PEMANFAATAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS ALKOHOL LEMAK DARI MINYAK KELAPA (C 12 ) DAN PATI SAGU SEBAGAI SURFAKTAN DALAM FORMULASI HERBISIDA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMANFAATAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS ALKOHOL LEMAK DARI MINYAK KELAPA (C 12 ) DAN PATI SAGU SEBAGAI SURFAKTAN DALAM FORMULASI HERBISIDA"

Transkripsi

1 PEMANFAATAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS ALKOHOL LEMAK DARI MINYAK KELAPA (C 12 ) DAN PATI SAGU SEBAGAI SURFAKTAN DALAM FORMULASI HERBISIDA Oleh: D A R T O F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 PEMANFAATAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS ALKOHOL LEMAK DARI MINYAK KELAPA (C 12 ) DAN PATI SAGU SEBAGAI SURFAKTAN DALAM FORMULASI HERBISIDA SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: D A R T O F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

3 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PEMANFAATAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS ALKOHOL LEMAK DARI MINYAK KELAPA (C 12 ) DAN PATI SAGU SEBAGAI SURFAKTAN DALAM FORMULASI HERBISIDA SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: D A R T O F Dilahirkan di Brebes, 1 Agustus 1986 Tanggal lulus: Agustus 2008 Menyetujui, Bogor, Agustus 2008 Dr. Dr. Ir. Ir. Ani Ani Suryani, Suryani, DEA. DEA. Pembimbing Pembimbing Akademik I I Dr. Dr. Ir. Dadang, Ir. Dadang, M.Sc. M.Sc Pembimbing II

4 Darto. F Pemanfaatan Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Alkohol Lemak dari Minyak Kelapa (C 12 ) dan Pati Sagu sebagai Surfaktan dalam Formulasi Herbisida. Di bawah bimbingan Ani Suryani dan Dadang. RINGKASAN Kegiatan pertanian di Indonesia dilakukan dengan sistem intensifikasi dan ekstensifikasi untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk pertaniannya. Salah satu contoh sistem intensifikasi pertanian adalah penggunaan pestisida. Herbisida merupakan pestisida yang digunakan untuk mengendalikan gulma atau tanaman pengganggu. Selain bahan aktif, herbisida juga membutuhkan komponen lain seperti surfaktan untuk meningkatkan efektivitasnya. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan herbisida, sehingga semprotan herbisida tersebar lebih merata pada permukaan daun. Alkil Poliglikosida (APG) merupakan surfaktan nonionik yang biasa digunakan dalam formulasi herbisida. APG adalah surfaktan yang disintesis dari alkohol lemak dari minyak kelapa (C 12 ) dan pati sagu. Peluang untuk mengembangkan APG di Indonesia sangat besar karena kelapa dan sagu sebagai bahan baku APG cukup tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja APG sebagai surfaktan dalam formulasi herbisida dan mendapatkan formulasi herbisida terbaik ditinjau dari kestabilan formulasi, daya tahan simpan, tegangan permukaan, dan efektivitas formulasi sebagai herbisida. Penelitian pendahuluannya yaitu proses produksi APG dan penelitian utama adalah formulasi herbisida dengan menggunakan bahan aktif glifosat dan APG sebagai surfaktan. Rancangan percobaan dalam formulasi herbisida adalah rancangan acak lengkap dengan 2 faktor dan dua kali ulangan. Perlakuan yang digunakan yaitu konsentrasi glifosat (16%, 24%, dan 48%) dan konsentrasi APG (4%, 6%, 8%, dan 10%). Formulasi kemudian diuji kestabilan, daya tahan simpan, tegangan permukaan dan efektivitasnya meliputi daya berantas, persentase penutupan gulma (PPG) dan bobot kering gulma (BKG). Karakteristik APG meliputi tegangan permukaan, tegangan antarmuka, dan HLB (Hidrofil Lipofil Balance). Hasil pengukuran pada konsentrasi 0,4% (b/v), tegangan permukaan 26,16 dyne/cm dan tegangan antarmuka 8,17 dyne/cm. APG ini mempunyai nilai HLB 8,25 yang menurut konsep Griffin berarti berjenis emulsi minyak dalam air (O/W) dan dapat diaplikasikan sebagai wetting agent. Hasil formulasi, herbisida memiliki kestabilan berkisar antara 68,46% 99,23%. Selama penyimpanan 5 minggu, relatif tidak terjadi perubahan nilai kestabilan, tegangan permukaan, dan ph. Penggunaan APG dapat menurunkan tegangan permukaan herbisida hingga sekitar 30 dyne/cm atau lebih dari 50%. Tegangan permukaan formulasi herbisida berkisar antara 27,63 29,25 dyne/cm, nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan herbisida komersial. Semakin lama waktu pengamatan, nilai PPG dan BKG akan semakin rendah. Analisis PPG dan BKG, memberikan hasil yang tidak berbeda nyata antara herbisida hasil formulasi dengan herbisida komersial. APG dapat digunakan untuk formulasi herbisida dan dapat menurunkan tegangan permukaan herbisida hingga 50%. Formulasi herbisida mempunyai efektivitas yang setara dengan glifosat komersial dalam mengendalikan gulma. Formulasi terbaik adalah perlakuan konsentrasi glifosat 48% dan konsentrasi APG 6%. Formulasi ini memiliki kestabilan 98,46%, tegangan permukaan 28,13 28,44 dyne/cm, efektivitas setara dengan glifosat komersial 48%, daya berantas baik, persentase penutupan gulma yang relatif rendah, dan bobot kering gulma paling rendah dibandingkan formula lainnya.

5 Darto. F The Utilization of Alkyl Polyglycosides (APG) Based on Fatty Alcohol of Coconut Oil (C 12 ) and Sago Starch as A Surfactant in Herbicide Formulation. Supervised by Ani Suryani and Dadang. SUMMARY Intensification and extensification are adapted in Indonesian agriculture activity to improve the quantity and quality of the products. The used pesticides is one of intensification agriculture systems. Herbicide is a pesticide that used to control weeds. Besides of active ingredient, herbicide also need the others components such as surfactant to improving the effectiveness. Surfactant can reduce surface tension of herbicide, so herbicide droplets can be spread evenly on leaf surface. Alkyl polyglycosides (APG) are nonionic surfactant that usually used in herbicide formulation. APG is surfactant which is synthesized from fatty alcohol of coconut oil (C 12 ) and sago starch. There is a big opportunity develop APG in Indonesian because coconut and sago, that a as raw materials are available in large amount. This purpose of the research are to identify the performance of APG as surfactant in herbicide formulation and to get the best herbicide formulation, related to stability of formulation, the prosperity to reduce surface tension, and the effectiveness formulation as herbicide. The preface research is the APG production process and the main research is the formulation of herbicide using active ingredient such as glyphosate and APG as surfactant. The experiment design in herbicide formulation is completely random design with 2 factors and twice of repetition. Used the treatments are glyphosate concentrations (16%, 24%, and 48%) and APG concentrations (4%, 6%, 8%, and 10%). After that, the formulations are examined the stability, its surface tension, and the effectiveness contains of exterminate ability, percentage of weeds cover (PWC), and dry weight of weeds (DWW). The characteristics of APG consist of surface tension, interface tension, and HLB (Hidrofil Lipofil Balance). The measurement in 0,4% concentration (b/v), the surface tension is 26,26 dyne/cm and the interface tension is 8,17 dyne/cm. This APG has HLB value 8,25 that is accorded to Griffin concept means the type of emulsion is oil in water (O/W) and it can be applied as wetting agent. The result of formulation, herbicide has stability in range 68,46% 99,23%. During the storage in 5 weeks, in relatively it was not happen the change of stability value, surface tension, and ph. APG usage can reduce surface tension of herbicide about 30 dyne/cm or more than 50%. The surface tension of herbicide formulation about 27,63 29,25 dyne/cm, this value is lower than commercial herbicide. The longer time of observation, the PWC and DWW value will decrease. The analysis of PWC and DWW showed no significantly different between herbicide that is resulted from those commercial herbicide. APG can be used to formulate herbicide and can reduce surface tension of herbicide until 50%. Herbicide formulation has effectiveness the same as commercial glyphosate in controlling weeds. The best formulation is treatment with 48% glyphosate concentration and 6% APG concentration. This formulation has stability 98,46%, surface tension 28,13 28,44 dyne/cm, the effectiveness the same as commercial glyphosate 48%, exterminate ability is good, percentage of weeds cover is lower, and dry weight of weeds is the lowest if we compare it with other formulation.

6 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul Pemanfaatan Alkil Poliglikosoda (APG) Berbasis Alkohol Lemak dari Minyak Kelapa (C 12 ) dan Pati Sagu sebagai Surfaktan dalam Formulasi Herbisida adalah hasil karya saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2008 D a r t o F

7 RIWAYAT PENULIS Darto dilahirkan di Brebes pada tanggal 1 Agustus 1986, merupakan anak ketiga dari pasangan bapak Kasim dan ibu Sinah. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Luwunggede II, kemudian melanjutkan pendidikan menengah di SLTP Negeri 2 Ketanggungan dan lulus tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 2 Brebes dan lulus tahun Melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI IPB), penulis diterima masuk di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan pengembangan potensi diri seperti pelatihan, seminar dan organisasi baik yang ada di dalam dan luar kampus. Organisasi yang pernah diikuti adalah Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Brebes (KPMDB Bogor) sebagai kepala Departemen Informasi dan Komunikasi pada tahun 2005 dan Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (Himalogin) sebagai staf Departemen Profesi periode 2006/2007. Pada bulan Juli sampai Agustus tahun 2007, penulis melaksanakan praktek lapang di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS), Bandung dengan judul laporan praktek lapang Proses Produksi Susu Pasteurisasi di Milk Treatment Koperasi Peternakan Bandung Selatan (MT KPBS) Pangalengan, Bandung. Tahun 2008 penulis melaksanakan penelitian di Laboratorium Teknik Kimia dan LDIT Departemen Teknologi Industri Pertanian serta di Lahan Percobaan Leuwikopo Departemen Teknik Pertanian dengan judul Pemanfaatan Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Alkohol Lemak dari Minyak Kelapa (C 12 ) dan Pati Sagu sebagai Surfaktan dalam Formulasi Herbisida.

8 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya hingga penulis dapat menyelesaikan laporan akhir yang berjudul: Pemanfaatan Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Alkohol Lemak dari Minyak Kelapa (C 12 ) dan Pati Sagu sebagai Surfaktan dalam Formulasi Herbisida. Semoga skripsi ini bisa menambah wawasan kita mengenai surfaktan dan aplikasinya serta tentang herbisida dan ilmu gulma. Alkil Poliglikosida (APG) mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan, mengingat sumber bahan baku alami di Indonesia masih melimpah, potensi pasar terbuka lebar dan surfaktan APG ini ramah bersifat lingkungan. Selain itu Indonesia masih belum bisa mencukupi kebutuhan surfaktan dalam negeri. Salah satu pemanfaatan APG adalah dalam formulasi herbisida, surfaktan ini dapat membantu meningkatkan afektivitas bahan aktif dalam mengendalikan gulma. Herbisida masih dibutuhkan dalam kegiatan pertanian di Indonesia untuk meningkatkan produktivitas pertaniannya dan pasar herbisida di Indonesia juga cukup besar. Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada Dr. Ani Suryani dan Dr. Dadang yang telah membimbing dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Agus atas diskusi tentang ilmu gulma, Bapak Rusmanto yang telah menyediakan bahan aktif dan Bapak Gatot atas ijin penggunaan lahan percobaan Leuwikopo. Segala bentuk kritik dan saran sangat kami harapkan agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik. Demikian, semoga penyusunan skripsi ini bisa bermanfaat bagi kami khususunya dan rekan-rekan pembaca pada umumnya. Amin... Bogor, Agustus 2008 Penulis

9 UCAPAN TERIMAKASIH Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih yang tulus kepada: 1. Ibu dan Bapak yang telah memberikan dorongan dan motivasi bagi penulis, serta kakak-kakaku Dewi, Tasli, dan keponakan Puput. Terima kasih atas doa, cinta dan perhatian yang penulis rasakan hingga saat ini. 2. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA. selaku dosen pembimbing I yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama kuliah hingga penyusunan skripsi. 3. Dr. Ir. Dadang, M.Sc. selaku dosen pembimbing II yang berkenan untuk mengarahkan penulis selama penelitian dan dalam penyusunan skripsi. 4. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si. selaku dosen penguji yang telah berkenan menyediakan dan meluangkan waktu kepada penulis untuk ujian skripsi. 5. Ir. Agus Sudiman Tj., MS. yang telah banyak mengajarkan kepada penulis tentang ilmu gulma. 6. Bapak Rusmanto, atas bantuannya menyediakan glifosat sebagai bahan aktif yang digunakan dalam penelitian ini. 7. Dr. Ir. Gatot Pramuhadi, M.Si. yang telah mengijinkan penulis melakukan penelitian di Laboratorium Lapang Leuwikopo. 8. Ir. Adi Salamun M.Si., Ir. M. Noerdin dan mas Agus, selaku tim APG yang selalu memberikan dorongan, saling membantu dan berbagi informasi hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 9. Ibu Ega, ibu Rini, bapak Edi, dan semua staf Departemen Teknologi Industri Pertanian lainnya yang telah bersedia membantu penulis selama penelitian. 10. Catur, Andika, Rochmat, Kosi, Hera, Afni, Nutri, Mia, Vrika, Jaelani dan Wiwid selaku teman sebimbingan akademik yang selalu berbagi baik dalam suka dan duka. 11. Zuli Rohmiati, semangat dan masa depanku. Terima kasih untuk perhatian dan dukungan selama ini.

10 12. Triple Aliance (Pepy, Nia, Depal) sahabat terbaik penulis dulu, saat ini, hingga nanti. Terima kasih untuk perhatian yang sudah diberikan sampai saat ini. Semoga persahabatan kita bisa abadi. 13. Dahi United Crew (Haekal, Kukun, Ardi, Bewo, dan Samson) atas kebersamaan, kekompakan dan keusilan selama hidup dalam 1 atap. 14. Siti, Ayi, Ivon, Kiki, Ade, Nda, fiu, Wiw, Novi, Beser, Asif, Wawan, Farid, dan keluarga TIN41 semuanya. 15. Berandalan Berprestasi (Rian, Widi, Amrun, Pamuji, Didi, Toyib, Fajar dan Fatwa) atas persahabatan dari SMA hingga sekarang ini. 16. KPMDB Bogor (Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Brebes cabang Bogor) atas kekeluargaan dan persaudaraan selama hidup di Bogor. 17. Seluruh pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah senantiasa mendukung penulis hingga saat ini.

11 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG... 1 B. TUJUAN... 3 C. RUANG LINGKUP PENELITIAN... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. ALKOHOL LEMAK... 4 B. PATI SAGU... 5 C. SURFAKTAN... 6 D. APG... 7 E. HERBISIDA III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN Penelitian Pendahuluan Penelitian Utama IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI APG B. FORMULASI HERBISIDA Kestabilan Formulasi Herbisida selama Penyimpanan 5 Minggu Tegangan Permukaan Herbisida C. APLIKASI HERBISIDA Daya Berantas Formulasi Herbisida dengan Surfaktan APG Persentase Penutupan Gulma Bobot Kering Gulma V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN B. SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 44

12 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin Tabel 2. Nilai stabilitas formulasi herbisida selama lima minggu Tabel 3. Tegangan permukaan herbisida dan ph Tabel 4. Daya berantas herbisida selama 3 MSA Tabel 5. Persentase penutupan gulma selama 3 MSA Tabel 6. Bobot kering gulma selama 3 MSA... 36

13 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Proses sintesis alkil poliglikosida (APG)... 8 Gambar 2. Proses reaksi dan struktur alkil poliglikosida (APG)... 9 Gambar 3. Sintesis Fischer 2 tahap... 9 Gambar 4. Diagram alir proses produksi alkil poliglikosida (APG) Gambar 5. APG hasil destilasi Gambar 6. Grafik tegangan permukaan air akibat pengaruh penambahan APG pada berbagai konsentrasi Gambar 7. Grafik tegangan antarmuka air : xilene akibat pengaruh penambahan APG pada berbagai konsentrasi Gambar 8. Penampakan formulasi herbisida Gambar 9. Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap tegangan permukaan herbisida awal Gambar 10.Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap tegangan permukaan herbisida minggu ke Gambar 11.Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap persentase penutupan gulma pada 1 MSA Gambar 12.Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap persentase penutupan gulma pada 2 MSA Gambar 13.Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap persentase penutupan gulma pada 3 MSA Gambar 14.Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap bobot kering gulma pada 1 MSA Gambar 15.Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap bobot kering gulma pada 2 MSA Gambar 16.Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap bobot kering gulma pada 3 MSA... 39

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Analisis yang dilakukan pada alkil poliglikosida (APG) dan herbisida Lampiran 2. Penghitungan rendemen alkil poliglikosida (APG) Lampiran 3. Penghitungan nilai HLB alkil poliglikosida (APG) Lampiran 4. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan kestabilan formulasi herbisida Lampiran 5. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan tegangan permukaan herbisida Lampiran 6. Data hasil penelitian dan uji Kruskal Wallis efektivitas herbisida Lampiran 7. Foto-foto aplikasi formulasi herbisida Lampiran 8. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan persentase penutupan gulma Lampiran 9. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan bobot kering gulma... 66

15 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pertanian merupakan kegiatan ekonomi mayoritas penduduk Indonesia. Kegiatan pertanian Indonesia sedang dikembangkan dengan program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produknya. Salah satu contoh program tersebut adalah diperkenalkannya sistem pengendalian hama tanaman dengan menggunakan bahan kimia (pestisida). Saat ini penggunaan pestisida khususnya herbisida, fungisida dan insektisida masih dibutuhkan petani untuk menjaga produktivitas pertaniannya. Herbisida adalah senyawa kimia yang berfungsi untuk mengendalikan gulma atau tanaman pengganggu tanpa mengganggu tanaman pokok. Keuntungan yang diberikan dengan penggunaan herbisida antara lain: dapat mengendalikan gulma sebelum mengganggu, dapat mencegah kerusakan perakaran tanaman, efektif membunuh gulma tahunan dan semak belukar, dalam dosis rendah dapat sebagai hormon tumbuh dan dapat meningkatkan hasil panen dibandingkan dengan perlakuan penyiangan biasa (Sukman dan Yakup, 2002). Dalam formulasi herbisida, biasanya ditambahkan bahan inert dan bahan pembantu untuk mendapatkan formulasi yang diinginkan. Bahan pembantu (adjuvant) ditambahkan untuk meningkatkan aktifitas dari bahan aktif saat penggunaan herbisida pada tanaman, misalnya surfaktan. Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang digunakan sebagai bahan penggumpal, pembasah, pembusaan, emulsifier dan komponen bahan adhesif yang telah diaplikasikan secara luas pada berbagai bidang industri. Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berada dalam satu molekul menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air. Pembentukan film pada antarmuka ini menurunkan energi antarmuka dan menyebabkan sifat-sifat khas molekul surfaktan (Georgou et al., 1992).

16 Penggunaan herbisida sejauh ini memberikan dampak positif berupa pengendalian gulma dan peningkatan produksi pertanian. Namun di lain pihak, penggunaan herbisida secara terus menerus selama 30 tahun terakhir ini juga berdampak negatif bagi lingkungan. Kasus terjadinya keracunan pada organisme bukan sasaran, polusi sumber-sumber air dan kerusakan tanah, juga keracunan akibat residu herbisida pada produk pertanian, merupakan contoh dampak negatif penggunaan herbisida. Sebagai usaha untuk mengurangi dampak negatif penggunaan herbisida adalah dengan menggunakan surfaktan yang dapat didegradasi oleh alam (biodegradable) pada formulasi herbisida. Salah satu surfaktan yang ramah lingkungan adalah alkil poliglikosida (APG). APG merupakan surfaktan nonionik yang dapat digunakan dalam formulasi herbisida. Surfaktan tersebut akan meningkatkan penetrasi bahan aktif ke dalam pori-pori tanaman sehingga efektivitas herbisida lebih optimal. Saat ini kebutuhan akan alkil poliglikosida (APG) di Indonesia berasal dari impor. Diperkirakan kebutuhan surfaktan ini akan meningkat terus karena penggunaannya yang luas seperti di bidang proteksi tanaman dan industri pembersih dan kosmetika. Alkil poliglikosida (APG) merupakan surfaktan yang ramah lingkungan karena menggunakan bahan baku alkohol lemak dari minyak kelapa dan karbohidrat dari pati. Di Indonesia, potensi ketersediaan kelapa sebagai bahan baku alkohol lemak dan pati-patian sebagai sumber karbohidrat cukup banyak mengingat Indonesia adalah negara berbasis pertanian. Kelapa adalah tanaman perkebunan terluas kedua setelah sawit yang terdapat di seluruh propinsi sehingga ketersediaan kelapa sebagai bahan baku alkohol lemak tetap terjaga. Selain itu, potensi sagu di Indonesia jaga sangat tinggi dan produktivitasnya semakin meningkat. Melihat keadaan ini, peluang Indonesia untuk mengembangkan alkil poliglikosida (APG) berbasis alkohol lemak dari minyak kelapa dan pati sagu sangat besar.

17 B. TUJUAN Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui kinerja alkil poliglikosida (APG) sebagai surfaktan dalam formulasi herbisida. Tujuan khususnya yaitu mendapatkan formulasi herbisida yang menggunakan APG dengan karakteristik terbaik ditinjau dari kestabilan formulasi herbisida, daya tahan simpan, kemampuan APG dalam menurunkan tegangan permukaan herbisida, dan efektivitas formulasi sebagai herbisida. C. RUANG LINGKUP PENELITIAN Ruang lingkup penelitian ini meliputi: 1. Proses produksi alkil poliglikosida (APG) pada kondisi optimum yang didapat pada penelitian sebelumnya (Kurniadji, 2008) yaitu pada suhu butanolisis 147,8 C dan perbandingan mol pati sagu dengan alkohol lemak 1 : 3,34. Analisis karakteristiknya seperti kestabilan emulsi, kemampuan menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, dan HLB (Hidrofil Lipofil Balance). 2. Proses formulasi herbisida dengan menggunakan bahan aktif glifosat dan alkil poliglikosida (APG) sebagai surfaktan. Selanjutnya formulasi herbisida yang dihasilkan diuji karakteristiknya meliputi kestabilan formulasi, ph, tegangan permukaan dan daya tahan simpan. 3. Pengujian efektivitas herbisida hasil formulasi dalam mengendalikan gulma meliputi daya berantas, persentase penutupan gulma dan bobot kering gulma.

18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. ALKOHOL LEMAK Alkohol lemak merupakan turunan dari minyak nabati seperti minyak kelapa maupun minyak kelapa sawit yang lebih dikenal sebagai alkohol lemak alami sedangkan turunan dari petrokimia (parafin dan etilen) dikenal sebagai alkohol lemak sintesis (Hill, 2000). Menurut APCC (2007), luas areal dan produksi kelapa Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Pada tahun 2006 Indonesia memiliki luas areal kelapa 3,818 juta Ha (32,37 %). Alkohol lemak utamanya digunakan sebagai bahan perantara (intermediat), di Eropa Barat hanya 5% yang digunakan secara langsung dan kira-kira 95 % dimanfaatkan dalam bentuk turunannya. Pemanfaatan alkohol lemak untuk pembuatan surfaktan kira-kira sebesar 70 75% (Presents, 2000). Lebih dari dua per tiga atau sekitar 80% dari jumlah alkohol lemak yang diproduksi digunakan sebagai bahan baku pembuatan surfaktan. Sebagai bahan baku surfaktan, alkohol lemak mampu bersaing dengan produk turunan petroleum seperti alkilbenzena. Selain karena surfaktan yang dihasilkan bersifat lebih stabil, juga harganya lebih murah jika dibandingkan dengan surfaktan turunan petroleum (Kirk dan Othmer,1963). Alkohol lemak termasuk salah satu jenis bahan oleokimia dasar yang tergolong dalam alkohol rantai panjang. Alkohol alifatik biasanya memiliki panjang rantai antara C 6 sampai C 22. Sebagian besar merupakan rantai lurus dan monohidrik serta mempunyai satu atau lebih ikatan ganda. Alkohol lemak C 12 lebih dikenal dengan nama lauryl alcohol (dodekanol) dengan rumus bangun C 12 H 26 O, bobot molekul 186,34, densitas 0,8309 dan titik didih sekitar 259 C. Tidak berwarna dan tidak larut dalam air (Presents, 2000). Alkohol lemak memiliki gugus hidroksil (OH), yang sifat kelarutannya dipengaruhi oleh ikatan hidrogen. Dengan bertambah panjangnya rantai, pengaruh gugus hidroksil yang bersifat polar menurun. Akibatnya molekul dengan bobot molekul rendah cenderung larut dalam air sedangkan alkohol berbobot tinggi cenderung bersifat non polar.

19 B. PATI SAGU Batang sagu merupakan tempat penyimpanan pati dan kadarnya tergantung umur dan jenis sagu. Semakin tua, kandungan pati dalam empulur semakin besar dan pada umur tertentu kandungan patinya menurun. Untuk mendapatkan pati sagu, empulur dihancurkan terlebih dahulu dengan cara diparut kemudian diekstraksi dengan bantuan air. Sagu mempunyai keunggulan antara lain dapat disimpan lebih lama, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal musim, dan jarang terserang hama dan penyakit (Bujang dan Ahmad, 2000). Menurut Samad (2002), sagu Indonesia memiliki kadar pati yang lebih baik dibanding sagu Malaysia. Bahkan, beberapa varietas sagu asal Kendari (Sulawesi Tenggara) dan Bukit Tinggi (Sumatera Barat) mampu memproduksi pati lebih dari 300 kilogram per pohon. Berdasarkan catatan BPPT, produksi sagu saat ini mencapai 200 ribu ton per tahun, Usia tanaman sagu ini sekitar 7 10 tahun untuk bisa dipanen. Namun baru 56% saja yang dimanfaatkan dengan baik. Kadar pati kering dalam sagu diatas kandungan pati beras yang hanya 6 ton per ha, sedangkan pati kering jagung hanya 5,5 ton. Sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per ha. Selain itu, potensi sagu yang bisa digarap di Indonesia sangat luas saat ini, setidaknya terdapat hutan sagu seluas 1,25 juta ha di Papua dan Maluku, serta 148 ribu ha lahan sagu semibudidaya di Kepulauan Riau, Mentawai, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Lahan sagu ini merupakan lahan terluas di dunia (BPPT, 2006). Pati tersusun dari dua komponen yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan rantai lurus dengan ikatan -1,4-D-glikosidik. Panjang rantai lurus tersebut adalah unit glukosa dengan bobot antara Amilosa memiliki sifat kristal yang tinggi, kelarutan yang kurang baik dan dapat dilarutkan dalam air bersuhu tinggi. Pada saat didinginkan kembali, amilosa akan membentuk gel yang keras. Amilopektin mempunyai ikatan -1,4-D-glikosidik dengan cabang ikatannya -1,6-Dglikosidik. Jumlah unit glukosa dengan berat molekul

20 sampai jutaan. Apabila terdapat iodium, amilosa akan membentuk kompleks yang menghasilkan warna biru sedangkan amilopektin akan membentuk warna merah. (Pomeranz, 1991). C. SURFAKTAN Surfaktan atau surface active agent merupakan suatu molekul amphipatik atau amphifilik yang mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik dalam satu molekul yang sama. Secara umum kegunaan surfaktan adalah untuk menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi, misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O) (Rieger,1985). Surfaktan dibagi menjadi empat kelompok penting dan digunakan secara luas pada hampir semua sektor industri modern. Jenis-jenis surfaktan tersebut adalah surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik (Rieger, 1985). Sedangkan Swern (1997) membagi surfaktan menjadi empat kelompok sebagai berikut: 1. Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bagian pangkalnya berupa gugus hidrofilik dengan ion bermuatan positif (kation). Umumnya merupakan garam-garam amonium kuarterner atau amina. 2. Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofiliknya dengan ion bermuatan negatif (anion). Umumnya berupa garam natrium, akan terionisasi menghasilkan Na + dan ion surfaktan yang bermuatan negatif. 3. Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam air, kelarutannya diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak membawa muatan elektron, tetapi mengandung hetero atom yang menyebabkan terjadinya momen dipol. 4. Surfaktan amfoterik, mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik seperti pada asam amino. Sifat surfaktan ini tergantung pada kondisi media dan nilai ph.

21 Sifat hidrofilik surfaktan nonionik terjadi karena adanya grup yang dapat larut dalam air yang tidak berionisasi. Biasanya grup tersebut adalah grup hidroksil (R OH) dan grup eter (R O R ). Daya kelarutan dalam air grup hidroksil dan eter lebih rendah dibandingkan dengan kelarutan grup sulfat atau sulfonat. Kelarutan grup hidroksil atau eter dalam air dapat ditingkatkan dengan penggunaan grup multihidroksil atau multieter. Beberapa contoh produk multihidroksil (hasil reaksi antara gugus hidrofob dengan produk multihidroksil) antara lain: glukosida, gliserida, glikol ester, gliserol ester, poligliserol ester dan poligliserida, poliglikosida, sorbitol ester dan sukrosa ester (Porter, 1991). D. APG Alkil poliglikosida (APG) merupakan surfaktan yang ramah lingkungan karena disintesis dengan menggunakan bahan baku yang berbasis karbohidrat seperti sagu dan minyak nabati misalnya minyak kelapa, minyak sawit, minyak biji kapok dan minyak biji karet. Bahan baku utama untuk memproduksi APG adalah pati (sagu, tapioka dan sebagainya) atau dekstrosa (berbasis pati-pati tersebut) dan alkohol lemak (berbasis minyak nabati). Alkil poliglikosida (APG) diperoleh melalui reaksi asetalisasi dari glukosa dan alkohol dengan mengeliminasi/menghilangkan air yang terbentuk. Alkil poliglikosida (APG) pertama kali dikenal sekitar tahun 1983 oleh Emil Fischer (Margaretha, 1999). Sedangkan menurut Hill (2000), proses produksi APG dapat dilakukan melalui dua prosedur yang berbeda, yaitu prosedur pertama berbasis bahan baku pati dan alkohol lemak (pati-alkohol lemak), sedangkan prosedur kedua berbasis bahan baku dekstrosa (gula turunan pati) dan alkohol lemak (dekstrosa-alkohol lemak). Diagram proses pembuatan APG dari masingmasing prosedur disajikan pada Gambar 1.

22 Pati atau sirup dekstrosa Glukosa anhidrat atau glukosa monohidrat (dekstrosa) Butanolisis Butanol Transasetalisasi Alkohol lemak Alkohol lemak Asetalisasi Butanol/ Air Netralisasi Air Distilasi Alkohol lemak Air Pelarutan Pemucatan Alkyl Polyglycoside Gambar 1. Proses sintesis alkil poliglikosida (APG) Alkil poliglikosida (APG) mempunyai dua struktur kimia. Rantai hidrokarbon yang bersifat hidrofobik (lipofilik) dan bagian molekul yang bersifat hidrofilik. Sifat rantai yang hidrofobik disebabkan oleh rantai hidrokarbon tersebut tersusun dari alkohol lemak (dodekanol/tetradodecanol). Sedangkan, bagian molekul yang bersifat hidrofilik dari APG disebabkan bagian tersebut tersusun dari molekul glukosa yang berasal dari pati (Hill, 2000). Gambar proses reaksi dan struktrur APG disajikan pada Gambar 2.

23 Glukosa Hidrofilik Hidrofobik Gambar 2. Proses reaksi dan struktur alkil poliglikosida (APG) Menurut Paten (Wuest, et al., 1992), sintesis surfaktan APG dapat dengan reaksi 2 tahap dari pati atau hasil degradasi pati seperti poliglukosa atau sirup glukosa, tahap pertama direaksikan dengan alkohol rantai pendek, terutama butanol, dan tahap kedua transasetalisasi direaksikan dengan rantai lebih panjang C 8-22 terutama C dari alkohol lemak bahan baku alami. Reaksi butanolisis dilakukan pada temperatur diatas 125 o C dan dibawah tekanan 4 10 bar dalam zone reaksi tertutup reaksi kedua dilaksanakan pada temperatur dibawah o C dengan kondisi vakum. Campuran reaksi kedua rasio molar tepung dihitung sebagai anhidroglukosa, terhadap alkohol rantai panjang 1:1,5 1:7, 1:2,5 1:7, 1:3 1:5. Sedangkan rasio molar sakarida : air = 1:5 1:12, 1:6 1:12, 1:6 1:9, 1:6 1:8. Pada Gambar 3 dapat dilihat proses reaksi sintesa APG dua tahap. Gambar 3. Sintesis Fischer 2 tahap

24 Tahapan proses sintesa alkil poliglikosida (APG) dengan dua tahap meliputi tahap dasar sebagi berikut: 1. Reaksi glikosidasi (glycosidation) dengan menggunakan katalis asam untuk mereaksikan sumber monosakarida dengan butanol untuk membentuk butil glikosida dengan menghilangkan air yang terbentuk selama reaksi. 2. Transglikosidasi (transglycosidation) mereaksikan butil glikosida dengan alkohol rantai panjang (C 8 C 20 ) untuk membentuk rantai alkil poliglikosida rantai panjang dengan menghilangkan butanol selama reaksi 3. Netralisasi dari katalis asam yang digunakan. 4. Destilasi untuk menghilangkan alkohol rantai panjang yang tidak bereaksi 5. Pemucatan untuk meningkatkan warna dan bau dari produk alkil poliglikosida (APG) 6. Isolasi alkil poliglikosida (APG). Untuk reaksi satu tahap monosakarida langsung direaksikan dengan alkohol rantai panjang selanjutnya langsung dilanjutkan ke tahap reaksi nomor 3 sampai 6 (Buchanan et al., 1998). Alkil poliglikosida (APG) dapat diklasifikasikan sebagai surfaktan nonionik. Menurut Matheson (1996) surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Oleh karena cabang dari surfaktan tersebut adalah rantai dari alkohol lemak dan gugus gula (dekstrosa) yang tidak bermuatan. Sifat hidrofilik yang dimiliki surfaktan nonionik didapatkan karena keberadaan gugus hidroksil dari dekstrosa. Selain itu gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (hidrofobik) juga menentukan kemampuan surfaktan dalam membentuk kestabilan emulsi didalam campuran produk (Swern, 1979). E. HERBISIDA Herbisida menurut Ensiklopedia Pustaka Tani (2005) adalah zat yang berfungsi untuk membunuh gulma atau tumbuhan pengganggu. Gulma yang terkena herbisida sel-sel daunnya menjadi seperti terbakar, kemudian mati. Berdasarkan bahan aktifnya herbisida digolongkan menjadi herbisida organik

25 dan herbisida anorganik. Dalam praktek pengendalian secara kimiawi menggunakan herbisida, gulma dikelompokkan dalam tiga golongan yaitu berdaun lebar (broad leaved weed), rumput (grasses) dan teki (sedges). Dengan demikian selektivitas herbisida secara umum diarahkan pada ketiga golongan gulma tersebut. Hal tersebut dapat diilustrasikan bahwa 2,4-D amina efektif mengendalikan gulma golongan berdaun lebar dan teki, alachlor efektif mengendalikan gulma golongan rumput dan glifosat merupakan herbisida yang selektif mengendalikan gulma golongan berdaun lebar, rumput dan teki. Berdasarkan mekanisme aksinya, herbisida dibedakan menjadi jenis sistemik (ditranslokasikan ke seluruh jaringan tumbuhan) dan kontak. Salah satu bahan aktif pada herbisida adalah glifosat. Glifosat dapat digunakan untuk semua jenis gulma, dengan aktifitas agak lambat, dimana gajala keracunan baru dapat dilihat 2 4 hari setelah aplikasi untuk gulma setahun, sedangkan untuk gulma tahunan setelah 10 hari atau lebih (Bangun dan Pane, 1984). Menurut Utomo (1995), kelemahan glifosat terletak pada pengendalian yang kurang berhasil bila hujan turun kurang dari enam jam setelah aplikasi. Glifosat juga memerlukan air bersih untuk aplikasinya. Berikut ini adalah data teknis glifosat menurut Klingman (1982): Nama umum : Glifosat Nama kimia : N (phosponomethyl) Glycine atau Isoprophyl Amina Glifosat Rumus bangun : O H H H O HO C C N C P OH H H OH Rumus molekul : C 3 H 8 NO 5 P Daya larut : larut dalam air dan pelarut polar Karakteristik : cara kerja sistematik (ditranslokasikan), tidak menimbulkan keracunan pada tanaman pokok dan tidak ada efek residu pada tanah.

26 Glifosat merupakan herbisida yang dapat didegradasi oleh mikroorganisme. Glifosat akan diuraikan oleh organisme menjadi CO 2, air, nitrat, dan fosfat ytang tidak berbahaya. Sebagai akibat pengikatan oleh partikel tanah, glifosat tidak bebas tersedia dalam larutan tanah, oleh karena itu glifosat tidak mobil di dalam tanah. Dari hal di atas jelas bahwa glifosat aman bagi lingkungan, tidak mempunyai residu dalam tanah dan tidak tersebar ke daerah lain (Moenandir, 1988). Glifosat diserap oleh daun kemudian terangkut ke bagian lain melalui phloem. Cara kerja glifosat adalah menghambat pembentukan asam amino aromatik, khususnya menghambat kerja enzim 5-enolpyruvyl shikimate-3- phosphate syntease (EPSPs) dalam lintasan asam shikimat yang akan membentuk asam-asam amino aromatik seperti tryptophan, tyrosin, dan phenylalanine sehingga menghambat sintesis protein yang dibutuhkan tumbuhan (Cremlyn, 1991). Dengan dihambatnya kerja enzim EPSPs, produksi asam amino aromatik berkurang sehinga sel akan mati. Penggunaan herbisida melalui penyemprotan (spraying) membutuhkan jenis surfaktan yang memiliki sifat yang dapat meningkatkan daya rata sehingga menjadikan larutan herbisida semakin basah, dapat meningkatkan efektivitas herbisida, serta tidak mengganggu stabilitas bahan aktif yang digunakan dalam formula herbisida tersebut. Surfaktan bekerja dengan memperluas penyebaran genangan (coverage) larutan herbisida pada permukaan daun sehingga semprotan herbisida tersebar lebih merata. Dengan penggunaan surfaktan tersebut, permukaan daun yang tertutup larutan herbisida menjadi lebih luas dan menjadikan larutan herbisida bertahan lebih lama di atas permukaan daun. Beberapa surfaktan juga membantu herbisida tertentu untuk meresap ke dalam permukaan daun dan akar dengan lebih cepat dan merata (Tominack, 2000).

27 III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan untuk proses produksi alkil poliglikosida (APG) ini adalah alkohol lemak dari minyak kelapa (C 12 ), pati sagu, butanol, aquades, katalis, NaOH, H 2 O 2 dan DMSO. Sementara itu bahan yang digunakan untuk formulasi herbisida adalah glifosat 62%, APG hasil proses produksi dan aquades. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisa antara lain: xilene, benzene, dan pyridine. Peralatan yang digunakan untuk proses produksi alkil poliglikosida (APG) adalah reaktor bertekanan, pemanas listrik, hot plate magnetic stirrer, pompa vakum, sentrifuse, saringan vakum, dan pompa air. Untuk peralatan yang digunakan dalam formulasi herbisida dan aplikasinya adalah labu ukur 50 ml, hot plate magnetic stirrer, knapsack sprayer tipe GS-008, ember, dan pengaduk. Peralatan pendukung dalam penelitian ini antara lain: vortex, timbangan, oven, cawan aluminium, gelas ukur, gelas piala, labu takar, erlenmeyer, tabung ulir, corong, ph meter, pipet volumetrik, pipet tetes, sudip, dan termometer. B. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan alkil poliglikosida (APG) sebagai surfaktan untuk bahan baku formulasi herbisida. Proses terbaik didapat pada perbandingan mol pati sagu dengan alkohol lemak 1 : 3,34 dan suhu butanolisis 147,8 C (Kurniadji, 2008). Tahapan proses produksi APG adalah butanolisis, transasetalisasi, netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan. APG yang dihasilkan kemudian dianalisis yang meliputi kemampuan menstabilkan, kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka, dan HLB (Lampiran 1). Diagram alir proses produksi alkil poliglikosida (APG) dapat dilihat pada Gambar 4.

28 Pati Sagu Air Katalis Butanolisis Butanol Alkohol lemak Transasetalisasi Air Butanol NaOH Netralisasi Distilasi Alkohol lemak APG kasar Air Pelarutan H 2 O 2 Pemucatan NaOH APG Gambar 4. Diagram alir proses produksi alkil poliglikosida (APG) 2. Penelitian Utama Yang menjadi penelitian utama adalah pembuatan formulasi herbisida. Bahan aktif yang digunakan adalah glifosat 62% dengan alkil poliglikosida (APG) sebagai surfaktan dalam formulasi herbisida tersebut dan air sebagai pelarut. Rancangan percobaan dalam pembuatan formulasi herbisida adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 faktor dan dua

29 kali ulangan. Faktor yang digunakan adalah konsentrasi glifosat (A) dan konsentrasi APG (B). Konsentrasi glifosat diujikan dalam tiga taraf yaitu glifosat 16%, glifosat 24%, dan glifosat 48%, konsentrasi APG yang diujikan adalah 4%, 6%, 8%, dan 10%. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah: Y ijk = µ + A i + B j + AB ij + ε ijk Keterangan: Y ijk = Nilai pengamatan akibat pengaruh faktor A taraf ke-i, faktor B taraf-j pada ulangan ke-k µ = Nilai rata-rata A i Bj AB ij ε ijk = Pengaruh faktor A pada taraf ke-i = Pengaruh faktor B pada taraf ke-j = Pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j = Pengaruh kesalahan percobaan Berdasarkan rancangan percobaan di atas, maka formulasi herbisida yang dibuat adalah sebagai satuan percabaan berikut: A1B1 = Glifosat 16% + APG 4% kode : A A1B2 = Glifosat 16% + APG 6% kode : B A1B3 = Glifosat 16% + APG 8% kode : C A1B4 = Glifosat 16% + APG 10% kode : D A2B1 = Glifosat 24% + APG 4% kode : E A2B2 = Glifosat 24% + APG 6% kode : F A2B3 = Glifosat 24% + APG 8% kode : G A2B4 = Glifosat 24% + APG 10% kode : H A3B1 = Glifosat 48% + APG 4% kode : I A3B2 = Glifosat 48% + APG 6% kode : J A3B3 = Glifosat 48% + APG 8% kode : K A3B4 = Glifosat 48% + APG 10% kode : L

30 Bahan aktif yang dipakai yaitu glifosat 62%, untuk mendapatkan konsentrasi glifosat yang diinginkan menggunakan rumus pengenceran (V 1.M 1 =V 2.M 2 ). Formulasi herbisida yang dihasilkan kemudian dianalisis kestabilannya dan kemampuan menurunkan tegangan permukaan. Untuk mengetahui efektivitas formulasi herbisida yang menggunakan APG di lapangan, maka formulasi herbisida perlu diaplikasikan. Aplikasi herbisida dilakukan satu kali yaitu pada awal percobaan pada petak yang ditetapkan dengan 2 kali ulangan. Petak percobaan dibuat dengan ukuran 3 x 2 m, dengan jarak antar petak 0,5 m. Penyemprotan menggunakan knapsack sprayer dengan dosis semprot 3 l/ha dan volum semprot 400 l/ha. Aplikasi formula herbisida dilakukan pada pagi hari sekitar pukul dan cuaca dalam keadaan cerah, minimal 6 jam setelah aplikasi tidak turun hujan. Analisis efektivitas herbisida dalam mengendalikan gulma secara umum (golongan grasses, sedges maupun broad leaved) meliputi daya berantas, persentase penutupan gulma, dan bobot kering gulma. Prosedur analisis efektivitas herbisida dapat dilihat pada Lampiran 1.

31 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI APG Alkil poliglikosida (APG) merupakan surfaktan yang berasal dari bahan alami yaitu alkohol lemak dan pati sagu. Proses pertama sintesis APG adalah butanolisis yang dilakukan pada suhu 147,8 C, tekanan 4 5 bar selama 30 menit, dimana pati sagu, butanol, air, dan katalis (p-toluena) direaksikan. Pada butanolisis dihasilkan butil poliglikosida. Proses selanjutnya adalah transasetalisasi (penambahan alkohol lemak C 12 /dodekanol) yang berlangsung pada suhu C dengan tekanan vakum selama 2 jam. Tahap ini merupakan proses penggantian C 4 oleh C 12 dari alkohol lemak dan akan dihasilkan dodecil poliglikosida dan dodekanol berlebih. Proses netralisasi (penambahan NaOH) dilakukan pada suhu C tekanan normal sampai kondisinya basa. Netralisasi ini bertujuan untuk menghentikan proses asetalisasi agar tidak terjadi hidrolisis lanjut yang dapat menyerang poliglukosa. Proses destilasi berlangsung pada suhu C untuk mengeluarkan alkohol lemak berlebih dan akan dihasilkan APG. Alkil poliglikosida hasil destilasi kemudian dimurnikan dengan penambahan air sebanyak 3/7 dari APG yang dihasilkan atau dengan kemurnian 70 %. Selanjutnya adalah proses pemucatan dengan menambahkan H 2 O 2 35% sebanyak 10,5 % dari APG yang dihasilkan untuk menghasilkan warna yang lebih cerah. H 2 O 2 bersifat oksidator dan akan merusak ikatan rangkap pigmen menjadi komponen yang tidak berwarna. Aktivitas ini meningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi H 2 O 2. Proses terakhir adalah penambahan NaOH sampai kondisinya basa (ph 8), karena jika phnya asam dapat merusak APG tersebut. Setiap satu kali proses berlangsung, dapat menghasilkan APG hasil destilasi (belum dilakukan proses pemurnian dan pemucatan) rata-rata sebanyak 19,28 gram atau dengan rendemen sebesar 9,77 %. Tabel penghitungan rendemen APG dapat dilihat pada Lampiran 2, dan APG hasil

32 destilasi ditunjukkan pada Gambar 5. Analisis alkil poliglikosida (APG) yang dilakukan adalah uji kemampuan menstabilkan emulsi, kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka serta HLB (Hidrofil Lipofil Balance). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa APG ini mempunyai kestabilan emulsi sebesar 92,35 % setelah 48 jam. Gambar 5. APG hasil destilasi Tegangan permukaan dirumuskan sebagai energi yang harus digunakan untuk memperbesar permukaan suatu cairan sebesar 1 cm 2. Pengukuran kemampuan menurunkan tegangan permukaan air dengan berbagai konsentrasi APG dilakukan dengan metode du Nouy. Pada metode ini tegangan permukaan sebanding dengan gaya yang diperlukan untuk menarik cincin platina hingga lapisan tipis air tepat putus. Gambar 6. Grafik tegangan permukaan air akibat pengaruh penambahan APG pada berbagai konsentrasi.

33 Pada Gambar 6 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi APG yang digunakan maka tegangan permukaan air akan semakin turun. Nilai tegangan permukaan APG berkisar antara 24,17 27,17 dyne/cm. Tegangan permukaan air adalah 72 dyne/cm, jadi surfaktan APG dapat menurunkan tegangan permukaan air hingga sekitar 65%. Pengukuran tegangan antarmuka air : xilene dengan penambahan APG pada berbagai konsentrasi dilakukan dengan menggunakan tensiometer metode du Nouy. Pengukuran ini menggunakan larutan yang yang tidak saling bercampur satu sama lain yaitu antara air (polar) dengan xilene (non polar). Besarnya tegangan antarmuka sebanding dengan gaya yang diperlukan untuk menarik cincin platina hingga lapisan tipis pada cincin yang terbentuk pada batas dua larutan (antarmuka) tepat putus. Gambar 7. Grafik tegangan antarmuka air : xilene akibat pengaruh penambahan APG pada berbagai konsentrasi. Semakin tinggi konsentrasi APG, maka tegangan antarmuka akan semakin turun seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Hasil pengukuran tegangan antarmuka larutan APG sebanding dengan nilai tegangan permukaan hanya nilai yang diperoleh lebih kecil. Tegangan antarmuka sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama (Moecthar, 1989). Hal ini sesuai dengan hasil nilai tegangan permukaan dan tegangan antarmuka surfaktan APG pada konsentrasi yang sama.

34 Penentuan nilai HLB APG dilakukan untuk mengetahui kesesuainnya sebagai pengemulsi. Metode yang digunakan adalah metode titrimetri. Perhitungan nilai HLB dengan mencari persamaan linier dari jenis surfaktan yang telah diketahui nilainya. Menurut Martin et al. (1970) bahwa nilai HLB dari tween 80 ialah 15,0; span 20 ialah 8,6; dan asam oleat ialah 1. Merujuk pada penelitian sebelumnya (Indrawanto, 2008), kurva standar pengukuran HLB mengikuti persamaan linier y = 7x - 5,8 dengan R 2 = 0,997. Persamaan linier tersebut didapat dari pengukuran standar tween 80, span 20 dan asam oleat. Berdasarkan interpolasi pada kurva standar, surfaktan APG yang dibuat memiliki nilai HLB sebesar 8,25. Kurva standar dan penghitungan nilai HLB dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasar konsep Grifin dalam Holmberg et al. (2003) pada Tabel 1, APG tergolong dalam surfaktan untuk aplikasi sebagai wetting agent dan untuk jenis emulsi minyak dalam air (O/W). Tabel 1. Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin Nilai HLB Aplikasi 3-6 Pengemulsi W/O 7-9 Wetting agent 8 14 Pengemulsi O/W 9-13 Detergen Solubilizer Dispersant Sumber : Holmberg et al. (2003) HLB merupakan nilai yang bergantung pada perbandingan antara rantai hidrofilik dan lipofilik suatu molekul surfaktan. Semakin panjang rantai hidrofilik maka semakin tinggi nilai HLB, sebaliknya semakin panjang rantai lipofilik maka semakin rendah nilai HLB. Surfaktan yang memiliki nilai HLB yang sama dapat berbeda dalam hal kelarutannya. Surfaktan mempunyai dua aksi yang berbeda yaitu membantu pembentukan suatu sistem emulsi dan menentukan suatu jenis emulsi yang terbentuk apakah dalam bentuk minyak dalam air (O/W) atau air dalam minyak (W/O). Penentuan suatu jenis emulsi

35 ini berhubungan erat dengan nilai HLB (Suryani, et al. 2000). Umumnya HLB digunakan hanya untuk surfaktan nonionik. Surfaktan dengan nilai HLB rendah larut dalam minyak dan meningkatkan emulsi air dalam minyak (W/O). Sebaliknya surfaktan dengan nilai HLB tinggi larut dalam air dan meningkatkan emulsi minyak dalam air (O/W). Nilai HLB berkisar antara 1 hingga 20 (Holmberg et al. 2003). B. FORMULASI HERBISIDA Herbisida adalah pestisida yang digunakan untuk mengendalikan gulma atau tumbuhan pengganggu. Yang menentukan efektivitas kerja herbisida dalam mengendalikan gulma adalah bahan aktif yang terkandung di dalamnya. Terdapat bermacam-macam bahan aktif herbisida antara lain: 2,4 D, dalapon, propanil, diuron, glifosat, parakuat, ametrin, dan lain-lain. Pada penelitian ini, bahan aktif yang digunakan adalah glifosat karena bahan aktif ini dapat digunakan untuk mengendalikan semua golongan gulma baik itu golongan grasses, sedges maupun broad leaved. Glifosat dapat larut dalam air, sehingga mempermudah dalam formulasi dan biaya dalam formulasinya menjadi lebih murah. Selain itu, glifosat juga bersifat ramah bagi lingkungan. Menurut Moenandir (1988), glifosat merupakan herbisida yang dapat didegradasi oleh mikroorganisme. Secara kimia hal ini berhubungan erat dengan asam amino glycine yang juga dikandung oleh sistem hewan dan tanaman, sebagai akibatnya mikroorganisme di dalam tanaman dapat dengan mudah mendegradasi glifosat. Perlakuan glifosat dibedakan menjadi tiga taraf konsentrasi yaitu 16%, 24% dan 48%. Hal ini karena herbisida glifosat yang beredar di pasaran menggunakan tingkatan konsentrasi tersebut. Sementara untuk perlakuan APG, dibedakan menjadi empat taraf konsentrasi yaitu 4%, 6%, 8%, dan 10%. Penggunaan surfaktan APG yang lebih dari 10% akan menyebabkan herbisida yang dihasilkan lebih kental sehingga kemungkinan untuk menggumpal sangat besar. Menurut McWhorter (1990), penambahan surfaktan untuk herbisida berkisar antara 2 15%.

36 Proses pertama formulasi herbisida yaitu pelarutan APG dalam air dengan bantuan pemanasan. Suhu untuk membuat APG larut sempurna adalah sekitar C. Setelah APG benar-benar larut, kemudian dimasukkan dalam labu ukur 50 ml. Glifosat 62% sebagai bahan aktif dimasukkan sesuai dengan konsentrasi yang telah ditentukan, kemudian ditambahkan air sampai tanda tera. Formulasi dalam labu ukur dikocok supaya bercampur merata dan homogen. Herbisida yang dihasilkan memiliki warna coklat muda mengikuti warna surfaktan APG yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi APG yang digunakan, warna coklat semakin gelap. Sebagai pembanding digunakan tiga jenis herbisida komersial yaitu Serbu (glifosat 16%), Sistemik (glifosat 24%) dan Round Up (glifosat 48%). Herbisida komersial memberikan warna yang menarik (Serbu-hijau, Sistemik-merah, Round Up-kuning) dan penampakan yang bening. Warna yang beragam dari herbisida komersial disebabkan penggunaan zat pewarna dalam formulasinya, karena glifosat sebagai bahan baku sendiri tidak berwarna atau bening seperti air. Penampakan formulasi herbisida dapat dilihat di Gambar 8. Gambar 8. Penampakan formulasi herbisida 1. Kestabilan Formulasi Herbisida selama Penyimpanan 5 Minggu Suatu sistem emulsi, pada dasarnya merupakan suatu sistem yang tidak stabil, karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lainnya. Suatu sistem emulsi yang baik tidak membentuk lapisan, tidak terjadi perubahan warna dan konsistensi tetap. Stabilitas atau kestabilan emulsi merupakan salah satu karakter terpenting dan mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan (Suryani et al. 2000).

37 Pengamatan terhadap kestabilan formulasi herbisida dilakukan setiap minggu selama lima minggu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perubahan yang dapat terjadi pada kestabilan formulasi dalam rentang waktu penyimpanan tersebut. Hasil pengamatan kestabilan formulasi herbisida dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai stabilitas formulasi herbisida selama lima minggu Kestabilan formulasi herbisida (%) Glifosat APG Kode (%(b/v)) (%(b/v)) Minggu ke-3, Minggu ke-1 Minggu ke-2 ke-4 dan ke-5 A ,15 bc 96,15 c 96,15 c B ,08 bc 92,31 bc 92,31 bc C ,08 b 82,31 b 82,31 b D ,23 a 68,46 a 68,46 a E ,00 c 99,23 c 99,23 c F ,23 c 98,46 c 98,46 c G ,46 c 98,46 c 98,46 c H ,23 c 99,23 c 99,23 c I ,23 c 98,46 c 98,46 c J ,46 c 98,46 c 98,46 c K ,46 c 98,46 c 98,46 c L ,46 c 98,46 c 98,46 c M Glifosat komersial 16% 100,00 c 100,00 c 100,00 c N Glifosat komersial 24% 100,00 c 100,00 c 100,00 c O Glifosat komersial 48% 100,00 c 100,00 c 100,00 c Keterangan: angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji Duncan. Dari Tabel 2, dapat diketahui bahwa nilai stabilitas formulasi herbisida yang dibuat berkisar antara 68,46% 99,23%. Nilai kestabilan emulsi relatif konstan dari minggu ke minggu pengamatan, kecuali pada formulasi B, C, D, E, F, dan I terjadi penurunan kestabilan dari minggu ke- 1 ke minggu ke-2. Untuk stabilitas pada minggu ke-3, ke-4, dan ke-5 nilainya tetap atau tidak terjadi perubahan dari minggu ke-2. Untuk kestabilan yang nilainya 98,46% ke atas, hanya sedikit sekali yang tidak stabil yaitu mengapung pada bagian atas tabung sekitar 1 mm. Untuk yang

38 nilainya 96,15% ke bawah, yang tidak stabil terdapat pada bagian bawah. Ada semacam cairan yang memisah dari formulasi herbisida di atasnya. Hasil analisis ragam (ANOVA) pada minggu ke-1 dengan α = 0,05 menunjukkan bahwa faktor konsentrasi glifosat berpengaruh nyata terhadap kestabilan formula herbisida, hal ini ditandai dengan nilai F hitung lebih besar dari F tabel. Sedangkan faktor konsentrasi APG dan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap kestabilan formulasi karena nilai F hitung lebih kecil dari F tabel. Analisis ragam (ANOVA) pada minggu ke-2 juga memberikan hasil yang sama yaitu untuk faktor konsentrasi glifosat berpengaruh nyata, sedangkan faktor konsentrasi APG dan interaksi kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap kestabilan formulasi (Lampiran 4). Berdasarkan uji lanjut Duncan, diketahui bahwa kestabilan formulasi herbisida akibat pengaruh faktor konsentrasi glifosat berbeda nyata untuk glifosat 16%, sedangkan untuk glifosat 24% dan glifosat 48% tidak berbeda nyata. Hal ini berlaku juga untuk minggu ke-1 dan minggu ke-2 (Lampiran 4). Dari Tabel 2, herbisida hasil formulasi memiliki nilai kestabilan yang tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan glifosat komersial berdasarkan uji Duncan. Formulasi yang berbeda nyata adalah formulasi C (glifosat 16% dan APG 8%) dan D (glifosat 16% dan APG 10%) dimana nilai kestabilannya lebih rendah dibandingkan formulasi lainnya. Penyebab rendahnya kestabilan adalah kemungkinan suhu yang terlalu tinggi pada saat melarutkan APG sehingga gugus hidrofilik menjadi mengembang dan kurang stabil. Formulasi dengan APG 8% dan 10% akan menghasilkan formulasi yang kental, sehingga mudah untuk menggumpal. Berdasarkan pengamatan, pada suhu yang rendah formulasi ini mudah membeku. 2. Tegangan Permukaan Herbisida Surfaktan merupakan senyawa yang digunakan untuk menurunkan tegangan permukaan suatu bahan, karena surfaktan memiliki dua gugus dalam satu molekulnya yaitu gugus hidrofilik dan hidrofobik. Sifat

39 surfaktan yang dapat menurunkan tegangan permukaan dapat digunakan dalam formulasi herbisida karena bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan aktivitas herbisida tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Kearney dan Kaufman (1988), untuk meningkatkan aktivitas glifosat dapat dilakukan penambahan surfaktan sehingga glifosat dapat diabsorbsi ke dalam jaringan daun. Surfaktan dapat berfungsi menurunkan tegangan permukaan larutan herbisida, sehingga dapat berpenetrasi dengan mudah. Pengukuran tegangan permukaan dilakukan pada awal formulasi dan setelah lima minggu penyimpanan, hal ini untuk mengetahui perubahan tegangan permukaan yang mungkin terjadi dalam penyimpanan. Konsentrasi yang diujikan adalah 0,72% (v/v) sesuai dengan konsentrasi larutan herbisida saat aplikasi penyemprotan. Hasil pengamatan tegangan permukaan dan nilai ph herbisida dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tegangan permukaan herbisida dan ph Kode Glifosat (%(b/v)) APG (%(b/v)) Tegangan permukaan (dyne/cm) Awal Minggu ke-5 Awal ph Minggu ke-5 A ,25 c 29,00 g 7 7 B ,75 bc 28,75 f 7 7 C ,38 abc 28,50 e 7 7 D ,13 ab 28,25 cd 7 7 E ,13 ab 28,94 fg 7 7 F ,88 ab 28,75 f 7 7 G ,75 ab 28,38 cde 7 7 H ,63 a 28,19 bc 7 7 I ,63 abc 29,00 g 7 7 J ,13 ab 28,44 de 7 7 K ,81 ab 28,00 b 7 7 L ,69 a 27,75 a 7 7 M Glifosat komersial 16% 31,50 e 31,50 i 5 5 N Glifosat komersial 24% 33,00 f 32,88 j 5 5 O Glifosat komersial 48% 30,25 d 30,50 h 5 5 Keterangan: angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji Duncan.

40 Dari Tabel 3, dapat diketahui bahwa nilai tegangan permukaan herbisida hasil formulasi berkisar antara 27,69 29,25 dyne/cm. Untuk mengetahui sejauh mana APG dapat menurunkan tegangan permukaan herbisida, pengukuran juga dilakukan pada glifosat 16%, 24%, dan 48% tetapi tanpa menggunakan APG. Hasilnya, nilai tegangan permukaan glifosat 16%, 24%, dan 48% (APG 0%) berturut-turut 59,00; 60,25; dan 61,00 dyne/cm. Jelas terbukti bahwa surfaktan APG dapat menurunkan tegangan permukaan herbisida sampai sekitar 30 dyne/cm (50% lebih). Tegangan permukaan formulasi herbisida karena penambahan APG relatif tidak mengalami perubahan meskipun telah disimpan selama lima minggu, hal ini menunjukkan bahwa penyimpanan tidak merubah sifat kimia formulasi herbisida yang dibuat. Berdasarkan uji Duncan, formulasi herbisida mempunyai nilai tegangan permukaan yang berbeda nyata jika dibandingkan dengan herbisida komersial. Dari analisis ph, semua formulasi herbisida memberikan ph netral atau 7, sedangkan herbisida komersial mempunyai nilai ph lebih asam yaitu 5. Artinya formulasi herbisida lebih baik ditinjau dari nilai ph, karena ph yang netral lebih aman untuk digunakan. Nilai ph juga tidak mengalami perubahan pada waktu awal formulasi dan setelah penyimpanan selama 5 minggu. Gambar 9. Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap tegangan permukaan herbisida awal

41 Dari Gambar 9, dapat dilihat bahwa nilai tegangan permukaan herbisida awal akan menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi APG yang digunakan. Dapat dilihat juga tegangan permukaan herbisida hasil formulasi memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan herbisida komersial. Hasil analisis ragam (ANOVA) pada α = 0,05 diketahui bahwa faktor konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG berpengaruh nyata terhadap tegangan permukaan herbisida awal, sedangkan interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata (Lampiran 5). Berdasarkan uji lanjut Duncan, diketahui bahwa tegangan permukaan herbisida awal akibat pengaruh faktor konsentrasi glifosat berbeda nyata untuk glifosat 16%, sedangkan untuk glifosat 24% dan glifosat 48% pengaruhnya tidak berbeda nyata. Untuk pengaruh faktor konsentrasi APG ada kecenderungan tidak berbeda nyata, yang berbeda nyata adalah pada APG 4% dengan APG 8% dan 10%. Data lengkap uji lanjut Duncan dapat dilihat pada lampiran 5. Gambar 10. Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap tegangan permukaan herbisida minggu ke-5. Gambar 10, menunjukkan tinggi konsentrasi APG yang digunakan maka tegangan permukaan herbisida akan semakin rendah. Berdasarkan hasil analisis ragam (ANOVA) pada α = 0,05 diketahui bahwa faktor konsentrasi glifosat, konsentrasi APG dan interaksi kedua faktor tersebut

42 berpengaruh nyata terhadap tegangan permukaan herbisida minggu ke-5 (Lampiran 5). Dari uji lanjut Duncan, dapat diketahui bahwa kombinasi dari kedua faktor perlakuan cenderung memberikan hasil yang tidak berbeda nyata satu dengan lainnya. Kombinasi perlakuan konsentrasi glifosat 48% dan konsentrasi APG 10% (formulasi L) merupakan kombinasi perlakuan terbaik karena kestabilannya konstan dan mempunyai tegangan permukaan terendah yaitu sebesar 27,75 dyne/cm (Lampiran 5). C. APLIKASI HERBISIDA Untuk mengetahui efektivitas formulasi herbisida dalam mengendalikan gulma, maka formulasi yang sudah dibuat diaplikasikan (disemprotkan) pada gulma. Penyemprotan dilakukan di Laboratorium Lapang Leuwikopo pada 1 Mei 2008 pukul Cuaca saat penyemprotan (siang, dan sore hari) cerah yang berarti sangat mendukung percobaan, karena herbisida glifosat membutuhkan minimal 6 jam setelah aplikasi tidak turun hujan. Setiap formulasi herbisida disemprotkan pada petak percobaan yang ditumbuhi gulma seluas 6 m 2 dengan dua kali ulangan. Kondisi awal sebelum penyemprotan, penutupan gulma pada petak percobaan adalah 100%. Gulma yang berada pada setiap petak percobaan dianggap homogen dengan komposisi gulma dominan adalah golongan grasses, ada juga gulma golongan broad leaved dan ada sedikit gulma golongan sedges. Dosis semprot herbisida yang digunakan adalah 3 liter/ha sehingga setiap petak percobaan hanya membutuhkan 1,8 ml formulasi herbisida. Penyemprotan menggunakan knapsack sprayer dengan konsentrasi semprot 0,72% (v/v) atau menggunakan dosis pelarut sekitar 400 l/ha. Setelah penyemprotan, pengamatan dilakukan setiap minggu selama tiga minggu. Pengamatan meliputi daya berantas, persentase penutupan gulma dan bobot kering gulma. Sebagai pembanding, disemprotkan juga herbisida glifosat komersial dan kontrol (air). Kontrol glifosat tanpa APG tidak dilakukan penyemprotan karena dilihat dari nilai tegangan permukaannya sangat tinggi dan diasumsikan efektivitasnya tidak akan sebaik dengan penambahan APG. Tegangan permukaan yang tinggi menyebabkan droplet (cairan semprot)

43 tidak dapat menempel dengan sempurna pada permukaan daun karena masih terdapat rongga diantara droplet tersebut, sehingga bagian herbisida yang kontak dengan permukaan daun sedikit. Dengan adanya APG, tegangan permukaan menjadi rendah dan droplet menjadi tersebar lebih merata pada permukaan daun sehinga kontak herbisida dengan daun menjadi lebih luas. Jika bagian herbisida yang kontak dengan permukaan daun lebih luas, maka peluang herbisida untuk dapat berpenetrasi ke dalam jaringan daun juga semakin besar dan efektivitas herbisida tersebut menjadi lebih baik. Berdasarkan mekanisme aksinya, herbisida dibedakan menjadi herbisida sistemik dan herbisida kontak. Glifosat merupakan herbisida jenis sistemik (ditranslokasikan ke seluruh jaringan tumbuhan) yang diaplikasikan lewat daun. Menurut Tjitrosoedirdjo (1984), sebenarnya selain daun, juga pelepah, tangkai, bahkan batang yang masih muda dapat menjadi tempat penetrasi molekul herbisida. Tetapi daun merupakan bagian tempat penetrasi terbesar untuk herbisida. Mekanisme kerja glifosat dalam meracuni gulma adalah sebagai berikut: herbisida glifosat disemprotkan ke daun dan dengan adanya surfaktan maka tegangan permukaan turun yang menyebabkan herbisida tersebar lebih merata pada daun. Adanya trikoma pada permukaan daun mencegah kontak antara droplet dengan permukaan daun sehingga herbisida tidak dapat masuk ke dalam sistem tanaman. Dalam hal ini surfaktan dapat membantu mengatasi masalah ini karena tegangan permukaan menjadi rendah sehingga droplet itu seolah-olah merayap membasahi permukaan daun (Tjitrosoedirdjo, 1984). Kemudian terjadi penetrasi oleh herbisida masuk ke dalam sistem tanaman melalui lapisan kutikula dan selanjutnya ditranslokasikan ke tempat reaksi akan terjadi melalui simplas atau floem bersama dengan hasil asimilasi. Molekul herbisida yang terhindar dari reaksi degradasi akan sampai pada titik dalam reaksi yang dengan ikutnya molekul herbisida ini akan menyebabkan perubahan biokimia pada tumbuhan tersebut. Glifosat akan menghambat kerja enzim EPSPs dalam membentuk asam amino aromatik seperti tryptophan, tyrosin, dan phenylalanine sehingga menghambat sintesis protein yang dibutuhkan dan menyebabkan tumbuhan akan mati.

44 1. Daya Berantas Formulasi Herbisida dengan Surfaktan APG Pengamatan daya berantas herbisida dilakukan secara visual dan dinilai berdasarkan skoring 0 4. Daya berantas dilihat berdasarkan penampakan gulma yang menguning/layu/mati akibat penyemprotan herbisida. Hasil pengamatan daya berantas herbisida selama 3 MSA (Minggu Setelah Aplikasi) dapat dilihat pada Tabel 4. Keterangan skoring daya berantas adalah sebagai berikut: 0 : tidak ada daya berantas 1 : daya berantas jelek (gulma menguning, ada yang mati sedikit) 2 : daya berantas sedang (gulma yang mati bertambah banyak) 3 : daya berantas baik (gulma yang mati banyak) 4 : daya berantas baik sekali (gulma mati semua) Tabel 4. Daya berantas herbisida selama 3 MSA Kode Konsentrasi glifosat (%(b/v)) Konsentrasi APG (%(b/v)) Daya berantas 1 MSA 2 MSA 3 MSA A B C D E F G H I J K L M Glifosat komersial 16% N Glifosat komersial 24% O Glifosat komersial 48% P Kontrol (air) Catatan : MSA = Minggu Setelah Aplikasi

45 Dari Tabel 4, dapat diketahui bahwa daya berantas formulasi herbisida yang dibuat dapat menyamai daya berantas herbisida komersial. Formula I, J, K, L (perlakuan konsentrasi glifosat 48%) dapat menyamai herbisida glifosat komersial 48% pada 2 MSA dan 3 MSA, tetapi pada 1 MSA herbisida glifosat komersial 48% memiliki daya berantas yang lebih baik. Begitu juga formula E, F, G, H (perlakuan konsentrasi glifosat 24%) yang mempunyai daya berantas setara dengan herbisida glifosat komersial 24% pada 2 MSA dan 3 MSA. Untuk formula A dan B, daya berantasnya justru lebih bagus dibandingkan herbisida glifosat komersial 16%. Pada formulasi C, terjadi penurunan daya berantas dari 2 ke 1, hal ini terjadi karena pengamatan daya berantas bersifat subyektif sehinga susah untuk ditentukan. Hasil lengkap pengamatan daya berantas herbisida disajikan dalam Lampiran 6. Hasil uji Kruskal Wallis pada α = 0,05 daya berantas herbisida pada 1 MSA, 2 MSA dan 3 MSA faktor konsentrasi glifosat semuanya memberikan hasil yang berpengaruh nyata karena nilai h yang lebih besar dari x sedangkan faktor konsentrasi APG tidak berpengaruh nyata terhadap daya berantas selama 3 MSA karena nilai h yang lebih kecil dari x (Lampiran 6). Pada pengamatan 0 MSA (belum dilakukan penyemprotan), gulma terlihat masih hijau dan segar. Setelah 1 MSA, sudah mulai tampak gulma yang layu/menguning, terutama pada formulasi dengan glifosat 48%. Pada 2 MSA, gulma yang layu/menguning bertambah banyak dan terdapat gulma yang mati. Pada pengamatan terakhir (3 MSA), perlakuan glifosat 48% sudah hampir mematikan semua gulma, sedangkan perlakuan glifosat 16% dan glifosat 24% masih belum bisa mengendalikan gulma dengan baik. Semakin tinggi konsentrasi (dosis) glifosat, maka efektivitasnya dalam mengendalikan gulma akan semakin baik. Berdasarkan pengamatan, konsentrasi glifosat 16% dan 24% baru bisa mengendalikan gulma dengan baik pada 5 MSA. Gambar-gambar aplikasi formulasi herbisida disajikan pada Lampiran 7. Glifosat 48% dapat mengendalikan dengan baik semua golongan gulma (grasses, sedges

46 dan broad leaved), untuk glifosat 16% dan 24% baru bisa mengandalikan golongan rumput (grasses) saja. Glifosat dengan konsentrasi rendah (16% dan 24%) efektivitasnya lambat, baru bisa mengendalikan gulma golongan sedges dan broad leaved pada 5 MSA. Dosis herbisida yang diaplikasikan menentukan jumlah yang ditranslokasikan. Respon dari sistem biologi terhadap pemakaian suatu bahan kimia sangat dipengaruhi oleh tingkat dosis (Moenandir, 1988). Pada tingkat dosis yang rendah, herbisida biasanya sebagai stimulan. Pada tingkat dosis menengah, pemakaian herbisida biasanya belum memberikan pengaruh serius terhadap pertumbuhan gulma. Sedangkan pada tingkat dosis yang tinggi, herbisida dapat memberikan pengaruh tekanan yang cukup serius terhadap pertumbuhan gulma (Klingman et al., 1982). 2. Persentase Penutupan Gulma Persentase penutupan gulma merupakan pengamatan yang dilakukan secara visual dan bersifat subyektif. Untuk menghilangkan subyektifitas maka pengamatan dilakukan minimal oleh tiga orang. Yang diamati dari persentase penutupan gulma adalah banyaknya gulma yang masih hidup dalam satu petak percobaan yang diterjemahkan dalam satuan persen (%). Hasil pengamatan persentase penutupan gulma selama 3 MSA dapat dilihat pada Tabel 5.

47 Tabel 5. Persentase penutupan gulma selama 3 MSA Glifosat (%(b/v)) APG (%(b/v)) Persentase penutupan gulma (%) Kode 1 MSA 2 MSA 3 MSA A ,00 def 76,17 de 69,50 e B ,67 bcde 66,50 cd 62,00 de C ,17 bcde 67,50 cd 58,33 de D ,83 ef 83,50 e 66,67 e E ,17 bcdef 66,33 cd 54,17 cd F ,67 ef 64,67 cd 53,33 bcd G ,17 cdef 65,00 cd 41,67 b H ,50 cdef 54,50 c 45,33 bc I ,83 a 20,83 a 17,27 a J ,83 abcd 16,17 a 12,50 a K ,17 abcd 20,83 a 10,83 a L ,83 abcde 19,17 a 9,50 a M Glifosat komersial 16% 82,67 cdef 69,17 cde 59,50 de N Glifosat komersial 24% 56,67 abc 38,17 b 19,17 a O Glifosat komersial 48% 46,17 ab 16,67 a 14,17 a P Kontrol (air) 100,00 f 100,00 f 100,00 f Keterangan: angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji Duncan. Dari Tabel 5, dapat dilihat bahwa persentase penutupan gulma semakin turun seiring dengan semakin lama waktu pengamatan. Nilai perentase penutupan gulma yang rendah berarti gulma yang mati semakin banyak dan herbisida tersebut semakin efektif. Setiap pengamatan, memberikan hasil bahwa perlakuan konsentrasi APG tidak berbeda nyata pada berbagai taraf konsentrasi. Pada tabel 5, dapat diketahui bahwa perlakuan herbisida memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap kontrol untuk 2 MSA dan 3 MSA, tetapi pada 1 MSA ada beberapa formula yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini terjadi pada perlakuan konsentrasi glifosat 16% dan 24%, pada 1 MSA kemungkinan glifosat belum terlalu meracuni tanaman karena mengandung kadar glifosat yang rendah. Herbisida hasil formulasi mempunyai efektivitas yang setara dengan herbisida komersial (pada konsentrasi glifosat yang sama), jika dilihat dari persentase penutupan gulma karena memberikan hasil tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan.

48 Gambar 11. Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap persentase penutupan gulma pada 1 MSA Pada Gambar 11, dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi glifosat maka persentase penutupan gulma akan semakin turun. Tetapi pengaruh konsentrasi APG tidak menentu atau tidak terlihat jelas. Hal ini sesuai dengan analisis ragam (ANOVA) pada α = 0,05 bahwa faktor konsentrasi APG tidak berpengaruh nyata terhadap persentase penutupan gulma 1 MSA, sedangkan faktor konsentrasi glifosat dan interaksi kedua faktor tersebut berpengaruh nyata (Lampiran 8). Gambar 12. Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap persentase penutupan gulma pada 2 MSA

49 Berdasarkan Gambar 12, dapat ketahui bahwa nilai persentase penutupan gulma 2 MSA turun drastis jika dibandingkan dengan 1 MSA. Hal ini karena glifosat akan efektif memberantas gulma setelah 10 hari atau lebih. Hasil analisis ragam (ANOVA) pada α = 0,05 menunjukkan bahwa faktor konsentrasi glifosat berpengaruh nyata terhadap persentase penutupan gulma 2 MSA, sedangkan faktor konsentrasi APG dan interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata (Lampiran 8). Gambar 13. Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap persentase penutupan gulma pada 3 MSA Gambar 13, menunjukkan hasil bahwa pada 3 MSA gulma yang mati sudah semakin banyak, hal ini ditandai dengan semakin rendahnya nilai persentase penutupan gulma. Dari grafik diketahui bahwa untuk perlakuan konsentrasi glifosat 48%, persentase penutupan gulmanya sangat kecil berkisar antara 9,5 17,27%. Hasil analisis ragam (ANOVA) pada α = 0,05 menunjukkan bahwa faktor konsentrasi glifosat dan faktor konsentrasi APG berpengaruh nyata terhadap persentase penutupan gulma 3 MSA, sedangkan interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata (Lampiran 8). Pada 3 MSA, semakin tinggi konsentrasi glifosat, persentase penutupan gulma semakin rendah. Meningkatnya konsentrasi APG juga cenderung memberikan pengaruh semakin rendahnya persentase penutupan gulma.

50 3. Bobot Kering Gulma Pengamatan bobot kering gulma dilakukan untuk mempelajari pengaruh formulasi herbisida terhadap biomassa gulma secara umum. Sampel gulma diambil dalam luasan 0,25 m 2, kemudian dipisahkan gulma yang hidup dan yang sudah mati. Gulma yang masih hidup dan segar kemudian di oven pada suhu 105 C selama 24 jam supaya bobotnya konstan kemudian ditimbang. Hasil pengamatan bobot kering gulma selama 3 MSA dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Bobot kering gulma selama 3 MSA Glifosat (%(b/v)) APG (%(b/v)) Bobot kering gulma (gram/0,25 m 2 ) Kode 1 MSA 2 MSA 3 MSA A ,97 bc 18,75 e 9,63 cd B ,54 ab 13,28 de 8,15 cd C ,86 ab 10,83 cd 8,34 cd D ,46 ab 14,47 de 10,28 d E ,10 ab 9,84 cd 5,68 abcd F ,52 ab 7,97 abcd 5,29 abcd G ,20 ab 5,95 abc 5,32 abcd H ,28 ab 9,21 bcd 4,50 abc I ,75 a 2,48 ab 2,15 ab J ,26 a 1,26 a 0,97 a K ,15 ab 1,55 a 1,08 a L ,42 ab 1,58 a 1,49 a M Glifosat komersial 16% 22,68 bc 10,68 cd 7,49 bcd N Glifosat komersial 24% 7,00 ab 5,23 abc 2,38 ab O Glifosat komersial 48% 3,64 a 1,35 a 0,53 a P Kontrol (air) 36,41 c 27,41 f 34,53 e Keterangan: angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji Duncan. Dari Tabel 6, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan bobot kering gulma pada setiap minggu pengamatan. Nilai bobot kering gulma yang semakin kecil berarti herbisida tersebut memiliki efektivitas yang semakin baik. Pada konsentrasi glifosat 16%, bobot kering gulma hingga 3 MSA masih tinggi berkisar 8 10 gram. Hal ini karena konsentrasi glifosat 16%

51 yang rendah, sehingga efek kematian pada gulma relatif lebih lama jika dibandingkan dengan konsentrasi glifosat 24% dan glifosat 48%. Untuk konsentrasi glifosat 48% memiliki efektivitas yang setara dengan glifosat komersial 48% jika dilihat dari analisis bobot kering gulma. Nilai bobot kering gulma pada formulasi glifosat 48% tidak berbeda nyata dengan glifosat komersial 48% dari 1 MSA sampai 3MSA. Gambar 14. Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap bobot kering gulma pada 1 MSA Pada Gambar 14, dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi glifosat maka bobot kering gulma akan semakin turun. Hasil analisis ragam (ANOVA) pada α = 0,05 menunjukkan bahwa faktor konsentrasi glifosat berpengaruh nyata terhadap bobot kering gulma 1 MSA. Sedangkan faktor konsentrasi APG dan interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata (Lampiran 9). Berdasarkan uji lanjut Duncan, diketahui bahwa bobot kering gulma 1 MSA akibat pengaruh faktor konsentrasi glifosat berbeda nyata untuk glifosat 48%, sedangkan untuk glifosat 24% dan glifosat 16% pengaruhnya tidak berbeda nyata (Lampiran 9). Pada 1 MSA, glifosat 16% dan 24% belum bisa mengendalikan gulma dengan baik karena pada konsentrasi rendah pengaruhnya akan lama terlihat.

52 Gambar 15. Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap bobot kering gulma pada 2 MSA Dari Gambar 15, dapat diketahui bahwa nilai bobot kering gulma 2 MSA lebih kecil dibandingkan dengan 1 MSA. Hal ini menunjukkan kalau glifosat dengan konsentrasi 16% dan 24% sudah mulai memberikan efek terhadap kematian gulma meskipun belum maksimal. Pada perlakuan glifosat 48%, nilai bobot kering gulma sangat rendah hanya sekitar 1,5 gram saja ini berarti glifosat 48% efektif untuk memberantas gulma pada 2 MSA. Analisis ragam (ANOVA) pada α = 0,05 menunjukkan bahwa faktor konsentrasi glifosat berpengaruh nyata terhadap bobot kering gulma 2 MSA, sedangkan faktor konsentrasi APG dan interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata (Lampiran 9). Semakin tinggi konsentrasi glifosat, bobot kering gulma akan semakin rendah. Berdasarkan uji lanjut Duncan, diketahui bahwa bobot kering gulma 2 MSA akibat pengaruh faktor konsentrasi glifosat berbeda nyata untuk semua konsentrasi (Lampiran 9). Berdasarkan Tabel 6, pada 2 MSA konsentrasi glifosat 48% (formula I, J, K, L) tidak berbeda nyata dengan glifosat komersial 48%. Begitu juga dengan konsentrasi glifosat 24% (formula E, F, G, H) tidak berbeda nyata dengan glifosat komersial 24%. Sedangkan untuk konsentrasi glifosat 16% formula A (konsentrasi APG 4%) nilainya berbeda nyata dengan glifosat komersial 16%.

53 Gambar 16. Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap bobot kering gulma pada 3 MSA Gambar 16, menunjukkan hasil bahwa pada 3 MSA gulma yang mati sudah semakin banyak lagi dibandingkan dengan 2 MSA, hal ini ditandai dengan semakin rendahnya bobot kering gulma. Hasil analisis ragam (ANOVA) pada α = 0,05 menunjukkan bahwa faktor konsentrasi glifosat berpengaruh nyata terhadap bobot kering gulma pada 3 MSA, sedangkan faktor konsentrasi APG dan interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata (Lampiran 9). Glifosat memberikan pengaruh positif terhadap bobot kering gulma, dimana semakin tinggi konsentrasi maka bobot kering gulma akan semakin rendah. Uji lanjut Duncan menghasilkan bahwa bobot kering gulma 3 MSA akibat pengaruh faktor konsentrasi glifosat berbeda nyata untuk semua taraf konsentrasi (Lampiran 9). Berdasarkan Tabel 6, pada 3 MSA semua perlakuan dengan konsentrasi glifosat memberikan hasil yang tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan glifosat komersial dengan konsentrasi yang sama. Pengamatan bobot kering gulma menghasilkan formula J (glifosat 48% dan APG 6%) sebagai formula terbaik karena memberikan bobot kering gulma paling kecil pada setiap pengamatan.

54 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Alkil poliglikosida (APG) dapat diaplikasikan sebagai surfaktan pada formulasi herbisida dan dapat meningkatkan efektivitas herbisida tersebut. Dengan hadirnya APG dalam formulasi herbisida, tegangan permukaan herbisida dapat diturunkan sampai menjadi 28,5 dyne/cm atau turun hingga 50% lebih. Kestabilan formulasi masih belum mencapai 100% selama penyimpanan, tetapi pada konsentrasi APG 4% dan 6% nilai kestabilannya relatif tinggi yaitu antara 92,31% 99,23%. Formulasi herbisida relatif tidak mengalami perubahan nilai kestabilan meskipun sudah disimpan selama 5 minggu. Penyimpanan juga tidak menyebabkan perubahan nilai tegangan permukaan herbisida dan ph. Secara umum, formulasi herbisida yang dihasilkan memiliki efektivitas yang setara dengan herbisida glifosat komersial ditinjau dari daya berantas, persentase penutupan gulma dan bobot kering gulma. Formulasi herbisida (pada semua konsentrasi APG) pada perlakuan glifosat 16% efektivitasnya setara dengan herbisida Serbu (glifosat komersial 16%), perlakuan glifosat 24% setara dengan herbisida Sistemik (glifosat komersial 24%) dan perlakuan glifosat 48% setara dengan herbisida Round Up (glifosat komersial 48%). Kombinasi perlakuan terbaik pada pemanfaatan APG sebagai surfaktan dalam formulasi herbisida didapat pada formulasi J yaitu konsentrasi glifosat 48% dan konsentrasi APG 6%. Formulasi ini memiliki kestabilan (daya tahan simpan selama 5 minggu) relatif tinggi yaitu 98,46%, tegangan permukaan herbisida karena pengaruh penambahan APG 6% sebesar 28,13 28,44 dyne/cm, dan ph 7. Formulasi ini mempunyai daya berantas yang baik, persentase penutupan gulma yang relatif rendah, dan mempunyai nilai bobot kering gulma paling rendah dibandingkan formulasi lainnya.

55 B. SARAN 1. Perlu dikembangkan teknik dan cara pemurnian surfaktan APG yang baik sehingga penampakan APG menjadi lebih menarik (jernih dan cerah) dan jika diaplikasikan tidak mempengaruhi warna produk yang diinginkan. 2. Perlu pengujian formulasi herbisida untuk mengendalikan gulma pada tanaman budidaya untuk melihat efektivitasnya tanpa mengganggu atau mengurangi kualitas tanaman budidaya tersebut. 3. Perlu pengujian formulasi APG sebagai surfaktan dengan menggunakan bahan aktif yang lain, untuk mengetahui kemampuan APG dalam meningkatkan efektivitas bahan aktif tersebut.

56 DAFTAR PUSTAKA APCC (Asian Pacific Coconut Community) Peta Potensi Dunia Kelapa dan Sebaran Potensi Kelapa di Indonesia. Jakarta. Bangun, P dan H. Pane Pengaturan Penggunaan Herbisida Pada Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Buletin Teknik hal. BPPT Sagu, Potensial Perkaya Keragaman Pangan. Dalam 26 Februari Buchanan, M. C., Wood, dan D. Matthew Patens: Process for Making Alkyl Polyglycosides. Dalam 27 Februari Bujang K dan F. B. Ahmad Production and Utilization in Malaysia. Dalam : Sagu Untuk Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Sagu; Manado, 6 Oktober manado. Pusat Penelitian dan pengembangan Perkebunan manado. Halaman Cremlyn, R. J Agrochemicals: Preparation and Mode of Action. John & Wiley Sons. New York. 369p. Ensiklopedia Pustaka Tani Herbisida. Dalam 17 Februari Geourgeu, G., C. L. Sung, dan M. M. Shara Surface Active Compund from Microorganisms. Departement of Chemical Engineering and Petrolium Engineering. University of Texas, Austin. Hill, K Fats and Oil as Oleochemical Raw Material. Dalam Pure Appl.Chem Vol. 72, No. 7, pp ,. Cognis D GmbH, Germany. Holmberg, K., B. Kronberg dan B. Lindman Surfactant and Polimer in Aques Solution. Ed ke-2. Chichester: J Wiley. Indrawanto, R., Optimasi Nisbah Mol Glukosa-Fatty Alcohol C 12 Dan Suhu Asetalisasi Pada Proses Pembuatan Surfaktan Nonionik Alkyl Polyglycosides (APG). Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Bogor. Klingman, G. C., F. M. Ashton and L. J. Noordhof Weed Science: Principles and Practices. John Wiley and Sons, Inc. New York. 431 p. Kirk, R. E., dan D. F. Othmer Encyclopedia of Chemical Technology. Vol. 1. The Interscience Encyclopedia Inc, New York. Kearney, P. C., and D. D. Kaufman Herbicides. Marcel Dekker, Inc. 500 p. Kurniadji, M. N. N., Rancangan Proses Produksi Surfaktan Non Ionik Alkyl Polyglycosides (APG) Berbasis Pati Sagu dan Lauryl Alcohol (Dodekanol) serta Karakterisasinya pada Formulasi Herbisida. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Bogor. Margaretha, A Synthesis of Fructosa-Based Surfactans. Ph.D dissertation: Technische Universiteit Delft.

57 Martin, A. N., J. Swarbick, dan A. Cammarata Physical Pharmacy, second Ed., Lea & Febiger, Philadelphia. Dalam Moechtar Farmasi Fisika : Bagian Larutan dan Sistem Dispersi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Matheson, K. L Surfactant Raw Material: Classification, Synthesis, and Uses. In: Spitz, L. (Edl. Soap and Detergent: A Theoretical and Practical Review. AOCS Press, Champaign, Illinois. McWhorter, C. G Adjuvants for Herbicides chapter 2: The use of Adjuvants. Weed science Society of America, Champaign, Illinois. Moechtar Farmasi Fisika : Bagian Larutan dan Sistem Dispersi, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Moenandir, J Fisiologi Herbisida (Ilmu Gulma : buku II). Rajawali Pers. Jakarta. Pomeranz, Y Functionalk Properties of Food Components. Second Edition. Academic Press Inc Porter, R. M Handbooks of Surfactant. Chapman and Hall, New York. Present, Z All About Fatty alkohol. Dalam 12 Maret Rieger, M. M Surfactan in Cosmetic. Surfactan Science Series. Marcel Dekker Inc., New York. pp 488. Samad, M. Y Meningkatkan Produksi Industri Kecil Sagu Melalui Penerapan Teknologi Ekstraksi Semi Mekanis. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol.4, No.5, (Agustus 2002), hal Humas-BPPT/ANY Sukman, Y., dan Yakup Gulma dan Teknik Pengendaliannya. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Suryani, A., I. Sailah, dan E. Hambali Teknologi Emulsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Swern, D Bailey s Industrial Oil and fat Products. Vol. 14 th Edition. John Willey and Son Inc., New York. Tominack, R. L Herbicide Formulations. J. Toxicol Clin Toxico l38: Tjitrosoedirdjo, S., I. H. Utomo dan J. Wiroatmojo Pengelolaan Gulma di Perkebunan. PT. Gramedia. Jakarta. Utomo, I. H Beberapa Hasil Penelitian Pengujian Round Up 75 WSG pada Lahan Alang-alang di Perkebunan. Kumpulan Makalah Peluncuran Produk BaruHerbisida 75 WSG. PT. Monagro Kimia. Bandar Lampung. 8 hal. Wuest, W., R. Eskuchen, J. Wollman, K. Hill, dan M. Biermann Patens: Process for Preparing Alkyl Glucosides Compounds from Oligo-and/or Polysaccharides. dalam 12 Februari 2007.

58

59 Lampiran 1. Analisis yang dilakukan pada alkil poliglikosida (APG) dan herbisida 1. Rendemen Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG hasil destilasi yang diperoleh dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. Berat APG hasil destilasi Rendemen (%) = x 100 Berat total bahan baku awal 2. Stabilitas emulsi (Modifikasi ASTM D 1436, 2000) Stabilitas emulsi diukur diantara air dan xilena. Xilena dan air dicampur dengan perbandingan 6:4. Campuran tersebut dikocok selama 5 menit menggunakan vortex mixer. Pemisahan emulsi antara xilena dan air diukur berdasarkan lamanya pemisahan antar fasa sebelum dan sesudah ditambahkan surfaktan dibandingkan nilainya. Penetapan stabilitas emulsi dengan cara yang sederhana, yaitu dengan cara pengukuran berdasarkan pemisahan dengan asumsi bahwa sistem emulsi yang sempurna bernilai 100. (Tinggi keseluruhan-tinggi pemisahan) % Stabilitas = x 100 Tinggi keseluruhan 3. Penentuan nilai HLB Nilai HLB digunakan untuk menentukan sifat kelarutan surfaktan APG di dalam air dan menentukan aplikasi surfaktan berdasarkan nilai HLB yang dimiliki surfaktan APG. Penentuan nilai HLB (Gupta et al dalam Kuang et al. 2000). HLB dari surfaktan APG ditentukan menggunakan metode bilangan air (water number method). Larutan surfaktan APG yang mengandung 1 g surfaktan APG dalam 25 ml campuran piridina dan benzena 95:5 (v/v) difiltrasi dengan aquases sampai kekeruhan permanen. Nilai HLB dari sampel surfaktan APG diperoleh dengan interpolasi pada kurva standar HLB.

60 4. Pengukuran tegangan permukaan metode Du Nouy (ASTM D ) Peralatan dan wadah sampel yang digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu dengan larutan asam sulfat-kromat dan dibilas dengan aquades, lalu dikeringkan. Cincin platinum yang digunakan pada alat tensiometer dan mempunyai mean circumferense = Posisi alat diatur agar horizontal dengan water pass dan diletakkan pada tempat yang bebas dari gangguan, seperti getaran, angin, sinar matahari dan panas. Larutan surfaktan dengan ragam konsentrasi, dimasukkan ke dalam gelas kimia dan diletakkan di atas dudukan tensiometer. Suhu cairan di ukur dan dicatat. Selanjutnya cincin platinum dicelupkan ke dalam sampel tersebut (lingkaran logam tercelup ± 3 mm di bawah permukaan cincin). Skala vernier tensiometer diatur pada posisi nol dan jarum penunjuk harus berada pada posisi terhimpit dengan garis pada kaca. Selanjutnya kawat torsi diputar perlahanlahan sampai film cairan tepat putus, saat film cairan tepat putus, skala di baca dan dicatat sebagai nilai tegangan permukaan. 5. Pengukuran tegangan antarmuka (ASTM D ) Metode menentukan tegangan antarmuka hampir sama dengan pengukuran tegangan permukaan. Tegangan antarmuka menggunakan dua cairan yang berbeda tingkat kepolarannya, yaitu larutan surfaktan dengan ragam konsentrasi dan xilena (1:1). Larutan surfaktan terlebih dahulu dimasukkan ke dalam wadah sampel, kemudian dicelupkan cincin platinum ke dalamnya (lingkaran logam tercelup ± 3 mm di bawah permukaan cincin). Setelah itu, secara hati-hati larutan xilena ditambahkan di atas larutan surfaktan sehingga sistem terdiri atas dua lapisan. Kontak antara cincin dan larutan xilena sebelum pengukuran harus dihindari. Setelah tegangan antarmuka mencapai equilibrium, yaitu benar-benar terbentuk dua lapisan terpisah yang sangat jelas, pengukuran selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama pada pengukuran tegangan permukaan.

61 6. Penyimpanan Herbisida Untuk mengetahui daya tahan herbisida terhadap penyimpanan, maka formula herbisida yang telah dibuat disimpan selama 5 minggu pada suhu kamar. Setiap minggu diamati kestabilan formula dan pada minggu terakhir dianalisis ph dan tegangan permukaannya. 7. Daya Berantas Herbisida Pengamatan dilaksanakan pada 1, 2, dan 3 MSA. Penilaian daya berantas herbisida dilakukan dengan membuat skoring skala 0 4, keterangan nilai skoring adalah sebagai berikut: 0 = tidak ada daya berantas 1 = daya berantas jelek 2 = daya berantas sedang 3 = daya berantas baik 4 = daya berantas baik sekali (gulma mati semua) 8. Persentase Penutupan Gulma Pengamatan dilakukan secara visual pada setiap petak percobaan. Selang penutupan gulma antara 0 100% yang diamati pada 1, 2, dan 3 MSA. Untuk menghilangkan subyektifitas, pengamatan dilakukan minimal oleh tiga orang. 9. Bobot Kering Gulma Bobot kering gulma dihitung setiap petak dengan mengambil contoh melalui dua kali penempatan kuadrat secara sistematis. Bobot keringnya dipisahkan berdasarkan bobot kering total, golongan rumput, golongan daun lebar, dan golongan teki. Gulma dalam kuadrat dipotong di atas permukaan tanah dan dipisahkan berdasarkan golongan. Gulma kemudian di oven dengan suhu 105 C selama 24 jam. Penimbangan bobot kering gulma dilakukan pada 1, 2, dan 3 MSA.

62 Lampiran 2. Penghitungan rendemen alkil poliglikosida (APG) Sagu : 20,25 gram Butanol : 78,5 gram Air : 17,5 gram Katalis (p-toluena) : 0,24 gram Alkohol lemak : 77,65 gram Katalis (p-toluena) : 0,12 gram DMSO : 2 gram NaOH : 1 gram 197,26 gram APG yang dihasilkan rata-rata: 19,28 gram. 19,28 gram Rendemen APG kasar = x 100 % 197,26 gram = 9,77 %

63 Lampiran 3. Penghitungan nilai HLB alkil poliglikosida (APG) Penentuan kurva standar HLB Surfaktan Aquades yang dipakai (ml) Rata-rata HLB Asam oleat 14,3 16,8 15,55 1 Span 20 38,3 37,7 38,00 8,6 Tween80 67,7 70,0 68,85 15 Gambar Kurva standar HLB Aquades yang dibutuhkan untuk titrasi APG = 43,15 ml y = 14 x - 164,4 53,3 y = 8,25 jadi nilai HLB APG adalah 8,25

64 Lampiran 4. Data hasil penelitian, analisa ragam dan uji lanjut Duncan kestabilan formulasi herbisida A. Data hasil penelitian kestabilan formulasi herbisida (%) Konsentrasi Konsentrasi Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Kode glifosat APG Ulangan Ulangan Ratarata 1 2 rata 1 2 rata Ulangan Ulangan Rata- Ulangan Ulangan Rata- (%(b/v)) (%(b/v)) 1 2 A ,00 92,31 96,15 100,00 92,31 96,15 100,00 92,31 96,15 B ,23 96,92 93,08 89,23 95,38 92,31 89,23 95,38 92,31 C ,38 70,77 83,08 95,38 69,23 82,31 95,38 69,23 82,31 D ,00 78,46 69,23 60,00 76,92 68,46 60,00 76,92 68,46 E ,00 100,00 100,00 100,00 98,46 99,23 100,00 98,46 99,23 F ,46 100,00 99,23 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 G ,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 H ,00 98,46 99,23 100,00 98,46 99,23 100,00 98,46 99,23 I ,00 98,46 99,23 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 J ,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 K ,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 L ,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 98,46 Catatan: Untuk mingu ke-4 dan ke-5 nilai kestabilan sama seperti minggu ke-3.

65 B. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan kestabilan formulasi herbisida minggu ke-1 (α = 0,05) 1. Analisis ragam (ANOVA) kestabilan formulasi herbisida minggu ke-1 Source Type III Sum Mean df of Squares Square F hitung F tabel Sig. Glifosat 981, ,816 10,990 3,89 0,002 APG 320, ,888 2,393 3,49 0,119 Glifosat * APG 565, ,249 2,110 3,00 0,128 Error 535, ,659 Corrected Total 2403, Nilai F hitung > F tabel : Berpengaruh nyata Nilai F hitung < F tabel : Tidak berpengaruh nyata 2. Uji lanjut Duncan kestabilan formulasi herbisida minggu ke-1 Uji lanjut Duncan kestabilan formulasi Herbisida minggu ke-1 faktor konsentrasi glifosat Konsentrasi glifosat (%) N Rataan Pengelompokan Duncan ,3837 A ,6525 B ,2300 B Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata

66 C. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan kestabilan formulasi herbisida minggu ke-2 (α = 0,05) 1. Analisis ragam (ANOVA) kestabilan formulasi herbisida minggu ke-2 Source Type III Sum Mean df of Squares Square F hitung F tabel Sig. Glifosat 1023, ,546 11,455 3,89 0,002 APG 300, ,306 2,246 3,49 0,135 Glifosat * APG 617, ,872 2,304 3,00 0,103 Error 535, ,659 Corrected Total 2477, Nilai F hitung > F tabel : Berpengaruh nyata Nilai F hitung < F tabel : Tidak berpengaruh nyata 2. Uji lanjut Duncan kestabilan formulasi herbisida minggu ke-2 Uji lanjut Duncan kestabilan formulasi herbisida minggu ke-2 faktor konsentrasi glifosat Konsentrasi glifosat (%) N Rataan Pengelompokan Duncan ,8063 A ,4600 B ,8450 B Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata Catatan: Untuk minggu ke-3, ke-4 dan ke-5 hasil analisis ragam sama seperti minggu ke-2 karena datanya tidak mengalami perubahan.

67 Lampiran 5. Data hasil penelitian, analisa ragam dan uji lanjut Duncan tegangan permukaan herbisida A. Data hasil penelitian tegangan permukaan herbisida (dyne/cm) Kode Konsentrasi glifosat (%(b/v)) Konsentrasi APG (%(b/v)) Awal Minggu ke-5 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata A ,25 29,25 29,25 29,00 29,00 29,00 B ,00 28,50 28,75 28,75 28,75 28,75 C ,50 28,25 28,38 28,50 28,50 28,50 D ,25 28,00 28,13 28,25 28,25 28,25 E ,50 28,75 28,13 28,88 29,00 28,94 F ,38 28,38 27,88 28,75 28,75 28,75 G ,25 28,25 27,75 28,25 28,50 28,38 H ,13 28,13 27,63 28,00 28,38 28,19 I ,50 28,75 28,63 29,00 29,00 29,00 J ,13 28,13 28,13 28,38 28,50 28,44 K ,88 27,75 27,81 28,00 28,00 28,00 L ,75 27,63 27,69 27,75 27,75 27,75

68 B. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan tegangan permukaan herbisida awal (α = 0,05) 1. Analisis ragam (ANOVA) tegangan permukaan herbisida awal Source Type III Sum Mean df of Squares Square F hitung F tabel Sig. Glifosat 2, ,291 6,156 3,89 0,014 APG 2, ,831 3,963 3,49 0,035 Glifosat * APG 0, ,043 0,204 3,00 0,969 Error 2, ,210 Corrected Total 7, Nilai F hitung > F tabel : Berpengaruh nyata Nilai F hitung < F tabel : Tidak berpengaruh nyata 2. Uji lanjut Duncan tegangan permukaan herbisida awal Uji lanjut Duncan tegangan permukaan herbisida awal faktor konsentrasi glifosat Konsentrasi glifosat (%) N Rataan Pengelompokan Duncan ,8462 A ,0650 A ,6250 B Uji lanjut Duncan tegangan permukaan herbisida awal faktor konsentrasi APG Konsentrasi APG (%) N Rataan Pengelompokan Duncan ,8150 A ,9800 A ,2533 A B ,6667 B Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata

69 C. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan tegangan permukaan herbisida minggu ke-5 (α = 0.05) 1. Analisis ragam (ANOVA) tegangan permukaan herbisida minggu ke-5 Source Type III Sum Mean df of Squares Square F hitung F tabel Sig. Glifosat 0, ,243 24,695 3,89 0,000 APG 2, ,972 98,954 3,49 0,000 Glifosat * APG 0, ,036 3,680 3,00 0,026 Error 0, ,010 Corrected Total 3, Nilai F hitung > F tabel : Berpengaruh nyata 2. Uji lanjut Duncan tegangan permukaan herbisida minggu ke-5 Uji lanjut Duncan tegangan permukaan herbisida minggu ke-5 antara faktor konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG Kode Konsentrasi glifosat (%) Konsentrasi APG (%) N Rataan Pengelompokan Duncan L ,75 A K ,00 B H ,19 B C D ,25 C D G ,37 C D E J ,44 D E C ,50 E B ,75 F F ,75 F E ,94 F G A ,00 G I ,00 G Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata

70 Lampiran 6. Data hasil penelitian dan uji Kruskal Wallis daya berantas herbisida A. Data hasil penelitian daya berantas herbisida Konsentrasi glifosat Konsentrasi APG 16% 4% 16% 6% 16% 8% 16% 10% 24% 4% 24% 6% 24% 8% 24% 10% 48% 4% 48% 6% 48% 8% 48% 10% Kode 1 MSA 2 MSA 3 MSA P1 P2 P3 P1 P2 P3 P1 P2 P3 A A B B C C D D E E F F G G H H I I J J K K L L Keterangan : P1: Pengamat ke-1, P2: Pengamat ke-2, P3: Pengamat ke-3, A1: Ulangan ke-1, A2: Ulangan ke-2, MSA: Minggu Setelah Aplikasi B. Uji Kruskal Wallis daya berantas herbisida (α = 0,05) Uji Kruskal Wallis daya berantas herbisida selama 3 MSA karena pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG Pengamatan Glifosat APG Df h x Df h x MSA 2 27,166 5, ,299 7,815 2 MSA 2 47,025 5, ,804 7,815 3 MSA 2 50,699 5, ,946 7,815 Nilai h > x : Berpengaruh nyata Nilai h < x : Tidak berpengaruh nyata

71 Lampiran 7. Foto-foto aplikasi formulasi herbisida A. Formulasi glifosat 16% + APG 4% 0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA B. Formulasi glifosat 16% + APG 6% 0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA

72 C. Formulasi glifosat 16% + APG 8% 0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA D. Formulasi glifosat 16% + APG 10% 0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA

73 E. Formulasi glifosat 24% + APG 4% 0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA F. Formulasi glifosat 24% + APG 6% 0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA

74 G. Formulasi glifosat 24% + APG 8% 0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA H. Formulasi glifosat 24% + APG 10% 0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA

75 I. Formulasi glifosat 48% + APG 4% 0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA J. Formulasi glifosat 48% + APG 6% 0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA

76 K. Formulasi glifosat 48% + APG 8% 0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA L. Formulasi glifosat 48% + APG 10% 0 MSA 1 MSA 2 MSA 3 MSA

PEMANFAATAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS ALKOHOL LEMAK DARI MINYAK KELAPA (C 12 ) DAN PATI SAGU SEBAGAI SURFAKTAN DALAM FORMULASI HERBISIDA

PEMANFAATAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS ALKOHOL LEMAK DARI MINYAK KELAPA (C 12 ) DAN PATI SAGU SEBAGAI SURFAKTAN DALAM FORMULASI HERBISIDA PEMANFAATAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS ALKOHOL LEMAK DARI MINYAK KELAPA (C 12 ) DAN PATI SAGU SEBAGAI SURFAKTAN DALAM FORMULASI HERBISIDA Oleh: D A R T O F34104009 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran 3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Penggunaan pati sebagai bahan baku dalam proses sintesis APG harus melalui dua tahapan yaitu butanolisis dan transasetalisasi. Pada butanolisis terjadi hidrolisis

Lebih terperinci

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan.

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. Lampiran 1 Prosedur analisis surfaktan APG 1) Rendemen Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. % 100% 2) Analisis

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu pada proses butanolisis Proses sintesis APG dua tahap diawali oleh proses butanolisis. Penggunaan bahan baku sakarida yang memiliki dextrose

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang dapat diproduksi secara sintesis kimiawi ataupun biokimiawi. Surfaktan memiliki gugus hidrofobik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui hasil produk APG bila diganti bahan baku penyusunnya. Untuk mengetahui telah tersintesisnya produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. products), kosmetik maupun untuk pemucatan kain/tekstil (Hill & Rhode 1999). 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. products), kosmetik maupun untuk pemucatan kain/tekstil (Hill & Rhode 1999). 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak produk kimia diproduksi dengan menggunakan bahan baku dari petrokimia atau gas alam, dimana bahan baku ini akan tersedia dalam jumlah yang cukup dalam beberapa

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 S u r f a k t a n

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 S u r f a k t a n 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 S u r f a k t a n Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent). Surfaktan merupakan molekul amphipatic yang memiliki sifat hidrofilik yang

Lebih terperinci

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Tania S. Utami *), Rita Arbianti, Heri Hermansyah, Wiwik H., dan Desti A. Departemen Teknik

Lebih terperinci

METODE. = hasil pengamatan pada ulangan ke-j dari perlakuan penambahan madu taraf ke-i µ = nilai rataan umum

METODE. = hasil pengamatan pada ulangan ke-j dari perlakuan penambahan madu taraf ke-i µ = nilai rataan umum METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Kimia Fisik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SURFAKTAN Surfaktan yang merupakan singkatan dari surface active agent, didefinisikan sebagai suatu bahan yang mengadsorbsi pada permukaan atau antarmuka (interface) larutan

Lebih terperinci

Lampiran 2 Prosedur sintesis surfaktan APG

Lampiran 2 Prosedur sintesis surfaktan APG 58 Lampiran 2 Prosedur sintesis surfaktan APG ) Tahap Butanolisis Tahap ini mereaksikan pati, butanol, air serta katalis asam p-toluena sulfonat (PTSA) dengan perbandingan ratio mol pati:butanol:air:katalis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI GLUKOSA DAN DODEKANOL DENGAN KATALIS ASAM

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI GLUKOSA DAN DODEKANOL DENGAN KATALIS ASAM SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI GLUKOSA DAN DODEKANOL DENGAN KATALIS ASAM Anastasia Wulan Pratidina Swasono, Putri Dei Elvarosa Sianturi, Zuhrina Masyithah Departemen Teknik Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

A. Sifat Fisik Kimia Produk

A. Sifat Fisik Kimia Produk Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan mulai 1 Agustus 2009 sampai dengan 18 Januari 2010 di Laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) LPPM IPB dan Laboratorium

Lebih terperinci

PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL FEBRUADI BASTIAN

PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL FEBRUADI BASTIAN PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL FEBRUADI BASTIAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit LAMPIRAN Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit 46 Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Metil Ester Olein Gas SO 3 7% Sulfonasi Laju alir ME 100 ml/menit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang dapat mengubah sifat permukaan bahan yang dikenainya. Sifat aktif dari surfaktan disebabkan adanya struktur

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini terdiri dari bahan utama yaitu biji kesambi yang diperoleh dari bantuan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Lebih terperinci

Gambar 7 Desain peralatan penelitian

Gambar 7 Desain peralatan penelitian 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah pemucat bekas yang diperoleh dari Asian Agri Group Jakarta. Bahan bahan kimia yang digunakan adalah

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO)

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METDE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sebagian besar sumber bahan bakar yang digunakan saat ini adalah bahan bakar fosil. Persediaan sumber bahan bakar fosil semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer Emulsi 2.1.1 Definisi Polimer Emulsi Polimer emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas dimana suatu monomer atau campuran monomer dipolimerisasikan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA TEGANGAN PERMUKAAN KELOMPOK 1 SHIFT A 1. Dini Mayang Sari (10060310116) 2. Putri Andini (100603) 3. (100603) 4. (100603) 5. (100603) 6. (100603) Hari/Tanggal Praktikum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Inti Sawit (PKO) Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit semula

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah senyawa amphiphilic, yang merupakan molekul heterogendan berantai panjangyang memiliki bagian kepala yang suka air (hidrofilik)

Lebih terperinci

Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar

Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar Lampiran 2. Penentuan Faktor Koreksi pada Pengukuran Tegangan Permukaan (γ) dengan Alat Tensiometer Du Nuoy Faktor koreksi = ( γ ) air menurut literatur ( γ

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. ALAT DAN BAHAN Peralatan yang digunakan adalah jangka sorong, destilator, pompa vacum, pinset, labu vacum, gelas piala, timbangan analitik, tabung gelas/jar, pipet, sudip,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Metode Pembuatan Petak Percobaan Penimbangan Dolomit Penanaman

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Metode Pembuatan Petak Percobaan Penimbangan Dolomit Penanaman MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan mulai akhir bulan Desember 2011-Mei 2012. Penanaman hijauan bertempat di kebun MT. Farm, Desa Tegal Waru. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. Hal ini dikarenakan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus

Lebih terperinci

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku Bahan baku yang digunakan untuk penelitian ini adalah gliserol kasar (crude glycerol) yang merupakan hasil samping dari pembuatan biodiesel. Adsorben

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Bahan baku surfaktan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Bahan baku surfaktan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) merupakan salah satu oleokimia turunan yang satu molekulnya memiliki gugus hidrofilik (bagian polar/yang suka air) dan gugus hidrofobik

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa, dan (7) Waktu

Lebih terperinci

Gambar 1. Contoh Gugus Fungsi Surfaktan (Myers, 1946)

Gambar 1. Contoh Gugus Fungsi Surfaktan (Myers, 1946) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN Surfaktan adalah molekul ampifilik atau ampifatik yang terdiri dari dua gugus yaitu gugus hidrofobik yang bersifat non polar dan gugus hidrofilik yang bersifat polar

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jelantah Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. Minyak jelantah masih memiliki asam lemak dalam bentuk terikat dalam trigliserida sama

Lebih terperinci

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C Lipid Sifat fisika lipid Berbeda dengan dengan karbohidrat dan dan protein, lipid bukan merupakan merupakan suatu polimer Senyawa organik yang terdapat di alam Tidak larut di dalam air Larut dalam pelarut

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur Penelitian

MATERI DAN METODE. Prosedur Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang bertempat di Laboratorium Pengolahan Limbah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2.

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2. PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2. Mengetahui dan memahami cara menentukan konsentrasi

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : 19630504 198903 2 001 DIBIAYAI OLEH DANA DIPA Universitas Riau Nomor: 0680/023-04.2.16/04/2004, tanggal

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat Penelitian Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu blotong dan sludge industri gula yang berasal dari limbah padat Pabrik Gula PT. Rajawali

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK. Disusun Oleh :

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK. Disusun Oleh : LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK Disusun Oleh : Nama : Veryna Septiany NPM : E1G014054 Kelompok : 3 Hari, Jam : Kamis, 14.00 15.40 WIB Ko-Ass : Jhon Fernanta Sipayung Lestari Nike Situngkir Tanggal Praktikum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi dengan menggunakan bahan baku dari minyak nabati seperti kelapa

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Alat yang digunakan adalah hotplate stirrer, reaktor labu leher tiga dan alat sentrifuse. Alat yang digunakan dalam analisis deterjen cair adalah viscosimeter

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gliserol Biodiesel dari proses transesterifikasi menghasilkan dua tahap. Fase atas berisi biodiesel dan fase bawah mengandung gliserin mentah dari 55-90% berat kemurnian [13].

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Peta potensi kelapa dunia ha 1. Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Peta potensi kelapa dunia ha 1. Indonesia 4 TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Luas areal dan produksi kelapa Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Pada tahun 2006 Indonesia memiliki luas areal pertanaman kelapa 3,818 juta Ha (32,37 %) disusul berturut-turut

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN 1. Ekstraksi Biji kesambi dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling dengan penggiling mekanis. Tujuan pengeringan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lemak dan minyak adalah trigliserida yang berarti triester (dari) gliserol. Perbedaan antara suatu lemak adalah pada temperatur kamar, lemak akan berbentuk padat dan

Lebih terperinci

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI FATTY ALCOHOL (C 16 ) SAWIT DAN GLUKOSA CAIR 85% DENGAN PERLAKUAN PERBEDAAN NISBAH MOL

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI FATTY ALCOHOL (C 16 ) SAWIT DAN GLUKOSA CAIR 85% DENGAN PERLAKUAN PERBEDAAN NISBAH MOL SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI FATTY ALCOHOL (C 16 ) SAWIT DAN GLUKOSA CAIR 85% DENGAN PERLAKUAN PERBEDAAN NISBAH MOL MUHAMMAD RUM SYAFRUDDIN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin. Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida atau trigliserol, dimana berarti lemak dan minyak merupakan triester dari gliserol. Dari pernyataan tersebut, jelas menunjukkan bahwa lemak dan minyak merupakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI F. ALAT DAN BAHAN

III. METODOLOGI F. ALAT DAN BAHAN III. METODOLOGI F. ALAT DAN BAHAN 1. Alat Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan rangkaian peralatan proses pembuatan faktis yang terdiri dari kompor listrik,panci, termometer, gelas

Lebih terperinci

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN SIFAT PERMUKAAN Terdapat pada sistem pangan yang merupakan sistem 2 fase (campuran dari cairan yang tidak saling melarutkan immiscible) Antara 2

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat Peralatan yang digunakan untuk memproduksi MESA adalah Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Gambar STFR dapat dilihat pada Gambar 6. Untuk menganalisis tegangan

Lebih terperinci

TUGAS FISIKA FARMASI TEGANGAN PERMUKAAN

TUGAS FISIKA FARMASI TEGANGAN PERMUKAAN TUGAS FISIKA FARMASI TEGANGAN PERMUKAAN Disusun Oleh : Nama NIM : Anita Ciptadi : 16130976B PROGRAM STUDI D-III FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA 2013/2014 KATA PENGANTAR Puji syukur

Lebih terperinci

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan adalah zat yang dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat menaik dan menurunkan

Lebih terperinci

OPTIMASI NISBAH MOL GLUKOSA-FATTY ALCOHOL C 12 DAN SUHU ASETALISASI PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN NONIONIK ALKYL POLYGLYCOSIDES (APG)

OPTIMASI NISBAH MOL GLUKOSA-FATTY ALCOHOL C 12 DAN SUHU ASETALISASI PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN NONIONIK ALKYL POLYGLYCOSIDES (APG) OPTIMASI NISBAH MOL GLUKOSA-FATTY ALCOHOL C 12 DAN SUHU ASETALISASI PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN NONIONIK ALKYL POLYGLYCOSIDES (APG) Oleh ROCHMAD INDRAWANTO F341030108 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph meter,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI)

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) Di Susun Oleh : Nama praktikan : Ainutajriani Nim : 14 3145 453 048 Kelas Kelompok : 1B : IV Dosen Pembimbing : Sulfiani, S.Si PROGRAM STUDI DIII ANALIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembuatan surfaktan tidak hanya dalam pencarian jenis surfaktan yang baru untuk suatu aplikasi tertentu di suatu industri, tetapi juga melakukan pencarian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,

BAHAN DAN METODE. Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2013 di Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian, Medan. Bahan Penelitian Bahan utama yang

Lebih terperinci

3. Metodologi Penelitian

3. Metodologi Penelitian 3. Metodologi Penelitian 3.1 Alat dan bahan 3.1.1 Alat Peralatan gelas yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas kimia, gelas ukur, labu Erlenmeyer, cawan petri, corong dan labu Buchner, corong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Tanaman kelapa (Cocos nucifera L) sering disebut tanaman kehidupan karena bermanfaat bagi kehidupan manusia diseluruh dunia. Hampir semua bagian tanaman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 14 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini pemerintah menghimbau masyarakat dan pengusaha untuk meningkatkan ekspor non migas sebagai sumber devisa negara. Sangat diharapkan dari sektor pertanian,

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT

LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT Diajukan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Diploma III

Lebih terperinci

SINTESIS ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% FINA UZWATANIA

SINTESIS ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% FINA UZWATANIA SINTESIS ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% FINA UZWATANIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PEMBUATAN LATEKS POLISTIRENA MENGGUNAKAN PENGEMULSI DETERJEN KOMERSIL SKRIPSI NORA PARDEDE

PEMBUATAN LATEKS POLISTIRENA MENGGUNAKAN PENGEMULSI DETERJEN KOMERSIL SKRIPSI NORA PARDEDE PEMBUATAN LATEKS POLISTIRENA MENGGUNAKAN PENGEMULSI DETERJEN KOMERSIL SKRIPSI NORA PARDEDE 090822029 DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 29 METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Alat Penelitian Bahan baku yang digunakan pada pembuatan skin lotion meliputi polietilen glikol monooleat (HLB12,2), polietilen glikol dioleat (HLB 8,9), sorbitan monooleat

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium SBRC LPPM IPB dan Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian FATETA IPB mulai bulan September 2010

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN 22 BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Produksi Furfural Bonggol jagung (corn cobs) yang digunakan dikeringkan terlebih dahulu dengan cara dijemur 4-5 hari untuk menurunkan kandungan airnya, kemudian

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 21 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Ubi kayu merupakan salah satu hasil pertanian dengan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pembuatan etanol. Penggunaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jarak duri (Ricinus communis L.) termasuk dalam famili

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jarak duri (Ricinus communis L.) termasuk dalam famili BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Jarak Duri Tanaman jarak duri (Ricinus communis L.) termasuk dalam famili Euphorbiaceae, merupakan tanaman tahunan yang hidup di daerah tropik maupun sub tropik, dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang sungai Kali Pucang, Cilacap. Sampel yang diambil berupa tanaman

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang begitu pesat telah menyebabkan penambahan banyaknya kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Salah satu bahan baku dan bahan penunjang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Satu Penentuan Formula Pembuatan Sabun Transparan Penelitian tahap satu merupakan tahap pemilihan formula pembuatan sabun trasnparan. Hasil penelitian tahap satu ini

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar dari PT Rajawali Nusantara ini dikemas dalam kemasan karung, masing-masing karung berisi kurang lebih 30 kg. Hasil

Lebih terperinci

PRODUKSI SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DAN APLIKASINYA PADA SABUN CUCI TANGAN CAIR

PRODUKSI SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DAN APLIKASINYA PADA SABUN CUCI TANGAN CAIR PRODUKSI SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DAN APLIKASINYA PADA SABUN CUCI TANGAN CAIR SITI AISYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 1 1 RINGKASAN SITI AISYAH. Produksi Surfaktan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jarak pagar varietas Lampung IP3 yang diperoleh dari kebun induk jarak pagar BALITRI Pakuwon, Sukabumi.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan pada produk sabun transparan yang dihasilkan berasal dari

Lebih terperinci

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu 40 Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar air (AOAC 1995, 950.46) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven selama 2 jam dengan suhu 105 o C dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PADA PROSES ESTERIFIKASI SORBITOL DENGAN ASAM OLEAT MENGGUNAKAN KATALIS ASAM p-toluene sulfonate

PENGARUH SUHU PADA PROSES ESTERIFIKASI SORBITOL DENGAN ASAM OLEAT MENGGUNAKAN KATALIS ASAM p-toluene sulfonate PENGARUH SUHU PADA PROSES ESTERIFIKASI SORBITOL DENGAN ASAM OLEAT MENGGUNAKAN KATALIS ASAM p-toluene sulfonate Lik Anah Pusat Penelitian Kimia LIPI Jalan Cisitu Sangkuriang, Bandung 40135 Telp. : (022)

Lebih terperinci

ZAHRA NURI NADA YUDHO JATI PRASETYO

ZAHRA NURI NADA YUDHO JATI PRASETYO SKRIPSI TK091383 PEMBUATAN HIDROGEN DARI GLISEROL DENGAN KATALIS KARBON AKTIF DAN Ni/HZSM-5 DENGAN METODE PEMANASAN KONVENSIONAL ZAHRA NURI NADA 2310100031 YUDHO JATI PRASETYO 2310100070 Dosen Pembimbing:

Lebih terperinci

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F34103041 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Bilamana beberapa fase berada bersama-sama, maka batas di antara fase-fase ini dinamakan antarmuka (interface).

Bilamana beberapa fase berada bersama-sama, maka batas di antara fase-fase ini dinamakan antarmuka (interface). 2 3 4 Bilamana beberapa fase berada bersama-sama, maka batas di antara fase-fase ini dinamakan antarmuka (interface). Antar muka dapat berada dalam beberapa jenis, yang dapat berwujud padat, cair atau

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Beberapa tahun ini produksi minyak bumi selalu mengalami penurunan, sedangkan konsumsi minyak selalu mengalami penaikan. Menurut Pusat Data Energi dan Sumber Daya

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pendahuluan Proses pembuatan MCT dapat melalui dua reaksi. Menurut Hartman dkk (1989), trigliserida dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi asam lemak kaprat/kaprilat

Lebih terperinci

4 Hasil dan pembahasan

4 Hasil dan pembahasan 4 Hasil dan pembahasan 4.1 Sintesis dan Pemurnian Polistiren Pada percobaan ini, polistiren dihasilkan dari polimerisasi adisi melalui reaksi radikal dengan inisiator benzoil peroksida (BPO). Sintesis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia dengan volume ekspor minyak kelapa sawit mencapai16,436 juta ton pada tahun

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian dan

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,

Lebih terperinci