KUALITAS KOKON HASIL SILANGAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) RAS CINA DENGAN RAS JEPANG SECARA RESIPROKAL SKRIPSI ROFIKA ROCHMAWATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KUALITAS KOKON HASIL SILANGAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) RAS CINA DENGAN RAS JEPANG SECARA RESIPROKAL SKRIPSI ROFIKA ROCHMAWATI"

Transkripsi

1 KUALITAS KOKON HASIL SILANGAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) RAS CINA DENGAN RAS JEPANG SECARA RESIPROKAL SKRIPSI ROFIKA ROCHMAWATI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 RINGKASAN Rofika Rochmawati. D Kualitas Kokon Hasil Silangan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ras Cina dengan Ras Jepang secara Resiprokal. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota : Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si. : Dra. Lincah Andadari, M.Si. Sutera merupakan serat yang dihasilkan oleh ulat sutera, salah satu ulat sutera yang sangat terkenal dengan produksi suteranya ialah Bombyx mori L. Cara untuk memperoleh bibit ulat sutera yang baik diantaranya adalah dengan melakukan seleksi dan persilangan. Salah satu metode persilangan yang perlu mendapat perhatian dari aspek penurunan sifat secara maternal adalah persilangan resiprokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas kokon hasil Persilangan ulat sutera ras Cina dengan ras Jepang secara resiprokal dan membandingkannya dengan bibit komersial yang sudah ada. Penelitian ini menggunakan enam perlakuan yang terdiri atas empat jenis persilangan secara resiprokal, yaitu persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1), persilangan ras Cina betina 808 dengan ras Jepang jantan 108 (P2), ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3), ras Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4), dan dua jenis bibit komersial, yaitu BS09 (P5) dan C301 (P6). Sifat yang akan diamati yaitu bobot kokon, persentase kulit kokon, rendemen pemeliharaan, dan persentase kokon normal. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh persilangan resiprokal terhadap bobot kokon pada P1 dan P2 yang merupakan persilangan resiprokal pertama. Namun pada P3 dan P4 tidak terdapat pengaruh persilangan resiprokal terhadap semua sifat yang diamati. Berdasarkan hasil analisis P1, P2, P3 dan P4 memiliki nilai bobot kokon yang lebih tinggi dibandingkan dengan P6 dan memiliki nilai persentase kulit kokon, rendemen pemeliharaan dan persentase kokon normal yang tidak berbeda nyata dengan bibit komersial P6. Di sisi lain, P1, P3, dan P4 memiliki nilai yang tidak berbeda nyata dengan bibit komersial P5 pada semua sifat yang diamati. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui kualitas benang yang dihasilkan. Kata-kata kunci : Bombyx mori L., persilangan resiprokal, kualitas sutera.

3 ABSTRACT Cocoon s Quality of Silkworm (Bombyx mori L.) Crossbreed between Chinesse Silkworm Race and Japanesse Silkworm Race Reciprocally Rochmawati, R., Jakaria, L. Andadari This research aimed to evaluate the results of reciprocal crossbreeding between Chinesse silkworm race with Japanesse silkworm race reciprocally, and then compared them with the commercial silkworm races. There were six crossings to evaluate, the silkworm reciprocal crossbreed were female 108 Japanesse crossed male 808 Chinesse (P1), female 808 Chinesse crossed male 108 Japanesse (P2), female Chinesse 806 crossed male 903 Japanesse (P3), female 903 Japanesse crossed male 806 Chinesse (P4) and the commercial silkworm races BS09 (P5) and C301 (P6). There were four variables evaluated, including weight of cocoon, percentage of cocoon s shell, rendement of rearing, and percentage of normal cocoon. The results showed that reciprocal gave significant effect on weight of cocoon in the first reciprocal (P1 and P2). In the other hand, it gave no significant effect on percentage of cocoon s shell, rendement of rearing and percentage of normal cocoon. In the second reciprocal (P3 and P4) there was not significant different on every observed variables. The reciprocal crossbreeds (P1, P2, P3, and P4) had higher weight of cocoon than P6. The reciprocal crossbreeds were also had no significant difference with P6 in percentage of cocoon s shell, rendement of rearing and percentage of normal cocoon. Even though, only P1, P3, and P4 had no significant difference with P5 on all observed variables. Keywords: Bombyx mori L., reciprocal crossing, silk quality.

4 KUALITAS KOKON HASIL SILANGAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) RAS CINA DENGAN RAS JEPANG SECARA RESIPROKAL ROFIKA ROCHMAWATI D Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

5 Judul LEMBAR PENGESAHAN : Kualitas Kokon Hasil Silangan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ras Cina dengan Ras Jepang Secara Resiprokal Nama : Rofika Rochmawati NRP : D Menyetujui, Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota, Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si. NIP Dra. Lincah Andadari, M.Si NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc NIP Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 21 Januari Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan Zainal Arifin dan Rochana. Pada tahun 1994, Penulis mengawali pendidikan dengan bersekolah di Taman Kanak-Kanak Aisyah Bustanul Athfal XI Bandung, dan melanjutkannya ke SD Negeri Sarijadi Selatan II Bandung serta lulus pada tahun Di tahun yang sama, Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Bandung dan lulus pada tahun Penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 7 Bandung pada tahun yang sama dan lulus pada tahun Di tahun yang sama pula, Penulis di terima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada jurusan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Selama kuliah di IPB, Penulis aktif di beberapa organisasi di IPB, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan (BEM-D) 2009 dan menjabat sebagai staff Sosial Lingkungan dan Masyarakat. Penulis juga aktif dalam EMULSI Majalah Pangan dan Gizi 2009 dan menjabat sebagai staff Pengembangan Sumber Daya Manusia, serta Himpunan Mahasiswa Produksi Peternakan (HIMAPROTER) 2010 sebagai anggota Club Satwa Harapan. Penulis juga berkesempatan menjadi penerima beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik)

7 KATA PENGANTAR Saat ini, kegiatan persuteraan alam telah dilakukan oleh lebih dari 50 negara. Negara-negara yang memiliki spesialisasi dalam teknologi persuteraan alam antara lain Cina, India, Jepang, Korea, Brazil, Turki, dan Asia bagian tengah. Sutera alam merupakan sekresi dari saliva kering yang diproduksi oleh larva saat ulat sutera yang sudah tumbuh maksimum dan memproduksi benang yang disebut kokon selama sebelum menjadi pupa. Benang ini disebut benang emas dari ratu emas tekstil dan dikagumi oleh seluruh dunia karena kelembutan dan kilauannya. Produk ini sangat ringan dan lembut namun kuat dan halus. Secara umum, produk ini diterima oleh top fashion designer kelas dunia karena keanggunan, penyerapan warna, toleransi terhadap panas dan daya serap airnya yang sangat baik. Tak heran jika angka permintaan sutera tinggi di mata dunia. Namun, terdapat kendala dalam pengembangan sutera khususnya di Indonesia. Salah satu kendala tersebut adalah bibit ulat yang kurang baik, sehingga masih dibutuhkan banyak penelitian mengenai bibit ulat sutera yang berkualitas agar membantu pengembangan sutera di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil silangan ulat sutera ras Cina dengan ras Jepang secara resiprokal dan membandingkannya dengan ras ulat sutera komersial yang sudah ada. Setiap persilangan akan menghasilkan keturunan yang berbeda sehingga perlu dilakukan persilangan resiprokal, dan sebagai hasilnya dapat benar-benar diketahui tetua mana yang harus digunakan dalam suatu persilangan untuk menghasilkan keturunan yang terbaik. Penulis berharap penelitian ini, dapat menjadi informasi bagi masyarakat secara umum dan mahasiswa secara khusus yang memperlajari Ilmu Genetika serta para Breeder mengenai persilangan ulat sutera antara ras Cina dengan ras Jepang secara resiprokal. Bogor, Juni 2011 Penulis,

8 DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN... i ABSTRACT... ii LEMBAR PENGESAHAN...iv RIWAYAT HIDUP...v KATA PENGANTAR...vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL...ix DAFTAR GAMBAR...x DAFTAR LAMPIRAN...xi PENDAHULUAN...1 Latar Belakang...1 Tujuan...2 TINJAUAN PUSTAKA...3 Ulat Sutera (Bombyx mori L.)...3 Siklus Ulat Sutera...4 Telur Ulat Sutera... 5 Tahapan Larva... 5 Tahapan Pupa... 5 Tahapan Ngengat... 5 Ras Ulat Sutera... 6 Genetika dan Pemuliaan Ulat Sutera... 7 Seleksi... 8 Persilangan... 9 Efek Heterosis dan Maternal... 9 Kualitas Kokon...11 MATERI DAN METODE...13 Lokasi dan Waktu...13 Materi...13 Ulat Sutera Bahan Alat Prosedur...14 Persiapan Ruangan Pemeliharaan... 14

9 Perlakuan HCl pada Telur Ulat Sutera Penetasan dan Pemindahan Ulat Perlakuan Saat Pergantian Kulit Pembersihan Sasag dan Pencegahan Hama/ Penyakit Pengokonan Pengambilan Sampel Rancangan Percobaan...17 Perlakuan Model Peubah yang Diamati HASIL DAN PEMBAHASAN...19 Bobot Kokon...19 Persentase Kulit Kokon...22 Rendemen Pemeliharaan...25 Persentase Kokon Normal...27 KESIMPULAN DAN SARAN...31 Kesimpulan...31 Saran...31 UCAPAN TERIMA KASIH...32 DAFTAR PUSTAKA...33 LAMPIRAN...35 viii

10 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Persyaratan Kelas Mutu Kokon Kualitas Kokon Hasil Silangan Ulat Sutera Ras Cina dengan Ras Jepang serta Bibit Komersial 19

11 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Siklus Hidup Ulat Sutera.4 2. Ulat Sutera Ras Jepang (atas) dan ras Cina (bawah) beserta Kokonnya Bobot Kokon pada Setiap Perlakuan Persentase Kulit Kokon pada Setiap Perlakuan Ulat Terserang Grasserie Persentase Rendemen Pemeliharaan pada Setiap Perlakuan Persentase Kokon Normal pada Setiap Perlakuan Jumlah Kokon Cacat pada Setiap Perlakuan...30

12 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Hasil Perhitungan Sidik Ragam Catatan Pemberian Pakan Catatan Umur Pemeliharaan Ulat Catatan Suhu dan Kelembaban..40

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Kegiatan persuteraan alam merupakan usaha yang memiliki prospek sangat baik. Benang sutera yang terkenal sebagai barang mewah dan mahal ternyata memiliki tingkat permintaan yang tinggi termasuk di Indonesia. Produksi benang sutera alam dunia mencapai sekitar ton per tahun yang dihasilkan oleh negara-negara produsen terbesar yaitu Cina yang diikuti oleh India, Jepang, Korea, dan Brazil, sementara kebutuhan dunia yaitu sekitar ton per tahun sehingga masih terdapat kekurangan mencapai 10% dari total permintaan. Hal ini merupakan peluang besar bagi negara lain termasuk Indonesia yang memiliki potensi dalam pengembangan persuteraan alam, karena produksinya baru mencapai kurang lebih 500 ton per tahun jauh di bawah kebutuhan dalam negeri sendiri yaitu sekitar ton per tahun (Bank Indonesia, 1999). Angka produksi sutera mentah pada tahun 1999 di Indonesia, hanya mencapai 74 ton, sedangkan pada tahun 2001 meningkat hingga 110 ton. Produksi sutera mentah terus menurun mencapai angka 47 ton, dan kembali meningkat pada tahun 2007 mencapai 65 ton. Penurunan drastis terjadi pada tahun 2009 yaitu 19 ton (Ditjen RLPS, 2010). Penurunan produksi yang drastis dari tahun ke tahun sangat disayangkan, padahal kegiatan persuteraan alam pernah menjadi penggerak masyarakat sebagai usaha meningkatkan penghasilan masyarakat pada tahun an. Namun, hingga saat ini usaha persuteraan alam cenderung mengalami penurunan karena berbagai faktor teknis maupun nonteknis (Nurhaedah et al., 2006). Mengingat kendala dan prospek usaha kegiatan persuteraan alam ini, maka diperlukan peran serta pemerintah dalam upaya menggerakkan kembali kegiatan persuteraan alam Indonesia agar dapat berkembang kembali. Pengadaan bibit ulat sutera yang unggul adalah salah satu hal penting untuk meningkatkan produksi sutera. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Divisi Persuteraan Alam yang bergerak di bawah koordinasi Badan Litbang Kehutanan, secara terus-menerus mengembangkan pembibitan ulat sutera dengan menyilangkan beberapa ras ulat sutera yang ada, seperti ras Cina, Jepang dan Tropis dengan tujuan untuk menghasilkan bibit unggul yang dapat tahan di berbagai

14 kondisi lingkungan dan dapat menghasilkan kokon yang baik. Sehubungan dengan hal tersebut, dari beberapa ras ulat sutera yang ada di Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Divisi Persuteraan Alam, perlu dilakukan evaluasi terhadap ras-ras ulat sutera yang ada untuk calon bibit unggul ulat sutera yang berkualitas. Misalnya, dilakukannya evaluasi terhadap kualitas kokon persilangan galur 108 dan 903 dari ras Jepang, serta 808 dan 806 dari ras Cina yang masing-masing memiliki keunggulan dalam persentase kulit kokon dibandingkan galur lainnya. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil persilangan ras Cina dan ras Jepang secara resiprokal, serta membandingkannya dengan bibit ulat sutera komersial yang sudah ada. 2

15 TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ulat sutera merupakan serangga yang termasuk ke dalam Ordo Lepidoptera, yang mencakup semua jenis kupu dan ngengat. Ulat sutera adalah serangga holometabola, yaitu hewan yang mengalami metamorfosa sempurna. Hal ini berarti bahwa setiap generasi melewati 4 stadia, yaitu telur, larva (yang lazim disebut ulat ), pupa dan ngengat, yang lebih dikenal sebagai kupu. Selama metamorfosa, stadia larva adalah satu-satunya masa dimana ulat makan, merupakan masa yang sangat penting untuk sintesis protein sutera dan pembentukan telur (Atmosoedarjo et al., 2000). Sistematika ulat sutera adalah sebagai berikut : Phylum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Familia : Bombycidae Genus : Bombyx Species : Bombyx mori L. Tetua atau moyang dari ulat sutera Bombyx mori L. adalah Bombyx mandarina, yang ditemukan di pohon murbei Cina, Jepang dan negara lain di Asia Timur. Ulat sutera, karena sudah sejak lama didomestikasi, menyebabkan kehilangan kemampuan untuk hidup mandiri di alam bebas. Rasa penciumannya sudah sangat tumpul, sudah tidak mengenal lagi tanaman murbei dalam jarak beberapa meter, juga tidak dapat bergerak dari batang ke batang lain untuk mendapatkan daun, karena kemampuan merangkaknya sudah lemah. Daya pegangnya juga sangat lemah, sehingga tidak mampu mempertahankan diri dari goncangan batang oleh angin, atau oleh sebab-sebab lain. Selain itu, ulat sudah tidak dapat lagi melindungi diri dari musuh dan tidak bisa bergerak cepat. Ngengatnya tidak bisa terbang untuk berkopulasi, dan ngengat betina sulit untuk bertelur di daun murbei (Atmosoedarjo et al., 2000). Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), setelah dipelihara selama beberapa ribu tahun di banyak daerah, maka ulat sutera mempunyai banyak varietas yang diklasifikasikan berdasarkan sifat, yang berhubungan erat dengan ekonomi dan

16 teknik pemeliharaan sebagai berikut : (1) klasifikasi berdasarkan negara asal yaitu ras Cina, ras Jepang, ras Eropa, dan ras Tropik, (2) klasifikasi berdasarkan jumlah generasi pertahun, yaitu univoltin, bivoltin, dan polivoltin, dan (3) klasifikasi berdasarkan frekuensi ganti kulit, yaitu three molter, four molter, dan five molter. Berdasarkan sifat-sifat biologi, kebutuhan ruangan, kebutuhan pakan, dan lain-lain, maka sistem pemeliharaan untuk ulat kecil dan ulat besar harus dibedakan. Ulat kecil adalah ulat yang berumur 1 hari hingga 11 hari atau 12 hari, sedangkan ulat besar adalah fase sejak ulat berumur 12 hari hingga 22 hari dimana ulat akan memasuki fase pengokonan. Pada fase ulat kecil dapat dibagi lagi menjadi tiga instar, yaitu: (1) instar I: ulat berumur 1-4 hari, (2) instar II: ulat berumur 5-7 hari, (3) instar III: ulat berumur 8-11 hari (Guntoro, 1994). Siklus Ulat Sutera Ulat sutera merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Selama hidupnya, ulat sutera melewati empat tahap kehidupan yang berbeda, yaitu telur, larva (ulat), pupa, dan dewasa (ngengat). Umur kehidupan ulat sutera antara 50 hingga 60 hari termasuk periode inkubasi, tahapan larva, tahapan pupa, dan tahapan ngengat, dan akan berakhir saat setelah ngengat berkopulasi. Siklus hidup ulat sutera seperti yang digambarkan pada Gambar 1. Gambar 1. Siklus Hidup Ulat Sutera Sumber : Tazima (1964) 4

17 Telur Ulat Sutera Telur ulat sutera berbentuk kecil, rata, dan elips, dilapisi dengan lapisan keras (kulit telur). Bentuk dan ukurannya sangat kecil. Pada ujung telur terdapat micropyle yaitu tempat sperma memasuki sel telur. Warna dari telur yang baru ditetaskan adalah putih susu atau kuning keruh yang terdiri dari warna chorion (kulit telur), serosa dan kuning telur (komponen dalam isi telur). Setelah hari ke-2 atau ke-3, warna telur mulai berubah, hari ke-6 dan ke-7 setelah ditelurkan, warna telur berubah menjadi abu-abu dengan ungu gelap (Sinchaisri, 1993). Tahapan Larva Menetasnya ulat sutera dari telurnya disebut penetasan, larva yang baru menetas sepanjang 3 mm, diselimuti oleh rambut-rambut tipis dan berwarna hitam. Selama masa larva, ulat sutera mengalami pergantian kulit sebanyak empat kali. Selama masa pergantian kulit, larva mangalami masa tidur selama kurang lebih 24 jam tanpa makan. Fenomena ini disebut moulting. Selama moulting pertama, ulat sutera memproduksi kulit baru untuk dirinya untuk menggantikan kulit lamanya. Setelah itu, larva kembali makan, tumbuh dan memasuki instar selanjutnya. Instar I hingga instar III biasa disebut ulat kecil, sedangkan instar IV dan V disebut ulat besar. Total periode larva dari penetasan hingga mengokon yaitu 25 hingga 30 hari (Sinchaisri, 1993). Tahapan Pupa Sekitar lima atau enam hari setelah ulat mulai membentuk kokon, ulat sutera berubah bentuk di dalam kokon dan menjadi pupa. Segera setelah menjadi pupa, pupa berwarna kuning keputihan dan lembek namun secara bertahap berubah mengeras. Periode pupa menghabiskan waktu 11 hingga 12 hari (Sinchaisri, 1993). Tahapan Ngengat Biasanya, waktu keluarnya ngengat terjadi di pagi hari. Ngengat membasahi kulit kokon dengan sekresi alkalin dan merusak kokon, mendorong kokon hingga dapat keluar. Ngengat kemudian melebarkan sayap dan mengeringkannya. Ngengat betina kemudian akan membiarkan kelenjar seksual mengembung untuk memikat ngengat jantan (Sinchaisri, 1993). 5

18 Ras Ulat Sutera Terdapat empat jenis ulat sutera unggul yang memiliki produksi kokon yang tinggi dan dapat menghasilkan benang sutera dengan kualitas yang baik. Keempat ras ulat sutera tersebut adalah ras Cina, ras Jepang, ras Eropa dan ras Tropika. Di Indonesia yang telah banyak dikembangkan adalah ulat sutera ras Cina, ras Jepang, dan hasil persilangan dari ras Jepang dengan ras Cina. Ras Cina dan ras Jepang ini disamping memiliki keunggulan juga memiliki beberapa kelemahan, seperti kokon yang tipis, tidak rentan terhadap penyakit dan umur produksi yang panjang. Tetapi dengan menyilangkan kedua ras tersebut kelemahan-kelemahannya dapat dikurangi dan sifat unggulnya lebih menonjol (Guntoro, 2004). Ciri-ciri ulat sutera ras Jepang antara lain : (1) umur produksinya relatif lebih panjang atau lama dibandingkan dengan ras Cina; (2) lebih lemah, sehingga lebih rentan terhadap serangan penyakit; (3) bentuk kokon tebal, seperti kacang tanah; (4) lapisan kokon tebal, sehingga produksi kokon lebih tinggi dibandingkan ras Cina (Guntoro, 2004). Ras Jepang mempunyai varietas univoltin dan bivoltin. Banyak galur yang menghasilkan larva dengan ukuran medium dan kokon berbentuk kacang, ras Jepang ini memiliki kecepatan tumbuh yang medium (Atmosoedarjo et al., 2000). Ras Cina memiliki ciri-ciri antara lain : (1) umur produksinya lebih pendek atau cepat; (2) bentuk kokon bulat; (3) lapisan kokon tipis, sehingga produksi serat suteranya lebih rendah dibandingkan ulat sutera ras Jepang; dan (4) daya tahannya terhadap penyakit lebih baik (Guntoro, 2004). Ras Cina juga terdiri dari univoltin dan bivoltin yang mencakup banyak galur yang menghasilkan larva kecil dan kokon oval. Ras Cina ini memiliki kecepatan tumbuh yang cepat. Ras Eropa hanya mencakup jenis univoltin, dengan larva yang besar dan kokon oval. Ras Eropa ini tumbuh lambat dan tidak kuat, sehingga hanya dapat dipelihara di musim semi yang hangat di daerah subtropik saja. Banyak galur yang dipelihara pada saat ini merupakan hibrid dari ketiga ras tersebut di atas, yang telah diperbaiki dengan menghimpun kelebihan-kelebihannya. Hibrid ini untuk memudahkan pemakaian, diklasifikasikan berdasarkan darah Jepang, darah Cina dan darah Eropa, dan disebut sebagai ras masing-masing, yang paling umum pada saat ini adalah galur dari ras Jepang dan ras Cina. Para petani biasanya memelihara generasi pertama (F1) dari ras-ras tersebut (Atmosoedarjo et al., 2000). 6

19 Ras Tropik merupakan jenis polivoltin, mempunyai telur kecil dan ringan, larvanya kecil tetapi kuat dan tumbuh sangat cepat. Bentuk kokon seperti kumparan, mempunyai banyak serabut (floss) dan kulit kokon tipis, sehingga produksinya rendah (Atmosoedarjo et al., 2000). Gambar 2. Ulat Sutera Ras Jepang (atas) dan ras Cina (bawah) beserta Kokonnya Sumber: Andadari (1998) Genetika dan Pemuliaan Ulat Sutera Ulat sutera merupakan hewan penelitian yang ideal sehingga mendapat perhatian besar dari para ahli genetika di seluruh dunia. Hal ini dilihat dari banyaknya sifat yang diturunkan, baik pada telur, larva, pupa, maupun pada stadia dewasa. Selain itu, ulat sutera mempunyai siklus hidup yang pendek, sehingga dapat dipelihara 7-8 generasi per tahun (Atmosoedarjo et al., 2000). Ulat sutera mempunyai sifat kualitatif dan kuantitatif, dengan jumlah kromosom 56 buah yang terdiri dari 27 pasang kromosom tubuh dan 1 pasang kromosom seks (penentu jenis kelamin). Kromosom seks betina adalah heterogamet dengan formula kromosom ZW, sedangkan yang jantan homogamet dengan formula ZZ. Kromosom yang menentukan jenis kelamin betina adalah kromosom W (Atmosoedarjo et al., 2000). Menurut Brasla dan Matei (1997) tujuan dan sasaran pemuliaan ulat sutera adalah untuk meningkatkan hasil kokon dan benang sutera serta untuk mendapatkan 7

20 jenis ulat sutera yang sesuai dengan masing-masing kondisi lingkungan. Peningkatan kualitas bibit ulat sutera masih perlu dilaksanakan di Indonesia, terutama karena bibit yang digunakan sekarang merupakan dari daerah sub-tropik, yang biasa dipelihara pada kondisi optimum. Untuk kondisi tropik seperti Indonesia yang agroklimatnya berfluktuasi, kualitas daun rendah dan kemampuan para pemelihara ulat terbatas, diperlukan jenis ulat yang lebih kuat. Untuk meningkatkan kualitas bibit ulat sutera ada beberapa cara yang sudah dikenal yaitu dengan seleksi, persilangan, gabungan antara persilangan dan seleksi, serta rekayasa genetika (Atmosoedarjo et al., 2000). Seleksi Dipandang dari segi genetik, seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk membiarkan ternak-ternak tertentu bereproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak diberi kesempatan bereproduksi. Seleksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu seleksi alam dan seleksi buatan. Seleksi alam meliputi kekuatan-kekuatan alam yang menentukan ternak-ternak akan bereproduksi dan menghasilkan keturunan untuk melanjutkan proses reproduksi. Ternak yang dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan bisa bertahan hidup adalah ternak-ternak yang memiliki peluang lebih besar untuk bereproduksi. Kemampuan ternak untuk bertahan hidup dipengaruhi oleh faktor genetik (Noor, 2008). Pada ulat sutera, seleksi dilakukan bertahap pada galur induk, dimulai dari telur, ulat, kokon, pupa, dan ngengat. Sehingga hanya individu yang baik saja yang terpilih untuk bibit. Tujuan seleksi pada setiap stadia berlainan. Pada stadia telur untuk mendapatkan jumlah telur per induk yang tinggi, penetasan yang seragam dan prosentase penetasan yang baik. Sementara seleksi ulat bertujuan untuk mendapatkan keseragaman pertumbuhan, umur ulat yang pendek, dan rendemen pemeliharaan yang tinggi. Dalam seleksi harus diperhatikan, bahwa sifat yang penting secara ekonomi, dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Oleh karena itu, dalam pemeliharaan untuk galur terseleksi, efek lingkungan harus diusahakan sekecil mungkin, sedang variasi genetik harus dianalisa dan dievaluasi dalam rangka memilih galur yang spesifik secara efisien, ketika didapatkan telur dari induk unggul, kokon galur induk berbentuk kacang dan oval disilangkan untuk menguji sifat dari hibrid, karena meskipun galur murninya unggul tidak selalu menghasilkan hibrid yang berkualitas baik (Atmosoedarjo et al., 2000) 8

21 Persilangan Salah satu pendekatan yang digunakan untuk memperbaiki kualitas genetik hewan/ternak, yaitu dengan sistem persilangan. Persilangan adalah perkawinan antar individu, yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dalam populasi. Persilangan biasanya berdampak pada peningkatan daya hidup. Selain itu, persilangan memiliki tingkat kesuburan, daya tumbuh dan daya tahan yang lebih tinggi. Gejala ini disebut dengan heterosis atau keunggulan hasil silangan (Minkema, 1993). Pada ulat sutera, persilangan dilakukan antar galur yang berasal dari daerah yang berbeda agar sifat-sifat unggul atau karakteristik yang dimiliki masing-masing galur dapat bergabung pada hibridnya. Persilangan digunakan secara luas dalam rangka memperbaiki kualitas jenis ulat dengan mengeksploitasi gen-gen unggul (Atmosoedarjo et al., 2000). Menurut Razdan et al. (1994) yang paling penting diperhatikan dalam persilangan untuk membentuk galur baru maupun hibrid baru adalah karakter spesifik dari masing-masing ras. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam persilangan adalah sifat yang dipilih, sistem persilangan, induk yang digunakan, lingkungan, gender, dan seleksi. Guna mendapatkan galur unggul terdapat masalah dalam pemilihan induk untuk persilangan, mengingat daya gabung tergantung dari interkasi yang kompleks dari gen-gen yang tidak dapat ditentukan hanya dari penampilan induk-induknya, Oleh karena itu perlu dicoba sebanyak mungkin macam persilangan, sebelum hasil terbaik dapat ditentukan. Efek Heterosis dan Maternal Silang luar berpengaruh dalam meningkatkan proporsi gen-gen yang heterozigot dan menurunkan proporsi gen yang homozigot namun tidak mempengaruhi frekuensi genotip. Perubahan derajat heterozigositas tergantung dari hubungan kekerabatan ternak yang disilangkan. Jika ternak yang tidak memiliki hubungan keluarga disilangkan, maka keturunannya cenderung menampilkan performa yang lebih baik dari rataan performa tetuanya untuk sifat-sifat tertentu. Fenomena ini disebut hibrid vigor yang nilainya dapat diukur. Pengukuran kuantitatif hibrid vigor disebut heterosis yang didefinisikan sebagai persentase peningkatan performa dari ternak-ternak hasil persilangan di atas rataan tetuanya (Noor, 2005) Heterosis dikatakan ada jika rataan performa ternak hasil persilangan melebihi rataan tetua. Laju peningkatan heterozigositas akibat silang luar tergantung 9

22 pada perbedaan genetik dari tetuanya. Makin jauh hubungan kekerabatannya antara kedua ternak tersebut maka makin sedikit kesamaan gen-gennya dan makin besar pula tingkat heterozigositasnya (Noor, 2005). Nilai heterosis untuk setiap sifat berbeda dan tingkat heterosis bagi masing-masing sifat pun ternyata tidak konsisten, atau bervariasi, karena susunan genetik dari induk yang terlibat dalam persilangan berlainan (Atmosoedarjo et al., 2000). Pewarisan maternal terdapat apabila faktor yang menentukan sifat keturunan terdapat diluar inti nukleus dan pemindahan faktor itu hanya berlangsung melalui sitoplasma. Pengaruh maternal ada apabila genotipe diwariskan dari induk betina menentukan fenotipe dari keturunan. Faktor-faktor keturunan berupa gen-gen yang berasal dari inti nukleair dipindahkan oleh kedua jenis kelamin, dan dalam persilangan-persilangan tertentu sifat-sifat keturunan itu mengalami segregasi mengikuti pola Mendel. Pengaruh maternal berasal dari sitoplasma sel telur yang telah dimodifikasi oleh gen-gen yang dipindahkan secara kromosomal (Suryo, 1995). Cara untuk mengetahui adanya pengaruh maternal, biasanya para pemulia ulat sutera melakukan perkawinan secara resiprokal untuk menghasilkan hasil silangan yang paling baik. Menurut Welsh (1991) persilangan resiprokal adalah persilangan antara dua induk, dimana kedua induk berperan sebagai pejantan dalam suatu persilangan, dan sebagai betina dalam persilangan yang lain. Seleksi berulang resiprokal memperbaiki kemampuan berkombinasi spesifik maupun umum. Cara yang ditempuh adalah dengan melakukan seleksi terhadap dua populasi dalam waktu yang bersamaan. Bukti-bukti adanya fenomena pewarisan terpaut kelamin pada karakter kuantitatif yaitu dari hasil persilangan yang dilakukan Tazima (1964) terhadap galur yang menghasilkan bobot kulit kokon berat dan ringan. Persilangan resiprokal menghasilkan bobot kulit kokon berbeda pada keturunan pertama dan kedua pada masing-masing kelamin. Pengaruh gen terpaut kelamin diindikasikan dengan bervariasinya tinggi dan lebar kurva bobot kulit kokon pada kedua jenis kelamin keturunannya. Penyebabnya adalah adanya gen utama yang mengontrol sifat-sifat dewasa terpaut pada kromosom Z yang mempengaruhi ekspresi karakter kuantitatif dan aksinya dimodifikasi oleh gen autosomal (Tazima, 1964). Salah satu faktor yang mengakibatkan pewarisan maternal ialah keberadaan mitokondria pada sel telur. Mitokondria memiliki perangkat genetik sendiri yaitu 10

23 DNA mitokondria atau sering disingkat mtdna. Mt DNA ini mempunyai karakteristik yang khas dan diwariskan secara maternal atau pola pewarisannya hanya melalui garis ibu. Hal ini disebabkan karena sel telur memiliki jumlah mitokondria yang lebih banyak dibandingkan sel sperma. Mitokondria dalam sel sperma banyak terkandung di bagian ekor karena bagian ini sangat aktif bergerak sehingga membutuhkan banyak sekali ATP. Pada saat terjadi pembuahan sel telur, bagian ekor sperma dilepaskan sehingga hanya sedikit atau hampir tidak ada mtdna yang masuk ke dalam sel telur. Selain itu, dalam proses pertumbuhan sel jumlah mtdna secara paternal semakin berkurang. Oleh karena itu dapat dianggap tidak terjadi rekombinasi sehingga dapat dikatakan bahwa mtdna bersifat haploid, dan diturunkan dari ibu ke seluruh keturunannya (Wallace et al., 1996). Kualitas Kokon Kualitas kokon ditentukan oleh keturunan dari jenis ulat sutera dan keadaan luar seperti keadaan selama pemeliharaan, pengokonan dan lain-lain. Syarat kokon yang baik adalah sehat (tidak cacat), bersih (putih bersih, kuning bersih, atau warnawarna lainnya), bagian dalam (pupa) tidak rusak atau hancur, bagian kulit kokon (lapisan serat-serat suteranya) keras dan jika ditekan sedikit berat (Samsijah dan Andadari, 1992). Persyaratan mutu kokon segar berasarkan uji visual meliputi bobot kokon, rasio kulit kokon dan kokon normal (Dirjen RLPS, 2002). Bobot kokon adalah bobot kokon secara keseluruhan berikut isinya. Kokon yang berisi pupa betina biasanya lebih besar daripada kokon berisi pupa jantan. Pada umumnya bobot kokon adalah 1,5-1,8 g untuk galur murni dan 2,0-2,5 g untuk galur hibrid (Atmosoedarjo et al., 2000). Hasil produksi kokon per boks dianggap baik jika mencapai target, yaitu 30 kg kokon segar (Andadari et al., 1998) Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), bobot kulit kokon adalah bobot kokon tanpa pupa. Semakin berat kulit kokon maka semakin besar kandungan suteranya. Hal ini bervariasi sesuai dengan varietas ulat dan kondisi pemeliharaan serta pengokonan. Pada umumnya bobot kulit kokon antara 0,3-0,4 g untuk galur murni dan ,55 g untuk hibrid. Menurut Krishnaswami (1973), besarnya persentase kokon tanpa pupa tergantung dari jenis bibit. Selain itu, kondisi lingkungan seperti keadaan selama pemeliharaan, keadaan selama ulat membuat kokon maupun kualitas dan kuantitas daun murbei sangat mempengaruhi mutu kokon (Katsumata, 1975). 11

24 Persentase kulit kokon adalah salah satu tolak ukur untuk penentuan harga jual kokon. Sampai saat ini yang dianggap grade tertinggi (tingkatan kualitas kokon) adalah persentase kulit kokon sebesar 22%-25% (Kim, 1989). Besarnya nilai persentase kulit kokon sangat ditentukan oleh berat kokon dan berat kulit kokon. Persentase kulit kokon tersebut dapat menggambarkan persentase serat kasar yang dapat diperoleh dari hasil panen (Andadari et al., 1998). Berdasarkan hasil penelitian Andadari et al. (1998), persentase kulit kokon tidak dipengaruhi kombinasi pakan. Kokon cacat harus dipisahkan dari kokon normal karena merupakan kokon yang berkualitas rendah. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), yang termasuk kokon cacat misalnya, kokon yang rangkap, kokon berlubang, kokon berbentuk aneh, kokon berbulu, kokon kulit berlapis, kokon berlekuk, kokon berujung tipis, kokon tergencet, dan bentuk kokon yang abnormal. Menurut SNI syarat dan penggolongan kualitas kokon secara visual disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Persyaratan Klasifikasi Mutu Kokon Ulat Sutera Kualitas Parameter yang diuji A B C D Bobot kokon (g/butir) 2,0 1,7-1,9 1,3-1,6 < 1,3 Persentase kulit kokon (%) 23,0 20,0-22,9 17,0-19,9 < 17,0 Kokon cacat (%) 2,0 2,0-5,0 5,1-8,0 8,0 Sumber : SNI (2002) Berdasarkan SNI tersebut, kelas mutu kokon segar dibagi menjadi empat kelas, yaitu kelas A, B, C, dan D dengan tiga parameter uji, yaitu bobot kokon, rasio kulit kokon dan persentase kokon cacat. Di Indonesia, parameter penilaian kualitas kokon dapat diuji secara visual dan uji laboratorium. Parameter uji visual yang diuji adalah presentase kokon cacat, berat kokon per butir, dan persentase kulit kokon. Sedangkan parameter uji laboratorium adalah daya gulung, panjang serat, dan rendemen serat. Penentuan mutu kokon ke dalam kelas mutu dilakukan dengan mengkombinasikan hasil pengujian visual dan uji laboratorium. 12

25 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai dari Maret sampai dengan April Materi Ulat Sutera Ulat sutera yang digunakan dalam penelitian ini adalah ulat sutera (Bombyx mori L.) hasil persilangan ulat sutera ras Jepang dan ras Cina, dengan kode 808, 108, 903, 806, (kode angka pertama merupakan tempat asal dan angka ketiga merupakan urutan jenis ulat) dan bibit komersial C301 serta BS09 sebagai kontrol. Telur hasil persilangan ulat sutera dan bibit komersial BS09 diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitas, Divisi Persuteraan Alam. Telur bibit komersial C301 diperoleh dari Pusat Pembibitan Ulat Sutera Candiroto, Jawa Tengah. Jumlah ulat yang dipelihara yaitu 3600 ekor. Ulat sutera ras Cina dengan kode 808 merupakan bibit murni yang didapatkan dari Brazil dengan kode awal SO dan sudah memasuki generasi ke-20, sedangkan ulat sutera dengan kode 806 merupakan ulat sutera ras Cina yang juga didapatkan dari Brazil dengan kode awal ME dan juga telah memasuki generasi ke-20. Ulat sutera ras Jepang dengan kode 108 merupakan bibit murni yang didapatkan dari Jepang dengan kode awal BN7 dan telah memasuki generasi ke-32, sedangkan ulat dengan kode 903 merupakan ulat sutera ras Jepang yang didapatkan dari PPUS Candiroto dan telah memasuki generasi ke-28. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah desinfektan yang terbuat dari campuran kaporit dan kapur dengan perbandingan 5:95 dan 10:90, kapur, formalin dan PK untuk bahan fumigasi, cairan karbol sebagai sanitizer, serta daun murbei (M. chatayana) sebagai pakan ulat.

26 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kotak penetasan (terbuat dari plastik), sasag (kotak pemeliharaan ulat kecil terbuat dari besi), tudung saji (tempat pemeliharaan ulat besar), stand untuk sasag, keranjang daun, tempat pengokonan (seriframe), ember, baskom plastik, koran untuk alas, kain untuk membungkus daun, kertas parafin, sandal, sapu, sikat, lap tangan, pinset, termohigrometer, timbangan digital, dan camera digital. Seluruh peralatan tersebut sebelum digunakan, disucihamakan terlebih dahulu dengan larutan kaporit (terkecuali camera digital, timbangan digital, dan termohigrometer) kemudian dijemur pada panas matahari. Konsentrasi larutan kaporit yang digunakan 0,5% (5 g kaporit dimasukkan dalam satu liter air), kemudian disemprotkan ke seluruh peralatan sekitar 2-3 hari sebelum peralatan digunakan. Prosedur Persiapan Ruangan Pemeliharaan Ruang pemeliharaan merupakan ruangan dengan jendela dan ventilasi yang cukup. Suhu ruangan berkisar antara o C dengan kelembaban berkisar 63%- 71%. Ventilasi udara ruangan berjalan baik, cukup terang, dan tidak terkena sinar matahari secara langsung. Ruang pemeliharaan sebelum digunakan, dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran dan debu serta disucihamakan dengan larutan kaporit atau formalin dengan konsentrasi 0,5%. Seluruh ruangan disemprot dengan larutan kaporit tersebut sebanyak 1-2 liter larutan per meter persegi luas ruangan. Penyemprotan dilakukan sekitar 5 hari sebelum ruangan digunakan. Fumigasi dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu 7 hari dan 2 hari sebelum pemeliharaan. Perlakuan HCl pada Telur Ulat Sutera Telur yang telah dikeluarkan dari cold storage, dicuci menggunakan larutan formalin 2%, kemudian dikeringanginkan. Setelah itu, dilakukan perlakuan HCl, HCl yang digunakan yaitu sebanyak 100 ml dengan nilai berat jenis 1,1. Telur direndam selama kurang lebih satu jam, kemudian dikeringanginkan, setelah kering telur disimpan di dalam incubator dengan suhu 25 o C. 14

27 Penetasan dan Pemindahan Ulat Telur dikeluarkan dari kotak telur, lalu disebarkan secara merata pada kotak penetasan dan ditutup dengan kertas tipis. Kotak penetasan disimpan pada tempat yang teduh dan dihindarkan dari sinar matahari langsung. Suhu penyimpanan konstan, sekitar o C dengan kelembaban 75-85%. Kotak penetasan dipindahkan ke tempat gelap sekitar 2-3 hari sebelum menetas dan terlihat titik biru pada telur. Setelah hampir seluruh telur menetas, tutup kotak dibuka dan ruangan diberi penerangan dengan lampu secukupnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menyeragamkan waktu penetasan telur. Setelah semua telur menetas, ulat dipindahkan ke sasag (kotak pemeliharaan) dengan kertas paraffin sebagai alasnya. Pemindahan ulat sutera yang baru menetas ke kotak pemeliharaan dilakukan pada pagi hari, yaitu pukul WIB. Setelah alas sasag dilapisi kertas, tutup kotak penetasan dibuka, lalu diletakkan di atas sasag sehingga secara pelan-pelan ulat menyebar pada sasag. Selanjutnya dilakukan desinfeksi tubuh ulat dengan menaburkan campuran kaporit dan kapur halus ke tubuh ulat secara merata. Campuran serbuk tersebut terdiri dari 5% kaporit dan 95% kapur. Sekitar 30 menit kemudian, ulat diberi makan berupa daun murbei yang lunak (masih muda) yang dipotong-potong dengan cara dicacah. kemudian sasag ditutup dengan kertas paraffin atau kertas minyak. Penutup ini dibuka kembali saat pemberian pakan selanjutnya. Pemberian Pakan Pemberian pakan untuk ulat kecil yaitu daun murbei (M. chatayana) yang dipotong kecil-kecil untuk instar I; 1,5-2,0 cm untuk instar II dan 3,0-5,0 cm untuk instar III, dan diberikan sebanyak tiga kali dalam sehari yaitu pada pagi, siang dan sore. Daun murbei yang diberikan untuk ulat besar dapat diberikan dalam bentuk utuh. Pemberian pakan untuk instar VI diberikan sebanyak 3 kali, namun untuk instar V diberikan sebanyak empat kali sehari, yaitu pada pagi, siang, sore, dan malam hari. Sekitar satu jam sebelum diberi makan, kertas penutup tempat pemeliharaan harus dibuka agar daun yang diberikan sebelumnya cepat mengering. Selanjutnya makanan yang baru diberikan secara merata sesuai dengan kebutuhan, Setelah pemberian pakan selesai, kotak ditutup kembali dengan kertas penutup. Namun, pada instar IV dan V ulat sudah tidak memakai kertas penutup lagi. Acuan pemberian 15

28 pakan yang digunakan adalah menurut Atmosoedarjo et al. (2000), jumlah pakan pada instar I yaitu 0,5 kg, instar II 1,85 kg, instar III 4,68 kg, instar IV 43,2 kg, dan instar V 136,08 kg. Jumlah pemberian pakan pada saat penelitian terlampir pada Lampiran 5. Perlakuan Saat Pergantian Kulit Pada setiap instar ulat akan mengalami tidur dan berganti kulit, hal ini terjadi pada setiap akhir fase instar. Ketika sebagian besar (± 90%) ulat sudah tidur, pemberian pakan dihentikan dan ulat ditaburi kapur. Ulat yang telah berganti kulit didesinfeksi dengan menggunakan serbuk campuran kaporit dan kapur kemudian ulat diberi makan. Pembersihan Sasag dan Pencegahan Hama/ Penyakit Pada instar I tempat pemeliharaan dibersihkan satu kali, yaitu menjelang ulat akan tidur. Pada instar II pembersihan tempat dilakukan dua kali, yaitu setelah dua kali pemberian pakan pertama (sehabis pergantian kulit) dan menjelang tidur berikutnya. Pada instar III pembersihan dilakukan tiga kali, yaitu setelah dua kali pemberian pakan pertama (sehabis ganti kulit kedua), pada pertengahan instar III (hari ke-2) dan menjelang ulat tidur berikutnya. Untuk mencegah serangan hama seperi tikus, cicak, semut, dan serangga lainnya, penempatan rak sasag tidak menempel atau terlalu dekat dengan dinding ruangan, kaki rak sasag dimasukkan ke dalam suatu wadah yang berisi campuran air dan cairan karbol. Untuk mencegah penyakit, sebelum diberi makan, ulat-ulat kecil ditaburi desinfektan pada awal instar atau saat ulat bangun dari tidurnya. Pengokonan Pembentukan kokon berlangsung sekitar empat hari. Biasanya ulat mulai memproduksi kokon pada akhir instar V, yakni pada umur 22 hingga 25 atau 26 hari. Alat pengokonan yang digunakan adalah seriframe. Seriframe ditempatkan di atas sasag dan dialasi koran. Ulat-ulat yang telah matang diambil satu per satu dari boks dan ditempatkan ke tempat pengokonan yang telah disiapkan. Ulat yang sakit, mati atau tidak memproduksi kokon diambil dan dibuang atau dibakar bersama-sama kotoran. 16

29 Setelah sekitar 6-7 hari sejak ulat sutera masak dan dipindahkan di tempat pengokonan, kokon sudah dapat dipanen. Cara pemanenan dilakukan dengan mengambil kokon-kokon tersebut dari tempat pengokonan dengan hati-hati dan dikumpulkan pada wadah sambil dibersihkan dari kotoran yang menempel. Pada saat panen itu sekaligus dilakukan seleksi antara kokon-kokon yang baik, yang kembar dan cacat, kemudian dikumpulkan dalam wadah yang berbeda sesuai dengan perlakuannya. Pengambilan Sampel Jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 30 buah kokon dari setiap ulangan, yang terdiri dari 15 buah kokon dengan pupa berjenis kelamin jantan dan 15 buah kokon dengan pupa berjenis kelamin betina. Sampel diambil secara acak untuk mewakili kualitas kokon dari setiap perlakuan. Setelah sampel diambil, kemudian dilakukan penilaian kualitas kokon yang meliputi bobot kokon keseluruhan dan persentase kulit kokon. Sedangkan data jumlah kokon normal, dan rendemen pemeliharaan diambil dari jumlah kokon di setiap ulangan. Rancangan Percobaan Perlakuan Perlakuan terdiri atas hasil persilangan antara ulat sutera ras Jepang dengan ras Cina (kode 808, 108, 903, dan 806) secara resiprokal dan bibit komersial BS09 dan C301 sebagai pembanding. Penelitian ini terdiri atas enam taraf perlakuan dengan tiga ulangan. Perlakuan tersebut yaitu: P1 : ras Jepang 108 betina disilangkan dengan ras Cina jantan 808 P2 : ras Cina betina 808 disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 P3 : ras Cina betina 806 disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 P4 : ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806 P5 : bibit ulat sutera komersial BS09 P6 : bibit ulat sutera komersial C301 Model Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap, model rancangan menurut Matjik dan Sumertajaya (2006) adalah sebagai berikut : 17

30 Y ij = µ + τ i + ε ij Keterangan : Y ij = Nilai pengamatan persilangan ke-i dan ulangan ke-j µ = Rataan umum pengamatan persilangan τ i = Pengaruh persilangan pada taraf ke-i (i = P1, P2, P3, P4, P5) ε ij = Pengaruh galat percobaan persilangan ke-i pada ulangan ke-j Uji lanjut yang digunakan bila hasil analisis ragam berbeda nyata yaitu uji Tukey. Peubah yang Diamati Peubah yang akan diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Rendemen pemeliharaan, didapatkan dengan cara membandingkan antara jumlah ulat yang mengokon dengan jumlah ulat keseluruhan, kemudian dikalikan dengan 100% (Nurhaedah et al., 2006). jumlah ulat yang mengokon %RP= jumlah ulat keseluruhan x 100% 2. Persentase kokon normal, didapatkan dengan cara membandingkan jumlah kokon normal dengan jumlah kokon keseluruhan kemudian dikalikan dengan 100% (Nurhaedah et al., 2006). jumlah kokon normal % KN= jumlah kokon keseluruhan x 100% 3. persentase kulit kokon, merupakan perbandingan antara bobot kulit kokon dan bobot kokon utuh kemudian dikalikan dengan 100% (Nurhaedah et al., 2006).. bobot kulit kokon % KN bobot kokon keseluruhan x 100% 4. Bobot kokon, merupakan bobot kokon rata-rata dari 30 butir sampel, dalam satuan gram (Nurhaedah et al., 2006). 18

31 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari persilangan resiprokal terhadap kualitas kokon yaitu bobot kokon (P<0,05), namun tidak berbeda pada persentase kulit kokon, rendemen pemeliharaan, dan persentase kokon normal (Tabel 2). Tabel 2. Kualitas Kokon Hasil Silangan Ulat Sutera Ras Cina dengan Ras Jepang serta Bibit Komersial Sifat yang Perlakuan Diamati P1 P2 P3 P4 P5 P6 Bobot Kokon (g) 1,7±0,22 a 1,6±0,24 b 1,8± 0,26 a 1,8±0,29 a 1,8±0,23 a 1,5±0,21 c Kulit Kokon (%) 21,8±2,99 20,9±2,57 21,1±2,52 21,1±227 21,8±2,63 19,7±2,80 Rendemen (%) 77,7±28,20 90,6±5,94 96,8±2,80 96,0±5,04 98,0±3,42 96,0±2,60 Kokon Normal (%) 72,3±15,93 796±3,48 87,2±0,51 86,9±6,67 79,8±1,45 87,9±2,04 Keterangan: Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%. P1: ras Jepang 108 betina disilangkan dengan ras Cina jantan 808, P2: ras Cina betina 808 disilangkan dengan ras Jepang jantan 108, P3: ras Cina betina 806 disilangkan dengan ras Jepang jantan 903, P4: ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806, P5: bibit ulat sutera komersial BS09, P6: bibit ulat sutera komersial C301. Bobot Kokon Bobot kokon merupakan salah satu parameter penting yang harus diketahui pada setiap hasil pemeliharaan ulat sutera. Bobot kokon mempunyai korelasi positif dengan hasil kokon per boksnya (Reddy, 1986). Berdasarkan data yang telah diperoleh, terdapat perbedaan yang nyata pada bobot kokon antara persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) dan ras Cina betina 808 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 (P2), yang berarti adanya pengaruh dari persilangan resiprokal. Persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) cenderung memiliki rataan bobot kokon yang lebih tinggi dibanding resiprokalnya, yaitu 1,7 g. Berdasarkan hal tersebut dapat diduga bahwa terdapat pengaruh maternal (sitoplasmic effect) dalam persilangan tersebut. Pewarisan maternal ada apabila faktor yang menentukan sifat keturunan terdapat diluar inti nukleus dan pemindahan faktor itu hanya berlangsung melalui sitoplasma. Pengaruh maternal terdapat apabila genotipe diwariskan dari induk betina menentukan fenotipe dari keturunan. Dengan demikian, pengaruh maternal berasal dari sitoplasma sel telur yang telah dimodifikasi oleh gen-gen yang

32 dipindahkan secara kromosomal (Suryo, 1995). Salah satu faktor yang mengakibatkan pewarisan maternal ialah keberadaan mitokondria pada sel telur. Mitokondria memiliki perangkat genetik sendiri yaitu DNA mitokondria atau sering disingkat mtdna. MtDNA ini mempunyai karakteristik yang khas dan diwariskan secara maternal atau pola pewarisannya hanya melalui garis ibu. Hal ini disebabkan karena sel telur memiliki jumlah mitokondria yang lebih banyak dibandingkan sel sperma. Mitokondria dalam sel sperma banyak terkandung di bagian ekor karena bagian ini sangat aktif bergerak sehingga membutuhkan banyak sekali ATP (Adenosin Tri Phosphat). Pada saat terjadi pembuahan sel telur, bagian ekor sperma dilepaskan sehingga hanya sedikit atau hampir tidak ada mtdna yang masuk ke dalam sel telur. Selain itu, dalam proses pertumbuhan sel jumlah mtdna secara paternal semakin berkurang. Oleh karena itu dapat dianggap tidak terjadi rekombinasi sehingga dapat dikatakan bahwa mtdna bersifat haploid, diturunkan dari ibu ke seluruh keturunannya (Wallace et al., 1996). Kasip (2001) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada bobot kokon hasil persilangan resiprokal, yang dilakukan pada ulat sutera ras Tropika dengan ras Jepang (108). Berbeda dengan hasil persilangan resiprokal sebelumnya, hasil silangan resiprokal lainnya yaitu ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3) dan ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4) menunujukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Bobot kokon kedua persilangan tersebut, tidak dipengaruhi oleh adanya persilangan resiprokal yang berarti tidak ada pengaruh maternal. Jenis persilangan ini memiliki bobot kokon yang paling tinggi dibandingkan dengan semua persilangan yang ada. Bobot kokon ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3) dan ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4) masing-masing bernilai 1,82 g dan 1,80 g. Hasil yang tidak nyata ini diduga karena tetua yang digunakan pada persilangan ras Cina betina 806 dengan ras Jepang jantan 903 (P3) dan persilangan ras Jepang betina 903 dengan ras Cina jantan 806 (P4) merupakan tetua yang memiliki umur generasi lebih pendek dibandingkan dengan tetua dari persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) dan persilangan ras Cina betina 808 dengan ras Jepang jantan 108 (P2). Tetua dari pasangan resiprokal pertama (P1 20

33 dan P2) yaitu 108 dan 808 masing-masing telah mencapai umur generasi ke-32 dan ke-20, sedangkan tetua dari pasangan resiprokal kedua (P3 dan P4) yaitu 806 dan 903 masing-masing telah mencapai umur generasi ke-20 dan ke-28. Dengan demikian, diduga bahwa tetua dari persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) dan persilangan ras Cina betina 808 dengan ras Jepang jantan 108 (P2) memiliki tingkat kemurnian yang lebih tinggi dibandingkan tetua dari persilangan ras Cina betina 806 dengan ras Jepang jantan 903 (P3) dan persilangan ras Jepang betina 903 dengan ras Cina jantan 806 (P4) sehingga akan menghasilkan efek heterosis yang lebih nyata jika disilangkan dengan ras yang berbeda. Nilai bobot kokon pada persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1), ras Cina betina 808 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 (P2), ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3), dan ras Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4) memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan bibit komersial C301 (P6) yaitu bibit komersial asal Candiroto pada nilai bobot kokon. Nilai bobot kokon dari hasil silangan P1, P2, P3, dan P4 berturut-turut adalah 1,7 g; 1,6 g; 1,8 g; dan 1,8 g. Sedangkan persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) dapat menghasilkan bobot kokon yang sama baiknya dengan BS09 (P5) yaitu bibit komersial asal Bogor. Bibit komersial C301 (P6) memiliki bobot kokon 1,5 g, sedangkan bibit komersial BS09 (P5) memiliki bobot kokon sebesar 1,8 g. Nilai bobot kokon secara lengkap dapat disajikan pada Gambar 3. Bibit komersial BS09 memiliki salah satu tetua yang sama dengan persilangan P1, yaitu ras Cina 808 sehingga hasil silangan tidak berbeda dengan P1 yang merupakan persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808. Namun, berat kokon dari semua silangan ini masih di bawah standar kokon komersial, yaitu 2,0-2,5 g (Atmosoedarjo et al., 2000). Berdasarkan kualitas kokon yang ditetapkan oleh SNI , hasil silangan P1, P3, P4 dan P5 termasuk ke dalam kokon kelas B karena memiliki bobot kokon dengan kisaran 1,7-1,9 g. Sedangkan P2 dan P6 termasuk dalam kokon kelas C karena memiliki bobot kokon dalam kisaran 1,3-1,6 g. 21

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.) TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ulat sutera merupakan serangga yang termasuk ke dalam Ordo Lepidoptera, yang mencakup semua jenis kupu dan ngengat. Ulat sutera adalah serangga holometabola,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Ulat sutera adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi keempat stadia, yaitu telur, larva atau lazim

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Devisi Persuteraan Alam Ciomas. Waktu penelitian dimulai dari Juni

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei 10 Persentase Filamen Persentase filamen rata-rata paling besar dihasilkan oleh ulat besar yang diberi pakan M. cathayana sedangkan yang terkecil dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan M. alba var. kanva-2.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) HIBRID BARU DAN JENIS KOMERSIAL

PERTUMBUHAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) HIBRID BARU DAN JENIS KOMERSIAL PERTUMBUHAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) HIBRID BARU DAN JENIS KOMERSIAL SKRIPSI NUR INDAWATI HIDAYAH DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Filamen Sutera Beberapa atribut yang berperan pada penentuan kualitas filamen sutera diantaranya panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase bobot filamen, dan

Lebih terperinci

Kajian Pengaruh Bobot Kokon Induk Terhadap Kualitas Telur Persilangan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ras Jepang Dengan Ras Cina

Kajian Pengaruh Bobot Kokon Induk Terhadap Kualitas Telur Persilangan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ras Jepang Dengan Ras Cina Jurnal Peternakan Indonesia, 11(2):173-180, 2006 ISSN: 1907-1760 173 Kajian Pengaruh Bobot Kokon Induk Terhadap Kualitas Telur Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ras Jepang Dengan Ras Cina Y. C. Endrawati 1),

Lebih terperinci

Oleh : Lincah Andadari

Oleh : Lincah Andadari POTENSI HIBRID ULAT SUTERA HARAPAN DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI SUTERA. Oleh : Lincah Andadari Kementerian Kehutanan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Dan Pengembangan

Lebih terperinci

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT TIM SUTERA BALITBANGHUT PERSUTERAAN ALAM MORIKULTUR SERIKULTUR 1 FAKTOR KEBERHASILAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Floss Floss merupakan bagian kokon yang berfungsi sebagai penyangga atau kerangka kokon. Pada saat akan mengokon, ulat sutera akan mencari tempat lalu menetap di tempat tersebut

Lebih terperinci

Lincah Andadari 1 dan Sri Sunarti 2

Lincah Andadari 1 dan Sri Sunarti 2 KUALITAS KOKON HASIL PERSILANGAN ANTARA ULAT SUTERA (Bombyx mory L.) RAS CINA DAN RAS JEPANG Quality of crossedbreed cocoon between Japanese and Chinese races silkworm (Bombyx mory L.) Lincah Andadari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Attacus atlas Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna (Chapman, 1969). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut: Kelas

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor mulai bulan Oktober sampai dengan Nopember 2011. Tahapan meliputi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan

Lebih terperinci

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN 2086-6755 http://ojs.unm.ac.id/index.php/sainsmat Pemberian Jenis Murbei Morus multicaulis dan Morus cathayana Terhadap Produksi Kokon Ulat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi pemeliharaan larva, pengokonan, dan pengamatan kokon adalah Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Kompleks Kandang Blok C. Lokasi

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L) BS-09 SOPPENG DAN CANDIROTO DENGAN JENIS DAUN MURBEI BERBEDA YUNINDA ESTETIKA

PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L) BS-09 SOPPENG DAN CANDIROTO DENGAN JENIS DAUN MURBEI BERBEDA YUNINDA ESTETIKA PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L) BS-09 SOPPENG DAN CANDIROTO DENGAN JENIS DAUN MURBEI BERBEDA YUNINDA ESTETIKA DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Peluang Investasi Sutra Alam

Peluang Investasi Sutra Alam Halaman 1 Peluang Investasi Sutra Alam a. Mengenal Kupu Sutra 1. Biologis Kupu Sutra Sebelum membahas tentang teknik beternak ulat sutra, kiranya perlu pula kita ketahui lebih dulu tentang sifat sifat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ulat sutera merupakan poikilotermis yaitu hewan berdarah dingin yang hidupnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Suhu dan kelembaban pemeliharaan ulat berkisar

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Blok C Laboratorium Lapang Bagian Produksi Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat,

BAB I. PENDAHULUAN. yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat, BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persuteraan alam merupakan kegiatan yang menghasilkan komoditi yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat, tidak memerlukan tempat luas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.

Lebih terperinci

PENGENDALIAN HAMA dan PENYAKIT ULAT SUTERA I. PENDAHULUAN

PENGENDALIAN HAMA dan PENYAKIT ULAT SUTERA I. PENDAHULUAN PENGENDALIAN HAMA dan PENYAKIT ULAT SUTERA I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Penyakit merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas produksi kokon. Kerusakan yang disebabkan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN MURBEI HIBRID TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS KOKON

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN MURBEI HIBRID TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS KOKON PENGARUH PEMBERIAN PAKAN MURBEI HIBRID TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS KOKON The Effect of Feeding of Mulberry Hybrid on the Productivity and the Quality of Cocoon of Silkworm Sugeng Pudjiono 1 ) dan

Lebih terperinci

Penyiapan Mesin Tetas

Penyiapan Mesin Tetas Dian Maharso Yuwono Pemeliharaan unggas secara intensif memerlukan bibit dalam jumlah yang relatif banyak, sehingga penetasan dengan mesin semakin diperlukan. Penetasan telur unggas (ayam, itik, puyuh,

Lebih terperinci

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM TIM SUTERA BALITBANGHUT KEBUTUHAN SUTERA ALAM NASIONAL BENANG SUTERA 900 TON/THN RENDEMEN 1:8 KOKON 7.200 TON/THN KONDISI 2012 PRODUKSI KOKON 163.119 TON PRODUKSI BENANG

Lebih terperinci

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur.

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur. 23 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Pengamatan terhadap sifat rontok bulu dan produksi telur dilakukan sejak itik memasuki periode bertelur, yaitu pada bulan Januari 2011 sampai Januari 2012.

Lebih terperinci

KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA

KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA ULAT SUTERA UNGGULAN LITBANG TIM SUTERA PUSPROHUT BALITBANGHUT KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA Penggunaan salah satu bibit untuk kondisi pemeliharaan yang beragam (C301), BS09 jarang produksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Attacus atlas (L.) Klasifikasi Attacus atlas (L.) menurut Peigler (1980) adalah Filum Klasis Ordo Subordo Superfamili Famili Subfamily Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pendahuluan Perkembangan industri peternakan yang semakin pesat menuntut teknologi yang baik dan menunjang. Salah satu industri peternakan yang paling berkembang adalah industri

Lebih terperinci

ASPEK BIOLOGIS ULATSUTERA (Bombyx mori L.) DARI DUA SUMBER BIBIT DI SULAWESI SELATAN

ASPEK BIOLOGIS ULATSUTERA (Bombyx mori L.) DARI DUA SUMBER BIBIT DI SULAWESI SELATAN 10 ASPEK BIOLOGIS ULATSUTERA (Bombyx mori L.) DARI DUA SUMBER BIBIT DI SULAWESI SELATAN Biological Aspect of Silkworm (Bombyx Mori L.) from Two Seeds Resources in South Sulawesi Sitti Nuraeni dan Beta

Lebih terperinci

TATALAKSANA PENETASAN TELUR ITIK

TATALAKSANA PENETASAN TELUR ITIK TATALAKSANA PENETASAN TELUR ITIK SUGENG WIDODO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, BOGOR 16002 RINGKASAN Dengan melaksanakan tatalaksana penetasan telur itik secara baik akan didapatkan hasil yang maksimal.

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SKRIPSI RETNO PURWANTI

RESPON PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SKRIPSI RETNO PURWANTI RESPON PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SKRIPSI RETNO PURWANTI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran-Ukuran Kulit Kokon C. trifenestrata Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman berbagai ukuran kokon panjang kokon, lingkar bagian medial kokon, lingkar ¼ bagian posterior

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

PERSUTERAAN ALAM SIFAT SIFAT UMUM TANAMAN MURBEI. Koleksi 32 jenis murbei KHDT Dramaga

PERSUTERAAN ALAM SIFAT SIFAT UMUM TANAMAN MURBEI. Koleksi 32 jenis murbei KHDT Dramaga PEMELIHARAAN ULAT SUTERA PERSUTERAAN ALAM TIM SUTERA BALITBANG LINGKUNGAN DAN KEHUTANAN MORIKULTUR SERIKULTUR Koleksi 32 jenis murbei KHDT Dramaga 8/21/2015 KEUNGGULAN BADAN LITBANG KEHUTANAN HIBRID SULI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012. I 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Peternakan puyuh di Indonesia saat ini cukup berkembang, hal ini karena semakin banyaknya usaha peternakan puyuh baik sebagai usaha sampingan maupun usaha utama untuk memenuhi

Lebih terperinci

DASAR PEMELIHARAAN ULAT SUTERA

DASAR PEMELIHARAAN ULAT SUTERA DASAR PEMELIHARAAN ULAT SUTERA Persiapan Pemeliharaan 1. Sebelurn dilakukan pemeliharaan, terlebih dahulu harus diperhatikan halhal berikut:. Ruangan dan peralatan yang diperlukan harus sudah dipersiapkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan bergizi tinggi sebagai sumber protein nabati dengan harga terjangkau. Di Indonesia, kedelai banyak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Persuteraan Alam Budi daya ulat sutera jenis Bombyx mori (Lepidoptera, Bombycidae) sudah dikembangkan di negara China sejak 2500 tahun SM, yakni pada era Dinasti Han.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA.1 Kacang Panjang.1.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Panjang Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bangunan Penetasan Bangunan penetasan adalah suatu tempat yang dibangun dengan konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan penetasan harus terpisah.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ulat pemakan daun kelapa sawit yang terdiri dari ulat api, ulat kantung, ulat bulu merupakan hama yang paling sering menyerang kelapa sawit. Untuk beberapa daerah tertentu, ulat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kualitatif Karakter kualitatif yang diamati pada penelitian ini adalah warna petiol dan penampilan daun. Kedua karakter ini merupakan karakter yang secara kualitatif berbeda

Lebih terperinci

PERANAN LITBANG dan INOVASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori)

PERANAN LITBANG dan INOVASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori) PERANAN LITBANG dan INOVASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori) PERSUTERAAN ALAM MORIKULTUR SERIKULTUR Kebutuhan nasional benang sutera adalah 800 ton per tahun, sementara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia. Daerah utama penanaman kedelai

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ayam dan penampungan semen dilakukan di Kandang B, Laboratorium Lapang, Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga. Pendahuluan

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga. Pendahuluan Pendahuluan Pembenihan merupakan suatu tahap kegiatan dalam budidaya yang sangat menentukan kegiatan pemeliharaan selanjutnya dan bertujuan untuk menghasilkan benih. Benih yang dihasilkan dari proses pembenihan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat 16 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Botani Tanaman Kacang Panjang. Menurut Tim Karya Tani Mandiri (2011), susunan klasifikasi kacang panjang

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Botani Tanaman Kacang Panjang. Menurut Tim Karya Tani Mandiri (2011), susunan klasifikasi kacang panjang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Botani Tanaman Kacang Panjang Menurut Tim Karya Tani Mandiri (2011), susunan klasifikasi kacang panjang secara lengkap adalah sebagai berikut Divisi Kelas Sub kelas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. terutama India dan Birma. Terung dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian

II. TINJAUAN PUSTAKA. terutama India dan Birma. Terung dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terung Ungu 2.1.1 Klasifikasi Tanaman Terung Ungu Terung merupakan tanaman asli daerah tropis yang diduga berasal dari Asia, terutama India dan Birma. Terung dapat tumbuh dengan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Frekuensi dan Awal Pemberian Pakan terhadap

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Frekuensi dan Awal Pemberian Pakan terhadap 9 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang Pengaruh Frekuensi dan Awal Pemberian Pakan terhadap Efisiensi Penggunaan Protein pada Puyuh Betina (Cortunix cortunix japonica) dilaksanakan pada Oktober

Lebih terperinci

PELUANG USAHA PENGEMBANGBIAKAN BURUNG LOVE BIRD

PELUANG USAHA PENGEMBANGBIAKAN BURUNG LOVE BIRD PELUANG USAHA PENGEMBANGBIAKAN BURUNG LOVE BIRD Nama : Angga Rio Pratama Kelas : S1 TI 2C NIM : 10.11.3699 Lingkungan Bisnis STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2010/2011 Peluang Usaha Pengembangbiakan Love Bird (

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai pengaruh frekuensi dan periode pemberian pakan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai pengaruh frekuensi dan periode pemberian pakan 10 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian mengenai pengaruh frekuensi dan periode pemberian pakan terhadap potongan komersial karkas ayam buras super (persilangan ayam Bangkok dengan ayam ras petelur Lohman)

Lebih terperinci

Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost

Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost LAMPIRAN 67 Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost Instalasi program letulet membutuhkan seperangkat PC dengan speksifikasi minimal sebagai berikut : 1. Satu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

Perkembangbiakan Tanaman

Perkembangbiakan Tanaman SERI LEMBARAN FAKTA TENTANG Penyimpanan Benih & Perkembangbiakan Tanaman Dikembangkan oleh Yayasan IDEP Dengan dukungan dari the Seed Savers Network Apakah Anda ingin menanam tanaman yang lebih sehat sambil

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti 14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tujuh bulan mulai dari bulan Juli 2011 hingga Februari 2012, penelitian dilakukan di Insektarium Bagian Parasitologi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persiapan Kolam Pemijahan Kolam pemijahan dibuat terpisah dengan kolam penetasan dan perawatan larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga mudah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Jagung (Zea Mays L.) Jagung (Zea mays L) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis rumputan/graminae yang mempunyai batang tunggal, meski terdapat kemungkinan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Pemuliaan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Pemuliaan 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Pemuliaan Tanaman Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro pada tanggal 27 Maret 2017-23 Mei

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat. Materi

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat. Materi METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Kandang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua BAB IV Hasil Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Selama Proses Habituasi dan Domestikasi Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh 4.1. Perubahan tingkah laku Selama proses

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Laboratorium Entomologi Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (BALITTAS) Karangploso,

BAB III METODE PENELITIAN. Laboratorium Entomologi Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (BALITTAS) Karangploso, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Agustus 2010, bertempat di Laboratorium Entomologi Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat

Lebih terperinci

Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan pemeliharaan panas

Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan pemeliharaan panas Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan 21 (3): 10-17 ISSN: 0852-3581 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan. 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika dan kolam percobaan pada Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Jl. Raya 2 Sukamandi,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ulat Kantong (Metisa plana) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ulat Kantong (M. plana) merupakan salah satu hama pada perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Hama ini biasanya memakan bagian atas daun, sehingga

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 hingga Februari 2012. Pemeliharaan dan penyembelihan ternak dilakukan di Laboratorium Lapang Blok B, Unit Unggas,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Rodalon

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Rodalon MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di kandang itik Balai Penelitian Ternak CiawiBogor. Peneltian dilakukan pada bulan Juni sampai dengan bulan Agustus 2011. Materi Ternak yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014.

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014. 3.2 Alat dan Bahan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Tabel 3. Komposisi Nutrisi Ransum Komersial.

MATERI DAN METODE. Tabel 3. Komposisi Nutrisi Ransum Komersial. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di CV. Mitra Mandiri Sejahtera Desa Babakan, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jarak lokasi kandang penelitian dari tempat pemukiman

Lebih terperinci

Gambar 1. Itik Alabio

Gambar 1. Itik Alabio TINJAUAN PUSTAKA Itik Alabio Itik Alabio merupakan salah satu itik lokal Indonesia. Itik Alabio adalah itik yang berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan. Habitatnya di daerah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Kasa Sentral Pengembangan

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Kasa Sentral Pengembangan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Kasa Sentral Pengembangan Pertanian (SPP) Fakultas Pertanian Universitas Riau, Laboratorium Hama Tumbuhan selama tiga

Lebih terperinci

METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

METODE. Lokasi dan Waktu. Materi METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2005 sampai dengan Januari 2006. Penanaman dan pemeliharaan bertempat di rumah kaca Laboratorium Lapang Agrostologi, Departemen Ilmu

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus BAB VII PEMBAHASAN UMUM 7. 1. Polyvoltin Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) adalah serangga polyvoltin yaitu dapat hidup lebih

Lebih terperinci

MURBEI UNGGULAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN OLEH : SUGENG PUDJIONO LINCAH ANDADARI

MURBEI UNGGULAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN OLEH : SUGENG PUDJIONO LINCAH ANDADARI MURBEI UNGGULAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN OLEH : SUGENG PUDJIONO LINCAH ANDADARI BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN YOGYAKARTA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

MURBEI UNGGULAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN MANFAAT PERSUTERAAN ALAM KPH

MURBEI UNGGULAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN MANFAAT PERSUTERAAN ALAM KPH MURBEI UNGGULAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN OLEH : SUGENG PUDJIONO LINCAH ANDADARI BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN YOGYAKARTA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Manjung, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kecamatan Sawit memiliki ketinggian tempat 150 m dpl. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bumirestu, Kecamatan Palas, Kabupaten

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bumirestu, Kecamatan Palas, Kabupaten 30 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bumirestu, Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan pada April--Mei 2015. B. Alat dan Bahan 1) Alat yang digunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemuliaan tanaman telah menghasilkan bibit unggul yang meningkatkan hasil pertanian secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan dihasilkan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2012. Pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, kedalaman kantung udara, ketebalan kerabang, berat kerabang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman pangan dari famili Leguminosae yang berumur pendek. Secara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Parasit Lalat S. inferens Towns. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda

Lebih terperinci

n J enis il h hon t f

n J enis il h hon t f t a p e C k i id S Pemilihan Jenis Pohon Hut a n R a k y a t IPTEK Inovatif 4 i H rid BS-08 dan BS-09 Bibit Ulat Sutera ( B ombyx mori L.) Berkualitas Sistem Paku Berpori (SIMPORI) untuk Inokulasi Gaharu

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE 10 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Rumah Kaca Instalasi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. Burung ini merupakan burung liar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

JENIS DAN KARAKTER JANGKRIK Jangkrik di Indonesia tercatat ada 123 jenis yang tersebar di pelosok daerah. Namun hanya dua jenis saja yang umum dibudid

JENIS DAN KARAKTER JANGKRIK Jangkrik di Indonesia tercatat ada 123 jenis yang tersebar di pelosok daerah. Namun hanya dua jenis saja yang umum dibudid RUANG LINGKUP BUDIDAYA PEMELIHARAAN JANGKRIK KALUNG KUNING A. UDJIANTO Balai Penelitian Ternak, Po Box 221, Ciawi Bogor RINGKASAN Komoditas jangkrik ini dapat memberikan tambahan penghasilan disamping

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama 1. Penggerek Batang Berkilat Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan (1998) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

Suhardi, S.Pt.,MP MONOHIBRID

Suhardi, S.Pt.,MP MONOHIBRID Suhardi, S.Pt.,MP MONOHIBRID TERMINOLOGI P individu tetua F1 keturunan pertama F2 keturunan kedua Gen D gen atau alel dominan Gen d gen atau alel resesif Alel bentuk alternatif suatu gen yang terdapat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian Pengaruh Perlakuan Bahan Pengisi Kemasan terhadap Mutu Fisik Buah Pepaya Varietas IPB 9 (Callina) Selama Transportasi dilakukan pada

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Galur Cabai Besar. Pembentukan Populasi F1, F1R, F2, BCP1 dan BCP2 (Hibridisasi / Persilangan Biparental) Analisis Data

BAHAN DAN METODE. Galur Cabai Besar. Pembentukan Populasi F1, F1R, F2, BCP1 dan BCP2 (Hibridisasi / Persilangan Biparental) Analisis Data 17 BAHAN DAN METODE Studi pewarisan ini terdiri dari dua penelitian yang menggunakan galur persilangan berbeda yaitu (1) studi pewarisan persilangan antara cabai besar dengan cabai rawit, (2) studi pewarisan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI DAN PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III METODOLOGI DAN PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III METODOLOGI DAN PELAKSANAAN PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Kartini,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi.

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. 3.2 Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam

Lebih terperinci