BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2011 Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley 1961 dalam LO 1996). Peta penutupan lahan menggambarkan keadaan RTH, lahan terbangun, dan badan air di Kota Bogor. Dalam penelitian ini dibutuhkan peta penutupan lahan untuk menentukan kawasan yang akan dipilih untuk pengambilan data iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) di empat land use yang berbeda (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota). Lokasi pengambilan data dipilih berdasarkan luasan RTH masing-masing land use tersebut, sehingga digunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam memudahkan membuat peta penutupan lahan Kota Bogor. Penutupan lahan didapat dengan menggunakan klasifikasi citra satelit. Klasifikasi citra bertujuan untuk pengelompokan atau melakukan segmentasi terhadap kenampakankenampakan yang homogen dengan menggunakan teknik kuantitatif (Purwadhi 2001). Citra yang digunakan adalah Landsat 7 ETM+ path/row 122/65 yang diambil pada tanggal 12 dan 28 Agustus 2011 yang kemudian dipotong dengan wilayah administrasi Kota Bogor. Wilayah administrasi Kota Bogor didapat dari hasil digitasi batas wilayah Kota Bogor pada peta RTRW Kota Bogor tahun Data citra yang diambil menggunakan data citra tahun 2011 karena data citra tersebut merupakan data citra dari Landsat 7 ETM+ terbaru yang memiliki gangguan dari awan paling sedikit untuk menghasilkan peta yang lebih akurat. Klasifikasi citra dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification). Metode klasifikasi terbimbing dipilih karena operator (dalam hal ini pembuat peta) telah memiliki referensi penutupan lahan dan dapat melakukan groundcheck langsung pada kawasan Kota Bogor. Klasifikasi terbimbing merupakan proses klasifikasi dengan pemilihan kategori informasi yang diinginkan dan memilih training area untuk tiap kategori penutupan lahan yang mewakili sebagai kunci interpretasi (Purwadhi 2001). Training area didapat

2 38 dengan menggunakan identifikasi warna pada peta Landsat 7 ETM+. Klasifikasi penutupan lahan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori yaitu: 1. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Tipe penutupan lahan pada kategori RTH di lokasi penelitian berupa hutan, taman kota, jalur hijau jalan, lapangan bola, dan lahan pertanian. Berdasarkan interpretasi hasil citra Landsat 7 ETM+ path/row 122/65 yang diambil pada tanggal 12 dan 28 Agustus 2011 dicirikan dengan warna hijau gelap hingga hijau terang pada peta dan proses pengklasifikasiannya dicirikan dengan warna hijau. Tipe penutupan lahan terbuka dapat dilihat pada Gambar 5.1. Gambar 5.1 Contoh lokasi penutupan lahan kelas ruang terbuka hijau 2. Lahan Terbangun Tipe penutupan lahan pada kategori lahan tertutup merupakan lahan yang tertutup oleh struktur buatan manusia seperti bangunan dan jalan. Berdasarkan interpretasi hasil citra Landsat 7 ETM+ path/row 122/65 yang diambil pada tanggal 12 dan 28 Agustus 2011 dicirikan dengan warna merah sampai ungu gelap pada citra dan proses pengklasifikasiannya dicirikan dengan warna merah. Tipe penutupan lahan terbangun dapat dilihat pada Gambar 5.2. Gambar 5.2 Contoh lokasi penutupan lahan kelas lahan terbangun 3. Badan Air Badan Air pada tipe penutupan lahan merupakan area yang tertutup air seperti sungai dan danau. Berdasarkan interpretasi hasil citra Landsat 7 ETM+ path/row 122/65 yang diambil pada tanggal 12 dan 28 Agustus 2011 dicirikan

3 39 dengan warna biru muda pada citra dan proses pengklasifikasiannya dicirikan dengan warna biru tua. Tipe penutupan lahan badan air dapat dilihat pada Gambar 5.3. Gambar 5.3 Contoh lokasi penutupan lahan badan air Setelah diperoleh peta penutupan lahan, dilakukan uji akurasi pada peta. Proses mendapatkan nilai akurasi peta ini adalah dengan mengambil Ground Control Point (GCP) yang diambil secara menyebar pada beberapa daerah di Kota Bogor. Hasil dari pengambilan titik kemudian diolah dengan menggunakan tool accuracy assesment pada software ERDAS Imagine 9.1. Hasil akurasi dari peta penutupan lahan Kota Bogor tahun 2011 dalam penelitian ini bernilai 85,14 persen. Hasil akurasi dapat dilihat pada Lampiran 5. Tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh harus tidak kurang dari 85 persen menurut sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan United States Geographical Survey (USGS) (Lillesand dan Kiefer 1979), sehingga peta hasil klasifikasi penutupan lahan tersebut sudah dapat digunakan dalam penelitian ini. Peta penutupan lahan yang dihasilkan mengandung informasi tentang luasan penutupan lahan yang ada di Kota Bogor yang dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Luas Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2011 No Klasifikasi Luas (Ha) Luas (%) 1 Ruang Terbuka Hijau 6464,25 54,76 2 Lahan Terbangun 4982,4 42,21 3 Badan Air 358,2 3,03 Total 11804, Berdasarkan data pada Tabel 5.1, diketahui bahwa luas dari RTH yang ada pada Kota Bogor memiliki nilai terbesar dari dua kategori penutupan lahan lainnya yaitu sebesar 6464,25 Ha atau 54,76 persen dari total luas keseluruhan. Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 29 ayat 2 yaitu proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah

4 40 kota. Berdasarkan peraturan tersebut, Kota Bogor masih memiliki proporsi RTH yang ideal bagi kawasan kota. Hal ini merupakan potensi dan tantangan bagi Kota Bogor. Jumlah RTH yang masih banyak pada Kota Bogor harus dipertahankan dan ditingkatkan kualitasnya sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi lingkungan dan warga kota. Lahan terbangun pada Kota Bogor sebesar 4982,4 Ha atau 42,21 persen dari total luas keseluruhan. Lahan terbangun banyak berada di pusat kota dimana banyaknya kawasan perkantoran, dan perdagangan. Selain itu badan air memiliki luas sebesar 358,2 Ha atau 3,03 persen dari total luas keseluruhan. Badan air di Kota Bogor didominasi dengan adanya Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung yang melewati Kota Bogor. Dapat dilihat pada Tabel 5.2, penyebaran luasan RTH, lahan terbangun, dan badan air pada setiap kecamatan di Kota Bogor. Tabel 5.2 Penyebaran penutupan lahan setiap kecamatan di Kota Bogor No Kecamatan Luas Lahan Terbangun (%) Luas Lahan Terbuka (%) Luas Badan Air (%) 1 Bogor Barat 44,22 51,33 4,45 2 Bogor Selatan 27,05 69,96 2,99 3 Bogor Tengah 69,25 25,55 5,20 4 Bogor Timur 51,04 47,06 1,90 5 Bogor Utara 48,78 49,57 1,65 6 Tanah Sereal 43,88 52,63 3,50 Dapat dilihat pada tabel di atas bahwa pada Kecamatan Bogor Tengah sebagai pusat kota memiliki persen luas lahan terbangun yang paling banyak di antara kecamatan lainnya. Sedangkan semakin jauh dari pusat kota, seperti Kecamatan Bogor Selatan, memiliki proporsi lahan terbangun yang paling sedikit. Lahan terbangun terkonsentrasi pada pusat kota, hal ini menimbulkan ancaman adanya Urban Heat Island di Kota Bogor. Urban Heat Island atau pulau panas merupakan suatu fenomena dimana suhu udara kota yang padat dengan bangunan lebih tinggi daripada suhu udara terbuka disekitarnya atau di pinggir kota karena adanya perbedaan penggunaan energi, penyerapan panas, dan pertukaran panas laten (Irwan 2005). Hal ini disebabkan adanya pembangunan pesat di pusat kota dimana RTH dikonversi menjadi berbagai penggunaan lahan yang berbeda. Dampak adanya Urban Heat Island adalah menurunnya kenyamanan warga kota

5 41 dalam menjalankan aktivitasnya. Sehingga penting untuk meningkatkan kualitas RTH pada masing-masing land use pada wilayah perkotaan untuk dapat menjaga kenyamanan warga kota. Pada penelitian ini dipilih empat kawasan dengan jenis land use yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap iklim mikro. Kawasan tersebut dipilih berdasarkan kawasan terbesar di Kota Bogor dan luasan RTH-nya. Kemudian dilakukan overlay antara peta penggunaan lahan pada RTRW dan peta penutupan lahan yang dihasilkan pada penelitian ini. Sehingga diketahui jumlah luasan RTH di setiap kawasan dengan jenis land use yang berbeda yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.3 Presentase luasan RTH setiap land use yang sudah dipilih Land Use RTH (Ha) LB (Ha) BA (Ha) Total RTH (%) Industri (PT Unitex) 3,52 9, ,06 26,95 CBD (Bantarjati) 8,91 30,51 0,81 40,23 22,15 Perumahan (BCC) 12,87 38,52 0,27 51,66 24,9 RTH Kota (KRB) 72,72 6,66 5,4 84,78 85,8 Keterangan : RTH = Ruang Terbuka Hijau BCC = Bukit Cimanggu City LB = Lahan Terbangun KRB = Kebun Raya Bogor BA = Badan Air Luasan RTH dalam persen yang dimaksud pada tabel di atas adalah luasan RTH dibandingkan dengan luasan lahan terbangun dan badan air pada kawasan tersebut. Dilihat pada parameter tersebut, luas RTH yang paling sempit terdapat pada kawasan CBD. Perumahan memiliki luas RTH yang lebih sempit dibandingkan dengan luas RTH pada industri, sedangkan untuk RTH kota memiliki luasan RTH yang paling besar dibandingkan kawasan lainnya.

6 Gambar 5.4 Peta penutupan lahan Kota Bogor tahun

7 Analisis Iklim Mikro pada setiap Land Use Analisis Iklim Mikro Kawasan Industri Sektor perindustrian yang akan dikembangkan di Kota Bogor adalah industri non polutan dan ramah lingkungan baik berupa industri kecil, menengah maupun besar. Pengembangan industri yang tidak berwawasan lingkungan seperti menggunakan potensi air yang sangat banyak, berpolusi udara tinggi, sudah tidak mungkin dialokasikan di Kota Bogor. Kawasan industri yang direncanakan pun terbatas pada kawasan yang telah berkembang industri tidak ada penambahan kawasan/lokasi industri baru kecuali untuk kegiatan industri kecil/industri rumah tangga (Bappeda 2011). Salah satu kawasan industri di Bogor adalah PT Unitex. PT Unitex merupakan industri penghasil textil, PT Unitex pada saat ini telah mendapatkan Peringkat Hijau pada penilaian Proper Prokasih yang dilakukan oleh Bapedal. Hal ini menunjukkan bahwa PT Unitex merupakan salah satu industri yang telah berwawasan lingkungan cukup baik. Pengambilan data iklim mikro pada kawasan PT Unitex dilakukan di depan gedung pabrik (Lampiran 1). Luas keseluruhan dari kawasan ini adalah 13,06 Ha dan memiliki RTH seluas 3,52 Ha atau 26,95 persen dari luas keseluruhan. Pengukuran iklim mikro berupa suhu dan kelembaban udara dilakukan pada pohon meranti kuning (Shorea macrobalanos) dengan tinggi ±6 meter, semak pangkas kuning (Duranta sp.) dengan tinggi ±1,5 meter, dan rumput gajah (Axonopus compressus). Hasil pengukuran iklim mikro dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada Gambar 5.5 dapat dilihat grafik hasil rata-rata dari pengukuran suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi yang berbeda yaitu pohon, semak, dan rumput pada kawasan industri.

8 ,59 50,47 49,20 32,29 34,36 35,77 Pohon Semak Rumput Struktur Vegetasi Suhu ( C) RH (%) Gambar 5.5 Suhu dan kelembaban udara pada kawasan industri Selisih suhu udara pohon dengan semak 2,07⁰C, selisih suhu udara semak dengan rumput mencapai 1,41⁰C, dan selisih suhu udara pohon dengan rumput mencapai 3,48⁰C. Suhu udara paling tinggi adalah suhu udara di atas rumput, hal ini disebabkan karena rumput secara langsung menerima sinar matahari tanpa adanya naungan. Suhu udara di bawah naungan semak lebih tinggi daripada pohon dan lebih rendah daripada rumput, hal ini dikarenakan naungan yang diberikan semak lebih sedikit dibandingkan pohon, namun semak lebih mampu mereduksi suhu udara dibandingkan rumput. Selisih kelembaban udara pohon dengan semak sebesar 5,12 persen, selisih kelembaban udara semak dengan rumput sebesar 1,27 persen, dan selisih kelembaban udara pohon dengan rumput sebesar 6,39 persen. Pohon memiliki kelembaban udara paling tinggi dibandingkan dengan dua struktur vegetasi lainnya dan rumput memiliki kelembaban udara paling rendah. Pohon memiliki kemampuan untuk berevapotranspirasi lebih baik karena tajuknya yang rapat sehingga menyebabkan kandungan uap air yang ada di bawah naungan pohon lebih banyak dibandingkan dengan di semak ataupun rumput. Semak yang memiliki lebar tajuk dan tinggi yang lebih besar dibandingkan rumput menyebabkan kelembaban udara pada naungan semak lebih besar dibandingkan dengan di atas rumput.

9 45 Setelah dilakukan uji statistik pada hasil pengukuran iklim mikro, suhu dan kelembaban udara pada pohon, semak, dan rumput berbeda secara signifikan pada taraf nyata 5 persen (Lampiran 10). Hal ini membuktikan bahwa setiap struktur vegetasi mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam ameliorasi iklim. Perbedaan karakteristik struktur vegetasi mempengaruhi adanya perbedaan iklim mikro yang dihasilkan. Pohon memiliki karakteristik struktur vegetasi yang paling efektif untuk mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara dibandingkan dengan ketiga struktur vegetasi lainnya. Semakin tinggi dan semakin luas tajuk suatu vegetasi, keadaan suhu udara yang ada di sekitarnya akan semakin sejuk dan kelembaban udaranya semakin tinggi Analisis Iklim Mikro Kawasan Central Bussines District (CBD) Perkembangan kegiatan perdagangan di Kota Bogor saat ini cukup pesat, karena selain melayani penduduk Kota Bogor juga daerah-daerah sekitarnya diantaranya Kabupaten Bogor. Kota Bogor juga merupakan salah satu kota wisata, baik lokal maupun mancanegara, yang akhirnya akan mempengaruhi kegiatan perdagangan. Kebutuhan fasilitas perdagangan (skala kota dan regional) di Kota Bogor hingga akhir tahun perencanaan dapat dikatakan sudah mencukupi terutama jenis perdagangan besar/sedang (pasar induk, supermarket, plaza, mall dan sejenisnya) (Bappeda 2011). Salah satu fasilitas kegiatan perdagangan adalah CBD, dimana CBD yang dikembangkan di daerah Bogor rata-rata sangat minim RTH. Begitu pula di CBD Bantarjati, untuk menemukan RTH yang terdapat struktur vegetasi yaitu pohon, semak, dan rumput sangat jarang. RTH di kawasan CBD rata-rata hanya berbentuk RTH linear di depan bangunan CBD, sehingga pengukuran iklim mikro dalam penelitian ini dilakukan pada RTH berbentuk linear. Peta lokasi pengambilan data iklim mikro pada kawasan CBD dapat dilihat pada Lampiran 2. Kawasan CBD Bantarjati memiliki luas total sebesar 40,23 Ha dengan luas RTH sebesar 8,91 Ha atau 22,15 persen dari luas keseluruhan. Pengukuran iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) dilakukan di bawah naungan pohon dan semak dan di atas rumput. Pengukuran iklim mikro pada pohon angsana (Pterocarpus indicus) dengan karakteristik tinggi ±10 meter, pada semak dilakukan pada tanaman bugenvil (Bougainvillea sp.) dengan tinggi ±1,5

10 46 meter dan pengukuran iklim mikro pada struktur vegetasi rumput dilakukan pada rumput gajah (Axonopus compressus). Hasil pengukuran iklim mikro dapat dilihat pada Lampiran ,53 55,63 35,66 51,14 37,57 46,22 Pohon Semak Rumput Struktur Vegetasi Gambar 5.6 Suhu dan kelembaban udara pada kawasan CBD Suhu (⁰C) RH (%) Grafik di atas menunjukan rata-rata nilai suhu dan kelembaban udara pada kawasan CBD di bawah naungan pohon dan semak dan suhu udara di atas rumput. Selisih suhu udara pohon dengan semak sebesar 2,9⁰C, selisih suhu udara semak dengan rumput sebesar 2,25⁰C, dan selisih suhu udara pohon dengan rumput mencapai 5,15⁰C. Suhu di bawah naungan pohon relatif lebih rendah dibandingkan suhu udara pada semak dan suhu udara di bawah naungan semak lebih rendah dibandingkan suhu udara di atas rumput. Pohon dengan tinggi dan luas tajuk yang besar lebih mampu menaungi area di bawahnya sehingga suhu udara di bawah pohon lebih sejuk dibandingkan struktur vegetasi lainnya. Semak dengan tinggi dan luas tajuk yang lebih kecil dibandingkan pohon memiliki suhu udara yang lebih tinggi dibandingkan pohon. Suhu udara rumput memiliki nilai paling tinggi dikarenakan rumput secara langsung memantulkan sinar matahari ke area di sekitarnya. Selisih kelembaban udara pohon dengan semak sebesar 4,21 persen, selisih kelembaban udara semak dengan rumput sebesar 5,48 persen dan selisih kelembaban udara pohon dengan rumput sebesar 9,69 persen. Kelembaban udara pohon memiliki nilai yang paling tinggi dan rumput memiliki nilai yang paling rendah.

11 47 Setelah dilakukan uji stastistik, suhu dan kelembaban udara pada pohon, semak, dan rumput berbeda secara signifikan pada taraf nyata 5 persen (Lampiran 11). Hal ini membuktikan bahwa setiap struktur vegetasi memiliki kemampuan yang berbeda dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara. Perbedaan karakteristik vegetasi dari setiap struktur vegetasi menghasilkan iklim mikro yang berbeda-beda. Pohon merupakan struktur vegetasi yang paling efektif dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara. Hal ini disebabkan oleh pohon memiliki area naungan yang luas dan tajuknya lebih padat dibandingkan semak ataupun rumput Analisis Iklim Mikro Kawasan Perumahan Kebutuhan perumahan di Kota Bogor terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk, namun di sisi lain, luas wilayah kota tidak bertambah. Luas lahan perumahan di Kota Bogor pada tahun 2007 mencapai 26 persen luas kota (termasuk di dalamnya fasilitas perumahan). Kecenderungan perkembangan perumahan/permukiman yang terjadi saat ini adalah ke arah pusat kota dan sepanjang jalan-jalan utama, hal ini dikarenakan tingkat aksesibilitasnya di sepanjang jalan tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya (Bappeda 2011). Kawasan perumahan sangat membutuhkan RTH untuk mengakomodasi kenyamanan, kegiatan sosial, dan sebagai fasilitas pendukung bagi penghuninya. Semakin banyaknya RTH maka semakin nyaman keadaan iklim di perumahan tersebut. Iklim mikro berperan sangat penting dalam pertimbangan pemilihan dan penempatan material tanaman (Booth NK dan Hiss JE 2004). Pengukuran iklim mikro pada kawasan perumahan dilakukan di lapangan rumput di tengah-tengah perumahan (Lampiran 3). Kawasan perumahan ini mempunyai luas total sebesar 51,66 Ha dengan luas RTH sebesar 12,87 Ha atau 24,9 persen dari luas keseluruhan. Pengukuran ini dilakukan di bawah naungan pohon kerai payung (Felicium decipiens) dengan tinggi ±6 meter dan tajuk berbentuk bulat. Untuk struktur vegetasi semak, pengukuran dilakukan di bawah naungan semak firebush (Hamelia patens) dengan tinggi ±1,5 meter dan pengukuran juga dilakukan di atas rumput gajah (Axonopus compressus). Hasil pengukuran iklim mikro dapat dilihat pada Lampiran 8. Grafik hasil pengukuran

12 48 berupa grafik suhu dan kelembaban udara (rataan dari tiga kali ulangan pengukuran) pada kawasan perumahan dapat dilihat pada gambar ,44 49,42 33,47 34,58 36,64 44,20 Pohon Semak Rumput Struktur Vegetasi Gambar 5.7 Suhu dan kelembaban udara pada kawasan perumahan Grafik di atas menggambarkan suhu udara pada kawasan perumahan. Suhu udara pada pohon dan semak terus meningkat selama pengukuran, sedangkan untuk suhu udara rumput mengalami peningkatan dan penurunan. Selisih suhu udara pohon dengan semak sebesar 0,86⁰C, selisih suhu udara semak dengan rumput sebesar 2,43⁰C, dan selisih suhu udara pohon dengan rumput mencapai 3,29⁰C. Pohon memiliki karakteristik struktural tinggi dan tajuk yang lebar sehingga pohon mampu menaungi area di bawahnya lebih luas sehingga suhu udara disekitarnya lebih sejuk. Semak memiliki suhu udara lebih tinggi dibandingkan pohon karena tinggi dan lebar tajuknya lebih kecil dibandingkan pohon. Rumput memiliki suhu udara yang paling tinggi karena rumput menerima sinar matahari secara langsung tanpa adanya naungan sehingga sinar matahari tersebut langsung dipantulkan dan membuat suhu udara disekitarnya cukup panas. Kelembaban udara di atas rumput sangat rendah dibandingkan dengan pohon dan semak yaitu 43,80 persen. Selisih kelembaban udara pohon dengan semak sebesar 0,62 persen, selisih kelembaban udara semak dengan rumput sebesar 6,02 persen, dan selisih kelembaban udara pohon dengan rumput sebesar 6,64 persen. Kelembaban udara pohon memiliki nilai yang paling tinggi dan kelembaban udara semak memiliki nilai yang paling rendah. Suhu ( C) RH (%)

13 49 Uji statistik suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi pohon, semak, dan rumput berbeda secara signifikan pada taraf nyata 5 persen (Lampiran 12). Hal ini membuktikan bahwa kemampuan setiap struktur vegetasi pada kawasan perumahan dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara berbeda-beda. Perbedaan karakterisitik struktur vegetasi seperti tinggi, lebar daun, dan luas tajuk dapat berpengaruh pada kemampuan masing-masing vegetasi dalam menciptakan iklim mikro. Pohon memiliki karakteristik vegetasi yang mampu dengan efektif mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara Analisis Iklim Mikro Kawasan RTH Kota Luas RTH di Kota Bogor setiap tahun semakin berkurang, hal tersebut disebabkan terjadinya perubahan fungsi yang semula berupa lahan terbuka menjadi lahan terbangun untuk berbagai keperluan seperti perumahan, industri, perdagangan dan jasa, kantor, dan lain-lain. Semakin sempitnya RTH, khususnya taman dapat menimbulkan munculnya kerawanan dan penyakit sosial sifat individualistik dan ketidakpedulian terhadap lingkungan yang sering ditemukan di masyarakat perkotaan. Disamping itu, semakin terbatasnya ruang terbuka hijau juga berpengaruh terhadap peningkatan iklim mikro, pencemaran udara, banjir dan berbagai dampak negatif lingkungan lainnya (Bappeda 2011). Bogor memiliki RTH Kota yang sangat luas yaitu Kebun Raya Bogor (KRB). KRB yang sudah ada sejak tahun 1817 memiliki kontribusi yang cukup besar dalam mempengaruhi iklim, terutama karena letaknya yang berada di tengah-tengah Kota Bogor. Peta lokasi pengambilan data dapat dilihat pada Lampiran 4. Luas dari kawasan RTH kota adalah 84,87 Ha dengan luas RTH sebesar 72,72 Ha atau 84,87 persen dari luas keseluruhan. Pengukuran iklim mikro dilakukan di bawah naungan pohon anggerit (Nauclea lanceolata) dengan ketinggian ±10, semak dilakukan di bawah naungan semak soka (Ixora sp.) dengan tinggi ±1,5 meter dan pengukuran iklim mikro rumput dilakukan di atas rumput gajah (Axonopus compressus). Hasil pengukuran iklim mikro dapat dilihat pada Lampiran 9.

14 ,51 62,46 56,86 55,40 33,28 34,11 Pohon Semak Rumput Struktur Vegetasi Suhu ( C) RH (%) Gambar 5.8 Suhu dan kelembaban udara pada kawasan RTH kota Gambar 5.11 menggambarkan rata-rata suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi pohon, semak, dan rumput yang ada pada kawasan RTH Kota. Rata-rata suhu udara di atas rumput adalah 34,14⁰C, suhu udara pada naungan semak 33,24⁰C, dan suhu udara pada naungan pohon adalah 30,51⁰C. Selisih suhu udara pohon dengan semak sebesar 2,73⁰C, selisih suhu udara semak dengan rumput sebesar 0,9⁰C, dan selisih suhu udara pohon dengan rumput sebesar 3,63⁰C. Suhu udara di bawah naungan pohon lebih sejuk dibandingkan suhu udara semak dan rumput. Hal ini disebabkan oleh tajuk pohon yang padat dan lebar sehingga udara di bawah naungan pohon lebih sejuk. Sedangkan semak memiliki suhu udara lebih tinggi dibandingkan pohon karena tajuk semak lebih kecil dan tingginya lebih rendah dibandingkan pohon. Rumput memiliki suhu paling tinggi karena secara langsung menerima sinar matahari tanpa adanya naungan. Selisih kelembaban udara pohon dengan semak sebesar 5,93 persen, selisih kelembaban udara semak dengan rumput sebesar 0,81 persen, dan selisih kelembaban udara pohon dengan rumput sebesar 6,74 persen. Kelembaban udara pohon memiliki nilai paling tinggi dibandingkan dengan struktur vegetasi lainnya dan rumput memiliki nilai yang paling rendah. Setelah dilakukan uji statistik pada data suhu dan kelembaban udara pada struktur pohon, semak, dan rumput berbeda secara signifikan pada taraf nyata 5 persen (Lampiran 13). Hal ini membuktikan bahwa tiap struktur vegetasi memiliki kemampuan yang berbeda dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara. Perbedaan kemampuan setiap struktur vegetasi dalam mereduksi suhu dan

15 51 meningkatkan kelembaban udara disebabkan oleh perbedaan karakteristik struktural dari masing-masing vegetasi. Pohon merupakan struktur vegetasi yang paling efektif mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara dibandingkan dengan struktur vegetasi lainnya. Vegetasi dapat menyejukkan lingkungan secara aktif dengan evaporasi dan transpirasi (evapotranspirasi) dan secara pasif dengan melindungi permukaan dengan menaungi area di bawahnya yang dapat mengurangi gelombang pendek dari radiasi matahari (Kleerekoper dkk 2011). Apabila kelembaban udara dihubungkan dengan suhu udara, menurut Handoko (1994) dalam Fandheli dan Muhammad (2009) kelembaban udara akan lebih kecil bila suhu udara meningkat dan sebaliknya jika suhu udara lebih rendah maka kelembaban udaranya akan tinggi. Hasil interpretasi grafik iklim mikro struktur vegetasi pohon, semak, dan rumput pada empat land use yang berbeda (industri, CBD, perumahan, RTH Kota) di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan suhu udara pada struktur vegetasi (pohon, semak, dan rumput) pada setiap land use berbeda secara signifikan pada taraf nyata 5 persen. Begitu juga dengan kelembaban udara pada struktur vegetasi pohon, semak, dan rumput memiliki perbedaan secara signifikan pada taraf nyata 5 persen, yang diuji dengan analisis statistik. Hasil interpretasi grafik juga menyatakan bahwa pohon lebih efektif mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara dibandingkan semak. Sedangkan semak lebih efektif mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara dibandingkan struktur vegetasi rumput. Kelembaban udara menunjukkan kandungan uap air di atmosfer pada suatu saat dan waktu tertentu. Uap air di atmosfer bertindak sebagai pengatur panas (suhu udara) karena sifatnya yang dapat menyerap energi radiasi matahari gelombang pendek maupun gelombang panjang. Evaporasi dipengaruhi oleh suhu dan merupakan pertukaran antara panas laten dan panas yang terasa (sensibel). Tanaman yang tinggi, laju evapotranspirasinya lebih besar, kehilangan panas karena terjadinya evaporasi akan menyebabkan suhu di sekitar tanaman menjadi lebih sejuk (Irwan 2005). Teori ini sesuai dengan hasil analisis sehingga

16 52 membuktikan bahwa pohon lebih efektif mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban dibandingkan dengan struktur vegetasi lainnya adalah benar. Penanaman sekelompok pepohonan yang berkerapatan tinggi merupakan perlindungan dalam mengurangi temperatur yang tinggi pada siang hari, sedangkan menurut Lakitan (1997) dalam Muhammad dan Chafid 2009, pada malam hari tanaman berperan sebagai penahan panas, sehingga pada malam hari suhu udara di bawah tajuk lebih hangat dibandingkan suhu udara di atas permukaan tanah terbuka (tanpa vegetasi). Daerah yang tertutup tegakan pohon akan mempunyai kelembaban yang relatif tinggi, sedangkan keadaan tanah yang kering (pasir, kerikil, dan sejenisnya) cenderung menimbulkan suhu tinggi dan kelembaban yang rendah (Pudjiharta 1980 dan Laurie 1990 dalam Muhammad dan Chafid 2009). Keberadaan RTH yang terdapat struktur vegetasi pohon, semak, dan rumput sangat penting pada setiap kawasan. Untuk itu, pembangunan dengan tetap memperhatikan keberadaan RTH sangat penting untuk menciptakan kenyamanan pada setiap kawasan di perkotaan. Menurut Dahlan (2004), untuk kenyamanan suatu kota pada daerah tropis terdapat kategori nilai dari suhu dan kelembaban udara. Untuk memenuhi kategori ideal-sedang dibutuhkan suhu udara sebesar 22,5-27,5 C dan kelembaban udara sebesar 60-90%. Pada hasil pengukuran, hanya kelembaban udara pohon pada RTH kota yang masuk dalam kategori ideal-sedang. Struktur vegetasi pada kawasan lain memiliki nilai di luar kategori ideal-sedang dalam kenyamanan suatu kota. Hal ini membuktikan bahwa RTH yang ada pada setiap kawasan belum optimal fungsinya dalam ameliorasi iklim. Sehingga dibutuhkan analisis untuk mengetahui penyebab perbedaan suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi yang sama pada land use yang berbeda. 5.3 Analisis Iklim Mikro Struktur Vegetasi pada Berbagai Land Use Analisis Iklim Mikro Pohon pada berbagai Land Use Pohon sangat penting dalam RTH di semua land use. Setiap land use memiliki kebutuhan yang berbeda-beda sehingga jenis pohon yang akan digunakan di berbagai land use harus disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya, untuk kawasan perumahan, pada RTH taman lingkungan dibutuhkan pohon

17 53 dengan fungsi sebagai peneduh karena tempat tersebut digunakan sebagai tempat bersosialisasi. Kawasan industri akan membutuhkan pohon yang dapat mereduksi panas yang dihasilkan karena aktivitas produksi yang industri lakukan. Kawasan CBD membutuhkan pohon yang bersifat peneduh dan tidak memiliki buah yang mudah rontok karena letak CBD yang umumnya berada di pinggir jalan raya. RTH kota lebih mementingkan pemilihan berdasarkan struktur pohon agar menyerupai hutan alami. Pengukuran iklim mikro dilakukan pada empat kawasan yaitu industri, CBD, perumahan, dan RTH kota. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui perbedaan iklim mikro yang disebabkan oleh perbedaan keadaan lingkungan di setiap land use. Pengukuran dilakukan di bawah pohon meranti kuning (Shorea macrobalanos) pada kawasan industri, pohon angsana (Pterocarpus indicus) pada CBD, pohon kerai payung (Felicium decipiens) di kawasan perumahan dan pohon anggerit (Nauclea lanceolata) pada kawasan RTH kota. Pada Gambar 5.9 menggambarkan grafik rata-rata suhu dan kelembaban udara di bawah naungan pohon pada empat kawasan yang berbeda ,59 55,63 32,29 32,53 33,47 50,44 30,51 62,46 Industri CBD Perumahan RTH Kota Land Use Suhu ( C) RH (%) Gambar 5.9 Suhu dan kelembaban udara di bawah naungan pohon Berdasarkan grafik pada gambar di atas, dapat diketahui bahwa suhu udara paling tinggi adalah suhu udara di bawah naungan pohon kerai payung (Felicium decipiens) pada kawasan perumahan dan suhu paling rendah terdapat di bawah naungan pohon anggerit (Naucela lanceolata) yang berada di kawasan RTH kota. Suhu udara di bawah naungan pohon pada kawasan industri dan CBD memiliki

18 54 nilai yang hampir sama dengan selisih sebesar 0,14⁰C. Kelembaban udara pohon paling tinggi adalah pohon pada RTH kota dan kelembaban udara paling rendah adalah pohon pada perumahan. Menurut uji statistik yang dilakukan, suhu dan kelembaban udara pohon pada empat kawasan ini memiliki perbedaan secara signifikan pada taraf nyata 5 persen (Lampiran 14). Hal ini membuktikan bahwa suhu dan kelembaban udara pada pohon dipengaruhi oleh adanya perbedaan land use dan kemampuan tiap jenis pohon dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara. Kawasan perumahan merupakan lingkungan yang padat dan minim RTH sehingga suhu udara pada kawasan perumahan cenderung tinggi, hal ini sangat berbanding terbalik dengan keadaan di RTH kota yang didominasi oleh vegetasi sehingga suhu udara di RTH kota lebih rendah dibandingkan kawasan lainnya. Sedangkan CBD lebih didominasi oleh bangunan fisik dan dekat dengan jalan raya sehingga menghasilkan suhu yang cukup tinggi. Menurut Kartasapoetra (1986) salah satu penyebab perbedaan iklim diberbagai tempat karena ketinggian tempat. Kawasan perumahan berada pada ketinggian mdpl dan industri berada pada ketinggian mdpl, sehingga walaupun industri menghasilkan panas dari aktivitas industri, suhu udara di industri lebih rendah dibandingkan dengan suhu udara di perumahan. Perbedaan suhu udara juga disebabkan oleh luasnya RTH pada masing-masing land use. RTH kota memiliki luas RTH yang paling besar dibandingkan dengan land use lainnya yaitu sebesar 85,8 persen dari luas keseluruhan. CBD memiliki luas RTH yang paling sedikit yaitu sebesar 22,15 persen. Semakin luas RTH pada suatu kawasan akan menciptakan iklim mikro yang lebih baik, sehingga suhu udara pada pohon di RTH kota memiliki suhu paling rendah. Faktor lain adalah kemampuan pohon dalam mereduksi suhu berbedabeda. Suhu udara di bawah pohon pada perumahan memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan CBD dengan selisih suhu sebesar 0,94⁰C. Hal ini dikarenakan pohon yang diukur suhu udaranya pada kawasan perumahan adalah pohon kerai payung (Felicium decipiens) yang memiliki tajuk tidak terlalu rapat dan tingginya ±6 meter, sedangkan pada CBD dilakukan pengukuran pada pohon angsana (Pterocarpus indicus) yang memiliki tajuk rapat dan ketinggian mencapai ±8

19 55 meter. Hal ini mengindikasikan bahwa penting dilakukan pemilihan vegetasi secara cermat sehingga RTH yang ada dapat dimanfaatkan dengan efektif dan dapat memberikan iklim mikro yang nyaman. Menurut Grey dan Deneke (1978), kemampuan pohon dalam mereduksi suhu tergantung pada jenis kepadatan tajuknya, bentuk daun, dan pola percabangannya. Kelembaban udara paling tinggi terdapat pada kawasan RTH kota dan kelembaban udara paling rendah terdapat pada kawasan perumahan. Sedangkan industri dan CBD memiliki nilai kelembaban udara yang hampir sama. Hal ini dapat disebabkan oleh keadaan lingkungan yang berbeda, lingkungan yang didominasi oleh pepohonan cenderung memiliki kelembaban udara tinggi karena banyaknya pohon yang melakukan evapotranspirasi sehingga dapat meningkatkan kelembaban udara disekitarnya. Kemampuan pohon dalam meningkatkan kelembaban udara juga berbedabeda. Menurut Scudo (2002) dalam Wardoyo (2011), pohon yang dapat mereduksi suhu udara dan meningkatkan kelembaban udara adalah pohon yang memiliki tajuk piramidal atau bulat (memiliki daerah bebas cabang lebih rendah sehingga kemampuan tajuknya dalam menyerap radiasi lebih tinggi), ditanam bejejer atau berkelompok, memiliki tinggi yang sedang (6-15 meter), memiliki kepadatan tajuk yang tinggi. Sedangkan pohon yang dapat meningkatkan suhu udara dan mereduksi kelembaban udara adalah pohon yang memiliki tajuk horizontal atau kolumnar, ditanam secara tunggal, memiliki ukuran sangat rendahrendah atau tinggi ( < 6 meter dan > 15 meter), serta memiliki kepadatan tajuk rendah sampai sedang Analisis Iklim Mikro Semak pada berbagai Land Use Pada kawasan industri, pengukuran dilakukan pada semak pangkas kuning (Duranta sp.), pada kawasan CBD dilakukan pada semak bugenvil (Bougainvillea sp.), semak firebush (Hamelia patens) pada kawasan perumahan, dan semak soka (Ixora sp.) pada kawasan RTH kota. Keadaan suhu udara rata-rata di bawah naungan semak pada empat kawasan dapat dilihat pada Gambar 5.10.

20 ,47 51,14 49,42 34,36 35,66 34,58 34,11 55,40 Industri CBD Perumahan RTH Kota Land Use Suhu ( C) RH (%) Gambar 5.10 Suhu dan kelembaban udara di bawah naungan semak Grafik di atas menggambarkan bahwa suhu udara di bawah naungan semak paling tinggi berada pada kawasan CBD dan suhu udara di bawah naungan semak paling rendah berada pada kawasan RTH kota. Sedangkan untuk kelembaban udara pada RTH kota memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan tiga kawasan lainnya. Setelah dilakukan uji statistik, suhu dan kelembaban udara semak pada empat kawasan memiliki perbedaan secara signifikan pada taraf nyata 5 persen (Lampiran 15). Hal ini membuktikan bahwa suhu dan kelembaban udara pada semak dipengaruhi oleh perbedaan keadaan lingkungan land use dan kemampuan tiap jenis semak dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara. Pada semak di CBD yang terletak di pinggir jalan menyebabkan suhu udara lebih tinggi karena banyaknya kendaraan yang lewat dan panas yang disebabkan oleh aktivitas pembakaran energi kendaraan sehingga meningkatkan suhu udara disekitarnya. RTH kota memiliki kondisi lingkungan yang baik dengan banyaknya vegetasi di kawasan tersebut, sehingga suhu udara di bawah naungan semak pun menjadi rendah. Perumahan lebih tinggi suhu udaranya dibandingkan suhu udara di industri, hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan ketinggian tempat (Kartasepoetra 1986), walaupun industri memiliki aktivitas industri yang menghasilkan panas, ketinggian tempat di industri lebih tinggi dibandingkan dengan perumahan, sehingga suhu udara di industri lebih rendah dibandingkan dengan di perumahan.

21 57 Perbedaan iklim mikro pada setiap land use juga disebabkan oleh ketersediaan luas RTH pada kawasan tersebut. Pada kawasan CBD memiliki suhu udara semak paling tinggi, RTH kawasan CBD memiliki luasan paling sedikit yaitu sebesar 22,15 persen dari luas keseluruhan. Suhu udara semak pada RTH kota memiliki suhu udara paling rendah, RTH pada kawasan RTH kota memiliki luasan yang paling besar dibandingkan kawasan lainnya yaitu sebesar 85,8 persen. Hal ini membuktikan semakin luas RTH pada suatu kawasan, maka iklim mikro yang dihasilkan akan semakin baik. Kelembaban udara pada kawasan industri dan CBD memiliki nilai yang hampir sama, hal ini disebabkan oleh keduanya merupakan pusat aktivitas dan memiliki RTH yang sedikit, sedikitnya pohon membuat aktivitas evapotranspirasi menjadi sedikit, sehingga kelembabannya menjadi rendah. Begitu pula dengan perumahan, kepadatan rumah yang merupakan bangunan fisik dapat membuat lingkungan perumahan memiliki kelembaban udara paling rendah dibandingkan kawasan lain. Selain itu, kawasan perumahan memiliki topografi yang paling rendah dibandingkan kawasan lain. Selain faktor lingkungan, terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi kelembaban udara yaitu kemampuan tiap semak untuk meningkatkan kelembaban udara berbeda-beda. Menurut Scudo (2002) dalam Wardoyo (2012), semak yang dapat mereduksi suhu udara dan meningkatkan kelembaban udara adalah semak yang memiliki karakteristik mempunyai tajuk piramidal dan bulat, ditanam berjejer dan berkelompok, memiliki tinggi yang sedang (1-2 meter), serta memiliki kepadatan tajuk yang tinggi. Semak yang dapat menaikkan suhu udara dan menurunkan kelembaban udara adalah semak dengan tajuk kolumnar/horisontal, ditanam secara tunggal, memiliki ukuran sangat rendah-rendah atau tinggi (0,5-1 dan 2-3 meter), serta memiliki kepadatan tajuk rendah sampai sedang Analisis Iklim Mikro Rumput pada berbagai Land Use Permukaan rumput yang tidak teratur dapat menghamburkan pantulan sinar matahari sehingga tidak terpantul sempurna dibandingkan dengan permukaan paving yang memantulkan sinar matahari secara sempurna dan membuat suhu udara di sekitarnya lebih panas. Selain itu, rumput memiliki kemampuan untuk menerima dan melepaskan panas lebih cepat dibandingkan

22 58 penutup tanah berupa material keras seperti paving dan jalan beraspal. Berikut hasil dari pengukuran iklim mikro di atas rumput di empat kawasan yang berbeda. Rumput pada semua land use memiliki jenis yang sama yaitu rumput gajah (Axonopus compressus) ,20 46,22 35,77 37,57 36,64 44,20 Gambar 5.11 Suhu dan kelembaban udara di atas rumput Grafik di atas menggambarkan suhu dan kelembaban udara rumput pada empat kawasan yang berbeda (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota). Terlihat pada grafik bahwa suhu udara paling tinggi berada pada kawasan CBD, hal ini terjadi karena CBD minim RTH dan terletak di pinggir jalan yang padat lalu lintas kendaraan. Suhu tertinggi kedua adalah perumahan dimana perumahan terdiri dari banyak bangunan fisik sehingga membuat udara di sekitarnya lebih panas. Industri memiliki topografi yang lebih tinggi dibandingkan kawasan lain, maka suhu udara pada rumput industri lebih rendah dibandingkan CBD dan perumahan. Perbedaan suhu udara rumput pada perumahan dan industri hanya berbeda tipis yaitu sebesar 0,87⁰C. Suhu terendah berada di RTH kota, dimana RTH kota didominasi oleh vegetasi sehingga suhu di atas rumput memiliki suhu lebih rendah dibandingkan dengan tiga kawasan lainnya. RTH kota memiliki kelembaban yang lebih tinggi dibandingkan ketiga kawasan lain dikarenakan lingkungan RTH kota yang didominasi oleh vegetasi sehingga banyaknya aktivitas evapotranspirasi dan menghasilkan kelembaban yang tinggi. Industri memiliki kelembaban yang lebih tinggi dibandingkan dengan CBD dan kawasan perumahan memiliki kelembaban udara paling rendah. 34,11 55,40 Industri CBD Perumahan RTH Kota Land Use Suhu ( C) RH (%)

23 59 Setelah dilakukan uji statistik, suhu dan kelembaban udara di atas rumput pada empat kawasan yang berbeda (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota) memiliki perbedaan secara signifikan pada taraf nyata 5 persen (Lampiran 16). Hal ini membuktikan bahwa suhu dan kelembaban udara pada rumput dipengaruhi oleh perbedaan keadaan lingkungan land use. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan land use dapat menghasilkan suhu dan kelembaban udara yang berbeda-beda. 5.4 Analisis Kenyamanan Selain mengetahui perbedaan suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi (pohon, semak, rumput) pada land use yang berbeda (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota), penting dilakukan pengukuran kenyamanan secara kuantitatif. Suhu dan kelembaban udara sangat mempengaruhi terhadap kenyamanan user, untuk mengukurnya secara kuantitatif dapat digunakan Temperature Humidity Index (THI). Berikut tabel suhu dan kelembaban udara masing-masing struktur vegetasi pada setiap land use dan hasil pengukuran THI. No Kawasan Struktur Vegetasi Tabel 5.4 Hasil pengukuran THI Suhu Udara ( C) Faktor THI RH (%) THI Kategori 1 Industri Pohon 32,29 55,59 29,42 Tidak Nyaman Semak 34,36 50,47 30,95 Tidak Nyaman Rumput 35,77 49,20 32,13 Tidak Nyaman 2 CBD Pohon 32,53 55,63 29,64 Tidak Nyaman Semak 35,66 51,14 32,18 Tidak Nyaman Rumput 37,57 46,22 33,53 Tidak Nyaman 3 Perumahan Pohon 33,47 50,44 30,15 Tidak Nyaman Semak 34,58 49,42 31,09 Tidak Nyaman Rumput 36,64 44,20 32,55 Tidak Nyaman 4 RTH Kota Pohon 30,51 62,46 28,22 Tidak Nyaman Semak 33,28 56,86 30,41 Tidak Nyaman Rumput 34,11 55,40 31,06 Tidak Nyaman Tabel di atas menunjukkan nilai THI pada setiap struktur vegetasi di semua kawasan. Dapat dilihat bahwa di semua kawasan tidak ada yang termasuk dalam kategori nyaman, hal ini disebabkan oleh keadaan suhu udara pada semua kawasan berkisar antara 30,51-37,57 C. Sedangkan untuk kisaran kelembaban udara di semua kawasan adalah 44,20-64,26 persen. Kawasan yang paling

24 60 mendekati kategori nyaman (nilai THI mendekati 27) adalah pada kawasan RTH kota di bawah naungan pohon yaitu dengan nilai 28,22. Hal ini dikarenakan kawasan RTH kota memiliki banyak vegetasi dan minim bangunan fisik sehingga suhu udara rendah dan kelembaban tinggi membuat kawasan tersebut mendekati nyaman, namun pada jam pada saat dilakukan pengukuran, kawasan tersebut kurang nyaman bagi pengunjung. Nilai THI paling tinggi adalah nilai THI pada kawasan CBD di atas rumput. Hal ini disebabkan oleh kawasan CBD yang didominasi oleh bangunan fisik dan dekat jalan yang banyak mengeluarkan panas akibat aktivitas dari pembakaran energi. Selain itu, kemampuan rumput dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban juga kurang, sehingga kenyamanan di atas rumput pada kawasan CBD sangat rendah dibandingkan dengan struktur vegetasi pada kawasan lain. Secara keseluruhan, struktur vegetasi yang mempunyai nilai THI paling rendah adalah struktur vegetasi pohon, hal ini dikarenakan pohon memiliki kemampuan untuk menaungi dan melindungi dari sinar matahari sehingga suhu udara di bawah pohon lebih rendah. Kemampuan pohon dalam melakukan evapotranspirasi juga tinggi sehingga kelembaban udara yang dihasilkan oleh pohon lebih tinggi dibandingkan dengan struktur vegetasi lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pohon dalam memberikan kenyamanan pada manusia lebih baik dibandingkan dengan struktur vegetasi lainnya. Semak memiliki nilai THI lebih rendah dibandingkan dengan nilai THI rumput. Hal ini dikarenakan semak lebih mempunyai struktur yang menaungi dan intensitas evapotranspirasi lebih tinggi dibandingkan dengan rumput sehingga suhu udara lebih rendah dan kelembaban udara pada naungan semak lebih tinggi. Rumput tidak memiliki kemampuan untuk menaungi sehingga suhu udara rumput lebih tinggi dibandingkan semak. Hal ini membuktikan bahwa semak lebih mampu memberikan kenyamanan kepada manusia dibandingkan struktur vegetasi rumput. Kawasan yang keseluruhannya paling rendah nilai THI-nya adalah kawasan RTH kota dengan kisaran 28,22-31,06, hal ini dikarenakan kawasan RTH kota memiliki banyak vegetasi dan minim bangunan fisik. Kawasan industri memiliki nilai THI paling rendah setelah RTH kota dengan kisaran 29,42-32,13,

25 61 hal ini dikarenakan letak kawasan industri berada pada ketinggian mdpl sehingga menyebabkan suhu udara di kawasan industri lebih rendah dibandingkan dengan CBD dan perumahan walaupun terdapat aktivitas industri. Kawasan perumahan memiliki nilai THI lebih tinggi dibandingkan kawasan industri dengan kisaran 30,51-32,55, hal ini dikarenakan kawasan perumahan berada pada ketinggian yang paling rendah dibanding kawasan lain yaitu mdpl, sehingga kawasan perumahan memiliki suhu udara yang cukup tinggi, selain itu kawasan perumahan yang padat mempengaruhi dalam tingginya suhu udara di perumahan. Kawasan CBD memiliki nilai THI yang paling tinggi, artinya kawasan CBD merupakan kawasan yang paling tidak nyaman di antara kawasan lainnya, hal ini disebabkan oleh kawasan ini didominasi oleh bangunan dan RTH yang ada pada kawasan ini sangat minim. Selain faktor lingkungan tersebut, kemampuan tiap jenis struktur vegetasi (pohon, semak, dan rumput) dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara berbeda-beda, sehingga perlu diperhatikan pemilihan jenis struktur vegetasi pada setiap kawasan. Contohnya, diperlukan struktur vegetasi pohon yang efektif dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara pada semua kawasan. Selain itu, luas RTH keseluruhan pada setiap kawasan juga mempengaruhi kenyamanan dari kawasan tersebut. Semakin luas RTH pada suatu kawasan, kenyamanan akan semakin meningkat. CBD memiliki luas RTH yang paling rendah dibandingkan kawasan lainnya sehingga kawasan ini merupakan kawasan yang paling tidak nyaman dibandingkan dengan kawasan lainnya. Kawasan industri yang mempunyai aktivitas produksi, keadaannya lebih nyaman dibandingkan kawasan CBD karena selain faktor topografi, kawasan industri memiliki luasan RTH yang lebih luas dibandingkan dengan kawasan CBD. Untuk itu, ketersediaan RTH di setiap kawasan sebaiknya dipertahankan agar dapat menciptakan iklim mikro yang dapat memberikan kenyamanan bagi warga kota. 5.5 Rekomendasi RTH pada Land Use Hasil analisis menyatakan bahwa kemampuan tiap struktur vegetasi dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara berbeda-beda. Selain itu, setiap land use yang berbeda, iklim mikro yang diciptakan juga berbeda karena

26 62 adanya faktor lingkungan dari setiap land use dan kemampuan jenis vegetasi dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara berbeda-beda pula. Kota Bogor memiliki proporsi RTH yang ideal menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Pasal 29 Ayat 2, namun setelah dilakukan analisis kenyamanan, semua land use memiliki iklim mikro yang tidak nyaman bagi manusia. Hal ini dapat disebabkan oleh RTH yang ada belum dimanfaatkan semaksimal mungkin sehingga belum dapat dengan efektif menciptakan iklim mikro yang nyaman. RTH perkotaan diharapkan dapat memenuhi fungsinya sesuai kebutuhan masing-masing land use Rekomendasi Struktur Vegetasi Kota Bogor masih memiliki proporsi luas RTH yang ideal bagi kawasan perkotaan. Penting sekali untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas RTH yang ada di Kota Bogor sehingga kenyamanan warga kota tetap terjaga. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas RTH yaitu dengan menanam struktur vegetasi yang efektif dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara. Menurut hasil penelitian, struktur vegetasi pohon dapat dengan efektif menurunkan suhu udara sebesar 0,86-5,15 C dibandingkan struktur vegetasi lainnya. Penanaman pohon dalam jumlah banyak pada RTH sangat direkomendasikan karena fungsinya sangat efektif dalam ameliorasi iklim terutama pada kawasan yang luas RTH-nya sudah minim seperti CBD Rekomendasi RTH pada Kawasan Industri Hasil penelitian menyatakan industri memiliki suhu dan kelembaban udara yang relatif lebih nyaman dibandingkan kawasan CBD dan perumahan. Dapat dilihat dari luas tutupan lahannya pada tabel 5.3, kawasan industri memiliki nilai luasan RTH lebih besar dibandingkan kawasan CBD dan perumahan yaitu sebesar 26,95%. Industri merupakan kawasan yang memiliki potensi dalam ketidaknyamanan iklim mikro suatu kota. Untuk itu, sebaiknya industri dibangun jauh dari pusat kota dan RTH pada kawasan industri harus cukup luas dan efektif sehingga ketidaknyamanan iklim mikro yang disebabkan oleh aktivitas industri dapat diminimalisir.

27 Rekomendasi RTH pada Kawasan CBD Pada kawasan CBD di perkotaan sulit ditemukan RTH yang berbentuk areal, hal ini disebabkan oleh kepemilikan dari CBD rata-rata merupakan milik pribadi dan mahalnya harga tanah sehingga kesadaran untuk membuat RTH yang luas untuk kawasan tersebut sangat kurang. Suhu dan kelembaban udara pada kawasan CBD memiliki tingkat kenyamanan yang sangat minim dibandingkan kawasan lainnya. Dapat dilihat pada tabel 5.3, luas RTH pada kawasan CBD memiliki presentasi yang paling kecil dibandingkan dengan tiga kawasan lainnya yaitu sebesar 22,15%. Jalur akses CBD umumnya berhubungan secara langsung dengan jalan raya sehingga apabila sulit untuk menciptakan RTH berbentuk areal, RTH berbentuk linear juga dapat menjadi solusi. Keberadaan RTH dapat tetap dipertahankan pada kawasan CBD dengan mengefektifkan RTH pada lanskap jalan Rekomendasi RTH pada Kawasan Perumahan Hasil penelitian menyatakan kawasan perumahan memiliki nilai THI yang cukup tinggi dan nilainya hampir sama dengan nilai THI pada kawasan CBD. RTH pada kawasan perumahan sangat penting untuk ditingkatkan kualitasnya demi kenyamanan penghuni perumahan. Selain itu, RTH pada kawasan perumahan dapat menjadi media untuk menciptakan suasana ketetanggaan yang baik. RTH pada kawasan perumahan sebaiknya banyak diwujudkan dengan membuat taman lingkungan. Taman lingkungan sebaiknya didominasi oleh vegetasi pohon karena pohon dapat dengan efektif memberikan kenyamanan. Sehingga selain terciptanya kualitas lingkungan yang baik dengan adanya taman lingkungan yang memadai, kebutuhan sosial pengguna juga dapat terpenuhi Rekomendasi RTH pada Kawasan RTH Kota Perkembangan pesat pada kawasan perkotaan menyebabkan keberadaan RTH kota menjadi terancam. RTH kota sangat penting keberadaannya untuk tetap mempertahankan kualitas lingkungan di perkotaan. Kebun Raya Bogor merupakan RTH kota yang sangat membantu dalam menciptakan kenyamanan di kawasan Kota Bogor terutama letaknya yang berada pada pusat kota yang berpotensi terjadinya Urban Heat Island. RTH kota merupakan land use dengan

BAB IV KONDISI UMUM KOTA BOGOR

BAB IV KONDISI UMUM KOTA BOGOR 24 BAB IV KONDISI UMUM KOTA BOGOR 4.1 Profil Wilayah Kota Bogor Kota Bogor secara geografis terletak pada 106 o 48 Bujur Timur dan 6 o 36 Lintang Selatan dengan jarak ± 56 km dari ibukota Jakarta. Wilayah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 43 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Pengaruh RTH Terhadap Iklim Mikro 5.1.1 Analisis Pengaruh Struktur RTH Pohon Terhadap Iklim Mikro Pohon merupakan struktur RTH yang memiliki pengaruh cukup besar

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kenyamanan permukiman di kota dipengaruhi oleh keberadaan ruang terbuka hijau dan tata kelola kota. Pada tata kelola kota yang tidak baik yang ditunjukkan dengan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Lingkungan perkotaan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Lingkungan perkotaan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan perwujudan aktivitas manusia yang berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial, ekonomi, pemerintahan, politik, dan pendidikan, serta penyedia fasilitas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

PENGARUH RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP IKLIM MIKRO DI KAWASAN KOTA BOGOR CHERISH NURUL AINY

PENGARUH RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP IKLIM MIKRO DI KAWASAN KOTA BOGOR CHERISH NURUL AINY i PENGARUH RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP IKLIM MIKRO DI KAWASAN KOTA BOGOR CHERISH NURUL AINY DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 ii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Tanpa Skala. Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian. Gambar 2 Lokasi Penelitian

BAB III METODOLOGI. Tanpa Skala. Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian. Gambar 2 Lokasi Penelitian 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini yaitu dimulai pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan September 2011. Lokasi yang dipilih

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis Menurut Petterssen (1941), iklim merupakan rata-rata atau kondisi normal cuaca dalam jangka waktu panjang, 30 tahun atau lebih. Iklim suatu wilayah ditentukan

Lebih terperinci

PENGARUH TIPE TUTUPAN LAHAN TERHADAP IKLIM MIKRO DI KOTA BITUNG. Yorri Yotam Junam Sanger Johannes E. X. Rogi Johan Rombang

PENGARUH TIPE TUTUPAN LAHAN TERHADAP IKLIM MIKRO DI KOTA BITUNG. Yorri Yotam Junam Sanger Johannes E. X. Rogi Johan Rombang Agri-SosioEkonomi Unsrat, ISSN 1907 4298, Volume 12 Nomor 3A, November 2016: 105-116 PENGARUH TIPE TUTUPAN LAHAN TERHADAP IKLIM MIKRO DI KOTA BITUNG Yorri Yotam Junam Sanger Johannes E. X. Rogi Johan Rombang

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas 42 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas Secara geografis, perumahan Bukit Cimanggu City (BCC) terletak pada 06.53 LS-06.56 LS dan 106.78 BT sedangkan perumahan Taman Yasmin terletak pada

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 8 Peta Lokasi Penelitian (Sumber:

BAB III METODOLOGI. Gambar 8 Peta Lokasi Penelitian (Sumber: 13 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Studi Lokasi penelitian ini berada pada CBD Sentul City, yang terletak di Desa Babakan Maday, Kecamatan Citeuruep, Kabupaten DT II Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA 14 BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian inii dilakukan di Sentul City yang terletak di Kecamatan Babakan Madang dan Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau adalah area memanjang baik berupa jalur maupun mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, sebagai tempat tumbuhnya vegetasi-vegetasi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota ( Permasalahan Lingkungan Kota

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota ( Permasalahan Lingkungan Kota 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota Kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas, terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Pada kenyataannya kota merupakan tempat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kota Jakarta Barat dikenal sebagai kota jasa dan pusat bisnis yang

I. PENDAHULUAN. Kota Jakarta Barat dikenal sebagai kota jasa dan pusat bisnis yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Jakarta Barat dikenal sebagai kota jasa dan pusat bisnis yang berkembang sangat pesat dengan ciri utama pembangunan fisik namun di lain sisi, pemerintah Jakarta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Central Business District (CBD) Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 mengenai penataan ruang, pada Pasal 1 disebutkan bahwa kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai

Lebih terperinci

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan Kota memiliki keterbatasan lahan, namun pemanfaatan lahan kota yang terus meningkat mengakibatkan pembangunan kota sering meminimalkan ruang terbuka hijau. Lahan-lahan pertumbuhan banyak yang dialihfungsikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada beberapa tahun terakhir, kegiatan urbanisasi semakin meningkat, tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan berdampak dengan

Lebih terperinci

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum 12/2/211 Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI) di Kota Palembang Muis Fajar E3462536 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,

Lebih terperinci

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Tujuan Memahami makna dan manfaat hutan kota pada penerapannya untuk Lanskap Kota. Memiliki

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan dari tahun 2009 hingga tahun 2011. Penelitian dibagi

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi studi

Gambar 2 Peta lokasi studi 15 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi Studi dilakukan di Kebun Anggrek yang terletak dalam areal Taman Kyai Langgeng (TKL) di Jalan Cempaka No 6, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah,

Lebih terperinci

IV KONDISI UMUM TAPAK

IV KONDISI UMUM TAPAK IV KONDISI UMUM TAPAK 4.1 Letak, Luas, dan Batas Tapak Secara geografis kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea terletak pada 16 32 BT 16 35 46 BT dan 6 36 LS 6 55 46 LS. Secara administratif terletak di

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

METODOLOGI. Peta Kabupaten Bogor (http://students.ukdw.ac.id, 2010) Peta Bukit Golf Hijau (Sentul City, 2009)

METODOLOGI. Peta Kabupaten Bogor (http://students.ukdw.ac.id, 2010) Peta Bukit Golf Hijau (Sentul City, 2009) 19 METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di cluster Bukit Golf Hijau yang berada di dalam Sentul. Sentul terletak di Kecamatan Babakan Madang dan Kecamatan Sukaraja Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kota adalah pusat pertumbuhan yang ditandai dengan perkembangan jumlah penduduk (baik karena proses alami maupun migrasi), serta pesatnya pembangunan sarana dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN Media Konservasi Vol. 17, No. 3 Desember 2012 : 143 148 HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN (Correlation between Leaf Area Index with Micro Climate and Temperature

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Urban Heat Island Sebagai Dampak Dari Pembangunan Perkotaan

BAB I PENDAHULUAN Urban Heat Island Sebagai Dampak Dari Pembangunan Perkotaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Urban Heat Island Sebagai Dampak Dari Pembangunan Perkotaan Pembangunan perkotaan membawa perubahan pada lingkungan fisikdan atmosfer kota. Pada lingukungan

Lebih terperinci

lib.archiplan.ugm.ac.id

lib.archiplan.ugm.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterbatasan lahan yang terjadi di perkotaan diiringi dengan tingginya kebutuhan penduduk akan hunian menjadikan kawasan kota berkembang menjadi kawasan yang padat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota Kota dalam pengertian administrasi pemerintahan diartikan secara khusus, yaitu suatu bentuk pemerintah daerah yang merupakan daerah perkotaan. Wilayah kota secara administratif

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004 53 5.1.3 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi data Citra Landsat dilakukan untuk pengelompokan penutupan lahan pada tahun 2004. Metode yang dipergunakan adalah klasifikasi terbimbing (Supervised Classification).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Metro adalah kota hasil pemekaran Kabupaten Lampung Tengah dan memperoleh otonomi daerah pada tanggal 27 April 1999 sesuai dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun

Lebih terperinci

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan.

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan. FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL Erwin Hermawan Abstrak Secara umum, UHI mengacu pada peningkatan suhu udara,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberadaan ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang

I. PENDAHULUAN. Keberadaan ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang disebabkan oleh konversi lahan. Menurut Budiman (2009), konversi lahan disebabkan oleh alasan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik yang mengesampingkan. keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Biasanya kondisi padat

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik yang mengesampingkan. keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Biasanya kondisi padat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah perkotaan pada umumnya tidak memiliki perencanaan kawasan yang memadai. Tidak terencananya penataan kawasan tersebut ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Umum Evaluasi Kualitas Estetik

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Umum Evaluasi Kualitas Estetik 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Umum Desa Ancaran memiliki iklim yang dipengaruhi oleh iklim tropis dan angin muson, dengan temperatur bulanan berkisar antara 18 C dan 32 C serta curah hujan berkisar

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting dan Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kecamatan Jepara Jenis ruang terbuka hijau yang dikembangkan di pusat kota diarahkan untuk mengakomodasi tidak hanya fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini penting sebab tingkat pertambahan penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru terletak pada 101 0 18 sampai 101 0 36 Bujur Timur serta 0 0 25 sampai 0 0 45 Lintang Utara.

Lebih terperinci

KAJIAN PENATAAN POHON SEBAGAI BAGIAN PENGHIJAUAN KOTA PADA KAWASAN SIMPANG EMPAT PASAR MARTAPURA TUGAS AKHIR. Oleh: SRI ARMELLA SURYANI L2D

KAJIAN PENATAAN POHON SEBAGAI BAGIAN PENGHIJAUAN KOTA PADA KAWASAN SIMPANG EMPAT PASAR MARTAPURA TUGAS AKHIR. Oleh: SRI ARMELLA SURYANI L2D KAJIAN PENATAAN POHON SEBAGAI BAGIAN PENGHIJAUAN KOTA PADA KAWASAN SIMPANG EMPAT PASAR MARTAPURA TUGAS AKHIR Oleh: SRI ARMELLA SURYANI L2D 300 377 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM Izzati Winda Murti 1 ), Joni Hermana 2 dan R. Boedisantoso 3 1,2,3) Environmental Engineering,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS SINTESIS

BAB V ANALISIS SINTESIS BAB V ANALISIS SINTESIS 5.1 Aspek Fisik dan Biofisik 5.1.1 Letak, Luas, dan Batas Tapak Tapak terletak di bagian Timur kompleks sekolah dan berdekatan dengan pintu keluar sekolah, bangunan kolam renang,

Lebih terperinci

PENGARUH RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP IKLIM MIKRO (Studi Kasus Kebun Raya Cibodas, Cianjur) PIRKA SETIAWATI

PENGARUH RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP IKLIM MIKRO (Studi Kasus Kebun Raya Cibodas, Cianjur) PIRKA SETIAWATI i PENGARUH RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP IKLIM MIKRO (Studi Kasus Kebun Raya Cibodas, Cianjur) PIRKA SETIAWATI DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ii PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGARUH STRUKTUR VEGETASI PADA RTH DI BERBAGAI LAND USE DI KOTA DEPOK DESTI FIRZA MULYATI

PENGARUH STRUKTUR VEGETASI PADA RTH DI BERBAGAI LAND USE DI KOTA DEPOK DESTI FIRZA MULYATI PENGARUH STRUKTUR VEGETASI PADA RTH DI BERBAGAI LAND USE DI KOTA DEPOK DESTI FIRZA MULYATI DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

Lebih terperinci

PENGARUH STRUKTUR VEGETASI TERHADAP IKLIM MIKRO DI BERBAGAI LAND USE DI KOTA JAKARTA NEFALIANTI DESTRIANA

PENGARUH STRUKTUR VEGETASI TERHADAP IKLIM MIKRO DI BERBAGAI LAND USE DI KOTA JAKARTA NEFALIANTI DESTRIANA PENGARUH STRUKTUR VEGETASI TERHADAP IKLIM MIKRO DI BERBAGAI LAND USE DI KOTA JAKARTA NEFALIANTI DESTRIANA DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 1. Kondisi kenyamanan thermal hasil simulasi eksisting: Kondisi eksisting penggal 1,2,3 titik terendah dan tertinggi pagi

BAB VI PENUTUP. 1. Kondisi kenyamanan thermal hasil simulasi eksisting: Kondisi eksisting penggal 1,2,3 titik terendah dan tertinggi pagi BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan 1. Kondisi kenyamanan thermal hasil simulasi eksisting: Kondisi eksisting penggal 1,2,3 titik terendah dan tertinggi pagi (07.00) secara keseluruhan dalam kondisi nyaman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang memerlukan banyak bangunan baru untuk mendukung

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang memerlukan banyak bangunan baru untuk mendukung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksistensi Penelitian Perkembangan dan pembangunan yang terjadi di perkotaan membuat kawasan kota menjadi semakin padat. Salah satu penyebabnya adalah pertambahan jumlah

Lebih terperinci

ANALISIS URBAN HEAT ISLAND

ANALISIS URBAN HEAT ISLAND ANALISIS URBAN HEAT ISLAND DALAM KAITANNYA TERHADAP PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI KOTA PONTIANAK Indra Rukmana Ardi 1, Mira Sophia Lubis 2, Yulisa Fitrianingsih 1 1 Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat terjadinya kehidupan dan aktivitas bagi penduduk yang memiliki batas administrasi yang diatur oleh perundangan dengan berbagai perkembangannya.

Lebih terperinci

REKOMENDASI Peredam Kebisingan

REKOMENDASI Peredam Kebisingan 83 REKOMENDASI Dari hasil analisis dan evaluasi berdasarkan penilaian, maka telah disimpulkan bahwa keragaman vegetasi di cluster BGH memiliki fungsi ekologis yang berbeda-beda berdasarkan keragaman kriteria

Lebih terperinci

Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN:

Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN: Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN: 2460-6480 Kajian Upaya Penurunan Dampak Urban Heat Island di Kota Tanjungpinang The Study of The Reducing Effort on Urban Heat Island s Impact in Kota Tanjungpinang

Lebih terperinci

Hubungan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan Suhu dan Kelembapan dalam Kajian Iklim Mikro di Kota Malang

Hubungan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan Suhu dan Kelembapan dalam Kajian Iklim Mikro di Kota Malang Hubungan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan Suhu dan Kelembapan dalam Kajian Iklim Mikro di Kota Malang Heni Masruroh Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang E-mail: henimasruroh@rocketmail.com ABSTRAK:

Lebih terperinci

INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR

INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR Cesaria Wahyu Lukita, 1, *), Joni Hermana 2) dan Rachmat Boedisantoso 3) 1) Environmental Engineering, FTSP Institut Teknologi

Lebih terperinci

Pengaruh Fungsi Vegetasi terhadap Kenyamanan Termal Lanskap Jalan di Kawasan Kolonial Jalan Besar Idjen, Malang

Pengaruh Fungsi Vegetasi terhadap Kenyamanan Termal Lanskap Jalan di Kawasan Kolonial Jalan Besar Idjen, Malang TEMU ILMIAH IPLBI 2016 Pengaruh Fungsi Vegetasi terhadap Kenyamanan Termal Lanskap Jalan di Kawasan Kolonial Jalan Besar Idjen, Malang Rizki Alfian (1), Irawan Setyabudi (2), Rofinus Seri Uran (3) (1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan ekosistem buatan yang terjadi karena campur tangan manusia dengan merubah struktur di dalam ekosistem alam sesuai dengan yang dikehendaki (Rohaini, 1990).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan saat ini semakin meningkat. Salah satu masalah lingkungan global yang dihadapi banyak negara adalah terjadinya pulau bahang kota (urban heat island)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (Dipayana dkk, 2012; DNPI, 2009; Harvell dkk 2002; IPCC, 2007; Sudarmadji

I PENDAHULUAN. (Dipayana dkk, 2012; DNPI, 2009; Harvell dkk 2002; IPCC, 2007; Sudarmadji 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim telah dirasakan pada hampir seluruh wilayah di dunia dan salah satu dampak yang dirasakan oleh manusia adalah pemanasan global (Dipayana dkk, 2012; DNPI,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... PARAKATA... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI... PARAKATA... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI PARAKATA... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vi viii x xi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 3 1.2 Rumusan Masalah... 8 1.3 Tujuan, Sasaran dan Manfaat... 8 1.3.1 Tujuan...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan

Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan bagian 1 : Pendekatan perhitungan Suhu udara, Damping depth dan Diffusivitas thermal Oleh : Pendahuluan Ruang terbuka hijau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Urban Heat Island dan Kawasan Terbangun. terhadap lingkungan sekitarnya. Fenomena Urban Heat Island (UHI)

BAB 1 PENDAHULUAN Urban Heat Island dan Kawasan Terbangun. terhadap lingkungan sekitarnya. Fenomena Urban Heat Island (UHI) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Urban Heat Island dan Kawasan Terbangun. Pembangunan pada sebuah kawasan membawa perubahan terhadap lingkungan sekitarnya. Fenomena Urban Heat Island (UHI)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

LANSKAP PERKOTAAN (URBAN LANDSCAPE)

LANSKAP PERKOTAAN (URBAN LANDSCAPE) Magister Desain Kawasan Binaan (MDKB) LANSKAP PERKOTAAN (URBAN LANDSCAPE) Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Siti Nurul Rofiqo Irwan, SP., MAgr, PhD. Pendahuluan Tujuan : Memberi pemahaman tentang: - Pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan-lahan untuk menyediakan permukiman, sarana penunjang ekonomi

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

Gambar 23. Ilustrasi Konsep (Image reference) Sumber : (1) ; (2) (3)

Gambar 23. Ilustrasi Konsep (Image reference) Sumber : (1)  ; (2)  (3) 48 PERENCANAAN LANSKAP Konsep dan Pengembangannya Konsep dasar pada perencanaan lanskap bantaran KBT ini adalah menjadikan bantaran yang memiliki fungsi untuk : (1) upaya perlindungan fungsi kanal dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kota Per Kecamatan Kota yang terdiri dari enam kecamatan memiliki proporsi jumlah penduduk yang tidak sama karena luas masing-masing kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi dan pertambahan penduduk menyebabkan kebutuhan manusia semakin meningkat. Dalam lingkup lingkungan perkotaan keadaan tersebut membuat pembangunan

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini akan menguraikan kesimpulan dan saran sebagai hasil pengolahan data penelitian dan pembahasan terhadap hasil analisis yang telah disajikan dalam beberapa bab sebelumnya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota adalah sebuah sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomis yang heterogen

Lebih terperinci

APLIKASI TEKNOLOGI PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI HEAT ISLAND ( PULAU PANAS ) DI KOTA PEKANBARU

APLIKASI TEKNOLOGI PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI HEAT ISLAND ( PULAU PANAS ) DI KOTA PEKANBARU APLIKASI TEKNOLOGI PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI HEAT ISLAND ( PULAU PANAS ) DI KOTA PEKANBARU Muhammad Ikhwan 1, Hadinoto 1 1 Staf pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1980-an para peneliti meteorologi meyakini bahwa akan terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spasial maupun temporal. Kenaikan temperatur

Lebih terperinci