PEMBAHASAN UMUM. faktor lingkungan dimana fragmen spons diletakkan pada saat fragmentasi.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMBAHASAN UMUM. faktor lingkungan dimana fragmen spons diletakkan pada saat fragmentasi."

Transkripsi

1 PEMBAHASAN UMUM Kelangsungan hidup (sintasan) dan pertumbuhan spons dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana fragmen spons diletakkan pada saat fragmentasi. Kondisi lingkungan yang optimal dibutuhkan spons agar luka yang terjadi akibat fragmentasi dapat pulih kembali secepatnya dan spons dapat melanjutkan aktivitas pertumbuhannya. Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan spons hasil fragmentasi adalah TSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Total Suspended Solid (TSS) berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan spons hal ini ditunjukkan oleh adanya perbedaan TSS pada dua lokasi yang berbeda (ST1 dan ST2) di gugusan Pulau Pari. Fragmen spons yang diletakkan di ST1 memiliki tingkat kelangsungan hidup lebih rendah dibanding di ST2. Kondisi ini diduga disebabkan oleh kandungan Total Suspended Solid (TSS) yang berbeda pada kedua stasiun, yaitu ST1 lebih tinggi dibandingkan di ST2. Pengaruh lain terhadap pertumbuhan dan perkembangan spons yang difragmentasi di alam adalah berasal dari keberadaan organisme lain seperti ikan Pomacentridae. Ikan ini menggigit tubuh spons pada saat pertama kali diletakkan di lokasi. Kondisi ini menyebabkan bertambahnya luka pada permukaan tubuh spons sehingga sangat mudah terlepas dari tali. Namun demikian jika dibandingkan dengan kondisi perairan yang keruh seperti pada ST1 maka kondisi ST2 dengan adanya predator lebih dapat ditolerir oleh fragmen spons sehingga sintasannya lebih tinggi. Fragmen spons yang difragmentasikan dengan metode horizontal memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik dibanding fragmen spons yang difragmentasi dengan metode vertikal. Faktor lain yang diduga mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup fragmen spons adalah adanya kontak fragmen spons dengan amonia hasil buangan 137

2 spons pada saat terjadinya pemotongan fragmen. Kondisi tersebut mengakibatkan air yang masuk melalui ostia spons adalah air yang sudah terkontaminasi dan merupakan buangan dari sisa metabolismenya sendiri sehingga keadaan fragmen makin melemah. Mulai dari proses pemotongan hingga pengamatan pertama terlihat fragmen spons peka terhadap setiap perlakuan yang diberikan, ini terlihat dari banyaknya lendir yang dihasilkan, warnanya yang memucat, menyusutnya oskulum serta keluarnya ammonia. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi hal ini adalah dengan melakukan pemotongan langsung di laut atau melakukan pemotongan di atas kapal dan fragmen secepat mungkin diletakan kembali di laut dengan menggunakan waring berukuran kecil untuk menghindari lolosnya fragmen. Dengan kondisi terjadinya pergantian air di laut maka spons dapat selalu memanfaatkan air segar untuk sirkulasi di tubuhnya. Pertumbuhan rata-rata fragmen spons di kedua lokasi penelitian dan kedua metode memiliki kecenderungan yang lebih baik pada pertumbuhan vertikal, yaitu pertumbuhan yang arahnya tegak lurus terhadap tali polyetilen. Diduga hal ini terjadi akibat pengaruh sinar matahari yang menyebabkan pertumbuhan vertikal lebih cepat dibandingkan petumbuhan horisontal. Selain itu kemungkinan besar pertumbuhan vertikal tidak memerlukan energi untuk menyembuhkan luka dalam yang diakibatkan oleh adanya luka pada bagian dalam jaringan yang dilalui tali polyetilen untuk merangkai spons seperti halnya pertumbuhan horizontal. Selain itu energi yang dimiliki fragmen lebih difokuskan pada penyembuhan luka akibat potongan pada sisi spons dan penusukan tubuh spons yang dilakukan Spons Aa juga memiliki laju pertumbuhan spesifik secara vertikal lebih baik dari pada pertumbuhan horisontalnya yang disebabkan karena pengaruh keberadaan organisme simbion berupa mikroalga yang melakukan proses fotosintesis dan memiliki kecenderungan untuk tumbuh sesuai dengan arah datangnya sinar matahari. Selain itu juga secara genetik spons Aaptos aaptos 138

3 memiliki morfologi tubuh dengan petumbuhan vertikal lebih cepat dibandingkan horisontal. Perlakuan metode rak terhadap laju pertumbuhan spesifik spons menunjukkan bahwa pada ST1 perbedaan metode rak yang digunakan berpengaruh nyata, sedangkan pada ST2 tidak berpengaruh nyata. Pengunaan metode rak vertikal pada ST1 lebih baik jika dibandingkan dengan rak horizontal. Kondisi sebaliknya terjadi pada ST2 dengan kondisi perairan yang lebih baik dan jernih maka pertumbuhan spons pada rak horisontal lebih baik dibandingkan rak vertikal karena tidak terjadi pengadukan terhadap substrat yang menyebabkan keruhnya kondisi air. Hal ini diduga karena di ST1 dengan kondisi perairan yang lebih keruh maka penempatan fragmen pada posisi rak vertikal lebih menguntungkan karena fragmen terletak di kolom perairan sehingga kemungkinan permukaan untuk tertutup oleh substrat lebih kecil dibandingkan dengan fragmen yang ditempatkan pada rak dengan posisi horizontal. Selain itu pada rak vertikal, fragmen terkena arus yang langsung menuju badan fragmen yang secara tidak langsung membawa kandungan-kandungan senyawa organik atau nutrien dan oksigen yang dibutuhkan dalam pembentukkan dan pertumbuhan fragmen spons. Hal lainnya diduga karena letaknya yang tidak terlalu dekat dengan dasar perairan sehingga tidak banyak partikel-partikel akibat dari terjadinya pengadukan yang menempel di permukaan tubuh fragmen luka spons sehingga energi yang dimiliki oleh fragmen spons lebih difokuskan pada pertumbuhan. Berbeda dengan fragmen yang menggunakan metode rak horizontal di ST1, diduga kekuatan yang dimiliki oleh fragmen lebih difokuskan kepada pembentukan lendir yang digunakan untuk menghalau partikel-partikel dari lingkungannya serta partikelpartikel lainnya yang mengendap di permukaan tubuh fragmen spons tersebut dikarenakan letaknya yang horisontal sehingga kondisinya terlindung dari pergerakan arus sehingga pengendapan sedimen langsung terjatuh di permukaan 139

4 atau di atas fragmen. Sehingga untuk melakukan fragmentasi pada lokasi dengan kekeruhan tinggi maka seharusnya dilakukan dengan menggunakan metode rak vertikal. Sebaliknya untuk melakukan fragmentasi spons pada lokasi yang memiliki perairan jernih dianjurkan menggunakan metode rak horisontal. Perlakuan jumlah luka menghasilkan respon yang tidak berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup fragmen spons. Walaupun rata-rata sintasan tertinggi terdapat pada fragmen kontrol (tanpa luka) sebesar 100% kemudian diikuti oleh fragmen 1 luka, 4 luka, 2 luka, 3 luka dan terendah terdapat pada fragmen ukuran 1 cm 2. Tingginya tingkat kelangsungan hidup pada fragmen kontrol (tanpa luka) disebabkan tidak adanya lapisan pinacoderm yang terluka dan bentuknya sudah sempurna seperti bentuk induk aslinya di alam sehingga fragmen tersebut dapat mengatasi tekanan dari faktor lingkungannya seperti serangan jamur, predator dan pengendapan sedimen. Energi yang tersimpan tidak lagi digunakan untuk merekonstruksikan jaringannya yang rusak tetapi dapat digunakan untuk bersimbiosis, memproduksi bahan aktif dan melakukan proses pertumbuhan serta reproduksinya. Hasil ini menunjukkan bahwa spons Aa tahan terhadap pemotongan bagian-bagian tubuhnya dan mempunyai kemampuan pemulihan dengan cepat yaitu sekitar 1 minggu untuk menyembuhkan luka dan 4 minggu untuk mengembalikan spons seperti kondisi induknya. Sehingga metode fragmentasi dapat digunakan untuk memperbanyak koloni spons dan biomassa yang dihasilkan dapat digunakan untuk pemanfaatan selanjutnya. Namun demikian terdapat keterbatasan ukuran fragmen optimal yang dapat menghasilkan sintasan dan laju pertumbuhan yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ukuran fragmen 1 cm fragmen spons tidak dapat tumbuh dengan optimal dan pada ukuran fragmen 3 cm spons masih dapat tumbuh dengn sangat baik. Sehingga dianjurkan untuk melakukan fragmentasi spons sampai dengan ukuran 1 cm dengan menggunakan jaring agar prinsip ketersediaan benih spons sebanyak 140

5 mungkin dapat terpenuhi dan tidak ada sisa fragmen yang tidak digunakan dalam proses fragmentasi tersebut. Umur spons diduga berkorelasi dengan ukurannya, dan merupakan salah satu faktor internal yang dapat mengontrol reproduksi spons. Ukuran minimum spons untuk dapat bereproduksi secara seksual berbeda-beda, misalnya Tethya serica panjangnya kira-kira 10 cm, Hippospongia lachne diameternya kira-kira 14 cm pada saat pertama kali bereproduksi seksual. Pada Mycale sp. hanya spesimen yang volume bersihnya lebih dari 200 ml mengalami oogenesis, sedangkan spesimen yang kecil memperlihatkan spermatogenesis. Sebaliknya pada Suberitas ficus, oogenesis sering terjadi hanya pada spesimen yang ukurannya tidak lebih dari 5 cm (Sara, 1992). Penelitian ini menunjukkan bahwa spons Aa mulai melakukan reproduksi seksual setelah 241 hari fragmentasi buatan dilakukan pada saat ukuran vertikalnya mencapai 11,70 cm dan ukuran horisontal mencapai 11,83 cm. Seksualitas pada spons bisa berbeda berdasarkan lokasi dimana spons ditemukan. Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari perubahan faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan spons. Spons Aaptos aaptos yang diteliti di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta memiliki tipe reproduksi gonokhorik, yaitu hanya ditemukan satu jenis gamet yaitu gamet betina dan tidak pernah ditemukan secara bersama-sama gamet jantan dan betina. Tipe reproduksi gonokhorik yang ditemukan pada Aaptos aaptos yang hidup di perairan Pulau Pari merupakan tipe reproduksi yang umum ditemukan pada spons Ordo Hadromerida, seperti pada jenis Tethya crypta, Tethya citrina (Tethydae); Chondrosia reniformis, Chondrilla nucula (Chondrosiidae); Polymastia hirsuta, Aaptos aaptos (Polymastiidae) (Sara, 1992). Cara reproduksi spons Aaptos aaptos di Gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu, DKI Jakarta adalah ovipar. Cara reproduksi ovipar pada Aaptos aaptos 141

6 juga ditemukan oleh Sara (1992) di Perairan Italia. Cara reproduksi ovipar pada spons terbagi menjadi fertilisasi internal dan eksternal. Spons yang melakukan fertilisasi internal akan menempatkan telurnya yang telah difertilisasi atau zygot di dalam mesohyl, selanjutnya dikeluarkan dari tubuh spons dan kemudian menetas (Kozloff, 1990; Ilan et al, 2004). Sedangkan pada fertilisasi eksternal telur yang belum dibuahi dikeluarkan oleh spons dan selanjutnya fertilisasi terjadi setelah telur bertemu dengan sperma di kolom air di luar tubuh spons. Berdasarkan pengamatan terhadap pemijahan spons Aa yang dilakukan secara in situ menunjukkan bahwa fertilisasi terjadi secara internal karena yang dikeluarkan adalah zygot dan setelah beberapa saat terlihat adanya pembelahan sel. Penelitian sebelumnya belum menentukan fertilisasi spons Aa dan belum diketahui perkembangan embrionya sesaat setelah dipijahkan. Penelitian ini belum dapat mengidentifikasi gamet jantan dengan jelas karena tidak ditemukan spermatosit di dalam jaringan histologis yang diamati. Kesulitan dalam mengidentifikasi spermatosit atau spermatozoa spons disebabkan antara lain oleh ukurannya yang sangat kecil dan keberadaannya hanya terlihat pada saat akan memijah sebagai akibat dari perkembangannya yang sangat singkat. Terjadinya proses spermatogenesis sebelum proses oogenesis dan pendeknya siklus spermatogenesis juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyulitkan dalam penentuan individu jantan (Sidri et al., 2007). Keberadaan oosit yang ditemukan pada penelitian ini berada dalam suatu kantong pembesaran gamet yang disebut sebagai brood chamber atau nurseries. Oosit berkembang pada lapisan mesohyl dan menyebar luas di dalam mesohyl. Oosit ini mempunyai lapisan luar yang jelas sehingga dapat dibedakan dengan sel lainnya dalam lapisan mesohyl. Jadi pemisahan antara bagian yang reproduktif dan tidak reprodukitf dalam lapisan mesohyl terlihat jelas. Penyebaran oosit spons pada lapisan mesohyl terjadi sebelum oosit masuk ke dalam brood 142

7 chamber. Brood chamber ini kemungkinan merupakan bentuk adaptasi untuk melindungi oosit dari predator, kerusakan akibat turbulensi ataupun melindungi oosit dari dehidrasi (Fromont, 1994). Adanya kantong gamet yang berisi telur di dalamnya kemungkinan juga merupakan bentuk adaptasi dari spons jenis Aaptos aaptos ini untuk melindungi keberlangsungan hidupnya. Tahapan perkembangan gamet betina pada spons Aaptos aaptos yang tidak difragmentasi maupun difragmentasi di alam dikelompokan menjadi empat tahap perkembangan, yaitu I-IV. Karakter dan tahap perkembangan gamet betina spons Aaptos aaptos yang diambil dari perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu sedikit berbeda dengan yang diteliti oleh Haris (2005) di Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan. Perbedaan yang paling jelas terlihat dari adanya kantong pembesaran gamet betina yang ditemukan pada lapisan mesohyl spons Aaptos aaptos. Kantong pembesaran gamet betina ini tidak ditemukan pada penelitian Haris (2005). Selain itu ukuran oosit untuk setiap tahapan perkembangan gamet betina juga agak berbeda untuk kedua lokasi diatas, yakni ukuran oosit spons yang diambil di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu lebih kecil dibanding di Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan. Hal ini diduga disebabkan karena perbedaan faktor lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan spons. Kondisi lingkungan P. Pari lebih buruk dibandingkan dengan P. Barrang Lompo karena beban yang diterima P. Pari dari daratan P. Jawa dan aktivitas ekonomi melalui lalu lintas laut di P. Pari dan jumlah penduduk yang lebih tinggi sehingga beban daya dukung di P. Pari lebih tinggi dibandingkan P.Barrang Lompo. Pembuktian lain tentang tipe dan cara reproduksi spons Aaptos aaptos ditunjukan dari hasil pemijahan spons Aa yang diamati dua jam sebelum dan dua jam sesudah matahari terbenam yaitu sekitar pukul WIB sore sampai malam hari secara in situ. Hasil menunjukkan bahwa frekuensi pemijahan paling sering terjadi sesaat sebelum dan sesudah matahari terbenam yaitu pada pukul 143

8 WIB sore hari. Gamet yang dikeluarkan adalah telur yang telah dibuahi (zigot). Hasil pemijahan tersebut melayang di kolom air selama 5-10 detik, kemudian tersebar dan tidak terlihat lagi dalam kolom air karena terbawa oleh arus. Pemijahan ini dikeluarkan oleh beberapa oskulum spons dari koloni yang sama. Fenomena ini memperlihatkan bahwa fertilisasi spons jenis Aa ini terjadi secara internal yaitu telur yang akan dikeluarkan telah dibuahi oleh sperma menjadi zigot dan cara reproduksi seperti ini dinamakan ovipar. Pemijahan spons dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal. Keberadaan faktor eksternal tersebut merupakan pemicu terjadinya pemijahan pada spons. Beberapa faktor eksternal tersebut adalah suhu air, kisaran pasang surut air laut, dan cahaya bulan. Ketiga faktor ini merupakan indikasi dari terjadinya fase bulan. Hoope dan Reichert (1987) menjelaskan juga bahwa pemijahan spons jenis Neofibularia nolitangere di daerah tropis berhubungan erat dengan fase bulan. Dengan demikian fase bulan dan pasang surut serta interaksinya dapat menjadi faktor eksternal penting dalam menentukan waktu pemijahan. Hasil penelitian terhadap spons Aa di P.Pari menunjukkan bahwa ketiga faktor eksternal tersebut berbanding lurus dengan frekuensi terjadinya pemijahan spons. Adanya pasang surut air laut pada setiap fase bulan mempengaruhi suhu air dan kisaran pasut dan keberadaan cahaya merupakan faktor pemicu yang mempercepat terjadinya pemijahan tersebut. Beberapa spons yang memiliki cara reproduksi vivipar melakukan pemijahan pada pagi hari disaat matahari terbit. Kondisi ini dibutuhkan spons untuk memberikan peluang hidup bagi larvanya karena keberadaan sinar matahari memicu aktivitas larva menjadi lebih tinggi sehingga dapat menemukan substrat yang sesuai bagi tempat tumbuhnya. Kondisi yang berbeda terjadi pada spons ovipar, yaitu pengeluaran telur atau embrio perlu dukungan kondisi perairan yang dingin dan tenang yang memungkinkannya untuk berkembang sebelum menetas atau melakukan fertilisasi untuk telur. 144

9 Fragmentasi spons yang dilakukan di kolam selama 7 bulan menunjukkan terjadinya perubahan fungsi reproduksi seksual spons Aa, yaitu terjadi kelambatan perkembangan alat reproduksi. Oosit yang didapatkan dari tiap fase bulan tidak mengalami perkembangan yaitu masih berada pada tahap I. Begitu pula dengan ukuran oositnya yang rata-rata lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran oosit pada spons yang tidak difragmentasi dan yang difragmentasi di alam. Perubahan kondisi lingkungan akibat pemindahan spons dari habitat alam ke kolam merupakan penyebab utama penurunan fungsi reproduksi ini. Adaptasi spons terhadap kondisi lingkungan baru di kolam memerlukan energi yang besar. Hal lainnya adalah karena spons selalu dilukai pada setiap pengambilan jaringan untuk histologis sehingga untuk menghasilkan dan mengembangkan oosit diperlukan energi yang besar dan energi ini tidak cukup tersedia apabila spons dalam keadaan terluka. Adanya pemotongan menyebabkan spons lebih mengutamakan untuk mempertahankan tubuhnya terlebih dahulu untuk tetap hidup dan memulihkan lukanya dibandingkan untuk meningkatkan fungsi reproduksinya, sehingga pada penelitian fragmentasi spons di kolam fungsi reproduksinya terganggu. Selain alat reproduksinya, pertumbuhan spons di kolam juga lambat namun warna pinacoderm lebih coklat dibandingkan dengan spons yang difragmentasi di alam. Kelambatan pertumbuhan ini diduga disebabkan karena ketidakcukupan pakan alami yang dibutuhkan oleh spons di kolam. Pakan alami yang dibutuhkan yaitu plankton sangat rendah keanekaragaman dan kelimpahannya. Kondisi ini disebabkan karena sumber air yang digunakan di kolam berasal dari teluk Jakarta yang sudah sangat menurun kesehatannya sehingga tidak dapat mrndukung kehidupan plankton secara alami. Saat awal penempatan fragmen spons di kolam pernah dilakukan penambahan pakan buatan namun tidak efektif karena pemberian pakan ini justru memicu peningkatan kesuburan air sehingga makro alga tumbuh dan mengakibatkan tertutupnya spons 145

10 dari sinar matahari. Sehingga diperlukan uji coba pemeliharaan lebih lanjut dengan berbagai formula pakan hidup dan buatan. Sedangkan warna spons yang lebih coklat di kolam jika dibandingkan dengan yang di alam disebabkan karena lebih banyaknya spons menerima cahaya matahari sehingga organisme simbionnya menjadi lebih aktif melakukan fotosintesis. Selain itu juga disebabkan karena lapisan pinacodermnya menjadi lebih tebal yang digunakan untuk melindungi spons dari penetrasi cahaya matahari yang berlebih. Dengan kedalaman kolam yang hanya mencapai 80 cm maka penetrasi cahaya matahari bisa mencapai dasar kolam secara maksimal dan menyebabkan suhu air naik dan sebaliknya pada saat kondisi udara dingin seperti pada malam hari maka suhu air di kolam juga turun. Perubahan suhu ini menyebabkan spons memerlukan mekanisme untuk melindungi dirinya dari kerusakan dan energi yang ada digunakan untuk alasan tersebut sehingga pertumbuhan menjadi lambat. Kondisi ini berbeda dengan di alam dimana spons yang diteliti berada pada kedalaman 6-7 meter sehingga penetrasi cahaya tidak terlalu tinggi dan perubahan suhu perairan tidak sedrastis di kolam. Hal ini menunjukkan bahwa proses fragmentasi buatan yang dilakukan di alam tidak mengalami perubahan terhadap respon pertumbuhan yang terjadi dan faktor lingkungan yang baik pada stasiun penelitian dapat berpengaruh terhadap spons yang difragmentasi untuk kembali pada keadaan yang semula (pertumbuhan yang sama) dengan spons yang tidak difragmentasi. Kondisi sebaliknya terjadi pada spons yang difragmentasikan pada kolam buatan yang memerlukan penanganan khusus untuk mempertahankan hidupnya pada kondisi lingkungan yang sangat berbeda dengan habitat aslinya. Proses adaptasi yang dilakukan pada hewan ini (Aa) belum menunjukkan pertumbuhan yang optimal sehingga didapatkan hasil rata-rata laju pertumbuhan spesifik yang lebih rendah dari spons yang tidak difragmentasi (kontrol) dan yang difragmentasi 146

11 di alam. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perubahan faktor lingkungan pada saat proses adaptasi sehingga terjadi penurunan produktifitas lingkungan yang menyebabkan terganggunya proses metabolisme dan pertumbuhan pada spons Aa di kolam. Selain itu faktor ukuran dari fragmen spons dikolam dapat berperan terhadap tingkat kematian dan respon pertumbuhannya. Ukuran fragmen spons berhubungan dengan kapasitas energi yang tersimpan untuk beradaptasi pada lingkungannya yang baru tetapi hubungan tersebut tidak selalu linier karena berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan bahwa spons yang dipelihara di kolam dan memiliki ukuran besar (> 10 cm) mengalami tingkat kematian yang cepat dari pada spons yang memiliki ukuran yang kecil. Hal ini dimungkinkan oleh kebutuhan faktor lingkungan yang kurang mendukung seperti halnya pakan, oksigen, intensitas cahaya dan ruang tumbuh yang terbatas. Kemudian adanya proses metabolisme dan pertumbuhan yang lambat dimungkinkan oleh penurunan biomasa dari alga simbion (cyanobakteria) dalam sel atau jaringan spons. Penurunan biomasa algae simbion (cyanobakteria) tersebut ditandai oleh perubahan warna pada saat proses adaptasi. Menurut Wilkinson (1981) bahwa hasil simbiosis cyanobakteria melalui proses fotosintesis dalam sel dan jaringan spons akan ditranslokasikan sebagai sumber makanan untuk peningkatan biomasa dan laju metabolismenya. Pengamatan preparat histologi terhadap oosit spons yang hidup pada habitat buatan/kolam percobaan hanya ditemukan menyebar pada lapisan mesohyl dengan ukuran yang kecil. Sedangkan pada oosit spons yang tidak difragmentasi dan yang difragmentasi di alam menunjukkan bahwa oosit ditemukan berada dalam kantong maupun menyebar di luar kantong pada lapisan mesohyl. Tahap perkembangan gamet betina pada spons Aaptos aaptos di kolam hanya ditemukkan satu tahap perkembangan gamet. Pengamatan histologi spons pada sample di kolam hanya menunjukkan perkembangan gamet betina pada 147

12 TKG I. Tahap oosit ini telah memiliki butiran lemak dan inti oosit serta telah dilengkapi dengan dinding oosit. Tahap ini, oosit spons yang ditemukan ukurannya masih sangat kecil dan oosit masih mengumpulkan cadangan makanan. Sebagian besar oosit spons Aaptos aaptos terdiri dari lapisan lemak. Butiran-butiran lemak ini merupakan salah satu bahan yang mengisi kuning oosit (yolk). Butiran lemak tersebut akan semakin memadat seiring dengan berkembangnya oosit. Sel somatik yang bertugas menyediakan sumber kuning oosit selama proses oogenesis disebut nurse cell atau trophocytes. Oosit Aaptos aaptos yang teramati dalam kantong memiliki dinding yang cukup tebal dan terpisah antara satu oosit dengan oosit lainnya, dimana pada masing-masing oosit terdapat inti dan anak inti. Penelitian terhadap fragmen di alam baik yang tidak difragmentasi dan yang difragmentasi menunjukkan bahwa oosit terletak dalam kantong gamet dan adanya butiran lemak yang merupakan komponen terbesar pada oosit selain inti dan anak inti. Oosit tersebut juga memperlihatkan adanya lapisan yang cukup tebal yang memisahkan antara satu oosit dengan yang lainnya. Oosit Aaptos aaptos yang berada di luar kantong juga terlihat adanya inti, anak inti, dan butiran butiran lemak walaupun tidak sepadat butiran lemak pada oosit yang berada dalam kantong pembesaran gamet. Oosit yang berada di luar kantong pembesaran gamet keberadaannya terlihat dengan jelas baik yang belum memiliki dinding yang memisahkan oosit dengan jaringan lain di mesohyl maupun yang yang telah memiliki dinding. Menurut Fromont (1988) pada spons jenis Xestospongia testudinari pada tahap awal perkembangan oositnya, oosit mempunyai inti dan anak inti yang terlihat jelas dengan diameter oosit awal sekitar 7 µm. Berdasarkan ukuran oosit yang didapatkan pada masing-masing fase bulan, dapat dinyatakan bahwa oosit yang didapat pada penelitian ini dikategorikan pada oosit tahap I. 148

13 Sel tubuh spons yang berperan dalam regenerasi dan rekontruksi bagian tubuh spons yang terluka adalah archaeocyte. Archaeocyte merupakan sel yang mempunyai kemampuan untuk mengubah bentuknya menjadi beberapa tipe sel sesuai yang dibutuhkan oleh spons. Spons yang terfragmentasi maka archaeocyte akan mengubah bentuknya untuk menggantikan jaringan yang hilang. Hal tersebut dapat menggangu proses reproduksi seksual pada spons yang terfragmentasi pada waktu awalnya. Oosit spons yang difragmentasi mempunyai densitas yang lebih banyak dibandingkan dengan spons yang tidak difragmentasi. Densitas yang lebih banyak inilah yang menyebabkan ukuran oosit spons yang difragmentasi lebih kecil dibandingkan oosit spons yang tidak difragmentasi. Spons yang densitasnya banyak maka tingkat persaingan untuk mendapatkan cadangan makanan lebih tinggi pula sehingga cadangan makanan yang diperoleh masing-masing oosit tidak akan sebanyak cadangan makanan yang diperoleh tiap oosit pada densitas yang lebih kecil. Dengan demikian ukuran oosit akan berbeda pada densitas yang berbeda. Fragmentasi merupakan salah satu reproduksi aseksual pada spons yang hidup alami, sehingga fragmentasi buatan yang dilakukan di alam tidak memberikan pengaruh terhadap reproduksi seksualnya. Spons hasil fragmentasi, walaupun reproduksi seksual spons terganggu pada awal perkembangannya tetapi setelah spons mencapai ukuran tertentu dan dapat melakukan reproduksi secara seksual maka spons akan melakukannya dan sama seperti pada spons yang hidup di alam dan tidak difragmentasi. Berdasarkan data yang diperoleh keterkaitan antara densitas dan ukuran oosit pada spons ditemukan pada kedua sampel spons baik yang berasal spons yang tidak difragmentasi maupun spons yang difragmentasi. Berdasarkan hasil penelitian secara umum penelitian ini menghasilkan suatu standar operating prosedur (SOP) untuk melakukan perbanyakan stok 149

14 koloni spons Aaptos aaptos melalui fragmentasi buatan. Tahapan pada SOP untuk perbanyakan stok koloni spons di alam disajikan pada Gambar 47. Gambar tersebut juga menyajikan kegiatan yang harus dilakukan berdasarkan tahapan yang dilalui, dan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menghasilkan stok koloni spons sebagai upaya untuk mempertahankan keberadaannya di alam dengan tujuan pemanfaatan selanjutnya. TAHAP 1 Pemijahan dan Seksualitas spons TAHAP 2 Fragmen 3 cm ditempatkan di rak horisontal dengan luka sampai 4 sayatan Fragmen 1 cm ditempatkan di jaring mesh size 0,5 cm TAHAP 3 Fragmen spons di alam setelah 1 bulan fragmentasi dipindahkan dan dipelihara di kolam terkontrol Setelah 1 bulan fragmen dipotong ukuran 3 cm dan dipelihara selama 6 bulan REPRODUKSI SEKSUAL SPONS DI HABITAT ALAM FRAGMENTASI SPONS DI ALAM FRAGMENTASI SPONS DI KOLAM PERSYARATAN Ukuran spons? 10 cm Faktor eksternal (suhu, pasut, cahaya) TKG lengkap I-IV Gonokhorik Ovipar, Fertilisasi internal Induk dipotong 25% tubuhnya Fragmen ukuran 1-3 cm Kualitas air : TSS < 5g/ml Lokasi terbuka di selatan P.Pari Kedalaman 7 meter TKG I-IV Laju pertumbuhan spesifik 0,5-1,0% Fragmen ukuran 1-3 cm Air resirkulasi Penambahan pakan hidup (fitoplankton) TKG I Laju pertumbuhan spesifik : 0,25 TAHAP 4 Spons di kembalikan ke habitat asal untuk dibesarkan PEMBESARAN SPONS DI ALAM DI HABITAT ASAL Gambar 47. Standard Operating Procedure (SOP) perbanyakan stok koloni spons Aaptos aaptos di alam melalui fragmentasi buatan 150

V. PENGARUH FRAGMENTASI BUATAN TERHADAP PERKEMBANGAN OOSIT SPONS Aptos aaptos PENDAHULUAN

V. PENGARUH FRAGMENTASI BUATAN TERHADAP PERKEMBANGAN OOSIT SPONS Aptos aaptos PENDAHULUAN V. PENGARUH FRAGMENTASI BUATAN TERHADAP PERKEMBANGAN OOSIT SPONS Aptos aaptos PENDAHULUAN Latar Belakang Fragmentasi spons merupakan cara yang digunakan untuk mempercepat perbanyakan koloni spons di alam.

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key words: Aaptos aaptos, fragment, mariculture, Pari Island, sponge. iii

ABSTRACT. Key words: Aaptos aaptos, fragment, mariculture, Pari Island, sponge. iii ABSTRACT MUJIZAT KAWAROE, Artificial Fragmentation and Sexual Reproduction of Aaptos aaptos Sponge in Multiplication Exertion of Colony Stock at Natural Habitat. Under direction of DEDI SOEDHARMA, RIDWAN

Lebih terperinci

DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA

DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA Oleh: Wini Wardani Hidayat C64103013 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

REPRODUKSI SEKSUAL SPONS

REPRODUKSI SEKSUAL SPONS IV. REPRODUKSI SEKSUAL SPONS PENDAHULUAN Latar Belakang Morfologi spons sebagai phylum Porifera sangat sederhana. Sel epitel atau pinacosit terletak pada lapisan luar tubuh dan di seluruh permukaan tubuh

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Spons merupakan hewan tidak bertulang belakang yang bersifat primitif

2. TINJAUAN PUSTAKA. Spons merupakan hewan tidak bertulang belakang yang bersifat primitif 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Spons Spons merupakan hewan tidak bertulang belakang yang bersifat primitif dan sessil (menetap di dasar perairan). Spons tidak bergerak tetapi tinggal dan hidup sampai

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Oleh: Edy Setyawan C64104005 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Variasi Temporal Parameter Fisika-Kimiawi Perairan Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

III. FRAGMENTASI BUATAN

III. FRAGMENTASI BUATAN III. FRAGMENTASI BUATAN PENDAHULUAN Latar Belakang Saat ini perkembangan dibidang bioteknologi mengalami kemajuan yang pesat khususnya dalam hal penemuan kandungan sumber daya alam yang sangat berpotensi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Sampel spons Petrosia (petrosia) nigricans yang digunakan untuk penelitian di laboratorium di peroleh di bagian barat daya Pulau Pramuka Gugusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) Benteng, Selayar 22-24 Agustus 2006 TRANSPLANTASI KARANG Terumbu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Kondisi alami sampel karang berdasarkan data (Lampiran 1) dengan kondisi tempat fragmentasi memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nilem (Osteochilus hasselti) merupakan ikan yang banyak dipelihara di daerah Jawa Barat dan di Sumatera (khususnya Sumatera Barat). Ikan nilem ini mempunyai cita

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMIJAHAN, PENETASAN TELUR DAN PERAWATAN LARVA Pemijahan merupakan proses perkawinan antara induk jantan dengan induk betina. Pembuahan ikan dilakukan di luar tubuh. Masing-masing

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Menurut B u t c h e r ( 1 9 5 9 ) klasifikasi Tetraselmis sp. adalah sebagai berikut: Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales Sub ordo Genus

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA

DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA Oleh: Wini Wardani Hidayat C64103013 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Ilmu Kelautan IPB,

3. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Ilmu Kelautan IPB, 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Ilmu Kelautan IPB, Ancol, Jakarta yang meliputi dua tahap yaitu persiapan dan fragmentasi Lobophytum

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

3.KUALITAS TELUR IKAN

3.KUALITAS TELUR IKAN 3.KUALITAS TELUR IKAN Kualitas telur dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: umur induk, ukuran induk dan genetik. Faktor eksternal meliputi: pakan,

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

FRAGMENTASI BUATAN DAN REPRODUKSI SEKSUAL SPONS Aaptos aaptos DALAM UPAYA PERBANYAKAN STOK KOLONI DI ALAM MUJIZAT KAWAROE

FRAGMENTASI BUATAN DAN REPRODUKSI SEKSUAL SPONS Aaptos aaptos DALAM UPAYA PERBANYAKAN STOK KOLONI DI ALAM MUJIZAT KAWAROE FRAGMENTASI BUATAN DAN REPRODUKSI SEKSUAL SPONS Aaptos aaptos DALAM UPAYA PERBANYAKAN STOK KOLONI DI ALAM MUJIZAT KAWAROE PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga. Pendahuluan

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga. Pendahuluan Pendahuluan Pembenihan merupakan suatu tahap kegiatan dalam budidaya yang sangat menentukan kegiatan pemeliharaan selanjutnya dan bertujuan untuk menghasilkan benih. Benih yang dihasilkan dari proses pembenihan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

Arus HASIL DAN PEMBAHASAN

Arus HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lokasi Penelitian Pulau Pari merupakan salah satu gugusan pulau yang termasuk dalam Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Gugusan Pulau Pari terdiri dari Pulau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi II. TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Spons adalah hewan yang termasuk Filum Porifera, terdiri atas tiga kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida (Haywood dan Wells,1989; Sara,1992; Amir dan Budiyanto,1996;

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

hasil pengukuran kesehatan karang adalah enam dan nilai minimumnya dua dari

hasil pengukuran kesehatan karang adalah enam dan nilai minimumnya dua dari 27 4.2 Kesehatan Karang Rata-rata kesehatan fragmen karang beraada di nilai lima. Nilai maksimum hasil pengukuran kesehatan karang adalah enam dan nilai minimumnya dua dari skala nol sampai enam (Tabel

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2013, di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat. B. Alat dan Bahan (1)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin Pengamatan perilaku kawin nyamuk diamati dari tiga kandang, kandang pertama berisi seekor nyamuk betina Aedes aegypti dengan seekor nyamuk jantan Aedes aegypti, kandang

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN SAHABUDDIN PenelitiPada Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Dan Penyuluhan Perikanan Dipresentasikan pada Kuliah umum Praktik Lapang Terpadu mahasiswa Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk meningkatkan produksi perikanan adalah melalui budidaya (Karya

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk meningkatkan produksi perikanan adalah melalui budidaya (Karya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan merupakan salah satu sumber makanan yang sangat digemari masyarakat karena mengandung protein yang cukup tinggi dan dibutuhkan oleh manusia untuk pertumbuhan.

Lebih terperinci

Seksualitas dan Perkembangan Gamet Sponge Laut Aaptos aaptos Schmidt

Seksualitas dan Perkembangan Gamet Sponge Laut Aaptos aaptos Schmidt Jurnal Natur Indonesia 14(3): 205-211 ISSN 1410-9379 Seksualitas dan perkembangan gamet sponge laut Aaptos aaptos schmidt 205 Seksualitas dan Perkembangan Gamet Sponge Laut Aaptos aaptos Schmidt Abdul

Lebih terperinci

Alga (ganggang) Alga sering disebut ganggang.

Alga (ganggang) Alga sering disebut ganggang. Alga (ganggang) Alga sering disebut ganggang. Alga termasuk golongan tumbuhan berklorofil tubuh disebut talus yaitu tidak punya akar, batang dan daun. Alga dianggap sebagai bentuk tumbuhan rendah karena

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan 4.1. Laju Pertumbuhan Mutlak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Laju pertumbuhan mutlak Alga K. alvarezii dengan pemeliharaan selama 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persiapan Kolam Pemijahan Kolam pemijahan dibuat terpisah dengan kolam penetasan dan perawatan larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga mudah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Wilayah Penelitian Wilayah tempat substrat batu berada bersampingan dengan rumah makan Nusa Resto dan juga pabrik industri dimana kondisi fisik dan kimia perairan sekitar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Pengambilan sampel dilakukan sebulan sekali selama 3 bulan berturutturut, yakni pada tanggal 10-11 Februari 2012, 7 Maret 2012 dan 7 April 2012. Pengambilan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang diperoleh pada penelitian ini meliputi persentase jenis kelamin jantan rata-rata, derajat kelangsungan hidup (SR) rata-rata setelah perlakuan perendaman dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

Deskripsi. METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus)

Deskripsi. METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus) 1 Deskripsi METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus) Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan produksi massal benih ikan hias mandarin (Synchiropus splendidus),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan saat ini mengalami kendala dalam. perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan.

I. PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan saat ini mengalami kendala dalam. perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan budidaya perikanan saat ini mengalami kendala dalam perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan. Permasalahan yang sering dihadapi adalah tingginya

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV Kendala utama penelitian walet rumahan yaitu: (1) rumah walet memiliki intensitas cahaya rendah, (2) pemilik tidak memberi ijin penelitian menggunakan metode pengamatan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Karya Tabel 2. Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Karya bulan September 2010 sampai dengan Juli

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan. 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika dan kolam percobaan pada Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Jl. Raya 2 Sukamandi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam budidaya perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari biaya produksi. Pakan

Lebih terperinci

LAJU PERTUMBUHAN DAN SINTASAN SPONS Aaptos aaptos DI KOLAM BUATAN TERKONTROL

LAJU PERTUMBUHAN DAN SINTASAN SPONS Aaptos aaptos DI KOLAM BUATAN TERKONTROL LAJU PERTUMBUHAN DAN SINTASAN SPONS Aaptos aaptos DI KOLAM BUATAN TERKONTROL Oleh : Nur Endah Fitrianto C64103008 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

PARAMETER KUALITAS AIR

PARAMETER KUALITAS AIR KUALITAS AIR TAMBAK PARAMETER KUALITAS AIR Parameter Fisika: a. Suhu b. Kecerahan c. Warna air Parameter Kimia Salinitas Oksigen terlarut ph Ammonia Nitrit Nitrat Fosfat Bahan organik TSS Alkalinitas Parameter

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Bintan Pulau Bintan merupakan salah satu pulau di kepulauan Riau tepatnya di sebelah timur Pulau Sumatera. Pulau ini berhubungan langsung dengan selat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang bebas di perairan. Plankton dibagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme berklorofil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memerlukan area yang luas untuk kegiatan produksi. Ketersediaan mikroalga

I. PENDAHULUAN. memerlukan area yang luas untuk kegiatan produksi. Ketersediaan mikroalga I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keunggulan dalam keragaman hayati seperti ketersediaan mikroalga. Mikroalga merupakan tumbuhan air berukuran mikroskopik yang memiliki

Lebih terperinci

PENGARUH HABITAT BUATAN TERHADAP JUMLAH DAN UKURAN OOSIT SPONS Petrosia (petrosia) nigricans

PENGARUH HABITAT BUATAN TERHADAP JUMLAH DAN UKURAN OOSIT SPONS Petrosia (petrosia) nigricans PENGARUH HABITAT BUATAN TERHADAP JUMLAH DAN UKURAN OOSIT SPONS Petrosia (petrosia) nigricans WAHYU ADI SETYANINGSIH SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Frekuensi Ikan Tetet (Johnius belangerii) Ikan contoh ditangkap setiap hari selama 6 bulan pada musim barat (Oktober-Maret) dengan jumlah total 681 ikan dan semua sampel

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengelompokan tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengelompokan tanaman 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelompokan tanaman Hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap sampel daun untuk mengetahui ukuran stomata/mulut daun, dapat dilihat pada tabel 3. Pada tabel 3 ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semua hewan yang tidak memiliki tulang belakang dikelompokkan dalam hewan Invertebrata (avertebrata). Hewan invertebrata ada yang tersusun oleh satu sel (uniselluler)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Perairan Wilayah Pulau Pramuka Perairan wilayah Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, terdiri dari rataan terumbu yang mengelilingi pulau dengan ukuran yang bervariasi

Lebih terperinci

LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP SPONS Aaptos aaptos dan Petrosia (petrosia) nigricans PADA SISTEM RESIRKULASI SILVIA DESRIKA

LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP SPONS Aaptos aaptos dan Petrosia (petrosia) nigricans PADA SISTEM RESIRKULASI SILVIA DESRIKA LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP SPONS Aaptos aaptos dan Petrosia (petrosia) nigricans PADA SISTEM RESIRKULASI SILVIA DESRIKA DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks Persentase Rasio gonad perberat Tubuh Cobia 32 Pembahasan Berdasarkan hasil pengukuran rasio gonad dan berat tubuh cobia yang dianalisis statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persentase Ikan Jantan Salah satu faktor yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan proses maskulinisasi ikan nila yaitu persentase ikan jantan. Persentase jantan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

by Widyasepta Nurpratitis

by Widyasepta Nurpratitis by Widyasepta Nurpratitis 08312244019 Ayo Belajar! Daftar Isi Pertumbuhan merupakan penambahan biomassa yang ditandai dengan penambahan berat, panjang, volume, dan jumlah sel. merupakan perubahan struktur

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iluminasi cahaya Cahaya pada pengoperasian bagan berfungsi sebagai pengumpul ikan. Cahaya yang diperlukan memiliki beberapa karakteristik, yaitu iluminasi yang tinggi, arah pancaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Sungai umumnya lebih dangkal dibandingkan dengan danau atau telaga. Biasanya arus air sungai searah, bagian dasar sungai tidak stabil, terdapat erosi atau

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Laju Pertumbuhan Bobot Harian Bobot benih ikan nila hibrid dari setiap perlakuan yang dipelihara selama 28 hari meningkat setiap minggunya. Bobot akhir benih ikan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITITAN Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Januari 2011 sampai dengan Februari 2011 di Wisma Wageningan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN . HASIL DAN PEMBAHASAN.. Hasil Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pola distribusi vertikal oksigen terlarut, fluktuasi harian oksigen terlarut, produksi primer, rincian oksigen terlarut, produksi

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau datar yang melintang di barat daya Laut Jawa dan memiliki ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen 19 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi terhadap kualitas semen dimaksudkan untuk menentukan kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen tersebut diproses lebih

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Nannochloropsis sp. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama hidupnya tetap dalam bentuk plankton dan merupakan makanan langsung bagi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI 5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI Pengukuran parameter reproduksi akan menjadi usaha yang sangat berguna untuk mengetahui keadaan kelamin, kematangan alat kelamin dan beberapa besar potensi produksi dari

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karang Lunak Sinularia dura Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut : (Hyman, 1940; Bayer 1956 in Ellis and Sharron, 2005): Filum : Cnidaria Kelas

Lebih terperinci

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus)

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) 1. PENDAHULUAN Kata Belut merupakan kata yang sudah akrab bagi masyarakat. Jenis ikan ini dengan mudah dapat ditemukan dikawasan pesawahan. Ikan ini ada kesamaan dengan

Lebih terperinci

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas Keadaan yang mendekati atau melampaui batas toleransi. Kondisi batas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan terhadap ikan didapatkan suatu parameter pertumbuhan dan kelangsungan hidup berupa laju pertumbuhan spesifik, pertumbuhan panjang mutlak dan derajat kelangsungan

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian Materi yang diteliti adalah ikan nilem ( Osteochilus hasselti C. V.), pada tahap perkembangan juvenil berumur 13 minggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu HASIL DAN PEMBAHASAN Manajemen Pemeliharaan Komponen utama dalam beternak puyuh baik yang bertujuan produksi hasil maupun pembibitan terdiri atas bibit, pakan serta manajemen. Penelitian ini menggunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi ikan Juaro (Pangasius polyuranodon) menurut Kottelat dan Whitten (1993) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas

Lebih terperinci