REFLEKSI DAN AKSIOMA CERMIN PADA BIDANG POINCARÉ

dokumen-dokumen yang mirip
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

LOGO JARAK DUA TITIK

BAB II KAJIAN PUSTAKA

1 P E N D A H U L U A N

ISOMETRI TERHADAP GEOMETRI INSIDENSI TERURUT

Relasi, Fungsi, dan Transformasi

BAB III PEMBAHASAN. Pada bab pembahasan ini akan dibahas mengenai Geometri Hiperbolik yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebuah geometri selain aksioma diperlukan juga unsur-unsur tak terdefinisi. Untuk. 2. Himpunan titik-titik yang dinamakan garis.

II. LANDASAN TEORI. Dalam bab ini akan didiskusikan unsur tak terdefinisi, aksioma-aksioma, istilahistilah,

Geometri di Bidang Euclid

ISOMETRI & HASIL KALI TRANSFORMASI

Geometri Insidensi. Modul 1 PENDAHULUAN

Oleh : Sutopo, S.Pd., M.Pd. Prodi P Mat-Jurusan PMIPA FKIP UNS

Bab II TINJAUAN PUSTAKA. Aksioma-aksioma yang membentuk geometri Affin disebut dengan aksioma playfair

GEOMETRI TRANSFORMASI SETENGAH PUTARAN

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya adalah bidang geometri. Geometri berasal dari bahasa Yunani yaitu

1 Mengapa Perlu Belajar Geometri Daftar Pustaka... 1

TUGAS MATA KULIAH GEOMETRI TRANSFORMASI

A. Jumlah Sudut dalam Segitiga. Teorema 1 Jumlah dua sudut dalam segitiga kurang dari Bukti:

TRANSFORMASI. Dosen Pengampu Mata Kuliah. HERDIAN, S.Pd., M.Pd. Disusun Oleh : Kelompok 1. Hayatun Nupus Rina Ariyani

TRANSLASI BANGUN RUANG BERSISI DATAR PADA RUANG BERDIMENSI TIGA

Hand-Out Geometri Transformasi. Bab I. Pendahuluan

D. GEOMETRI 2. URAIAN MATERI

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga SIFAT JARAK PADA RUANG METRIK SKRIPSI SITI MAISYAROH

MAKALAH. GEOMETRI BIDANG Oleh Asmadi STKIP Muhammadiyah Pagaralam

Sistem Koordinat Kartesian Tegak Lurus dan Persamaan Garis Lurus

MENUNJUKKAN SIFAT SIFAT AFFINITAS PERSPEKTIF DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM CABRI. Oleh Sugiyono Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Matematika Semester IV

MENUNJUKKAN SIFAT SIFAT AFFINITAS PERSPEKTIF DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM CABRI

II. TINJAUAN PUSTAKA

GEOMETRI EUCLID DAN GEOMETRI HIPERBOLIK

UKURAN RUAS-RUAS GARIS PADA SEGITIGA SKRIPSI

TUGAS GEOMETRI TRANSFORMASI. Tentang. Isometri dan Sifat-sifat Isometri. Oleh : EVI MEGA PUTRI : I. Dosen Pembimbing :

SOAL 1. Diketahui bangun persegi panjang berukuran 4 6 dengan beberapa ruas garis, seperti pada gambar.

TEOREMA PYTHAGORAS PADA BIDANG TAXICAB

REFLEKSI TERHADAP LINGKARAN SKRIPSI

Bab 2. Teori Dasar. 2.1 Erlanger Program Kongruen

IKIP BUDI UTOMO MALANG GEOMETRI HAND OUT 2

GEOMETRI AFFINE A. PENDAHULUAN

GEOMETRI Geometri Dasar Oleh: WIDOWATI Jurusan Matematika FMIPA UNDIP

MATEMATIKA. Sesi VEKTOR A. DEFINISI VEKTOR. a. Unsur-Unsur Vektor. b. Notasi Vektor

France title. Handy of transformation of Geometry. Tangkas Geometri Transformasi

TRANSFORMASI. 1) T(A) = A 2) Apabila P A, maka T(P) = Q dengan Q titik tengah garis. Selidiki apakah

KONGRUENSI PADA SEGITIGA

BAB V GEOMETRI DAN TRANSFORMASI

PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN MATEMATIKA

GENERALISASI TEOREMA MENELAUS DAN TEOREMA CEVA PADA POLIGON DI BIDANG EUCLID

KEGIATAN BELAJAR SISWA

1. Titik, Garis dan Bidang Dalam Ruang. a. Defenisi. Titik ditentukan oleh letaknya dan tidak mempunyai ukuran sehingga dikatakan berdimensi nol

TRANSFORMASI. Bab. Di unduh dari : Bukupaket.com. Translasi Refleksi Rotasi Dilatasi A. KOMPETENSI DASAR DAN PENGALAMAN BELAJAR

KONSISTENSI PADA GEOMETRI EUCLID DAN GEOMETRI HIPERBOLIK

Jurnal Silogisme: Kajian Ilmu Matematika dan Pembelajarannya Desember 2016, Vol. 1, No.2. ISSN:

Modul ini adalah modul ke-7 dalam mata kuliah Matematika. Isi modul ini

MBS - DTA. Sucipto UNTUK KALANGAN SENDIRI. SMK Muhammadiyah 3 Singosari

SIFAT-SIFAT KETEGAKLURUSAN, KESEJAJARAN, DAN SEGITIGA ASIMPTOTIK PADA GEOMETRI HIPERBOLIK SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Geometri berasal dari kata Latin Geometria. Kata geo memiliki arti

Tentang. Isometri dan Refleksi

Geometri Bangun Datar. Suprih Widodo, S.Si., M.T.

MAKALAH GEOMETRI TRANSFORMASI TRANSFORMASI

Bilangan Real. Modul 1 PENDAHULUAN

GEOMETRI EUCLID D I S U S U N OLEH :

A. Titik, Garis, dan Bidang dalam Ruang. Definisi 1 (Space) Ruang (space) adalah himpunan semua titik.

RUAS GARIS BERARAH. Andaikan sekarang ada 2 ruas garis berarah AB dan CD. Dalam

BAB 3 PENALARAN DALAM GEOMETRI

FUNGSI. Riri Irawati, M.Kom 3 sks

SIFAT-SIFAT KETEGAKLURUSAN, KESEJAJARAN, DAN SEGITIGA ASIMPTOTIK PADA GEOMETRI HIPERBOLIK

2. Tentukan persamaan garis yang melalui titik P (x 1,y 1,z 1 ) dan R (x 2,y 2,z 2 ) seperti yang ditunjukkan pada gambar. Z P Q R

GEOMETRI ANALITIK PERTEMUAN2: GARIS LURUS PADA BIDANG KOORDINAT. sofyan mahfudy-iain Mataram 1

SILABUS. Mengenal matriks persegi. Melakukan operasi aljabar atas dua matriks. Mengenal invers matriks persegi.

MAKALAH. GEOMETRI TRANSFORMASI Tentang PENGGOLONGAN, LAMBANG DAN AKSIOMA GEOMETRI

Soal-soal dan Pembahasan UN Matematika SMP/MTs Tahun Pelajaran 2005/2006

TRANSFORMASI DAN PENCERMINAN

BAB 21 TRANSFORMASI GEOMETRI 1. TRANSLASI ( PERGESERAN) Contoh : Latihan 1.

FUNGSI. A. Relasi dan Fungsi Contoh: Manakah yang merupakan fungsi/pemetaan dan manakah yang bukan fungsi? (i) (ii) (iii)

BAB 3 PENGENALAN GEOMETRI TERURUT

Kajian Matematika SMP Palupi Sri Wijiyanti, M.Pd Semester/Kelas : 3A3 Tanggal Pengumpulan : 14 Desember 2015

Peta Konsep. Standar Kompetensi. Kompetensi Dasar. Memahami bentuk aljabar, relasi, fungsi. persamaan garis lurus

GESERAN atau TRANSLASI

GEOMETRI TRANSFORMASI MATERI

Vektor di Bidang dan di Ruang

VEKTOR. 45 O x PENDAHULUAN PETA KONSEP. Vektor di R 2. Vektor di R 3. Perkalian Skalar Dua Vektor. Proyeksi Ortogonal suatu Vektor pada Vektor Lain

SISTEM KOORDINAT. Berikut ini kita akan mempelajari bagaimana menentukan sistem koordinat dibidang dan diruang.

Lingkaran adalah tempat kedudukan titik-titik pada bidang yang berjarak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

MATEMATIKA DASAR TAHUN 1987

OLEH : PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU SEKOLAH TINNGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

DALIL PYTHAGORAS DAN PEMECAHAN MASALAH GEOMETRI

A. Pengantar B. Tujuan Pembelajaran Umum C. Tujuan Pembelajaran Khusus

Soal-soal dan Pembahasan UN Matematika SMP/MTs Tahun Pelajaran 2004/2005

Fungsi Linear dan Fungsi Kuadrat

MODUL 1 SISTEM KOORDINAT KARTESIUS

SEGIEMPAT SACCHERI. (Jurnal 7) Memen Permata Azmi Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia. 4 2 l2

METODA PEMBUKTIAN DALAM MATEMATIKA

BAB 7 GEOMETRI NETRAL

Bagian 2 Matriks dan Determinan

1. Sebuah kawat yang panjangnya 10 meter akan dibuat bangun yang berbentuk 3 persegi panjang kongruen seperti pada gambar di bawah.

TEOREMA BURNSIDE DAN POLYA UNTUK MENENTUKAN POLA PEWARNAAN GRUP PERMUTASI

Hubungan Kekongruenan Dalam Geometri Terhingga

LINGKARAN. Lingkaran. pusat lingkaran diskriminan posisi titik posisi garis garis kutub gradien. sejajar tegak lurus persamaan lingkaran

Transkripsi:

REFLEKSI DAN AKSIOMA CERMIN PADA BIDANG POINCARÉ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika Oleh : Chintia Rudiyanto NIM : 091414042 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2013 i

PERSEMBAHAN Skripsi ini ku persembahkan untuk semua pihak yang telah membantu selama proses belajar ku di Universitas Sanata Dharma... iv

ABSTRAK Chintia Rudiyanto, 2013. Refleksi dan Aksioma Cermin Pada Bidang Poincare. Skripsi. Program Studi Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Penelitian ini membahas mengenai refleksi dan aksioma cermin pada bidang Poincare. Selama ini konsep geometri yang banyak dipelajari adalah seputar geometri Euclid. Padahal, ada berbagai macam sistem geometri yang lain misalnya geometri Hiperbolik. Bidang Poincare merupakan bidang yang digunakan dalam geometri Hiperbolik. Setelah membaca penelitian ini, diharapkan pembaca akan memperoeh wawasan mengenai refleksi dan aksioma cermin pada bidang Poincare. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka. Buku acuan yang digunakan adalah Geometry : A Metric Approach with Models karangan Millman dan Parker. Refleksi dan aksioma cermin ditulis lengkap dengan definisidefinisi, dan teorema-teoremanya. Selain itu, ditambah juga dengan pembuktianpembuktian dari teorema serta penjelasan dan contoh-contohnya. Hasil dari penelitian ini adalah : (i) Refleksi merupakan suatu fungsi yang bersifat isometri. (ii) Aksioma cermin adalah konsep mengenai sebuah cermin dalam garis l dalam geometri protraktor. (iii) Konsep cermin dalam l adalah sebuah isometri yang bersifat kolineasi dan mempertahankan sudut. Kata kunci : Refleksi, Aksioma Cermin, Bidang Poincare, Pendekatan Metrik. vii

ABSTRACT Chintia Rudiyanto, 2013. Reflections and Mirror Axiom in Poincaré Plane. Thesis. Mathematics Education Study Program, Mathematics and Science Education Department, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University, Yogyakarta. This research will be talking about reflections and mirror axiom in Poincare plane. During this time the most studious concept of geometry is about Euclidean geometry. In fact, there are a variety of other geometry such as hyperbolic geometry. Poincare plane is a plane that is used in the hyperbolic geometry. After reading this research, the reader will get a new knowledge about reflection and mirror axiom in Poincare plane. This research use study methods with Geometry: A Metric Approach with Models of Millman & Parker as a mother book. Reflections and mirror axiom written by added the proof of lemmas and theorems with an explanation and an example. The results of this research are: (i) Reflection is an isometric function. (ii) Mirror axiom is a concept about a mirror in a line in protractor geometry. (iii) The concept of a mirror in a line is an isometry that preserves line and angle measure. Keywords: Reflection, Mirror axiom, Poincare Plane, Metric Approach. viii

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, yang telah senantiasa melimpahkan rahmat Nya sehingga skripsi dengan judul Refleksi dan Aksioma Cermin pada Bidang Poincare ini dapat penulis selesaikan. Segala macam hambatan dan rintangan telah banyak penulis alami selama menyelesaikan skripsi ini. Akan tetapi semua itu telah penulis lalui dengan adanya dukungan dari banyak pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis dengan sepenuh hati ingin mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak, diantaranya: 1. Bapak Dominikus Arif Budi Prasetyo, S.Si., M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik dan dosen pembimbing skripsi, yang dengan sabar memberikan bimbingan akademik dan dorongan selama penulis melaksanakan studi dan proses penyusunan skripsi. 2. Bapak Dr. M. Andy Rudhito selaku kaprodi pendidikan matematika, Universitas Sanata Dharma. 3. Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma. 4. Ibu Enny Murwaningtyas dan Bapak Sugiarto yang telah menjadi dosen penguji skripsi, terimakasih atas saran dan bimbingannya selama ini. 5. Semua dosen Pendidikan Matematika yang telah memberikan ilmu selama penulis kuliah di Universitas Sanata Dharma. 6. Semua staf sekretariat JPMIPA yang telah membantu memberikan pelayanan kesekretariatan selama ini. ix

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... vi ABSTRAK... vii ABSTRACT... viii KATA PENGANTAR... ix DAFTAR ISI... xi DAFTAR SIMBOL... xiii DAFTAR GAMBAR... xv BAB I : PENDAHULUAN Latar Belakang... 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 3 1.3 Batasan Masalah... 3 1.4 Tujuan Penulisan... 3 1.5 Manfaat Penulisan... 3 1.6 Metode Penulisan... 4 xi

1.7 Sistematika Penulisan... 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Bidang Kartesius dan Bidang Poincare... 6 2.2 Geometri Abstrak dan Geometri Indiensi... 11 2.3 Geometri Metrik... 15 2.4 Keantaraan... 20 2.5 Segmen, Sinar Garis, Sudut, Segitiga... 28 2.6 Aksioma Pembagian Bidang... 34 2.7 Geometri Pash... 37 2.8 Geometri Protraktor... 42 2.9 Geometri Netral... 49 2.10 Kolineasi dan Isometri... 53 2.11 Refleksi pada bidang Euclid... 59 BAB III REFLEKSI DAN AKSIOMA CERMIN 3.1 Refleksi... 63 3.2 Aksioma Cermin... 97 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan... 104 4.2 Saran... 106 DAFTAR PUSTAKA xii

DAFTAR SIMBOL P, Q, R : titik-titik l S L M A L a L m,b L E ℇ al cl r L H H PQ PQ PQ d E d H : garis : Himpunan titik-titik : Himpunan garis-garis : Geometri Metrik : Geometri Abstrak : Garis tipe I pada bidang kartesius : Garis tipe II pada bidang kartesius : Garis-garis pada bidang Euclid : Bidang Kartesius /bidang Euclid : Garis tipe I pada bidang Poincare : Garis tipe II pada bidang Poincare : Garis-garis pada bidang Poincare : Bidang Poincare : Garis PQ : Segmen garis PQ : Sinar garis PQ : Jarak dalam bidang Euclides : Jarak dalam bidang Poincare d P, Q : Jarak antara titik P dan Q xiii

A-B-C : Keantaraan (Titik B diantara titik A dan titik C) ABC : Sudut ABC ABC : Segitiga ABC m ABD : Ukuran sudut ABC int : Sejajar : Tegak lurus : Himpunan kosong : Himpunan bagian : Irisan : Gabungan : Elemen / Anggota : Kongruen : Interior : Akhir definisi : Akhir pembuktian : Akhir contoh xiv

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Garis vertikal pada bidang Kartesius 8 Gambar 2.2 Garis tidak vertikal pada bidang Kartesius 8 Gambar 2.3 Garis x = 1 pada bidang Kartesius 9 Gambar 2.4 Garis y = x + 3 pada bidang Kartesius 9 Gambar 2.5 Garis tipe I pada bidang Poincare 10 Gambar 2.6 Garis tipe II pada bidang Poincare 10 Gambar 2.7 Garis x = 1 pada bidang Poincare 11 Gambar 2.8 Garis x 1 2 + y 2 = 4 pada bidang Poincare 11 Gambar 2.9 A-B-C 24 Gambar 2.10 C-B-A 24 Gambar 2.11 Segmen garis AB dalam bidang Euclid 29 Gambar 2.12 Segmen garis AB dalam bidang Poincare 29 Gambar 2.13 Sinar garis dalam bidang Euclid 31 Gambar 2.14 Sinar garis dalam bidang Poincare 31 Gambar 2.15 Sudut dalam bidang Euclid 32 Gambar 2.16 Sudut dalam bidang Poincare 32 Gambar 2.17 Segitiga dalam bidang Euclid 34 Gambar 2.18 Segitiga dalam bidang Poincare 34 Gambar 2.19 Aksioma Pembagian Bidang dalam bidang Euclid 35 Gambar 2.20 Aksioma Pembagian Bidang dalam bidang Poincare 35 xv

Gambar 2.21 Sisi yang saling berlawanan dalam APB 36 Gambar 2.22 Sisi yang sama dalam APB 36 Gambar 2.23 Ilustrasi Postulat Pash 37 Gambar 2.24 Interior ABC 40 Gambar 2.25 Ilustrasi Teorema Crossbar 41 Gambar 2.26 Ilustrasi Definisi 2.8.1 43 Gambar 2.27 Ilustrasi Definisi 2.8.1 43 Gambar 2.28 Ilustrasi sudut dalam bidang Poincare 46 Gambar 2.29 Ilustrasi Teorema 2.8.1 47 Gambar 2.30 Ilustrasi Teorema 2.8.2 dan Teorema 2.8.3 48 Gambar 2.31 ABC DEF 50 Gambar 2.32 ABC DEF 50 Gambar 2.33 ABC DEF 51 Gambar 2.34 ABC DEF 52 Gambar 2.35 Ilustrasi Lemma 2.10.3 57 Gambar 2.36 Ilustrasi Lemma 2.10.4 58 Gambar 2.37 Refleksi pada bidang Euclid 59 Gambar 3.1 Refleksi pada bidang Poincare 68 Gambar 3.2 Refleksi terhadap garis x = a 68 Gambar 3.3 Refleksi terhadap garis x = 2 76 Gambar 3.4 Refleksi titik A(2,1) 77 Gambar 3.5 Refleksi titik B(1,1) 79 Gambar 3.6 Refleksi titik C(10,5) 80 xvi

Gambar 3.7 Refleksi titik D(1,10) 81 Gambar 3.8 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.3 84 Gambar 3.9 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.3 85 Gambar 3.10 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.3 85 Gambar 3.11 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.3 86 Gambar 3.12 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.3 87 Gambar 3.13 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.3 87 Gambar 3.14 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.4 90 Gambar 3.15 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.4 91 Gambar 3.16 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.5 93 Gambar 3.17 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.2.1 101 xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kata Geometri berasal dari bahasa Yunani geometrein (geo = bumi, dan metrein = mengukur), yang berarti ilmu pengukuran bumi. Pada mulanya, Geometri adalah ilmu yang digunakan untuk mengukur lahan pertanian. Sejarahwan Yunani, Herodotus (5 tahun sebelum Masehi), mengatakan orang-orang Mesir lah yang pertama kali menggunakan subjek Geometri, tetapi negara-negara kuno lain (Babylonia, India, Cina) juga mempunyai beberapa informasi Geometri. (Marvin Jay Greenberg, 1980) Selama lebih dari 2000 tahun, Geometri identik dengan Geometri yang berasal dari buku Elements. Buku ini ditulis oleh Euclides sekitar tahun 300 sebelum Masehi. Sampai abad ke 20, buku ini masih digunakan sebagai pedoman dalam pembelajaran Geometri di sekolah-sekolah. Geometri Euclides, seperti dikenal sekarang, dianggap sebagai dasar/fondasi dari semua ilmu pasti. Namun saat ini, berbagai jenis Geometri yang lain mulai berkembang. Geometri Non Euclides ditemukan pada awal abad ke- 19. Geometri Non Euclides berkembang sebagai bentuk penyimpangan dari Geometri Euclides. Hal ini disebabkan karena ada beberapa hal yang saling 1

2 bertentangan antara Geometri Euclides dan Geometri Hiperbolik yaitu pada aksioma kesejajaran. Selain hal itu, bidang yang digunakan dalam kedua jenis geometri ini pun berbeda. Geometri Euclides menggunakan bidang Kartesius atau disebut juga bidang Euclid, sedangkan Geometri Hiperbolik menggunakan bidang Poincare. (John Stillwell, 2005) Dalam pembicaraan mengenai geometri, baik geometri Euclides ataupun geometri Hiperbolik, terdapat topik geometri transformasi. Menurut Susanta (1990), istilah geometri transformasi dapat ditafsirkan sebagai geometri yang membahas transformasi, tetapi dapat juga ditafsirkan sebagai geometri yang dilandasi oleh transformasi. Transformasi sendiri merupakan sebuah fungsi yang bersifat bijektif dalam himpunan titik-titik. Dalam geometri Euclides, dikenal ada beberapa macam transformasi yaitu, refleksi atau pencerminan, rotasi atau putaran, translasi atau geseran, dan dilatasi. Sedangkan dalam geometri Hiperbolik, baru dikembangkan mengenai transformasi berupa refleksi atau pencerminan. Topik transformasi yang dapat dibandingkan untuk geometri Euclides dan geometri non Euclides adalah transformasi berupa refleksi. Selama ini geometri yang telah dipelajari oleh penulis merupakan bagian dari Geometri Euclides. Penelitian mengenai Geometri Hiperbolik di Universitas Sanata Dharma pun masih sangat sedikit. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti mengenai Geometri Hiperbolik ini melalui skripsi yang berjudul REFLEKSI DAN AKSIOMA CERMIN PADA BIDANG POINCARE

3 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu : 1. Apakah yang dimaksud dengan refleksi dan aksioma cermin? 2. Bagaimanakah sifat-sifat refleksi dan aksioma cermin pada bidang Poincare? 1.3. Batasan Masalah Pembahasan mengenai Refleksi dan Aksioma Cermin ini dibatasi pada: 1. Bidang yang digunakan adalah bidang Poincare. 2. Sistem geometri yang digunakan untuk membahas refleksi dan aksioma cermin ini adalah Geometri Netral dan Geometri Protraktor. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penulisan penelitian ini yaitu : 1. Untuk mengetahui mengenai refleksi dan aksioma cermin pada bidang Poincare. 2. Untuk mengetahui sifat-sifat refleksi dan aksioma cermin pada bidang Poincare. 1.5. Manfaat penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

4 1. Bagi Pembaca Pembaca dapat menambah pengetahuan mengenai refleksi dan aksioma cermin pada bidang Euclid dan Poincare. 2. Bagi Penulis Penulis dapat menambah pengetahuan mengenai refleksi dan aksioma cermin pada bidang Euclid dan Poincare. 3. Bagi Universitas Universitas dapat menambah koleksi skripsi dalam bidang Geometri. 1.6. Metode Penelitian Metode yang akan digunakan peneliti dalam menyusun skripsi ini adalah metode studi pustaka, yaitu dengan membaca referensi-referensi yang berkaitan dengan refleksi dan aksioma cermin pada bidang Euclid dan Poincare. Pembahasan dalam tulisan ini sebagian besar diambil dari buku Geometry : A Metric Approach with Models, karangan Richard Millman dan Parker (1991) dan ditambah berbagai referensi yang lain. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : 1. Membaca berbagai refrensi yang diperlukan, khusunya mengenai bidang Poincare, konsep refleksi dan aksioma cermin, serta berbagai teori-teori yang digunakan untuk membahas materi-materi itu. 2. Menyajikan kembali definisi-definisi pada bab refleksi dan aksioma cermin. 3. Melengkapi bukti-bukti dari teorema-teorema pada bab refleksi dan aksioma cermin.

5 4. Memberikan penjelasan yang diperlukan dan contoh-contoh dari definisi-definisi yang digunakan. 5. Memberikan penjelasan tambahan, dan contoh-contoh dari teoremateorema yang digunakan. 6. Menyusun seluruh materi-materi yang digunakan secara runtut agar memudahkan pembaca dalam memahami. 1.7 Sistematika Penulisan Bab pertama berupa pendahuluan. Pendahuluan ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat serta metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab dua berisi tentang gambaran umum mengenai berbagai macam sistem-sistem geometri yang ada. Teori-teori yang digunakan dalam mendefinisikan berbagai sistem geometri yang ada, segitiga, sudut, sinar garis, konsep kolineasi dan isometri, konsep refleksi dalam bidang Euclid. serta definisi-definisi yang digunakan untuk membuktikan teorema yang dibahas di bab ketiga. Bab tiga membahas tentang refleksi dan aksioma cermin. Diberikan juga bukti-bukti teorema serta contoh-contoh yang terkait dengan refleksi dan aksioma cermin. Bab keempat atau bab terakhir berisi tentang kesimpulan dari pembahasan pada bab tiga serta saran yang diberikan penulis kepada pembaca yang ingin melanjutkan penelitian ini.

BAB II LANDASAN TEORI Unsur paling dasar dalam geometri adalah titik. Bermula dari konsep titik, kemudian membentuk berbagai macam konsep-konsep yang lain seperti garis, segitiga, sudut dan lain-lain. Dalam geometri, semua unsur-unsur tersebut memiliki kekhasannya masing-masing dan tergantung dari bidang yang digunakan. Berikut akan dibahas mengenai dua jenis bidang yang banyak digunakan dalam geometri, yaitu bidang Kartesius atau sering disebut sebagai bidang Euclid, dan bidang Poincare. 2.1 Bidang Kartesius dan Bidang Poincare Menurut Eisenhart (1960), Bidang Kartesius, umumnya didefinisikan dengan dua garis yang saling tegak lurus satu sama lain dan disebut sebagai sumbu x dan sumbu y. Sumbu horizontal diberi label x, dan sumbu vertikal diberi label y. Perpotongan antara kedua sumbu tersebut adalah titik O, dan disebut sebagai titik asal. Setiap sumbu juga mempunyai besaran panjang unit, dan setiap panjang tersebut diberi tanda positif (+) atau negatif (-). Untuk mendeskripsikan suatu titik A tertentu dalam sistem koordinat Kartesius, kita tuliskan A adalah titik (x, y). 6

7 x adalah jarak dari titik A ke sumbu y, sedangkan y adalah jarak dari titik A ke sumbu x. Selanjutnya, x disebut sebagai absis dari titik A, dan y disebut sebagai ordinat dari titik A. Anggap S = R 2 = x, y x, y R merupakan titik-titik dalam bidang Kartesius. Kita mendefinisikan himpunan garis sebagai berikut : Definisi 2.1.1 (Millman & Parker, 1991:18) (i) Sebuah garis vertikal adalah himpunan bagian dari R 2 yang berbentuk L a = x, y R 2 x = a dengan a adalah bilangan real tertentu. (ii) Garis tidak vertikal adalah himpunan bagian dari R 2 yang berbentuk L m,b = x, y R 2 y = mx + b dengan m dan b bilangan real tertentu. Misalkan L E adalah kumpulan garis-garis tersebut, baik yang vertikal maupun yang tidak vertikal. Definisi 2.1.2 (Millman & Parker, 1991:18) Model ℇ = R 2, L E dinamakan bidang Kartesius. (Notasi L a dan L m,b akan digunakan untuk menyebut garis-garis dalam ℇ.) Berikut ini adalah ilustrasi garis-garis dalam bidang Kartesius

8 x = a b y = mx +b a L m,b L a Gambar 2.1 Garis Vertikal pada bidang Kartesius Gambar 2.2 Garis Tidak Vertikal pada bidang Kartesius Gambar 2.1 mengilustrasikan model garis vertikal dalam bidang Kartesius. Sedangkan Gambar 2.2 mengilustrasikan model garis yang tidak vertikal dalam bidang Kartesius. Untuk lebih memahami tentang garis-garis pada bidang Kartesius, perhatikan contoh berikut : Contoh 2.1.1 : Misal titik A 1,2, B 1, 5, dan C(3,0) merupakan titik-titik pada bidang Kartesius. Garis yang melalui titik A dan titik B berupa garis vertikal, sehingga persamaan garis nya adalah x = 1. Garis ini ditunjukkan oleh Gambar 2.3. Garis yang melalui titik A dan titik C berupa garis yang tidak vertikal. Untuk mengetahui persamaan garisnya, kita harus mencari nilai m dan b. m = y 2 y 1 x 2 x 1 = 2 0 1 3 = 1 b = y mx = 2 1 1 = 3

9 sehingga persamaan garis nya adalah y = x + 3. Garis ini ditunjukkan oleh Gambar 2.4. A 1,2 2 y = x + 3 A 1,2 x = 1 C(3,0) -5 B 1, 5 Gambar 2.3 Garis x = 1 pada bidang Kartesius Gambar 2.4 Garis y = x + 3 pada bidang Kartesius Setelah membahas bidang Kartesius atau bidang Euclid, sekarang kita akan membahas mengenai bidang Poincare. Bidang Poincare sangat mirip dengan bidang Kartesius, hanya saja dalam bidang Poincare, tidak ada sumbu x dan sumbu y negatif. Bidang Poincare hanya terdiri dari setengah bagian bidang Kartesius, yaitu sisi yang berada di atas sumbu x. Anggap S = H = x, y R 2 y > 0 merupakan garis-garis dalam bidang Poincare. Seperti kasus dalam bidang Kartesius kita akan mendeskripsikan dua tipe garis dalam bidang Poincare sebagai berikut : Definisi 2.1.3 (Millman & Parker, 1991:19) (i) Garis tipe I adalah himpunan bagian H yang berbentuk al = x, y H x = a, dengan a adalah bilangan real tertentu (ii) Garis tipe II adalah himpunan bagian H yang berbentuk cl r = x, y H x c 2 + y 2 = r 2 dengan c, r R dan r > 0.

10 Misalkan gabungan dari himpunan garis tipe I dan II adalah L H. Definisi 2.1.4 (Milman & Parker, 1991:20) Model H = H, L H dinamakan bidang Poincare. (Notasi a L dan c L r akan digunakan untuk menyebut garis-garis dalam H.) Berikut ini adalah ilustrasi garis-garis dalam bidang Poincare : al cl r r a Gambar 2.5 Garis tipe I pada bidang Poincare Gambar 2.6 Garis tipe II pada bidang Poincare Untuk lebih memahami tentang garis-garis pada bidang Poincare, perhatikan contoh berikut : Contoh 2.1.2 : Misal titik A 1,2, B 1,5, dan C(3,1) merupakan titik-titik pada bidang Poincare. Garis yang melalui titik A dan titik B berupa garis tipe 1, sehingga persamaan garis nya adalah x = 1. Garis ini ditunjukkan oleh Gambar 2.7. Garis yang melalui titik A dan titik C berupa garis tipe 2. Untuk mencari persamaan garisnya kita perlu mencari koordinat c dan nilai r nya. c = y 2 2 y 1 2 +x 2 2 x 1 2 2(x 2 x 1 ) = 22 1 2 +1 2 3 2 2(1 3) = 5 4 = 5 4

11 r = (x 1 c) 2 + y 2 1 = (1 5 4 )2 + 2 2 = 1 + 4 = 65 = 65 16 64 8 sehingga persamaan garisnya adalah x 5 4 2 + y 2 = 65. Garis ini 64 ditunjukkan oleh Gambar 2.8. x = 1 B 1,5 A 1,2 x 5 4 2 + y 2 = 65 64 A 1,2 C 3,1 Gambar 2.7 Garis x = 1 pada bidang Poincare Gambar 2.8 Garis x 5 4 pada bidang Poincare 2 + y 2 = 65 64 2.2 Geometri Abstrak dan Geometri Insidensi Dalam geometri, dikenal adanya berbagai macam sistem geometri. Sistem geometri yang paling sederhana adalah Geometri Abstrak. Geometri abstrak merupakan suatu sistem geometri yang hanya terdiri dari titik dan garis. Definisi 2.2.1 (Millman & Parker, 1991:17) Sebuah geometri abstrak A terdiri dari himpunan S yang unsur-unsurnya disebut titik dan himpunan L yang unsur-unsurnya himpunan bagian yang tidak kosong dari S yang disebut garis, sehingga berlaku :

12 (i) Untuk setiap dua titik A, B S terdapat sebuah garis l L dengan A l dan B l. (ii) Setiap garis mempunyai paling sedikit dua titik. Jika A = { S, L } adalah sebuah geometri abstrak dengan P S, l L, dan P l, kita katakan bahwa P terletak pada garis l. Aksioma pertama dari Geometri Abstrak mengatakan bahwa setiap satu pasang titik pasti terletak pada sebuah garis yang sama. Perlu kita ingat pula bahwa garis tidak berarti yang dimaksud adalah garis lurus. Contoh 2.2.1 : ℇ = R 2, L E adalah sebuah geometri abstrak. Bidang Euclid termasuk dalam geometri abstrak karena dalam bidang Euclid, terdapat titik-titik dan juga garis-garis seperti yang sudah dibahas pada Definisi 2.1.1. Contoh 2.2.2: H = H, L H adalah sebuah geometri abstrak. Bidang Poincare juga termasuk dalam geometri abstrak karena dalam bidang Poincare juga terdapat titik-titik dan garis-garis seperti yang sudah dibahas pada Definisi 2.1.3 Definisi 2.2.2 (Millman & Parker, 1991:22) Sebuah geometri abstrak { S, L } dikatakan geometri insidensi jika: 1. Setiap dua titik yang berbeda dalam S terletak pada sebuah garis yang sama.

13 2. Terdapat tiga titik A, B, C S yang tidak semuanya berada pada garis yang sama. Jika { S, L } merupakan geometri insidensi dan P, Q S maka sebuah garis l yang melalui titik P dan Q, akan ditulis sebagai l = PQ. Aksioma kedua (Definisi 2.2.2(2) ) dari geometri insidensi dapat dikemukakan kembali dengan menggunakan konsep kolinear, yang akan dibahas pada Definisi 2.2.3. Definisi 2.2.3 (Millman & Parker, 1991:22) Himpunan titik-titik P disebut kolinear jika ada sebuah garis l sehingga P l. Definisi 2.2.3 mengatakan bahwa himpunan titik-titik P disebut kolinear jika semua anggota P terletak pada garis yang sama. Sebaliknya, P disebut tidak kolinear jika P bukan himpunan titik yang kolinear. Atau dengan kata lain, himpunan P disebut tidak kolinear jika tidak semua anggota P terletak pada garis yang sama. Dengan menggunakan Definisi 2.2.3 di atas, maka aksioma kedua dari geometri insidensi dapat ditulis kembali sebagai berikut : Definisi 2.2.2(2a) : Terdapat tiga titik A, B, C S yang tidak kolinear.

14 Contoh 2.2.3: Bidang Kartesius dan Bidang Poincare merupakan geometri insidensi. Dalam Contoh 2.2.1 dan Contoh 2.2.2 telah disebutkan bahwa bidang Euclid dan bidang Poincare merupakan geometri abstrak. Dari Contoh 2.1.1 dan Contoh 2.1.2 juga ditunjukkan bahwa dari setiap dua titik dapat ditentukan sebuah garis yang melaluinya. Seandainya, terdapat tiga buah titik, maka belum tentu titik yang ketiga memenuhi persamaan garis yang terbentuk oleh dua titik lainnya. Oleh karena itu, bidang Euclides dan bidang Poincare merupakan geometri insidensi. Selain konsep kolinear, dalam geometri abstrak dan geometri insidensi juga dikenal adanya konsep kesejajaran. Teorema 2.2.1 (Millman & Parker, 1991:24) Misalkan l 1 dan l 2 adalah garis-garis dalam geometri insidensi. Jika l 1 dan l 2 memiliki dua titik yang sama atau lebih, maka l 1 = l 2. Bukti : Anggap P Q, P l 1 l 2 dan Q l 1 l 2. Karena kedua titik P dan Q terletak pada l 1, maka PQ = l 1. Padahal titik P dan Q juga terletak pada l 2 sehingga PQ = l 2. Karena itu, l 1 = l 2. Teorema 2.2.1 mengatakan jika ada 2 garis dalam geometri insidensi (garis l 1 dan l 2 ). Jika l 1 melewati titik A dan B, dan begitu pula garis l 2

15 melewati titik A dan B, maka garis l 1 sebenarnya sama dengan garis l 2. Dua garis yang demikian biasa disebut dua garis yang berhimpit. Definisi 2.2.4 (Millman & Parker, 1991:24) Jika l 1 dan l 2 adalah garis-garis dalam geometri abstrak, maka l 1 dikatakan sejajar dengan l 2 (ditulis l 1 l 2 ) jika l 1 = l 2 atau l 1 l 2 =. Definisi 2.2.4 mengatakan bahwa dua garis dikatakan sejajar jika garisgaris tersebut berhimpit atau tidak mempunyai titik potong. 2.3 Geometri Metrik Sekarang kita akan membahas mengenai geometri metrik. Geometri ini adalah geometri yang memperhitungkan mengenai jarak 2 buah titik dalam suatu bidang. Oleh karena itu, sebelum kita membahas mengenai geometri metrik lebih lanjut, mula-mula akan dibahas dahulu mengenai definisi fungsi jarak. Definisi 2.3.1 (Millman & Parker, 1991:28) Fungsi jarak pada himpunan S adalah fungsi d : S x S R sehingga untuk setiap P,Q S berlaku : 1. d(p,q) 0 2. d(p,q) = 0 jika dan hanya jika P = Q, dan 3. d(p,q) = d(q, P) Aksioma pertama dari Definisi 2.3.1 mengatakan bahwa nilai dari jarak dua titik pasti lebih besar atau sama dengan nol. Jadi tidak ada nilai jarak

16 yang negatif. Aksioma kedua mengatakan jika ada dua titik yang sama, maka jaraknya pasti nol. Sedangkan aksioma ketiga mengatakan bahwa jarak titik P dan Q sama dengan jarak titik Q dan P. Selanjutnya akan dibahas mengenai jarak dua titik dalam bidang Euclid dan bidang Poincare. Definisi 2.3.2 ( Smith & Ulrich, 1956:487) Misalkan P = (x 1, y 1 ) dan Q = (x 2, y 2 ) adalah titik-titik dalam bidang Euclid. Jarak dalam bidang Euclid diberikan oleh : d P, Q = x 2 x 2 1 + (y 2 y 1 ) 2 Selanjutnya, jarak dalam bidang Euclid dapat disimbolkan sebagai (d E ), untuk membedakan dengan jarak Poincare. Untuk lebih memahami mengenai jarak titik pada bidang Euclid, perhatikan contoh berikut : Contoh 2.3.1 : Misalkan titik A 2,3 dan B(4,0) adalah titik-titik dalam bidang Euclid atau bidang Kartesius. Maka jarak Euclidesnya adalah : d E A, B = 2 4 2 + (3 0) 2 = 4 + 9 = 13 Jadi jarak titik A dan titik B adalah 13 satuan.

17 Setelah membahas mengenai jarak dua titik dalam bidang Euclides, sekarang kita akan membahas mengenai jarak dua titik dalam bidang Poincare. Definisi 2.3.3 (Millman & Parker, 1991:28) Jika P = (x 1, y 1 ) dan Q = (x 2, y 2 ) adalah titik dalam bidang Poincare H, jarak Poincare (d H ) diberikan oleh : d H P, Q = ln y 2 jika x y 1 = x 2 1 ln x1 c+r y 1 x2 c+r y 2 jika P dan Q berada dalam clr Untuk lebih memahami mengenai jarak titik dalam bidang Poincare, perhatikan contoh berikut : Contoh 2.3.2 : Misal A 2,3, B 2,5, C(4,1) adalah titik-titik dalam bidang Poincare. Jarak Poincare titik A dan B adalah : d H A, B = ln y 2 y 1 = ln 5 3 Jarak Poincare titik A dan C adalah : c = 12 3 2 +4 2 2 2 2(4 2) = 4 4 = 1 r = (2 1) 2 + 3 2 = 10 d H A, C = ln x1 c+r y 1 x2 c+r y 2

18 = ln = ln = ln = ln 2 1+ 10 3 4 1+ 10 1 1+ 10 3 3+ 10 1 1+ 10 9+3 10 7 2 10 3. (9 3 10 9 3 10 ) Jadi, jarak titik A dan B adalah ln 5 3 satuan sedangkan jarak titik A dan C adalah ln 7 2 10 3 satuan. Konsep fungsi jarak yang sudah kita bahas di atas merupakan konsep yang cukup penting dalam pembahasan sistem geometri metrik. Definisi 2.3.4 (Millman & Parker, 1991:30) Misalkan l adalah sebuah garis dalam geometri insidensi { S, L } Asumsikan bahwa terdapat fungsi jarak d pada S. Fungsi f: l R disebut sistem koordinat untuk l jika : 1. f bijektif 2. Untuk setiap pasangan titik P dan Q pada l berlaku f P f(q) = d (P, Q). (2.3.1) Persamaan (2.3.1) disebut persamaan sistem koordinat dan f(p) disebut koordinat titik P dengan fungsi koordinat f.

19 Definisi 2.3.5 (Millman & Parker, 1991:30) Sebuah geometri insidensi { S, L } bersama dengan fungsi jarak d memenuhi postulat sistem koordinat jika setiap l S koordinat. memiliki sistem Dalam hal ini kita katakan, M = { S, L, d } adalah sebuah geometri metrik. Untuk lebih memahami Definisi 2.3.5, perhatikan contoh berikut : Contoh 2.3.2 : Bidang Kartesius adalah sebuah geometri metrik. Hal ini dikarenakan bidang kartesius merupakan sebuah geometri insidensi. Selain itu, dalam bidang Kartesius terdapat fungsi jarak Euclides d E seperti yang sudah dibahas pada Definisi 2.3.2. Jadi, bidang kartesius atau bidang Euclid merupakan geometri metrik. Contoh 2.3.3 : Jika d H adalah fungsi jarak untuk bidang Poincare, maka H, L H, d H adalah sebuah geometri metrik. Contoh 2.2.3 mengatakan bahwa bidang Poincare merupakan geometri insidensi. Selain itu, dalam Definisi 2.3.3 dijelaskan mengenai fungsi jarak yang berlaku dalam bidang Poincare. Oleh karena itu, bidang Poincare merupakan geometri metrik.

20 Selanjutnya, akan diberikan lemma mengenai sistem koordinat. Lemma 2.3.1 (Millman & Parker, 1991:31) Misalkan l L dan f l R fungsi surjektif dan memenuhi persamaan (2.3.1). Maka f adalah fungsi bijektif dan karena itu merupakan sistem koordinat untuk l. Bukti : Karena kita mengasumsikan f adalah surjektif, maka untuk membuktikan f adalah fungsi bijektif, kita hanya perlu menunjukkan bahwa f adalah injektif. Sekarang anggap bahwa f P = f(q). Dari persamaan (2.3.1) kita dapat d P, Q = f P f(q) = 0, sehingga menurut definisi fungsi jarak, P = Q. 2.4 Keantaraan Keantaraan merupakan konsep yang juga cukup penting. Ada banyak cara yang digunakan untuk mendefinisikan konsep keantaraan. Berikut ini akan diberikan postulat mengenai keantaraan secara aksiomatik terlebih dahulu, kemudian secara metrik. Definisi 2.4.1 (Prenowitz & Jordan, 1965 : 186) Dalam pembahasan secara aksiomatik, notasi untuk keantaraan adalah (ab-c) dan dibaca sebagai b di antara a dan c. Relasi keantaraan memenuhi sistem postulat berikut : B1. (Sifat simetri) Jika (a-b-c) maka (c-b-a)

21 B2. (Sifat antisiklik) Jika (a-b-c) maka bukan (b-c-a) B3. (Koherensi linear) a, b, c adalah titik-titik yang berbeda dan kolinear jika dan hanya jika (a-b-c) atau (b-c-a) atau (c-a-b) B4. (Sifat memisahkan) Misalkan sebuah titik P yang kolinear dan berbeda dengan titik a, b, c. Maka, (a-p-b) mengakibatkan (b-p-c) atau (a-p-c) tapi tidak keduanya. B5. (Eksistensi) Jika a b, maka ada x, y, z sedemikian sehingga (x-a-b), (a-y-b), (a-b-z). Postulat-postulat tersebut cukup mudah dimengerti. Postulat B1 mengatakan bahwa jika titik b berada di antara a dan c, maka titik b juga berada di antara c dan a. Dari potulat pertama ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa relasi keantaraan ini bersifat simetri. Yang terpenting adalah posisi titik yang terletak ditengah. Postulat B2 ingin mengatakan bahwa permutasi siklik tidak berlaku dalam keantaraan. Jika b berada di antara a dan c, maka pernyataan bahwa c berada di antara a dan b adalah salah. Postulat B3 berupa biimplikasi sehingga dapat diartikan menjadi 2 implikasi, yaitu : B3.1 Jika (a-b-c) maka a, b, dan c adalah tiga titik berbeda dan kolinear. B3.2 Jika a, b dan c adalah tiga titik yang berbeda dan kolinear maka (a-bc), atau (b-c-a) atau (c-a-b) Postulat B4 mengatakan jika sebuah titik P memisahkan a dari b, maka titik P juga memisahkan a atau b dari titik c, tetapi tidak keduanya.

22 Postulat B5 berbicara mengenai eksistensi 3 buah titik sedemikian sehingga jika titik a tidak sama dengan b, maka i) ada sebuah titik yang memisahkan titik a dan b. ii) ada sebuah titik yang dipisahkan dari b oleh titik a, artinya titik a terletak di antara titik b dan titik lain. iii) ada sebuah titik yang dipisahkan dari a oleh b, artinya, titik b terletak di antara titik a dan titik lainnya. Selanjutnya, akan diberikan definisi keantaraan dengan pendekatan metrik. Definisi 2.4.2 (Millman & Parker, 1991:47): B di antara A dan C, jika A, B, C adalah 3 titik berbeda yang kolinear dalam geometri metrik { S, L, d }, dan jika d A, B + d B, C = d (A, C) Dalam geometri metrik, B di antara A dan C dinotasikan sebagai A-B-C. Dan jarak d A, B dinotasikan sebagai AB. Yang perlu diperhatikan dari Definisi 2.4.2 adalah ketiga titik harus kolinear atau segaris. Jika tidak segaris, maka tidak bisa memenuhi konsep keantaraan. Selanjutnya, ketiga titik yang segaris tersebut harus memenuhi AB + BC = AC agar bisa memenuhi Definisi 2.4.2. Jika kedua syarat tersebut terpenuhi, maka titik B dapat dikatakan terletak diantara titik A dan C. Untuk lebih memahami Definisi 2.4.2, perhatikan contoh berikut :

23 Contoh 2.4.1 : Misalkan A 2,0, B 2,5, C(2,6) adalah titik-titik dalam geometri Euclides. Untuk membuktikan bahwa ketiga titik tersebut kolinear, kita perlu mencari garis yang melewati titik A dan B, kemudian kita cek apakah garis tersebut juga melewati titik C. Jika iya, maka ketiga titik tersebut kolinear, tetapi jika tidak maka ketiga titik tersebut tidak kolinear. Garis yang melewati titik A dan B adalah garis x = 2. Ternyata garis tersebut juga melewati titik C. Oleh karena itu ketiga titik tersebut merupakan titik-titik yang kolinear. Sekarang kita perlu mencari jarak tiap 2 titik. AB = (2 2) 2 + (5 0) 2 = 5 AC = (2 2) 2 + (6 0) 2 = 6 BC = (2 2) 2 + (6 5) 2 = 1 AB + BC = 5 + 1 = 6 = AC. Dari perhitungan di atas terlihat bahwa AB + BC = AC. Maka, titik B terletak di antara A dan C. Teorema 2.4.1 (Millman & Parker, 1991:49): Jika A-B-C maka C-B-A. Bukti : Jika A, B, dan C adalah 3 titik yang berbeda dan kolinear, maka begitu juga C, B, dan A. Karena A-B-C, maka menurut Definisi 2.4.1, AB + BC

24 = AC. Karena PQ = QP untuk semua P dan Q, kita mempunyai BA +CB = CA atau CB +BA = CA yang menunjukkan bahwa C-B-A. Untuk lebih memahami Teorema 2.4.1, perhatikan gambar berikut : A B C C B A Gambar 2.9 A-B-C Gambar 2.10 C-B-A Gambar 2.9 menunjukkan titik B di antara A dan C. Gambar 2.10 menunjukkan titik B di antara A dan C. Melihat dari kedua gambar di atas dan isi Teorema 2.4.1, kita dapat menyimpulkan bahwa yang konsep yang paling penting dalam keantaraan bukanlah posisinya, tetapi jaraknya. Selanjutnya, akan dibahas mengenai konsep keantaraan dalam bilangan real. Definisi 2.4.3 (Bartle & Sherbert, 1927:44) Untuk setiap x dan y adalah sembarang bilangan real dengan x < y, terdapat sebuah bilangan real r, sedemikian sehingga x < r < y x < r < y berarti x < r dan r < y. Untuk lebih memahami Definsi 2.4.3, perhatikan contoh berikut :

25 Contoh 2.4.2 : Misalkan ada 2 bilangan real, yaitu 3 dan 8. Karena 3 < 8, maka kita bisa mencari suatu bilangan real yang terletak di antara 3 dan 8, misalnya 5, sedemikian sehingga 3 < 5 <8 terpenuhi. Selanjutnya, akan dibahas Teorema 2.4.2, Teorema ini ada sebagai bentuk gabungan dari Definisi 2.4.1 dan Definisi 2.4.2. Teorema ini menggabungkan konsep keantaraan dalam titik dengan konsep keantaraan bilangan. Teorema 2.4.2 (Millman & Parker, 1991:49) Anggap l adalah sebuah garis dan f sebuah sistem koordinat untuk l. Jika A, B, dan C adalah 3 titik pada garis l dengan koordinat x, y, z, maka A- B-C jika dan hanya jika x < y < z. Bukti : Perhatikan, jika A,B, dan C adalah titik yang sama, maka A-B-C dan x < y < z, keduanya jelas salah. Karena itu, kita mengasumsikan bahwa A,B, dan C adalah tiga titik yang berbeda. Pertama, kita akan membuktikan jika A-B-C maka x < y < z. Diketahui bahwa x = f(a), y=f(b), z=f(c), dan AB + BC = AC. Maka menurut definisi fungsi jarak, AB = f A f(b) = x y BC = y z AC = x z sehingga x y + y z = x z. (2.4.1)

26 Kita harus menunjukkan bahwa persamaan tersebut mengakibatkan x < y < z atau z < y < x. Karena A,B,C adalah 3 titik yang berbeda, maka hanya satu kondisi untuk x,y,z yang tepat dari antara berbagai kemungkinan berikut : (i) x < y < z (ii) z < y < x (iii) y < x < z (iv) z < x < y (v) x < z < y (vi) y < z < x Kita akan menunjukkan bahwa dalam kasus (iii) akan terjadi kontradiksi. Kasus (iii) mengakibatkan x y = x y y z = z y x z = z x Jika kita memasukkan persamaan tersebut ke dalam persamaan (2.4.1), maka x y + z y = z x x = y Hal ini kontradiksi dengan pernyataan bahwa x,y,z adalah berbeda. Karena itu, kasus (iii) tidak memenuhi. Kasus (iv) mengakibatkan x y = y x y z = y z x z = x z Jika kita memasukkan persamaan tersebut ke dalam persamaan (2.4.1), maka y x + y z = x z y = x Hal ini kontradiksi dengan pernyataan bahwa x,y,z adalah berbeda.

27 Karena itu, kasus (iv) tidak memenuhi. Kasus (v) mengakibatkan x y = y x y z = y z x z = z x Jika kita memasukkan persamaan tersebut ke dalam persamaan (2.4.1), maka y x + y z = z x y = z Hal ini kontradiksi dengan pernyataan bahwa x,y,z adalah berbeda. Karena itu, kasus (v) tidak memenuhi. Kasus (vi) mengakibatkan x y = x y y z = z y x z = x z Jika kita memasukkan persamaan tersebut ke dalam persamaan (2.4.1), maka x y + z y = x z z = y Hal ini kontradiksi dengan pernyataan bahwa x,y,z adalah berbeda. Karena itu, kasus (vi) tidak memenuhi. Jadi yang memungkinkan hanyalah kasus (i) atau kasus (ii), sehingga terbukti bahwa x < y < z. Sekarang kita akan menunjukkan jika x < y < z maka A-B-C. Anggap x<y<z (untuk kasus z<y<x sama saja). Dalam kasus ini x y = y x y z = z y x z = z x sehingga x y + y z = x z

28 atau f A f(b) + f(b) f(c) = f(a) f(c) atau AB + BC = AC. Jadi, A,B,C adalah tiga titik yang kolinear dan berbeda, serta A-B-C. 2.5 Segmen, Sinar Garis, Sudut, Segitiga Segmen garis, dan sinar garis, merupakan konsep yang penting dalam geometri. Konsep segmen garis ini sangat berperan dalam konsep segitiga. Sedangkan konsep sinar garis akan berperan dalam konsep sudut. Berikut ini akan dibahas mengenai konsep segmen garis. Definisi 2.5.1(Millman & Parker, 1991:52) Jika A dan B adalah titik berbeda dalam geometri metrik { S, L, d } maka segmen garis dari A ke B adalah himpunan AB = C S A C B atau C = A atau C = B Definisi 2.5.1 berbicara mengenai segmen garis. Segmen garis ini mulai dikenal dalam sistem geometri metrik. Segmen garis merupakan kumpulan titik-titik yang terletak di antara dua titik tertentu. Dua titik tertentu tersebut adalah ujung-ujung dari segmen garis. Segmen garis dinotasikan dengan AB, dimana titik A dan B adalah kedua titik ujung dari segmen garis. Definisi 2.5.2 (Millman & Parker, 1991:54) Titik akhir dari segmen AB adalah A dan B. Panjang segmen AB adalah d(a, B).

29 Definisi 2.5.2 mengatakan bahwa titik akhir atau titik ujung dari segmen AB adalah dua buah titik A dan B. Selain itu, panjang segmen garis tersebut adalah jarak dari kedua titik ujungnya. Untuk lebih memahami Definisi 2.5.1, perhatikan gambar berikut : B B A A Gambar 2.11 AB Gambar 2.12 AB Gambar 2.11 mengilustrasikan segmen garis dalam bidang Kartesius. Sedangkan Gambar 2.12 mengilustrasikan segmen garis dalam bidang Poincare. Definisi 2.5.3 (Wallace &West, 1992:67) Dua segmen garis AB dan CD dikatakan kongruen (AB CD) jika dan hanya jika panjang kedua segmen garis tersebut sama (AB = CD) Untuk lebih memahami Definisi 2.5.3, perhatikan contoh berikut : Contoh 2.5.1 : Misalkan ada 3 segmen garis AB, BC dan AC, dimana A 1, 1, B 1,3, C(1, 5). Dari 2 segmen tersebut, kita akan mencari dua segmen yang saling kongruen. Pertama-tama kita harus mencari panjang tiap segmen garis.

30 Jika ketiga titik tersebut berada pada bidang Euclid, maka jarak tiap segmen adalah : AB = (1 1) 2 + (1 3) 2 = 2 AC = (1 1) 2 + (1 5) 2 = 4 BC = (1 1) 2 + (3 5) 2 = 2 Karena AB = BC, maka AB BC. Sekarang, jika ketiga titik tersebut berada pada bidang Poincare. Maka, jarak tiap segmen adalah : AB = ln 3 1 = ln 3 AC = ln 5 1 = ln 5 BC = ln 5 3 = ln 5 3 Karena AB AC BC, maka menurut Poincare, ketiga segmen garis tersebut tidak ada yang saling kongruen. Selanjutnya akan dibahas mengenai sinar garis. Definisi 2.5.4 (Millman & Parker, 1991:54) Jika A dan B adalah 2 titik yang berbeda dalam geometri metrik {S, L, d} maka sinar garis dari A melewati B adalah himpunan AB = AB C S A B C Perlu diingat bahwa sinar garis AB merupakan himpunan bagian dari garis AB. Sinar garis AB adalah himpunan titik-titik yang kolinear sedemikian

31 hingga titik B terletak di antara titik A dan titik tersebut. Sinar garis AB hanya memiliki 1 ujung yaitu titik A, sedangkan ujung yang lain terletak di tak hingga. Oleh karena itu, titik A disebut juga sebagai titik asal sinar AB seperti disebutkan dalam Definisi 2.5.5 berikut : Definisi 2.5.5 (Millman & Parker, 1991:55) Titik asal dari sinar garis AB adalah titik A. Untuk lebih memahami mengenai sinar garis,perhatikan gambar berikut : A B B A Gambar 2.13 AB Gambar 2.14 AB Gambar 2.13 mengilustrasikan sinar garis AB dalam bidang Euclid. Sedangkan Gambar 2.14 mengilustrasikan sinar garis AB dalam bidang Poincare. Setelah memahami mengenai sinar garis, sekarang kita akan membahas mengenai sudut.

32 Definisi 2.5.6 (Millman & Parker, 1991:59) Jika A, B, dan C adalah titik-titik yang tidak segaris dalam geometri metrik, maka sudut ABC adalah himpunan ABC = BA BC. Definisi 2.5.7 (Millman & Parker, 1991:61) Titik sudut dari sudut ABC dalam geometri metrik adalah titik B. Definisi 2.5.6 mengatakan bahwa sudut merupakan gabungan dari dua buah sinar garis yang mempunyai titik asal yang sama. Titik asal inilah yang kemudian disebut sebagai titik sudut, seperti didefinisikan pada Definisi 2.5.7. Untuk lebih memahami mengenai sudut, perhatikan gambar berikut : A B C A B C Gambar 2.15 ABC Gambar 2.16 ABC Gambar 2.15 mengilustrasikan ABC dalam bidang Euclid. Sedangkan Gambar 2.16 mengilustrasikan ABC dalam bidang Poincare. Dari kedua gambar sudut di atas, titik B merupakan titik sudutnya.

33 Definisi 2.5.8 (Wallace &West, 1992:67) Dua sudut ( ABC dan DEF) dikatakan kongruen ( ABC DEF) jika dan hanya jika ukuran sudut keduanya sama besar m ABC = m DEF. Setelah membahas mengenai sudut, selanjutnya kita akan membahas mengenai segitiga. Definisi 2.5.8 (Millman & Parker, 1991:61) Jika A, B, C merupakan himpunan titik-titik yang tidak segaris dalam geometri metrik, maka segitiga ABC adalah himpunan ABC = AB BC CA. Definisi 2.5.9 (Millman & Parker, 1991:62) Dalam geometri metrik, titik-titik sudut dari ABC adalah titik A, B, dan C. Sisi-sisi (atau rusuk) dari ABC adalah AB, BC dan CA. Definisi 2.5.8 mengatakan bahwa segitiga merupakan gabungan dari 3 segmen garis yang berbeda. Ketiga segmen garis tersebut kemudian disebut sebagai sisi atau rusuk dari segitiga. Untuk lebih memahami mengenai segitiga, perhatikan gambar berikut :

34 A C A B B C Gambar 2.17 ABC Gambar 2.18 ABC Gambar 2.17 mengilustrasikan segitiga dalam bidang Euclid. Sedangkan Gambar 2.18 mengilustrasikan segitiga dalam bidang Poincare. Dari kedua gambar tersebut terlihat bahwa terdapat tiga segmen garis yaitu AB, BC dan CA, ketiga segmen garis tersebut merupakan sisi dari segitiga ABC. Sedangkan titik sudut dari segitiga ABC, adalah titik A, B dan C. 2.6 Aksioma Pembagian Bidang Aksioma Pembagian Bidang (Plane Separation Axiom ), merupakan ide yang sangat intuitif bahwa setiap garis mempunyai dua sisi yang dibatasi oleh garis itu sendiri. Sebelum kita membahas mengenai Aksioma Pembagian Bidang, kita perlu memahami dulu mengenai konsep konveks dalam sebuah bidang, seperti dibahas pada Definisi 2.6.1 berikut : Definisi 2.6.1 (Millman & Parker, 1991:63) Misalkan { S, L, d } adalah geometri metrik dan S 1 S dikatakan konveks jika untuk setiap dua titik P, Q S 1, terdapat segmen garis PQ S 1.

35 Definisi 2.6.1 mengatakan agar suatu bidang disebut konveks, maka untuk setiap dua titik dalam bidang tersebut (misal titik P dan Q), terdapat segmen garis PQ yang semua anggotanya juga terletak pada bidang tersebut. Jadi tidak hanya sebagian dari segmen garis PQ yang terletak dalam bidang, melainkan harus seluruh segmen garis PQ. Setelah memahami mengenai konsep konveks, sekarang mari kita membahas mengenai konsep Aksioma Pembagian Bidang (APB). Definisi 2.6.2 (Millman & Parker, 1991:64) Sebuah geometri metrik { S, L, d } memenuhi Aksioma Pembagian Bidang jika untuk setiap l L terdapat dua himpunan bagian H 1 dan H 2 dari S (selanjutnya disebut bidang paruh yang dibentuk oleh l ) sehingga: 1. S l = H 1 H 2 2. H 1 dan H 2 saling lepas dan konveks 3. Jika A H 1 dan B H 2 maka AB l Untuk lebih memahami mengenai konsep Aksioma Pembagian Bidang, perhatikan gambar berikut : H 1 l H 1 H 2 l H 2 Gambar 2.19 Gambar 2.20

36 Gambar 2.19 menggambarkan konsep Aksioma Pembagian bidang dalam bidang Euclid. Sedangkan Gambar 2.20 menggambarkan konsep APB dalam bidang Poincare. Terlihat dari kedua gambar di atas bahwa garis l memisahkan bidang menjadi dua buah bagian. Bagian pertama disebut H 1 dan bagian kedua disebut sebagai H 2. Sekarang akan diberikan definisi mengenai cara menyebut 2 titik yang terletak pada salah satu atau kedua buah sisi H 1 dan H 2. Definisi 2.6.3 (Millman & Parker, 1991:66) Misalkan { S, L, d } adalah geometri metrik yang memenuhi APB, l L, H 1 dan H 2 adalah bidang paruh yang dibentuk oleh l. Dua titik A dan B dikatakan berada pada sisi yang sama terhadap l jika keduanya berada pada di H 1 atau H 2. Dan dikatakan berada pada sisi yang berlawanan terhadap l jika salah satu titik berada di H 1 dan titik yang lain berada di H 2. Jika A H 1, kita katakan H 1 adalah sisi dari l yang mengandung A. Untuk lebih memahami mengenai Definisi 2.6.3, perhatikan gambar berikut : B l A l A B Gambar 2.21 Gambar 2.22

37 Gambar 2.21 mengilustrasikan titik A dan titik B yang terletak pada sisi yang saling berlawanan terhadap garis l, dalam bidang Euclid. Gambar 2.22 mengilustrasikan titik A dan titik B yang terletak pada sisi yang sama terhadap garis l, dalam bidang Poincare. 2.7 Geometri Pash Sekarang kita akan membahas mengenai sistem geometri baru yaitu geometri Pash. Geometri Pash ini merupakan sistem geometri yang memenuhi Postulat Pash. Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai geometri Pash, terlebih dahulu akan diberikan definisi mengenai Postulat Pash. Definisi 2.7.1 (Millman & Parker, 1991:75) Geometri metrik dikatakan memenuhi Postulat Pash (PP) jika untuk sembarang garis l, sembarang segitiga ABC dan sembarang titik D l sedemikian sehingga A D B, maka l AC atau l BC. Untuk lebih memahami Definisi 2.7.1, perhatikan gambar berikut : C l A D B Gambar 2.23 Ilustrasi definisi 2.7.1

38 Gambar 2.23 menunjukkan sebuah segitiga ABC, dimana terdapat titik D AB, sedemikian sehingga untuk sembarang garis l yang melewati D, maka garis l tersebut akan memotong segmen garis AC atau BC. Berikut ini akan diberikan Teorema mengenai hubungan antara Postulat Pash dengan Aksioma Pembagian Bidang, yang sudah dibahas pada bagian 2.6. Teorema 2.7.1 (Millman & Parker, 1991:75) (Teorema Pash) Jika geometri metrik memenuhi APB, maka juga memenuhi PP. Bukti : Diketahui ABC dan sembarang garis l. Asumsikan ada sebuah titik D l dengan A D B. Kita akan menunjukkan bahwa l AC atau l BC. Perhatikan Gambar 2.23. Sekarang andaikan l AC =. Kita akan menunjukkan bahwa l BC. l AB karena A AC AB. Jadi A dan B tidak berada pada garis l dan berada pada sisi yang saling berlawanan dari garis l karena AB l = D. A dan C terletak pada sisi yang sama dari garis l karena AC l =. Oleh karena itu, B dan C berada pada sisi yang saling berlawanan dari garis l sehingga l BC. Jadi, l AC atau l BC benar.

39 Teorema 2.7.1 mengatakan jika geometri metrik memenuhi Aksioma Pembagian Bidang, maka geometri tersebut pasti memenuhi Postulat Pash. Dari Definisi 2.7.1 dan Teorema 2.7.1, kita dapat merumuskan sebuah sistem geometri baru yang merupakan himpunan bagian dari geometri metrik dan memenuhi Aksioma Pembagian Bidang. Sistem geometri tersebut selanjutnya dinamakan Geometri Pash, seperti didefinisikan pada Definisi 2.7.2 berikut. Definisi 2.7.2 (Millman & Parker, 1991:76) Geometri Pash adalah geometri metrik yang memenuhi APB. Definisi 2.7.2 mendefinisikan sistem geometri Pash, yaitu geometri Metrik yang memenuhi APB. Selanjutnya, akan dibahas mengenai interior dari segmen garis, sinar garis, dan sudut. Konsep interior ini akan berperan penting dalam pembahasan Teorema Crossbar. Definisi 2.7.3 (Millman & Parker, 1991:82) Interior dari sinar garis AB dalam geometri metrik adalah himpunan int AB = AB A. Interior dari segmen garis AB dalam geometri metrik adalah himpunan int AB = AB A, B.

40 Definisi 2.7.3 mengatakan bahwa interior dari sebuah sinar garis adalah himpunan titik-titik yang menyusun sinar garis tersebut, kecuali titik asal nya. Sedangkan interior dari sebuah segmen garis adalah himpunan titiktitik yang menyusun segmen garis tersebut, kecuali dua titik ujungnya. Definisi 2.7.4 (Millman & Parker, 1991:83) Interior ABC (ditulis int( ABC) adalah perpotongan sisi AB yang memuat C dengan sisi BC yang memuat A. Untuk lebih memahami mengenai interior sebuah sudut, perhatikan gambar berikut : A B C Gambar 2.24 Interior ABC Gambar 2.24 merupakan ilustrasi Definisi 2.7.4. Gambar tersebut menunjukkan interior dari ABC, yaitu bagian yang diarsir. Bagian yang diarsir tersebut merupakan irisan antara sisi AB yang memuat C dengan sisi BC yang memuat A. Selanjutnya, kita akan membahas mengenai Teorema Crossbar. Ide dari Teorema Crossbar ini sebenarnya hampir mirip dengan Postulat Pash.

41 Teorema 2.7.2 (Millman & Parker, 1991:84) (Teorema Crossbar) Dalam geometri Pash, jika P int( ABC) maka BP memotong AC di sebuah titik F dengan A F C. Agar lebih memahami Teorema Crossbar, perhatikan gambar berikut : B P A F C Bukti : Gambar 2.25 Ilustrasi Teorema Crossbar Kita andaikan pernyataan tersebut salah maka BP memotong AC disebuah tititk F dengan F A C atau A C F. Sebelumnya perlu diingat bahwa P int( ABC). Artinya, P dan A terletak pada sisi yang sama dari BC demikian juga P dan C terletak pada sisi yang sama dari BA. Kita andaikan BP memotong AC di F dan F A C, sehingga A dan C terletak pada sisi yang sama dari BP. Akibatnya, P dan C terletak pada sisi yang saling berlawanan terhadap garis BA atau dengan kata lain, P int( ABC). Hal ini kontradiksi dengan kenyataan bahwa P int( ABC) Sekarang kita andaikan BP memotong AC di F dan A C F, sehingga A dan C terletak pada sisi yang sama dari BP. Akibatnya, P dan A terletak pada sisi yang saling berlawanan terhadap garis BC atau dengan kata lain,

42 P int( ABC). Hal ini kontradiksi dengan kenyataan bahwa P int( ABC). Jadi, pengandaian salah dan yang benar adalah BP memotong AC di sebuah titik F dengan A F C Gambar 2.25 mengilustrasikan Teorema Crossbar. Teorema ini mengatakan, untuk sembarang titik P int( ABC), maka sinar garis BP kan memotong segmen garis AC pada sebuah titik F, dimana F terletak di antara A dan C. Atau dengan kata lain, titik F AC. 2.8 Geometri Protraktor Setelah kita membahas mengenai Geometri Pash, sekarang kita akan membahas mengenai sistem geometri lain yang bernama Geometri Protraktor. Geometri Protraktor ini merupakan himpunan bagian dari Geometri Pash. Geometri Protraktor adalah Geometri Pash yang mempunyai ukuran sudut. Sebelum kita membahas Geometri Protraktor, terlebih dahulu akan diberikan definisi mengenai ukuran sudut. Definisi 2.8.1 (Millman & Parker, 1991:90) Misalkan r 0 bilangan real positif. Dalam geometri Pash, ukuran sudut (atau Protraktor) adalah fungsi m dari himpunan sudut-sudut A ke himpunan bilangan real sedemikian sehingga berlaku 1. Jika ABC A maka 0 < m ABC < r 0