VII. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VII. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 114 VII. HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini membahas tentang analisis pendugaan fungsi produksi usaha ternak sapi potong dan tingkat daya saing yang dicapai pada usaha penggemukan sapi potong di wilayah penelitian. Analisis ini dilakukan untuk melihat bagaimana kondisi daya saing usaha dengan kondisi produksi usaha penggemukan sapi potong saat ini. Analisis fungsi produksi dilakukan untuk melihat variabelvariabel yang mempengaruhi produksi usaha penggemukan sapi potong, tingkat efisiensi teknis yang dicapai dan variabel-variabel yang mempengaruhi inefisiensi teknis usaha penggemukan sapi potong diwilayah penelitian. Analisis fungsi produksi menggunakan model Stochastic frontier dengan metode pendugaan Maximum Likelihood (MLE). Daya saing usaha penggemukan sapi potong dianalisis dan diukur melalui keuntungan finansial, keuntungan ekonomi, analisis keunggulan kompetitif dan komparatif dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Model PAM disusun berdasarkan data penerimaan dan biaya produksi yang terbagi dalam dua bagian yaitu harga finansial (private) dan harga ekonomi (social). Dalam analisis ini variabel input yang diduga berpengaruh terhadap produksi usaha penggemukan sapi potong yang dilihat dari pertambahan bobot badan sapi, terdiri dari hijauan (X 1 ), konsentrat (X 2 ), tenaga kerja (X 3 ), obatobatan (X 4 ), dummy umur bakalan (X 5 ) dan dummy penguasaan ternak (X 6 ). Sebelum dilakukan pendugaan terhadap fungsi produksi usaha penggemukan sapi potong, maka terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap model tersebut agar mendapatkan model estimasi yang baik.

2 Analisis Variabel-variabel yang Mempengaruhi Produksi Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Deskripsi Variabel Usaha Penggemukan Sapi Potong Statistik deskriptif berguna untuk mengetahui karakter dari sampel yang diteliti dalam penelitian. Dari statistik deskriptif tersebut dapat diketahui nilai rata-rata, nilai minimum, nilai maksimum dan standar deviasi masing-masing variabel dari sampel yang diteliti. Tabel 21 menyajikan statistik deskriptif untuk semua variabel yang digunakan dalam estimasi fungsi produksi stochastic frontier. Tabel 21. Statistik Deskriptif Masing-masing Variabel Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam No Variabel Minimum Maximum Mean Standar Deviasi 1 Pertambahan Bobot Badan (kg) Jumlah Hijauan (kg) Jumlah Konsentrat (kg) Jumlah TK (HOK) Pengeluaran Obatobatan (Rp) Dummy Umur Bakalan Dummy Pola Pengusaan Ternak Rata-rata produksi usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam sebesar kg dengan nilai minimum adalah kg dan nilai maksimum sebesar kg. Nilai standar deviasi pertambahan bobot badan sapi sebesar 95.87, dimana nilai tersebut lebih kecil dari nilai rata-rata menunjukkan bahwa data terkumpul dan terdistribusi normal. Sedangkan rata-rata jumlah hijauan yang diberikan peternak sebesar kg dengan standar deviasi lebih kecil yaitu sebesar , mengindikasikan bahwa data terdistribusi normal. Hal yang

3 116 sama juga ditunjukkan pada variabel Tenaga Kerja, dimana untuk variabel tersebut nilai standar deviasinya juga lebih kecil dibandingkan nilai rata-ratanya. Sedangkan untuk variabel jumlah konsentrat dan tenaga kerja nilai standar deviasinya lebih besar dari nilai rata-ratanya, yang berarti data cukup bervariasi. Namun dalam analisis produksi sudah menggunakan log atau ln, sehingga data sudah dinormalisasi dan menjadi lebih baik Pengujian Fungsi Produksi Usaha Penggemukan Sapi Potong Bentuk fungsi produksi harus dapat menggambarkan dan mendekati keadaan sebenarnya, mudah diukur atau dihitung secara statistik serta dapat dengan mudah diartikan, khususnya arti ekonomi dari parameter yang menyusun fungsi produksi tersebut (Soekartawi et al. 1986). Sebelum melakukan estimasi maximum likelihood, maka terlebih dahulu dilakukan penentuan garis penduga dengan metode kuadrat terkecil (ordinary least square) yang memenuhi kriteria Best Linier Unbiased Estimator (BLUE). Pengujian model dengan uji asumsi OLS (Ordinary Least Square) didapatkan bahwa model produksi usaha penggemukan sapi potong yang dibangun sudah menghasilkan estimator yang Best, Linear, Unbiased Estimator (BLUE), dan hasil pengujian ditampilkan pada Lampiran 2, 3 dan 4. OLS akan bersifat BLUE jika memenuhi asumsi-asumsinya. Untuk mendapatkan model estimasi yang baik maka perlu dilakukan beberapa pengujian, diantaranya : uji normalitas, multikolinearitas, dan heterokedastisitas. Uji normalitas dilakukan dengan uji normal p-plot, yaitu dengan melihat penyebaran data (titik) pengamatan pada sumbu diagonal grafik. Jika data menyebar normal disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. Semakin dekat garis

4 117 pengamatan dengan garis aktual berarti residualnya semakin kecil dan semakin bagus model tersebut. Hasil yang diperoleh bahwa data meyebar normal mengikuti garis diagonal, dimana garis pengamatan berada dekat atau disekitar garis aktual. Multikolinearitas adalah situasi adanya hubungan antara variabelvariabel independen diantara satu dengan yang lainnya atau adanya hubungan yang sempurna antara beberapa atau semua variabel bebas (X) dalam model regresi yang digunakan. Salah satu cara untuk mendeteksi masalah multikolinearitas dalam sebuah model dapat menggunakan Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai VIF semakin besar maka diduga ada multikolinearitas. Multikolinearitas yang serius dalam model jika nilai Variance Inflation Factor (VIF) lebih besar dari 10 (Widarjono, 2007). Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai VIF untuk masing-masing input adalah lebih kecil dari 10, yang berarti tidak terdapat multikolinearitas dalam model. Pengujian heterokedastisitas dimaksudkan untuk melihat bahwa variabel gangguan semuanya mempunyai varians yang sama. Jika asumsi ini tidak dipenuhi maka terdapat heterokedastisitas. Heterokedastisitas bertentangan dengan salah satu asumsi dasar regresi linier, yaitu bahwa variabel residual sama untuk semua pengamatan (homoskedastisitas), dan penaksir ini tidak lagi mempunyai varians minimum atau efisien atau dengan kata lain estimasi koefisien menjadi kurang akurat jika terjadi heterokedastisitas. Cara yang paling cepat dan dapat digunakan untuk menguji masalah heterokedastisitas adalah dengan mendeteksi pola residual melalui sebuah grafik. Jika residual mempunyai varians yang sama maka pola residual akan menyebar, dan sebaliknya jika ada heterokedastisitas maka residual menunjukkan pola tertentu. Hasil pengujian

5 118 menunjukkan bahwa varian dari variabel gangguan adalah sama (homoskedastisitas) Pendugaan Fungsi Produksi Usaha Penggemukan Sapi Potong Pembahasan mengenai variabel-variabel yang mempengaruhi produksi dijelaskan berdasarkan hasil yang diperoleh dari analisis fungsi produksi stochastic frontier (Lampiran 5). Dalam menduga fungsi produksi, semua variabel input yang diduga berpengaruh terhadap produksi usaha penggemukan sapi potong yang dilihat dari pertambahan bobot badan sapi, dimasukkan kedalam model. Variabel tersebut terdiri dari hijauan (X 1 ), konsentrat (X 2 ), tenaga kerja (X 3 ), obat-obatan (X 4 ), dummy umur bakalan (X 5 ), dan dummy pola penguasaan ternak (X 6 ). Hasil estimasi fungsi produksi stochastic frontier disajikan pada Tabel 22. Nilai sigma squared (σ 2 ) dan gamma (γ) berturut-turut adalah dan 0.999, dan nyata pada taraf 99 persen. Gamma mengindikasikan keberadaan efisiensi teknis dalam proses produksi, atau variasi hasil yang disebabkan oleh perbedaan efisensi teknis. Tabel 22. Pendugaan Fungsi Stochastic Frontier dengan Menggunakan Metode Maximum Likelihood Estimates (MLE) Variabel Simbol Parameter Dugaan t-rasio Intersep Jumlah Hijauan (kg) X * Jumlah Konsentrat (kg) X *** Jumlah Tenaga Kerja (HOK) X Pengeluaran Obat-obatan (Rp) X Dummy Umur Bakalan X *** Dummy Pola Penguasaan Ternak X * Log-likelihood OLS Log-likelihood MLE LR Keterangan : ***nyata pada α 1% ; **nyata pada α 5%; * nyata pada α 15%

6 119 Nilai ratio generalized likelihood (LR) dari fungsi produksi stochastic frontier adalah dan lebih besar dari pada nilai kritis pada Tabel Kodde dan Palm (1986) yaitu 11.91, dimana signifikan pada α = 5 persen yang berarti ada efek inefisiensi teknis dalam model pada teknologi tertentu. Dalam fungsi produksi variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan sapi adalah jumlah hijauan, konsentrat, dummy umur bakalan, dan dummy pola penguasaan ternak. Sedangkan untuk Variabel jumlah tenaga kerja dan pengeluaran obat-obatan tidak berpengaruh nyata. Jumlah Hijauan (X 1 ). Koefisien hijauan bertanda positif dan berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan sapi pada taraf (α = 15 persen). Nilai koefisien hijauan sebesar berarti penambahan pakan ternak berupa hijauan sebesar 10 persen dapat meningkatkan pertambahan robot badan sapi senesar 1.19 persen. Hal ini mengingat hijauan merupakan pakan utama ternak sapi dan kebutuhan sapi terhadap hijauan cukup besar yaitu 10 persen dari bobot badan sapi atau 70 persen dari komposisi pakan usaha penggemukan sapi potong. Disamping itu sebagian besar peternak di daerah penelitian hanya memberikan hijauan sebagai pakan ternak, sehingga produksi sapi tergantung pada hijauan yang dikonsumsinya. Kondisi empiris di lapangan, peternak memberikan hijauan rata-rata dan kg per ekor per hari masing-masing di Kecamatan Sungai Puar dan Tilatang Kamang, dimana jumlah tersebut sudah memenuhi kebutuhan 10 persen dari bobot badan sapi. Untuk meningkatkan fungsi hijauan dalam rangka meningkatkan bobot badan sapi, maka peternak juga harus memperhatikan frekuensi pemberian hijauan, karena akan berpengaruh terhadap kecernaan bahan pakan oleh sapi,

7 120 dimana empiris di lapangan umumnya peternak memberikan hijauan dalam jumlah yang banyak dengan frekuensi 2 kali sehari, yaitu pagi dan sore hari. Proses memamah-biak (ruminasi) pada ternak ruminansia berlangsung secara periodik. Proses ruminasi ini dapat terganggu apabila volume pakan yang masuk lebih besar dari kapasitas lambung. Akibatnya bolus pakan yang belum sempat dicerna akan dapat langsung masuk kedalam alat digesti selanjutnya (usus). Pemberian hijauan sebaiknya dihindari pemberian yang sekaligus dan dalam jumlah yang banyak, dimana dianjurkan pemberian dilakukan secara bertahap dan minimal 4 kali dalam sehari semalam (Siregar, 2008). Hasil penelitian Arfa i (1992) juga menunjukkan bahwa faktor produksi hijauan berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan sapi selama pemeliharaan. Penelitian Elly (2008) menghasilkan bahwa jumlah konsumsi rumput oleh ternak berpengaruh nyata terhadap produksi ternak sapi pada taraf nyata 15 persen, dan sebaliknya kebutuhan terhadap hijauan juga tergantung pada produksi sapi, dimana semakin tinggi produksi sapi, kebutuhan terhadap hijauan juga semakin meningkat. Jumlah Konsentrat (X 2 ). Koefisien konsentrat berpengaruh positif dan signifikan pada taraf (α = 1 persen). Koefisien konsentrat sebesar berarti peningkatan pemberian konsentrat sebagai pakan ternak sebesar 10 persen berpeluang meningkatkan bobot badan sapi sebesar 0.06 persen. Konsentrat adalah bahan pakan yang berkonsentrasi tinggi dengan kadar serat kasar yang relatif rendah dan mudah dicerna. Fungsinya adalah meningkatkan dan memperkaya (pelengkap) nilai gizi pada bahan pakan lain (hijauan) yang nilai gizinya rendah. Konsentrat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah campuran

8 121 dari berbagai bahan pakan yang terdiri dari dedak, kulit ubi, dan mineral. Ternak sapi yang hanya diberi pakan hijauan tanpa pakan konsentrat tidak mungkin pertambahan bobot badannya maksimal. Jumlah pemberian konsentrat yang dianjurkan untuk sapi peranakan adalah 2 persen dari bobot badan. Sedangkan di daerah penelitian pemberian konsentrat masih dibawah 2 persen yaitu rata-rata 1.3 persen dari bobot badan sapi. Berarti pemberian konsentrat masih perlu ditambahkan dalam rangka peningkatan bobot badan sapi. Pertambahan bobot badan sapi rata-rata di daerah penelitian adalah 0.5 kg per hari untuk Kecamatan Sungai Puar dan 0.75 kg per hari untuk Kecamatan Tilatang Kamang. Hasil penelitian Sidauruk et al. (2001) setiap penambahan satu persen konsentrat menyebabkan penambahan persen bobot akhir sapi pada penggemukan pola fattening. Yenita (1995) menghasilkan penggunaan konsentrat 1.2 persen dari bobot badan awal sapi menghasilkan pertambahan bobot 1.1 kg per ST per hari. Target pertumbuhan sapi potong yang dicanangkan oleh Menteri Pertanian dalam program Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS), pertambahan bobot badan sapi untuk sapi keturunan adalah diatas 0.9 kg/ekor/hari, sedang untuk sapi PO diatas 0.7 kg/ekor/hari. Jumlah Tenaga Kerja (X 3 ). Koefisien tenaga kerja berpengaruh positif namun tidak nyata berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan sapi. Koefisien tenaga kerja adalah menunjukkan bahwa penambahan jumlah jam kerja pada penggemukan sapi potong memungkinkan pertambahan bobot badan sapi meningkat sebesar 0.33 persen. Curahan jam kerja tidak berpengaruh nyata, hal ini terkait dengan perbedaan curahan jam kerja diantara peternak lebih disebabkan oleh perbedaan waktu yang diperlukan untuk mencari hijauan, dimana

9 122 bagi peternak yang menempuh jarak yang lebih jauh akan menghabiskan waktu lebih lama. Sedangkan dalam hal pengelolaan ternak relatif sama, seperti kebersihan kandang dan waktu pemberian pakan. Tenaga kerja manusia masih menduduki peran penting dalam pengusahaan sapi potong. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Awoyemi (2000) yang menunjukkan bahwa di negara berkembang tenaga kerja manusia masih sangat penting, karena tenaga mesin biasanya hanya digunakan pada usaha pertanian besar yang bersifat komersial. Disamping itu ketersediaan tenaga kerja keluarga yang tinggi pada usaha peternakan sapi potong akan mendorong rumah tangga lebih giat guna mendorong produksi sapi. Kondisi empiris di daerah penelitian, bahwa proporsi tenaga kerja yang banyak digunakan untuk pengelolaan sapi potong adalah tenaga kerja keluarga. Curahan jam kerja peternak untuk pengelolaan sapi potong adalah 1.7 jam per ekor per hari, atau HOK per ekor per hari, dimana sebagian besar digunakan untuk mencari atau menyediakan hijauan. Jadi satu HOK mampu menangani 4 sampai 5 ekor ternak. Produksi masih dapat ditingkatkan dengan meningkatkan jam kerja dalam pengelolaan sapi potong terutama curahan waktu untuk perawatan ternak, seperti sanitasi kandang, penyiapan pakan, dan memandikan ternak. Hal ini sangat penting dalam rangka menjaga kesehatan ternak. Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Mulyanuddin (1996) menjelaskan satu HOK hanya mampu menangani empat ST (Satuan Ternak). Penelitian Elly (2008) menghasilkan ketersediaan tenaga kerja keluarga pada usaha ternak sapi di Bolaang Mongondow berpengaruh dalam peningkatan produksi sapi, sedangkan di Minahasa tidak mempengaruhi produksi sapi.

10 123 Pengeluaran Obat-obatan (X 4 ). Koefisien pengeluaran obat-obatan bertanda negatif, namun tidak nyata. Hal ini terkait dengan nilai koefisien elastisitas permintaan faktor produksi bertanda negatif, yang menjelaskan adanya hubungan negatif antar permintaan faktor produksi variabel terhadap harganya. Kenaikan harga obat-obatan menyebabkan penggunaan obat-obatan cenderung berkurang, sehingga upaya peternak terhadap pengobatan dan pencegahan penyakit ternaknya menurun. Peternak di daerah penelitian umumnya hanya menggunakan obat-obatan jika ternak ada yang sakit. Obat- obatan yang sering diberikan berupa antibiotik dan obat cacing, sedangkan obat-obatan lain biasanya berupa vitamin, namun itupun tidak diberikan secara rutin. Vitamin biasanya diberikan waktu pertama kali sapi sampai di kandang atau saat awal penggemukan dilakukan, dan selanjutnya beberapa peternak memberikannya satu kali enam bulan. Penelitian Yunus (2009) tentang efisiensi produksi ayam pedaging menunjukkan bahwa variabel vaksin, obat-obatan dan vitamin berpengaruh nyata namun dengan arah yang negatif. Sumartini (2004) dalam Yunus (2009) juga menemukan pada peternak mandiri, variabel obat dan vaksin mempunyai hubungan yang negatif terhadap output usaha ternak ayam ras pedaging, karena pada umumnya peternak hanya mengandalkan pengalaman dan metode coba-coba dalam hal pemberian obat-obatan (antibiotik). Dummy Umur bakalan (X 5 ). Koefisien dummy umur bakalan berpengaruh positif, dan nyata pada α = 1 persen. Tanda positif mengindikasikan penggemukan sapi potong dengan bakalan yang digunakan berada pada fase pertumbuhan, maka akan berpengaruh positif terhadap pertambahan bobot badan sapi. Empiris di lapangan menunjukkan bahwa persen dari peternak

11 124 menggunakan sapi bakalan dengan umur diatas satu tahun. Sugeng (2006), menyatakan bahwa penggemukan sebaiknya dilakukan pada ternak sapi usia bulan atau paling tua umur 2.5 tahun. Pembatasan usia ini dilakukan atas dasar bahwa pada usia tersebut ternak tengah mengalami fase pertumbuhan dalam pembentukan kerangka maupun jaringan daging. Berdasarkan umur sapi yang akan digemukkan, lama penggemukan dibedakan menjadi tiga (Sugeng 2006), yaitu : (1) untuk sapi bakalan dengan umur kurang dari 1 tahun, lama penggemukan berkisar antara 8-9 bulan, (2) untuk sapi bakalan umur 1-2 tahun, lama penggemukan 6-7 bulan, dan (3) untuk sapi bakalan umur tahun, lama penggemukan 4-6 bulan. Siregar (1996) mengemukakan bahwa untuk mencapai efisiensi yang tinggi pada usaha penggemukan sapi potong perlu diketahui saat yang tepat untuk penggemukan, lama pemeliharaan dan saat yang tepat untuk menjual sapi hasil penggemukan. Dummy Pola Penguasaan Ternak (X 6 ). Koefisien dummy pola penguasaan ternak bertanda positif dan nyata berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan sapi pada α = 15 persen. Tanda yang positif mengindikasikan bahwa penguasaan peternak terhadap ternak, yaitu milik sendiri atau bagi hasil akan mempengaruhi peternak dalam mengelola usahanya, sehingga peternak yang usahanya adalah milik sendiri akan lebih giat dan akan dengan cepat mengantisipasi resiko kegagalan yang mungkin muncul, karena peternak tidak ingin menderita kerugian dalam usahanya tersebut. Secara umum pola penguasaan ternak sapi di daerah penelitian adalah milik sendiri (53.3 persen) dan sisanya adalah sistem bagi hasil (46.7 persen). Bila usaha ternak dengan status penguasaannya milik sendiri mengalami kegagalan maka yang menanggung

12 125 kerugiannya adalah peternak sendiri. Mengingat sapi potong merupakan komoditas yang memerlukan biaya tinggi, maka untuk menghindari kegagalan petani akan lebih memperhatikan usaha ternaknya Efisiensi Teknis Usaha Penggemukan Sapi Potong Efisiensi teknis dianalisis dengan menggunakan model fungsi produksi stochastic frontier. Nilai indeks efisiensi teknis hasil analisis dikategorikan efisien jika lebih besar dari 0.8 karena daerah penelitian merupakan salah satu sentra produksi sapi potong di Sumatera Barat. Tabel 23. Sebaran Efisiensi Teknis Peternak Responden Sebaran Nilai Efisiensi Teknis Jumlah Presentase (%) Total Rata-rata Minimum Maksimum Tabel 23 menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis yang dicapai peternak penggemukan sapi potong di lokasi penelitian adalah sebesar Artinya, rata-rata produktivitas yang dicapai adalah sebesar 76.4 persen yang berarti produksi masih dapat ditingkatkan sebesar 23.6 persen untuk mencapai frontir yakni produktivitas maksimum yang dapat dicapai dengan sistem pengelolaan yang terbaik. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar peternak di Kabupaten Agam belum efisien dalam berproduksi, karena rata-rata tingkat efisiensi yang dicapai masih di bawah 80 persen.

13 126 Secara umum tingkat efisiensi teknis usaha ternak relatif merata, dimana dari seluruh peternak yang mengusahakan penggemukan sapi potong yang diteliti, persen berada pada Sedangkan yang tergolong efisien (tingkat efisiensi di atas 0.80) hanya persen. Hal ini berarti proporsi peternak sapi potong yang mendekati frontir (Tingkat Efisiensi Teknis mendekati 1,0) ada sebanyak persen. Hasil penelitian juga menunjukkan rata-rata tingkat efisiensi teknis pengusahaan penggemukan sapi potong di Tilatang Kamang lebih tinggi yaitu sebesar 0.798, sedangkan Kecamatan Sungai Puar rata-rata Hasil yang diperoleh lebih rendah dari penelitian Cehyan dan Haznechi (2010) yang menghasilkan bahwa Technical Efficiency (TE) yang dicapai pada usaha penggemukan sapi potong di Turkey rata-rata adalah 0.92 dengan kisaran antara , sehingga berarti penggunaan input dapat diturunkan sebesar 8 persen tanpa mengurangi tingkat output yang dihasilkan. Sedangkan penelitian Rae et al. (2006) yang meneliti Total Factor Productivity (TFP) dan Technical Efficiency (TE) usaha ternak di China menghasilkan bahwa selama rentang waktu rata-rata pertumbuhan TFP produksi daging sapi di atas 4.5 persen sedangkan rata-rata pencapaian efisiensi teknis adalah 75 persen. Tingkat efisiensi teknis dapat diinterpretasikan dari dua sisi. Pada satu sisi, tingkat efisiensi teknis yang tinggi mencerminkan prestasi peternak sapi potong dalam keterampilan manajerial usaha penggemukan sapi potong adalah cukup tinggi. Penguasaan informasi dan pengambilan keputusan dalam mengelola faktor-faktor penting yang mempengaruhi kinerja produktivitas usaha penggemukan sapi potong dapat dinilai berada dalam level yang memuaskan. Sementara di sisi lain, tingkat efisiensi teknis yang tinggi juga merefleksikan

14 127 bahwa peluang yang kecil untuk meningkatkan produktivitas yang cukup tinggi, karena kesenjangan antara tingkat produktivitas yang telah dicapainya dengan tingkat produktivitas maksimum yang dapat dicapai dengan sistem pengelolaan terbaik (the best practice) cukup sempit. Dengan kata lain, agar dapat meningkatkan produktivitas secara nyata maka dibutuhkan inovasi teknologi yang lebih maju. Sebaliknya tingkat efisensi teknis yang rendah menunjukkan bahwa masih terdapat peluang yang besar untuk meningkatkan produktivitas hingga dicapainya produktivitas maksimum. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat efisiensi teknis yang dicapai masih rendah. Hal ini terkait dengan penggunaan input-input produksi dan sumber-sumber inefisiensi teknis usaha penggemukan sapi potong, yaitu umur, pendidikan, pengalaman peternak dan status usaha ternak Sumber-sumber Inefisiensi Teknis Usaha Penggemukan Sapi Potong Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi teknis peternak di wilayah penelitian diduga dengan menggunakan model efek inefisiensi dari fungsi produksi stochastic frontier. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata dalam menjelaskan inefisiensi teknis didalam proses produksi usaha penggemukan sapi potong, adalah faktor umur dan dummy status usaha. Diantara faktor-faktor tersebut, hasil pendugaan sesuai dengan yang diharapkan, kecuali untuk faktor umur. Semua faktor berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Artinya peningkatan umur, pendidikan, pengalaman, dan status usaha milik sendiri dapat menurunkan inefisiensi teknis usaha penggemukan sapi potong.

15 128 Tabel 24. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Variabel Nilai Dugaan t rasio Konstanta Umur (Z 1 ) Pendidikan (Z 2 ) Pengalaman (Z 3 ) Dummy Status Usaha (Z 4 ) * ** Keterangan : ***nyata pada α 1% ; **nyata pada α 5%; * nyata pada α 15%; Umur (Z1). Variabel umur dimasukkan dalam model efek inefisiensi teknis dengan dugaan berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis usaha ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur bertanda negatif. Hal ini mengindikasikan semakin lama umur, maka peternak cenderung lebih efisien dalam menggunakan input produksi. Hal ini terjadi karena seiring dengan peningkatan usia peternak, kemungkinan pengalaman dan keterampilan mereka juga meningkat. Sejalan dengan hasil tingkat efisiensi teknis yang dicapai masingmasing peternak yaitu terdapat persen peternak yang berada pada selang tingkat efisiensi teknis yang tergolong tinggi yaitu antara Sebagian besar peternak (78.9 persen) dengan tingkat efisiensi teknis yang tinggi tersebut berada pada usia di atas usia rata-rata peternak ( 43 tahun). Jika dibandingkan dengan peternak yang berada pada tingkat efisiensi teknis yang rendah yaitu pada selang kecil dari 0.81 ( < 0.81), empiris lapangan menunjukkan sebagian besar peternak berada di bawah usia rata-rata. Kondisi ini sesuai dengan fenomena empiris di lapangan, dimana usaha ternak merupakan usaha turun-temurun, sehingga ada kecenderungan semakin bertambah usia peternak berarti pengalamannya dalam usaha ternak juga meningkat. Disamping itu dengan semakin meningkatnya usia peternak, alokasi

16 129 waktu untuk beternak menjadi lebih banyak, sehingga lebih fokus terhadap usaha ternaknya. Sementara peternak dengan usia yang lebih muda cenderung memiliki aktivitas lain sebagai sumber nafkah keluarga, sehingga usaha penggemukan sapi hanya ditempatkan sebagai usaha sampingan. Hasil yang sama pada penelitian Adhiana (2005) bahwa umur berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis petani lidah buaya. Begitu pula dengan penelitian (Umoh, 2006) yang menemukan bahwa variabel umur berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis pada usahatani di pedesaan namun tidak nyata. Penelitian Kurniawan (2008) pada usahatani jagung menemukan hal yang berbeda, dimana faktor usia petani jagung berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis petani namun tidak nyata menjelaskan inefisiensi teknis didalam proses produksi. Pendidikan Formal (Z2). Hasil analisis menunjukkan variabel umur bertanda negatif namun tidak nyata. Variabel ini dianggap sebagai proxy dari kemampuan manajerial peternak. Semakin lama waktu yang dihabiskan peternak untuk menempuh pendidikan diduga semakin mendorong peternak untuk meningkatkan efisiensi dalam proses produksi dan penggunaan input-input. Variabel pendidikan tidak berpengaruh nyata, karena empiris di lapangan tingkat pendidikan peternak relatif merata, dimana sebagian besar (50 persen) peternak berada pada level pendidikan Sekolah Dasar (SD). Variabel lamanya pendidikan adalah jumlah waktu (tahun) yang dihabiskan peternak untuk menempuh pendidikan formalnya. Menurut Kebede (2001) pendidikan meningkatkan kemampuan petani untuk mencari, memperoleh dan mengiterpretasikan informasi yang berguna tentang input-input produksi. Hal ini didukung oleh hasil estimasi, dimana pendidikan berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis produksi.

17 130 Peluang untuk meningkatkan produksi dapat dilakukan melalui peningkatan potensi teknologi dan peningkatan manajemen peternak. Namun pendidikan formal sebaiknya juga didukung dengan pendidikan non formal yang ditempuh di luar sekolah seperti pelatihan, lokakarya dan penyuluhan yang juga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peternak dalam mengelola usahanya. Pengalaman (Z3). Pengalaman diukur berdasarkan selang waktu peternak menjalankan usaha penggemukan sapi potong. Pada beberapa penelitian sebelumnya, pengalaman dianggap sebagai proxy dari umur petani khususnya pada sistem pertanian tradisional. Namun Kebede ( 2001) menemukan bahwa petani yang berumur lebih tua tidak selalu memiliki pengalaman yang lebih banyak dari petani yang lebih muda, sehingga pemisahan variabel umur dan pengalaman peternak sebagai variabel yang berdiri sendiri dianggap relevan. Hasil penelitian diperoleh pengalaman peternak yang bertanda negatif, menunjukkan bahwa semakin lama pengalaman peternak dalam mengusahakan penggemukan sapi potong, maka peternak akan semakin efisien atau tingkat inefisiensi teknis semakin rendah. Menurut Sihite (1998) pengalaman beternak sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan dan keterampilan peternak dalam pengelolaan usaha ternaknya. Rata-rata pengalaman beternak di daerah penelitian adalah 14.4 tahun. Tingkat pengalaman peternak selama itu akan memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola usaha ternaknya. Semakin lama pengalaman beternak, cenderung semakin memudahkan peternak dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan teknis pemeliharaan usaha

18 131 ternaknya. Hal tersebut disebabkan karena pengalaman dapat dijadikan pedoman dan penyesuaian terhadap permasalahan usaha ternak di masa mendatang. Dummy status usaha ternak (Z 4 ). Status usaha ternak di wilayah penelitian terdiri dari usaha utama dan sampingan. Hasil analisis menunjukkan variabel dummy status usaha ternak berpengaruh nyata pada α = 5 persen dengan tanda negatif. Hal ini dapat dijelaskan bahwa peternak yang menjadikan usaha penggemukan sebagai usaha utama relatif lebih efisien dibandingkan peternak yang menjadikan usahanya hanya sebagai sampingan. Hal ini disebabkan peternak yang menjadikannya sebagai usaha utama, maka perhatiannya akan lebih fokus dan keinginan untuk peningkatan produksi akan lebih tinggi, karena usaha tersebut sebagai sumber penghasilan utama untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Secara umum usaha penggemukan sapi potong di wilayah penelitian masih sebagai usaha sampingan, yaitu rata-rata persen dari keseluruhan peternak responden. Empiris di lapangan dari keseluruhan peternak yang berada pada selang tingkat efisiensi teknis tergolong tinggi ( ), sebagian besar (68.4 persen) menjadikan usaha ternaknya sebagai usaha utama. Jika dibandingkan dengan peternak yang berada pada selang tingkat efisiensi teknis yang rendah ( < 0.81), 75.6 persen peternak menjadikan usaha ternaknya hanya sebagai usaha sampingan. Peternak yang menjadikan sebagai usaha sampingan, kepemilikan ternaknya lebih sedikit yaitu rata-rata 1.7 ekor, sedangkan kepemilikan ternak sebagai usaha utama rata-rata 4.7 ekor. Dengan demikian sejalan juga dengan teori yang menyatakan bahwa efisiensi dapat meningkat dengan peningkatan terhadap skala usaha.

19 132 Selanjutnya dapat dijelaskan varians (σ 2 ) dan parameter gamma (γ) model efek inefisiensi teknis fungsi produksi stochastic frontier. Pada Tabel dapat diketahui bahwa parameter γ dugaan yang merupakan rasio dari varians efisiensi teknis (u i ) terhadap varians total produksi (ε i ) adalah Secara statistik nilai tersebut nyata pada α = Angka ini menunjukkan bahwa 99.9 persen dari variabel galat dalam fungsi produksi menggambarkan efisiensi teknis peternak atau 99.9 persen dari variasi hasil diantara peternak responden disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis. Tabel 25.Varians dan Parameter γ (gamma) dari Model Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi Stochastic frontier Varians dan Parameter γ σ 2 s = σ 2 2 v + σ u γ = σ 2 2 u / σ s Nilai Dugaan Standard Error t-rasio Hasil ini menjelaskan bahwa hampir semua variasi dalam keluaran dari produksi batas dianggap sebagai akibat dari tingkat pencapaian teknis efisiensi yang berkaitan dengan manajerial dalam pengelolaan usaha penggemukan sapi potong ANALISIS DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG Efisiensi merupakan salah satu akar penentu daya saing. Suatu produk memiliki daya saing yang tinggi salah satu cirinya adalah produk tersebut dapat diproduksi secara efisien. Hal ini karena suatu produk yang diproduksi secara efisien akan menyebabkan biaya produksi menurun sehingga keuntungan akan makin meningkat. Secara sederhana, produksi yang efisien adalah produksi yang dapat menghasilkan produk yang optimal. Efisiensi adalah rasio antara output

20 133 dengan input. Dari definisi tersebut, terdapat tiga situasi yang dapat dikategorikan sebagai produksi yang efisien. Pertama, apabila dengan input yang sama menghasilkan output yang lebih besar. Kedua, apabila dengan input yang lebih kecil menghasilkan output yang sama, dan yang terakhir dengan input yang lebih besar menghasilkan output yang lebih besar (Lipsey, 1995). Berdasarkan hasil analisis dihasilkan bahwa rata-rata efisiensi pada usaha penggemukan sapi potong adalah sebesar 76.4 persen, dimana nilai efisiensi terendah yaitu 47.8 persen dan yang tertinggi 99.6 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pada tingkat penggunaan input yang ada produksi masih dapat ditingkatkan, atau pada tingkat produksi yang ada biaya produksi masih dapat diturunkan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka pada penelitian ini juga akan dilihat bagaimana pengaruh produksi terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong. Upaya peningkatan efisiensi dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada. Beberapa upaya yang perlu dioptimalkan penggunaannya pada usaha penggemukan sapi potong adalah sumberdaya alam seperti bahan baku pakan lokal dan bibit ternak lokal, sumberdaya kapital dan sumberdaya manusia dalam hal ini peternak sebagai pengelola. Hal ini tentunya juga akan sangat menentukan daya saing usaha penggemukan sapi potong, dimana pemanfaatan sumberdaya domestik seefisien mungkin akan meningkatkan daya saing usaha itu sendiri. Daya saing usaha penggemukan sapi potong di kedua lokasi penelitian dianalisis dan diukur melalui keuntungan finansial, keuntungan ekonomi, analisis keunggulan kompetitif dan komparatif dengan menggunakan Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix). Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan

21 134 menggunakan matriks PAM akan diperoleh informasi daya saing kegiatan usaha penggemukan sapi potong di wilayah penelitian. Hasil analisis tersebut dapat memberikan informasi apakah sebaiknya pemerintah mengimpor atau memproduksi daging untuk mencukupi kebutuhan dalam negerinya, serta melihat dampak kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan usaha penggemukan sapi potong. Dari analisis PAM dapat diketahui nilai PCR (Private Cost Ratio) dan DRC (Domestic Resources Cost Ratio) yang merupakan kriteria keunggulan kompetitif dan komparatif suatu komoditas Justifikasi Harga Bayangan 1. Harga Bayangan Output Harga bayangan dalam hal ini sapi potong ditingkat peternak digunakan harga CIF (cost insurance and freight). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia sebagai net importir sapi potong. Kemudian dari harga border tersebut dilakukan penyesuaian dengan penambahan terhadap biaya penanganan dan angkutan. Harga output disesuaikan dengan nilai tukar Rupiah bayangan (Shadow Exchange Rate). Harga bayangan sapi potong dalam penelitian ini ditetapkan rata-rata sebesar Rp per ekor. Harga ini diperoleh dari harga CIF sapi potong ditambah dengan biaya penanganan dan pengangkutan dan dikalikan dengan Shadow Exchange Rate (SER) yaitu sebesar Rp Harga bayangan Sapi Bakalan Sumber bibit atau bakalan sapi diperoleh dari hasil persilangan sapi impor dan lokal. Untuk itu harga bayangan bibit diasumsikan 50 persen terdiri dari

22 135 komponen tradable dan 50 persen terdiri dari komponen domestik. Untuk komponen domestik diasumsikan harga bayangan sama dengan harga pasarnya (harga di lokasi usaha). Sedangkan untuk komponen tradable yang berasal dari impor digunakan harga CIF ditambah dengan biaya transportasi dan tataniaga lainnya. Rata-rata harga bayangan sapi bakalan adalah Rp per ekor. 3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan Penentuan harga bayangan sarana produksi dan peralatan didasarkan pada harga border price untuk yang termasuk komoditi tradable dan harga domestik untuk input non tradable. Dalam penelitian ini yang termasuk input tradable adalah mineral, vitamin, antibiotik, obat cacing dan pupuk urea. Sedangkan bahan pakan berupa hijauan, dedak, dan ampas tahu serta peralatan yang digunakan pada usaha penggemukan sapi termasuk input non tradable. Harga bayangan untuk mineral dan obat-obatan walaupun sudah diproduksi di dalam negeri namun sebagian bahan bakunya masih diimpor, sehingga harga bayangan untuk mineral dan obat-obatan berdasarkan harga CIF. Biaya obat-obatan terdiri dari input tradable dan non tradable, dimana karena sebagian besar bahan bakunya adalah impor, maka ditetapkan 80 persen dihitung sebagai komponen tradable dan 20 persen sebagai komponen non tradable, seperti yang dilakukan oleh Adnyana et al. (1996). Untuk biaya komponen non tradable atau domestik vitamin, juga ditambahkan dengan biaya tip yang dikeluarkan untuk tenaga kesehatan hewan yang membantu dalam pengobatan. Harga CIF antibiotik ditambah biaya penanganan dan pengangkutan yaitu sebesar Rp /ml.

23 136 Harga pupuk urea sampai saat ini masih disubsidi oleh pemerintah, yaitu berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 32 tahun 2010 yaitu tentang kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian tahun anggaran 2010, harga pupuk urea subsidi yaitu Rp per kilogram. Harga bayangan pupuk urea berdasarkan pada harga pupuk non subsidi di wilayah penelitian yaitu Rp per kilogram. Komponen biaya pupuk urea terdiri dari 33.7 persen tradable dan 64.3 persen non tradable, seperti yang dilakukan Kurniawan (2008). 4. Harga Bayangan Tenaga Kerja Harga bayangan tenaga kerja dihitung dengan mempertimbangkan tingkat pengangguran pada daerah penelitian. Harga bayangan tenaga kerja jika tidak ada pengangguran berarti harganya sama dengan harga harga aktual upah, sedangkan berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Agam (2009) dengan adanya pengangguran sebesar 7 persen, maka harga bayangan sosial adalah 93 persen dari tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian. Tingkat upah aktual yang berlaku adalah Rp per HOK. Dengan demikian harga bayangan tenaga kerja adalah Rp per HOK. 5. Harga Bayangan Lahan Harga sosial lahan didekati dengan nilai sewa lahan di daerah penelitian, hal ini dilandasi oleh mekanisme pasar lahan di pedesaan berjalan dengan baik, dan sulitnya mencari opportunity cost of land. Walaupun berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa sebagian besar peternak memanfaatkan lahan milik sendiri, namun di wilayah penelitian tersebut masih berlaku sewa menyewa lahan, terutama dalam usaha pertanian. Berdasarkan hal tersebut, maka

24 137 harga bayangan sewa lahan mengacu pada harga yang berlaku di daerah penelitian yaitu Rp per hektar. 6. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah Harga bayangan nilai tukar Rupiah dihitung menggunakan Standard Conversion Factor (SCF) sebagai koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku. Harga bayangan merupakan hasil bagi dari harga nilai tukar resmi pemerintah dengan SCF. Nilai SCF yang diperoleh pada tahun 2009 adalah sebesar 0.99, sehingga harga bayangan nilai tukar adalah Rp Identifikasi Kebijakan Pemerintah terkait dengan Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Kompetisi antara sapi lokal dengan produk impor berupa sapi maupun daging akan terus terjadi. Pada kompetisi ini yang sangat memegang peranan adalah daya saing, khususnya dalam pengadaan feeder cattle dan proses penggemukan yang lebih cepat dan efisien. Pengendalian impor dijalankan sesuai dengan aturan perdagangan internasional dengan memanfaatkan tariff maupun non-tariff barrier. Pengenaan non tariff barier sesuai dengan prinsip Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH). Indonesia mempunyai acuan dalam pemasukan ternak dan produk ternak yaitu berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada dasarnya pemasukan sapi hidup ke Indonesia harus berasal dari negara yang bebas dari Penyakit Hewan Menular Utama (PHMU) dan Zoonotic berbahaya. Khusus untuk pemasukan karkas, daging dan atau jeroan tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20 tahun Hal ini memberikan peluang terhadap negara manapun untuk dapat

25 138 menjadi negara pengekspor ke Indonesia sepanjang memenuhi persyaratan teknis yang telah ditetapkan. Salah satu aturan global yang penting dalam perdagangan antar negara dalam melindungi negara terhadap ancaman hama dan penyakit baik yang mengancam hewan, tumbuhan dan manusia adalah Sanitary and Phitosanitary (SPS) Agreement yang merupakan hambatan non tariff. Aturan ini menjadi faktor penting dalam mendukung Program Swasembada Daging Sapi sebagai pendorong Indonesia untuk mempertahankan status bebas beberapa penyakit yang tidak ada di Indonesia (eksotik) seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) dan penyakit eksotik penting lainnya seperti NIPAH, dan Rinderpest. Kebijakan Pemerintah lainnya adalah terkait dengan upaya memfasilitasi pengembangan usaha penggemukan sapi. Usaha ini dilakukan baik oleh pihak swasta atau koperasi yang pada umumnya melakukan importasi sapi bakalan maupun oleh kelompok-kelompok peternak sapi potong skala kecil atau menengah yang mendapat fasilitas dari Pemerintah (pusat dan daerah) dengan memanfaatkan sapi lokal dan hasil IB. Usaha penggemukan sapi bakalan yang dilakukan oleh para importir sapi potong harus dilakukan sekitar 3 bulan atau lebih, sehingga sapi dengan bobot awal kurang dari 350 kg tersebut mencapai bobot potong sekitar kg. Pemerintah menetapkan bahwa bobot sapi impor tidak boleh lebih dari 350 kg. Hal ini bertujuan agar sapi impor melewati proses penggemukan terlebih dahulu sebelum dipotong guna meningkatkan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja. Dari uraian diatas, maka beberapa peraturan

26 139 perundangan yang ditetapkan pemerintah untuk memproteksi usaha peternakan sapi potong domestik adalah: 1. Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2000 tentang Karantina Hewan. 2. Peraturan Menteri Pertanian No. 07/Permentan/OT.140/1/2008 tentang Syarat dan Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran Benih, Bibit Ternak dan Ternak Potong. 3. Peraturan Menteri Pertanian No.20/Permentan/OT.140/4/2009 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging dan/atau Jeroan dari Luar Negeri. 4. Undang-Undang No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Selain kebijakan dari segi output, pada usaha penggemukan sapi potong juga berlaku kebijakan terhadap input (sapronak). Salah satu kebijakan pemerintah yang masih dirasakan peternak dan bersifat melindungi peternak adalah kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk juga berlaku untuk peternak atau penanam hijauan pakan ternak. Pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani atau peternak yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah di sektor pertanian. Lingkup pengawasan mencakup pengadaan dan penyaluran, jenis, jumlah dan mutu, Harga Eceran Tertinggi (HET), dan waktu pengadaan penyaluran. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 32/Permentan/ SR.130/4/2010 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Teringgi (HET) Pupuk bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2010 ditetapkan Harga Eceran Tertinggi untuk pupuk urea adalah Rp per kilogram. Dengan adanya

27 140 kebijakan subsidi pupuk diharapkan peternak dapat meningkatkan penyediaan kualitas dan kuantitas hijauan sebagai pakan ternak. Disamping kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah juga menetapkan berbagai Peraturan Daerah terkait dengan tataniaga sapi potong. Hal ini sejalan juga dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Kebijakan Otonomi Daerah mendorong Pemerintah Daerah meningkatkan pendapatan asli daerah sehingga muncul retribusi dalam kegiatan perdagangan sapi potong. Kebijakan pemerintan daerah Kabupaten Agam dalam perdagangan sapi potong terdiri dari Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 1998 tentang retribusi Rumah Potong Hewan (RPH). Struktur dan besarnya tarif yang ditetapkan adalah : (1) Pemeriksaan Kesehatan Ternak sebelum dipotong dengan tarif sebesar Rp per ekor, (2) tarif pemakain kandang sebesar Rp per ekor, (3) tarif pemakaian tempat pemotongan sebesar Rp per ekor, dan (4) pemakaian angkutan dengan tarif sebesar Rp per kilometer. Peraturan lainnya yang ditetapkan pemerintah Kabupaten Agam adalah Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1999 tentang retribusi pasar grosir atau pertokoan yang juga berlaku terhadap perdagangan sapi potong, dimana retribusi untuk pasar ternak adalah sebesar Rp per ekor sapi Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Analisis finansial dan ekonomi memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai kelayakan usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam. Komponen biaya merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan dalam menjalankan suatu usaha. pengambilan keputusan tentang besarnya biaya perlu

28 141 menggunakan berbagai pertimbangan. Biaya yang dikeluarkan pada usaha penggemukan sapi potong terdiri dari biaya sapi bakalan, biaya pakan, biaya tenaga kerja, biaya vitamin dan obat-obatan, biaya pupuk untuk hijauan, biaya transportasi, biaya penyusutan kandang dan peralatan, serta biaya sewa lahan. Tabel 26. Penerimaan dan Komponen Biaya Rata-rata Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Kec. Sungai Puar Kec. Tilatang Kamang Uraian Jumlah (Rp/ekor) Proporsi (%) Jumlah (Rp/ekor) Proporsi (%) Penerimaan Biaya : 1. Sapi Bakalan 2. Pakan 3. Tenaga Kerja 4. Vitamin dan Obat-obatan 5. Urea 6. Transportasi 7. Penyusutan Kandang 8. PenyusutanPeralatan 9. Sewa Lahan Total Keuntungan Berdasarkan Tabel 26, untuk setiap pemeliharaan satu ekor sapi potong di Kedua Kecamatan, biaya terbesarnya dialokasikan untuk biaya sapi bakalan yaitu 63.9 persen atau dengan nilai Rp untuk peternak di Kecamatan Sungai Puar dan 77.0 persen atau dengan nilai sebesar Rp untuk peternak di Kecamatan Tilatang Kamang. Proporsi biaya berikutnya adalah biaya pakan sebesar 21.4 persen dengan nilai sebesar Rp untuk peternak di Kecamatan Sungai Puar dan 14.9 persen dengan nilai sebesar Rp untuk peternak di Kecamatan Tilatang Kamang. Selanjutnya untuk Kecamatan Sungai Puar adalah biaya tenaga kerja

29 142 (9.5 persen), penyusutan kandang (2.4 persen), penyusutan peralatan (0.9 persen), dan terkecil adalah urea, transportasi dan sewa lahan dengan proporsi yang sama yaitu masing-masing 0.4 persen. Sedangkan untuk Kecamatan Tilatang Kamang komponen biaya terkecil adalah biaya vitamin dan obat-obatan. Perbedaan proporsi biaya antara dua Kecamatan terlihat jelas untuk komponen biaya sapi bakalan, dimana peternak di Kecamatan Tilatang Kamang mengelurkan biaya lebih besar. Hal ini disebabkan peternak di Kecamatan Tilatang Kamang umumnya membeli sapi bakalan yang berumur di atas 1 tahun sementara peternak di Sungai Puar lebih memilih sapi bakalan yang lebih muda, didasarkan pada modal yang dimilki. Profitabilitas privat (finansial) adalah selisih penerimaan dan biaya total dengan dasar perhitungan harga output yang diterima dan harga input yang dibayar peternak. Total biaya termasuk juga nilai sewa lahan dan upah tenaga kerja dalam keluarga. Profitabilitas privat (finansial) merupakan indikator keunggulan kompetitif dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Sedangkan profitabilitas sosial mengindikasikan keunggulan komparatif suatu komoditas dalam pemanfaatan sumberdaya yang langka di dalam negeri. Pada kondisi ini harga input dan output diperhitungkan dalam kondisi persaingan sempurna, dimana segala bentuk subsidi dan proteksi yang bersifat mendistorsi pasar telah dihilangkan. Sistem komoditas dengan tingkat profitabilitas sosial (ekonomi) yang makin tinggi maka menunjukkan tingkat keunggulan komparatif yang semakin besar. Secara finansial maupun ekonomi usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam, baik Kecamatan Sungai Puar maupun Tilatang Kamang

30 143 menguntungkan. Hal ini terlihat dari keuntungan finansial dan ekonomi yang bernilai positif. Penerimaan finansial dan ekonomi usaha penggemukan sapi juga memperlihatkan divergensi positif. Hal ini mengindikasikan bahwa harga yang diterima oleh peternak khususnya di Kabupaten Agam lebih tinggi dari barang sejenis yang dijual di pasar internasional. Adanya perbedaan harga output juga karena konsumen cenderung lebih suka sapi lokal dibanding sapi impor. Hasil analisis berdasarkan perhitungan PAM dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Matriks Analisis Kebijakan Usaha Penggemukan Sapi potong di Kabupaten Agam Uraian Kec. Sungai Puar Nilai Finansial Nilai Ekonomi Dampak Kebijakan dan Distorsi Pasar Kec. Tilatang Kamang Nilai Finansial Nilai Ekonomi Dampak Kebijakan dan Distorsi Pasar Penerimaan Output (Rp/ekor) Biaya Input (Rp/ekor) Input Tradable Input Non Tradale Keuntungan Keuntungan privat dan sosial dari usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Sungai Puar lebih rendah dibandingkan dengan keuntungan privat dan sosial peternak di Kecamatan Tilatang Kamang. Hal ini karena tingkat produksi yang dicapai usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Tilatang Kamang yang dilihat dari pertambahan bobot badan sapi (0.75 kg/hari) lebih baik dibandingkan usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Sungai Puar (0.56 kg/hari). Salah satu penyebab terjadinya divergensi adalah kebijakan pemerintah yang distorsif. Penerapan kebijakan distorsif untuk mencapai tujuan yang bersifat

31 144 non efisiensi akan menghambat terjadinya alokasi sumberdaya yang efisien dan dengan sendirinya akan menimbulkan divergensi. Misalnya tarif impor daging yang ditetapkan untuk meningkatkan pendapatan peternak dan meningkatkan produksi daging sapi dalam negeri, namun dilain pihak akan menimbulkan kerugian efisiensi bila harga daging sapi yang digantikannya ternyata lebih murah dari biaya domestik yang digunakan untuk memproduksi daging sapi di dalam negeri, sehingga akan timbul trade-off (Pearson, 2005). Secara teori, kebijakan yang paling efisien dapat dicapai jika pemerintah mampu menciptakan kebijakan yang mampu menghapuskan kegagalan pasar dan jika pemerintah mampu mengabaikan tujuan non efisiensi serta menghapuskan kebijakan yang distorsif. Apabila tindakan menciptakan kebijakan yang efisien dan menghilangkan kebijakan yang distorsif tersebut mampu dilaksanakan, maka divergensi dapat dihilangkan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnnya bahwa baik di Tilatang Kamang maupun di Sungai Puar, keduanya memiliki keuntungan privat dan sosial yang lebih besar dari nol. Hal ini berarti bahwa ada atau tidak adanya intervensi pemerintah pengusahaan penggemukan sapi potong masih menguntungkan secara finansial dan ekonomi atau memiliki daya saing dan tingkat efisiensi yang baik Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Alokasi sumberdaya pada kegiatan perekonomian senantiasa diarahkan untuk mencapai tingkat efisiensi ekonomi yang tinggi sehingga produksi dan produktivitas yang tinggi dapat tercapai. Ukuran yang biasa digunakan untuk melihat efisiensi finansial dan ekonomi yang sekaligus sebagai indikator

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI 7.1. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier 7.1.1. Pendugaan Model Fungsi Produksi Stochastic Frontier Model yang digunakan untuk mengestimasi fungsi produksi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usaha Sapi Potong di Kabupaten Indrgiri Hulu 5.1.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Sapi Potong Usaha peternakan sapi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi susu sapi lokal dalam

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG 7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

VI ANALISIS EFISIENSI TEKNIS

VI ANALISIS EFISIENSI TEKNIS VI ANALISIS EFISIENSI TEKNIS Model yang digunakan untuk mengestimasi fungsi produksi usahatani paprika hidroponik di lokasi penelitian adalah model fungsi Cobb-Douglas dengan pendekatan Stochastic Production

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Kabupaten Indragiri Hulu terdiri

Lebih terperinci

VIII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

VIII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI VIII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI 8.1. Analisis Produksi Stochastic Frontier Usahatani Kedelai Edamame Analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis fungsi produksi Cobb-Douglas

Lebih terperinci

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI 7.1 Analisis Produksi Stochastic Frontier 7.1.1 Pendugaan Model Fungsi Produksi Stochastic Frontier Model yang digunakan untuk mengestimasi fungsi produksi usahatani

Lebih terperinci

Analisis Efisiensi Teknis Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat

Analisis Efisiensi Teknis Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat Jurnal Peternakan Indonesia, Februari 2012 Vol. 14 (1) ISSN 19071760 Analisis Efisiensi Teknis Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat Technical Efficiency Analysis of Beef

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin 22 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Analisis Dewasa ini pengembangan sektor pertanian menghadapi tantangan dan tekanan yang semakin berat disebabkan adanya perubahan lingkungan strategis

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi gula lokal yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Menurut penelitian Fery (2013) tentang analisis daya saing usahatani kopi Robusta di kabupaten Rejang Lebong dengan menggunakan metode Policy Analiysis

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM VI ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan kemampuan jeruk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan 33 III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional dan Konsep Dasar Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG Komoditas pertanian erat kaitannya dengan tingkat produktivitas dan efisiensi yang rendah. Kedua ukuran tersebut dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 45 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan daerah tersebut dilakukan secara purposive

Lebih terperinci

ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI VI ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI 6.1 Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier 6.1.1 Pengujian Asumsi Klasik Regresi Linier Syarat model regresi linier (fungsi produksi) dikatakan baik jika

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Empiris Ubi Jalar

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Empiris Ubi Jalar II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Empiris Ubi Jalar Ubi jalar telah banyak diteliti dari berbagai bidang disiplin ilmu, akan tetapi penelitian mengenai efisiensi teknis usahatani belum pernah dilakukan.

Lebih terperinci

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG VI. 6.1 Analisis Dayasaing Hasil empiris dari penelitian ini mengukur dayasaing apakah kedua sistem usahatani memiliki keunggulan

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data 4.3. Metode Pengambilan Sampel

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data 4.3. Metode Pengambilan Sampel IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pasirlangu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan

Lebih terperinci

Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan

Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan LAMPIRAN 82 Lampiran 1. Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan No Keterangan Jumlah Satuan Harga Nilai A Penerimaan Penjualan Susu 532 Lt 2.930,00 1.558.760,00 Penjualan Sapi 1 Ekor 2.602.697,65

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 83 VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 8.1. Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial Tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing rumput laut di

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Metode Pengumpulan Data

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Metode Pengumpulan Data IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan kecamatan Cigombong ini dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI GANYONG DI DESA SINDANGLAYA

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI GANYONG DI DESA SINDANGLAYA VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI GANYONG DI DESA SINDANGLAYA 7.1. Analisis Fungsi Produksi Analisis untuk kegiatan budidaya ganyong di Desa Sindanglaya ini dilakukan dengan memperhitungkan

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di PT Saung Mirwan. Pemilihan PT Saung Mirwan dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa PT Saung Mirwan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton. III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis terhadap tujuan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.a. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata/signifikan terhadap produksi usahatani jagung

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. probiotik maupun non probiotik oleh peternak, dimulai dari pembesaran bibit

III. METODE PENELITIAN. probiotik maupun non probiotik oleh peternak, dimulai dari pembesaran bibit 47 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Usaha ternak ayam adalah usaha yang membudidayakan ayam ras pedaging probiotik maupun non probiotik oleh peternak, dimulai dari pembesaran

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK 6.1 Analisis Keuntungan Sistem Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok Analisis keunggulan komparatif

Lebih terperinci

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. kandang dan bibit terhadap penerimaan usaha, dengan subjek penelitian peternak

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. kandang dan bibit terhadap penerimaan usaha, dengan subjek penelitian peternak 24 III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek dan Subjek Penelitian Objek penelitian yang diamati yaitu pengaruh aplikasi teknologi pakan, kandang dan bibit terhadap penerimaan usaha, dengan subjek penelitian

Lebih terperinci

VI. GAMBARAN WILAYAH, KARAKTERISTIK PETERNAKAN SAPI POTONG DAN RESPONDEN PENELITIAN

VI. GAMBARAN WILAYAH, KARAKTERISTIK PETERNAKAN SAPI POTONG DAN RESPONDEN PENELITIAN 93 VI. GAMBARAN WILAYAH, KARAKTERISTIK PETERNAKAN SAPI POTONG DAN RESPONDEN PENELITIAN 6.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Agam merupakan salah satu kabupaten yang terletak di provinsi Sumatera

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan data primer adalah di Desa Pasirlaja, Kecamatan

IV. METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan data primer adalah di Desa Pasirlaja, Kecamatan IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi pengambilan data primer adalah di Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian II. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode deskriptif analitis. Menurut Nazir (2014) Metode deskriptif adalah suatu metode dalam

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Studi kasus penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Sukaresmi dan Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara purpossive

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Cilembu (Kecamatan Tanjungsari) dan Desa Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong) Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 26 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional dan Konsep Dasar Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang dipergunakan untuk memperoleh data yang akan dianalisis sesuai dengan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive). Alasan pemilihan Kabupaten

Lebih terperinci

Msi = x 100% METODE PENELITIAN

Msi = x 100% METODE PENELITIAN 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS), Perpustakaan IPB,

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Metode Penentuan Responden

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Metode Penentuan Responden IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Sukasari Kaler yang berada di wilayah Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Perdagangan Internasional pada dasarnya merupakan perdagangan yang terjadi antara suatu negara tertentu dengan negara yang

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN 8.1. Pengaruh Perubahan Harga Output dan Harga Input terhadap Penawaran Output dan Permintaan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2 KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT Yusuf 1 dan Rachmat Hendayana 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabelvariabel

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabelvariabel 22 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabelvariabel yang diteliti serta penting untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

BAB VI ANALISIS PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA DI KELAPA DUA

BAB VI ANALISIS PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA DI KELAPA DUA BAB VI ANALISIS PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA DI KELAPA DUA 6.1. Analisis Fungsi Produksi Model fungsi produksi yang digunakan adalah model fungsi Cobb- Douglas. Faktor-faktor produksi yang diduga

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan

IV. METODE PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian IV. METODE PENELITIAN Pengumpulan data primer penelitian dilakukan di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

Lebih terperinci

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP PURWATI RATNA W, RIBUT SANTOSA, DIDIK WAHYUDI Fakultas Pertanian, Universitas Wiraraja Sumenep ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Setiabudi 8

METODE PENELITIAN. Setiabudi 8 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai sikap konsumen terhadap daging sapi lokal dan impor ini dilakukan di DKI Jakarta, tepatnya di Kecamatan Setiabudi, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 28 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Bulan Pebruari sampai April 2009, mengambil lokasi di 5 Kecamatan pada wilayah zona lahan kering dataran rendah

Lebih terperinci

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA 7.1. Analisis Fungsi Produksi Hasil pendataan jumlah produksi serta tingkat penggunaan input yang digunakan dalam proses budidaya belimbing dewa digunakan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 51 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga tempat di Provinsi Bangka Belitung yaitu Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Barat, dan Kabupaten Belitung.

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI Daya saing usahatani jambu biji diukur melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan menggunakan Policy

Lebih terperinci

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini, RINGKASAN Kendati Jambu Mete tergolong dalam komoditas unggulan, namun dalam kenyataannya tidak bisa dihindari dan kerapkali mengalami guncangan pasar, yang akhirnya pelaku (masyarakat) yang terlibat dalam

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Kerangka pemikiran teoritis meliputi penjelasan-penjelasan mengenai halhal

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Kerangka pemikiran teoritis meliputi penjelasan-penjelasan mengenai halhal III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis meliputi penjelasan-penjelasan mengenai halhal yang berdasar pada teori yang digunakan dalam penelitian. Penelitian

Lebih terperinci

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRAK... xiii ABSTRACT...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat yaitu Desa Purwasari. Pemilihan Kabupaten Bogor dipilih secara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan Data sekunder

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan Data sekunder III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan 2000-2011. Data sekunder tersebut bersumber dari Lampung dalam Angka (BPS), Badan Penanaman Modal Daerah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Modal, Dinas Penanaman Modal Kota Cimahi, Pemerintah Kota Cimahi, BPS Pusat

III. METODOLOGI PENELITIAN. Modal, Dinas Penanaman Modal Kota Cimahi, Pemerintah Kota Cimahi, BPS Pusat III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data tenaga kerja, PDRB riil, inflasi, dan investasi secara berkala yang ada di kota Cimahi.

Lebih terperinci

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta

Lebih terperinci

VI. ANALISIS EFISIENSI FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI PADI

VI. ANALISIS EFISIENSI FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI PADI VI. ANALISIS EFISIENSI FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI PADI 6.1 Analisis Fungsi Produksi Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dapat dijelaskan ke dalam fungsi produksi. Kondisi di lapangan menunjukkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berhubungan dengan penelitian. terdiri dari sawi, kol, wortel, kentang, dan tomat.

III. METODE PENELITIAN. berhubungan dengan penelitian. terdiri dari sawi, kol, wortel, kentang, dan tomat. 33 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional 1. Konsep Dasar Konsep dasar dan definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk yang digunakan untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

BAB IV. METODE PENELITIAN

BAB IV. METODE PENELITIAN BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Gapoktan Tani Bersama Desa Situ Udik Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Kabupaten Tapanuli Selatan yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Kabupaten Tapanuli Selatan yang BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Kabupaten Tapanuli Selatan yang mempunyai jumlah peternak sapi IB dan non IB di tiga Kecamatan yaitu Kecamatan

Lebih terperinci

Daerah Jawa Barat, serta instansi-instansi lain yang terkait.

Daerah Jawa Barat, serta instansi-instansi lain yang terkait. IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data sekunder untuk keperluan penelitian ini dilaksanakan pada awal bulan juli hingga bulan agustus 2011 selama dua bulan. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 39 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross section dari data sembilan indikator

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI TEKNIS FAKTOR PRODUKSI PADI (Oryza sativa) ORGANIK DI DESA SUMBER PASIR, KECAMATAN PAKIS, KABUPATEN MALANG

ANALISIS EFISIENSI TEKNIS FAKTOR PRODUKSI PADI (Oryza sativa) ORGANIK DI DESA SUMBER PASIR, KECAMATAN PAKIS, KABUPATEN MALANG AGRISE Volume XII No. 3 Bulan Agustus 2012 ISSN: 1412-1425 ANALISIS EFISIENSI TEKNIS FAKTOR PRODUKSI PADI (Oryza sativa) ORGANIK DI DESA SUMBER PASIR, KECAMATAN PAKIS, KABUPATEN MALANG (ANALYSIS OF TECHNICAL

Lebih terperinci

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010 Volume 12, Nomor 1, Hal. 55-62 ISSN 0852-8349 Januari - Juni 2010 DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING DAN EFISIENSI SERTA KEUNGGULAN KOMPETITIF DAN KOMPARATIF USAHA TERNAK SAPI RAKYAT DI KAWASAN

Lebih terperinci

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA Penelitian ini membagi responden berdasarkan jenis lahan, yaitu lahan sawah irigasi dan tadah hujan, serta keikutsertaan petani dalam

Lebih terperinci

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang 131 Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II No Jenis Uji Satuan 1 Cemaran Binatang 2 Warna 3 Kadar Benda Asing (b/b) 4 Kadar Biji Enteng (b/b) 5 Kadar Cemaran Kapang 6 Kadar Warna Kehitam-hitaman

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI Bagian ini akan menganalisis hasil melakukan simulasi, yaitu melakukan perubahan-perubahan pada satu atau beberapa

Lebih terperinci

Siviardus Marjaya Program Studi Manajemen Agribisnis Politeknik Pertanian Negeri Kupang Jl. Adisucipto Penfui Kupang, P.O. Box 1152, Kupang 85011

Siviardus Marjaya Program Studi Manajemen Agribisnis Politeknik Pertanian Negeri Kupang Jl. Adisucipto Penfui Kupang, P.O. Box 1152, Kupang 85011 Ilmu Pertanian Vol. 18 No.3, 2015 : 164-174 Analisis Efisiensi dan Daya Saing Komoditas pada Sistem Usahatani Integrasi Jagung-Sapi di Kabupaten Kupang Analysisof Efficiency and Competitiveness Commodities

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. wilayah Kecamatan Karawang Timur dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan

METODE PENELITIAN. wilayah Kecamatan Karawang Timur dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan di Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan atas wilayah

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karangasem dengan lokasi sampel penelitian, di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu. Penentuan lokasi penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Data merupakan bentuk jamak dari datum. Data merupakan sekumpulan

BAB II LANDASAN TEORI. Data merupakan bentuk jamak dari datum. Data merupakan sekumpulan BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Data Data merupakan bentuk jamak dari datum. Data merupakan sekumpulan datum yang berisi fakta-fakta serta gambaran suatu fenomena yang dikumpulkan, dirangkum, dianalisis, dan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Pendapatan Usahatani Suratiyah (2006), mengatakan bahwa usahatani sebagai ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengetahui tingkat pendapatan usahatani tomat dan faktor-faktor produksi yang mempengaruhi

Lebih terperinci

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH 93 VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH 7.1. Justifikasi Harga Bayangan Penelitian ini, untuk setiap input dan output ditetapkan dua tingkat harga, yaitu harga

Lebih terperinci

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 email: mardianto.anto69@gmail.com ABSTRAK 9 Penelitian tentang Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. deposito berjangka terhadap suku bunga LIBOR, suku bunga SBI, dan inflasi

METODE PENELITIAN. deposito berjangka terhadap suku bunga LIBOR, suku bunga SBI, dan inflasi III. METODE PENELITIAN Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat suku bunga deposito berjangka terhadap suku bunga LIBOR, suku bunga SBI, dan inflasi pada bank umum di Indonesia.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia. Kegiatan penelitian ini

METODE PENELITIAN. Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia. Kegiatan penelitian ini IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan studi kasus Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia. Kegiatan penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) Novi Itsna Hidayati 1), Teguh Sarwo Aji 2) Dosen Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan ABSTRAK Apel yang

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI SUSU SAPI PERAH

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI SUSU SAPI PERAH VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI SUSU SAPI PERAH Dalam suatu kegiatan usaha ekonomi mempunyai tujuan utama untuk memperoleh keuntungan. Dalam usahaternak sapi perah salah satu usaha untuk memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.. Penentuan Daerah Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Asembagus dan Kecamatan Jangkar, Kabupaten Situbondo, Propinsi Jawa Timur. Pemilihan kecamatan dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini diperoleh beberapa simpulan, implikasi kebijakan dan saran-saran seperti berikut. 7.1 Simpulan 1. Dari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder deret waktu

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder deret waktu III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder deret waktu (time-series data) bulanan dari periode 2004:01 2011:12 yang diperoleh dari PT.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tugu Kelapa Dua Kecamatan Cimanggis Kota Depok dengan memilih Kelompok Tani Maju Bersama sebagai responden.

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian analisis efisiensi teknis dan pendapatan usahatani caisim ini dilakukan di Desa Ciaruteun Ilir Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Obyek dari penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah besarnya

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Obyek dari penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah besarnya BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Obyek Penelitian Obyek dari penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah besarnya yield to maturity (YTM) dari obligasi negara seri fixed rate tenor 10 tahun

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio). III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini meliputi konsep usahatani, biaya usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009 LAMPIRAN Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009 Uraian Jumlah (Rp) Total Ekspor (Xt) 1,211,049,484,895,820.00 Total Impor (Mt) 1,006,479,967,445,610.00 Penerimaan

Lebih terperinci