BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model REMO yang memiliki resolusi 0,5 0 x 0,5 0, domain Kalimantan (termasuk wilayah Brunei Darussalam dan Malaysia Timur) terdiri dari 237 pixel. Jumlah pixel ini setara dengan luas Pulau Kalimantan sebesar km 2 berdasarkan perhitungan berikut. Luas pulau Kalimantan = 237 x (0,5 0 x 0,5 0 ) x (111km x 111km) = km 2 Gambar 4.1 Jumlah pixel dalam domain penelitian Jika dibandingkan dengan data luas wilayah Kalimantan pada tabel 4.1 menunjukan bahwa luas domain kajian cukup mendekati kondisi sebenarnya. Tabel 4.1 Luas wilayah dan persentase luas daerah penelitian Wilayah Luas (km 2 ) % Brunei Darussalam ,75 Malaysia Timur ,55 Kalimantan ,70 Total (Sumber : The World Factbook, 2004) IV - 1

2 Luas hutan Kalimantan pada kondisi kontrol adalah km 2. Selanjutnya dibuat skenario penurunan rasio hutan 25%, penurunan rasio hutan 50%, dan penambahan rasio hutan 20% berdasarkan acuan dari luas hutan pada kondisi kontrol tersebut. Tabel 4.2 Rasio hutan kondisi kontrol dan masing-masing skenario Skenario Luas Wilayah (km 2 ) Luas Hutan (km 2 ) Rasio Hutan Kontrol ,795 Min 25% ,596 Min 50% ,397 Plus 20% ,953 Visualisasi penurunan rasio luas hutan dapat dilihat pada pada gambar 4.2. (a) Kontrol (b) Deforestasi 25 % (c) Deforestasi 50 % (d) Reforestasi 20% Gambar 4.2 Plot spasial rasio hutan (a) simulasi kontrol, (b) deforestasi 25%, (c) deforestasi 50%, dan (d) reforestasi 20% Selain rasio vegetasi, beberapa parameter permukaan lain juga disesuaikan nilainya berdasarkan nilai pada kondisi rasio hutannya. Parameter-parameter tersebut adalah surface background albedo, leaf area index, tipe vegetasi, dan kapasitas lapang tanah. 4.2 Analisis Spasial Parameter Permukaan Parameter permukaan hasil keluaran REMO yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari sensible heat flux, latent heat flux, temperatur permukaan, evaporasi, dan curah hujan konvektif. IV - 2

3 (a) Sensible Heat Flux (b) Latent Heat Flux (c) Temperatur Permukaan (d) Evaporasi Permukaan Gambar 4.3 Plot spasial rata-rata bulanan parameter permukaan (a) Sensible Heat Flux, (b) Latent Heat Flux, (c) Temperatur permukaan, (d) Evaporasi permukaan. Kasus diambil pada bulan maret 1983 pukul 00.00, 06.00, 12.00, dan UTC untuk simulasi kontrol, deforestasi 25%, deforestasi 50%, dan reforestasi 20% Sebagai penentu utama cuaca/iklim, neraca energi mengatur kesetimbangan dinamik dari suatu rangkaian proses yang terjadi pada atau di dekat permukaan. Perbedaan kondisi tutupan lahan akan berpengaruh pada kesetimbangan energi, yang selanjutnya IV - 3

4 akan mempengaruhi parameter cuaca permukaan, yaitu temperatur dan evaporasi. Kedua parameter tersebut terkait langsung dengan parameter flux panas baik panas sensible maupun panas laten yang merupakan komponen penting dalam keseimbangan energi. Perubahan pada kedua parameter cuaca permukaan tersebut pada tahap selanjutnya akan mempengaruhi pembentukan awan konvektif sebagai penghasil hujan untuk skala lokal. Gambar 4.3 menampilkan visualisasi parameter-parameter tersebut pada 4 waktu simulasi, yaitu pukul UTC, UTC, UTC, dan UTC. Adanya efek diurnal menyebabkan terjadinya keragaman nilai masing-masing parameter dalam setiap waktu simulasi. Jika dilihat secara teliti, pada plot spasial tersebut perubahan kondisi hutan cukup berpengaruh pada nilai parameter-parameter tersebut dan seluruh parameter menunjukan perubahan yang signifikan terjadi pada pukul UTC dibandingkan dengan waktu-waktu lainnya. Nilai yang ditunjukan pada simulasi pukul UTC merupakan nilai akumulatif antara pukul hingga UTC, dimana pada waktu tersebut suplai energi dipancarkan terus menerus dari matahari yang diterima oleh permukaan bumi Analisis Spasial Sensible dan Latent Heat Flux Pada umumnya radiasi di bumi bernilai positif pada siang hari, ini berarti permukaan mempunyai kelebihan energi radiasi (surplus radiasi) sedangkan atmosfer mengalami defisit radiasi. Untuk menyeimbangkan neraca energi, maka kelebihan energi tersebut dikembalikan ke atmosfer dalam bentuk panas laten dan panas sensible. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengaruh perubahan kondisi hutan pada kedua parameter ini terlihat jelas pada pukul UTC. Gambar 4.4 dan 4.5 menampilkan plot spasial parameter flux panas sensible dan flux panas latent pada pukul UTC. IV - 4

5 (a) Kontrol (b) Deforestasi 25 % (c) Deforestasi 50 % (d) Reforestasi 20% Gambar 4.4 Plot spasial sensible heat flux bulan Maret 1983 Pukul UTC Pada gambar 4.3a, nilai fluks panas sensible pada pukul dan UTC berkisar antara 0 40 W/m 2, pada pukul berkisar antara W/m 2, sedangkan pada pukul UTC berkisar antara W/m 2. Nilai fluks maksimum yang terjadi pada pukul UTC ini, tentunya dipengaruhi oleh suplai energi dari matahari pada waktu tersebut. Jika ditinjau dari masing-masing skenario kondisi hutan untuk waktu simulasi pukul UTC seperti ditampilkan pada gambar 4.4, maka dapat dilihat bahwa akibat penurunan rasio hutan menyebabkan turunnya nilai fluks panas sensible di beberapa kawasan. Sebaliknya, jika rasio hutan ditambah dari kondisi kontrol (gambar 4.4d), maka secara spasial nilai fluks panas ini akan meningkat di sebagian besar wilayah. Transfer panas sensible terjadi jika ada perbedaan panas antara permukaan dengan atmosfer yang cukup tinggi. Kawasan yang tidak ditumbuhi vegetasi memiliki kapasitas panas yang rendah sehingga lebih cepat panas. Hal ini menyebabkan perbedaan temperatur antara permukaan dan atmosfer, yang saat itu juga sedang menghangat, menjadi lebih kecil. Sehingga aliran panas antara kedua tempat tersebut berkurang, yang menyebabkan nilai flux panas sensible pada kawasan ini rendah dibandingkan pada kawasan yang tertutup vegetasi. IV - 5

6 (a) Kontrol (b) Deforestasi 25 % (c) Deforestasi 50 % (d) Reforestasi 20% Gambar 4.5 Plot spasial latent heat flux bulan Maret 1983 Pukul UTC Nilai fluks panas laten juga mengalami fluktuasi tiap waktunya. Pada gambar 4.3b menunjukan bahwa pada pukul dan UTC yang berkisar antara 0 20 W/m2, pada pukul UTC berkisar antara W/m 2, sedangkan pada pukul UTC berkisar antara W/m 2. Berdasarkan skenario rasio hutan yang telah dibuat, seperti ditunjukan pada gambar 4.5, parameter latent heat flux cenderung mengalami penurunan jika rasio hutan berkurang dan mengalami kenaikan di sebagian wilayah jika rasio hutan bertambah. Seperti kita ketahui bahwa flux panas laten digunakan untuk proses evaporasi atau transpirasi pada tumbuhan. Jika tidak ada vegetasi yang tumbuh di suatu kawasan dan kandungan air yang dimiliki kawasan tersebut rendah, maka nilai flux panas laten pun menjadi rendah. Kawasan yang tidak tertutup vegetasi lebih sedikit mengandung air daripada kawasan hutan. Sehingga energi untuk menguapkan air pada kawasan tersebut akan digunakan untuk memanaskan permukaannya. Sedangkan pada kawasan yang tertutup vegetasi seperti hutan, maka radiasi yang sampai pada daerah tersebut akan diserap oleh permukaan daun dan tanah menjadi panas laten, sehingga nilai flux panas laten meningkat. Radiasi matahari yang diserap oleh daun digunakan dalam proses transpirasi. Oleh karena itu, kawasan yang mengalami penurunan rasio hutan akan mengalami penurunan nilai fluks panas laten yang mengakibatkan menurunnya evaporasi. IV - 6

7 4.2.2 Analisis Spasial Temperatur dan Evaporasi Permukaan Temperatur permukaan dan evaporasi merupakan parameter cuaca permukaan yang memiliki keterkaitan erat dengan nilai fluks panas yang telah dijelaskan sebelumnya. Gambar 4.6 dan 4.7 menampilkan plot spasial kedua parameter cuaca ini yang diambil pada pukul UTC. (a) Kontrol (b) Deforestasi 25 % (c) Deforestasi 50 % (d) Reforestasi 20% Gambar 4.6 Plot spasial temperatur permukaan bulan Maret 1983 Pukul UTC Nilai temperatur permukaan berfluktuasi setiap waktu. Dari keempat waktu simulasi yang ditampilkan pada gambar 4.3c, untuk simulasi pukul nilai temperatur permukaan berkisar antara K ( C). Pada pukul dan UTC, nilainya berkisar antara K ( C). Nilai maksimum terjadi pada pukul UTC yang berkisar antara 300 K (27 0 C) hingga lebih dari 314 K (41 0 C). Nilai temperatur di kawasan pesisir pantai pada waktu simulasi tersebut cenderung lebih rendah daripada di kawasan pedalaman. Hal ini terjadi karena pada waktu tersebut berhembus angin laut yang membawa massa udara yang lebih dingin dari laut ke daratan. Gambar 4.6 menunjukan nilai parameter temperatur permukaan pada pukul UTC ditinjau berdasarkan skenario rasio hutan yang telah dibuat. Jika rasio hutan di suatu kawasan mengalami penurunan, maka nilai temperatur permukaan cenderung meningkat di beberapa kawasan. Pada skenario deforestasi 50% nilai temperatur untuk seluruh wilayah Kalimantan rata-rata di atas 305 Kelvin atau 32 0 C. Hal ini IV - 7

8 terjadi karena flux panas sensible pada kawasan yang tidak tertutup vegetasi nilainya rendah. Sehingga aliran panas yang keluar dari permukaan pun berkurang dan lebih banyak disimpan di dalam permukaan. Inilah yang menyebabkan temperatur pada permukaan yang tidak ditumbuhi vegetasi menjadi lebih tinggi daripada kawasan yang berupa hutan. Sedangkan pada daerah yang tertutup vegetasi, radiasi yang datang akan dihamburkan dan diserap oleh vegetasi tersebut untuk digunakan dalam proses transpirasi dan fotosintesis dan hanya sebagian lainnya yang diteruskan ke permukaan. Sehingga nilai temperatur permukaan untuk wilayah tersebut cenderung lebih rendah. Temperatur permukaan merupakan tanggapan dari semua fluks energi yang melewati permukaan tersebut. Daerah yang sebagian besar tertutup vegetasi (hutan, perkebunan, atau pedesaan) mempunyai temperatur yang lebih mantap, artinya perbedaan temperatur pagi, siang, dan malam lebih kecil dibandingkan wilayah yang sedikit ditutupi vegetasi (Lestiana, 1997). Pernyataan tersebut dapat dibuktikan pada penelitian ini, dimana kawasan yang mengalami penurunan rasio hutan akan mengakibatkan perbedaan temperatur antara pagi, siang, dan malam menjadi lebih besar daripada untuk kawasan yang masih berupa hutan. (a) Kontrol (b) Deforestasi 25 % (c) Deforestasi 50 % (d) Reforestasi 20% Gambar 4.7 Plot spasial evaporasi permukaan bulan Maret 1983 Pukul UTC Pada gambar 4.3d dapat dilihat plot spasial evaporasi permukaan untuk 4 waktu simulasi, dimana indeks negatif menunjukan arah proses evaporasi yang terjadi. Nilai minimum terjadi pada pukul dan UTC berkisar antara 0 0,4 mm/hari. IV - 8

9 Sedangkan pada pukul UTC terjadi nilai evaporasi maksimum yang berkisar antara 0,5 4,5 mm/hari. Pada pukul UTC nilainya berkurang dari waktu sebelumnya, yaitu berkisar antara 1 2,6 mm/hari. Berdasarkan skenario rasio hutan untuk pukul UTC yang ditampilkan pada gambar 4.7, dapat dilihat bahwa akibat penurunan rasio hutan menyebabkan nilai evaporasi berkurang di sejumlah wilayah. Namun jika rasio hutan ditambah dari kondisi kontrol menyebabkan nilai evaporasi meningkat. Hal ini sesuai dengan yang terjadi pada parameter fluks panas laten yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Kawasan yang mengalami penurunan rasio vegetasi, akan memiliki kandungan air yang lebih sedikit daripada kawasan yang masih ditumbuhi vegetasi, khususnya hutan. Akibat rendahnya kadar air pada permukaan, maka energi yang digunakan untuk menguapkan air pun akan berkurang (panas laten). Kondisi ini menyebabkan proses evaporasi permukaan mengalami penurunan. Selain itu dengan berkurangnya jumlah vegetasi pada kawasan tersebut menyebabkan menurunnya proses transpirasi oleh tumbuhan Analisis Curah Hujan Konvektif Di atas permukaan wilayah Indonesia sering ditemui awan konvektif jenis cumulus. Awan ini terbentuk dalam kondisi udara lembab dan tidak stabil secara konvektif akibat pemanasan permukaan dari radiasi matahari. Curah hujan konvektif merupakan salah satu parameter yang terkait langsung dengan parameter temperatur permukaan. Jika temperatur permukaan mengalami perubahan, maka akan berpengaruh pada aktivitas konvektif yang terjadi. Gambar 4.8 merupakan visualisasi curah hujan konvektif yang diambil untuk kasus bulan Maret IV - 9

10 Gambar 4.8 Plot spasial curah hujan konvektif bulan Maret 1983 Pukul 00.00, 06.00, 12.00, dan UTC untuk simulasi kontrol, deforestasi 25%, deforestasi 50%, dan reforestasi 20% Pada gambar 4.8 dapat dilihat adanya perubahan pola curah hujan pada masingmasing skenario penurunan maupun penambahan rasio hutan pada masing-masing waktu simulasi. Perubahan yang terjadi pada parameter curah hujan konvektif tidak homogen di seluruh kawasan sebagaimana yang terjadi pada parameter temperatur dan evaporasi. Artinya, ada beberapa wilayah mengalami peningkatan intensitas curah hujan, tapi ada pula yang mengalami penurunan. IV - 10

11 (a) Kontrol (b) Deforestasi 25 % (c) Deforestasi 50 % (d) Reforestasi 20% Gambar 4.9a Plot spasial CH konvektif bulan Maret 1983 Pukul UTC Seperti yang terlihat pada gambar 4.7, curah hujan konvektif mengalami perubahan pola untuk masing-masing skenario. Pada kondisi kontrol, terdapat curah hujan maksimum yang terjadi di bagian barat pulau Kalimantan dimana nilainya mencapai 2,7 mm/hari. Jika kawasan hutan berkurang sebesar 25%, maka ada beberapa kawasan yang pada kondisi kontrol tidak mengalami hujan menjadi mengalami hujan. Dengan kata lain terjadi perluasan daerah cakupan hujan, akan tetapi nilai maksimum berkurang dari kondisi kontrol menjadi sekitar 1,5 mm/hari. Jika luas hutan diturunkan lagi dua kali lipatnya, yaitu sebesar 25%, maka cakupan hujan menjadi semakin luas, namun nilai maksimum curah hujan kembali mengalami penurunan, yaitu sekitar 0,8 mm/hari. Sedangkan jika hutan mengalami perluasan sebanyak 20% dari kondisi awal, maka curah cakupan hujan konvektif sedikit mengalami perluasan dari kondisi kontrol dan nilai maksimum mencapai 1,5 mm/hari. Gambar 4.9b Anomali vektor angin skenario deforestasi25% - kontrol UTC IV - 11

12 Menurunnya rasio hutan di suatu wilayah menyebabkan peningkatan pada temperatur permukaan. Jika penurunan ini merata di seluruh wilayah Kalimantan, maka daerah ini akan mempunyai perbedaan temperatur pada siang hari yang cukup tinggi dengan lautan di sekitarnya yang lebih dingin. Perbedaan temperatur menyebabkan munculnya perbedaan tekanan diantara keduanya, sehingga muncul pergerakan udara yang mengandung banyak uap air dari lautan ke daratan yang bertekanan rendah dan menyebabkan kelembaban di daratan menjadi tinggi. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada anomali vektor angin untuk skenario deforestasi 25% pada gambar 4.9b. Temperatur yang tinggi di atas daratan menyebabkan meningkatnya gaya apung termal sehingga massa udara naik dan terjadilah proses konveksi. Karena daerah tersebut menjadi lembab akibat suplai uap air dari lautan, menyebabkan kondisinya menjadi jenuh dan memenuhi syarat terbentuknya tetes hujan. Hal ini kemungkinan besar merupakan penyebab terjadinya perluasan daerah yang mengalami hujan. 4.3 Anomali Parameter Permukaan Analisis selanjutnya adalah menghitung anomali parameter cuaca permukaan antara hasil simulasi kontrol dengan ketiga skenario perubahan rasio hutan. Nilai anomali dapat ditinjau dalam bentuk spasial maupun temporal. Secara spasial, nilai anomali dibuat dalam bentuk komposit (nilai rata-rata tiap bulan yang dirata-ratakan kembali selama waktu kajian, yaitu 15 tahun). Sedangkan secara temporal, nilai anomali ratarata wilayah yang dirata-ratakan perbulan selama 15 tahun lalu diplot dalam grafik time series. Perhitungan nilai anomali dibuat untuk parameter temperatur permukaan, evaporasi permukaan, dan curah hujan konvektif dengan mengambil contoh kasus pada bulan dan waktu simulasi tertentu untuk menganalisis output yang dihasilkan. Analisis perhitungan anomali ini betujuan untuk mengetahui seberapa besar kenaikan ataupun penurunan nilai masing-masing parameter cuaca permukaan akibat penurunan maupun penambahan luas rasio hutan. IV - 12

13 4.3.1 Anomali Temperatur Permukaan Anomali Spasial Komposit Temperatur Permukaan (a) Perioda DJF (bulan Januari) (b) Perioda JJA (bulan Juli) Gambar 4.10 Anomali spasial komposit temperatur permukaan (a) bulan Januari (perioda DJF) dan (b) bulan Juli (perioda JJA) pada pukul 00.00, 06.00, 12.00, dan UTC untuk anomali deforestasi 25% - kontrol, deforestasi 50% - kontrol, dan reforestasi 20% - kontrol Pada gambar 4.10, dapat dilihat bahwa anomali temperatur pada pukul 00.00, 06.00, dan UTC nilainya relatif kecil sedangkan pada pukul UTC, anomali yang dihasilkan menunjukan nilai yang maksimum. Hal ini sesuai dengan pembahasan mengenai plot spasial temperatur permukaan pada dimana nilai temperatur permukaan menunjukan maksimum pada pukul UTC dan anomali parameter ini untuk masing-masing simulasi terlihat paling jelas pada waktu tersebut. IV - 13

14 Jika dibandingkan antara perioda DJF (Bulan Januari) dengan perioda JJA (Bulan Juli) pada gambar 4.10, anomali spasial yang dihasilkan untuk empat waktu simulasi menunjukan adanya perbedaan yang jelas pada pukul UTC untuk skenario deforestasi 50% dan reforestasi 20%. Dimana anomali deforestasi 50% terhadap kontrol pada perioda JJA menunjukan nilai anomali temperatur rata-rata tinggi diatas 2 K untuk seluruh wilayah dibandingkan dengan perioda DJF dimana ada sebagian wilayah yang memiliki anomali rendah. Begitupun dengan anomali reforestasi 20% terhadap kontrol, pada periode JJA ada beberapa kawasan yang mengalami kenaikan nilai anomali dibandingkan dengan periode DJF. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada perioda JJA matahari sedang berada di utara ekuator (tropics of cancer), sehingga sebagian besar wilayah Indonesia mengalami musim kemarau. Pengaruh musim ini menyebabkan anomali temperatur yang dihasilkan pada periode ini ratarata tinggi di seluruh wilayah. Jika ditinjau berdasarkan masing-masing anomali yang dihasilkan untuk seluruh waktu simulasi pada gambar 4.10, dapat dilihat bahwa untuk anomali skenario deforestasi 25% terhadap kontrol, nilainya berkisar antara 0,1 s.d 2,5 K. Untuk anomali skenario deforestasi 50% terhadap kontrol, nilainya berkisar antara 0,2 s.d 5 K. Sedangkan untuk anomali skenario reforestasi 20% terhadap kontrol, nilainya berkisar antara 0 s.d -2,5 K. Dari hasil yang diperoleh tersebut menunjukan bahwa dengan berkurangnya luas rasio hutan, anomali minimum dan maksimum temperatur permukaan di suatu kawasan mengalami peningkatan. Seperti yang terjadi pada skenario deforestasi 50%, dimana anomali maksimum mencapai 5 K. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar Anomali spasial tersebut merupakan contoh kasus simulasi anomali komposit temperatur yang diambil pada bulan Juli pukul UTC. IV - 14

15 Gambar 4.11 Anomali spasial komposit bulan Juli pukul UTC untuk anomali deforestasi 25% - kontrol, deforestasi 50% - kontrol, dan reforestasi 20% - kontrol Jika ditinjau secara detail, maka untuk skenario penurunan rasio hutan, nilai anomali temperatur permukaan di daerah pesisir pantai relatif kecil. Seperti telah dijelaskan pada subbab 4.2.2, bahwa pada waktu simulasi tersebut terjadi perbedaan temperatur yang sangat tinggi antara daratan dan lautan di sekitarnya. Hal ini memicu adanya perbedaan tekanan antara kedua kawasan tersebut, sehingga muncul gerak massa udara yang memiliki temperatur lebih rendah dari lautan menuju ke daratan. Sehingga IV - 15

16 di kawasan pesisir nilai temperaturnya cenderung lebih rendah daripada di kawasan pedalaman. Akibatnya nilai anomali yang dihasilkan pun menjadi lebih kecil di kawasan tersebut Anomali Rata-Rata Bulanan Temperatur Permukaan Setelah membahas anomali temperatur secara spasial, dilakukan pula pembahasan anomali secara temporal. Pada pembahasan kali ini, nilai anomali temperatur rata-rata wilayah dirata-ratakan setiap bulan selama 15 tahun, dimulai tahun 1979 hingga Time series yang ditampilkan pada gambar 4.12 merupakan salah satu kasus yang diambil untuk simulasi pukul UTC. Gambar 4.12 Time series anomali rata-rata bulanan temperatur permukaan pukul UTC untuk anomali deforestasi 25% - kontrol, deforestasi 50% - kontrol, dan reforestasi 20% - kontrol IV - 16

17 Gambar 4.12 menampilkan grafik anomali temperatur bulanan untuk skenario deforestasi 25% - kontrol (plot orange), skenario deforestasi 50% - kontrol (plot merah), dan skenario reforestasi 20% (plot biru). Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa dua skenario deforestasi memiliki nilai anomali positif, artinya jika rasio hutan di suatu wilayah mengalami penurunan maka akan terjadi kenaikan temperatur ratarata di wilayah tersebut sebesar anomali yang dihasilkan terhadap simulasi kontrol. Semakin tinggi tingkat deforestasi yang terjadi maka nilai anomali temperatur pun semakin besar, dapat dilihat pada plot anomali deforestasi 50% - kontrol (plot merah) yang secara keseluruhan lebih tinggi nilainya daripada plot anomali deforestasi 25% - kontrol (plot orange). Sedangkan untuk anomali reforestasi 20% - kontrol (plot biru) memiliki nilai anomali negatif, artinya jika suatu wilayah mengalami penambahan jumlah rasio hutan, maka temperatur permukaan mengalami penurunan sebesar anomali yang dihasilkan terhadap simulasi kontrol. Dalam 15 tahun waktu kajian, anomali parameter temperatur permukaan berfluktuasi nilainya dan cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada gambar 4.12, kenaikan temperatur permukaan rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Juli 1993 untuk skenario deforestasi 50%, dimana nilai anomali yang dihasilkan sebesar 1,71 K sedangkan penurunan temperatur tertinggi terjadi pada bulan Oktober 1992 untuk skenario reforestasi 20% dengan nilai anomali sebesar -0,58 K. Untuk memperkuat dugaan mengenai adanya kenaikan nilai anomali selama 15 tahun, maka dibuat pula grafik perbandingan masing-masing anomali untuk membuktikan adanya trend kenaikan anomali yang ditampilkan pada gambar Gambar 4.13 membuktikan adanya kenaikan anomali temperatur permukaan dari tahun 1979 hingga 1993, walaupun nilai trend yang dihasilkan cukup rendah tapi tetap mengindikasikan adanya kenaikan anomali selama 15 tahun tersebut. Jika rasio hutan di suatu kawasan mengalami penurunan sebesar 25% (skenario deforestasi 25%) maka anomali meningkat rata-rata tiap tahunnya dengan nilai trend sebesar 0,039, sedangkan jika penurunan rasio hutan lebih besar lagi, yaitu 50% maka trend IV - 17

18 anomali yang dihasilkan semakin tinggi, yaitu 0,077. Begitu pula jika rasio hutan ditambah sebesar 20% dari kondisi kontrol, maka anomali mengalami kenaikan (dalam grafik nilainya semakin negatif) dengan nilai trend sebesar 0,127. Gambar 4.13 Grafik perbandingan trend kenaikan temperatur permukaan rata-rata bulanan pukul UTC untuk anomali deforestasi 25% - kontrol, deforestasi 50% - kontrol, dan reforestasi 20% - kontrol Jika dilihat dari besarnya nilai trend yang dihasilkan, maka pengaruh reforestasi pada perubahan nilai suatu parameter iklim lebih besar daripada pengaruh deforestasi. Sehingga jika suatu daerah mengalami penurunan rasio hutan, maka upaya untuk mengembalikan perubahan kondisi parameter cuaca yang terjadi ke kondisi semula tidak perlu dilakukan penanaman kembali hutan sebesar persentase rasio hutan yang hilang tersebut. Karena seperti terlihat pada gambar 4.13, trend yang dihasilkan oleh skenario reforestasi walaupun hanya sebesar 20% nilainya lebih tinggi daripada trend yang dihasilkan oleh skenario deforestasi yang persentasenya mencapai 50%. IV - 18

19 Kenaikan nilai anomali temperatur permukaan di Kalimantan dalam gambar 4.13 menunjukan bahwa pengaruh perubahan hutan yang dianggap statis selama 15 tahun semakin menguat dari tahun ke tahun. Deforestasi sangat berkontribusi secara nyata pada kenaikan temperatur lokal di Kalimantan. Hal ini diakibatkan oleh dua hal, yakni keterkaitannya dalam kesetimbangan fluks-fluks energi dimana pada tahap selanjutnya akan meningkatkan temperatur permukaan dan menurunnya fungsi hutan sebagai daya serap karbon yang selanjutnya dapat memperparah pemanasan global. Jadi penurunan rasio hutan yang dianggap statis ini, dapat meningkatkan temperatur permukaan secara signifikan dari tahun ke tahun sehingga nilai anomalinya terhadap kondisi kontrol semakin tinggi. Begitu pula untuk skenario reforestasi, dimana penambahan rasio hutan dapat menyebabkan efek pendinginan lokal, sehingga nilai temperatur semakin menunjukan adanya penurunan dari tahun ke tahun, terlihat dengan adanya trend anomali yang turun. Kemungkinan lain disebabkan oleh adanya bias model, hal ini terjadi akibat pemakaian data permukaan yang dianggap statis selama waktu kajian. Sehingga terjadi perbedaan antara hasil simulasi dengan kondisi nyata yang terjadi dimana rasio hutan berubah-ubah terhadap waktu Anomali Temperatur Rata-Rata 15 Tahun Untuk mengetahui besar kenaikan dan penurunan rata-rata temperatur permukaan, maka dihitung nilai anomali rata-rata selama 15 tahun. Anomali rata-rata untuk masing-masing waktu simulasi serta anomali rata-rata total ditunjukan pada tabel 4.3. Tabel 4.3 Anomali temperatur rata-rata 15 tahun Time Min25% - CTRL Min50% - CTRL Plus20% - CTRL ,10 0,21-0, ,11 0,24-0, ,34 0,74-0, ,14 0,30-0,10 Anomali Rata-Rata 0,17 0,37-0,10 IV - 19

20 Tabel 4.3 menunjukan nilai anomali temperatur permukaan selama 15 tahun yang dirata-ratakan, sedangkan grafik untuk masing-masing waktu simulasi ditampilkan pada gambar Anomali temperatur rata-rata tertinggi terjadi pada pukul UTC. Dari rata-rata wilayah untuk pukul UTC, anomali untuk skenario deforestasi 25% - kontrol sebesar 0,34, anomali skenario deforestasi 50% - kontrol sebesar 0,74, sedangkan anomali skenario reforestasi 20% - kontrol sebesar -0,2. Hal ini sesuai dengan pembahasan anomali secara spasial, dimana nilai anomali tertinggi secara spasial terjadi pada pukul UTC. Gambar 4.14 Grafik anomali temperatur rata-rata 15 tahun Jika untuk seluruh waktu simulasi dirata-ratakan seperti ditunjukan pada tabel 4.3, maka nilai rata-rata anomali temperatur wilayah selama 15 tahun dari tahun 1979 hingga 1993 untuk masing-masing skenario adalah sebagai berikut: 1. Anomali rata-rata deforestasi 25% - kontrol adalah 0,17, artinya penurunan rasio hutan sebesar 25% menyebabkan kenaikan temperatur rata-rata sebesar 0,17 K. 2. Anomali rata-rata deforestasi 50% - kontrol adalah 0,37, artinya penurunan rasio hutan sebesar 50% menyebabkan kenaikan temperatur rata-rata sebesar 0,37 K. 3. Anomali rata-rata reforestasi 20% - kontrol adalah -0,1, artinya penambahan rasio hutan sebesar 20% menyebabkan penurunan temperatur rata-rata sebesar 0,1 K. IV - 20

21 4.3.2 Anomali Evaporasi Permukaan Anomali Spasial Komposit Evaporasi Permukaan Seperti pada pembahasan sebelumnya mengenai temperatur permukaan, nilai anomali komposit evaporasi permukaan pun rata-rata tinggi pada pukul UTC. Pembahasan langsung ditujukan pada contoh kasus yang diambil pada perioda JJA (bulan Juli) yang dapat dilihat pada gambar Gambar 4.15 Anomali spasial komposit bulan Juli pukul UTC untuk anomali deforestasi 25% - kontrol, deforestasi 50% - kontrol, dan reforestasi 20% - kontrol IV - 21

22 Anomali evaporasi permukaan untuk skenario deforestasi 25% - kontrol berkisar antara 0 s.d 0,6 mm/hari, untuk skenario deforestasi 50% - kontrol berkisar antara 0,2 s.d 0,9 mm/hari, sedangkan untuk skenario reforestasi 20% berkisar antara 0 s.d -0,4 mm/hari. Pada visualisasi parameter evaporasi untuk masing-masing simulasi pada gambar 4.7 menunjukan bahwa nilai evaporasi memiliki indeks negatif, hal ini berkaitan dengan arah transfer energi yang digunakan dalam proses ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa akibat penurunan luas rasio hutan maka nilai evaporasi mengalami penurunan di sejumlah wilayah. Semakin besar penurunan rasio hutan, maka semakin menurun nilai evaporasi di suatu kawasan. Akan tetapi dengan indeks negatifnya, menyebabkan nilai anomali antara skenario deforestasi terhadap kontrol bernilai positif. Sedangkan antara skenario reforestasi terhadap kontrol bernilai negatif Anomali Rata-Rata Bulanan Evaporasi Permukaan Gambar 4.16 Grafik perbandingan trend kenaikan evaporasi permukaan rata-rata bulanan pukul UTC untuk anomali deforestasi 25%-kontrol, deforestasi 50%-kontrol, dan reforestasi 20%-kontrol IV - 22

23 Pembahasan anomali evaporasi permukaan ini dibuat pula secara temporal, dengan membuat grafik perbandingan masing-masing anomali antara skenario perubahan rasio hutan dengan kondisi kontrol untuk membuktikan adanya trend kenaikan anomali yang ditampilkan pada gambar Dari grafik anomali rata-rata bulanan tersebut, dapat diketahui bahwa parameter evaporasi permukaan pun mengalami kenaikan anomali dari tahun 1979 hingga Walaupun nilai trend yang dihasilkan cukup rendah tapi tetap mengindikasikan adanya kenaikan anomali selama 15 tahun tersebut. Jika rasio hutan di suatu kawasan mengalami penurunan sebesar 25% (skenario deforestasi 25%) maka anomali meningkat rata-rata tiap tahunnya dengan nilai trend sebesar 0,051, sedangkan jika penurunan rasio hutan lebih besar lagi, yaitu 50% maka trend anomali yang dihasilkan semakin tinggi, yaitu 0,081. Begitu pula jika rasio hutan ditambah sebesar 20% dari kondisi kontrol, maka anomali mengalami kenaikan (dalam grafik nilainya semakin negatif) dengan nilai trend sebesar 0,095. Dari pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa perubahan rasio hutan di suatu kawasan akan berpengaruh pada kemampuan kawasan tersebut dalam proses evaporasi. Seperti telah dijelaskan pada subbab 4.2.2, bahwa kawasan yang tidak tertutup vegetasi akan memiliki nilai evaporasi yang rendah karena selain berkurangnya kadar air yang tersimpan dalam tanah, pada kawasan yang tidak ditumbuhi vegetasi tidak terjadi proses transpirasi dari tumbuhan sehingga nilai evaporasi di kawasan tersebut cenderung kecil. Jika dilihat dari grafik masing-masing anomali pada gambar 4.16, menunjukan bahwa perubahan rasio hutan yang statis selama 15 tahun akan menghasilkan trend kenaikan anomali evaporasi permukaan untuk skenario deforestasi dan trend anomali yang turun untuk skenario reforestasi. IV - 23

24 4.3.3 Anomali Curah Hujan Konvektif Anomali Spasial Komposit Curah Hujan Konvektif Untuk mengetahui distribusi curah hujan pada perioda musim yang berbeda, maka diambil dua contoh kasus yang diambil pada musim basah (bulan Januari) dan musim kering (bulan Juli) seperti dapat dilihat pada gambar (a) Perioda DJF (Bulan Januari) (b) Perioda JJA (Bulan Juli) Gambar 4.17 Anomali spasial komposit curah hujan konvektif (a) bulan Januari (perioda DJF) dan (b) bulan Juli (perioda JJA) pada pukul 00.00, 06.00, 12.00, dan UTC untuk anomali deforestasi 25% - kontrol, deforestasi 50% - kontrol, dan reforestasi 20% - kontrol Pada dua contoh kasus yang diambil, dapat dilihat dengan jelas bahwa intensitas curah hujan pada perioda musim basah (bulan januari) lebih tinggi di sebagian besar IV - 24

25 kawasan dibandingkan pada perioda musim kering (bulan juli). Dari simulasi ini dapat diketahui bahwa deforestasi dapat mempengaruhi curah hujan konvektif di suatu wilayah baik pada musim basah maupun musim kering, ditinjau dari anomali yang dihasilkan. Pada musim kering (gambar 4.17b) untuk waktu simulasi pukul UTC dan 06 UTC, jika dibandingkan antara anomali spasial deforestasi 25% - kontrol dengan deforestasi 50% - kontrol, maka dapat dilihat bahwa anomali positif curah hujan mengalami perluasan daerah cakupan dengan besar anomali hingga mencapai 0,4 mm/hari. Hal ini mengindikasikan adanya kenaikan aktivitas konvektif di sebagian kawasan di Kalimantan jika penurunan rasio hutan ditambah dari 25% menjadi 50% yang menyebabkan meningkatnya intensitas curah hujan di kawasan tersebut. Sedangkan pada perioda musim basah, perubahan kondisi anomali curah hujan konvektif tidak homogen ada kawasan yang mengalami peningkatan curah hujan akibat deforestasi, sehingga anomalinya positif. Namun ada pula yang mengalami penurunan intensitas curah hujan sehingga anomalinya negatif. Hal ini sesuai dengan yang telah dijelaskan sebelumnya pada subbab bahwa perubahan yang terjadi pada parameter curah hujan konvektif tidak homogen di seluruh kawasan, seperti yang terjadi pada parameter temperatur dan evaporasi. Ada beberapa wilayah mengalami peningkatan intensitas curah hujan, tapi ada pula yang mengalami penurunan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perubahan rasio hutan di suatu kawasan akan berdampak pada perubahan pola dan intensitas curah hujan konvektif di kawasan tersebut. Gambar 4.18 menunjukan lebih detail pengaruh perubahan rasio hutan terhadap kondisi anomali curah hujan untuk masing-masing skenario yang diambil pada kasus bulan april, dimana pada bulan ini intensitas curah hujan di Kalimantan nilainya rata-rata maksimum karena pola curah hujan jenis ekuatorial yang terjadi di sebagian besar kawasan di Kalimantan mengalami maksimum setelah terjadi ekinoks (21 Maret dan 23 September). IV - 25

26 Gambar 4.18 Anomali spasial komposit bulan april pukul UTC untuk anomali deforestasi 25% - kontrol, deforestasi 50% - kontrol, dan reforestasi 20% - kontrol Dari ketiga simulasi pada gambar 4.18 dapat dilihat adanya perubahan nilai anomali curah hujan di beberapa kawasan jika penurunan rasio hutan ditambah dari 25% menjadi 50%. Pada anomali deforestasi 25% - kontrol, nilai anomali positif mencapai lebih dari 0,4 mm/hari sedangkan pada anomali deforestasi 50% - kontrol mengalami penurunan nilai maksimum hanya mencapai 0,4 mm/hari dan mengalami sedikit penyempitan cakupan wilayah dengan anomali positif. Sedangkan anomali negatif IV - 26

27 justru mengalami perluasan cakupan wilayah yang cukup signifikan dan nilai anomali maksimumnya pun meningkat hingga mencapai -0,25. Artinya, sebagian wilayah ada yang mengalami kenaikan intensitas curah hujan, namun sebagian lagi mengalami penurunan intensitas curah hujan. Untuk anomali reforestasi 20% - kontrol, nilai anomali positif maupun negatif mengalami penyempitan wilayah cakupan. Perubahan nilai anomali yang tidak homogen ini mengindikasikan bahwa akibat perubahan tutupan hutan di suatu kawasan mengakibatkan CH konvektif mengalami perubahan pada pola dan intensitasnya Anomali Rata-Rata Bulanan Curah Hujan Konvektif Setelah dilakukan pembahasan secara spasial, selanjutnya dibuat pula analisis secara temporal. Gambar 4.19 menunjukan plot anomali curah hujan rata-rata bulanan dari tahun 1979 hingga tahun Gambar 4.19 Time series anomali rata-rata bulanan curah hujan konvektif pukul UTC untuk anomali deforestasi 25% - kontrol, deforestasi 50% - kontrol, dan reforestasi 20% - kontrol IV - 27

28 Gambar 4.19 merupakan contoh kasus yang diambil pada pukul UTC. Anomali curah hujan yang dihasilkan bervariasi dan menghasilkan nilai maksimum pada bulan Maret 1984, yaitu 0,1097 sedangkan nilai anomali minimum terjadi pada bulan Januari 1982, yaitu -0,0872. Kedua nilai tersebut muncul pada anomali deforestasi 50% - kontrol. Pengaruh deforestasi hutan akan terlihat pada perbedaan temperatur maksimum dan minimumnya, hal inilah yang berpotensi merubah pola konveksi lokal di wilayah kajian. 4.4 Pembahasan Umum Perubahan Rasio Hutan Deforestasi Reforestasi NERACA ENERGI Matahari NERACA ENERGI Laten Heat Flux menurun Sensible Heat Flux menurun Sensible Heat Flux meningkat Laten Heat Flux meningkat Evaporasi menurun Temperatur meningkat Temperatur menurun Evaporasi meningkat Perubahan pola dan intensitas curah hujan secara spasial dan temporal Gambar 4.20 Diagram alir pembahasan umum penelitian Dari serangkaian pembahasan mengenai pengaruh perubahan rasio hutan terhadap beberapa parameter iklim di Kalimantan, maka dibuat suatu pembahasan secara IV - 28

29 umum mengenai keterkaitan antara perubahan rasio hutan terhadap kondisi beberapa parameter iklim, yaitu temperatur permukaan, evaporasi permukaan, dan curah hujan konvektif. Hutan memiliki keterkaitan yang erat dengan cuaca dan iklim. Selain berfungsi sebagai penyeimbang dalam siklus karbon, hutan pun berperan penting dalam neraca energi. Kedua hal tersebut perlu dijaga keseimbangannya agar perubahan iklim dan fenomena-fenomena cuaca yang menyertainya tidak terus menerus mengancam kehidupan makhluk hidup. Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, pengaruh hutan terhadap keseimbangan neraca energi menunjukan adanya keterkaitan. Jika rasio hutan di Kalimantan terus mengalami penurunan hingga 50% dari kondisi kontrol (baseline), maka akan merubah karakteristik kawasan tersebut sehingga nilai fluks-fluks panas dalam neraca energi mengalami perubahan, dimana fluks panas sensible dan fluks panas laten mengalami penurunan. Fluks panas sensible dan temperatur permukaan memiliki keterkaitan yang kuat dan saling mempengaruhi, dimana naiknya temperatur permukaan akibat penurunan rasio hutan dapat mengurangi transfer panas sensible, karena perbedaan temperatur antara permukaan dan atmosfer yang juga sedang menghangat menjadi lebih kecil. Akibat berkurangnya transfer fluks panas dari permukaan tersebut, menyebabkan energi lebih banyak tersimpan di permukaan sehingga temperatur semakin meningkat. Sedangkan transfer panas laten saling berkaitan dengan proses evaporasi yang terjadi di kawasan tersebut. Karena berkurangnya vegetasi di suatu kawasan menyebabkan proses transpirasi berkurang, ditambah lagi dengan berkurangnya kandungan air disana menyebabkan energi lebih banyak digunakan untuk memanaskan permukaan daripada digunakan untuk menguapkan air (latent heat), sehingga nilai fluks panas latent berkurang dan proses evaporasi pun akan berkurang. Kondisi sebaliknya akan terjadi jika rasio hutan ditambah dari kondisi kontrol. Perubahan temperatur permukaan di suatu kawasan akan mempengaruhi aktivitas konvektif di kawasan tersebut. Semakin meningkat temperaturnya, maka semakin IV - 29

30 tinggi gaya apung termal yang menyebabkan naiknya massa udara dan terjadilah kondensasi. Hujan konvektif dihasilkan, karena kondisi lingkungan yang lembab terpenuhi dari suplai uap air yang berasal dari lautan akibat perbedaan tekanan dengan daratan yang temperaturnya menjadi jauh lebih tinggi akibat deforestasi. Dari seluruh pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat dibuktikan bahwa perubahan rasio hutan di suatu kawasan dapat berkontribusi pada berubahnya kondisi parameter iklim permukaan di kawasan tersebut secara signifikan dan selanjutnya akan memicu semakin tingginya perubahan iklim skala lokal yang terjadi. IV - 30

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1980-an para peneliti meteorologi meyakini bahwa akan terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spasial maupun temporal. Kenaikan temperatur

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI

BAB III DATA DAN METODOLOGI BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data dan Daerah Penelitian 3.1.1 Data Input model REMO dapat diambil dari hasil keluaran model iklim global atau hasil reanalisa global. Dalam penelitian ini data input

Lebih terperinci

SIMULASI PENGARUH DEFORESTASI DAN REFORESTASI TERHADAP PERUBAHAN PARAMETER IKLIM MENGGUNAKAN REGIONAL MODEL (REMO) (Studi Kasus: Pulau Kalimantan)

SIMULASI PENGARUH DEFORESTASI DAN REFORESTASI TERHADAP PERUBAHAN PARAMETER IKLIM MENGGUNAKAN REGIONAL MODEL (REMO) (Studi Kasus: Pulau Kalimantan) SIMULASI PENGARUH DEFORESTASI DAN REFORESTASI TERHADAP PERUBAHAN PARAMETER IKLIM MENGGUNAKAN REGIONAL MODEL (REMO) (Studi Kasus: Pulau Kalimantan) TUGAS AKHIR Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kurikuler Program

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ./ 3.3.2 Penentuan nilai gradien T BB Gradien T BB adalah perbedaan antara nilai T BB suatu jam tertentu dengan nilai

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G02400013 DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis Hujan hujan tropis adalah daerah yang ditandai oleh tumbuh-tumbuhan subur dan rimbun serta curah hujan dan suhu yang tinggi sepanjang tahun. Hutan hujan tropis

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi Besarnya radiasi yang diserap atau dipantulkan, baik oleh permukaan bumi atau awan berubah-ubah tergantung pada ketebalan awan, kandungan uap air, atau jumlah partikel debu Radiasi datang (100%) Radiasi

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Beberapa hasil pengolahan data simulasi model kopel akan ditampilkan dalam Bab IV ini, tetapi sebagian lainnya dimasukkan dalam lampiran A. IV.1 Distribusi Curah Hujan Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera

Lebih terperinci

Perangkat Lunak Tahun Fungsi Linux Suse 9.0 Windows XP

Perangkat Lunak Tahun Fungsi Linux Suse 9.0 Windows XP III. METODOLOGI 3.1. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Hujan Buatan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta. 3.2. Bahan dan Alat Data iklim tahun

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE KARAKTERISTIK RATA-RATA SUHU MAKSIMUM DAN SUHU MINIMUM STASIUN METEOROLOGI NABIRE TAHUN 2006 2015 OLEH : 1. EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr 2. RIFKI ADIGUNA SUTOWO, S.Tr

Lebih terperinci

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

Air dalam atmosfer hanya merupakan sebagian kecil air yang ada di bumi (0.001%) dari seluruh air.

Air dalam atmosfer hanya merupakan sebagian kecil air yang ada di bumi (0.001%) dari seluruh air. KELEMBABAN UDARA 1 Menyatakan Kandungan uap air di udara. Kelembapan adalah konsentrasi uap air di udara. Angka konsentasi ini dapat diekspresikan dalam kelembapan absolut, kelembapan spesifik atau kelembapan

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Perubahan Iklim

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Perubahan Iklim BAB II TEORI DASAR 2.1 Perubahan Iklim Perubahan iklim sebagai implikasi dari pemanasan global telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat dengan permukaan bumi. Perubahan

Lebih terperinci

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR Gerakan Bumi Rotasi, perputaran bumi pada porosnya Menghasilkan perubahan waktu, siang dan malam Revolusi, gerakan bumi mengelilingi matahari Kecepatan 18,5 mil/dt Waktu:

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Selatan sebagai salah satu wilayah Indonesia yang memiliki letak geografis di daerah ekuator memiliki pola cuaca yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas monsoon,

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta Menurut Caljouw et al. (2004) secara morfologi Jakarta didirikan di atas dataran aluvial pantai dan sungai. Bentang alamnya didominasi

Lebih terperinci

seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan. Global Warming Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 C (1.33 ± 0.32 F)

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI ANGIN

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Pengertian 2 Global warming atau pemanasan global adalah proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Suhu rata-rata global permukaan bumi telah 0,74 ± 0,18 C (1,33 ±

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang Wilayah Kabupaten Karawang secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 5 56-6 34 LS, termasuk daerah yang relatif rendah

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 IDENTIFIKASI CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

Hidrometeorologi. Pertemuan ke I

Hidrometeorologi. Pertemuan ke I Hidrometeorologi Pertemuan ke I Pengertian Pengertian HIDROMETEOROLOGI Adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara unsur unsur meteorologi dengan siklus hidrologi, tekanannya pada hubungan timbal balik

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS STASIUN CUACA METEOROLOGI TERKAIT HUJAN

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA DINAMIKA STASIUN ATMOSFER METEOROLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

Kajian Curah Hujan Tinggi 9-10 Februari 2015 di DKI Jakarta

Kajian Curah Hujan Tinggi 9-10 Februari 2015 di DKI Jakarta Kajian Curah Hujan Tinggi 9-10 Februari 2015 di DKI Oleh: Kadarsah, Ahmad Sasmito, Erwin Eka Syahputra, Tri Astuti Nuraini, Edvin Aldrian Abstrak Curah hujan yang sangat deras dan bersifat lokal terjadi

Lebih terperinci

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA OLEH : ANDRIE WIJAYA, A.Md FENOMENA GLOBAL 1. ENSO (El Nino Southern Oscillation) Secara Ilmiah ENSO atau El Nino dapat di jelaskan

Lebih terperinci

Musim Hujan. Musim Kemarau

Musim Hujan. Musim Kemarau mm IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Data Curah hujan Data curah hujan yang digunakan pada penelitian ini adalah wilayah Lampung, Pontianak, Banjarbaru dan Indramayu. Selanjutnya pada masing-masing wilayah

Lebih terperinci

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB IKLlM INDONESIA HANDOKO Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB Secara umum, daerah tropika terletak di antara lintang 23,5O LU (tropika Cancer) sampai 23,5O LS (tropika Capricorn). Batasan ini berdasarkan

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

ANALISA KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI MUSIM KEMARAU DI WILAYAH SIDOARJO DAN SEKITARNYA.

ANALISA KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI MUSIM KEMARAU DI WILAYAH SIDOARJO DAN SEKITARNYA. ANALISA KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI MUSIM KEMARAU DI WILAYAH SIDOARJO DAN SEKITARNYA. Sebagian besar Wilayah Jawa Timur sudah mulai memasuki musim kemarau pada bulan Mei 2014. Termasuk wilayah Sidoarjo dan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS CUACA STASIUN EKSTRIM METEOROLOGI TERKAIT

Lebih terperinci

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi Suhu Udara dan Kehidupan Meteorologi Suhu Udara dan Kehidupan Variasi Suhu Udara Harian Bagaimana Suhu Lingkungan Diatur? Data Suhu Udara Suhu Udara dan Rasa Nyaman Pengukuran Suhu Udara Variasi Suhu Udara

Lebih terperinci

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES Abstrak Kondisi fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya, seperti posisi lintang, ketinggian, pola angin (angin pasat dan monsun),

Lebih terperinci

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN Oleh Nur Fitriyani, S.Tr Iwan Munandar S.Tr Stasiun Meteorologi Klas I Sultan Aji

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTREM SURABAYA DI SURABAYA TANGGAL 24 NOVEMBER 2017

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTREM SURABAYA DI SURABAYA TANGGAL 24 NOVEMBER 2017 B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS I JUANDA SURABAYA Alamat : Bandar Udara Juanda Surabaya, Telp. 031 8668989, Fax. 031 8675342, 8673119 E-mail : meteojud@gmail.com,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA EKSTREM LOMBOK NTB HUJAN LEBAT (CH mm) DI LOMBOK TENGAH 15 SEPTEMBER 2016

ANALISIS CUACA EKSTREM LOMBOK NTB HUJAN LEBAT (CH mm) DI LOMBOK TENGAH 15 SEPTEMBER 2016 ANALISIS CUACA EKSTREM LOMBOK NTB HUJAN LEBAT (CH. 78.2 mm) DI LOMBOK TENGAH TANGGAL 15 SEPTEMBER 2016 I. INFORMASI HUJAN EKSTREM LOKASI STASIUN METEOROLOGI SELAPARANG BIL TANGGAL 15 SEPTEMBER 2016 (Curah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 9 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Karakteristik Lokasi Penelitian Luas areal tanam padi adalah seluas 6 m 2 yang terletak di Desa Langgeng. Secara administrasi pemerintahan Desa Langgeng Sari termasuk dalam

Lebih terperinci

A. EFEK RUMAH KACA Efek rumah kaca (green house effect) memegang peranan penting dalam melindungi kelangsungan makhluk hidup di muka bumi.

A. EFEK RUMAH KACA Efek rumah kaca (green house effect) memegang peranan penting dalam melindungi kelangsungan makhluk hidup di muka bumi. A. EFEK RUMAH KACA Efek rumah kaca (green house effect) memegang peranan penting dalam melindungi kelangsungan makhluk hidup di muka bumi. Disebut sebagai pelindung, karena gas karbondioksida, metana dan

Lebih terperinci

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN FEBRUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI MALIKUSSALEH-ACEH UTARA. Oleh Febryanto Simanjuntak S.Tr

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN FEBRUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI MALIKUSSALEH-ACEH UTARA. Oleh Febryanto Simanjuntak S.Tr ANALISIS UNSUR CUACA BULAN FEBRUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI MALIKUSSALEH-ACEH UTARA Oleh Febryanto Simanjuntak S.Tr Stasiun Meteorologi Klas III Malikussaleh Aceh Utara adalah salah satu Unit Pelaksana

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan September 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2013 dan Januari 2014 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI ANGIN

Lebih terperinci

SUHU UDARA DAN KEHIDUPAN

SUHU UDARA DAN KEHIDUPAN BAB 3 14 Variasi Suhu Udara Harian Pemanasan Siang Hari Pemanasan permukaan bumi pada pagi hari secara konduksi juga memanaskan udara di atasnya. Semakin siang, terjadi perbedaan suhu yang besar antara

Lebih terperinci

ANALISIS KEJADIAN HUJAN LEBAT TANGGAL 02 NOVEMBER 2017 DI MEDAN DAN SEKITARNYA

ANALISIS KEJADIAN HUJAN LEBAT TANGGAL 02 NOVEMBER 2017 DI MEDAN DAN SEKITARNYA ANALISIS KEJADIAN HUJAN LEBAT TANGGAL 02 NOVEMBER 2017 DI MEDAN DAN SEKITARNYA I. INFORMASI KEJADIAN LOKASI TANGGAL DAMPAK Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara 02 November 2017 jam 23.50

Lebih terperinci

Unsur Cuaca = unsur iklim. Keadaan fisik atmosfir bumi yang dapat diukur.

Unsur Cuaca = unsur iklim. Keadaan fisik atmosfir bumi yang dapat diukur. Unsur Cuaca = unsur iklim. Keadaan fisik atmosfir bumi yang dapat diukur. Biasanya keadaan atmosfer yang dipengaruhi oleh radiasi matahari (sumber utama energi pada sistem iklim) adalah (1) radiasi mthr

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB I PENDAHULUAN Pengaruh pemanasan global yang sering didengungkan tidak dapat dihindari dari wilayah Kalimantan Selatan khususnya daerah Banjarbaru. Sebagai stasiun klimatologi maka kegiatan observasi

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI KEJADIAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan bejana berjungkit sebagai alat pengukuran memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan pengggunaan alat pengkuran konvensional. Kelebihan alat ini memberikan kemudahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis Menurut Petterssen (1941), iklim merupakan rata-rata atau kondisi normal cuaca dalam jangka waktu panjang, 30 tahun atau lebih. Iklim suatu wilayah ditentukan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS HUJAN STASIUN SEDANG METEOROLOGI &

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Lingkungan Mengetahui kondisi lingkungan tempat percobaan sangat penting diketahui karena diharapkan faktor-faktor luar yang berpengaruh terhadap percobaan dapat diketahui.

Lebih terperinci

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat. 11 yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTRIM HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI SERUI TANGGAL 10 JANUARI 2017 OLEH : EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr NABIRE 2017 ANALISIS KEJADIAN CUACA

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta Prakiraan Cuaca Hujan Mei 2018 (Sumber : Stasiun Klimatologi Karangploso Malang)

Gambar 1. Peta Prakiraan Cuaca Hujan Mei 2018 (Sumber : Stasiun Klimatologi Karangploso Malang) PRAKIRAAN CURAH HUJAN BULAN MEI 2018 Pada bulan Mei 2018, sebagian wilayah di Jawa Timur mulai memasuki masa peralihan dari musim penghujan menuju kemusim kemarau. Namun sebagian kecil wilayah Jawa Timur

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) 1. Pengertian Atmosfer Planet bumi dapat dibagi menjadi 4 bagian : (lithosfer) Bagian padat

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI PATTIMURA AMBON

STASIUN METEOROLOGI PATTIMURA AMBON BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI PATTIMURA AMBON Alamat : Bandar Udara Pattimura Ambon 97236, ext: 274 Telp : (0911) 3300340,341172 Telp / Fax: (0911) 311751,341172 Analisis

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan posisi geografis diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinar matahari yang sampai di bumi merupakan sumber utama energi yang menimbulkan segala macam kegiatan atmosfer seperti hujan, angin, siklon tropis, musim panas, musim

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana?

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana? Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana? Oleh : Imam Hambali Pusat Kajian Kemitraan & Pelayanan Jasa Transportasi Kementerian Perhubungan Pada awal Februari 2007 yang lalu Intergovernmental Panel on Climate

Lebih terperinci

Kementerian PPN/Bappenas

Kementerian PPN/Bappenas + Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) Kementerian PPN/Bappenas Perubahan Iklim dan Dampaknya di Indonesia 2013 + OUTLINE 2 I. LATAR BELAKANG II. III. IV. HISTORI KONDISI IKLIM INDONESIA

Lebih terperinci

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b a Jurusan Fisika FMIPA Universitas Tanjungpura Pontianak b Program Studi

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI BMKG Alamat : Bandar Udara Mali Kalabahi Alor (85819) Telp. Fax. : (0386) 2222820 : (0386) 2222820 Email : stamet.mali@gmail.com

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering Sebuah penelitian dilakukan oleh Pearlmutter dkk (1996) untuk mengembangkan model

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN BANJIR DI PULAU BANGKA TANGGAL 07 FEBRUARI 2016

ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN BANJIR DI PULAU BANGKA TANGGAL 07 FEBRUARI 2016 BMKG BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BALAI BESAR METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA WILAYAH II STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG Bandar Udara Depati Amir, PangkalPinang 33171 P.O.

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami proses terjadinya angin dan memahami jenis-jenis angin tetap

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI ATMOSFER PADA KEJADIAN BANJIR DI WILAYAH JAKARTA SELATAN (Studi kasus banjir, 27 dan 28 Agustus 2016) Abstrak

ANALISIS KONDISI ATMOSFER PADA KEJADIAN BANJIR DI WILAYAH JAKARTA SELATAN (Studi kasus banjir, 27 dan 28 Agustus 2016) Abstrak ANALISIS KONDISI ATMOSFER PADA KEJADIAN BANJIR DI WILAYAH JAKARTA SELATAN (Studi kasus banjir, 27 dan 28 Agustus 2016) Levi Ratnasari 1, Arditho Bramandika Putra 2 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Evapotranspirasi Tanaman Acuan Persyaratan air tanaman bervariasi selama masa pertumbuhan tanaman, terutama variasi tanaman dan iklim yang terkait dalam metode

Lebih terperinci

DATA METEOROLOGI. 1. Umum 2. Temperatur 3. Kelembaban 4. Angin 5. Tekanan Udara 6. Penyinaran matahari 7. Radiasi Matahari

DATA METEOROLOGI. 1. Umum 2. Temperatur 3. Kelembaban 4. Angin 5. Tekanan Udara 6. Penyinaran matahari 7. Radiasi Matahari DATA METEOROLOGI 1. Umum 2. Temperatur 3. Kelembaban 4. Angin 5. Tekanan Udara 6. Penyinaran matahari 7. Radiasi Matahari Umum Data meteorology sangat penting didalam analisa hidrologi pada suatu daerah

Lebih terperinci

Hasil dan Analisis. IV.1.2 Pengamatan Data IR1 a) Identifikasi Pola Konveksi Diurnal dari Penampang Melintang Indeks Konvektif

Hasil dan Analisis. IV.1.2 Pengamatan Data IR1 a) Identifikasi Pola Konveksi Diurnal dari Penampang Melintang Indeks Konvektif Bab IV Hasil dan Analisis IV.1 Pola Konveksi Diurnal IV.1.1 Pengamatan Data OLR Pengolahan data OLR untuk periode September 2005 Agustus 2006 menggambarkan perbedaan distribusi tutupan awan. Pada bulan

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA TERKAIT BANJIR DI KELURAHAN WOLOMARANG, KECAMATAN ALOK, WILAYAH KABUPATEN SIKKA, NTT (7 JANUARI 2017)

ANALISIS CUACA TERKAIT BANJIR DI KELURAHAN WOLOMARANG, KECAMATAN ALOK, WILAYAH KABUPATEN SIKKA, NTT (7 JANUARI 2017) BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI WAI OTI MAUMERE Jln. Angkasa Maumere Flores Telp : ( 0382 ) 21349 B M K G Fax: ( 0382 ) 22967 PO. BOX 100 Kode Pos 86111 e-mail : met_mof@yahoo.com

Lebih terperinci

Oleh : Irman Sonjaya, Ah.MG

Oleh : Irman Sonjaya, Ah.MG Oleh : Irman Sonjaya, Ah.MG KONSEP DASAR Cuaca adalah kondisi dinamis atmosfer dalam skala ruang, waktu yang sempit. Iklim merupakan rata-rata kumpulan kondisi cuaca pada skala ruang/ tempat yang lebih

Lebih terperinci