KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H"

Transkripsi

1 KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 RINGKASAN ARDANI JANUAR. Keterkaitan Antara Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha dan Realisasi Investasi: Kasus Provinsi Jawa Barat (dibimbing oleh D. S. Priyarsono). Untuk menciptakan realisasi investasi yang berkesinambungan diperlukan sebuah iklim investasi yang kondusif. Iklim investasi yang kondusif dalam perekonomian merupakan harapan bagi masyarakat, investor, pelaku usaha dan pemerintah. Penciptaan iklim investasi yang kondusif tidak hanya berdasarkan faktor ekonomi saja seperti suku bunga, inflasi, Pendapatan Domestik Bruto (PDB), upah minimum, dan nilai tukar. Namun faktor-faktor non-ekonomi lainnya juga sangat berpengaruh, seperti masalah perizinan usaha, kestabilan politik, penegakkan hukum, masalah pertanahan untuk lahan usaha, tingkat kriminalitas dalam masyarakat, demonstrasi buruh, komitmen pemerintahan, komitmen perbankan, perpajakan, dan infrastruktur. Laporan Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) tahun 2007 yang dihasilkan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tentang indikator-indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di kabupaten dan kota dari 15 provinsi Indonesia menyimpulkan bahwa ada sembilan indikator iklim investasi yang mempengaruhi investasi di Indonesia, yaitu akses lahan usaha dan kepastian usaha, perizinan usaha, interaksi antara pemda dan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas Kepala Daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain, kebijakan infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik, dan kualitas peraturan daerah. Tujuan dari penelitian ini ada tiga, yaitu untuk menganalisis: 1. Iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat. 2. Realisasi investasi di kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat. 3. Keterkaitan antara sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi di kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat. 4. Strategi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah daerah dalam membuat iklim investasi yang lebih kondusif di wilayahnya. Pada penelitian ini, untuk menganalisis iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi di kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat pada tahun 2007 digunakan analisis kualitatif untuk membahasnya. Sedangkan untuk menganalisis keterkaitan antara sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi di kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat digunakan alat analisis kuantitatif berupa analisis regresi berganda. Untuk mengestimasi koefisien-koefisien regresi berganda tersebut, penelitian ini menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square) dengan melakukan uji statistik dan uji ekonometrika. Pengujian statistik meliputi

3 uji F, uji t, dan uji goodness of fit Koefisien determinasi (R 2 ) dan adjusted R 2 yang digunakan untuk kriteria evaluasi model. Sedangkan uji ekonometrika meliputi uji normalitas, autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa secara keseluruhan pelaku usaha menilai iklim usaha di Provinsi Jawa Barat sudah cukup kondusif yang terlihat dari nilai indeks TKED yang berada di atas nilai 50 persen. Lima kabupaten dan kota yang memiliki iklim investasi paling kondusif di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Sumedang. Namun pada kenyataannya, iklim investasi tersebut kurang mampu mendorong realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Hal ini terlihat dari menurunnya jumlah investasi tahun 2007 jika dibandingkan dengan jumlah investasi tahun Jika dilihat berdasarkan distribusi penyebaran investasi di Provinsi Jawa Barat, hanya ada 16 kabupaten dan kota yang mendapatkan realisasi investasi tersebut. Ada lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang mendapatkan realisasi investasi terbesar, yaitu Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Purwakarta. Ada lima indikator iklim investasi berdasarkan pelaku usaha dalam penelitian ini yang berpengaruh signifikan terhadap realisasi investasi di Jawa Barat. Kelima indikator tersebut adalah indikator interaksi pemda dan pelaku usaha, indikator program pengembangan usaha swasta, dan indikator pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain berpengaruh negatif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan indikator kapasitas dan integritas kepala daerah dan indikator kualitas peraturan daerah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Implementasi kebijakan yang dinilai cukup baik untuk mengatasi masalah indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha dan program pengembangan usaha swasta yang memiliki rendahnya kesadaran akan keberadaan dua program tersebut, yaitu dengan membangun jaringan komunikasi antara Pemda dan pelaku usaha. Sedangkan untuk mengatasi permasalahan indikator pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain berpengaruh negatif adalah dengan mengimplementasikan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi oleh Pemda dalam menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif.

4 KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT Oleh ARDANI JANUAR H Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

5 Judul Skripsi : Keterkaitan Antara Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha dan Realisasi Investasi: Kasus Provinsi Jawa Barat Nama : Ardani Januar NIM : H Menyetujui, Dosen Pembimbing, D. S. Priyarsono, Ph. D. NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Rina Oktaviani, Ph. D. NIP Tanggal Kelulusan:

6 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA PENULIS SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, September 2009 Ardani Januar H

7 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Ardani Januar yang lahir di Jakarta tanggal 7 januari Penulis merupakan anak ke lima dari lima bersaudara yang terlahir dari pasangan suami-isteri, yaitu alm. Bapak Marinus dan Ibu Mariam. Penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN Cipulir 07 Pagi, Jakarta Selatan pada tahun Tahun 2002, penulis menamatkan sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTPN 48 Jakarta. Tahun 2002, penulis masuk ke salah satu sekolah lanjutan tingkat atas unggulan di Jakarta Selatan, yaitu SMUN 47 Jakarta dan menamatkannya pada tahun Tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur masuk Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah setahun menjalani masa Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) dengan sistem mayor-minor. Minor yang penulis ambil adalah ekonomi pertanian dari Departemen Ekonomi dan Sumber Daya Lahan (ESL), Fakultas Ekonomi dan Manajemen selama lima semester. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif di beberapa organisasi, yaitu Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat FEM IPB.

8 i KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah Keterkaitan Antara Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha dan Realisasi Investasi: Kasus Provinsi Jawa Barat. Judul ini dipilih karena Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki daya tarik iklim investasi yang cukup besar sehingga mendukung terciptanya realisasi investasi dan mendorong tingkat pertumbuhan perekonomian di Provinsi Jawa Barat. Selain hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak D. S. Priyarsono, Ph. D. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, saran dan kritik kepada penulis. 2. Bapak M. Parulian Hutagaol, Ph. D. selaku dosen penguji utama dan Ibu Widyastutik, SE, M. Si. sebagai dosen penguji wakil Komisi Pendidikaan. Berkat saran dan kritik Beliau lah skripsi ini menjadi lebih sempurna. 3. Alm. Bapak Marinus dan Ibu Mariam selaku orang tua yang selalu memberikan doa dan dorongan motivasi yang tiada hentinya. 4. Syifa Nurul Islami dan Milan Harun Arrasyid selaku istri dan anak penulis yang selalu memberikan doa dan motivasi yang tiada hentinya. 5. Keluarga besar mahasiswa Ilmu Ekonomi angkatan 42 yang selalu memberikan doa, motivasi, dan atas kebersamaannya selama ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dari skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, September 2009 Ardani Januar H

9 ii DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup... 7 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori Investasi Iklim Investasi Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Analisis Regresi Berganda Model Analisis Regresi Uji Statistik Model Pengujian Model Dengan Menggunakan Uji F-Statistik Pengujian Hipotesis Parameter Regresi Koefisien Determinasi (R 2 ) dan Adjusted R

10 iii 3.4. Uji Ekonometrika Uji Normalitas Autokorelasi Heteroskedastisitas Multikolinearitas BAB IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis Provinsi Jawa Barat Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Tata Kelola Ekonomi Daerah Akses Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha Perizinan Usaha Interaksi Pemda dan Pelaku Usaha Program Pengembangan Usaha Swasta Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Biaya Transaksi Lain Kebijakan Infrastruktur Daerah Keamanan dan Penyelesaian Sengketa Kualitas Peraturan Daerah BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat Tahun Realisasi Investasi Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun Hubungan Keterkaitan Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha dan Realisasi Investasi Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat Tahun Implementasi Kebijakan BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

11 iv DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1.1. Nilai PMA yang Masuk Antara Indonesia dan Thailand Nilai PDRB Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat Tahun Realisasi Total Investasi Provinsi Jawa Barat Tahun Nilai Total Realisasi Investasi Kabupaten dan Kota Jawa Barat Hasil Estimasi dengan Metode OLS Tingkat Partisipasi Program Pengembangan Usaha Swasta... 87

12 v DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 2.1. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat... 15

13 vi DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat Hasil Estimasi dengan Metode OLS Uji Normalitas Hasil Uji Glejser

14 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang masih membutuhkan investasi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau penanaman modal bagi perusahaan untuk membeli barang modal dan perlengkapan untuk menambah kemampuan produksi barang dan jasa dalam perekonomian. Pertambahan jumlah barang modal memungkinkan perekonomian tersebut menghasilkan lebih banyak barang dan jasa dimasa yang akan datang. Investasi memiliki multiplier effect yang besar terhadap terjadinya nilai tambah ekonomi berbagai sektor lainnya. Laju pertambahan investasi dan tingkat pertumbuhan produktivitas barang dan jasa yang dihasilkan akan mendorong tinggi dan luas jangkauan dampak dari multiplier effect tersebut. Menurut Sukirno (2004), Faktor-faktor utama yang menentukan tingkat investasi adalah suku bunga, prediksi keuntungan, prediksi mengenai kondisi ekonomi ke depan, kemajuan teknologi, tingkat pendapatan nasional dan keuntungan perusahaan. Untuk menciptakan realisasi investasi yang berkesinambungan diperlukan sebuah iklim investasi yang kondusif. Menurut Stern (2002), iklim investasi adalah semua kebijakan, kelembagaan dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa depan yang bisa mempengaruhi tingkat pengembalian dan resiko suatu investasi. Iklim investasi yang kondusif dalam perekonomian merupakan harapan bagi masyarakat,

15 2 investor, pelaku usaha, dan pemerintah. Penciptaan iklim investasi yang kondusif tidak hanya berdasarkan faktor ekonomi saja seperti suku bunga, inflasi, Pendapatan Domestik Bruto (PDB), upah minimum, dan nilai tukar. Namun faktor-faktor non-ekonomi lainnya juga sangat berpengaruh, seperti masalah perizinan usaha, kestabilan politik, penegakkan hukum, masalah pertanahan untuk lahan usaha, tingkat kriminalitas dalam masyarakat, demonstrasi buruh, komitmen pemerintahan, komitmen perbankan, perpajakan, dan infrastruktur. Laporan Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) tahun 2007 yang dihasilkan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tentang indikator-indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di kabupaten dan kota dari 15 provinsi Indonesia. Menurut laporan tersebut, ada sembilan indikator iklim investasi yang mempengaruhi investasi di Indonesia, yaitu akses lahan usaha dan kepastian usaha, perizinan usaha, interaksi antara Pemda dan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas Kepala Daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain, kebijakan infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik, dan kualitas peraturan daerah. Kesembilan indikator tersebut merupakan persepsi penilaian pelaku usaha daerah terhadap iklim investasi di daerahnya tersebut. Penilaian tersebut menggunakan 50 responden pelaku usaha baik pengusaha kecil, sedang, maupun besar di setiap kabupaten dan kota. Seluruh nilai persepsi indikator iklim investasi tersebut akan menghasilkan sebuah nilai indeks TKED yang menentukan peringkat iklim investasi kabupaten dan kota terbaik dan terburuk di dalam satu provinsi yang sama.

16 3 Melihat pentingnya penciptaan iklim investasi yang kondusif dalam mendorong realisasi investasi secara berkesinambungan, maka penelitian ini ingin membuktikan adakah keterkaitan antara persepsi iklim investasi berdasarkan laporan KPPOD tersebut terhadap realisasi investasi dengan studi kasus Provinsi Jawa Barat Perumusan Masalah Indonesia terus mengalami pertumbuhan ekonomi yang lamban dan tidak berkualitas, walaupun terdapat perbaikan dalam stabilitas makroekonomi dan pertumbuhan investasi. Menurut INDEF (2006), pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama didorong oleh konsumsi privat yang menyumbang sebesar persen sementara kontribusi pembentukan modal tetap hanya sebesar 20 persen. Relatif kecilnya kontribusi investasi dalam pertumbuhan ekonomi mencerminkan tidak sehat dan rendahnya daya saing iklim investasi di Indonesia, yang pada gilirannya menimbulkan pertanyaan tentang kesinambungan dari pertumbuhan ekonomi juga keprihatinan tentang semakin meningkatnya tingkat pengangguran dan kemiskinan. Buruknya iklim investasi di Indonesia juga berdampak pada investor asing yang enggan menanamkan modalnya di Indonesia sehingga menyebabkan rendahnya nilai Penanaman Modal Asing (PMA) yang masuk ke Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara lainnya, contohnya seperti Thailand (Tabel 1.1). Karenanya, reformasi iklim investasi merupakan keharusan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan

17 4 berkesinambungan dengan menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif lagi di Indonesia. Iklim investasi yang kondusif tersebut akan mendorong tumbuhnya investasi sektor swasta yang produktif dan berfungsi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, mengurangi tingkat kemiskinan, serta menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Iklim investasi yang kondusif ini akan memperluas jenis barang dan jasa yang tersedia sehingga akan mengurangi tingkat harga barang dan jasa yang kondusif bagi konsumen dalam jangka pendek, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajar apabila pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat berusaha untuk menarik investor sebanyak-banyaknya agar bersedia menanamkan modalnya di wilayah yang dikelolanya. Tabel 1.1. Perbandingan Nilai PMA yang Masuk Antara Indonesia dan Thailand Negara Indonesia Thailand Keterangan : satuan dalam US$ juta Sumber: Asian Development Bank (2005) Berbagai strategi diterapkan pemerintah daerah kabupaten dan kota untuk menarik minat investor seperti akses penyediaan lahan, kemudahan perizinan usaha, penyediaan infrastruktur, jaminan keamanan berusaha, dan kualitas peraturan daerah. Namun dalam pelaksanaannya di lapangan masih belum memberikan pelayanan yang optimal kepada para investor sehingga masih banyak keluhan, seperti mahalnya biaya transaksi dan lambatnya waktu pemrosesan surat perizinan, tidak adanya kepastian hukum, infrastruktur yang masih kurang

18 5 mendukung, dan lain sebagainya. Selain itu, persaingan antar daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat semakin ketat dalam menarik minat investor sehingga pemerintah daerah kabupaten dan kota harus mengoptimalkan potensi daerahnya masing-masing, seperti sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya. Berdasarkan keadaan tersebut, maka penulis dapat merumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007? 2. Bagaimana realisasi investasi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007? 3. Adakah keterkaitan antara iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat? 4. Strategi kebijakan apakah yang dapat diambil oleh pemerintah daerah dalam membuat iklim investasi yang lebih kondusif di wilayahnya? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penulis merumuskan tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat pada tahun Menganalisis realisasi investasi di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007.

19 6 3. Menganalisis keterkaitan antara iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat. 4. Menganalisis strategi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah daerah dalam membuat iklim investasi yang lebih kondusif di wilayahnya Manfaat Penelitan Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk berbagai pihak, yaitu: 1. Masyarakat umum, lebih mengetahui indikator-indikator iklim investasi yang secara signifikan mempengaruhi realisasi investasi di Jawa Barat dan perbandingan jumlah realisasi investasi di Jawa Barat. Selain itu masyarakat diharapkan menjadi pengawas pelaksanaan pembuatan kebijakan-kebijakan baru oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk memperbaiki iklim investasi setelah membaca tulisan ini. 2. Pelaku Usaha, sebagai referensi informasi iklim investasi di Provinsi Jawa Barat untuk mengambil keputusan menanamkan investasi di Provinsi Jawa Barat atau daerah lainnya yang lebih menguntungkan. 3. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, sebagai alat referensi membuat kebijakan-kebijakan baru untuk perbaikan iklim investasi Provinsi Jawa Barat agar terciptanya pertumbuhan realisasi investasi yang berkesinambungan.

20 Ruang Lingkup Penelitian ini akan menggunakan pendekatan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Pendekatan analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat. Sedangkan pendekatan analisis kuantitatif digunakan untuk mencari keterkaitan hubungan yang signifikan antara indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realiasi investasi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan unit analisis data iklim dan realisasi investasi pada tahun Indikator iklim investasi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah akses lahan usaha dan kepastian berusaha, perizinan usaha, interaksi Pemda dan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas Kepala Daerah, biaya transaksi, kebijakan infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian sengketa, dan kualitas peraturan daerah. Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan metode OLS (Ordinary Least Square) serta melakukan uji statistik dan uji ekonometrika. Pengujian statistik meliputi uji F, uji t, dan uji goodness of fit Koefisien determinasi (R 2 ) dan adjusted R 2 yang digunakan untuk kriteria evaluasi model. Sedangkan uji ekonometrika meliputi uji normalitas, autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas.

21 8 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori Investasi Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau penanaman modal bagi perusahaan untuk membeli barang modal dan perlengkapan untuk menambah kemampuan produksi barang dan jasa dalam perekonomian. Pertambahan jumlah barang modal memungkinkan perekonomian tersebut menghasilkan lebih banyak barang dan jasa dimasa yang akan datang. Menurut Sukirno (2004), faktor-faktor utama yang menentukan tingkat investasi adalah suku bunga, prediksi keuntungan, prediksi mengenai kondisi ekonomi ke depan, kemajuan teknologi, tingkat pendapatan nasional dan keuntungan perusahaan. Menurut McMeer (2003) dalam Bank Indonesia (2007), investasi dalam pengertian konsepsional merupakan hasil dari sebuah proses yang bersifat multi dimensional. Pembangunan ekonomi merupakan salah satu fungsi dari investasi dalam artian penanaman modal atau faktor ekonomi yang paling esensial dan mudah diukur secara kuantitatif. Akan tetapi pada kenyataannya, seorang investor yang akan menanamkan modalnya pada suatu bidang usaha tertentu akan selalu memperhatikan faktor-faktor keamanan lingkungan, kepastian hukum, status lahan investasi dan dukungan pemerintah (Bachri, 2004) dalam Wati (2008). Jenis investasi ada dua, yaitu Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Menurut Panjaitan dalam Harjono (2007), Penanaman Modal Asing adalah satu kegiatan penanaman modal yang

22 9 didalamnya terdapat unsur asing (foreign element) yang ditentukan oleh adanya kewarganegaraan yang berbeda, asal modal, dan sebagainya. Dalam penanaman modal asing, modal yang ditanam merupakan modal milik asing maupun modal patungan antara modal milik asing dengan modal dalam negeri. Sedangkan pengertian penanaman modal dalam negeri (PMDN) menurut UU No.6 tahun 1968 adalah penggunaan modal dalam negeri (yang merupakan bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia termasuk hak-haknya dan benda-benda baik yang dimiliki oleh negara maupun swasta nasional atau swasta asing yang berdomisili di Indonesia yang disisihkan atau disediakan guna menjalankan usaha) bagi usaha-usaha yang mendorong pembangunan ekonomi pada umumnya. Terdapat beberapa faktor penentu dilakukannya investasi, yaitu investasi yang memberikan keuntungan tambahan kepada perusahaan melalui penjualan produknya di pasar domestik dan suku bunga merupakan harga atau biaya yang harus dibayar dalam meminjamkan uang untuk suatu periode tertentu dan ekspetasi keuntungan. Dengan demikian para investor melakukan investasi untuk mendapatkan keuntungan atas investasi yang dilakukan. Pertimbangan tersebut adalah sepenuhnya merupakan pertimbangan-pertimbangan investasi yang terkait secara langsung dengan faktor-faktor ekonomi. Selain pertimbangan faktor ekonomi tersebut, pelaku usaha juga mempertimbangkan masalah faktor nonekonomi, seperti masalah jaminan keamanan, stabilitas politik, penegakkan hukum, sosial budaya, dan masalah ketenagakerjaan merupakan faktor penentu yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan investasi.

23 Iklim Investasi Menurut Bank Dunia (2005), iklim investasi didefinisikan sebagai suatu kumpulan faktor-faktor lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan dorongan bagi badan usaha untuk melakukan investasi secara produktif, menciptakan pekerjaan dan perkembangan kegiatan usaha. Sedangkan menurut Stern (2002) dalam INDEF (2006), iklim investasi adalah semua kebijakan, kelembagaan dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa depan yang bisa mempengaruhi tingkat pengembalian dan resiko suatu investasi. Menurut KPPOD (2008), ada sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha yang mempengaruhi investasi di Indonesia, yaitu akses lahan usaha dan kepastian usaha, perizinan usaha, interaksi antara Pemda dan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas Kepala Daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain, kebijakan infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik, dan kualitas peraturan daerah. Iklim investasi merupakan kondisi yang bersifat multi dimensi dan menjadi pertimbangan bagi para investor dalam melakukan investasi. Dalam kaitannya tersebut peran pemerintah menjadi sangat penting dalam setiap proses penanaman modal, bahkan rekomendasi pemerintah daerah merupakan syarat mutlak dalam penilaian kegiatan investasi di daerah dinyatakan layak. Hal tersebut terkait pula dengan masalah pemanfaatan tata ruang, gangguan lingkungan dan ketertiban umum. Selain itu iklim investasi merupakan suatu

24 11 proses jangka panjang yang senantiasa berjalan searah dengan perkembangan usaha. Iklim investasi bukan hanya dipertimbangkan pada awal rencana investasi, akan tetapi merupakan variabel strategis yang akan menentukan keberhasilan investasi sepanjang perusahaan berjalan. Iklim investasi yang kondusif akan mendorong produktivitas yang lebih tinggi dengan memberikan kesempatankesempatan dan insentif bagi badan-badan usaha untuk berkembang, menyesuaikan diri dan menerapkan cara-cara yang lebih baik dalam menjalankan investasi. Iklim investasi yang kondusif akan memperkuat pertumbuhan ekonomi yang mendatangkan keuntungan dalam sektor perekonomian. Pertumbuhan ekonomi merupakan satu-satunya mekanisme yang berkelanjutan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Peningkatan iklim investasi merupakan daya penggerak bagi pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Iklim investasi yang baik adalah iklim investasi yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat secara keseluruhan Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu mengenai investasi suatu provinsi di Indonesia telah dilakukan oleh Kusumaningrum (2007), menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi investasi di Provinsi DKI Jakarta dan pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap kegiatan investasi di Provinsi DKI Jakarta. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series (kuartalan) periode 1996:1 sampai dengan 2005:4. Data sekunder tersebut diperoleh dari Badan Penanaman

25 12 Modal dan Pendayagunaan Kekayaan Umum Daerah (BPM dan PKUD) Provinsi DKI Jakarta serta instansi lainnya yang masih terkait dengan penelitian ini. Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan metode OLS (Ordinary Least Square). Hasil penilitian ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi investasi di Jakarta adalah suku bunga, inflasi, lag PDRB, dan tingkat upah secara signifikan berpengaruh nyata pada taraf nyata 1 persen, sedangkan nilai tukar secara signifikan berpengaruh nyata pada taraf nyata 5 persen. Berdasarkan hasil uji statistik terhadap model persamaan investasi di Provinsi DKI Jakarta, seluruh variabel eksogennya mempunyai tanda yang sama dengan teori. Variabel yang memiliki tanda yang sama dengan teori, yaitu: 1. Variabel suku bunga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kegiatan investasi di Provinsi DKI Jakarta. 2. Variabel inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kegiatan investasi di Provinsi DKI Jakarta. 3. Variabel PDRB periode sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan terhadap kegiatan investasi di Provinsi DKI Jakarta. 4. Variabel upah minimum berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kegiatan investasi di Provinsi DKI Jakarta. 5. Variabel nilai tukar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kegiatan investasi di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian terdahulu mengenai iklim investasi di Indonesia telah dilakukan oleh Simamora (2006), menganalisis faktor-faktor yang secara signifikan

26 13 mempengaruhi iklim investasi di Indonesia dan beberapa negara lainnya dan relevansi paket kebijakan yang disusun pemerintah dengan melihat keadaan iklim investasi di Indonesia pada masa kini. Penelitian tersebut menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Bank Dunia. Data sekunder yang digunakan, yaitu data iklim investasi yang diperoleh dari Bank Dunia terhadap 21 negara di dunia termasuk Indonesia dan data faktor-faktor iklim investasi, yaitu masalah ketidakpastian kebijakan, masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti, masalah peraturan administrasi perpajakan, masalah tingkat tarif pajak, masalah penyediaan fasilitas pendanaan, masalah perizinan, dan masalah keterampilan tenaga kerja. Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan metode OLS (Ordinary Least Square). Hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap iklim investasi, yaitu masalah ketidakpastian kebijakan, masalah administrasi perpajakan dan masalah perizinan ternyata berpengaruh negatif terhadap iklim investasi secara signifikan. Dengan hasil tersebut, penulis menilai iklim investasi di Indonesia masih tergolong buruk. Untuk mengatasi keterpurukan iklim investasi di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 2006 mengenai Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi pada tanggal 27 Februari Tindakan ini merupakan langkah awal yang baik untuk memulihkan iklim investasi di Indonesia dan bisa mengembalikan kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia.

27 Kerangka Pemikiran Iklim investasi yang kondusif masih sangat dibutuhkan oleh pemerintah Indonesia untuk menarik minat investor agar menanamkan investasinya dalam jumlah besar di seluruh wilayah Indonesia. Untuk menciptakan realisasi investasi yang besar tersebut, ada sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha yang mempengaruhinya, yaitu Akses Lahan Usaha dan Kepastian Usaha (ALUKU), Perizinan Usaha (PU), Interaksi Antara Pemda dan Pelaku Usaha (IPPU), Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS), Kapasitas Dan Integritas Kepala Daerah (KIPD), Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Biaya Transaksi Lain (BT), Kebijakan Infrastruktur Daerah (KID), Keamanan Dan Penyelesaian Konflik (KPS), dan Kualitas Peraturan Daerah (KPD) (KPPOD,2008). Selain berpengaruh terhadap penciptaan realisasi investasi nasional, indikator iklim investasi tersebut juga berpengaruh terhadap realisasi investasi di seluruh wilayah Indonesia termasuk juga di wilayah Provinsi Jawa Barat yang menjadi studi kasus dalam penelitian ini. Menurut BKPPMD Jawa Barat (2008), nilai realisasi investasi asing dan domestik Provinsi Jawa Barat sangat tinggi, terutama nilai PMDN Jawa Barat yang menduduki peringkat pertama nasional dengan nilai Rp. 11,22 triliun atau 34,04 persen dari jumlah investasi di Indonesia. Salah satu faktor terbesar yang mendorong terjadinya realisasi investasi yang besar tersebut adalah terjadinya peningkatan iklim investasi di Jawa Barat menuju kearah yang lebih kondusif dari tahun-tahun sebelumnya. Maka dari hal tersebut, penelitian ini ingin mencari keterkaitan antara iklim investasi berdasarkan

28 15 persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi Provinsi Jawa Barat sehingga didapatkan indikator-indikator iklim investasi tersebut yang secara signifikan mempengaruhi realisasi investasi Provinsi Jawa Barat. Untuk meneliti keterkaitan tersebut, penelitian ini menggunakan unit analisis data kabupaten dan kota se Jawa Barat pada tahun Data tersebut akan diuji dengan metode OLS (ordinary Least Square). Selain itu, penelitian ini juga akan memberikan rekomendasi implementasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah provinsi untuk memperbaiki iklim investasi agar menjadi lebih kondusif agar dapat mendorong peningkatan realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat pada masa yang akan datang. Indikator-Indikator Iklim Investasi di Indonesia Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha ALUKU PU IPPU PPUS KIPD BT KID KPS KPD Realisasi Investasi Provinsi Jawa Barat Indikator-Indikator Iklim Investasi yang Berpengaruh Signifikan Terhadap Realisasi Investasi Jawa Barat Rekomendasi Implementasi Kebijakan Gambar 2.1. Bagan Kerangka Pemikiran

29 Hipotesis 1. Indikator akses terhadap lahan usaha dan jaminan hak atas tanah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi Provinsi Jawa Barat. 2. Indikator perizinan usaha berpengaruh negatif terhadap realisasi investasi Provinsi Jawa Barat. 3. Indikator interaksi antara Pemda dan pelaku usaha berpengaruh positif terhadap realisasi investasi Provinsi Jawa Barat. 4. Indikator program pengembangan usaha swasta berpengaruh positif terhadap realisasi investasi Provinsi Jawa Barat. 5. Indikator kapasitas dan integritas Kepala Daerah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi Provinsi Jawa Barat. 6. Indikator pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain berpengaruh negatif terhadap realisasi investasi Provinsi Jawa Barat. 7. Indikator kebijakan infrastruktur daerah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi Provinsi Jawa Barat. 8. Indikator keamanan dan penyelesaian konflik berpengaruh positif terhadap realisasi investasi Provinsi Jawa Barat. 9. Indikator kualitas peraturan daerah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi Provinsi Jawa Barat.

30 17 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross section dari data sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di 25 kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2007 yang diperoleh dari KPPOD serta data realisasi investasi Provinsi Jawa Barat tahun 2007 yang diperoleh dari Badan Koordinasi Promosi dan Penanaman Modal Daerah (BKPPMD) Provinsi Jawa Barat. Data sekunder lain yang masih terkait dalam penelitian ini diperoleh dari Bank Dunia, Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, artikel, jurnal, skripsi dan tesis dari perpustakaan IPB, internet dan lembaga lainnya Metode Analisis Analisis Regresi Berganda Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan tujuan untuk menganalisis keterkaitan hubungan yang signifikan antara sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat. Estimasi koefisien regresi berganda dilakukan melalui metode Ordinary Least Square (OLS). Metode Ordinary Least Square (OLS) merupakan salah satu metode yang sering digunakan karena kemudahannya dalam pengolahan data. Y = α 0 + α 1 x 1 + α 2 x α n x n + ε (3.1)

31 18 Keterangan: n α 0 α n X n Y ε = 1, 2, 3,, N = Intersep = Koefisien kemiringan parsial = Variabel bebas = Variabel tak bebas = Galat Menurut Gujarati (1993), beberapa asumsi yang menyederhanakan model ini adalah sebagai berikut: 1. Nilai rata-rata bersyarat dari unsur gangguan populasi ε (galat) tergantung pada nilai tertentu variabel bebas (X) adalah nol. 2. Tidak ada autokorelasi (korelasi berurutan) dalam gangguan ε. 3. Varians bersyarat dari ε 1 adalah konstan dan homokedastisitas (penyebaran sama). 4. Variabel yang menjelaskan (X) adalah non-stokastik/tidak acak (tetap dalam penyampelan berulang) atau jika stokastik didistribusikan secara independen dari gangguan ε Tidak ada multikolinearitas diantara variabel yang menjelaskan (X). Semua asumsi di atas jika terpenuhi, maka penaksir OLS dari koefisien regresi adalah penaksir tak bias linear terbaik atau Best Linear Unbiased Estimator (BLUE). Analisis OLS menunjukkan hubungan sebab akibat antara variabel X (variabel bebas) yang merupakan penyebab dan variabel Y (variabel terikat) yang merupakan akibat, dengan kata lain OLS merupakan metode yang digunakan

32 19 untuk menganalisis pengaruh variabel-veriabel bebas yang mempengaruhi variabel tak bebas Model Analisis Berganda Model persamaan awal yang digunakan untuk menganalisis keterkaitan antara iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut: INV= f (ALUKU, PU, IPPU, PPUS, KIPD, BT, KID, KPS, KPD) (3.2) Keterangan: INV ALUKU PU IPPU PPUS KIPD BT KID KPS KPD : Realisasi Investasi Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 (Rp) : Akses Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha (persen) : Perizinan Usaha (persen) : Interaksi Pemda dan Pelaku Usaha (persen) : Program Pengembangan Usaha Swasta (persen) : Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah (persen) : Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Biaya Transaksi Lain (persen) : Kebijakan Infrastruktur Daerah (persen) : Keamanan dan Penyelesaian Sengketa (persen) : Kualitas Peraturan Daerah (persen) Langkah selanjutnya data realisasi investasi Jawa Barat tahun 2007 yang didapat dalam satuan rupiah harus diubah kedalam bentuk logaritma natural (L_) agar menghasilkan data investasi dalam satuan persen. Karena variabel tak bebasnya dalam bentuk logaritma natural, maka variabel bebasnya juga harus

33 20 diubah kedalam logaritma natural agar dapat dibandingkan dan konsisten sepanjang waktu serta untuk mempermudah dalam melihat respon antar variabel (variabel bebas terhadap variabel tak bebas). Setelah dicoba berbagai bentuk persamaan yang mewakili bentuk hubungan antara variabel terikat dengan variabel-variabel bebas, diperoleh persamaan yang secara statistika cukup baik sebagai berikut: L_INV= α 0 + α 1 L_ALUKU + α 2 L_PU + α 3 L_IPPU + α 4 L_PPUS + α 5 L_KIPD + α 6 L_BT + α 7 L_KID + α 8 L_KPS + α 9 L_KPD + ε (3.3) Keterangan: L_INV : Realisasi Investasi Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 (persen) L_ALUKU : Akses Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha (persen) L_PU L_IPPU L_PPUS L_KIPD L_BT L_KID L_KPS L_KPD ε : Perizinan Usaha (persen) : Interaksi Pemda dan Pelaku Usaha (persen) : Program Pengembangan Usaha Swasta (persen) : Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah (persen) : Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Biaya Transaksi Lain (persen) : Kebijakan Infrastruktur Daerah (persen) : Keamanan dan Penyelesaian Sengketa (persen) : Kualitas Peraturan Daerah (persen) : Galat Setelah itu, model tersebut dianalisis menggunakan kriteria-kriteria uji statistik dan uji ekonometrika agar model tersebut memenuhi persyaratan metode

34 21 analisis OLS dan terbebas dari masalah-masalah autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas Uji Statistik Model Pengujian Model dengan Menggunakan Uji F-Statistik Uji F-statistik ini digunakan untuk menduga persamaan secara keseluruhan. Uji F-statistik ini dapat menjelaskan kemampuan variabel bebas secara bersama dalam menjelaskan keragaman dari variabel terikat. Hipotesis yang diuji dari parameter pendugaan persamaan adalah variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat, hal ini disebut sebagai hipotesis nol (H 0 ) dengan mekanisme sebagai berikut: H 0 : α 1 = α 2 = = α i = 0, (tidak ada pengaruh nyata variabel-variabel dalam persamaan) H 1 : minimal salah satu α i 0, (paling sedikit ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat) Untuk i = 1, 2, 3,, n dan α = dugaan parameter Statistik uji yang dilakukan dalam uji-f (Gujarati, 1993): Keterangan: F hitung = R 2 k 1 1 R 2 n k (3.4) R 2 = Koefisien determinasi n k = Banyaknya titik pengamatan = Jumlah koefisien regresi dugaan

35 22 Dimana hasil dari F-hitung dibandingkan dengan F tabel (F-tabel = F α(k-1, n-k) ) dengan kriteria uji: F-hitung > F α(k-1, n-k), maka tolak H 0 F-hitung F α(k-1, n-k), maka terima H 0 Langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian dimana F-hitung dari hasil analisis dibandingkan dengan F-tabel. Jika F-hitung > F-tabel maka tolak H 0, berarti minimal ada satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel terikat. Jika F-hitung F-tabel maka terima H 0, berarti secara bersama-sama variabel yang digunakan tidak bisa menjelaskan secara nyata keragaman dari variabel terikat Pengujian Hipotesis Parameter Regresi Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah masing-masing variabel bebas berpengaruh pada variabel terikatnya. Hipotesis: H 0 : α 1 = α 2 = = α i = 0, (tidak ada pengaruh nyata variabel-variabel dalam persamaan) H 1 : minimal salah satu α i 0, (paling sedikit ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat) Untuk i = 1, 2, 3,, n dan α = dugaan parameter Uji statistik yang digunakan adalah uji-t (Gujarati,1993): t hitung = α β S b (3.5)

36 23 Keterangan: α : Koefisien regresi parsial sampel β : Koefisien regresi parsial populasi S b : Simpangan baku koefisien dugaan Dimana hasil dari t-hitung dibandingkan dengan t-tabel (t-tabel = t α/2 (n-k) ) dengan kriteria uji: t-hitung > t α/2 (n-k), maka tolak H 0 t-hitung t α/2 (n-k), maka terima H 0 Hasil yang didapatkan dari perbandingan tersebut jika t-hitung > t-tabel maka tolak H 0, berarti variabel signifikan berpengaruh nyata pada taraf nyata (α). Hasil yang didapatkan dari perbandingan tersebut jika t-hitung t-tabel maka terima H 0, berarti variabel yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat Koefisien Determinasi (R-Squared) dan Adjusted R-Squared Koefisien determinasi (R-Squared) dan Adjusted R-Squared digunakan untuk melihat sejauhmana variabel bebas mampu menerangkan keragaman variabel tak bebasnya dan untuk melihat seberapa kuat variabel yang dimasukkan ke dalam model dapat menerangkan model tersebut. Menurut Gujarati (1993), terdapat dua sifat R-Squared, yaitu: 1. Merupakan besaran non negatif.

37 24 2. Batasnya adalah 0 R 2 1, jika R 2 bernilai 1 berarti suatu kecocokan sempurna, sedangkan jika R 2 bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara variabel terikat dengan varibel bebas. Nilai koefisien determinasi dapat dihitung sebagai berikut: R 2 = ESS TSS = 1 RSS TSS = 1 e i 2 Keterangan: y i 2 (3.6) ESS TSS : Jumlah kuadrat yang dijelaskan (Explained Sum Square) : Jumlah kuadrat total (Total Sum Square) Salah satu masalah jika menggunakan ukuran R-squared untuk menilai baik-buruknya suatu model adalah akan selalu mendapatkan nilai yang terus naik seiring dengan pertambahan variabel bebas ke dalam model, sehingga Adjusted R- squared bisa juga digunakan untuk melihat sejauhmana variabel bebas mampu menerangkan keragaman variabel tak bebasnya. Adjusted R-squared secara umum memberikan hukuman terhadap penambahan variabel bebas yang tidak mampu menambah daya prediksi suatu model. Nilai Adjusted R-squared tidak akan pernah melebihi nilai R-squared bahkan dapat turun jika ditambahkan variabel bebas yang tidak perlu. Bahkan untuk model yang memiliki kecocokan rendah (goodness of fit), Adjusted R-squared dapat memiliki nilai negatif. Nilai Adjusted R-squared dapat dihitung sebagai berikut:

38 25 R 2 = 1 e i 2 (n k) y i 2 n 1 (3.7) dimana k adalah banyaknya parameter dalam model termasuk faktor intersep. Persamaan (3.7) dapat ditulis sebagai berikut: R 2 = 1 σ 2 2 (3.8) S y Keterangan: σ 2 : Varians residual S y 2 : Varians sampel dari Y 3.4. Uji Ekonometrika Uji Normalitas Uji normalitas digunakan karena jumlah data yang digunakan kurang dari 30. Uji ini digunakan untuk melihat apakah galat telah mendekati distribusi normal. Pada Software Minitab uji normalitas dilakukan dengan menggunakan Probability Plot. Jika nilai probabilitas (p-value) lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka model persamaan OLS yang digunakan tidak mempunyai masalah normalitas atau galat terdistribusi secara normal. Jika terjadi masalah ketidaknormalan dapat dilakukan dengan mentransformasikan peubah respon menjadi bentuk yang lebih normal. Secara teori, transformasi tersebut ada apabila sebaran dari variabel respon dapat diketahui. Transformasi ini berguna untuk mengatasi kemenjuluran sebaran sisaan dan ketidaklinearan fungsi regresi.

39 Autokorelasi Didalam berbagai penelitian seringkali terdeteksi adanya hubungan serius antara gangguan estimasi satu observasi dengan gangguan estimasi observasi yang lain. Nisbah antara observasi inilah yang disebut sebagai masalah autokorelasi. Adanya autokorelasi akan menyebabkan terjadinya: 1) Dugaan parameter tak bias. 2) Nilai galat baku terautokorelasi, sehingga ramalan tidak efisien. 3) Ragam ralat terbias. 4) Terjadi pendugaan kurang pada ragam galat (standard error underestimated), sehingga S b underestimated. Oleh karena itu, t- overestimated cenderung lebih besar dari sebenarnya. Uji autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Durbin Watson. Statistik Durbin Watson (DW) dapat menunjukkan ada tidaknya korelasi diri antara galat yang satu dengan galat lainnya. d = e i e i 1 e i (3.9) dengan e i = jumlah persamaan kuadrat unsur sisa (galat) Kriteria uji yang digunakan untuk melihat adanya autokorelasi adalah sebagai berikut: 1) Apabila nilai uji Durbin Watson 0-1,1, maka model persamaan yang digunakan mengalami masalah autokorelasi. 2) Apabila nilai uji Durbin Watson 1,1-1,54, maka model persamaan yang digunakan tidak terdeteksi masalah autokorelasi.

40 27 3) Apabila nilai uji Durbin Watson 1,54-2,46, maka model persamaan yang digunakan tidak mengalami masalah autokorelasi. 4) Apabila nilai uji Durbin Watson 2,46-2,9, maka model persamaan yang digunakan tidak terdeteksi masalah autokorelasi. 5) Apabila nilai uji Durbin Watson 2,9-4, maka model persamaan yang digunakan mengalami masalah autokorelasi. Solusi dari masalah autokorelasi, yaitu dihilangkannya variabel yang sebenarnya berpengaruh terhadap variabel tak bebas. Jika terjadi kesalahan dalam spesifikasi model, hal ini dapat diatasi dengan mentransformasi model, misalnya dari model linear menjadi nonlinier atau sebaliknya Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas adalah suatu penyimpangan asumsi OLS dalam bentuk varians gangguan estimasi yang dihasilkan oleh estimasi OLS yang tidak bernilai konstan. Heteroskedastisitas tidak merusak sifat ketidakbiasan dan konsistensi dari penaksir OLS tetapi penaksir yang dihasilkan tidak lagi mempunyai varian minimum (efisien). Menurut Gujarati (1993), jika terjadi heteroskedastisitas maka akan berakibat sebagai berikut: 1) Estimasi dengan menggunakan OLS tidak akan memiliki varians yang minimum atau estimator tidak efisien. 2) Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai varians yang tinggi, sehingga prediksi menjadi tidak efisien.

41 28 3) Tidak dapat diterapkannya uji nyata koefisien atau selang kepercayaan dengan menggunakan formula yang berkaitan dengan nilai varians. Pengujian masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejser, yang dilakukan pertama kali pada uji ini adalah mendapatkan residual (u t ) dari regresi OLS, lalu regresikan nilai absolut dari u t ( u t ) terhadap variabel bebas yang diperkirakan mempunyai hubungan yang erat. Uji ini menggunakan nilai probabilitas dari u t, jika hasil regresi siginifikan berarti terdapat masalah heteroskedastisitas. Hipotesis : H 0 : ρ = 0 H 1 : ρ 0 Kriteria uji yang digunakan untuk melihat adanya heteroskedastisitas adalah sebagai berikut: 1. Probability ut < α, maka tolak H 0 2. Probability ut > α, maka terima H 0 Keterangan: ut : Residual (galat) Jika H 0 ditolak maka terjadi heteroskedastisitas dalam model, sebaliknya jika H 0 diterima maka tidak ada heteroskedastisitas dalam model. Solusi dari masalah heteroskedastisitas adalah mencari transformasi model asal sehingga model yang baru akan memiliki galat dengan varians yang konstan.

42 Multikolinearitas Multikolinearitas adalah adanya hubungan linear yang sempurna atau pasti diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi. Tanda-tanda adanya multikolinearitas adalah sebagai berikut: 1) Tanda tidak sesuai dengan yang diharapkan. 2) R-squared-nya tinggi tetapi uji individu tidak banyak bahkan tidak ada yang nyata. 3) Korelasi sederhana antara variabel individu tinggi (r ij tinggi). 4) R 2 lebih kecil dari r 2 ij menunjukkan adanya masalah multikolinearitas. Konsekuensi multikolinearitas adalah estimasinya tidak dapat ditentukan dan galat baku menjadi tinggi sehingga prediksi menjadi tidak benar. Kriteria ekonometrik untuk melihat adanya multikolinearitas diantara peubah-peubah penjelas dalam satu persamaan dapat dilihat dari R-squared dan kuadrat korelasi sederhana peubah-peubah penjelas (r 2 ij ) yang dirumuskan sebagai berikut: r X1 X 2 = n X 1 X 2 X 1 X 2 n X 1 2 X 1 2 n X 2 2 X 2 2 (3.10) R 2 Y,X 1,,X k = b 1 YX 1 +b 1 YX 2 + +b k YX k Y 2 (3.11) Keterangan: r X1X2 : Koefisien korelasi X 1 dan X 2 X1X2 Y R 2 Y,Xi,,Xk : Peubah-peubah penjelas : Peubah tak bebas : Koefisien determinasi

43 30 Ada beberapa cara untuk mengetahui multikolinearitas dalam model, salah satunya adalah uji Manquardt, yaitu dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF) pada masing-masing variabel bebas. Jika nilai VIF kurang dari lima, maka dapat disimpulkan bahwa dalam persamaan tidak terdapat multikolinearitas. Sebaliknya, jika nilai VIF lebih besar dari lima maka terdapat multikolinearitas dalam persamaan tersebut. Salah satu cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah multikolinearitas adalah dengan regresi analisis komponen utama (principal componet analysis). Pendugaan dengan regresi komponen utama akan menghasilkan nilai dugaan yang memiliki tingkat ketelitian yang lebih tinggi, dengan jumlah kuadrat sisaan yang lebih kecil dibandingkan dengan pendugaan metode kuadrat terkecil. Analisis komponen utama pada dasarnya mentransformasi peubah-peubah bebas yang berkorelasi menjadi peubah-peubah baru yang orthogonal dan tidak berkorelasi. Analisis ini bertujuan untuk menyederhanakan peubah-peubah yang diamati dengan cara mereduksi dimensinya. Hal ini dilakukan dengan menghilangkan korelasi di antara peubah melalui transformasi peubah asal ke peubah baru (komponen utama) yang tidak berkorelasi.

44 31 BAB IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 50'-7 50' LS dan ' BT dengan luas wilayah sebesar ,26 km 2 yang terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota (Lampiran 1). Provinsi Jawa Barat berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Jawa Tengah di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Banten dan DKI Jakarta di barat. Kondisi Geografis Jawa Barat sangat strategis dan menguntungkan dari segi komunikasi dan perhubungan karena kontur topografi daratan yang dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam di selatan dengan ketinggian lebih dari meter di atas permukaan laut (mdpl), wilayah lereng bukit yang landai di tengah dengan ketinggian mdpl yang membujur dari barat hingga timur, wilayah dataran rendah yang luas di utara ketinggian 0-10 mdpl (kawasan pantai utara). Titik tertinggi rangkaian pegunungan tersebut adalah Gunung Ciremay yang berada di sebelah barat daya Kota Cirebon. Sungai-sungai yang cukup penting adalah sungai Citarum dan sungai Cimanuk, yang bermuara di Laut Jawa. Selain itu, perbedaan kontur topografi daratan tersebut juga menyebabkan perbedaan iklim antara daerah pantai dan daerah pegunungan walaupun Jawa Barat sendiri sebenarnya beriklim tropis, contohnya seperti suhu terendah sebesar 9,0 C yang berada di Puncak Gunung Pangrango dan 34,0 C di Pantai Utara. Sedangkan untuk curah hujan rata-rata di Provinsi Jawa Barat sebesar mm per tahun, namun di beberapa daerah

45 32 pegunungan curah hujan rata-rata bisa mencapai kisaran angka mm sampai mm per tahun Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) PDRB merupakan salah satu indikator perekonomian suatu wilayah, jumlah PDRB yang tinggi menggambarkan perekonomian suatu wilayah yang tinggi. Hal tersebut mendorong kepercayaan dan merangsang investor untuk melakukan kegiatan investasi. Oleh karena itu, setiap kabupaten dan kota di Jawa Barat berusaha untuk meningkatkan nilai PDRB agar dapat meningkatkan tingkat investasi di daerahnya. Tabel 4.1. Nilai PDRB Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 No Nama Kabupaten dan Kota Nilai PDRB (Rp. miliar) 1 Kabupaten Ciamis ,00 2 Kota Banjar 1.290,03 3 Kabupaten Kuningan 6.023,54 4 Kabupaten Karawang 0,59 5 Kabupaten Sumedang 9.034,57 6 Kabupaten Purwakarta ,57 7 Kota Cirebon 9.102,82 8 Kabupaten Garut ,22 9 Kota Bandung ,18 10 Kota Tasikmalaya 6.353,91 11 Kabupaten Majalengka 7.250,60 12 Kota Bogor 8.558,04 13 Kabupaten Cianjur ,21 14 Kabupaten Bandung ,63 15 Kabupaten Subang ,31 16 Kota Sukabumi 3.172,97 17 Kabupaten Indramayu ,95 18 Kabupaten Cirebon ,23 19 Kabupaten Bogor ,21 20 Kabupaten Tasikmalaya 9.261,88 21 Kabupaten Sukabumi ,89 22 Kota Cimahi 9.223,56 23 Kota Bekasi ,18 24 Kota Depok ,08 25 Kabupaten Bekasi ,76 Sumber: BPS Jawa Barat (2008)

46 33 Berdasarkan tabel tersebut, daerah yang memiliki nilai PDRB tertinggi pada tahun 2007 adalah Kabupaten Bekasi dengan nilai PDRB sebesar Rp ,76 miliar, lalu diikuti oleh Kota Bandung pada peringkat kedua dengan nilai PDRB sebesar Rp ,18 miliar. Peringkat selanjutnya ditempati oleh Kabupaten Indramayu (Rp ,95 miliar), Kabupaten Bandung (Rp ,63 miliar) dan Kabupaten Bogor (Rp ,21 miliar) pada peringkat ketiga, keempat, dan kelima. Sedangkan pemerintah daerah di Provinsi Jawa Barat yang memiliki nilai PDRB terkecil adalah Kabupaten Karawang dengan nilai PDRB sebesar Rp. 0,59 miliar Tata Kelola Ekonomi Daerah Survei Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) tahun 2007 ini menyajikan suatu gambaran yang sangat menarik mengenai dinamika pemerintahan daerah dan pengembangan iklim investasi di Indonesia setelah pelaksanaan otonomi daerah yang telah berlangsung sejak tahun Survei yang dilaksanakan keenam kalinya ini merupakan suatu program yang dilakukan KPPOD sejak tahun 2001 dengan dukungan The Asia Foundation. Cakupan wilayah survei bertambah dari tahun ke tahun, diawali dengan 90 kabupaten dan kota di tahun 2001, kemudian 134 kabupaten dan kota tahun 2002, dilanjutkan tahun 2003 meliputi 200 kabupaten dan kota, disusul 214 kabupaten dan kota di tahun 2004 dan 228 kabupaten dan kota tahun 2005, sebelum akhirnya survei dilakukan di 243 kabupaten dan kota dengan jumlah responden sekitar 50 pelaku usaha tiap daerah dari 15 provinsi pada tahun Survei ini merupakan survei terbesar untuk

47 34 survei sejenis di Indonesia, dan salah satu dari survei tata kelola ekonomi terbesar di dunia. Tujuan dari survei ini adalah untuk mendorong kompetisi antar daerah dan untuk menekankan pentingnya iklim investasi daerah di era desentralisasi. Survei ini lebih memfokuskan pada tata kelola ekonomi daerah yang menitikberatkan indikator penelitian yang bersifat kebijakan dan implementasinya, berbeda dengan survei tahun-tahun sebelumnya yang menggabungkan faktor anugerah dengan faktor kebijakan. Survei ini juga fokus pada aspek-aspek tata kelola ekonomi yang merupakan kewenangan pemerintah daerah kabupaten dan kota. Survei ini menggunakan sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha, yaitu: akses lahan usaha dan kepastian usaha, perizinan usaha, interaksi antara Pemda dan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas Kepala Daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain, kebijakan infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik, dan kualitas peraturan daerah. Survei ini menggunakan dua jenis instrumen penelitian, yaitu kuesioner terhadap pelaku usaha dan asosiasi usaha daerah serta lembar penilaian melalui analisa kualitatif terhadap peraturan daerah. Dalam kuesioner, setiap indikator terdiri atas beberapa pertanyaan yang berupa variabel kuantitatif dan variabel kualitatif. Kedua jenis variabel ini tidak dapat diagregasikan secara langsung karena memiliki satuan pengukuran yang berbeda, misalnya: Rp dan persepsi (1 = sangat buruk - 4 = sangat baik). Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk menggabungkan variabel-variabel tersebut dalam satu variabel baru yang mampu

48 35 menghilangkan satuan data dari masing-masing variabel. Tahap untuk membuat variabel komposit sebagai berikut: Dimana: t = 100 x X i X min X max X min (4.1) t x i x max x min = Variabel komposit variabel penilaian indikator = Data ke i dari variabel penilaian indikator = Data tertinggi dari variabel penilaian indikator = Data terendah dari variabel penilaian indikator Tahapan pembobotan dari setiap variabel ke subindikator menggunakan rata-rata nilai variabel-variabel penyusunnya. Sedangkan tahap pembobotan selanjutnya dari sub-indikator ke indikator menggunakan bobot berdasarkan penilaian hambatan utama bagi aktivitas usaha. Pembobotan sub-indikator ke indikator tersebut, yaitu: kebijakan infrastruktur daerah sebesar 35,5 persen, program pengembangan usaha swasta (14,8 persen), akses lahan usaha dan kepastian usaha (14 persen) interaksi Pemda dan pelaku usaha (10 persen), pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain (9,9 persen), perizinan usaha (8,8 persen), keamanan dan penyelesaian konflik (4 persen), kapasitas dan integritas Kepala Daerah (2 persen), dan kualitas peraturan daerah (1 persen). Penjelasan lebih lanjut mengenai sembilan indikator tersebut akan dijelaskan dalam sub-bab di bawah ini.

49 Akses Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha Lahan merupakan tempat yang digunakan untuk memulai aktivitas usaha yang dibutuhkan setiap jenis kegiatan usaha. Walaupun perkembangan teknologi dan jenis usaha tertentu (misalnya jasa dokter) tidak membutuhkan kehadiran lahan, namun sebagian besar aktivitas ekonomi di Indonesia masih sangat bergantung pada lahan. Tingkat permintaan terhadap lahan semakin tinggi, sedangkan ketersediaan lahan yang terbatas telah menjadi permasalahan tersendiri. Permasalahan lahan tersebut bisa dikatakan sebagai masalah alami akses lahan. Sedangkan masalah administrasi pertanahan yang sering muncul seperti sengketa lahan karena adanya kepemilikan sertifikat ganda ataupun perubahan tanah ulayat. Prinsip-prinsip dasar yang dikembangkan pada indikator akses lahan dan kepastian usaha adalah tingkat kepastian hukum terhadap kepemilikan lahan, tingkat resiko penggusuran, lama pengurusan surat kepemilikan tanah, dan tingkat kemudahan perolehan lahan serta frekuensi terjadinya konflik mengenai kepemilikan atau perjanjian kerjasama penggunaan lahan. Konstitusi Indonesia pada Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ketentuan ini kemudian dijadikan dasar penyusunan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Ketentuan Pokok- Pokok Agraria (UUPA). Pasal 2 UUPA ayat (2) dijabarkan mengenai hak negara yang merupakan penjabaran dari pasal 33 ayat (3) UUD, yaitu:

50 37 a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Atas dasar tersebut, negara memiliki hak atas permukaan bumi (tanah) yang diantaranya adalah: 1. Hak milik adalah hak turun-temurun, kuat, dan penuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, tetapi tidak berarti bahwa hak milik tersebut merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat. Hak milik terjadi karena ketentuan undang-undang atau berdasarkan peraturan pemerintah. Yang dapat mempunyai hak milik adalah warga negara Indonesia (WNI), Badan hukum yang telah ditunjuk oleh pemerintah dan dipergunakan langsung dalam bidang sosial atau keagamaan. 2. HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu, misalnya digunakan untuk perusahaan pertanian atau perkebunan, perikanan dan peternakan. Yang dapat mempunyai HGU adalah WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 3. HGB adalah hak untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya dengan jangka waktu tertentu. Yang dapat mempunyai HGB

51 38 adalah WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia 4. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang, dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah. Yang dapat memperoleh hak pakai adalah WNI, warga negara asing, perusahan Indonesia atau perusahaan asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Dalam implementasinya, hak atas tanah dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat. Sertifikat tanah diperoleh melalui pendaftaran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pendaftaran tanah sendiri meliputi dua hal, yaitu: pendaftaran untuk tanah yang belum bersertifikat dan pendaftaran untuk pengalihan atau peningkatan hak. Pendaftaran tanah dimulai dari pengumpulan dan pengolahan data fisik, pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis, dan penyimpanan daftar umum dan dokumen. Dasar hukum atas aktivitas pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud di atas adalah Undang- Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang

52 39 Pendaftaran Tanah. Dari sejumlah ketentuan itu, prosedur pendaftar pendaftaran tanah, tidak secara jelas mengatur mengenai batas waktu pelayanan perizinan (pendaftaran) tanahnya. Gambaran Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Menurut Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah, Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota. Berikut adalah penjabaran detil mengenai pembagian urusan pemerintahan bidang pertanahan pemerintah kabupaten dan kota: 1. Izin Lokasi Izin Lokasi meliputi penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan, kompilasi bahan koordinasi, pelaksanaan rapat koordinasi, pelaksanaan peninjauan lokasi, penerbitan surat keputusan izin lokasi. 2. Pengadaan tanah Pengadaan tanah untuk kepentingan umum seperti penetapan lokasi, pembentukan tim penilai tanah, pelaksanaan musyawarah, penetapan lokasi, pembentukan panitia pengadaan tanah, penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari lembaga atau tim penilai tanah. 3. Penyelesaian sengketa tanah garapan Penyelesaian sengketa tanah garapan meliputi penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan, penelitian terhadap obyek-subyek sengketa, pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan, koordinasi dengan kantor pertanahan untuk menetapkan langkah-langkah penanganannya,

53 40 fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak. 4. Penyelesaian masalah ganti kerugian Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan meliputi pembentukan tim pengawasan pengendalian, penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. 5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee meliputi pembentukan panitia pertimbangan land reform dan sekretariat panitia, pelaksanaan sidang yang membahas hasil inventarisasi untuk penetapan subyek-obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, pembuatan hasil sidang dalam berita acara, penetapan tanah kelebihan maksimum, penetapan para penerima retribusi tanah kelebihan, penerbitan surat keputusan subyek dan obyek. 6. Penetapan tanah ulayat Penetapan tanah ulayat meliputi pembentukan panitia peneliti, pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat, pengusulan rancangan Perda tentang penetapan tanah ulayat, pengusulan pemetaan dan pencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah kepada kantor pertanahan kabupaten dan kota, penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.

54 41 7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong meliputi inventarisasi dan identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan tanaman pangan semusim, penetapan bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat digunakan untuk tanaman pangan semusim bersama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian, penetapan pihak-pihak yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan semusim dengan mengutamakan masyarakat setempat, fasilitas perjanjian kerjasama antara pemegang hak tanah dengan pihak yang akan memanfaatkan tanah dihadapan atau diketahui oleh kepala desa atau lurah dan camat setempat dengan perjanjian untuk dua kali musim tanam, penanganan masalah yang timbul dalam pemanfaatan tanah kosong jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian. 8. Izin membuka tanah Izin membuka tanah meliputi penerimaan dan pemeriksaan permohonan, pemeriksaan lapang dengan memperhatikan kemampuan tanah, status tanah dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) kabupaten dan kota, penerbitan surat izin membuka tanah. 9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten dan kota Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten dan kota meliputi pembentukan tim koordinasi tingkat kabupaten dan kota, kompilasi dan informasi seperti peta pola rencana tata ruang wilayah rencana pembangunan yang akan menggunakan tanah baik dari pihak manapun, analisa kelayakan letak lokasi sesuai dengan ketentuan dan kriteria teknis dari intansi terkait, penyiapan draft

55 42 rencana letak kegiatan penggunaan tanah, pelaksanaan koordinasi terhadap rencana letak. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator akses lahan usaha dan kepastian berusaha ada empat variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah. 2) Persepsi tentang kemudahan perolehan lahan. 3) Persepsi tentang penggusuran lahan oleh Pemda. 4) Persepsi tentang keseluruhan permasalahan lahan usaha. Setelah mendapatkan nilai total dari keempat variabel tersebut, KPPOD membaginya ke dalam empat klasifikasi, yaitu: 1) Nilai total sebesar 0-25 persen, berarti bahwa akses lahan usaha dan kepastian berusaha di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat buruk. 2) Nilai total sebesar persen, berarti bahwa akses lahan usaha dan kepastian berusaha di kabupaten dan kota tersebut tergolong buruk. 3) Nilai total sebesar persen, berarti bahwa akses lahan usaha dan kepastian berusaha di kabupaten dan kota tersebut tergolong baik. 4) Nilai total sebesar persen, berarti bahwa akses lahan usaha dan kepastian berusaha di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat baik Perizinan Usaha Saat ini masalah perizinan usaha adalah salah satu masalah utama yang dihadapi seseorang ketika akan memulai usaha. Izin usaha merupakan bentuk pendaftaran perusahaan kepada pemerintah untuk mendapatkan formalitas status

56 43 usaha. Formalitas usaha diperlukan agar perusahaan bersangkutan bisa mengakses modal dari lembaga keuangan formal dengan lebih mudah. Menurut laporan Doing Business dalam Bank Dunia (2008), untuk memulai sebuah usaha baru di Jakarta seorang pengusaha harus melewati 12 prosedur, memerlukan 105 hari kerja, dan membutuhkan biaya sampai 80 persen pendapatan per kapita. Masalahmasalah ini dapat menghambat aktivitas komersial, mempersulit perkembangan perusahaan-perusahaan kecil, menghambat pendirian usaha-usaha baru, dan membuat para usahawan menghindari formalisasi. Pada survei TKED ini, perizinan usaha menempati peringkat keempat dalam urutan keluhan tentang hambatan utama yang dihadapi oleh pelaku usaha. Sebanyak pelaku usaha yang menjadi responden pada survei ini terdapat 27,3 persen yang tidak memiliki surat izin usaha pada saat survei ini dilaksanakan. Desentralisasi telah menjadikan masalah perizinan di Indonesia bertambah parah karena tuntutan kebutuhan untuk meningkatkan pendapatan daerah, pemerintahpemerintah daerah memandang izin usaha berbeda dari tujuan awalnya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam bagian ini, sertifikasi dan izin usaha dapat memberi perlindungan sosial, kontrol pasar, dan pendaftaran administratif. Meskipun demikian, pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia menggunakan izin-izin usaha tersebut untuk memperoleh pemasukan tanpa memberikan perlindungan, kontrol, atau layanan-layanan administrasi yang berkaitan, dan seringkali tanpa melakukan analisis penuh atas dampak sebuah izin terhadap perilaku perusahaan.

57 44 Kewenangan pemerintah pusat dan daerah di perizinan usaha pada survei ini terdapat lima jenis indikator yang dijadikan dasar pengumpulan informasi seputar izin usaha seperti kemudahan pengurusan izin, biaya total pengurusan, dan waktu pengurusan. Berikut ini akan dijabarkan berbagai peraturan pusat yang mengatur secara detil kualitas pelayanan publik beberapa aturan izin yang menjadi kewenangan daerah yaitu: 1. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Dasar hukum pelaksanaan pelayanan SIUP di daerah pada era otonomi daerah adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 36/M-Dag/Per/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan, yang menggantikan Permendag Nomor: 09/MDAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan. Yang dimaksud dengan perusahaan perdagangan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan kegiatan usaha di sektor Perdagangan yang bersifat tetap, berkelanjutan, didirikan, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. Instansi daerah yang berwenang menyelenggarakan pelayanan penerbitan SIUP adalah instansi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) teknis yang bertanggung jawab dibidang perdagangan, atau pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) setempat. Khusus kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, Gubernur DKI Jakarta dan Bupati/Walikota melimpahkan kewenangan penerbitan SIUP kepada pejabat yang bertanggung jawab pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan

58 45 Pelabuhan Bebas setempat. Sedangkan untuk daerah terpencil, Bupati/Walikota dapat melimpahkan kewenangan penerbitan SIUP kepada Camat setempat. 2. Tanda Daftar Perusahaan (TDP) Pada tahapan selanjutnya, setelah mendapatkan SIUP. Dalam kurun waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah perusahaan beroperasi, perusahaan tersebut wajib segera mendaftarkan perusahannya. Kewajiban daftar perusahaan sebagaimana dimaksud di atas, tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1983 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Sebagai bukti atas terpenuhinya kewajiban itu, perusahaan memperoleh Tanda Daftar Perusahaan. Pendaftaran perusahaan dilakukan oleh para KPP (Kantor Pelayanan Perizinan) kabupaten dan kota di tempat kedudukan perusahaan. Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak berkas permohonan diterima lengkap, Kepala KPP kabupaten dan kota mengesahkan permohonan tersebut. Pendaftaran perusahaan sebagaimana dimaksud di atas tidak dikenakan biaya. Berlakunya TDP adalah 5 (lima) tahun sejak diterbitkanya TDP. Setiap perusahaan yang melakukan perubahan terhadap data yang didaftarkan wajib melaporkan perubahan data kepada KPP kabupaten dan kota setempat dengan mengisi formulir pendaftaran. 3. Tanda Daftar Industri (TDI) Tanda Daftar Industri (TDI) adalah izin yang harus dimiliki oleh perusahaan yang melakukan kegiatan industri dengan nilai investasi seluruhnya antara Rp ,00-Rp ,00 tidak termasuk tanah dan bangunan. Proses pengurusan ini membutuhkan waktu kurang lebih selama 14 hari kerja.

59 46 4. Izin Gangguan (UUG/HO) Setiap kegiatan usaha yang berpotensi menimbulkan bahaya atau ancaman bagi masyarakat luas diwajibkan memiliki izin gangguan (HO). Untuk perusahaan yang wajib memiliki amdal atau berada dalam kawasan industri yang telah memiliki AMDAL dikecualikan untuk memiliki HO. Sebagai syarat untuk memperoleh HO, terlebih dahulu harus memiliki IMB. Hubungan antara HO dan IMB memiliki keterkaitan yang erat, apalagi keduanya dapat menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Dalam PP tentang Retribusi Daerah, HO dan IMB dikelompokan dalam satu golongan retribusi perizinan tertentu. Berdasarkan pada ketentuan PP 66 Tahun 2001, maka pelayanan HO dan IMB dapat dipungut retribusi. Dasar hukum lainnya yang menunjukkan adanya keterkaitan antara kedua perizinan tersebut adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1993 tentang Tata Cara Pemberian Izin Mendirikan Bagunan (IMB) serta Izin Undang- Undang Gangguan (UUG/HO) bagi Perusahaan Industri, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1992 tentang Rencana Tapak Tanah dan Tata Tertib Pengusahaan Kawasan Industri serta Prosedur Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Undang-Undang Gangguan (UUG/HO) bagi perusahaan-perusahaan yang berlokasi di luar kawasan industri. 5. Izin Memdirikan Bangunan (IMB) Dasar hukum IMB selain di atas bertambah dengan diterbitkanya Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan. UU Bangunan mempertegas kewajiban atas izin terhadap setiap aktifitas pembangunan (konstruksi) dengan

60 47 berbagai fungsinya. Sedangkan untuk dasar hukum HO yang masih menggunakan peraturan pada masa penjajahan hingga saat ini belum ada pembaharuan lagi. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator perizinan usaha ada enam variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Persentase perusahaan yang memiliki TDP. 2) Persepsi kemudahan perolehan TDP dan rata-rata waktu perolehan TDP. 3) Persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha. 4) Persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien, dan bebas pungli. 5) Persentase keberadaan mekanisme pengaduan. 6) Persepsi tingkat hambatan izin usaha terhadap usahanya. Setelah mendapatkan nilai total dari keenam variabel tersebut, KPPOD membaginya ke dalam empat klasifikasi, yaitu: 1) Nilai angka 0-25 persen, berarti bahwa perizinan usaha di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat buruk. 2) Nilai angka persen, berarti bahwa perizinan usaha di kabupaten dan kota tersebut tergolong buruk. 3) Nilai angka persen, berarti bahwa perizinan usaha di kabupaten dan kota tersebut tergolong baik. 4) Nilai angka persen, berarti bahwa perizinan usaha di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat baik.

61 Interaksi Pemda dan Pelaku Usaha Interaksi Pemda dengan pelaku usaha merupakan hal yang bisa dianggap membingungkan tingkatannya sampai sejauh mana tingkat intervensi kebijakan Pemda sebaiknya diberlakukan. Bentuk nyata konflik tingkat intervensi pemerintah ke dalam dunia swasta misalnya ditandai dengan perlu tidaknya Pemda mendirikan perusahaan daerah. Pemda yang mendirikan perusahaan daerah menilai bahwa peranan sektor swasta di daerahnya belum cukup besar sehingga diperlukan intervensi kebijakan pemerintah untuk menggerakkan roda perekonomian daerahnya. Namun di samping itu seringkali yang menjadi fakta di lapangan adalah adanya ketidakprofesionalan pengelolaan perusahaan daerah tersebut sehingga menjadi sarat kolusi dan korupsi. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha ada tujuh variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Keberadaan forum komunikasi. 2) Tingkat pemecahan permasalahan dunia usaha oleh Pemda. 3) Tingkat dukungan Pemda terhadap pelaku usaha daerah. 4) Tingkat kebijakan non-diskriminatif Pemda. 5) Tingkat kebijakan Pemda yang tidak merugikan pelaku usaha. 6) Tingkat konsistensi kebijakan Pemda terkait dunia usaha. 7) Tingkat hambatan interaksi Pemda dan pelaku usaha. Setelah mendapatkan nilai total dari ketujuh variabel tersebut, KPPOD membaginya ke dalam empat klasifikasi, yaitu:

62 49 1) Nilai angka 0-25 persen, berarti bahwa interaksi Pemda dan pelaku usaha di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat buruk. 2) Nilai angka persen, berarti bahwa interaksi Pemda dan pelaku usaha di kabupaten dan kota tersebut tergolong buruk. 3) Nilai angka persen, berarti bahwa interaksi Pemda dan pelaku usaha di kabupaten dan kota tersebut tergolong baik. 4) Nilai angka persen, berarti bahwa interaksi Pemda dan pelaku usaha di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat baik Program Pengembangan Usaha Swasta Program pengembangan usaha swasta terutama ditujukan kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Permasalahan utama yang dihadapi kelompok usaha ini adalah keterbatasan modal, akses modal yang minim ke lembaga keuangan formal, dan kurangnya keahlian dalam bidang manajemen usaha. Bentuk usaha kecil ini merupakan bentuk usaha yang paling dominan yang terdapat di kabupaten dan kota di Indonesia. Menurut Sensus Ekonomi 2006 terdapat sekitar 99 persen bentuk usaha mikro-kecil berdasarkan jumlah tenaga kerja antara 1-20 orang. Beberapa contoh UKM di daerah pada umumnya seperti usaha pengolahan hasil makanan dan kerajinan tangan khas daerah yang pada umumnya banyak diusahakan oleh kalangan ibu rumah tangga dan kaum perempuan. Program pengembangan usaha swasta oleh Pemda adalah pelayanan pengembangan bisnis yang disediakan Pemda dengan dukungan dana APBD. Kegiatan tersebut diadakan tanpa adanya pungutan dari Pemda kepada pelaku

63 50 usaha. Meskipun demikian, pada prakteknya ada beberapa daerah yang melakukan kegiatan tersebut dengan melibatkan keikutsertaan pendanaan aktif dari pihak swasta. Ada lima kegiatan pengembangan bisnis yang diperlukan untuk pelaku usaha kecil dan menengah yang dijadikan acuan pada pertanyaan survei ini yaitu: 1) Pelatihan manajemen bisnis untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam hal administrasi keuangan, manajemen pemasaran, dan manajemen produksi yang baik. 2) Pelatihan peningkatan kualitas tenaga kerja untuk tenaga kerja yang telah lulus sekolah namun belum bekerja berupa pelatihan administrasi kantor, pengenalan dunia kerja, etika bekerja, kemampuan bahasa asing. 3) Promosi produk lokal kepada investor (melalui exhibition, trade fair) promosi perdagangan/investasi/potensi ekonomi yang dilakukan di tingkat nasional, di kabupaten dan kota lain, dan di kabupaten dan kota sendiri. 4) Menghubungkan pelaku usaha kecil, sedang, besar untuk mempertemukan mata rantai kegiatan bisnis perusahaan daerah dengan perusahaan besar yang ada di daerah kabupaten dan kota, di daerah kabupaten dan kota lain, dan di tingkat nasional. 5) Pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi UKM untuk mengatasi salah satu hambatan besar bagi pelaku bisnis kecil dan menengah terhadap kredit formal yang disediakan bank umum yang ada di kabupaten dan kota. Pelatihan ini meliputi pelatihan pengenalan jenis-jenis kredit, pengenalan jenis lembaga keuangan formal yang ada, pengenalan dan pelatihan

64 51 prosedur pengajuan aplikasi kredit (syarat-syarat yang harus dipenuhi, hak dan kewajiban kreditur dan debitur). Penilaian terhadap usaha-usaha yang dilakukan pemerintah kabupaten dan kota dalam membuat program pengembangan bisnis swasta dan besaran APBD yang mendukungnya merupakan hal yang dituju oleh studi ini. Ada dua pendekatan yang digunakan disini yaitu dengan analisa data persepsi pelaku usaha daerah mengenai pengembangan usaha dan analisa besaran rasio programprogram pembangunan APBD yang teridentifikasi sebagai program pengembangan usaha swasta. Sampai saat ini, telah banyak kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang mendukung terciptanya ruang berusaha yang mendukung kepada kelompok usaha kecil ini. Beberapa peraturan pusat yang berkenaan dengan pengembangan UKM diantaranya adalah: a) UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian. b) UU No. 9/1995 tentang Usaha Kecil. c) UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. d) Inpres No. 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Sektor Rill dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. e) Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 02/2008 tentang Pemberdayaan BDS-P (Business Development Service Provider) untuk pengembangan KUMKM:

65 52 Bahwa pengembangan KUMKM melalui BDS-P yang merupakan lembaga dengan kompetensi tinggi untuk dapat mengembangkan KUMKM. BDS-P berfungsi menyatukan berbagai kegiatan yang menjadi bagian dari BDS-P seperti konsultansi pemasaran, konsultansi teknik produksi, konsultansi teknis manajemen keuangan yang sebelumnya mungkin diberikan secara sendiri-sendiri. BDS-P dapat dibiayai oleh pemerintah pusat, Pemda, PT, dan swasta. Namun demikian tidak disebutkan bagaimana struktur kerjasama dan syarat kondisi teknis yang memungkinkan pembiayaan oleh pemerintah pusat, Pemda, PT dan swasta tersebut. Pendirian BDS-P ini memerlukan tingkat intervensi kebijakan Pemda yang lebih dalam dan mendetil terutama pada skema pembiayaan BDS-P itu sendiri. Terutama juga saat ini banyak Pemda yang telah memiliki skema pengembangan UKM yang berbeda-beda dan unik yang memerlukan usaha sinkronisasi dengan pembentukan BDS-P. Pemerintah Kabupaten/Kota menurut kewenangannya berdasarkan PP No 38 tahun 2007 berkewajiban melakukan pemberdayaan UKM melalui berbagai programnya seperti: a) Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam menumbuhkan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat kabupaten dan kota meliputi: pendanaan dan penyediaan sumber dana termasuk tata cara dan syarat pemenuhan

66 53 kebutuhan dana, prasarana, persaingan, informasi, kemitraan, perijinan, dan perlindungan. b) Pembinaan dan pengembangan usaha kecil meliputi: produksi, pemasaran, SDM, dan teknologi. c) Memfasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat kabupaten dan kota meliputi kredit perbankan, penjaminan lembaga bukan bank, modal ventura, pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN, hibah, dan jenis pembiayaan lain. Terlihat disini bahwa Pemda memegang peranan kunci untuk mengembangkan UKM di daerahnya. Dengan mengidentifikasi dengan tepat permasalahan UKM, beberapa Pemda telah melakukan program penjaminan kredit bagi UKM dengan menempatkan jaminan pada bank nasional seperti di kota Balikpapan. Pemohon aplikasi kredit dari pihak UKM tetap melalui prosedur formal sesuai ketentuan perbankan yang ditetapkan bank tersebut. Tanpa Pemda campur tangan secara langsung menyalurkan kredit kepada UKM, namun dengan memberikan jaminan kredit sekaligus memberi pelatihan keprofesionalan pengaksesan modal formal oleh UKM merupakan suatu langkah yang inovatif. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator program pengembangan usaha swasta ada lima variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Tingkat kesadaran akan kehadiran program pengembangan usaha. 2) Tingkat partisipasi program pengembangan usaha. 3) Tingkat kepuasan terhadap program pengembangan usaha. 4) Tingkat manfaat program pengembangan usaha terhadap pelaku usaha.

67 54 5) Tingkat hambatan program pengembangan usaha terhadap kinerja perusahaan. Setelah mendapatkan nilai total dari kelima variabel tersebut, KPPOD membaginya ke dalam empat klasifikasi, yaitu: 1) Nilai angka 0-25 persen, berarti bahwa program pengembangan usaha swasta di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat buruk. 2) Nilai angka persen, berarti bahwa program pengembangan usaha swasta di kabupaten dan kota tersebut tergolong buruk. 3) Nilai angka persen, berarti bahwa program pengembangan usaha swasta di kabupaten dan kota tersebut tergolong baik. 4) Nilai angka persen, berarti bahwa program pengembangan usaha swasta di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat baik Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah Kinerja suatu pemerintahan, selain karena terlembaganya suatu sistem, dipengaruhi oleh pejabat pemerintah yang menjalankannya. Dalam suatu sistem yang sudah terlembaga dengan baik sangat mungkin memberikan batas ramburambu yang kuat untuk meminimalisir penyimpangan para pejabat pelaksananya. Namun dalam suatu sistem yang lemah, peran para pejabat yang melaksanakannya bisa sangat dominan mengabaikan sistem yang ada. Beberapa studi menunjukkan temuan tentang pentingnya peran Kepala Daerah (Bupati/Walikota) dalam tata kelola pemerintahan. Diantaranya, Luebke (2007), menunjukkan signifikansi peran Kepala Daerah dalam menentukan kualitas

68 55 kebijakan daerah. Demikian pula, KPPOD (2005), menunjukkan bahwa integritas Kepala Daerah cukup penting pengaruhnya terhadap daya tarik investasi daerah. ` Selain latar belakang yang disampaikan di atas, masalah korupsi Kepala Daerah penting diperhatikan mengingat posisi Indonesia yang dinilai sebagai negara keenam terkorup diantara 158 negara yang disurvei Transparansi Internasional. Melalui sejumlah peraturan perundang-undangan, negara dan pemerintah Indonesia menegaskan political will untuk memerangi korupsi tersebut. Telah diterbitkan UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk memerangi korupsi. Kebijakan tersebut dilengkapi dengan pelembagaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bahwa para pejabat pemerintahan termasuk Bupati/Walikota untuk menyerahkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) ke KPK setiap tahun, serta kewajiban melaporkan gratifikasi dengan sanksi pidana apabila dilanggar, merupakan kemajuan yang berarti dalam tata kelola pemerintahan. Meskipun belum sepenuhnya berjalan, namun kepatuhan para penyelenggara pemerintahan atas ketentuan tersebut dari tahun ke tahun semakin membaik yang memberikan harapan positif bagi berkurangnya praktek korupsi. Namun demikian, di sisi lain publik juga mencatat banyaknya pejabat negara

69 56 maupun pemerintah yang berurusan dengan aparat penegak hukum, utamanya KPK, yang berujung pada dijebloskannya para pejabat publik ke penjara. Bila pada masa sebelum perang terhadap korupsi dilakukan secara intensif, berbagai pelanggaran hukum tidak mendapat hukuman yang setimpal. Saat ini secara umum diakui bahwa penegakan hukum terhadap para koruptor telah menumbuhkan rasa takut di kalangan penyelenggara pemerintahan untuk melakukan korupsi. Itulah efek jera yang secara positif membendung upaya korupsi. Upaya pemberantasan korupsi yang dikawal dengan pengawasan (represif melalui penindakan hukum) yang cukup kuat, serta didukung sejumlah upaya preventif pembenahan sistem (LHKPN, gratifikasi, proses pengadaan barang dan jasa yang ketat, kenaikan gaji, dll). Sejumlah praktek positif di pemerintahan daerah patut mendapat apresiasi, diantaranya adalah eprocurement (pengadaan barang dan jasa melalui sistem yang meminimalisir kontak langsung antara penyedia barang dan jasa dengan pemberi pekerjaan), user s estimate dalam pengadaan barang dan jasa yang menekan kemungkinan mark-up, implementasi one-stop service untuk mendapatkan perizinan usaha yang diantaranya secara positif meminimalisir peluang terjadinya korupsi. Pemilihan Kepala Daerah langsung dengan disertai keberimbangan informasi menjadi salah satu mekanisme kontrol masyarakat untuk menilai secara langsung kinerja pemimpin tertinggi di daerahnya masing masing. Dalam hal kapasitas Kepala Daerah juga diyakini mempengaruhi kemampuannya untuk memberikan pelayanan kepada dunia usaha. Mengenai hal ini terdapat peraturan

70 57 perundangan yang mensyaratkan pendidikan minimal SMA bagi Kepala Daerah. Demikian juga persyaratan usia Kepala Daerah yang minimal 30 tahun memberikan estimasi tingkat kemampuan menangani urusan pemerintahan. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator kapasitas dan integritas Kepala Daerah ada enam variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Tingkat pemahaman Kepala Daerah terhadap masalah dunia usaha. 2) Tingkat profesionalisme birokrat daerah. 3) Tingkat korupsi Kepala Daerah. 4) Tingkat ketegasan Kepala Daerah terhadap korupsi birokratnya. 5) Tingkat kewibawaan Kepala Daerah. 6) Tingkat hambatan kapasitas dan integritas Kepala Daerah terhadap dunia usaha. Setelah mendapatkan nilai total dari keenam variabel tersebut, KPPOD membaginya ke dalam empat klasifikasi, yaitu: 1) Nilai angka 0-25 persen, berarti bahwa kapasitas dan integritas Kepala Daerah di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat buruk. 2) Nilai angka persen, berarti bahwa kapasitas dan integritas Kepala Daerah di kabupaten dan kota tersebut tergolong buruk. 3) Nilai angka persen, berarti bahwa kapasitas dan integritas Kepala Daerah di kabupaten dan kota tersebut tergolong baik. 4) Nilai angka persen, berarti bahwa kapasitas dan integritas Kepala Daerah di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat baik.

71 Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Biaya Transaksi Lain Biaya transaksi adalah pembayaran yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha yang dianggapnya sebagai beban biaya dalam menjalankan operasional perusahaannya baik yang resmi maupun tidak resmi. Biaya resmi meliputi pembayaran sejumlah nilai nominal tertentu dalam satuan rupiah oleh perusahaan kepada Pemda dengan disertai bukti tertulis yang jumlahnya sesuai antara yang tertera di bukti pembayaran tersebut dengan peraturan resmi yang ada. Pungutan resmi daerah meliputi pajak, retribusi, dan sumbangan pihak ketiga (SP3) dengan definisi dan contoh sebagai berikut: 1. Pajak Daerah Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan (dalam hal ini perusahaan) kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah (Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2001). Contoh pajak daerah yaitu: pajak penerangan jalan, pajak reklame, dan pajak restoran dan hotel. 2. Retribusi daerah Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (dalam hal ini perusahaan) (Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2001). Contoh retribusi daerah, yaitu retribusi sewa tempat di pasar milik Pemda, retribusi kebersihan di

72 59 pasar milik Pemda, retribusi parkir di tepi jalan umum yang disediakan oleh Pemda, dan retribusi sejenis lainnya. 3. Sumbangan Pihak Ketiga (SP3) Sumbangan Pihak Ketiga (SP3) yang resmi adalah sejumlah pembayaran yang diberikan oleh perusahaan kepada Pemda atas dasar adanya Peraturan Daerah atau Surat Keputusan Bupati/Walikota. Contoh sumbangan pihak ketiga yaitu: sumbangan wajib pengusaha sektor perkebunan, sumbangan wajib pengusaha sektor industri (seperti nilai tertentu pada setiap unit hasil produksi: Rp 5,00 per kg buah sawit segar) dan sumbangan wajib pengusaha sektor jasa. Keluhan yang sering dikemukakan oleh kalangan bisnis adalah tingginya pajak dan retribusi pengguna di daerah yang harus mereka bayar. Bentuknya bermacam-macam. Pemerintah daerah biasanya membebankan pajak listrik daerah, juga pajak hotel dan restoran. Di samping itu, mereka berhak menarik retribusi pengguna untuk sejumlah besar layanan peraturan daerah, bahkan ketika kadangkala tidak ada layanan yang sungguh-sungguh diberikan. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator biaya transaksi ada empat variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan. 2) Tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan. 3) Tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda. 4) Tingkat pembayaran biaya informal pelaku usaha terhadap polisi. Setelah mendapatkan nilai total dari keempat variabel tersebut, KPPOD membaginya ke dalam empat klasifikasi, yaitu:

73 60 1) Nilai angka 0-25 persen, berarti bahwa hambatan biaya transaksi di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat buruk. 2) Nilai angka persen, berarti bahwa hambatan biaya transaksi di kabupaten dan kota tersebut tergolong buruk. 3) Nilai angka persen, berarti bahwa hambatan biaya transaksi di kabupaten dan kota tersebut tergolong baik. 4) Nilai angka persen, berarti bahwa hambatan biaya transaksi di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat baik Kebijakan Infrastruktur Daerah Ketersediaan dan kualitas infrastruktur merupakan faktor penentu bagi keputusan bisnis pelaku usaha karena sangat menentukan biaya distribusi faktor input dan faktor output produksinya. Kehadirannya dapat menjadi faktor pendorong tingkat produktivitas di suatu daerah. Fasilitas transportasi memungkinkan orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain, tentunya juga dari satu daerah ke daerah lain. Apabila akses transportasi yang baik tidak ada tentunya akan sulit bagi suatu perusahaan untuk melakukan aktivitas usahanya. Karena itu tak pelak lagi ketersediaan infrastruktur, terutama kualitas jalan yang baik, sangat diperlukan untuk kelancaran proses produksi. Infrastruktur sangat menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi. Beberapa studi menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur dengan Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) ternyata mempunyai hubungan yang erat. Elastisitas PDB terhadap infrastruktur, perubahan persentase pertumbuhan PDB per kapita sebagai

74 61 akibat dari naiknya satu persen ketersediaan infrastruktur, di berbagai Negara bervariasi antara 0,07 sampai dengan 0,44 (World Bank, 1994). Pembiayaan pemerintah di bidang infrastruktur masih diperlukan terutama untuk daerahdaerah terpencil yang belum terjangkau investasi infrastruktur sektor swasta. Penurunan peranan pemerintah pada sektor infrastruktur di beberapa Negara berkembang (Fan dan Rao, 2003) terjadi di era 1980-an sebagai bentuk kebijakan pemerintah agar tercipta lingkungan berusaha yang lebih besar kepada sektor swasta. Namun demikian, pilihan tersebut tidak membuahkan hasil tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sehingga menyiratkan bahwa investasi pemerintah di infrastruktur menjadi hal yang tidak terelakkan kebutuhannya. Infrastruktur yang dinilai pada survei ini mencakup penilaian persepsi terhadap sejumlah fasilitas infrastruktur seperti jalan kabupaten dan kota, kualitas lampu penerangan jalan, kualitas air PDAM, kualitas listrik, dan kualitas telepon. Selain itu dihitung pula lama waktu yang dibutuhkan di setiap kabupaten dan kota untuk memperbaiki kerusakan terhadap berbagai infrastruktur tersebut. Jenis-jenis infrastruktur tersebut dipilih berdasarkan yang paling mempengaruhi keputusan berbisnis pelaku usaha dan atau dalam kewenangan Pemda. Misalnya seperti lampu penerangan jalan sebenarnya tidak terdapat peraturan yang menyebutkan aktivitas perawatannya kepada Pemda, namun karena pajaknya dimasukkan sebagai pajak daerah maka selayaknya Pemda memberikan perhatian terhadap kualitasnya. Di samping itu pula tingkat kepemilikan genset oleh pelaku usaha juga digunakan sebagai salah satu indikator. Hal tersebut mencerminkan tingkat

75 62 kewaspadaan akan padamnya aliran listrik dimana semakin tinggi tingkatan tersebut menggambarkan keadaan listrik yang tidak baik. Keterkaitan kerangka kebijakan nasional dan daerah dalam hal ketersediaan dan kualitas infrastruktur dilihat menurut permasalahan utama infrastruktur yang terdeteksi pada survei ini. Jalan rusak dan listrik yang sering padam merupakan dua alasan yang terbanyak yang disampaikan oleh pelaku usaha. Terdapat sejumlah kebijakan nasional dan daerah yang berkaitan erat dengan kualitas jalan diantaranya adalah peraturan mengenai pengadaan barang dan jasa (Perpres Nomor 8/2006 dan Kepres Nomor 80/2003). Peraturan ini dikeluarkan untuk mengurangi tingkat resiko terjadinya korupsi dan kolusi pada proses tender proyek pemerintah yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas barang dan jasa yang diadakan karena melalui proses yang lebih transparan dan akuntabel. Tender proyek pemerintah disini berarti berbagai bentuk investasi publik pemerintah seperti pembangunan jalan, pengadaan lampu penerangan jalan, dan pengadaan material jembatan. Disini juga disebutkan pengaturan mengenai tingkatan sub-kontrak agen yang disinyalir dapat menurunkan kualitas barang dan jasa karena terdapat semakin banyaknya agen yang menerima kick-back fee pada setiap tingkatan kontrak proyek. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator kebijakan infrastruktur daerah ada lima variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Tingkat kualitas infrastruktur. 2) Lama perbaikan infrastruktur bila mengalami kerusakan. 3) Tingkat pemakaian generator.

76 63 4) Lamanya pemadaman listrik. 5) Tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan. Setelah mendapatkan nilai total dari kelima variabel tersebut, KPPOD membaginya ke dalam empat klasifikasi, yaitu: 1) Nilai angka 0-25 persen, berarti bahwa kebijakan infrastruktur daerah di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat buruk. 2) Nilai angka persen, berarti bahwa kebijakan infrastruktur daerah di kabupaten dan kota tersebut tergolong buruk. 3) Nilai angka persen, berarti bahwa kebijakan infrastruktur daerah di kabupaten dan kota tersebut tergolong baik. 4) Nilai angka persen, berarti bahwa kebijakan infrastruktur daerah di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat baik Keamanan dan Penyelesaian Sengketa Keamanan usaha merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan pelaku usaha ketika akan memulai usaha dan menjalankan usahanya. Pelaku usaha terkadang membayar biaya keamanan yang tinggi asalkan ia tetap dapat beroperasi di suatu daerah. Survei ini melakukan penilaian terutama terhadap tindakan aparat keamanan ketika menghadapi kejadian seperti demonstrasi pegawai dan kejadian kriminalitas di tempat usaha. Struktur lembaga kepolisian Indonesia dipisahkan dari tentara nasional (TNI) sejak tahun Hal ini berkaitan dengan sejumlah tuntutan pelayanan dari masyarakat akan keprofesionalan polisi dalam penanganan masalah keamanan dalam negeri.

77 64 Pemda secara langsung tidak memiliki kewenangan untuk menangani masalah keamanan yang terjadi di daerahnya. Namun keterbatasan kewenangan ini bukan berarti adanya pembatasan usaha yang dapat dilakukan untuk menciptakan keadaan yang aman. Bentuk koordinasi antara aparat Dinas Ketertiban Umum Pemda dan pihak kepolisian dapat menjadi bentuk sinergi koordinasi yang dapat meningkatkan rasa aman bagi pelaku usaha. Tidak dapat dipungkiri bahwa koordinasi antara lembaga negara dari berbagai tingkatan lebih penting untuk diimplementasikan dari pada sekedar mempersoalkan cakupan kewenangan. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator keamanan dan penyelesaian sengketa ada empat variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Tingkat kejadian pencurian di tempat usaha. 2) Kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi. 3) Kualitas penanganan masalah demonstrasi buruh oleh polisi. 4) Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan. Setelah mendapatkan nilai total dari keempat variabel tersebut, KPPOD membaginya ke dalam empat klasifikasi, yaitu: 1) Nilai angka 0-25 persen, berarti bahwa keamanan dan penyelesaian sengketa di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat buruk. 2) Nilai angka persen, berarti bahwa keamanan dan penyelesaian sengketa di kabupaten dan kota tersebut tergolong buruk.

78 65 3) Nilai angka persen, berarti bahwa keamanan dan penyelesaian sengketa di kabupaten dan kota tersebut tergolong baik. 4) Nilai angka persen, berarti bahwa keamanan dan penyelesaian sengketa di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat baik Kualitas Peraturan Daerah Perda merupakan sebuah instrumen kebijakan daerah yang sifatnya formal, melalui Perda inilah dapat diindikasikan adanya insentif maupun disinsentif sebuah kebijakan di daerah terhadap aktivitas perekonomian. Penilaian kualitas Perda dilakukan melalui desk analysis dengan menggunakan 14 (empat belas) kriteria. Berdasarkan hasil analisis diperoleh gambaran mengenai kualitas Perda di daerah yang dikelompokan dalam tiga kategori potensi permasalahan, yaitu kategori prinsip, kategori substansi, dan kategori acuan yuridis. Dalam kategori acuan yuridis terdiri dari tiga kriteria yaitu relevansi acuan yuridis, up to date acuan yuridis, dan kelengkapan yuridis formal. Kategori substansi terdiri enam kriteria, yaitu diskoneksi tujuan dan isi serta konsistensi pasal, kejelasan obyek, kejelasan subyek, kejelasan hak dan kewajiban wajib pungut dan Pemda, kejelasan standar waktu, biaya dan prosedur atau struktur dan standard tarif, kesesuaian antara filosofi dan pungutan. Kategori prinsip terdiri dari lima kriteria, yaitu keutuhan wilayah ekonomi nasional dan prinsip free internal trade, persaingan sehat, dampak ekonomi negatif, menghalangi akses masyarakat dan kepentingan umum, dan pelanggaran kewenangan pemerintahan.

79 66 Jumlah peraturan daerah yang dianalisis sebanyak 932 Perda. Perda yang dianalisis dibatasi dengan wilayah pengaturannya, yaitu terkait dengan perekonomian. Perda yang dianalisis tersebut dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) wilayah isu, yaitu Perda terkait dengan perizinan, Perda terkait dengan lalu lintas barang dan jasa, serta Perda terkait dengan ketenagakerjaan. Dari total 932 peraturan daerah, kebermasalahan pada kategori yuridis didominasi oleh banyaknya Perda yang tidak mengatur secara lengkap ketentuan-ketentuan peraturan yang lebih tinggi. Diantaranya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Sejumlah ketentuan yang tertuang dalam ketiga produk hukum seperti tersebut di atas sifatnya wajib, sehingga setiap pengaturan yang tidak merujuk pada ketentuannya dikategorikan Perda bermasalah. Setelah menganalisis keempat belas variabel tersebut, KPPOD mendapatkan nilai persentase total yang selanjutnya dibagi ke dalam empat klasifikasi, yaitu: 1) Nilai angka 0-25 persen, berarti bahwa kualitas peraturan daerah di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat buruk. 2) Nilai angka persen, berarti bahwa kualitas peraturan daerah di kabupaten dan kota tersebut tergolong buruk. 3) Nilai angka persen, berarti bahwa kualitas peraturan daerah di kabupaten dan kota tersebut tergolong baik.

80 67 4) Nilai angka persen, berarti bahwa kualitas peraturan daerah di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat baik.

81 68 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 Investasi di Provinsi Jawa Barat masih sangat dipengaruhi oleh iklim investasi yang kondusif di seluruh kabupaten dan kotanya. Menurut KPPOD (2008), peringkat kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat meningkat cukup signifikan karena adanya perbaikan iklim investasi yang lebih kondusif dengan adanya penciptaan badan pelayanan izin usaha terpadu yang dapat mereduksi biaya dan waktu pengurusan izin usaha yang terdapat hampir di seluruh kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat. Dalam pemeringkatan tersebut, KPPOD menetapkan sembilan indikator yang mempengaruhi iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di 25 kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat, yaitu Akses Terhadap Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha (ALUKU), Perizinan Usaha (PU), Interaksi Antara Pemda dan Pelaku Usaha (IPPU), Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS), Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah (KIPD), Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Biaya Transaksi Lain (BT), Kebijakan Infrastruktur Daerah (KID), Keamanan dan Penyelesaian Konflik (KPS), dan Kualitas Peraturan Daerah (KPD). Berdasarkan laporan tersebut, pemerintah daerah kabupaten dan kota yang memiliki pelayanan akses lahan usaha dan kepastian berusaha yang terbaik adalah Kabupaten Ciamis dengan nilai 82,80 persen, lalu pada peringkat kedua dan ketiga ditempati Kabupaten Majalengka (78,30 persen) dan Kabupaten Kuningan (78,10 persen). Sedangkan yang terburuk ditempati Kota Depok dengan nilai

82 69 52,40 persen (Tabel 5.1). Buruknya indikator akses lahan usaha dan kepastian berusaha di Kota Depok disebabkan oleh sebanyak 45,45 persen persepsi pelaku usaha menilai penggusuran lahan usaha yang berada di pinggir jalan raya karena alasan pelebaran jalan untuk mengurangi kemacetan kota adalah hal yang pasti terjadi. Persepsi masalah penggusuran ini merupakan masalah utama yang ditakutkan pelaku usaha dalam menjalankan usahanya jika dibandingkan dengan kemudahan mendapatkan sertifikasi lahan dan variabel penilaian lainnya. Selain itu, masalah akses lahan ini lebih sering terjadi pada daerah perkotaan daripada daerah kabupaten. Hal tersebut karena terbatasnya ketersediaan lahan untuk usaha dan banyaknya jumlah permintaan sertifikasi tanah sehingga pengurusan setifikasi izin lahan usaha membutuhkan waktu yang lebih lama. Untuk indikator pelayanan terbaik perizinan usaha peringkat satu, dua dan tiga ditempati oleh Kabupaten Kuningan (62,10 persen), Kabupaten Purwakarta (61,20 persen), dan Kabupaten Karawang (61,10 persen). Sedangkan peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Sukabumi dengan nilai 42,3 persen (Tabel 5.1). Tiga kabupaten terbaik tersebut telah menjalankan sistem pelayanan perizinan usaha yang sudah cukup baik bagi pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat pada banyaknya pelaku usaha yang telah memiliki Tanda Daftar Perusahaan (TDP) lebih dari 50 persen dari total keseluruhan pelaku usaha lokal daerah tersebut, selain itu pengurusan TDP baik dari segi waktu dan biaya tersebut nilai aktualnya tidak jauh berbeda dengan peraturan resmi yang telah ditetapkan Pemda sehingga pelayanan perizinan usaha tersebut lebih efisien dan tidak menghambat usaha pelaku usaha daerah tersebut.

83 70 Tiga besar kabupaten dan kota terbaik dalam indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha, yaitu Kota Banjar (60,40 persen), Kabupaten Kuningan (55,60 persen) dan Kabupaten Indramayu (53,90 persen). Sedangkan yang terburuk dalam indikator ini adalah Kabupaten Sukabumi dengan nilai 30,5 persen (Tabel 5.1). Lebih dari 50 persen pelaku usaha lokal di Kota Banjar menyatakan bahwa interaksi antara mereka dan Pemda memberikan dampak yang positif terhadap usaha mereka. Kota Banjar telah memiliki forum komunikasi antara Pemda dan pelaku usaha walaupun masih belum sempurna, namun sudah cukup memberikan solusi kepada pelaku usaha dalam menghadapi permasalahan dunia usaha. Selain itu, Pemda juga mempromosikan hasil produk mereka dalam pameran-pameran yang diikuti Pemda pada acara-acara tertentu. Pemerintah daerah yang memiliki program pengembangan usaha swasta terbaik adalah Kota Banjar (69,70 persen), Kabupaten Ciamis (65,10 persen), Kota Tasikmalaya (55,90 persen). Untuk Indikator program pengembangan usaha swasta, Kabupaten Bogor menempati peringkat terakhir dengan nilai 17,6 persen (Tabel 5.1). Kabupaten Bogor juga merupakan kabupaten terburuk kedua se- Indonesia setelah Kabupaten Kediri di Jawa Timur yang hanya memperoleh nilai 15,04 persen untuk indikator ini. Hal tersebut diduga karena sangat kurangnya informasi mengenai program pengembangan swasta yang sampai kepada pelaku usaha lokal daerah Kabupaten Bogor, kalaupun ada hanya bersifat formalitas saja tanpa ada manfaat yang nyata bagi pelaku usaha tersebut. Selain itu jika dilihat dari rasio program pengembangan usaha terhadap APBD, Kabupaten Bogor tidak termasuk dalam sepuluh besar terbaik nasional atau dengan kata lain dana alokasi

84 71 APBD untuk program pengembangan usaha swasta sangat kecil sekali. Karenanya, menjadi hal yang wajar apabila kurangnya perhatian Pemda terhadap pelaku usaha menimbulkan hambatan yang cukup besar bagi pengembangan pelaku usaha lokal tersebut. Untuk indikator kapasitas dan integritas Kepala Daerah peringkat tiga terbaik ditempati oleh Kabupaten Indramayu (68,50 persen), Kabupaten Karawang (61,90 persen), Kota Banjar (56,30 persen). Sedangkan untuk peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Garut dengan nilai 32,2 persen (Tabel 5.1). Rendahnya nilai di Kabupaten Garut tersebut dikarenakan Kepala Daerah (Bupati) tidak memahami masalah dunia usaha yang sedang dihadapi oleh pelaku usaha lokal di daerah tersebut. Selain itu, tingkat profesionalisme birokratnya sangat buruk sekali. Hal ini terbukti dengan dijebloskan Bupati Garut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke dalam penjara karena ketahuan melakukan tindakan Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme (KKN) saat menjalankan roda pemerintahannya. Karenanya, banyak pengusaha lokal Garut sudah tidak percaya lagi akan ketegasan dan kewibawaan Pemda Kabupaten Garut dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif di daerahnya. Hal tersebut sungguh sangat menghambat sekali dalam mengembangkan usaha bagi pelaku usaha lokal, karena mau kepada siapa lagi mereka harus meminta pertolongan dalam memecahkan permasalahan-permasalahan dunia usaha mereka. Kabupaten dan kota yang memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha adalah Kabupaten Karawang (71,20 persen), Kabupaten Bogor (69,30 persen), Kabupaten Depok (69,0 persen), dan Kabupaten

85 72 Garut (69,0 persen). Sedangkan Kabupaten Bandung merupakan kabupaten dengan biaya transaksi termahal di Jawa Barat dengan hanya memiliki nilai sebesar 42,2 persen (Tabel 5.1). Perbedaan biaya dan waktu antara Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bandung hanya terletak pada implementasi kebijakan di lapangan oleh dinas-dinas pajak dan retribusi yang terkait karena penetapan pajak dan retribusi daerah sama-sama merujuk pada UU No. 34/2000. Implementasi kebijakan di Kabupaten Karawang dinilai oleh pelaku usaha masih dalam batas kewajaran, walaupun ada beberapa penetapan pajak yang terlalu jauh dari peraturan resmi yang telah ditetapkan oleh Bupati Karawang. Misalnya saja pada masalah waktu yang dibutuhkan untuk mengurus Tanda Daftar Perusahaan (TDP) yang menurut peraturan resmi bisa di dapatkan dalam waktu 7 hari kerja. Namun, pada kenyataanya pengusaha bisa mendapatkan TDP tersebut lebih dari 7 hari kerja. Menurut laporan TKED, banyak pengusaha yang terpaksa memberikan uang suap kepada petugas terkait agar proses mendapatkan perizinan TDP lebih dipercepat. Namun pemberian uang suap tersebut masih jauh lebih murah daripada apa yang terjadi di Kabupaten Bandung. Selain itu, pembayaran biaya informal oleh pelaku usaha kepada kepolisian di Kabupaten Karawang jauh lebih tinggi daripada yang dibayarkan kepada Ormas dan preman untuk mendapat jaminan perlindungan usaha. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Kabupaten Bandung, pelaku usaha lebih banyak menyerahkan uang keamanan kepada Ormas dan preman daripada kepada kepolisian. Maka dari hal tersebut di

86 73 atas menjadi sangat wajar jika Kabupaten Karawang memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha daripada Kabupaten Bandung. Untuk kabupaten dan kota yang telah memiliki indikator kebijakan infrastruktur daerah dengan kualitas terbaik adalah Kabupaten Karawang (75,60 persen), Kabupaten Purwakarta (75,40 persen), dan Kota Bandung (75,0 persen). Sedangkan Kabupaten Bekasi merupakan kabupaten terburuk di Jawa Barat dalam indikator ini dengan nilai 61,6 persen (Tabel 5.1). Penempatan Kabupaten Bekasi sebagai yang terburuk di Jawa Barat sangat anomali sekali dengan kenyataan yang ada. Kita ketahui bersama, Kabupaten Bekasi terkenal memiliki Kawasan Industri JABABEKA di Cikarang serta Kawasan Industri lainnya yang terbentang dari daerah Tambun sampai Cibitung atau dengan kata lain Kabupaten Bekasi masih jauh lebih baik infrastruktur industrinya daripada infrastruktur industri yang ada di tiga kabupaten terbaik yang disebut di atas. Namun penilaian pada survei TKED ini bukan berasal dari jumlah dan luasnya kawasan industri yang ada di kabupaten dan kota tersebut, melainkan penilaian survei ini adalah yang menyangkut masalah fasilitas infrastruktur seperti kualitas jalan kabupaten dan kota, lampu penerangan jalan, air PDAM, kualitas listrik, dan telepon. Rendahnya penilaian terhadap Kabupaten Bekasi tersebut diduga karena masih kurang berkualitasnya fasilitas infrastruktur tersebut menurut penilaian pelaku usaha lokal di daerah Kabupaten Bekasi. Hal lain yang mungkin menjadi masalah adalah lamanya waktu perbaikan fasilitas infrastruktur tersebut ketika mengalami kerusakan. Misalnya, dalam perbaikan kerusakan listrik di Kabupaten Purwakarta hanya membutuhkan waktu rata-rata 10 hari, sedangkan

87 74 Kabupaten Bekasi lama perbaikan masalah listrik tersebut bisa mencapai waktu lebih dari 10 hari. Karenanya, menjadi hal yang sangat wajar apabila kepemilikan genset oleh pelaku usaha di Kabupaten Bekasi cukup tinggi. Padahal dalam survei TKED ini menyiratkan bahwa semakin banyak pelaku usaha lokal di daerah yang memiliki genset berarti nilai kualitas infrastruktur di daerah tersebut akan semakin buruk. Untuk indikator jaminan keamanan dan penyelesaian sengketa terbaik adalah Kabupaten Bogor (69,10 persen), peringkat kedua Kota Bogor (64,10 persen), dan peringkat ketiga Kabupaten Kuningan (63,50 persen). Kabupaten yang terburuk dalam indikator ini adalah Kabupaten Indramayu dengan nilai 32,6 persen (Tabel 5.1). Perbedaan antara kabupaten yang terbaik dan terburuk dapat disebabkan oleh banyaknya kasus pencurian yang terjadi, masalah seberapa sering terjadinya demonstrasi buruh, dan kepuasan pelaku usaha terhadap kinerja kepolisian dalam penanganan dua kasus tersebut. Kurang dari 10 persen pelaku usaha di Kabupaten Bogor yang melaporkan adanya kasus pencurian terjadi di tempat usahanya. Setelah pelaporan tersebut, pihak kepolisian mengambil tindakan cepat dalam penanganan kasus tersebut. Lebih 70 persen pelaku usaha tersebut menilai polisi telah mengambil tindakan tepat dan menguntungkan pelaku usaha dalam meminimalkan kerugian pelaku usaha tersebut. Selain itu menurut hasil survei TKED ini, masalah demonstrasi yang terjadi di Kabupaten Bogor masih jauh lebih rendah jika di bandingkan dengan daerah lainnya. Sehingga pelaku usaha lokal Kabupaten Bogor merasa aman dan nyaman berusaha karena kualitas jaminan keamanan usaha yang sangat baik.

88 75 Indikator kualitas peraturan daerah yang terbaik ditempati oleh kabupaten Purwakarta (97,70 persen), kabupaten Karawang (94,90 persen), dan kabupaten Kuningan (93,60 persen). Kabupaten Sukabumi merupakan kabupaten terburuk dalam indikator ini dengan nilai 61,1 persen (Tabel 5.1). Secara keseluruhan kualitas peraturan daerah di Jawa Barat dinilai oleh KPPOD sudah sangat baik. Perbedaan antara kabupaten yang terbaik dan terburuk adalah permasalahan implementasi kebijakan di lapangan yang dilakukan oleh oknum dari dinas yang terkait sehingga banyak menimbulkan pungli yang memberatkan pelaku usaha. Kasus yang banyak terjadi adalah masalah retribusi dan pajak pada jenis usaha jasa dan perdagangan yang terkadang hanya dijadikan Pemda untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya (PAD) tanpa memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap pelaku usaha. Masalah yang sering terkena dampak dari retribusi liar adalah masalah lalu lintas hasil produksi pelaku usaha, contohnya yang terjadi pada usaha perdagangan hasil olahan ternak. Setiap ingin menjual produknya ke kabupaten atau kota lainnya perusahaan dikenakan biaya pemeriksaan dan retribusi di daerah asal. Setelah mendapatkan izin tersebutproduk pelaku usaha yang masuk ke kabupaten lain harus diperiksa lagi dan bahkan dikenakan tarif retribusi yang jauh lebih mahal daripada tarif retribusi daerah asal. Hal ini sangat memberatkan pelaku usaha karena harus mengeluarkan biaya tambahan untuk masalah ini. Hal tersebut telah melanggar kategori kesatuan wilayah ekonomi nasional. Bagi kabupaten dan kota yang melakukan hal tersebut, maka menjadi hal yang wajar

89 76 jika peringkat kualitas peraturan daerahnya rendah jika dibandingkan dengan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang. Setelah mendapatkan nilai-nilai dari sembilan indikator tersebut, tahap selanjutnya adalah mendapatkan nilai Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) secara keseluruhan untuk menilai kabupaten dan kota yang memiliki iklim investasi terbaik di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan Tabel 5.1. peringkat lima kabupaten dan kota terbaik di Jawa Barat pada tahun 2007 ditempati oleh Kabupaten Ciamis dengan nilai indeks TKED sebesar 67,9 persen, Kota Banjar (67,1 persen), Kabupaten Kuningan (66,0 persen), Kabupaten Karawang (64,1 persen), dan Kabupaten Sumedang (63,6 persen). Sedangkan lima peringkat terbawah ditempati oleh Kabupaten Sukabumi dengan nilai indeks TKED 57,1 persen, Kota Cimahi (57,0 persen), Kota Bekasi (57,0 persen), Kota Depok (54,9 persen), dan yang terburuk iklim investasinya di Jawa Barat pada tahun 2007 adalah Kabupaten Bekasi yang hanya mendapat nilai TKED sebesar 54,8 persen.

90 77 Tabel 5.1. Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 N O NAMA KOTA/KABUP ATEN AL UK U (%) PU (%) IPP U (%) PPU S (%) KIP D (%) BT (%) KID (%) KPS (%) KP D (%) Indeks TKED (%) 1 Kabupaten Ciamis Kota Banjar Kabupaten Kuningan Kabupaten Karawang Kabupaten Sumedang Kabupaten Purwakarta Kota Cirebon Kabupaten 8 Garut Kota Bandung Kota Tasikmalaya Kabupaten Majalengka Kota Bogor Kabupaten Cianjur Kabupaten Bandung Kabupaten Subang Kota Sukabumi Kabupaten Indramayu Kabupaten Cirebon Kabupaten Bogor Kabupaten Tasikmalaya Kabupaten Sukabumi Kota Cimahi Kota Bekasi Kota Depok Kabupaten 25 Bekasi Sumber: KPPOD (2008)

91 Realisasi Investasi Kabupaten dan Kota Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 Nilai investasi Provinsi Jawa Barat mengalami penurunan sebesar Rp. 184,679 miliar dari Rp ,967 miliar pada tahun 2006 menjadi Rp ,288 pada tahun Namun jumlah proyek pada tahun 2007 lebih banyak daripada jumlah proyek tahun Pada tahun 2007 jumlah proyek investasi sebesar 325 buah, sedangkan pada tahun 2006 hanya sebesar 281 proyek investasi. Jumlah proyek terbesar pada tahun 2007 ditempati oleh sektor sekunder dengan jumlah 220 proyek dengan nilai total investasi sebesar Rp ,308 miliar, peringkat kedua ditempati sektor tersier sebesar 96 proyek dengan nilai total Rp miliar, dan sektor primer hanya memberikan sumbangan 9 proyek dengan nilai total Rp. 126,628 miliar. Dalam sektor sekunder, industri kertas menempati urutan teratas penyumbang investasi terbesar dengan nilai total investasi sebesar Rp ,644 miliar, lalu diikuti industri logam, mesin, dan elektronik pada urutan kedua sebesar Rp ,058 miliar, dan industri motor dan alat transportasi lainnya sebesar Rp ,910 miliar. Untuk sektor tersier peringkat pertama yang menyumbangkan nilai total investasi terbesar adalah sektor konstruksi sebesar Rp. 426,848 miliar, peringkat kedua ditempati sektor perdagangan dan reparasi sebesar Rp. 353,923 miliar, dan sektor perumahan, kawasan industri dan perkantoran sebesar Rp. 293,555 miliar. Sedangkan dari sektor primer penyumbang nilai investasi total hanya berasal dari dua sektor, yaitu sektor peternakan Rp. 76,797 miliar dan sektor tanaman pangan dan perkebunan sebesar Rp. 49,830 miliar (Tabel 5.2).

92 79 Tabel 5.2. Realisasi Total Investasi Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 No Sektor Proyek Investasi Tenaga (miliar rupiah) Kerja I SEKTOR PRIMER 9 126, Tanaman Pangan dan 1 Perkebunan 5 49, Peternakan 4 76, Kehutanan Perikanan Pertambangan II SEKTOR SEKUNDER , Industri Makanan , Industri Tekstil , Industri Barang Dari Kulit dan Alas Kaki 2 69, Industri Kayu 4 60, Industri Kertas dan Percetakan , Industri Kimia dan Farmasi , Industri Karet dan Plastik , Industri Mineral Non Logam 2 60, Industri Logam, Mesin, dan 14 Elektronik , Industri Instrumen Kedokteran, Presisi, Optik dan Jam Industri Kendaraan Bermotor dan Alat Transportasi Lain , Industri Lainnya 3 135, III SEKTOR TERSIER , Listrik, Gas dan Air 1 9, Konstruksi 3 426, Perdagangan dan Reparasi , Hotel dan Restoran 2 128, Transportasi, Gudang dan 22 Komunikasi 4 77, Perumahan, Kawasan Industri dan Perkantoran 3 293, Jasa Lainnya , JUMLAH , Sumber: BPS Jabar (2008)

93 80 Total investasi sebesar Rp ,288 miliar tersebut hanya tersebar di 16 kabupaten dan kota dari total 25 kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Jawa Barat. Ada sembilan kabupaten dan kota yang tidak mendapatkan sepeser pun nilai total investasi pada tahun 2007 tersebut, yaitu Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Kabupaten Kuningan, Kota Cirebon, Kabupaten Garut, Kota Tasikmalaya, Kota Sukabumi, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Tasikmalaya (Tabel 5.3). Tabel 5.3. Nilai Total Realisasi Investasi Kabupaten dan Kota Jawa Barat NO NAMA KOTA/KABUPATEN Realisasi Investasi tahun 2007 (Miliar Rp) 1 Kabupaten Ciamis 0,00 2 Kota Banjar 0,00 3 Kabupaten Kuningan 0,00 4 Kabupaten Karawang 12,437,69 5 Kabupaten Sumedang 77,10 6 Kabupaten Purwakarta 467,99 7 Kota Cirebon 0,00 8 Kabupaten Garut 0,00 9 Kota Bandung 352,66 10 Kota Tasikmalaya 0,00 11 Kabupaten Majalengka 69,70 12 Kota Bogor 7,73 13 Kabupaten Cianjur 36,10 14 Kabupaten Bandung 333,44 15 Kabupaten Subang 138,40 16 Kota Sukabumi 0,00 17 Kabupaten Indramayu 0,00 18 Kabupaten Cirebon 495,44 19 Kabupaten Bogor 1,378,57 20 Kabupaten Tasikmalaya 0,00 21 Kabupaten Sukabumi 108,50 22 Kota Cimahi 46,30 23 Kota Bekasi 83,84 24 Kota Depok 304,84 25 Kabupaten Bekasi 7,207,00 Sumber: Badan Koordinasi Promosi dan Penanaman Modal Daerah Jawa Barat (2008) Untuk kabupaten dan kota yang menerima nilai total realisasi investasi terbesar adalah Kabupaten Karawang dengan nilai Rp ,69 miliar. Peringkat kedua sampai dengan kelima ditempati oleh Kabupaten Bekasi (Rp miliar),

94 81 Kabupaten Bogor (Rp ,57 miliar), Kabupaten Cirebon (Rp. 495,44 miliar), dan Kabupaten Purwakarta (Rp.467,99 miliar). Sedangkan peringkat lima terbawah penerima nilai total realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007 ditempati oleh Kabupaten Sumedang (Rp. 77,10 miliar), Kabupaten Majalengka (Rp. 69,70 miliar), Kota Cimahi (Rp. 46,20 miliar), Kabupaten Cianjur (Rp. 36,10 miliar), dan Kota Bogor dengan peringkat terbawah dengan nilai pendapatan investasi sebesar Rp. 7,73 miliar rupiah. Ketidakmerataan tersebut diduga karena perilaku pelaku usaha ataupun investor dalam menentukan daerah tujuan investasinya. Mereka lebih memilih daerah yang memberikan akses kemudahan dengan pasar, potensi pasar untuk menjual produk yang besar, dekat dengan sumber daya sebagai faktor input, dan infrastruktur industri yang mendukung. Sebagai contoh adalah Kabupaten Bekasi yang memiliki iklim investasi yang terburuk di Jawa Barat (Tabel 5.1), tetapi pada kenyataannya Kabupaten Bekasi mendapatkan jumlah investasi terbesar kedua setelah Kabupaten Karawang. Beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut adalah letak geografis Kabupaten Bekasi yang berdekatan dengan Provinsi DKI Jakarta merupakan hal yang sangat menguntungkan bagi pelaku usaha karena DKI Jakarta memiliki potensi pasar yang sangat besar bagi pelaku usaha untuk menjual produk mereka kepada konsumen. Selain itu, DKI Jakarta juga memiliki Pelabuhan Laut dan Udara bertaraf internasional yang berfungsi untuk memasarkan produk pelaku usaha ke berbagai daerah baik ke pasar domestik maupun ke pasar luar negeri.

95 82 Selain itu, Kabupaten Bekasi sendiri telah memiliki banyak kawasan industri terpadu, misalnya kota JABABEKA yang ada di Cikarang dan infrastruktur jalan tol yang sangat mendukung kemudahan dalam lalu lintas produk dari Kabupaten Bekasi ke daerah lainnya dengan waktu yang lebih cepat dan biaya yang lebih murah. Hal tersebut merupakan alasan utama yang sering diungkapkan pelaku usaha kenapa Kabupaten Bekasi menjadi tempat para investor menanamkan investasinya. Alasan tersebut juga berlaku untuk Kabupaten Karawang yang letak geografisnya berada di sebelah Kabupaten Bekasi. Sedangkan alasan pelaku usaha untuk memilih Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Purwakarta sebagai tempat investasinya lebih disebabkan oleh faktor sumberdaya alam yang merupkan faktor input proses produksinya, potensi pasar yang cukup besar dan ketersediaan infrastruktur jalan tol. Sedangkan untuk kawasan industri di daerah tersebut masih baru berkembang dan belum menjadi daya tarik utama investor. Untuk sembilan kabupaten dan kota yang tidak mendapatkan realisasi investasi tahun 2007 diduga karena tidak tercatatnya pelaku usaha kecil yang menanamkan modalnya di daerah tersebut. Menurut survei TKED, Jawa Barat banyak memiliki usaha kecil dan menengah yang tidak memiliki Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Hubungan antara TDP dengan investasi cukup erat dalam menggambarkan jumlah investasi daerah karena pelaku usaha secara resmi terdaftar oleh Pemda dan dapat diketahui perkembangan investasi perusahaan tersebut. Hal lain yang mungkin terjadi saat survei TKED ini dilakukan yang menjadi responden adalah perusahaan yang telah memiliki umur perusahaan lebih

96 83 dari 1 tahun dan hanya menanamkan investasi sebelum tahun Maka dari hal tersebut diduga keterkaitan antara iklim investasi dan realisasi di sembilan kabupaten tersebut sangat rendah, walaupun peringkat sembilan kabupaten dan kota tersebut pada survei TKED cukup tinggi Hubungan Keterkaitan Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha dan Realisasi Investasi Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda yang diestimasi dengan metode OLS untuk menganalisis indikator-indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha yang signifikan dalam mempengaruhi realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Ada Sembilan indikator yang dianalisis, yaitu Akses Terhadap Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha (ALUKU), Perizinan Usaha (PU), Interaksi Antara Pemda dan Pelaku Usaha (IPPU), Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS), Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah (KIPD), Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Biaya Transaksi Lain (BT), Kebijakan Infrastruktur Daerah (KID), Keamanan dan Penyelesaian Konflik (KPS), dan Kualitas Peraturan Daerah (KPD). Berdasarkan hasil estimasi dengan metode OLS, maka dapat disusun persamaan regresi berganda realisasi investasi Provinsi Jawa Barat sebagai berikut: L_INV = - 52,5-0,65 L_ALUKU + 2,83 L_PU - 19,3 L_IPPU - 4,67 L_PPUS + 11,4 L_KIPD - 8,38 L_BT + 10,5 L_KID + 5,83 L_KPS + 13,9 L_KPD + ε (5.1)

97 84 Ada lima indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha yang berpengaruh signifikan pada taraf nyata (α) 10 persen terhadap realisasi investasi Jawa barat, yaitu indikator Interaksi Antara Pemda dan Pelaku Usaha (IPPU), Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS), Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah (KIPD), Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Biaya Transaksi Lain (BT), dan Kualitas Peraturan Daerah (KPD). Hal ini ditunjukkan dengan nilai probability kelima indikator tersebut lebih kecil dari taraf nyata (α) 10 persen. Selain itu, dapat disimpulkan pula bahwa keragaman model persamaan investasi dapat dijelaskan sebesar 64,2 persen oleh keragaman indikator-indikatornya, sedangkan sisanya sebesar 35,8 persen dijelaskan oleh indikator-indikator lain di luar model (Tabel 5.4). Tabel 5.4. Hasil Estimasi dengan Metode OLS Dependent Variable: L_INV Variabel Coefficient Std. Error t-statistic Probability VIF Constant -52,48 47,24-1,11 0,284 L_ALUKU -0,654 3,981-0,16 0,872 1,3 L_PU 2,834 7,006 0,40 0,692 2,2 L_IPPU -19,306 5,521-3,50 0,003 2,5 L_PPUS -4,674 1,813-2,58 0,021 1,2 L_KIPD 11,400 3,996 2,58 0,012 1,8 L_BT -8,376 4,680-1,79 0,094 1,8 L_KID 10,50 10,31 1,02 0,324 1,8 L_KPS 5,833 4,053 1,44 0,171 2,0 L_KPD 13,861 5,636 2,46 0,027 1,9 R-squared 64,2 % F-statistic 2,99 Adjusted R-squared 42,8 % Prob (F-statistic) 0,029 Durbin Watson 1,58961 Sumber: Lampiran 2 Berdasarkan model tersebut, maka perlu dilakukan pengujian terhadap permasalahan-permasalahan yang biasa dihadapi dalam menggunakan metode OLS. Berdasarkan kriteria ekonometrika, suatu model yang baik harus terbebas

98 85 dari masalah autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas. Selain itu, penelitian ini juga melakukan uji normalitas karena jumlah data yang digunakan kurang dari 30. a. Uji normalitas Model ini memiliki galat yang menyebar normal. Hal ini dapat dilihat dari p-value yang lebih besar dari taraf nyata (α) 10 persen dan sebaran galat mendekati garis distribusi normal (Lampiran 3). b. Uji autokorelasi Model ini terbebas dari masalah autokorelasi. Hal ini terlihat dari hasil uji Durbin Watson sebesar 1,58961 yang berada dalam nilai uji Durbin Watson 1,54-2,46, maka model persamaan yang digunakan tidak mengalami masalah autokorelasi (Tabel 5.4). c. Uji heteroskedastisitas Model ini terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Hal ini dapat terlihat dari hasil uji glejser (Lampiran 4) pada setiap indikator yang memiliki nilai p- value lebih besar dari taraf nyata (α) 10 persen. d. Uji multikolinearitas Gejala multikolinearitas dapat dilihat dengan menggunakan nilai VIF pada Tabel 5.4. Dalam tabel tersebut terlihat bahwa tidak ada nilai VIF dari tiap indikator yang lebih besar dari lima. Hal ini berarti bahwa model penelitian ini terbebas dari masalah multikolinearitas. Indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha berpengaruh signifikan terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa barat dengan nilai koefisien sebesar

99 86-19,306. Hal ini berarti bahwa peningkatan interaksi Pemda dan pelaku usaha sebesar 1 persen akan menurunkan realisasi investasi Provinsi Jawa Barat pada sebesar 19,306 persen, ceteris paribus. Hasil estimasi tersebut berbanding terbalik dengan hipotesis yang menyebutkan bahwa indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha berpengaruh positif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Hal ini terjadi karena banyak perusahaan di Provinsi Jawa Barat yang tidak mengetahui adanya forum interaksi antara Pemda dan pelaku usaha sehingga Pemda tidak mampu memecahkan masalah dunia usaha yang dihadapi oleh pelaku usaha. Forum interaksi adalah suatu mekanisme formal yang digunakan oleh Pemda untuk memastikan bahwa mereka secara teratur menjalin konsultasi dengan sektor swasta mengenai kebijakan-kebijakan Pemda. Hanya seperempat dari total pengusaha kecil yang mengetahui keberadaan forum interaksi tersebut, sementara hampir separuh dari seluruh perusahaan besar yang menyatakan bahwa forum interaksi tersebut ada. Selain itu, pelaku usaha merasa pesimis dengan interaksi tersebut yang disebabkan cukup banyaknya kebijakan Pemda yang diskriminatif dan merugikan mereka (KPPOD, 2008). Hal tersebut diduga sebagai salah satu indikator yang menyebabkan menurunnya daya tarik investasi dan menurunnya nilai realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Indikator program pengembangan usaha swasta berpengaruh signifikan terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat dengan nilai koefisien sebesar -4,674. Hal ini berarti bahwa peningkatan program pengembangan usaha swasta sebesar 1 persen akan menurunkan realisasi investasi Provinsi Jawa Barat pada sebesar 4,674 persen, ceteris paribus. Hasil estimasi tersebut berbanding terbalik

100 87 dengan hipotesis pada tinjauan pustaka yang menyebutkan bahwa indikator program pengembangan usaha swasta berpengaruh positif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Hal tersebut terjadi karena hanya 14 persen pelaku usaha di Jawa Barat yang menyadari adanya keberadaan program pengembangan usaha swasta di daerahnya. Keberadaan program tersebut lebih banyak dinikmati oleh perusahaan besar daripada perusahaan kecil. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.5. yang menyatakan bahwa pelatihan manajemen bisnis hanya diikuti 8 persen dari perusahaan kecil dan didominasi oleh perusahaan dengan nilai 18 persen. Dominasi perusahaan besar terus berlanjut pada program lainnya seperti pelatihan tenaga kerja, pelatihan promosi produk lokal, menghubungkan antara UKM dan perusahaan besar, dan proses mempertemukan bisnis. Hanya pelatihan pengajuan Kredit UKM saja yang didominasi oleh perusahaan kecil. Rendahnya pelaku usaha kecil yang berpartisipasi dalam program tersebut karena kurangnya informasi, kualitas program yang disediakan, dan adanya syarat untuk mengikuti program tersebut. Tabel 5.5. Tingkat Partisipasi Program Pengembangan Usaha Swasta Sumber: KPPOD (2008) Dengan adanya ketimpangan tersebut, pelaku usaha kecil kurang mendapatkan manfaat dari adanya program pengembangan usaha swasta tersebut. Hal tersebut diduga mengakibatkan menurunnya realisasi investasi di Jawa Barat

KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H

KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H14051312 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 39 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross section dari data sembilan indikator

Lebih terperinci

ANALISIS PERBANDINGAN IKLIM INVESTASI: INDONESIA VERSUS BEBERAPA NEGARA LAIN OLEH: SUSI SANTI SIMAMORA H

ANALISIS PERBANDINGAN IKLIM INVESTASI: INDONESIA VERSUS BEBERAPA NEGARA LAIN OLEH: SUSI SANTI SIMAMORA H ANALISIS PERBANDINGAN IKLIM INVESTASI: INDONESIA VERSUS BEBERAPA NEGARA LAIN OLEH: SUSI SANTI SIMAMORA H14102059 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Modal, Dinas Penanaman Modal Kota Cimahi, Pemerintah Kota Cimahi, BPS Pusat

III. METODOLOGI PENELITIAN. Modal, Dinas Penanaman Modal Kota Cimahi, Pemerintah Kota Cimahi, BPS Pusat III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data tenaga kerja, PDRB riil, inflasi, dan investasi secara berkala yang ada di kota Cimahi.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder (time series) yang diperoleh dari beberapa lembaga dan instansi pemerintah,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. pariwisata menggunakan data time series dari tahun 2001 sampai dengan perpustakaan IPB, media massa, dan internet.

III. METODE PENELITIAN. pariwisata menggunakan data time series dari tahun 2001 sampai dengan perpustakaan IPB, media massa, dan internet. III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Data yang digunakan untuk analisis dayasaing merupakan data sekunder dari tahun 2006

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder tingkat kabupaten/kota tahun 2010, yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. series dan (2) cross section. Data time series yang digunakan adalah data tahunan

III. METODE PENELITIAN. series dan (2) cross section. Data time series yang digunakan adalah data tahunan 29 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder berupa data panel, yaitu data yang terdiri dari dua bagian : (1)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Babakan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Pemilihan tersebut dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut merupakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. wilayah Kecamatan Karawang Timur dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan

METODE PENELITIAN. wilayah Kecamatan Karawang Timur dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan di Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan atas wilayah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. (time series data). Dalam penelitiaan ini digunakan data perkembangan pertumbuhan ekonomi,

BAB III METODE PENELITIAN. (time series data). Dalam penelitiaan ini digunakan data perkembangan pertumbuhan ekonomi, BAB III 3.1. Jenis dan Sumber Data METODE PENELITIAN 3.1.1. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yang digunakan adalah data yang dicatat secara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, time series triwulan dari

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, time series triwulan dari 34 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, time series triwulan dari tahun 2005-2012, yang diperoleh dari data yang dipublikasikan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. deposito berjangka terhadap suku bunga LIBOR, suku bunga SBI, dan inflasi

METODE PENELITIAN. deposito berjangka terhadap suku bunga LIBOR, suku bunga SBI, dan inflasi III. METODE PENELITIAN Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat suku bunga deposito berjangka terhadap suku bunga LIBOR, suku bunga SBI, dan inflasi pada bank umum di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. data PDRB, investasi (PMDN dan PMA) dan ekspor provinsi Jawa Timur.

BAB III METODE PENELITIAN. data PDRB, investasi (PMDN dan PMA) dan ekspor provinsi Jawa Timur. BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian diambil di provinsi Jawa Timur dengan menggunakan data PDRB, investasi (PMDN dan PMA) dan ekspor provinsi Jawa Timur. B. Jenis dan Sumber

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan Data sekunder

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan Data sekunder 47 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan 2003-2012. Data sekunder tersebut bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung Dalam Angka, Badan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu berkaitan dengan data yang waktu dikumpulkannya bukan (tidak harus) untuk memenuhi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Berdasarkan sifat penelitiannya, penelitian ini merupakan sebuah penelitian

METODE PENELITIAN. Berdasarkan sifat penelitiannya, penelitian ini merupakan sebuah penelitian III. METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan sifat penelitiannya, penelitian ini merupakan sebuah penelitian deskriptif. Definisi dari penelitian deskriptif adalah penelitian yang menggambarkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. model struktural adalah nilai PDRB, investasi Kota Tangerang, jumlah tenaga kerja,

III. METODE PENELITIAN. model struktural adalah nilai PDRB, investasi Kota Tangerang, jumlah tenaga kerja, III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk time series dari tahun 1995 sampai tahun 2009. Data yang digunakan dalam model

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Data merupakan bentuk jamak dari datum. Data merupakan sekumpulan

BAB II LANDASAN TEORI. Data merupakan bentuk jamak dari datum. Data merupakan sekumpulan BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Data Data merupakan bentuk jamak dari datum. Data merupakan sekumpulan datum yang berisi fakta-fakta serta gambaran suatu fenomena yang dikumpulkan, dirangkum, dianalisis, dan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INVESTASI DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH ADHITYA KUSUMANINGRUM H

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INVESTASI DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH ADHITYA KUSUMANINGRUM H ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INVESTASI DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH ADHITYA KUSUMANINGRUM H14103094 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN

Lebih terperinci

Daerah Jawa Barat, serta instansi-instansi lain yang terkait.

Daerah Jawa Barat, serta instansi-instansi lain yang terkait. IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data sekunder untuk keperluan penelitian ini dilaksanakan pada awal bulan juli hingga bulan agustus 2011 selama dua bulan. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Obyek dari penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah besarnya

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Obyek dari penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah besarnya BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Obyek Penelitian Obyek dari penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah besarnya yield to maturity (YTM) dari obligasi negara seri fixed rate tenor 10 tahun

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data time series tahunan Data

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data time series tahunan Data 40 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data time series tahunan 2002-2012. Data sekunder tersebut bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung. Adapun data

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia. Kegiatan penelitian ini

METODE PENELITIAN. Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia. Kegiatan penelitian ini IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan studi kasus Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia. Kegiatan penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. tercatat secara sistematis dalam bentuk data runtut waktu (time series data). Data

BAB III METODE PENELITIAN. tercatat secara sistematis dalam bentuk data runtut waktu (time series data). Data 24 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data 3.1.1 Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder atau kuatitatif. Data kuantitatif ialah data yang diukur dalam

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif dengan

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif dengan 40 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif dengan rentang waktu dari tahun 2001 2012. Tipe data yang digunakan adalah data runtut

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 1. Apakah investasi mempengaruhi kesempatan kerja pada sektor Industri alat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 1. Apakah investasi mempengaruhi kesempatan kerja pada sektor Industri alat 43 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah-masalah yang telah peneliti rumuskan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Apakah investasi mempengaruhi kesempatan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik (BPS) Kota Bandar Lampung yang berupa cetakan atau publikasi

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik (BPS) Kota Bandar Lampung yang berupa cetakan atau publikasi III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari publikasi dinas atau instansi pemerintah, diantaranya adalah publikasi dari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau, BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau, yang bertempat di Kota Pekanbaru Provinsi Riau. Dan waktu penelitian

Lebih terperinci

3. METODE. Kerangka Pemikiran

3. METODE. Kerangka Pemikiran 25 3. METODE 3.1. Kerangka Pemikiran Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu serta mengacu kepada latar belakang penelitian, rumusan masalah, dan tujuan penelitian maka dapat dibuat suatu bentuk kerangka

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Daerah) di seluruh wilayah Kabupaten/Kota Eks-Karesidenan Pekalongan

BAB III METODE PENELITIAN. Daerah) di seluruh wilayah Kabupaten/Kota Eks-Karesidenan Pekalongan BAB III METODE PENELITIAN A. Obejek Penelitian Obyek kajian pada penelitian ini adalah realisasi PAD (Pendapatan Asli Daerah) di seluruh wilayah Kabupaten/Kota Eks-Karesidenan Pekalongan yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. dilakukan secara sengaja (purposive) melihat bahwa propinsi Jawa Barat

BAB IV METODE PENELITIAN. dilakukan secara sengaja (purposive) melihat bahwa propinsi Jawa Barat 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dalam lingkup wilayah Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) melihat bahwa propinsi Jawa Barat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data. merupakan data sekunder yang bersumber dari data yang dipublikasi oleh

BAB III METODE PENELITIAN Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data. merupakan data sekunder yang bersumber dari data yang dipublikasi oleh BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data panel dan merupakan data sekunder yang bersumber dari data yang dipublikasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Objek dari penelitian ini adalah perilaku prosiklikalitas perbankan di

BAB III METODE PENELITIAN. Objek dari penelitian ini adalah perilaku prosiklikalitas perbankan di BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian Objek dari penelitian ini adalah perilaku prosiklikalitas perbankan di Indonesia pada tahun 2007M01 2016M09. Pemilihan pada periode tahun yang digunakan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai. tujuan bangsa dan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai. tujuan bangsa dan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan bangsa dan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunanan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Dalam penelitian Analisis Pengaruh Nilai Tukar, Produk Domestik Bruto, Inflasi,

III. METODE PENELITIAN. Dalam penelitian Analisis Pengaruh Nilai Tukar, Produk Domestik Bruto, Inflasi, 391 III. METODE PENELITIAN Dalam penelitian Analisis Pengaruh Nilai Tukar, Produk Domestik Bruto, Inflasi, dan Suku Bunga Luar Negeri Terhadap Nilai Impor Non Migas di Indonesia (Periode 2001:I 2012:IV)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. runtut waktu (time series) atau disebut juga data tahunan. Dan juga data sekunder

III. METODE PENELITIAN. runtut waktu (time series) atau disebut juga data tahunan. Dan juga data sekunder 42 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang mempunyai sifat runtut waktu (time series) atau disebut juga data tahunan. Dan juga data

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari III. METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji hipotesis penelitian.

Lebih terperinci

Msi = x 100% METODE PENELITIAN

Msi = x 100% METODE PENELITIAN 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS), Perpustakaan IPB,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Upah

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Upah 63 III. METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Belanja Barang dan Jasa (BBJ) terhadap pembangunan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan Data sekunder

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan Data sekunder III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan 2001-2012.Data sekunder tersebut bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung Dalam Angka, dan Dinas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional. Untuk memperjelas dan memudahkan pemahaman terhadap variabelvariabel

METODE PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional. Untuk memperjelas dan memudahkan pemahaman terhadap variabelvariabel III METODE PENELITIAN A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Untuk memperjelas dan memudahkan pemahaman terhadap variabelvariabel yang akan dianalisis dalam penelitian ini, maka perlu dirumuskan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif, jenis data yang

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif, jenis data yang 52 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif, jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data tahunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan kajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan kajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi 41 BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan kajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan terhadap ekonomi Indonesia dalam waktu 1996-2013, oleh karena

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi/Objek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Timur. Pemilihan Provinsi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi/Objek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Timur. Pemilihan Provinsi BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi/Objek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Timur. Pemilihan Provinsi Jawa Timur ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Jawa Timur merupakan provinsi

Lebih terperinci

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 73 BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah menganalisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi pendapatan Indonesia yang terjadi

Lebih terperinci

Bab IV. Metode dan Model Penelitian

Bab IV. Metode dan Model Penelitian Bab IV Metode dan Model Penelitian 4.1 Spesifikasi Model Sesuai dengan tinjauan literatur, hal yang akan diteliti adalah pengaruh real exchange rate, pertumbuhan ekonomi domestik, pertumbuhan ekonomi Jepang,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis Pengaruh Pajak Daerah,

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis Pengaruh Pajak Daerah, 36 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis Pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Pendapatan BUMD Dan Pendapatan Lain Daerah Terhadap Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam usahanya untuk mensejahterakan dan memakmurkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam usahanya untuk mensejahterakan dan memakmurkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam usahanya untuk mensejahterakan dan memakmurkan masyarakatnya, suatu negara akan melakukan pembangunan ekonomi dalam berbagai bidang baik pembangunan nasional

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Setiabudi 8

METODE PENELITIAN. Setiabudi 8 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai sikap konsumen terhadap daging sapi lokal dan impor ini dilakukan di DKI Jakarta, tepatnya di Kecamatan Setiabudi, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Data pada penelitian ini dimasukkan dalam

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Data pada penelitian ini dimasukkan dalam V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Estimasi Variabel Dependen PDRB Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan metode pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Data pada penelitian ini dimasukkan

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

III METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terbentuk dalam runtun waktu (time series) dan jurnal-jurnal ilmiah tentang upah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan 49 III. METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, inflasi dan kualitas sumber daya manusia terhadap tingkat pengangguran

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian di lakukan di Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan data tahun 2005 sampai dengan data tahun 2009. Pemilihan dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder mulai dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010. Data tersebut didapat dari beberapa

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3. 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif deskriptif. Pendekatan kuantitatif menitikberatkan pada pembuktian hipotesis.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. di peroleh dari Website Bank Muamlat dalam bentuk Time series tahun 2009

BAB III METODE PENELITIAN. di peroleh dari Website Bank Muamlat dalam bentuk Time series tahun 2009 17 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang di peroleh dari Website Bank Muamlat dalam bentuk Time series tahun 2009

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, penulis akan melaksanakan langkah-langkah sebagai

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, penulis akan melaksanakan langkah-langkah sebagai BAB III METODE PENELITIAN A. Langkah Penelitian Dalam penelitian ini, penulis akan melaksanakan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Merumuskan spesifikasi model Langkah ini meliputi: a. Penentuan variabel,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. transaksi berjalan di Indonesia periode adalah anggaran pemerintah,

BAB III METODE PENELITIAN. transaksi berjalan di Indonesia periode adalah anggaran pemerintah, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara kebijakan fiskal dan transaksi berjalan tergantung pada rasio utang luar negeri terhadap PDB

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Berdasarkan sifat penelitiannya, penelitian ini merupakan sebuah penelitian

III. METODE PENELITIAN. Berdasarkan sifat penelitiannya, penelitian ini merupakan sebuah penelitian III. METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan sifat penelitiannya, penelitian ini merupakan sebuah penelitian deskriptif. Definisi dari penelitian deskriptif adalah penelitian yang menggambarkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Analisis Pengaruh Tingkat

III. METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Analisis Pengaruh Tingkat III. METODE PENELITIAN Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Analisis Pengaruh Tingkat Suku Bunga Deposito (3 Bulan) Dan Kredit Macet (NPL) Terhadap Loan To Deposit Ratio (LDR) Bank Umum Di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Volume Perdagangan Saham. Dengan populasi Indeks Harga Saham

BAB III METODE PENELITIAN. Volume Perdagangan Saham. Dengan populasi Indeks Harga Saham 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian Objek penelitian ini difokuskan pada faktor-faktor yang diduga dapat mempengaruhi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan, dan faktorfaktor tersebut adalah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. tingkat harga umum, pendapatan riil, suku bunga, dan giro wajib minimum. Data

III. METODE PENELITIAN. tingkat harga umum, pendapatan riil, suku bunga, dan giro wajib minimum. Data 47 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang terdiri dari satu variabel terikat yaitu Ekses Likuiditas dan empat variabel

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. berbentuk time series selama periode waktu di Sumatera Barat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. berbentuk time series selama periode waktu di Sumatera Barat BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Sumber Data Metode penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder yang berbentuk time series selama periode waktu 2005-2015 di Sumatera Barat yang diperoleh dari

Lebih terperinci

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian yang dianalisis adalah faktor-faktor yang mempengaruhi

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian yang dianalisis adalah faktor-faktor yang mempengaruhi 48 BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1. Objek Penelitian Objek penelitian yang dianalisis adalah faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor komoditi karet di Indonesia periode 1990-2006. Adapun variabelnya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. bentuk runtut waktu (time series) yang bersifat kuantitatif yaitu data dalam

III. METODE PENELITIAN. bentuk runtut waktu (time series) yang bersifat kuantitatif yaitu data dalam 48 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk runtut waktu (time series) yang bersifat kuantitatif yaitu data dalam

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan kajian mengenai Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan kajian mengenai Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi III. METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan kajian mengenai Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produk Domestik Bruto Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia Tahun

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 44 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Integrasi Pasar (keterpaduan pasar) Komoditi Kakao di Pasar Spot Makassar dan Bursa Berjangka NYBOT Analisis integrasi pasar digunakan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Dalam buku Sugiono, menurut tingkat explanasinya atau tingkat penjelas yaitu dimana penelitian yang menjelaskan kedudukan variabelvariabel yang diteliti serta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis pengaruh antara upah

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis pengaruh antara upah 40 BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis pengaruh antara upah minimum, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan pengangguran terhadap tingkat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik yaitu metode penelitian yang menekankan kepada usaha untuk memperoleh informasi mengenai

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Sampel, Sumber Data dan Pengumpulan Data Penelitian kali ini akan mempergunakan pendekatan teori dan penelitian secara empiris. Teori-teori yang dipergunakan diperoleh

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Produk murabahah merupakan produk yang mendominasi dalam pembiayaan perbankan syariah. Praktik murabahah mempunyai potensi yang mudah untuk disalahgunakan.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Yang menjadi objek dari penelitian ini adalah investasi swasta di

BAB III METODE PENELITIAN. Yang menjadi objek dari penelitian ini adalah investasi swasta di BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Yang menjadi objek dari penelitian ini adalah investasi swasta di Indonesia periode tahun 1988 2007. Sehingga data yang digunakan merupakan data time series

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Modal Kerja, Inflasi, dan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Lampung. Deskripsi

III. METODE PENELITIAN. Modal Kerja, Inflasi, dan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Lampung. Deskripsi III. METODE PENELITIAN Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Suku Bunga Kredit Modal Kerja, Inflasi, dan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Lampung. Deskripsi tentang satuan pengukuran,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. tingkat migrasi risen tinggi, sementara tingkat migrasi keluarnya rendah (Tabel

METODE PENELITIAN. tingkat migrasi risen tinggi, sementara tingkat migrasi keluarnya rendah (Tabel 30 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini dilakukan dengan ruang lingkup nasional, yang dilihat adalah migrasi antar provinsi di Indonesia dengan daerah tujuan DKI Jakarta, sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi yang terjadi di Indonesia telah menyebabkan perekonomian baik yang

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi yang terjadi di Indonesia telah menyebabkan perekonomian baik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Krisis finansial yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 memberi dampak yang kurang menguntungkan bagi perekonomian Indonesia. Salah satu dampak

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berupa data panel terdiri dari dua bagian yaitu : (1) time series dan (2) cross

III. METODE PENELITIAN. berupa data panel terdiri dari dua bagian yaitu : (1) time series dan (2) cross 36 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data panel terdiri dari dua bagian yaitu : (1) time series dan (2) cross

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan Data sekunder

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan Data sekunder III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan 2000-2011. Data sekunder tersebut bersumber dari Lampung dalam Angka (BPS), Badan Penanaman Modal Daerah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data time

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data time 44 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data time series periode 2001-2012 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 90 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek dan Subjek Penelitian 3.1.1. Objek Penelitian Objek penelitian ini memuat tentang tingkat pengangguran terbuka yang terjadi di Indonesia selama. Adapun yang menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Pencarian data dilakukan melalui riset perpustakaan (library research)

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Pencarian data dilakukan melalui riset perpustakaan (library research) BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1. Metode Pengumpulan Data Pencarian data dilakukan melalui riset perpustakaan (library research) dilakukan dengan mempelajari berupa catatan yaitu melakukan pencatatan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Metode yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang memengaruhi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Metode yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang memengaruhi BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Estimasi Parameter Model Metode yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang memengaruhi Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur adalah dengan menggunakan metode

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 51 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Disain Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan hipotesis penelitian, maka desain penelitian yang digunakan adalah kombinasi antara deskriptif dan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tanjungpinang Timur,

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tanjungpinang Timur, IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tanjungpinang Timur, Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive)

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Agriculture, Manufacture Dan Service di Indonesia Tahun Tipe

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Agriculture, Manufacture Dan Service di Indonesia Tahun Tipe BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan analisis mengenai Pengaruh Produk Domestik Bruto (PDB), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Dan Penanaman Modal Asing

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam bab ini adalah dengan menggunakan

METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam bab ini adalah dengan menggunakan III. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam bab ini adalah dengan menggunakan data sekunder. Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder sehingga metode pengumpulan data

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini data yang digunakan merupakan data sekunder tahunan

III. METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini data yang digunakan merupakan data sekunder tahunan III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini data yang digunakan merupakan data sekunder tahunan 2001-2013. Data sekunder yang digunakan karena penelitan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pengumpulan Data 3.1.1 Populasi dan Pemilihan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah tingkat pengembalian indeks saham sektoral yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Utara. Series data yang digunakan dari tahun

BAB III METODE PENELITIAN. Utara. Series data yang digunakan dari tahun BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan BPS Provinsi Maluku Utara.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Objek Penelitian Objek penelitian merupakan sumber diperolehnya data dari penelitian yang dilakukan. Objek dalam penelitian ini yaitu nilai tukar rupiah atas dollar Amerika

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengambil objek di seluruh provinsi di Indonesia, yang berjumlah 33 provinsi

BAB III METODE PENELITIAN. mengambil objek di seluruh provinsi di Indonesia, yang berjumlah 33 provinsi BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis mengambil objek di seluruh provinsi di Indonesia, yang berjumlah 33 provinsi di 5 pulau

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. data panel, yaitu model data yang menggabungkan data time series dengan crosssection.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. data panel, yaitu model data yang menggabungkan data time series dengan crosssection. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan model data panel, yaitu model data yang menggabungkan data time series dengan crosssection.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Yang menjadi objek dari penelitian ini adalah ekspor industri tekstil dan

BAB III METODE PENELITIAN. Yang menjadi objek dari penelitian ini adalah ekspor industri tekstil dan 52 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Yang menjadi objek dari penelitian ini adalah ekspor industri tekstil dan produk tekstil. Fokus yang akan diteliti adalah faktor-faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hubungan Antara Penerimaan DAU dengan Pertumbuhan PDRB Dalam melihat hubungan antara PDRB dengan peubah-peubah yang mempengaruhinya (C, I, DAU, DBH, PAD, Suku Bunga dan NX)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dibutuhkan peran pemerintah, tingkat

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dibutuhkan peran pemerintah, tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Termasuk dalam tujuan pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data).

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 31 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 3.2 Metode Analisis Data 3.2.1 Analisis Weighted

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Prima Artha, Sleman. Sedangkan subjek penelitiannya adalah Data

BAB III METODE PENELITIAN. Prima Artha, Sleman. Sedangkan subjek penelitiannya adalah Data BAB III METODE PENELITIAN A. Objek dan Subjek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah Koperasi Jasa Keuangan Syariah Prima Artha, Sleman. Sedangkan subjek penelitiannya adalah Data Tingkat Bagi Hasil

Lebih terperinci

Gatak Gatak Gatak Kartasura Kartasura Baki

Gatak Gatak Gatak Kartasura Kartasura Baki III. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif analitis. Metode deskriptif analitis yaitu metode yang mempunyai ciri memusatkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder berupa data

III. METODOLOGI PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder berupa data III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder berupa data tahunan dari periode 2003 2012 yang diperoleh dari publikasi data dari Biro

Lebih terperinci