VIRUS AVIAN INFLUENZA & DINAMIKA MOLEKULERNYA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VIRUS AVIAN INFLUENZA & DINAMIKA MOLEKULERNYA"

Transkripsi

1 Diterbitkan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang Gedung D5, Kampus Sekaran Gunungpati Phone : (024) Website : R. Susanti VIRUS AVIAN INFLUENZA & DINAMIKA MOLEKULERNYA ISBN : MONOGRAF VIRUS AVIAN INFLUENZA & DINAMIKA MOLEKULERNYA R. Susanti

2 MONOGRAF VIRUS AVIAN INFLUENZA dan DINAMIKA MOLEKULERNYA R. Susanti Diterbitkan oleh: FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

3 VIRUS AVIAN INFLUENZA dan DINAMIKA MOLEKULERNYA Penulis Penyunting Desain sampul dan tata letak : Dr. drh R. Susanti M.P : : Yoris Adi Maretta ISBN : Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi monograf tanpa ijin tertulis dari penulis ii

4 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah swt atas anugerah-nya sehingga buku monograf berjudul Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya ini dapat terselesaikan. Monograf ini berisi konsep, teori dan hasil penelitian tentang karakter virus avian influenza subtipe H5N1 secara molekuler. Hasil-hasil penelitian mencakup semua isolat virus avian influenza subtipe H5N1 di dunia, namun paparan lebih rinci pada isolat di Indonesia. Virus avian influenza (VAI) adalah virus influenza tipe A yang menyerang unggas dan menyebabkan penyakit flu burung. Virus ini termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus influenza memiliki 8 segmen genom RNA berserat tunggal (single-stranded RNA) berpolaritas negatif yang menyandi 11 protein. Virus ini merupakan patogen intraseluler, sehingga untuk dapat beradaptasi, bertahan hidup dan bereplikasi dalam tubuh hospesnya, VAI mempunyai mekanisme untuk menghindar dari respon imun hospes. Mekanisme untuk menghindar dari respon hospes tersebut terjadi melalui fenomena yang disebut hanyutan antigenik (antigenic drift). Hanyutan antigenik adalah perubahan/mutasi secara periodik akibat mutasi genetik struktur protein permukaan VAI sehingga antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh akibat vaksinasi atau infeksi alami sebelumnya tidak dapat mengenali keberadaan virus tersebut. Virus HPAI subtipe H5N1 dari Asia menunjukkan karakteristik zoonotik paling tinggi dan dapat ditransmisikan dari unggas ke berbagai spesies mamalia termasuk manusia. iii

5 Tingginya tingkat kejadian dan kematian manusia dan unggas akibat VIA subtipe H5N1 di Indonesia, bahkan penyebab kematian manusia tertinggi di dunia, menarik dilakukan karakterisasi molekuler gen-gen penyusunnya. Nukleotida penyusun gen-gen VAI merupakan karakter dasar yang menentukan karakter fenotip suatu virus. Karakter genotip secara molekuler akan dapat mengungkap karakter zoonotik, transmisi, resistensi terhadap obat dan patogenesitas virus berdasarkan sekuen nukleotida dan asam amino genom-genom yang terlibat pada proses tersebut Buku monograf ini merupakan salah satu bahan ajar untuk mata kuliah biokimia, imunologi, biologi molekuler, taksonomi, virologi, mikrobiologi ataupun biologi umum. Monograf ini juga dapat digunakan sebagai referensi bagi mahasiswa S1, S2 dan S3, masyarakat umum maupun dinas terkait yang berkecimpung dalam penelitian, pencegahan dan pengendalian penyakit hewan khususnya flu burung. Tingginya kemanfaatan hasil-hasil penelitian tentang avian influenza bagi mahasiswa maupun peneliti, mendorong diterbitkannya monograf ini. Buku monograf ini berturut-turut berisi (1) Pendahuluan, (2) Biologi virus avian influenza, (3) Teknik menumbuhkan dan mengisolasi virus avian influenza, (4) Teknik identifikasi virus avian influenza dan subtipenya, (5) Teknik analisa molekuler nukleotida penyusun gen-gen virus avian influenza, (6) Dinamika molekuler virus avian influenza subtipe H5N1 di Indonesia, (7) Epidemiologi virus avian influenza dan penularannya dan (8) Penutup. iv

6 Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dra. Retno Sri Iswari, SU yang telah menyunting monograf ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada mahasiswa yang terlibat dalam penelitian virus avian influenza, serta semua teman-teman yang telah memotivasi penulis untuk menyelesaikan monograf ini. Semoga karya buku monograf ini bermanfaat bagi dunia pendidikan dan penelitian di Indonesia. Kritik dan saran demi kesempurnaan monograf ini sangat penulis harapkan. Semarang, Agustus 2013 Penulis v

7 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR iii DAFTAR ISI vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... x BAB I PENDAHULUAN 1 Rumusan Masalah. 5 Tujuan Metode BAB II BIOLOGI VRUS INFLUENZA 8 Morfologi Klasifikasi Siklus Hidup Mutasi Gen VAI Hanyutan antigenik Reasorsi dan transmisi VAI BAB III TEKNIK MENUMBUHKAN DAN MENGISOLASI VIRUS AVIAN INFLUENZA 29 Preparasi Sampel Media Perbanyakan virus Metode Propagasi Virus pada Telur Ayam Berembrio SPF 34 BAB IV TEKNIK IDENTIFIKASI VIRUS AVIAN INFLUENZA DAN SUBTIPENYA 39 Uji Hemaglutinasi (HA) Metode Uji Hemaglutinasi (HA) Uji Agar Gel Immunodiffusion (AGID) Test Metode uji AGPT Identifikasi subtipe virus avian influenza secara molekuler 46 Metode Isolasi RNA Virus Metode RT-PCR.., Elektroforesis Metode Elektroforesis Hasil RT-PCR pada Gel Agarose 56 BAB V TEKNIK ANALISA MOLEKULER NUKLEOTIDA 59 vi

8 PENYUSUN GEN-GEN VIRUS AVIAN INFLUENZA Contoh Metode Amplifikasi Gen HA Dengan Primer Spesifik 60 Purifikasi produk PCR Sekuensing Metode analisis nukleotida dengan program MEGA BAB VI DINAMIKA MOLEKULER VIRUS AI SUBTIPE H5N1 DI INDONESIA 72 Gen Hemaglutnin (HA) Gen Non Struktural-1 (NS1) Gen Polymerase Basic 1 (PB1) Gen Polymerase Basic 2 (PB2) Gen Neuraminidase (NA) BAB VII EPIDEMIOLOGI VIRUS AVIAN INVLUENZA DAN PERAN UNGGAS AIR 118 Epidemiologi Virus Avian Influenza Telaah Virus Avian Influenza di Indonesia Peran unggas air pada penyebaran virus avian influenza 123 Cara Perlindungan dan Pencegahan Infeksi Virus Avian Influenza 128 BAB VIII PENUTUP. 132 DAFTAR PUSTAKA 141 GLOSARIUM. 169 INDEKS. 174 BIOGRAFI vii

9 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Segmen genom virus influenza A serta fungsi protein yang disandinya Tabel 2 Level laboratorium untuk penelitian yang berhubungan dengan mikroorganisme penyebab penyakit Tabel 3 Sekuen basa primer untuk mengamplifikasi gen H5, H1 dan ND serta besaran produk PCR yang diharapkan 53 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Sekuen nukleotida primer untuk mengamplifikasi gen HA Variasi antigenik site dari gen HA virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia Variasi daerah antigenik dari gen HA virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia Variasi residu pengikat reseptor dari gen HA virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia 80 Variasi peptida fusi dari gen HA virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia Variasi sekuen daerah pemotongan virus avian influenza H5N1 di Indonesia dari tahun Tabel 10 Variasi posisi glikosilasi dari gen HA virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia Tabel 11 Tabel 12 Variasi peptida fusi dari gen HA virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia Variasi dari gen PB1 dan PB1-F2 virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia viii

10 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Variasi dari gen PB2 virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia Variasi dari posisi glikosilasi gen NA virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia Variasi dari oseltamifir binding pocket gen NA virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia ix

11 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Bentuk pleiomorfik virus influenza... 9 Gambar 2 Struktur dan segmen-segmen genom virus influenza A. 14 Gambar 3 Siklus replikasi virus influenza Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Pertumbuhan virus avian influenza subtipe H5N1 pada TAB.. Antigen virus virus HPAI H5N1 isolat unggas air pada organ-organ embrio.. Hemaglutinasi sel darah merah oleh virus yang mampu mengaglutinasi Gambar 7 Gambaran contoh hasil uji HA Gambar 8 Pembentukan presipitasi pada uji AGPT Gambar 9 Interpretasi hasil AGPT Gambar 10 Contoh hasil AGPT Gambar 11 Elektroforegram RT-PCR gen H Gambar 12 Elektroforegram RT-PCR gen N Gambar 13 Elektroforegram RT-PCR Gambar 14 Tampilan program MEGA pada persiapan alignment 64 Gambar 15 Tampilan prosedur alignment Gambar 16 Proses menampilkan data alignment pada MEGA x

12 Gambar 17 Proses penyimpanan data alignment ke word Gambar 18 Pembuatan pohon filogeni dan jarak genetik Gambar 19 Pohon filogenetik 1695 basa gen HA virus AI H5N1 96 Gambar 20 Pohon filogenetik 690 basa gen NS virus AI H5N Gambar 21 Gambar 22 Pohon filogenetik 2268 basa gen PB1 virus AI H5N1 Pohon filogenetik 2200 basa gen PB2 virus AI H5N Gambar 23 Pohon filogenetik 1404 basa gen NA virus AI H5N1 117 xi

13

14 BAB I PENDAHULUAN Influenza (atau biasa disingkat menjadi flu) bukan penyakit yang asing lagi bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Influenza banyak dan sering menyerang manusia dan hewan. Avian Influenza (AI) atau dikenal juga dengan flu burung adalah penyakit flu pada unggas yang sangat menular, disebabkan oleh virus influenza tipe A, termasuk famili Orthomyxoviridae (Lamb & Krug 2001). Virus influenza yang menyerang unggas dan menyebabkan penyakit flu burung disebut Virus Avian Influenza (VAI). Virus influenza memiliki 8 segmen genom RNA (ribonucleic acid) serat tunggal (single-stranded RNA) berpolaritas negatif yang menyandi 11 protein. Kedelapan segmen RNA bersama-sama dengan nukleoprotein (NP) membentuk ribonukleoprotein (RNP) (Bui et al. 2000; Elton et al. 2001; Munch et al. 2001). Kedelapan segmen genom RNA dari VAI, segmen genom ke-7 yaitu matriks (M) dianggab paling stabil/conserve dibandingkan 7 genom lainnya. Sementara genom yang paling tinggi tingkat mutasinya adalah genom HA (hemaglutinin). Hasil penelitian Susanti et al. (2008a) menunjukkan bahwa domain asam amino daerah antigenik, posisi glikosilasi dan kantong pengikat reseptor pada gen HA virus AI isolat unggas air di Jawa Barat menunjukkan adanya polimorfisme, namun spesifisitas reseptor avian α-2,3neuacgal masih tetap dipertahankan. Genom yang berperan pada 1

15 mekanisme zoonotik, transmisi dan virulensi/patogenesitas VAI adalah segmen genom polymerase basic 2 (PB2), PB1, hemaglutinin (HA), neuraminidase (NA), dan non-struktural 1 (NS1). Sebagai patogen intraseluler, VAI mempunyai mekanisme untuk menghindar dari respon imun hospes sehingga virus dapat bertahan hidup dan bereplikasi dalam tubuh hospes. Peningkatan kemampuan virus untuk menghindari sistem imun hospes, secara langsung berkorelasi dengan peningkatan patogenesitas virus. VAI mempunyai berbagai mekanisme untuk menghindar dari respon imun bawaan dan adaptif hospes (Coleman 2007). Virus AI mempunyai kemampuan untuk menghindar dari respon humoral hospes melalui fenomena yang disebut hanyutan antigenik (antigenic drift). Mutasi yang mengarahkan pada fenomena ini adalah perubahan asam amino glikoprotein permukaan hemaglutinin (HA) (Plotkin & Dushoff 2003). Hanyutan antigenik adalah perubahan secara periodik akibat mutasi genetik struktur protein permukaan VAI sehingga antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh akibat vaksinasi sebelumnya tidak dapat mengenali keberadaan virus tersebut (Munch et al. 2001). Konsep hanyutan antigenik ini menuntut produksi vaksin selalu diperbaharui. Ancaman yang lebih besar dari penghindaran respon imun bawaan dan perolehan adalah kemampuan virus untuk reasorsi melalui fenomena yang disebut lompatan antigenik (antigenic shift) (Coleman 2007). Virus AI dengan kepemilikan mekanisme untuk menghindar dari respon imun bawaan dan adaptif hospes, 2

16 merupakan salah satu faktor meluasnya wabah virus ini. Wabah VAI subtipe H5N1 patogenik tinggi (highly pathogenic avian influenza; HPAI) pertama kali dilaporkan di Cina Selatan tahun , kemudian menyebar dan menyebabkan kematian unggas di Vietnam, Thailand, Indonesia dan Negara Asia Timur sejak awal tahun 2004 (Smith et al. 2006). Wabah virus HPAI subtipe H5N1 pada unggas di Indonesia muncul pertama kali pada bulan Agustus 2003 di beberapa peternakan ayam ras komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah, namun secara resmi baru dilaporkan pada Januari Kasus ini kemudian meluas ke berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, DIY, Lampung, Bali serta beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), sejak dideklarasikan Januari 2004, jumlah kasus infeksi VAI secara bertahap menurun setiap tahunnya, yakni 1411 kasus pada tahun Jumlah tersebut lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yaitu 1502 (tahun 2010), 2293 (tahun 2009), 1413 (tahun 2008), 2751 (tahun 2007) dan 612 (tahun 2006). Berdasarkan kajian epidemiologi molekuler, Pulau Jawa merupakan pusat penyebaran (epicenter) VAI subtipe H5N1 di Indonesia. Virus-virus H5N1 ini diintroduksi dari pulau Jawa ke pulau-pulau di sekitarnya melalui jalur perdagangan unggas. Sampai saat ini, avian influenza dinyatakan endemis di 32 dari 33 propinsi di Indonesia. Infeksi VAI subtipe H5N1 pada manusia mulai terjadi pada Juli Infeksi VAI H5N1 pada manusia terjadi secara sporadis dan menyerang beberapa klaster famili 3

17 (Kandun et al. 2006; Sedyaningsih et al. 2007). Kasus infeksi VAI H5N1 pada klaster famili kemungkinan dipengaruhi oleh faktor genetik, tingkah laku, imunologik, dan lingkungan (Kandun et al. 2006). Semua kasus infeksi VAI H5N1 di Indonesia merupakan VAI H5N1 clade 2 subclade 1 (Kandun et al. 2006; Sedyaningsih et al. 2007). Virus HPAI subtipe H5N1 dari Asia menunjukkan karakteristik zoonotik paling tinggi dan dapat ditransmisikan dari unggas ke berbagai spesies mamalia termasuk manusia (Kalthoff et al. 2010). Sampai tanggal 10 Agustus 2012, jumlah kasus dan kematian akibat VAI H5N1 pada manusia Indonesia tercatat paling tinggi di dunia dengan jumlah kematian 159 orang dari 191 orang positif terinfeksi. Data kejadian dan kematian di seluruh dunia adalah 359 kematian dari 608 kejadian (WHO 2012). Kematian manusia paling banyak terjadi di Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Semakin banyaknya kasus transmisi zoonotik ke manusia, semakin meningkatkan potensi terjadinya pandemi (Smith et al. 2006). Virus AI subtipe H5N1 diperkirakan akan selalu bermutasi sehingga berpotensi meningkatkan kapasitas untuk melompati barier spesies, dan dapat menular secara mudah antar manusia. Penularan VAI H5N1 antar manusia merupakan awal terjadinya pandemik secara global. Nampaknya, semua fragmen gen VAI H5N1 secara bersama-sama menentukan apakah suatu strain/galur dapat menginfeksi manusia atau mamalia. Tingginya tingkat kejadian dan kematian manusia dan unggas akibat flu burung (virus avian influenza) subtipe H5N1 di Indonesia, bahkan 4

18 penyebab kematian manusia tertinggi di dunia, menarik untuk dikaji dinamika molekuler VAI asal manusia dan hewan di Indonesia. Hal ini menjadi sangat penting dilakukan sebagai dasar penentuan pengobatan, pengendalian dan pencegahan penyebaran virus ini. Karakterisasi genotip merupakan karakter dasar yang menentukan karakter fenotip suatu virus. Karakter fenotip selain ditentukan karakter genotip, juga dipengaruhi oleh lingkungan dan respon hospes yang diinfeksi. Karakter genotip secara molekuler akan dapat mengungkap karakter zoonotik, transmisi, resistensi terhadap obat dan patogenesitas virus berdasarkan sekuen nukleotida dan asam amino genom-genom yang terlibat pada proses tersebut. Rumusan Masalah Virus HPAI H5N1 dari Asia menunjukkan karakteristik zoonotik paling tinggi dan dapat ditransmisikan dari unggas ke berbagai spesies mamalia termasuk manusia. Jumlah kasus dan kematian akibat VAI subtipe H5N1 pada manusia tercatat paling tinggi di dunia dengan jumlah kematian 152 orang dari 184 orang positif terinfeksi. Semakin banyaknya kasus transmisi zoonotik ke manusia, semakin meningkatkan potensi terjadinya pandemi. Sebagai patogen intraseluler, VAI mempunyai mekanisme untuk menghindar dari respon imun hospes sehingga virus dapat bertahan hidup dan bereplikasi dalam tubuh hospes. Peningkatan kemampuan virus untuk menghindari sistem imun hospes, secara langsung berkorelasi dengan peningkatan patogenesitas virus. VAI mempunyai berbagai mekanisme untuk menghindar dari 5

19 respon imun bawaan dan adaptif hospes. Tingginya tingkat kejadian dan kematian manusia dan unggas akibat virus flu burung (VIA) subtipe H5N1 di Indonesia, bahkan penyebab kematian manusia tertinggi di dunia, perlu dilakukan kajian dinamika molekuler melalui karakter gen-gen penyusun VAI asal manusia dan hewan di Indonesia. Hal ini menjadi sangat penting dilakukan sebagai dasar penentuan pengobatan, pengendalian dan pencegahan penyebaran virus ini. Karakterisasi genotip merupakan karakter dasar yang menentukan karakter fenotip suatu virus. Karakter fenotip selain ditentukan karakter genotip, juga dipengaruhi oleh lingkungan dan respon hospes yang diinfeksi. Karakter genotip secara molekuler akan dapat mengungkap karakter zoonotik, transmisi, resistensi terhadap obat dan patogenesitas virus berdasarkan sekuen nukleotida dan asam amino genom-genom yang terlibat pada proses tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut, permasalahan yang dipecahkan/dikaji dalam buku ini adalah : 1. Bagaimana menumbuhkan dan mengisolasi virus AI? 2. Bagaimana mengidentifikasi Virus Influenza? 3. Bagaimana mengkarakterisasi virus avian influenza secara molekuler? 4. Bagaimana dinamika molekuler gen-gen virus AI subtipe H5N1 di Indonesia? Tujuan Penulisan buku Penulisan buku ini bertujuan untuk menyebarluaskan teori, konsep dan hasil-hasil penelitian tentang virus AI dengan karakter 6

20 fenotip dan molekulernya. Tulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai (a) bahan pengayaan mata kuliah biokimia, imunologi, biologi molekuler, taksonomi, virologi, mikrobiologi ataupun biologi umum (b) dasar pertimbangan berbagai pihak dalam penelitian virus AI secara molekuler dan (c) dasar pengambil kebijakan dalam pencegahan, pengobatan dan pengendalian virus avian influenza (VAI) di Indonesia. Metode Pemecahan Masalah Permasalahan tersebut dapat dipecahkan dengan melakukan kajian pustaka dan hasil-hasil penelitian tentang biologi virus AI, prinsip dasar isolasi dan identifikasi virus influenza khususnya subtipe H5N1, prinsip dasar teknik karakterisasi molekuler virus influenza,khususnya subtipe H5N1, dan dinamika molekuler virus AI di Indonesia. Dalam tulisan ini dibahas kajian teoritis dan hasil penelitian tentang : 1. Biologi Virus Avian Influenza (struktur, morfologi, klasifikasi, siklus hidup) 2. Teknik menumbuhkan dan mengisolasi virus AI 3. Teknik mengidentifikasi Virus Avian Influenza 4. Teknik analisis gen-gen Virus Avian Influenza secara molekuler 5. Dinamika molekuler gen-gen Virus Avian Influenza subtipe H5N1 di Indonesia 6. Epidemiologi Virus Avian Influenza dan peran unggas air dalam penyebaran virus 7

21 BAB II BIOLOGI VIRUS AVIAN INFLUENZA Virus bukan merupakan sel utuh dan tidak dapat bereproduksi sendiri. Untuk dapat bereproduksi atau memperbanyak diri, virus harus menyerang sel hidup dan menggunakan sumber daya sel tersebut untuk memperbanyak diri. Pada dasarnya, virus hanya merupakan material genetik yang dibungkus kantong protein, sehingga virus tidak dapat dikatakan hidup. Meskipun demikian, karena mampu memperbanyak diri dan memiliki material genetik maka sebagian ilmuwan sepakat virus merupakan makhluk hidup. Berdasarkan material genetik yang dimiliki virus, ada 2 jenis virus yaitu virus yang memiliki ribonucleic acid (RNA) atau deoxyribonucleic acid (DNA). Morfologi Bentuk dan ukuran virus influenza bersifat pleiomorfik (bentuk dan ukuran berubah-ubah), berbentuk filamen atau sferoid (bola) dengan diameter nm (Harris et al. 2006) (Gambar 1). Virus yang ditumbuhkan secara in vitro, karena pertumbuhannya yang cepat, sehingga lebih banyak berbentuk sferoid dengan diameter dan panjang yang konstan (review oleh Whittaker 2001). Virus yang diisolasi dari infeksi alami biasanya berbentuk filamen dengan diameter konstan nm tetapi panjangnya bervariasi. Virus influenza mempunyai amplop yang dilapisi protein matriks 8

22 dengan glikoprotein integral yang menjulur keluar membentuk duri (spike) di permukaan virion (Harris et al. 2006). Virus yang berbentuk filamen lebih infektif dan lebih banyak mengandung RNA dibanding virus berbentuk sferoid (Roberts & Compans 1998). A B Gambar 1. Bentuk pleiomorfik virus influenza (A) bentuk filamen (Robert & Compans 1998) (B) sferoid (Whittaker 2001) Klasifikasi Virus influenza adalah virus anggota famili Orthomyxoviridae (ICTV 2006). Virus ini dibagi menjadi influenza tipe A, B dan C berdasarkan perbedaan antigenik pada nukleoprotein (NP) dan matriks (M) (Payungporn et al. 2004). Namun, dari ketiga tipe tersebut hanya tipe A yang berpotensi menimbulkan pandemik (Liu 2005). Influenza A dan B memiliki kemiripan biologis, antigenik, genetik dan struktur, namun cakupan hospes (host range), pola strategi dan evolusi kode genetiknya bervariasi (Lamb & Krug 1996; Murphy & Webster 1996). Influenza A dapat menginfeksi berbagai hewan 9

23 dan manusia, serta dibagi menjadi beberapa subtipe antigenik. Influenza B hanya menginfeksi manusia dan tidak ditemukan menginfeksi hewan secara alamiah, serta tidak dibagi menjadi subtipe-subtipe antigenik. Virus Influenza B hanya bersirkulasi pada manusia, dan biasanya tidak menyebabkan penyakit sesakit akibat Influenza A. Analisis evolusi gen HA influenza B memiliki karakteristik membentuk 2 jenis antigenik yang berbeda, yaitu B/Yamagata/16/88-like dan B/Victoria/2/87-like (Kanegae et al. 1990; Rota et al. 1990; Rota et al. 1992; Nerome et al. 1998; Lindstrom et al. 1999). Di dalam virion influenza tipe A dan B terdapat 8 segmen genom RNA serat tunggal (single-stranded RNA) berpolaritas negatif yang menyandi 11 protein (Tabel 1). Delapan segmen tersebut adalah PB1 (PB1 dan PB1-F2), PB2, PA, HA, NP, NA, M (M1 dan M2), dan NS (NS1 dan NS2) (Horimoto & Kawaoko 2001; Whittaker 2001). Kedelapan segmen RNA bersama-sama dengan nukleoprotein (NP) membentuk ribonukleoprotein (RNP) (Bui et al. 2000; Elton et al. 2001; Munch et al. 2001). RNP dikelilingi oleh protein matriks M1. Pada permukaan amplop virus terdapat glikoprotein HA dan NA serta kanal ion (ion channel) M2 (Elton et al. 2001). Hemaglutinin (HA) virus disandi dalam segmen ke-4 dan neuraminidase (NA) dalam segmen ke-6. Segmen yang lain menyandi protein internal virus dan protein lain yang penting untuk viabilitas virus seperti misalnya segmen 8 yang menyandi NS1 yaitu suatu protein nonstruktural yang berfungsi dalam melakukan hambatan terhadap respon antiviral dari inang (Lamb 1989). Protein lain 10

24 yang dimiliki oleh virus ini antara lain nukleoprotein (NP) yang menjadi protein struktural utama, protein membran/matriks (M1 dan M2), protein polimerase (PA, PB1, dan PB2), dan protein nonstruktural (NS1 dan NS2) (Yuen et al. 1998; Chan 2002; Guan et al. 2002; Peiris et al. 2004). Glikoprotein HA membentuk tonjolan (spike) pada permukaan virion, berfungsi sebagai media untuk berikatan dengan reseptor pada sel inang dan memasuki sel inang kemudian terjadi fusi dengan membran sel inang. Protein NA membentuk struktur pada permukaan partikel virus dan mengkatalisis pembebasannya dari sel yang terinfeksi, sehingga virus dapat menyebar (WHO 2005a). Struktur dan segmen-segmen genom virus influenza A terlihat pada Gambar 2. Virus influenza tipe C mempunyai 7 segmen genom RNA, karena hanya mempunyai satu jenis glikoprotein permukaan yaitu hemagglutinin esterase fusion (HEF). HEF berfungsi sebagai pengikat reseptor (H), fusi membran (F) dan esterase (E) (review oleh Whittaker 2001). Virus influenza tipe A secara natural dapat menginfeksi unggas dan manusia (Khawaja et al. 2005). Virus ini dibagi ke dalam berbagai subtipe berdasarkan analisis serologis dan genetis glikoprotein hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) (Lee et al. 2001). Sampai saat ini ada 16 subtipe HA (H1-H16) dan 9 subtipe NA (N1-N9) (Russell & Webster 2005). Subtipe H16 baru ditemukan tahun 2004, pertama kali diisolasi dan diidentifikasi pada burung camar laut kepala hitam (Fouchier et al. 2005). Semua subtipe HA dan NA ditemukan pada unggas air, dan hanya 3 subtipe HA (H1-H3) dan 2 subtipe NA (N1-N2) 11

25 ditemukan pada manusia (Hoffman et al. 2001). Subtipe H5 dan H7 yang sangat virulen pada unggas (Lee et al. 2001; Khawaja et al. 2005) dilaporkan berpotensi sebagai penyebab pandemi (Russell & Webster 2005). Semua strain virus influenza diberi nama sesuai nomenklatur standar, berturut-turut tersusun dari tipe virus influenza/spesies hewan (jika bukan manusia)/wilayah isolasi/urutan nomor isolasi laboratorium/tahun isolasi (subtipe) (WHO 2002). Misalnya Influenza A/goose/Guangdong/1/1996 (H5N1), artinya virus ini termasuk tipe virus influenza A, diisolai dari angsa di Guangdong dengan nomor isolat 1, diisolasi tahun 1996, virus termasuk subtipe H5N1. Jika virus diisolasi dari manusia, tidak perlu disebutkan spesiesnya. Contohnya Influenza A/Indonesia/2A/2005 (H5N1), artinya virus ini termasuk tipe virus influenza A, diisolai dari manusia di Guangdong dengan nomor isolat 2A, diisolasi tahun 2005, virus termasuk subtipe H5N1. Tabel 1. Segmen genom virus influenza A serta fungsi protein yang disandinya Segmen/ Gen 1/PB2 2/PB1 Protein yang disandi Polimerase Basa 2 Polimerase Basa 1 PB1-frame 2 (PB1-F2) Fungsi Perampasan tudung (cap snatching) Faktor virulensi Perampasan tudung Polimerisasi sintesis mrna Perakitan kompleks RdRp (RNA dependent RNA polymerase) Menghambat respon imun seluler Menginduksi apoptosis makrofag Menurunkan penghilangan 12

26 (clearance) virus Meningkatkan terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri 3/PA Polimerase Asam Perakitan kompleks RdRp Endonuklease Replikasi Menghambat respon imun seluler 4/HA Hemaglutinin Attchment (penempelan virus pada sel hospes) Fusi dengan membran endosom Target netralisasi antibodi 5/NP Nukleoprotein Tanda isyarat (signal) impor vrnp Menghambat respon imun seluler 6/NA Neuraminidase Memotong ujung asam sialat dari reseptor sel hospes sehingga progeni virion lepas dari sel Target netralisasi antibodi 7/M Matriks 1 (M1) Perakitan (assembly) progeni virus Matriks 2 (M2) Tanda isyarat transpor ke permukaan sel 8/NS Nonstruktural 1 (NS1) Nonstruktural 2 (NS2) atau Nuclear export protein (NEP) Kanal ion Ekspor mrna virus dari nukleus Menghambat pemotongan dan penyambungan (splicing) pre mrna seluler Menghambat ekspor mrna seluler Menghambat respon anti virus interferon (IFN) Menginduksi badai sitokin (sitokines storm) Bersama-sama dengan M1 sebagai tanda isyarat ekspor vrnp dari nukleus 13

27 Siklus Hidup Siklus replikasi virus influenza A mempunyai keunikan karena semua sintesis mrna dan replikasi genom terjadi di dalam nukleus sel hospes yang terinfeksi. Proses replikasi virus sangat cepat, sekitar 10 jam/siklus (Coleman 2007). Infeksi virus influenza diawali dengan masuknya virus ke dalam sel hospes (entry), diikuti transkripsi, translasi, perakitan dan budding virionvirion baru keluar sel hospes (Gambar 3). Gambar 2. Struktur dan segmen-segmen genom virus influenza A (Webster 2001) 14

28 Gambar 3. Siklus replikasi virus influenza (Whittaker 2001) Virus influenza masuk sel hospes melalui endositosis yang diperantarai reseptor (receptor mediated endositosis) (Elton et al. 2001). Ikatan pada reseptor merupakan determinan awal patogenesitas, dan spesifisitas ikatan reseptor menentukan tropisme suatu virus pada spesies hospes tertentu. Residu asam amino bagian dari HA yang berikatan dengan reseptor adalah asam amino nomor 222 dan 224 (penomoran menurut H5). Glikoprotein HA virus influenza strain manusia yang mempunyai asam amino leusin pada posisi 222 dan serin pada 224 dapat berikatan dengan asam sialat α-2,6neuacgal. Sementara HA virus influenza strain unggas yang mempunyai asam amino glutamin pada posisi 222 dan glisin pada 224 dapat berikatan 15

29 dengan asam sialat α-2,3neuacgal (Vines et al. 1998; Zhou et al. 1999; Suzuki et al. 2000; Leung 2007). Setelah interaksi virus dengan reseptor pada permukaan sel, terjadi internalisasi virus secara cepat melalui endositosis (Bui et al. 1996). Rendahnya ph dalam endosom (5,5) memacu terjadinya pelepasan mantel (uncoating) virus. Kondisi asam itu juga menyebabkan perubahan konformasi HA sehingga regio peptida fusi HA dapat disisipkan ke membran endosom dan terjadi fusi antara membran endosom dengan membran virus. Proses fusi hanya dapat terjadi jika HA dipotong menjadi HA1 dan HA2 oleh protease sel hospes (Steinhauer 1999). Rendahnya ph endosom juga menyebabkan aliran ion ke bagian interior virus melalui protein M2 dan memutus interaksi M1-vRNP (Pinto et al. 1992; Bui et al. 1996). Pelepasan mantel virus menyebabkan vrnp dan M1 masing-masing lepas ke sitoplasma dan menuju nukleus melewati nuclear core protein (NCP) (Bui et al. 1996). Impor vrnp melalui NCP diperantarai oleh nuclear localization signal (NLS) 1 dan 2 pada protein NP (Cros et al. 2005; Ozawa et al. 2007; Wu et al. 2007). Sementara, impor protein M1 ke dalam nukleus terjadi secara difusi pasif (Bui et al. 1996). Amantadin dan rimantadin yang banyak dipakai sebagai antivirus bekerja dengan menghambat aktivitas M2 untuk memutus interaksi M1-vRNP sehingga materi genetika virus tidak dapat masuk nukleus (Hayden 2006) Transkripsi dan replikasi genom RNA virus (vrna) influenza dilakukan di dalam nukleus sel hospes, dikatalisis oleh enzim RdRp terdiri dari enzim PB1, PB2 dan PA (Honda et al. 2002; 16

30 Crow et al. 2004; Hara et al. 2006). Genom vrna membentuk kompleks dengan RdRp dan NP membentuk vrnp sebagai cetakan transkripsi (membentuk mrna) dan cetakan replikasi (membentuk genom vrna dari crna) (Vreede et al. 2004). Sintesis mrna virus diawali dengan penambahan fragmen tudung pada ujung 5 mrna sebagai primer inisiasi transkripsi. Fragmen tudung (7mGppp dan nukleotida setelah tudung) dari pre-mrna sel hospes dipotong oleh enzim PB1 kemudian dikenal dan diikat oleh enzim PB2. Proses perampasan tudung dari pre-mrna seluler tersebut disebut dengan cap snatching (Rao et al. 2003; Crow et al. 2004; Hara et al. 2006). Setelah penambahan tudung, pemanjangan (elongasi) rantai mrna berjalan sampai pada sekuen kaya uridin yang terletak nukleotida sebelum ujung 3 mrna. Pemanjangan mrna virus ini dikatalisis oleh enzim PB1. Seperti juga mrna eukariot, mrna virus yang baru disintesis juga mengalami poliadenilasi pada ujung 3, dikatalisis oleh RdRp (Honda et al. 2002). mrna virus tetap terlindung dari degradasi selama kompleks RdRp terikat pada sekuen spesifik 5 AGCAAAAGCAGG 3 yang ditemukan pada semua mrna virus. Sekuen ini komplementer dengan 12 nukleotida ujung 3 dari genom vrna. Semua segmen genom virus influenza mempunyai 12 nukleotida pada ujung 3 dan 13 nukleotida pada ujung 5 yang bersifat stabil (Bae et al. 2001; Crow et al. 2004). Primer untuk mengamplifikasi secara lengkap semua genom virus didisain berdasarkan regio genom yang identik dan stabil ini (Hoffman et al. 2001). 17

31 Replikasi genom vrna tidak memerlukan primer dan dibentuk dari cetakan crna. Pada tahap I replikasi, vrna dikopi menjadi crna berpolaritas positif. Inisiasi pembentukan crna tidak memerlukan tudung 7mGppp (Crow et al. 2004; Vreede et al. 2004; Hara et al. 2006). Tahap II replikasi adalah sintesis vrna berpolaritas negatif dengan crna sebagai cetakannya (Hara et al. 2006). Seluruh serat crna disebut anti genom karena merupakan cetakan untuk sintesis vrna. RdRp yang mengkatalisis replikasi genom, tidak mempunyai mekanisme untuk memperbaiki kesalahan (proofreading) sehingga tingkat kesalahan mencapai 1 dari 10 4 nukleotida per siklus replikasi (review oleh Webster et al. 1992). Pembentukan crna tidak memerlukan tudung 7mGppp. Perubahan fungsi katalitik polimerase dari transkripsi mrna ke replikasi crna diperantarai oleh protein NP yang berikatan langsung dengan PB1 dan PB2 (Portela & Digard 2002). Perubahan fungsi katalitik polimerase PB1 memerlukan perubahan strukter sekunder polimerase, karena regio ikatan crna berbeda dengan regio ikatan mrna (Gonzales & Ortin 1999). Berbeda dengan mrna, 2 bentuk RNA lainnya (yaitu crna dan vrna) dibungkus (encapsidated) oleh protein NP membentuk vrnp (Portela & Digard 2002). Translasi (sintesis protein) dari mrna virus influenza seluruhnya menggunakan mekanisme translasi dalam sitoplasma sel hospes. Protein PA, PB1, PB2 dan NP hasil translasi selanjutnya masuk ke nukleus untuk mengkatalisis transkripsi dan replikasi, kemudian dirakit dengan vrna yang baru dan disintesis 18

32 membentuk vrnp (Klumpp et al. 1997). vrnp diekspor ke sitoplasma melalui pembentukan kompleks NEP-M1-RNP, dan berinteraksi dengan reseptor ekspor nuklear sel hospes (superfamili importin-β) yang bersifat stabil (Cullen 2000; Neumann et al. 2000; Sandri-Goldin 2004). Ekspor vrnp virus influenza dihambat oleh antibiotik leptomisin B yang berikatan dengan CRM-1 (Elton et al. 2001). Fragmen gen virus influenza A ada yang menyandi satu protein (PB1, PB2, PA, NA, HA, NP) ada yang lebih dari satu protein (gen NS dan M). Splicing mrna dari gen NS menjadi mrna NS1 dan mrna NS2 (berturut-turut menyandi protein NS1 dan NS2) dilakukan di nukleus sel hospes menggunakan mekanisme splicing pre-mrna sel hospes. Splicing yang sama juga dilakukan terhadap mrna gen M menjadi mrna M1 dan mrna M2 (Whittaker 2001). Sebagai target protein transmembran, protein HA, NA dan M2 mengalami modifikasi pascatranslasi, berupa glikosilasi dan pelipatan, selama melintasi retikulum endoplasma dan aparatus Golgi (Gomez-Puertas et al. 2000). Sebagian molekul M1 berikatan dengan vrnp dan sebagian lagi membentuk selubung di bawah amplop virus. Glikoprotein HA pada transmembran menstimulasi M1 untuk berikatan/menempel pada membran. Interaksi antara ekor transmembran HA dengan M1 merupakan target perakitan virion (Ali et al. 2000; Gomez-Puertas et al. 2000; Ruigrok et al. 2000). Pada perakitan virion, semua komponen virus (HA, NA, M2, M1 dan vrnp) dibawa ke regio plasma 19

33 membran sel yang kaya dengan detergent-insoluble glikolipid (DIG) atau disebut lipid raft (Zhang et al. 2000). Perakitan virion diikuti dengan budding, yaitu pembentukan dan penutupan kuncup vrnp yang dikelilingi amplop pada membran sel hospes sehingga virion terlepas ke ekstrasel tanpa merusak membran sel (review oleh Garoff et al. 1998; Chazal & Gerlier 2003). Budding dapat terjadi melalui permukaan apikal atau basolateral sel epitel. Jika budding terjadi pada permukaan membran basolateral epitel, virus akan menyebar secara sistemik (Whittaker 2001). Progeni virus dilepaskan ke ekstrasel jika NA memotong asam sialat dari reseptor sel hospes, sehingga progeni virus yang baru dilepaskan tidak berikatan kembali dengan reseptornya (Stray et al. 2000; Mishin et al. 2005). Peningkatan afinitas HA pada reseptor asam sialat dapat meningkatkan patogenesitas infeksi, namun di sisi lain dapat menghambat aktivitas NA pada proses budding. Pelepasan virus dan penyebarannya memerlukan keseimbangan fungsi antara kedua glikoprotein (HA dan NA) tersebut (Kobasa et al. 2001). Inhibitor neuraminidase sebagai antivirus yaitu zanamivir (Relenza) dan oseltamivir (Tamiflu) menghambat aktivitas NA sehingga budding tidak dapat terjadi (Hayden 2006). Mutasi Gen VAI Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa enzim RdRp tidak mempunyai mekanisme enzimatik perbaikan (repair) kesalahan replikasi, sehingga perubahan nukleotida VAI terjadi terus 20

34 menerus dengan tingkatan yang cukup tinggi. Berbeda dengan polimerase DNA yang hanya mempunyai kesalahan 1 dari 10 9 basa, kesalahan replikasi oleh RdRp adalah 1 dari 10 4 nukleotida per siklus replikasi (review oleh Webster et al. 1992). Selain mutasi di masing-masing gen akibat tidak adanya mekanisme repair, mutasi juga dilakukan virus sebagai adaptasi terhadap tekanan imun hospes atau adaptasi terhadap spesies hospes baru. Mutasi pada level ini biasanya berbentuk delesi atau substitusi titik/poin. Substitusi titik/poin dapat dibedakan atas substitusi sinonim dan substitusi nonsinonim. Substitusi sinonim adalah perubahan nukleotida tidak diikuti perubahan ekspresi asam amino. Hal ini terjadi pada semua asam amino, kecuali metionin dan triptofan yang hanya disandi oleh 1 kodon. Substitusi sinonim ini menyebabkan kodon bias, yaitu ketidakseimbangan penggunaan kodon sinonim yang menyandi asam amino. Kodon bias ini terlihat pada semua spesies di semua bagian genom, baik daerah intron maupun ekson. Karena kodon bias tidak mengubah fenotip produk ekspresi, sehingga kodon bias selalu ada dalam genom. Penggunaan kodon (codon usage) pada gen berkorelasi dengan akurasi dan tingkat translasi. Kodon pilihan (codon preference) biasanya adalah kodon yang trna untuk kodon tersebut melimpah sehingga dapat ditranslasi lebih cepat (Lavler & Kotlar 2005; Wu & Freeland 2005). Seperti organisme lainnya, substitusi sinonim pada VAI juga berkaitan dengan kelimpahan trna (Plotkin & Dushoff 2003). Namun, mengingat translasi mrna pada VAI menggunakan 21

35 mekanisme translasi sel hospes, substitusi sinonim tersebut lebih dikarenakan seleksi penyesuaian terhadap penggunaan kodon sel hospes. Hal ini terjadi karena perbedaan penggunaan kodon antara virus dengan sel hospes dapat mempengaruhi kecepatan translasi protein (Garmory et al. 2003). Substitusi nonsinonim adalah perubahan nukleotida diikuti dengan perubahan ekspresi asam amino. Substitusi nonsinonim hanya terjadi pada bagian tertentu dari gen yang mengalami tekanan. Semakin sering mengalami tekanan, semakin tinggi tingkat substitusinya (Plotkin & Dushoff 2003). Adanya tekanan seleksi akan menyebabkan munculnya varian dengan tingkat efektivitas replikasi yang tinggi (Jong et al. 2000). Tingkat perubahan asam amino virus di dalam tubuh hospes (in vivo) lebih tinggi dibandingkan virus yang ditumbuhkan secara in vitro. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya tekanan imun berkorelasi dengan perubahan asam amino (Nakajima et al. 2003). Kecepatan substitusi nonsinonim virus influenza mencapai 2-3x substitusi per posisi per tahun (Tumpey et al. 2002; Swayne & Suarez 2003). Rasio kecepatan mutasi nonsinonim dan sinonim sangat penting untuk mempelajari mekanisme evolusi molekuler sekuen gen tertentu. Rasio kecepatan mutasi nonsinonim/sinonim (ω = d N /d S ) juga merupakan indikator tekanan seleksi pada level protein. Jika ω=1 berarti seleksi netral, ω<1 berarti seleksi pemurnian (purifying selection) dan ω=>1 berarti seleksi positif (Yang et al. 2000). Analisis genom VAI subtipe H5N1 yang menginfeksi unggas dan manusia dari tahun menunjukkan bahwa gen 22

36 PB2, HA dan NS1 mengalami tekanan seleksi positif, sementara gen lainnya (PA, PB1, M, NA, NS2, NP) mengalami tekanan seleksi pemurnian (Campitelli et al. 2006). Namun, isolat VAI H5N1 penyebab wabah di Indonesia dan Vietnam pada dekade terakhir menunjukkan bahwa hanya gen M2 (ω=1,23) dan PB1-F2 (ω=3,01) yang mengalami seleksi positif. Hal ini menunjukkan keterlibatan gen ini dalam adaptasi VAI pada hospes baru dan transmisi interspesies. Seleksi positif pada gen M2 terjadi akibat tekanan seleksi untuk adaptasi VAI dari unggas air ke unggas darat. Perbedaan ph dan lingkungan seluler antara unggas air dan unggas darat merupakan tekanan seleksi pada M2 sebagai kanal ion hidrogen. Tekanan seleksi pada PB1-F2 dikarenakan peran protein ini dalam menginduksi apoptosis makrofag (Smith et al. 2006). Virus AI subtipe H5N1 garis Asia menunjukkan jumlah asam amino yang mengalami seleksi positif meningkat dari tahun ke tahun, terutama pada daerah antigenik, posisi glikosilasi dan kantong pengikat reseptor. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan peningkatan patogenesitas dan kemampuan virus untuk transmisi ke manusia (Campitelli et al. 2006). Mekanisme virus untuk menghindar dari sistem imun hospes merupakan tekanan untuk mutasi secara gradual sehingga muncul strain-strain virus baru yang secara imunologik berbeda (hanyutan antigenik) (Munch et al. 2001; Smith et al. 2004). Hanyutan antigenik berjalan lambat namun progresif dan cenderung menimbulkan penyakit yang terbatas pada suatu kawasan tertentu (Tumpey et al. 2002; Swayne & Suarez 2003). 23

37 Adaptasi selalu dilakukan VAI, baik adaptasi terhadap tekanan imun maupun adaptasi pada spesies hospes baru (Voeten et al. 2000; Taubenberger et al. 2005). Adaptasi merupakan kekuatan utama dari evolusi. Perbedaan spesies hospes dan perbedaan tekanan menyebabkan pebedaan kecepatan evolusi VAI (Brown et al. 2001). Lama infeksi dan frekuensi reinfeksi virus influenza pada manusia, menyebabkan tingginya tekanan seleksi oleh sistem imun (Bush et al. 1999; Suzuki & Nei 2002). Kecepatan mutasi glikoprotein HA kira-kira 2 x 10-3 nukleotida per posisi per replikasi (Webster et al. 1992). Kecepatan mutasi HA tersebut lebih tinggi dibanding NA karena NA bukan merupakan determinan antigenik utama dan jumlah NA pada permukaan virion hanya 1/5 jumlah HA (Plotkin & Dushoff 2003). Sekuen nukleotida VAI isolat unggas air di Jawa Barat yang disepadankan dengan nukleotida Gs/GD/1/96 menunjukkan bahwa jumlah kodon substitusi bervariasi dari 23 sampai 50, dan jumlah substitusi nonsinonim bervariasi dari 5-18 (Susanti et al. 2008a). Tingkat mutasi yang tinggi akibat lemahnya mekanisme proofreading dari RdRp, menyebabkan perubahan nukleotida terjadi terus menerus. Kecepatan mutasi HA lebih tinggi dibanding NA karena NA bukan merupakan determinan antigenik utama dan jumlah NA pada permukaan virion hanya 1/5 jumlah HA (Plotkin & Dushoff 2003). Protein internal tidak berperan dalam pengikatan dengan reseptor sel hospes dan tersembunyi dari antibodi, sehingga protein ini lebih stabil dibanding glikoprotein permukaan (Plotkin & 24

38 Dushoff 2003; Berkhoff et al. 2005). Struktur dan fungsi protein internal juga sangat mendasar sehingga tidak menguntungkan VAI jika mutasi terjadi secara cepat. Hal ini menyebabkan VAI menghadapi konflik intragenom tentang kecepatan mutasi. Gen atau bagian spesifik gen tertentu dalam genom tersebut mengalami seleksi positif untuk berubah, sementara gen lain mengalami seleksi pemurnian untuk tidak berubah (Plotkin & Dushoff 2003). Protein/regio protein yang fungsinya berkaitan erat dengan pertahanan terhadap respon imun hospes, daya adaptasi dan patogenesitas mempunyai tingkat substitusi nonsinonim lebih tinggi dibanding substitusi sinonim (Plotkin & Dushoff 2003). Kecepatan substitusi nonsinonim gen subunit HA1 dari VAI subtipe H3 sebesar 5,7 x10-3 per posisi per tahun. Hal ini disebabkan karena pada HA1 terdapat daerah antigenik, kantong pengikat reseptor dan posisi glikosilasi (Bush et al. 1999). Lima virus AI subtipe H5N1 isolat unggas air (IPB1-RS s/d IPB5-RS), mengalami substitusi nonsinonim 3 asam amino kantong pengikat reseptor. Sebanyak 11 substitusi nonsinonim pada isolat IPB6- RS, 10 diantaranya merupakan daerah antigenik, posisi glikosilasi dan kantong pengikat reseptor. Dari substitusi nonsinonim pada 3 isolat virus (IPB7-RS, IPB8-RS dan IPB9-RS), 16 substitusi diantaranya merupakan daerah antigenik, posisi glikosilasi dan kantong pengikat reseptor (Susanti et al. 2008a). Hanyutan antigenik (antigenic drift) Adaptasi terhadap tekanan imun hospes dilakukan VAI untuk menghindar dari pengenalan dan netralisasi antibodi dan 25

39 sel T sitotoksik. Antibodi netralisasi terhadap protein HA bersifat protektif melawan infeksi, sehingga protein ini paling tinggi mengalami tekanan imun dibandingkan protein internal (Berkhoff et al. 2005). Mekanisme VAI untuk menghindar dari sistem imun hospes merupakan tekanan untuk mutasi secara gradual sehingga muncul strain-strain virus baru yang secara imunologik berbeda (hanyutan antigenik) (Horimoto & Kawaoka 2001; Munch et al. 2001; Smith et al. 2004). Hanyutan antigenik adalah perubahan secara periodik akibat mutasi genetik struktur glikoprotein permukaan VAI sehingga antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh akibat infeksi atau vaksinasi sebelumnya tidak dapat mengenali keberadaan virus tersebut (Munch et al. 2001). Hanyutan antigenik berjalan lambat namun progresif dan cenderung menimbulkan penyakit yang terbatas pada suatu kawasan tertentu (Tumpey et al. 2002; Swayne & Suarez 2003). Hanyutan antigenik menuntut pembuatan vaksin selalu diperbarui mengikuti munculnya strain virus baru (Plotkin et al. 2002; Smith et al. 2004). Reasorsi dan transmisi VAI Pandemi dapat terjadi jika subtipe virus influenza baru dapat melintasi barier hospes antara unggas dan mamalia, termasuk manusia. Adaptasi VAI strain unggas ke manusia antara lain melalui reasorsi (reassortment), yaitu pertukaran atau pencampuran gen. Genom RNA yang tersusun bersegmensegmen memudahkan terjadinya reasorsi, yaitu segmen gen pada strain tertentu digantikan segmen gen sealel dari strain 26

40 lainnya. Reasorsi menyebabkan perubahan struktur antigen secara dominan, sehingga disebut lompatan antigenik (antigenic shift). Reasorsi hanya dapat terjadi jika suatu sel secara simultan terinfeksi oleh 2 atau lebih strain VAI yang berbeda, sehingga terjadi penyusunan kembali suatu strain virus baru yang bermanifestasi sebagai genotipe virus baru. Hospes yang dapat diinfeksi oleh 2 jenis strain VAI yaitu strain avian dan manusia dikenal dengan mixing vessel. Hospes ini memungkinkan sebagai hospes perantara transmisi VAI dari unggas ke manusia (Ito et al. 1998; Hoffman et al. 2001; Li et al. 2004). Virus influenza A subtipe H1N1 penyebab pandemi influenza tahun 1918 mengalami lompatan antigenik sehingga tahun 1958 muncul subtipe H2N2 dan tahun 1968 muncul subtipe H3N2 (Belshe 2005). Transmisi langsung VAI Vdari unggas ke manusia biasanya mengakibatkan kematian, seperti terjadi di Hongkong tahun Virus HPAI H5N1 yang menyerang dan mematikan manusia dan ayam di Hongkong tersebut (Lee et al. 2001), merupakan produk reasorsi dengan VAI H9N2 yang bertindak sebagai donor gen internal (Guan et al. 1999). Virus tersebut kemudian berkembang cepat di pasar unggas Hongkong, dan mempunyai kemampuan untuk transmisi langsung ke manusia (Zhou et al. 1999; Cauthen et al. 2000). Kejadian tersebut merupakan kasus pertama, dimana infeksi VAI H5N1 langsung pada manusia tanpa terlebih dulu beradaptasi pada hospes mamalia perantara (Tumpey et al. 2002; Rowe et al. 2003; Sturm-Ramirez et al. 2004). Virus HPAI H5N1 penyebab wabah di Danau Qianghai Cina tahun 2005 yang 27

41 mematikan ribuan unggas air migratori dilaporkan juga merupakan virus hasil reasorsi (Zhou et al. 2006). Burung puyuh menyediakan lingkungan yang memungkinkan VAI H3N2 babi mengalami reasorsi dan menghasilkan virus influenza yang berpotensi menyebabkan pandemi (Perez et al. 2003). Transmisi VAI H5N1 dari manusia ke manusia belum pernah dilaporkan (Buxton et al. 2000; The Writing Committee WHO 2005; Kandun et al. 2006). Namun, VAI subtipe H5N1 berpotensi sebagai penyebab pandemi influenza pada manusia melalui 2 mekanisme. Manusia yang terinfeksi VAI H5N1 dan strain influenza manusia (misalnya H1N1) akan memicu reasorsi, sehingga memunculkan VAI subtipe H5 yang mampu ditransmisikan dari manusia ke manusia. Alternatif lain adalah mutasi langsung VAI H5N1 yang berkemampuan untuk transmisi dari manusia ke manusia (Russell & Webster 2005). 28

42 BAB III TEKNIK MENUMBUHKAN DAN MENGISOLASI VIRUS AVIAN INFLUENZA Penelitian yang berhubungan dengan virus avian influenza dilakukan di laboratorium standart Biosafety Level 2 (BSL-2) plus atau BSL-3. Namun untuk propagasi virus AI subtipe H5N1 pada hewan coba (pada tikus, marmut, ayam atau itik, dll) harus dilakukan di laboratorium BSL-3. Semakin tinggi potensi suatu agen penyakit (mikroorganisme) untuk menular dan menyebabkan penyakit pada manusia (peneliti/pekerja laboratorium), semakin tinggi tingkat (level) biosafety laboratorium yang diperlukan. Pada Tabel 2 berisi jenjang safety laboratorium dan penggunaannya. Tabel 2. Level laboratorium untuk penelitian yang berhubungan dengan mikroorganisme penyebab penyakit No Laboratorium Penggunaan Contoh mikroorganisme 1 Biosafety Level-1 (BSL- Mikroorganisme yang diketahui tidak Bacillus subtilis Naegleria gruberi 1) menyebabkan penyakit Infectious canine pada manusia dewasa hepatitis virus yang sehat dan potensi E. Coli K12 bahayanya minimal bagi pekerja laboratorium dan lingkungan Laboratorium tidak memerlukan lokasi terpisah dari lokasi umum dalam suatu bangunan 2 Biosafety Level-2 (BSL- Mikroorganisme berpotensi yang secara Epstein Barr virus 29

43 2) moderat dapat menyerang pekerja laboratorium dan lingkungan. Akses ke laboratorium dibatasi ketika pekerjaan tengah dilakukan 3 Biosafety Level-3 (BSL- 3) 4 Biosafety Level-4 (BSL- 4) Fasilitas klinis, dignostik, riset atau produksi yang berhubungan dengan agen-agen infeksius yang berpotensi mengakibatkan penyakit berbahaya. Pekerja laboratorium memiliki pelatihan khusus dalam penanganan agen-agen patogenik berbahaya dan diawasi oleh ilmuwan yang kompeten terhadap agen-agen tersebut Mikroorganis/agen-agen eksotik yang ekstrem berbahaya, dan beresiko tinggi dapat menyebar melalui udara. Staf laboratorium terlatih khusus, memakai pelindung khusus dengan tabung oksigen tersendiri Fasilitas laboratorium terisolasi dari tempattempat umum, pekerjaan dalam tempat tertutup khusus. Hepatitis A, B, C, D, E Neisseria meningitidis Salmonella Clostridium botulinum, tetani Blastomyces dermatitidis Entomeoeba histolytia Bacillus anthracis M. tuberculosis Yersenia pestis Yellow fever (wild type) Coccidioides immitis Avian influenza HIV SARS Ebola 30

44 Preparasi Sampel Tahap pertama yang harus dilakukan untuk memperbanyak dan mengisolasi virus adalah mengambil contoh/sampel yang diduga mengandung virus. Mengingat VAI berkembang/ bermultiplikasi pada sel epitel saluran pencernaan dan pernafasan, maka sampel dapat diambil dari usap hidung, usap anus atau usap kloaka. Sampel usap kloaka diambil dari hewan yang diperiksa atau hewan/manusia yang diduga terinfeksi VAI. Sampel usap kloaka/anus/hidung selanjutnya dimasukkan dalam tabung berisi media transport PBS gliserol (WHO 2002). Sampel selanjutnya dimasukkan dalam inkubator suhu dingin -4 o C atau lebih dingin lagi. Jika pengambilan sampel dari lapangan, tabung berisi sampel dimasukkan dalam ice box kemudian dibawa ke laboratorium. Cara membuat PBS gliserol adalah dengan mencampurkan PBS 1x dan gliserol dengan perbandingan 1:1. Dalam 1 liter PBS Gliserol, ditambahkan Penisilin-G 2x10 6 U/L dan Srteptomisin 200 mg/l (Susanti et al. 2008b). Media Perbanyakan virus Untuk mengetahui apakah pada sampel terdapat virus yang dimaksud atau tidak, sampel harus ditanam pada media yang sesuai. Mengingat virus adalah organisme yang hanya dapat bereplikasi pada sel hidup, maka media yang sesuai untuk menumbuhkan virus adalah sel hidup. Virus influenza A dapat bereplikasi secara in ovo pada telur ayam berembrio (TAB) maupun secara in vitro pada kultur sel Madin Darby Canine 31

45 Kidney (MDCK) (Ito et al. 1997; Whittaker 2001). Sel MDCK mempunyai reseptor α-(2,6) dan α-(2,3) sehingga efektif untuk replikasi virus influenza isolat manusia maupun avian. Untuk dapat menumbuhkan virus influenza pada sel MDCK, perlu ditambahkan protease tripsin untuk memotong HA menjadi HA1 dan HA2 (Webster et al. 1992). Pertumbuhan virus ditandai adanya cytopathogenic effect (CPE). Karena sel MDCK memiliki 2 jenis reseptor (α-(2,6) dan α-(2,3)), kultur virus influenza pada MDCK tidak menyebabkan tekanan seleksi sehingga tidak terjadi substitusi asam amino tertentu, namun kurang efektif jika digunakan untuk mendapatkan virus dalam jumlah besar (Ito et al. 1997). Ruang alantois TAB hanya mempunyai reseptor α-(2,3), sementara pada sel amnion mempunyai reseptor α-(2,6) dan α- (2,3). Secara in ovo, perbedaan reseptor sel hospes dengan spesifisitas asam amino titik pengikat reseptor merupakan tekanan seleksi yang memicu substitusi hemaglutinin (HA). Kultur virus influenza strain manusia pada sel amnion (yang mempunyai reseptor α-(2,6) dan α-(2,3)), sampai pasase ke-2 masih mempertahankan spesifisitas reseptor pada α-(2,6). Namun, jika virus influenza strain manusia ini dikultur pada sel alantois yang hanya mempunyai reseptor α-(2,3) menyebabkan mutasi substitusi L226G sehingga spesifisitas reseptor bergeser dari α- (2,6) menjadi α-(2,3) (Ito et al. 1997). Isolasi virus dalam TAB lebih tepat untuk strain avian (Ito et al. 1997). Meskipun demikian, menurut hasil-hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa semua virus influenza dapat tumbuh baik di TAB (Webster et al. 32

46 1992; Harimoto & Kawaoka 2001; Whittaker 2001). Hal ini disebabkan karena protease serupa dengan faktor pembeku darah Xa (anggota famili protrombrin) dalam cairan alantois bertanggung jawab atas proteolitik HA pada cleavage site sehingga virus dapat bereplikasi secara in ovo (Harimoto & Kawaoka 2001). Protease yang dapat memotong HPAI dan LPAI adalah enzim trypsin like, yaitu faktor pembeku darah Xa, triptase, mini plasmin dan protease bakterial (Harimoto & Kawaoka 2005). Enzim proteolitik mengenal sekuen asam amino motif B-X-B-R (B=asam amino basa, X=asam amino non-basa) (Harimoto & Kawaoka 2001). Propagasi virus pada TAB merupakan metode yang banyak dilakukan untuk diagnosis, isolasi virus, identifikasi virus dan uji neutralisasi. TAB merupakan metode terbaik untuk isolasi virus influenza, karena lebih sensitif dibandingkan sel kultur MDCK (Clavijo et al. 2002). Meskipun demikian, MDCK merupakan sel yang paling sensitif untuk isolasi virus influenza A dibanding sel kultur Vero dan MRC-5 (Reina et al. 1997). Propagasi virus pada TAB digunakan sebagai metode pembuatan vaksin influenza A yang telah beredar selama beberapa dekade (kurang lebih 30 tahun) (Scannon 2006). Lebih lanjut disebutkan bahwa TAB merupakan media utama produksi vaksin influenza baik inaktif maupun vaksin hidup yang dilemahkan (Lu et al. 2005; Szecsi et al. 2006). 33

47 Metode Propagasi Virus pada Telur Ayam Berembrio SPF Setiap sampel dari setiap ekor hewan yang diduga mengandung virus, idealnya ditumbuhkan pada 1 butir TAB. Namun, hal ini bergantung pada tujuan penelitian dan ketersediaan biaya. Jika tujuannya untuk mengetahui apakah hewan-hewan di suatu tempat (biasanya hewan dipelihara berkelompok) terinfeksi, maka sampel diambil secara sampling atau diambil semua. Jika sampel diambil semua, untuk efisiensi biaya dan tujuan tercapai, maka sampel di-polling. Setiap 1-4 sampel usap kloaka/anus/hidung (masing masing sebanyak 100 µl) dikumpulkan (polling) menjadi satu inokulum berdasarkan jenis hewan dan pemilik. Hal ini ditujukan untuk efisiensi jumlah TAB. Jika sampel yang dianalisa menunjukkan hasil positif, hal ini berimplikasi pada pengambilan keputusan bahwa hewan di lokasi dan hewan tersebut terdapat hewan positif terinfeksi virus AI sehingga pencegahan dan pengendaliannya ditujukan pada semua hewan dan manusia di kawasan tersebut (Susanti et al. 2008b). Inokulum yang berhasil ditumbuhkan dalam TAB, menunjukkan bahwa pada sampel mengandung virus yang hidup dengan jumlah melebihi ambang batas untuk dapat tumbuh dalam TAB yaitu 1 egg infectious dose 50% (EID 50 ) (Beato et al. 2007; Terregino et al. 2007). TAB yang digunakan hendaknya specific pathogen free (SPF). Artinya, jika kita akan menumbuhkan sampel yang diduga mengandung virus AI, maka TAB yang digunakan minimal bebas dari virus tersebut. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memastikan bahwa jika hasilnya positif, virus tersebut bebar- 34

48 benar berasal dari sampel dan bukan dari TAB. TAB dapat diperoleh di laboratorium-laboratorium yang memproduksi TAB SPF, seperti laboratorium pada perusahaan yang memproduksi vaksin. Sampel usap kloaka ditumbuhkan pada TAB (SPF) umur 9 hari. Inokulum dibuat dengan mencampur sampel usap kloaka ke dalam tabung yang telah berisi 10 µl phosphate buffer saline (PBS) yang mengandung 2x10 6 U/L penisilin dan 200 mg/l streptomisin. Setelah diinkubasi 30 menit pada suhu kamar, inokulum diinokulasikan pada ruang alantois TAB SPF. Telur diinkubasi pada suhu 37 o C dan diamati setiap hari selama 4 hari. Telur ayam berembrio yang mati sebelum hari keempat dan embrio yang masih hidup sampai hari ke empat, dipanen cairan alantoisnya untuk diidentifikasi kemampuannya mengaglutinasi sel darah merah (SDM) (WHO 2002; Susanti et al. 2008b). Berdasar hasil penelitian, kurva pertumbuhan virus HPAI H5N1 pada TAB selama 24 jam menunjukkan bahwa virus telah bereplikasi dengan jumlah titer virus cukup tinggi (Gambar 4) (Susanti 2009; data tidak dipublikasi). Menurut Coleman (2007), proses replikasi virus terjadi sangat cepat, yaitu 10 jam. Ambang batas jumlah virus yang viabel yang dapat tumbuh dalam telur ayam berembrio adalah 1 EID 50 (Beato et al. 2007; Terregino et al. 2007). Pada kurva pertumbuhan nampak bahwa pertumbuhan mencapai titer tertinggi pada inkubasi 48 jam (2 hari). Setelah 48 jam, titer virus pada cairan alantois mulai menurun. Menurunnya jumlah titer virus pada inkubasi lebih dari 48 jam, kemungkinan disebabkan oleh semakin banyaknya penyebaran virus pada 35

49 Titer virus (log 2) berbagai organ embrio, sehingga pada cairan alantois menunjukkan penurunan titer virus (Susanti 2009, data tidak dipublikasi). 20 Kurva pertumbuhan virus Isolat BP6 Isolat SB jam 24 jam 39 jam 48 jam 63 jam Gambar 4. Pertumbuhan virus avian influenza subtipe H5N1 pada TAB (Susanti 2009) Pada inkubasi 24 jam, virus dapat terdeteksi di sebagian besar pembuluh darah (Susanti 2009, data tidak dipublikasikan). Virus berikatan dengan reseptor α-(2,3) pada sel alantois, bereplikasi dan dilepaskan dalam cairan alantois. Dari cairan alantois, virus masuk sistem pembuluh darah dan keluar pada tissu-blood junction (Kuiken et al. 2006). Virus HPAI dilaporkan dapat bereplikasi secara efisien pada sel endotel pembuluh darah dan perivaskuler sel parenkim, sehingga virus dapat terdeteksi pada berbagai organ internal dan pembuluh darah (Harimoto & Kawaoka 2005; Swayne 2007). Dengan metoda imunohistokimia, 36

50 antigen virus dapat terdeteksi pada organ ginjal, paru-paru, hati dan intestinum (Gambar 5). Pada ginjal, virus banyak terdapat di glomerulus. Pada intestinum, virus banyak terdeteksi di epitel vili, lumen dan serosa. Pada paru, terutama virus banyak terdapat di pembuluh darah (Susanti 2009, data tidak dipublikasikan). Infeksi virus HPAI H5N1 secara in vivo pada itik menunjukkan bahwa virus menyebar secara sistemik pada trakea, paru, hati, pankreas, rektum, bursa fabrisius, limpa, otak, jantung dan ginjal (Songserm et al. 2006). Pada mamalia (mencit), infeksi HPAI H5N1 isolat itik juga menyebar secara sistemik pada limpa, ginjal dan otak (Chen et al. 2004). A B C D 37

51 E F Gambar 5. Antigen virus virus HPAI H5N1 isolat unggas air pada organ-organ embrio. (A) Glomerulus, (C) Intestinum, (E) Paruparu. B, D dan F adalah kontrol negatif (Susanti 2009) 38

52 BAB IV TEKNIK IDENTIFIKASI VIRUS AVIAN INFLUENZA DAN SUBTIPENYA Deteksi atau identifikais virus AI dapat dilakukan dengan uji hemaglutinasi (HA), Uji Agar Gel Immunodiffusion (AGID) Test atau dikenal juga dengan Agar gel Presipitation test (AGPT), haemagglutination inhibition (HI), atau PRC (WHO 2002; OIE 2005b). Uji HI dan AGID dilakukan untuk mengetahui variasi antigenik molekul HA virus dengan mereaksikannya dengan antibodi monoklonal/poliklonal (WHO 2002; OIE 2005). Uji Hemaglutinasi (HA) Sebagai skrining awal keberadaan virus influenza adalah uji hemaglutinasi (HA). Uji hemaglutinasi digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus yang mempunyai kemampuan mengaglutinasi sel darah merah. Hemaglutinasi adalah terjadinya penggumpalan sel darah merah (SDM). Penggumpalan dapat diakibatkan oleh protein hemaglutinin yang dimiliki oleh beberapa virus seperti golongan virus influenza, virus New castle disease, virus mixo, dan virus rabies. Dengan demikian, untuk identifikasi virus AI menggunakan uji HA ini memiliki diagnostik banding virus New-castle yang juga memiliki hemaglutinin. Hemaglutinin akan melekat secara spontan pada SDM. Bagian dari virus yang melekat SDM merupakan bagian spesifik (yaitu glikoprotein hemaglutinin), yang mampu berikatan dengan reseptornya (yang 39

53 spesifik juga) pada SDM. Secara sederhana, konsep dasar hemaglutinasi digambarkan di Gambar 6. Jika sampel yang diduga mengandung berasal dari unggas, virus yang berkemampuan mengaglutinasi SDM merupakan virus golongan Orthomyxoviridae (misal: virus influenza) atau Paramyxoviridae (misal: New Castle Disease; ND) (OIE 2004). Dengan demikian, jika hasil uji HA positif, kemungkinan sampel mengandung virus ND atau virus AI, sehingga perlu diuji lebih lanjut dengan penanda lain (misal dengan PCR atau uji antigenesitas). Uji HA dapat dilakukan 2 tahap, yaitu secara makro dan secara mikro (Susanti et al. 2008b). Uji HA secara makro hanya ditujukan untuk mendeteksi keberadaan virus yang memiliki protein hemaglutinin (kualitatif) sehingga mampu mengaglutinasi, sementara uji HA mikro ditujukan untuk mengatahui titer virus (kuantitatif) yang mampu mengaglutinasi sel darah merah. Gambar 6. Hemaglutinasi sel darah merah oleh virus yang mampu mengaglutinasi 40

54 Metode Uji Hemaglutinasi (HA) Sebelum uji HA titrasi secara mikro, dilakukan uji aglutinasi cepat dengan mencampurkan satu tetes cairan alantois dengan SDM ayam 5% (v/v). Keberadaan virus ditunjukkan adanya aglutinasi SDM dalam waktu 15 detik setelah dicampur. Cairan alantois yang positif berdasar uji HA cepat, selanjutnya dilakukan uji HA secara mikro menggunakan microplate U buttom (Nunc). Uji hemaglutinasi cairan alantois dilakukan sesuai dengan prosedur standar yang berlaku. Sumur 1 12 dari microplate diisi dengan PBS ph 7,2 masing-masing 25 l dengan mikropipet kapasitas l. Cairan alantois diambil sebanyak 25 l dan dimasukkan ke dalam sumur yang telah ditandai dengan nomor sampel uji. Selanjutnya cairan alantois diencerkan bertingkat kelipatan dua dengan PBS, kemudian ditambahkan 25 l suspensi SDM ayam 0,5% ke dalam seluruh sumur. Tahap terakhir dilakukan pengocokan microplate dengan menggoyanggoyangkannya, kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama kurang lebih 30 menit. Pembacaan hasil uji dapat dilakukan apabila SDM pada sumur kontrol telah teraglutinasi di dasar sumur. Sampel dinyatakan positif apabila SDM pada sumur sampel mengalami aglutinasi. Titer HA dihitung berdasarkan pengenceran tertinggi alantois yang dapat mengaglutinasi SDM (WHO 2002; Susanti et al. 2008b). Contoh hasil uji HA terlihat pada Gambar 7. 41

55 Gambar 7. Gambaran contoh hasil uji HA Uji Agar Gel Immunodiffusion (AGID) Test Uji AGID atau dikenal juga dengan Agar gel Presipitation test (AGPT) adalah teknik imunopresipitasi, merupakan salah satu cara yang banyak dipakai untuk mengukur secara kualitatif antigen atau antibodi. Walaupun uji ini kurang peka dibanding dengan uji pengikatan primer, namun relatif mudah dilakukan. Pada uji ini digunakan selapis media agar yang dilubangi (dengan alat khusus) membentuk sumur-sumur. Kemudian ke dalam sumur-sumur tersebut masing-masing diisi dengan antigen dan serum yang mengandung antibodi pereaksi. Antigen dan antibodi akan merembes, berdifusi ke sekitar sumur secara radial (Gambar 8). Apabila antigen bereaksi dengan antibodi spesifik, akan terbentuk kompleks antigen-antibodi yang besar sehingga kompleks akan mengendap dan terjadi presipitasi yang 42

56 membentuk garis putih (homolog). Tetapi bila tidak ada kesesuaian antara antigen dan antibodi (heterolog), maka garis presipitasi tidak akan terbentuk. Gambar 8. Pembentukan presipitasi pada uji AGPT Perbandingan antigen dengan antibodi merupakan faktor penting dalam reaksi presipitasi. Presipitat terbentuk apabila antara konsentrasi antigen dengan antibodi tercapai keseimbangan. Kondisi antigen berlebihan akan mengakibatkan melarutnya kembali komplek yang terbentuk, hal ini disebut postzone effect. Sementara jika antibodi berlebih mengakibatkan komplek antigen-antibodi tetap ada dalam larutan, kondisi ini disebut prozone effect. Uji ini dapat juga digunakan dalam penentuan hubungan antara dua antigen. Pada percobaan ini menggunakan tiga lubang di media agar, satu sumur diisi antibodi dan dua sumur lainnya diisi antigen (Gambar 9). Bila kedua garis presipitasi yang terbentuk tepat bersesuaian, maka kedua antigen dianggap identik (9a) Garis-garis presipitasi yang bersilangan menunjukkan 43

57 kedua antigen berbeda (9b) Garis presipitasi yang melanjut sebagai taji mempunyai determinan antigen yang tidak ada pada yang lain (9c). Bila garis-garis bersatu dengan pembentuk taji, maka terdapat identitas parsial dengan masing-masing antigen mempunyai determinan antigen bersama (9d) a 3 b c 3 d Gambar 9. Interpretasi hasil AGPT Metode uji AGPT Pada identifikasi virus AI, uji AGPT lebih spesifik dibandingkan uji HA. Karena uji AGPT dapat digunakan untuk menentukan subtipe virus AI, meskipun masih sangat kasar sehingga pelu dilakukan uji subtipe lebih lanjut secara molekuler. Jika sampel cairan alantois yang positif berdasarkan uji HA, akan kita identifikasi subipenya menggunakan uji AGPT, maka kita harus memiliki antibodi spesifik terhadap virus subtipe yang dimaksud. Misalnya kita akan uji virus subtipe H5N1, maka kita harus punya antibodi terhadap H5N1. 44

58 Pertama disiapkan agarnya. Caranya adalah Agar Nobel atau Agarose(0,4gram), Polyethylene Glikol (PEG) 6000 (1,2 gram), Phosphat Buffer Saline (PBS) ph 7,2 (25 ml) dan Aquadest (25 ml) dicampur sampai larut menggunakan magnetic stirer. Selanjutnya dipanaskan sampai mendidih dan terlihat bening semua, yang berarti agar sudah larut sempurna. Kemudian, 4 ml agar yang masih hangat dituang di atas objek gelas secara merata. Selanjutnya dibiarkan sampai dingin dan membeku. Setelah dingin, dibuat sumur-sumur dengan cara melubangi agar menggunakan cetakan khusus untuk AGPT (Gel Puncher). Diusahakan supaya pinggiran sumur tidak retak/pecah. Setelah terbentuk sumur-sumur pada agar, setiap sumur diisi dengan antigen (cairan alantois) dan serum (berisi antibodi spesifik H5N1 misalnya). Pengisisan pada sumur-sumur dilakukan sesuai dengan jumlah sampel yang akan kita uji. Jika memiliki 6 sampel, maka antibodi dimasukkan pada sumur yang di tengah, dan masing-masing sampel dimasukkan pada sumur di tepinya sehingga semua sampel punya kesempatan berinteraksi dengan antibodi yang posisinya di tengah. Jika sampel sedikit, polanya disesuaikan dengan kebutuhan, namun yang perlu diingat bahwa setiap sampel berkesempatan untuk berinteraksi dengan antibodi. Media agar yang telah diisi (sampel dan antibodi) tersebut dimasukkan ke dalam baskom yang diberi alas kertas yang dibasahi PBS. Baskom ditutup dan diinkubasi pada suhu kamar selama jam. Kelembapan dijaga dengan membasahi alas.kertas. Hasil percobaan diketahui dengan mengamati terbentuknya garis presipitasi (Gambar 10). Jika 45

59 terbentuk garis presipitat diantara sumur sampel (berisi cairan alantois) dan antibodi terhadap H5N1 (misalnya), sampel tersebut mengandung virus AI subtipe H5N1. Namun untuk meneguhkan dugaan tersebut perlu diuji lebih lanjut secara molekuler. Gambar 10. Contoh hasil AGPT Identifikasi subtipe virus avian influenza secara molekuler Cairan alantois yang positif bersadarkan uji HA, diisolasi RNA-nya dan diidentifikasi subtipe virus AI-nya berdasarkan gen hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Seperti disebutkan sebelumnya bahwa virus influenza dikelompokkan berdasarkan tipe A, B dan C. Masing-masing tipe dikelompokkan lagi berdasarkan sub-sub tipe gen HA dan NA. Sampai saat ini telah diketahui ada 9 subtipe N (N1 s/d N9) dan 16 subtipe H (H1 s/d H16). Secara garis besar, identifikasi subtipe virus AI adalah 46

60 isolasi RNA virus, RT-PCR menggunakan primer spesifik HA dan NA dan elektroforesis produk RT-PCR. Metode Isolasi RNA Virus Mengapa RNA, dan bukan DNA? Karena material genetik virus AI adalah RNA, dan bukan DNA. Isolasi RNA virus dapat dilakukan dengan kit/reagen yang telah dikomersialkan secara luas. Contoh yang ditampilkan dalam buku ini menggunakan Trizol LSReagent, sesuai dengan petunjuk produsen. Sebanyak 250 μl cairan alantois dan 750 μl Trizol dimasukkan dalam tabung 1,5 ml, dan dicampur sampai homogen. Setelah diinkubasi 5 menit pada suhu ruang (15-30 o C), ditambah 200 μl kloroform, kemudian dikocok dan diinkubasi 10 menit pada suhu ruang (15-30 o C). Larutan selanjutnya disentrifus g selama 15 menit pada suhu 4 o C. Supernatan (fase aqueous) diambil dan dimasukkan pada tabung 1,5 ml baru (jangan sampai endapan dan lapisan berwarna merah ikut terambil). Setelah ditambah isopropanol 500 μl dan dicampur sampai homogen, larutan diinkubasi 10 menit pada suhu ruang (15-30 o C). Larutan selanjutnya disentrifus 15 menit dengan kecepatan g pada suhu 4 o C. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang, dan endapannya dicuci dengan 1000 μl etanol 70% (dalam H 2 O dietylpirocarbonat (DEPC)). Setelah divorteks beberapa menit, larutan disentrifus g pada suhu 4 o C selama 20 menit. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang, dan pelet RNA dikeringkan pada suhu ruang selama menit. Setelah pelet kering, disuspensi kembali dengan 30μl H 2 O bebas nuklease (ultrapure 47

61 H 2 O). Larutan RNA selanjutnya disimpan pada suhu -20 o C sampai dilakukan RT-PCR (Susanti et al. 2008b). Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) Reverse transcription (RT) adalah pembuatan cdna yang bersifat komplementer dengan RNA virus, menggunakan enzim reverse transcriptase. Mengapa RT-PCR dan bukan PCR biasa? Perlu diingat bahwa material genetik virus AI adalah RNA, bukan DNA. Setelah reaksi pembentukan cdna dari RNA (melalui reverse transcription), cdna selanjutnya diperbanyak pada sekuen gen spesifik menggunakan sepasang primer oligonukleotida menggunakan teknik PCR. PCR merupakan metode alternatif untuk mengidentifikasi virus AI, meskipun material genetik virus hanya terdapat dalam jumlah sedikit (WHO 2002; Payungporn et al. 2004; OIE 2005). Dengan metode ini, berbagai subtipe virus dapat didentifikasi, tergantung primer yang digunakan. Polymerase Chain Reaction (PCR) Reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/pcr), yang ditemukan oleh Kary Mullis pada pertengahan 1980-an, merupakan salah satu tonggak revolusi dalam genetika molekuler. Teknik ini memungkinkan pendekatanpendekatan baru dalam studi dan analisis gen. Di masa lalu, masalah utama dalam analisis molekuler adalah gen dalam genom suatu makhluk yang dianggab sangat rumpil, lebih-lebih pada mamalia. Mamalia dapat mempunyai sampai lebih dari 48

62 seratus ribu gen. Berbagai teknik dalam genetika molekuler ditujukan untuk mengatasi masalah ini. Teknik tersebut umumnya memerlukan waktu yang relatif lama dan prosedur yang sangat sulit, meliputi pengklonan dan pelacakan urutan DNA yang khas. PCR merupakan metode yang memungkinkan kita memperoleh urutan DNA tertentu tanpa melalui pengklonan. Teknik PCR sebenarnya mengekploitasi berbagai sifat alami replikasi DNA. Dalam proses tersebut, polimerase-dna menggunakan DNA berserat tunggal sebagai cetakan untuk mensintesis serat baru yang komplementer. Di laboratorium, cetakan berserat tunggal dapat diperoleh dengan mudah melalui pemanasan DNA berserat ganda pada temperatur mendekati titik didih. Polimerase-DNA juga memerlukan suatu wilayah berserat ganda pendek untuk memulai ( prime ) proses sintesis. Pada PCR, posisi awal dan akhir sintesis DNA dapat ditentukan dengan menyediakan suatu oligonukleotida sebagai primer yang menempel secara komplementer pada cetakan sesuai dengan tujuan penelitian. Inilah keunggulan PCR yang pertama, yaitu polimerase-dna dapat diarahkan untuk sintesis wilayah DNA tertentu. Kedua serat DNA dapat berfungsi sebagai cetakan untuk sintesis bila primer oligonukleotida disediakan untuk masingmasing serat. Sepasang primer dapat dipilih untuk membatasi ( flanking ) wilayah DNA yang akan diperbanyak, sehingga serat DNA yang baru akan disintesis dari posisi primer membentang sampai melewati posisi primer dari serat lainnya. Dengan demikian, tempat ikatan primer baru akan dibuat pada serat DNA 49

63 yang baru disintesis. Campuran reaksi kemudian dipanaskan lagi untuk memisahkan serat awal dengan baru, yang kemudian berperan sebagai cetakan untuk siklus penempelan primer, sintesis serat DNA dan pemisahan serat. Hasilnya adalah, setelah n kali siklus, campuran reaksi mengandung sebanyak 2 n molekul DNA serat ganda, yang merupakan salinan dari urutan DNA di antara kedua primer. Ini merupakan keunggulannya PCR yang kedua, yaitu PCR menghasilkan amplifikasi wilayah DNA tertentu. PCR merupakan teknik laboratorium yang relatif mudah, sehingga dapat diterapkan pada berbagai bidang kajian makhuk hidup. Bahan awal dari PCR adalah DNA yang mengandung urutan yang akan diampliflikasi. Jumlah DNA yang diperlukan juga relatif kecil. Pada percobaan yang biasa, kurang dari 1μg DNA dari seluruh DNA genom sudah cukup digunakan untuk PCR. Bahkan PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi dari satu molekul DNA. Selain DNA, untuk PCR diperlukan primer oligonuklotida yang ditujukan sebagai posisi awal untuk sintesis serat baru, polimerase-dna, dan campuran keempat dntp ditambahkan ke dalam tabung yang mengandung DNA. Volume keseluruhan biasanya μl. Langkah berikutnya adalah pemanasan dari campuran reaksi pada temperatur 94 C selama beberapa menit. Pada temperatur ini, molekul DNA yang berserat ganda terpisah dengan sempurna, menjadi serat tunggal. Temperatur kemudian diturunkan agar primer oligonukleotida menempel pada posisi yang sesuai pada cetakan. Temperatur penempelan ( annealing ) 50

64 ini dapat sangat beragam sesuai urutan DNA yang diamplifikasi. Penempelan primer menghasilkan posisi awal untuk aktivitas polimerase-dna. Langkah berikutnya adalah peningkatan temperatur pada 72 C, sebagai temperatur optimum dari enzim polimerase-dna Taq. Kondisi ini dipertahankan beberapa menit untuk penyelesaian sintesis DNA. Setelah satu siklus berakhir, temperatur ditingkatkan lagi sampai 94 C selama beberapa puluh detik, sehingga DNA serat ganda yang pendek (serat awal dan serat baru) terpisah. Serat tunggal tersebut kemudian berfungsi sebagai cetakan untuk siklus sintesis DNA berikutnya. Satu siklus, yang terdiri dari pemanasan untuk pemisahan serat, penempelan primer, dan sintesis oleh polimerase-dna, diulang sampai kali. Polimerase Taq menyederhanakan dan meningkatkan penampilan PCR. Pada mulanya, Polimerase-DNA dari E. coli digunakan dalam PCR. Tetapi, karena enzim ini sangat peka pada panas dan rusak pada temperatur 94 o C, enzim segar harus selalu ditambahkan pada setiap siklus. Ini merupakan proses yang memerlukan tenaga dan tidak praktis. Dengan ditemukannya bakteri yang hidup pada sumber air panas, merupakan penemuan penting untuk mempermudah PCR. Bakteri ini mempunyai polimerase-dna yang bekerja optimum pada temperatur tinggi. Bakteri ini adalah Thermus aquaticus, yang hidup dalam air dengan temperatur 75 C. Polimerase-DNAnya (disebut polimerase Taq) mampunyai temperatur optimum 72 C dan masih stabil pada 94 C. Polimerase Taq cukup 51

65 ditambahkan sekali saja pada awal reaksi dan akan tetap aktif setelah melewati siklus PCR secara lengkap. Perkembangan ini memungkinkan otomatisasi PCR melalui mesin penyiklus panas, merupakan blok pemanas yang dapat diprogram untuk pelaksanakan siklus PCR dengan waktu dan temperatur tertentu. Sekarang ini, tabung reaksi dengan komponen reaksinya dapat diletakkan pada mesin penyiklus panas tanpa intervensi manual. Metode RT-PCR Identifikasi subtipe H5 dan N1 dapat dilakukan berturutturut menggunakan pasangan primer H5-1 dan H5-3 (WHO 2005a) serta CU-N1F dan CU-N1R (Payungporn et al. 2004). Sementara, untuk isolat yang bukan subtipe H5 dan bukan N1 identifikasi lebih lanjut terhadap Newcastle disease virus (NDV) menggunakan pasangan primer NDVF dan NDVR (Creelan et al. 2002). Besaran produk PCR dari ketiga pasang primer tersebut relatif kecil (yaitu 219bp untuk H5, 131bp untuk N1 dan 202bp untuk NDV) sehingga lebih sensitif dan spesifik (Payungporn et al. 2004). Untuk identifikasi subtipe virus, setiap isolat diamplifikasi dengan primer H5 dan N1. Isolat yang positif berdasarkan uji hemaglutinasi, namun hasil PCR negatif H5 dan N1, dilakukan PCR menggunakan primer spesifik untuk NDV (Creelan et al. 2002) (Susanti et al. 2008b). Sekuen primer gen H5, N1 dan ND terlihat pada Tabel 3. Selain menggunakan primer tersebut, dapat juga menggunakan pasangan primer lain yang direkomendasikan oleh peneliti-peneliti lain, atau didesain berdasarkan pustaka genom virus ini yang tersedia di GenBank. 52

66 Tabel 3. Sekuen basa primer untuk mengamplifikasi gen H5, N1 dan ND serta besaran produk PCR yang diharapkan Primer Sekuen basa Fragmen Gen Produk (bp) 1 a H5-1: 5 GCC ATT CCA CAA CAT ACA CCC 3 H5-3: 5 CTC CCC TGC TCA TTG CTA TG 3 2 b CU-N1F: 5 GTTTGAGTCTGTTGCTTGGTC 3 CU-N1R: 5 TGATAGTGTCTGTTATTATGCC 3 3 c NDVF: 5 GGTGAGTCTATCCGGARGATA CAAG 3* NDVR: 5 TCATTGGTTGCRGCAATGCTCT 3* *R=(A/G) al (2002) H5 (basa ) N1 (basa ) NDV (basa ) a WHO (2005b), b Payungporn et al (2004), c Creelan et Metode RT-PCR sangat bervariasi tergantung pada primer dan reagen kit yang digunakan. Salah satu cara RT-PCR untuk virus AI adalah menggunakan Superscript TM III One-step RT- PCR system. Reaksi PCR dibuat sebanyak 50 l dengan komposisi 25 l 2x reaction mix, 2 l primer forward (10 M), 2 l primer reverse (10 M), 2 l Superscript III RT/Platinum Taq Mix, 3 l sampel RNA dan ultrapure H 2 O sampai volume 50 l. Primer yang digunakan untuk mengamplifikasi gen H5 dan N1 terlihat pada Tabel 3. Program RT-PCR adalah reverse transcription 45 o C selama 60 menit predenaturasi 95 o C selama 5 menit, 35 53

67 siklus terdiri dari denaturasi 95 o C 30 detik, anneling 55 o C 30 detik, ekstensi 72 o C 40 detik, dan post ekstensi 72 o C 10 menit (Payungporn et al. 2004; WHO 2005a; Susanti et al. 2008b). Untuk identifikasi subtipe virus, setiap isolat diamplifikasi dengan primer H5 dan N1. Isolat yang positif berdasarkan uji hemaglutinasi, namun hasil PCR negatif H5 dan N1, dilakukan PCR menggunakan primer spesifik untuk NDV (Tabel 3) dengan anneling 48 o C (Creelan et al. 2002). Adanya pita DNA spesifik hasil PCR diidentifikasi dengan elektroforesis pada gel agarose 2%. Elektroforesis Elektroforesis merupakan salah satu teknik pemisahan molekul yang banyak digunakan dalam ilmu-ilmu hayati. Dasar teknik pemisahan ini adalah molekul yang memiliki gugus bermuatan memiliki perbedaan migrasi jika diletakkan dalam suatu medan listrik. Pemisahan terjadi berdasarkan pada perbedaan kecepatan bergerak dari masing-masing substansi, tanpa terjadi pengaruh timbal balik secara kimiawi atau absorbsi antara gel dengan sampel. Molekul biologis yang memiliki gugus bermuatan antara lain adalah asam amino, peptida, protein dan asam nukleat. Gerak medan listrik pada elektroforesis (katoda/anoda) dapat terjadi karena adanya arus listrik yang berlawanan. Kation akan bergerak ke arah kutub bermuatan (-) atau anoda, sedangkan anion akan bergerak ke arah kutub bermuatan (+) atau anoda. Kecepatan gerak dari masing-masing substansi 54

68 secara individu adalah proporsional dengan mobilitet relatif secara elektroforesis dari suatu molekul. Mobilitet relatif tersebut merupakan karakteristik fisiko-kimiawi molekul, hal ini dapat dibandingkan dengan mobilitet dari substansi standart seperti bromphenol blue, Xylen-cyanol atau bromkresolgreen. Mobilitet elektroforesis suatu molekul sangat bergantung pada muatannya, sedangkan muatannya sendiri tergantung pada ph substansi, ph buffer, konsentrasi ion dari buffer dan temperatur. Bilamana diameter molekul dari pori-pori gel mempunyai kesamaan, maka pergerakan substansi dalam medium (gel) ditentukan pula oleh kuat gesekan masing-masing molekul besar. Dalam hal ini, kecepatan bergerak suatu molekul ditentukan oleh muatannya, diameter ataupun bentuk molekul (seperti struktur tertier dari protein). Agar elektroforesis dapat berjalan lancar, sampel harus dilarutkan atau disuspensikan dalam larutan buffer supaya arus dapat diantarkan, medium pendukung harus dijenuhkan dengan buffer. Selama elektroforesis, arus dapat dipertahankan karena ada elektrolit pada elektroda yang tercelup dalam tendon buffer. Deteksi dasil pemisahan proses elektroforesis dapat dilakukan langsung pada gel pewarna, dengan reagen spesifik, enzim substrat reaction system, immunopresipitasi, autoradiografi, fluorografi atau secara langsung dengan immunoprint (bloting teknik). 55

69 Metode Elektroforesis Hasil RT-PCR pada Gel Agarose 2% DNA hasil PCR yang diperoleh dianalisa dengan teknik elektroforesis menggunakan ultrapure TM agarose 2%. Sebanyak 2 g agarose dilarutkan dengan 100 ml Tris Buffer EDTA (TBE) 1x, kemudian dipanaskan dalam microwave sampai larutan menjadi jernih. Larutan didinginkan pada suhu kamar sampai dingin (hangat-hangat kuku), kemudian dimasukkan 3 µl ethidium bromide (10mg/ml) dan dicampur sampai homogen. Agarose kemudian dituang pada cetakan gel yang telah dipasang sisir, dan dibiarkan sampai membeku. Setelah membeku, gel dimasukkan bak elektroforesis yang telah diisi larutan buffer TBE 1x sampai semua gel terendam. Sebanyak 7 µl produk PCR dicampur dengan 2 µl loading dye kemudian dimasukkan ke dalam sumur-sumur pada gel. Running dilakukan pada 135 volt selama 20 menit. Keberadaan pita-pita DNA produk PCR diamati di atas UV transluminator. Hasil positif ditunjukkan adanya pita berwarna jingga pada gel agarose (Susanti et al. 2008b). Contoh hasil elektroforesis produk RT-PCR dengan primer H5-1 dan H5-3 (WHO 2005a), CU-N1F dan CU-N1R (Payungporn et al. 2004), dan pasangan primer NDVF dan NDVR (Creelan et al. 2002) berturut-tururt terlihat pada Gambar Jika ada sampel positif H5 tetapi negatif N1, hal ini menunjukkan isolat virus yang diisolasi subtipe H5 tetapi bukan subtipe N1 (kemungkinan subtipe N2, N3, N4 dst). Demikian juga jika negatif H5 tetapi positif N1, isolat yang diisolasi subtipe N1 tetapi bukan H5 (kemungkinan subtipe selain H5). Jika sampel positif H5 dan positif N1, sampel ini positif subtipe H5N1. 56

70 M P bp Gambar 11. Elektroforegram RT-PCR gen H5 menggunakan primer H5-1 dan H5-3 (produk 219bp). Sumur M: DNA ladder 100bp. Sumur P: Kontrol positif subtipe H5. Sumur 4, 8-11: Sampel positif subtipe H5. Sumur 1-3, 5-7: Sampel negatif subtipe H5 bp M P bp Gambar 12. Elektroforegram RT-PCR gen N1 menggunakan primer CU-N1F dan CU-N1R (produk 131bp). Sumur M: DNA ladder 100bp. Sumur P: Kontrol positif subtipe N1. Sumur 2, 4: Sampel positif subtipe N1. Sumur 1, 3: Sampel negatif subtipe N1 57

71 M P bp bp Gambar 13. Elektroforegram RT-PCR menggunakan primer NDVF dan NDVR (produk 202bp). Sumur M: DNA ladder 100bp. Sumur P: Kontrol positif virus ND. Sumur 3-5: Sampel positif virus ND. Sumur 1, 2: Sampel negatif virus ND 58

72 BAB V TEKNIK ANALISA MOLEKULER NUKLEOTIDA PENYUSUN GEN-GEN VIRUS AVIAN INFLUENZA Untuk menganalisis gen-gen virus AI, langkah pertama yang dilakukan adalah mengamplifikasi gen yang dimaksud dan disekuensing. Pada analisis gen, biasanya panjang nukleotida yang dianalisis cukup panjang (partial) atau bahkan komplit (lengkap) menggunakan primer full leng atau primer lain yang didesain sendiri. Contoh primer untuk mengamplifikasi gen H5 yang didisain khusus adalah 2 pasang primer yaitu primer HA01- HA645 yang mengamplifikasi nukleotida 1-645, dan primer HA548-HA1215 yang mengamplifikasi nukleotida (Tabel 4; Susanti et al. 2008a). Tingginya tingkat mutasi pada gen HA, tidak semua isolat virus dapat diamplifikasi menggunakan primer tertentu. Jika dengan primer yang didesain sendiri tidak dapat teramplifikasi, sebagai alternatif dapat juga dicoba menggunakan primer lain yang telah dipublikasi di jurnal-jurnal ilmiah. Primer untuk amplifikasi secara lengkap masing-masing genom telah banyak dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah, salah satunya adalah Hoffmann et al. (2001). Tabel 4. Sekuen nukleotida primer untuk mengamplifikasi gen HA Primer Sekuen basa Fragmen gen Produk (bp) 1 a HA01: 5 ATGGAGAAAATAGTGCTTCTTCTTGC 3 HA645: 5 H5 (basa 1-645)

73 GGAAATATAGGTGGTTGGGTTTTG 3 2 a HA548F: 5 CCAACCRAGARGATCTTTTGG 3* HA1215R: 5 AYRGCCTCAAACTGAGTGTTC 3* H5 (bada ) 667 * Y=(CT), R=(AG) Drh. R. Susanti, MP a didisain oleh Dr. Drh. IGN Mahardika & Dr. Contoh Metode Amplifikasi Gen HA Dengan Primer Spesifik RNA isolat VAI subtipe H5N1 diekstraksi dengan Trizol LS Reagent sesuai manual. RT-PCR dilakukan dengan menggunakan Superscript TM III One-step RT-PCR system. Reaksi PCR dibuat sebanyak 50 l dengan komposisi 25 l 2x reaction mix, 2 l primer forward (10 M), 2 l primer reverse (10 M), 2 l Superscript III RT/Platinum Taq Mix, 3 l sampel RNA dan ultrapure H 2 O sampai volume 50 l. Program PCR untuk primer HA01-HA645 adalah 45 o C reaksi RT 60 menit, predenaturasi 95 o C 5 menit, 35 siklus terdiri dari denaturasi 95 o C 30 detik, anneling 55 o C 30 detik, ekstensi 72 o C 40 detik, dan post ekstensi 72 o C 10 menit. Program PCR untuk primer HA548- HA1215 menggunakan suhu anneling 51 o C (Susanti et al. 2008a). Isolat yang tidak dapat diamplifikasi dengan primer HA01-HA645, dilakukan amplifikasi menggunakan primer H5-155F (5 ACACATGCYCAR GACATACT 3) dan H5-699R (5 CTYTGRTTYAGTGTTGATGT 3) (Lee et al. 2001) dengan anneling 50 o C (Susanti et al. 2008a). Adanya pita DNA spesifik hasil PCR diidentifikasi dengan elektroforesis pada gel agarose 2%. 60

74 Purifikasi produk PCR Pita-pita DNA spesifik produk PCR pada gel elektroforesis selanjutnya dipurifikasi, sebelum disekuensing. Purifikasi pita DNA pada gel dapat dilakukan dengan kit, antara lain Wizard SV Gel and PCR Clean-Up System sesuai manual dari produsen. Pita DNA target pada gel elektroforesis dipotong dan dimasukkan pada tabung 15 ml, kemudian ditambah membrane binding solution sebanyak 10µl/10mg gel. Setelah divortek, diinkubasi pada suhu o C sampai gel terlarut sempurna. Larutan gel dimasukkan pada SV minicolumn (pada tabung koleksi), diinkubasi pada suhu kamar selama 1 menit, dan disentrifuse pada g selama 1 menit. Tabung koleksi dan larutan isinya dibuang, SV minicolumn dipindahkan pada tabung koleksi baru. Pada SV minicolumn dimasukkan 700 ul membrane wash solution, kemudian disentrifus g selama 1 menit. Larutan di dalam tabung koleksi dibuang, SV minicolumn kembali dimasukkan pada tabung koleksi. Pada SV minocolumn dimasukkan 500 µl membrane wash solution, kemudian disentrifus pada g selama 1 menit. Larutan di dalam tabung koleksi dibuang, SV minicolumn kembali dimasukkan pada tabung koleksi, kemudian disentrifus pada g selama 1 menit. SV minicolumn dipindahkan ke tabung 1,5 ml yang bersih, kemudian dimasukkan 50 µl nuclease free water. Setelah diinkubasi pada suhu kamar selama 1 menit, SV minocolumn disentrifus g selama 1 menit. DNA hasil purifikasi yang terdapat pada tabung 1,5 ml selanjutnya disimpan pada suhu -20 o C sampai dilakukan sekuensing (Susanti et al. 2008a). 61

75 Sekuensing Sekuensing dilakukan dengan metode dideoksi menggunakan ABI automatic sequencer sesuai prosedur standart. Runutan nukleotida gen hasil sekuensing dan turunan asam aminonya dianalisis dengan software tertentu seperti MEGA 3.1 (Kumar et al. 2004). Sekuen nukleotida yang diperoleh dengan metode yang standart dan telah diyakini kebenarannya, didaftarkan di GenBank sebagai salah satu bentuk etika moral peneliti terhadap peningkatan khasanah keilmuan secara universal. Metode analisis nukleotida dengan program MEGA 3.1 Data sekuen nukleotida yang akan dianalisa dapat bersumber dari hasil sekuensing atau data dari GenBank. Jika data berasal dari GenBank, sekuen nukleotida dari Genbank harus dipindahkan dulu dalam file Notepad. Sekuen nukleotida dari Genbank dikopi, kemudian program Notepad dibuka, dan diklik edit, pilih paste. Semua nomor dan spasi harus dihilangkan sebelum dimasukkan pada program MEGA (Molecular Evolutionary Genetics Analysis). Caranya adalah dengan mengklik edit, kemudian dipilih replace. Selanjutnya isikan pada find what dengan nomor atau spasi yang akan dihapus, kemudian klik replace all. Jika nomor yang dihapus banyak, penghapusan dilakukan satu per satu, sampai semua nomor dan spasi tidak ada lagi (yang ada hanya urutan nukleotida). Setelah selesai, kemudian disimpan dengan diberi nama. 62

76 Langkah pertama dalam menggunakan program MEGA 3.1 adalah membuka program dengan cara meng-klik Mega 3.1 dua kali (Gambar 14a). Selanjutnya, di-klik alignment dan muncul beberapa pilihan (Gambar 14b). Kemudian dipilih (klik)alignment exploler/ CLUSTAL dan muncul alignment editor (Gambar 14c). Pada alignment editor muncul beberapa pilihan, dan dipilih create a new alignment kemudian di-klik (Gambar 14c). Akan muncul pertanyaan konfirmasi Are you building a DNA (yes) sequence alignment (otherwise choose (No) for protein)? (Gambar 14d), dan dijawab/di-klik yes. Setelah diklik yes akan muncul menu-menu dari alignment explorer (Gambar 14e). Untuk memasukkan data dari GenBank yang telah disimpan dalam file notepad, di- klik edit, kemudian dipilih insert sequence from file (Gambar 14f). Selanjutnya dicari file notepad yang akan dianalisis,dan klik open. Nama file dan sekuen nukleotida akan muncul di program (Gambar 14g). Semua sekuen nukleotidyang akan dianalisa, dimasukkan semua ke dalam program alignment, dengan cara yang sama. 14a 14b 63

77 14c 14d 14e 14f 14g 14h Gambar 14. Tampilan program MEGA pada persiapan alignment Untuk menganalisa data sekuen nukleotida hasil sekuensing, langkah pertama sampai muncul alignment explorer caranya sama dengan penjelasan sebelumnya. Setelah program alignment explorer terbuka, pilih/klik sequencer, kemudian klik edit sequencer file (Gambar 14h). Selanjutnya file 64

78 elektrogram hasil sekuensing dibuka, kemudian di-klik data, klik add to aligment exploler, dan klik ok. Jika sekuensing dilakukan 2 arah (2 reaksi dengan 2 primer), hasil sekuen dengan primer F (forward) dan R (reverse) harus disepadankan terlebih dahulu. Sekuen nukleotida hasil sekuensing dengan primer F dan R, masing-masing dimasukkan dalam program alignment explorer. Sebelum disepadankan, sekuen nukleotida dengan primer R harus dibalik terlebih dahulu. Sekuen yang akan dibalik, di-klik kanan kemudian pilih/klik reverse complement. Selanjutnya, blok kedua sekuen (atau tekan Ctrl A), kemudian klik alignment, pilih/klik alignment by ClustalW, pilih/klik Ok. Jika ada pasangan basa yang tidak sama, perlu dicermati lagi. Caranya adalah sekuen di sebelah kanan/kiri dari basa yang meragukan/tidak jelas diblok, kemudian klik kanan, dipilih copy, kemudian nama file (di sebelah kiri) diklik kanan, pilih/klik open sequence file, pilih/klik search, pilih find, klik kanan kotak kosong di bawah sekuen yang disepadankan, klik paste, klik Ok. Penyepadanan sekuen nukleotida dilakukan setelah semua sekuen dimasukkan dalam program alignment explorer seperti dijelaskan di atas (Gambar 15a). Untuk penyepadanan, semua sekuen nukleotida diblok, kemudian klik alignment, pilih alignment by ClustalW (Gambar 15b). Selanjutnya muncul tampilan seperti Gambar 15c, kemudian klik ok dan terjadi proses alignment (Gambar 15d). 65

79 15a 15b 15c 15d Gambar 15. Tampilan prosedur alignment 66

80 Untuk menyimpan data alignment, klik data, pilih exit alnexplorer (Gambar 16a) kemudian muncul pertanyaan save the current alignment session to file? (Gambar 16b), di-klik yes dan diberi nama sesuai keinginan kemudian klik save (file mas) (Gambar 16c). Selanjutnya akan muncul pertanyaan save the data to MEGA file? (Gambar 16d) Klik yes kemudian disimpan dalam file MEGA (Gambar 16e). Selanjutnya muncul form input data (Gambar 16f), dan setelah diisi klik Ok. Selanjutnya akan muncul pertanyaan konfirmasi protein coding nucleotide sequence data? (Gambar 16g) dan dijawab ok. Selanjutnya akan muncul pertanyaan konfirmasi open the data in MEGA? (Gambar 16h). Setelah dijawab ok, akan muncul tampilan data seperti Gambar 17a. Untuk mengambil data alignment ke file word, klik data dan pilih write data to file (Gambar 17b). Selanjutnya muncul exporting sequence data yang harus diisi (Gambar 17c). Pada kolom site per line diisi sesuai keinginan (biasanya 60; artinya 1 baris berisi 60 nukleotida). Pada kolom missing data and alignment gabs, dipilih include sites with missing/ambiguous data and gabs. Pada kolom writing site numbers, dipilih sesuai keinginan, yaitu at the end of line atau for each site. Setelah terisi semua, kemudian tekan ok, dan akan muncul tampilan seperti pada Gambar 17d. Selanjutnya semua data yang akan dikopi diblok, kemudian pilih/klik copy. File word dibuka, kemudian klik paste. Data di file word, font nya diganti courier new, karena ukuran setiap jenis huruf pada tipe courier new adalah sama. 67

81 Data alignment dalam bentuk Mega, selanjutnya dapat dianalisis jarak genetik (distance matrix) dan dibuat pohon filogenetiknya. Untuk membuat pohon filogenetik, file mega dibuka kemudian klik phylogeny, pilih construct phylogeny, pilih menu Neighbor-Joining (NJ) (Gambar 18a), sehingga muncul analysis preference (Gambar 18b) kemudian klik compute dan muncul pohon filogeni (Gambar 18c). Untuk menyimpan pohon filogeni tersebut ke file word, klik images dan pilih copy to clipboard. Selanjutnya file word dibuka, kemudian klik paste. Untuk melihat distance matrix, pilih menu distances pada file mega, kemudian klik compute pairwise dan akan muncul analysis preference (Gambar 18d). Setelah diklik compute akan muncul matrik jarak genetik (Gambar 18e). Untuk menyimpan matrik jarak genetik, klik file dan pilih export/print distances. Selanjutnya akan muncul option pilihan (Gambar 18f), dan setelah diisi semua klik print/save matrix dan akan muncul tampilan seperti Gambar 18g. Matrik distance dapat dikopi dan dipindahkan ke file word. Jarak genetik artinya adalah ada perbedaan 1,6% antara 2 unit taksonomi (isolat virus) berdasarkan karakter yang digunakan (dalam hal ini adalah nukleotida) atau ada persamaan (homologi) 98,4% atau Untuk mengetahui overall distance dan standart error, klik distance dan pilih compute overall mean, pilih distance&std.err kemudian klik compute dan akan muncul hasil overal mean distance dan standart error. 68

82 16a 16b 16c 16d 16e 16f 16g 16h Gambar 16. Proses menampilkan data alignment pada MEGA 69

83 17a 17b 17c 17d Gambar 17. Proses penyimpanan data alignment ke word 18a 18b 18c 18d 70

84 18e 18f Gambar 18. Pembuatan pohon filogeni dan jarak genetik 71

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Morfologi dan Nomenklatur Virus Influenza

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Morfologi dan Nomenklatur Virus Influenza TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Morfologi dan Nomenklatur Virus Influenza Virus influenza penyebab penyakit flu adalah virus anggota famili Orthomyxoviridae (ICTV 2006). Virus ini dibagi menjadi influenza

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Btetapi banyak juga ditemukan isolat asal burung dari subtipe H5 dan H7B Byang

TINJAUAN PUSTAKA. Btetapi banyak juga ditemukan isolat asal burung dari subtipe H5 dan H7B Byang TINJAUAN PUSTAKA Virus Avian Influenza Virus influenza terdiri dari beberapa tipe yaitu tipe A, tipe B dan tipe C. Virus tipe A menyerang hewan, tetapi dapat menyebabkan epidemik pada manusia. Sementara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan unggas di Indonesia memegang peran penting bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Hal ini terlihat dari banyaknya jenis unggas yang dibudidayakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) adalah penyakit zoonosa yang sangat fatal. Penyakit ini menginfeksi saluran pernapasan unggas dan juga mamalia. Penyebab penyakit

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Titrasi Virus Isolat Uji Berdasarkan hasil titrasi virus dengan uji Hemaglutinasi (HA) tampak bahwa virus AI kol FKH IPB tahun 3 6 memiliki titer yang cukup tinggi (Tabel ). Uji HA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong

BAB I PENDAHULUAN. influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Avian influenza (AI) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong virus RNA (Ribonucleic acid)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Virus Influenza A, B dan C

TINJAUAN PUSTAKA. Virus Influenza A, B dan C 16 TINJAUAN PUSTAKA Virus Influenza A, B dan C Virus influenza merupakan virus RNA memiliki amplop (envelope) yang termasuk anggota dari famili Orthomyxoviridae. Genomnya terdiri dari negative single strand

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Virus influenza tipe A adalah virus RNA, famili Orthomyxoviridae dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Virus influenza tipe A adalah virus RNA, famili Orthomyxoviridae dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Virus Influenza Tipe A Virus influenza tipe A adalah virus RNA, famili Orthomyxoviridae dari genus Orthomyxovirus yang menyebabkan penyakit avian influenza. Virus ini merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 34 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini jenis sampel diambil berupa serum dan usap kloaka yang diperoleh dari unggas air yang belum pernah mendapat vaksinasi AI dan dipelihara bersama dengan unggas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) adalah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) adalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) adalah penyakit menular ganas pada babi yang disebabkan oleh virus dengan gejala utama gangguan reproduksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Newcastle disease (ND) merupakan suatu penyakit pada unggas yang sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus dan menyerang berbagai

Lebih terperinci

Selama ini mungkin kita sudah sering mendengar berita tentang kasus

Selama ini mungkin kita sudah sering mendengar berita tentang kasus AgroinovasI Waspadailah Keberadaan Itik dalam Penyebaran Virus Flu Burung atau AI Selama ini mungkin kita sudah sering mendengar berita tentang kasus penyakit flu burung, baik yang dilaporkan pada unggas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Virus Avian Influenza H5N1 Morfologi Virus Avian Influenza H5N1 merupakan salah satu penyebab penyakit unggas yang bersifat zoonosis. Virus ini menyebabkan penyakit flu pada unggas

Lebih terperinci

Flu burung adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Umumnya tipe ini ditemukan pada burung dan unggas. Kasus penyebaran :

Flu burung adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Umumnya tipe ini ditemukan pada burung dan unggas. Kasus penyebaran : !!"!!#$ Dewasa ini virus H5N1 atau yang lazim dikenal sebagai virus flu burung (Avian Influenza) telah mewabah dimana mana. Virus ini pada awalnya hanya menginfeksi unggas. Namun akhir akhir ini diberitakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kerangka Konsep. Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai. berikut :

METODE PENELITIAN. Kerangka Konsep. Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai. berikut : 25 METODE PENELITIAN Kerangka Konsep berikut : Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai Manajemen Unggas di TPnA - Keberadaan SKKH - Pemeriksaan - Petugas Pemeriksa - Cara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Virus Virus adalah suatu partikel yang mengandung bahan genetik berupa DNA atau RNA yang diselubungi oleh protein yang disebut kapsid dan pada beberapa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI OPTIMAL REAKSI AMPLIFIKASI Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan menggunakan primer NA. Primer NA dipilih karena protein neuraminidase,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Avian Influenza (AI) adalah salah satu penyakit infeksi penting yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan adanya kematian yang tinggi

Lebih terperinci

Polimerase DNA : enzim yang berfungsi mempolimerisasi nukleotidanukleotida. Ligase DNA : enzim yang berperan menyambung DNA utas lagging

Polimerase DNA : enzim yang berfungsi mempolimerisasi nukleotidanukleotida. Ligase DNA : enzim yang berperan menyambung DNA utas lagging DNA membawa informasi genetik dan bagian DNA yang membawa ciri khas yang diturunkan disebut gen. Perubahan yang terjadi pada gen akan menyebabkan terjadinya perubahan pada produk gen tersebut. Gen sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kasus rabies sangat ditakuti dikalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat dengan

Lebih terperinci

ANALISIS GEN PENYANDI HEMAGLUTININ VIRUS HIGHLY PATHOGENIC AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 ISOLAT UNGGAS AIR

ANALISIS GEN PENYANDI HEMAGLUTININ VIRUS HIGHLY PATHOGENIC AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 ISOLAT UNGGAS AIR ANALISIS GEN PENYANDI HEMAGLUTININ VIRUS HIGHLY PATHOGENIC AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N ISOLAT UNGGAS AIR ABSTRACT Avian influenza viruses (AIV) subtype H5N isolated from waterfowls in West Java pose the

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

19/10/2016. The Central Dogma

19/10/2016. The Central Dogma TRANSKRIPSI dr.syazili Mustofa M.Biomed DEPARTEMEN BIOKIMIA DAN BIOLOGI MOLEKULER FK UNILA The Central Dogma 1 The Central Dogma TRANSKRIPSI Transkripsi: Proses penyalinan kode-kode genetik yang ada pada

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA

TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA Oleh: Gregorius Widodo Adhi Prasetyo A2A015009 KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM

Lebih terperinci

REVERSE TRANSKRIPSI. RESUME UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Genetika I Yang dibina oleh Prof. Dr. A. Duran Corebima, M.Pd. Oleh

REVERSE TRANSKRIPSI. RESUME UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Genetika I Yang dibina oleh Prof. Dr. A. Duran Corebima, M.Pd. Oleh REVERSE TRANSKRIPSI RESUME UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Genetika I Yang dibina oleh Prof. Dr. A. Duran Corebima, M.Pd Oleh UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN

Lebih terperinci

B. KARAKTERISTIK VIRUS

B. KARAKTERISTIK VIRUS BAB 9 V I R U S A. PENDAHULUAN Virus merupakan elemen genetik yang mengandung salah satu DNA atau RNA yang dapat berada dalam dua kondisi yang berbeda, yaitu secara intraseluler dan ekstrseluler. Dalam

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR...... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... ABSTRACT... PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang...

Lebih terperinci

AKTIVITAS GEN DAN PENGATURANNYA: SINTESIS PROTEIN. dr. Arfianti, M.Biomed, M.Sc

AKTIVITAS GEN DAN PENGATURANNYA: SINTESIS PROTEIN. dr. Arfianti, M.Biomed, M.Sc AKTIVITAS GEN DAN PENGATURANNYA: SINTESIS PROTEIN dr. Arfianti, M.Biomed, M.Sc Protein Working molecules of the cells Action and properties of cells Encoded by genes Gene: Unit of DNA that contain information

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan epidemiologi Avian Influenza

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan epidemiologi Avian Influenza BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan epidemiologi Avian Influenza Avian Influenza adalah penyakit infeksi pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza strain tipe A. Penyakit yang pertama diidentifikasi

Lebih terperinci

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. BIO210 Mikrobiologi Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. Kuliah 10. GENETIKA MIKROBA Genetika Kajian tentang hereditas: 1. Pemindahan/pewarisan sifat dari orang tua ke anak. 2. Ekspresi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur . Sistem Kekebalan pada Ayam

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur . Sistem Kekebalan pada Ayam 4 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Ayam peliharaan merupakan hasil domestikasi dari ayam hutan yang ditangkap dan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii I. Pendahuluan...1 II. Tinjauan Pustaka...4 III. Kesimpulan...10 DAFTAR PUSTAKA...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii I. Pendahuluan...1 II. Tinjauan Pustaka...4 III. Kesimpulan...10 DAFTAR PUSTAKA... DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii I. Pendahuluan...1 II. Tinjauan Pustaka...4 III. Kesimpulan...10 DAFTAR PUSTAKA...11 I. PENDAHULUAN Latar Belakang Munculnya uniseluler dan multi seluler

Lebih terperinci

OUTLINE PENDAHULUAN CIRI-CIRI VIRUS STRUKTUR SEL VIRUS BENTUK VIRUS SISTEM REPRODUKSI VIRUS PERANAN VIRUS

OUTLINE PENDAHULUAN CIRI-CIRI VIRUS STRUKTUR SEL VIRUS BENTUK VIRUS SISTEM REPRODUKSI VIRUS PERANAN VIRUS VIRUS FIRMAN JAYA OUTLINE PENDAHULUAN CIRI-CIRI VIRUS STRUKTUR SEL VIRUS BENTUK VIRUS SISTEM REPRODUKSI VIRUS PERANAN VIRUS PENDAHULUAN Metaorganisme (antara benda hidup atau benda mati) Ukuran kecil :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). Penyakit ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama kesehatan global. World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Virus Influenza merupakan virus RNA yang termasuk dalam famili orthomyxoviridae, yang dapat menginfeksi unggas, mamalia dan manusia (Nidom, 2005). Berbeda dengan virus

Lebih terperinci

MODUL 2 DASAR DASAR FLU BURUNG, PANDEMI INFLUENZA DAN FASE FASE PANDEMI INFLUENZA MENURUT WHO

MODUL 2 DASAR DASAR FLU BURUNG, PANDEMI INFLUENZA DAN FASE FASE PANDEMI INFLUENZA MENURUT WHO MODUL 2 DASAR DASAR FLU BURUNG, PANDEMI INFLUENZA DAN FASE FASE PANDEMI INFLUENZA MENURUT WHO DepKes RI 2007 Tujuan Pembelajaran Tujuan Pembelajaran Umum : Dapat menjelaskan dasar dasar Flu Burung, pandemi

Lebih terperinci

Bimbingan Olimpiade SMA. Paramita Cahyaningrum Kuswandi ( FMIPA UNY 2012

Bimbingan Olimpiade SMA. Paramita Cahyaningrum Kuswandi (  FMIPA UNY 2012 Bimbingan Olimpiade SMA Paramita Cahyaningrum Kuswandi (email : paramita@uny.ac.id) FMIPA UNY 2012 Genetika : ilmu yang memperlajari tentang pewarisan sifat (hereditas = heredity) Ilmu genetika mulai berkembang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Avian influenza (AI) dan Newcastle disease (ND) adalah penyakit

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Avian influenza (AI) dan Newcastle disease (ND) adalah penyakit PENDAHULUAN Latar Belakang Avian influenza (AI) dan Newcastle disease (ND) adalah penyakit pernafasan pada unggas dan termasuk list A Office International des Epizooties (OIE) sebagai penyakit yang sangat

Lebih terperinci

Termasuk ke dalam retrovirus : famili flaviviridae dan genus hepacivirus. Virus RNA, terdiri dari 6 genotip dan banyak subtipenya

Termasuk ke dalam retrovirus : famili flaviviridae dan genus hepacivirus. Virus RNA, terdiri dari 6 genotip dan banyak subtipenya Felix Johanes 10407004 Rahma Tejawati Maryama 10407017 Astri Elia 10407025 Noor Azizah Ba diedha 10407039 Amalina Ghaisani K.10507094 Febrina Meutia 10507039 Anggayudha A. Rasa 10507094 Termasuk ke dalam

Lebih terperinci

Wahai Burungku, Ada Apa Denganmu (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi)

Wahai Burungku, Ada Apa Denganmu (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) Wahai Burungku, Ada Apa Denganmu (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : MEDIA INDONESIA Edisi 27 Pebruari 2006) Flu burung, penyakit yang ditulari hewan ke manusia akis

Lebih terperinci

PERBEDAAN SEL EUKARIOTIK DAN PROKARIOTIK

PERBEDAAN SEL EUKARIOTIK DAN PROKARIOTIK PERBEDAAN SEL EUKARIOTIK DAN PROKARIOTIK EDITOR : VENNA AGATHA DESTRIANASARI NIM : G1C015011 PROGRAM STUDI DIV ANALIS KESEHATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan wabah dan menyebabkan kematian. Dalam kurun waktu 50 tahun

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan wabah dan menyebabkan kematian. Dalam kurun waktu 50 tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit menular yang sering menimbulkan wabah dan menyebabkan kematian. Dalam kurun waktu 50 tahun kasus dengue di dunia meningkat

Lebih terperinci

Virus baru : Coronavirus dan Penyakit SARS

Virus baru : Coronavirus dan Penyakit SARS Virus baru : Coronavirus dan Penyakit SARS 23 Apr 2003 Kasus sindrom pernapasan akut parah, atau lebih dikenal dengan SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) masih menempatkan berita utama di sebagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hepatitis B 2.1.1 Etiologi Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (HBV). HBV merupakan famili Hepanadviridae yang dapat menginfeksi manusia.

Lebih terperinci

Pengertian TEKNOLOGI DNA REKOMBINAN. Cloning DNA. Proses rekayasa genetik pada prokariot. Pemuliaan tanaman konvensional: TeknologiDNA rekombinan:

Pengertian TEKNOLOGI DNA REKOMBINAN. Cloning DNA. Proses rekayasa genetik pada prokariot. Pemuliaan tanaman konvensional: TeknologiDNA rekombinan: Materi Kuliah Bioteknologi Pertanian Prodi Agroteknologi Pertemuan Ke 9-10 TEKNOLOGI DNA REKOMBINAN Ir. Sri Sumarsih, MP. Email: Sumarsih_03@yahoo.com Weblog: Sumarsih07.wordpress.com Website: agriculture.upnyk.ac.id

Lebih terperinci

REKAYASA GENETIKA. By: Ace Baehaki, S.Pi, M.Si

REKAYASA GENETIKA. By: Ace Baehaki, S.Pi, M.Si REKAYASA GENETIKA By: Ace Baehaki, S.Pi, M.Si Dalam rekayasa genetika DNA dan RNA DNA (deoxyribonucleic Acid) : penyimpan informasi genetika Informasi melambangkan suatu keteraturan kebalikan dari entropi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C.

BAB 1 PENDAHULUAN. Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Influenza merupakan penyakit saluran pernafasan akut yang di sebabkan infeksi Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C. Penyakit

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekologi Avian Influenza

TINJAUAN PUSTAKA. Ekologi Avian Influenza 4 TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Avian Influenza Virus influenza adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau bulat panjang, merupakan genom RNA rantai tunggal dengan 8 segmen, serta berpolaritas negatif.

Lebih terperinci

Kasus Penderita Diabetes

Kasus Penderita Diabetes Kasus Penderita Diabetes Recombinant Human Insulin Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Sejak Banting & Best menemukan hormon Insulin pada tahun 1921, pasien diabetes yang mengalami peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masalah kesehatan masyarakat yang utama di dunia. Mycobacterium tuberculosis,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masalah kesehatan masyarakat yang utama di dunia. Mycobacterium tuberculosis, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di dunia. Mycobacterium tuberculosis, agen penyebab TB yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Virus Influenza Tipe A

TINJAUAN PUSTAKA Virus Influenza Tipe A TINJAUAN PUSTAKA Virus Influenza Tipe A Penyakit Avian Influensa (AI) disebabkan oleh virus influensa tipe A yang merupakan virus RNA dari famili Orthomyxoviridae dengan genus Orthomyxovirus. Berbentuk

Lebih terperinci

ketebalan yang berbeda-beda dan kadang sangat sulit ditemukan dengan mikroskop. Namun, ada bukti secara kimiawi bahwa lamina inti benar-benar ada di

ketebalan yang berbeda-beda dan kadang sangat sulit ditemukan dengan mikroskop. Namun, ada bukti secara kimiawi bahwa lamina inti benar-benar ada di Membran Inti Inti sel atau nukleus sel adalah organel yang ditemukan pada sel eukariotik. Organel ini mengandung sebagian besar materi genetik sel dengan bentuk molekul DNA linear panjang yang membentuk

Lebih terperinci

Proses Penyakit Menular

Proses Penyakit Menular Proses Penyakit Menular Bagaimana penyakit berkembang? Spektrum penyakit Penyakit Subklinis (secara klinis tidak tampak) Terinfeksi tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit; biasanya terjadi perubahan

Lebih terperinci

Kromosom, gen,dna, sinthesis protein dan regulasi

Kromosom, gen,dna, sinthesis protein dan regulasi Kromosom, gen,dna, sinthesis protein dan regulasi Oleh: Fatchiyah dan Estri Laras Arumingtyas Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Universitas Brawijaya Malang 2006 2.1.Pendahuluan Era penemuan materi

Lebih terperinci

FLU BURUNG. HA (Hemagglutinin) NA (Neoraminidase) Virus Flu Burung. Virus A1. 9 Sub type NA 15 Sub type HA. 3 Jenis Bakteri 1 Jenis Parasit

FLU BURUNG. HA (Hemagglutinin) NA (Neoraminidase) Virus Flu Burung. Virus A1. 9 Sub type NA 15 Sub type HA. 3 Jenis Bakteri 1 Jenis Parasit Penyakit influensa pada unggas (Avian Influenza/A1) yang saat ini kita kenal dengan sebutan flu burung adalah penyakit yang disebabkan oleh virus influensa tipe A dari Family Orthomyxomiridae. Virus ini

Lebih terperinci

Penyakit tersebut umumnya disebabkan oleh infeksi virus Human. merupakan virus RNA untai tunggal, termasuk dalam famili Retroviridae, sub

Penyakit tersebut umumnya disebabkan oleh infeksi virus Human. merupakan virus RNA untai tunggal, termasuk dalam famili Retroviridae, sub BAB I PENDAHULUAN Virus Human Immunodeficiency (HIV) merupakan virus penyebab peyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) (Mareuil dkk. 2005: 1). Penyakit tersebut umumnya disebabkan oleh infeksi

Lebih terperinci

Sintesa protein (ekspresi gen)

Sintesa protein (ekspresi gen) 1. SINTESA PROTEIN Sintesa protein (ekspresi gen) Merupakan proses dimana DNA mengekspresikan gen nya Secara umum melibatkan dua tahap yaitu TRANSKRIPSI dan TRANSLASI Pada eukaryot, pengendalian ekspresi

Lebih terperinci

TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS

TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS BAB 2 TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS 2.1 Pengenalan Singkat HIV dan AIDS Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, HIV adalah virus penyebab AIDS. Kasus pertama AIDS ditemukan pada tahun 1981. HIV

Lebih terperinci

EKSPRESI GEN. Dyah Ayu Widyastuti

EKSPRESI GEN. Dyah Ayu Widyastuti EKSPRESI GEN Dyah Ayu Widyastuti Ekspresi Gen Gen sekuen DNA dengan panjang minimum tertentu yang mengkode urutan lengkap asam amino suatu polipeptida, atau RNA (mrna, trna, rrna) Ekspresi Gen Enam tahapan

Lebih terperinci

VIRULENSI DAN TRANSMISI VIRUS INFLUENZA A PADA MANUSIA, HEWAN MAMALIA DAN UNGGAS

VIRULENSI DAN TRANSMISI VIRUS INFLUENZA A PADA MANUSIA, HEWAN MAMALIA DAN UNGGAS ARTIKEL VIRULENSI DAN TRANSMISI VIRUS INFLUENZA A PADA MANUSIA, HEWAN MAMALIA DAN UNGGAS Vivi Setiawaty* Peneliti Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Balitbangkes, Jl. Percetakan Negara No. 29,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif, dan membentuk spora merupakan agen etiologik penyakit antraks yang

BAB I PENDAHULUAN. positif, dan membentuk spora merupakan agen etiologik penyakit antraks yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kuman Bacillus anthracisa dalah bakteri berbentuk batang, bersifat Gram positif, dan membentuk spora merupakan agen etiologik penyakit antraks yang fatal bagi hewan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Salah Satu Manajemen Perkandangan pada Peternakan Ayam Broiler.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Salah Satu Manajemen Perkandangan pada Peternakan Ayam Broiler. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peternakan Ayam Broiler Ayam ras pedaging disebut juga broiler, yang merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

BIOTEKNOLOGI. Struktur dan Komponen Sel

BIOTEKNOLOGI. Struktur dan Komponen Sel BIOTEKNOLOGI Struktur dan Gambar Apakah Ini dan Apakah Perbedaannya? Perbedaan dari gambar diatas organisme Hidup ular organisme Hidup Non ular Memiliki satuan (unit) dasar berupa sel Contoh : bakteri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri patogen penyebab tuberkulosis.

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri patogen penyebab tuberkulosis. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri patogen penyebab tuberkulosis. Secara umum penyebaran bakteri ini melalui inhalasi, yaitu udara yang tercemar oleh penderita

Lebih terperinci

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis KATAPENGANTAR Fuji syukut ke Hadirat Allah SWT. berkat rahmat dan izin-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang beijudul "Skrining Bakteri Vibrio sp Penyebab Penyakit Udang Berbasis Teknik Sekuens

Lebih terperinci

REKAYASA GENETIKA. Genetika. Rekayasa. Sukarti Moeljopawiro. Laboratorium Biokimia Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada

REKAYASA GENETIKA. Genetika. Rekayasa. Sukarti Moeljopawiro. Laboratorium Biokimia Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada REKAYASA GENETIKA Sukarti Moeljopawiro Laboratorium Biokimia Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Rekayasa Genetika REKAYASA GENETIKA Teknik untuk menghasilkan molekul DNA yang berisi gen baru yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sejak tahun 1972 telah berkembang usaha rekayasa genetika yang memberikan harapan bagi industri peternakan, baik yang berkaitan dengan masalah reproduksi, pakan maupun kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Suhartini dan Nur 2005 dalam Granada 2011),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rotavirus merupakan penyebab diare berat pada anak berumur kurang

BAB I PENDAHULUAN. Rotavirus merupakan penyebab diare berat pada anak berumur kurang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rotavirus merupakan penyebab diare berat pada anak berumur kurang dari 5 tahun (balita) di negara maju dan negara berkembang. Virus ini menginfeksi anak pada awal kehidupannya.

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Detection of Antibody Against Avian Influenza Virus on Native Chickens in Local Farmer of Palangka

Lebih terperinci

Tinjauan Mengenai Flu Burung

Tinjauan Mengenai Flu Burung Bab 2 Tinjauan Mengenai Flu Burung 2.1 Wabah Wabah adalah istilah umum baik untuk menyebut kejadian tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang, maupun untuk menyebut penyakit yang

Lebih terperinci

KLONING. dari kata clone yang diturunkan dari bahasa Yunani klon, artinya potongan yang digunakan untuk memperbanyak tanaman.

KLONING. dari kata clone yang diturunkan dari bahasa Yunani klon, artinya potongan yang digunakan untuk memperbanyak tanaman. KLONING dari kata clone yang diturunkan dari bahasa Yunani klon, artinya potongan yang digunakan untuk memperbanyak tanaman. DI BID PERTANIAN KLON = sekelompok individu yang genetis uniform berasal dari

Lebih terperinci

Makalah Biokimia Komponen Penyusun Sel Tumbuhan NUKLEUS. Oleh :

Makalah Biokimia Komponen Penyusun Sel Tumbuhan NUKLEUS. Oleh : Makalah Biokimia Komponen Penyusun Sel Tumbuhan NUKLEUS Oleh : Nama : Sherly Febrianty Surya Nim : G111 16 016 Kelas : Biokimia Tanaman C Dosen Pembimbing : DR. Ir. Muh. Riadi, MP. PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengue. Virus dengue ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti. Infeksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. dengue. Virus dengue ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti. Infeksi dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Demam berdarah adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti. Infeksi dengan satu atau lebih virus

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.2 Deteksi Avian Influenza

5. PEMBAHASAN 5.2 Deteksi Avian Influenza 29 5. PEMBAHASAN 5.2 Deteksi Avian Influenza Virus influenza A memiliki keragaman genetik yang tinggi dan tersebar pada berbagai spesies unggas liar di seluruh dunia. Pada studi yang dilakukan di Pasar

Lebih terperinci

1. ASPEK BIOLOGI MORFOLOGI VIRUS EBOLA:

1. ASPEK BIOLOGI MORFOLOGI VIRUS EBOLA: Virus Ebola menyebabkan demam hemorrhagic. Semenjak dikenal tahun 1976, Virus Ebola menyebabkan penyakit yang fatal pada manusia maupun binatang primata (monyet, gorila dan simpanse). Dinamakan Virus Ebola

Lebih terperinci

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING 1 I Gst Ayu Agung Suartini(38) FKH - Universitas Udayana E-mail: gaa.suartini@gmail.com Tlf : 081282797188 Deskripsi IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Virus Influenza A

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Virus Influenza A 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Virus Influenza A Virus influenza penyebab penyakit flu adalah virus anggota famili Orthomyxoviridae (Boyce et al. 2009). Famili Orthomyxoviridae terdiri atas lima genus yaitu

Lebih terperinci

VIRUS. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Mikrobiologi Dosen Pengampu: Nur Siyam S,KM

VIRUS. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Mikrobiologi Dosen Pengampu: Nur Siyam S,KM VIRUS Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Mikrobiologi Dosen Pengampu: Nur Siyam S,KM Disusun oleh : Nimas Dwi Ayu R (6411413126 / Rombel 5) Saraswati Windyastuti (6411413129 / Rombel

Lebih terperinci

STRUKTUR, MORFOLOGI, DAN KLASIFIKASI VIRUS. Morfologi dan komponen virus

STRUKTUR, MORFOLOGI, DAN KLASIFIKASI VIRUS. Morfologi dan komponen virus STRUKTUR, MORFOLOGI, DAN KLASIFIKASI VIRUS Morfologi dan komponen virus Virus merupakan mikroorganisme terkecil yang pernah dikenal. Umumnya tidak dapat dilihat dengan mikroskop biasa, kecuali poxvirus.

Lebih terperinci

BIOTEKNOLOGI. Perubahan Genetik, Replikasi DNA, dan Ekspresi Gen

BIOTEKNOLOGI. Perubahan Genetik, Replikasi DNA, dan Ekspresi Gen BIOTEKNOLOGI Perubahan Genetik, Replikasi DNA, dan Ekspresi Gen Sekilas tentang Gen dan Kromosom 1882, Walther Flemming menemukan kromosom adalah bagian dari sel yang ditemukan oleh Mendel 1887, Edouard-Joseph-Louis-Marie

Lebih terperinci

MAKALAH KLASIFIKASI VIRUS BALTIMORE DI AJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH MIKROBIOLOGI

MAKALAH KLASIFIKASI VIRUS BALTIMORE DI AJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH MIKROBIOLOGI MAKALAH KLASIFIKASI VIRUS BALTIMORE DI AJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH MIKROBIOLOGI Oleh : Kelompok 10 Puji Lestari NIM 12304241004 Ahmad Saiful Abid NIM 12304241006 Susan Pramitasari NIM 12304241007

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat negara kita baru mulai bangkit dari krisis, baik krisis ekonomi, hukum dan kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan,

Lebih terperinci

Rangkaian Ekspresi Gen

Rangkaian Ekspresi Gen TRANSKRIPSI Ekspresi Gen Gen berekspresi dengan cara mengendalikan. sifat organisme Pengendalian dilakukan melalui pembentukan enzim/protein yang berperan dalam proses metabolisme Pengendalian pembentukan

Lebih terperinci

EKSPRESI GEN 3. Ani Retno Prijanti FKUI 2010

EKSPRESI GEN 3. Ani Retno Prijanti FKUI 2010 EKSPRESI GEN 3 Ani Retno Prijanti FKUI 2010 Regulasi Ekspresi Gen Ekspresi gen, adl produksi suatu produk RNA dari suatu gen tertentu yg dikontrol oleh mekanisme yg kompleks. Secara normal hanya sebagian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang berada di sana.

Lebih terperinci

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28.

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28. 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap semua kelompok ayam sebelum vaksinasi menunjukan bahwa ayam yang digunakan memiliki antibodi terhadap IBD cukup tinggi dan seragam dengan titer antara

Lebih terperinci

BIO306. Prinsip Bioteknologi

BIO306. Prinsip Bioteknologi BIO306 Prinsip Bioteknologi KULIAH 6. TEKNIK DASAR KLONING Percobaan pertama penggabungan fragmen DNA secara in vitro dilakukan sekitar 30 tahun yang lalu oleh Jackson et al. (1972). Melakukan penyisipan

Lebih terperinci

DETEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA (H5N1) PADA UNGGAS AIR DI PROPINSI LAMPUNG DENGAN UJI HAEMAGGLUTINATION INHIBITION

DETEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA (H5N1) PADA UNGGAS AIR DI PROPINSI LAMPUNG DENGAN UJI HAEMAGGLUTINATION INHIBITION 1 DETEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA (H5N1) PADA UNGGAS AIR DI PROPINSI LAMPUNG DENGAN UJI HAEMAGGLUTINATION INHIBITION (HI) DAN REVERSE TRANSCRIPTASE-POLYMERASE CHAIN REACTION (RT-PCR) DWI DESMIYENI PUTRI

Lebih terperinci

XII. Pengaturan Expresi Gen (Regulation of Gene Expression) Diambil dari Campbell et al (2009), Biology 8th

XII. Pengaturan Expresi Gen (Regulation of Gene Expression) Diambil dari Campbell et al (2009), Biology 8th 21/24 November 2011 Tatap Muka 9: Heredity IV XII. Pengaturan Expresi Gen (Regulation of Gene Expression) Diambil dari Campbell et al (2009), Biology 8th Sel secara tepat mampu mengatur ekspresi gen. Sel

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PATOGENESITAS VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 ISOLAT UNGGAS AIR BERDASARKAN SEKUEN ASAM AMINO BAGIAN CLEAVAGE SITE HEMAGLUTININ

IDENTIFIKASI PATOGENESITAS VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 ISOLAT UNGGAS AIR BERDASARKAN SEKUEN ASAM AMINO BAGIAN CLEAVAGE SITE HEMAGLUTININ IDENTIFIKASI PATOGENESITAS VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 ISOLAT UNGGAS AIR BERDASARKAN SEKUEN ASAM AMINO BAGIAN CLEAVAGE SITE HEMAGLUTININ ABSTRACT Identification of pathotype of Avian Influenza Virus

Lebih terperinci

FLU BURUNG AVIAN FLU BIRD FLU. RUSDIDJAS, RAFITA RAMAYATI dan OKE RINA RAMAYANI

FLU BURUNG AVIAN FLU BIRD FLU. RUSDIDJAS, RAFITA RAMAYATI dan OKE RINA RAMAYANI FLU BURUNG AVIAN FLU AVIAN INFLUENZA BIRD FLU RUSDIDJAS, RAFITA RAMAYATI dan OKE RINA RAMAYANI VIRUS INFLUENZA Virus famili orthomyxoviridae Tipe A,B,C Virus A dan B penyebab wabah pada manusia Virus C

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER Sunaryati Sudigdoadi Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2015 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah Subhanahuwa ta

Lebih terperinci

URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan

URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan sekuen non kode (sekuen yang tidak mengalami sintesis

Lebih terperinci

BIO306. Prinsip Bioteknologi

BIO306. Prinsip Bioteknologi BIO306 Prinsip Bioteknologi KULIAH 7. PUSTAKA GENOM DAN ANALISIS JENIS DNA Konstruksi Pustaka DNA Pustaka gen merupakan sumber utama isolasi gen spesifik atau fragmen gen. Koleksi klon rekombinan dari

Lebih terperinci

REGULASI EKSPRESI GEN PADA ORGANISME EUKARYOT

REGULASI EKSPRESI GEN PADA ORGANISME EUKARYOT REGULASI EKSPRESI GEN PADA ORGANISME EUKARYOT Morfologi dan fungsi berbagai tipe sel organisme tingkat tinggi berbeda, misalnya: neuron mamalia berbeda dengan limfosit, tetapi genomnya sama Difenrensiasi

Lebih terperinci

OLeh: Bella Swandayani Sutrisno KeLas B

OLeh: Bella Swandayani Sutrisno KeLas B OLeh: Bella Swandayani Sutrisno 07-8114-058 KeLas B SEJARAH Orthomyxoviruses pertama kali ditemukan di babi oleh Richard Schope di 1931. Ini ditemukan pertama kali diikuti oleh isolasi virus dari manusia

Lebih terperinci