BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Industri farmasi menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 245/Menkes/V/1990 adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat.

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. Lembaga Farmasi Direktorat Kesehatan Angkatan Darat (Lafi Ditkesad)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut SK Menkes No. 245/Menkes/SK/V/1990 adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi adalah badan usaha yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut SK Menkes No. 245/Menkes/SK/V/1990

BAB II TINJAUAN UMUM. Industri farmasi menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 adalah industri obat jadi dan industri

BAB II TINJAUAN UMUM. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. Belanda, pada tahun 1958 pemerintah melebur sejumlah perusahaan farmasi

CPOB. (Cara Pembuatan Obat yang Baik)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 965/MENKES/SK/XI/1992 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri Farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

BAB II TINJAUAN UMUM PT. COMBIPHAR. bawah pengelolaan Drs. Handoko Prayogo, Apt. Berawal dari industri rumah

2. KETENTUAN UMUM Obat tradisional Bahan awal Bahan baku Simplisia

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI. 2.1 Tinjauan Lembaga Farmasi Angkatan Udara (LAFIAU) Sejarah dan Perkembangan Lembaga Farmasi Angkatan Udara

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI. 1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

B. Tujuan Tujuan Qualiy Assurance adalah untuk memastikan bahwa obat dihasilkan dengan mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya.

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI FARMASI INDUSTRI LEMBAGA FARMASI DIREKTORAT KESEHATAN ANGKATAN DARAT BANDUNG

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI. 1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri

KATA PENGANTAR QUALITY CONTROL

UNIVERSITAS INDONESIA

Tugas Individu Farmasi Industri. Uraian Tugas Kepala Bagian Produksi, Pengawasan Mutu dan Pemastian Mutu

Oleh : Bambang Priyambodo

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR:. TENTANG PEDOMAN PENERAPAN CARA PEMBUATAN KOSMETIKA YANG BAIK

BAB II TINJAUAN UMUM PT. COMBIPHAR. PT. Combiphar didirikan pada tahun 1971 di Jl. Sukabumi no. 61,

(BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus Sejak berdirinya hingga sekarang ini PT. Kimia Farma (Persero) Tbk.

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER LEMBAGA FARMASI ANGKATAN UDARA. Drs. ROOSTYAN EFFENDIE, Apt BANDUNG

2 Presiden Nomor 55 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 125); 3. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,

PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK

(BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus Sejak berdirinya hingga sekarang ini PT. Kimia Farma (Persero) Tbk telah

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI LEMBAGA FARMASI DIREKTORAT KESEHATAN ANGKATAN DARAT BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

UNIVERSITAS INDONESIA

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gudang merupakan sarana pendukung kegiatan produksi industri farmasi

BAB II PT. KIMIA FARMA. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI FARMASI INDUSTRI di LEMBAGA FARMASI DIREKTORAT KESEHATAN ANGKATAN DARAT BANDUNG

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus 1971.

BAB III KEGIATAN DI INDUSTRI FARMASI P.T. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

1 dari1717 I. PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

BAB 2 GAMBARAN UMUM OBJEK

Produksi di Industri Farmasi

UNIVERSITAS INDONESIA

DOKUMENTASI

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 466/Kpts/TN.260/V/99 TENTANG PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT HEWAN YANG BAIK MENTERI PERTANIAN,

BAB 1 MANAJEMEN MUTU

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

No Kode DAR2/Profesional/582/010/2018 PENDALAMAN MATERI FARMASI MODUL 010: CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK. Dr. NURKHASANAH, M.Si., Apt.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berfungsi untuk menyimpan bahan baku, bahan kemas, dan obat jadi yang

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus 1971.

PERSYARATAN TEKNIS CARA PEMBUATAN OBAT TRADISIONAL YANG BAIK BAB 1

MODUL MATERI UJIAN PERPINDAHAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN TERAMPIL KE AHLI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) BADAN POM RI

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

Lampiran 1. Pengukuran tingkat penerapan Good Manufacturing Practice

PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT TRADISIONAL YANG BAIK

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT. COMBIPHAR JL. RAYA SIMPANG NO. 383 PADALARANG PERIODE MARET 2012

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

Menimbang : Mengingat :

Quality Control (QC) dan Quality Assurance (QA) Mata Kuliah : Rancangan Produk Industri (2 SKS) Dosen : Kuni Zu aimah B.,S.Farm., M.Farm., Apt.

Pujianto, SE DINAS PERINKOP DAN UMKM KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2015

TUGAS FARMASI INDUSTRI ELIMINASI DAN VALIDASI 12 ASPEK CPOB

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan kebutuhan terpenting bagi manusia sehingga

PERSONALIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA

Aspek-aspek CPOB. Manajemen Mutu Personalia Bangunan dan Fasilitas Peralatan Sanitasi dan Higiene Produksi

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA NOMOR KEP 11/KEP-DJPB/2015 TENTANG

DOKUMENTASI PRODUKSI

Penggunaan terbesar herbal. Fitofarmaka. supplement. kosmetik

TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG PEDOMAN CARA PEMBUATAN KOSMETIK YANG BAIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pilihan alternatif solusi kesehatan masyarakat. Oleh karena harga obat tradisional

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus 1971.

UNIVERSITAS INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI FARMASI INDUSTRI. PT. Kimia Farma (Persero) Tbk Plant Medan

UNIVERSITAS INDONESIA DI PT. MOLEX AYUS JL. RAYA SERANG KM 11,5 CIKUPA TANGERANG PERIODE 16 JANUARI - 27 JANUARI 2012

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI FARMASI INDUSTRI DI PT. KIMIA FARMA (PERSERO) Tbk PLANT MEDAN

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Industri Farmasi Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.245 /Menkes/VI/1990, industri farmasi adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat. Industri obat jadi yang menghasilkan suatu produk yang telah melalui seluruh tahap proses pembuatan, sedangkan industri bahan baku obat memproduksi bahan baku obat sebagai penunjang obat jadi. Obat jadi merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi sistem fisiologi atau patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi. Sedangkan industri bahan baku adalah bahan baku yang diproduksi oleh suatu industri, dimana bahan baku tersebut adalah semua bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat, yang digunakan dalam proses pengolahan obat. Industri farmasi dibagi dalam dua kelompok yaitu industri padat modal dan industri padat karya. Industri padat modal adalah industri yang menggunakan mesin-mesin produksi dalam jumlah yang lebih besar dari pada jumlah tenaga kerjanya, sedangkan industri padat karya lebih banyak menggunakan tenaga manusia dari pada tenaga mesin. 2.2. Persyaratan Industri Farmasi Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.245/ Men Kes/SK/V/ 1990, usaha farmasi wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Dilakukan oleh Perusahaan Umum (Perum), Badan Hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi. 2. Memiliki rencana investasi. 3. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 4. Memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) sesuai dengan ketentuan SK Men Kes No. 43 / Men Kes / SK / II / 1988. 5. Memiliki paling sedikit dua orang apoteker yang masing- masing sebagai penanggung jawab pengawasan mutu dan penanggung jawab produksi sesuai dengan persyaratan CPOB. 6. Obat jadi yang diproduksi oleh perusahaan industri farmasi hanya dapat diedarkan setelah memperoleh persetujuan sesuai dengan perundang undangan yang berlaku. Izin usaha industri farmasi diberikan oleh Menteri Kesehatan dan wewenang pemberian izin dilimpahkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM). Izin ini berlaku seterusnya selama perusahaan industri farmasi tersebut masih berproduksi. 2.3. Pencabutan Ijin Usaha Industri Farmasi Industri farmasi dapat dicabut ijin usaha industrinya apabila melanggar atau melakukan hal-hal yang telah ditetapkan sebagai berikut: 1. Melakukan pemindah-tanganan hak milik izin usaha industri farmasi dan perluasan industri farmasi tanpa memiliki izin. 2. Tidak menyampaikan informasi industri secara berturut-turut tiga kali atau dengan sengaja menyampaikan informasi yang tidak benar.

3. Melakukan pemindahan lokasi usaha industri farmasi tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu. 4. Dengan sengaja memproduksi obat jadi atau bahan baku obat yang tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku (obat palsu). 5. Tidak memenuhi ketentutan dalam izin usaha industri farmasi. 2.4. Pembuatan Obat Yang Baik Dalam keputusan Men Kes RI No. 47 / Men Kes / SK / II / 1983 tentang Kebijakan Obat Nasional disebutkan bahwa yang dimaksud dengan obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki system fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi. Industri farmasi merupakan industri yang menghasilkan/memproduksi obat yang aman dan berkualitas. Untuk menjamin mutu obat yang berkualitas, maka industri farmasi melakukan seluruh aspek dan rangkaian kegiatan produksinya dengan menerapkan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). CPOB dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu dengan mengadakan pengawasan baik sebelum, selama, dan sesudah proses produksi berlangsung untuk memastikan mutu produk obat agar memenuhi standar yang telah ditetapkan. Jadi CPOB adalah suatu konsep dalam industri farmasi mengenai langkah-langkah atau prosedur yang dilakukan dalam suatu industri farmasi untuk menjamin mutu obat yang diproduksi dengan menerapkan Good Manufacturing

Practices dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan produksi, sehingga obat yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Perkembangan yang sangat pesat dalam teknologi farmasi menyebabkan perubahan-perubahan yang sangat cepat pula dalam konsep serta persyaratan CPOB. Konsep CPOB bersifat dinamis yang memerlukan penyesuaian dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan teknologi di bidang farmasi. Ruang lingkup CPOB meliputi 12 aspek, yaitu : 2.4.1. Sistem Manajemen Mutu Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) menyangkut seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu, bertujuan untuk menjamin bahwa produk obat yang dibuat senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah disesuaikan dengan tujuan penggunaannya. Dalam ketentuan umum, ada beberapa landasan yang penting untuk diperhatikan, yaitu : a. Pengawasan menyeluruh pada proses pembuatan obat untuk menjamin bahwa konsumen menerima obat yang bermutu tinggi. b. Mutu obat tergantung pada bahan awal, proses pembuatan dan pengawasan mutu, bangunan, peralatan yang digunakan dan personalia. c. Untuk menjamin mutu suatu obat jadi tidak boleh hanya mengandalkan pada suatu pengujian tertentu saja, melainkan semua obat hendaknya dibuat dalam kondisi terkendali dan terpadu dengan cermat.

CPOB merupakan pedoman yang dibuat untuk memastikan agar sifat dan mutu obat yang dihasilkan sesuai dengan syarat bahwa standar mutu obat yang telah ditentukan tetap tercapai. 2.4.2. Personalia Personalia karyawan semua tingkatan harus memiliki pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan sesuai tugasnya. Karyawan memiliki kesehatan mental dan fisik yang baik sehingga mampu melaksanakan tugasnya secara profesional dan sebagaimana mestinya. Karyawan mempunyai sikap dan kesadaran yang tinggi untuk mewujudkan CPOB. Stuktur organisasi harus sedemikian rupa sehingga bagian produksi dan pengawasan mutu dipimpin oleh orang yang berlainan dan tidak saling bertanggung jawab terhadap yang lain. Masing-masing harus diberi wewenang penuh dan sarana yang cukup yang diperlukan untuk dapat melaksanakan tugasnya secara efektif. Manajer produksi seorang apoteker yang cakap, terlatih dan memiliki pengalaman praktis yang memadai dibidang industri farmasi dan keterampilan dalam kepemimpinan sehingga memungkinkan melaksanakan tugas secara profesional. Manajer produksi memiliki wewenang dan tanggung jawab khusus penuh untuk mengelola produksi obat. Manajer pengawasan mutu seorang apoteker yang cakap, terlatih, dan memiliki pengalaman praktis yang memadai untuk memungkinkan melaksanakan tugasnya secara profesional. Manajer pengawasan mutu adalah satu-satunya yang memiliki wewenang untuk meluluskan bahan awal, produk antara, produk ruahan

dan obat jadi bila produk tersebut sesuai dengan spesifikasinya, atau menolaknya bila tidak cocok dengan spesifikasinya, atau bila tidak dibuat sesuai dengan prosedur yang disetujui dan kondisi yang ditentukan. Manajer produksi dan pengawasan mutu bersama-sama bertanggung jawab dalam penyusunan dan pengesahan prosedur-prosedur tertulis, pemantauan dan pengawasan lingkungan pembuatan obat, kebersihan pabrik dan validasi proses produksi, kalibrasi alat-alat pengukur, latihan personalia, pemberian persetujuan dan dalam penyimpanan catatan. Seluruh karyawan yang ikut serta langsung dalam kegiatan pembuatan obat harus dilatih mengenai kegiatan tertentu yang sesuai dengan tugasnya dan mampu melaksanakan prinsip-prinsip CPOB. 2.4.3. Bangunan Bangunan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki ukuran, rancangan, konstruksi serta letak yang memadai agar memudahkan pelaksanaan kerja, pembersihan dan pemeliharaan yang baik. Tiap sarana kerja hendaklah memadai, sehingga setiap resiko terjadinya kekeliruan, pencemaran silang dan berbagai kesalahan lain yang dapat menurunkan mutu obat dapat dihindarkan. Dalam merencanakan pembuatan gedung untuk pembuatan obat perlu diperhatikan adalah lokasi bangunan harus mencegah terjadinya pencemaran terhadap lingkungan di sekelilingnya, seperti pencemaran udara dan air maupun kegiatan di dekatnya. Bangunan dirancang dengan baik sehingga dapat terpelihara dan berfungsi sebagaimana mestinya. Permukaan bagian dalam hendaklah licin, bebas dari keretakan, dan sambungan terbuka serta mudah dibersihkan. Lantai

terbuat dari bahan kedap air, permukaan rata dan memungkinkan pembersihan secara cepat dan efisien. Dinding kedap air dan mudah dicuci. Sudut dinding hendaklah berbentuk lengkungan. Penerangan pada bangunan hendaknya efektif dan mempunyai ventilasi yang sesuai. Lampu penerangan posisinya harus rata dengan plafond dan diberi silicon rubber agar kedap udara. Lampu penerangan sebaiknya diganti/diperbaiki melalui atas plafon agar tidak terjadi pencemaran saat diperbaiki. Dalam penataan ruangan disesuaikan dengan tujuan penggunaan seperti ruang untuk steril hendaklah dipisahkan dari ruang produksi lain serta dirancang dan dibangun secara khusus. Ruangan-ruangan terpisah diperlukan bagi kegiatan-kegiatan pembukaan kemasan, pencucian, pengolahan, pengisian dan penutupan wadah, dan ruang ganti pakaian. Sarana penyimpanan dilengkapi dengan kondisi khusus misalnya suhu, kelembaban dan keamanan tertentu, sehingga dapat dihindari terjadinya kerusakan dan pencampuran. Lubang pemasukan dan pengeluaran udara serta pipa dipasang sedemikian rupa untuk mencegah timbulnya pencemaran silang antara produk dan personil maupun sebaliknya. Bangunan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki ukuran, rancang bangun, kontruksi serta letak yang memadai agar memudahkan dalam pelaksanaan kerja, pembersihan dan pemeliharaan yang baik. Tiap sarana kerja hendaklah memadai, sehingga setiap resiko terjadinya kekeliruan, pencemaran silang dan berbagai kesalahan lain yang dapat menurunkan mutu obat dapat dihindarkan.

Penentuan rancangan bangunan dan penataan gedung dipertimbangkan kesesuaiannya dengan kegiatan lain untuk menjamin mutu obat dan kelangsungan produksi. Untuk itu daerah pabrik dibagi atas tiga zona : 1. White area (daerah putih), termasuk kelas I dan II. Untuk kelas I, jumlah partikel maximum per meter kubik (m 3 ) sebanyak 3.500, sedangkan untuk kelas II jumlah partikel maximum per meter kubik (m 3 ) 350.000. Meliputi ruang penyaringan steril, pengolahan, pengisian salep mata, pengisian injeksi, pengolahan aseptis, dan pengisian bubuk steril. 2. Grey area (daerah abu-abu), termasuk kelas III dimana jumlah partikel maximum per meter kubik (m 3 ) 3.500.000. Meliputi ruang pengolahan dan pengemasan obat nonsteril dan ruang pembuatan salep lain selain salep mata. 3. Black area (daerah hitam), termasuk kelas IV yang meliputi ruang ganti pakaian, ruang masuk, kantor penerimaan bahan awal, gudang bahan awal dan obat jadi, ruang generator, ruang makan, ruang istirahat, dan toilet 2.4.4. Peralatan Peralatan yang digunakan dalam produksi obat sebaiknya memiliki rancang bangun dan kontruksi yang tepat, ukuran yamg memadai serta ditempatkan dengan tepat. Hal ini dimaksudkan agar tiap produk obat terjamin keseragamannya dari tiap batch serta memudahkan pembersihan dan perawatannya. Permukaan peralatan yang bersentuhan dengan bahan baku, produk antara, produk ruahan atau obat jadi tidak boleh bereaksi yang dapat mengubah identitas mutu dan kemurniannya dari batas yang telah ditetapkan. Peralatan tidak boleh

menimbulkan akibat yang merugikan terhadap produk dan sebaiknya dapat dibersihkan dengan mudah, baik bagian dalam maupun bagian luar. Bahan yang diperlukan untuk tujuan khusus misalnya pelumas tidak boleh bersentuhan langsung dengan bahan yang diolah. Setiap peralatan utama hendaknya diberi nomor pengenal yang jelas. Selain itu juga diberi nomor pengenal untuk saluran air, uap, udara bertekanan tinggi untuk membedakan satu dengan yang lainnya dan perlu diperhatikan keamanannya baik terhadap pekerja maupun terhadap peralatan itu sendiri. Peralatan hendaknya dirawat menurut jadwal yang tepat agar tetap berfungsi baik dan dapat mencegah terjadinya pencemaran yang dapat mengubah identitas, mutu atau kemurnian produk. Prosedur-prosedur tertulis untuk perawatan peralatan hendaknya dibuat dan digunakan. 2.4.5. Sanitasi dan Higiene Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personalia, bangunan, peralatan dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya dan setiap hal yang dapat menjadi sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran dapat dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh dan terpadu. Semua karyawan yang berhubungan dengan pembuatan obat harus memiliki kesehatan yang baik dan menggunakan pelindung badan dan penutup rambut yang sesuai dengan tugas yang dilakukan, sehingga produk yang dihasilkan dapat terhindar dari pencemaran oleh personal. Karena itu harus dilakukan higiene perseorangan yang baik, khususnya pada saat penerimaan karyawan baru.

Gedung yang digunakan untuk pembuatan obat harus dirancang dan dibangun dengan tepat untuk memudahkan pelaksanaan sanitasi yang baik. Disamping itu tersedia pula toilet dalam jumlah yang cukup dengan ventilasi yang baik dan tempat cuci tangan bagi karyawan yang letaknya mudah dicapai di daerah kerja, serta fasilitas yang memadai untuk penyimpanan pakaian karyawan. Prosedur sanitasi dan higiene harus selalu divalidasi dan dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa hasil penerapan prosedur yang bersangkutan cukup efektif dan memenuhi persyaratan. 2.4.6. Produksi Produksi obat hendaklah dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, yang dapat menjamin obat jadi yang dihasilkan memenuhi spesifikasi yang ditentukan. Prosedur produksi dibuat oleh penanggung jawab produksi bersama dengan penanggung jawab pengawasan mutu yang dapat menjamin obat yang dihasilkan memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan. Prosedur kerja standar hendaklah tertulis, mudah dipahami dan dipatuhi oleh karyawan produksi. Dokumentasi setiap langkah dilakukan dengan cermat, tepat dan ditangani oleh karyawan yang melaksanakan tugas. Aspek yang perlu diperhatikan dalam proses produksi antara lain : a. Bahan awal Setiap bahan awal, sebelum dinyatakan lulus untuk digunakan, hendaklah memenuhi spesifikasi bahan awal yang sudah ditetapkan dan diberi label dengan nama yang dinyatakan dalam spesifikasi. Persediaan bahan awal hendaklah diperiksa dalam selang waktu tertentu. Bahan awal yang cenderung

rusak atau turun potensinya atau aktifitasnya selama dalam penyimpanan hendaknya ditandai secara jelas, disimpan terpisah dan secepatnya dimusnahkan atau dikembalikan kepada pemasok b. Validasi proses Semua prosedur produksi hendaklah divalidasi dengan tepat. Validasi hendaklah dilaksanakan menurut prosedur yang telah ditentukan dan catatan hasilnya disimpan dengan baik. Perubahan penting dalam proses, peralatan atau bahan harus divalidasi ulang untuk menjamin bahwa perubahan tersebut tetap menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan.. c. Sistem penomoran Batch dan Lot Sistem ini diperlukan untuk memastikan bahwa produk antara, produk ruahan atau obat jadi suatu batch atau lot dapat dikenali. d. Penimbangan dan penyerahan Penimbangan, atau penghitungan dan penyerahan bahan baku, bahan pengemas, produk antara dan produk ruahan perlu didokumentasikan secara lengkap. e. Pengolahan Semua bahan dan peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan hendaklah diperiksa terlebih dahulu. Semua kegiatan pengolahan hendaklah dilaksanakan mengikuti prosedur tertulis yang telah ditentukan. Bahan yang dapat diolah ulang melalui prosedur tertentu yang disahkan serta hasilnya memenuhi persyaratan spesifikasi yang ditentukan dan tidak mempengaruhi mutu dimana semua proses pengolahan ulang hendaklah disahkan dan

didokumentasi. Pencegahan pencemaran silang dilakukam untuk setiap pengolahan. f. Produk steril Produk steril hendaknya dibuat dengan pengawasan khusus dan memperhatikan hal-hal terinci dengan tujuan untuk menghilangkan pencemaran mikroba dan partikel lain. Produk steril dapat digolongkan dalam dua kategori utama, yaitu harus diproses dengan cara aseptis pada semua tahap dan yang disterilkan dalam wadah akhir yang disebut sterilisasi akhir.untuk produksi steril harus dilakukan pada ruang terpisah yang selalu bebas debu dan dialiri udara yang melewati saringan bakteri. Tekanan udara dalam ruangan hendaklah positif dari ruangan di luarnya. g. Pengemasan Kegiatan pengemasan berfungsi membagi-bagi dan mengemas produk ruahan menjadi obat jadi. Proses pengemasan dilaksanakan dibawah pengawasan ketat untuk menjaga identitas, keutuhan dan kualitas barang yang sudah dikemas. Obat yang sudah dikemas hendaklah dikarantina sambil menunggu pelulusan dari bagian pengawasan mutu. h. Obat kembalian Obat jadi yang dikembalikan dari gudang pabrik, misal karena label atau kemasan luar kotor atau rusak dapat diberi label kembali atau diolah ulang ke batch berikutnya asalkan tidak ada resiko terhadap mutu produk. Obat jadi yang dikembalikan dari peredaran dan sudah lepas dari pengawasan pabrik pembuat dapat dipertimbangkan untuk dijual kembali, diberi label kembali

atau diolah ulang ke batch berikutnya hanya setelah dievaluasi secara kritis oleh bagian pengawasan mutu. i. Karantina obat jadi dan penyerahan ke gudang obat jadi Karantina obat jadi merupakan titik akhir pengawasan sebelum obat jadi diserahkan ke gudang dan siap didistribusikan. Setelah bagian pengawasan mutu meluluskan suatu batch atau lot, obat jadi tersebut hendaklah dipindahkan dari daerah karantina ke tempat gudang obat jadi. j. Pengawasan distribusi obat jadi Sistem distribusi hendaknya dirancang dengan tepat sehingga menjamin obat jadi yang pertama masuk didistribusikan terlebih dahulu. k. Penyimpanan bahan awal, produk antara, produk ruahan dan obat jadi Bahan disimpan rapi dan teratur untuk mencegah risiko tercampur baur atau pencemaran serta memudahkan pemeriksaan dan pemeliharaan. l. Pencemaran Pencemaran kimiawi atau mikroba terhadap suatu obat harus dihindari. Perhatian khusus diberikan pada masalah pencemaran silang, karena menunjukkan pelaksanaan pembuatan obat tidak sesuai CPOB. 2.4.7. Pengawasan Mutu Pengawasan mutu merupakan bagian yang penting dari CPOB agar tiap obat yang dibuat memenuhi persyaratan mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaannya. Pengawasan mutu meliputi semua fungsi analisa yang ada di laboratorium, termasuk pengambilan contoh, pemeriksaan dan pengujian bahan awal, produk

antara, produk ruahan, dan produk jadi. Disamping itu juga dilakukan program uji stabilitas, pemantauan lingkungan kerja, validasi, dokumentasi suatu batch, program penyimpanan contoh dan penyusunan serta sertifikasi yang berlaku dari tiap bahan dan produk termasuk metode pengujiannya. Bagian pengawasan mutu hendaknya memberikan bantuan yang diperlukan atau mengambil bagian dalam pelaksanaan validasi berkala oleh bagian lain, khususnya bagian produksi untuk menjamin bahwa tiap produk yang dihasilkan selalu memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan. 2.4.8. Inspeksi Diri Inspeksi diri bertujuan melakukan penilaian apakah seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu dalam pabrik memenuhi ketentuan CPOB. Program inspeksi diri hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara teratur. Seluruh tindakan perbaikan yang disarankan hendaklah dilaksanakan. Untuk pelaksanaan inspeksi diri ditunjuk tim inspeksi yang mampu menilai secara objektif pelaksanaan CPOB. Prosedur dan catatan mengenai inspeksi diri hendaklah didokumentasikan. Hal-hal yang diinspeksi meliputi karyawan, bangunan, penyimpanan bahan awal dan obat jadi, peralatan, produksi, pengawasan mutu, dokumentasi, perawatan gedung dan peralatan. Inspeksi diri menyeluruh dilakukan sekurangkurangnya sekali setahun.

Setelah menyelesaikan setiap inspeksi diri hendaklah dibuat laporan yang mencakup hasil inspeksi diri, penilaian dan kesimpulan serta usul tindakan perbaikan 2.4.9. Penanganan Keluhan Terhadap Obat, Penarikan Kembali Obat dan Obat Kembalian A. Keluhan dan Laporan Keluhan dan laporan dapat menyangkut kualitas, efek samping yang merugikan dan masalah medis lainnya. Keluhan dan laporan ditangani secara: 1. Hendaklah dibuat catatan tertulis mengenai semua keluhan dan laporan yang diterima. 2. Keluhan dan laporan hendaklah ditangani oleh bagian yang bersangkutan sesuai dengan jenis keluhan dan laporan yang diterima. 3. Terhadap tiap keluhan dan laporan dilakukan penelitian dan evaluasi secara seksama, termasuk meninjau seluruh informasi yang masuk tentang pemeriksaan atau pengujian terhadap contoh yang diterima. Bila perlu dilakukan pemeriksaan terhadap contoh pertinggal batch yang bersangkutan dan meneliti kembali semua data serta dokumentasi yang berkaitan. Tindak lanjut terhadap keluhan dan laporan: 1. Tindakan perbaikan yang diperlukan termasuk penarikan kembali batch obat jadi atau seluruh obat jadi yang bersangkutan dan tindak lanjut lainnya yang sesuai.

2. Hasil pelaksanaan penanganan keluhan dan laporan termasuk evaluasi penelitian dan tindak lanjut yang diambil hendaklah dicatat dan dilaporkan kepada bagian yang bersangkutan dan kepada pejabat pemerintah yang berwenang. B. Penarikan Kembali Obat Jadi Penarikan kembali obat jadi dapat berupa penarikan kembali satu atau beberapa batch atau seluruh obat jadi tertentu dari semua mata rantai distribusi. Penarikan kembali dilakukan apabila ditemukan adanya produk yang tidak memenuhi persyaratan kualitas atau atas dasar pertimbangan adanya efek samping yang tidak diperhitungkan yang merugikan kesehatan. Penarikan kembali dapat dilakukan atas prakarsa produsen sendiri atau instruksi instansi pemerintah yang berwenang. Keputusan untuk melakukan penarikan kembali obat jadi adalah tanggung jawab apoteker penanggung jawab pabrik dan pimpinan perusahaan. Penarikan kembali obat jadi dapat pula sekaligus merupakan penghentian pembuatan obat jadi yang bersangkutan. Pelaksanaan penarikan kembali obat jadi: 1. Tindakan penarikan kembali dilakukan segera setelah diketahui adanya obat jadi yang tidak memenuhi persyaratan atau mempunyai efek samping yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan membahayakan kesehatan. 2. Obat jadi yang mempunyai resiko besar terhadap kesehatan selain tindakan penarikan hendaklah segera diambil tindakan khusus agar obat yang bersangkutan dikenakan embargo untuk tidak digunakan. Dalam hal ini penarikan dilakukan sampai ke tingkat konsumen.

C. Obat Kembalian Obat kembalian adalah obat jadi yang telah beredar dan kemudian dikembalikan ke produsen karena adanya keluhan kadaluarsa, masalah keabsahan, atau sebab lain mengenai kondisi obat, wadah, atau kemasan sehingga menimbulkan keraguan akan keamanan, identitas, kualitas, dan kuantitas obat jadi yang bersangkutan. Pabrik hendaklah membuat prosedur untuk menahan, menyelidiki, dan menganalisa obat yang dikembalikan, serta menetapkan apakah obat tersebut dapat diproses kembali atau harus dimusnahkan. Obat kembalian digolongkan sebagai berikut: 1. Obat kembalian yang masih memenuhi spesifikasi dan masih dapat digunakan. 2. Obat kembalian yang masih dapat diolah ulang. 3. Obat kembalian yang tidak dapat diolah ulang. Prosedur penanganan obat kembalian dibuat dengan memperhatikan hal-hal berikut: 1. Jumlah dan identifikasi obat kembalian harus dicatat. 2. Obat kembalian yang diterima hendaklah dikarantina. 3. Terhadap obat kembalian dilakukan penelitian dan pemeriksaan oleh bagian pengawasan mutu untuk menentukan tindak lanjut. 4. Keputusan untuk melakukan pengolahan obat kembalian hendaklah dilakukan oleh pimpinan perusahaan atas dasar pertimbangan yang seksama dan proses pengolahan harus diawasi secara ketat.

Obat kembalian yang tidak dapat diolah ulang harus dimusnahkan. Hendaklah dibuat prosedur pemusnahan bahan atau produk yang ditolak untuk mencegah pencemaran lingkungan dan mencegah kemungkinan jatuhnya obat tersebut ke tangan orang yang tidak berwenang. 2.4.10. Dokumentasi Dokumentasi pembuatan obat merupakan bagian dari sistem informasi manajemen. Dokumentasi sangat penting untuk memastikan bahwa setiap petugas mendapat instruksi secara rinci dan jelas mengenai bidang tugas yang harus dilaksanakannya sehingga memperkecil resiko terjadinya salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul akibat hanya mengandalkan komunikasi lisan. Sistem dokumentasi hendaklah menggambarkan riwayat lengkap dari setiap batch suatu produk, sehingga memungkinkan penyelidikan serta penelusuran terhadap batch produk yang bersangkutan. Sistem dokumentasi digunakan pula dalam pemantauan dan pengendalian, misalnya kondisi lingkungan, perlengkapan, dan personalia. Dokumentasi meliputi spesifikasi bahan baku, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan dan obat jadi; dokumen produksi, dokumen pengawasan mutu, dokumen penyimpanan dan distribusi, dokumen pemeliharaan, pembersihan dan pemantauan kondisi ruangan dan peralatan, dokumen penanganan keluhan terhadap obat, penarikan kembali obat, obat kembalian dan pemusnahan obat, prosedur dan catatan inspeksi diri dan pedoman dan catatan pelatihan CPOB bagi karyawan.

2.4.11. Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar, disetujui dan dikendalikan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan. Kontrak tertulis antara pemberi kontrak dengan penerima kontrak harus dibuat secara jelas untuk menentukan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets produk untuk diedarkan yang menjadi tanggungjawab penuh kepala bagian manajemen mutu (pemastian mutu). 2.4.12. Validasi Validasi adalah suatu tindakan pembuktikan dengan cara yang sesuai bahwa setiap bahan, proses, prosedur, kegiatan, perlengkapan atau mekanisme yang digunakan dalam proses produksi dan pengemasan akan senantiasa mencapai hasil yang diinginkan. 2.5. Pengolahan Limbah Semua sarana termasuk daerah produksi, laboratorium, gudang dan daerah sekitar gudang sebaiknya dijaga agar senantiasa dalam keadaan bersih dan rapi. Saluran pembuangan sebaiknya berukuran layak, memiliki bak kontrol dan validasi yang cukup dan setiap saluran yang terbuka dan cukup dangkal agar mudah dibersihkan.