IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
|
|
- Ratna Hermanto
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah Cirebon. Analisis biji jarak pagar bertujuan untuk mengetahui kondisi awal bahan baku yang digunakan dalam penelitian. Analisis yang dilakukan terhadap biji jarak pagar ini meliputi kadar air, kadar abu, dan kadar minyak. Hasil analisis terhadap biji jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Analisis Biji Jarak Pagar Analisis Proksimat Nilai (%) Kadar Air 8,90 Kadar Abu 4,62 Kadar Minyak 39,87 Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa biji jarak pagar mengandung kadar minyak sebanyak 39,87%. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, kadar minyak biji jarak yang diperoleh tidak berbeda terlalu jauh. Berdasarkan beberapa literatur, kadar minyak biji jarak memang berkisar antara 30-50%. Kadar minyak dari biji jarak pagar yang tinggi ini menunjukkan bahwa jarak pagar sangat potensial untuk dikembangkan sebagai sumber minyak nabati dalam produksi surfaktan methyl ester sulfonates acid (MESA). Dalam analisis juga diperoleh data bahwa kadar air dalam biji jarak cukup tinggi, yakni 8,9%. Nilai kadar air yang diperoleh ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan literatur yakni 3,1-5,8% (Gubitz et al., 1999), 5% (Peace and Aladesanmi, 2008), dan 5,77% (Winkler et al., 1997). Kadar abu ini menunjukkan jumlah kandungan bahan anorganik dalam biji jarak pagar. Sama halnya dengan kadar minyak, hasil analisis menunjukkan
2 bahwa kadar abu biji jarak pagar yang diperoleh tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan literatur, yakni sebesar 4,62%. Kadar abu ini menunjukkan jumlah kandungan bahan anorganik dalam biji jarak pagar. Literatur menunjukkan bahwa pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, kadar abu biji jarak umumnya berkisar antara 3,6-4,3% (Gubitz et al.,1999). Pada tahapan selanjutnya karakterisasi dilakukan terhadap minyak jarak pagar yang diperoleh dari hasil pengepresan biji yang telah dianalisis sebelumnya. Karakterisasi ini perlu dilakukan guna mengetahui sifat fisikokima dari minyak jarak pagar kasar sebelum diolah menjadi metil ester. Karakterisasi ini meliputi analisis kadar abu, FFA, bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan iod, dan densitas. Tabel 6 di bawah ini menunjukkan hasil dari karakterisasi minyak jarak. Tabel 6. Hasil Analisis Minyak Jarak Kasar Analisis Satuan Nilai Kadar Abu % 0,042 FFA % 10,98 Bilangan Asam mg KOH/g lemak 20,94 Bilangan Iod mg iod/g lemak 99,34 Bilangan Penyabunan mg KOH/g lemak 197,6 Densitas g/cm 3 0,91 Berdasarkan Tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa nilai persentase FFA dan bilangan asam dari minyak jarak cukup tinggi, yakni berturut-turut sebesar 10,98% dan 20,94 mg KOH/g lemak. Tingginya nilai FFA dan bilangan asam ini diduga karena biji jarak yang digunakan telah mengalami proses penyimpanan. Secara alami, biji jarak pagar akan terus mengalami hidrolisis karena adanya kandungan air dan enzim lipase sehingga dapat memecah trigliserida menjadi asam lemak bebas. Dengan meningkatnya jumlah asam lemak bebas maka akan meningkatkan jumlah asam lemak dalam minyak yang terhitung sebagai bilangan asam. Akibat dari nilai FFA yang tinggi, maka
3 minyak jarak harus diesterifikasi terlebih dahulu sebelum ditransesterifikasi. Esterifikasi perlu dilakukan untuk mencegah pembentukan sabun pada saat proses transesterifikasi yang kemudian akan menganggu proses pemisahan gliserol dengan metil ester, serta akan berdampak langsung dalam penurunan rendemen metil ester yang dihasilkan. Nilai bilangan penyabunan minyak jarak pagar didapat sebesar 197,6 mg KOH/g minyak. Hal ini tidak berbeda jauh dengan minyak jarak berdasarkan penelitian Peace dan Aladesanmi (2008) yang menunjukkan hasil sebesar 198,5 mg KOH/g minyak. Bilangan iod menunjukkan banyaknya gram iodine yang terserap oleh 100 gram minyak atau lemak. Tinggi atau rendahnya bilangan iod tergantung pada komposisi asam lemak penyusunnya. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap tidak jenuh (Ketaren, 1986). Lebih lanjut Sinaga (2006) menjelaskan bahwa jenis asam lemak dominan pada minyak jarak adalah asam lemak oleat dan linoleat yang merupakan asam lemak tidak jenuh. Berdasarkan analisis, diperoleh bilangan iod sebesar 99,34 mg I 2 /g minyak. Bilangan iod yang diperoleh ini mendekati bilangan iod berdasarkan literatur yakni 96,5 mg I 2 /g minyak (Hambali et al.,2006).
4 B. ANALISIS METIL ESTER Pada penelitian ini, metil ester diperoleh setelah proses esterfikasi dan transesterifikasi minyak jarak pagar. Analisis metil ester diperlukan untuk mengetahui karakteristiknya sebelum diproses lebih lanjut dengan reaksi sulfonasi untuk memproduksi MESA. Analisis yang dilakukan terhadap metil ester meliputi kadar air, bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan, gliserol total, fraksi tak tersabunkan, dan kadar ester yang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Karakteristik metil ester minyak jarak pagar yang dihasilkan No Karakter Satuan Nilai 1 Kadar air, metode oven % 1,33 2,29 2 Bilangan asam mg KOH/g lemak 0,155 0,41 3 Bilangan iod mg Iod/g lemak 98,33 4 Bilangan penyabunan mg KOH/g lemak 214,46 5 Gliserol total %-b 0,12 0,27 6 Fraksi tak tersabunkan % 0,39 7 Kadar ester %, dihitung 98,9 Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa metil ester yang diproduksi sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh MacArthur (1998). Oleh karena itu, metil ester ini dapat digunakan untuk diproses lebih lanjut sebagai bahan baku MESA.
5 C. PENGARUH FAKTOR LAJU ALIR REAKTAN DAN SUHU REAKSI Proses sulfonasi terhadap metil ester merupakan kegiatan utama dalam penelitian ini. Proses ini akan menghasilkan surfaktan MESA. Metil ester yang digunakan sebagai bahan baku diperoleh dari proses esterifikasi dan transesterifikasi minyak jarak pagar. MESA yang dihasilkan berwarna kehitaman. Warna hitam yang ditimbulkan memang tidak bisa dihindari. Hal ini dikarenakan proses sulfonasi dengan gas SO 3 bersifat sangat reaktif sehingga menyebabkan adanya perubahan molekul karena panas (golongan keton dan aldehid). Panas dapat membuat minyak atau lemak menjadi hitam akibat proses oksidasi. Oleh karena produk hasil sulfonasi (MESA) berwarna kehitaman, maka sebenarnya diperlukan proses pemurnian untuk menghasilkan MES. Akan tetapi dalam penelitian ini tidak dilakukan pemurnian terhadap MESA karena perlu diketahui terlebih dahulu mengenai pengaruh dari laju alir reaktan dan suhu reaksi proses sulfonasi. Hal ini karena belum ada penelitian sebelumnya tentang faktor pengaruh laju alir reaktan dan suhu reaksi dalam pembuatan MESA berbasis minyak jarak pagar. Setelah diketahui pengaruh faktor dan kemudian kondisi terbaik dalam penelitian ini, maka proses pemurnian perlu dilakukan. Pada proses sulfonasi ini, faktor yang digunakan adalah laju alir reaktan dan suhu reaksi. Analisis yang dilakukan meliputi analisis tegangan permukaan, tegangan antar muka, bilangan iod, bilangan asam, kadar bahan aktif, dan ph dari MESA yang terbentuk. Data hasil analisis kemudian dihitung dengan menggunakan analisis statistik menggunakan software SPSS for Windows 10.0 sehingga diketahui pengaruh dari faktor-faktor yang digunakan sebagai parameter analisis dalam penelitian ini.
6 1. Tegangan Permukaan Terbentuknya tegangan permukaan pada suatu cairan disebabkan karena adanya gaya tarik menarik antara molekul-molekul pada cairan dengan udara (Durrant, 1953). Gaya tarik-menarik antara molekul-molekul pada cairan lebih besar daripada terhadap gas. Resultan gaya yang terjadi pada molekul-molekul di permukaan cenderung menggerakkan molekulmolekul tersebut menuju bagian pusat cairan sehingga menyebabkan cairan berperilaku membentuk lapisan tipis. Gaya tersebut dihitung sebagai tegangan permukaan. Definisi tegangan permukaan juga dikemukakan oleh Bird et al. (1983) sebagai suatu fenomena dari adanya ketidakseimbangan antara gaya-gaya yang dialami oleh molekul-molekul yang berada di permukaan. Akibat dari ketidakseimbangan gaya tersebut, maka molekul pada permukaan cenderung meninggalkan permukaan (masuk ke dalam cairan) sehingga permukaan cenderung menyusut. Apabila molekul dalam cairan akan pindah ke permukaan untuk memperluas permukaan, maka dibutuhkan usaha untuk mengatasi gaya tarik menarik antar molekul tersebut. Tegangan permukaan didefinisikan sebagai entalpi permukaan bebas per unit area dan gaya dalam permukaan suatu cairan untuk meminimalkan area dari permukaan tersebut. Ketika mengukur tegangan permukaan berarti mengukur energi bebas antar muka per unit area batas permukaan antara cairan dan udara di atasnya. Umumnya, tegangan permukaan dinyatakan dalam satuan dyne/cm atau mn/m (OECD, 1995). Hasil pengukuran tegangan permukaan menunjukkan nilai 64 dyne/cm (pada pengukuran kondisi laju alir reaktan 0,8; 0,9; dan 1,0 kg/jam) dan 68 dyne/cm (pada pengukuran kondisi laju alir reaktan 1,1 kg/jam). Setelah dilakukan penambahan MESA, nilai tegangan permukaan yang didapat sebesar 33,85 dyne/cm sampai 37,20 dyne/cm. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan MESA sebanyak 10% (v/v) mampu mengurangi tegangan permukaan air dalam rentang 41,87-50,22%. Besar penurunan yang hampir serupa juga diperoleh dari penelitian Pore
7 (1993) yang mendapatkan nilai penurunan tegangan permukaan sebesar 44,17% hingga 45,83%. Gambar 10. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO 3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai tegangan permukaan Nilai tegangan permukaan cenderung menurun dengan peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi laju alir reaktan memperbesar kemungkinan tumbukan antar partikel zat yang akan bereaksi. Dengan demikian kemungkinan terjadinya reaksi juga akan semakin besar. Dalam proses sulfonasi ini, reaksi yang diharapkan adalah terikatnya gugus sulfonat dari SO 3 pada atom karbon metil ester. Semakin besar terikatnya gugus sulfonat akan meningkatkan jumlah gugus hidrofilik dari MES. Gugus hidrofilik ini akan menurunkan gaya kohesi dari molekul air sehingga mampu menurunkan tegangan permukaan. Suhu juga memberikan pengaruh terhadap penurunan nilai tegangan permukaan. Segel (1993) mengatakan bahwa peningkatan suhu akan menyebabkan pada peningkatan jumlah energi bagi molekul reaktan sehingga tumbukan antar molekul per waktu lebih produktif. Oleh karena
8 itu, semakin besar suhu reaksi maka akan meningkatkan jumlah gugus hidrofilik sehingga kemampuan untuk menurunkan nilai tegangan permukaan juga semakin baik. Pengaruh dari berbagai perlakuan terhadap penurunan tegangan permukaan dapat dihitung dengan menggunakan analisis sidik ragam menggunakan rancangan percobaan acak lengkap faktorial. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir reaktan (X) dan suhu reaksi (Y) terhadap nilai tegangan permukaan. Pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), suhu reaksi dan laju alir reaktan memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan nilai tegangan permukaan. Akan tetapi interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi (X*Y) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan nilai tegangan permukaan. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan bahwa suhu reaksi 100 C dan 120 C tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan suhu 80 C. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor laju alir reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir reaktan SO 3 (0,8; 0,9; 1,0; 1,1 kg/jam) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai tegangan permukaan. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai tegangan permukaan dapat dilihat pada Lampiran 5. Kondisi proses yang mampu menurunkan nilai tegangan permukaan paling rendah ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO 3 1,1 kg/jam dan suhu reaksi 120 C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan mampu menurunkan tegangan permukaan air dari 68 dyne/cm hingga 33,85 dyne/cm atau ekuivalen dengan penurunan sebesar 50,22%. Tegangan permukaan akan semakin menurun dengan semakin banyak molekul surfaktan yang terbentuk (Cox et al., 1997). Nilai tegangan permukaan paling tinggi terdapat pada suhu reaksi 80 C dan laju alir reaktan 0,8 kg/jam. Hal ini diduga karena pada kondisi tersebut proses sulfonasi masih belum sempurna sehingga belum banyak gugus hidrofilik yang terbentuk.
9 2. Tegangan Antar Muka Pengujian tegangan antar muka dilakukan dengan menggunakan alat Spinning Drop Tensiometer. Dalam pengujian ini, surfaktan yang sudah dilarutkan dalam air formasi 400 ppm diinjeksikan dengan cairan minyak bumi. Setelah itu, diuji nilai tegangan antar muka pada kecepatan rotasi 3000 rpm dan suhu 70 C. Menurut Lapedes (1978), tegangan antar muka merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fasa. Untuk menurunkan tegangan antar muka di antara dua cairan yang berbeda fasa tersebut perlu ditambahkan surfaktan. Surfaktan tersusun atas gugus hidrofilik dan hidrofobik pada molekulnya dan memiliki kecenderungan untuk berada pada bagian antar muka antara dua fasa yang berbeda polaritasnya sehingga surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka dua cairan yang berbeda fasa. Pembentukan film tersebut mengakibatkan turunnya tegangan permukaan kedua cairan yang berbeda fasa tersebut, sehingga mengakibatkan turunnya tegangan antar muka. Pada penelitian ini, MESA yang dihasilkan memiliki tegangan antar muka yang berkisar antara 2,57 46,88 dyne/cm. Semakin kecil nilai tegangan antar muka berarti semakin baik kualitas dari surfaktan yang dihasilkan. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil nilai tegangan antar muka MESA dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11.
10 Gambar 11. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO 3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai tegangan antar muka Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi dapat menurunkan tegangan antar muka. Nilai penurunan tegangan antar muka kemungkinan dipengaruhi oleh jumlah surfaktan yang terbentuk selama proses sulfonasi. Semakin banyak surfaktan yang dihasilkan, maka akan semakin besar kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka, sehingga nilai penurunan tegangan antar muka akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi laju alir reaktan memperbesar kemungkinan tumbukan antar partikel zat yang akan bereaksi. Dengan demikian kemungkinan terjadinya reaksi juga akan semakin besar. Begitu pula halnya dengan suhu. Menurut Steinfeld (1989), peningkatan suhu dapat mempercepat laju reaksi dengan meningkatkan jumlah fraksi molekul yang mencapai energi aktivasi. Kondisi ini memungkinkan semakin besarnya peluang untuk terjadinya tumbukan dan mempercepat terjadinya reaksi. Oleh karena itu, peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi akan meningkatkan jumlah SO 3 yang terikat dengan metil ester membentuk surfaktan MESA.
11 Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir reaktan (X) dan suhu reaksi (Y) terhadap nilai tegangan antar muka. Pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), laju alir reaktan dan suhu reaksi memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan nilai tegangan antar muka. Interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi (X*Y) juga memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan nilai tegangan antar muka. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan bahwa suhu reaksi 100 C dan 120 C tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan suhu 80 C. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor laju alir reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir reaktan SO 3 (0,8; 0,9; 1,0; 1,1 kg/jam) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai tegangan antar muka. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai tegangan antar muka dapat dilihat pada Lampiran 6. Kondisi proses yang mampu memberikan nilai tegangan antar muka paling rendah ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO 3 1,1 kg/jam dan suhu reaksi 100 C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan mempunyai nilai tegangan antar muka sebesar 2,57 dyne/cm. Hal ini diduga karena pada kondisi tersebut, proses sulfonasi berjalan lebih sempurna dibandingkan kondisi yang lain. Proses sulfonasi yang lebih baik akan menghasilkan molekul surfaktan yang lebih banyak. Gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik dari surfaktan inilah yang akan mampu menurunkan tegangan antar muka. 3. Bilangan Iod Bilangan iod menunjukkan banyaknya gram iodine yang terserap oleh 100 gram minyak atau lemak. Tinggi atau rendahnya bilangan iod tergantung pada komposisi asam lemak penyusunnya. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap tidak jenuh (Ketaren, 1986).
12 Gambar 12. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO 3 dan suhu proses sulfonasi terhadap bilangan iod Bilangan iod dari MESA yang dihasilkan berkisar antara 50,96-82,53 mg I 2 /g MESA. Berdasarkan Gambar 12, penurunan bilangan iod terjadi seiring dengan peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi. Penurunan bilangan iod juga terjadi dari metil ester ke MESA. Semakin menurunnya bilangan iod, berarti semakin banyak jumlah ikatan rangkap metil ester yang diadisi oleh gas SO 3 yang kemudian terbentuk molekul-molekul surfaktan dengan gugus sulfonat. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir reaktan (X) dan suhu reaksi (Y) terhadap nilai bilangan iod. Pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), laju alir reaktan dan suhu reaksi memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan bilangan iod. Interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi (X*Y) juga memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan nilai bilangan iod. Semakin besar laju alir reaktan dan suhu reaksi akan menurunkan nilai bilangan iod. Hal ini dikarenakan proses sulfonasi akan semakin sempurna dengan peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi. Proses yang baik akan memperbanyak reaksi antara molekul SO 3 dengan ikatan rangkap metil ester yang berarti akan menurunkan jumlah iodine yang
13 dapat terserap oleh surfaktan MESA yang dihasilkan. Jungermann (1979) mengemukakan bahwa ikatan rangkap pada metil ester merupakan salah satu tempat terjadinya reaksi sulfonasi. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan bahwa masing-masing suhu reaksi (80, 100, 120 C) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai bilangan iod. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor laju alir reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir reaktan SO 3 (0,8; 0,9; 1,0; 1,1 kg/jam) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai bilangan iod. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai bilangan iod dapat dilihat pada Lampiran 7. Kondisi proses yang mampu memberikan nilai bilangan iod paling rendah ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO 3 1,1 kg/jam dan suhu reaksi 120 C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan mempunyai nilai bilangan iod sebesar 50,96 mg I 2 / gr MESA. Hal ini diduga karena pada kondisi tersebut, proses sulfonasi berjalan lebih sempurna dibandingkan kondisi yang lain. Proses sulfonasi yang lebih baik akan menghasilkan molekul surfaktan yang lebih banyak. Gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik dari surfaktan inilah yang akan mampu menurunkan tegangan antar muka. 4. Bilangan Asam Bilangan asam merupakan derajat keasaman yang ditunjukkan dengan banyaknya miligram KOH atau NaOH yang digunakan untuk menetralkan satu gram sampel (Ketaren, 1986). Semakin banyak KOH atau NaOH yang digunakan untuk menetralkan suatu sampel menunjukkan semakin banyak bilangan asam sampel tersebut.
14 Gambar 13. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO 3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai bilangan asam Bilangan asam dari MESA yang dihasilkan berkisar antara 3,43 10,79 mg NaOH/g MESA. Seiring dengan peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi akan meningkatkan nilai bilangan asam dari MESA yang dihasilkan. Reaktan gas SO 3 bersifat asam. Oleh karena itu, banyaknya gugus SO 3 yang teradisi dalam ikatan rangkap akan meningkatkan bilangan asam dari MESA yang terbentuk. Peningkatan laju alir reaktan gas SO 3 akan memperbesar kemungkinan tumbukan antar partikel zat yang akan bereaksi. Dengan demikian kemungkinan terjadinya reaksi juga akan semakin besar. Dalam proses sulfonasi ini, reaksi yang diharapkan adalah terikatnya gugus sulfonat dari SO 3 pada atom karbon metil ester. Hal yang sama terjadi pada suhu reaksi. Peningkatan suhu akan menyebabkan peningkatan jumlah energi bagi molekul reaktan sehingga tumbukan antar molekul per waktu lebih produktif (Segel, 1993). Oleh karena itu, semakin besar suhu reaksi maka akan meningkatkan jumlah gugus hidrofilik yang bersifat asam semakin banyak terbentuk sehingga nilai bilangan asam juga akan meningkat.
15 Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir reaktan (X) dan suhu reaksi (Y) terhadap nilai bilangan asam. Pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), laju alir reaktan dan suhu reaksi memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap peningkatan bilangan asam. Interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi (X*Y) juga memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap peningkatan nilai bilangan asam. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan bahwa masing-masing suhu reaksi (80, 100, 120 C) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai bilangan asam. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor laju alir reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir reaktan SO 3 (0,8; 0,9; 1,0; 1,1 kg/jam) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai bilangan asam. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai bilangan asam dapat dilihat pada Lampiran 8. Kondisi proses yang mampu memberikan nilai bilangan asam paling tinggi ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO 3 1,1 kg/jam dan suhu reaksi 120 C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan mempunyai nilai bilangan asam sebesar 10,79 mg NaOH/g MESA. Hal ini diduga karena pada kondisi tersebut, proses sulfonasi berjalan lebih sempurna dibandingkan kondisi yang lain sehingga semakin banyak jumlah adisi molekul SO 3 yang bersifat asam dalam ikatan rangkap metil ester. 5. Kadar Bahan Aktif Bahan aktif menunjukkan jumlah kandungan bahan aktif permukaan yang terkandung dalam suatu bahan. Semakin besar nilainya, maka akan semakin baik kualitas bahan tersebut. Berdasarkan penelitian ini, kadar bahan aktif berkisar antara 0,08-13,66%. Pada penelitian ini dilakukan analisis kadar bahan aktif dengan metode Ephtone. Menurut Stache (1995) prinsip dasar dari uji ini adalah titrasi bahan aktif anionik menggunakan cetylpiridinium bromide, yang merupakan salah satu jenis surfaktan kationik. Indikator yang digunakan adalah methylen blue. Campuran surfaktan dengan indikator ditambahi
16 kloroform sehingga tercipta dua fasa yaitu fasa kloroform di bagian bawah dan fasa larutan surfaktan dan methylen blue yang berada di bagian atas. Bahan aktif yang larut pada methylen blue akan memberikan warna biru pekat pada larutan surfaktan. Langkah selanjutnya adalah dititrasi dengan surfaktan kationik. Dalam proses titrasi ini warna biru akan berpindah ke fasa kloroform hingga warna dua fasa tersebut seragam. Bila titrasi diteruskan maka fasa kloroform akan menjadi lebih pucat lalu lamakelamaan akan menjadi bening. Gambar 14.. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO 3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai bahan aktif Gambar 14 menunjukkan bahwa peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi meningkatkan kadar aktif bahan MESA yang dihasilkan. Peningkatan suhu berdampak pada peningkatan jumlah energi bagi molekul reaktan, sehingga tumbukan antar molekul per satuan waktu lebih produktif (Segel, 1993). Peningkatan laju alir reaktan gas SO 3 akan memperbesar kemungkinan tumbukan antar partikel zat yang akan bereaksi. Dengan demikian kemungkinan terjadinya reaksi juga akan
17 semakin besar. Peningkatan kadar bahan aktif menunjukkan bahwa semakin banyak molekul MES yang terbentuk. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir reaktan (X) dan suhu reaksi (Y) terhadap kadar bahan aktif. Pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), laju alir reaktan dan suhu reaksi memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap peningkatan kadar bahan aktif. Akan tetapi interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi (X*Y) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar bahan aktif. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan bahwa masing-masing suhu reaksi (80, 100, 120 C) berbeda nyata satu sama lain terhadap kadar bahan aktif. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor laju alir reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir reaktan SO 3 berbeda nyata satu sama lain terkecuali pada laju alir 0,8 kg/jam dan 1,1 kg/jam yang tidak berbeda nyata terhadap peningkatan kadar bahan aktif. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar bahan aktif dapat dilihat pada Lampiran 9. Kondisi proses yang mampu memberikan kadar bahan aktif paling tinggi ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO 3 1,1 kg/jam dan suhu reaksi 120 C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan mempunyai kadar bahan aktif sebesar 16,00%. Hal ini diduga karena pada kondisi tersebut, proses sulfonasi berjalan lebih sempurna dibandingkan kondisi yang lain sehingga semakin banyak jumlah molekul surfaktan yang terbentuk. 6. ph Derajat keasaman atau yang lebih dikenal dengan ph digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan dari suatu bahan. Nilai ph didefinisikan sebagai logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen (Fessenden dan Fessenden, 1995). Menurut Bodner dan Pardue (1989), nilai ph berkisar antara Kisaran nilai ph dari 0-6 menunjukkan bahwa suatu larutan bersifat asam, nilai ph 8-14 menunjukkan bahwa
18 suatu larutan bersifat basa. Larutan dengan nilai ph 7 menunjukkan bahwa larutan tersebut bersifat netral. Pengukuran ph pada MESA dalam penelitian ini menggunakan alat ph meter Schott Instruments handylab ph11/set. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai ph dari MESA berkisar antara 1,42 sampai 1,73. Ini menunjukkan bahwa MESA yang terbentuk masih bersifat asam. Hal ini disebabkan karena MESA yang terbentuk belum melalui tahap netralisasi dalam proses pemurnian. Gambar 15. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO 3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai ph Berdasarkan Gambar 15 di atas, dapat dilihat bahwa peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi berakibat pada penurunan nilai ph. Penurunan nilai ph ini diduga karena semakin besar laju alir reaktan SO 3 akan memperbesar tumbukan antar partikel yang berarti terbentuknya gugus sulfonat pada metil ester semakin besar. Demikian pula dengan suhu reaksi yang semakin tinggi akan mempercepat terjadinya proses sulfonasi. Keberadaan gugus sulfonat yang bersifat asam inilah yang menyebabkan nilai ph semakin rendah.
19 Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir reaktan (X) dan suhu reaksi (Y) terhadap nilai ph. Pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), laju alir reaktan dan suhu reaksi memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan ph. Interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi (X*Y) juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan ph. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan bahwa masing-masing suhu reaksi (80, 100, 120 C) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai ph. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor laju alir reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir reaktan SO 3 (0,8; 0,9; 1,0; 1,1 kg/jam) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai ph. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai ph dapat dilihat pada Lampiran 10. Kondisi proses yang memberikan nilai ph paling rendah ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO 3 1,1 kg/jam dan suhu reaksi 120 C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan mempunyai nilai ph sebesar 1,42.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar dari PT Rajawali Nusantara ini dikemas dalam kemasan karung, masing-masing karung berisi kurang lebih 30 kg. Hasil
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT. Wellable Indonesia di daerah Lampung. Analisis biji jarak dilakukan
Lebih terperinciIII. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan
III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat Peralatan yang digunakan untuk memproduksi MESA adalah Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Gambar STFR dapat dilihat pada Gambar 6. Untuk menganalisis tegangan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis sifat fisiko-kimia CPO Minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO) yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Asian Agri Grup. Analisis sifat fisiko kimia CPO
Lebih terperinci4 HASIL DAN PEMBAHASAN
27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisikokimia ME Stearin Proses konversi stearin sawit menjadi metil ester dapat ditentukan dari kadar asam lemak bebas (FFA) bahan baku. FFA merupakan asam lemak jenuh
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN 1. Ekstraksi Biji kesambi dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling dengan penggiling mekanis. Tujuan pengeringan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,
Lebih terperinciA. Sifat Fisik Kimia Produk
Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
29 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Sifat Fisikokimia Metil Ester Stearin Penelitian pembuatan surfaktan metil ester sulfonat (MES) ini menggunakan bahan baku metil ester stearin sawit. Stearin sawit
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat Fisiko Kimia Minyak Jarak Pagar. Minyak jarak yang digunakan pada penelitian ini berasal dari tanaman jarak pagar (Jatropha curcas Linn) yang dihasilkan dari proses
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pada penelitian yang telah dilakukan, katalis yang digunakan dalam proses metanolisis minyak jarak pagar adalah abu tandan kosong sawit yang telah dipijarkan pada
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery
Lebih terperinciLampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit
LAMPIRAN Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit 46 Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Metil Ester Olein Gas SO 3 7% Sulfonasi Laju alir ME 100 ml/menit,
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN
III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,
Lebih terperinciBAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Pengaruh Variabel Terhadap Warna Minyak Biji Nyamplung Tabel 9. Tabel hasil analisa warna minyak biji nyamplung Variabel Suhu (C o ) Warna 1 60 Hijau gelap 2 60 Hijau gelap
Lebih terperinciBab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, proses pembuatan monogliserida melibatkan reaksi gliserolisis trigliserida. Sumber dari trigliserida yang digunakan adalah minyak goreng sawit.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi dengan menggunakan bahan baku dari minyak nabati seperti kelapa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi. Jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku
Lebih terperinci4 Pembahasan Degumming
4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil
III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ
Lebih terperinciLampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar
Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar Lampiran 2. Penentuan Faktor Koreksi pada Pengukuran Tegangan Permukaan (γ) dengan Alat Tensiometer Du Nuoy Faktor koreksi = ( γ ) air menurut literatur ( γ
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Nabati Minyak nabati adalah cairan kental yang diambil atau diekstrak dari tumbuhtumbuhan. Komponen utama penyusun minyak nabati adalah trigliserida asam lemak, yang
Lebih terperinciPerbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan
Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Tania S. Utami *), Rita Arbianti, Heri Hermansyah, Wiwik H., dan Desti A. Departemen Teknik
Lebih terperinciPROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F
PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F34103041 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. Hal ini dikarenakan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN Bahan baku pada penelitian ini adalah buah kelapa segar yang masih utuh, buah kelapa terdiri dari serabut, tempurung, daging buah kelapa dan air kelapa. Sabut
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN PERBANDINGAN MASSA ALUMINIUM SILIKAT DAN MAGNESIUM SILIKAT Tahapan ini merupakan tahap pendahuluan dari penelitian ini, diawali dengan menentukan perbandingan massa
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini terdiri dari bahan utama yaitu biji kesambi yang diperoleh dari bantuan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran
METDE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sebagian besar sumber bahan bakar yang digunakan saat ini adalah bahan bakar fosil. Persediaan sumber bahan bakar fosil semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006).
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jarak Pagar Jarak Pagar (Jatropha curcas L) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati non pangan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Selain tidak
Lebih terperinciLAMPIRAN I DATA PENGAMATAN
LAMPIRAN I DATA PENGAMATAN 1.1 Data Analisis Bahan Baku Pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Analisis karakter minyak kelapa sawit kasar (CPO) sebelum dan setelah di pre-treatment (tabel 14).
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR Gliserol hasil samping produksi biodiesel jarak pagar dengan katalis KOH merupakan satu fase yang mengandung banyak pengotor.
Lebih terperinciBab IV Hasil dan Pembahasan
Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Penelitian penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan jenis penstabil katalis (K 3 PO 4, Na 3 PO 4, KOOCCH 3, NaOOCCH 3 ) yang
Lebih terperinciKadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu
40 Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar air (AOAC 1995, 950.46) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven selama 2 jam dengan suhu 105 o C dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PROSES TRANSESTERIFIKASI OLEIN MENJADI BIODIESEL Pemilihan proses yang tepat dalam produksi metil ester berbahan baku olein sawit adalah proses transesterifikasi. Proses ini
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dimulai pada bulan Mei hingga Desember 2010. Penelitian dilakukan di laboratorium di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (Surfactant
Lebih terperinciLAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)
LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi Berat Mikroalga Kering (gr) Volume Pelarut n-heksana Berat minyak (gr) Rendemen (%) 1. 7821 3912 2. 8029 4023 20 120 3. 8431
Lebih terperinciSAINS II (KIMIA) LEMAK OLEH : KADEK DEDI SANTA PUTRA
SAINS II (KIMIA) LEMAK OLEH : KADEK DEDI SANTA PUTRA 1629061030 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA PROGRAM PASCASARAJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA 2017 SOAL: Soal Pilihan Ganda 1. Angka yang menunjukkan
Lebih terperinciPrarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang begitu pesat telah menyebabkan penambahan banyaknya kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Salah satu bahan baku dan bahan penunjang
Lebih terperinciMETODOLOGI PENELITIAN
III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan mulai 1 Agustus 2009 sampai dengan 18 Januari 2010 di Laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) LPPM IPB dan Laboratorium
Lebih terperinci4 HASIL DAN PEMBAHASAN
14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini dilakukan melalui proses hidrolisis pada autoklaf bertekanan 1 atm. Berbeda dengan proses hidrolisis glukosamin
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Minyak Jarak Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik minyak jarak yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan faktis gelap. Karakterisasi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jelantah Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. Minyak jelantah masih memiliki asam lemak dalam bentuk terikat dalam trigliserida sama
Lebih terperinciKAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID
KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha Curcas L.) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT (MES) Pada penelitian ini surfaktan MES yang dihasilkan berfungsi sebagai bahan aktif untuk pembuatan deterjen cair. MES yang dihasilkan merupakan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Minyak dan Lemak Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang artinya lemak). Lipida larut dalam pelarut nonpolar dan tidak larut dalam air.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI LIMBAH MINYAK Sebelum ditambahkan demulsifier ke dalam larutan sampel bahan baku, terlebih dulu dibuat blanko dari sampel yang diujikan (oli bekas dan minyak
Lebih terperinciBAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,
24 BAB III METODA PENELITIAN A. Alat dan Bahan 1. Alat Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah semua alat gelas yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.
Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lemak dan minyak adalah trigliserida yang berarti triester (dari) gliserol. Perbedaan antara suatu lemak adalah pada temperatur kamar, lemak akan berbentuk padat dan
Lebih terperinciIII. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan
16 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
Lebih terperincikimia LAJU REAKSI 1 TUJUAN PEMBELAJARAN
KTSP & K-13 kimia K e l a s XI LAJU REAKSI 1 TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami konsep molaritas. 2. Memahami definisi dan faktor-faktor
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jarak pagar varietas Lampung IP3 yang diperoleh dari kebun induk jarak pagar BALITRI Pakuwon, Sukabumi.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Bahan Baku, Pengepressan Biji Karet dan Biji Jarak Pagar, dan Pemurnian Minyak Biji karet dan biji jarak pagar yang digunakan sebagai bahan baku dikeringanginkan selama 7
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Hasil penentuan asam lemak bebas dan kandungan air Analisa awal yang dilakukan pada sampel CPO {Crude Palm Oil) yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan
Lebih terperinciLAMPIRAN A DATA PENGAMATAN
LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN TABEL DATA HASIL PENELITIAN Tabel 1. Perbandingan Persentase Perolehan Rendemen Lipid dari Proses Ekstraksi Metode Soxhlet dan Maserasi Metode Ekstraksi Rendemen Minyak (%) Soxhletasi
Lebih terperinciBab IV Hasil dan Pembahasan
Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS II. 1 Tinjauan Pustaka II.1.1 Biodiesel dan green diesel Biodiesel dan green diesel merupakan bahan bakar untuk mesin diesel yang diperoleh dari minyak nabati
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1.
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Beberapa tahun ini produksi minyak bumi selalu mengalami penurunan, sedangkan konsumsi minyak selalu mengalami penaikan. Menurut Pusat Data Energi dan Sumber Daya
Lebih terperinciLampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI )
LAMPIRAN 39 Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI 01-3555-1998) Cawan aluminium dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 o C selama 1 jam, kemudian
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengambilan dan Determinasi Bahan Pada penelitian ini digunakan bahan ikan teri galer (Stolephorus indicus Van Hasselt) yang diperoleh dari Pasar Induk Caringin Kabupaten
Lebih terperinciBAB III RANCANGAN PENELITIAN
BAB III RANCANGAN PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian Surfaktan methyl ester sulfonat (MES) dibuat melalui beberapa tahap. Tahapan pembuatan surfaktan MES adalah 1) Sulfonasi ester metil untuk menghasilkan
Lebih terperinciPENGARUH SUHU, LAMA PEMASAKAN, KONSENTRASI METANOL DAN SUHU PEMURNIAN TERHADAP BILANGAN IOD DAN BILANGAN ASAM SURFAKTAN DARI MINYAK INTI SAWIT
PENGARUH SUHU, LAMA PEMASAKAN, KONSENTRASI METANOL DAN SUHU PEMURNIAN TERHADAP BILANGAN IOD DAN BILANGAN ASAM SURFAKTAN DARI MINYAK INTI SAWIT The effects of temperature, cooking time, methanol concentration
Lebih terperinciBAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif
BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif Departemen Farmasi FMIPA UI, dalam kurun waktu Februari 2008 hingga Mei 2008. A. ALAT 1. Kromatografi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Minyak Ikan Karakterisasi minyak ikan dilakukan untuk mengetahui karakter awal minyak ikan yang digunakan dalam penelitian ini. Karakter minyak ikan yang diukur
Lebih terperinciA. PENETAPAN ANGKA ASAM, ANGKA PENYABUNAN DAN ANGKA IOD B. PENETAPAN KADAR TRIGLISERIDA METODE ENZIMATIK (GPO PAP)
A. PENETAPAN ANGKA ASAM, ANGKA PENYABUNAN DAN ANGKA IOD B. PENETAPAN KADAR TRIGLISERIDA METODE ENZIMATIK (GPO PAP) DASAR TEORI Penggolongan lipida, dibagi golongan besar : 1. Lipid sederhana : lemak/ gliserida,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Inti Sawit (PKO) Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit semula
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK BIJI BINTARO Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menyiapkan bahan yang digunakan pada ekstraksi minyak. Proses diawali dengan sortasi buah bintaro yang akan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Analisis Sifat Fisiko Kimia Tempurung Kelapa Sawit Tempurung kelapa sawit merupakan salah satu limbah biomassa yang berbentuk curah yang dihasilkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini pemakaian bahan bakar yang tinggi tidak sebanding dengan ketersediaan sumber bahan bakar fosil yang semakin menipis. Cepat atau lambat cadangan minyak bumi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan pada produk sabun transparan yang dihasilkan berasal dari
Lebih terperinciGun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia
PENGARUH PEMANASAN TERHADAP PROFIL ASAM LEMAK TAK JENUH MINYAK BEKATUL Oleh: Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia Email:
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan determinasi tanaman.
49 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Determinasi Tanaman Bahan baku utama dalam pembuatan VC pada penelitian ini adalah buah kelapa tua dan buah nanas muda. Untuk mengetahui bahan baku
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Permintaan energi global sedang meningkat sebagai hasil dari prtumbuhan dari populasi, industri serta peningkatan penggunaan alat transportasi [1], Bahan bakar minyak
Lebih terperinciLAMPIRAN II PERHITUNGAN
LAMPIRAN II PERHITUNGAN II.1 Perhitungan Minyak Kelapa Sawit Kasar (CPO) sebelum dan sesudah pre-treatment II.1.1 Perhitungan Minyak Kelapa Sawit Kasar sebelum pre-treatment a Densitas - Massa piknometer
Lebih terperinciIII. METODOLOGI F. ALAT DAN BAHAN
III. METODOLOGI F. ALAT DAN BAHAN 1. Alat Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan rangkaian peralatan proses pembuatan faktis yang terdiri dari kompor listrik,panci, termometer, gelas
Lebih terperinciTransesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi
Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan untuk membuat sabun transparan berasal dari tiga jenis minyak,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian Kualitas minyak mentah dunia semakin mengalami penurunan. Penurunan kualitas minyak mentah ditandai dengan peningkatan densitas, kadar
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa sawit yang ada. Tahun 2012 luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 9.074.621 hektar (Direktorat
Lebih terperinciKAJIAN PENGARUH KONSENTRASI H 2 SO 4 DAN SUHU REAKSI PADA PROSES PRODUKSI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) DENGAN METODE SULFONASI ABSTRACT
KAJIAN PENGARUH KONSENTRASI H 2 SO 4 DAN SUHU REAKSI PADA PROSES PRODUKSI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) DENGAN METODE SULFONASI Khaswar Syamsu, Ani Suryani, dan Nunung D. Putra Departemen Teknologi
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.2 DATA HASIL ARANG TEMPURUNG KELAPA SETELAH DILAKUKAN AKTIVASI
39 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 PENDAHULUAN Hasil eksperimen akan ditampilkan pada bab ini. Hasil eksperimen akan didiskusikan untuk mengetahui keoptimalan arang aktif tempurung kelapa lokal pada
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA A. JARAK PAGAR Tanaman jarak pagar mempunyai nama latin Jatropha curcas L. (Linnaeus). Tanaman ini berasal dari Amerika Tengah yang kemudian menyebar ke daerah tropis. Tanaman ini
Lebih terperinci: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT
KALOR BIODIESEL DARI HASIL ESTERIFIKASI DENGAN KATALIS PdCl 2 DAN TRANSESTERIFIKASI DENGAN KATALIS KOH MINYAK BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum Inophyllum) Oleh : Muhibbuddin Abbas 1407100046 Pembimbing I: Ir.
Lebih terperinciTUGAS ANALISIS AIR, MAKANAN DAN MINUMAN ANALISIS LEMAK
TUGAS ANALISIS AIR, MAKANAN DAN MINUMAN ANALISIS LEMAK OLEH: KELOMPOK 7 NI NYOMAN MELINDAWATI (P07134013002) NI MADE YUNI LESTARI (P07134013025) DEWA AYU YUNI DEWANTARI (P07134013026) NI KADEK LINA WINATI
Lebih terperinciPEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR
PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR Galih Prasiwanto 1), Yudi Armansyah 2) 1. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas
Lebih terperinciLAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO)
LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Bahan Kimia Dan Peralatan. 3.1.1. Bahan Kimia. Minyak goreng bekas ini di dapatkan dari minyak hasil penggorengan rumah tangga (MGB 1), bekas warung tenda (MGB 2), dan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014.
BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014. 2. Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Teknik Pengolahan
Lebih terperinciProses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)
Proses Pembuatan Biodiesel (Proses TransEsterifikasi) Biodiesel dapat digunakan untuk bahan bakar mesin diesel, yang biasanya menggunakan minyak solar. seperti untuk pembangkit listrik, mesinmesin pabrik
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Satu Penentuan Formula Pembuatan Sabun Transparan Penelitian tahap satu merupakan tahap pemilihan formula pembuatan sabun trasnparan. Hasil penelitian tahap satu ini
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Goreng 1. Pengertian Minyak Goreng Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya
Lebih terperinciPENGARUH PENAMBAHAN KARBON AKTIF TERHADAP REAKSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK KEMIRI SUNAN (Aleurites trisperma) YANG SUDAH DIPERLAKUKAN DENGAN KITOSAN
Tugas Akhir / 28 Januari 2014 PENGARUH PENAMBAHAN KARBON AKTIF TERHADAP REAKSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK KEMIRI SUNAN (Aleurites trisperma) YANG SUDAH DIPERLAKUKAN DENGAN KITOSAN IBNU MUHARIAWAN R. / 1409100046
Lebih terperinciAlumni Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung
OPTIMASI PROSES PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT (MES) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha Curcas L.) DAN PENGARUHNYA TERHADAP NILAI TEGANGAN ANTARMUKA MENGGUNAKAN METODE PERMUKAAN RESPON (Optimation Condition
Lebih terperincia. Kadar Air (SNI) ), Metode Oven b. Kadar Abu (SNI ), Abu Total
LAMPIRAN 35 Lampiran 1. Prosedur Analisis Biji Jarak Pagar a. Kadar Air (SNI) 01-2891-1992), Metode Oven Sampel ditimbang dengan seksama sebanyak 1-2 gram pada sebuah botol timbang bertutup yang sudah
Lebih terperinciBab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)
23 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Penyiapan Sampel Kualitas minyak kastor yang digunakan sangat mempengaruhi pelaksanaan reaksi transesterifikasi. Parameter kualitas minyak kastor yang dapat menjadi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gliserol Biodiesel dari proses transesterifikasi menghasilkan dua tahap. Fase atas berisi biodiesel dan fase bawah mengandung gliserin mentah dari 55-90% berat kemurnian [13].
Lebih terperinciRekayasa Proses Produksi Biodiesel
Institut Pertanian Bogor (IPB) Rekayasa Proses Produksi Biodiesel Berbasis Jarak (Jatropha curcas) Melalui Transesterifikasi In Situ Dr.Ir. Ika Amalia Kartika, MT Dr.Ir. Sri Yuliani, MT Dr.Ir. Danu Ariono
Lebih terperinci