BAB II PENDEKATAN TEORITIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENDEKATAN TEORITIS"

Transkripsi

1 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1.Perbandingan Inovasi Budidaya Padi Metode SRI dan Budidaya Padi Konvensional Terdapat sejumlah perbedaan kegiatan dan/atau komponen budidaya padi menurut inovasi SRI dengan budidaya padi konvensional. Lembaga NORC, mengemukakan informasi selengkapnya berkenaan perbedaan tersebut, sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbedaan Sistem Tanam Padi Organik SRI dengan Sistem Konvensional No Komponen SRI-Organik Konvensional 1. Pupuk Pupuk kompos Pupuk sintetik 2. Jarak tanam 30 x 30 cm, 40 x 40 cm 20 x 20 cm 3. Air Tanah macak-macak (sedikit air) Tanah digenangi (banyak air) 4. Jumlah Benih 5 kg per Ha kg per Ha 5. Pembenihan Di nampan dengan pemilihan benih bermutu Di sawah tanpa pemilihan benih bermutu 6. Umur tanam benih 7-10 hari hari 7. Cara tanam Benih tunggal, horizontal (L) dan dangkal Benih banyak, vertikal dan dalam 8. Pestisida 4-5 kali per musim tanam 2 kali per musim tanam 9. Jumlah anakan per rumpun anakan anakan 10. Jumlah malai per rumpun malai 20 malai 11. Jumlah bulir per malai bulir 150 bulir 12. Masa produksi 100 hari 110 hari 13. Hasil Gabah Kering Pungut 8-12 ton per ha 4-6 ton per ha 14. Berat yang dihasilkan Beras organik tanpa pestisida Beras anorganik dengan pestisida 15. Harga Jual Tinggi dengan daya saing Rendah tanpa daya saing 16. Return of Invesment % % 17. Ramah Lingkungan Ya, menjaga struktur dan tekstur tanah Keterangan: HSS = Hari setelah semai Sumber: Profile Nagrak-SRI Organik Center Tidak dan merusak struktur dan tekstur tanah Keunggulan lainnya adalah bahwa kebutuhan pupuk dan pestisida organik dalam metode SRI dapat diproduksi sendiri oleh petani, antara lain dengan memanfaatkan sumberdaya lokal (Mutakin, 2008). Di samping itu, hasil analisis usahatani padi dengan metode SRI bisa menghemat biaya sarana produksi dan tenaga kerja sekitar Rp ,- per ha. Berdasar hasil penelitian demplot SRI di Pringgarata, Lombok Tengah, NTB pada MT I Tahun 2004/2005, diketahui

2 bahwa keuntungan yang didapat dari metode SRI lebih tinggi sebesar Rp ,- dibanding budidaya padi konvensional (DISIMP, 2006). 2.2.Pengertian dan Unsur-Unsur Difusi Konsep dan teori tentang difusi inovasi yang diuraikan dalam sub-bab ini merujuk pada pendapat Rogers dan Shoemaker (1971) serta Rogers (1995) yang dikutip oleh Mugniesyah (2006). Konsep difusi inovasi (diffusion of innovation) didefinisikan Rogers dan Shoemaker (1971) sebagai suatu tipe komunikasi khusus, yakni suatu proses melalui mana inovasi menyebar dalam suatu sistem sosial. Rogers (1995) kemudian melengkapinya sehingga difusi inovasi diartikan sebagai suatu proses melalui mana suatu inovasi dikomunikasikan kepada anggota-anggota sistem sosial melalui saluran-saluran tertentu dalam suatu periode waktu tertentu. Terdapat 4 (empat) unsur dalam suatu proses difusi, yaitu: inovasi, saluran komunikasi, waktu dan sistem sosial. Keempat unsur tersebut senantiasa dapat diidentifikasi dalam setiap riset atau studi difusi. Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau objek yang dipandang sebagai baru oleh seorang individu. Suatu inovasi senantiasa mencakup 2 komponen, yaitu: (1) komponen gagasan (idea) berupa keterampilan manajerial atau sistem nilai (values) tertentu, dan (2) komponen objek (object), yakni material atau aspek fisik produk dari suatu gagasan. Bila inovasinya berupa teknologi, mencakup dua aspek, yaitu piranti keras (alat berbentuk fisik) dan aspek piranti lunak, berupa informasi tentang teknologi (Rogers, 1995). Terdapat sejumlah karakteristik inovasi yang dapat mempengaruhi petani dalam pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak inovasi, yaitu: keuntungan relatif (relative advantage), kompatibilitas (compatibility), kompleksitas, kemudahan untuk dicoba (trialability), dan kemudahan untuk diamati (observability). Saluran komunikasi adalah cara-cara melalui mana sebuah pesan diperoleh penerima dari sumber, yang dibedakan ke dalam saluran interpersonal dan media massa. Saluran komunikasi interpersonal lebih efektif membangun dan merubah sikap, sementara saluran media massa efektif merubah pengetahuan tentang inovasi. Dalam konteks komunikasi interpersonal, melibatkan pertukaran pesan antara dua atau lebih orang secara tatap muka. Dalam hal waktu, terdapat tiga 7

3 aspek penting yang berhubungan dengan proses difusi, yakni: (a) proses pengambilan keputusan inovasi (the innovation-decision process), (b) keinovativan (innovativeness), dan (c) laju adopsi suatu inovasi (innovation s rate of adoption) dalam sistem sosial. Proses pengambilan keputusan inovasi (selanjutnya ditulis PK Inovasi) merupakan suatu proses mental, melalui mana seorang individu melangsungkan tahapan-tahapan sejak mengetahui suatu inovasi sampai ke pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak inovasi dan untuk mengukuhkan keputusan yang telah diambilnya itu. Terdapat empat tipe proses PK Inovasi, yaitu opsional, kolektif, otoritas dan kontingensi; yang dibedakan menurut siapa yang menjadi unit pengambil keputusan dan unit adopsi dalam PK Inovasi tersebut. Pada tipe opsional, unit pengambil keputusan dan unit adopsi adalah individu, sedangkan pada tipe kolektif baik unit pengambil keputusan maupun unit adopsi dilakukan oleh sistem sosial. Khusus pada tipe otoritas, unit pengambil keputusan dilakukan oleh mereka yang mempunyai wewenang lebih tinggi dari unit adopsi yang terdiri atas anggota sistem sosial. Adapun pada tipe kontingensi, pengambilan keputusan merupakan kombinasi dari dua atau lebih keputusan inovasi, atau keputusan inovasi dibuat setelah ada keputusan tipe lain yang mendahuluinya. Keinovativan (inovativeness) adalah derajat di mana seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya secara relatif lebih dini atau lebih dahulu mengadopsi sesuatu inovasi daripada rata-rata anggota sistem sosial dimana dia menjadi anggotanya. Adanya keinovativan yang berbeda memungkinkan untuk melihat kategori adopter suatu inovasi tertentu, yang dibedakan ke dalam inovator (innovator), penganut dini (early adopter), penganut dini terbanyak (early majority), penganut lambat terbanyak (late majority) dan penolak (laggard). Laju adopsi adalah kecepatan relatif di mana suatu inovasi diadopsi oleh anggota-anggota suatu sistem sosial. Laju adopsi ini biasanya diukur sebagai jumlah penerima yang mengadopsi inovasi dalam suatu sistem sosial pada periode waktu tertentu. Terdapat sejumlah faktor yang menentukan laju adopsi, dan pada masing-masing faktor terdapat sejumlah komponen atau variabel (independent variables). Adapun hubungan masing-masing unsur dari beberapa variabel yang 8

4 menentukan laju adopsi inovasi (independent variables) dan laju adopsi inovasi (dependent variable) digambarkan sebagaimana terlihat pada Lampiran 1. Unsur keempat difusi inovasi adalah sistem sosial, yang diartikan suatu seperangkat unit-unit (kolektivitas) yang berhubungan satu sama lain dalam upaya mencapai tujuan bersama, khususnya dalam penyelesaian masalah. Anggotaanggota sistem sosial bisa terdiri atas individu, kelompok informal, organisasi, kompleks organisasi dan/atau subsistem-subsistem. Oleh karena difusi inovasi terjadi dalam sistem sosial, maka struktur sosial dipandang ke Rogers dan Shoemaker (1971) mempengaruhi difusi inovasi melalui beberapa cara, diantaranya peranan tokoh pemuka pendapat (tokoh masyarakat) dan agen perubah. Dalam konteks peranan tokoh masyarakat, dimungkinkan adanya individu yang mengembangkan struktur komunikasi homofili dan heterofili. Semakin homofili struktur komunikasi, semakin cepat laju adopsi, dan sebaliknya. Sistem sosial dibedakan ke dalam sistem tradisional dan sistem modern. Sistem tradisional, dicirikan antara lain oleh rendahnya/kurangnya orientasi terhadap perubahan serta tingkat pendidikan, pola komunikasi yang cenderung intepersonal lokalit, dan rendahnya kemampuan berempati di kalangan warga masyarakatnya. Sebaliknya pada sistem sosial yang modern, dicirikan oleh sikap positif terhadap perubahan, cenderung menerima teknologi yang menuntut pembagian kerja yang kompleks, tingginya orientasi pada pendidikan, perilaku komunikasi kosmopolit dan kemampuan empati yang tinggi Hasil-hasil Studi Adopsi dan Difusi Inovasi di Indonesia Hasil studi Soewardi (1972), menemukan bahwa penyebaran (difusi) inovasi Panca Usaha Pertanian (PUP) di Desa Cianjur berlangsung dari lapisan atas ke lapisan bawah terjadi melalui warga lapisan atas yang secara visual menyerupai orang-orang lapisan bawah, namun mereka menjadi tempat bertanya atau bidang kontak antara lapisan atas dan lapisan bawah. Warga lapisan atas sebagai innovator tidak suka menyuluh secara sengaja, juga tidak merupakan tempat bertanya bagi petani-petani lapisan bawah pada umumnya (Sajogyo dan Sajogyo 1982). Selanjutnya, Soewardi menyatakan bahwa hal tersebut terjadi karena warga lapisan atas pada umumnya bersikap responsif terhadap 9

5 pembaharuan, dan menerima unsur-unsur pembaharuan itu langsung dari penyuluh sebagai media yang menyebarkannya. Lapisan atas tersebut tidak berdaya memaksakan pandangan atau kehendaknya kepada para pengikutnya, baik untuk mengadopsi maupun untuk menghalangi terjadinya adopsi, karena terjadinya adopsi inovasi baru adalah atas pengaruh pergaulan akrab, dimana keakraban ini dimulai sejak kecil. Dalam studinya di Desa Babakan, Tangerang, Sastramihardja dan Veronica (1976), melaporkan bahwa hipotesa yang menyatakan proses adopsi melalui 5 (lima) tahap, yaitu tahap kesadaran, berminat, evaluasi, mencoba dan adopsi ternyata tidak berlaku di desa tersebut.. Hal ini terbukti dari para petani yang baru pada tahap sadar atau aware sebanyak 93,5%, sementara yang terus menerima Panca Usaha sebanyak 79% tanpa melalui tahap-tahap seperti berminat dahulu, kemudian menilainya dan mencobanya (Gunardi, 1980). Selanjutnya, para petani di desa Babakan sebagian besar melaksanakan anjuran dalam Panca Usaha Pertanian setelah mendengar kampanye Bimas di Balai Desa yang dilakukan oleh Penyuluh Pertanian dan Kepala Desa. Setelah mendengar bagaimana baiknya menggunakan pupuk, bibit unggul dan obat hama, kemudian langsung menerimanya tanpa melalui pertimbangan tentang baik tidaknya pupuk, bibit atau obat hama tersebut. Mugniesyah dan Lubis (1990), menemukan adanya hubungan yang nyata antar variabel terpengaruh pada PK Inovasi Supra Insus, khususnya antar tahap pengenalan dengan tahap persuasi, tahap persuasi dengan tahap keputusan, serta antar tahap implementasi dengan tahap keputusan; kecuali antar tahap keputusan dengan tahap implementasi. Hal yang terakhir ini berhubungan dengan adanya gejala disonansi inovasi yang diduga sebagai akibat dari dominannya pendekatan otoritatif dalam tahap pengambilan keputusan inovasi, dan atau karena adanya dukungan kelembagaan Koperasi Unit Desa (KUD) yang menekan petani responden untuk menerapkan inovasi. Terdapat beberapa faktor di luar berbagai sub-sistem di atas yang turut menentukan rendahnya penerapan Paket Teknologi Supra Insus (PTSI) di tingkat kelompok tani kasus di dua Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian (WKPP) kasus, yaitu: (1) perubahan struktur agraris yang sangat fluktuatif setiap musim atau setiap tahunnya, (2) perkembangan/perubahan 10

6 dalam pola nafkah di kalangan petani responden, (3) perubahan dalam hubungan sosial produksi antara petani pemilik-penggarap dengan buruh tani, dan (4) perubahan dalam pola pasca panen, khususnya penjualan atau pemasaran hasil. Novarianto (1999) menyatakan bahwa, karakteristik internal petani yang berhubungan nyata dengan tingkat penerapan teknologi Tanam Benih Langsung (TABELA) adalah: lama pendidikan formal, frekuensi mengunjungi sumber informasi, tingkat keuntungan dari kesesuaian; sedangkan karakteristik eksternal petani yang berhubungan nyata dengan penerapan teknologi TABELA adalah intensitas penyuluhan. Namun demikian, penelitian Novarianto melaporkan bahwa penerapan teknologi TABELA belum menunjukkan hubungan yang nyata dengan tingkat produktivitas usahatani. Dalam studi Sadono (1999) tentang Tingkat Adopsi Inovasi Pengendalian Hama Terpadu oleh Petani di Kabupaten Karawang ditemukan bahwa tingkat persepsi petani Pengamat Hama Terpadu-Pengendalian Hama Terpadu (PHT- PHP) dan PHT-Petandu terhadap PHT termasuk kategori tinggi. Namun demikian, tingkat persepsi petani PHT-PHP lebih baik dibanding dengan petani PHT-Petandu; demikian pula halnya lanjut dalam hal tingkat penerapan PHT, dilaporkan bahwa pada petani PHT-PHP hal tersebut lebih baik dibanding petani PHT-Terpadu dan secara statistik perbedaan tersebut berbeda nyata. Studi inipun melaporan bahwa faktor-faktor internal petani yang berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan PHT adalah tingkat pendidikan dan persepsi petani terhadap PHT, sementara faktor luas lahan garapan dan pekerjaan utama tidak berhubungan nyata dengan tingkat penerapan PHT. Adapun faktor-faktor eksternal petani yang berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan PHT adalah status keanggotaan petani dalam kelompok dan pemandu. Hasil studi Agussabti (2002) menemukan adanya hubungan antara tingkat kemandirian petani hortikutura dengan kemajuan usahatani yang dicapai oleh dua kategori petani, yakni petani maju dan petani berkembang. Ada tiga faktor penting yang secara positif mempengaruhi kemandirian petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi baik pada petani maju maupun petani berkembang, yaitu: (1) tingkat kesadaran petani terhadap kebutuhannya; (2) karakteristik individu petani, meliputi: motivasi berprestasi, persepsi terhadap inovasi, 11

7 keberanian mengambil resiko, serta kreativitas; dan (3) Akses petani terhadap informasi. Temuan lainnya adalah bahwa semakin maju petani semakin berkurang pengaruh lingkungan sosial terhadap dirinya dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi. Syafril (2002) dari hasil studinya menemukan bahwa adopsi inovasi Teknologi Sistem Usaha Pertanian Jagung bekorelasi nyata dengan: (a) karakteristik pribadi, khususnya kekosmopolitan,(b) karakteristik rumahtangga, khususnya ketersediaan modal dan (c) kesesuaian stimulan dan frekuensi pembinaan teknologi SUP Jagung, serta (d) jaringan komunikasi. Selanjutnya Syafril melaporkan bahwa derajat integrasi individu, keterbukaan klik dan keterbukaan sistem dalam jaringam komunikasi sangat mempengaruhi penerimaan dan pertukaran informasi di dalam jaringan komunikasi yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat adopsi. Selain itu, opinion leader, liaison dan bridge, serta pendekatan melalui klik-klik yang terdapat dalam sistem juga cukup efektif dalam mempenaruhi adopsi inovasi Teknologi Sistem Usaha Pertanian Jagung Dalam studinya, Purnaningsih (2006), menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan petani dalam pola kemitraan agribisnis terjadi melalui interaksi antara petugas atau pihak mitra dengan petani, kemudian menyebar melalui interaksi sesama petani dan keluarganya dalam suatu komunitas. Beberapa alasan petani untuk memutuskan bermitra adalah adanya jaminan pemasaran hasil, tersedia bibit, pupuk dan pestisida, produktivitas yang lebih tinggi, ada pendampingan petugas, dan meniru petani lain. Beberapa variabel yang mempengaruhi keputusan petani untuk bermitra adalah tingkat kebutuhan bermitra, kepastian pasar, pengalaman berusahatani, persepsi tentang tingkat kerumitan proses bermitra dan ketersediaan sarana transportasi dan telekomunikasi. Keterlibatan petani dalam pola kemitraan memberi manfaat pada peningkatan pendapatan, penggunaan teknologi produksi, panen dan pasca panen, pestisida tepat guna, peningkatan mutu produk, penyerapan tenaga kerja dan modal, serta kesinambungan usaha bagi petani. 12

8 2.4 Kerangka Pemikiran Penelitian yang berjudul Studi Difusi Inovasi SRI di Kabupaten Tasikmalaya ini merujuk pada konsep dan teori proses difusi dari Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1983) yang dikutip Mugniesyah (2006) serta dari hasil empiris beberapa penelitian berkenaan adopsi dan/atau pengambilan keputusan inovasi sebagaimana telah dieskripsikan di atas. Sebagaimana dikemukakan di atas, salah satu unsur difusi inovasi adalah unsur waktu, yang menurut pendapat kedua ahli tersebut di atas dinyatakan berhubungan dengan proses difusi, diantaranya aspek keinovativan dan laju adopsi, maka variabel terpengaruh dalam penelitian ini akan diukur oleh variabel tingkat keinovativan petani (Y1) dan laju adopsi inovasi SRI (Y2). Dengan mengacu pada paradigma laju adopsi, diduga laju adopsi SRI berhubungan dengan sejumlah faktor yang meliputi: persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI, tipe pengambilan keputusan inovasi SRI, saluran komunikasi, karakteristik sistem sosial, dan promosi oleh petugas penyuluh/agen perubah. Terdapat lima variabel pada faktor persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI yang diduga mempengaruhi baik tingkat keinovativan petani (Y1) dan laju adopsi (Y2), yaitu: tingkat keuntungan relatif (X1), tingkat kompatibilitas (X2), tingkat kerumitan (X3), tingkat kemungkinan dicoba (X4), dan tingkat kemungkinan diamati (X5) dari inovasi SRI. Mengingat dimungkinkannya ada keragaman unit adopsi dan unit pengambil keputusan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan inovasi SRI yang dilakukan petani, maka tipe pengambilan keputusan inovasi SRI (X6) juga diduga berhubungan langsung dengan kedua variabel terpengaruh tersebut di atas. Selanjutnya, ada dua variabel pada faktor saluran komunikasi yang diduga mempengaruhi dua variabel pada proses difusi inovasi SRI, yaitu tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa (X7) dan tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8). Sejumlah variabel pada sistem sosial yang diduga turut mempengaruhi, diantaranya adalah keterikatan pada norma berkenaan budidaya padi, yang dalam hal ini diukur melalui variabel tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9). Seperti diketahui, pada pendapat kedua ahli tersebut di atas yang menyatakan bahwa salah satu indikator pembeda sistem sosial tradisional 13

9 dan modern adalah tinggi rendahnya integrasi anggota sistem sosial yang tercermin dari keanggotaan mereka dalam beragam kelompok/organisasi serta status mereka di dalamnya. Sehubungan dengan itu, variabel kedua dari sistem sosial yang diduga berpengaruh adalah tingkat integrasi petani (X10). Di pihak lain, mengingat dalam menyebarkan inovasi, penyuluh umumnya menggunakan beragam metode penyuluhan, oleh karena itu, variabel pada faktor promosi penyuluh yang diduga mempengaruhi difusi inovasi SRI adalah tingkat keragaman metode penyuluhan (X11) yang digunakan penyuluh dalam mengintroduksikan inovasi SRI, serta frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain pada petani (X12). Lebih lanjut oleh karena tingkat keinovativan diukur oleh jumlah individu anggota masyarakat petani yang mengadopsi inovasi dalam satuan waktu tertentu, maka selain sejumlah variabel pengaruh tersebut di atas, karakteristik individu petani tersebut diduga juga mempengaruhi difusi inovasi SRI. Merujuk pada pendapat ahli tersebut di atas dan pada hasil empiris penelitian Mugniesyah dan Lubis (1990), variabel-variabel pada karakteristik individu yang diduga mempengaruhi tingkat keinovativan adalah: adalah tingkat pendidikan formal (X13), tingkat pendidikan non-formal (X14), pola perilaku komunikasi (X15), tingkat pengalaman berusahatani (X16), tingkat stratum rumahtangga petani (X17) dan tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI (X18). Berdasar pada kerangka pemikiran tersebut di atas, hubungan antara variabel pengaruh dan terpengaruh dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar Hipotesis Pengarah 1. Semakin tinggi semua variabel pada tingkat persepsi petani terhadap karakteritik inovasi SRI -kecuali pada tingkat kerumitan-, semakin tinggi tingkat keinovativan petani dan laju adopsi inovasi SRI. 2. Tipe pengambilan keputusan inovasi kolektif berhubungan positif dengan tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi SRI. 14

10 3. Semakin tinggi tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa dan tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI semakin tinggi tingkat keinovativan petani dan laju adopsi inovasi SRI. 4. Semakin tinggi tingkat ketaatan petani dalam berbudidaya padi konvensional, dan semakin tradisional pola komunikasi petani, maka semakin rendah tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi SRI. 5. Semakin tinggi tingkat keragaman metode penyuluhan dan frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau oleh agen perubah lainnya, semakin tinggi tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi SRI. 6. Semakin tinggi semua variabel pada karakteristik individu petani (tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal, pola perilaku komunikasi, tingkat pengalaman berusahatani, tingkat stratum rumahtangga petani, dan tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI), semakin tinggi tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi SRI. 15

11 Variabel Pengaruh (Independent Variables) Variabel Pengaruh (Independent Variables) PERSEPSI PETANI TENTANG KARAKTERISTIK INOVASI SRI 1. Tingkat Keuntungan Relatif (X 1 ) 2. Tingkat Kompatibilitas (X 2 ) 3. Tingkat Kerumitan (X 3 ) 4. Tingkat Kemungkinan Dicoba (X 4 ) 5. Tingkat Kemungkinan Diamati (X 5 ) Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi SRI (X 6 ) Variabel Terpengaruh (Dependent Variables) DIFUSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI): Tingkat Keinovativan Petani (Y 1 ) Laju Adopsi (Y 2 ) KARAKTERISTIK SISTEM SOSIAL: 1. Tingkat Ketaatan Petani Berbudidaya Padi Konvensional (X 9 ) 2. Tingkat Integrasi Petani (X 10 ) PROMOSI OLEH AGEN PERUBAHAN: 1. Tingkat Keragaman Metode Penyuluhan (X 11 ) 2. Frekuensi Kunjungan Penyuluh dan/atau Agen Perubah lain (X 12 ) SALURAN KOMUNIKASI 1. Tingkat Pengenalan Inovasi SRI dari Media Massa (X 7 ) 2. Tingkat Partisipan Petani Mengikuti Penyuluhan Inovasi SRI (X8) Keterangan: : Berhubungan KARAKTERISTIK INDIVIDU PETANI 1. Tingkat Pendidikan Formal (X 13 ) 2. Tingkat Pendidikan Non-Formal (X 14 ) 3. Pola Perilaku Komunikasi (X 15 ) 4. Tingkat Pengalaman Berusahatani (X 16 ) 5. Tingkat Stratum Rumahtangga Petani (X 17 ) 6. Tingkat Kebutuhan Petani terhadap Inovasi SRI (X 18 ) Gambar 1. Hubungan antar variabel pengaruh (independent variables) dengan variabel terpengaruh (dependent variables) dalam proses Difusi Inovasi Padi System of Rice Intensification (SRI). 16

12 2.6 Definisi Operasional 1. Tingkat keinovativan (Y1) adalah waktu (bulan) yang dibutuhkan petani sejak mendengar/mengenal inovasi SRI sampai dengan menerapkannya di usahatani sawah mereka. Pada saat penelitian berlangsung, sejak diintroduksikannya, inovasi SRI telah dibudidayakan 32 bulan. Oleh karenanya, tingkat keinovativan dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) rendah, jika petani mengadopsi inovasi SRI pada periode 0-11 bulan, (2) sedang, jika petani mengadopsi inovasi SRI pada periode bulan dan (3) tinggi, jika petani mengadopsi inovasi SRI pada periode bulan. 2. Laju adopsi inovasi SRI (Y2) adalah jumlah rumahtangga petani yang mengadopsi inovasi SRI dalam periode waktu (tahun) sejak SRI diintroduksikan sampai dengan diterapkan oleh sebagian besar anggota sistem sosial (kampung). Dari hasil perhitungan diperoleh laju adopsi sebesar 72 persen, 52 persen dan 50 persen berturut-turut di Kampung Cinusa, Kampung Muhara, dan di Kampung Tanjung Sirna. Berdasar hal tersebut, Laju Adopsi dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah (skor 1) untuk responden yang berasal dari Kampung Tanjungsirna, (2) sedang (skor 2) untuk responden yang berasal dari Kampung Muhara, dan (3) tinggi (skor 3) untuk responden yang berasal dari Kampung Cinusa. 3. Tingkat keuntungan relatif inovasi SRI (X1) adalah rata-rata keuntungan (rupiah dan atau produksi) yang diperoleh dari usahatani padi dengan metode SRI. Tingkat keuntungan relatif inovasi SRI ini dihitung dengan dua metode: (a) produktivitas adalah jumlah produksi padi SRI dalam satuan ton per ha, dimana minimal produktivitasnya adalah 0,66 ton dan maksimalnya adalah 15,40 ton, dibedakan ke dalam kategori-kategori: (1) rendah, jika produktivitas yang diperoleh petani antara 0,66 5,56 ton; (2) sedang, jika produktivitas yang diperoleh petani antara 5,57 10,46 ton; dan (3) tinggi, jika produktivitas diperoleh petani antara 10,47 15,40 ton. (b) keuntungan relatif pendapatan adalah hasil jual produksi padi SRI dikurangi biaya produksi padi SRI, dimana minimal pendapata yang diperoleh adalah Rp dan maksimalnya adalah Rp , dibedakan ke dalam kategori-kategori: (1) rendah, jika keuntungan relatif pendapatan yang 17

13 diperoleh petani antara Rp Rp , (2) sedang, jika keuntungan relatif pendapatan yang diperoleh petani antara Rp Rp dan (3) tinggi, jika keuntungan relatif pendapatan yang diperoleh petani antara Rp Rp Tingkat kesesuaian budidaya inovasi SRI (X2) adalah derajat dimana aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI dipandang sesuai (tidak bertentangan/konsisten) dengan aktivitas dan/atau teknologi pada budidaya padi konvensional. Secara keseluruhan ada 12 komponen budidaya inovasi SRI, dimana minimalnya adalah lima komponen dan maksimalnya adalah sepuluh komponen, dibedakan ke dalam kriteria: (1) rendah, jika mengganti antara sembilan sampai dengan sepuluh komponen aktivitas dan/atau teknologi pada budidaya padi konvensional (2) sedang, jika mengganti antara tujuh sampai dengan delapan komponen aktivitas dan/atau teknologi budidaya konvensional, dan (3) tinggi, jika mengganti antara lima sampai dengan enam komponen aktivitas dan/atau teknologi yang sudah diterapkan dalam budidaya padi konvensional. 5. Tingkat kerumitan inovasi SRI (X3) adalah derajat dimana sejumlah komponen (aktivitas dan/atau teknologi) dalam inovasi SRI dianggap relatif lebih sulit diaplikasikan dibanding metode budidaya konvensional. Secara keseluruhan ada 12 komponen budidaya inovasi SRI, dimana minimalnya ada dua komponen yang dirasa sulit oleh petani dan maksimal tujuh komponen yang dirasa sulit oleh petani, dibedakan ke dalam kriteria: (1) rendah, jika antara dua sampai tiga komponen aktivitas dan/atau teknologi dianggap sulit oleh petani, (2) sedang, jika antara empat sampai dengan lima komponen aktivitas dan/atau teknologi dianggap sulit oleh petani, dan (3) tinggi, jika antara enam sampai tujuh komponen aktivitas dan/atau teknologi dianggap sulit oleh petani. 6. Tingkat kemungkinan dicobanya inovasi SRI (X4) adalah derajat dimana sejumlah komponen (aktivitas dan/atau teknologi) dalam inovasi SRI dianggap relatif mudah diaplikasikan oleh petani. Secara keseluruhan ada 12 komponen budidaya inovasi SRI, dimana minimal yang dianggap relatif mudah diaplikasikan oleh petani adalah lima komponen dan maksimal 18

14 sepuluh komponen, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika antara lima sampai enam komponen aktivitas dan/atau teknologi Inovasi SRI dianggap mudah diaplikasikan, (2) sedang, jika antara tujuh sampai dengan delapan komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI mudah diaplikasikan, dan (3) tinggi, jika antara sembilan sampai sepuluh komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI mudah diaplikasikan. 7. Tingkat kemungkinan diamatinya inovasi SRI (X5) adalah derajat dimana hasil-hasil penerapan komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI dapat diamati dan dirasakan manfaatnya oleh petani. Secara keseluruhan ada 12 komponen budidaya inovasi SRI, dimana minimal ada lima komponen yang dapat diamati dan maksimal sepuluh komponen, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika antara lima sampai dengan enam komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI dapat diamati manfaatnya; (2) sedang, jika tujuh sampai dengan delapan komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI dapat diamati manfaatnya oleh petani; dan (3) tinggi, jika antara sembilan sampai dengan sepuluh komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI dapat diamati manfaatnya oleh petani. 8. Tipe pengambilan keputusan inovasi SRI (X6) adalah keterlibatan petani sebagai unit pengambil keputusan dan/atau unit adopsi dalam pengambilan keputusan inovasi SRI, ada tiga jenis/tipe PK inovasi SRI (1) opsional, jika petani berperan sebagai unit pengambil keputusan sekaligus unit adopsi inovasi SRI, (2) kolektif, jika petani bersama-sama kelompok taninya berperan sebagai unit pengambil keputusan sekaligus unit adopsi inovasi SRI, dan (3) otoritas, jika unit pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak berwenang (instruksi pihak-pihak di luas sistem sosial, seperti Dinas Pertanian Pemda Kabupaten Tasikmalaya), dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika PK inovasi SRI adalah kolektif atau opsional, (2) sedang, jika PK inovasi SRI adalah kolektif dan opsional, dan (3) tinggi, jika PK inovasi SRI adalah otoritas, kolektif dan opsional. 9. Tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa (X7) adalah keterdedahan petani pada informasi inovasi SRI yang diperoleh dari media massa: radio, televisi, surat kabar, dibedakan ke dalam tiga kategori : (1) rendah, jika petani 19

15 memperoleh informasi inovasi SRI hanya dari satu jenis media massa atau tidak sama sekali, (2) sedang, jika petani memperoleh informasi inovasi SRI dari dua jenis media massa, dan (3) tinggi, jika petani memperoleh informasi inovasi SRI dari tiga dan/atau lebih jenis media massa. 10. Tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8) adalah frekuensi peranserta petani dalam mengikuti kegiatan penyuluhan tentang inovasi SRI sebelum dia menerapkan inovasi SRI. Pada saat penelitian berlangsung, penyuluhan inovasi SRI telah diadakan sebanyak 14 kali pertemuan, dimana minimal ada enam pertemuan yang dihadiri oleh petani dan maksimal adalah 12 pertemuan, dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika petani mengikuti antara enam sampai dengan tujuh kegiatan penyuluhan inovasi SRI, (2) sedang, jika petani mengikuti sekitar delapan sampai dengan sembilan kegiatan penyuluhan inovasi SRI, dan (3) tinggi, jika petani mengikuti antara sepuluh sampai dengan 12 kegiatan penyuluhan inovasi SRI. 11. Tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9) adalah derajat dimana petani cenderung lebih menerapkan aktivitas dan/atau teknologi budidaya padi konvensional. Secara keseluruhan budidaya padi konvensional ada 12 komponen budidaya padi konvensional, dimana minimal ada tiga komponen yang petani lebih cenderung menerapkan budidaya padi konvensional dan maksimal ada delapan komponen, dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika petani menerapkan tiga sampai dengan empat aktivitas dan/atau teknologi budidaya padi konvensional, (2) sedang, jika petani menerapkan lima sampai dengan enam aktivitas dan/atau teknologi budidaya padi konvensional; dan (3) tinggi, jika petani menerapkan antara tujuh sampai dengan delapan aktivitas dan/atau teknologi budidaya padi konvensional. 12. Tingkat integrasi petani (X10) adalah total skor dari jumlah kelompok dan/atau organisasi yang aktivitasnya diikuti oleh petani. Keikutsertaan pada setiap kelompok diberi skor satu. Total keseluruhan aktivitas kelompok dan/atau organisasi yang diikuti oleh petani ada 38 kegiatan, dimana minimal aktivitas yang diikuti oleh petani ada delapan sedangkan maksimalnya ada 24 20

16 aktivitas yang diikuti. Selanjutnya Tingkat Integrasi Petani dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika petani mengikuti delapan sampai dengan 12 aktivitas kelompok dan/atau organisasi; (2) sedang, jika petani mengikuti 13 sampai dengan 18 aktivitas kelompok dan/atau organisasi; dan (3) tinggi, jika petani mengikuti antara 19 sampai dengan 24 aktivitas kelompok dan/atau organisasi. 13. Tingkat keragaman metode penyuluhan (X11) adalah jumlah dan ragam metode penyuluhan yang digunakan Pemda Tasikmalaya dan pemangku kepentingan dalam mendiseminasikan inovasi SRI kepada petani di lokasi penelitian. Minimal tingkat keragaman metode penyuluhan adalah empat metode dan maksimalnya adalah 13 metode, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika antara empat sampai tujuh metode penyuluhan; (2) sedang, jika antara delapan sampai sepuluh metode penyuluhan; dan (3) tinggi, jika antara 11 sampai 13 metode penyuluhan. 14. Frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain (X12) adalah total kegiatan kunjungan (rumah, usahatani) yang dilakukan penyuluh dan/atau agen perubah lain dalam mendiseminasikan inovasi SRI sampai petani mengadopsi inovasi. Minimal frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain adalah enam kunjungan, sedangkan maksimalnya adalah adalah 12 kunjungan, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika kunjungan penyuluh/agen perubah lainnya antara enam sampai dengan tujuh kunjungan pada komunitas petani; (2) sedang, jika kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lainnya antara delapan sampai dengan sembilan kunjungan; dan (3) tinggi, jika kunjungan penyuluh/agen perubah lainnya antara sepuluh sampai dengan 12 kunjungan. 15. Tingkat pendidikan formal (X 13 ) adalah jenis pendidikan sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden, dibedakan ke dalam kategori: (a) rendah, jika tidak tamat tamat dan SD dan sederajat, (2) sedang, jika SLTP dan sederajat; dan (3) tinggi, jika SLTA dan sederajat. 16. Tingkat pendidikan non-formal (X 14 ) adalah total skor kegiatan pendidikan di luar sekolah (PLS) yang pernah diikuti oleh petani, baik pelatihan dan/atau kursus, seminar, lokakarya, pameran, mimbar sarasehan dan lainnya dilihat 21

17 menurut tingkatan penyelenggaraannya (tingkat kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional berturut-turut diberi skor 1, skor 2, skor 3, skor 4 dan skor 5), dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika total skor petani mengikuti kegiatan PLS satu kegiatan PLS; (2) sedang, jika total skor petani mengikuti kegiatan PLS dua kegiatan PLS, (2) tinggi, jika total skor petani mengikuti kegiatan PLS lebih atau sama dengan tiga kegiatan PLS. 17. Pola perilaku komunikasi (X 15 ) adalah akumulasi skor dari interaksi komunikasi (pergaulan) petani dengan beragam sumber informasi yang diperoleh melalui komunikasi interpersonal, baik lokalit maupun kosmopolit dan komunikasi bermedia dan media massa. Pada komunikasi interpersonal lokalit diukur dari pola interaksi dominan dengan sumber-sumber informasi yang berdomisili di: satu RT, satu RW, satu kampung, satu dusun, dan satu desa; berturut-turut diberi skor 1, skor 2, skor 3, skor 4 dan skor 5. Pada komunikasi interpersonal kosmopolit diukur dari status sumber informasi yang berinteraksi dengan petani: ketua kelompok tani, kontak tani/tokoh masyarakat di tingkat: desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional; berturut-turut diberi: skor 1, skor 2, skor 3, skor 4, skor 5, dan skor 6. Pada komunikasi bermedia dan/atau media massa yang dibedakan menurut jenis media massanya: radio, surat kabar, buku, telepon, televisi, dan internet; berturut-turut diberi skor 1, skor 2, skor 3, skor 4, skor 5, dan skor 6. Minimal akumulasi skor pola perilaku komunikasi petani adalah satu dan maksimalnya adalah 18. Selanjutnya pola perilaku komunikasi (PPK) dibedakan ke dalam tiga kriteria: (1) rendah, jika akumulasi skor PPK petani antara satu sampai enam; (2) sedang, jika akumulasi skor PPK petani antara tujuh sampai 12; dan (3) tinggi, jika akumulasi skor PPK petani antara 13 sampai Tingkat pengalaman berusahatani (X 16 ) adalah lamanya (tahun) petani responden berbudidaya padi sawah, minimal pengalaman berusahatani petani adalah dua tahun dan maksimalnya adalah 65 tahun, dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika lamanya berusahatani padi sawah antara 2-23 tahun, (2) sedang, jika lamanya berusahatani padi sawah antara tahun, dan (3) tinggi, jika lamanya berusahatani padi sawah antara tahun. 22

18 19. Tingkat stratum rumahtangga petani (X 17 ) adalah rata-rata luas lahan usahatani sawah yang dikuasai (miliki dan/atau garapan) rumahtangga petani responden, dengan merujuk konsep stratifikasi Sajogyo (1990) dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika menguasai lahan kurang dari 0,25 ha, (2) sedang, jika menguasai lahan 0,25 0,50 ha, dan (3) tinggi, jika menguasai lahan lebih dari 0,50 ha. 20. Tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI (X 18 ) adalah kombinasi motivasi atau alasan petani untuk mengadopsi Inovasi SRI, yang dibedakan ke dalam tiga kategori, (1) rendah, jika motivasinya untuk meningkatkan produksi padi dan keuntungan tanpa perduli pada kualitas lingkungan (tanpa pupuk organik), (2) sedang, jika bermotivasi meningkatkan produksi dan keuntungan, namun ada sedikit kepedulian pada kualitas lingkungan (menggunakan pupuk anorganik-organik, namun dominan anorganiknya) dan (3) tinggi, jika bermotivasi meningkatkan produksi dan keuntungan serta peduli terhadap kualitas lingkungan (dominan menggunakan pupuk organik). 23

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS 8 BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Konsep Difusi Inovasi Sejumlah konsep dan teori mengenai difusi inovasi yang dirujuk dari Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1995) yang dikemukakan dalam subbab ini

Lebih terperinci

BAB VI PROSES DIFUSI, KATEGORI ADOPTER DAN LAJU ADOPSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI DUSUN MUHARA

BAB VI PROSES DIFUSI, KATEGORI ADOPTER DAN LAJU ADOPSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI DUSUN MUHARA BAB VI PROSES DIFUSI, KATEGORI ADOPTER DAN LAJU ADOPSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI DUSUN MUHARA Adanya komponen waktu dalam proses difusi, dapat mengukur tingkat keinovativan dan laju

Lebih terperinci

BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI

BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI Sebagaimana telah dikemukakan di depan, fokus studi difusi ini adalah pada inovasi budidaya SRI yang diintroduksikan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Gambar Paradigma Laju Adopsi Inovasi

Lampiran 1. Gambar Paradigma Laju Adopsi Inovasi Lampiran 1. Gambar Paradigma Laju Adopsi Inovasi Variabel-variabel Pengaruh Variabel Terpengaruh I. KARAKTERISTIK INOVASI Keuntungan Relatif Kompatibilitas Kompleksitas Kemungkinan Dicoba kemungkinan Diamati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skala prioritas utama dan strategi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ditujukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skala prioritas utama dan strategi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ditujukan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skala prioritas utama dan strategi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di

Lebih terperinci

STUDI DIFUSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI KABUPATEN TASIKMALAYA

STUDI DIFUSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI KABUPATEN TASIKMALAYA STUDI DIFUSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI KABUPATEN TASIKMALAYA (Kasus di Dusun Muhara Desa Banjarsari Kecamatan Sukaresik Provinsi Jawa Barat) Oleh: Gilang Kartiwa Nugraha I34053062

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dirasa baru oleh individu atau unit adopsi lain. Sifat dalam inovasi tidak hanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dirasa baru oleh individu atau unit adopsi lain. Sifat dalam inovasi tidak hanya 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inovasi Rogers (2003) mengartikan inovasi sebagai ide, praktik atau objek yang dirasa baru oleh individu atau unit adopsi lain. Sifat dalam inovasi tidak hanya pengetahuan

Lebih terperinci

BAB VI UNSUR-UNSUR DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER

BAB VI UNSUR-UNSUR DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER 46 BAB VI UNSUR-UNSUR DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER Merujuk pada definisi difusi inovasi menurut Rogers dan Shoemaker (1971), terdapat empat unsur dalam proses difusi, yaitu: (1) inovasi, (2) saluran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan pembangunan di Indonesia telah sejak lama mengedepankan peningkatan sektor pertanian. Demikian pula visi pembangunan pertanian tahun 2005 2009 didasarkan pada tujuan pembangunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pengaturan Pola Tanam dan Tertib Tanam (P2T3) pola tanam bergilir, yaitu menanam tanaman secara bergilir beberapa jenis

TINJAUAN PUSTAKA. Pengaturan Pola Tanam dan Tertib Tanam (P2T3) pola tanam bergilir, yaitu menanam tanaman secara bergilir beberapa jenis TINJAUAN PUSTAKA Pengaturan Pola Tanam dan Tertib Tanam (P2T3) Pola tanam adalah pengaturan penggunaan lahan pertanaman dalam kurun waktu tertentu, tanaman dalam satu areal dapat diatur menurut jenisnya.

Lebih terperinci

program yang sedang digulirkan oleh Badan Litbang Pertanian adalah Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian yang

program yang sedang digulirkan oleh Badan Litbang Pertanian adalah Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian yang PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan pertanian di Indonesia telah mengalami perubahan yang pesat. Berbagai terobosan yang inovatif di bidang pertanian telah dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi

Lebih terperinci

Praktikum Perilaku Konsumen

Praktikum Perilaku Konsumen Modul ke: Praktikum Perilaku Konsumen Difusi dan Inovasi Konsumen Fakultas EKONOMI DAN BISNIS Ade Permata Surya, S.Gz., MM. Program Studi MANAJEMEN www.mercubuana.ac.id Definisi Inovasi dan Difusi Inovasi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta wilayah Provinsi Bali

Lampiran 1. Peta wilayah Provinsi Bali L A M P I R A N Lampiran 1. Peta wilayah Provinsi Bali 151 152 Lampiran 2. Hasil uji CFA peubah penelitian Chi Square = 112.49, df=98 P-value=0.15028, RMSEA=0.038, CFI=0.932 153 Lampiran 3. Data deskriptif

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran 283 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Bagian ini menyajikan uraian kumpulan dan rekomendasi penelitian. Kesimpulan yang disajikan merupakan hasil kajian terhadap permasalahan penelitian, sedangkan

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. seperti industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian. Menurut Rogers (1983),

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. seperti industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian. Menurut Rogers (1983), II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Landasan Teori 1. Penerapan Inovasi pertanian Inovasi merupakan istilah yang sering digunakan di berbagai bidang, seperti industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyuluhan pertanian mempunyai peranan strategis dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (petani) sebagai pelaku utama usahatani. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Bagian ini menyajikan uraian kesimpulan dan rekomendasi penelitian. Kesimpulan yang disajikan merupakan hasil kajian terhadap permasalahan penelitian, sedangkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sub sektor pertanian tanaman pangan memiliki peranan sebagai penyedia bahan pangan bagi penduduk Indonesia yang setiap tahunnya cenderung meningkat seiring dengan pertambahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya TINJAUAN PUSTAKA Peranan Penyuluh Pertanian Penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya memberikan pendapat sehingga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Perberasan Indonesia Kebijakan mengenai perberasan di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1969/1970. Kebijakan tersebut (tahun 1969/1970 s/d 1998) mencakup kebijakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Teori Adopsi dan Difusi Inovasi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Teori Adopsi dan Difusi Inovasi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori 2.1.1 Teori Adopsi dan Difusi Inovasi Inovasi menurut Rogers (1983) merupakan suatu ide, praktek atau obyek yang dianggap baru oleh individu atau kelompok pengadopsi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan hal penting dalam pembangunan pertanian. Salah satu keberhasilan dalam pembangunan pertanian adalah terpenuhinya kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar, Definisi Operasional dan Pengukuran. variabel- variabel yang digunakan dalam penelitian ini akan diukur dan

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar, Definisi Operasional dan Pengukuran. variabel- variabel yang digunakan dalam penelitian ini akan diukur dan 47 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar, Definisi Operasional dan Pengukuran Definisi opersional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai bagaimana variabel- variabel yang digunakan dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PRIMA TANI OLEH PETANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA

BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PRIMA TANI OLEH PETANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA 59 BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PRIMA TANI OLEH PETANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA 8.1 Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani Pengambilan keputusan inovasi Prima

Lebih terperinci

dari semua variabel karakteristik individu dan rumahtangga dapat dilihat pada Lampiran 4.

dari semua variabel karakteristik individu dan rumahtangga dapat dilihat pada Lampiran 4. 66 BAB VII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PTT SERTA INPUT PROGRAM DENGAN KELUARAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) Sebagaimana

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... PENDAHULUAN P ada dasarnya pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, pembangunan pertanian pada abad ke-21 selain bertujuan untuk mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konferensi Bali dan berbagai organisasi dunia, baik lembaga swadaya masyarakat maupun lembaga pemerintah, sudah mengakui dampak perubahan iklim terhadap berbagai sektor, khususnya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PETANI PENERIMA METODE SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) PADI DI KECAMATAN CIAWI BOGOR.

KARAKTERISTIK PETANI PENERIMA METODE SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) PADI DI KECAMATAN CIAWI BOGOR. KARAKTERISTIK PETANI PENERIMA METODE SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) PADI DI KECAMATAN CIAWI BOGOR Diarsi Eka Yani 1 Pepi Rospina Pertiwi 2 Program Studi Agribisnis, Fakultas MIPA, Universitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 27 PENDAHULUAN Latar Belakang Paradigma baru pembangunan Indonesia lebih diorientasikan pada sektor pertanian sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kapasitas lokal. Salah satu fokus

Lebih terperinci

Pepi Rospina Pertiwi, Rinda Noviyanti, Dewi Juliah Ratnaningsih 1. ABSTRAK

Pepi Rospina Pertiwi, Rinda Noviyanti, Dewi Juliah Ratnaningsih 1. ABSTRAK PERSEPSI PETANI TENTANG DETERMINAN SELEKSI SALURAN KOMUNIKASI DALAM PENERIMAAN INFORMASI USAHATANI PADI (KASUS PETANI KABUPATEN SERANG PROVINSI BANTEN) Pepi Rospina Pertiwi, Rinda Noviyanti, Dewi Juliah

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 69 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Kerangka berpikir penelitian ini dimulai dengan pendapat Spencer dan Spencer (1993:9-10) menyatakan bahwa setiap kompetensi tampak pada individu dalam

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 19 BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Prima Tani merupakan salah satu program Badan Litbang Pertanian yang di dalamnya terdapat unsur inovasi. Sebagai suatu inovasi, Prima Tani diperkenalkan

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 36 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Pembangunan sebagai upaya terencana untuk meningkatkan mutu kehidupan dan kesejahteraan penduduk khususnya di negara-negara berkembang senantiasa mencurahkan

Lebih terperinci

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH 67 BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH Bab ini akan membahas keefektifan Program Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan (Proksi Mantap) dalam mencapai sasaran-sasaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Pembangunan pertanian sebagai bagian integral dari pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang berperan sangat penting. Sektor ini mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, laju pertumbuhannya sebesar 4,8 persen

Lebih terperinci

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI. ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan,

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI. ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Usahatani Padi Sistem Jajar Legowo Ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana mengusahakan dan mengkoodinir faktor produksi seperti lahan

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. pola bertanam yang berselang-seling antara dua atau lebih (biasanya dua atau

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. pola bertanam yang berselang-seling antara dua atau lebih (biasanya dua atau II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Pendekatan Teori 1. Sistem Tanam Jajar legowo Menurut Badan Litbang Pertanian (2013), sistem tanam jajar legowo adalah pola bertanam yang berselang-seling antara dua atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. substitusinya sebagaimana bahan bakar minyak. Selain itu, kekhawatiran global

I. PENDAHULUAN. substitusinya sebagaimana bahan bakar minyak. Selain itu, kekhawatiran global I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Populasi manusia yang meningkat mengakibatkan peningkatan kebutuhan manusia yang tidak terbatas namun kondisi sumberdaya alam terbatas. Berdasarkan hal tersebut, ketidakseimbangan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Penelitian menyimpulkan sebagai berikut:

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Penelitian menyimpulkan sebagai berikut: VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Penelitian menyimpulkan sebagai berikut: 1. Usahatani padi organik masih sangat sedikit dilakukan oleh petani, dimana usia petani padi organik 51

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi 4.1.1 Keadaan Geografis Desa Oluhuta Utara merupakan salah satu Desa yang berada di Kecamatan Kabila, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Luas

Lebih terperinci

VI KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN

VI KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN VI KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN 6.3. Gambaran Umum Petani Responden Gambaran umum petani sampel diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan para petani yang menerapkan usahatani padi sehat dan usahatani

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan pertanian merupakan faktor penunjang ekonomi nasional. Program-program pembangunan yang dijalankan pada masa lalu bersifat linier dan cenderung bersifat

Lebih terperinci

VI. ADOPSI PROGRAM SISTEM INTEGRASI TANAMAN- TERNAK. partisipatif di lahan petani diharapkan dapat membawa dampak terhadap

VI. ADOPSI PROGRAM SISTEM INTEGRASI TANAMAN- TERNAK. partisipatif di lahan petani diharapkan dapat membawa dampak terhadap VI. ADOPSI PROGRAM SISTEM INTEGRASI TANAMAN- TERNAK Penerapan program sistem integrasi tanaman-ternak yang dilakukan secara partisipatif di lahan petani diharapkan dapat membawa dampak terhadap peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka Program adalah pernyataan tertulis tentang keadaan, masalah, tujuan dan cara mencapai tujuan yang disusun dalam bentuk

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PADI SAWAH DI DESA KARANG ANYAR KECAMATAN SEMIDANG ALAS MARAS KABUPATEN SELUMA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PADI SAWAH DI DESA KARANG ANYAR KECAMATAN SEMIDANG ALAS MARAS KABUPATEN SELUMA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PADI SAWAH DI DESA KARANG ANYAR KECAMATAN SEMIDANG ALAS MARAS KABUPATEN SELUMA Eddy Makruf, Yulie Oktavia, Wawan Eka Putra, dan Andi Ishak Balai Pengkajian Teknologi

Lebih terperinci

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Karakteristik Desa 5.1.1. Kondisi Geografis Secara administratif Desa Ringgit terletak di Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Letak Desa

Lebih terperinci

DIFUSI INOVASI. Agustina Bidarti Fakultas Pertanian Unsri

DIFUSI INOVASI. Agustina Bidarti Fakultas Pertanian Unsri DIFUSI INOVASI M ETODE PENGEMBANGAN PARTISIPATIF Agustina Bidarti Fakultas Pertanian Unsri Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Adopsi 1. Sifat inovasi (keuntungan relatif, kompabilitas, kompleksitas, triabilitas,

Lebih terperinci

SRI SUATU ALTERNATIVE PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN SAWAH (PADI) YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN

SRI SUATU ALTERNATIVE PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN SAWAH (PADI) YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN SRI SUATU ALTERNATIVE PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN SAWAH (PADI) YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN Indratmo Soekarno Departemen Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung, email: indratmo@lapi.itb.ac.id, Tlp

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tumbuhan padi (Oryza sativa L) termasuk golongan tumbuhan. Tumbuhan padi bersifat merumpun, artinya tanaman tanamannya anak beranak.

TINJAUAN PUSTAKA. Tumbuhan padi (Oryza sativa L) termasuk golongan tumbuhan. Tumbuhan padi bersifat merumpun, artinya tanaman tanamannya anak beranak. TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi Sawah Tumbuhan padi (Oryza sativa L) termasuk golongan tumbuhan Gramineae, yang mana ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Tumbuhan padi bersifat merumpun,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 33 METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai penelitian survey yang bersifat explanatory research yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengevaluasi dengan menjelaskan hubungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan beras di Indonesia pada masa yang akan datang akan meningkat. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi dengan besarnya konsumsi beras

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sejarah Perkembangan Pertanian Organik di Indonesia Perkembangan pertanian organik diawali

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertanian tanaman pangan masih menjadi usaha sebagian besar petani. Di Indonesia sendiri, masih banyak petani tanaman pangan yang menanam tanaman pangan untuk dikonsumsi

Lebih terperinci

DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER DI PERDESAAN

DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER DI PERDESAAN 1 DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER DI PERDESAAN (Kasus Desa Kemang, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat) Oleh: Laras Sirly Safitri I34070035 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan penduduk dunia khususnya di negara-negara Asia Tenggara menghendaki adanya pemenuhan kebutuhan bahan makanan yang meningkat dan harus segera diatasi salah

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir. kualitas hidup rakyat melalui peningkatan partisipasinya secar aktif dalam

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir. kualitas hidup rakyat melalui peningkatan partisipasinya secar aktif dalam 28 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah adanya peningkatan kualitas hidup rakyat melalui peningkatan partisipasinya secar aktif dalam pembangunan,

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 98 BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bagian ini akan dikemukakan hasil temuan studi yang menjadi dasar untuk menyimpulkan keefektifan Proksi Mantap mencapai tujuan dan sasarannya. Selanjutnya dikemukakan

Lebih terperinci

TEORI KOMUNIKASI KONTEKS BUDAYA DAN MASYARAKAT

TEORI KOMUNIKASI KONTEKS BUDAYA DAN MASYARAKAT PENYEBARAN INFORMASI DAN PENGARUH Teori Komunikasi-1, Sesi 14 Hipotesis Dua Langkah Lazarsfeld TEORI KOMUNIKASI KONTEKS BUDAYA DAN MASYARAKAT PENYEBARAN INFORMASI DAN PENGARUH: Hipotesis Dua Langkah Lazarsfeld

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Program adalah pernyataan tertulis tentang keadaan, masalah, tujuan dan cara mencapai tujuan yang

Lebih terperinci

BAB VIII HUBUNGAN PARTISIPASI DENGAN SIKAP DAN KARAKTERISTIK INTERNAL INDIVIDU PETANI

BAB VIII HUBUNGAN PARTISIPASI DENGAN SIKAP DAN KARAKTERISTIK INTERNAL INDIVIDU PETANI 62 BAB VIII HUBUNGAN PARTISIPASI DENGAN SIKAP DAN KARAKTERISTIK INTERNAL INDIVIDU PETANI 8.1 Hubungan Partisipasi dengan Sikap Petani terhadap Sistem Pertanian Organik Sikap seringkali mempengaruhi tingkah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mutu hidup serta kesejahteraan masyarakat. Salah satu upaya peningkatan

I. PENDAHULUAN. mutu hidup serta kesejahteraan masyarakat. Salah satu upaya peningkatan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memegang peranan yang strategis dalam perekonomian nasional. Tujuan pembangunan pertanian adalah untuk memperbaiki taraf dan mutu hidup serta kesejahteraan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan hasil pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan yang artinya masyarakat banyak yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. bagi masyarakat peternak di Kabupaten Pandeglang. Usaha peternakan kerbau di

PENDAHULUAN. bagi masyarakat peternak di Kabupaten Pandeglang. Usaha peternakan kerbau di 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Pandeglang merupakan sentra populasi kerbau di Provinsi Banten dengan jumlah populasi kerbau sebesar 29.106 ekor pada tahun 2012 (Arfiani, 2016). Beternak

Lebih terperinci

Salah satu bekal yang berguna bagi usaha memasyarakatkan inovasi atau ide-ide baru adalah pemahaman yang mendalam mengenai bagaimana inovasi tersebut

Salah satu bekal yang berguna bagi usaha memasyarakatkan inovasi atau ide-ide baru adalah pemahaman yang mendalam mengenai bagaimana inovasi tersebut "OPINION LEADER" PERANANNYA DALAM PROSES ADOPSI TEKNOLOGI IB TERNAK SAPI MADURA Jauhari Efendy Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan peranan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan pada sektor pertanian. Di Indonesia sektor pertanian memiliki peranan besar dalam menunjang

Lebih terperinci

PENINGKATAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MELALUI PENERAPAN KOMPONEN TEKNOLOGI PTT DI SULAWESI TENGGARA

PENINGKATAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MELALUI PENERAPAN KOMPONEN TEKNOLOGI PTT DI SULAWESI TENGGARA PENINGKATAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MELALUI PENERAPAN KOMPONEN TEKNOLOGI PTT DI SULAWESI TENGGARA Sri Bananiek 1, Agussalim 1 dan Retna Qomariah 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)

Lebih terperinci

KAJIAN PENGGUNAAN VARIETAS UNGGUL PADI BERLABEL DI KECAMATAN CURUP SELATAN KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU

KAJIAN PENGGUNAAN VARIETAS UNGGUL PADI BERLABEL DI KECAMATAN CURUP SELATAN KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU KAJIAN PENGGUNAAN VARIETAS UNGGUL PADI BERLABEL DI KECAMATAN CURUP SELATAN KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU Yartiwi dan Andi Ishak Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jalan Irian km

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Jaringan Komunikasi

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Jaringan Komunikasi TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Jaringan Komunikasi Komunikasi merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia sejak lahir dan selama proses kehidupannya. Tindakan komunikasi dapat terjadi dalam berbagai konteks

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendapatan rumahtangga petani adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah telah membawa perubahan pada sistem pemerintahan di Indonesia dari sentralistik menjadi desentralistik. Perubahan ini berdampak pada pembangunan. Kini pembangunan

Lebih terperinci

ALUR INFORMASI DAN KEPUTUSAN INOVASI TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA TERPADU DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR *)

ALUR INFORMASI DAN KEPUTUSAN INOVASI TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA TERPADU DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR *) ALUR INFORMASI DAN KEPUTUSAN INOVASI TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA TERPADU DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR *) INFORMATION NET AND INOVATION DECISION OF INTEGRATED PEST MANAGEMENT TECHNOLOGY IN EAST LOMBOK REGENCY

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di

BAB VI PEMBAHASAN. pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di 63 BAB VI PEMBAHASAN Berdasarkan data hasil analisis kesesuaian, pengaruh proses pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di Kecamatan Nangapanda Kabupaten Ende dapat dibahas

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL Sistem Pertanian dengan menggunakan metode SRI di desa Jambenenggang dimulai sekitar tahun 2007. Kegiatan ini diawali dengan adanya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman padi merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang penting dalam rangka ketahanan pangan penduduk Indonesia. Permintaan akan beras meningkat pesat seiring dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi

III. METODE PENELITIAN. A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi 45 III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi Berdasarkan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, secara operasional dapat diuraikan tentang definisi operasional,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Wonosari merupakan salah satu dari 7 kecamatan yang ada di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Wonosari merupakan salah satu dari 7 kecamatan yang ada di BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kecamatan Wonosari merupakan salah satu dari 7 kecamatan yang ada di Kabupaten Boalemo, Di lihat dari letak geografisnya, Kecamatan Wonosari

Lebih terperinci

TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI PADA USAHATANI PADI SAWAH SYSTEM

TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI PADA USAHATANI PADI SAWAH SYSTEM TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI PADA USAHATANI PADI SAWAH SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) (Studi Kasus Pada Kelompoktani Angsana Mekar Desa Cibahayu Kecamatan Kadipaten Kabupaten ) Oleh: Laras Waras Sungkawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang semakin meningkat menyebabkan konsumsi beras perkapita per tahun

I. PENDAHULUAN. yang semakin meningkat menyebabkan konsumsi beras perkapita per tahun I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan luas lahan yang sangat luas dan keanekaragaman hayati yang sangat beragam, memungkinkan Indonesia menjadi negara agraris terbesar

Lebih terperinci

BUDIDAYA TANAMAN PADI menggunakan S R I (System of Rice Intensification)

BUDIDAYA TANAMAN PADI menggunakan S R I (System of Rice Intensification) BUDIDAYA TANAMAN PADI menggunakan S R I (System of Rice Intensification) PRINSIP S R I Oleh : Isnawan BP3K Nglegok Tanaman padi diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya Semua unsur potensi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melalui pendekatan edukatif (Subejo, 2010). Pendekatan edukatif diartikan sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melalui pendekatan edukatif (Subejo, 2010). Pendekatan edukatif diartikan sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyuluhan Pertanian Penyuluhan merupakan upaya perubahan perilaku manusia yang dilakukan melalui pendekatan edukatif (Subejo, 2010). Pendekatan edukatif diartikan sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitiatif dan kualitatif.

BAB III METODOLOGI. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitiatif dan kualitatif. 33 BAB III METODOLOGI 3.1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitiatif dan kualitatif. Metode penelitian yang digunakan berupa (a) full enumeration survey, yaitu mewawancarai seluruh

Lebih terperinci

SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 2 September 2012

SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 2 September 2012 PERSEPSI PETANI TERHADAP BUDIDAYA PADI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI DESA RINGGIT KECAMATAN NGOMBOL KABUPATEN PURWOREJO Priyo Utomo, Dyah Panuntun Utami dan Istiko Agus Wicaksono Program Studi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sawah irigasi sebagai basis usahatani merupakan lahan yang sangat potensial serta menguntungkan untuk kegiatan usaha tani. Dalam satu tahun setidaknya sawah irigasi dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Meskipun sebagai bahan makanan pokok, padi dapat digantikan atau disubstitusi

TINJAUAN PUSTAKA. Meskipun sebagai bahan makanan pokok, padi dapat digantikan atau disubstitusi TINJAUAN PUSTAKA Padi Sebagai Bahan Makanan Pokok Padi adalah salah satu bahan makanan yang mengandung gizi dan penguat yang cukup bagi tubuh manusia, sebab didalamnya terkandung bahan-bahan yang mudah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering disebut dengan pertanian terpadu, adalah memadukan

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 41 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kecamatan Gandus terletak di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan. Kecamatan Gandus merupakan salah satu kawasan agropolitan di mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya energi mempunyai peran yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi nasional. Dalam jangka panjang, peran energi akan lebih berkembang khususnya guna mendukung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padi merupakan pangan utama yang dikonsumsi oleh hampir setengah penduduk dunia. Kebutuhan pangan akan semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk, namun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. seluruh uang atau hasil material lainnya yang dicapai dari penggunaan kekayaan

TINJAUAN PUSTAKA. seluruh uang atau hasil material lainnya yang dicapai dari penggunaan kekayaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pendapatan Petani Salah satu indikator utama untuk mengukur kemampuan masyarakat adalah dengan mengetahui tingkat pendapatan masyarakat. Pendapatan menunjukkan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian Dalam upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sektor pertanian telah dilaksanakan banyak program pembiayaan pertanian.

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida

5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida 5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida Berdasarkan hasil perhitungan terhadap rata-rata penerimaan kotor antar varietas padi terdapat perbedaan, kecuali antara

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. deskriptif analisis, pelaksanaan penelitian ini menggunakan studi komparatif,

METODE PENELITIAN. deskriptif analisis, pelaksanaan penelitian ini menggunakan studi komparatif, III. METODE PENELITIAN Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis, pelaksanaan penelitian ini menggunakan studi komparatif, yaitu salah satu metode penelitian dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. BPS (2016) menyatakan bahwa, selama periode waktu tahun jumlah

I. PENDAHULUAN. BPS (2016) menyatakan bahwa, selama periode waktu tahun jumlah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah populasi penduduk Indonesia terus meningkat dari tahun ketahun. BPS (2016) menyatakan bahwa, selama periode waktu tahun 2000-2010 jumlah penduduk Indonesia meningkat

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Kerangka Pemikiran

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Kerangka Pemikiran 27 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Persoalan mengenai kesejahteraan, peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan serta kemandirian pangan masih menjadi persoalan yang penting di

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) Bunaiyah Honorita

PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) Bunaiyah Honorita PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Bengkulu 38119 PENDAHULUAN Hingga saat ini, upaya mewujudkan ketahanan

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir 49 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Kemampuan masyarakat (peternak) untuk berpartisipasi dalam pembangunan harus didahului oleh suatu proses belajar untuk memperoleh dan memahami informasi,

Lebih terperinci