BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Perairan Wilayah Pulau Pramuka Perairan wilayah Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, terdiri dari rataan terumbu yang mengelilingi pulau dengan ukuran yang bervariasi antara 1m sampai dengan 5m. Rataan terumbu membentang di sekeliling pulau sampai dengan jarak 500 m dari garis pantai. Kondisi perairan Pulau Pramuka, dipengaruhi oleh adanya tiga musim, yaitu musim angin barat, musim angin timur dan musim peralihan. Musim barat berlangsung antara bulan Desember hingga pertengahan bulan Maret.Pada musim ini angin berhembus dari arah barat ke timur, dengan arus kuat disertai hujan cukup deras. Kondisi tersebut mengakibatkan perairan menjadi keruh (Ditjen PHPA 2003, Dinas Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta 1998, Effendi 1993). Musim angin timur berlangsung dari bulan Juni hingga September. Angin bertiup kencang dari arah timur ke barat yang disertai dengan arus laut sedang. Pada musim timur hujan jarang turun sehingga air laut jernih. Musim peralihan berlangsung pada bulan Maret sampai dengan Mei dan bulan September sampai dengan November. Karakter angin dan gelombang relatif lemah dan kondisi perairan tidak keruh. Penelitian dilakukan pada akhir bulan Juni, dimana terjadi musim angin Timur. Hal tersebut sesuai dengan kondisi pada saat dilakukannya penelitian. Angin bertiup kencang dari arah timur ke barat dan juga arus laut yang sedang. 4.2 Kondisi Fisik Wilayah Stasiun Pengamatan Wilayah stasiun pengamatan dilakukan berdasarkan karakteristik wilayah perairan yang berbeda pada Pulau Pramuka. Stasiun pengamatan ditentukan menjadi 4 stasiun. Stasiun 1 berada pada wilayah tempat pelelangan ikan Pulau Pramuka. Wilayah ini terletak pada '54" BT dan 5 44'31.2" LS. Pada stasiun 1, terdapat tutupan karang hidup pada kedalaman 1-3m. Stasiun 2 berada pada wilayah dermaga Pulau Pramuka. Stasiun 2 terletak pada '46.8 BT dan 5 44'38.4" LS. Banyaknya kapal yang melewati wilayah ini menyebabkan wilayah perairan ini mempunyai kuat arus yang lebih tinggi dibandingkan dengan 27

2 28 stasiun lainnya. Pada stasiun 2 juga terdapat tutupan karang hidup yang terdapat pada kedalaman yang berkisar antara 3-5m. Stasiun 3 berada pada wilayah transplantasi karang. Stasiun ini terletak pada '39.6"BT dan 5 44'56.4" LS. Walaupun wilayah ini merupakan wilayah transplantasi karang, namun lebih banyak ditemukan tutupan dari makroalga dibanding dengan tutupan dari karang hidup. Hal tersebut dapat disebabkan oleh lebih cepatnya pertumbuhan dari makroalga dibandingkan dengan pertumbuhan dari hewan karang. Sehingga terjadi kompetisi memperebutkan tempat hidup. Stasiun 4 berada pada wilayah pemukiman. Stasiun ini terletak pada '54"BT dan 5 44'52.8" LS. Wilayah perairan pada stasiun ini terletak di belakang pemukiman penduduk Pulau Pramuka. Stasiun ini terletak pada bagian timur Pulau Pramuka. Banyaknya aktivitas rumah tangga pada wilayah Pulau Pramuka, menyebabkan adanya buangan limbah yang berasal dari wilayah pemukiman. Hal tersebut menyebabkan wilayah perairan pada stasiun 4 memiliki perairan yang cenderung keruh. Pada keempat stasiun, ditemukan kepadatan dari bulu babi. Kepadatan bulu babi cenderung tersebar pada wilayah utara hingga selatan Pulau Pramuka. Pola penyebaran dari kepadatan bulu babi tersebut dapat disebabkan oleh adanya tutupan dari karang hidup pada wilayah utara hingga selatan Pulau Pramuka. Adanya tutupan karang hidup dapat menjadi tempat berlindung bagi bulu babi dari intensitas cahaya matahari yang tinggi. Aziz (1981) menyatakan dengan hidup pada celah karang, maka bulu babi dapat menghindari intensitas cahaya yang tinggi. Selain itu, kondisi perairan yang cenderung tenang, dimana kuat arus rendah, menjadi faktor lain terdapatnya kepadatan bulu babi pada wilayah utaraselatan Pulau Pramuka. Bulu babi yang cenderung diam pada siang hari, akan lebih menyukai wilayah perairan yang cenderung lebih tenang. 4.3 Parameter Fisik dan Kimia Perairan Pengukuran parameter fisik dan kimia dilakukan pada keempat stasiun.hasil dari pengukuran parameter fisik dan kimia, dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

3 29 Tabel 2. Hasil Pengukuran Parameter Fisik dan Kimia perairan Pulau Pramuka Stasiun Suhu ( C) Kedalaman Trasnparansi (m) Arus (m. detik -1 ) ph Salinitas ( ) Stasiun ,109 7,25 33,5 Stasiun 2 29,5 6 0, Stasiun ,098 7,5 32 Stasiun ,137 7,3 33 Dari hasil pengukuran parameter fisik dan kimia, dapat diketahui bahwa perairan wilayah Pulau Pramuka memenuhi kriteria untuk lingkungan hidup bagi organisme bulu babi maupun makroalga untuk berkembang biak. Suhu pada wilayah perairan Pulau Pramuka berkisar antara C. Kisaran suhu tersebut relatif sedang. Suhu relatif sedang dapat disebabkan oleh adanya faktor penyinaran matahari. Peningkatan suhu berbanding lurus dengan peningkatan intensitas cahaya matahari (Birowo 1991). Kisaran suhu pada tiap stasiun, memenuhi kisaran untuk organisme bulu babi dan makroalga untuk hidup dan berkembang biak. Pada makroalga, kisaran suhu untuk makroalga hidup pada daerah tropis adalah C (Rusli 2006). Untuk organisme bulu babi untuk hidup adalah C, karena pada kisaran C, bulu babi dapat mengalami kematian masal (Aziz 1994). Kedalaman transparansi pada keempat stasiun berkisar antara 5-7 m. Nilai transparansi terendah yaitu pada wilayah pemukiman dan kecerahan tertinggi pada wilayah tempat pelelangan ikan Pulau Pramuka. Hal tersebut dikarenakan wilayah pemukiman yang berada di wilayah timur, sehingga sinar matahari cenderung ke arah barat ketika siang hari. Nilai transparansi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kedalaman, cuaca serta zat-zat yang terlarut yang berada di perairan tersebut (Odum 1993). Kedalaman trasnparansi mempengaruhi tingkat kejernihan suatu wilayah. Semakin jernih suatu wilayah, maka tingkat kecerahannya semakin tinggi. Nilai kecerahan yang tinggi dapat menunjang

4 30 terjadinya produktivitas primer yang optimal karena sangat berkaitan erat dengan fotosintesis (Asmara 2005). Kuat arus mempengaruhi adanya penyebaran dari nutrien yang terdapat pada suatu wilayah perairan. Kuat arus pada wilayah perairan Pulau Pramuka berkisar antara 0,098 0,284 m detik -1. Kisaran kuat arus tersebut dapat dikatakan rendah. Hal tersebut dikarenakan waktu pengambilan parameter yang dilakukan pada waktu siang hari, dimana kuat arus pada perairan cenderung tenang. Nilai derajat keasaman (ph) pada wilayah perairan Pulau Pramuka berkisar antara 7 7,5. Nilai tersebut menunjukkan bahwa nilai derajat keasaman pada tiap stasiun tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Kisaran nilai tersebut merupakan kisaran nilai yang masih dapat di toleransi untuk organisme bulu babi dan makroalga untuk hidup. Hal tersebut berdasarkan pada pernyataan Nybakken (1992) yang menyatakan bahwa perairan dengan ph yang berkisar antara 7-8 masih dapat ditoleransi oleh sebagian biota perairan. Derajat keasaman antara 6-9 merupakan kisaran yang paling sering ditemukan kepadatan makroalga yang tinggi, sedangkan kisaran toleransi untuk makroalga sebesar 6,8-9,6 (Luning 1990). Salinitas pada tiap stasiun pengamatan berkisar antara 31 33,5. Salinitas pada kisaran tersebut dapat dikatakan tinggi. Tingginya kisaran salinitas pada Pulau Pramuka dapat disebabkan oleh letak Pulau Pramuka yang secara geografis terletak jauh dari Teluk Jakarta, sehingga tidak mendapat pengaruh masukan air tawar yang berasal dari Teluk Jakarta. Adanya masukan air tawar dapat menyebabkan penurunan nilai salinitas dari wilayah perairan pulau (Rusli 2006). Faktor musim, yaitu musim timur juga mempengaruhi tingkat masukan air tawar yang lebih sedikit dibandingkan dengan musim barat, sehingga didapat kisaran nilai salinitas yang relatif tinggi. Kisaran nilai yang terukur masih termasuk kedalam kisaran yang baik untuk bulu babi untuk hidup. Hal sesuai dengan pernyataan Aziz (1995) yang menyatakan bahwa batas toleransi organisme bulu babi untuk hidup adalah

5 Persentase Tutupan Makroalga Persentase tutupan makroalga pada stasiun 1, pada kedalaman 1 madalah 11%. Persentase tutupan substrat dasar, antara lain: karang hidup sebesar 27,40%, karang mati sebesar 26,6%, pasir 14% dan other sebesar 21%. Pada kedalaman 3m persentase tutupan substrat dasarnya terdiri dari 13,5% makroalga, 27,84% karang hidup, 33,5% karang mati, pasir 14,66% dan other 10,5%. Pada kedalaman 5m persentase tutupan substrat dasarnya terdiri dari 30,37% makroalga, 16,63% pecahan karang, 38% pasir dan 15% other. Untuk kisaran penutupan makroalga pada stasiun 1 berkisar antara 11 sampai dengan 30,37%. Rata-rata dari persentase penutupan makroalga pada stasiun 1 adalah 18,29%. Pada Luasan penutupan terlihat bahwa penutupan makroalga terbesar terdapat pada kedalaman 5 m sebesar 30,37%, selanjutnya kedalaman 3 m 13,5% dan kedalaman 1m sebesar 11%. Untuk persentase karang hidup hanya terdapat pada kedalaman 1m dan 3m, pada kedalaman 5m tidak ditemukan tutupan karang hidup. Penutupan karang hidup pada kedalaman 1m dan 3m memiliki persentase antara lain 27,4% pada kedalaman 1m dan 27,84% pada kedalaman 3m. Persentase ini menunjukkan kategori sedang. Sedangkan untuk persentase karang mati lebih besar terdapat pada kedalaman 3m sebesar 33,5% dibandingkan dengan kedalaman 1m sebesar 26,6%, dan untuk persentase pasir terbesar terdapat pada kedalaman 5m sebesar 38%, dilanjutkan kedalaman 3m sebesar 14,66% dan kedalaman 1m sebesar 14%, serta pesentase other terbesar pada kedalaman 1m sebesar 21% dilanjutkan kedalaman 5m sebesar 15% dan terendah pada kedalaman 3m sebesar 10,5%. Persentase pecahan karang hanya terdapat pada kedalaman 5m sebesar 16,63% (Gambar 5).

6 32 Gambar 5. Grafik persentase substrat dasar pada stasiun 1 Pada stasiun 2, persentase penutupan makroalga pada kedalaman 1m sebesar 10,33%. Persentase substrat lainnya pada kedalaman 1m, antara lain: karang hidup sebesar 30,17%, pecahan karang 10,67%, other 26% dan pasir sebesar 22,83%. Untuk kedalaman 3m, terdapat persentase makroalga sebesar 12,67%, dengan persentase subtrat lainnya, antara lain: karang hidup 25,5%, pecahan karang sebesar 20,67%, pasir sebesar 14% dan other sebesar 27,16%. Untuk kedalaman 5m, persetase tutupan makroalga sebesar 21,17%. Persentase tutupan substrat lainnya: other sebesar 15,67%, pecahan karang sebesar 30,33% dan pasir sebesar 32,83% (Gambar 6). Persentase penutupan makroalga pada stasiun 2 berkisar antara 10,33 sampai dengan 22,17%. Rata-rata persentase penutupan makroalga pada stasiun 2 adalah 14,73%. Gambar 6. Grafik persentase substrat dasar pada stasiun 2

7 33 Pada stasiun 3, luas tutupan makroalga yang terdapat pada kedalaman 1m sebesar 17,83%. Persentase tutupan substrat lainnya pada kedalaman 1m, antaralain : karang hidup sebesar 24,33%, pecahan karang sebesar 24,67%, other sebesar 16,84% dan pasir sebesar 16,33%. Pada kedalaman 3m, persentase tutupan makroalga sebesar 12,17% dan persentase tutupan substrat lainnya, antara lain: karang hidup sebesar 26,66%, pecahan karang sebesar 17,83%, other sebesar 18,67% dan pasir sebesar 24,67%. Untuk kedalaman 5m, persentase tutupan makroalganya sebesar 28,67% dengan persentase lainnya, yaitu pecahan karang sebesar 28,83%, other sebesar 16,33% dan pasir sebesar 26,17% (Gambar 7). Pada stasiun 3 kisaran luas penutupan makroalganya berkisar antara 17,83 sampai dengan 28,67%. Rata-rata persentase tutupan makroalga pada stasiun 3 sebesar 20,89%. Gambar 7. Grafik persentase substrat dasar pada stasiun 3 Pada stasiun 4, persentase tutupan makroalga pada kedalaman 1m sebesar 11,67%. Persentase tutupan substrat lainnya, antara lain: other sebesar 30,8%, pecahan karang sebesar 29,77% dan pasir sebesar 27,76%. Untuk kedalaman 3m, persetase tutupan makroalganya sebesar 29,33%, dengan tutupan substrat lainnya, yaitu pecahan karang sebesar 27,67%, other sebesar 16,33% dan pasir sebesar 26,67%. Pada kedalaman 5m, persentase tutupan dari makroalga sebesar 36,67% dan persentase substrat lainnya, antara lain: pecahan karang sebesar 23,5%, other sebesar 13,5% dan pasir sebesar 26,33% (Gambar 8). Pada stasiun 4, kisaran

8 34 penutupan makroalganya berkisar antara 11,67 sampai dengan 36,67%. Nilai ratarata dari persentase penutupan makroalga pada stasiun 4 adalah sebesar 26,56%. Gambar 8. Grafik persentase substrat dasar pada stasiun 4 Hasil Pengamatan persentase tutupan makroalga dari tiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 3 berikut Tabel 3. Persentase Tutupan Makroalga pada tiap Stasiun Pengamatan Kedalaman (m) Tutupan Makroalga (%) St.1 St.2 St.3 St ,33 17,83 11, ,5 12,67 12,17 29, ,37 21,17 28,67 36,67 Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa persentase tutupan makroalga pada tiap stasiun, memiliki persentase yang berbeda. Persentase tutupan makroalga berkisar antara 11 sampai dengan 36,67%. Kisaran penutupan tersebut dapat dikatakan penutupan pada kisaran rendah. Rendahnya penutupan makroalga pada tiap stasiun, diduga karena adanya pengaruh dari parameter fisik dan kimia perairan. Pada tabel 3 dapat dilihat kisaran terbesar luas tutupan makroalga terdapat pada stasiun 4. Kisaran luas tutupan makroalga pada stasiun 4 berkisar antara 11,67 sampai dengan 36,67%. Kisaran ini merupakan kisaran tertinggi dibandingkan

9 35 dengan kisaran pada stasiun lain. Tingginya kisaran penutupan pada stasiun 4 diduga karena lokasi stasiun yang berada di wilayah timur dari Pulau Pramuka. Wilayah ini merupakan wilayah yang lebih banyak terpapar oleh sinar matahari, terutama pada pagi hari. Adanya transparansi yang tinggi dapat membantu proses fotosintesis dari makroalga, sehingga menyebabkan pertumbuhan makroalga yang cepat pada wilayah tersebut (Luning 1990). Namun, hasil pengukuran kedalaman transparansi pada stasiun timur, menunjukkan hasil yang bertentangan. Nilai transparansi pada stasiun 4 sebesar 5m. Nilai ini merupakan nilai terendah dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hal tersebut dapat dikarenakan wilayah stasiun 4 yang merupakan wilayah yang berada di sekitar pemukiman, sehingga adanya pembuangan limbah yang berasal dari pemukiman. Adanya pembuangan limbah yang berasal dari pemukiman menyebabkan perairan pada wilayah tersebut menjadi keruh. Selain dari adanya pembuangan limbah yang berasal dari wilayah pemukiman, kekeruhan pada perairan juga dapat disebabkan oleh rendahnya arus yang terdapat pada wilayah perairan Pulau Pramuka, yaitu berkisar 0,098 0,284 m detik -1. Menurut Luning (1990), rendahnya arus yang melalui suatu perairan, menyebabkan terjadinya endapan endapan yang berasal dari limbah sehingga menyebabkan kekeruhan pada wilayah perairan tersebut. Hasil pengamatan juga menunjukkan penutupan makroalga lebih banyak ditemukan pada perairan yang cenderung lebih dalam, yaitu pada kedalaman 5m. Menurut Luning (1990), kualitas dan kuantitas cahaya secara luas menentukan tipe dan terdapatnya alga. Adanya intensitas cahaya sangat mempengaruhi dalam proses fotosintesis pada makroalga. Organisme makroalga pada wilayah perairan Pulau Pramuka lebih banyak ditemukan pada substrat berpasir dibandingkan pada wilayah dimana terumbu karang hidup. Kuat arus yang cenderung rendah pada wilayah Pulau Pramuka merupakan salah satu faktor penyebab makroalga lebih menyukai substrat berpasir. Rendahnya arus, terutama pada kedalaman 5m, menyebabkan makroalga lebih mudah tumbuh pada kedalaman ini. Selain itu, banyaknya hewan karang yang bersifat herbivor atau merumput seperti bulu babi atau ikan-ikan herbivora yang tinggal pada wilayah terumbu karang, sehingga terdapat adanya luas tutupan makroalga pada wilayah terumbu karang, maka akan

10 36 menjadi sasaran utama oleh hewan merumput tersebut. Disamping mempercepat pertumbuhan dari makroalga, juga menyebabkan bulu babi menjadi kurang menyukai wilayah tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Sugiarto dan Supardi (1995) bahwa bulu babi tidak memiliki ketahanan terhadap suhu dan intesitas cahaya yang tinggi. 4.5 Jenis Makroalga Makroalga yang ditemukan pada stasiun pengamatan terdiri dari 4 jenis makroalga, antara lain: Padina australis, Caulerpa racemosa var macrophysa, Sargassum polycystum dan Halimeda micronesia (Lampiran 3). Keempat jenis makroalga tersebut ditemukan pada stasiun 3. Pada stasiun 1,2 dan 4 hanya ditemukan jenis Padina australis dan Sargassum polycystum. Jenis Padina australis dan Sargassum polycystum merupakan jenis yang paling banyak ditemukan pada wilayah Pulau Pramuka. Jenis Padina australis dan Sargassum polycystum ditemukan pada keempat stasiun pengamatan. Padina australis merupakan salah satu jenis alga coklat. Alga jenis ini dapat dijumpai hidup di bebatuan pada rataan terumbu karang di pinggiran pantai, baik di tempat-tempat yang terkena hempasan ombak maupun yang terlindungi. Kualitas lingkungan yang mendukung pertumbuhan Padina australis yaitu suhu perairan C, salinitas berkisar ppt, ph 7,5 8, kecepatan arus cm(s -1 ), kecerahan 2 m, kandungan nitrat berkisar antara 0,57 1,13 mgl -1 dan kandungan fosfat 0,44 1,09 mgl -1. Padina australis di alam dapat pula dijumpai tumbuh pada substrat pasir dengan kedalaman air laut cm, suhu 27,25 29,75 C dan salinitas ppt. Penyebaran Padina australis meluas hingga di perairan Pasifik Selatan dan perairan Samudera Hindia. Oleh karena itu, alga jenis ini sangat mudah sekali ditemukan di Indonesia. Jenis Sargassum polycystum juga termasuk ke dalam alga coklat.alga jenis ini juga tersebar pada wilayah lautan Pasifik. Habitat dari Sargassum polycystum adalah pasir dan rataan karang mati. Alga Sargassum polycystum banyak ditemukan pada perairan dangkal. Jenis Caulerpa racemosa var macrophysa dan Halimeda micronesia hanya ditemukan pada wilayah utara, yaitu pada wilayah transplantasi karang. Adanya jenis-jenis tersebut dapat disebabkan

11 37 karena adanya intensitas penyinaran yang tinggi pada wilayah ini, sehingga menjadi tempat yang baik untuk alga untuk hidup. Selain itu juga, adanya nutriennutrien yang berasal dari substrat yang menyangkut pada karang-karang transplantasi juga dapat mempercepat pertumbuhan dari makroalga yang terdapat pada wilayah ini. 4.6 Kepadatan Bulu Babi Kepadatan bulu babi pada setiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada gambar 9 berikut ini. Gambar 9. Grafik kepadatan bulu babi pada tiap stasiun Pada Stasiun 1 berada pada wilayah sekitar tempat pelelangan ikan di wilayah Pulau Pramuka. Stasiun 1 terletak di wilayah utara dari Pulau Pramuka. Kepadatan bulu babi pada stasiun ini, berkisar antara 4,48 sampai 7,13 ind(m -2 ), dengan rata-rata 6,23 ind(m -2 ). Kepadatan pada setiap stasiunnya, antara lain 7,13 ind(m -2 ) pada kedalaman 1m; 7,07 ind(m -2 ) pada kedalaman 3m dan 4,48 ind(m -2 ) pada kedalaman 5 m. Kepadatan tertinggi terdapat pada kedalaman 1m yaitu 7,13 ind(m -2 ). Kepadatan terendah terdapat pada kedalaman 5m yaitu dengan 4,48 ind(m -2 ). Pada stasiun 2 berada pada wilayah Dermaga Pulau Pramuka yang terletak pada wilayah barat Pulau Pramuka. Pada stasiun ini, kepadatan bulu babi

12 38 berkisar antara 4,28 sampai 7,27 ind(m -2 ). Rata-rata dari kepadatannya adalah 6,23 ind(m -2 ). Kepadatan bulu babi pada setiap kedalamannya yaitu, 7,13 ind(m - 2 )pada kedalaman 1m; 7,27 ind(m -2 ) pada kedalaman 3m dan 4,28 ind(m -2 ) pada kedalaman 5m. Kepadatan tertinggi terpadat pada kedalaman 1m dengan 7,13 ind(m -2 ) dan terendah pada kedalaman 5m dengan 4,28 ind(m -2 ). Stasiun 3 berada pada sekitar wilayah transplantasi karang Pulau Pramuka. Nilai kepadatan pada stasiun ini berkisar antara 4,38 sampai 6,88 ind(m -2 ). Nilai rata-rata kepadatan pada stasiun ini adalah 5,52 ind(m -2 ). Pada setiap kedalamannya stasiun ini memiliki kepadatan bulu babi, yaitu 6,50 ind(m -2 ) pada kedalaman 1m; 6,88 ind(m -2 ) pada kedalaman 3m dan 4,38 ind(m -2 ) pada kedalaman 5m. Kepadatan tertinggi pada stasiun ini terdapat pada kedalaman 3m dengan jumlah kepadatan 6,88 ind(m -2 ) dan kepadatan terendah terdapat pada keladaman 5m dengan jumlah kepadatan 4,38 ind(m -2 ). Stasiun 4 berada pada wilayah timur dari Pulau Pramuka, merupakan wlayah sekitar pemukiman Pulau Pramuka. Wilayah ini merupakan wilayah belakang dari pemukiman penduduk. Selain itu juga terdapat beberapa penginapan di sekitar wilayah perairan ini. Kepadatan bulu babi pada stasiun ini berkisar 3,30 sampai 6,82 ind(m -2 ). Nilai rata-rata pada stasiun ini adalah 5,92 ind(m -2 ). Pada kedalaman 1m, jumlah kepadatannya 6,82 ind(m -2 ). Pada kedalaman 3m jumlah kepadatannya 6,43 ind(m -2 ) dan pada kedalaman 5m kepadatannya 3,30 ind(m -2 ). Kepadatan tertinggi terdapat pada kedalaman 1m dan kepadatan terendah terdapat pada kedalaman 5m. Kepadatan bulu babi di setiap stasiun berkisar 3,30 sampai 7,27 ind(m -2 ). Kepadatan yang lebih tinggi ditemukan pada kedalaman 1 dan 3 m, yang berkisar 6-8 ind(m -2 ). Sedangkan pada kedalaman 5 m menunjukkan kepadatan yang lebih rendah berkisar 3-4 ind(m -2 ). Berdasarkan kriteria kepadatan Diadema dan pengaruhnya terhadap lingkungan menurut Ogden dan Carpenter (1987) (lampiran1), kisaran pada kedalaman 1 dan 3 m merupakan kisaran kepadatan sedang dan untuk kedalaman 5 m termasuk ke kisaran rendah. Populasi bulu babi dapat berakibat negatif, apabila ditemukan pada kisaran >9 ind(m -2 ). Bila ditemukan kepadatan bulu babi pada kisaran >9 ind(m -2 ), maka akan memberikan

13 39 pengaruh terhadap terumbu karang karena menyebabkan bioerosi yang dapat mengganggu pertumbuhan terumbu karang. Menurut Aziz (1987) bulu babi lebih banyak ditemukan pada kedalaman yang lebih dangkal. Namun, Hasil dari pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa kepadatan bulu babi cenderung lebih tinggi pada kedalaman 3m untuk stasiun 1, 2 dan 3 dibandingkan kedalaman 1m. Hal tersebut dapat dikarenakan adanya luas tutupan makroalga yang lebih besar pada kedalaman 3m pada stasiun 1, 2 dan 3. Adanya tutupan makroalga yang lebih besar pada wilayah tersebut menyebabkan bulu babi lebih memilih wilayah tersebut untuk tinggal (Edmuds dan Carpenter 2001). Selain memakan alga, bulu babi juga akan mengganggu rekolonisasi karang bila terdapat kepadatan dari organisme bulu babi yang melebihi kriteria menurut Ogden dan Carpenter (1987) (Lampiran 1). Pada area yang ditempati bulu babi, populasi dari makroalga sangat rendah. Pada daerah yang dimana terdapat populasi makroalga yang banyak mengandung kapur seperti Halimeda sp., bulu babi jarang terlihat. Hal tersebut dapat dikarenakan bulu babi lebih menyukai makroalga yang masih muda dan tidak terlalu banyak mengandung kapur (Edmuds dan Carpenter 2001). Hasil pengamatan pada tiap stasiun juga menunjukkan bahwa bulu babi lebih banyak ditemukan pada kedalaman yang lebih dangkal dengan substrat karang hidup, karang mati, pecahan karang dan pasir. Pola hidup bulu babi pada tiap stasiun Pulau Pramuka menujukkan pola hidup berkelompok (Lampiran 1). Hal tersebut karena keberadaan dari bulu babi cenderung mengelompokkan diri di daerah kaya alga. Sesuai dengan pernyataan Ogden dan Carpenter (1987), yang menyatakan bahwa keberadaan diadema dipengaruhi tipe dasarannya, yaitu karang-karang beralga, serta kondisi perairan yang sesuai dan juga ketiadaan dari predator. Pola hidup yang berkelompok pada bulu babi juga diduga berpengaruh pada ketahanan dari biota tersebut terhadap suhu tinggi maupun intensitas cahaya yang tinggi. Dengan hidup secara berkelompok, bulu babi diduga dapat mengurangi paparan sinar matahari.hal tersebut dikarenakan pada pola berkelompok, sebagian tubuh bulu babi tertutup oleh individu-individu lain dalam kelompok tersebut (Aziz 1987). Hal tersebut

14 40 juga tampak pada saat penelitian, bahwa dalam kelompok, ditemukan beberapa organisme bulu babi yang bertumpuk sehingga organisme yang berada pada bagian bawah tertutup oleh organisme yang berada di atasnya. Pearce dan Arch (1969) juga menyatakan bahwa kehidupan mengelompok adalah merupakan adaptasi khusus untuk melindungi diri dari serangan ikan predator dan juga mempermudah pertemuan sel telur dan sperma di saat musim memijah. Bulu babi pada siang hari tidak menunjukkan adanya pergerakan dari wilayah dimana pertama ditemukan. Hal tersebut sesuai dengan Ogden dan Carpenter (1987) yang menyatakan bahwa bulu babi diketahui memiliki kemampuan untuk kembali ke tempat yang sama setelah malam sebelumnya bergerak untuk mencari makan. Dengan demikian, bulu babi pada saat siang hari cenderung diam. Aziz (1987) menyatakan bahwa bulu babi dapat hidup menyendiri ataupun mengelompok (agregasi), hidup bebas mencari makan secara aktif, berpindah dari satu rumpun alga ke rumpun alga lainnya. Aktifitas makan ini terutama dilakukan di malam hari Korelasi antara Kepadatan Bulu Babi terhadap Luas Tutupan Makroalga Untuk mengetahui korelasi antara bulu babi dengan makroalga, dilakukan perhitungan analisis korelasi dengan variabel x (variabel independent) yang merupakan kepadatan bulu babi dan variabel y (variabel dependent) yang merupakan luas tutupan makroalga (Lampiran 2). Hasil perhitungan analisis korelasi menunjukkan bahwa nilai korelasi dari kedua organisme tersebut adalah sebesar -0,857. Korelasi antara bulu babi dan makroalga korelasi bersifat negatif. Menurut Sarwono (2006) apabila suatu korelasi bernilai negatif, maka hubungan yang tergambarkan antara kedua organisme akan membentuk hubungan yang berbanding terbalik. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bila terdapat nilai kepadatan bulu babi yang tinggi pada stasiun pengamatan (stasiun 1 kedalaman 1m, sebesar 7,13 ind(m -2 )), maka nilai luas tutupan makroalga yang terdapat pada stasiun tersebut akan memiliki persentase rendah (pada stasiun 1, kedalaman 1m, sebesar 11%). Sebaliknya, ketika luas tutupan makroalga bernilai 36,67%, maka kepadatan bulu babi bernilai 3,30

15 41 ind(m -2 ). Disamping bernilai negatif, Berdasarkan kriteria menurut Sarwono (2006) Nilai tersebut menunjukkan hasil korelasi yang sangat kuat. Bulu babi merupakan hewan yang bersifat herbivora, dan makroalga merupakan salah satu jenis makanan dari bulu babi. Organisme bulu babi yang melakukan kegiatan merumput atau grazing, menjadikan alga dan lamun sebagai makanannya (Aziz 1994). Kegiatan grazing pada bulu babi menyebabkan menurunnya luas tutupan dari makroalga, yang bila terus tumbuh akan mengganggu pertumbuhan dari karang. Adanya korelasi antara bulu babi dengan makroalga juga diperkuat dengan pernyataan Nybakken (1988), yang menyatakan bahwa tingginya populasi bulu babi, selain memberi efek yang negatif yaitu memangsa dan mengganggu pertumbuhan rumput laut, tetapi juga memberi efek yang positif. Dengan perpindahan bulu babi ke suatu daerah akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan makroalga pada daerah yang sebelumnya tidak terdapat pertumbuhan makroalga. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya spora-spora dari makroalga yang menempel pada bagian duri-duri bulu babi pada saat kegiatan memakan makroalga sedang berlangsung. Spora yang menempel pada duri bulu babi itu akan terbawa bulu babi pada saat bergerak, sehingga pada akhirnya akan jatuh dan akhirnya tumbuh pada wilayah yang baru. Adanya organisme bulu babi pada wilayah dimana makroalga hidup, dapat mengurangi luas tutupan makroalga secara menyeluruh. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Kitching dan Embling (1966) melaporkan bahwa bulu babi jenis Paracentrotus lividus dengan kepadatan 4 individu per meter persegi dapat mereduksipenutupan alga 33 sampai dengan 50%, dan apabila kepadatan bulu babi ini ditingkatkan sampai 11 individu per meter persegi, maka segenap penutupan alga dapat habis. Dari pengamatan yang telah dilakukan, diketahui bahwa persetase dari luasan tutupan makroalga lebih banyak terdapat pada kedalaman 5m, dimana pada kedalaman tersebut kepadatan bulu babi berkisar 3 sampai dengan 5 ind(m -2 ), lebih rendah bila dibandingkan pada kedalaman 1m dan 3m yang berkisar 6 sampai dengan 8 ind(m -2 ). Nilai dari koefisien determinasi menunjukkan nilai 73,41%. Nilai tersebut merupakan nilai ukuran untuk

16 42 mengetahui kesesuaian atau ketepatan antara nilai dugaan dengan data sampel. Menurut Sarwono (2006), koefisien determinasi adalah bagian dari keragaman total variabel tak bebas (y) (dependent), yang diterangkan atau diperhitungkan oleh keragaman variabel bebas (x) (independent). Jadi koefisien determinasi adalah kemampuan variabel bebas (x) mempengaruhi variabel tak bebas (y). Semakin besar koefisien determinasi menunjukkan semakin baik kemampuan variabel bebas (x) mempengaruhi variabel tak bebas (y). Pernyataan tersebut sesuai dengan data hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa variabel (x), yang merupakan kepadatan bulu babi, mempunyai pengaruh yang besar terhadap variabel (y), yang merupakan luas tutupan makroalga. Pengaruh dari bulu babi terhadap makroalga adalah sebesar 73,41% terhadap luas tutupan dari makroalga. Terdapatnya organisme bulu babi pada suatu wilayah, maka akan mempengaruhi luas tutupan dari makroalga pada wilayah tersebut. Kebiasaan dari bulu babi yang hidup secara mengelompok (agregasi), merupakan salah satu penyebab berkurangnya persentase dari tutupan makroalga pada suatu wilayah. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Paine dan vadas (1969), yang melakukan penelitian pada Teluk Mukkaro, Washinton, dengan mengosongkan populasi bulu babi pada kedalaman 0 hingga 6 m. Dari hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa terjadi pertumbuhan dari makroalga dan predominan dari jenis makroalga Hedophyllum. Penelitian dari Chiu (1985), juga menyatakan bahwa bulu babi jenis Antocidaris crassipina yang hidup pada perairan Hongkong mengkonsumsi 15 jenis makroalga.pernyataan tersebut sesuai dengan hasil pengamatan yang telah dilakukan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, diketahui bila nilai kepadatan bulu babi tinggi, maka persentase luas tutupan akan rendah. Bila nilai kepadatan bulu babi menurun, maka persentase luas tutupan akan meningkat Korelasi antara Bulu Babi dan Kedalaman terhadap Makroalga Korelasi antara bulu babi dan makroalga, mempunyai hubungan yang sangat kuat. Selain terkait satu sama lain, diduga adanya hubungan yang kuat tersebut dapat dikaitkan berdasarkan kedalaman, dimana pengambilan data dilakukan. Kedalaman dimana dilakukannya pengambilan data adalah pada

17 43 kedalaman 1m, 3m dan 5m. Hubungan antara kepadatan bulu babi dan makroalga berdasarkan kedalaman dapat diketahui dengan menggunakan analisis korelasi berganda. Variabel-variabel yang diketahui adalah kedalaman dan kepadatan bulu babi sebagai varibel bebas (x 1 dan x 2 ). Luas tutupan makroalga sebagai variabel tak bebas (y). hasil perhitungan korelasi berganda dapat dilihat pada lampiran 3. Dari hasil perhitungan korelasi berganda, dapat diketahui nilai korelasi yang dihasilkan adalah sebesar 0,869; dengan nilai koefisien determinasi sebesar 75,51%. Berdasarkan kriteria menurut Sarwono (2006), nilai korelasi tergolong ke dalam kriteria sangat kuat. Besar nilai korelasi berganda yang didapat (0,869) memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan nilai korelasi tanpa membandingkan kedalaman (-0,857). Nilai korelasi yang dihasilkan menandakan adanya sedikit peningkatan nilai korelasi dan perubahan pola korelasi menjadi positif bila dibandingkan berdasarkan kedalaman. Koefisien determinasi yang didapat juga menjelaskan bahwa sebesar 75,51% dari luas tutupan makroalga dapat dijelaskan oleh variabel kepadatan bulu babi dan makroalga. Adanya pengaruh kedalaman dapat disebabkan oleh habitat bulu babi yang umumnya hidup pada perairan dangkal. Sugiarto dan Supardi (1995) menyatakan bahwa bulu babi lebih banyak ditemui pada perairan dangkal dengan pola hidup secara beagregasi (berkelompok). Pernyataan tersebut sesuai dengan data yang diperoleh, yang menyatakan lebih banyak bulu babi terdapat pada kedalaman 1 dan 3 m, dibandingkan pada kedalaman 5 m. Walaupun tidak memiliki pengaruh yang besar, kedalaman pada tiap stasiun mempunyai pengaruh terhadap hubungan antara bulu babi dengan makroalga. Kedalaman mempengaruhi cahaya yang dapat masuk ke wilayah tersebut. Semakin dalam suatu wilayah, maka cahaya yang dapat masuk akan semakin berkurang. Hasil dari pengamatan terhadap organisme makroalga menunjukkan bahwa makroalga cenderung terdapat pada kedalaman yang lebih dangkal, dimana lebih banyak cahaya yang dapat masuk. McCook dan Price (1997) menyatakan bahwa adanya cahaya yang dapat masuk dapat mempercepat pertumbuhan dari makroalga. Hal tersebut dikarenakan cahaya merupakan unsur terpenting pada fase fotosintesis yang dilakukan makroalga. Pengambilan data yang dilakukan

18 44 pada kedalaman yang dangkal, menyebabkan ditemuinya luas tutupan pada setiap stasiun pengamatan. Kecenderungan luas tutupan makroalga pada kedalaman 5 m, diduga karena kurangnya bulu babi yang menempati wilayah pengamatan pada kedalaman 5 m. Selain mempengaruhi makroalga, kedalaman juga mempengaruhi kepadatan dari pola hidup bulu babi. Pada kedalaman yang dangkal, dimana bulu babi cenderung hidup, pola hidup bulu babi adalah berkelompok (beragregasi). Menurut Kurniawan (2006), kebiasaan hidup mengelompok pada Diadema diduga dapat mengurangi paparan sinar matahari. Kurangnya kepadatan bulu babi pada kedalaman 5 m, diduga karena pola hidup dari bulu babi Diadema yang lebih menyukai wilayah perairan yang dangkal dan hidup secara berkelompok Analisis Regresi Linier Bulu Babi dan Makroalga Dari hasil perhitungan data, dapat diketahui bahwa kepadatan bulu babi merupakan variabel bebas dan luas tutupan makroalga merupakan variabel tidak bebas. Pola regresi pada hubungan ini berpola regresi negatif (Gambar 10). Pola regresi negatif menggambarkan pola hubungan yang berbanding terbalik Sarwono (2006). Pola hubungan yang berbanding terbalik, juga dapat menjelaskan hubungan antar kedua organisme berpola interaksi predasi. Pola regresi yang didapat sesuai dengan hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa organisme bulu babi yang merupakan pemangsa dari makroalga. Persamaan regresi yang didapat adalah y = -5,5967x + 53,048. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa kepadatan bulu babi mempengaruhi persentase luas tutupan makroalga. Adanya suatu kepadatan bulu babi, dapat mengurangi luas tutupan dari makroalga pada wilayah tersebut, sebaliknya, bila tidak ditemukan kepadatan bulu babi, maka luas tutupan makroalga akan memiliki persentase yang tinggi. Pada stasiun 1, pada kedalaman 1m, ketika kepadatan bulu babi berada nilai 7,13 ind(m -2 ), luas tutupan makroalga bernilai 11%. Pada stasiun 1, kedalaman 5m, ketika kepadatan bulu babi berada pada nilai 4,48 ind(m -2 ), maka luas tutupan makroalga menjadi 30,37%. Hubungan pada bulu babi dan makroalga sesuai dengan pernyataaan Herring (1972), dan Chiu (1985), yang menyatakan bahwa makanan utama bulu babi adalah berupa algae coklat, algae hijau dan lamun. Kepadatan Pola bulu babi yang beragregasi dan juga perilaku

19 45 merumput yang dilakukan bulu babi merupakan beberapa hal yang menguatkan pola hubungan ini. Lasker dan Giese (1952) menyatakan bahwa kematian massal bulu babi pernah terjadi pada tahun di Pasifik Barat, yang dimulai dari Panama di awal Januari 1983 yang menyebar ke Karibia, Teluk Meksiko, Bahama, Bermuda dengan tingkat kematian mencapai %. Penyebabnya tidak diketahui dengan jelas, namun diduga terinfeksi bakteri. Dampak kematian bulu babi ini menyebabkan biomassa alga meningkat, karena makanan utama bulu babi adalah alga coklat, alga hijau dan lamun. Wilayah perairan St. Croix mengalami peningkatan biomassa alga yang pesat hingga %, hanya berselang 5 hari setelah kematian bulu babi. Birkeland (1989), menyatakan bahwa Secara ekologis bulu babi marga Diadema ikut andil dalam proses bioerosi, disamping itu juga ikut mempengaruhi populasi dan biomasa dari kelompok alga dan lamun. Gambar 10. Grafik Pola Regresi Linier Bulu Babi dan Makroalga Analisis Regresi Linier Berganda Bulu Babi dan Kedalaman terhadap Makroalga Hasil dari regresi berganda tingkat kepadatan bulu babi dan kedalaman terhadap luas tutupan makroalga dapat dilihat pada lampiran 3. Persamaan yang dapat menggambarkan hubungan ini adalah y = 46, ,7629x 2 4,8363x 1.

20 46 Variabel x 1 merupakan kepadatan bulu babi, x 2 merupakan kedalaman dan y merupakan luas tutupan makroalga. Nilai konstanta 46,2164 menyatakan, bila tidak terdapat kepadatan bulu babi pada suatu kedalaman, maka luas tutupan makroalga akan bernilai 46,2164%. Persamaan regresi linier berganda yang didapat menjelaskan bahwa setiap peningkatan nilai kepadatan bulu babi, maka akan berpengaruh terhadap penurunan dari luas tutupan makroalga sebesar 4,8363 dengan asumsi kedalaman bernilai konstan dan setiap peningkatan kedalaman, maka akan berpengaruh terhadap peningkatan dari luas tutupan makroalga sebesar 0,7629 dengan asumsi nilai kepadatan bulu babi bernilai konstan. Berdasarkan persamaan dan kedua asumsi tersebut, dapat diketahui pengaruh kedalaman terhadap organisme bulu babi dan makroalga. Organisme bulu babi, yang merupakan predator dari makroalga, umumnya terdapat pada kedalaman yang lebih dangkal. Adanya tingkat kepadatan dari organisme bulu babi dapat mengurangi luas tutupan dari makroalga. Sebaliknya, bila pada wilayah tersebut tidak ditemukan organisme bulu babi, maka luas tutupan makroalga akan lebih banyak ditemukan. Tingkat kepadatan bulu babi yang cenderung tinggi terdapat pada perairan dangkal (1m dan 3m), menyebabkan rendahnya luas tutupan makroalga pada kedalaman tersebut. Pada kedalaman yang lebih dalam (5m), luas tutupan makroalga akan lebih besar dan kepadatan bulu babi cenderung rendah. Kedalaman mempengaruhi penyebaran dari organisme bulu babi dan makroalga. Kedalaman menjadi faktor pembatas bagi bulu babi untuk menemati suatu wilayah perairan, sehingga pada wilayah yang dimana kurang disukai bulu babi akan menjadi ruang hidup bagi makroalga untuk tumbuh. Menurut Luning (1990) makroalga akan lebih banyak dijumpai pada kedalaman 0-30m. Hal tersebut menerangkan bahwa kedalaman tidak menjadi faktor pembatas bagi organisme makroalga untuk tumbuh. Pengamatan yang dilakukan pada kedaman 1 hingga 5m, menyebabkan makroalga masih dapat tumbuh pada wilayah pengamatan.

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, yang secara geografis terletak di 106 36 48 BT dan 05 44

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Wilayah Penelitian Wilayah tempat substrat batu berada bersampingan dengan rumah makan Nusa Resto dan juga pabrik industri dimana kondisi fisik dan kimia perairan sekitar

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Variasi Temporal Parameter Fisika-Kimiawi Perairan Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Parameter Fisika Kimia Perairan Pengukuran parameter fisika dan kimia bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan kelangsungan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Kondisi alami sampel karang berdasarkan data (Lampiran 1) dengan kondisi tempat fragmentasi memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Tutupan Karang di Pulau Semak Daun Pulau Semak Daun dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2011 hingga Desember 2011 bertempat di Gosong Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan koordinat

Lebih terperinci

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri II. Tinjuan Pustaka A. Bulu Babi Tripneustes gratilla 1. Klasifikasi dan ciri-ciri Bulu babi Tripneustes gratilla termasuk dalam filum echinodermata dengan klasifikasi sebagai berikut (Anon 2011 ) : Kingdom

Lebih terperinci

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP Wiwid Prahara Agustin 1, Agus Romadhon 2, Aries Dwi Siswanto 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Karya Tabel 2. Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Karya bulan September 2010 sampai dengan Juli

Lebih terperinci

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS)

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) Gautama Wisnubudi 1 dan Endang Wahyuningsih 1 1 Fakultas Biologi Universitas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau datar yang melintang di barat daya Laut Jawa dan memiliki ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perairan Indonesia Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan samudera Hindia dan mempunyai tatanan geografi laut yang rumit dilihat dari topografi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di perairan Pulau Biawak Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan

Lebih terperinci

Korelasi Kelimpahan Ikan Baronang (Siganus Spp) Dengan Ekosistem Padang Lamun Di Perairan Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu

Korelasi Kelimpahan Ikan Baronang (Siganus Spp) Dengan Ekosistem Padang Lamun Di Perairan Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu Jurnal Perikanan Kelautan Vol. VII No. /Juni 06 (6-7) Korelasi Kelimpahan Ikan Baronang (Siganus Spp) Dengan Ekosistem Padang Lamun Di Perairan Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu Saiyaf Fakhri

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 39 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Terumbu Karang di Lokasi Penelitian 5.1.1 Kondisi Terumbu Karang Pulau Belanda Kondisi terumbu karang di Pulau Belanda berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Secara umum kondisi perairan di Pulau Sawah dan Lintea memiliki karakteristik yang mirip dari 8 stasiun yang diukur saat melakukan pengamatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Aziz, 1981). Tubuhnya berbentuk segilima, mempunyai lima pasang garis

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Aziz, 1981). Tubuhnya berbentuk segilima, mempunyai lima pasang garis II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bulu Babi Bulu babi merupakan organisme dari divisi Echinodermata yang bersifat omnivora yang memangsa makroalga dan beberapa jenis koloni karang (Aziz, 1981). Tubuhnya berbentuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Biawak merupakan suatu daerah yang memiliki ciri topografi berupa daerah dataran yang luas yang sekitar perairannya di kelilingi oleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang bebas di perairan. Plankton dibagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme berklorofil

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

Tinjuan Pustaka. A. Kerapatan Populasi. B. Ekologi Bulu babi

Tinjuan Pustaka. A. Kerapatan Populasi. B. Ekologi Bulu babi II. Tinjuan Pustaka A. Kerapatan Populasi Kerapatan (Densitas) populasi adalah hubungan antara jumlah individu dan satuan luas atau volume ruang yang ditempati pada waktu tertentu, umumnya dinyatakan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut 1 1. PENDAHULUAN Rumput laut atau yang biasa disebut seaweed tidak memiliki akar, batang dan daun sejati. Sargassum talusnya berwarna coklat, berukuran besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

PARAMETER KUALITAS AIR

PARAMETER KUALITAS AIR KUALITAS AIR TAMBAK PARAMETER KUALITAS AIR Parameter Fisika: a. Suhu b. Kecerahan c. Warna air Parameter Kimia Salinitas Oksigen terlarut ph Ammonia Nitrit Nitrat Fosfat Bahan organik TSS Alkalinitas Parameter

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi pengambilan data (Lampiran 2), didapatkan hasil seperti tercantum

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi sumber daya ikan cukup besar (6.520.100 ton/tahun), seperti tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

Jatinangor, Januari I Putu Andika Wibisana. iii

Jatinangor, Januari I Putu Andika Wibisana. iii KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-nya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Korelasi Antara Bulu Babi (Diadema setosum) Terhadap

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat, daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial di Jawa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan IV. Hasil dan Pembahasan A. Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan bulu babi di 3 paling tinggi (30,6 individu/m 2 ), sedangkan yang paling rendah di temukan pada 4 ( 3,7 individu/m

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan adalah Purpossive Random Sampling dengan menentukan tiga stasiun pengamatan.

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Budidaya laut (marinecultur) merupakan bagian dari sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai kontribusi penting dalam memenuhi target produksi perikanan. Walaupun

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Perairan Wilayah Kepulauan Seribu Pulau Pramuka berada pada bagian tengah gugusan kepulauan seribu. Secara administratif, Pulau Pramuka berada di kelurahan Pulau Panggang,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmiah Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang subur dengan hasil laut yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini berhubungan dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii PERSEMBAHAN... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii ABSTRAK...

Lebih terperinci

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang?

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang? 2 kerusakan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran terhadap stabilitas lingkungan. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran? 1.2.2 Apakah yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Pulau Biawak Pulau Biawak terletak di sebelah utara pantai Indramayu secara geografis berada pada posisi 05 0 56 002 LS dan 108 0 22 015 BT. Luas pulau ± 120 Ha,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Palabuhan Ratu Kecamatan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Studi pendahuluan dilaksanakan pada Bulan September 007 untuk survey

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika Kimia Perairan dan Substrat Estuari mempunyai kondisi lingkungan yang berbeda dengan sungai dan laut. Keberadaan hewan infauna yang berhabitat di daerah estuari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir memiliki lebar maksimal 20 meter dan kedalaman maksimal 10 meter.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati merupakan kehadiran berbagai macam variasi bentuk penampilan, jumlah, dan sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan jenis, dan tingkat genetika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu adalah kawasan pelestarian alam bahari di Indonesia yang terletak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Kepulauan Seribu terletak pada 106

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan di kawasan perairan Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, dimulai dari bulan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

Spesies yang diperoleh pada saat penelitian

Spesies yang diperoleh pada saat penelitian PEMBAHASAN Spesies yang diperoleh pada saat penelitian Dari hasil identifikasi sampel yang diperoleh pada saat penelitian, ditemukan tiga spesies dari genus Macrobrachium yaitu M. lanchesteri, M. pilimanus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Perairan Indonesia. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak diantara samudera

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Perairan Indonesia. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak diantara samudera II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perairan Indonesia Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak diantara samudera Pasifik dan samudera Hindia dan mempunyai tatanan geografi laut yang rumit dilihat dari topografi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

Pertumbuhan Rumput Laut

Pertumbuhan Rumput Laut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju pertumbuhan Laju pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii yang diperoleh selama penelitian terdapat pada Tabel 1 berikut : Tabel 1.PertumbuhanRumputLautSetelah

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 pada beberapa lokasi di hilir Sungai Padang, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara. Metode yang digunakan

Lebih terperinci

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU SEMINAR KOMPREHENSIF Dibawah Bimbingan : -Dr. Sunarto, S.Pi., M.Si (Ketua Pembimbing)

Lebih terperinci