Kajian Identifikasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Kajian Identifikasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah"

Transkripsi

1 Kajian Identifikasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

2 Kajian Identifikasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah BIRO KREDIT BANK INDONESIA 2007

3 KATA PENGANTAR Kami panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita, sehingga kajian Identifikasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah Dalam Rangka Pengembangan UMKM dapat diselesaikan dengan baik. Kajian ini dilaksanakan di 5 wilayah propinsi dimana masing-masing propinsi diwakili oleh 2 Kabupaten/Kota, yaitu : 1. Propinsi Banten : Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang 2. Propinsi Sumatera Utara : Kabupaten Simalungun dan Kota Medan 3. Propinsi Jawa Barat : Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur. 4. Propinsi Jawa Timur : Kabupaten Malang dan Kota Surabaya 5. Propinsi Nusa Tenggara Barat : Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur Penelitian ini bekerjasama dengan 5 (lima) lembaga peneliti di masing-masing wilayah penelitian, yaitu PT. CESS (Center for Economic and Social Studies) untuk wilayah Banten, Universitas HKBP Nomensen untuk wilayah penelitian Sumatera Utara, Universitas Islam Bandung untuk wilayah penelitian Jawa Barat, Universitas Airlangga untuk wilayah penelitian Jawa Timur dan Universitas Mataram untuk wilayah penelitian Nusa Tenggara Barat. Tujuan dari kajian ini adalah untuk melakukan identifikasi Peraturan-peraturan baik di Pusat maupun di Daerah yang kurang mendukung pengembangan UMKM serta memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mengkaji kembali penerapan peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang diidentifikasi menimbulkan high cost economy bagi iklim pengembangan usaha UMKM apabila dibutuhkan. Kajian ini merupakan bagian dari Program Kerja Inisiatif Bank Indonesia tahun 2007 Peningkatan Peran Bank Indonesia Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Melalui Pengembangan UMKM dan Pemetaan Sektor Ekonomi, dan Pemberdayaan Sektor Riil. Tim Penyusun menyadari bahwa penelitian lapangan dan laporan Identifikasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah Dalam Rangka Pengembangan UMKM ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bantuan dan kerjasama dari semua pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini perkenankanlah Tim Penyusun menyampaikan terima kasih kepada : i

4 1. Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Pemerintah Daerah (Pemda) dan lembaga lain yang pernah melakukan penelitian sejenis (a.l. KPPOD, The Asia Foundation, International Finance Corporation (IFC) dan Swisscontact) yang telah memberikan masukan, informasi dan data yang diperlukan. 2. Lembaga Peneliti di 5 (lima) wilayah penelitian yang telah bekerjasama dalam pengumpulan data primer di lapangan. 3. Para responden, yaitu pengusaha UMKM, Kadinda dan Asosiasi yang telah meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan dan bertindak sebagai nara sumber. 4. Pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah memberikan masukan yang sangat berharga dalam kajian ini. Akhirnya besar harapan kami, semoga hasil kajian ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan salah satu bahan rujukan dalam pengembangan UMKM di Indonesia. Jakarta, Desember 2007 Detty H. Agustono Kepala Biro Kredit - Bank Indonesia ii

5 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... RINGKASAN EKSEKUTIF... BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Kerangka Pemikiran dan Ruang Lingkup Kajian... BAB 2 METODE PENELITIAN DAN ANALISIS Metode Penelitian Penentuan Sampel dan Responden Teknik Analisis Tahapan dan Metode Analisis Kondisi Terkini Perekonomian Daerah Diseminasi Temuan Penting Studi Penulisan Laporan dan Rekomendasi... BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAERAH Komposisi PDRB Sektoral Kondisi Keuangan Daerah... BAB 4 PEMETAAN PERATURAN DAERAH TERKAIT KEGIATAN USAHA Jumlah dan Jenis Perda Terkait Kegiatan Usaha Perda yang Menjadi Burning Issues dan Menghambat Kegiatan Usaha... BAB 5 PROFIL RESPONDEN UMKM DAN USAHANYA Jabatan dan Jenis Kelamin Responden Tingkat Pendidikan Responden Lama Usaha Tenaga Kerja Dinamika Usaha Keanggotaan Dalam Asosiasi/Koperasi Perizinan Usaha Akses Ke Sumber Modal Kondisi Lingkungan Usaha... BAB 6 PERSEPSI UMKM TERHADAP LINGKUNGAN USAHA Tahap Pendirian Usaha Tahap Operasional Usaha... BAB 7 PERINGKAT DAYA SAING USAHA Peringkat Daya Saing Usaha Menurut Daerah Peringkat Daya Saing Usaha Menurut Sektor... BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Implikasi Kebijakan... i iii iv v ix iii

6 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 3.5 Komposisi PDRB Sektoral di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut, Komposisi PDRB Sektoral di Kabupaten Malang dan Kota Surabaya, Komposisi PDRB Sektoral di Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur, Komposisi PDRB Sektoral di Kabupaten Simalungun dan Kota Medan, Komposisi PDRB Sektoral di Kabupaten Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang, Tabel 3.6 APBD Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut (Juta Rupiah), Tabel 3.7 APBD Kabupaten Malang dan Kota Surabaya (Juta Rupiah), Tabel 3.8 APBD Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Lombok Tengah (Juta Rupiah), Tabel 3.9 APBD Kabupaten Simalungun dan Kota Medan (Juta Rupiah), Tabel 3.10 APBD Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang (Juta Rupiah), Tabel 4.1 Jumlah Perda yang Dianalisis di Masing-Masing Lokasi Studi Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Jumlah Perda Menurut Kelompok Perizinan, Pajak, Retribusi dan Lainnya di Masing-Masing Lokasi Studi Daftar Perda yang bersifat umum (terkait sektor Pertanian, Perdagangan dan Industri) Menurut Lokasi Studi Perda yang Rujukan Peraturan Nasionalnya Tidak Up To Date di Lokasi Studi iv

7 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran dan Analisis Studi Indentifikasi Peraturan Pusat dan Daerah Dalam Rangka Pengembangan UMKM... 4 Gambar 5.1 Jenis Kelamin Responden Berdasarkan Skala Usaha dan Sektor Usaha. 35 Gambar 5.2 Jabatan Responden Berdasarkan Skala Usaha dan Sektor Usaha Gambar 5.3 Tingkat Pendidikan Responden Gambar 5.4 Tingkat Pendidikan Responden Berdasarkan Skala Usaha dan Sektor Usaha Gambar 5.5 Lamanya Berusaha Berdasarkan Skala Usaha dan Sektor Usaha Gambar 5.6 Status Hubungan Tenaga Kerja UMKM Berdasarkan Skala Usaha dan Sektor Usaha Gambar 5.7 Status Pembayaran Tenaga Kerja UMKM Berdasarkan Skala Usaha dan Sektor Usaha Gambar 5.8 Jumlah UMKM yang Merencanakan Efisiensi Untuk Pengembangan Usaha Berdasarkan Skala Usaha dan Sektor Usaha Gambar 5.9 Jumlah UMKM yang Merencanakan untuk Menginvestasikan Kembali Keuntungannya Berdasarkan Skala Usaha dan Sektor Ekonomi Gambar 5.10 Kenggotaan UMKM dalam Asosiasi Gambar 5.11 Keanggotaan Dalam Asosiasi atau Koperasi berdasarkan skala usaha dan sektor usaha Gambar 5.12 Perizinan yang dimiliki UMKM Gambar 5.13 Perizinan yang Dimiliki UMKM Menurut Skala Usaha dan Sektor Usaha 43 Gambar 5.14 Alasan UMKM Tidak Memiliki Perizinan Usaha Gambar 5.15 Alasan UMKM Tidak Memiliki Perizinan Usaha Berdasarkan Skala Usaha dan Sektor Usaha Gambar 5.16 Manfaat Kepemilikan Izin Usaha Gambar 5.17 Sumber Permodalan UMKM Gambar 5.18 Akses Ke Sumber Permodalan Berdasarkan Skala Usaha Dan Sektor Usaha Gambar 5.19 Positioning Usaha UMKM Terhadap Kompetitornya Berdasarkan Penggunaan Teknologi Gambar 5.20 Positioning Usaha UMKM Terhadap Kompetitornya Berdasarkan Skala Usaha dan Sektor Usaha Gambar 6.1 Pengetahuan Tentang Peraturan Pendirian Usaha Menurut Skala Usaha Gambar 6.2 Pengetahuan Tentang Peraturan Pendirian Usaha Menurut Sektor v

8 Gambar 6.3 Sumber Informasi Peraturan Pendirian Usaha Menurut Skala Usaha Gambar 6.4 Sumber Informasi Peraturan Pendirian Usaha Menurut Sektor Gambar 6.5 Status Badan Hukum/Badan Usaha Menurut Skala Usaha Gambar 6.6 Status Badan Hukum/Badan Usaha Menurut Sektor Gambar 6.7 Motivasi Memiliki Status Badan Hukum/Badan Usaha Menurut Skala Usaha Gambar 6.8 Motivasi Memiliki Status Badan Hukum/Badan Usaha Menurut Sektor. 53 Gambar 6.9 Cara Pengurusan Badan Hukum/Badan Usaha Menurut Skala Usaha Gambar 6.10 Cara Pengurusan Badan Hukum/Badan Usaha Menurut Sektor Gambar 6.11 Penggunaan Jasa Perantara Menurut Skala Usaha Gambar 6.12 Penggunaan Jasa Perantara Menurut Sektor Gambar 6.13 Alasan Mengunakan Jasa Perantara Menurut Skala Usaha Gambar 6.14 Alasan Mengunakan Jasa Perantara Menurut Sektor Gambar 6.15 Alasan Tidak Memiliki Badan Hukum/Badan Usaha Menurut Skala Usaha Gambar 6.16 Alasan Tidak Memiliki Badan Hukum/Badan Usaha Menurut Sektor Gambar 6.17 Persyaratan Ijin Paling Memberatkan Gambar 6.18 Alasan Persyaratan Ijin Paling Memberatkan Gambar 6.19 Penilaian Terhadap Birokrasi dan Pelayanan Perijinan Gambar 6.20 Pernah Memperoleh Informasi Tentang OSS/PPTSP Menurut Skala Gambar 6.21 Pernah Memperoleh Informasi Tentang OSS/PPTSP Menurut Sektor Gambar 6.22 Sumber Informasi Tentang OSS/PPTSP Menurut Skala Gambar 6.23 Sumber Informasi Tentang OSS/PPTSP Menurut Sektor Gambar 6.24 Sumber Informasi Terbaik Tentang OSS/PPTSP Menurut Skala Gambar 6.25 Sumber Informasi Terbaik Tentang OSS/PPTSP Menurut Sektor Gambar 6.26 Informasi Kebijakan Daerah Menurut Skala Gambar 6.27 Informasi Kebijakan Daerah Menurut Sektor Gambar 6.28 Keberadaan Program Bantuan Sertifikasi Tanah Gambar 6.29 Penilaian Terhadap Program Bantuan Sertifikasi Tanah Gambar 6.30 Sumber Informasi Tentang Pajak Gambar 6.31 Pernah Tidaknya Pengusaha UMKM Membayar Pajak Berdasarkan Skala Usaha dan Sektor Ekonomi Gambar 6.32 Penjelasan Tentang Pajak dan Kejelasan Informasi Gambar 6.33 Cara Pembayaran Pajak oleh UMKM Gambar 6.34 Penilaian terhadap Aspek Pelayanan Pajak vi

9 Gambar 6.35 Penggunaan Jasa Perantara menurut Skala Usaha dan Sektor Ekonomi Gambar 6.36 Alasan Penggunaan Jasa Perantara Berdasarkan Skala Usaha dan Sektor Usaha Gambar 6.37 Pendapat Mengenai Layanan Jasa Perantara Menurut Skala Usaha dan Sektor Usaha Gambar 6.38 Merasakan Manfaat Atas Pembayaran Pajak Yang Dilakukan Berdasarkan Skala Usaha dan Sektor Usaha Gambar 6.39 Pendapat UMKM Tentang Jumlah Jenis Pajak Yang Dibayar Berdasarkan Skala Usaha dan Sektor Ekonomi Gambar 6.40 Jenis Pajak Yang Dibayarkan Gambar 6.41 Persepsi responden terhadap tarif pajak terkait usaha Gambar 6.42 Persepsi Responden Tentang Pajak Bersifat Progressif Gambar 6.43 Pendapat UMKM Tentang Pajak Berisifat Progressif Berdasarkan Skala Usaha dan Sektor Ekonomi Gambar 6.44 Pendapat responden tentang usulan cara pembayaran pajak Gambar 6.45 Pengetahuan Tentang Retribusi. 73 Gambar 6.46 Sumber Informasi Tentang Retribusi.. 74 Gambar 6.47 Kepatuhan UMKM Membayar Retribusi Berdasarkan Skala Usaha dan Sektor Ekonomi Gambar 6.48 Keberadaan Lembaga Lain dalam Memungut Retribusi Selain Dinas Teknis PEMDA Gambar 6.49 Persepsi UMKM Terhadap Pengenaan Retribusi Gambar 6.50 Tingkat Pengetahuan tentang Peraturan Terkait Ketenagakerjaan Gambar 6.51 Pengetahuan tentang Jenis Peraturan Terkait Ketenagakerjaan Gambar 6.52 Kepatuhan dan Penilaian UMKM terhadap Peraturan Ketenagakerjaan 79 Gambar 6.53 Kebutuhan Terhadap Pinjaman dan Pengajuan Kredit Menurut Skala.. 80 Gambar 6.54 Kebutuhan Terhadap Pinjaman dan Pengajuan Kredit Menurut Sektor 80 Gambar 6.55 Pengalaman Mengajukan Kredit Menurut Skala Gambar 6.56 Pengalaman Mengajukan Kredit Menurut Sektor Gambar 6.57 Persyaratan dan Penilaian Terhadap Persyaratan Kredit Menurut Skala 81 Gambar 6.58 Persyaratan dan Penilaian Terhadap Persyarata Kredit Menurut Sektor 81 Gambar 6.59 Pendapat Tentang Jumlah Dokumen Persyaratan Menurut Skala Gambar 6.60 Pendapat Tentang Jumlah Dokumen Persyaratan Menurut Sektor Gambar 6.61 Kebijakan Bank Terhadap Pengajuan Kredit Menurut Skala Gambar 6.62 Kebijakan Bank Terhadap Pengajuan Kredit Menurut Sektor vii

10 Gambar 6.63 Jangka Waktu Menerima Jawaban Atas Permohonan Kredit Menurut Skala Gambar 6.64 Jangka Waktu Menerima Jawaban Atas Permohonan Kredit Menurut Sektor Gambar 6.65 Bentuk Kemudahan yang Diberikan Perbankan Menurut Skala Gambar 6.66 Bentuk Kemudahan yang Diberikan Perbankan Menurut Sektor Gambar 6.67 Pernah Mengalami Masalah Terkait Kredit Menurut Skala Gambar 6.68 Pernah Mengalami Masalah Terkait Kredit Menurut Sektor Gambar 6.69 Tempat Menyampaikan Keluhan Jika Ada Masalah Kredit yang Diajukan Menurut Skala Gambar 6.70 Tempat Menyampaikan Keluhan Jika Ada Masalah Kredit yang Diajukan Menurut Sektor Gambar 6.71 Alternatif Sumber Tambahan Modal Menurut Skala Gambar 6.72 Alternatif Sumber Tambahan Modal Menurut Sektor Gambar 6.73 Penilaian UMKM Terhadap Layanan Infrastruktur Listrik Gambar 6.74 Penilaian UMKM Terhadap Layanan Infrastruktur Air Bersih Gambar 6.75 Penilaian UMKM Terhadap Layanan Infrastruktur Telepon Gambar 6.76 Penilaian UMKM Terhadap Layanan Infrastruktur Jalan Gambar 7.1 Diagram Radar Daya Saing Pengembangan UMKM di Lima Propinsi Gambar 7.2 Diagram Radar Daya Saing Lingkungan Peraturan di Lima Propinsi Gambar 7.3 Diagram Radar Daya Saing Dinamika Usaha UMKM di Lima Propinsi Gambar 7.4 Diagram Radar Daya Saing Formalisasi Usaha bagi UMKM di Lima Propinsi Gambar 7.5 Diagram Radar Daya Saing Aksesibilitas Kredit bagi UMKM di Lima Propinsi Gambar 7.6 Diagram Radar Daya Saing Lingkungan Usaha bagi UMKM di Lima Propinsi Gambar 7.7 Diagram Radar Daya Saing Sektoral bagi Pengembangan UMKM Gambar 7.8 Diagram Radar Daya Saing Dinamika Usaha UMKM Antar Sektor Gambar 7.9 Diagram Radar Daya Saing Formalisasi Usaha UMKM Antar Sektor Gambar 7.10 Diagram Radar Daya Saing Akses Terhadap Kredit UMKM Antar Sektor Gambar 7.11 Diagram Radar Daya Saing Lingkungan Usaha UMKM Antar Sektor viii

11 RINGKASAN EKSEKUTIF Peranan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sangat vital dalam perekonomian. Hal ini dapat terlihat dari jumlah unit usahanya yang besar, penyerapan tenaga kerja, dan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Keberhasilan pengembangan UMKM ditentukan oleh banyak faktor antara lain adalah regulasi tentang UMKM itu sendiri. Pasca berlakunya otonomi daerah, Pemerintah Daerah memegang peranan besar dalam penciptaan kondusifitas iklim usaha yang salah satu indikatornya adalah peraturan daerah yang terkait dengan kegiatan usaha. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bank Indonesia tahun 2005, salah satu kendala dalam rangka pengembangan UMKM adalah aspek legalitas dimana UMKM sulit memperoleh perijinan dalam memulai usaha. Menindaklanjuti hasil penelitian tersebut, pada tahun 2007 Bank Indonesia telah melakukan identifikasi terhadap peraturan pusat dan peraturan daerah dalam rangka pengembangan UMKM. Penelitian dilakukan di 5 (lima) provinsi dan masingmasing propinsi diwakili oleh 2 (dua) Kabupaten/Kota yaitu : 1. Provinsi Banten (Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang); 2. Provinsi Jawa Barat (Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur); 3. Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Malang dan Kota Surabaya); 4. Provinsi Sumatera Utara (Kota Medan dan Kabupaten Simalungun); 5. Provinsi Nusa Tenggara Barat (Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur). Untuk melengkapi identifikasi terhadap peraturan pusat dan daerah tersebut, dilakukan pula survei terhadap pelaku UMKM yang masing-masing diwakili oleh 180 UMKM dan 20 Asosiasi usaha per provinsi yang diwakili oleh sektor pertanian, industri dan perdagangan. Survei tersebut dilakukan oleh Bank Indonesia bekerjasama dengan 5 lembaga peneliti di masing-masing wilayah penelitian. Adapun metode penelitian yang dilakukan adalah melalui pengumpulan data primer yaitu melakukan wawancara dengan pelaku usaha dan asosiasi serta focus group discussion dengan Pemda, pelaku usaha, asosiasi, akademisi dan LSM. Disamping itu pengumpulan data sekunder dilakukan pula melalui dokumentasi perda, data PDRB dan APBD. Melalui kajian ini diharapkan dapat diindentifikasi peraturan-peraturan baik di pusat maupun di daerah yang kurang mendukung pengembangan UMKM dan mengukur daya ix

12 saing daerah sehingga pada akhirnya dapat diberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengidentifikasi peraturan-peraturan yang berindikasi menimbulkan mengurangi high cost economy bagi iklim pengembangan usaha UMKM. Dari hasil kajian diperoleh gambaran berbagai aspek sebagai berikut : 1. Kondisi Keuangan Daerah Berdasarkan kajian tentang kondisi keuangan daerah, terdapat 6 kabupaten dimana sektor pertanian menjadi lokomotif perekonomian daerah, yaitu Kabupaten Cianjur, Garut, Malang, Lombok Tengah, Lombok Timur, dan Kabupaten Simalungun, sedangkan 2 kota yaitu Surabaya dan Medan perekonomiannya didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restaurant. Sementara 2 kabupaten lainnya yaitu Tangerang dan Serang perekonomiannya ditopang oleh sektor industri pengolahan. Dari aspek penerimaan daerah, seluruh kabupaten/kota yang menjadi fokus dalam studi memperlihatkan bahwa sumber penerimaan daerah yang terbesar adalah dari dana perimbangan, yang berkisar antara 51% - 80%. Sedangkan pengeluaran daerah untuk seluruh kabupaten/kota yang menjadi fokus studi sebagian besar (35% - 65%) dialokasikan untuk belanja pegawai, dengan demikian rata-rata belanja modal hanya berkisar 5% - 16%, kecuali untuk Kabupaten Tangerang yang mencapai 30%. 2. Pemetaan Peraturan Daerah Terkait Kegiatan Usaha a. Jumlah dan Jenis Perda terkait kegiatan usaha Berdasarkan hasil pemetaan Perda yang terkait kegiatan usaha, dari total 234 Perda yang dianalisis di 10 (sepuluh) lokasi studi, sebanyak 66% merupakan Perda terkait dengan retribusi. Hal ini mengindikasikan bahwa Perda yang berlaku dan terkait kegiatan usaha bersifat memungut uang dari dunia usaha sehingga banyak membebani dunia usaha. Disamping itu masih banyak Perda retribusi yang dikaitkan dengan pengurusan ijin tertentu bagi pengusaha seperti retribusi IMB, ijin gangguan, ijin usaha pariwisata, dll. Hal ini memberatkan kondisi iklim usaha karena sebagian besar tarif retribusi yang diterapkan tidak semata-mata sebagai balas jasa atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah, tetapi cenderung berorientasi untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). x

13 b. Perda yang menjadi burning issues dan dianggap kurang mendukung kegiatan usaha Perda yang menjadi burning issues dan dianggap kurang mendukung kegiatan usaha di lokasi studi adalah Perda yang terkait dengan perizinan. Hambatan yang muncul disebabkan oleh beberapa hal, yaitu tidak jelasnya prosedur, jumlah persyaratan yang terlalu banyak dan kadang sulit dipenuhi, waktu pengurusan izin lama, tarif yang dianggap terlalu mahal, serta adanya beban biaya tambahan (illegal) yang dikeluarkan ketika mengurus izin. Sementara Perda yang mengatur pajak dan retribusi, secara umum dianggap memberatkan pelaku usaha. Kondisi tersebut tidak terlepas dari peraturan pusat, khususnya PP No. 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No. 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah yang menjadi rujukan Perda. Dua Peraturan Pemerintah tersebut tidak mengatur semua jenis pajak dan retribusi yang akan dipungut, juga tidak ditetapkan mengenai waktu, tarif, jumlah syarat, frekuensi serta daftar ulang. Kesemuanya hal tersebut diserahkan kepada kebijaksanaan Pemda dengan memperhatikan kondisi daerah. Dengan adanya keleluasaan tersebut Pemda dalam menetapkan ketentuan dimaksud menjadi cenderung berorientasi pada upaya peningkatan PAD kurang memperhatikan kepentingan dunia usaha sehingga dianggap memberatkan bagi dunia usaha. c. Perda yang terkait kegiatan usaha yang perlu ditinjau kembali Dari 234 Perda yang dapat dikumpulkan, terdapat 30 Perda yang rujukan peraturan nasionalnya tidak sesuai dengan peraturan pusat sebagai rujukannya, dalam artian bahwa peraturan nasional sudah berubah namun rujukan di Perda belum disesuaikan. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan yang ada dalam Perda berpotensi akan menyalahi atau tidak sesuai dengan peraturan nasional yang seharusnya menjadi rujukan Perda. d. Perda yang kurang mendukung kegiatan usaha, kasus spesifik di lokasi studi 1) Kabupaten Lombok Timur. Perda yang dianggap paling kurang mendukung dan kurang mendukung kegiatan usaha adalah Perda Nomor 13 tahun 2004 tentang Lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang Sah. Perda tersebut tidak hanya memuat peraturan yang berkaitan dengan usaha, tetapi juga memuat retribusi untuk non usaha. Disamping itu Perda ini juga memuat ketentuan pembayaran xi

14 pajak atas: (i) jasa giro, (ii) jasa atas pembayaran pekerjaan, (iii) denda atas keterlambatan pekerjaan, (iv) setoran kelebihan pembayaran kepada pihak ketiga, (v) kontribusi badan usaha yang melakukan kegiatan badan usaha di daerah, (vi) kontribusi produksi tembakau virginia, (vii) perizinan/rekomendasi, dan (viii) jasa pelayanan administrasi dan legalisasi/pengesahan. Dengan demikian Perda ini dibuat cenderung hanya sebagai alat untuk menggali PAD sebesar-besarnya tetapi tidak memperhatikan dampaknya terhadap iklim usaha dan investasi di Kabupaten Lombok Timur. 2) Kabupaten Lombok Tengah. Perda yang dianggap kurang mendukung dan memberatkan kegiatan usaha adalah Perda No. 31 tahun 1995 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah. Peraturan daerah ini dianggap kurang mendukung karena peraturan nasional yang menjadi rujukan dari peraturan daerah tersebut yaitu Undang- Undang No. 8 tahun 1981 tentang pajak dan retribusi daerah sudah tidak berlaku lagi. Selain itu sumbangan pihak ketiga merupakan sumber pendapatan di luar pendapatan yang dibolehkan dalam Undang-undang No. 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah dirubah dalam UU No 34 tahun Perda tersebut menyebabkan ekonomi biaya tinggi terutama bagi Usaha mikro dan kecil. 3) Kabupaten Simalungun. Ada dua Perda yang dinilai kurang mendukung di Kabupaten ini, yaitu : a) Perda Nomor 32 tahun 2001 tentang Retribusi Izin Usaha Perdagangan. Dalam Perda tersebut dibedakan tiga SIUP yaitu : (1) SIUP Kecil yaitu kegiatan yang memiliki kekayaan antara 0 sampai 200 juta rupiah tidak termasuk bangunan dan tanah tempat berusaha dengan retribusi sebesar Rp , (2) SIUP Menengah dengan kekayaan antara 200 juta rupiah hingga 500 juta rupiah tidak termasuk bangunan dan tanah tempat berusaha dengan retribusi sebesar Rp , dan (3) SIUP Besar dengan kekayaan di atas 500 juta rupiah tidak termasuk bangunan dan tanah tempat berusaha dengan retribusi sebesar Rp Berdasarkan ketentuan tersebut, usaha yang harus memiliki SIUP Kecil adalah usaha mikro dan usaha kecil sedangkan usaha menengah harus memiliki SIUP menengah atau SIUP Besar. Jumlah retribusi tersebut sangat memberatkan pelaku UMKM. Walaupun frekuensinya pembayarannya hanya xii

15 sekali, namun dalam Perda itu juga disebutkan bila ada perluasan usaha/kegiatan usaha dimungkinkan penggantian SIUP. b) Perda No. 27 tahun 2001 tentang Retribusi Izin Pengambilan atau Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Menurut PP No. 66 tahun 2001 bahwa hari pengurusannya, jumlah dokumen, dan frekuensi pembayarannya diserahkan penentuannya kepada daerah. Tarifnya menurut PP No. 66 tahun 2001 tersebut adalah 20% untuk tarif air bawah tanah dan 10% untuk air permukaan. Dalam Perda No. 27 tahun 2001 ditetapkan sebagai berikut: (1) tarif eksplorasi sebesar Rp , (2) tarif pengeboran pertama sebesar Rp dan untuk pengeboran kedua sebesar Rp Kemudian tarif pengambilan air bawah tanah per mata air untuk tiap pengeboran adalah Rp dan perpanjangan izin sebesar Rp Selanjutnya tarif pengambilan air permukaan setiap izin adalah Rp dan perpanjangannya sebesar Rp Untuk mengurus perizinannya harus melampirkan dokumen seperti SIPPAT, izin perusahaan pengeboran air bawah tanah, serta surat izin juru bor. Frekuensi daftar ulang/waktu pembayarannya adalah sebagai berikut: (1) eksplorasi selama 6 bulan, pengeboran bawah tanah 3 bulan, dan pengambilan air bawah tanah/mata air dan permukaan tanah 5 tahun. Ketentuan-ketentuan tersebut dianggap oleh pelaku usaha di Kabupaten Simalungun sangat memberatkan dan kurang mendukung pengembangan dunia usaha. e. Analisis Deviasi antara Perda & Peraturan Nasional yang Menjadi Rujukannya Analisis Deviasi adalah analisis terhadap substansi Perda yang dibandingkan dengan peraturan nasional yang dijadikan rujukan utama Perda. Secara umum Perda terkait kegiatan usaha tidak menyalahi peraturan nasional yang menjadi rujukan utamanya. Disamping itu karena dalam peraturan pusat tidak secara eksplisit ditetapkan mengenai waktu, tarif, jumlah syarat, frekuensi serta daftar ulang, maka analisis deviasi tidak dapat dibandingkan. Masalah yang banyak muncul lebih disebabkan oleh adanya kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada Pemda untuk menentukan jenis tarif. Dimana Pemda kurang memperhatikan kondisi dan kemampuan pelaku usaha di daerahnya. xiii

16 3. Beberapa profil dari sampel UMKM dalam studi ini adalah sebagai berikut : a. Jenis kelamin yang mengelola usaha UMKM didominasi oleh laki-laki (76%) b. Status UMKM dominan sebagai pemilik sekaligus pengelola (48%), dengan rata-rata tingkat pendidikan adalah SMU (36%). c. Sebagian besar (71%) pengusaha UMKM telah melaksanakan usahanya lebih 5 tahun, mempekerjakan sebagian besar (40%) tenaga kerja tetap dari luar keluarga dan dengan status tenaga kerja dibayar (87%). d. Sekitar 65% pengusaha UMKM merencanakan efisiensi untuk pengembangan usaha dan sekitar 19% - 21% pengusaha merencanakan untuk menginvestasikan kembali keuntungannya, dengan proporsi sekitar 34% - 40%. e. Sebagian besar (74%) pengusaha UMKM tidak menjadi anggota asosiasi atau koperasi. f. Dari 7 jenis izin usaha yang harus dimiliki, minimal satu izin dimiliki oleh sebagian besar (72%) usaha formal UMKM. Terdapat tiga alasan utama yang menyebabkan UMKM tidak memiliki atau mengurus perizinan usaha yaitu merasa tidak perlu, persyaratan rumit, dan biaya mahal. g. Sumber utama permodalan bagi sebagian besar (91%) UMKM berasal dari modal sendiri, sedangkan 2 sumber permodalan utama lainnya berasal dari kredit bank umum (27%) dan pinjaman dari teman/saudara (14%). Berbeda dengan usaha mikro dan usaha kecil, usaha menengah lebih banyak menggunakan kredit dari bank umum dan LKBB. h. Ditinjau dari tekonologi yang digunakan sebagian besar (68%) UMKM menyatakan bahwa mereka tidak berbeda dengan kompetitornya. 4. Beberapa persepsi UMKM dalam tahap pendirian usaha sebagai berikut a. Semakin besar skala usaha, maka pengetahuan tentang pendirian usaha semakin baik. Sebanyak 75% Usaha Menengah mengetahui peraturan tentang pendirian usaha. Sedangkan sumber informasi tentang peraturan pendirian usaha tersebut sebagian besar (39,46%) diperoleh dari relasi usaha. Sedikitnya UMKM yang memperoleh informasi tersebut diakibatkan oleh : (1) keterbatasan kemampuan UMKM mengakses informasi (2) terbatasnya prasarana publik yang mampu memberikan informasi secara mudah, cepat, dan murah. xiv

17 b. Semakin besar skala usaha maka kepemilikan badan hukum/badan usaha juga semakin besar. Sebagai ilustrasi, terdapat sekitar 50% Usaha Mikro yang tidak memiliki badan usaha/hukum, Usaha Kecil sekitar 20%, dan Usaha Menengah 4%. Tiga alasan utama UMKM tidak memiliki badan hukum/usaha adalah tidak butuh badan hukum/usaha, prosedur rumit dan tidak tahu cara mengurus badan usaha/hukum. c. Sebagian besar (73%) UMKM yang memiliki badan hukum/badan usaha, berstatus usaha dagang dan perorangan. Dalam pengurusan status hukum badan usaha tersebut, dapat dilakukan dengan cara pengurusan sendiri atau melalui jasa perantara, dengan proporsi yang hampir sama. Dua jasa perantara yang paling banyak digunakan pengusaha adalah jasa perorangan dan PNS di luar tugas utamanya. Sedangkan alasan menggunakan jasa perantara adalah untuk menghemat waktu dan jasa perantara lebih menguasai prosedur. d. Tiga persyaratan yang dinilai paling memberatkan dalam pengurusan ijin usaha adalah pengurusan akte pendirian usaha (34%), perolehan surat rekomendasi/pengantar camat/lurah (34%) dan ijin tetangga (31%). Biaya yang paling mahal dan memberatkan adalah dalam pengurusan dokumen gambar lokasi. Prosedur yang rumit dirasakan dalam pengurusan akte pendirian usaha dan NPWP. Waktu yang lama adalah dalam pengurusan ijin tetangga, rekomendasi/pengantar camat/lurah, bukti pemilikan tanah, bukti SPPT PBB, dan AMDAL/UPL-UKL. Sedangkan informasi yang tidak jelas dirasakan dalam memperoleh rekomendasi asosiasi. e. Persepsi UMKM mengenai birokrasi dalam pelayanan perijinan, dinilai cukup bagus sebagaimana yang digambarkan dalam empat indikator yaitu: (1) keramah-tamahan petugas pelayanan perizinan (92%), (2) kejelasan prosedur pelayanan (86%), (3) kemampuan petugas dalam memberikan penjelasan (91%), (4) kelengkapan peralatan dan kenyamanan kantor perizinan (86%). Sementara itu, empat indiktor lainnya yang dinilai masih buruk oleh sebagian besar UMKM adalah: (1) adanya pungutan tidak resmi (70%), (2) tidak adanya sarana penampungan keluhan (53%), (3) tidak adanya tindak lanjut atas pertanyaan/keluhan (72%), dan (4) duplikasi persyaratan dan prosedur (50%). f. Sebagian besar UMKM menyatakan tidak pernah dilibatkan dalam merumuskan/mengevaluasi peraturan terkait perijinan. Kondisi ini relevan dengan pendapat sebagian besar UMKM bahwa mereka tidak pernah mendengar pengusaha xv

18 lain/asosiasi dilibatkan dalam merumuskan/mengevaluasi peraturan terkait perijinan. Hal ini mengindikasikan bahwa perumusan kebijakan daerah dan implementasi peraturan perijinan belum akomodatif dan transparan. Terdapat persepsi yang kuat bahwa Pemerintah Daerah tidak berpihak kepada UMKM dalam pengurusan ijin usaha dan cenderung memberikan kemudahan kepada usaha besar daripada kepada UMKM. g. Salah satu program Pemerintah Daerah untuk membantu akses UMKM kepada bank umum adalah Program Bantuan Sertifikasi Tanah. Dalam kenyataannya cukup banyak UMKM yang tidak tahu tentang adanya Program Bantuan Sertifikasi Tanah. Dari 29% UMKM yang mengetahui tentang Program Bantuan Sertifikasi Tanah, hanya 26% yang memanfaatkan. 5. Persepsi UMKM terhadap lingkungan usaha dalam tahap operasional usaha, adalah sebagai berikut: a. Sebagian besar (67%) UMKM telah mengetahui informasi tentang pajak dimana 58%diantaranya memperoleh informasi tersebut langsung dari petugas pajak dan media masa. Kepatuhan terhadap pembayaran pajak juga ditunjukkan oleh sebagian besar (82%) UMKM. Walaupun pengusaha UMKM membayar pajak, namun dalam kenyataannya pengetahuan mereka mengenai jenis, tarif dan cara perhitungan pajak masih sangat rendah. Pengetahuan yang rendah terkait dengan pajak diakibatkan sedikitnya sosialisasi yang dilakukan. Sebagian besar (64%) UMKM belum atau tidak pernah mendapatkan sosialisasi dan penjelasan tentang pajak. Sedangkan dari 36% yang pernah mendapatkan sosialisasi/penjelasan, hanya 60% yang menyatakan sosialisasi tersebut jelas. b. Sebagian besar (51%) UMKM mendatangi kantor pajak untuk melakukan pembayaran pajak. Faktor keramah tamahan, kelengkapan dan kenyamanan kantor, skill petugas dan kejelasan prosedur merupakan faktor-faktor yang dianggap baik oleh UMKM sehingga mendorong UMKM melakukan pembayaran pajak dengan mendatangi sendiri kantor pajak. Tetapi, terdapat 4 aspek pelayanan yang mendapat penilaian buruk yaitu adanya pungutan yang tidak resmi, tidak adanya tindak lanjut keluhan, adanya prosedur dan persyaratan yang agak rumit, dan tidak adanya sarana penampungan keluhan. Meskipun tidak sebanyak yang melakukan pembayaran langsung ke kantor pajak, terdapat 33% UMKM yang menggunakan jasa perantara dalam pembayaran pajak. Disamping karena lebih mudah, penggunaan jasa perantara juga disebabkan faktor kecepatan. xvi

19 c. Semakin besar skala usaha maka pengetahuan tentang manfaat pembayaran pajak juga semakin baik. Secara umum Pengusaha Mikro dan Kecil tidak mengetahui manfaat atas pembayaran pajak yang mereka lakukan. Kondisi ini berbeda pada Usaha Menengah dimana sebagaian besar telah mengetahui manfaat dari pajak yang dibayarkan. d. Meskipun sebagian besar (80%) UMKM berpendapat bahwa tarif pajak yang dikenakan pada masing-masing jenis pajak termasuk dalam kategori wajar, tetapi sebagian besar (36%) UMKM tidak tahu apakah pajak yang dibayarkan dikenakan secara progresif atau tidak. e. Sebagian besar UMKM mengetahui tentang keberadaan dan jenis-jenis retribusi. Sedangkan sebagian besar UMKM tidak mengetahui tentang tarif dan tata cara retribusi. Sumber informasi utama tentang retribusi diperoleh dari petugas pemerintah dan media. Sedangkan dasar pengenaan tarif retribusi tidak diketahui dengan jelas oleh UMKM. Sehingga dalam prakteknya, pengusaha membayar retribusi lebih disebabkan karena kewajiban. Kondisi ini didukung oleh fakta bahwa alasan untuk harus membayar retribusi, besaran tarif yang sesuai aturan yang harus dibayar, dan ketentuan-ketentuan lainnya yang diatur oleh peraturan daerah tidak diketahui dengan jelas oleh sebagian besar pengusaha UMKM. f. Meskipun UMKM tidak mengetahui dengan jelas dasar pengenaan retribusi dan hanya membayar karena kewajiban, sebagian besar (60%) UMKM memiliki kepatuhan yang cukup tinggi dalam membayarnya. Disamping membayar retribusi kepada petugas instansi yang berwenang memungut retribusi, terdapat sekitar 20% - 24% UMKM yang pernah didatangi oleh pihak-pihak selain dinas teknis pemerintah daerah untuk mengumpulkan pungutan liar. g. Untuk beberapa aspek yang berkaitan dengan pengenaan retribusi seperti: kepatutan obyek, kepatutan jenis, keterjangkauan, manfaat retribusi, dan kualitas pelayanan, sebagian besar (55%) UMKM memiliki persepsi yang baik. Meskipun demikian, untuk aspek pilihan penyediaan layanan sebagian besar (77%) UMKM menyatakan tidak baik/layak. h. Semakin besar skala usaha maka pengetahuan terhadap peraturan ketenagakerjaan lebih baik. Tingkat pengetahuan terhadap peraturan ketenagakerjaan lebih tinggi pada Usaha Menengah dan Kecil dibanding pada Usaha Mikro. Meskipun demikian, hanya xvii

20 22% UMKM yang mengetahui peraturan dan ketentuan ketenagakerjaan yang terkait dengan usahanya. Peraturan yang paling banyak diketahui oleh UMKM adalah peraturan terkait dengan upah seperti upah minimun regional/propinsi, diikuti peraturan tentang jaminan kesejahteraan bagi pekerja seperti peraturan tentang jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), dan dianggap memberatkan oleh UMKM. i. Dari UMKM yang sudah memenuhi ketentuan ketenagakerjaan menilai ketentuan tersebut memberikan manfaat bagi UMKM. j. Sekitar 66% - 71% UMKM membutuhkan pinjaman secara proporsional dengan skala usahanya. Sekitar 90% Usaha Menengah pernah mengajukan pinjaman. Sedangkan pengajuan kredit Usaha Mikro dan Usaha Kecil relatif lebih rendah dari Usaha Menengah. Hal ini disebabkan oleh dokumen persyaratan kredit yang sulit dipenuhi/memberatkan. k. Beberapa kebijakan kredit perbankan dianggap oleh UMKM cenderung kurang kondusif, bank dianggap kurang memberi kelonggaran atas pemenuhan dokumen persyaratan kredit. Perbankan/lembaga keuangan juga dianggap tidak banyak memberikan insentif bagi UMKM dalam proses kredit yang diterima. Namun demikian bank dianggap cukup informatif dalam memberikan informasi atas pengajuan kredit yang dilakukan oleh UMKM. Adapun insentif yang banyak diterima UMKM terutama dalam bentuk bantuan penyusunan proposal dan adanya unit khusus pelayanan UMKM. Sebaliknya informasi yang berasal dari pemerintah seperti keberadaan program penjaminan kredit masih sangat kurang diketahui oleh UMKM. l. Masalah utama yang dikeluhkan oleh UMKM terutama Usaha Mikro dan Kecil berkaitan dengan pelayanan infrastruktur adalah kurangnya transparasi tarif contohnya tarif pelayanan air bersih dan telepon. Masalah lainnya adalah terkait dengan kualitas jalan yang belum dirasakan secara merata oleh UMKM. 6. Daya Saing Daerah Yang Diteliti Peringkat daya saing daerah dinilai berdasarkan enam parameter utama yaitu (i) lingkungan peraturan, (ii) dinamika bisnis, (iii) formalisasi usaha, (iv) akses ke permodalan, (v) lingkungan usaha, dan (vi) infrastruktur. Perhitungan menggunakan rumus penghitungan peringkat daya saing yang dikembangkan oleh VNCI (USAID). Masingmasing provinsi hanya diwakili oleh dua Kabupaten/Kota sehingga tidak menggambarkan xviii

21 kondisi provinsi secara keseluruhan. Propinsi Jawa Timur memiliki daya saing yang paling baik dalam pengembangan UMKM dengan indeks daya saing 6.86 (skala 1 sampai 10). Jawa Timur memiliki keunggulan dalam lingkungan peraturan, kondisi infrastruktur dan formalisasi usaha yang menunjang untuk pengembangan UMKM. Peraturan daerah yang ada di kabupaten di Jawa Timur relatif tidak banyak menghambat pendirian maupun pengembangan usaha bagi UMKM. Proses formalisasi UMKM (mengurus perijinan dan badan usaha) juga relatif mudah dilakukan sehingga tingkat pemilikan ijin dan status badan usaha juga lebih tinggi oleh UMKM di Jawa Timur dibandingkan dengan daerah lain. Sebaliknya, Provinsi Sumatera Utara merupakan daerah yang paling kurang kondusif untuk pengembangan UMKM karena daya saing yang paling rendah diantara lima propinsi sampel (indeks daya saing 3.91). Indeks daya saing yang rendah di Sumatera Utara terutama disebabkan oleh kondisi lingkungan usaha, akses ke permodalan, infrastruktur yang buruk, lingkungan peraturan dan formalisasi usaha yang kurang baik. UMKM di Provinsi Jawa Barat relatif memiliki kemudahan dalam mengurus formalisasi usaha (perijinan dan badan hukum usaha) dan didukung oleh kondisi infrastruktur yang memadai. Sementara untuk Provinsi Banten, meskipun tidak ada parameter yang menunjukkan kondisi menonjol, juga tidak ada parameter yang sangat buruk kondisinya. Hanya kondisi infrastruktur yang relatif kurang mendukung bagi pengembangan UMKM. Provinsi NTB menunjukkan keunggulan dalam lingkungan usaha dan akses ke permodalan, namun relatif lemah dalam lingkungan peraturan. UMKM di NTB tidak banyak mengalami pungutan dan relatif mudah untuk mengakses sumber permodalan dari lembaga keuangan. Namun peraturan daerah yang ada di kabupaten di NTB potensial untuk kurang mendukung pengembangan UMKM. Dari hasil penelitian dan studi persepsi yang dilakukan, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut : 1. Perlu dilakukan evaluasi terhadap Perda yang tidak sesuai dengan peraturan pusat yang menjadi rujukannya. 2. Penyediaan informasi yang terkini dan senantiasa diperbaharui tentang peraturan-peraturan dan persyaratannya berkaitan dengan formalisasi usaha, pajak dan retribusi. Rekomendasi ini didasarkan kepada fakta bahwa informasi terhadap peraturan-peraturan yang disebutkan diatas tidak menjadi masalah sejalan dengan semakin membesarnya skala usaha. Fakta lainnya adalah informasi tentang peraturanperaturan tersebut diperoleh oleh skala usaha yang lebih kecil utamanya dari petugas atau xix

22 kantor dinas pemerintah yang ada di daerah. Untuk itu, perlu diperbanyak kegiatan sosialisasi, ditingkatkan penggunaan media (utamanya dalam bentuk barang cetakan dan media elektronik), penyediaan informasi peraturan dan persyaratannya dalam bentuk CD, dan mengupload informasi peraturan dan persyaratannya di website milik PEMDA. 3. Pembentukan Kantor Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP). Rekomendasi ini didasarkan kepada fakta bahwa persoalan waktu, transparansi biaya, dan masih merebaknya pungutan liar merupakan persoalanpersoalan yang dominan dikeluhkan UMKM, khususnya dalam formalisasi usaha. Disisi lain, aksesibilitas terhadap kredit mensyaratkan sejumlah izin usaha yang harus dimiliki oleh UMKM sebagai persyaratan administrasi. Sehingga akan semakin mempercepat usaha mikro dan kecil yang saat ini masih berstatus informal menjadi usaha formal. 4. Pembentukan Kantor Penyampaian Keluhan dan Penyediaan Solusi Masalah. Rekomendasi ini didasarkan kepada fakta bahwa sebagian besar UMKM tidak memiliki ide jika menghadapi permasalahan usaha, khususnya yang bersumber dari perilaku birokrasi. Meskipun praktek terbaik pembentukan kantor penyampaian keluhan masih terbatas di daerah perkotaan, tetapi diduga kuat bahwa keberhasilan kantor tersebut di daerah perkotaan dapat direplikasikan di daerah pedesaan (kabupaten). 5. Melembagakan Penilaian Dampak Peraturan Nasional. Studi ini menunjukkan bahwa secara umum Perda terkait kegiatan usaha tidak menyalahi peraturan nasional yang menjadi rujukan utamanya. Masalah yang banyak muncul lebih disebabkan oleh adanya kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada Pemda untuk menentukan beberapa jenis tarif, dimana Pemda dalam menggunakan kewenangannya dalam menentukan tarif tidak memperhatikan kondisi dan kemampuan pelaku usaha di daerahnya sehingga dipandang memberatkan dunia usaha. Untuk itu perlu disusun status legal formal dalam bentuk Peraturan Pusat tentang penilaian dampak peraturan yang menjadi basis bagi daerah untuk melaksanakan kegiatan penilaian dampak terhadap peraturan-peraturan terkait kegiatan usaha dan potensial memiliki dampak negatif, baik yang sudah ada saat ini atau yang direncanakan akan disusun. 6. Melembagakan Penilaian Dampak Peraturan Daerah. Permasalahan peraturan di daerah banyak muncul lebih disebabkan oleh adanya kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada Pemda untuk menentukan beberapa jenis tarif, dimana Pemda dalam menggunakan kewenangannya dalam menentukan tarif tidak memperhatikan xx

23 kondisi dan kemampuan pelaku usaha di daerahnya sehingga dipandang memberatkan dunia usaha. Untuk itu perlu disusun status legal formal dalam bentuk Peraturan Daerah tentang penilaian dampak peraturan daerah atau peraturan Bupati/Walikota yang potensial memberikan dampak negatif terhadap kegiatan usaha, baik yang sudah ada saat ini atau yang direncanakan akan disusun. 7. Penguatan Asosiasi Usaha atau Sejenisnya di Daerah. Rekomendasi ini didasarkan kepada fakta bahwa Asosiasi Usaha atau sejenisnya belum berperan sebagai salah satu sumber utama informasi kepada UMKM dan media bagi UMKM dalam menyampaikan persoalan yang dihadapi. Fakta lain juga menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM menganggap bahwa Asosiasi Usaha tidak pernah dilibatkan dalam perumusan kebijakan atau evaluasi kebijakan yang berpeluang memberikan dampak negatif terhadap UMKM. Dengan tidak optimalnya peran asosiasi usaha, dapat dipahami jika sebagian besar UMKM tidak menjadi anggota asosiasi usaha atau sejenisnya. Penguatan asosiasi dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain: pelatihan, studi banding, dan pelibatan secara aktif asosiasi usaha atau sejenisnya dalam kegiatan mapping dan review peraturan serta pelaksanaan survey iklim usaha di daerah. xxi

24 HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN xxii

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Dari kegiatan pemetaan Perda dan pelaksanaan survey persepsi terhadap 900 UMKM yang dilakukan di 10 Kabupaten/Kota dapat disimpulkan hal-hal sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam upaya meningkatkan peranan UMKM untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia sejak lama telah melakukan berbagai upaya antara lain melalui pemberian bantuan

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT LD. 14 2012 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB 7 PERINGKAT DAYA SAING USAHA

BAB 7 PERINGKAT DAYA SAING USAHA BAB 7 PERINGKAT DAYA SAING USAHA 7.1 Peringkat Daya Saing Usaha Menurut Daerah Peringkat daya saing daerah dinilai berdasarkan enam parameter utama yang masingmasing parameter dibangun dari beberapa variabel

Lebih terperinci

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD 2.1. Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD Dalam penyusunan Kebijakan Umum Perubahan APBD ini, perhatian atas perkembangan kondisi perekonomian Kabupaten Lombok

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERATURAN DAERAH DAN POTENSI DAMPAKNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI JAWA TENGAH

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERATURAN DAERAH DAN POTENSI DAMPAKNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI JAWA TENGAH BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERATURAN DAERAH DAN POTENSI DAMPAKNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI JAWA TENGAH. Latar Belakang Keluarnya UU No. 22 tahun 999 tentang pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan dinamika dan tuntutan perubahan di segala bidang, maka untuk mengantisipasi kesalahan masa lalu, maka dibuatlah UU No: 22 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kabupaten Penajam Paser Utara merupakan daerah pemekaran yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Penajam Paser Utara

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENDELEGASIAN KEWENANGAN PELAYANAN PERIZINAN KEPADA KANTOR PELAYANAN TERPADU KABUPATEN REJANG LEBONG BUPATI REJANG LEBONG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. Otonomi daerah sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis statistik Perekonomian Daerah, sebagai gambaran umum untuk situasi perekonomian Kota

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebut sebagai desentralisasi. Haris dkk (2004: 40) menjelaskan, bahwa

I. PENDAHULUAN. disebut sebagai desentralisasi. Haris dkk (2004: 40) menjelaskan, bahwa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Otonomi daerah adalah salah satu bentuk nyata dari praktek demokrasi. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan penyerahan kewenangan yang disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Otonomi daerah yang berarti bahwa daerah memiliki hak penuh dalam mengurus rumah tangganya sendiri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah merupakan dampak reformasi yang harus dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemandirian suatu daerah dalam pembangunan nasional merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan daerah otonom yang luas serta bertanggung jawab. Tiap

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan daerah otonom yang luas serta bertanggung jawab. Tiap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemungutan serta pengelolaan pajak dibagi menjadi dua yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah suatu pajak yang dikelola dan dipungut oleh Negara,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertumpu pada penerimaan asli daerah. Kemandirian pembangunan baik di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. bertumpu pada penerimaan asli daerah. Kemandirian pembangunan baik di tingkat BAB I PENDAHULUAN A. latar Belakang Masalah Dalam menunjang keberhasilan pembangunan daerah diperlukan penerimaan keuangan yang kuat, dimana sumber pembiayaan diusahakan tetap bertumpu pada penerimaan

Lebih terperinci

V. SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis penelitian, kesimpulan yang didapat adalah :

V. SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis penelitian, kesimpulan yang didapat adalah : 87 V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis penelitian, kesimpulan yang didapat adalah : 1. Terdapat perbedaan kemampuan keuangan pada Kabupaten/Kota Provinsi Lampung yaitu menunjukkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 612 TAHUN : 2003 SERI : B PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI SURAT IJIN USAHA PERDAGANGAN (SIUP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Bali disusun dengan pendekatan kinerja

Lebih terperinci

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990).

BAB I PENDAHULUAN. maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan, baik di sektor publik maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990). Pembangunan

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN TERPADU SATU PINTU

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN TERPADU SATU PINTU BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah mencanangkan suatu gerakan pembangunan yang dikenal dengan istilah pembangunan nasional. Pembangunan nasional

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Tulungagung Berdasarkan ringkasan struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Tulungagung, setiap tahunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (PAD) yang dapat membantu meningkatakan kualitas daerah tersebut. Maka

BAB I PENDAHULUAN. (PAD) yang dapat membantu meningkatakan kualitas daerah tersebut. Maka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pajak daerah adalah salah satu penerimaan pendapatan asli daerah (PAD) yang dapat membantu meningkatakan kualitas daerah tersebut. Maka setiap daerah harus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengaruh Pendapatan..., Fani, Fakultas Ekonomi 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengaruh Pendapatan..., Fani, Fakultas Ekonomi 2015 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan suatu daerah dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU Pemerintah Kabupaten gresik dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah berpedoman pada Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Bali disusun dengan pendekatan kinerja

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

BAB III PENGELOLAAN RETRIBUSI PARKIR KOTA SURABAYA. A. Pengaruh Retribusi Terhadap Pendapatan Asli Daerah

BAB III PENGELOLAAN RETRIBUSI PARKIR KOTA SURABAYA. A. Pengaruh Retribusi Terhadap Pendapatan Asli Daerah BAB III PENGELOLAAN RETRIBUSI PARKIR KOTA SURABAYA A. Pengaruh Retribusi Terhadap Pendapatan Asli Daerah Otonomi daerah yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otonomi daerah berlaku secara efektif sejak awal Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-undang No.25 Tahun 2000 tentang Program. Pembangunan Nasional , bahwa program penataan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-undang No.25 Tahun 2000 tentang Program. Pembangunan Nasional , bahwa program penataan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dengan Undang-undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004, bahwa program penataan pengelolaan keuangan daerah ditujukan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI LAPORAN KINERJA PEMERINTAH (LAKIP) KABUPATEN BOGOR

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI LAPORAN KINERJA PEMERINTAH (LAKIP) KABUPATEN BOGOR KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-nya, maka Laporan Kinerja Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2015 dapat

Lebih terperinci

EVALUASI RETRIBUSI PASAR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI SURAKARTA

EVALUASI RETRIBUSI PASAR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI SURAKARTA EVALUASI RETRIBUSI PASAR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi Pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUMEDANG BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015 1 LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan untuk mengelola,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA SALINAN BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI DAN KINERJA DINAS PENGELOLAAN PASAR KOTA SURAKARTA T E S I S

ANALISIS POTENSI DAN KINERJA DINAS PENGELOLAAN PASAR KOTA SURAKARTA T E S I S ANALISIS POTENSI DAN KINERJA DINAS PENGELOLAAN PASAR KOTA SURAKARTA T E S I S OLEH : SATOTO MARTONO NIM : P 100040065 MAGISTER MANAJEMEN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2006 i ANALISIS POTENSI DAN KINERJA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan baik adalah dengan mengukur tingkat investasi yang dimiliki oleh daerah

BAB I PENDAHULUAN. dengan baik adalah dengan mengukur tingkat investasi yang dimiliki oleh daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kompetensi suatu daerah dalam mengelola daerahnya berpengaruh besar terhadap kemajuan dan kesejahteraan daerah tersebut. Salah satu instrumen penting untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk suatu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU,

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU, 1 Menimbang : PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU, a. bahwa dalam rangka memacu pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM A. SASARAN STRATEJIK yang ditetapkan Koperasi dan UKM selama periode tahun 2005-2009 disusun berdasarkan berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemerintahan dengan kewenangan otonomi daerah beserta perangkat

I. PENDAHULUAN. pemerintahan dengan kewenangan otonomi daerah beserta perangkat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Depok resmi menjadi suatu daerah otonom yang memiliki pemerintahan dengan kewenangan otonomi daerah beserta perangkat kelengkapannya sejak ditingkatkannya status

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : a. bahwa untuk menjamin adanya kepastian berusaha

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistim pemerintahan daerah hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia di dalam pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keamanan dan ketertiban negara. Upaya untuk memenuhi pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. keamanan dan ketertiban negara. Upaya untuk memenuhi pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai negara berkembang yang tidak henti-hentinya melakukan pembangunan di segala bidang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan masyarakat, seperti

Lebih terperinci

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat. Kesejahteraan kehidupan masyarakat dapat dicapai jika pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia atau masyarakat suatu bangsa, dalam berbagai kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. manusia atau masyarakat suatu bangsa, dalam berbagai kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sering dikaitkan dalam perkembangan ekonomi suatu negara dengan tujuan sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan hidup manusia atau masyarakat suatu bangsa,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah menerapkan suatu gerakan pembangunan yang dikenal dengan istilah Pembangunan Nasional. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pusat agar pemerintah daerah dapat mengelola pemerintahannya sendiri

BAB I PENDAHULUAN. pusat agar pemerintah daerah dapat mengelola pemerintahannya sendiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat agar pemerintah daerah dapat mengelola pemerintahannya sendiri tanpa campur tangan dari pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang Pemerintahan yakni perubahan struktur pemerintahan, dari sentralisasi menuju desentralisasi.

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Kupang, Februari 2014 KEPALA BAPPEDA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR,

Kata Pengantar. Kupang, Februari 2014 KEPALA BAPPEDA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR, Kata Pengantar Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih karena atas penyertaan-nya maka penyusunan Buku Statistik Kinerja Keuangan Provinsi NTT Beserta SKPD 2009-2013 ini dapat diselesaikan. Dalam era

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI 1 BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang berkelanjutan, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 jo Undang-Undang

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PACITAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOYOLALI, Menimbang : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI PERDESAAN MELALUI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP)

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI PERDESAAN MELALUI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP) KEMENTERIAN DALAM NEGERI POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI PERDESAAN MELALUI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP) W. Sigit Pudjianto Direktur Pengembangan Ekonomi Daerah Jakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintahan suatu negara pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dimana Pemerintah

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dan paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara adil

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN ACEH TENGAH dan BUPATI ACEH TENGAH MEMUTUSKAN :

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN ACEH TENGAH dan BUPATI ACEH TENGAH MEMUTUSKAN : QANUN KABUPATEN ACEH TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PERIZINAN DAN NON PERIZINAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TENGAH, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu membangun prasarana yang sangat dibutuhkan di wilayahnya. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. mampu membangun prasarana yang sangat dibutuhkan di wilayahnya. Perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah daerah pada masa lalu masih memungkinkan untuk mendapatkan bantuan khusus dari pemerintah pusat jika mengalami kesulitan keuangan atau kurang mampu membangun

Lebih terperinci

kemudian diikuti oleh Kota Magelang dan Kota Salatiga. 20 Kabupaten dan Kota berada pada tingkat medium (menengah) hingga tinggi, sedangkan 15

kemudian diikuti oleh Kota Magelang dan Kota Salatiga. 20 Kabupaten dan Kota berada pada tingkat medium (menengah) hingga tinggi, sedangkan 15 B O KS : RIN G KA S A N EKS EKU TIF B U S IN ES S C L IM A TE S U RV EY (B C S ) TA H U N 2 0 0 7 D I P RO V IN S I JA W A TEN G A H Business Climate Survey (BCS) atau Survei Iklim Usaha tahun 2007 dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING

GUBERNUR PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING GUBERNUR PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa untuk mempercepat pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan tata cara pemerintahan terwujud dalam bentuk pemberian otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Konsekuensi

Lebih terperinci