91 6. TINGKATAN MUTU HASIL TANGKAPAN DOMINAN DIPASARKAN DAN POTENSI KERUGIAN PENGGUNA PPP LAMPULO 6.1 Tingkatan Mutu Hasil Tangkapan yang Dominan Dipasarkan di PPP Lampulo Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Lampulo sebagai pelabuhan perikanan terbesar yang terdapat di Kota Banda Aceh memiliki berbagai jenis ikan yang didaratkan, mulai dari yang bernilai ekonomis penting seperti tuna dan cakalang, hingga jenis yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat seperti tongkol dan teri. Jenis-jenis ikan tersebut memiliki tingkatan mutu yang berbeda-beda, dan untuk mengetahui tingkatan mutu pada beberapa hasil tangkapan yang didaratkan di PPP Lampulo dilakukan pengamatan organoleptik pada beberapa jenis ikan. Pada pengamatan organoleptik diambil 3 jenis sampel ikan dominan menurut volume yang didaratkan pada bulan April 2010 di PPP Lampulo yaitu ikan tongkol, teri, dan tembang (Lampiran 5). Berikut adalah hasil pengamatan organoleptik pada ketiga jenis ikan tersebut: (1) Ikan tongkol Tabel 16 Pengamatan organoleptik ikan tongkol di PPP Lampulo tahun 2010 Waktu pengamatan 09.00 11.05 Hasil Pengamatan organoleptik (nilai skala 1-9) perhitungan Mata Insang Daging dan perut Konsistensi Rata-rata 8 8 8 8 Simpangan 0,7 0,7 0,6 0,6 Kisaran 7-9 7-9 7-9 7-9 Rata-rata 8 7 7 8 Simpangan 0,6 0,7 0,6 0,7 Kisaran 7-9 6-9 6-8 7-9 Rata-rata 7 7 7 7 Simpangan 0,4 0,5 0,5 0,4 Kisaran 6-7 6-7 6-7 6-7 Rata-rata* 8 7 7 8 Simpangan* 0,1 0,1 0,1 0,1 Kisaran* 6-9 6-9 6-9 6-9 Keterangan: * = Perhitungan untuk seluruh waktu pengamatan Pengamatan organoleptik tersebut dilakukan dalam 3 waktu yang berbeda. Ikan yang pertama kali diamati adalah ikan tongkol. Nama daerah ikan tongkol 91
92 adalah sure atau dalam nama Latin termasuk jenis Auxis sp. Berdasarkan Tabel 16 diketahui bahwa pengamatan yang dilakukan pada waktu I yaitu pada pukul 09.00- WIB diperoleh rata-rata mutu ikan tongkol berada pada nilai 8. Hal ini ditunjukkan dari hasil pengamatan organoleptik pada mata, insang, daging dan perut, dan konsistensi yang memperoleh nilai 8 dengan kisaran nilai uji organoleptik antara 7-9 untuk mata, insang, daging dan perut, serta konsistensi. Nilai 8 menunjukkan bahwa mutu ikan tongkol yang diamati berada pada tingkatan mutu yang bagus dengan ciri-ciri organoleptik mata cerah, bola mata rata, dan kornea jernih; warna insang merah kurang cemerlang dan tanpa lendir; perut utuh dan bau netral; serta daging elastis bila ditekan. Hasil pengamatan ikan tongkol yang dilakukan pada waktu II diperoleh bahwa nilai organoleptik berkisar antara 7-9 untuk pengamatan pada mata dan konsistensi, sedangkan untuk pengamatan insang nilai organoleptik yang diperoleh berkisar antara 6-9 dan untuk pengamatan daging dan perut diperoleh nilai yang berkisar antara 6-8. Rata-rata nilai uji organoleptik pada mata, insang, daging dan perut, dan konsistensi secara berturut-turut adalah 8, 7, 7, dan 8 dengan nilai simpangan 0,6 untuk pengamatan pada mata, daging, dan perut serta 0,7 untuk pengamatan pada insang dan konsistensi (Tabel 16). Pengamatan organoleptik pada waktu amatan III diperoleh bahwa terjadi penurunan mutu pada ikan tongkol. Hal ini ditunjukkan dari rata-rata nilai organoleptik yang diperoleh yaitu nilai 7 dengan kisaran nilai organoleptik antara 6-7 untuk seluruh aspek yang diamati (Tabel 16). Ciri-ciri organoleptik ikan yang berada pada kualitas dengan nilai 7 adalah bola mata rata dan kornea agak keruh; warna insang merah kusam dan tanpa lendir; perut agak lembek dan bau netral; konsistensi agak lunak namun masih elastis bila ditekan. Jika dilihat secara keseluruhan dari data pengamatan ikan tongkol yang terdapat di PPP Lampulo diperoleh bahwa rata-rata nilai organoleptik pada mata adalah 8, nilai 7 untuk pengamatan pada insang, daging dan perut, dan nilai 8 untuk pengamatan konsistensi untuk semua sampel yang diamati pada 3 waktu amatan (Tabel 16). Berdasarkan hasil pengamatan organoleptik yang telah dilakukan, diperoleh bahwa mutu ikan tongkol yang terdapat di PPP Lampulo selama waktu pendaratan hingga waktu pemasaran berlangsung mengalami penurunan mutu. 92
93 Namun, masih berada pada tingkatan mutu cukup bagus sehingga masih layak untuk dikonsumsi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai organoleptik mutu ikan tongkol yang diperoleh pada 3 waktu pengamatan yang dilakukan, yaitu berada pada kisaran nilai mutu 6 sampai 9. (2) Ikan tembang Pengamatan organoleptik yang kedua dilakukan pada ikan tembang yang memiliki nama daerah ikan keurimen atau dengan nama Latin Sardinella gibbossa. Uji organoleptik juga dilakukan dalam 3 waktu amatan yang berbeda. Adapun hasil organoleptik ikan tembang (Tabel 17) diketahui bahwa pada waktu I yang dilakukan pada 20 sampel ikan tembang diperoleh rata-rata mutunya berada pada nilai 8 untuk pengamatan pada mata, insang, daging dan perut, dan nilai 9 untuk pengamatan pada konsistensi, dengan kisaran 8-9 untuk pengamatan mata dan konsistensi, dan nilai 7-8 untuk pengamatan insang, daging dan perut. Tabel 17 Pengamatan organoleptik ikan tembang di PPP Lampulo tahun 2010 Waktu pengamatan 09.00 11.05 Hasil Pengamatan organoleptik (nilai skala 1-9) perhitungan Mata Insang Daging dan perut Konsistensi Rata-rata 8 8 8 9 Simpangan 0,5 0,7 0,7 0,5 Kisaran 8-9 7-9 7-9 8-9 Rata-rata 8 7 7 8 Simpangan 0,8 0,8 0,7 0,6 Kisaran 7-9 6-8 6-8 7-9 Rata-rata 7 7 7 7 Simpangan 0,7 0,8 0,8 0,6 Kisaran 6-8 6-8 6-8 6-8 Rata-rata* 8 8 7 8 Simpangan* 0,1 0,1 0,1 0,1 Kisaran* 6-9 6-9 6-9 6-9 Keterangan: * = Perhitungan untuk seluruh waktu pengamatan Pengamatan yang dilakukan pada waktu II diperoleh nilai organoleptik untuk sampel ikan tembang adalah 8. Hal ini ditunjukkan dari pengamatan yang dilakukan bahwa diperoleh nilai 8 untuk pengamatan mata dan konsistensi dengan 93
94 kisaran nilai organoleptik antara 7 sampai 9, dan nilai 7 untuk pengamatan insang dan perut dengan kisaran nilai organoleptik antara 6-8 (Tabel 17). Hasil pengamatan organoleptik pada waktu III diperoleh bahwa rata-rata mutu ikan mengalami penurunan yang ditunjukkan oleh nilai organoleptik 7 pada pengamatan yang dilakukan (Tabel 17). Ikan yang memiliki nilai organoleptik 7 masih layak untuk dikonsumsi karena nilai 7 menunjukkan kesegaran ikan masih cukup baik, dimana ciri-ciri ikan yang berada pada nilai 7 adalah bola mata rata dan kornea keruh; warna insang merah agak kusam dan tanpa lendir; perut agak lembek dan bau netral; dan konsistensi agak lunak namun masih elastis bila ditekan. Jika dilihat secara keseluruhan rata-rata ikan tembang berada pada nilai mutu 8 yang ditunjukkan dengan nilai 8 untuk pengamatan mata, insang dan konsistensi, dan nilai 7 untuk pengamatan daging dan perut. Kisaran nilai mutu ikan tembang pada 3 waktu pengamatan berkisar antara 6-9 untuk semua aspek yang diamati yaitu mata, insang, daging dan perut, dan konsistensi (Tabel 17). Penyebab terjadinya penurunan mutu ikan pada waktu pengamatan yang ke-3 antara lain karena tidak dilakukannya penanganan pada ikan seperti diberi es untuk menghambat pembusukan oleh bakteri. Selain itu, ikan yang diamati diletakkan di wadah terbuka sehingga terkena sinar matahari langsung. Faktor lain yang diduga menjadi penyebab terjadinya penurunan mutu ikan adalah adanya kontak langsung antara ikan dengan tangan manusia sehingga bakteri yang terdapat pada tangan manusia dapat menyebar dengan lebih cepat ke tubuh ikan dan menyebabkan kebusukan pada ikan. (3) Ikan teri basah Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa pengamatan pada waktu I organoleptik ikan teri atau Stolepharus sp. dalam Bahasa Latin atau yang biasa disebut ikan bileh dalam Bahasa Aceh, diperoleh nilai organoleptik rata-rata pengamatan mata, insang, daging dan perut berada pada nilai organoleptik 7 dan nilai 8 untuk pengamatan konsistensi, dengan kisaran 7-8 untuk pengamatan organoleptik mata, insang, daging dan perut, dan pengamatan konsistensi berkisar antara nilai 7 sampai 9. Rata-rata seluruh sampel yang diamati pada waktu I 94
95 memiliki mutu yang berada pada nilai organoleptik 7. Namun, untuk hasil pengamatan yang dilakukan pada waktu II diperoleh bahwa rata-rata ikan teri berada pada kisaran mutu 7 sampai 8 untuk pengamatan mata dan konsistensi, dan berkisar antara 6-8 untuk pengamatan insang, daging dan perut (Tabel 18). Tabel 18 Pengamatan organoleptik ikan teri basah di PPP Lampulo tahun 2010 Waktu pengamatan 09.00 11.05 Hasil Pengamatan organoleptik (nilai skala 1-9) perhitungan Mata Insang Daging dan perut Konsistensi Rata-rata 7 7 7 8 Simpangan 0,5 0,5 0,5 0,4 Kisaran 7-8 7-8 7-8 7-9 Rata-rata 7 7 7 7 Simpangan 0,3 0,6 0,6 0,5 Kisaran 7-8 6-8 6-8 7-8 Rata-rata 7 6 6 7 Simpangan 0,5 0,4 0,4 0,4 Kisaran 6-7 6-7 6-7 6-7 Rata-rata* 7 7 7 7 Simpangan* 0,1 0,1 0,1 0,1 Kisaran* 6-8 6-8 6-8 6-9 Keterangan: * = Perhitungan untuk seluruh waktu pengamatan Pengamatan yang dilakukan pada waktu III diperoleh hasil bahwa rata-rata ikan teri yang diamati memiliki nilai organoleptik 7 untuk pengamatan mata dan konsistensi dan nilai 6 untuk pengamatan insang, daging dan perut dengan kisaran nilai organoleptik 6 sampai 7 untuk seluruh aspek yang diamati meliputi mata, insang, daging dan perut, dan konsistensi (Tabel 18). Berdasarkan Tabel 18 juga dapat dilihat bahwa jika ditinjau secara keseluruhan dari 3 waktu pengamatan, mutu ikan teri yang dijual di PPP Lampulo rata-rata memiliki nilai organoleptik 7 dengan kisaran nilai organoleptik 6-8 untuk seluruh aspek yang diamati meliputi mata, insang, daging dan perut, dan konsistensi. Rendahnya nilai mutu atau nilai organoleptik yang diperoleh dari pengamatan yang dilakukan karena kondisi kesegaran ikan teri yang terdapat di PPP Lampulo tidak dijaga. Selain itu, ikan teri tidak termasuk jenis ikan ekonomis penting sehingga nelayan tidak terlalu memperhatikan penanganan terhadap jenis ikan ini. 95
96 Adanya penurunan mutu hasil tangkapan yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lamanya waktu penjualan. Hubungan antara lamanya waktu penjualan dengan penurunan mutu hasil tangkapan khususnya jenis hasil tangkapan yang diamati tingkatan organoleptiknya di PPP Lampulo yaitu tongkol, teri, dan tembang, dilakukan analisis statistik untuk mengujinya (Lampiran 6). Analisis yang digunakan adalah Korelasi Pearson atau Korelasi Product Moment dengan menggunakan software SPSS 12 (Pratisto, 2004). Berdasarkan pengujian statistik tersebut diperoleh bahwa: 1) Pengujian ikan tongkol, angka koefisien korelasi yang diperoleh sebesar -0,807 dan signifikan pada taraf kepercayaan 99%, artinya hubungan waktu penjualan dengan mutu ikan tongkol sangat erat. 2) Pengujian pada ikan tembang diperoleh koefisien korelasi sebesar -0,694 dan signifikan pada taraf kepercayaan 99% yang berarti terdapat hubungan yang erat antara waktu penjualan dengan mutu ikan tembang. 3) Pada pengujian statistik yang dilakukan untuk ikan teri diperoleh koefisien korelasi sebesar -0,660 pada taraf kepercayaan 99%, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara waktu penjualan dengan mutu ikan teri tersebut. Menurut Sirotnik (1973) vide Usman (2006), apabila nilai korelasi mendekati +1 atau -1 berarti terdapat hubungan yang kuat/erat, sebaliknya nilai korelasi yang mendekati nilai 0 bernilai lemah atau hubungannya tidak erat. Nilai notasi positif (+) pada koefisien korelasi berarti hubungan antara kedua variabel searah, jadi jika satu variabel naik maka variabel yang lain juga akan naik. Koefisien korelasi bertanda negatif (-) artinya kedua variabel memiliki hubungan yang berlawanan arah. Jadi, berdasarkan pengujian statistik di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara lama waktu penjualan dengan mutu hasil tangkapan sehingga semakin lama waktu penjualan berlangsung maka mutu hasil tangkapan akan semakin menurun. 96
97 6.2 Besaran Potensi Kerugian dari Pengaruh Faktor Sanitasi dan Higienitas yang Tidak Baik Adanya faktor sanitasi dan higienitas yang tidak baik akibat banyaknya sampah dan tidak adanya penanganan terhadap hasil tangkapan maka akan menurunkan mutu hasil tangkapan yang juga mempengaruhi kondisi harga dari suatu hasil tangkapan. Jika mutu suatu hasil tangkapan mulai menurun maka secara langsung mempengaruhi penurunan harga jual hasil tangkapan tersebut, yang nantinya juga berpengaruh terhadap pendapatan nelayan dan pedagang ikan. Penurunan mutu hasil tangkapan seperti yang terjadi di PPP Lampulo mengakibatkan kerugian bagi nelayan dan pedagang ikan. Hal ini mungkin tidak disadari secara langsung oleh nelayan dan pedagang ikan, karena kebanyakan nelayan dan pedagang ikan beranggapan bahwa seburuk apapun mutu hasil tangkapan yang dijual di PPP Lampulo tetap akan dibeli oleh konsumen. Berdasarkan perhitungan, besar kerugian per kapal purse seine per pendaratan berkisar antara Rp 325.000,00 sampai Rp 3.540.000,00 jika mutu hasil tangkapan tersebut mengalami penurunan (Lampiran 7 dan Tabel 19). Tingkatan mutu hasil tangkapan yang didaratkan oleh nelayan biasanya memiliki kondisi mutu bagus dan cukup bagus atau berada pada skala organoleptik 7-9; hasil tangkapan yang berada pada kondisi mutu bagus berada pada skala organoleptik 8-9 dan mutu yang cukup bagus berkisar antara skala 6 sampai 7 pada skala organoleptik. Tingkatan mutu yang berada pada kondisi busuk (skala organoleptik <6) biasanya terjadi saat dijual oleh pedagang ikan, dan hasil tangkapan yang berada pada kondisi mutu tersebut masih tetap dibeli oleh konsumen. Berdasarkan Tabel 19 diperoleh bahwa untuk jenis ikan tongkol, besarnya jumlah kerugian yang akan dialami per kapal purse seine per pendaratan jika hasil tangkapan berada pada mutu cukup segar (kisaran nilai organoleptik 6-7) adalah Rp 2.360.000,00. Terdapat 20 orang nelayan dalam satu unit purse seine, jika diasumsikan seluruh nelayan dalam setiap kapal memiliki posisi yang sama maka pendapatan yang diperoleh juga akan sama, sehingga kerugian yang akan dialami oleh per individu nelayan adalah rata-rata Rp 118.000,00 (Tabel 20). Jika mutu ikan tongkol berada pada kondisi busuk (kisaran nilai organoleptik <6), maka 97
98 kerugian per pendaratan lebih besar lagi yaitu mencapai Rp 3.540.000,00. Namun, hasil tangkapan yang berada pada kondisi busuk ini biasanya pada saat dipasarkan oleh pedagang. Apabila di PPP Lampulo terdapat 50 orang pedagang ikan, maka kerugian yang akan dialami pedagang adalah rata-rata Rp 70.800,00 per pedagang (Tabel 20). Tabel 19 Besar kerugian per kapal per pendaratan pada tiap tingkatan mutu hasil tangkapan di PPP Lampulo tahun 2010 Jenis Ikan Tongkol Tembang Teri basah Kondisi mutu Produksi per pendaratan (kg) Harga (Rp/kg) Selisih harga (Rp/kg) Besar kerugian per kapal per pendaratan (Rp) Segar 1.180 15.000 0 0 Cukup segar 1.180 13.000 2.000 2.360.000 Busuk 1.180 10.000 3.000 3.540.000 Segar 670 6.000 0 0 Cukup segar 670 5.000 1.000 670.000 Busuk 670 4.500 500 335.000 Segar 650 8.000 0 0 Cukup segar 650 7.500 500 325.000 Busuk 650 6.000 1.500 975.000 Tabel 20 Kerugian per individu nelayan dan pedagang per pendaratan menurut jenis ikan dominan di PPP Lampulo tahun 2010 Jenis ikan Produksi per pendaratan (kg) Rata-rata kerugian per pendaratan Per individu pedagang (Rp) Per individu nelayan (Rp) 1. Tongkol 1.180 118.000 70.800 2. Tembang 670 33.500 6.700 3. Teri basah 650 16.250 19.500 Perhitungan besarnya jumlah kerugian yang akan dialami per kapal purse seine per pendaratan untuk ikan tembang pada kisaran nilai organoleptik 6 sampai 7 adalah Rp 670.000,00; sedangkan jumlah kerugian yang dialami per individu nelayan adalah rata-rata Rp 33.500,00. Jika mutu hasil tangkapan di tingkat pedagang berada pada kondisi busuk maka setiap pedagang akan mengalami kerugian mencapai Rp 6.700,00 (Tabel 20). Berdasarkan perhitungan untuk jenis ikan teri diperoleh bahwa jumlah kerugian yang dialami per kapal purse seine per pendaratan jika hasil tangkapan 98
99 berada pada kondisi cukup segar (skala organoleptik 6-7) adalah Rp 325.000,00 atau sama dengan rata-rata Rp 16.250,00 per individu nelayan (Tabel 19 dan 20). Jika hasil tangkapan sudah berada pada kondisi busuk (kisaran nilai organoleptik <6), maka kerugian yang akan dialami oleh setiap pedagang adalah Rp 19.500,00 (Tabel 20), Besarnya potensi kerugian akibat kondisi sanitasi dan higienitas yang tidak baik tersebut hendaknya menjadi perhatian bagi para pelaku yang berhubungan langsung dengan hasil tangkapan seperti nelayan, pedagang ikan, ataupun pihak pengelola pelabuhan perikanan dan TPI sehingga diharapkan pelaku dapat meningkatkan kesadarannya dengan lebih memperhatikan mutu hasil tangkapan yang dijual, misalnya dengan melakukan penanganan yang baik terhadap hasil tangkapan dan menerapkan peraturan-peraturan tentang penanganan mutu hasil tangkapan dan pengawasannya. 99