BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Selain

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Selain"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empati Baron dan Byrne, 2005 yang menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Selain pengertian diatas, Menurut Leiden, dkk, 1997 menyatakan Empati sebagai kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain sehingga orang lain seakan - akan menjadi bagian dalam diri. (dalam Asih dan Pratiwi, 2010). Gottman, 1997 menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk menempatkan diri sendiri dalam kedudukan orang lain serta memberi tanggapan sesuai dengan itu. Stein dan Book, 2002 berpendapat bahwa empati merupakan kemampuan untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran orang lain (dalam Spica, 2008). Sedangkan menurut Santrock dalam buku perkembangan anak, 2007 mengatakan empati adalah sebuah keadaan emosi, tetapi memiliki komponen kognitif yang artinya kemampuan untuk melihat keadaan psikologis dalam diri orang lain. Empati adalah keadaan psikologis yang mendalam, seseorang menempatkan pikiran dan perasaan diri sendiri ke dalam pikiran dan perasaan orang lain yang dikenal maupun orang yang tidak dikenal (Hasyim, dkk, 2012). 10

2 Watson, dkk, 1984 kemampuan empati adalah kemampuan seseorang untuk mengenal dan memahami emosi, pikiran, serta sifat orang lain (dalam Setiawan, 2010). Masa remaja adalah masa yang penting untuk pengembangan empati. Empati adalah kemapuan dasar sosial yang menggaris bawahi pentingnya kemampuan, tingkah laku dan sebuah peran yang sangat penting dalam pengembangan moral dan perilaku prososial (dalam Graaff, dkk, 2014). Menurut Blakemore dan Choudhury, 2006 berpendapat bahwa, Masa remaja juga ditandai dengan perubahan fisik yang cepat dan pengembangan empati yang mengalami kemunduran, sementara itu bertepatan dengan pubertas. Empati adalah gejala yang komplek, meliputi kognitif dan proses afektif yang diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational dapat berpengaruh pada masa remaja atau perspektif untuk pendapat orang lain mengalami perasaan dan perhatian (dalam Graaff, dkk, 2014). 2. Tahap Tahap dalam Perkembangan Empati Hetherington dan Parker, 1993 membagi perkembangan empati kedalam empat tahap utama, yakni empati global (Global Empathy), empati egosentris (Egocentric Empathy), empati terhadap perasaan orang lain (Empathy for Another Feeling) dan empati untuk kondisi hidup yang berbeda (Empathy for Another Life Condition). a. Empati global (Global Empathy) Goleman, 1998 yang melihat adanya proses alamiah empati semenjak masa masa bayi. Bila menyaksikan penderitaan anak lain sebagian besar anak 11

3 yang berusia sekitar satu tahun, akan memeberikan respon empati yang bersifat global. Anak akan merasakan penderitaan yang sama dan bereaksi seakan akan penderitaan tersebut terjadi padanya. Hal tersebut terjadi karena bayi belum dapat membedakan dirinya dengan orang lain. b. Empati egosentris (Egocentri Empathy) Berkembang saat anak berusia sekitar bulan dan mulai dapat memahami bahwa orang lain secara fisik berbeda dengan dirinya. Meskipun demikian, anak belum dapat mengetahui situasi batin atau emosi orang lain dan dianggap sama dengan situasi batinnya sendiri. Anak kemudian akan mengembangkan tindakan penyesuaian terhadap penderitaan orang lain, yang bersifat egosentris, karena anak belum dapat membedakan interpretasi orang lain. c. Empati terhadap perasaan orang lain (Empathy for Another Feeling) Dimulai usia dua sampai tiga tahun, berlanjut hingga sekitar usia enam tahun, saat anak mulai menyadari bahwa perasaan orang lain mungkin berbeda dengan apa yang ia rasakan. Pada taraf usia ini, dalam diri anak mulai muncul pertimbangan terhadap orang lains sebagai pribadi yang berbeda beda dan memiliki emosi, pikiran, maupun perasaan masing masing. Sebagian anak telah mampu melakukan role taking meskipun belum sempurna. 12

4 d. Empati untuk kondisi hidup yang berbeda (Empathy for Another Life Condotion) Berlangsung pada masa kanak kanak dan menjelang remaja, dimulai sekitar usia enam hingga dua belas tahun. Pada tahap ini, individu tidak hanya melihat kejadian yang tengah berlangsung saja, namun dapat berlanjut terus dalam masa selanjutnya. Inidividu akan merasa tertekan saat mengetahui bahwa penderitaan orang lain bersifat kronis dan tidak terselesaikan, atau bila secara umum keadaan tersebut sangat memprihatinkan. Disamping itu, individu dapat mengetahui bahwa terkadang seseorang dapat menyembunyikan emosi atau perasaan dan bertindak bertentangan dengan apa yang sedang dirasakan saat itu. Dari uraian diatas diatas dapat disimpulkan bahwa empati adalah kemampuan merasakan keadaaan emosional orang lain, menempatkan dirinya dalam posisi orang lain sehingga atau seakan akan orang tersebut merasakan apa yang dirasakan orang tersebut. 3. Aspek Aspek yang Terdapat dalam Empati Menurut Baron dan Byrne, 2005 menyatakan bahwa dalam empati juga terdapat aspek aspek, yaitu : a. Kognitif Individu yang memiliki kemampuan empati dapat memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa hal tersebut dapat terjadi pada orang tersebut. Kognisi yang relevan termasuk kemampuan untuk mempertimbangkan sudut 13

5 pandang orang lain, kadang kadang disebut sebagai pengambilan perspektif (Perspective Taking), mampu untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain. Kemampuan untuk merasa empati pada karakter fiktif. Penonton yang merasa berempati akan mengalami kesedihan, ketakutan, atau kegembiraan ketika emosi emosi ini dialami oleh karakter dalam cerita. b. Afektif Individu yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan. Bahkan anak anak beusia dua bulan tampak jelas merasakan stress sebagai respon dari stress yang dirasakan orang lain (Brothers, 1990). Karakteristik yang sama juga diobservasi pada primata yang lain (Ungerer, 1990), dan mengindikasikan kepedulian. Aspek ini juga termasuk merasa simpati, tidak hanya penderitaan orang lain tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka. Misalnya, individu yang memiliki empati tinggi lebih termotivasi untuk menolong seorang teman daripada mereka yang memiliki empati yang rendah (Schlenker dan Britt, 2001). Berbagai aspek aspek yang ada diatas penulis mengambil salah satu dari aspek yang dikemkakan oleh Davis, 1983 yaitu Perspective Taking (PT), Fantacy (F), Empathic Concern (EC) dan Personal Distress (PD). Dikarenakan aspek tersebut sering muncul dikehidupan setiap remaja. Davis, 1983 secara global ada dua komponen dalam empati, yaitu komponen kognitif dan komponen afektif yang masing masing mempunyai dua aspek yaitu : Komponen kognitif terdiri dari Perspective Taking (PT) dan Fantacy 14

6 (F), sedangkan Komponen afektif meliputi Empathic Comcern (EC) dan Personal Distress (PD). Keempat aspek tersebut mempunyai arti sebagai berikut : a. Perspective Taking (PT) Mead (dalam Davis, 1983) menenkankan pentingnya kemampuan dalam perspective taking untuk perilaku non egosentrik, yaitu kemampuan yang tidak berorientasi pada kepentingan sendiri, tetapi kepentingan orang lain. Coke (dalam Davis, 1983) menyatakan bahwa perspective taking berhubungan dengan reaksi emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa. Perspektif taking diharapkan memiliki skor yang lebih tinggi dengan sosial yang berfungsi lebih baik. Kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang psikologis orang lain secara spontan. Kemampuan perspective taking membuat seorang individu mengetahui perilaku dan reaksi dari orang lain, karenanya memudahkan dan lebih menghargai hubungan interpersonal. Kecenderungan menggunakan kemampuan ini, yang diukur dengan skala PT, harus dikaitkan dengan fungsi sosial yang lebih baik. Kedua, diharapakan skor perspektif lebih tinggi yang dikaitkan dengan tingginya harga diri. Sebagian besar, ini harus mengikuti fungsi sosial yang diharapkan untuk pengambilan perspektif yang tinggi. Artinya, dengan ditingkatkannya harga diri dengan hubungan sosial bermanfaat untuk perspektif taking yang harus meningkatkan konsep diri. Ketiga, tidak ada hubungan antara perspektif taking dan emosionalitas kronis. Keempat, hubungan antara perspektif taking dan langkah langkah dari kepekaan terhadap orang lain diharapkan 15

7 bervariasi sesuai dengan langkah langkah. Beberapa langkah dari kepekaan terhadap orang lain (Misalnya, subskala Umum Self kesadaran ; Fenigstein, dkk, 1975 dapat digambarkan sebagai orientasi diri, skor tinggi pada langkah langkah tersebut menunjukan kesadaran orang lain hanya berkaitan dengan bagaimana orang lain melihat diri. Tindakan sensitivitas lainnya (misalnya, Personal Atribut skala F Angket ini; Spence, Helmreich, & Stapp, 1974) kurang berorientasi diri dan lebih lainnya berorientasi; tinggi skor pada langkah-langkah ini mencerminkan kepedulian terhadap perasaan sendiri yang lain dan kebutuhan. Diprediksi hanya itu perspektif taking skor akan berhubungan positif dengan lain seperti berorientas langkah-langkah dan tidak selalu terkait dengan selforiented yang. b. Fantacy (F) Kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal dalam buku, film atau cerita yang dibaca dan ditontonnya. Stotland (dalam Davis, 1983) mengemukakan bahwa fantacy merupakan aspek yang berpengaruh pada reaksi emosi terhadap orang lain dan menimbulkan perilaku menolong. Demikian juga, tidak ada hubungan antara harga diri dan F dengan skor yang diharapkan. Tampaknya skor fantasi akan menunjukkan hubungan dengan ukuran emosionalitas. Stotland (1978) bukti laporan bahwa orang-orang yang mendapat skor tinggi pada Fantasi - Empati (F-E), skala cenderung menampilkan gairah fisiologis yang lebih besar untuk gambaran dari lain pengalaman emosional dan kecenderungan yang lebih besar untuk membantu orang lain (setidaknya di antara 16

8 anak sulung subyek). Karena skala F dari IRI berisi tiga item dari F - E Skala (lihat bagian Method) dan sisanya item pada skala F mencerminkan konten yang sama, skala F juga diharapkan untuk menampilkan hubungan yang signifikan untuk ukuran emosionalitas. Akhirnya, tidak ada hubungan antara Skor dan ukuran sensitivitas F kepada orang lain (dalam Davis, 1983). c. Empathic Concern (EC) Perasaan simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan orang lain. Aspek ini juga merupakan cermin dari perasaan kehangatan yang erat kaitannya dengan kepekaan dan kepedulian terhadap orang lain. Tidak jelas apakah kecenderungan untuk mengalami perasaan simpati dan kepedulian terhadap orang lain akan sistematis meningkatkan atau mengganggu kemampuan seseorang untuk terlibat dalam hubungan sosial yang bermanfaat. Kedua, itu juga tidak diharapkan bahwa skor EC akan konsisten terkait pada harga diri. Ketiga, hubungan antara EC, dengan skala pengukur jenis tertentu tentang respon tindakan emosional dan emosionalitas akan tergantung pada sifat yang tepat tindakan emosionalitas ini. Skor keprihatinan empatik diharapkan, untuk menampilkan beberapa asosiasi dengan Langkah - langkah "global" emosi, karena membangun dari "reaktivitas emosional" yang mendasari baik langkah langkah. Skor EC diharapkan menunjukkan hubungan dengan lain, yang lebih spesifik ukuran emosionalitas yang terkait dengan kekhawatiran empatik. Keempat, nilai EC yang mewakili perasaan, kehangatan dan simpati, harus sangat terkait dengan langkah - langkah lain yang berorientasi pada kepekaan 17

9 terhadap orang lain, tindakan yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain. Tindakan sensitivitas yang lebih "Egois" tidak harus berhubungan dengan EC skor. d. Personal Distress (PD) Menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal yang tidak menyenangkan. Personal Distress yang tinggi membuat kemampuan sosialisasi seseorang menjadi rendah. Kedua, diperkirakan bahwa skor PD akan secara signifikan negatif dan terkait dengan harga diri. Seperti prediksi PT / harga diri, ini adalah berdasarkan pengaruh mediasi interpersonal yang berfungsi pada diri sendiri. Karena tinggi skor PD yang diduga kurang menguntungkan hubungan sosial dan harga diri mereka harus sepadan. Ketiga, Hubungan skor PD (seperti skor EC) dengan langkah - langkah lain dari emosionalitas harus berbeda dengan sifat mereka. Keempat, tidak ada prediksi yang jelas ditawarkan menyangkut hubungan antara skor dan langkah - langkah PD terhadap sensitivitas kepada orang lain. 3. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Empati Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi proses perkembangan empati pada diri seseorang yaitu (dalam Ginting 2009) : 18

10 a. Pola Asuh Pola asuh adalah merupakan suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak (Oktavia, 2008). Franz (dalam Koestner, 1990) menemukan adanya hubungan yang kuat antara pola asuh pada masa - masa awal dengan empathic concern anak yang mempunyai ayah yang terlibat baik dalam pengasuhan dan ibu yang sabar dalam menghadapi ketergantungan anak (tolerance of dependency) akan mempunyai empati yang lebih tinggi. Keterlibatan ayah dalam hal ini berhubungan dengan jumlah waktu yang diluangkan bersama anak, sedangkan tolerance of dependency diinterpretasikan sebagai: (1) besarnya tingkat interaksi ibu dan anak, (2) refleksi kelembutan, responsivitas dan penerimaan terhadap perasaan anak, yang semuanya berhubungan dengan perilaku prososial (Siegel dalam Laurence, 1982). Ibu yang puas dengan perannya akan mampu menciptakan anak yang memiliki empathic concern yang tinggi (Koestner, 1990). Hal ini terjadi karena ibu yang mempunyai keyakinan akan kemampuannya dan tidak cemas dalam pengasuhan anak akan menciptakan hubungan kelekatan antara ibu dan anak secara aman (secure attachement). Ibu yang mempunyai kepercayaan lebih juga dapat memberikan perhatian atau lebih peduli perasaan anak. Hal lain yang mempengaruhi perkembangan empati adalah kehangatan orang tua (Shaffer, 2004). 19

11 Orang tua yang hangat dan penuh perhatian cenderung menghargai dan jarang menggunakan hukuman dalam menilai perilaku anak. Orang tua akan lebih banyak menggunakan alasan - alasan yang dapat diterima anak dalam menjelaskan mengapa suatu perbuatan dinilai salah. Selanjutnya hal - hal di atas akan dijadikan model bagi anak dalam mengembangkan empathic concern, atau dengan kata lain anak akan melakukan proses modeling pada ibu dalam berempati. Selanjutnya yang berhubungan dengan pola asuh adalah metode pendisiplinan yang diterapkan orang tua terhadap anak. Metode ini diterapkan dengan memfokuskan perhatian anak pada perasaan dan reaksi orang lain. Matthews (Barnett, 1979) berpendapat bahwa perkembangan empati lebih besar terjadi dalam lingkungan keluarga yang: (1). Memberikan kepuasan pada kebutuhan emosional anak dan tidak terlalu mementingkan kepentingan pribadi, (2). Mendorong anak untuk mengalami emosi dan mengekspresikan emosinya, dan (3). Memberikan kesempatan untuk mengobservasi dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mengasah kepekaan dan kemampuan emosi. Terdapat 4 macam pola asuh menurut Diana Baumirnd, 1917 yaitu : (dalam Santrock, 2002) 1. Pola asuh otoriter (Authoritarian parenting) Ialah suatu gaya membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua otoriter menetapkan batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang 20

12 besar kepada anak anak untuk berbicara (bermusyawarah). Pengasuhan yang otoriter diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak anak. 2. Pola asuh otoritatif (Authoritative parenting) Mendorong anak anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas batas dan pengendalian atas tindakan tindakan mereka. Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan, dan orang tua memperlihatkan kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Pengasuhan yang otoritatif diasosiasikan dengan kompetensi sosial anak anak. 3. Pola asuh permisif Terjadi dalam 2 bentuk : Permissive indifferent dan Permissive indulgent (Maccoby dan Martin, 1983). Pengasuhan yang permissive indifferent ialah suatu gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak, tipe pengasuhan ini diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak khususnya kurangnya kendali diri. Pengasuhan yang permissive indulgent ialah suatu gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak anak mereka tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali terhadap mereka. Pengasuhan yang permissive indulgent diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak, khususnya kurangnya kendali diri. b. Kepribadian Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi akan mempunyai tingkat empat dan nilai prososial yang tinggi pula (Koestner, 1990), sedangkan 21

13 individu yang memiliki self direction, need for achievement dan need for power yang tinggi akan mempunyai tingkat empati yang rendah. c. Jenis Kelamin Berdasarkan beberapa penelitian diketahui bahwa perempuan mempunyai tingkat empat yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan laki - laki. Karakteristik yang diatribusikan pada perempuan dibandingkan laki - laki adalah kecenderungan berempati. Persepsi stereotip ini didasarkan pada kepercayaan bahwa perempuan lebih nurturance (bersifat memelihara) dan lebih berorientasi interpersonal dibandingkan laki - laki (Parsons dan Bales dalam Eisenberg & Strayer, 1987). Penelitian yang dilakukan oleh Marcus (dalam Eisenberg & Strayer, 1987) berupa cerita hipotetik yang diajukan untuk melihat respon empati, didapatkan hasil bahwa anak perempuan lebih empatik dalam merespon secara verbal keadaan distress orang lain. (Buck, 1995) dalam penelitiannya menemukan hasil, ada perbedaan dalam hubungan dengan orientasi eksternal dan internal. Perempuan lebih berorientasi eksternal (orientasi pada orang lain), sedangkan laki - laki lebih berorientasi internal (orientasi pada diri sendiri). d. Variasi Situasi, Pengalaman dan Objek Respon Tinggi rendahnya kemampuan berempati seseorang akan sangat dipengaruhi oleh situasi, pengalaman dan respon empati yang diberikan. Secara umum anak akan lebih berempati pada orang yang lebih mirip dengan dirinya dibandingkan dengan orang yang mempunyai perbedaan dengan dirinya (Krebs, 1987). 22

14 e. Usia Kemampuan berempati akan semakin bertambah dengan meningkatnya usia. Hal ini dikarenakan bertambahnya pemahaman perspektif (Mussen, 1989). Usia juga akan mempengaruhi proses kematangan kognitif dalam diri seseorang. f. Derajat Kematangan Gunarsa (Gunarsa, 1979) mengatakan bahwa empati itu dipengaruhi oleh derajat kematangan. Maksud derajat kematangan adalah besarnya kemampuan seseorang dalam memandang sesuatu secara proporsional. g. Sosialisasi Semakin banyak dan semakin intensif seorang individu melakukan sosialisasi maka akan semakin terasah kepekaannya terhadap emosi orang lain. Matthew (Hoffman, 1996) menyatakan beberapa hal yang menjadikan sosialisasi sebagai komponen yang berpengaruh terhadap empati, yaitu: (1). Sosialisasi membuat seseorang mengalami banyak emosi, (2). Sosialisasi membuat seseorang dapat mengamati secara langsung situasi internal orang lain, (3). Sosialisasi membuka terjadinya proses role taking, (4). Terdapat banyak afeksi sehingga seseorang akan menjadi lebih terbuka terhadap kebutuhan emosi orang lain, dan (5). Dalam sosialisasi ditemukan banyak model yang dapat memberikan banyak contoh kebiasaan prososial dan perasaan empati yang dinyatakan secara verbal. Dari berbagai faktor - faktor yang mempengaruhi empati diatas penulis mengambil salah satu dari faktor tersebut adalah pola asuh. Dan salah satunya 23

15 yang digunakan oleh penulis adalah pola asuh otoriter. Dalam kehidupan sekarang ini perkembangan remaja sangat dipengaruhi oleh pola asuh dari setiap orang tua walaupun perkembangan sosialnya tidak hanya dari orang tua tapi juga dari lingkungan sekolah dan lingkungan sekitar remaja tersebut tinggal tapi orang tua lebih mengambil perannya karena pada masa remaja, orang tua lebih mengatur pergaulan remaja tersebut B. Pola Asuh Otoriter Orang Tua 1. Pengertian Pola Asuh Otoriter Pola asuh otoriter (Authoritarian parenting) ialah suatu gaya membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua otoriter menetapkan batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak anak untuk berbicara (bermusyawarah). Pengasuhan yang otoriter diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak anak (Santrock, 2002). Menurut Stewart dan Koch, 1983 orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri antara lain: kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta simpatik. Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk tingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak. Orang tua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian. Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa (dalam Aisyah, 2010). 24

16 Pola asuh otoriter adalah cara orang tua mengasuh anak dengan menetapkan standar perilaku bagi anak, tetapi kurang responsif pada hak dan keinginan anak. Orang tua berusaha membentuk, mengendalikan, serta mengevaluasi tingkah laku anak sesuai dengan standar tingkah laku yang ditetapkan orang tua. Dalam pola pengasuhan ini orang tua berlaku sangat ketat dan mengontrol anak tapi kurang memiliki kedekatan dan komunikasi berpusat pada orang tua (Rahmasari, 2014). Gaya pengasuhan otoriter, berusaha untuk mengontrol anak anak mereka melalui aturan, orang tua juga menggunakan reward dan punishment untuk membuat anak anaknya mengikuti aturan, disamping itu orang tua mengontrol mereka dengan aturan dengan sedikit penjelasan. Orang tua yang otoriter menuntut tapi tidak hangat, selain itu mereka memberikan anak anak mereka sedikit otonomi. (Dacey dan Kenny, 1997). Santrock, 2009 menyatakan bahwa pola asuh otoriter ini adalah membatasi, dengan gaya hukuman dimana orang tua mendesak remaja untuk mengikuti arah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha mereka, batas tegas dan control ditempatkan pada masa remaja, dan pertukaran lisan sedikit diperbolehkan. Gaya ini dikaitkan dengan remaja perilaku tidak kompeten secara sosial. Disamping itu menempatkan nilai tinggi pada ketaatan dan kesesuaian. Mereka cenderung menghukum, mutlak dan kuat tindakan disiplinnya. Karena yang mendasari orang tua otoriter adalah anak yanga harus menerima tanpa pertanyaan aturan dan standar yang ditetapkan orang tua. Mereka cenderung tidak mendorong perilaku independen dan, sebagai gantinya membatasi otonomi anak. Selain itu orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter dimana orang tua 25

17 menerapkan displin yang kaku dan menuntut anak untuk mematuhi aturan aturannya, membuat remaja menjadi frustasi (dalam Soetjiningsih, 2014). Menurut Dacey dan Kenny, 1997 mengemukakan bahwa beberapa orang tua memakai gaya pengasuhan otoriter, mereka menanggapi tantangan remaja mereka denga menjadi lebih ketat. Dan para orang tua juga merasa bahwa jika mereka menenkankan segera, maka remaja akan pulang tepat waktu, membersihkan kamar tidur mereka dan berpakaian rapi. Steinberg, 2002 mengemukakan bahwa gaya pengasuhan otoirter, menempatkan nilai tinggi pada ketaatan dan kesesuaian. mereka cenderung menghukum, mutlak, dan kuat tindakan disipliner. Karena keyakinan yang mendasari orang tua otoriter adalah bahwa anak harus menerima tanpa bertanya aturan dan standar yang ditetapkan oleh orang tua. Mereka cenderung tidak mendorong, dan membatasi pada pentignya otonomi anak. Remaja yang besar dirumah otoriter, lebih tergantung, lebih pasif, kurang mahir sosial, kurang meyakinkan diri, dan kurang intelektual, sebagai lawan untuk penelitian tentang pola asuh otoritatif. (dalam Chao, 1994 ; Dornbusch, dkk, 1987 ; Lamborn, dkk 1996 ; Steinberg dkk, 1994). Beberapa penjelasan telah ditawarkan atau temuan ini. Pertama, beberapa penulis telah menyarankan bahwa, karena keluarga etnis minoritas lebih mungkin untuk hidup dalam masyarakat yang berbahaya. Pola asuh otoriter, dengan penekanan pada pengendalian, mungkin tidak berbahaya dan bahkan dapat membawa beberapa manfaat. Kedua, karena beberapa peneliti telah menunjukkan Chao, 1994 ; Gonzales, 1996, perbedaan antara orangtua otoritatif dan otoriter 26

18 mungkin tidak selalu masuk akal bila diterapkan orang tua dari budaya lain. Misalnya, orang tua kulit putih sering menggabungkan tingkat yang sangat tinggi dari ketatnya (seperti orang tua otoriter putih) dengan kehangatan (seperti orang tua otoritatif putih). Formoso, dkk, 1997 ; Rohner, dkk, 1986) ; Smetana, dkk, 2000 ; Yau, dkk, 1996 menyatakan bahwa jika mereka terlalu fokus pada orang tua, ketika peneliti mengamati hubungan keluarga, peneliti dapat melabeli kelompok etnis lain pendekatan untuk membesarkan anak (yang muncul sangat mengontrol tetapi yang tidak menyendiri atau bermusuhan) sebagai otoriter (dalam Steinberg, 2002). Ahadi, dkk, 2014 mengemukakan bahwa gaya pengasuhan otoriter merupakan memamerkan kekuasaan orangtua adalah faktor pertama membedakan gaya ini dengan dua gaya yang lain. Orang tua ini menempatkan tuntutan tinggi pada anak tetapi tidak responsif terhadap kebutuhan anak. Orang tua otoriter membawa efek negatif tentang perkembangan kreativitas dan kognisi anak. Anakanak yang berulang kali mengancam memiliki kecenderungan isolasi, depresi, rendah diri, banyak stres, keingintahuan rendah dan permusuhan kepada orang lain. Para peneliti telah menemukan bahwa orang tua otoriter membina anak-anak dengan kurangnya otonomi, rasa ingin tahu dan kreativitas. Dari uaraian diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang memberikan aturan yang tegas terhadap remaja denga memberikan sedikit otonomi, selain tegas juga mengontrol tingkah laku atau kegiatan yang harus dilakukan oleh remaja tersebut. Pola asuh ini berdampak pada perilaku dan perkembangan sosial mereka. 27

19 2. Ciri Ciri Pola Asuh Otoriter Yusuf, 2002) Hurlock (1993) mengemukankan ciri ciri pola asuh, yaitu : (dalam a. Anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua dan memperlakukan anak dengan tegas yang dimaksudkan bahwa orang tua bersikap kaku atau keras pada anak. b. Pengontrolan orang tua pada tingkah laku anak sangat ketat hampir tidak pernah memberi pujian, kurang kasih sayang, kurang simpatik dan mudah menyalahkan segala aktivitas anak terutama ketika anak ingin berlaku kreatif yang orang tua lakukan dengan anak seperti diatas akan bersikap mengomando atau mengharuskan / memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi, dan juga memiliki sikap menerimanya rendah tetapi mengontrolnya tinggi. c. Sering memberikan hukuman fisik jika terjadi kegagalan memenuhi standar yang telah ditetapkan orang tua karena selain itu dihukum karena orang tua menganggap tidak sesuai dengan keinginan orang tua dan orang tua bersikap dengan memberi hukuman. d. Terlalu banyak aturan yang cenderung sikap orang tuanya emosional dan bersikap menolak yang hanya menuntut kepatuhan semata. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter sangat mempengaruhi kepribadian remaja dan perkembangan sosialnya. Remaja 28

20 yang mendapat pola asuh ini akan menjadi remaja yang mudah tersinggung, penakut, pemurung, tidak bahagia, mudah terpengaruhi, mudah stress, tidak mempunyai arah masa depan yang jelas dan juga tidak bersahabat (Yusuf, 2002). Dapat dikatakan bahwa remaja yang memiliki perilaku yang seperti itu, terhambat dalam perkembangan sosialnya. C. Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter Orang Tua Dengan Empati Pada Remaja Awal Orang tua yang otoriter sangat berkuasa terhadap anak, memegang kekuasaan tertinggi serta mengharuskan anak patuh pada perintahnya. Dengan berbegai cara, segala tingkah laku anak dikontrol dengan ketat (dalam Aisyah, 2010). Pola asuh otoirter menjadikan remaja berperilaku mudah tersinggung, penakut, pemurung, tidak bahagia, mudah terpengaruh, mudah stress, tidak mempunyai arah masa depan yang jelas, dan tidak bersahabat (Yusuf, 2002). Pola asuh otoriter cenderung menjadikan kepribadian remaja mudah tersinggung ini dikarenakan remaja tersebut cenderung mengambil sudut pandang dirinya sendiri, misalnya disaat temannya berkata atau menyampaikan suatu pendapat yang menurut temannya hal tersebut bukanlah hal serius tetapi dalam sudut pandangnya itu merupakan hal serius. Hal ini menjadikan remaja tersebut memiliki empati yang rendah. Selain menjadikan remaja mudah tersinggung, pola asuh otoriter orang tua juga menjadikan remaja memiliki kepribadian yang mudah stres karena remaja mengalami kecemasan dan kegelisahan dalam mengahadapi 29

21 dirinya sendiri dilihat dari sisi yang tidak menyenangkan, kepribadian tersebut menjadikan remaja memiliki empati yang rendah. Lebih lanjut, orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter terhadap remaja, remaja tersebut cenderung memiliki kepribadian yang mudah terpengaruh dan penakut, yang dimaksudkan disini bahwa remaja ini cenderung merasa bahwa sudut pandangnya benar tanpa memperhatikan sudut pandang orang lain, seperti disaat temannya mengatakan atau memberitahukan harus berperilaku baik atau buruk remaja tersebut akan mengikutinya tanpa menyaring terlebih dahulu yang dilakukan atau dikatakan ini benar atau salah hal ini dapat menjadikan remaja ini memiliki empati yang rendah. Remaja yang memiliki kepribadian tidak mempunyai arah masa depan yang jelas dikarenakan orang tuanya menerapakan pola asuh otoriter sehingga remaja tersebut tidak memiliki kemampuan untuk berimajinasi atau berkhayal mengenai masa depan dari kepribadian ini dapat menjadikan remaja memiliki empati yang rendah. Disamping itu pola asuh otoriter orang tua ini juga memiliki kepribadian yang tidak bahagia dan permurung dikarenakan remaja tersebut mengalami kecemasan dan kegelisahan yang berorientasi pada dirinya sendiri dari sisi tidak menyenangkan, menjadikan remaja tersebut memiliki empati yang rendah. Pola asuh otoriter ini memiliki kepribadian yang tidak bersahabat dikarenakan remaja tersebut tidak memiliki perasaan simpati atau perhatian terhadap orang lain, kerpibadian ini menjadikan remaja tersebut susah menjalin hubungan dengan teman sebaya dan jarang memiliki teman, hal ini dapat menjadikan remaja tersebut memiliki empati yang rendah. 30

22 D. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara pola asuh otoriter dengan empati pada remaja awal. artinya semakin tinggi pola asuh otoriter, maka semakin rendah empati pada remaja awal, begitu juga sebaliknya, semakin rendah pola asuh otoriter, maka semakin tinggi empati pada remaja awal. 31

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 DISKUSI Berdasarkan hasil analisis pada bab IV, maka hipotesis yang menyatakan bahwa empati dan pola asuh demokratis sebagai prediktor perilaku prososial pada remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah kemampuan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku sebagai sesuatu yang dilakukan oleh setiap individu dan sesuatu yang bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Empati 2.1.1 Definisi Empati Empati merupakan suatu proses memahami perasaan orang lain dan ikut merasakan apa yang orang lain alami. Empati tidak hanya sebatas memasuki dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kemampuan Sosialisasi Anak Prasekolah 1. Pengertian Sosialisasi Sosialisasi menurut Child (dalam Sylva dan Lunt, 1998) adalah keseluruhan proses yang menuntun seseorang, yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang menarik untuk dikaji, karena pada masa remaja terjadi banyak perubahan yang dapat mempengaruhi kehidupan, baik bagi remaja itu

Lebih terperinci

Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu

Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta Selamat membaca, mempelajari dan memahami

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh 1.1 Definisi Pengasuhan adalah kegiatan kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh anak (Darling,

Lebih terperinci

HUBUNGAN EMPATI DENGAN COOPERATIVE LEARNING PADA PROSES BELAJAR SISWA DI SMP NEGERI 10 MEDAN SKRIPSI ABNES OKTORA GINTING

HUBUNGAN EMPATI DENGAN COOPERATIVE LEARNING PADA PROSES BELAJAR SISWA DI SMP NEGERI 10 MEDAN SKRIPSI ABNES OKTORA GINTING HUBUNGAN EMPATI DENGAN COOPERATIVE LEARNING PADA PROSES BELAJAR SISWA DI SMP NEGERI 10 MEDAN SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi Oleh ABNES OKTORA GINTING 031301092 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. dengan apa yang dirasakan orang lain (Batso dan Coke dalam Eisenbeng & Trayer, 1987

BAB II KAJIAN TEORITIS. dengan apa yang dirasakan orang lain (Batso dan Coke dalam Eisenbeng & Trayer, 1987 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hakekat Empati Empati adalah sebagai keadaan emosional yang dimiliki seseorang yang sesuai dengan apa yang dirasakan orang lain (Batso dan Coke dalam Eisenbeng

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan terbesar yang dihadapi siswa adalah masalah yang berkaitan dengan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Hasil diskusi kelompok terarah yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Efikasi Diri A. Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam teori sosial kognitif atau efikasi diri sebagai kepercayaan terhadap

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. lain (feeling into), atau berasal dari perkataan yunani phatos yang

BAB II KAJIAN TEORI. lain (feeling into), atau berasal dari perkataan yunani phatos yang BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Empati 2.1.1 Pengertian Empati Istilah empati berasal dari kata Einfuhlung yang digunakan oleh seorang psikolog Jerman, secara harfiah berarti memasuki perasaan orang lain (feeling

Lebih terperinci

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK Murhima A. Kau Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo INTISARI Proses perkembangan perilaku prososial menurut sudut pandang Social Learning Theory

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara berpikir remaja mengarah pada tercapainya integrasi dalam hubungan sosial (Piaget dalam Hurlock, 1980).

Lebih terperinci

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. LA TAR BELAKANG MASALAH Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kematangan Emosi Chaplin (2011) mengartikan kematangan (maturation) sebagai: (1) perkembangan, proses mencapai kemasakan/usia masak, (2) proses perkembangan, yang dianggap berasal

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Empati. pikiran, serta sikap orang lain. Hetherington dan Parke (1986) mengemukakan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Empati. pikiran, serta sikap orang lain. Hetherington dan Parke (1986) mengemukakan digilib.uns.ac.id 12 BAB II LANDASAN TEORI A. Empati 1. Pengertian Empati Menurut Watson dkk. (dalam Brigham, 1991), empati merupakan suatu kemampuan untuk melihat suatu situasi dari sudut pandang orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan kearah yang lebih baik tetapi perubahan ke arah yang semakin buruk pun terus berkembang.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Motivasi Berprestasi 2.1.1. Pengertian Motivasi Berprestasi Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau daya penggerak. Motivasi adalah penting karena dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dengan apa yang ia alami dan diterima pada masa kanak-kanak, juga. perkembangan yang berkesinambungan, memungkinkan individu

PENDAHULUAN. dengan apa yang ia alami dan diterima pada masa kanak-kanak, juga. perkembangan yang berkesinambungan, memungkinkan individu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam buku psikologi untuk keluarga, Gunarsa (2003) menyatakan bahwa dasar kepribadian seseorang dibentuk mulai masa kanak-kanak. Proses perkembangan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua,

BAB I PENDAHULUAN. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan lingkungannya dan mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya dunia pendidikan, kini orangtua semakin memiliki banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk mendaftarkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI PERILAKU ALTRUISTIK. kebaikan orang lain. Akert, dkk (dalam Taufik, 2012) mengatakan bahwa

BAB II LANDASAN TEORI PERILAKU ALTRUISTIK. kebaikan orang lain. Akert, dkk (dalam Taufik, 2012) mengatakan bahwa BAB II LANDASAN TEORI PERILAKU ALTRUISTIK 1. Definisi Perilaku Altruistik Menurut Baron (2005) perilaku altruistik adalah tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa kehidupan yang penting dalam rentang hidup manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional (Santrock,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial menurut Asih dan Pratiwi (2010) merupakan salah suatu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial,

Lebih terperinci

BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE PAINTING

BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE PAINTING BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE A. Konsep Keterampilan Sosial Anak Usia Dini 1. Keterampilan Sosial Anak usia dini merupakan makhluk sosial, unik, kaya dengan imajinasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia, khususnya dalam setiap dunia pendidikan, sehingga tanpa belajar tak pernah ada pendidikan. Belajar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Ayah 1. Definisi Peran Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun informal (Supartini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah golongan intelektual yang sedang menjalani pendidikan di perguruan tinggi dan diharapkan nantinya mampu bertindak sebagai pemimpin yang terampil,

Lebih terperinci

MENJADI ORANGTUA TERBAIK UNTUK ANAK DENGAN METODE PENGASUHAN YANG TEPAT

MENJADI ORANGTUA TERBAIK UNTUK ANAK DENGAN METODE PENGASUHAN YANG TEPAT MENJADI ORANGTUA TERBAIK UNTUK ANAK DENGAN METODE PENGASUHAN YANG TEPAT Dwi Retno Aprilia, Aisyah Program Studi PGPAUD Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang Email:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap perkembangan yang harus dilewati. Perkembangan tersebut dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usia sekolah menengah pertama pada umumnya berada pada usia remaja awal yaitu berkisar antara 12-15 tahun. Santrock (2005) (dalam http:// renika.bolgspot.com/perkembangan-remaja.html,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia dini merupakan saat seseorang mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat dalam kehidupannya. Perkembangan dan pertumbuhan pada anak usia

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sikap Negatif Terhadap Korban Pemerkosaan 2.1.1. Definisi sikap negatif terhadap korban pemerkosaan Sikap negatif terhadap korban pemerkosaan adalah penilaian individu mengenai

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi seorang anak dalam mempelajari berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar inilah,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka 147 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan: a. Remaja kelas XII SMA PGII 1 Bandung tahun ajaran 2009/2010

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Siswa 1. Pengertian Siswa Siswa adalah komponen masukan dalam sistem pendidikan, yang selanjutnya diproses di dalam proses pendidikan, sehingga menjadi manusia yang berkualiatas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja Pada umumnya remaja didefiniskan sebagai masa peralihan atau transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kematangan Emosi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kematangan Emosi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kematangan Emosi 1. Pengertian Kematangan Emosi Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses

BAB I PENDAHULUAN. Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses tumbuh kembang dengan pesat di berbagai aspek perkembangan. Salah satunya adalah aspek

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. oleh Kartini Kartono (1981) mengarikan perilaku (behavior) adalah respon

BAB II KAJIAN PUSTAKA. oleh Kartini Kartono (1981) mengarikan perilaku (behavior) adalah respon 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Chaplin dalam bukunya Dictionary of Psychology yang diterjemahkan oleh Kartini Kartono (1981) mengarikan perilaku (behavior)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empati Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai respon individu terhadap emosi orang lain, seolah individu yang bersangkutan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai oleh perubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan sosial. Masa remaja

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. orang lain. Rasa percaya diri merupakan keyakinan pada kemampuan-kemampuan yang

BAB II KAJIAN TEORI. orang lain. Rasa percaya diri merupakan keyakinan pada kemampuan-kemampuan yang BAB II KAJIAN TEORI A. Kepercayaan Diri 1. Pengertian Kepercayaan Diri Kepercayaan diri secara bahasa menurut Vandenbos (2006) adalah percaya pada kapasitas kemampuan diri dan terlihat sebagai kepribadian

Lebih terperinci

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG.

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG. GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG Dyna Apriany ABSTRAK Usia balita merupakan masa-masa kritis sehingga diperlukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertanyaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertanyaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Asertif 1. Pengertian Asertif menurut Corey (2007) adalah ekspresi langsung, jujur dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan, atau hak-hak seseorang tanpa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al- 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemaafan 1. Definisi Pemaafan Secara terminologis, kata dasar pemaafan adalah maaf dan kata maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al- Qur an terulang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial anak. Hurlock (1993: 250) berpendapat bahwa perkembangan sosial

BAB I PENDAHULUAN. sosial anak. Hurlock (1993: 250) berpendapat bahwa perkembangan sosial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah perkembangan (developmental) merupakan bagian dari masalah psikologi. Masalah ini menitik beratkan pada pemahaman dan proses dasar serta dinamika perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semua ini membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Semua ini membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring perkembangan zaman dan teknologi, terjadi perubahan pola hidup masyarakat. Perubahan pola hidup ini tidak selalu bersifat positif, ada beberapa pola

Lebih terperinci

Remaja Pertengahan (15-18 Tahun)

Remaja Pertengahan (15-18 Tahun) Pertemuan Orang Tua Masa perkembangan setelah masa anak-anak dan menuju masa dewasa, yang meliputi perkembangan fisik, kognitif, emosi, sosial, moral, dan kesadaran beragama. REMAJA Batasan Usia Remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan menolong ini berarti memberikan sesuatu yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan begitu banyak perguruan tinggi seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti. bertujuan untuk menghibur. Seiring berjalannya waktudrama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti. bertujuan untuk menghibur. Seiring berjalannya waktudrama BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritik 1. Sosiodrama a. Pengertian Sosiodrama Kata drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Pada dasarnya, drama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan intelektual dan kognitif. Kemampuan intelektual ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan intelektual dan kognitif. Kemampuan intelektual ini ditandai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa kanak-kanak akhir disebut juga sebagai usia sekolah dasar. Pada periode ini, anak dituntut untuk melaksanakan tugas belajar yang membutuhkan kemampuan intelektual

Lebih terperinci

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01 BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01 Coffee Morning Global Sevilla School Jakarta, 22 January, 2016 Rr. Rahajeng Ikawahyu Indrawati M.Si. Psikolog Anak dibentuk oleh gabungan antara biologis dan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang giatgiatnya membangun. Agar pembangunan ini berhasil dan berjalan dengan baik, maka diperlukan partisipasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemandirian Anak TK 2.1.1 Pengertian Menurut Padiyana (2007) kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk berbuat bebas, melakukan sesuatu atas dorongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian

BAB I PENDAHULUAN. Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya. Individu akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya dan ketergantungan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial pada Remaja 1. Pengertian Perilaku Prososial pada Remaja Sears dkk. (1994: 47), berpendapat perilaku prososial adalah tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SOSIAL DAN KEPRIBADIAN. Program PLPG PAUD UAD 2017

PENGEMBANGAN SOSIAL DAN KEPRIBADIAN. Program PLPG PAUD UAD 2017 PENGEMBANGAN SOSIAL DAN KEPRIBADIAN Program PLPG PAUD UAD 2017 PENTINGNYA PENGEMBANGAN SOSIAL 1. Anak perlu distimulasi dan difasilitasi, sehingga perkembangan sosialnya dapat berkembang dengan baik. Anak

Lebih terperinci

MENGENAL MODEL PENGASUHAN DAN PEMBINAAN ORANGTUA TERHADAP ANAK

MENGENAL MODEL PENGASUHAN DAN PEMBINAAN ORANGTUA TERHADAP ANAK Artikel MENGENAL MODEL PENGASUHAN DAN PEMBINAAN ORANGTUA TERHADAP ANAK Oleh: Drs. Mardiya Selama ini kita menyadari bahwa orangtua sangat berpengaruh terhadap pengasuhan dan pembinaan terhadap anak. Sebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak selalu membawa kebaikan bagi kehidupan manusia, kehidupan yang semakin kompleks dengan tingkat stressor

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 12 BAB II LANDASAN TEORI A. Empati 1. Pengertian Empati Salah satu bentuk kemampuan seseorang agar berhasil berinteraksi dengan orang lain adalah empati. Sari (2003) mengatakan bahwa tanpa kemampuan empati

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan kemudian dipertahankan oleh individu dalam memandang dirinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu BAB II LANDASAN TEORI A. Sibling Rivalry 1. Pengertian Sibling Rivalry Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu keluarga yang sama, teristimewa untuk memperoleh afeksi atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif Menurut Schiffman & Kanuk (2004), konsumen yang melakukan pembelian dipengaruhi motif emosional seperti hal-hal yang bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya setiap manusia diciptakan berbeda, maka perbedaan dalam pendapat, persepsi, dan tujuan menjadi sebuah keniscayaan. Kemampuan menerima dan menghargai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus 16 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru dimana secara sosiologis, remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan kehidupan seorang manusia berjalan secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja, dewasa, dan lanjut

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Prestasi Akademik A.1. Pengertian Prestasi Akademik Prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kemampuan yang disebabkan karena proses belajar. Bentuk hasil proses belajar

Lebih terperinci

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. 1 BAB 1 PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. Dimulai dari masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan masa tua. Pada setiap masa pertumbuhan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah bangsa yang dikenal dengan keramahtamahannya serta budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun belum dapat dikategorikan dewasa. Masa remaja merupaka masa transisi dari masa kanak-kanak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik, karena masa ini adalah periode perubahan dimana terjadi perubahan tubuh, pola perilaku dan peran yang diharapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepanjang masa hidupnya, manusia mengalami perkembangan dari sikap

BAB I PENDAHULUAN. Sepanjang masa hidupnya, manusia mengalami perkembangan dari sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang masa hidupnya, manusia mengalami perkembangan dari sikap tergantung ke arah kemandirian. Pada mulanya seorang anak akan bergantung kepada orang-orang

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS BIBLIOKONSELING UNTUK MENINGKATKAN EMPATI REMAJA DI RUMAH PINTAR BUNGA PADI KECAMATAN BALEREJO, KABUPATEN MADIUN

EFEKTIVITAS BIBLIOKONSELING UNTUK MENINGKATKAN EMPATI REMAJA DI RUMAH PINTAR BUNGA PADI KECAMATAN BALEREJO, KABUPATEN MADIUN EFEKTIVITAS BIBLIOKONSELING UNTUK MENINGKATKAN EMPATI REMAJA DI RUMAH PINTAR BUNGA PADI KECAMATAN BALEREJO, KABUPATEN MADIUN Dahlia Novarianing Asri* Tyas Martika Anggriana* Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki 5 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hakekat Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional bukanlah merupakan lawan dari kecerdasan intelektual yang biasa kita kenal dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak terus bekerja, dan daya serap anak-anak tentang dunia makin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak terus bekerja, dan daya serap anak-anak tentang dunia makin meningkat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia kognitif anak-anak ialah kreatif, bebas dan penuh imajinasi. Imajinasi anak-anak terus bekerja, dan daya serap anak-anak tentang dunia makin meningkat.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. objek lainnya (Hatch dalam Sugiono, 2006). Penelitian ini menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. objek lainnya (Hatch dalam Sugiono, 2006). Penelitian ini menggunakan 28 BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel dan Definisi Operasional 1. Identifikasi Variabel Variabel adalah atribut seseorang atau obyek yang mempuanyai variasi antara orang yang satu dengan lainnya maupun

Lebih terperinci