II. TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor bersifat hidrofobik menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air. Kegunaan surfaktan antara lain untuk menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi, misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O) (Rieger,1985). Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu ataupun bola raket mini yang terdiri atas bagian kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang sangat polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian non polar. Bagian kepala dapat berupa anion, kation atau nonion, sedangkan bagian ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi yang beragam di industri. Gambar dari molekul surfaktan terdapat pada Gambar 1. Gambar 1. Molekul surfaktan (Gevarsio,1996) Berdasarkan gugus hidrofiliknya, m olekul surfaktan dibedakan kedalam 4 kelompok, yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik, dan surfaktan amfoterik (Rieger, 1985; Rosen, 2004). Surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada gugus hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active), seperti gugus sulfat atau sulfonat. Surfaktan kationikh adalah senyawa yang bermuatan positif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surfaceactive), seperti quarternery ammonium salt (QUAT). Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil. Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya, dimana muatannya bergantung kepada ph. Pada ph rendah akan bermuatan negatif dan pada ph tinggi akan bermuatan positif (Matheson, 1996; Rosen, 2004). Didalam aplikasinya, keempat jenis surfaktan tersebut memiliki fungsi yang spesifik dan kondisi lingkungan kerja yang spesifik. Surfaktan anionik sangat baik digunakan untuk stimulasi batuan sandstone. Adanya unsur silika di dalam batuan sandstone yang bermuatan negatif (-) akan menyebabkan water wet pada formasi batuan sand stone. Kondisi ini akan menyebabkan turunnya gaya adhesi antara minyak dan batuan sehingga minyak akan lepas dan lebih mudah mengalir dan sifat batuan akan berubah menjadi water wet. Sebaliknya pada batuan limestone yang bermuatan positif, penggunaan surfaktan anionik akan menyebabkan batuan bersifat oil wet (Allen and Robert,1993). 4

2 Surfaktan kationik dengan muatan gugus hidrofilikya yang positif akan merubah wettability batuan yang memiliki muatan positif menjadi water wet seperti batuan karbonat dan akan merubah wettability batuan yang bermuatan negatif seperti batuan sandstone menjadi oil wet. Berbeda dengan surfaktan anionik dan kationik, surfaktan nonionik yang tidak memiliki muatan pada gugus hidrofiliknya menyebabkannya kompatible pada kedua jenis batuan. Surfaktan nonionik akan menyebabkan water wet baik pada batuan karbonat maupun sandstone. Sedangkan penggunaan surfaktan amfoterik pada kedua jenis batuan tersebut tergantung pada ph larutan dimana surfaktan tersebut bekerja. Pada kondisi ph>7 (basa), gugus hidrofilk surfaktan amfoterik akan bermuatan positif sehingga akan menyebabkan water wet pada batuan yang memiliki muatan positif (karbonat). Pada ph<7 (asam), gugus hidrofilik surfaktan amfoterik akan bermuatan negatif sehingga akan menyebabkan water wet pada batuan yang memiliki muatan negatif (sandstone), sedangkan pada ph=7, gugus hidrofilik surfaktan amfoterik tidak akan bermuatan. Namun pada aplikasi stimulasi surfaktan, surfaktan amfoterik digunakan terbatas sebagai pencegah korosi dan agen pembusa (Allen and Robert, 1993; Mulyadi, 2002) Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu : 1. Berbasis minyak-lemak seperti; monogliserida, digliserida, dan poligliserol ester. 2. Berbasis karbohidrat seperti; alkyl poliglikosida, dan n-metil glukamida. 3. Ekstrak bahan alami seperti; lesitin dan saponin. 4. Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti; rhamnolipid dan sophorolipid. Pengujian surfaktan meliputi kemampuan untuk menstabilkan emulsi, kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka, mengontrol jenis formasi emulsi dengan hidrofil lipofil balance, dan penentuan gugus fungsi dengan FTIR (Fourier Transform Infra Red Spectroscopy). 1. Kestabilan Emulsi Cara kerja bahan penstabil adalah dengan menurunkan tegangan permukaan, dengan cara membentuk lapisan pelindung yang menyelimuti globula fase terdispersi, sehingga senyawa yang tidak larut akan lebih mudah terdispersi dalam sistem dan bersifat stabil (Fennema, 1985). Emulsi yang stabil mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat sedemikian rupa sehingga proses itu tidak teramati pada selang waktu tertentu yang diinginkan (Kemel, 1991). Semakin tinggi viskositas dari suatu sistem emulsi, semakin rendah laju rata-rata pengendapan yang terjadi, sehingga mengakibatkan kestabilan semakin tinggi (Suryani et. al, 2000). Viskositas berkaitan erat dengan tahanan yang dialami molekul untuk mengalir pada sistem cairan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat alir suatu emulsi, diantaranya ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel. Emulsi dengan globula berukuran halus, lebih besar viskositasnya dibandingkan emulsi dengan globulanya yang lebih besar atau tidak seragam (Muchtadi, 1990). 5

3 2. Tegangan Permukaan Prinsip dasar tentang kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya tarik-menarik dan gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam suatu sistem emulsi. Apabila gaya ini dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka partikel-partikel dalam sistem emulsi dapat dipertahankan agar tidak bergabung (Suryani, et al. 2001). Tegangan permukaan dirumuskan sebagai energi yang harus digunakan untuk memperbesar permukaan suatu cairan sebesar 1 cm 2. Tegangan permukaan disebabkan oleh adanya gaya tarik menarik dari molekul cairan. Tegangan permukaan antara lain dapat diukur dengar menggunakan Tensiometer du Nouy dan dinyatakan dalam dyne per centimeter (dyne/cm) atau milinewton per meter (mn/m). Pada cairan, terdapat molekul-molekul yang tersebar di bawah permukaan dan pada permukaan cairan. Molekul-molekul ini saling tarik menarik. Gaya tarik-menarik molekulmolekul di bawah permukaan cairan adalah sama pada semua arahnya. Molekul-molekul di atas permukaan cairan tersebut kemudian mendapatkan gaya tarik dari molekul-molekul di bawahnya yang mencoba untuk menariknya kembali ke tubuh cairan. Hal ini menyebabkan cairan mengambil bentuk yang memungkinkan luas permukaan menjadi sekecil mungkin. Bentuk tersebut adalah bentuk bola (sphere). Besarnya energi yang mengendalikan bentuk cairan tersebut dinamakan tegangan permukaan. Semakin besar ikatan antar molekul-molekul dalam cairan maka semakin besar tegangan permukaan (Bodner dan Pardue, 1989). 3. Tegangan Antarmuka Tegangan antar muka adalah pengukuran kekuatan sebagai usaha yang diperlukan untuk memperluas antar muka antara dua cairan immiscible persatuan luas (Shaw, 1980). Tegangan permukaan merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan, sedangkan tegangan antar muka adalah energi yang bergerak melintang sepanjang garis permukaan. Gaya ini timbul karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fase. Dalam satuan SI (Standard International) besaran tegangan antarmuka dinyatakan dengan mn/m atau dyne/cm. Turunnya tegangan antarmuka akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya meningkatkan gaya adhesi. Gaya kohesi adalah gaya antar molekul yang bekerja diantara molekul-molekul yang sejenis, sedangkan gaya adhesi adalah gaya antar molekul yang bekerja diantara molekul-molekul yang tidak sejenis. Suatu surfaktan tersusun atas gugus hidrofobik dan hidrofilik pada molekulnya dan memiliki kecenderungan untuk berada pada antarmuka antara dua fase yang berbeda derajat polaritasnya atau dengan kata lain surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka dua cairan yang berbeda fase. Pembentukan film tersebut menyebabkan turunnya tegangan permukaan kedua cairan berbeda fase tersebut sehingga mengakibatkan turunnya tegangan antar muka (Georgiou et al., 1992). Efek dari surfaktan pada fenomena antar muka merupakan fungsi dari konsentrasi surfaktan pada antar muka. Efektifitas surfaktan pada adsorpsi antar muka didefinisikan sebagai konsentrasi maksimum dimana surfaktan dapat tertahan pada antar muka. Efektifitas surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak air dipengaruhi oleh beberapa faktor, 6

4 diantaranya jenis surfaktan yang digunakan, konsentrasi surfaktan dan co-surfaktan yang digunakan, kadar garam larutan, dan adsorpsi larutan surfaktan (Menurisita, 2002). Menurut Shaw (1980), tegangan antarmuka merupakan faktor penting pada proses enhanced oil recovery (EOR) dalam bidang pertambangan. Surfaktan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara fluida dengan fluida, fluida dengan batuan, dan fluida dengan hidrokarbon. Di samping itu, surfaktan dapat memecah tegangan permukaan dari emulsi minyak yang terikat dengan batuan (emulsion block), mengurangi terjadinya water blocking dan mengubah sifat kebasahan (wattability) batuan menjadi suka air (water wet). Dalam kondisi batuan yang bersifat water wet, minyak menjadi fasa yang mudah mengalir dan dengan demikian water cut dapat dikurangi. 4. Hydrophile -Lipophile Balance (HLB) Menurut Suryani et. al. (2002), HLB adalah ukuran empiris untuk mengetahui hubungan antara gugus hidrofilik dan hidrofobik pada suatu surfaktan. Sistem HLB digunakan untuk mengidentifikasi emulsifikasi minyak dan air oleh surfaktan. Terdapat dua tipe emulsi, yaitu : a. Water-in-oil (w/o), artinya air terdispersi di dalam minyak. Pada kondisi ini diperlukan surfaktan dengan nilai HLB rendah. b. Oil-in-water (o/w), artinya minyak terdispersi di dalam air. Pada kondisi ini diperlukan surfaktan dengan nilai HLB tinggi. Makin tinggi nilai HLB, maka surfaktan makin bersifat larut air. Sedangkan bila makin rendah nilai HLB, surfaktan makin bersifat larut minyak. Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin disajikan pada Table 2. Tabel 2. Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin Nilai HLB Aplikasi 3 6 Pengemulsi W/O 7 9 Wetting agent 8 14 Pengemulsi O/W 9 13 Detergen Solubilizer Dispersant Sumber : Holmberg et al. (2003) Jenis surfaktan yang dipilih pada proses pembuatan suatu produk tergantung pada kinerja dan karakteristik surfaktan tersebut serta karakteristik produk akhir yang diinginkan (Sadi, 1994). Menurut BP MIGAS (2009), karakteristik surfaktan yang diinginkan untuk aplikasi Enhanced Oil Recovery, adalah formula surfaktan yang memiliki karakteristik sebagai berikut: 7

5 Compatibility : tidak ada endapan Adsorbsion : < 0.25% atau 0.4 mg/g batuan Tegangan Antar Muka : 10-3 dyne/cm Temperatur : tahan terhadap temperature reservoir minimal 3 bulan ph : 6-8 Bentuk Phase : bawah atau tengah Recovery oil : > 10% incremental tergantung keekonomian Filtrasi rasio : < 1, SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) Surfaktan Alkil Poliglikosida pertama kali dikenal sekitar tahun 1983 oleh Emil fischer (Margaretha, 1999). APG merupakan surfaktan yang ramah lingkungan karena disintesis dengan bahan baku yang berbasis pati (kentang, sagu, tapioka, jagung dan lain-lain) dengan fatty alcohol berbasis minyak nabati (kelapa, sawit, rapeseed, soy bean, bunga matahari). Alkil Poliglikosida (APG) mempunyai dua struktur kimia. Rantai hidrokarbon yang bersifat hidrofobik (lipofilik) dan bagian molekul yang bersifat hidrofilik. Sifat rantai yang hidrofobik disebabkan oleh rantai hidrokarbon tersebut tersusun dari fatty alcohol yang berasal dari minyak sawit atau minyak kelapa. Sedangkan, bagian molekul yang bersifat hidrofilik dari APG disebabkan bagian tersebut tersusun dari molekul glukosa yang berasal dari pati. Gambar proses reaksi dan struktrur APG disajikan pada Gambar 2. Alkil Glikosida Alkil Poliglikosida Gambar 2. Proses reaksi dan struktur alkil poliglikosida (APG) (Wuest et al., 1992) Proses produksi APG dapat dilakukan melalui dua prosedur yang berbeda, yaitu prosedur pertama berbasis bahan baku pati dan fatty alcohol sedangkan prosedur kedua berbasis bahan baku dekstrosa (glukosa) dan fatty alcohol. Prosedur pertama, berbasis pati-fatty alcohol melalui proses butanolisis dan transasetalisasi, sedangkan prosedur kedua yang berbasis dekstrosa-fatty alcohol hanya melalui proses asetalisasi yang selanjutnya dari masing-masing prosedur masuk ke proses netralisasi, distilasi, dan pelarutan. Diagram proses pembuatan APG disajikan pada Gambar 3. 8

6 Gambar 3. Proses sintesis surfaktan alkil poliglikosida untuk aplikasi EOR Proses produksi APG melalui proses asetalisasi dilakukan dengan mencampurkan fatty alcohol dan glukosa dengan perbandingan 2:1 sampai dengan perbandingan 10:1 dengan katalis asam p- toluene sulfonat. Kondisi reaksi diatur pada suhu C selama 3-4 jam pada tekanan mmhg. Setelah itu, campuran bahan dilakukan netralisasi sampai ph 8-10 dengan menggunakan NaOH 50 % pada suhu 80 C. Setelah tahap tersebut akan terbentuk APG kasar yang masih bercampur dengan residu (air + fatty alcohol) yang tidak bereaksi sehingga dilakukan pemisahan dengan menggunakan distilasi vakum untuk mengeluarkan residu. Pemisahan fatty alcohol dilakukan pada suhu C dan tekanan 15 mmhg (Indrawanto, 2007). Proses reaksi sintesa APG satu tahap/langsung dapat dilihat pada Gambar 4. Dekstrosa Fatty alcohol Alkyl Polyglicoside Gambar 4. Sintesis Fischer secara langsung (Wuest et al., 1992) Menurut Wuest et al., (1992), sintesis surfaktan APG dapat pula dilakukan dengan reaksi 2 tahap dari pati atau hasil degradasi pati seperti poliglukosa atau sirup glukosa, tahap pertama 9

7 direaksikan dengan alkohol rantai pendek, terutama butanol, dan tahap kedua transasetalisasi direaksikan dengan rantai lebih panjang C 8-22 terutama C dari fatty alkohol bahan baku alami. Reaksi butanolisis dilakukan pada temperatur diatas 125 o C dan dibawah tekanan 4-10 bar dalam zone reaksi tertutup. Reaksi transasetalisasi dilaksanakan pada temperatur dibawah temperatur o C dengan kondisi vakum. Campuran reaksi kedua rasio molar pati dihitung sebagai anhidroglukosa, terhadap alkohol rantai panjang 1: 1.5-1: 7, 1:2.5 ke 1:7, 1:3 ke 5. Sedangkan rasio molar sakarida : air = 1: 5 1:12, 1: 6-1:12, 1: 6-1: 9, 1: 6-1: 8. Proses reaksi sintesa APG dua tahap dapat dilihat pada Gambar 5. Pati Butanol Butyl Glicoside Butyl Glicoside Fatty Alcohol Alkyl Polyglicoside Gambar 5. Sintesis Fischer secara langsung dan dua tahap (Wuest et al., 1992) 2.3. TAHAP RECOVERY MINYAK BUMI Proses recovery minyak bumi dapat dikelompokkan menjadi tiga fase, yaitu fase primer (primary phase), fase sekunder (secondary phase) dan fase tersier (tertiary phase). Fase primer merupakan fase dimana proses produksi minyak tergantung kepada kandungan energi alam reservoir yaitu tekanan alami dari reservoir (natural flow) (Gomma, 1997). Menurut Sumotarto (1997), tekanan alami reservoir dapat berasal dari tekanan gas yang terlarut dalam fluida minyak (solution gas drive), kolom air di bawah lapisan minyak (water drive), atau tekanan dari lapisan batuan yang berada di atasnya (overburden pressure). Adanya energi alami reservoir memungkinkan minyak untuk keluar dengan sendirinya dari sumur. Fase sekunder dalam recovery minyak bumi merupakan fase dimana sudah melibatkan penginjeksian material kedalam reservoir. Pada fase ini diterapkan proses immiscible gas flood dan water flood, sedangkan fase tersier merupakan fase dimana diterapkannya metode Enhanced Oil Recovery (EOR) (Gomma, 1997). Menurut Thamrin dan Sudibjo (1992), EOR atau metode pengurasan tahap lanjut merupakan usaha untuk meningkatkan produktivitas sumur minyak bumi yang sudah tidak produktif lagi pada tahap produksi pertama. Metode EOR dilakukan dengan menginjeksikan material kedalam batuan reservoir guna menguras sisa-sisa minyak bumi yang masih terkandung didalam batuan reservoir, yang pada umumnya berupa residual oil dan by-passed oil. Residual oil merupakan butir-butir minyak yang tersisa karena terperangkap di dalam pori-pori batuan (saturasi minyak tersisa). By-passed oil merupakan kandungan minyak di dalam bagian dari reservoir yang tidak tersapu dan terjangkau (by-passed) oleh injeksi air pada tahap sekunder. 10

8 Berdasarkan material yang diinjeksikan, metode EOR dikelompokkan kedalam empat kelompok, yaitu metode termal (air panas, steam stimulation, steamflood, fireflood), metode kimia (polimer, surfaktan, alkali), metode solvent-miscible (pelarut hidrokarbon, CO 2, N 2, gas hidrokarbon, dan campuran gas alam), dan metode lainnya (mikroba, listrik, mekanis). Meskipun metode EOR kadang disebut sebagai recovery tersier, namun beberapa metode EOR dapat diterapkan setelah fasa primer atau bahkan saat proses pencarian minyak (discovery) (Gomma,1997). Skema recovery minyak bumi ditunjukkan pada Gambar 6. Menurut Allen dan Roberts (1993), karakteristik minyak dan reservoir perlu dipertimbangkan dalam pemilihan metode EOR, supaya memenuhi target yang hendak dicapai. Sebagai gambaran, reservoir yang dangkal tidak cocok bila dilakukan injeksi gas, karena tekanannya sangat tinggi sehingga dapat beresiko merusak formasi dan akan menimbulkan semburan liar. Gambar 6. Skema mekanisme recovery minyak (Wahyono, 2009) 2.4. SURFACTANT FLOODING Proses perolehan minyak bumi menggunakan surfaktan disebut dengan surfactant flooding. Proses ini dikategorikan ke dalam proses tersier produksi minyak bumi. Nummedal et.al. (2003) menyatakan bahwa peningkatan perolehan minyak bumi (oil recovery) dapat dilakukan dengan cara menambahkan surfaktan kedalam air injeksi. Dalam surfactant flooding, karakteristik air yang diinjeksikan kedalam sumur minyak bumi harus sesuai dengan karakteristik air formasi yaitu air yang berada di dalam cekungan minyak bumi (reservoir). Demikian pula dengan penginjeksian 11

9 surfaktan (umumnya bahan kimia), disyaratkan tidak mengubah kondisi formasi yang telah ada di dalam reservoir minyak bumi. Pada umumnya tidak hanya surfaktan yang digunakan dalam surfactant flooding, namun juga polimer umumnya partially hidrolized polyacrilamide (PMPA). Polimer diinjeksikan setelah campuran surfaktan dan air injeksi dipompakan ke dalam sumur minyak. Tujuannya adalah meningkatkan stabilitas genangan (flood) dan meningkatkan efisiensi penyapuan (sweep efficiency) minyak. Technology Assesment Board (1978), mengungkapkan bahwa surfactant flooding merupakan proses yang sangat kompleks, namun demikian mempunyai potensi recovery minyak yang superior. Mekanisme reaksi yang terjadi di dalam sumur minyak setelah surfaktan diinjeksikan dijelaskan sebagai berikut: surfaktan memiliki gugus dasar hidrokarbon dan berikatan pada ujung dengan senyawa anorganik (gugus sulfonat) SO 3. Rumus kimia surfaktan adalah R SO 3 H, dengan gugus R merupakan gugus rantai hidrokarbon. Surfaktan jenis ini dalam air akan terionisasi menjadi RSO - 3 dan H + -. bila ion molekul RSO 3 kontak dengan senyawa yang bersifat nonpolar (minyak), maka gugus R akan berusaha untuk melakukan gaya adhesi (surfaktan-minyak), sedangkan pada molekul surfaktan itu sendiri akan bekerja gaya kohesi antara RSO - 3. Pengaruh gaya adhesi ini akan mengurangi harga resultan gaya kohesi minyak itu sendiri, yang mengakibatkan gaya antar permukaan minyak dengan air akan menurun. Selain itu, terjadi gaya tolak-menolak antara kepala surfaktan yang - bermuatan negatif karena adanya gugus RSO 3 dengan batuan sandstone yang bermuatan negatif karena adanya senyawa silica (SiO - 2 ). Gaya tolak-menolak ini mengakibatkan surfaktan yang mengikat minyak pada bagian gugus R akan bergerak menjauh dari batuan dan ini akan mengakibatkan wettability batuan berubah menjadi water wet (Ashayer et al.,2000). Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan pada aplikasi surfactant flooding tergantung pada beberapa faktor seperti formulasi, biaya, ketersediaan bahan, dampak lingkungan, serta harga minyak bumu dipasar. Agar pemanfaatan surfaktan lebih efektif, beberapa kriteria harus dipenuhi yaitu surfaktan yang digunakan harus dapat menghasilkan IFT ultra low dan harus cukup sederhana pada saat disintesis untuk diproduksi secara komersial (Nasiri, 2011) AIR FORMASI Air formasi yang diambil dari lapangan mengandung berbagai ion. Hal ini dikarenakan air formasi tersebut telah bereaksi dengan batuan. Dengan kata lain telah mengalami interaksi dengan mineral-mineral lain yang terdapat pada batuan. Ion-ion tersebut dapat berupa padatan mineral dan logam yang tersuspensi maupun berupa gas yang terlarut di dalamnya. Kandungan utama dari air formasi terdiri dari kandungan anion dan kation. (Widiyowati, 2005) 1. Kandungan Kation, yang termasuk didalam kation, antara lain: a. Kalsium (Ca) Ion kalsium adalah penyusun terbanyak pada air formasi yang dapat mencapai ppm. b. Magnesium (Mg) Ion Mg pada umumnya terkonsentrasi dengan volume yang lebih kecil dibandingkan ion kalsium 12

10 c. Besi (Fe) Kadar besi secara alamiah yang terdapat pada air formasi mempunyai konsentrasi yang kecil. Keberadaan besi menunjukkan kecenderungan sifat korosif. d. Barium (Ba) Jumlah ion barium ini tidak cukup banyak terdapat didalam air formasi 2. Kandungan Anion, yang termasuk kandungan anion, antara lain: a. Klorida (Cl - ) Ion klorida pada umumnya merupakan anion yang terkadung didalam air formasi yang menyatu dengan garam NaCl sebagai sumber utamanya sehingga konsentrasi ion Cl dapat dijadikan sebagai pengukur tingkat keasaman air. b. Karbonat (CO 3 - ) dan Bikarbonat (HCO 3 - ) Ion-ion ini dapat membentuk scale yang mempunyai sifat tidak larut. c. Sulfat (SO 4 - ) Ion sulfat dapat membentuk scale setelah bereaksi dengan barium atau kalsium POROSITAS Porositas merupakan ukuran ruang-ruang kosong dalam suatu batuan. Berdasarkan definisi, porositas merupakan perbandingan antara volume ruang yang terdapat dalam batuan yang berupa pori-pori terhadap volume batuan secara keseluruhan, biasanya dinyatakan dalam fraksi. Besar-kecilnya porositas suatu batuan akan menentukan kapasitas penyimpanan fluida reservoir. Secara matematis porositas dapat dinyatakan sebagai : Ø = = Dimana : Vb = volume batuan total (bulk volume) Vs = volume padatan batuan total (volume grain) Vp = volume ruang pori-pori batuan Porositas batuan reservoir dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : 1. Porositas absolut, adalah persen volume pori-pori total terhadap volume batuan total (bulk volume) Ø = 2. Porositas efektif, adalah persen volume pori-pori yang saling berhubungan terhadap volume batuan total (bulk volume). Ø = Untuk selanjutnya porositas efektif digunakan dalam perhitungan karena dianggap sebagai fraksi volume yang produktif. 13

11 2.7. PERMEABILITAS Permeabilitas didefinisikan sebagai kemampuan dari suatu batuan untuk mengalirkan fluida melalui pori-pori batuan tanpa merusak partikel pembentuk batuan. Definisi kuantitatif permeabilitas pertama-tama dikembangkan oleh Henry Darcy (1856) dalam hubungan empiris dengan bentuk differensial sebagai berikut: Dimana: V dp/dl k = kecepatan aliran,cm/sec = viskositas fluida yang mengalir, cp = gradien tekanan dalam arah aliran, atm/cm = permeabilitas media berpori Tanda negatif dalam persamaan tersebut menunjukkan bahwa bila tekanan bertambah dalam satu arah, maka arah alirannya berlawanan dengan arah pertambahan tekanan tersebut. Beberapa anggapan yang digunakan oleh Darcy dalam persamaan tersebut antara lain; alirannya mantap (steady state), fluida yang mengalir satu fasa, viskositas fluida yang mengalir konstan, kondisi aliran isothermal, formasinya homogen dan arah alirannya horizontal, fluidanya incompressible. Dalam batuan reservoir, permeabilitas dibedakan menjadi tiga, yaitu; permeabilitas absolut, adalah permeabilitas dimana fluida yang mengalir melalui media berpori tersebut hanya satu fasa, misal hanya minyak atau gas saja. Permeabilitas efektif, adalah permeabilitas batuan dimana fluida yang mengalir lebih dari satu fasa, misalnya minyak dan air, air dan gas, gas dan minyak atau ketigatiganya. Permeabilitas relatif, adalah perbandingan antara permeabilitas efektif dengan permeabilitas absolut KELAKUAN FASA/ PHASE BEHAVIOR SURFAKTAN Penentuan kelakuan fasa campuran surfaktan-air-minyak merupakan faktor penting dalam memperkirakan kinerja peningkatan perolehan minyak pada proses injeksi surfaktan. Proses emulsifikasi dapat menurunkan tegangan antarmuka antara fluida pendorong dengan minyak. Pada dasarnya campuran surfaktan-air-minyak dapat membentuk beberapa macam jenis emulsi yang diantaranya dapat menurunkan tegangan antar muka ke tingkat yang sangat rendah, yaitu dengan orde 10-2 sampai dengan 10-4 dyne/cm, yang dapat digunakan dalam injeksi kimia (Sugihardjo, 2002). Ada beberapa jenis emulsi yang akan terbentuk pada proses uji kelakuan fasa, yaitu: 1. Emulsi fasa bawah, dimana emulsi yang terbentuk berada dalam fasa air, terjadi kelebihan fasa minyak (excess oil), dalam kondisi dua fasa, dan berwarna translusen (jernih tembus cahaya). Gambar emulsi fasa bawah terdapat pada Gambar 7 (a). 2. Mikroemulsi atau emulsi fasa tengah, yaitu emulsi yang terdiri dari tiga fasa (air-mikroemulsiminyak) dan berwarna translusen. Gambar emulsi fasa tengah terdapat pada Gambar 7 (b). 14

12 3. Emulsi fasa atas, dimana emulsi yang terbentuk berada dalam fasa minyak dan terjadi kelebihan fasa air (excess water), emulsi ini terdiri dari dua fasa. Gambar emulsi fasa atas terdapat pada Gambar 7 (c ). 4. Makroemulsi, emulsi yang berbentuk kental dan berwarna putih susu (milky). Gambar makroemulsi terdapat pada Gambar 7 (d). (a) (b) (c ) (d) Gambar 7. Emulsi yang akan terbentuk pada uji kelakuan fase/ phase behavior. (a) Emulsi fasa bawah. (b) Emulsi fasa tengah (mikroemulsi). (c) Emulsi fasa atas. (d) Makroemulsi Surfaktan yang digunakan dalam proses chemical flooding biasanya menunjukkan kelarutan yang baik dalam fase cairan dan kelarutan yang buruk dalam fase minyak pada salinitas garam rendah. Jadi pada salinitas air formasi rendah, susunan keseluruhan diantara dua fase akan terpecah menjadi; fase kelebihan minyak dan air diluar fase mikroemulsi. Fase kelebihan minyak terdiri dari minyak dan fase mikroemulsi terdiri dari air formasi, surfaktan dan minyak yang terlarut ditengah micelles. Kondisi ini disebut sebagai sistem Winsor s type I, sistem mikroemulsi fase rendah atau tipe II (-). Istilah ini disebabkan berdasarkan fakta bahwa sistem terdiri dari dua fase dan kemiringan terhadap garis batas antara fase minyak dan fase cairan negatif. Perilaku dari sistem fase tipe II (-) dapat dilihat pada Gambar 8 (a). Pada salinitas air formasi yang tinggi, kelarutan surfaktan dalam fase cair berkurang secara drastis karena gaya elektrostatik. Jadi pada salinitas air formasi yang tinggi, susunan keseluruhan diantara dua fase akan terpecah menjadi minyak diluar fase mikroemulsi dan kelebihan fase air formasi. Dalam kasus ini, fase air formasi tidak akan berisi surfaktan dan beberapa fase air formasi akan larut dalam fase mikroemulsi pada tengah micelle. Sistem ini disebut sebagai sistem Winsor s tipe II, mikroemulsi fase atas atau sistem tipe II (+) (Gambar 8 (b)). Diantara dua type salinitas air formasi yang dibahas diatas, terdapat tipe phase behavior yang ketiga dimana ketiga fase ( fase air formasi, fase mikroemulsi, dan fase minyak) menyatu. Fase mikroemulsi tengah sering disebut sebagai fase bicontinous yaitu terdapat pada minyak dan air. Sistem ini dikenal sebagai Winsor tipe III, mikroemulsi fase tengah atau sistem tipe III (Gambar 8 (c )). 15

13 Gambar 8. Gambar fase behavior yang dihasilkan pada saat pencampuran minyak, air garam dan surfaktan. (a) tipe II (-). (b) tipe II (+). (c ) tipe III (lake, 1989) Jenis emulsi yang paling diharapkan dalam proses EOR/injeksi surfaktan adalah emulsi fasa tengah atau mikroemulsi atau paling tidak emulsi fasa bawah (Tim lemigas, 2002). Pada kondisi tersebut nilai tegangan antar muka yang dihasilkan adalah nilai IFT yang sangat rendah sehingga proses pendesakan minyak bumi pun dapat dipastikan berjalan efektif. Terbentuknya mikroemulsi fasa tengah membutuhkan konsentrasi lebih tinggi dibandingkan dengan emulsi fasa bawah maupun fasa atas. Namun demikian, untuk tercapainya kondisi mikroemulsi ini diperlukan beberapa persyaratan diantaranya adalah faktor konsentrasi surfaktan yang digunakan. 16

KAJIAN KINERJA SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) UNTUK APLIKASI ENHANCED WATER FLOODING SKRIPSI RIZKY OKTAVIAN F

KAJIAN KINERJA SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) UNTUK APLIKASI ENHANCED WATER FLOODING SKRIPSI RIZKY OKTAVIAN F KAJIAN KINERJA SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) UNTUK APLIKASI ENHANCED WATER FLOODING SKRIPSI RIZKY OKTAVIAN F34070114 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 EXPERIMENTAL

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK Reservoir adalah suatu tempat terakumulasinya minyak dan gas bumi. Pada umumnya reservoir minyak memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN:

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN: STUDI LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH PENINGKATAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK PADA INJEKSI SURFAKTAN DENGAN KADAR SALINITAS AIR FORMASI YANG BERVARIASI Tommy Viriya dan Lestari

Lebih terperinci

KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING

KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING PROCEEDING SIMPOSIUM NASIONAL IATMI 2001 Yogyakarta, 3-5 Oktober 2001 KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING Sugihardjo 1, Edward Tobing 1,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM) pertama kali muncul pada tahun 1858 ketika minyak mentah ditemukan oleh Edwin L. Drake di Titusville (IATMI SM STT MIGAS

Lebih terperinci

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan.

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. Lampiran 1 Prosedur analisis surfaktan APG 1) Rendemen Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. % 100% 2) Analisis

Lebih terperinci

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN: STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PENINGKATAN PEROLEHAN MINYAK

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN: STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PENINGKATAN PEROLEHAN MINYAK STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PENINGKATAN PEROLEHAN MINYAK Widya Pratama Kesuma, Sugiatmo Kasmungin Program Studi Teknik Perminyakan, Universitas Trisakti Abstrak Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. products), kosmetik maupun untuk pemucatan kain/tekstil (Hill & Rhode 1999). 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. products), kosmetik maupun untuk pemucatan kain/tekstil (Hill & Rhode 1999). 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak produk kimia diproduksi dengan menggunakan bahan baku dari petrokimia atau gas alam, dimana bahan baku ini akan tersedia dalam jumlah yang cukup dalam beberapa

Lebih terperinci

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN SIFAT PERMUKAAN Terdapat pada sistem pangan yang merupakan sistem 2 fase (campuran dari cairan yang tidak saling melarutkan immiscible) Antara 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Minyak bumi telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap ekonomi dunia hingga saat ini. Persediaan akan panas, cahaya, dan transportasi bergantung terhadap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut BP Statistical Review 2011, sejak tahun 2003 untuk pertama kalinya Indonesia mengalami defisit minyak dimana tingkat konsumsi lebih tinggi dibanding tingkat produksi.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. ALAT DAN BAHAN Peralatan yang digunakan adalah jangka sorong, destilator, pompa vacum, pinset, labu vacum, gelas piala, timbangan analitik, tabung gelas/jar, pipet, sudip,

Lebih terperinci

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN MINYAK PADA PROSES INJEKSI SURFAKTAN

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN MINYAK PADA PROSES INJEKSI SURFAKTAN Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah senyawa amphiphilic, yang merupakan molekul heterogendan berantai panjangyang memiliki bagian kepala yang suka air (hidrofilik)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang dapat diproduksi secara sintesis kimiawi ataupun biokimiawi. Surfaktan memiliki gugus hidrofobik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembuatan surfaktan tidak hanya dalam pencarian jenis surfaktan yang baru untuk suatu aplikasi tertentu di suatu industri, tetapi juga melakukan pencarian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui hasil produk APG bila diganti bahan baku penyusunnya. Untuk mengetahui telah tersintesisnya produk

Lebih terperinci

STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS

STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS Ricky 1), Sugiatmo Kasmungin 2), M.Taufiq Fathaddin 3) 1) Mahasiswa Magister Perminyakan, Fakultas

Lebih terperinci

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C Lipid Sifat fisika lipid Berbeda dengan dengan karbohidrat dan dan protein, lipid bukan merupakan merupakan suatu polimer Senyawa organik yang terdapat di alam Tidak larut di dalam air Larut dalam pelarut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SURFAKTAN Surfaktan yang merupakan singkatan dari surface active agent, didefinisikan sebagai suatu bahan yang mengadsorbsi pada permukaan atau antarmuka (interface) larutan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu pada proses butanolisis Proses sintesis APG dua tahap diawali oleh proses butanolisis. Penggunaan bahan baku sakarida yang memiliki dextrose

Lebih terperinci

A. Sifat Fisik Kimia Produk

A. Sifat Fisik Kimia Produk Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran 3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Penggunaan pati sebagai bahan baku dalam proses sintesis APG harus melalui dua tahapan yaitu butanolisis dan transasetalisasi. Pada butanolisis terjadi hidrolisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang berpengaruh pada aktivitas permukaan. Surfaktan memiliki kemampuan untuk larut dalam

Lebih terperinci

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI GLUKOSA DAN DODEKANOL DENGAN KATALIS ASAM

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI GLUKOSA DAN DODEKANOL DENGAN KATALIS ASAM SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI GLUKOSA DAN DODEKANOL DENGAN KATALIS ASAM Anastasia Wulan Pratidina Swasono, Putri Dei Elvarosa Sianturi, Zuhrina Masyithah Departemen Teknik Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jelantah Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. Minyak jelantah masih memiliki asam lemak dalam bentuk terikat dalam trigliserida sama

Lebih terperinci

STUDI KESTABILAN BUSA MENGENAI PENGARUH SUHU DAN ELEKTROLITSERTA KONSENTRASI SURFAKTAN DENGAN DAN TANPA MINYAK

STUDI KESTABILAN BUSA MENGENAI PENGARUH SUHU DAN ELEKTROLITSERTA KONSENTRASI SURFAKTAN DENGAN DAN TANPA MINYAK Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 STUDI KESTABILAN BUSA MENGENAI PENGARUH SUHU DAN ELEKTROLITSERTA KONSENTRASI SURFAKTAN DENGAN DAN TANPA MINYAK

Lebih terperinci

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Tania S. Utami *), Rita Arbianti, Heri Hermansyah, Wiwik H., dan Desti A. Departemen Teknik

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA TEGANGAN PERMUKAAN KELOMPOK 1 SHIFT A 1. Dini Mayang Sari (10060310116) 2. Putri Andini (100603) 3. (100603) 4. (100603) 5. (100603) 6. (100603) Hari/Tanggal Praktikum

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. Enhanced oil recovery adalah perolehan minyak dengan cara menginjeksikan bahanbahan yang berasal dari luar reservoir (Lake, 1989).

Tinjauan Pustaka. Enhanced oil recovery adalah perolehan minyak dengan cara menginjeksikan bahanbahan yang berasal dari luar reservoir (Lake, 1989). Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Enhanced Oil Recovery (EOR) Enhanced oil recovery (EOR) adalah metode yang digunakan untuk memperoleh lebih banyak minyak setelah menurunnya proses produksi primer (secara

Lebih terperinci

BAB II INJEKSI UAP PADA EOR

BAB II INJEKSI UAP PADA EOR BAB II INJEKSI UAP PADA EOR Enhanced Oil Recovery (EOR) adalah istilah dari kumpulan berbagai teknik yang digunakan untuk meningkatkan produksi minyak bumi dan saat ini banyak digunakan pada banyak reservoir

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 S u r f a k t a n

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 S u r f a k t a n 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 S u r f a k t a n Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent). Surfaktan merupakan molekul amphipatic yang memiliki sifat hidrofilik yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI LIMBAH MINYAK Sebelum ditambahkan demulsifier ke dalam larutan sampel bahan baku, terlebih dulu dibuat blanko dari sampel yang diujikan (oli bekas dan minyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Beberapa tahun ini produksi minyak bumi selalu mengalami penurunan, sedangkan konsumsi minyak selalu mengalami penaikan. Menurut Pusat Data Energi dan Sumber Daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketergantungan dunia pada minyak bumi dan pertumbuhan permintaan dunia diduga akan terus menyebabkan kenaikan harga sumber energi utama dunia ini. Diperkirakan permintaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

Gambar 1. Contoh Gugus Fungsi Surfaktan (Myers, 1946)

Gambar 1. Contoh Gugus Fungsi Surfaktan (Myers, 1946) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN Surfaktan adalah molekul ampifilik atau ampifatik yang terdiri dari dua gugus yaitu gugus hidrofobik yang bersifat non polar dan gugus hidrofilik yang bersifat polar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer Emulsi 2.1.1 Definisi Polimer Emulsi Polimer emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas dimana suatu monomer atau campuran monomer dipolimerisasikan

Lebih terperinci

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam JURNAL KELARUTAN D. Tinjauan Pustaka 1. Kelarutan Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam bagian tertentu pelarut, kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1 bagian

Lebih terperinci

KARAKTERISASI SURFAKTAN POLIMER PADA SALINITAS PPM DAN SUHU 85 C

KARAKTERISASI SURFAKTAN POLIMER PADA SALINITAS PPM DAN SUHU 85 C Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 KARAKTERISASI SURFAKTAN POLIMER PADA SALINITAS 15.000 PPM DAN SUHU 85 C Radityo Danisworo 1, Sugiatmo Kasmungin

Lebih terperinci

TUGAS FISIKA FARMASI TEGANGAN PERMUKAAN

TUGAS FISIKA FARMASI TEGANGAN PERMUKAAN TUGAS FISIKA FARMASI TEGANGAN PERMUKAAN Disusun Oleh : Nama NIM : Anita Ciptadi : 16130976B PROGRAM STUDI D-III FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA 2013/2014 KATA PENGANTAR Puji syukur

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak ribuan tahun yang lalu, minyak bumi telah digunakan oleh manusia untuk berbagai keperluan. Usaha pencarian sumber minyak di dalam bumi mulai dilakukan pada tahun

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang begitu pesat telah menyebabkan penambahan banyaknya kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Salah satu bahan baku dan bahan penunjang

Lebih terperinci

Bilamana beberapa fase berada bersama-sama, maka batas di antara fase-fase ini dinamakan antarmuka (interface).

Bilamana beberapa fase berada bersama-sama, maka batas di antara fase-fase ini dinamakan antarmuka (interface). 2 3 4 Bilamana beberapa fase berada bersama-sama, maka batas di antara fase-fase ini dinamakan antarmuka (interface). Antar muka dapat berada dalam beberapa jenis, yang dapat berwujud padat, cair atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. Hal ini dikarenakan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus

Lebih terperinci

PROBLEM OPEN-ENDED OSN PERTAMINA 2014 BIDANG KIMIA

PROBLEM OPEN-ENDED OSN PERTAMINA 2014 BIDANG KIMIA PROBLEM OPEN-ENDED OSN PERTAMINA 2014 BIDANG KIMIA TOPIK 1 BIOMASSA SEBAGAI SUMBER ENERGI Biomasa merupakan bahan organik yang tersedia secara terbarukan, umumnya berasal dari tumbuhan yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prarancangangan Pabrik HPAM dari Monomer Acrylamide Kapasitas ton/tahun

BAB I PENDAHULUAN. Prarancangangan Pabrik HPAM dari Monomer Acrylamide Kapasitas ton/tahun BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Untuk mencapai suatu struktur ekonomi yang kuat diperlukan pembangunan industri untuk menunjang kebutuhan masyarakat akan berbagai jenis produk. Selain berperan dalam

Lebih terperinci

KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT

KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT Oleh RIA MARIA F34102004 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK TUJUAN : Mempelajari proses saponifikasi suatu lemak dengan menggunakan kalium hidroksida dan natrium hidroksida Mempelajari perbedaan sifat sabun dan detergen A. Pre-lab

Lebih terperinci

Laporan Kimia Fisika Penentuan Tegangan Permukaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak fenomena-fenomena alam yang kurang kita perhatikan akan

Laporan Kimia Fisika Penentuan Tegangan Permukaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak fenomena-fenomena alam yang kurang kita perhatikan akan Laporan Kimia Fisika Penentuan Tegangan Permukaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak fenomena-fenomena alam yang kurang kita perhatikan akan tetapi fenomenafenomena tersbut mempunyai hubungan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Surfaktan MES dari Stearin Sawit Pembuatan surfaktan MES melalui proses sulfonasi pada penelitian ini dilakukan dengan bahan baku metil ester dari fraksi stearin.

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Injeksi Air Injeksi air merupakan salah satu metode Enhanced Oil Recovery (aterflood) untuk meningkatkan perolehan minyak yang tergolong injeksi tak tercampur. Air injeksi

Lebih terperinci

PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL FEBRUADI BASTIAN

PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL FEBRUADI BASTIAN PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL FEBRUADI BASTIAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI FATTY ALCOHOL (C 16 ) SAWIT DAN GLUKOSA CAIR 85% DENGAN PERLAKUAN PERBEDAAN NISBAH MOL

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI FATTY ALCOHOL (C 16 ) SAWIT DAN GLUKOSA CAIR 85% DENGAN PERLAKUAN PERBEDAAN NISBAH MOL SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI FATTY ALCOHOL (C 16 ) SAWIT DAN GLUKOSA CAIR 85% DENGAN PERLAKUAN PERBEDAAN NISBAH MOL MUHAMMAD RUM SYAFRUDDIN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Satu Penentuan Formula Pembuatan Sabun Transparan Penelitian tahap satu merupakan tahap pemilihan formula pembuatan sabun trasnparan. Hasil penelitian tahap satu ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut atau EOR (Enhanced Oil Recovery) menjadi pokok bahasan yang ramai diperbincangkan. Metode EOR

Lebih terperinci

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2.

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2. PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2. Mengetahui dan memahami cara menentukan konsentrasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi dengan menggunakan bahan baku dari minyak nabati seperti kelapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Lateks karet alam didapat dari pohon Hevea Brasiliensis yang berasal dari famili Euphorbia ceae ditemukan dikawasan tropikal Amazon, Amerika Selatan. Lateks karet

Lebih terperinci

Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia

Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia Simposium Nasional dan Kongres X Jakarta, 12 14 November 2008 Makalah Profesional IATMI 08-027 STUDI LABORATORIUM UNTUK REAKTIVASI LAPANGAN-X DENGAN INJEKSI KIMIA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan adalah zat yang dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat menaik dan menurunkan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit LAMPIRAN Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit 46 Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Metil Ester Olein Gas SO 3 7% Sulfonasi Laju alir ME 100 ml/menit,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Skema interaksi proton dengan struktur kaolin (Dudkin et al. 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN. Skema interaksi proton dengan struktur kaolin (Dudkin et al. 2004). 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Adsorben Penelitian ini menggunakan campuran kaolin dan limbah padat tapioka yang kemudian dimodifikasi menggunakan surfaktan kationik dan nonionik. Mula-mula kaolin dan

Lebih terperinci

SURFACE TENSION ( Tegangan Permukaan )

SURFACE TENSION ( Tegangan Permukaan ) SURFACE TENSION ( Tegangan Permukaan ) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak fenomena-fenomena alam yang kurang kita perhatikan akan tetapi fenomena-fenomena tersbut mempunyai hubungan dengan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan bakar fosil telah banyak dilontarkan sebagai pemicu munculnya BBM alternatif sebagai pangganti BBM

Lebih terperinci

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN:

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN: PENINGKATAN PEROLEHAN MINYAK DENGAN INJEKSI AIR DENGAN PENEMBAHAN POLIMER KONSENTRASI RENDAH SKALA LABORATORIUM Havidh Pramadika, Sugiatmo Kasmungin, Kartika Program Studi Teknik Perminyakan, Universitas

Lebih terperinci

Kelarutan & Gejala Distribusi

Kelarutan & Gejala Distribusi PRINSIP UMUM Kelarutan & Gejala Distribusi Oleh : Lusia Oktora RKS, S.F.,M.Sc., Apt Larutan jenuh : suatu larutan dimana zat terlarut berada dalam kesetimbangan dengan fase padat (zat terlarut). Kelarutan

Lebih terperinci

Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding

Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding LAMPIRAN 52 Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding 1. Tegangan Antar Permukaan Metode Spinning Drop (Gardener and Hayes, 1983) Cara kerja Spinning Drop Interfacial

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. I. Definisi

PEMBAHASAN. I. Definisi PEMBAHASAN I. Definisi Gel menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), merupakan sistem semi padat, terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT (MES) Pada penelitian ini surfaktan MES yang dihasilkan berfungsi sebagai bahan aktif untuk pembuatan deterjen cair. MES yang dihasilkan merupakan

Lebih terperinci

: Komposisi impurities air permukaan cenderung tidak konstan

: Komposisi impurities air permukaan cenderung tidak konstan AIR Sumber Air 1. Air laut 2. Air tawar a. Air hujan b. Air permukaan Impurities (Pengotor) air permukaan akan sangat tergantung kepada lingkungannya, seperti - Peptisida - Herbisida - Limbah industry

Lebih terperinci

SINTESIS ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% FINA UZWATANIA

SINTESIS ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% FINA UZWATANIA SINTESIS ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% FINA UZWATANIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Preparasi Adsorben

HASIL DAN PEMBAHASAN. Preparasi Adsorben 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Adsorben Perlakuan awal kaolin dan limbah padat tapioka yang dicuci dengan akuades, bertujuan untuk membersihkan pengotorpengotor yang bersifat larut dalam air. Selanjutnya

Lebih terperinci

Bab 3 MODEL MATEMATIKA INJEKSI SURFACTANT POLYMER 1-D

Bab 3 MODEL MATEMATIKA INJEKSI SURFACTANT POLYMER 1-D Bab 3 MODEL MATEMATIKA INJEKSI SURFACTANT POLYMER 1-D Pada bab ini akan dibahas model matematika yang dipakai adalah sebuah model injeksi bahan kimia satu dimensi untuk menghitung perolehan minyak sebagai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis sifat fisiko-kimia CPO Minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO) yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Asian Agri Grup. Analisis sifat fisiko kimia CPO

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji pendahuluan Mikrokapsul memberikan hasil yang optimum pada kondisi percobaan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Korosi merupakan fenomena kimia yang dapat menurunkan kualitas suatu

BAB I PENDAHULUAN. Korosi merupakan fenomena kimia yang dapat menurunkan kualitas suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Korosi merupakan fenomena kimia yang dapat menurunkan kualitas suatu bahan akibat berinteraksi dengan lingkungan yang bersifat korosif. Proses korosi adalah

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Bahan baku surfaktan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Bahan baku surfaktan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) merupakan salah satu oleokimia turunan yang satu molekulnya memiliki gugus hidrofilik (bagian polar/yang suka air) dan gugus hidrofobik

Lebih terperinci

FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA

FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Boiler merupakan salah satu unit pendukung yang penting dalam dunia

BAB I PENDAHULUAN. Boiler merupakan salah satu unit pendukung yang penting dalam dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Boiler merupakan salah satu unit pendukung yang penting dalam dunia industri. Boiler berfungsi untuk menyediakan kebutuhan panas di pabrik dengan mengubah air menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan produksi migas di Indonesia ini, ada 2 langkah upaya yang dapat dilakukan, yakni secara ekstensifikasi dan intensifikasi. Langkah ekstensifikasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar dari PT Rajawali Nusantara ini dikemas dalam kemasan karung, masing-masing karung berisi kurang lebih 30 kg. Hasil

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

Lampiran 2 Prosedur sintesis surfaktan APG

Lampiran 2 Prosedur sintesis surfaktan APG 58 Lampiran 2 Prosedur sintesis surfaktan APG ) Tahap Butanolisis Tahap ini mereaksikan pati, butanol, air serta katalis asam p-toluena sulfonat (PTSA) dengan perbandingan ratio mol pati:butanol:air:katalis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aspal adalah material perekat berwarna coklat kehitam hitaman sampai hitam dengan unsur utama bitumen. Aspal merupakan senyawa yang kompleks, bahan utamanya disusun

Lebih terperinci

Kampus IPB Baranangsiang-Bogor 2 Departemen Teknik Perminyakan, Institut Teknologi Bandung

Kampus IPB Baranangsiang-Bogor 2 Departemen Teknik Perminyakan, Institut Teknologi Bandung EN-136 PEMILIHAN KONSENTRASI KATALIS PTSA UNTUK SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI PALM FATTY ALCOHOL (C 16 ) DAN GLUKOSA CAIR 85% DARI SINGKONG UNTUK APLIKASI EOR Erliza Hambali 1,, Pudji Permadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan sumber bahan bakar semakin meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Akan tetapi cadangan sumber bahan bakar justru

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surface active agent (surfactant) merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang bersifat ampifatik, yaitu senyawa yang mempunyai gugus

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Orientasi formula mikroemulsi dilakukan untuk mendapatkan formula yang dapat membentuk mikroemulsi dan juga baik dilihat dari stabilitasnya. Pemilihan emulgator utama

Lebih terperinci

Study Peningkatan Oil Recovery Pada Injeksi Surfaktan-Polimer Pada Batuan Karbonat

Study Peningkatan Oil Recovery Pada Injeksi Surfaktan-Polimer Pada Batuan Karbonat Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti Vol. 3, No. 1, Januari 2018, ISSN (p): 0853-7720, ISSN (e): 2541-4275 Study Peningkatan Oil Recovery Pada Injeksi Surfaktan-Polimer

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN GARAM ANORGANIK, PELARUT ALKOHOL DAN ALKALI TERHADAP FORMULA SURFAKTAN MES AIR FORMASI MINYAK (STUDI KASUS LAPANGAN SANDSTONE)

PENGARUH PENAMBAHAN GARAM ANORGANIK, PELARUT ALKOHOL DAN ALKALI TERHADAP FORMULA SURFAKTAN MES AIR FORMASI MINYAK (STUDI KASUS LAPANGAN SANDSTONE) i PENGARUH PENAMBAHAN GARAM ANORGANIK, PELARUT ALKOHOL DAN ALKALI TERHADAP FORMULA SURFAKTAN MES AIR FORMASI MINYAK (STUDI KASUS LAPANGAN SANDSTONE) RISTA FITRIA DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Metode EOR

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Metode EOR II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Metode EOR Metode peningkatan perolehan minyak tingkat lanjut atau Enhanced Oil Recovery (EOR) adalah suatu teknik peningkatan produksi minyak setelah tahapan produksi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dantujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis dan (7)

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006).

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006). 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jarak Pagar Jarak Pagar (Jatropha curcas L) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati non pangan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Selain tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Minyak Bumi dan dampaknya bagi Lingkungan. Minyak bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Minyak Bumi dan dampaknya bagi Lingkungan. Minyak bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Bumi dan dampaknya bagi Lingkungan Minyak bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat,

Lebih terperinci

2.1. Minyak Burnt dan Hidrokarbon. Putri (1994) mengatakan minyak mentah (Crude Oil) merupakan suatu

2.1. Minyak Burnt dan Hidrokarbon. Putri (1994) mengatakan minyak mentah (Crude Oil) merupakan suatu BAB II TTNJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Burnt dan Hidrokarbon Putri (1994) mengatakan minyak mentah (Crude Oil) merupakan suatu substansi yang bersifat komplek dan dibentuk oleh lebih kurang seribu macam molekul

Lebih terperinci

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI KETERBASAHAN BATUAN PADA RESERVOIR YANG MENGANDUNG MINYAK PARAFIN PADA PROSES IMBIBISI

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI KETERBASAHAN BATUAN PADA RESERVOIR YANG MENGANDUNG MINYAK PARAFIN PADA PROSES IMBIBISI KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI KETERBASAHAN BATUAN PADA RESERVOIR YANG MENGANDUNG MINYAK PARAFIN PADA PROSES IMBIBISI Siti Kartika, Sugiatmo Kasmungin Program Studi Teknik Perminyakan Universitas Trisakti

Lebih terperinci