BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI. selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta

Bab II Teori Pendukung

BAB II LANDASAN TEORI. pada bab pembahasan. Materi-materi yang akan dibahas yaitu pemodelan

II. LANDASAN TEORI. Definisi 1 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Linear) Definisi 2 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Taklinear)

BAB II KAJIAN TEORI. digunakan pada bab pembahasan. Teori-teori ini digunakan sebagai bahan acuan

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. ekuilibrium bebas penyakit beserta analisis kestabilannya. Selanjutnya dilakukan

BAB II LANDASAN TEORI. eigen dan vektor eigen, persamaan diferensial, sistem persamaan diferensial, titik

BAB II KAJIAN TEORI. representasi pemodelan matematika disebut sebagai model matematika. Interpretasi Solusi. Bandingkan Data

BAB III MODEL KAPLAN. 3.1 Model Kaplan

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai definisi-definisi dan teorema-teorema

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan model predator-prey tipe Holling II dengan faktor pemanenan.

UNIVERSITAS INDONESIA EFEK STRATEGI VAKSINASI KONSTAN DAN VAKSINASI DENYUT PADA MODEL EPIDEMIK SIR DENGAN PENULARAN SECARA HORIZONTAL DAN VERTIKAL

II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Persamaan Diferensial Definisi 1 [Sistem Persamaan Diferensial Linear (SPDL)]

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan

BAB II LANDASAN TEORI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014

II. LANDASAN TEORI. 2. P bersifat aditif tak hingga, yaitu jika dengan. 2.1 Ruang Contoh, Kejadian dan Peluang

II LANDASAN TEORI. 2.1 Ruang Contoh, Kejadian dan Peluang. 2.2 Peubah Acak dan Fungsi Sebaran

KAJIAN MODEL EPIDEMIK SIR DETERMINISTIK DAN STOKASTIK PADA WAKTU DISKRIT. Oleh: Arisma Yuni Hardiningsih

BAB 4 SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI. Persamaan diferensial sangat penting dalam pemodelan matematika khususnya

Suatu sistem persamaan diferensial dinyatakan sebagai berikut : Misalkan suatu sistem persamaan diferensial (SPD) dinyatakan sebagai

ANALISIS STABILITAS SISTEM DINAMIK UNTUK MODEL MATEMATIKA EPIDEMIOLOGI TIPE-SIR (SUSCEPTIBLES, INFECTION, RECOVER)

MODEL EPIDEMIK SIR UNTUK PENYAKIT YANG MENULAR SECARA HORIZONTAL DAN VERTIKAL

BAB II LANDASAN TEORI

Pr { +h =1 = } lim. Suatu fungsi dikatakan h apabila lim =0. Dapat dilihat bahwa besarnya. probabilitas independen dari.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

LANDASAN TEORI. Model ini memiliki nilai kesetimbangan positif pada saat koordinat berada di titik

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem dinamik adalah sistem yang berubah dari waktu ke waktu (Farlow,et al.,

BAB I PENDAHULUAN. masalah penyebaran penyakit menular yang mewabah. Berdasarkan pasal 3

BAB I PENDAHULUAN. disebut dengan sistem dinamik kontinu dan sistem dinamik yang. menggunakan waktu diskrit disebut dengan sistem dinamik diskrit.

Oleh Nara Riatul Kasanah Dosen Pembimbing Drs. Sri Suprapti H., M.Si

BAB II KAJIAN TEORI. dinamik, sistem linear, sistem nonlinear, titik ekuilibrium, analisis kestabilan

BAB IV PENGEMBANGAN MODEL KAPLAN

ANALISIS STABILITAS PENYEBARAN VIRUS EBOLA PADA MANUSIA

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Proses Pencabangan model DTMC SIR

KAJIAN MODEL MARKOV WAKTU DISKRIT UNTUK PENYEBARAN PENYAKIT MENULAR PADA MODEL EPIDEMIK SIR. Oleh: RAFIQATUL HASANAH NRP.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

APLIKASI METODE MATRIKS GENERASI DALAM MENENTUKAN NILAI MATEMATIKA PENYEBARAN VIRUS HIV/AIDS. 10 Makassar, kode Pos 90245

ANALISIS KESTABILAN MODEL MATEMATIKA IMMUNOTERAPI BCG PADA KANKER KANDUNG KEMIH

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 3 REVIEW SIFAT-SIFAT STATISTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK

BAB 4 KEKONSISTENAN PENDUGA DARI FUNGSI SEBARAN DAN FUNGSI KEPEKATAN WAKTU TUNGGU DARI PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT

I. Sistem Persamaan Diferensial Linier Orde 1 (Review)

Created By Aristastory.Wordpress.com BAB I PENDAHULUAN. Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk

ANALISIS KESTABILAN MODEL MANGSA-PEMANGSA DENGAN MANGSA YANG TERINFEKSI DI LINGKUNGAN TERCEMAR

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI. Pada Bab Landasan Teori ini akan dibahas mengenai definisi-definisi, dan

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Kestabilan Model Matematika AIDS dengan Transmisi. atau Ibu menyusui yang positif terinfeksi HIV ke anaknya.

ANALISIS KESTABILAN MODEL MATEMATIKA MSIR PADA PENCEGAHAN PENYEBARAN PENYAKIT HEPATITIS B DENGAN PEMBERIAN VAKSINASI SKRIPSI

BIFURKASI PADA MODEL SUSCEPTIBLE INFECTED RECOVERED (SIR) DENGAN WAKTU TUNDA DAN LAJU PENULARAN BILINEAR SKRIPSI

KESTABILAN TITIK TETAP MODEL PENULARAN PENYAKIT TIDAK FATAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian dari persamaan diferensial biasa (PDB) yaitu suatu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alam, Universitas Lampung pada semester genap tahun akademik 2011/2012.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengantar Proses Stokastik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Model Matematika SIV Untuk Penyebaran Virus Tungro Pada Tanaman Padi

Kesimpulan serta Masalah yang masih Terbuka

BAB I KAJIAN TEORI. meningkatkan sistem. Teori moderen dari sistem dinamik berasal dari abad. ke-19 mengenai stabilitas dan evolusi dari tata surya.

PEMODELAN MATEMATIKA DAN ANALISIS STABILITAS DARI PENYEBARAN PENYAKIT FLU BURUNG

OLEH : IKHTISHOLIYAH DOSEN PEMBIMBING : Dr. subiono,m.sc

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penerapan Teknik Serangga Steril Dengan Model Logistik. Dalam Pemberantasan Nyamuk Aedes Aegypti. Nida Sri Utami

STATISTIK PERTEMUAN VI

Sistem Hasil Kali Persamaan Diferensial Otonomus pada Bidang

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini, akan diuraikan definisi-definisi dan teorema-teorema yang

Oleh : Dinita Rahmalia NRP Dosen Pembimbing : Drs. M. Setijo Winarko, M.Si.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (b) Variabel independen yang biasanya dinyatakan dengan simbol

ANALISIS DINAMIK MODEL EPIDEMI SIRS DENGAN MODIFIKASI TINGKAT KEJADIAN INFEKSI NONMONOTON DAN PENGOBATAN

BAB 3 REVIEW PENDUGAAN FUNGSI INTENSITAS LOKAL DAN GLOBAL DARI PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Arisma Yuni Hardiningsih. Dra. Laksmi Prita Wardhani, M.Si. Jurusan Matematika. Surabaya

Peubah Acak dan Distribusi Kontinu

CNH3E3 PROSES STOKASTIK Peubah Acak & Pendukungnya

ANALISIS KESTABILAN MODEL DINAMIK PENYEBARAN VIRUS INFLUENZA

Analisis Kestabilan Global Model Epidemik SIRS menggunakan Fungsi Lyapunov

MODEL MATEMATIKA SACR PENYEBARAN VIRUS HEPATITIS C PADA PENGGUNA NARKOBA SUNTIK SKRIPSI. memperoleh gelar Sarjana Sains

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Persamaan Air Dangkal (SWE)

BAB 2 PDB Linier Order Satu 2

BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL

PEMODELAN MATEMATIKA DAN ANALISIS KESTABILAN LOKAL PADA PERUBAHAN POPULASI PENDERITA DIABETES MELITUS

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

ANALISIS KESTABILAN MODEL MANGSA-PEMANGSA DENGAN MANGSA YANG TERINFEKSI DI LINGKUNGAN TERCEMAR

KAJIAN PERILAKU MODEL MATEMATIKA PENULARAN PENYAKIT TUBERCULOSIS

Abstrak: Makalah ini bertujuan untuk mengkaji model SIR dari penyebaran

Persamaan dan Pertidaksamaan Linear

BIFURKASI HOPF PADA SISTEM PREDATOR PREY DENGAN FUNGSI RESPON TIPE II

BAB II LANDASAN TEORI

Bab III Model Matematika Transmisi Filariasis Tanpa Pengobatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Model Matematika Penyebaran Penyakit HIV/AIDS dengan Terapi pada Populasi Terbuka

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini dibahas mengenai tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini, khususnya yang diperlukan dalam Bab 3. Teori yang dibahas adalah teori yang mendukung pembentukan dan analisis sistem dinamik pemodelan penyebaran infeksi HIV pada komunitas Injecting Drug Users (IDU). Dalam bab ini dibahas mengenai sistem persamaan diferensial, kesetimbangan dan kesetabilan sistem, basic reproduction ratio, teori peluang dan distribusi Poisson. Pecandu yang terinfeksi HIV yang belum menyadari bahwa sudah terinfeksi HIV ikut berbagi jarum suntik kepada kelompoknya, sehingga penyebaran HIV di komunitas pecandu narkoba suntik meningkat. Sekitar 56 persen laki-laki dan 36 persen perempuan pecandu narkoba suntik di Indonesia berbagi jarum suntik ketika menyuntik dan hanya 1,4 persen di antaranya merebus jarumnya sebelum digunakan kembali (Hugo, G., 2001). Model penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU digunakan untuk mengetahui laju penyebaran suatu wabah penyakit dalam suatu populasi tertutup dan bersifat endemik. Oleh karena infeksi HIV sangat berbahaya hingga tidak ada yang sembuh dari infeksi HIV, maka model memperhatikan tiga kelompok individu yaitu kelompok individu yang sehat namun rentan dan dapat terinfeksi HIV (Susceptibles) atau disimbolkan dengan S, kelompok individu yang telah terinfeksi (Infectious) atau disimbolkan dengan I dan kelompok individu yang sudah menderita penyakit AIDS akibat infeksi HIV yang terlalu lama disimbolkan dengan A (AIDS). Pembentukan pemodelan penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU sangat berkaitan erat dengan sistem persamaan diferensial. Selanjutnya, perlu dibahas mengenai kesetimbangan dan kestabilan sistem. Dalam komunitas IDU, biasanya terbentuk karakter sosial antar pecandu narkoba suntik (IDU) sehingga

memungkinkan mereka membentuk grup dalam komunitas IDU. Pembentukan grup dalam komunitas IDU berperan penting dalam kekuatan penyebaran infeksi HIV dikalangan komunitas IDU. Terdapat banyak kemungkinan dalam pembentukan grup dan mekanisme pertukaran jarum suntik dalam grup. Oleh karena itu, dalam pembahasan penelitian ini diperlukan pembahasan mengenai teori peluang yang menyangkut pembentukan grup dan mekanisme pertukaran jarum suntik (DIE) dalam komunitas IDU. Pembentukan grup dalam kmunitas IDU merupakan kejadian diskrit dengan banyak percobaan yang diasumsikan menuju tak hingga. Dengan demikian, distribusi Poisson dibahas untuk menjelaskan terjadinya pembentukan grup dan ukuran grup dalam komunitas IDU. 2.1 Sistem Persamaan Diferensial Berikut ini diberikan sistem persamaan diferensial = G(t,x), (2.1) dengan x, t, =, G: D merupakan fungsi kontinu di D. Sistem persamaan diferensial (2.1) dikatakan sistem persamaan autonomous jika variabel t dinyatakan secara implisit, sedangkan jika variabel t dinyatakan secara eksplisit maka sistem persamaan (2.1) dikatakan sistem persamaan non- autonomous. Sistem persamaan autonomous dapat ditulis dalam bentuk = G(x) (2.2) Apabila sistem (1.2) dapat ditulis dalam bentuk 1 = + + +, 2 = + + +,, (2.3) n = + +... +, dengan adalah bilangan riil maka sistem (2.2) merupakan sistem persamaan diferensial autonomous linier. Jika sistem (2.2) tidak dapat dibuat seperti bentuk linier

di (2.3), maka sistem (2.2) merupakan sistem persamaan diferensial autonomous nonlinier. Sistem persamaan diferensial dapat menunjukkan suatu dinamika (perubahan) dari suatu keadaan yang bergerak atau mengalami perubahan. Oleh karena itu, Sistem persamaan diferensial dapat direpresentasikan sebagai sistem dinamik dari suatu keadaan yang diperhatikan. 2.1.1 Sistem Persamaan Diferensial Linier Sistem persamaan diferensial linier dapat dilihat dari bentuk persamaannya. Misalkan x =, A = (2.4) Maka sistem persamaan diferensial autonomous linier dalam persamaan (2.3) dapat ditulis sebagai = Ax. (2.5) 2.1.2 Sistem Persamaan Diferensial Nonlinier Misalkan sistem persamaan diferensial nonlinier orde satu dalam bentuk = F(t,x), (2.6) dengan x, t, =, F : D merupakan fungsi yang nonlinier yang kontinu dan terdiferensialkan di D. Dalam penelitian ini variabel t dinyatakan secara implisit, sehingga sistem persamaan (2.6) dikatakan sistem persamaan diferensial autonomous nonlinier dan ditulis = F(x) (2.7)

2.2 Kesetimbangan dan Kesetabilan Sistem persamaan diferensial memiliki perilaku yang berbeda-beda di setiap titik, namun terdapat titik kesetimbangan ketika sistem dalam keadaan setimbang (konstan). Melalui titik kesetimbangan, sistem dapat lebih muda diamati perilaku kestabilannya. Definisi 2.1. (Titik Kesetimbangan) Suatu titik x* disebut titik kesetimbangan dari sistem persamaan = F(x), x jika memenuhi persamaan F(x*) = 0. Definisi 2.2. (Titik Kesetimbangan Hiperbolik) Titik x* disebut titik kesetimbangan hiperbolik dari persamaan (2.7) jika memenuhi persamaan F(x*) = 0 dan matriks = Tidak mempunyai nilai eigen yang bagian riiilnya bernilai nol. Hal yang sangat terkait dengan titik kesetimbangan adalah kestabilan dari titik tersebut. Kestabilan adalah bentuk perilaku sistem yang dilihat dari titik kesetimbangan sistem. Berikut ini definisi mengenai kestabilan titik kesetimbangan sistem. Definisi 2.3. (Kestabilan Titik Kesetimbangan) Misalkan x* adalah titik kesetimbangan dari = F(x) dan x0 adalah titik awal. 1. x* dikatakan stabil, jika untuk setiap sehingga untuk setiap x0 dengan > 0 terdapat ( ) > 0 sedemikian <, solusi F(x) yang melalui x0 di t = 0 memenuhi pertidaksamaan (t, x0) dari ẋ = > untuk setiap t 0.

2. x * dikatakan stabil asimtotik, jika x * dan terdapat r > 0, sedemikian sehingga 0 saat t untuk semua x 0 yang memenuhi < r. 3. x * dikatakan tidak stabil, jika terdapat suatu η > 0 sedemikian sehingga untuk sebarang > 0 terdapat sebuah x 0 dengan < dan > 0 sedemikian sehingga > η. Berdasarkan definisi (2.3), dapat disimpulkan bahwa sistem = F(x) dikatakan stabil pada titik kesetimbangan x * jika kondisi awal (x 0 ) berada di sekitar x * sejauh dengan adalah bilangan positif terkecil maka sifat solusi sistem ( ) berada di sekitar titik kesetimbangan. Jika kondisi awal berada sangat dekat dengan x * dan solusi cenderung mendekati titik kesetimbangan x *, maka sistem dikatakan stabil asimtotik. Selain itu, jika sifat solusi sistem menjauh dari titik kesetimabangan x * akibat perubahan kecil pada kondisi awal, maka sistem dikatakan tidak stabil. Untuk menganalisa kestabilan titik kesetimbangan disekitar titik tersebut, sistem persamaan nonlinier (2.7) harus dilinierkan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk menaksir perilaku kelinieran sistem (2.7) di sekitar titik kesetimbangan. Linierisasi Sistem Misalkan x * adalah titik kesetimbangan dari sistem persamaan (2.7) yaitu F(x) yang memiliki ekspansi deret Taylor di titik x * yang secara matemati dapat ditulis F(x) = F( ) + + O (2.8) Oleh karena x * merupakan titik kesetimbangan, maka F(x * ) = 0. Dalam melinierkan persamaan (2.7), suku pada (2.8) yang mempunyai orde lebih besar dari satu dapat diabaikan. Dengan demikian, persamaan (2.8) dapat ditulis F(x) =. (2.9) Berdasarkan persamaan (2.7) dan (2.9) diperoleh =. (2.10)

Misalkan y= dan = dengan = Persamaan (2.10) dapat ditulis ẏ = y, dengan matriks (2.11) adalah matrik Jacobian dari persamaan (2.7) di titik x*. Selanjutnya bagiaan ruas kanan persamaan (2.11) disebut bagian linier dari fungsi nonlinier F(x) di titik x*. Dengan demikian, kestabilan titik kesetimbangan dapat dilihat melalui bagian liniernya. Kestabilan titik kesetimbangan dari persamaan (2.7) dapat dianalisa dengan menggunakan nilai-nilai eigen dari matriks yang merupakan solusi atau akar-akar karakteristik dari persamaan karakteristik det ( I ) = 0. Persamaan karakteristik tersebut dapat ditulis + dengan, nilai eigen +... +,...,,,,..., + =0 adalah konstanta dan akar-akar karakteristiknya adalah. Nilai eigen tersebut dapat digunakan untuk menentukan kestabilan titik kesetimbangan lokal dari sistem persamaan (2.7) sesuai dengan teorema berikut ini. Teorema 2.1. Jika matriks..., pada sistem (2.7) adalah matriks koefisien dengan nilai eigen,,, maka titik kesetimbangan x* dari sistem (2.7), dikatakan : 1. Stabil, jika Re( ) 0, untuk i = 1, 2,..., n 2. Stabil asimtotik, jika Re( ) 0, untuk i = 1, 2,..., n

3. Tidak stabil, jika Re( ) 0, untuk i = 1, 2,..., n dengan Re( ) adalah bagian riil dari x. Teorema 2.1 dapat digunakan untuk menentukan kestabilan lokal suatu titik kesetimbangan. Titik kesetimbangan yang stabil atau stabil asimtotik hanya pada suatu daerah tertentu dalam lingkungan solusi sistem dikatakan stabil lokal atau stabil asimtotik lokal. Titik kesetimbangan dikatakan stabila global atau stabil asimtotik global jika titik kesetimbangan tersebut stabil atau stabil asimtotik pada setiap lingkungan solusi sistem. Berikut ini definisi solusi pada sistem Definisi 2.4. (Solusi Periodik) Misalkan x = Φ(t) merupakan solusi untuk persamaan = F(t,x), x D dan misalkan terdapat bilangan positif terkecil T sedemikian sehingga Φ(t + T) = Φ(t) untuk setiap t, maka Φ(t) disebut solusi periodik dari persamaan = F(t,x) dengan periodenya T. Jika a * stabil asimtotik global maka solusi di sekitar a * cenderung menuju ke a *. Namun jika terdapat solusi periodik pada sistem maka solusi yang berada di luar solusi periodik tidak cenderung menuju a * karena dibatasi oleh solusi periodik dalam sistem. Hal tersebut memberikan kesimpulan bahwa a * bersifat stabil asimtotik namun tidak secara global. Definisi 2.5. (Kestabilan Lyapunov) Misalkan x * adalah titik kesetimbangan dari sisetm = F(x) dan y adalah sebarang solusi. 1. x * (t) dikatakan stabil Lyapunov jika untuk setiap > 0 terdapat = ( ) > 0 sedemikian sehingga untuk solusi lain y(t) dengan < maka memenuhi pertidaksamaan < untuk setiap t >,. 2. x * (t) dikatakan stabil asimtotik, jika x * stabil Lyapunov dan terdapat konstanta c > 0, sedemikian sehingga < c, maka memenuhi = 0 (Wiggins, S., 1990).

Teorema 2.2. Misalkan z * adalah titik kesetimbangan untuk sistem (2.7) dan L : merupakan fungsi definit positif terdiferensialkan pada lingkungan z * dalam himpunan, sedemikian sehingga a. jika L(z * ) = 0 dan (z) > 0 dengan z z * b. (z) 0 pada, maka z * dikatakan stabil, selanjutnya c. Jika memenuhi (z) < 0 pada ; maka z * dikatakan stabil asimtotik, dengan =, jika = maka pada kasus c, z * dikatakan stabil asimtotik global. 2.3 Peluang Misalkan Ω merupakan suatu himpunan yang terdiri dari semua hasil yang mungkin terjadi pada suatu percobaan acak. Ω disebut sebagai ruang contoh (sampel). Selanjutnya untuk setiap himpunan bagian dari Ω didefinisikan suatu fungsi peluang himpunan P dan P( ) menyatakan besar peluang bahwa merupakan hasil dari suatu percobaan acak. Jika 1, 2, 3,... adalah himpunan-himpunan bagian dari Ω maka dapat didefinisikan fungsi himpunan peluang, yaitu Definisi 2.6. Jika P( ) didefinisikan sebagai himpunan bagian dari himpunan Ω dan jika memenuhi a. P( ) 0, b. P(Ω) = 1, c. P( 1 2 3 ) = P( 1 ) + P( 2 ) + P( 3 ) +, dengan himpunan i, i = 1, 2, 3,..., sedemikian sehingga tidak ada dua himpunan, i dan j yang memiliki satu anggota yang sama yakni ( i j = Ø atau i dan j merupakan dua kejadian saling lepas i j), maka P dikatakan fungsi himpunan peluang dari hasil percobaan acak (Dudewicz, J.E., Mishra, N.S. 1995).

Kejadian 0 dan E dikatakan saling lepas jika 0 E =Ø, yakni jika 0 dan E tidak dapat terjadi bersamaan. Misalkan E 0, E 2, E 3,... merupakan kejadian saling lepas dengan E i E j = Ø untuk i j. jika 0, E i dan E saling lepas maka berlaku aturan penjumlahan : 1. P( 0 E) = P( 0 ) + P(E) 2. P( ) = 2.3.1 Peluang Bersyarat Untuk sebarang kejadian dan E, peluang bersyarat diberikan E ditulis P( E), didefinisikan dengan : P( E) = ; P(E) > 0. (2.12) Berdasarkan persamaan (2.12) diperoleh P( E) = P( E) P(E). (2.13) Misalkan E 0, E 2, E 3,... merupakan kejadian saling lepas dengan E i E j = Ø untuk i j maka menurut hukum peluang total dan persamaan (2.13) maka P(E) =. (2.14) Selanjutnya kejadian A dan E dikatakan saing bebas jika P( E) = P( ) atau P(E ) = P(E), sehingga berlaku P( E) = P( ) x P(E). 2.4 Distribusi Poisson Distibusi Poisson merupakan salah satu distribusi peluang diskrit yang didasari oleh terjadinya percobaan Poisson. Percobaan Poisson adalah suatu percobaan yang menghasilkan nilai-nilai yang diskrit dari suatu variabel acak yang terjadi dalam suatu selang waktu atau suatu daerah tertentu. Berikut ini ciri-ciri percobaan Poisson 1. banyaknya hasil percobaan yang terjadi dalam suatu selang waktu atau daerah tertentu tidak bergantung pada banyaknya percobaan yang terjadi pada selang waktu atau daerah tertentu yang berbeda, 2. peluang terjadinya suatu percobaan dalam suatu selang waktu yang singkat atau daerah tertentu yang kecil sebanding dengan panjang selang waktu atau besarnya daerah tertentu tersebut, dan tidak bergantung pada percobaan yang terjadi di luar selang waktu atau di luar daerah tertentu tersebut,

3. peluang terambilnya lebih dari 1 hasil percobaan dalam suatu selang waktu yang singkat atau daerah tertentu yang kecil dapat diabaikan. (Walpole, R.E., 1995) Misalkan : N adalah banyaknya percobaan dari suatu populasi kejadian diskrit, v adalah nilai harapan banyaknya percobaan sukses, k adalah banyaknya percobaan sukses pada percobaan N dan p adalah peluang terjadinya percobaan sukses dalam suatu percobaan kejadian diskrit. Peluang terjadinya percobaan sukses sebanyak k kali dalam N percobaan berdasarkan pendekatan distribusi Binomial adalah P p (k N) =. Selanjutnya, nilai harapan banyaknya percobaan sukses adalah v = N p, sehingga diperoleh P v/n (k N) =. Untuk ukuran sampel N yang sangat besar, peluang terjadinya percobaan sukses sebanyak k kali dalam N percobaan menjadi : P v (k) = = = = 1...1 P v (k) = Misalkan X adalah variabel acak banyaknya percobaan sukses dalam suatu kejadian diskrit. Dengan demikian, terbentuklah distribusi Poisson dengan parameter v > 0 untuk variabel acak X dengan pmf (probability mass function)

P(X = k) =, untuk k = 0, 1, 2, 3,... (2.15) Oleh karena itu, rata-rata atau nilai harapan dan variansi dari variabel acak X adalah E[G = k] = = v, (2.16) = var[x = k] = v. (2.17) Distribusi Poisson merupakan salah satu distribusi untuk variabel acak yang diskrit. Distribusi Poisson dugunakan untuk peluang dari percobaan sukses yang ditentukan dan percobaan tersebut terjadi dalam suatu interval waktu atau daerah tertentu. Percobaan sukses yang diperhatikan dalam distribusi Poisson adalah kejadian yang terjadi dalam percobaan yang besar dan dilakukan berulang kali sehingga N. Selanjutnya dalam penelitian ini, kejadian pembuatan grup komunitas IDU merupakan percobaan diskrit yang mengikuti distribusi Poisson. 2.4.1 Proses Poisson Proses kejadian pembentukan grup dalam komunitas IDU, nilainya berubah-ubah secara tidak pasti dan terkait dengan waktu. Oleh karena setiap variabel yang nilainya berubah-ubah secara tidak pasti terkait dengan waktu dikatakan mengikuti proses stokastik, maka pembahasan proses stokastik diperlukan pada bab ini. Misalkan E t adalah variabel acak dari suatu proses pada wakti t T = {0, 1, 2, 3,...}. Definisi 2.7. Proses stokastik adalah koleksi dari variabel acak E t, dengan t adalah parameter bergerak pada himpunan indeks T (Taylor, H.M., S. Karlin, 1998) Dengan demikian, proses kejadian pembuatan grup pada komunitas IDU yang merupakan percobaan Poisson yang mengikuti proses stokastik dapat dikatan sebagai proses Poisson.

Definisi 2.8. (Proses Poisson) Suatu intensitas atau tingkat proses Poisson > 0 adalah sebuah nilai bilangan bulat proses stokastik {E(t); t 0} dengan 1. untuk sebarang titik waktu t 0 = 0 < t 1 < t 2 <... < t n, dengan proses increments E(t 1 ) E(t 0 ), E(t 2 ) E(t 1 ),..., E(t n ) E(t n-1 ) (2.18) meruapakan variabel acak bebas, 2. untuk s 0 dan t > 0, variabel acak E(s +t) E(s) berdistribusi Poisson sehingga P(E(s +t) E(s) = k) =, untuk k = 0, 1, 2,..., 3. E(0) = 0, (Taylor, H.M., S. Karlin, 1998). Berdasarkan definisi proses Poisson di atas dapat dibuktikan bahwa E[E(t)] = t, (2.19) var[e(t)] = t (2.20) 2.5 Basic Reproduction Ratio ( ) Dalam pemodelan epidemik penyakit, terdapat ukuran penyebaran penyakit pada populasi yang diperhatikan. Ukuran (rasio) diperhatikan untuk menganlisa model penyebaran epidemik penyakit dan selanjutnya disebut Basic Reproduction Ratio. Pada subbab ini, dijelaskan mengenai pengertian dasar dan metode penentuan Basic Reproduction Ratio yang dinotasikan dengan. Definisi 2.9. Basic Reproduction Ratio adalah rata-rata banyaknya kasus kedua (individu infectious baru) yang disebabkan satu individu yang terinfeksi (infectious) selama masa terinfeksinya dalam keseluruhan populasi susceptibles dan pengidap AIDS. Dalam penelitian ini, Basic Reproduction Ratio akan ditentukan dengan menggunakan metode operator generasi selanjutnya (the next generation operator).

Dalam metode ini, Basic Reproduction Ratio ( spektral dari operator generasi selanjutnya. ) didefinisikan sebagai radius Definisi 2.10. Misalkan Φ adalah matriks n x n dan,,..., adalah nilai eigen dari matriks Φ, maka radius spektral dari matriks Φ didefinisikan sebagai (Φ) =. Metode Operator Generasi Selanjutnya Metode operator generasi selanjutnya merupakan metode yang dilakukan dengan cara mengeompokkan populasi kedalam 3 kelompok individu yaitu kelompok individu yang tidak terinfeksi, kelompok individu terifeksi tetapi tidak menularkan, dan kelompok individu terinfeksi dan menularkan. Misalkan 1. Komponen X menyatakan kelas-kelas individu yang tidak terinfeksi penyakit yang sedang diobservasi 2. Komponen Y menyatakan kelas-kelas individu yang terinfeksi penyakit yang sedang diobservasi, tetapi tidak menularkan penykit tersebut 3. Komponen Z menyatakan kelas-kelas individu yang terinfeksi penyakit yang sedang diobservasi dan dapat menularkan penykit tersebut. Dengan demikian, model epidemik suatu penyakit dapat dituliskan dalam bentuk = f (X, Y, Z), = (X, Y, Z), (2.21) = h (X, Y, Z), dengan X, Y, dan Z ; r, s, n 0 ; dan h (X, 0, 0) = 0. Dalam metode operator generasi selanjutnya dimisalkan = (X *, 0, 0) adalah titik kesetimbangan bebas-infeksi dari sistem persamaan (2.21), yang diperoleh dari persamaan f (X *, 0, 0) = 0, (X *, 0, 0) = 0, dan h (X *, 0, 0) = 0. Selanjutnya, diasumsikan persamaan (X *, Y, Z) = 0 sehingga

diperoleh solusi Y = berukuran n x n, (X *, Z). Oleh karena itu, dapat diperoleh sebuah matriks Φ = h (X *, (X *, 0), 0). Misalkan Φ dapat dituliskan dalam bentuk Φ = J, dengan J 0, ( 0) dan 0 adalah matriks diagonal. Dengan demikian didefinisikan sebagai radius spektral dari matriks J, sehingga berdasarkan Definisi 2.10, diperoleh = (J ).