dan/atau media massa yang dibedakan menurut jenis media massanya: radio, surat kabar, buku, telepon, televisi, dan internet; berturut-turut diberi skor 1, skor 2, skor 3, skor 4, skor 5, dan skor 6. Minimal akumulasi skor pola perilaku komunikasi petani adalah satu dan maksimalnya adalah 18. Selanjutnya pola perilaku komunikasi (PPK) dibedakan ke dalam tiga kriteria: (1) rendah, jika akumulasi skor PPK petani antara satu sampai enam; (2) sedang, jika akumulasi skor PPK petani antara tujuh sampai 12; dan (3) tinggi, jika akumulasi skor PPK petani antara 13 sampai 18. 18. Tingkat pengalaman berusahatani (X 16 ) adalah lamanya (tahun) petani responden berbudidaya padi sawah, minimal pengalaman berusahatani petani adalah dua tahun dan maksimalnya adalah 65 tahun, dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika lamanya berusahatani padi sawah antara 2-23 tahun, (2) sedang, jika lamanya berusahatani padi sawah antara 24-45 tahun, dan (3) tinggi, jika lamanya berusahatani padi sawah antara 46-65 tahun. 22

19. Tingkat stratum rumahtangga petani (X 17 ) adalah rata-rata luas lahan usahatani sawah yang dikuasai (miliki dan/atau garapan) rumahtangga petani responden, dengan merujuk konsep stratifikasi Sajogyo (1990) dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika menguasai lahan kurang dari 0,25 ha, (2) sedang, jika menguasai lahan 0,25 0,50 ha, dan (3) tinggi, jika menguasai lahan lebih dari 0,50 ha. 20. Tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI (X 18 ) adalah kombinasi motivasi atau alasan petani untuk mengadopsi Inovasi SRI, yang dibedakan ke dalam tiga kategori, (1) rendah, jika motivasinya untuk meningkatkan produksi padi dan keuntungan tanpa perduli pada kualitas lingkungan (tanpa pupuk organik), (2) sedang, jika bermotivasi meningkatkan produksi dan keuntungan, namun ada sedikit kepedulian pada kualitas lingkungan (menggunakan pupuk anorganik-organik, namun dominan anorganiknya) dan (3) tinggi, jika bermotivasi meningkatkan produksi dan keuntungan serta peduli terhadap kualitas lingkungan (dominan menggunakan pupuk organik). 23