dari semua variabel karakteristik individu dan rumahtangga dapat dilihat pada Lampiran 4.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "dari semua variabel karakteristik individu dan rumahtangga dapat dilihat pada Lampiran 4."

Transkripsi

1 66 BAB VII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PTT SERTA INPUT PROGRAM DENGAN KELUARAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) Sebagaimana telah dikemukakan di depan, fokus studi evaluasi P3TIP ini adalah pada keluaran yang dicapai dari program inovasi sistem Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) padi sawah yang diintroduksikan kepada para petani di BPP Ciruas. Sehubungan dengan itu, bab ini mengemukakan deskripsi serta hasil uji dan analisis statistik atas sejumlah hipotesis berkenaan hubungan antara karakteristik individu dan rumahtangga petani peserta PTT serta peranserta mereka dalam Proyek PTT dengan keluaran P3TIP pada tingkatan individu dan rumahtangga petani peserta PTT. Di samping itu, bab ini juga menjelaskan secara kualitatif hubungan input proyek P3TIP terhadap peranserta petani dalam P3TIP - khususnya berkenaan bentuk dan jumlah dana hibah- serta penguatan kelembagaan petani terhadap keluaran P3TIP pada tingkat kelembagaan petani dan BPKP sebagaimana dikemukakan pada Gambar Hubungan Antara Karakteristik Individu, Rumahtangga dan Peranserta Petani dengan Keluaran pada Tingkat Individu Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Keluaran Pada Tingkat Individu Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara variabel-variabel pengaruh pada Karakteristik Individu Petani, yakni: Tingkat Pendidikan Formal, Tingkat Pendidikan Nonformal, Tingkat Pengalaman Berusahatani, Pola Perilaku Komunikasi, dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT dengan keluaran yang terjadi pada petani peserta PTT pada tiga ranah, yakni pengetahuan, sikap dan tindakan/penerapan. Data berkenaan hubungan antara lima variabel bebas pada Karakteristik Individu Petani PTT dengan tiga variabel pada Keluaran disajikan pada Tabel 18. Adapun data pendukung, berupa persentase petani peserta PTT menurut kategori kriteria

2 67 dari semua variabel karakteristik individu dan rumahtangga dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 18. Hubungan Antara Variabel-variabel Karakteristik Individu Peserta PTT dengan Keluaran Pada Tingkat Individu, Desa Ciruas, Tahun 2010 (dalam persen) Variabelvariabel Karakteristik Individu Tingkat Pengetahuan PTT Sikap Petani terhadap PTT Tingkat Penerapan PTT Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi 1.Tingkat Pendidikan Formal (X1) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Pengalaman Berusaha Tani (X3) Rendah Sedang Tinggi Pola Perilaku Komunikasi (X4) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Kebutuhan akan PTT (X5) Rendah Sedang Tinggi Berdasar data pada Tabel 18 di atas, diketahui bahwa tidak satupun petani peserta PTT memiliki Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) yang tergolong kriteria rendah. Persentase mereka (total) yang tergolong memiliki pengetahuan kriteria tinggi lebih besar sekitar 20 persen dibanding mereka yang tergolong kriteria sedang. Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa tidak satu variabelpun dari karakteristik individu petani yang berhubungan nyata dengan Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) pada taraf α=0.05. Hal ini disebabkan karena fakta sebagaimana terlihat pada Lampiran 4 bahwa mayoritas peserta PTT terdiri dari petani yang tergolong kategori rendah baik dalam hal Tingkat Pendidikan Formal (X1) maupun Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) mereka, berturut-turut sebesar 80 persen dan 85 persen. Di samping itu, mayoritas petani

3 68 tergolong sedang dalam hal tiga variabel pada karakteristik individu lainnya, yakni 38 persen, 46 persen dan 53 persen berturut-turut pada variabel Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3), Pola Perilaku Komunikasi (X4), dan Tingkat Kebutuhan akan PTT (X5). Temuan ini memperkuat hasil penelitian Kartono (2009) yang menemukan bahwa tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal dan tingkat pengalaman usahatani tidak berhubungan secara nyata dengan persepsi petani terhadap inovasi PTT pada taraf α= 0,05. Lebih lanjut, sebagaimana terlihat pada Tabel 18, meskipun tidak ada petani peserta PTT yang tingkat pengetahuannya tergolong rendah, namun mereka terdistribusi ke dalam tiga kategori Sikap Petani terhadap PTT (Y2), dimana mayoritas tergolong kategori sedang (56 persen), kemudian diikuti oleh mereka yang tergolong rendah dan tinggi, berturut-turut sebesar 26 persen dan 18 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hubungan antara variabel-variabel karakteristik individu peserta PTT, khususnya pada dua variabel yakni Tingkat Pendidikan Formal (X1) dan Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) tidak berhubungan nyata dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada pada taraf α=0.05. Hal ini disebabkan tidak adanya peserta PTT yang tergolong kriteria tinggi pada kedua variabel tersebut. Namun demikian, sebagaimana terlihat pada Lampiran 5, hasil uji korelasi rank Spearman menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara variabel Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Pola Perilaku Komunikasi (X4) dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada taraf α berturut-turut sebesar 0,10 dan 0,20; sementara variabel Tingkat Pendidikan Formal (X1) dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) berhubungan nyata dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada taraf α masing-masing sekitar 0,30. Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut berarti dengan tingkat signifikansi sebesar 0,10 variabel Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dianggap cukup baik mempengaruhi Sikap Petani Terhadap PTT (Y2). Adapun untuk variabel-variabel yang tingkat signifikansinya sebesar 0,20 sampai dengan 0,30, yakni Pola Perilaku Komunikasi (X4), Tingkat Pendidikan Formal (X1), dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) dianggap kurang baik mempengaruhi Sikap Petani Terhadap PTT (Y2). Hal ini dimungkinkan, karena umumnya semua

4 69 petani yang menjadi peserta PTT adalah mereka yang memiliki sawah sehamparan yang menjadi bagian dari UP-FMA yang secara sepihak (top down) ditetapkan sebagai peserta oleh pihak Pimpinan P3TIP. Selain itu, sebagian besar diantara mereka mau menjadi peserta PTT dengan motivasi memperoleh insentif berupa stimulan pelatihan dan dana bagi usahatani mereka. Meskipun persentase mereka yang tergolong rendah dalam Sikap Petani terhadap PTT (Y2) hanya 26 persen, namun mereka yang Tingkat Penerapan PTT (Y3) -nya dalam kategori rendah ternyata menunjukkan persentase yang lebih tinggi. Dengan perkataan lain, mereka yang Tingkat Penerapan PTT (Y3)-nya pada kategori sedang dan tinggi lebih rendah dibanding dengan persentase mereka dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada dua kategori yang sama. Ini menunjukkan mereka yang meskipun sikapnya positif terhadap Inovasi PTT, namun tidak diikuti dengan menerapkan inovasi PTT secara utuh. Selanjutnya, hubungan antara variabel-variabel karakteristik individu peserta PTT dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3), khususnya pada dua variabel yakni Tingkat Pendidikan Formal (X1) dan Non Formal (X2) yang tidak berhubungan nyata tampaknya disebabkan oleh tidak adanya peserta PTT yang tergolong kriteria tinggi pada kedua variabel tersebut. Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa tidak satu variabelpun dari karakteristik individu petani yang berhubungan nyata dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) pada taraf α=0.05. Hal ini terjadi karena pada fakta sebagaimana terlihat pada Lampiran 4 bahwa mayoritas peserta PTT terdiri dari petani yang tergolong kategori sedang, baik dalam hal Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3), Pola Perilaku Komunikasi (X4), maupun Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5), dengan persentase berturut-turut sebesar 38 persen, 46 persen, dan 53 persen. Namun demikian, sebagaimana terlihat pada Lampiran 5, hasil uji korelasi rank Spearman menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara variabel Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Pola Perilaku Komunikasi (X4) pada taraf α=0,20. Dengan demikian, merujuk pada Purnaningsih (2006), hal ini dapat diartikan bahwa variabel Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Pola Perilaku Komunikasi (X4) dianggap cukup baik mempengaruhi Tingkat Penerapan PTT (Y3), sementara Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) dianggap tidak baik

5 70 mempengaruhi dan sangat tidak signifikan dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) karena berhubungan pada taraf α lebih dari 0,30. Hal ini dimungkinkan oleh karena petani peserta PTT memiliki pendidikan non formal dan perilaku komunikasi yang sebagian besar lebih banyak berhubungan dengan pelatihan sebatas program PTT. Di samping itu, karena sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya (Tabel 17), mayoritas petani peserta PTT (83 persen) terdiri atas petani penggarap yang tidak sepenuhnya berhak mengambil keputusan untuk menerapkan inovasi PTT, karena hal itu umumnya dilakukan oleh pemilik lahan Hubungan Antara Karakteristik Rumahtangga dengan Keluaran Pada Tingkat Individu Diduga terdapat hubungan positif antara variabel-variabel bebas pada Karakteristik Rumahtangga Petani, yakni: Luas Lahan Usahatani (X6), Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani ( X7), Jumlah Tenaga Kerja dalam Keluarga (X8) dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) dengan Keluaran yang terjadi pada petani peserta PTT pada tiga ranah, yakni pengetahuan, sikap dan penerapan/keterampilan. Tabel 19 menyajikan data berkenaan huungan antara empat variabel bebas pada karakteristik rumahtangga petani dengan tiga variabel tidak bebas pada tiga ranah perilaku tersebut. Adapun persentase petani peserta PTT menurut kategori kriteria dari semua variabel karakteristik rumahtangga dapat dilihat pada Lampiran 4. Data pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa dari hasil uji korelasi rank Spearman, diketahui bahwa Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) berhubungan nyata dengan Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) pada taraf α=0.05. Hal ini diduga karena sebagian besar usahatani (budidaya padi PTT) dikerjakan sendiri oleh petani peserta PTT (87 persen) -kriteria tergolong kriteria rendah-, sehingga tingkat pengetahuan disini mencerminkan pengetahuan peserta PTT itu sendiri. Hal ini tampaknya memperkuat hasil penelitian Kartono (2009), yang juga menemukan bahwa luas lahan usahatani tidak berhubungan nyata dengan persepsi terhadap PTT. Variabel-variabel Luas Lahan Usahatani (X6), Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9), dan Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7) berhubungan nyata dengan Tingkat Pengetahuan PTT (X1) berturut-turut pada taraf α 0,10,

6 71 0,20, dan 0,30. Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut berarti variabel Luas Lahan Usahatani (X6) dianggap cukup baik mempengaruhi Tingkat Pengetahuan PTT (Y1); sementara Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9), dan Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7) dianggap kurang baik mempengaruhi Tingkat Pengetahuan PTT (Y1). Adapun data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Hubungan Antara Variabel-variabel Karakteristik Rumahtangga Peserta PTT dengan Keluaran Pada Tingkat Individu Di Desa Ciruas Tahun 2010 (dalam persen) Variabel- Variabel Karakteristik Rumahtangga Tingkat Pengetahuan PTT Sikap Petani terhadap PTT Tingkat Penerapan PTT Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi 1. Luas Lahan Usaha Tani (X6) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7) Rendah Sedang Tinggi Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) Rendah Sedang Tinggi Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) Rendah Sedang Tinggi Adanya hubungan yang cukup baik dari kedua variabel tersebut dengan Tingkat Pengetahuan PTT dimungkinkan karena sebagaimana terlihat pada Tabel 19 ada kecenderungan semakin tinggi persentase masing-masing variabel semakin Tingkat Pengetahuan PTT (Y1). Hal ini karena sebagian besar petani peserta PTT memiliki Luas Lahan Usahatani (X6) tergolong sedang (51 persen) dan tinggi (31 persen) yang berarti membutuhan tenaga kerja luar keluarga. Dalam hal tingkat kekayaan, sayangnya ternyata sebagian besar tergolong rendah (87 persen), yang berarti relatif homogen keadaannya. Lebih lanjut dalam hal ranah kedua, yakni Sikap Petani Terhadap PTT (Y2), sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 5, uji korelasi Spearman menunjukkan

7 72 bahwa dua variabel yakni Luas Lahan Usahatani (X6) dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) berhubungan nyata pada pada taraf α=0.05; sementara Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7) dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada taraf α sebesar 0,10. Adapun variabel selainnya yakni Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) berhubungan dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada taraf α lebih besar dari 0,30. Dengan demikian, merujuk pada Purnaningsih (2006), Luas Lahan Usahatani (X6) dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) sangat signifikan mempengaruhi Sikap Petani terhadap PTT (Y2), oleh karena baik petani pemilik maupun penggarapnya menyepakati/bersedia mengikuti aturan yang ditetapkan sebagai peserta PTT. Selain itu, pada dasarnya semakin tinggi luas usahatani semakin banyak stimulannya diperoleh. Adapun pada dua variabel selainnya diduga karena karakterstik pada kedua varabel tersebut mayoritas homogen kondisinya, yakni persentasenya sebagian besar tergolong rendah. Dalam hal hasil uji korelasi rank Spearman antara empat variabel karakteristik rumahtangga dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) diperoleh hasil bahwa Luas Lahan Usaha Tani (X6), Tingkat Kekayaan Rumahtangga (X7) berhubungan nyata dan signifikan dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) pada taraf α=0.05, sementara variabel Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) memperlihatkan hubungan pada taraf α lebih dari 0,30, hal ini berarti variabel ini tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak signifikan dalam mempengaruhi Tingkat Penerapan Petani (Y3). Sebagaimana dikemukakan di atas, hal ini diduga karena semakin luas usahatani semakin besar stimulan yang diperoleh petani dan diaplikasikan dalam usahataninya, semakin kaya memungkinkan menerapkan inovasi oleh karena sebenarnya mereka tidak lain adalah anggota pengurus UP FMA dan Gapoktan Hubungan Antara Peranserta Petani dengan Keluaran pada Tingkat Individu Diduga terdapat hubungan positif antara dua variabel pada Peranserta Petani dalam P3TIP, yakni: Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) dan Tingkat Partisipasi Petani dalam program PTT (X11) dengan keluaran tiga ranah perilaku

8 73 petani peserta PTT. Tabel 20 memperlihatkan data berkenaan hubungan antar variabel-variabel bebas dan tidak bebas tersebut. Adapun distribusi petani peserta PTT menurut kategori kriteria dari variabel Peran Serta Petani dalam PTT dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 20. Hubungan Antara Variabel-variabel Peranserta Petani Peserta PTT dengan Pada Tingkat Individu, Desa Ciruas, Tahun 2010 (dalam persen) Variabelvariabel Peran Serta Tingkat Pengetahuan PTT Sikap Petani terhadap PTT Tingkat Penerapan PTT Petani Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi 1. Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Partisipasi Petani (X11) Rendah Sedang Tinggi Sebagaimana penjelasan sebelumnya, tidak satupun petani peserta PTT memiliki pengetahuan tentang PTT yang tergolong kriteria rendah. Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa hanya variabel Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) yang berhubungan nyata dengan Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) pada taraf α=0.05; sementara Tingkat Partisipasi Petani (X11) dengan Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) berhubungan pada taraf α sebesar 0,10. Yang menarik bahwa sekalipun sebagian besar petani PTT tergolong rendah dalam frekuensi mengikuti penyuluhan (58 persen) dan partisipasinya dalam penyelenggaraan program (90 persen), namun tidak seorangpun diantara mereka yang berpengetahuan tentang PTT yang tergolong rendah. Hal ini dimungkinkan oleh karena sebenarnya pengetahuan tentang unsurunsur inovasi PTT diperoleh sebagian besar pada awal kegiatan penyuluhan PTT, yakni dalam pelatihan PTT. Frekuensi pertemuan sebanyak 24 kali itu sebagian besar memang dilakukan setelah pelatihan, dimana petani tidak terlalu berminat mengikutinya, karena bagi mereka motivasinya memperoleh stimulan, dan itu diberikan pada awal pelatihan. Pada masa pelatihan pula bahwa mereka dilibatkan dalam perencanaan, namun kegiatan monitoring dan sesudahnya mereka kurang

9 74 berpartisipasi. Hal ini antara lain diduga karena sebagian besar petani PTT itu terdiri dari petani penggarap yang karena kesibukannya bekerja di luar pertanian, seperti mengojek dan dagang. Berkenaan dengan ranah yang kedua, hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa ternyata kedua variabel pada peranserta petani dalam PTT berhubungan dengan Sikap Petani Terhadap PTT (Y2) berturut-turut pada taraf α = 0,10 untuk variabel Tingkat Partisipasi (X11) dan pada taraf α = 0,20 untuk Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10). Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut berarti Tingkat Tingkat Partisipasi (X11) dianggap cukup baik mempengaruhi Sikap Petani Terhadap PTT (Y2) sementara Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) dianggap kurang baik mempengaruhi Sikap Petani Terhadap PTT (Y2). Sebagaimana telah dijelaskan di atas, sebagian besar petani peserta bersikap positif terhadap inovasi PTT karena harapan untuk memperoleh stimulan; dan hal ini hanya diperoleh jika petani ikut dalam perencanaan yang dilakukan sebelum pelatihan dilakukan. Selanjutnya diketahui bahwa hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa Tingkat Partisipasi (X11) berhubungan nyata dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) pada taraf α=0.05, sementara variabel Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) berhubungan dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) tersebut pada taraf α 0,10. Dengan demikian, merujuk pada Purnaningsih (2006), dapat diartikan bahwa Tingkat Tingkat Partisipasi (X11) dianggap baik mempengaruhi Tingkat Penerapan PTT (Y3), sementara Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) dianggap cukup baik mempengaruhi Tingkat Penerapan PTT (Y3) Hubungan Antara Karakteristik Individu, Rumahtangga dan Peranserta Petani dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara variabelvariabel pengaruh pada Karakteristik Individu Petani, yakni: Tingkat Pendidikan Formal, Tingkat Pendidikan Non-formal, Tingkat Pengalaman Berusahatani, Pola

10 75 Perilaku Komunikasi, dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT dengan keluaran pada tingkat rumahtangga, yakni: Tingkat Produksi Usahatani dan Tingkat Pendapatan. Data berkenaan hubungan antara lima variabel bebas pada Karakteristik Individu Petani PTT dengan dua variabel pada Keluaran pada Tingkat Rumahtangga selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Hubungan Antara Variabel-variabel Karakteristik Individu Peserta PTT dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Petani Di Desa Ciruas Tahun 2010 (dalam persen) Variabelvariabel Karakteristik Tingkat Produksi Usahatani Tingkat Pendapatan Petani Individu Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi 1.Tingkat Pendidikan Formal (X1) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Pengalaman Berusaha Tani (X3) Rendah Sedang Tinggi Pola Perilaku Komunikasi (X4) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Kebutuhan akan PTT (X5) Rendah Sedang Tinggi Berdasar data pada Tabel 21, diketahui bahwa mayoritas petani peserta PTT memiliki Tingkat Produksi Usahatani (Y4) yang tergolong kriteria rendah, dengan rata-rata produksi kurang dari 4 ton per hektar. Sebagaimana terlihat pada Lampiran 4, persentase mereka sebesar 69 persen, atau 49 persen lebih tinggi dibanding mereka yang tingkat produksi usahataninya tergolong tinggi ( 6 ton). Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa tidak satu variabelpun dari Karakteristik Individu petani yang berhubungan nyata dengan Tingkat Produksi Usahatani (Y4) pada taraf α=0.05. Hal inipun karena mayoritas

11 76 peserta PTT terdiri dari petani yang tergolong kategori rendah baik dalam hal Tingkat Pendidikan Formal (X1) maupun Tingkat Pendidikan Non Formal (X2), berturut-turut sebesar 80 persen dan 85 persen; sementara itu pada tiga variabel lainnya menunjukkan kriteria sedang, yakni sebesar 38 persen, 46 persen dan 53 persen berturut-turut pada variabel Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3), Pola Perilaku Komunikasi (X4), dan Tingkat Kebutuhan akan PTT (X5). Namun demikian, hasil uji korelasi rank Spearman menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara variabel Pola Perilaku Komunikasi (X4) dengan Tingkat Produksi Usahatani (Y4) pada taraf α sebesar 0,10; sementara variabelvariabel Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) berhubungan nyata dengan Tingkat Produksi Usahatani (Y4) pada taraf α masing-masing sekitar 0,30. Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut berarti bahwa Pola Perilaku Komunikasi (X4) dianggap cukup baik mempengaruhi Tingkat Produksi Usahatani (Y4). Hal ini diduga berhubungan dengan pola komunikasi petani peserta PTT yang cenderung lebih kosmopolit, antara lain tercermin komunikasi mereka dengan sumber inovasi PTT, yakni sekitar 77 persen berkomunikasi dengan Ketua Gapoktan, 68 persen dengan PPL, dan sekitar 20 persen dengan Kontak tani. Selanjutnya, dalam hal Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) dianggap kurang baik mempengaruhi Tingkat Produksi Usahatani (Y4) diduga karena faktanya menunjukkan bahwa kecuali mengikuti pelatihan yang diadakan BPKP dalam konteks PTT, hampir semua petani tidak pernah mengikuti pelatihan lainnya yang berhubungan dengan peningkatan produktivitas usahatani mereka; sementara itu kebutuhan petani akan PTT lebih banyak karena motivasi mendapat stimulan. Dua variabel lainnya, yakni Tingkat Pendidikan Formal (X1) dan Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3) tergolong tidak baik mempengaruhi Tingkat Produksi Usahatani (Y4) karena faktanya petani peserta PTT homogen, dalam arti mayoritas berpendidikan rendah, sementara dalam hal Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3), meskipun cenderung relatif heterogen dan terdistribusi normal namun pengalaman tersebut belum menyangkut semua hal berkenaan dengan inovasi PTT. Hanya dua aspek, yakni penggunaan benih unggul dan bibit muda

12 77 yang lebih dari 60 persen diadopsi petani PTT, untuk lima unsur lainnya kurang dari 50 persen petani yang menerapkannya, bahkan semua petani menyatakan bahwa pupuk organik yang mereka gunakan tidak sesuai dengan kebutuhan karena tidak tersedia secara lokal. Dalam hal hubungan antara lima variabel pada karakteristik individu dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5), diketahui kecuali Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Pola Perilaku Komunikasi (X4), tiga variabel selainnya tidak berhubungan nyata dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5). Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 6) menunjukkan bahwa Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Pola Perilaku Komunikasi (X4) berhubungan nyata dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (X5) pada taraf α=0.05. Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) mempengaruhi Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) pada taraf α 0,20; sementara Tingkat Pendidikan Formal (X2) dan Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3) mempengaruhi Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) pada taraf α lebih dari 0,30. Tingkat Pendidikan Formal (X1), Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3), dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) tidak berhubungan dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) karena pada dasarnya tingkat pendapatan yang diperoleh petani terbatas pada pendapatan yang diperoleh secara langsung dari hasil produksi usahatani, yang sepenuhnya sangat ditentukan oleh luasan usahatani sawah dan penerapan inovasi teknologi dalam budidaya padi dengan sistem PTT, sebagaimana dijelaskan pada sub-bab selanjutnya Hubungan Antara Karakteristik Rumahtangga dengan Keluaran Pada Tingkat Rumahtangga Sebagaimana dikemukakan di depan, diduga terdapat hubungan antara empat variabel pada Karakteristik Rumahtangga Petani dengan keluaran pada tingkat rumahtangga petani yakni Tingkat Produksi Usahatani (Y4) dan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5). Seperti terlihat pada Lampiran 4, tingkat produksi usahatani petani peserta PTT mayoritas (69 persen) tergolong rendah, atau lebih besar 49 persen dibanding mereka yang tingkat produksinya tergolong kriteria tinggi. Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 6) menunjukkan bahwa kecuali variabel Jumlah Tenaga

13 78 Kerja Dalam Keluarga (X8), Luas Lahan Usahatani (X6), Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7), dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) berhubungan nyata dengan Tingkat Produksi (Y4) pada taraf α=0.05. Hal terakhir ini dimungkinkan oleh karena sebagaimana terlihat pada Tabel 22, terdapat kecenderungan dimana tingkat produksi pada petani dengan luas usaha tani yang kriterianya rendah semuanya (100 persen) rendah, sebaliknya pada petani dengan luas usaha tani yang kriterianya tinggi sebagian besar terdapat yakni sekitar 65 persen tergolong tinggi dalam tingkat produksi. Demikian pula halnya dengan dua variabel lainnya -Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7), dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Adapun data semua varibel bebas dan tidak bebas tersebut disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Hubungan Antara Variabel-variabel Karakteristik Rumahtangga Peserta PTT dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Petani, Desa Ciruas, Tahun 2010 (dalam persen) Variabel- Variabel Karakteristik Tingkat Produksi Tingkat Pendapatan Petani Rumahtangga Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi 1. Luas Lahan Usaha Tani (X6) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7) Rendah Sedang Tinggi Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) Rendah Sedang Tinggi Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) Rendah Sedang Tinggi Demikian pula halnya hasil uji korelasi rank Spearman atas hubungan antara empat variabel pada karakteristik rumahtangga dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5), ditemukan bahwa Luas Lahan Usahatani (X6), Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7), dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9)

14 79 berhubungan nyata dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) pada taraf taraf α=0.05, sementara variabel Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) tidak berhubungan nyata. Hal ini dimungkinkan karena Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) sebenarnya mencerminkan hasil penjualan atas produksi usahatani dari menerapkan inovasi PTT. Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) tidak berhubungan nyata dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5), oleh karena sebagaimana diketahui sekitar 51 persen dan 31 persen rumahtangga petani PTT memiliki lahan yang sedang dan luas, dalam arti bahwa sebagian besar kegiatan usahatani sawah dikerjakan tenaga kerja luar keluarga Hubungan Antara Peranserta Petani dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Diduga terdapat hubungan positif antara variabel-variabel pengaruh pada Peranserta Petani dalam P3TIP, yakni: Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) dan Tingkat Partisipasi Petani dalam program PTT (X11) dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Petani Peserta PTT. Tabel 23 memperlihatkan data berkenaan hubungan antar variabel tersebut, distribusi petani peserta PTT menurut kategori kriteria dari variabel Peranserta Petani dalam PTT dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 23. Hubungan Antara Variabel-variabel Peran Serta Petani Peserta PTT dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Di Desa Ciruas Tahun 2010 (dalam persen) Variabelvariabel Peran Serta Petani dalam Tingkat Produksi Tingkat Pendapatan P3TIP Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi 1. Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Partisipasi Petani (X11) Rendah Sedang Tinggi Berdasarkan Tabel 23, dapat diketahui bahwa apapun kriteria petani peserta PTT baik pada Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) dan Tingkat

15 80 Partisipasi (X11), sebagian besar usahatani mereka tergolong memiliki tingkat produksi rendah. Tampaknya hal ini berhubungan dengan fakta bahwa tingkat produksi tersebut sangat ditentukan (berhubungan langsung) dengan tingkat penerapan inovasi PTT yang ternyata tidak sepenuhnya diterapkan pasca pelatihan. Selain itu, tingkat produksi berhubungan dengan aspek-aspek teknis budidaya lainnya lahan yang tidak ditelaah dalam penelitian. Gejala yang dijumpai pada aspek Tingkat Produksi Usahatani (Y4) juga berlaku pada aspek Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5). Namun demikian, Tingkat Partisipasi Petani (X11) berhubungan dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) pada taraf α sebesar 0,10; yang berarti variabel Tingkat Partisipasi Petani (X11) dianggap cukup baik mempengaruhi Tingkat Pendapatan PTT (Y5). Hal ini diduga karena baik pada variabel Tingkat Partisipasi Petani (X11) maupun Tingkat Pendapatan PTT (Y5) cenderung relatif homogen, dalam arti mayoritas tergolong kriteria rendah Hubungan Antar Variabel Keluaran P3TIP pada Tingkat Individu dan Rumahtangga Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, diduga terdapat hubungan antara variabel Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) yang dimiliki petani peserta PTT dengan variabel Sikap Petani terhadap PTT (Y2), dan variabel Sikap Petani terhadap PTT ini diduga berhubungan dengan variabel Tingkat Penerapan PTT (Y3). Hasil uji korelasi rank Spearman antar variabel tidak bebas tersebut dapat dilihat Tabel 24. Tabel 24. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman antar Variabel Tidak Bebas, Desa Ciruas, Tahun 2010 Variabel Antar Keluaran r s Sig. Tingkat pengetahuan (Y1) dengan Sikap 0, Petani terhadap PTT Sikap Petani terhadap PTT (Y2) dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) 0, Seperti terlihat pada Tabel 24 hubungan antar variabel tidak bebas pada tingkat individu tersebut menunjukkan hubungan nyata pada taraf α =0,05. Dengan perkataan lain peningkatan pengetahuan akan PTT di kalangan petani peserta berhubungan dengan sikap mereka terhadap PTT, dan pada gilirannya

16 81 sikap mereka terhadap PTT berhubungan dengan tingkat penerapan PTT di usahatani mereka. Hal ini memperkuat hasil penelitian Kartono (2009) yang mengemukakan adanya hubungan yang nyata antara persepsi petani terhadap PTT dengan penerapan PTT petani. Selanjutnya, penelitian ini juga menemukan bahwa ketiga variabel pada perilaku petani PTT tersebut berhubungan nyata dengan dua variabel pada tingkat rumahtangga, yaitu Tingkat Produksi dan Tingkat Pendapatan. Tabel 25. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Variabel Keluaran Tingkat Individu dengan Variabel Keluaran Tingkat Rumahtangga Petani, Desa Ciruas, Tahun 2010 Variabel-Variabel Tingkat Produksi Y4 Tingkat Pendapatan (Y5) r s Sig. r s Sig. Tingkat pengetahuan (Y1) 0,326 0,029 0,373 0,012 Sikap Petani terhadap PTT (Y2) 0,39 0,008 0,343 0,021 Tingkat Penerapan PTT (Y3) 0, ,003 Sebagaimana terlihat pada Tabel 25, hasil uji korelasi rank Spearman antar variabel tidak bebas pada tingkat individu berhubungan nyata dengan semua variabel keluaran pada tingkat rumahtangga (Tingkat Produksi dan Tingkat Pendapatan). Demikian pula halnya, terdapat hubungan antara Tingkat Produksi dengan Tingkat Pendapatan dengan korelasi (r s ) sebesar 0,6 pada taraf α 0, Hubungan Input Proyek dengan Keluaran P3TIP di Tingkat Kelembagaan Sub-bab ini mengemukakan deskripsi berkenaan hubungan input dan keluaran P3TIP pada tingkat kelembagaan BPKP dan petani. Pada tingkat kelembagaan BPKP meliputi jumlah pengembangan SDM penyuluhan, jumlah fasilitas (sarana) dan pelayanan yang diperoleh BPKP, serta jumlah penyuluh peserta pelatihan dan yang melanjutkan pendidikan tinggi. Sementara pada tingkat kelembagaan petani meliputi tingkat keberdayaan UP-FMA Hubungan Input Proyek dengan Keluaran Pada Tingkat Kelembagaan BPKP Penguatan kelembagaan dan kemampuan aparat bertujuan untuk mengembangkan sistem penyuluhan yang terdesentralisasi melalui kerjasama

17 82 antara penyedia layanan penyuluhan swasta dengan kelompok tani dan perusahaan untuk keuntungan bersama. Untuk keperluan tersebut pemerintah mengintroduksikan beberapa kegiatan yang mencakup: penyediaan pelatihan, perbaikan infrastruktur beserta perlengkapannya, serta penyediaan dana operasional bagi pelayanan penyuluhan di kecamatan dan kabupaten. Sejalan dengan ruang lingkup dari P3TIP, BPKP telah merealisasi pengembangan SDM dan fasilitas. Bentuk pengembangan kelembagaan yang dilakukan oleh BPKP melalui P3TIP itu tidak semata-mata berhubungan langsung dengan substansi P3TIP. Hal ini terlihat dari adanya aktivitas berupa pemilihan Konsultan Perencanaan Pengawas dan pelatihan anti korupsi bagi pemangku kepentingan (stakeholders) di lingkungan kelembagaan penyuluhan dan tokoh masyarakat. Salah seorang diantara peserta pelatihan anti korupsi adalah Kepala BPP Ciruas. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Bentuk Pengembangan SDM dan Fasilitas pada P3TIP, Kabupaten Serang, Tahun 2008 Bentuk Pengembangan Input Materi Output Pelatihan metode fasilitasi dan FMA untuk para penyuluh pertanian di tingkat kecamatan (2 angkatan) Dana penyelenggaraan sebesar Rp ,- dan Fasilitator yang terdiri atas Tim Penyuluh Lapangan. Pengkajian desa Secara Partisipatif (Partisipatory Rural Approach atau PRA) dan menyusun rencana kegiatan kelompok (RDK/RDKK), programa penyuluhan desa, dan proposal FMA, serta mengelola keuangan FMA dan penyuluhan desa secara partisipatif. Penyuluh mampu melakukan: fasilitasi pertemuan-pertemuan tingkat kelompok/dusun/ desa, PRA, serta menyusun rencana kegiatan kelompok (RDK/RDKK), programa penyuluhan desa, serta proposal FMA, mengelola keuangan FMA dan penyuluhan desa secara partisipatif. Konsultan perencanaan pengawas Perencana, Surat Keputusan, Dokumen seleksi, dokumen teknis Pembentukan panitia,pemilihan dan penilaian konsultan, Terpilihnya konsultan, rencana anggaran belanja Pelatihan anti korupsi bagi pemangku kepentingan (stakeholders) Dana Rp ,- dan fasilitator yang berasal dari provinsi Pertemuan anti korupsi yang dihadiri oleh 30 orang yang terdiri dari perwakilan Komisi Penyuluhan, anggota KTNA, Kepala BPP di 15 kecamatan, Ketua Bappeda, dan pemuka masyarakat. Stakeholders dan peserta memahami tentang kegiatan yang akan dilaksanakan P3TIP Kabupaten Serang mulai tahun 2008 sampai dengan 2011 Pembangunan BPP Baru Rp ,- Membangun gedung BPP di lima kecamatan Lima gedung BPP baru Renovasi BPP Rp ,- Merenovasi gedung BPP di lima kecamatan Lima gedung BPP yang telah diperbaiki Perlengkapan BPP baru Rp ,- Membeli mebelair baru untuk lima BPP Lima BPP yang diberi mebelair baru Sumber: Laporan Akhir P3TIP Tahun 2008

18 83 Lebih lanjut, dari total dana sekitar Rp ,-, sebagian besar yakni hampir 94 persennya dialokasikan untuk pembangunan sarana fisik, yakni sekitar 66,8 persen digunakan untuk membangun lima Kantor BPP baru beserta perlengkapan mebeleirnya dan 27 persen lainnya untuk renovasi BPP yang ada. Dengan demikian, hanya sebagian kecil saja (5,4 persen) yang dialokasikan untuk penguatan kelembagaan petani, termasuk yang dinikmati petani di BPP Ciruas yang menjadi peserta PTT Hubungan Input Proyek dengan Keluaran Pada Tingkat Kelembagaan Petani di Desa Ciruas Pada periode tahun terdapat beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh UP-FMA Harum Mekar, diantaranya kursus budidaya padi sistem PTT dan budidaya ternak itik. Metode yang digunakan dalam pelaksanaan kursus tersebut meliputi ceramah, diskusi, simulasi/bermain peran dan praktik di lahan sawah. Adapun bentuk dan besarnya stimulan dan bantuan teknis yang diterima oleh UP-FMA Harum Mekar. Namun demikian, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penjelasan selanjutnya secara khusus menelaah aspek berkenaan budidaya PTT. Pembinaan yang dilakukan BPKP kepada UP-FMA dan Gapoktan dilakukan dalam kegiatan pengembangan organisasi petani melalui penyelenggaraan Lokakarya Pengembangan Jaringan dan Koordinasi Petani dengan pendanaan sebanyak Rp ,-. diikuti dengan pembentukan forum petani di tingkat desa dan kecamatan. Forum petani dan penyuluh di tingkat desa dilaksanakan di 40 desa pelaksana P3TIP, yang diikuti perwakilan dari masingmasing kelompok tani (ketua dan anggota), ketua Gapoktan, pengelola UP-FMA dan pamong/aparat desa, termasuk yang berasal dari Ciruas. Dalam forum penyuluhan desa ini dilakukan pembahasan permasalahan yang dihadapi oleh para petani di masing-masing desa, untuk kemudian mencari kesepakatan berkenaan kegiatan untuk mengatasi masalah tersebut. Dana yang dialokasikan untuk kegiatan ini sebesar Rp ,-, yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Serang. Kegiatan

19 84 pembinaan tersebut melibatkan sumber daya manusia berupa tim penyuluhan yang terdiri dari sejumlah penyuluh dari tingkat BPP di Kecamatan Ciruas. Jumlah keseluruhan dana hibah yang diterima oleh UP_FMA Harum Mekar adalah sebesar Rp ,-. Pertemuan UP-FMA umumnya dilakukan di tempat khusus yang disebut saung meeting, dimana pertemuan berbagai kegiatan setiap dua mingguan atau bulanan dilaksanakan di saung yang dibangun di lokasi kelompok hamparan PTT. Jumlah peserta pada kursus padi pola PTT sebanyak 45 orang sedangkan pada budidaya itik sebanyak 25 orang. Adapun data selengkapnya mengenai input dan bantuan teknis yang diterima UP-FMA dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Input (Stimulan) dan Bantuan Teknis yang Diterima UP-FMA Harum Mekar, Desa Ciruas, Tahun 2008 Bentuk Input Materi Output Pengembangan Kursus budidaya padi pola PTT Dana bagi kegiatan UP- FMA sebesar Rp ,- Dana swadaya masyarakat Rp , - Dinamika kelompok Persiapan lahan dan pembibitan padi Praktik penanaman (legowo) Pengenalan dan pengendalian hama/penyakit padi Pemupukan Praktik pembuatan bokashi Tata guna air Pengetahuan umum pertanian Temu lapang Meningkatkan pengetahuan, memperbaiki pola pikir dan meningkatkan keterampilan peserta dalam berbudidaya padi yang mengarah pada peningkatan produksi padi dan pendapatan petani di Desa Ciruas. Kursus budidaya ternak itik Dana UP- FMA Rp , - Dana swadaya masyarakat Rp , - Budidaya ternak itik: Pemeliharaan itik Menyusun ransum itik Pengendalian penyakit itik Pengawetan telur Praktik pengawetan telur Peserta kursus dapat memahami dengan baik konsep-konsep budidaya itik, terampil mengaplikasikan teknologi budidaya itik, terampil menangani penyakit itik dan terampil dalam melaksanakan pengawetan telur itik Sumber: Laporan FMA Harum Mekar 2009

20 85 Kursus budidaya PTT ini dilakukan selama dua minggu dengan kegiatan pemaparan teknis dan praktik budidaya PTT secara langsung. Keseluruhan peserta budidaya PTT terkadang tidak seluruhnya dapat menghadiri pelatihan tersebut secara rutin. Sementara itu, pada kursus budidaya itik, peserta membuat tempat penetasan di lokasi yang berdekatan dengan pengurus UP-FMA. Peserta kursus budidaya itik dipilih karena kepemilikan ternak khususnya itik. Keluaran yang dihasilkan pada tingkat kelembagaan UP FMA. Dalam hal Keberdayaan UP-FMA antara lain diperlihatkan terutama oleh aksesnya anggota peserta terhadap pelatihan budidaya padi dan aksesnya anggota Kelompok Tani: Tani Mulya, Harapan dan Sawargi terhadap kursus budidaya itik; dimana kepada setiap peserta pelatihan tersebut kemudian diharuskan mendiseminasikan inovasi PTT padi sawah dan Budidaya Itik kepada masing-masing lima orang petani lainnya yang ada di kampung tempat mereka berdomisili. Yang menarik adalah bahwa keikutsertaan dalam kedua pelatihan (kursus) tersebut tampaknya merupakan representasi keluarga petani, dalam arti bahwa peserta kursus bisa diwakili laki-laki (suami) atau perempuan (isteri). Dengan demikian, kelompoktani dapat berfungsi sebagai media bagi proses difusi dari kedua jenis inovasi tersebut. Hal ini pada gilirannya dapat membawa pada kegiatan penyuluhan sehingga penyuluhan dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan efisien. Dalam memperkuat kelembagaan kelompok tani yang menjadi tanggungawabnya, UP FMA Harum Mekar memberikan penyuluhan yang dilakukan melalui metode ceramah/diskusi usahatani dengan nara sumber penyuluh dan melaksanakan, forum diskusi yang membahas agenda kelompok. Hal-hal yang dibicarakan dalam pertemuan kelompok tersebut diantaranya adalah membuat kesepakatan menentukan waktu tanam bersama yang efektif (dengan maksud untuk memotong siklus hidup hama), mengatasi masalah hama, memberi bantuan finansial, dan memberi rekomendasi saprotan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa mayoritas petani anggota UP-FMA Harum Mekar mengikuti kegiatan penyuluhan dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan Program PTT dalam kategori rendah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hal ini disebabkan karena para petani umumnya mengikuti

21 86 semua kegiatan penyuluhan yang diberikan menjelang dan selama pelatihan Budidaya padi PTT, termasuk demonstrasi plot dan pendampingan pada awal penerapan inovasi PTT sebagaimana dikemukakan di atas. Adapun dalam kegiatan setelahnya cenderung menurun, mungkin karena tidak ada lagi stimulan bagi mereka. Hasil wawancara dengan petani anggota UP-Harum Mekar menunjukkan bahwa mereka tidak terlibat aktif dalam kelompoktani karena beberapa alasan, antara lain karena: (1) aktivitas yang dilakukan kelompok tidak sesuai dengan kebutuhan anggota karena kegiatan kelompok hanya sebatas pertemuan atau berkumpul kalau ada kunjungan pihak luar (BPKP) dan bahwa kegiatan tersebut dipandang menyita waktu mereka, (2) kegiatan kelompok tidak berkembang atau tidak ada keluaran dari dulu sampai sekarang, (3) kegiatan kelompoktani tidak memecahkan permasalahan petani, dan (4) sejumlah petani tidak mengetahui manfaat kelompok. Kondisi ini dimungkinkan karena pembinaan oleh pihak BPKP sebagai penanggungjawab Program P3TIP juga hanya dilakukan secara intensif pada awal hingga pelatihan, sementara pemberdayaan yang seharusnya dilakukan oleh petugas penyuluh di BPP Ciruas setelah pelatihan hampir tidak dilakukan karena anggapan terlalu luasnya wilayah kerja mereka. Kondisi terakhir ini tampaknya akan berpengaruh pada menururnya dinamika kelompok petani dan UP-FMA Harum Mekar, padahal interaksi antar kelompok tani dalam wadah UP FMA sangat penting guna menumbuhkembangkan forum komunikasi yang demokratis di tingkat akar rumput yang dapat berfungsi sebagai forum belajar sekaligus forum mengambil keputusan untuk memperbaiki nasib mereka Permasalahan dalam Penyelenggaraan P3TIP Seperti telah dijelaskan sebelumnya, introduksi P3TIP bagi masyarakat petani pada dasarnya memiliki kegiatan inti yang secara konsep memandang petani sebagai prioritas utama dan melalui proses belajar (learning process approach). Kegiatan inti ini berupa kegiatan penyuluhan pertanian yang dikelola oleh petani atau Unit Pengelola Farmers Managed Extension Activities (UP- FMA). Melalui kegiatan ini petani difasilitasi untuk merencanakan dan mengelola

22 87 sendiri kebutuhan belajarnya, sehingga proses pembelajaran berlangsung lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Proses pembelajaran di tingkat desa dimulai dari kajian desa secara partisipatif yang dilaksanakan dengan difasilitasi oleh penyuluh swadaya yang dipilih secara demokratis dari dan oleh petani peserta. Kenyataan menunjukkan bahwa program P3TIP ini sudah berjalan dari tahun 2007, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih menghadapi beberapa permasalahan, diantaranya sebagaimana dijelaskan di atas meliputi aspek kelembagaan P3TIP, sumberdaya manusia dan kelembagaan petani. Khusus di Desa Ciruas, sebagaimana telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, meskipun implementasi P3TIP telah difasilitasi melalui PRA dan berhasil menyusun proposal UP FMA secara partisipatif, namun dalam kenyataan, sebagian gagasan dan ide-ide yang berkembang dalam PRA tersebut didominasi oleh pengurus FMA dan penyuluh pendamping. Hal ini dimungkinkan karena menurut Sekretariat Feati pada Evaluasi Pelaksanaan FMA Tahun 2008 dalam pelaksanaan P3TIP, penyusunan programa penyuluhan desa terkesan dilakukan terburu-buru karena mengejar target tenggat waktu dalam penyerapan biaya ( Masalah lainnya adalah bahwa frekuensi kunjungan penyuluh desa dan petani pemandu kepada UP-FMA juga cenderung menurun, antara lain diduga karena rendahnya rasio penyuluh dengan kelompok tani sebagaimana dikemukakan sebelumnya (1:21). Dalam hal pelaksanaan kegiatan Participatory Rural Appraisal (PRA) tampaknya juga tidak dilaksanakan dengan semestinya, baik dalam pengumpulan data maupun dalam interpretasi hasil PRA. Seperti yang dilaporkan pada proposal UP-FMA Harum Mekar Desa Ciruas tahun 2008, PRA pada prinsipnya alat atau metode yang dimanfaatkan untuk mengoptimalkan program-program yang dikembangkan bersama masyarakat, akan tetapi penjabaran PRA itu sendiri pada laporan tersebut masih mengedepankan gagasan penyuluh yang berasal dari atas- bukan sebagai fasilitator. Selain hal tersebut di atas, terdapat permasalahan lain yang secara umum ada dalam pelaksanaan P3TIP sebagaimana dilaporkan oleh dalam website P3TIP ada dugaan bahwa Tim Verifikasi dari BPKP belum berfungsi optimal dalam

23 88 meloloskan atau menolak proposal yang diajukan, karena semua proposal yang berasal dari UP FMA diterima; hanya jumlah dana beragam tergantung pembenaran atas dana yang diajukan. Lebih lanjut, konsep dan metodologi FMA, khususnya di tingkat lapangan di hampir seluruh Kabupaten Serang untuk tahun belum diterapkan secara taat azas, dan belum berorientasi pada pengembangan agribisnis yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Itu sebabnya, menyatakan perlunya tindakan korektif terhadap penerapan konsep dan metode tersebut di tingkat lapangan sebelum adanya implementasi FMA pada anggaran selanjutnya. 7 Di pihak lain, sebagaimana diketahui, sebenarnya tujuan P3TIP adalah untuk memberdayakan petani dan organisasi petani dalam meningkatan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani melalui peningkatan aksesibilitas terhadap informasi, teknologi, modal dan sarana produksi, pengembangan agribisnis dan kemitraan usaha. Namun demikian, setelah sekitar dua tahun pelaksanaannya ternyata tujuan di atas, khususnya berkenaan dengan aspek pengembangan agribisnis dan kemitraan usaha belum dilaksanakan. Hal ini tercermin belum mampunya UP FMA Harum Mekar dalam mengembangkan kemitraan dengan pelaku usaha lainnya, karena Gapoktan Harum Mekar yang membawahi mereka baru sebatas penyedia input produksi saja. Data dalam Laporan Akhir P3TIP 2008 memperkuat gejala tersebut, terlihat dari pernyataan bahwa program-program yang telah dilakukan dalam P3TIP sebatas perubahan perilaku individu petani, terutama peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani dalam berbudidaya padi PTT. Dalam laporan juga dikemukakan bahwa hanya sekitar 40 persen dari 40 desa yang ada di Kabupaten Serang yang mendapatkan program ini PTT. Dalam kasus di Desa Ciruas, peserta yang dapat mengikuti kegiatan ini hanya sekitar 10 persen dari seluruh petani yang ada di desa ini. Padahal dengan kompleksitas permasalahan yang ada, petani yang mengikuti kursus tidak dapat berbagi pengalaman sepenuhnya dengan petani lainnya (difusi inovasi PTT), sehingga secara keseluruhan hasil yang diperoleh belum seperti yang diharapkan. Selain itu, banyak petani yang mengikuti program ini adalah petani kecil, dimana 7

24 89 waktunya banyak dicurahkan untuk mencari penghasilan tambahan di luar kegiatan usahatani di sawah. Oleh karena itu, para petani ini tidak dapat mengikuti kegiatan belajar secara penuh dalam satu musim. Kondisi tersebut, bersamaan dengan tidak adanya kegiatan lanjutan yang dapat melakukan pendampingan kepada para petani peserta PTT secara rutin diduga akan menghambat keberlanjutan penerapan PTT. Untuk kepengurusan UP-FMA, diakui oleh pengurus UP-FMA bahwa hingga saat penelitian berlangsung belum dijumpai permasalahan yang besar dalam pelaksanaan program P3TIP. Meskipun demikian, dari segi kepengurusan pernah ada pergantian penyuluh swadaya karena penyuluh swadaya terdahulu disibukkan oleh urusan pribadinya. Selain itu, pernah terjadi kurangnya koordinasi antar pengurus, dalam hal pertanggungjawaban dana, sehingga salah seorang pengurus merasa terbebani dengan tugas yang cukup besar. Pernah juga muncul isu yang mempertanyakan kejelasan atau transparansi dana UP-FMA yang dipegang oleh pengurus UP-FMA. Di pihak lain para anggota menyatakan keluhan mereka sehubungan dengan kegiatan kelompok yang seringkali tanpa rencana dan mendadak, yang ditentukan secara sepihak sesuai ketersediaan waktu tenaga lapang, sehingga menyulitkan kesinambungan kehadiran mereka. Berkenaan dengan budidaya tanam padi berdasar konsep PTT, secara umum para petani menganggap bahwa sejumlah komponen teknologi yang diintroduksikan dalam PTT sesuai dengan pengalaman dalam sistem budidaya padi yang konvensional, khususnya dalam hal: varietas unggul, benih bermutu, pemupukan sesuai kebutuhan tanaman, serta penggunaan bibit muda dan pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Namun demikian, terdapat sejumlah komponen yang menurut pandangan petani berbeda dengan sistem konvensional, yaitu penggunaan pupuk organik (bokashi) dan penanaman bibit sebanyak 1-3 bibit per rumpun dan menerapkan jarak tanam legowo. Penggunaan pupuk organik dianggap agak menyulitkan karena mereka tidak memiliki limbah ternak yang dibutuhkan untuk membuat bokashi secara swadaya. Terkait dengan penanaman bibit dan jarak tanam legowo, petani merasa terkendala oleh karena kedua kegiatan tersebut karena faktanya kegiatan pemupukan biasnya dilakukan

BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI

BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI Sebagaimana telah dikemukakan di depan, fokus studi difusi ini adalah pada inovasi budidaya SRI yang diintroduksikan

Lebih terperinci

BAB V PROFIL KELEMBAGAAN DAN PELAKSANAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)

BAB V PROFIL KELEMBAGAAN DAN PELAKSANAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) 45 BAB V PROFIL KELEMBAGAAN DAN PELAKSANAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, pemerintah Indonesia dengan dukungan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyuluhan pertanian mempunyai peranan strategis dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (petani) sebagai pelaku utama usahatani. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB VI PROSES DIFUSI, KATEGORI ADOPTER DAN LAJU ADOPSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI DUSUN MUHARA

BAB VI PROSES DIFUSI, KATEGORI ADOPTER DAN LAJU ADOPSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI DUSUN MUHARA BAB VI PROSES DIFUSI, KATEGORI ADOPTER DAN LAJU ADOPSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI DUSUN MUHARA Adanya komponen waktu dalam proses difusi, dapat mengukur tingkat keinovativan dan laju

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... PENDAHULUAN P ada dasarnya pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau

Lebih terperinci

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Ir. Mewa Ariani, MS Pendahuluan 1. Upaya pencapaian swasembada pangan sudah menjadi salah satu

Lebih terperinci

BAB VII PELAKSA AA MODEL PEMBERDAYAA PETA I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU

BAB VII PELAKSA AA MODEL PEMBERDAYAA PETA I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU BAB VII PELAKSA AA MODEL PEMBERDAYAA PETA I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU Kegiatan SL-PTT di Gapoktan Sawargi telah berlangsung selama empat kali. SL-PTT yang dilaksanakan adalah SL-PTT padi.

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Kerangka Pemikiran

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Kerangka Pemikiran 31 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi merupakan salah satu program pemerintah (dalam hal ini Kementrian Pertanian) untuk meningkatkan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Penelitian menyimpulkan sebagai berikut:

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Penelitian menyimpulkan sebagai berikut: VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Penelitian menyimpulkan sebagai berikut: 1. Usahatani padi organik masih sangat sedikit dilakukan oleh petani, dimana usia petani padi organik 51

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendapatan rumahtangga petani adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan pertanian merupakan faktor penunjang ekonomi nasional. Program-program pembangunan yang dijalankan pada masa lalu bersifat linier dan cenderung bersifat

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA DEFINITIF KELOMPOKTANI DAN RENCANA DEFINITIF KEBUTUHAN KELOMPOKTANI BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA DEFINITIF KELOMPOKTANI DAN RENCANA DEFINITIF KEBUTUHAN KELOMPOKTANI BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 82/Permentan/OT.140/8/2013 TANGGAL : 19 Agustus 2013 PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA DEFINITIF KELOMPOKTANI DAN RENCANA DEFINITIF KEBUTUHAN KELOMPOKTANI BAB I

Lebih terperinci

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) 58 BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) Bab ini mendeskripsikan karakteristik demografi individu petani

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 8 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pengertian dan Lingkup Penyuluhan Sebagaimana dikutip oleh Mugniesyah (forthcoming), terdapat sejumlah ahli yang merumuskan definisi penyuluhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka Program adalah pernyataan tertulis tentang keadaan, masalah, tujuan dan cara mencapai tujuan yang disusun dalam bentuk

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan berikut ini secara rinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan berikut ini secara rinci V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan berikut ini secara rinci menjabarkan secara rinci situasi dan kondisi poktan sebagai

Lebih terperinci

Lampiran 1. Gambar Paradigma Laju Adopsi Inovasi

Lampiran 1. Gambar Paradigma Laju Adopsi Inovasi Lampiran 1. Gambar Paradigma Laju Adopsi Inovasi Variabel-variabel Pengaruh Variabel Terpengaruh I. KARAKTERISTIK INOVASI Keuntungan Relatif Kompatibilitas Kompleksitas Kemungkinan Dicoba kemungkinan Diamati

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. seperti industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian. Menurut Rogers (1983),

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. seperti industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian. Menurut Rogers (1983), II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Landasan Teori 1. Penerapan Inovasi pertanian Inovasi merupakan istilah yang sering digunakan di berbagai bidang, seperti industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya TINJAUAN PUSTAKA Peranan Penyuluh Pertanian Penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya memberikan pendapat sehingga

Lebih terperinci

BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PRIMA TANI OLEH PETANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA

BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PRIMA TANI OLEH PETANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA 59 BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PRIMA TANI OLEH PETANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA 8.1 Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani Pengambilan keputusan inovasi Prima

Lebih terperinci

VI. ADOPSI PROGRAM SISTEM INTEGRASI TANAMAN- TERNAK. partisipatif di lahan petani diharapkan dapat membawa dampak terhadap

VI. ADOPSI PROGRAM SISTEM INTEGRASI TANAMAN- TERNAK. partisipatif di lahan petani diharapkan dapat membawa dampak terhadap VI. ADOPSI PROGRAM SISTEM INTEGRASI TANAMAN- TERNAK Penerapan program sistem integrasi tanaman-ternak yang dilakukan secara partisipatif di lahan petani diharapkan dapat membawa dampak terhadap peningkatan

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di

BAB VI PEMBAHASAN. pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di 63 BAB VI PEMBAHASAN Berdasarkan data hasil analisis kesesuaian, pengaruh proses pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di Kecamatan Nangapanda Kabupaten Ende dapat dibahas

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 109 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab V akan dikemukakan kesimpulan hasil penelitian. Kesimpulan ini berdasarkan hasil pengolahan wawancara dan observasi yang telah dilakukan berkaitan dengan pemanfaatan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PETANI PENERIMA METODE SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) PADI DI KECAMATAN CIAWI BOGOR.

KARAKTERISTIK PETANI PENERIMA METODE SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) PADI DI KECAMATAN CIAWI BOGOR. KARAKTERISTIK PETANI PENERIMA METODE SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) PADI DI KECAMATAN CIAWI BOGOR Diarsi Eka Yani 1 Pepi Rospina Pertiwi 2 Program Studi Agribisnis, Fakultas MIPA, Universitas

Lebih terperinci

PEDOMAN PEMBINAAN TENAGA HARIAN LEPAS TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN PEMBINAAN TENAGA HARIAN LEPAS TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03//Permentan/OT.140/1/2011 TANGGAL : 31 Januari 2011 PEDOMAN PEMBINAAN TENAGA HARIAN LEPAS TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PENINGKATAN KAPASITAS BP3K

PEDOMAN PELAKSANAAN PENINGKATAN KAPASITAS BP3K PEDOMAN PELAKSANAAN PENINGKATAN KAPASITAS BP3K PUSAT PENYULUHAN PERTANIAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 ii KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT,

Lebih terperinci

VII. STRATEGI DAN PROGRAM PENGUATAN KELOMPOK TANI KARYA AGUNG

VII. STRATEGI DAN PROGRAM PENGUATAN KELOMPOK TANI KARYA AGUNG 78 VII. STRATEGI DAN PROGRAM PENGUATAN KELOMPOK TANI KARYA AGUNG 7.1. Perumusan Strategi Penguatan Kelompok Tani Karya Agung Perumusan strategi menggunakan analisis SWOT dan dilakukan melalui diskusi kelompok

Lebih terperinci

VI KAJIAN KEMITRAAN PETANI PADI SEHAT DESA CIBURUY DENGAN LEMBAGA PERTANIAN SEHAT DOMPET DHUAFA REPLUBIKA

VI KAJIAN KEMITRAAN PETANI PADI SEHAT DESA CIBURUY DENGAN LEMBAGA PERTANIAN SEHAT DOMPET DHUAFA REPLUBIKA VI KAJIAN KEMITRAAN PETANI PADI SEHAT DESA CIBURUY DENGAN LEMBAGA PERTANIAN SEHAT DOMPET DHUAFA REPLUBIKA 6.1 Motif Dasar Kemitraan dan Peran Pelaku Kemitraan Lembaga Petanian Sehat Dompet Dhuafa Replubika

Lebih terperinci

PROGRAM DAN KEGIATAN. implementasi strategi organisasi. Program kerja operasional merupakan proses

PROGRAM DAN KEGIATAN. implementasi strategi organisasi. Program kerja operasional merupakan proses PROGRAM DAN KEGIATAN. A. Program Kegiatan Lokalitas Kewenangan SKPD. Program kerja operasional pada dasarnya merupakan upaya untuk implementasi strategi organisasi. Program kerja operasional merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 27 PENDAHULUAN Latar Belakang Paradigma baru pembangunan Indonesia lebih diorientasikan pada sektor pertanian sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kapasitas lokal. Salah satu fokus

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG INTENSIFIKASI PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN PERKEBUNAN TAHUN 2008 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENINGKATAN EFEKTIVITAS HUBUNGAN PENELITI PENYULUH PETANI. Warsana, SP. MSi

PENINGKATAN EFEKTIVITAS HUBUNGAN PENELITI PENYULUH PETANI. Warsana, SP. MSi PENINGKATAN EFEKTIVITAS HUBUNGAN PENELITI PENYULUH PETANI Warsana, SP. MSi Penyuluh pertanian memerlukan informasi teknologi pertanian, baik berupa frontier technology dan teknologi yang dapat mengatasi

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03/Permentan/OT.140/1/2011 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03/Permentan/OT.140/1/2011 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03/Permentan/OT.140/1/2011 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN TENAGA HARIAN LEPAS TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB V KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR

BAB V KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR BAB V KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR Bab ini menjelaskan berbagai aspek berkenaan kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten Bogor yang meliputi: Organisasi Badan Pelaksana an Pertanian,

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS GENDER DALAM KINERJA PENYULUH DI BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN (BP4K) KABUPATEN BOGOR

BAB VII ANALISIS GENDER DALAM KINERJA PENYULUH DI BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN (BP4K) KABUPATEN BOGOR BAB VII ANALISIS GENDER DALAM KINERJA PENYULUH DI BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN (BP4K) KABUPATEN BOGOR Bab berikut ini mendeskripsikan mengenai Akses, Kontrol, Partisipasi

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan. IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Penggunaan tenaga kerja bagi suami dialokasikan utamanya pada kegiatan usahatani, sedangkan istri dan anak lebih banyak bekerja pada usaha di luar usahataninya

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Program adalah pernyataan tertulis tentang keadaan, masalah, tujuan dan cara mencapai tujuan yang

Lebih terperinci

sosial yang menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani.

sosial yang menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani. 85 VI. KERAGAAN USAHATANI PETANI PADI DI DAERAH PENELITIAN 6.. Karakteristik Petani Contoh Petani respoden di desa Sui Itik yang adalah peserta program Prima Tani umumnya adalah petani yang mengikuti transmigrasi

Lebih terperinci

PEDOMAN SISTEM KERJA LATIHAN DAN KUNJUNGAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN SISTEM KERJA LATIHAN DAN KUNJUNGAN BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 82/Permentan/OT.140/8/2013 TANGGAL : 19 Agustus 2013 PEDOMAN SISTEM KERJA LATIHAN DAN KUNJUNGAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pendekatan pembangunan

Lebih terperinci

Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu 38119

Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu 38119 1 KAJIAN KEBUTUHAN DAN PELUANG (KKP) PADI Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu 38119 Padi merupakan tulang punggung pembangunan subsektor tanaman pangan

Lebih terperinci

Renja BP4K Kabupaten Blitar Tahun

Renja BP4K Kabupaten Blitar Tahun 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN R encana kerja (RENJA) SKPD Tahun 2015 berfungsi sebagai dokumen perencanaan tahunan, yang penyusunan dengan memperhatikan seluruh aspirasi pemangku kepentingan pembangunan

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PENUMBUHAN DAN PENGEMBANGAN PENYULUH PERTANIAN SWADAYA TAHUN 2016

PEDOMAN PELAKSANAAN PENUMBUHAN DAN PENGEMBANGAN PENYULUH PERTANIAN SWADAYA TAHUN 2016 PEDOMAN PELAKSANAAN PENUMBUHAN DAN PENGEMBANGAN PENYULUH PERTANIAN SWADAYA TAHUN 2016 PUSAT PENYULUHAN PERTANIAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERANAN WANITA TANI DALAM BUDIDAYA PADI SAWAH DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT)

HUBUNGAN PERANAN WANITA TANI DALAM BUDIDAYA PADI SAWAH DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) HUBUNGAN PERANAN WANITA TANI DALAM BUDIDAYA PADI SAWAH DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) (Suatu Kasus di Desa Wanareja Kecamatan Wanareja Kabupaten Cilacap) Oleh: Eni Edniyanti

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN. sistematis, faktual dan akuran mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan

METODELOGI PENELITIAN. sistematis, faktual dan akuran mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan III. METODELOGI PENELITIAN A. Metode Dasar Metode penelitian adalah suatu cara yang harus di tempuh dalam suatu penelitian untuk mencapai tujuan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

Lebih terperinci

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH 67 BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH Bab ini akan membahas keefektifan Program Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan (Proksi Mantap) dalam mencapai sasaran-sasaran

Lebih terperinci

KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI

KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI Laporan Akhir Hasil Penelitian TA.2015 KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI Tim Peneliti: Kurnia Suci Indraningsih Dewa Ketut Sadra

Lebih terperinci

PANDUAN PENYELENGGARAAN PELATIHAN TEKNIS SPESIFIK LOKALITA

PANDUAN PENYELENGGARAAN PELATIHAN TEKNIS SPESIFIK LOKALITA PANDUAN PENYELENGGARAAN PELATIHAN TEKNIS SPESIFIK LOKALITA PUSAT PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERTANIAN BADAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2 0 0 9 1 LATAR BELAKANG Penyuluhan Pertanian merupakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Deskripsi Faktor-Faktor Yang berhubungan dengan Partisipasi Petani dalam Kebijakan Optimalisasi dan Pemeliharaan JITUT 5.1.1 Umur (X 1 ) Berdasarkan hasil penelitian terhadap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan pembangunan di Indonesia telah sejak lama mengedepankan peningkatan sektor pertanian. Demikian pula visi pembangunan pertanian tahun 2005 2009 didasarkan pada tujuan pembangunan

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Bagian ini menyajikan uraian kesimpulan dan rekomendasi penelitian. Kesimpulan yang disajikan merupakan hasil kajian terhadap permasalahan penelitian, sedangkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tugas Pokok Penyuluh Pertanian Tugas pokok penyuluhan pertanian adalah melakukan kegiatan penyuluhan pertanian untuk mengembangkan kemampuan petani dalam menguasai, memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyuluh Pertanian dan Usahatani Jagung 2.1.1 Penyuluh Pertanian Penyuluh pertanian, penyuluh perikanan, atau penyuluh kehutanan, baik penyuluh PNS, swasta, maupun swadaya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hak atas pangan telah diakui secara formal oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Akhir -akhir ini isu pangan sebagai hal asasi semakin gencar disuarakan

Lebih terperinci

PETUNJUK PELAKSANAAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN EKONOMI PETANI

PETUNJUK PELAKSANAAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN EKONOMI PETANI PETUNJUK PELAKSANAAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN EKONOMI PETANI PUSAT PENYULUHAN PERTANIAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012 i ii KATA PENGANTAR Pengembangan

Lebih terperinci

Diarsi Eka Yani. ABSTRAK

Diarsi Eka Yani. ABSTRAK KETERKAITAN PERSEPSI ANGGOTA KELOMPOK TANI DENGAN PERAN KELOMPOK TANI DALAM PEROLEHAN KREDIT USAHATANI BELIMBING (Kasus Kelompok Tani di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Depok) Diarsi Eka Yani

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran 283 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Bagian ini menyajikan uraian kumpulan dan rekomendasi penelitian. Kesimpulan yang disajikan merupakan hasil kajian terhadap permasalahan penelitian, sedangkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Agenda revitalisasi pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan pertanian yang dicanangkan pada tahun 2005 merupakan salah satu langkah mewujudkan tujuan pembangunan yaitu

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 98 BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bagian ini akan dikemukakan hasil temuan studi yang menjadi dasar untuk menyimpulkan keefektifan Proksi Mantap mencapai tujuan dan sasarannya. Selanjutnya dikemukakan

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 36 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Pembangunan sebagai upaya terencana untuk meningkatkan mutu kehidupan dan kesejahteraan penduduk khususnya di negara-negara berkembang senantiasa mencurahkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan beras di Indonesia pada masa yang akan datang akan meningkat. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi dengan besarnya konsumsi beras

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identitas Petani Petani Padi Organik Mitra Usaha Tani

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identitas Petani Petani Padi Organik Mitra Usaha Tani V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identitas Petani Petani Padi Organik Mitra Usaha Tani Identitas petani merupakan suatu tanda pengenal yang dimiliki petani untuk dapat diketahui latar belakangnya. Identitas

Lebih terperinci

PEDOMAN PENILAIAN BALAI PENYULUHAN KECAMATAN BERPRESTASI BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN PENILAIAN BALAI PENYULUHAN KECAMATAN BERPRESTASI BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 28/Permentan/OT.140/4/2012 TANGGAL : 23 April 2012 PEDOMAN PENILAIAN BALAI PENYULUHAN KECAMATAN BERPRESTASI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai amanat

Lebih terperinci

Executive Summary EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN MODEL KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI

Executive Summary EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN MODEL KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN MODEL KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI Desember, 2011 KATA PENGANTAR Laporan ini merupakan Executive Summary dari kegiatan Pengkajian Model Kelembagaan dan Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, sehingga memerlukan sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, sehingga memerlukan sumber daya manusia yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyuluhan pertanian sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum merupakan hak asasi warga negara Republik Indonesia.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel 26 METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi petani terhadap kompetensi penyuluh pertanian. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut rancangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketahanan pangan (food security) telah menjadi isu global selama dua dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan disebutkan

Lebih terperinci

Pepi Rospina Pertiwi, Rinda Noviyanti, Dewi Juliah Ratnaningsih 1. ABSTRAK

Pepi Rospina Pertiwi, Rinda Noviyanti, Dewi Juliah Ratnaningsih 1. ABSTRAK PERSEPSI PETANI TENTANG DETERMINAN SELEKSI SALURAN KOMUNIKASI DALAM PENERIMAAN INFORMASI USAHATANI PADI (KASUS PETANI KABUPATEN SERANG PROVINSI BANTEN) Pepi Rospina Pertiwi, Rinda Noviyanti, Dewi Juliah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Undang-Undang No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan menyebutkan bahwa penyuluhan merupakan bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada beberapa perjalanan yang peneliti lakukan di beberapa daerah di Indonesia, terutama sejak akhir 2004 hingga akhir 2008, telah banyak usaha-usaha dari berbagai

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN. wilayah, topografi, jumlah penduduk, mata pencaharian, luas tanam, luas panen,

BAB V HASIL PENELITIAN. wilayah, topografi, jumlah penduduk, mata pencaharian, luas tanam, luas panen, 43 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian Gambaran umum daerah penelitian meliputi keadaaan geografis, luas wilayah, topografi, jumlah penduduk, mata pencaharian, luas tanam, luas panen,

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 69 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Kerangka berpikir penelitian ini dimulai dengan pendapat Spencer dan Spencer (1993:9-10) menyatakan bahwa setiap kompetensi tampak pada individu dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi.

I. PENDAHULUAN. yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian dan peternakan merupakan satu kesatuan terintegrasi yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi. Pembangunan kedua sektor ini bertujuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. meramu bahan-bahan kimia (anorganik) berkadar hara tinggi. Misalnya, pupuk urea

TINJAUAN PUSTAKA. meramu bahan-bahan kimia (anorganik) berkadar hara tinggi. Misalnya, pupuk urea TINJAUAN PUSTAKA Pupuk Anorganik Pupuk anorganik adalah pupuk yang dibuat oleh pabrik-pabrik pupuk dengan meramu bahan-bahan kimia (anorganik) berkadar hara tinggi. Misalnya, pupuk urea berkadar N 45-46

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Demografi Desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor Desa Citeko merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Cisarua. Desa Citeko memiliki potensi lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lapang Pertanian Tanaman Terpadu. Sekolah Lapangan Pertanian Tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Lapang Pertanian Tanaman Terpadu. Sekolah Lapangan Pertanian Tanaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak tahun 2008, Kementerian Pertanian Republik Indonesia telah meluncurkan salah satu program pemberdayaan petani dengan sebutan Sekolah Lapang Pertanian Tanaman Terpadu.

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 4 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Program PUAP Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) merupakan program yang dinisiasi oleh Kementrian Pertanian.Menteri Pertanian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelompok Tani Kelompoktani adalah kelembagaan petanian atau peternak yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi dan sumberdaya)

Lebih terperinci

DAMPAK PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SAWAH

DAMPAK PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SAWAH DAMPAK PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SAWAH (Studi Kasus : Desa Pematang Setrak, Kec Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai) Ikram Anggita Nasution

Lebih terperinci

LAPORAN DEMONSTRASI PLOT TEKNOLOGI PEMELIHARAAN KEBUN KAKAO DI KABUPATEN LUWU ABSTRAK

LAPORAN DEMONSTRASI PLOT TEKNOLOGI PEMELIHARAAN KEBUN KAKAO DI KABUPATEN LUWU ABSTRAK LAPORAN DEMONSTRASI PLOT TEKNOLOGI PEMELIHARAAN KEBUN KAKAO DI KABUPATEN LUWU Kartika Fauziah, dkk ABSTRAK Penyuluhan yang dikelola oleh petani atau Farmer Managed Extension Activities (FMA) merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Padi adalah salah satu bahan makanan

Lebih terperinci

Yohanes Leki Seran, Medo Kote dan Joko Triastono Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTT

Yohanes Leki Seran, Medo Kote dan Joko Triastono Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTT PENINGKATAN KAPASITAS PETANI JAGUNG MELALUI UJI COBA TEKNOLOGI BERSAMA PETANI DALAM MENDUKUNG PENGUATAN PENYULUHAN PERTANIAN (Farmer Managed Extension Activiyt/FMA) Yohanes Leki Seran, Medo Kote dan Joko

Lebih terperinci

ABSTRAK

ABSTRAK HUBUNGAN KARAKTERISTIK WANITA TANI DENGAN PENGETAHUAN WANITA TANI PADA USAHATANI SAYURAN (Kasus Wanita Tani Sayuran di Desa Mekarbakti, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung) Diarsi Eka Yani 1, Pepi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi 4.1.1 Keadaan Geografis Desa Oluhuta Utara merupakan salah satu Desa yang berada di Kecamatan Kabila, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional berbasis pertanian dan pedesaan secara langsung maupun tidak langsung

BAB I PENDAHULUAN. nasional berbasis pertanian dan pedesaan secara langsung maupun tidak langsung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan kemiskinan di pedesaan merupakan salah satu masalah pokok pedesaan yang harus segera diselesaikan dan menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

PETUNJUK PELAKSANAAN PENDAMPINGAN SL-PTT PADI DAN JAGUNG DI PROVINSI BENGKULU

PETUNJUK PELAKSANAAN PENDAMPINGAN SL-PTT PADI DAN JAGUNG DI PROVINSI BENGKULU PETUNJUK PELAKSANAAN PENDAMPINGAN SL-PTT PADI DAN JAGUNG DI PROVINSI BENGKULU BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BENGKULU 2012 1 PETUNJUK PELAKSANAAN NOMOR : 26/1801.019/011/A/JUKLAK/2012 1. JUDUL ROPP

Lebih terperinci

Kajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian

Kajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian Kajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian PENDAHULUAN 1. Dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat di perdesaan, Departemen Pertanian memfokuskan

Lebih terperinci

BUPATI BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BONE NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BONE NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BONE NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN, HORTIKULTURA DAN

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik Petani Karakteristik petani dalam penelitian ini meliputi Umur, Pendidikan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik Petani Karakteristik petani dalam penelitian ini meliputi Umur, Pendidikan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Petani Karakteristik petani dalam penelitian ini meliputi Umur, Pendidikan formal, Pendidikan nonformal, Luas usahatani, Pengalaman usahatani, Lama bermitra, Status

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Perberasan Indonesia Kebijakan mengenai perberasan di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1969/1970. Kebijakan tersebut (tahun 1969/1970 s/d 1998) mencakup kebijakan

Lebih terperinci

BAB VI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENCIPTAKAN PERUBAHAN

BAB VI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENCIPTAKAN PERUBAHAN 68 BAB VI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENCIPTAKAN PERUBAHAN Pengorganisasian lebih dimaknai sebagai suatu kerangka menyeluruh dalam rangka memecahkan masalah ketidakadilan sekaligus membangun tatanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan strategik dalam tatanan pemerintahan Indonesia diawali. dengan pemberlakuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

I. PENDAHULUAN. Perubahan strategik dalam tatanan pemerintahan Indonesia diawali. dengan pemberlakuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan strategik dalam tatanan pemerintahan Indonesia diawali dengan pemberlakuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam bidang pertanian

Lebih terperinci

VI KARAKTERISTIK UMUM RESPONDEN

VI KARAKTERISTIK UMUM RESPONDEN VI KARAKTERISTIK UMUM RESPONDEN Karakteristik umum dari responden pada penelitian ini diidentifikasi berdasarkan jenis kelamin, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, pendapatan di luar usahatani

Lebih terperinci

SEMINAR DAN EKSPOSE TEKNOLOGI BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN JAWA TIMUR BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

SEMINAR DAN EKSPOSE TEKNOLOGI BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN JAWA TIMUR BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN RAKITAN TEKNOLOGI SEMINAR DAN EKSPOSE TEKNOLOGI BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN JAWA TIMUR BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN Bogor,

Lebih terperinci

Prima Tani Kota Palu (APBN) Tuesday, 27 May :32 - Last Updated Tuesday, 27 October :40

Prima Tani Kota Palu (APBN) Tuesday, 27 May :32 - Last Updated Tuesday, 27 October :40 Kegiatan Prima Tani Kota Palu yang dilaksanakan di Kelurahan Kayumalue Ngapa Kecamatan Palu Utara merupakan salah satu kegiatan Prima Tani yang dilaksanakan pada Agroekosistem Lahan Kering Dataran Dataran

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan disamping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi

III. METODE PENELITIAN. A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi 45 III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi Berdasarkan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, secara operasional dapat diuraikan tentang definisi operasional,

Lebih terperinci