V. GAMBARAN UMUM, KONDISI FISKAL, KEMISKINAN, DAN KETAHANAN PANGAN DI JAWA BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. GAMBARAN UMUM, KONDISI FISKAL, KEMISKINAN, DAN KETAHANAN PANGAN DI JAWA BARAT"

Transkripsi

1 V. GAMBARAN UMUM, KONDISI FISKAL, KEMISKINAN, DAN KETAHANAN PANGAN DI JAWA BARAT 5.1. Kondisi Wilayah Provinsi Jawa Barat Jawa Barat merupakan provinsi yang dibentuk pertama kali di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378) berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun Kemudian pada tahun 2000 Banten melepaskan diri dari Provinsi Jawa Barat dan resmi berdiri menjadi Provinsi Banten dengan Undang-Undang No. 23 tahun Pada tahun 2001 Jawa Barat terdiri dari 16 daerah kabupaten yaitu : Bogor, Bandung, Bekasi, Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Bekasi dan Karawang, dan terdiri 9 daerah kota yaitu : Bogor, Bandung, Sukabumi, Cirebon, Depok, Bekasi, Tasikmalaya, Cimahi dan Banjar. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2001 tentang Rencana Strategis Provinsi Jawa Barat, Visi Provinsi Jawa Barat adalah Jawa Barat dengan Iman dan Taqwa sebagai Provinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibu Kota Negara Tahun Dengan visi pembangunan pangan Terciptanya sistem ketahanan pangan yang andal dan bertumpu pada optimalisasi pemanfaatan potensi produksi dan keragaman pangan nasional. Untuk mencapai visi tersebut dalam pengelolaan pemerintahan perlu memiliki tekat yang kuat untuk mewujudkannya, sehingga ditetapkan visi Akselerasi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Guna Mendukung Pencapaian Visi Jawa Barat Dalam rangka mewujudkan visi akselerasi tersebut ditetapkan lima misi pemerintah Provinsi Jawa Barat yaitu : (1) meningkatkan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia Jawa Barat, (2)

2 108 mengembangkan struktur perekonomian regional yang tangguh, (3) memantapkan kinerja pemerintahan daerah, (4) meningkatkan implementasi pembangunan berkelanjutan, dan (5) meningkatkan kualitas kehidupan sosial yang berdasarkan agama dan budaya daerah. Berbagai upaya akan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk menuju pencapaian target indikator makro pembangunan, upaya tersebut antara lain melalui pengembangan enam core busines Jawa Barat yaitu : (1) pengembangan sumber daya manusia, (2) agribisnis, (3) bisnis kelautan, (4) pariwisata, (5) industri manufaktur, dan (6) jasa yang didukung oleh penataan ruang yang mantap dan tersedianya infrastruktur yang memadai. Keberhasilan dalam mendorong core businis ini, pada gilirannya diharapkan dapat menjadi pendorong dalam proses pembangunan dalam rangka akselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat tahun Untuk mewujudkan sinergitas dan akselerasi pencapaian prioritas pembangunan, telah dirumuskan tujuan bersama (common goal) yang menjadi komitmen semua pihak serta pelibatan secara aktif lintas SKPD dan para pelaku pembangunan dalam pelaksanaannya. Berdasarkan hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan Provinsi Jawa Barat ditetapkan delapan tujuan bersama (common goal ) sebagai berikut : (1) peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia, (2) ketahanan pangan, (3) peningkatan daya beli masyarakat, (4) peningkatan kinerja aparatur, (5) penanganan pengelolaan bencana, (6) pengendalian dan pemulihan kualitas lingkungan, (7) pengelolaan, pengembangan dan pengendalian infrastruktur, dan (8) kemandirian energi dan kecukupan air baku. Untuk mewujudkan tujuan bersama tersebut dilaksanakan

3 109 prioritas pembangunan daerah beserta fokus-fokus yang harus dilaksanakan pada masing- masing prioritas. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak diantara 5 o o 50 LS dan 104 o º 48 BT. Luas wilayah Jawa Barat Km 2 atau Ha. Lahan di Jawa Barat cukup subur karena mengandung endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai, sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar digunakan sebagai lahan pertanian dan Jawa Barat ditetapkan sebagai lumbung pangan nasional. (BPS, 2005). Tabel 4 menunjukkan struktur penggunaan lahan di Jawa Barat. Tabel 4. Struktur Penggunaan Lahan di Jawa Barat Tahun 2005 Penggunaan Lahan Luas ( Ha ) Persentase ( % ) Hutan Primer Hutan Sekunder Kawasan Industri Kawasan Pertambangan Kebun Campuran Tegalan Padang Ilalang Perkebunan Pemukiman Sawah Semak Sungai, waduk dll Tambak Tanah Kosong Jumlah Sumber : Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2005.

4 110 Dengan kondisi topografis pegunungan pada bagian selatan dan pedataran pada bagian utara, sekitar 20.2 persen luas wilayahnya terdiri dari sawah, sekitar 40 persen perkebunan dan kebun campuran, 15 persen hutan, 4.81 persen pemukiman dan penggunaan lahan lainnya. Hal ini akan mempengaruhi pembentukan dan aksesibilitas berbagai sarana prasarana di Jawa Barat. Pada daerah-daerah selatan yang bergunung, aksesibilitas relatif memiliki kendala alam lebih besar daripada daerah utara yang berupa dataran dan sebagian besar wilayahnya berupa lahan persawahan beririgasi teknis. Sumber air untuk pengairan di Jawa Barat terdiri dari sungai, situ, waduk yang jumlahnya cukup banyak untuk mengairi lahan persawahan di Jawa Barat. Potensi sumber daya air yang cukup baik di Jawa Barat menjadi faktor pendukung yang penting dalam mewujudkan Provinsi Jawa Barat sebagai lumbung pangan terbesar di Indonesia. Data sumber air dan areal beririgasi di Jawa Barat selengkapnya tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Potensi Sumber Daya Air di Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 Uraian Kuantitas Satuan (Persen) Sungai Buah Sungai Lintas Buah Sungai Lintas Provinsi 4 Buah 0.13 Sungai Lintas Kabupaten/ Kota Buah Sungai Lokal Kabupaten Buah Situ 53 Buah Waduk 20 Buah Areal Irigasi Ha Irigasi Kewenangan Pusat Ha Irigasi Kewenangan Provinsi Ha 7.90 Irigasi Kewenangan Kabupaten/ Kota Ha 9.00 Irigasi Desa Ha Sawah Tadah Hujan Ha Sumber : PSDA Jawa Barat, 2007.

5 Kondisi Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten /Kota di Provinsi Jawa Barat Desentralisasi fiskal membawa perubahan pada struktur penerimaan pemerintah daerah baik yang berasal dari pendapatan asli daerah maupun transfer dana dari pemerintah pusat, pengelolaan sumber-sumber penerimaan dan pengeluaraan pemerintah daerah, dan juga terhadap hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Penerimaan dan pengeluaran daerah kabupaten/ kota di Jawa Barat selama implementasi desentralisasi fiskal mengalami peningkatan yang signifikan. Pada Tabel 6 ditunjukkan keragaan rata-rata per tahun penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/ kota seluruh Jawa Barat kondisi sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Penerimaan daerah setelah desentralisasi fiskal mengalami peningkatan yang cukup signifikan, jika sebelum desentralisasi penerimaan daerah secara riil di Jawa Barat ratarata per tahun sebesar milyar rupiah maka setelah desentralisasi fiskal meningkat menjadi milyar rupiah. Peningkatan penerimaan pemerintah daerah ini disebabkan peningkatan semua komponen penerimaan daerah baik dari PAD, bagi hasil maupun dana transfer dari pusat. Kebijakan desentralisasi fiskal yang memberi kewenangan daerah untuk menggali potensi pajak dengan mengeluarkan perda terhadap beberapa jenis pajak dan retribusi daerah memungkinkan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dan retribusi daerah, sehingga penerimaan daerah dari pos pajak daerah dan retribusi daerah meningkat. Namun kenaikan tersebut apabila dilihat secara proporsional dengan seluruh kenaikan penerimaan daerah, proporsi dari penerimaan pajak dan retribusi daerah justru semakin menurun hal ini karena adanya peningkatan penerimaan dari pos DAU yang relatif besar proporsinya. Sehingga PAD

6 112 walaupun secara absolut meningkat tetapi proporsinya juga menurun yaitu apabila sebelum desentralisasi fiskal kontribusinya sebesar persen terhadap penerimaan daerah menurun menjadi persen pada masa desentralisasi fiskal, pajak dan retribusi daerah turun dari 6.96 persen dan 9.76 persen menjadi 4.15 persen dan 4.17 persen. Tabel 6. Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota Rata-rata Per Tahun di Jawa Barat Tahun (Tahun Dasar 1993) Uraian Sebelum Desentralisasi Fiskal ( ) (Milyar rupiah) Sesudah Desentralisasi Fiskal ( ) Pendapatan Asli Daerah Pajak Daerah Retribusi Daerah Laba BUMD PAD Lainnya Dana Perimbangan Bagi Hasil Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil SDA DAU & DAK Pinjaman Daerah Sisa Anggaran Pendapatan Lain Total Pendapatan Daerah (18.78) ( 6.96) ( 9.76) 2.21 ( 0.38) ( 3.13) (74.15) (15.98) (13.81) ( 2.17) (58.17) 3.32 ( 0.58) (03.75) 7.48 (01.30) ( 100 ) ( 10.11) ( 4.15) ( 4.17) 6.22 ( 0. 20) ( 1.58) (80. 67) (13.06) (10.97) ( 2.09) (67.61) ( 0.44) ( 4.37) ( 4.41) ( 100 ) Pengeluaran Rutin Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian & Irigasi Sektor Pertanian Sektor Irigasi Sektor Industri Sektor Infrastruktur Sektor Pelayanan Umum Sektor Lainnya Total Pengeluaran Daerah (64.37) (35.62) ( 1.74) 7.37 ( 1.14) 4.19 ( 0.65) 1.11 ( 0.17) (16.84) ( 8.78) ( 6.05) ( 100 ) (76.87) (23.13) ( 1.66) ( 0.73) ( 0.93) 3.74 ( 0.11) ( 9.08) ( 8.02) ( 4.25) (100 ) Sumber : Statistik Keuangan Daerah Kabupaten/ Kota, berbagai tahun terbitan. Angka di dalam ( ) merupakan persentase.

7 113 Komponen bagi hasil pajak dan sumber daya alam juga meningkat secara signifikan yang disebabkan oleh peningkatan porsi bagi hasil pajak dan sumberdaya yang diberikan kepada daerah seperti pajak bumi bangunan, pengelolaan sumberdaya hutan, tambang dan perikanan sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 1999 dan UU No 33 Tahun 2004, namun secara relatif sharenya terhadap penerimaan daerah menurun dari persen sebelum desentralisasi fiskal menjadi persen setelah desentralisasi fiskal. Komponen dana transfer dari pemerintah pusat yang berupa dana Subsidi Daerah Otonom (SDO) pada masa sebelum desentralisasi fiskal dan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) setelah desentralisasi fiskal mengalami peningkatan sangat besar, bahkan merupakan komponen yang peningkatannya paling besar. Apabila sebelum desentralisasi fiskal sebesar milyar rupiah dengan share terhadap penerimaan sebesar persen maka meningkat menjadi milyar rupiah dengan share sebesar persen. Tingginya dana tranfer dari pemerintah pusat ini karena besarnya pengeluaran yang dibutuhkan untuk membiayai pembelanjaan pemerintah daerah dan kondisi ini menunjukkan tingkat ketergantungan keuangan pemerintah daerah sebagai sumber pembiayaan terhadap pemerintah pusat. Desentralisasi fiskal yang diharapkan menumbuhkan kemandirian daerah dalam menggali dan mengelola keuangannya tetapi justru menimbulkan ketergantungan terhadap pusat. Sebagai masa transisi mungkin masih bisa dibenarkan, namun dengan berjalannya waktu diharapkan pemerintah daerah akan semakin pandai dalam menggali potensi penerimaan daerah dengan melibatkan masyarakat dan pihak swasta sehingga akan semakin mandiri dan ketergantungan dengan pemerintah pusat bisa semakin dikurangi.

8 114 Desentralisasi fiskal membawa perubahan yang besar terhadap pengeluaran daerah, yaitu apabila sebelum desentralisasi fiskal pengeluaran sebesar milyar rupiah maka meningkat manjadi milyar rupiah. Komponen pengeluaran mengalami peningkatan pada semua sektor, namun yang paling besar terjadi pada komponen pengeluaran rutin yaitu apabila sebelum desentralisasi fiskal sebesar milyar rupiah dengan share sebesar persen maka meningkat menjadi milyar rupiah dengan nilai share sebesar persen. Tingginya pengeluaran rutin setelah desentralisasi fiskal karena terjadinya peningkatan yang cukup signifikan terhadap jumlah pegawai pusat yang didaerahkan pada masa awal desentralisasi juga adanya peningkatan terhadap pengeluaran sehubungan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, perencanaan dan evaluasi pembangunan di daerah. Pengeluaran pembangunan secara absolut mengalami peningkatan yaitu dari milyar rupiah sebelum desentralisasi menjadi milyar rupiah setelah desentralisasi, namun sharenya mengalami penurunan dari persen menjadi persen. Turunnya proporsi dana pembangunan dalam pengeluaran daerah membawa konsekuensi pada penurunan proporsi pengeluaran sektoral. Pengeluaran pembangunan sektor pertanian pada masa sebelum desentralisasi sebesar 1.14 persen terhadap total pengeluaran. Pada masa desentralisasi fiskal pengeluaran pembangunan sektor pertanian sebesar 0.73 persen dari total pengeluaran walaupun secara absolut meningkat dari 7.37 milyar menjadi milyar rupiah. Kapasitas fiskal adalah kemampuan daerah dalam membiayai pengeluarannya dengan sumber pembiayaan yang diperoleh dari pendapatan daerah tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Kapasitas fiskal merupakan penjumlahan dari PAD dan dana bagi hasil

9 115 dari sumber daya alam dan pajak, dan idealnya semua pengeluaran daerah mampu dibiayai oleh kapasitas fiskal daerah. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal kapasitas fiskal di Jawa Barat sebesar 0.35 artinya kemampuan keuangan daerah dari PAD dan Bagi Hasil besarnya hanya sebesar 35 persen untuk dapat membiayai pengeluaran yang dibutuhkan daerah. Sedang pada masa desentralisasi fiskal kapasitas fiskal malah menurun menjadi Kondisi ini mencerminkan terjadinya penurunan kemandirian keuangan daerah yang semakin besar pada pelaksanaan desentralisasi fiskal. DAU keberadaannya diperlukan sebagai penyeimbang bagi daerah yang kaya dengan daerah yang miskin Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Barat Kontribusi ekonomi Jawa Barat terhadap perekonomian nasional rata-rata selama tahun , adalah 13.8 persen. Kontribusi ini lebih besar bila dibandingkan dengan provinsi lainnya. Sebelum masa krisis moneter dan sebelum pembentukan Provinsi Banten, peran ekonomi Jawa Barat dalam perekonomian nasional jauh lebih besar.tingkat pertumbuhan ekonomi Jawa Barat selalu lebih tinggi daripada perekonomian nasional. Artinya Jawa Barat telah menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi nasional yang dominan. Namun pada saat terjadi krisis moneter, perekonomian Jawa Barat mengalami tingkat kemunduran yang sangat besar, yaitu lebih besar daripada penurunan perekonomian nasional. Setelah masa krisis moneter berlalu, pemulihan ekonomi Jawa Barat relatif lambat. Dari tahun pada masa implementasi desentralisasi fiskal ekonomi Jawa Barat mengalami pertumbuhan namun tingkat pertumbuhannya lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi nasional, dan

10 116 karena mengalami akselerasi relatif lebih baik sehingga pada tahun 2006 laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mulai ada di atas laju pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2006 laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mencapai 6.02 persen, sedangkan ekonomi nasional sebesar 5.40 persen dan pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 6.41 persen sedang laju pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5.25 persen Laju Pertumbuhan Ekonomi Jabar Laju Pertumbuhan Ekonomi Nasional Gambar 8. Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi Jabar dan Nasional pada Masa Desentralisasi Fiskal Tahun (%) Transformasi ekonomi nasional yang terjadi sejak tahun 80-an hingga tahun an telah membawa konsekuensi pada rendahnya pertumbuhan sektor pertanian di Jawa Barat. Pertumbuhan sektor industri, sektor-sektor utilitas dan jasa sedemikian pesat sehingga jauh meninggalkan sektor pertanian. Sampai dengan tahun 2005, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi sekitar 43.2 persen dari seluruh ekonomi Jawa Barat,

11 117 disusul sektor jasa penunjang seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 19.6 persen. Sektor pertanian hanya memberikan kontribusi sekitar 14.4 persen. Berikut tersaji Perkembangan dan Struktur PDRB di Jawa Barat. Tabel 7. Perkembangan dan Struktur PDRB Provinsi Jawa Barat Tahun Harga Konstan Tahun 2000 (dalam Trilyun Rupiah) Struktur PDRB Pertanian E Pangan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Penggalian dan Pertambangan Industri Pengolahan Industri Pengolahan Migas Industri Pengolahan Non Migas Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan / Kontruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Perhubungan dan Telekomunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB Sumber : PDRB Jawa Barat (BPS), Tingginya kontribusi sektor industri pengolahan selama ini relatif kurang memiliki kaitan kuat dengan perkembangan sektor pertanian. Dalam jangka pendek kondisi ini dapat dimaklumi untuk mempercepat peningkatan pendapatan untuk

12 118 selanjutnya membuka peluang usaha masyarakat di Jawa Barat. Namun demikian perhatian terhadap perkembangan sektor pertanian dalam jangka panjang patut mendapat perhatian serius untuk dapat dikaitkan dengan pengembangan sektor industri. Sektor pertanian di Jawa Barat didominasi oleh subsektor tanaman pangan yang berkontribusi lebih dari 70 persen dalam perolehan PDRB sektor pertanian di Jawa Barat. Pertumbuhan dan kontribusi sektor perekonomian Jawa Barat tersaji pada Tabel 8. Tabel 8. Rata-rata Pertumbuhan dan Kontribusi Sektor Ekonomi Jawa Barat Tahun ( %) Sektor Perekonomian Kontribusi Pertumbuhan 1. Pertanian Pangan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Penggalian dan Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan / Kontruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Perhubungan dan Telekomunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Barat, 2005.

13 119 Sektor industri pengolahan, sektor utilitas dan sektor jasa di Jawa Barat pada umumnya tumbuh cepat di atas rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE). Kondisi ini terkait dengan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dan struktur kota yang semakin kuat. Sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah sektor bangunan sebesar 10.81persen, sektor jasa-jasa 6.8 persen, dan sektor industri pengolahan 6.79 persen. Sektor konstruksi berkembang sebagai respon terhadap peningkatan jumlah penduduk yang membutuhkan tempat tinggal dan respon terhadap perkembangan kegiatan ekonomi. Sektor pertanian tumbuh relatif lambat (di bawah LPE), yaitu sekitar 2.38 persen per tahun, sub sektor pangan yang berkontribusi terbesar pada sektor pertanian di Jawa Barat tumbuh lebih lambat dibanding sektor pertanian. Melambatnya pertumbuhan sektor pangan salah satunya disebabkan adanya perlambatan pada laju peningkatan produksi padi (levelling off) yang merupakan komponen pangan utama di Jawa Barat. Hal ini patut mendapat perhatian dari Pemerintah Jawa Barat untuk perencanaan pembangunan ke depan, diharapkan tingginya kontribusi dan pertumbuhan dari sektor industri pengolahan di Jawa Barat mempunyai kaitan kuat dengan perkembangan sektor pertanian juga subsektor pangan hal ini sesuai dengan potensi wilayah yang dimiliki oleh Jawa Barat. Pengembangan industri di Jawa Barat diharapkan dapat memacu pengembangan sektor pertanian dan subsektor pangan melalui penggunaanya dalam bahan baku. Studi empirik Bank Dunia dalam World Development Report menyebutkan bahwa perkembangan sektor industri yang berhasil sejalan dengan keberhasilan dalam pertumbuhan yang sustainable dan perbaikan produktivitas sektor pertanian. Pengalaman historis negara-negara industri menunjukkan pertumbuhan berkelanjutan akan terjadi jika ditunjang dengan pertumbuhan sektor pertanian yang memadai.

14 120 Sub-sektor pertanian yang tumbuh besar adalah sub-sektor peternakan sebesar 5.36 persen dan sub-sektor perkebunan tumbuh sekitar 3.26 persen. Sektor pertambangan dan penggalian di Jawa Barat mengalami penurunan yang relatif tajam, yaitu rata-rata persen. Sub-sektor perikanan turun sekitar persen. Sektor pertanian walaupun kontribusi dalam perekonomian Jawa Barat hanya persen karena pertumbuhannya yang relatif lambat, namun sektor ini menampung tenaga kerja yang cukup besar. Tahun pada masa implementasi desentralisasi fiskal sektor pertanian sanggup menampung tenaga kerja sebesar ribu jiwa atau sebesar persen dari total tenaga kerja. Sementara sektor industri yang kontribusi dalam perekonomian sebesar persen hanya menampung tenaga kerja sebesar ribu jiwa atau persen dari total penyerapan tenaga kerja. Tingginya beban penyerapan tenaga kerja dengan kontribusi pada perekonomian yang semakin kecil karena semakin kecilnya laju pertumbuhan pada sektor pertanian, menyebabkan pada sektor pertanian terjadi penurunan produktitivitas per tenaga kerja atau penurunan pada kesejahteraan petani. Peningkatan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian yang tidak proporsional dengan peningkatan PDRB, selain dipengaruhi oleh proses perubahan struktural ekonomi yang tidak seimbang juga karena sektor pertanian berfungsi sebagai employment of last resort dimana sektor pertanian akan menyerap tenaga kerja seiring dengan adanya peningkatan angkatan kerja namun angkatan kerja yang masuk pada sektor pertanian adalah yang menjadikan sektor pertanian sebagai pilihan terakhir. Sehingga tenaga kerja pada sektor pertanian kualitasnya relatif lebih rendah dari sektor lain dan menghasilkan produktivitas yang relatif lebih rendah dan pada sektor pertanian ditemukan banyaknya pengangguran tidak

15 121 kentara. Hal ini menyebabkan banyaknya kemiskinan terdapat pada sektor pertanian. Menurut data BPS sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Penduduk di sektor pertanian menempati proporsi 55 persen dari total penduduk miskin dan diketahui 75 persen diantaranya pada subsektor tanaman pangan. Jumlah tenaga kerja berdasarkan sektor perekonomian tersaji pada Tabel 9 dibawah ini. Tabel 9. Jumlah Tenaga Kerja Menurut Sektor Perekonomian Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat, Tahun Sektor Perekonomian Jumlah Tenaga Kerja ( Ribu Jiwa) Persentase (%) Pertanian Industri Jasa Sektor Lainnya Total Tenaga Kerja Sumber : Statistik Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat, Tahun Kemiskinan di Wilayah Provinsi Jawa Barat Dilihat dari persebaran penduduk miskin menunjukkan bahwa sekitar juta orang atau sekitar persen terdapat di pulau Jawa, dan sebagian besar berada di daerah perdesaan. Dari fenomena ini menunjukkan bahwa Pulau Jawa menanggung beban yang sangat berat dalam memenuhi kesejahteraan penduduknya, terlebih bila dikaitkan dengan kondisi lahan pertanian di Pulau Jawa yang semakin menipis akibat pertambahan penduduk yang relatif tinggi dan meningkatnya konversi lahan pertanian untuk kepentingan perumahan dan industri. Konversi lahan pertanian terus meningkat dari sebesar hektar per tahun pada tahun , menjadi hektar per tahun pada tahun Kondisi ini telah menyebabkan meningkatnya jumlah

16 122 petani gurem yaitu petani yang menguasai lahan rata-rata 0.25 hektar. Pada saat ini diperkirakan jumlah rumah tangga petani gurem sudah mencapai 75 persen dari total rumah tangga petani di Jawa, padahal pada tahun 1993 masih 70 persen ( BPS, 2005). Tabel 10. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 2004 Provinsi Jumlah Penduduk Miskin (Ribu jiwa) Kota Desa Total Tingkat Kemiskinan ( % ) Kota Desa Total Nangroe Aceh Darusalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DKI Jogjakara Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Indonesia Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan, BPS, Tahun 2004.

17 123 Namun berdasarkan tingkat kemiskinan maka provinsi yang mempunyai tingkat kemiskinan tertinggi terdapat di luar Jawa yaitu Provinsi Papua, Maluku, Gorontalo, NAD, NTT, NTB. Tingkat kemiskinan dari enam provinsi diatas jauh diatas tingkat kemiskinan Indonesia dengan jumlah penduduk yang hanya sebesar 4.97 juta jiwa. Sementara pulau Jawa yang memiliki luas kurang dari 10 persen wilayah Indonesia harus menampung penduduk miskin juta jiwa penduduk miskin atau persen dari total penduduk di Indonesia. Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbesar ketiga di Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun apabila dilihat dari tingkat kemiskinan Jawa Barat memiliki tingkat kemiskinan di bawah tingkat kemiskinan rata-rata nasional, bahkan merupakan provinsi ketiga di Pulau Jawa yang mempunyai tingkat kemiskinan terendah setelah DKI Jakarta dan Banten. Tingkat kemiskinan di Jawa Barat dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang berfluktuatif seiring dengan terjadinya penurunan kemiskinan di Indonesia. Pada waktu terjadi krisis kemiskinan meningkat tajam baik Indonesia maupun Jawa Barat kemudian menurun kembali dengan penurunan yang relatif kecil. Tingkat kemiskinan di Jawa Barat selalu berada di bawah tingkat kemiskinan Indonesia. Gambar 9 disajikan perbandingan perkembangan tingkat kemiskinan di Jawa Barat dan di Indonesia. Persebaran penduduk miskin di wilayah Provinsi Jawa Barat tidak merata, daerah kabupaten jumlah penduduk miskin relatif lebih besar dibanding daerah kota. Daerah yang mempunyai struktur ekonomi berbasis pertanian jumlah penduduk miskin relatif lebih besar dibanding dengan daerah yang mempunyai struktur ekonomi berbasis industri dan perdagangan.

18 Persentase Penduduk Miskin Indonesia Persentase Penduduk Miskin Jabar Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan BPS, Gambar 9. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Indonesia dan Jawa Barat ( % ) Kabupaten Cianjur, Indramayu, Kuningan, Majalengka yang dikenal sebagai sentra penghasil beras di Jawa Barat menunjukkan tingkat kemiskinan yang relatif tinggi dengan laju pengurangan kemiskinan yang relatif lambat. Hal ini perlu mendapat perhatian bagi pemerintah bagaimana petani-petani di daerah sentra beras, dimana komodiiti beras telah mengalami levelling off pada peningkatan produksinya bisa meningkat produktivitasnya. Peningkatan produktivitas petani beras bisa dilakukan selain melalui peningkatan produktivitas tanaman padi juga perlu diupayakan sumber-sumber pertumbuhan baru dari sektor tanaman pangan selain padi dan subsektor lain seperti peternakan dan perikanan melalui usahatani terpadu. Selain itu juga perlu diupayakan terciptanya nilai tambah bagi petani pada tingkat off farm activities dengan melakukan kegiatan agribisnis maupun agroindustri pangan. Kota Bekasi, Depok dan Bandung yang dikenal sebagai daerah industri dan perdagangan menunjukkan tingkat kemiskinan paling

19 125 kecil di Jawa Barat. Berikut disajikan perkembangan dan persebaran jumlah penduduk miskin di kabupaten/ kota di Wilayah Provinsi Jawa Barat. Tabel 11. Perkembangan dan Keragaan Persentase Penduduk Miskin menurut Kabupaten / Kota di Jawa Barat Tahun No Kabupaten/ Kota PendudukMiskin Tahun 2003 Penduduk Miskin Tahun 2004 ( % ) Penduduk Miskin Tahun Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab.Ciamis Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Sumedang Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Purwakarta Kab. Karawang Kab. Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Jawa Barat Sumber : BPS Jawa Barat, Laju pengurangan kemiskinan di Jawa Barat berjalan sangat lambat pada masa implementasi desentralisasi fiskal. Apabila dicermati pada masing- masing kabupaten/ kota di Jawa Barat penurunan kemiskinan berjalan sangat fluktuatif yaitu ada yang

20 126 tingkat kemiskinannya naik kemudian turun namun secara rata-rata berkecenderungan menurun Kinerja Ketahanan Pangan di Wilayah Propinsi Jawa Barat Ketahanan pangan adalah keterjaminan akses terhadap kecukupan pangan sepanjang waktu agar dapat melakukan aktifitas dan hidup sehat. Sedang kerawanan pangan merupakan kondisi suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian masyarakat. Ada beberapa aspek yang menyebabkan terjadinya kerawanan pangan yaitu : (1) aspek produksi, (2) aspek distribusi, dan (3) aspek konsumsi. Melalui aksesibilitas terhadap pangan akan menjadi penentu tercapainya konsumsi pangan dan selanjutnya akan mempengaruhi status gizi masyarakat yang merupakan faktor determinan terhadap derajat kesehatan masyarakat yang dicerminkan pada ukuran umur harapan hidup. Ketahanan pangan merupakan satu dari delapan common goals Provinsi Jawa Barat yang pada tahun 2007 difokuskan pada ketahanan pangan fokus beras melalui sinergitas lintas SKPD, dimana tujuan bersama tersebut merupakan komitmen program dan kegiatan yang disepakati untuk dikerjakan melalui model pendekatan sinergitas lintas SKPD Provinsi dengan penggalangan segenap pelaku pembangunan Jawa Barat yang relevan. Sasaran common goals ketahanan pangan fokus beras pada tahun 2007 adalah : (1) terpenuhinya stok beras regional Jawa Barat, (2) tertatanya distribusi dan perdagangan beras, dan (3) menurunnya tingkat kehilangan pasca panen.

21 127 Provinsi Jawa Barat sebagai daerah produsen beras nomer satu di Indonesia, menggunakan indikator produksi padi dan beras sebagai salah satu ukuran kinerja ketahanan pangan. Walaupun banyak terjadi kendala yang salah satunya adalah alih fungsi lahan sawah yang cukup signifikan, namun produksi padi sawah Jawa Barat pada masa implementasi desentralisasi tahun terus mengalami peningkatan dengan laju peningkatan produksi sebesar 2.62 persen yang disebabkan laju luas panen sebesar 0.92 persen dan laju produktivitas sebesar 1.70 persen. Peningkatan produksi padi hampir terjadi di seluruh kabupaten/ kota kecuali Kabupaten Bandung, Kota Bogor, Kota Depok dan Kota Bekasi (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2007). Gambar 10 menunjukkan perkembangan produksi padi sawah, padi ladang dan padi sawah + ladang di Jawa Barat Produksi Padi Ladang Produksi Padi Sawah Produksi Padi Ladang + Sawah Sumber : Dinas Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, Gambar 10. Produksi Padi Ladang, Padi Sawah, Padi Ladang + Sawah Tahun Jawa Barat (Ton) Peningkatan produksi belum cukup untuk dapat dijadikan ukuran kinerja ketahanan pangan, tetapi perlu juga diketahui ketersediaan beras yang tersedia untuk

22 128 dikonsumsi serta jumlah konsumsi beras bagi masyarakat. Berikut ini disajikan perkembangan produksi beras, ketersediaan beras untuk konsumsi, jumlah konsumsi beras dan kondisi persediaan daerah. Tabel 12. Perkembangan Produksi Gabah, Produksi Beras, Ketersedian Beras untuk Konsumsi, Jumlah Konsumsi Beras dan Kondisi Persediaan Beras Daerah Tahun Produksi Padi (Ton GKG) Produksi Beras (Ton) Ketersediaan Konsumsi Beras (Ton) Total Konsumsi Beras (Ton) Surplus/ Defisit (Ton) Rasio S / K Sumber : Dinas Tanaman Pangan Jawa Barat, 2005 dan BPS Jawa Barat, Pada tahun 2001 produksi padi sawah dan ladang Jawa Barat mencapai ton GKG apabila dikonversi ke beras sebesar ton beras, dengan populasi penduduk sebanyak jiwa dan apabila jumlah kebutuhan per kapita sebanyak 120 kg per tahun, maka surplus beras Jawa Barat dengan memperhitungkan tercecer dan benih sebesar ton beras. Berdasarkan rasio antara ketersediaan beras untuk konsumsi dengan jumlah konsumsi, pada tahun 2001 di Jawa Barat mengalami surplus beras sebesar 20 persen dari tingkat ketersediaan konsumsi beras. Sebanyak 14 kabupaten mengalami surplus beras sedang sisanya dua kabupaten Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bandung serta semua kota di Jawa Barat mengalami defisit beras. Selama

23 129 tahun 2001 sampai 2005 pada masa implementasi desentralisasi fiskal Jawa Barat secara umum mengalami surplus beras pada kisaran 13 sampai 20 persen. Produksi palawija di Jawa Barat masih di bawah kebutuhan penduduk berdasarkan norma gizi, dimana pencapaian produksi komoditas jagung baru mencapai persen, umbi-umbian persen dan kacang-kacangan persen (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2005). Pada Tabel 13 ditunjukkan perkembangan potensi sumber pangan non beras yang dihasilkan Jawa Barat. Tabel 13. Perkembangan Produksi Sumber Pangan Palawija di Jawa Barat Tahun (Ton) Nama Pangan Jagung Kedele Kacang Tanah Kacang Hijau Ubi Kayu Ubi Jalar Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, Indikator kinerja ketahanan pangan dari aspek konsumsi secara agregat diukur dari rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein per kapita. Indikator ini memberikan gambaran kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi, yang ditentukan secara langsung oleh kemampuan daya beli dan perilaku. Pada Gambar 11 ditunjukkan bahwa konsumsi energi per kapita per hari penduduk Jawa Barat masih belum memenuhi standar kecukupan gizi yaitu sebesar 2200 kkal /kapita / hari. Perkembangan rata-rata

24 130 tingkat konsumsi energi per kapita penduduk Jawa Barat mengalami penurunan, penurunan konsumsi energi pada tahun relatif lebih kecil dibanding penurunan pada tahun pada masa desentralisasi fiskal. Namun untuk tingkat konsumsi protein sudah memenuhi standar kecukupan gizi yaitu sebesar 52 gram per kapita per hari, walaupun dalam perkembangannya juga mengalami penurunan tetapi tingkat penurunan tidak sebesar pada penurunan konsumsi energi. 120% 100% 80% Konsumsi Energi 60% 40% 20% Konsumsi Protein 0% Sumber : Susenas BPS, berbagai tahun terbitan. Gambar 11. Perkembangan Persentase Kecukupan Konsumsi Energi dan Protein per Kapita per Hari Penduduk Jawa Barat Pencapaian konsumsi energi per kapita penduduk menurut kabupaten / kota masih jauh dari Angka Kecukupan Gizi (AKG energi Kkal), hanya ada satu kota Bekasi yang pencapaian konsumsi energi diatas 80 persen AKG dan ada empat kabupaten/ kota yaitu : Kabupaten. Karawang, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut dan Kota Bandung yang pencapaian konsumsi berada diatas persen. Sedang sisanya merupakan kabupaten/ kota yang mengalami defisit konsumsi energi (<70 persen AKG). Pencapaian konsumsi protein per kapita seluruh kabupaten/ kota

25 131 sudah diatas batas 80 persen AKG, bahkan beberapa kabupaten/ kota mecapai diatas 100 persen AKG. Angka rata-rata konsumsi energi di atas belum memberikan gambaran besarnya masalah defisit energi pada populasi penduduk. Kabupaten yang mempunyai.proporsi rumah tangga mengalami defisit konsumsi energi paling tinggi adalah dialami dua kabupaten, yaitu Majalengka dan Purwakarta. Kabupaten/ kota dengan proporsi rumah tangga defisit energi sedang sebanyak sembilan kabupaten/kota yaitu : Kabupaten Bogor, Cianjur, Kuningan, Indramayu, Ciamis serta Kota Bogor, Sukabumi, Depok dan Tasikmalaya dan sisanya merupakan kabupaten/ kota dengan proporsi rumah tangga defisit energi rendah. Berdasarkan data pencapaian konsumsi protein terhadap AKG semua kabupaten/ kota diatas 80 persen, ternayata bila dirinci pada tingkat rumah tangga masih cukup banyak rumah tangga yang mengalami defisit protein. Kabupaten yang proporsi rumah tangga mengalami defisit protein tinggi adalah Kabupaten Majalengka, Purwakarta dan Tasikmalaya. Sedang yang termasuk kategori sedang adalah Kabupaten Bogor, Cianjur, Kuningan, Indramayu, Bekasi, Kerawang, Subang, Garut, Ciamis, Kota Bogor, Kota Sukabumi dan Kota Bandung. Sedang sisanya termasuk kabupaten/ kota dengan proporsi rumah tangga defisit konsumsi protein rendah. Indikator lain yang mencerminkan penyerapan pangan oleh tubuh adalah status gizi, dimana status gizi merupakan gambaran kerawanan pangan di tingkat individu. Rumah tangga dengan ketahanan pangan yang baik, belum menjamin bahwa seluruh anggota keluarga terlindungi dari status gizi yang baik terlebih untuk anggota keluarga yang peka terhadap kerawanan pangan seperti ibu hamil dan balita. Prevalensi balita gizi

26 132 kurang dan buruk merupakan salah satu indikator yang mengambarkan kondisi terjadinya kerawanan pangan pada anggota masyarakat yang peka terhadap kerawanan pangan. Pada Tabel 14 ditunjukkan bahwa angka prevalensi gizi kurang dan buruk di Jawa Barat secara umum terjadi kecenderungan meningkat, walaupun ada beberapa kabupaten / kota yang mengalami penurunan. Angka prevalensi gizi kurang dan buruk terbesar didapat oleh Kabupaten dan Kota Cirebon yang pada tahun 2005 mencapai seperempat dari populasi balita yang ada. Tabel 14. Perkembangan dan Keragaan Prevalensi Balita Gizi Kurang dan Buruk Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun ( % ) Kabupaten/ Kota Balita Gizi Buruk Balita Gizi Buruk Balita Gizi Buruk Kab Bogor Kab Sukabumi Kab Cianjur Kab Bandung Kab Garut Kab Tasikmalaya Kab Ciamis Kab Kuningan Kab Cirebon Kab Majalengka Kab Sumedang Kab Indramayu Kab Subang Kab Purwakarta Kab Karawang Kab Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Jawa Barat Tahun Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Tahun Tahun

27 133 Angka kematian bayi merupakan salah satu indikator penyerapan pangan, dimana angka kematian bayi merupakan indikator yang bisa mencerminkan perubahan status sosial dan ekonomi. Tingginya angka kematian bayi di suatu daerah bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti kemiskinan, penyakit infeksi, pendidikan yang rendah, akses ke pelayanan kebutuhan dasar yang rendah. Angka kematian bayi merupakan jumlah bayi yang mati dalam usia dibawah satu tahun dari 1000 kelahiran. Tabel 15. Perkembangan dan Keragaan Angka Kematian Bayi Menurut Kabupaten / Kota di Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun (Jiwa / 1000 Kelahiran Hidup) Kabupaten/ Kota Angka Kematian Bayi Tahun 2003 Angka Kematian Bayi Tahun 2004 Angka Kematian Bayi Tahun 2005 Kab Bogor Kab Sukabumi Kab Cianjur Kab Bandung Kab Garut Kab Tasikmalaya Kab Ciamis Kab Kuningan Kab Cirebon Kab Majalengka Kab Sumedang Kab Indramayu Kab Subang Kab Purwakarta Kab Karawang Kab Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Jawa Barat Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2005.

28 134 Angka harapan hidup merupakan indikator yang dapat menggambarkan dampak kerawanan pangan yang terjadi di suatu wilayah. Umur harapan hidup dipengaruhi oleh kondisi kesehatan termasuk status gizi. Seseorang yang sejak lahir hingga usia lanjut hidup dengan kondisi kesehatan, sosial, ekonomi yang baik lebih berpeluang mencapai usia hidup yang tinggi. Berikut disajikan perkembangan dan keragaan angka harapan hidup menurut kabupaten/ kota di Jawa Barat. Tabel 16. Perkembangan dan Keragaan Harapan Hidup Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun ( Tahun ) Kabupaten/ Kota Angka Harapan Angka Harapan Angka Harapan Kab Bogor Kab Sukabumi Kab Cianjur Kab Bandung Kab Garut Kab Tasikmalaya Kab Ciamis Kab Kuningan Kab Cirebon Kab Majalengka Kab Sumedang Kab Indramayu Kab Subang Kab Purwakarta Kab Karawang Kab Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Jawa Barat Hidup Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, Hidup Hidup

29 135 Secara nasional usia harapan hidup telah mengalami peningkatan demikian pula dengan Jawa Barat. Pencapaian angka harapan hidup ternyata tidak harus sejalan dengan peningkatan ekonomi semata tetapi juga dominan dipengaruhi faktor pendidikan dan kesehatan. Pencapaian angka harapan hidup di daerah perkotaan relatif lebih tinggi dibanding daerah perdesaan.

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 5.1. Kondisi Geografis V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 Lintang Selatan dan 104 o 48-108 o 48 Bujur Timur, dengan batas wilayah

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota eranan ekonomi wilayah kabupaten/kota terhadap perekonomian Jawa Barat setiap tahunnya dapat tergambarkan dari salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota oda perekonomian yang bergulir di Jawa Barat, selama tahun 2007 merupakan tolak ukur keberhasilan pembangunan Jabar.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Otonomi daerah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga termasuk pula percepatan/akselerasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

PRODUKSI PANGAN INDONESIA 65 PRODUKSI PANGAN INDONESIA Perkembangan Produksi Pangan Saat ini di dunia timbul kekawatiran mengenai keberlanjutan produksi pangan sejalan dengan semakin beralihnya lahan pertanian ke non pertanian

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12 BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai negara kesatuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS :

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS : BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS : Katalog BPS : 9302008.53 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR KINERJA PEREKONOMIAN NUSA TENGGARA TIMUR 2013 KINERJA PEREKONOMIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan suatu hal yang penting karena merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu wilayah. Sukirno (2006) mengatakan penduduk dapat menjadi faktor pendorong

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur.

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur. 51 IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Kondisi Umum 4.1.1 Geogafis Nusa Tenggara Timur adalah salah provinsi yang terletak di sebelah timur Indonesia. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak di selatan khatulistiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Obyek Penelitian. Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan ibu

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Obyek Penelitian. Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan ibu 57 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Gambaran Obyek Penelitian Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan ibu kota Bandung. Perkembangan Sejarah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. Katalog BPS :

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Katalog BPS : 9302008.53 KINERJA PEREKONOMIAN NUSA TENGGARA TIMUR 2013 KINERJA PEREKONOMIAN NUSA TENGGARA TIMUR 2013 Anggota Tim Penyusun : Pengarah :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 34 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 4.1 Gambaran Umum Provinsi Lampung Lintang Selatan. Disebelah utara berbatasan dengann Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, sebelah Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan pembangunan di pusat. Hal tersebut

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

BAB I GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN KABUPATEN MAJALENGKA

BAB I GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN KABUPATEN MAJALENGKA BAB I GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN KABUPATEN MAJALENGKA 1.1. Pertumbuhan Ekonomi PDRB Kabupaten Majalengka pada tahun 2010 atas dasar harga berlaku mencapai angka Rp 10,157 triliun, sementara pada tahun

Lebih terperinci

7. Pencapaian Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi

7. Pencapaian Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi 7. Pencapaian Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Komoditi padi sebagai bahan konsumsi pangan pokok masyarakat, tentunya telah diletakkan sebagai prioritas dan fokus kegiatan program

Lebih terperinci

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8% VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh pada Tabel 16 menunjukkan bahwa model yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah.

BAB I PENDAHULUAN. dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah. Sektor pertanian sampai

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur tahun 2013 tidak terlepas dari arah kebijakan ekonomi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional yang dinilai berhasil pada hakikatnya adalah yang dilakukan oleh dan untuk seluruh rakyat. Dengan demikian, dalam upaya mencapai sasaran-sasaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebijakan pembangunan yang dipandang tepat dan strategis dalam rangka pembangunan wilayah di Indonesia sekaligus mengantisipasi dimulainya era perdagangan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI JAWA BARAT 2014

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI JAWA BARAT 2014 OUTLINE ANALISIS PROVINSI 1. Perkembangan Indikator Utama 1.1 Pertumbuhan Ekonomi 1.2 Pengurangan Pengangguran 1.3 Pengurangan Kemiskinan 2. Kinerja Pembangunan Kota/ Kabupaten 2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

BAB III PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH

BAB III PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH BAB III PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH 3.1 PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH Pembangunan daerah tahun 2009 merupakan bagian dari pembangunan daerah jangka menengah tahun 2004 2009. Rencana Kerja Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi Tabel., dan Padi Per No. Padi.552.078.387.80 370.966 33.549 4,84 4,86 2 Sumatera Utara 3.48.782 3.374.838 826.09 807.302 4,39 4,80 3 Sumatera Barat.875.88.893.598 422.582 423.402 44,37 44,72 4 Riau 454.86

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

Laporan Kinerja Pemerintah Kabupaten Bangka Barat Tahun 2014 DAFTAR ISI

Laporan Kinerja Pemerintah Kabupaten Bangka Barat Tahun 2014 DAFTAR ISI DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ------------------------------------------------------------------------------------------------------ i DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 1 I. Aspek Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2009 2013 Komoditas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH Penetapan indikator kinerja daerah bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai ukuran keberhasilan pencapaian visi dan misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu dari delapan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis terletak antara 116-117

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

STATISTIK PEMBANGUNAN GUBERNUR JAWA BARAT KATA PENGANTAR

STATISTIK PEMBANGUNAN GUBERNUR JAWA BARAT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Bismillaahirrohmaanirrohiim Assalaamu alaikum Wr. Wb. Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa salah satu kewajiban Kepala Daerah

Lebih terperinci

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 1 Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2010 2014 Komoditas Produksi Pertahun Pertumbuhan Pertahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang lautannya lebih luas daripada daratan. Luas lautan Indonesia 2/3 dari luas Indonesia. Daratan Indonesia subur dengan didukung

Lebih terperinci

Katalog BPS

Katalog BPS Katalog BPS. 5214.32 PRODUKSI TANAMAN PADI DAN PALAWIJA JAWA BARAT TAHUN 2010-2014 ISSN: - Nomor Publikasi: 32.530.15.01 Katalog BPS: 5214.32 Ukuran Buku: 19 cm x 28 cm Jumlah Halaman: vii + 71 halaman

Lebih terperinci

URGENSI SIPD DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

URGENSI SIPD DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH URGENSI SIPD DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH Cirebon, 22 Desember 2015 OUTLINE PEMBAHASAN 1 SIPD DALAM UU 23 TAHUN 2014 2 PERMENDAGRI 8/2014 TENTANG SIPD AMANAT UU 23 TAHUN 2014 Pasal 274: Perencanaan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan,

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan, I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh setiap negara di dunia. Sektor pertanian salah satu sektor lapangan usaha yang selalu diindentikan dengan kemiskinan

Lebih terperinci

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI...... i 1. GEOGRAFI Tabel : 1.01 Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat Dan Kabupaten/Kota... 1 Tabel : 1.02 Jumlah Kecamatan Dan Desa Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011... 2 2. KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI 4.1 Keadaan Umum Provinsi Jambi secara resmi dibentuk pada tahun 1958 berdasarkan Undang-Undang No. 61 tahun 1958. Secara geografis Provinsi Jambi terletak antara 0º 45

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan kearah perbaikan yang orientasinya pada pembangunan bangsa dan sosial ekonomis. Untuk mewujudkan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur Jawa Barat Akhir Tahun Anggaran 2011 disusun berdasarkan ketentuan sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... xii BAB I PENDAHULUAN... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... I-4 1.3. Hubungan Antar Dokumen... I-7 1.4.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016 PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DALAM MENGAKSELERASI PROGRAM PANGAN BERKELANJUTAN DAN PENINGKATAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) PROVINSI

Lebih terperinci

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN DISTRIBUSI PANGAN RONI KASTAMAN DISAMPAIKAN PADA ACARA DISEMINASI LITBANG BAPEDA KOTA BANDUNG 29 NOPEMBER 2016

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN DISTRIBUSI PANGAN RONI KASTAMAN DISAMPAIKAN PADA ACARA DISEMINASI LITBANG BAPEDA KOTA BANDUNG 29 NOPEMBER 2016 EVALUASI KETERSEDIAAN DAN DISTRIBUSI PANGAN RONI KASTAMAN DISAMPAIKAN PADA ACARA DISEMINASI LITBANG BAPEDA KOTA BANDUNG 29 NOPEMBER 2016 ISSUE PEMBANGUNAN KOTA PERTUMBUHAN EKONOMI INFLASI PENGANGGURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Jawa Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia. Provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah daratan 3.710.061,32 hektar, dan Jawa Barat menduduki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara maritim yang kaya akan potensi ikannya, sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan dan perairan. Sektor perikanan menjadi bagian yang sangat

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 31/05/Th. XIII, 10 Mei 2010 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 TUMBUH MENINGKAT 5,7 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU

ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU TUGAS AKHIR Oleh : HENNI SEPTA L2D 001 426 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis statistik Perekonomian Daerah, sebagai gambaran umum untuk situasi perekonomian Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional merupakan salah satu kegiatan pemerintah Indonesia yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang Analisis struktur perekonomian kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: HARRY KISWANTO NIM F0104064 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan

Lebih terperinci

Laporan ini disusun untuk memberikan gambaran umum tentang ketenagakerjaan pertanian, rumah tangga pertanian dan kondisi pengelolaan lahan pertanian.

Laporan ini disusun untuk memberikan gambaran umum tentang ketenagakerjaan pertanian, rumah tangga pertanian dan kondisi pengelolaan lahan pertanian. BAB I PENDAHULUAN Sasaran pembangunan jangka panjang di bidang ekonomi adalah struktur ekonomi yang berimbang, yaitu industri maju yang didukung oleh pertanian yang tangguh. Untuk mencapai sasaran tersebut,

Lebih terperinci