BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empati Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai respon individu terhadap emosi orang lain, seolah individu yang bersangkutan mengalami sendiri keadaan emosi serupa yang dialami oleh orang tersebut. De Vito (2000) berpendapat bahwa empati adalah kemampuan untuk memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain berdasarkan sudut pandang orang tersebut. Kemampuan empati dapat ditunjukkan dengan cara aktif terlibat bersama orang lain melalui ekspresi wajah dan gerajan tangan, konsentrasi yang memfokuskan pada kontak mata, memperhatikan gerak tubuh, ketertutupan fisik, dan melakukan sentuhan fisik. Koestner dan Frasz (1990) mengartikan empati sebagai kemampuan untuk menempatkan diri dengan orang lain tanpa secara nyata harus terlibat dalam perasaan atau anggapan orang tersebut. Eissenberg dan Mussen (dalam Eissenberg dan Stayer, 2002) berpendapat bahwa empati merupakan keadaan afektif yang seolah-olah dialami sendiri yang berasal dari keadaan atau kondisi emosi orang lain yang mirip dengan keadaan atau kondisi orang tersebut. Menurut Seagal (dalam Taufik, 2012) empati adalah mengetahui perasaan orang lain, empati dianggap sebagai faktor yang penting dalam mengembangkan perilaku yang positif terhadap orang lain, empati akan membuat seseorang menjadi bijaksana dalam perasa. Stein dan Book (dalam Baron dan Byrne, 2005) berpendapat bahwa empati merupakan kemampuan untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran orang lain sebagaimana orang tersebut merasakan dan memikirkannya. Bersikap empati artinya mampu membaca orang lain dari sudut pandang emosi. Orang yang empatik memiliki

2 kepedulian terhadap orang lain dan memperlihatkan minat serta perhatiannya pada orang lain. Wiggins (dalam Hurlock, 1994) berpendapat bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan persepsi orang lain, yaitu memandang dan merasakan sesuatu seperti cara orang lain memandang dan merasakan. Hurlock (1994) berpendapat bahwa empati merupakan kemampuan seseorang untuk mengerti perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri berada di tempat lain. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa empati adalah merasakan dan memikirkan kondisi yang dirasakan orang lain tanpa harus secara nyata melibatkan diri dalam perasaan atau tanggapan orang lain. Individu tidak mengalami sendiri suatu peristiwa yang saat itu dialami dan dirasakan oleh orang lain, tetapi mampu memahami peristiwa jika dilihat dari sudut pandang orang lain. 2. Aspek-Aspek Kemampuan Berempati Empati merupakan suatu reaksi individu pada saat individu mengalami pengalamanpengalaman orang lain. Ada bermacam-macam reaksi yang mungkin akan muncul pada saat seseorang melihat orang lain mengalami suatu peristiwa. Para ahli membedakan respon empati menjadi dua komponen ( Davis dalam Nashroni, 2008) yaitu: a. Komponen kognitif dalam empati adalah proses intelektual untuk memahami perspektif orang lain secara tepat. Dalam komponen kognitif ini diharapkan seseorang mampu untuk membedakan emosi-emosi orang lain dan menerima pandangan mereka. b. Komponen afektif adalah kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan emosional orang lain. Lebih lanjut kedua komponen empati kedalam aspek-aspek empati, masing-masing komponen ini mempunyai dua aspek yaitu yang pertama aspek kognitif antara lain

3 perspective taking dan fantasy, aspek yang kedua adalah aspek dalam komponen afeksi antara lain empathic concern dan personal distress. a. Perspective taking adalah membayangkan kondisi seseorang secara fikiran dan perasaan dengan cara meletakkan pandangan dan fikiran pada posisi orang lain yang menyebabkan individu lebih sadar dan memperhatikan pendapat orang lain tentang dirinya. Contoh memaklumi teman yang menangis histeris pada saat pemakaman orang tua yang meninggal karena kecelakaan. b. Fantasy merupakan kemampuan seseorang untuk mengubah diri secara imajinatif mengalami perasaan dan tindakan dalam karakter-karakter khayal dalam buku-buku, film atau sandiwara yang dibaca atau ditonton. Berdasarkan penelitian Stotlang fantasy berpengaruh terhadap reaksi emosi orang lain dan menimbulkan perilaku menolong. Contohnya ikut merasakan senang saat menonton film yang berakhir bahagia. c. Empathic concern yaitu simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan orang lain. Empathic concern merupakan cermin dari perasaan dan simpati yang erat kaitannya dengan kepekaan serta kepedulian terhadap orang lain. Coke dalam penelitian Empathic concern berhubungan positif dengan reaksi emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa. Contohnya merasa iba dan kasihan terhadap anak-anak yang meminta-minta di pinggir jalan lampu merah. d. Personal distress yaitu menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi situasi interpersonal yang tidak menyenangkan. Tingginya personal distress menunjukkan kurangnya kemampuan untuk bersosialisasi, ini dapat menyebabkan internal reward seperti kesabaran dan cinta kasih. Pada individu dengan personal distress tinggi menjadi dasar pertimbangan utama dengan perilaku menolong, sehingga dengan personal distress

4 semakin tinggi berperilaku prososial dan eksternal reward seperti popularitas, pujian dari orang lain cenderung rendah. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada empat aspek yang terkandung dalam konsep empati, yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern dan personal distress. Aspek-Aspek inilah yang akan digunakan untuk menyusun alat ukur penelitian Kemampuan Berempati. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Berempati Menurut Koestner & Franz (1990) ada beberapa faktor yang memunculkan empati, antara lain: a. Pola asuh Perkembangan empati lebih mudah terjadi pada lingkungan keluarga yang telah memberikan kepuasan pada kebutuhan emosional anak sehingga anak tidak terlalu mementingkan kepentingan sendiri. Pola asuh lingkungan keluarga dapat mendorong anak untuk mengalami dan mengekspresikan emosin serta memberikan kesempatan kepada anak untuk mengobservasi dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mendorong kepekaan dan kemampuan emosi anak untuk berempati pada orang lain. Pendapat ini sesuai dengan hasil penelitian Koestner & Frans (1990) menunjukkan adanya hubungan yang relatif kuat antara pola asuh pada masa-masa awal dengan emphatic concern pada masa dewasa. Ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak dan Ibu yang mempunyai kesabaran dalam menghadapai ketergantungan anak menunjukkan kemampuan berempati yang tinggi ketika individu sudah berusia 31 tahun. b. Kepribadian

5 Faktor kepribadian berpengaruh terhadap tingkat empati seseorang. Individu yang mempunyai kebutuhan berafiliasi tinggi cenderung mempunyai tingkat empati dan nilainilai prososial yang tinggi pula. Pribadi yang tenang dan sering berintropeksi diri dipastikan akan memiliki kepekaan yang tinggi ketika berbagi dengan orang lain. Kepekaan ini yang kemudian menumbuhkan empati terhadap orang lain. c. Usia Tingkat empati seseorang semakin meningkat dengan bertambahnya usia, karena kemampuan pemahaman perspektif terhadap orang lain juga meningkat bersamaan dengan usia. Menurut Mussen dkk (1989) individu yang berusia dewasa menunjukkan peningkatan kemampuan empati dan kemampuan pemahaman perspektif. Individu yang lebih tua mempunyai tingkat fungsi kognitif dan pemahaman moral yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang lebih muda, karena pengalaman, kemampuan, dan kematangan emosi lebih tinggi. d. Derajat kematangan Menurut Gunarsa (2000) empati dipengaruhi oleh derajad kematangan individu. Derajat kematangan adalah besarnya kemampuan individu dalam memandang suatu hal secara proposional. Hal tersebut menunjukkan bahwa individu yang mempunyai derajat kematangan tinggi mampu untuk memahami segala sesuatu termasuk kondisi yang dirasakan orang lain dari berbagai sudut pandang baik dari diri sendiri maupun orang lain. Derajat kematangan seseorang akan sangat mempengaruhi kemampuan empatinya terhadap orang lain. Seseorang dengan derajat kematangan yang baik akan mampu untuk menampilkan empati yang tinggi pula. e. Sosialisasi

6 Sosialisasi merupakan proses melatih kepekaan diri terhadap rangsangan sosial yang berhubungan dengan empati dan sesuai dengan norma, nilai atau harapan sosial. Sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami empati artinya mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang orang lain. Sosialisasi menjadi dasar penting dalam berempati karena dapat melahirkan sikap dan kepekaan sosial terhadap lingkungan. Hoffman (dalam Kurtinez & Gerwitz, 1992) menyatakan beberapa hal yang menjadikan sosialisasi sebagi komponen yang berpengaruh terhadap empati, yaitu: 1) Sosialisasi membuat seseorang mengaami banyak emosi. 2) Sosialisasi membuat seseorang dapat mengamati secara langsung situasi internal orang lain. 3) Sosialisasi membuka terjadinya proses role taking (pengambilan peran), seseorang belajar untuk mengetahui peranan yang harus dijalankannya serta peranan yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain. 4) Menjadi lebih terbuka terhadap kebutuhan orang lain. 5) Dalam sosialisasi ditemukan banyak model yang dapat memberikan banyak contoh kebiasaan prososial dan perasaan empati yang dinyatakan secara verbal. f. Jenis Kelamin Perempuan mempunyai tingkat empati yang lebih tinggi daripada laki-laki. Persepsi ini didasarkan pada kepercayaan bahwa perempuan lebih nurturance (bersifat memelihara) dan lebih berorientasi interpersonal dibandingkan laki-laki (Parson dan Bales dalam Eisenberg & Strayer, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Marcus (dalam Eisenberg & Strayer, 1987) berupa cerita hipotetik yang diajukan untuk melihat respon

7 empati, didapatkan hasil bahwa anak perempuan lebih empatik dalam merespon secara verbal keadaan distress orang lain, ada perbedaan dalam hubungan dengan orientasi eksternal dan internal. Perempuan lebih berorientasi eksternal (orientasi pada orang lain), sedangkan laki-laki lebih berorientasi internal (orientasi pada diri sendiri). Beberapa faktor lain yang mempengaruhi proses empati menurut Goleman & Daniel, (2007): a. Perkembangan kognitif Perkembangan kognitif adalah suatu proses berfikir, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Empati dapat berkembang seiring dengan perkembangan kognitif yang bisa dikatakan kematangan kognitif, sehingga dapat melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan perkembangan kognitif meliputi menganalisis, membandingkan, mengurutkan dan mengevaluasi. b. Mood and Feeling Mood adalah sebuah keadaan sadar pikiran atau emosi yang dominan, sedangkan feeling adalah ekspresi suasana hati terutama dalam gambaran diri. Situasi perasaan seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya akan mempengaruhi cara seseorang dalam memberikan respon terhadap perasaan dan perilaku orang lain. c. Situasi dan tempat Situasi adalah semua fakta, kondisi dan peristiwa yang mempengaruhi seseorang atau sesuatu pada waktu tertentu dan di tempat tertentu. Tempat adalah sebuah wilayah tertentu atau kawasan yang digunakan untuk tujuan tertentu. Situasi dan tempat tertentu dapat memberikan pengaruh terhadap proses empati seseorang. Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik dibanding situasi yang lain. Sekolah Inklusi yang menerima siswa yang memiliki kekurangan atau anak berkebutuhan khusus (ABK),

8 diharapkan bisa menumbuhkan rasa empati anak normal kepada anak berkebutuhan khusus (Irawati, 2015). Pada Sekolah Konvensional dibutuhkan suatu upaya untuk meningkatkan rasa empati yang dimiliki siswa sehingga siswa dapat menghindarkan diri dari berbuat sesuatu yang negatif. Dalam sekolah konvensional kemampuan empati yang harus dimiliki yaitu kerjasama,toleransi,mengendalikan emosi,memahami aturan,peduli teman,dan menghargai orang lain (Kusminar, 2014). d. Komunikasi Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik secara lisan (langsung) ataupun tidak langsung (melalui media). Pengungkapan empati dipengaruhi oleh komunikasi (bahasa) yang digunakan seseorang. Perbedaan bahasa dan ketidakpahaman tentang komunikasi yang terjadi akan menjadi hambatan pada proses empati. Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur, yakni: komunikator, pesan, media, komunikan efek. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi empati meliputi faktor pola asuh, kepribadian, usia, derajat kematangan, sosialisasi, jenis kelamin, perkembangan kognitif, mood dan feeling, situasi dan tempat, dan komunikasi. Dari beberapa faktor kemampuan empati tersebut, salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan empati adalah faktor situasi dan tempat. Berdasarkan penelitian Prihartanti, dkk. (2009) menunjukan bahwa pada masa SMP dan SMA masalah sosial berupa interaksi dengan situasi dan tempat sangat mempengaruhi proses pembentukan empati. Dalam hal ini yang dimaksud adalah sekolah inklusif dan sekolah konvensional dengan segala unsur-unsur yang berada dalamnya. Remaja lebih banyak menghabiskan waktu di

9 sekolah daripada di rumah, sehingga pengaruh sekolah akan lebih besar berpengaruh pada kemampuan berempati remaja. B. Sekolah Inklusi dan Sekolah Biasa (Konvensional) 1. Sekolah Inklusi a. Pengertian Dalam ranah pendidikan, istilah inklusi dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang dimiliki individu, sekolah inklusi didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu. Istilah inklusi digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah (David, 2006). Baihaqi dan Sugiarmin (2006), menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka. Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat. Baihaqi dan Sugiarmin (2006), menekankan bahwa siswa memiliki hak yang sama tanpa dibedabedakan berdasarkan perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Perbedaan yang terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia pendidikan dengan mempersiapkan model pendidikan yang disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan individu tersebut.

10 Perbedaan bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam pendidikan, namun pendidikan harus tanggap dalam menghadapi perbedaan. Hallahan (2009), mengemukakan pengertian sekolah inklusi sebagai lembaga pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah normal sepanjang hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa pendidikan inklusi menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Untuk itulah, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dengan demikian guru harus memiliki kemampuan dalam menghadapi banyaknya perbedaan peserta didik. Senada dengan pengertian yang disampaikan Hallahan (2009), dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sekolah inklusi adalah suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pengertian yang disebutkan dalam Permendiknas di atas memberikan penjelasan secara lebih rinci mengenai siapa saja yang dapat dimasukkan dalam pendidikan inklusif. Perincian yang diberikan pemerintah ini dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan yang sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, sehingga pemerintah memandang perlu memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik dari yang normal, memilik kelainan, dan memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan. Dengan demikian pemerintah mulai mengubah model pendidikan yang selama ini memisah-misahkan peserta didik normal ke dalam sekolah normal, peserta

11 didik dengan kecerdasan luar biasa dan bakat istimewa ke dalam sekolah akselerasi, dan peserta didik dengan kelainan ke dalam Sekolah Luar Biasa (SLB). Seperti yang dijabarkan di dalam Peraturan Walikota Yogyakarta no 47 tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, pada BAB I, Pasal 1, No.6, bahwa: Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi adalah satuan pendidikan formal normal jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang memiliki peserta didik tanpa membedabedakan latar belakang kondisi sosial, ekonomi, politik, suku, bahasa, jenis kelamin, agama atau kepercayaan, serta perbedaan kondisi fisik maupun mental dan telah menyelenggarakan proses pembelajaran yang inklusif. Sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua peserta didik baik yang normal maupun berkelainan di lingkungan sekolah dan kelas yang sama. Sekolah inklusi menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik. David (2012), menyatakan sekolah inklusif berarti lembaga pendidikan yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang normal maupun peserta didik berkebutuhan khusus. Masing-masing dari mereka memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain. Sekolah inklusi menampung semua peserta didik baik yang normal maupun berkelainan di lingkungn sekolah dan kelas yang sama. Sekolah inklusi menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik. Peserta didik menurut Peraturan Walikota Yogyakarta No.47 Tahun 2008 adalah semua peserta didik termasuk peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta didik berkebutuhan khusus yang dimaksud meilputi: (a) siswa dengan gangguan penglihatan, (b) siswa dengan gangguan pendengaran, (c) siswa dengan gangguan wicara, (d) siswa dengan gangguan fisik, (e) siswa dengan kesulitan belajar, (f) siswa dengan gangguan

12 lambat belajar, (g) siswa dengan gangguan pemusatan pemikiran, (h) siswa cerdas istimewa, (i) siswa bakat istimewa, (j) siswa yang memiliki kebutuhan khusus secara sosial. Berdasarkan penjelasan diatas Sekolah Inklusif adalah lembaga pendidikan yang didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang normal maupun peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah normal di lingkungn sekolah dan kelas yang sama dan masing-masing dari mereka memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain. b. Tujuan Sekolah Inklusi Adapun tujuan dari sekolah inklusi (Tarsidi, 2007), yaitu: 1) Untuk mendidik anak berkebutuhan khusus akibat kecacatannya dikelas normal bersama-sama dengan anak-anak lain yang non cacat, beserta dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya. 2) Untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus dan memberi kesempatan bersosialisasi. c. Manfaat Sekolah Inklusi Beberapa manfaat dari sekolah inklusi ini (Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, 2007), yaitu: 1) Bagi anak berkebutuhan khusus diharapkan untuk dapat bersosialisasi dengan kelompok sebaya normal lainnya dengan baik, tidak menerima banyak tekanan dan tidak terisolasi dalam dunianya sendiri.

13 2) Bagi anak yang normal, sekolah inklusi mengajarkan banyak hal, antara lain bersikap terbuka terhadap perbedaan, menanamkan rasa empati, tidak memandang rendah anak berkebutuhan khusus dan memupuk sikap saling menolong. d. Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar Peksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan pelaksanaan kegiaan belajar-mengajar di kelas normal, namun demikian karena di dalam kelas inklusif di samping terdapat anak normal juga terdapat anak luar biasa yang mengalami kelainan/penyimpangan (baik phisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dibanding dengan anak normal, maka dalam kegiatan belajarmengajar guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak (Choiri, 2009). Menurut David (2012) dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya disesuaikan dengan model penempatan anak luar biasa yang dipilih, penempatan anak luar biasa di sekolah inklusif dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut: 1) Bentuk kelas normal penuh Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas normal dengan menggunakan kurikulum yang sama. 2) Bentuk kelas normal dengan cluster Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas normal dalam kelompok khusus. 3) Bentuk kelas normal dengan pull out Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas normal namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas normal ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

14 4) Bentuk kelas normal dengan cluster dan pull out Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas normal dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas normal ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus. 5) Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian Anak berkebutuhan khusus belajar di kelas khusus pada sekolah normal, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas normal. 6) Bentuk kelas khusus penuh di sekolah normal Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah normal. Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas normal setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkebutuhan khusus dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah normal (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah normal (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit) (David, 2012). Kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif akan berbeda baik dalam srategi, kegiatan media, dan metoda. Beberapa kegiatan belajar mungkin dilakukan berdasarkan literatur-literatur tertentu, sementara yang lainyna belajar yang sama akan lebih efektif apabila melalui observasi dan eksperimen. Beberapa anak memerlukan alat bantu tulis untuk mengingat sesuatu, mungkin yang lainnya cukup dengan hanya mendengarkan. Beberapa siswa mungkin memerlukan kertas dari pensil untuk mengingat suatu hubungan

15 tertentu. sementara beberapa siswa lainnya cukup mengingat dengan hanya melihat saja. Beberapa siswa mungkin lebih senang belajar secara individual, sedangkan yang lainnya lebih senang secara berkelompok, Taba (dalam Kustawan, 2010) mengemukakan, bahwa berbedanya kebutuhan individu berbeda pula di dalam teknik belajar dalam upaya mengemhangkan dirinya. Dewasa ini isitilah strategi belajar banyak dipergunakan di dalam teori kognitif dan penelitian. Hal itu berhuhungan dengan strategi individu dalam hal pemusatan perhatian, pemecahan rnasalah. mengingat dan mengawasi proses belajar dan pemecahan masalah (Kustawan, 2010). Hambatan belajar dapat berasal dan kesulitan menentukan strategi belajar dan metoda belajar lainnya sebagai akibat dan faktor-faktor biologis, psikologis, lingkungan, atau gabungan dan beberapa faktor tersebut. Sebagai contoh gangguan sensori seperti hilangnya penglihatan atau pendengaran, merupakan hambatan dalam memperoleh masukkan informasi dan luar berfungsi minimal otak mungkin akan berakibat yang cukup serius terhadap konsentrasi (Kustawan, 2010). Pelaksanaan kegiatan belajar menjadi model kelas tertentu mungkin berbeda dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada model kelas yang lain. Pada model Kelas Normal (Inklusi Penuh), bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal mungkin tidak berbeda secara signifikan namun pada model Kelas Normal dengan Cluster, bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal biasanya tidak sama, bahkan antara sesama anak luar biasa pun dapat berbeda (David, 2012). 2. Sekolah Biasa (Konvensional) a. Pengertian Sekolah biasa (konvensional) adalah suatu tempat terjadinya proses interaksi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru yang bertujuan membentuk siswa menjadi

16 individu yang cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, dan bertanggung jawab (Rusman, 2011). Sekolah biasa (konvensional) adalah sekolah pada umumnya yang merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya unuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Gulo, 2002). Unsur unsur dalam Sekolah biasa (konvensional) menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995) antara lain: (1) Peserta didik normal, (2) Kurikulum sama semua, (3) Tenaga guru tidak ada perbedaan, (4) Sarana dan prasarana seperti sekolah pada umumnya, (5) Lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk anak normal, (6) Bentuk kelas dalah bentuk kelas yang berisi anak normal penuh dengan kurikulum yang sama tanpa perbedaan. Berdasarkan penjelasan di atas Sekolah Biasa (Konvensional) adalah lembaga pendidikan yang merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, proses interaksi terjadi antara siswa normal dengan siswa normal dengan lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk siswa normal. b. Tujuan Sekolah biasa (konvensional) Tujuan Sekolah biasa (konvensional) berdasarkan UUSPN (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional) no 20 tahun 2003 antara lain: 1) Mendidik siswa agar menjadi manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila yang mampu ikut bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa. 2) Memberikan bekal kemampuan yang diperlukan bagi siwa-siswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

17 3) Memberikan bekal kemampuan dasar untuk hidup di masyarakat dan mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan lingkungan. Kelebihan Sekolah biasa (konvensional) menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995), sebagai berikut : 1) Pendidikan normal kurikulum sama seluruhnya. 2) Pendidikan normal semuaa siswanya normal. 3) Guru tidak mesti berlatar pendidikan khusus anak berkebutuhan khusus. 4) Sarana dan prasarananya tidak memerlukan biaya yang relative besar karena semuanya seragam Kelemahan Sekolah biasa (konvensional) menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995), sebagai berikut : 1) Peserta didik yang memiliki kelainan tidak dapat mengikuti pendidikan seperti peserta didik yang normal. 2) Sarana dan prasarana tidak memenuhi untuk peserta didik berkebutuhan khusus. 3) Gurunya tidak memiliki keprofesionalan menghadapi peserta didik berkebutuhan khusus. c. Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu (Rusman, 2011). Kegiatan belajar mengajar mengajar yang guru laksanakan berupa kegiatan pendahuluan adalah kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran (Rusman, 2011).

18 Pada kegiatan pendahuluan guru dapat melakukan apersepsi, memberikan motivasi kepada siswa dan menyampaikan tujuan yang akan dicapai. Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar. Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik (Rusman, 2011). Pada kegiatan inti pelajaran yang dapat guru laksanakan yaitu menguasai materi pelajaran, pendekatan/strategi pembelajaran, pemanfaatan media pembelajaran/sumber belajar, memicu dan memelihara keterlibatan siswa, menilai proses dan hasil belajar dan penggunaan bahasa yang benar dan tepat dalam pembelajaran. Kegiatan penutup pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan guru untuk mengakhiri pelajaran atau kegiatan belajar mengajar (Muchit, 2008). Kegiatan penutup dapat guru laksanakan dengan menyimpulkan materi pelajaran yang telah disampaikan dan memberikan arahan atau kegiatan yang akan dilakukan minggu berikutnya. Metode ceramah adalah metode mengajar yang disampaikan secara lisan, metode seperti ini termasuk metode pembelajaran yang paling sederhana (Fikri, 2006). Sehingga pendekatan yang sering digunakan adalah teacher center strateies atau pendekatan yang berpusat pada guru. Pendekatan ini mengutamakan keaktifan peran guru, guru menguasai informasi yang kemudian di transfer kepada siswa sehingga terjadi komunikasi yang searah, situasi belajar terkesan kaku, monoton, dan kurang menarik (Gulo, 2002).

19 C. Kemampuan Berempati pada siswa normal di sekolah inklusi dengan siswa normal di sekolah biasa (konvensional). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemampuan berasal dari kata dasar mampu yang berarti kuasa atau sanggup. Jadi kemampuan adalah kesanggupan individu untuk melakukan segala sesuatu termasuk berempati pada orang lain ( Poerwodarminto, 1984). Goleman (2002), mengatakan bahwa empati adalah merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. Menurut Adler (dalam Baron & Byrne, 2005), kemampuan berempati yaitu kemampuan merasakan kesulitan atau penderitaan orang lain, termasuk kesanggupan memahami perasaan dan tergerak untuk berbuat sesuatu bagi orang lain. Wuryanano (dalam Taufik, 2012) memaparkan bahwa kemampuan berempati merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain. Semakin dalam rasa empati seseorang, semakin tinggi rasa hormat dan sopan santunnya kepada sesama. Kemampuan berempati individu merupakan bagian sensitivitas dari individu, kepekaan rasa dan kedekatan hati pada hal-hal yang berkaitan secara emosional. Menurut definisi Eisenberg dan Strayer (2002) munculnya perasaan empati memungkinkan individu melakukan usaha untuk membantu orang lain. Situasi dan tempat adalah salah satu faktor yang mempengaruhi dalam perkembangan empati seseorang. Dalam usia awal sekolah, anak akan belajar berempati dari lingkungan keluarga, tempat bermain dan di sekolah. Berdasarkan penelitian Prihartanti, dkk. (2009) menunjukan bahwa pada masa SMP dan SMA masalah sosial berupa interaksi dengan situasi dan tempat sangat mempengaruhi proses pembentukan empati. Dalam hal ini yang dimaksud adalah sekolah inklusif dan sekolah konvensional dengan segala unsur-unsur yang berada dalamnya. Menurut Davis dalam Nashroni (2008) aspek yang mempengaruhi kemampuan berempati yaitu; pertama Perspective taking adalah membayangkan kondisi seseorang secara

20 fikiran dan perasaan dengan cara meletakkan pandangan dan fikiran pada posisi orang lain yang menyebabkan individu lebih sadar dan memperhatikan pendapat orang lain tentang dirinya. Contoh perspektive taking yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah inklusi X yaitu; Saat salah satu siswa berkebutuhan khusus tidak bisa menjawab pertanyaan dari guru, siswa lain berusaha membantu dengan memperjelas pertanyaan yang diberikan guru, tidak ada yang mengejek siswa tersebut. Setiap hari jumat selalu ada uang sumbangan untuk di sumbangkan ke orang yang membutuhkan, jumlah tersebut selalu meningkat, hal ini menunjukkan siswa dapat membayangkan kondisi seseorang secara fikiran dan perasaan yang terwujud dalam pemberian sumbangan. Contoh perspektive taking yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah biasa (konvensional) Y yaitu; ketika ada salah satu teman yang tidak jajan, ada beberapa siswa yang dengan cuek jajan tanpa menawarkan teman tersebut. Ketika salah satu siswa kesulitan dalam menjawab pertanyaan dari peneliti, siswa lain meledek dengan senyum sehingga siswa tersebut terlihat kesal. Aspek kedua yang mempengaruhi kemampuan berempati yaitu; Fantasy, merupakan kemampuan seseorang untuk mengubah diri secara imajinatif mengalami perasaan dan tindakan dalam karakter-karakter khayal dalam buku-buku, film atau sandiwara yang dibaca atau ditonton. Berdasarkan penelitian Stotlang, fantasy berpengaruh terhadap reaksi emosi orang lain dan menimbulkan perilaku menolong. Contoh fantasy yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah inklusi X yaitu; ketika penulis menanyakan pada siswa tentang cerita film yang sedih atau berita tentang musibah yang sedang dialami saat ini, sebagian anak merespon dengan ekspresi wajah sedih dan menjawab dengan iba, sedangkan saat pertanyaan diberikan di sekolah biasa (konvensional) Y, yang merespon dengan ekspresi wajah sedih dan menjawab dengan iba sebagian besar adalah siswa perempuan, siswa laki-laki tidak begitu terlihat ekspresi wajah sedih.

21 Aspek ketiga yang mempengaruhi kemampuan berempati yaitu; Empathic concern yaitu simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan orang lain. Empathic concern merupakan cermin dari perasaan dan simpati yang erat kaitannya dengan kepekaan serta kepedulian terhadap orang lain. Coke dalam penelitian Empathic concern berhubungan positif dengan reaksi emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa. Contoh Empathic concern yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah inklusi X yaitu; dari wawancara dengan guru bimbingan dan konseling ketika salah satu siswa sakit atau terkena musibah kecelakaan, siswa satu kelas dan siswa kelas lain ikut menjenguk dan membantu meminjamkan buku pelajaran supaya tidak tertinggal pelajaran. Contoh Empathic concern yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah biasa (konvensional) Y yaitu; saat ada teman yang terjatuh dari sepeda, dua siswa lari untuk membantu dan beberapa siswa ada yang tertawa dan diam. Aspek keempat yang mempengaruhi kemampuan berempati yaitu; Personal distress yaitu menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi situasi interpersonal yang tidak menyenangkan. Contoh Personal distress yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah inklusi X yaitu; saat ada siswa yang pingsan ketika sedang pelajaran olah raga, siswa lain segera membantu membawa ke kelas dan memanggil guru untuk menolong, terlihat kekhawatiran teman-teman saat siswa tersebut sakit. Contoh Personal distress yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah biasa (konvensional) Y yaitu; saat peneliti menanyakan pendapat sebagian siswa tentang anak-anak yang mengemis di lampu merah, respon siswa sebagian besar kasihan dan kecewa terhadap orang tua anak tersebut. Ikut prihatin terhadap kondisi yang tidak menyenangkan pada orang lain. Sekolah inklusi merupakan model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak berkelainan atau berkebutuhan khusus di mana penyelenggaraannya dipadukan bersama anak

22 normal dan bertempat di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga bersangkutan (Sukadari, 2006). Sekolah inklusi memberikan kesempatan dan akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi. Pihak sekolah dituntut untuk melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik (Direktorat PLB, 2007). Manfaat dari sekolah inklusi ini (Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, 2007), yaitu: Bagi anak berkebutuhan khusus diharapkan untuk dapat bersosialisasi dengan kelompok sebaya normal lainnya dengan baik, tidak menerima banyak tekanan dan tidak terisolasi dalam dunianya sendiri. bagi anak normal, sekolah inklusi mengajarkan banyak hal, antara lain bersikap terbuka terhadap perbedaan, menanamkan rasa empati, tidak memandang rendah anak berkebutuhan khusus dan memupuk sikap saling menolong. Sekolah Inklusi yang menerima siswa yang memiliki kekurangan atau anak berkebutuhan khusus (ABK), tidak serta merta membuat anak-anak yang berkebutuhan khusus ini akan diasingkan oleh siswa lainnya. Namun sebaliknya, bisa menumbuhkan rasa empati kepada anak berkebutuhan khusus sejak dini. Ada anggapan jika orangtua merasa khawatir dan takut untuk memasukkan anak ke dalam sekolah inklusi karena nantinya akan diasingkan, padahal sebaliknya, siswa normal bisa menolong temannya yang memiliki kekurangan. Pemerintah saat ini mulai membuka jalan dengan memberikan pelatihan kepada guru-guru untuk meningkatkan kualitas sekolah inklusi, sehingga guru dan siswa normal dapat meningkatkan kemampuan berempati kepada anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi ( 2016). Adapun tujuan dari sekolah inklusi (Tarsidi, 2007), yaitu: Untuk mendidik anak berkebutuhan khusus akibat kecacatannya dikelas normal bersama-sama dengan anak-anak lain yang non cacat, beserta dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk

23 mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus dan memberi kesempatan bersosialisasi. Menurut Salim dalam Ginanjar (2013) siswa normal di sekolah inklusi diharapkan dapat memahami, menghargai, dan menerima siswa berkebutuhan khusus dengan segala perbedaan dan keterbatasannya. Penerimaan siswa normal terhadap siswa berkebutuhan khusus menjadi langkah awal bagi terwujudnya hubungan harmonis di lingkungan sekolah inklusi. Empati merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan siswa normal terhadap siswa berkebutuhan khusus. Menurut Soefandi dan Pramudya (2009) empati merupakan kemampuan menempatkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman orang tersebut. Menurut Taufik (2012) siswa normal yang mampu menempatkan diri dalam posisi siswa berkebutuhan khusus, menyelami keadaan siswa berkebutuhan khusus, ikut merasakan perasaan dan memahami pandangan siswa berkebutuhan khusus terkait dengan segala keterbatasannya, senantiasa akan lebih dapat menghargai siswa berkebutuhan khusus dan selanjutnya diharapkan dapat menerima siswa berkebutuhan khusus. Hal tersebut dikarenakan dengan kemampuan empati seseorang dapat lebih menghormati dan menghargai orang lain sehingga dapat menerima perbedaan yang ada. Menurut hasil penelitian dari Salim dan Ginanjar (2013) di SMPN Inklusi Jakarta, sebagian besar siswa normal di sekolah inklusi memiliki tingkat empati yang tinggi terhadap siswa berkebutuhan khusus, terlihat dari mean skor empati (M= 31,98) yang mendekati nilai maksimum (42) pada distributor skor empati. Siswa normal yang lebih banyak dan sering berinteraksi dengan siswa berkebutuhan khusus maka besar kemungkinan lebih mampu untuk berempati terhadap siswa berkebutuhan khusus, karakteristik siswa berkebutuhan khusus yang bagi siswa sekolah biasa (konvensional) terlihat aneh, bagi siswa normal di sekolah inkluasi akan terlihat lebih familiar dan dapat dimaklumi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari siswa yang merasa bahwa lama-kelamaan siswa normal semakin mampu

24 untuk memahami keadaan siswa berkebutuhan khusus, bahkan menganggap siswa tersebut sebagai seorang teman sekelas yang sebenarnya cukup menyenangkan. Lamanya waktu yang dihabiskan siswa normal untuk berinteraksi dengan siswa berkebutuhan khusus di kelas dapat membuat siswa normal semakin memahami diri siswa berkebutuhan khusus. Siswa normal yang memiliki kedekatan dengan siswa berkebutuhan khusus akan cenderung menampilkan perilaku menolong yang lebih tinggi. Berdasarkan Bellmore (dalam Salim & Ginanjar, 2013), terdapat beberapa alasan yang dapat diasosiasikan dengan perilaku menolong, dimana dua di antaranya adalah empati terhadap korban serta kedekatan hubungan dengan korban tersebut. Sekolah biasa (konvensional) adalah sekolah pada umumnya yang merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya unuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Gulo, 2002). Unsur unsur dalam Sekolah biasa (konvensional) menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995) antara lain: (1) Peserta didik normal, (2) Kurikulum sama semua, (3) Tenaga guru tidak ada perbedaan, (4) Sarana dan prasarana seperti sekolah pada umumnya, (5) Lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk anak normal, (6) Bentuk kelas dalah bentuk kelas yang berisi anak normal penuh dengan kurikulum yang sama tanpa perbedaan. Menurut Wallace (dalam Sunarto 2009) di sekolah biasa (konvensional) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: perhatian kepada masing-masing siswa atau minat sangat kecil, pembelajaran di sekolah lebih banyak dilihat sebagai persiapan akan masa depan, bukan sebagai peningkatan kompetensi siswa di saat ini, penekanan yang mendasar adalah pada bagaimana pengetahuan dapat diserap oleh siswa dan penguasaan pengetahuan tersebutlah yang menjadi tolak ukur keberhasilan tujuan, sementara pengembangan potensi siswa terabaikan.

25 Di dalam sekolah konvensional, yang paling disoroti adalah prestasi belajar siswa (Hamdani, 2011). Proses pembelajaran di lingkungan sekolah konvensional mengakibatkan empati belum seutuhnya dimiliki siswa di sekolah konvensional (Nurfidia, 20017). Wahyuni & Adiyanti (dalam Salim & Ginanjar, 2013) menambahkan sekolah merupakan lembaga pendidikian yang mengajarkan ilmu pengetahuan agar siswa memiliki wawasan luas dan mengajarkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Lingkungan sekolah memiliki pengaruh yang besar bagi siswa untuk membentuk perilaku siswa, karena di lingkungan sekolah, siswa dapat menanamkan nilai-nilai positif dalam bersosialisasi dengan teman sebaya, namun terkadang apa yang diharapkan tidak sesuai apa yang diharapkan. Empati mendasari banyak segi tindakan dan pertimbangan moral. Oleh karena itu, jika seseorang tidak memiliki rasa empati pada sesama, kemungkinan besar yang bisa terjadi adalah orang tersebut akan bertindak semaunya kepada orang lain. Seseorang yang tidak mempunyai empati ini memiliki potensi untuk melakukan tindak kejahatan kepada orang lain, karena orang tersebut hanya menggunakan pertimbangan pikirannya sendiri. Empati yang kuat dalam diri siswa diharapkan akan menumbuhkan perasaan peka serta rasa iba terhadap suatu kejadian yang dialami oleh siswa lain, sehingga mendorong siswa untuk menolong setiap kesulitan (Wuryanano dalam Taufik 2012). Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berasumsi bahwa terdapat perbedaan kemampuan berempati antara siswa normal di sekolah inklusi dan siswa normal di sekolah biasa (konvensional). D. Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah Ada perbedaan kemampuan berempati pada siswa normal di sekolah inklusi dengan siswa normal di sekolah biasa (konvensional).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Empati 2.1.1 Definisi Empati Empati merupakan suatu proses memahami perasaan orang lain dan ikut merasakan apa yang orang lain alami. Empati tidak hanya sebatas memasuki dan

Lebih terperinci

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 DISKUSI Berdasarkan hasil analisis pada bab IV, maka hipotesis yang menyatakan bahwa empati dan pola asuh demokratis sebagai prediktor perilaku prososial pada remaja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku sebagai sesuatu yang dilakukan oleh setiap individu dan sesuatu yang bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya setiap manusia diciptakan berbeda, maka perbedaan dalam pendapat, persepsi, dan tujuan menjadi sebuah keniscayaan. Kemampuan menerima dan menghargai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah kemampuan untuk

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Efikasi Diri A. Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam teori sosial kognitif atau efikasi diri sebagai kepercayaan terhadap

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. dengan apa yang dirasakan orang lain (Batso dan Coke dalam Eisenbeng & Trayer, 1987

BAB II KAJIAN TEORITIS. dengan apa yang dirasakan orang lain (Batso dan Coke dalam Eisenbeng & Trayer, 1987 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hakekat Empati Empati adalah sebagai keadaan emosional yang dimiliki seseorang yang sesuai dengan apa yang dirasakan orang lain (Batso dan Coke dalam Eisenbeng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia dini merupakan saat seseorang mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat dalam kehidupannya. Perkembangan dan pertumbuhan pada anak usia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sejatinya bisa memberikan banyak pelajaran bagi hidup. Peristiwa yang mengharukan

BAB 1 PENDAHULUAN. sejatinya bisa memberikan banyak pelajaran bagi hidup. Peristiwa yang mengharukan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini banyak peristiwa yang lepas dari pandangan orang yang sejatinya bisa memberikan banyak pelajaran bagi hidup. Peristiwa yang mengharukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak pada umumnya adalah suatu anugerah Tuhan yang sangat berharga dan harus dijaga dengan baik agar mampu melewati setiap fase tumbuh kembang dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH

KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : YUNITA AYU ARDHANI F 100 060

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan tidak hanya dibutuhkan oleh anak-anak normal (siswa reguler), akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan tidak hanya dibutuhkan oleh anak-anak normal (siswa reguler), akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menjadi hak setiap anak. Pendidikan menjadi salah satu aspek penting dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah golongan intelektual yang sedang menjalani pendidikan di perguruan tinggi dan diharapkan nantinya mampu bertindak sebagai pemimpin yang terampil,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan inti dan arah penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan inti dan arah penelitian, 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan inti dan arah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan asumsi penelitian, hipotesis, metode penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu alat merubah suatu pola pikir ataupun tingkah laku manusia dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam

BAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan manusia seutuhnya bertujuan agar individu dapat mengekspresikan dan mengaktualisasi diri dengan mengembangkan secara optimal dimensi-dimensi kepribadian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan juga menjadi hak setiap individu tanpa terkecuali seperti dijelaskan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal, seorang bayi mulai bisa berinteraksi dengan ibunya pada usia 3-4 bulan. Bila ibu merangsang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan berperan penting dalam usaha menciptakan masyarakat yang beriman, berakhlak mulia, berilmu serta demokratis dan bertanggungjawab. Pendidikan merupakan

Lebih terperinci

MENINGKATKAN EMPATI MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK SOSIODRAMA SISWA KELAS X.2 SMA NEGERI 1 BRINGIN TAHUN PELAJARAN 2013/2014

MENINGKATKAN EMPATI MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK SOSIODRAMA SISWA KELAS X.2 SMA NEGERI 1 BRINGIN TAHUN PELAJARAN 2013/2014 MENINGKATKAN EMPATI MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK SOSIODRAMA SISWA KELAS X.2 SMA NEGERI 1 BRINGIN TAHUN PELAJARAN 2013/2014 Ida Nur Kristianti Kata Kunci : Empati, Layanan Bimbingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mental spiritual yang membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mental spiritual yang membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di Indonesia dilakukan secara menyeluruh baik fisik maupun mental spiritual yang membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional.

I. PENDAHULUAN. masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Remaja (adolescense) adalah masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS BIBLIOKONSELING UNTUK MENINGKATKAN EMPATI REMAJA DI RUMAH PINTAR BUNGA PADI KECAMATAN BALEREJO, KABUPATEN MADIUN

EFEKTIVITAS BIBLIOKONSELING UNTUK MENINGKATKAN EMPATI REMAJA DI RUMAH PINTAR BUNGA PADI KECAMATAN BALEREJO, KABUPATEN MADIUN EFEKTIVITAS BIBLIOKONSELING UNTUK MENINGKATKAN EMPATI REMAJA DI RUMAH PINTAR BUNGA PADI KECAMATAN BALEREJO, KABUPATEN MADIUN Dahlia Novarianing Asri* Tyas Martika Anggriana* Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekolah inklusi merupakan salah bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dan sebagai upaya pensosialisasian ABK kepada masyarakat. Crockett

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al- 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemaafan 1. Definisi Pemaafan Secara terminologis, kata dasar pemaafan adalah maaf dan kata maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al- Qur an terulang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek bullying sudah merambah ke dalam dunia pendidikan, hal ini sangat memprihatinkan bagi pendidik, orang tua dan masyarakat. Komnas Perlindungan Anak (PA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian setiap orang. Ketika menikah, tentunya orang berkeinginan untuk mempunyai sebuah keluarga yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu ciri masyarakat modern adalah selalu ingin terjadi adanya perubahan yang lebih baik. Hal ini tentu saja menyangkut berbagai hal tidak terkecuali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia memiliki kebebasan dalam hidupnya. Namun disisi lain, manusia juga adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memiliki peran yang amat menentukan, tidak hanya bagi perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memiliki peran yang amat menentukan, tidak hanya bagi perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Pendidikan memiliki peran yang amat menentukan, tidak hanya bagi perkembangan dan perwujudan diri individu tetapi juga bagi pembangunan suatu bangsa dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1 Bidang Psikologi dan Fakultas Psikologi Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semua ini membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Semua ini membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring perkembangan zaman dan teknologi, terjadi perubahan pola hidup masyarakat. Perubahan pola hidup ini tidak selalu bersifat positif, ada beberapa pola

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Selain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Selain BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empati Baron dan Byrne, 2005 yang menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk yang berkembang dan akan selalu mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab hakikat manusia sejak terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perkembangan merupakan perubahan ke arah kemajuan menuju terwujudnya hakekat manusia yang bermartabat atau berkualitas. Usia lahir sampai dengan pra sekolah

Lebih terperinci

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK Murhima A. Kau Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo INTISARI Proses perkembangan perilaku prososial menurut sudut pandang Social Learning Theory

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB II LANDASAN TEORITIK BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1. Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan gabungan dari prestasi belajar dan pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi. Prestasi dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengembangkan semua aspek dan potensi peserta didik sebaikbaiknya

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengembangkan semua aspek dan potensi peserta didik sebaikbaiknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan di tanah air selalu dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar dapat menciptakan proses pembelajaran yang dapat mengembangkan

Lebih terperinci

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara yang sudah merdeka sudah sepatutnya negara tersebut mampu untuk membangun dan memperkuat kekuatan sendiri tanpa harus bergantung pada negara lain. Maka

Lebih terperinci

2015 UPAYA GURU D ALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN VOKASIONAL BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN

2015 UPAYA GURU D ALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN VOKASIONAL BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecakapan hidup adalah berbagai jenis keterampilan yang memupuk dan melatih remaja putra dan putri menjadi anggota masyarakat yang kreatif, inovatif, produktif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. timbul pada diri manusia. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1

I. PENDAHULUAN. timbul pada diri manusia. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dalam pembangunan manusia untuk mengembangkan dirinya agar dapat menghadapi segala permasalahan yang timbul pada diri manusia. Menurut

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam membantu peserta didik agar mampu

BAB V PEMBAHASAN. program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam membantu peserta didik agar mampu BAB V PEMBAHASAN Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistimatis melaksanakan program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam membantu peserta didik agar mampu mengembangkan potensinya,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SMK BINA PATRIA 2 SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SMK BINA PATRIA 2 SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SMK BINA PATRIA 2 SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan Oleh:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang mandiri... (UURI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Gelar Sarjana S-1 Psikologi Oleh : Nina Prasetyowati F

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan. masyarakat secara mandiri kelak di kemudian hari.

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan. masyarakat secara mandiri kelak di kemudian hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan formal merupakan upaya sadar yang dilakukan sekolah dengan berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan kemampuan kognitif,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA KARANG TARUNA DESA PAKANG NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA KARANG TARUNA DESA PAKANG NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA KARANG TARUNA DESA PAKANG NASKAH PUBLIKASI Diajukan Oleh: SATRIA ANDROMEDA F 100 090 041 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang sangat penting di dalam perkembangan seorang manusia. Remaja, sebagai anak yang mulai tumbuh untuk menjadi dewasa, merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak usia dini adalah anak yang berusia nol tahun atau sejak lahir hingga berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Hakikat manusia adalah sebagai makhluk sosial, oleh karena itu setiap manusia tidak lepas dari kontak sosialnya dengan masyarakat, dalam pergaulannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi komunikasi dewasa ini, menuntut individu untuk memiliki berbagai

BAB I PENDAHULUAN. teknologi komunikasi dewasa ini, menuntut individu untuk memiliki berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menghadapi tantangan masa depan dalam era globalisasi dan canggihnya teknologi komunikasi dewasa ini, menuntut individu untuk memiliki berbagai keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Era globalisasi yang saat ini tengah berlangsung, banyak sekali memunculkan masalah bagi manusia. Manusia dituntut untuk meningkatkan kualitas dirinya agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah bangsa yang dikenal dengan keramahtamahannya serta budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, bangsa dan Negara (UUSPN No.20 tahun 2003).

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, bangsa dan Negara (UUSPN No.20 tahun 2003). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berkualitas dan diharapkan akan menjadi pelaku dalam pembangunan suatu

BAB I PENDAHULUAN. yang berkualitas dan diharapkan akan menjadi pelaku dalam pembangunan suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan suatu negara, karena pendidikan dapat memberdayakan sumber daya manusia yang berkualitas dan diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak terlepas dari manusia lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu melibatkan orang

Lebih terperinci

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. 1 BAB 1 PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. Dimulai dari masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan masa tua. Pada setiap masa pertumbuhan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses

BAB I PENDAHULUAN. Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses tumbuh kembang dengan pesat di berbagai aspek perkembangan. Salah satunya adalah aspek

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Media Kartu Bergambar 2.1.1 Pengertian Media Kartu Bergambar Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti perantara. Dengan demikian media dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ade Liana, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ade Liana, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses perubahan tingkah laku peserta didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Kecerdasan Interpersonal

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Kecerdasan Interpersonal 2.1 Kecerdasan Interpersonal BAB II KAJIAN TEORI 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Interpersonal Kecerdasan interpersonal bisa dikatakan juga sebagai kecerdasan sosial, diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi setiap manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

2015 PEMBELAJARAN TARI KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN EMPATI SISWA KELAS VII A DI SMPN 14 BANDUNG

2015 PEMBELAJARAN TARI KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN EMPATI SISWA KELAS VII A DI SMPN 14 BANDUNG BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu cita-cita besar dari kebijakan sistem pendidikan nasional saat ini adalah dapat terjadinya revolusi mental terhadap bangsa ini. Mengingat kondisi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. maka ia akan berusaha untuk mengetahui lebih banyak tentang kesenian. Begitu juga terhadap mata pelajaran PKn.

BAB II KAJIAN TEORI. maka ia akan berusaha untuk mengetahui lebih banyak tentang kesenian. Begitu juga terhadap mata pelajaran PKn. BAB II KAJIAN TEORI A. Hasil Belajar PKn Kondisi belajar mengajar yang efekif adalah adanya minat perhatian siswa dalam belajar mata pelajaran PKn. Minat merupakan suatu sifat yang relatif menetap pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam kehidupannya. Pendidikan

I. PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam kehidupannya. Pendidikan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan dan salah satu kebutuhan utama bagi setiap manusia untuk meningkatkan kualitas hidup serta untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bahwa komunikasi atau speech acts dipergunakan secara sistematis untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. bahwa komunikasi atau speech acts dipergunakan secara sistematis untuk 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa adalah sebuah alat komunikasi. Tarigan (2008 : 11) menjelaskan, bahwa komunikasi atau speech acts dipergunakan secara sistematis untuk menyelesaikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: B. Definisi Operasional

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: B. Definisi Operasional BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Variabel tergantung Variabel bebas : Empati : Bermain peran (roleplay) B. Definisi Operasional 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan. Sebagai makhluk sosial, individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sikap Negatif Terhadap Korban Pemerkosaan 2.1.1. Definisi sikap negatif terhadap korban pemerkosaan Sikap negatif terhadap korban pemerkosaan adalah penilaian individu mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang anak dan memengaruhi anak dalam berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosialnya.

Lebih terperinci

warga negara yang memiliki kekhususan dalam pemenuhan kebutuhan pendidikannya. Salah satu usaha yang tepat dalam upaya pemenuhan kebutuhan khusus

warga negara yang memiliki kekhususan dalam pemenuhan kebutuhan pendidikannya. Salah satu usaha yang tepat dalam upaya pemenuhan kebutuhan khusus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan di segala bidang, salah satu komponen kehidupan yang harus dipenuhi manusia adalah pendidikan. Pendidikan dalam hal ini adalah konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah anak-anak normal yang tidak mengalami kebutuhan khusus dalam pendidikannya. Hal ini sudah berjalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak selalu membawa kebaikan bagi kehidupan manusia, kehidupan yang semakin kompleks dengan tingkat stressor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan jaman yang semakin modern terutama pada era globalisasi seperti sekarang ini menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain dan kelak dapat hidup secara mandiri merupakan keinginan setiap orangtua

BAB I PENDAHULUAN. lain dan kelak dapat hidup secara mandiri merupakan keinginan setiap orangtua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak yang tumbuh dan berkembang sehat sebagaimana anak pada umumnya memiliki kecerdasan, perilaku yang baik, serta dapat bersosialisasi dengan orang lain dan kelak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara efektif dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan dengan anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus (dulu di sebut sebagai anak luar biasa) didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986, pemerintah telah merintis

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986, pemerintah telah merintis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah dalam upaya pemerataan layanan pendidikan untuk menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang berkualitas bagi semua anak di Indonesia mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban memenuhi dan melindungi hak asasi tersebut dengan memberikan kesempatan

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kecemasan dapat dialami oleh para siswa, terutama jika dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kecemasan dapat dialami oleh para siswa, terutama jika dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecemasan dapat dialami oleh para siswa, terutama jika dalam suatu sekolah terjadi proses belajar mengajar yang kurang menyenangkan. Salah satu bentuk kecemasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu sistem yang telah diatur dalam undang-undang. Tujuan pendidikan nasional

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu sistem yang telah diatur dalam undang-undang. Tujuan pendidikan nasional BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas manusia. Sebagai suatu usaha yang memiliki tujuan, maka pelaksanaannya harus berada dalam proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam

BAB I P E N D A H U L U A N. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Masalah Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam mengembangkan kemampuan anak secara optimal. Kemampuan yang harus dikembangkan bukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. objek lainnya (Hatch dalam Sugiono, 2006). Penelitian ini menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. objek lainnya (Hatch dalam Sugiono, 2006). Penelitian ini menggunakan 28 BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel dan Definisi Operasional 1. Identifikasi Variabel Variabel adalah atribut seseorang atau obyek yang mempuanyai variasi antara orang yang satu dengan lainnya maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan berbagai pihak yang terkait secara bersama-sama dan bersinergi

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan berbagai pihak yang terkait secara bersama-sama dan bersinergi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu sarana untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Oleh karena itu pembangunan dalam bidang pendidikan harus melibatkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dapat diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak menuju masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Hurlock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan agama adalah hal yang penting sehingga harus tertanam kuat

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan agama adalah hal yang penting sehingga harus tertanam kuat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan agama adalah hal yang penting sehingga harus tertanam kuat dan diberikan sedini mungkin kepada anak-anak. Pemahaman yang tepat mengenai nilai-nilai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan adalah suatu proses atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan merupakan

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci