The Preferences of Business Agent in the Development of Natural Silk in South Sulawesi Province (A Case Study in Enrekang Regency) ABSTRACT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "The Preferences of Business Agent in the Development of Natural Silk in South Sulawesi Province (A Case Study in Enrekang Regency) ABSTRACT"

Transkripsi

1 PREFERENSI PELAKU USAHA DALAM PENGEMBANGAN PERSUTERAAN ALAM DI PROVINSI SULAWESI SELATAN (Studi Kasus di Kabupaten Enrekang) The Preferences of Business Agent in the Development of Natural Silk in South Sulawesi Province (A Case Study in Enrekang Regency) Ayi Firdaus Maturidy ABSTRACT The aim of the research is to identify the preference of business behavior in the development of natural silk and its suitability with the role done by stakeholder. The research was descriptive qualitative approach by using a case study method conducted in Enrekang Regency as the a development area of natural silk. The samples chosen were Matta Allo Village, Salludewata Village, Kalosi Village, and Buntubarana Village. The methods of collecting the data were sample selection methode, interview and documentation. The data were analyzed by using descriptive methods. The results reveal that the development of natural silk in Enrekang Regency is strongly supported by social aspects of community involving age, education and business development. The decrease of silkworm eggs and limitedness of capital facility are the main preferences of business agent. The preferences that have not been implemented are the revitalization of production unit of silkworm egg and the supply of cocoon dried. The role of stakeholders which is not directly related to preferences could support the success of appropriate role. The implementation of stakeholders role is not optimal because of the problems of process and the serries of activities which need long period and allocation limitedness compared to the need of the community. Technical aspect and the institution of bussiness agents need improving to improve business productivity. The implementation of stakeholders role also needs improving viewed from either quantity aspect or quality aspect. Keywords: preference, development, business agent, stakeholder, and suitability ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui preferensi pelaku usaha dalam pengembangan persuteraan alam dan kesesuaiannya dengan peran yang dilakukan oleh stakeholder. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian adalah deskriptif dengan menggunakan metode studi kasus. Penelitian ini dilakukan di 1

2 Kabupaten Enrekang sebagai daerah pengembangan persuteraan alam, dengan mengambil sampel secara sengaja di Desa Matta Allo, Desa Salludewata, Kelurahan Kalosi, dan Desa Buntubarana. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan pelaku usaha dan stakeholder. Data dianalisis dengan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan persuteraan alam di Kabupaten Enrekang sangat didukung aspek sosial masyarakat seperti umur, pendidikan dan pengalaman berusaha. Penurunan kualitas telur ulat sutera dan keterbatasan sarana modal produksi merupakan preferensi utama pelaku usaha. Peran stakeholder sebagian besar telah bersesuaian dengan preferensi pelaku usaha. Preferensi yang belum diimplementasikan adalah revitalisasi unit produksi telur ulat sutera dan pengadaan alat pengering kokon. Peran stakeholder yang tidak terkait langsung dengan preferensi dapat menunjang keberhasilan peran yang bersesuaian. Implementasi peran stakeholder belum optimal karena permasalahan proses dan rangkaian kegiatan yang memerlukan waktu yang panjang, serta keterbatasan alokasi jika dibandingkan dengan kebutuhan di masyarakat. Aspek teknis dan kelembagaan pelaku usaha perlu ditingkatkan untuk meningkatkan produktifitas usaha. Implementasi peran stakeholder perlu ditingkatkan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Kata kunci: preferensi, pengembangan, pelaku usaha, stakeholder, kesesuaian I. PENDAHULUAN Propinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah sasaran pengembangan persuteraan alam nasional. Sampai saat ini, Provinsi Sulawesi Selatan masih merupakan daerah penghasil sutera terbesar di Indonesia dan memberikan kontribusi sekitar 70% terhadap produksi benang nasional. Kegiatan usaha persuteraan alam di Provinsi Sulawesi Selatan sangat didukung oleh kondisi agroklimat dan juga sosial budaya masyarakat yang dekat dengan budaya sutera alam. Kegiatan budidaya sutera di Sulawesi Selatan dilakukan oleh masyarakat yang tersebar di beberapa kabupaten. Perkembangan usaha persuteraan alam di Provinsi Sulawesi Selatan dari tahun ketahun sangat fluktuatif dan cenderung mengalami penurunan. Penurunan produksi kokon dan benang dari tahun ke tahun mengindikasikan bahwa strategi pembinaan dan pengembangan persuteraan alam pada saat ini belum dapat memberikan pengaruh yang signifikan bagi peningkatan produksi kokon dan benang. Kondisi ini tentunya perlu mendapat perhatian serius untuk mengantisipasi kondisi yang tidak menguntungkan semua pihak yang terlibat sebagai pelaku kegiatan persuteraan alam, terutama untuk jangka panjang ke depan. II. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan September Desember 2010 di Kabupaten Enrekang Propinsi Sulawesi Selatan. 2

3 Data dan informasi digali melalui wawancara mendalam dengan informan yang ditentukan dengan sengaja. Jumlah informan dari pelaku usaha sebanyak 20 orang, dan informan dari stakeholder sebanyak 12 orang. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Potensi Persuteraan Alam Budidaya tanaman Murbei di Kabupaten Enrekang tersebar di 23 Desa pada 5 Kecamatan, yaitu Kecamatan Alla, Anggeraja, Curio, Malua dan Baraka. Jumlah petani yang terlibat dalam budidaya ulat sutera sebanyak kk. Potensi tanaman murbei sebagai pakan ulat sutera di Kabupaten Enrekang mencapai 716,5 ha dan lahan potensial yang dapat dikembangkan mencapai 89 ha. Jenis tanaman murbei yang ditanam bervariasi antara lain Morus multicaulis, M. Nigra, M. Cathayana, dan M. indica. Potensi industri usaha pemintalan terletak di Kecamatan Alla dan Kecamatan Curio, terutama di Desa Matta Allo dan Desa Buntu Barana. Usaha pemintalan benang sutera sebanyak 566 unit usaha dan dapat menyerap tenaga kerja sekitar orang, dengan kapasitas produksi 30 ton pertahun. 2. Karakteristik Pelaku Usaha Persuteraan Alam di Kabupaten Enrekang Dari aspek sosial, dilihat tiga indikator seperti umur, pendidikan dan pengalaman berusaha dibidang persuteraan alam. Tingkat umur pelaku usaha sudah cukup relatif matang yaitu rata-rata 50,7 tahun dengan tingkat pendidikan pelaku usaha yaitu 9,5 tahun. Pelaku usaha potensial mempunyai respon yang relatif baik terhadap penerimaan informasi dan pemanfaatan teknologi, baik teknologi produksi maupun teknologi pengolahan hasil. Pengalaman petani dalam berusaha tani pada daerah pengembangan telah mencapai 17,4 tahun. Pengalaman ini dapat dianggap cukup matang dan mampu meningkatkan keterampilan petani untuk mengelola usaha tani sutera alam. Dari aspek teknis luas rata-rata kebun murbei yang dikuasai oleh petani di Kabupaten Enrekang adalah 0,3 hektar dengan jarak tanam murbei di petani ulat rata-rata sekitar 30 x 20 cm. Hasil wawancara dikemukakan bahwa jarak tanam ini dibuat dengan tujuan untuk menekan pertumbuhan rumput karena tanah menjadi lembab dan tidak terkena sinar matahari. Jumlah telur yang dipelihara per periode antara 1 1,5 boks. Jika dibandingkan dengan luas rata-rata tanaman murbei, jumlah tersebut telah sesuai, karena kebutuhan pakan ulat untuk 1 boks telur ulat sutera rata-rata 0,25 ha. Pemeliharaan ulat sutera di petani rata-rata 6 periode per tahun, walaupun hasil wawancara memperlihatkan bahwa pemeliharaan dapat dilakukan sampai dengan 10 kali dalam satu tahun. Jumlah periode pemeliharaan ulat sutera di Kabupaten Enrekang sangat didukung oleh kondisi iklim. Dari aspek kelembagaan, pelaku usaha persuteraan alam di Kabupaten Enrekang, terutama petani ulat sutera dan pemintal, sebagian besar terhimpun dalam wadah kelompok tani dan atau koperasi. Keberadaan kelompok tani dan koperasi ini sebagian besar dibentuk karena adanya persyaratan dalam pembelian telur ulat sutera dan penerimaan bantuan. Pola kerja kelompok tani sutera alam adalah mengkoordinir pemesanan bahan baku, seperti telur ulat sutera dan kokon, serta pemasaran hasil produksi. Pengadaan bahan baku, telur bagi petani ulat dan kokon bagi pemintal, dilakukan oleh Ketua Kelompok Tani. Hasil kokon dan benang kemudian diserahkan kembali kepada Ketua Kelompok Tani untuk dijual. 3

4 3. Preferensi Pelaku Usaha Dalam Pengembangan Persuteraan Alam Di Kabupaten Enrekang Preferensi pelaku usaha persuteraan alam didasarkan pada permasalahan yang dihadapi. Hasil identifikasi memperlihatkan bahwa penurunan kualitas telur ulat sutera dan keterbatasan modal sarana produksi menjadi 2 (dua) masalah utama dalam pengembangan persuteraan alam di Kabupaten Enrekang. a. Penurunan Kualitas Telur Ulat Sutera Salah satu kunci keberhasilan pemeliharaan ulat sutera adalah tersedianya telur ulat sutera yang dapat menghasilkan ulat sutera yang berkualitas tinggi. Kualitas telur ulat sutera yang digunakan sangat tergantung pada kombinasi ras induk yang disilangkan, teknik pemeliharaan ulat, kualitas dan kuantitas daun murbei, pencegahan dan pengendalian penyakit dan proses produksi telur. Permasalahan penurunan kualitas telur ulat sutera dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kualitas genetik ulat sutera rendah, teknik pemeliharaan bibit induk yang tidak sesuai standar, serta sarana produksi yang kurang memadai. Tingkat mortalitas ulat sutera yang tinggi dan jumlah telur ulat sutera perboks yang tidak sesuai standar dapat mengakibatkan produksi kokon rendah. Penurunan Produksi Kokon Daya Tetas Telur Ulat Sutera F1 Rendah Mortalitas Ulat Sutera F1 Tinggi Penurunan Kualitas Telur Ulat Sutera F1 Kualitas Sumber Genetik Rendah Teknik Pemeliharaan Induk Tidak Sesuai Standar Teknis Sarana Produksi Tidak Sesuai Standar Gambar 12. Analisis Pohon Masalah Penurunan Kualitas Telur Ulat Sutera di Kabupaten Enrekang Jumlah telur ulat sutera per boks, sesuai dengan keterangan yang tertera dalam kemasan, adalah butir telur. Menurunnya jumlah telur ulat sutera per boks tentunya akan berdampak langsung pada menurunnya jumlah produksi kokon per boks. 4

5 Salah satu karakteristik telur ulat sutera yang berkualitas adalah tahan terhadap hama penyakit. Hama penyakit dapat terjadi pada proses produksi telur F1 maupun pemeliharaan ulat F1 di petani. Telur berwarna kuning mengindikasikan bahwa telur ulat sutera tersebut tidak dibuahi pada saat persilangan. Kondisi ini dapat diakibatkan oleh jangka waktu persilangan yang singkat atau temperatur pada saat persilangan terlalu tinggi. Persilangan induk ulat sutera memerlukan waktu sekitar 4 sampai dengan 5 jam. Temperatur ruangan yang dibutuhkan dalam persilangan induk ulat sutera antara o C dengan kelembaban 80%. Kualitas genetik telur ulat sutera yang dipakai dalam produksi telur ulat sutera sudah rendah. Kualitas genetik yang rendah dapat disebabkan oleh adanya persilangan sejenis (inbreeding) dan juga proses seleksi kokon induk yang kurang baik. Persilangan sejenis dimungkinkan terjadi karena proses produksi telur yang dilakukan secara terus menerus pada jenis tersebut tanpa adanya proses pemurnian telur ulat sutera. Teknik pemeliharaan induk ulat sutera sangat mempengaruhi kualitas telur ulat sutera F1 yang dihasilkan. Proses penetasan telur, pemeliharaan ulat, pemanenan, seleksi kokon dan persilangan induk harus dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang tepat. Sarana prasarana produksi telur ulat sutera juga mempengaruhi kualitas telur ulat sutera yang dihasilkan. Tempat penyimpanan telur ulat sutera merupakan salah satu peralatan yang sangat penting dalam produksi telur ulat sutera. Penyimpanan telur bertujuan agar telur yang dibutuhkan dapat tersedia pada waktunya. Penyimpanan telur disesuaikan dengan perlakuan yang diberikan kepada telur yang disimpan. Penyimpanan telur ulat sutera juga sangat berkaitan dengan daya tetas telur. Penyimpanan yang tidak sesuai standar teknis akan mengakibatkan daya tetas telur ulat sutera menjadi rendah dan tidak serentak. Dampak penurunan kualitas telur ulat sutera dirasakan juga oleh pemintal, baik pemintal murni maupun pemintal yang juga melakukan pemeliharaan ulat sutera. Penurunan kualitas telur yang berdampak pada menurunnya produksi kokon, akan memberikan dampak pada menurunnya produksi benang sutera yang dihasilkan. Menurunnya produksi benang sutera yang dihasilkan oleh pemintal, tidak hanya disebabkan oleh berkurangnya jumlah kokon yang diproduksi, tetapi juga oleh menurunnya kualitas kokon. Indikator rendahnya kualitas kokon yang dihasilkan antara lain adalah sering putusnya kokon dalam proses pemintalan dan rendahnya rendemen benang. Kokon yang berkualitas baik dapat menghasilkan benang sutera dengan rendemen antara 6 7 kg kokon. Sedangkan kokon dengan kualitas jelek dapat menghasilkan benang dengan rendemen antara kg kokon. Penurunan kualitas telur ulat sutera dikeluhkan juga oleh Pedagang/Pembeli kokon. Dampak dari penurunan kualitas telur ulat sutera, seperti menurunya jumlah petani ulat yang memelihara ulat sutera dan menurunnya produksi kokon, mengakibatkan ketersediaan kokon di pasaran menjadi terbatas. b. Keterbatasan Modal Sarana Produksi Modal usaha merupakan salah satu faktor pendukung dalam pengembangan usaha persuteraan alam. Modal usaha dapat dikategorikan menjadi modal kerja dan modal sarana. 5

6 Hasil FGD Pelaku Usaha di Kalosi, memperlihatkan bahwa modal kerja bagi petani ulat tidak menjadi permasalahan. Petani ulat mampu menyediakan biaya produksi untuk pengadaan bibit dan pupuk. Biaya tenaga kerja tidak diperlukan karena menggunakan tenaga kerja sendiri/keluarga. Gambar 13. Faktor-faktor Penyebab Keterbatasan Modal Sarana Produksi Penurunan Produksi Sarana Produksi Tidak Sesuai Standar Teknis Jumlah Sarana Tidak Sesuai Kebutuhan Keterbatasan Modal Sarana Produksi Banyaknya Sarana Prasarana Rusak Modal Kerja Petani Rendah Kemampuan Teknis Rendah Permasalahan yang muncul terkait modal ditingkat petani ulat adalah keterbatasan modal untuk merevitalisasi sarana/infrastruktur yang dimiliki. Teknologi yang sangat sederhana, sudah berumur tua dan rusak, menjadi salah satu faktor menurunnya tingkat produktifitas usaha. Sebagian besar sarana pemeliharaan ulat besar (UPUB) petani ulat kondisinya tidak layak/rusak. Pelaku usaha mengharapkan adanya fasilitasi pemerintah dalam perbaikan sarana pemeliharaan ulat besar. Fasilitasi ini dibutuhkan karena petani ulat tidak mampu menyiapkan modal yang cukup untuk merevitalisasi rumah ulat yang rusak. Ketersediaan tempat pemeliharaan ulat sutera yang layak dan memadai merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan budidaya ulat sutera. Kondisi rumah ulat yang tidak sesuai dengan kondisi optimal yang dibutuhkan ulat sutera, akan berpengaruh terhadap produksi kokon. Sarana lain yang dibutuhkan petani ulat adalah alat pengering kokon. Alat pengering kokon dibutuhkan pelaku usaha untuk memperpanjang jangka waktu penyimpanan kokon. Keterbatasan waktu penyimpanan kokon berpengaruh terhadap daya tawar petani ulat terhadap harga kokon. Sehingga petani ulat kadang merasa dipermainkan oleh pedagang atau pengumpul kokon. 4. Peran Stakeholders dalam Pengembangan Persuteraan Alam di Kabupaten Enrekang Dalam pendekatan kluster, pemerintah merupakan elemen kunci dan mempunyai driven power yang paling besar dalam pengembangan persuteraan alam (Tarigan, 2008). Hasil 6

7 identifikasi mengenai peran pemerintah dalam pengembangan persuteraan alam di Kabupaten Enrekang, memperlihatkan bahwa pemerintah melakukan peran dalam perumusan regulasi, pendidikan dan pelatihan, fasilitasi bantuan peralatan/sarana, fasilitasi pertemuan dan penelitian. Stakeholder yang terkait dalam pengembangan persuteraan alam di Kabupaten Enrekang terdiri dari beberapa instansi pemerintahan, baik tingkat pusat maupun daerah. Peran yang dilakukan oleh masing-masing stakeholder disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi yang melekat. Stakholder 1. Kemeterian Kehutanan 2. Kementerian Perindustrian 3. Kemeterian Kop & UKM 4. Pemda Tk. I 5. Pemda Tk. II Kendala 1. Penurunan Kualitas Bahan Baku (Telur Ulat Sutera dan Kokon) 2. Keterbatasan dan Penurunan Kualitas Sarana Produksi 3. Penurunan Kualitas Produk Pengembangan Persuteraan Alam melalui Pedekatan Kluster di Kabupaten Enrekang Kebutuhan 1. Peningkatan Kualitas Telur Ulat Sutera 2. Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Sarana Produksi 3. Peningkatan Kualitas Produk Peran Stakholder 1. Perumusan Regulasi 2. Fasilitasi Bantuan 3. Fasilitasi Pertemuan 4. Fasilitasi Diklat 5. Penelitian Gambar 14. Beberapa faktor yang mempunyai driven power yang kuat dalam Pengembangan Persuteraan Alam di Kabupaten Enrekang. Peran stakholder harus difokuskan pada kendala-kendala yang dihadapi. Kendala dalam kualitas telur ulat sutera, keterbatasan sarana produksi dan penurunan kualitas produk merupakan preferensi pelaku usaha dalam pengembangan persuteraan alam di Kabupaten Enrekang. 5. Kesesuaian Peran Stakeholder dan Preperensi Pelaku Usaha a. Peningkatan Kualitas Telur Ulat Sutera Dari aspek regulasi, Kementerian Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor:P.56/Menhut-II/2007 tentang Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera. Peraturan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatan kualitas dan kuantitas telur ulat sutera, serta menjamin mutu dan ketersediaan kokon. Regulasi lain dalam rangka peningkatan kualitas telur ulat sutera adalah Peraturan Direktur Jenderal (Dirjen) Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) Nomor: No.P.15/V-Set/2008 tanggal 24 Desember 2008 tentang Petunjuk Teknis Sertifikasi Telur Ulat Sutera Bebas Pebrine. Peraturan ini merupakan turunan dari Permenhut P.56 Tahun Regulasi lain dari Kementerian Kehutanan adalah dengan mendatangkan Silver Expert dari Jepang melalui kerjasama dengan JICA. Kerjasama ini bertujuan sebagai wadah alih teknologi dan pengetahuan tentang pemuliaan ulat sutera untuk mendapatkan jenis-jenis ulat sutera yang unggul. Peran pemerintah daerah, sesuai dengan Permenhut P.56 Tahun 2007, adalah pemberian ijin bagi pengada dan pengedar telur ulat sutera. Pemberian ijin dilakukan atas rekomendasi teknis dari Balai Persuteraan Alam (BPA). 7

8 Dalam aspek peningkatan sarana/infrastruktur, kontribusi Balai Persuteraan Alam baru pada tahap pelaksanaan kegiatan pemuliaan ulat sutera dan studi adaptasi. Kegiatan pemuliaan dan studi adaptasi menggunakan induk ulat sutera yang dimiliki oleh Balai Persuteraan Alam dan diharapkan dapat memberikan alternatif jenis ulat sutera baru yang unggul. Pemuliaan dimaksudkan untuk memanipulasikan gen pada populasi yang mempunyai sifat-sifat yang baik dalam rangka memperbaiki kandungan dan kualitas sutera. Sedangkan studi adaptasi dilakukan untuk mengetahui tingkat adaptibilitas ulat sutera terhadap kondisi iklim setempat. Peningkatan sarana dan infrastruktur dalam rangka peningkatan kualitas telur ulat sutera seharusnya tidak hanya pada pengadaan jenis ulat sutera baru. Pengadaan atau revitalisasi sarana produksi telur ulat sutera merupakan peran lain yang perlu dilakukan. Penyimpanan telur ulat sutera memerlukan suhu dan kelembaban tertentu yang stabil. Kondisi tempat penyimpanan yang sudah tidak sesuai dengan standar teknis dapat berdampak langsung pada rendahnya daya tetas telur ulat sutera. Dari aspek peningkatan sumberdaya manusia, kontribusi Balai Persuteraan Alam dalam peningkatan kualitas telur ulat sutera dilakukan melalui kegiatan pengawasan produksi dan peredaran telur ulat sutera, serta kegiatan pembinaan teknis pengada dan pengedar telur ulat sutera. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan untuk memberikan bimbingan teknis dan pengawasan terhadap proses produksi telur. Sehingga telur ulat sutera F1 yang dihasilkan dapat dihasilkan melalui penerapan teknik pemeliharaan yang sesuai standar teknis. b. Peningkatan Modal Sarana Produksi Dari aspek regulasi, hanya Kementerian Koperasi dan UMKM menerbitkan peraturan, baik pada tingkat menteri maupun deputi. Peraturan-peraturan ini merupakan pedoman dan atau petunjuk teknis mengenai pemberian bantuan peningkatan modal sarana dan infrastruktur pada koperasi persuteraan alam. Dari aspek peningkatan sarana dan infrastruktur, seluruh stakeholder memberikan fasilitasi dalam bentuk bantuan sarana dan infrastruktur usaha. Stakeholders di bidang kehutanan memberikan kontribusi dalam peningkatan produktifitas budidaya ulat sutera melalui pembuatan dan rehabilitasi UPUK/UPUB serta pembuatan model usaha persuteraan alam. Stakeholder di bidang perindustrian dan koperasi lebih fokus pada pengembangan industri. Fasilitasi yang diberikan dalam rangka peningkatan sarana/infrastruktur adalah bantuan pengadaan mesin pintal, baik sederhana maupun semi otomatis, serta peralatan finishing benang. Kegiatan-kegiatan tersebut bersesuaian dengan preferensi pelaku usaha di bidang persuteraan alam. Pembangunan dan perbaikan UPUK/UPUB, serta pembangunan model usaha bersesuaian dengan permasalahan yang dihadapi pelaku usaha, yaitu kerusakan sebagian besar rumah ulat dan biaya pembangunan rumah ulat yang tinggi. Fasilitasi bantuan peralatan pemintalan sederhana bersesuaian dengan jumlah kapasitas peralatan yang belum mencukupi. Sedangkan fasilitasi mesin semi otomatis dan finishing benang, selain bersesuaian dengan jumlah kapasitas produksi, juga bersesuaian dengan kendala standar teknis. Hasil identifikasi dilapangan memperlihatkan bahwa tidak optimalnya implementasi peran stakeholder dalam rangka peningkatan sarana produksi antara lain diakibatkan oleh banyaknya rumah ulat petani yang memerlukan perbaikan. Selain itu permasalahan yang terkait dengan peningkatan sarana produksi adalah penentuan lokasi yang kurang tepat dan adanya penguasaan secara pribadi terhadap aset kelompok. Aspek teknis pembuatan rumah ulat juga 8

9 menjadi permasalahan lain. Pembuatan rumah ulat membutuhkan persyaratan-persyaratan teknis tertentu sesuai dengan kebutuhan ulat sutera. Peran stakholder dibidang perindustrian dan koperasi juga bersesuaian dengan preferensi yang diinginkan oleh pelaku usaha dibidang pemintalan. Fasilitasi dalam bentuk bantuan peralatan mesin pintal, baik sederhana maupun semi otomatis, bertujuan meningkatkan produktifitas usaha. Pemberian bantuan alat pemintalan semi otomatis dilakukan untuk meningkatkan kualitas benang sutera yang dihasilkan. Permasalahan dalam fasilitasi bantuan peralatan mesin semi otomatis adalah kurang ditunjang dengan sarana pendukung lain. Tidak tersedianya sumberdaya energi yang memadai menjadi salah satu penyebab peralatan tidak dapat dioperasionalkan secara maksimal. Fasilitasi bantuan peralatan pintal sederhana berlawanan dengan tujuan peningkatan kualitas produk. Pengembangan industri pemintalan tradisional di Kabupaten Enrekang harus diarahkan pada pembuatan produk-produk kerajinan tangan (hand made). Dari aspek peningkatan kapasitas sumberdaya manusia (SDM), stakholder yang memberikan kontribusinya adalah Balai Persuteraan Alam, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Kontribusi yang diberikan antara lain pelatihan, pembinaan teknis dan temu usaha/bisnis. Kegiatan pelatihan, pembinaan teknis dan temu usaha/bisnis diarahkan sebagai media untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan pengembangan jejaring kelompok tani dalam mengakses pasar dan permodalan. Kegiatan ini dapat dijadikan alternatif kegiatan untuk menyelesaikan kendala permodalan pelaku usaha. Peran yang diimplementasikan oleh stakeholder tidak seluruhnya bersesuaian dengan preferensi pelaku usaha. Hasil analisis memperlihatkan bahwa peran stakeholder tersebut sifatnya dapat mendukung peran-peran yang bersesuaian. Fasilitasi pembuatan dan pemeliharaan tanaman murbei bertujuan untuk meningkatkan produktifitas tanaman murbei, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kegiatan ini dilakukan untuk memperbaiki karakteristik tanaman murbei pelaku usaha yang memiliki produktifitas rendah. Kegiatan lain yang tidak bersesuaian adalah pengadaan bantuan telur ulat sutera. Sebagian besar pelaku usaha mengaku bahwa modal kerja tidak menjadi masalah karena sistem di pasar telah terbentuk dalam pengadaan bahan baku. Dari aspek pengembangan sumberdaya manusia dan kelembagaan, terdapat beberapa peran stakeholder yang tidak terkait langsung dengan preferensi pelaku usaha. Hasil identifikasi memperlihatkan bahwa peran-peran tersebut dapat menunjang peran-peran utama. Pelatihan teknis, baik bagi pelaku usaha maupun fasilitator, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pelaku usaha dan fasilitator dalam usaha persuteraan alam. Kegiatan ini dapat menunjang peran dalam rangka optimalisasi sarana produksi. Kegiatan studi banding dilakukan untuk memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai budidaya sutera alam di wilayah lain. Pengetahuan dan wawasan ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan mengenai kelembahan dan kelebihan pengelolaan sutera alam di Kabupaten Enrekang. IV. KESIMPULAN 1. Karakteristik pelaku usaha persuteraan alam di Kabupaten Enrekang adalah sebagai berikut: a. Dari aspek sosial budaya, pelaku usaha rata-rata berusia 50,7 tahun dengan pengalaman kerja rata-rata 9,5 tahun dan 17,4 tahun. Usia yang matang dan 9

10 pendidikan pada tingkat SMP memberikan indikasi dalam kemudahan menerima introduksi pengetahuan dan teknologi baru. b. Dari aspek teknis, luas kebun rata-rata yang dipelihara oleh petani ulat adalah 0,3 ha dengan jarak tanam rata-rata 30 x 20 cm. Luas rata-rata tanaman yang dipelihara oleh petani merupakan potensi yang besar tetapi produktifitasnya yang rendah. Jumlah telur yang dipelihara rata-rata 1 1,5 boks per periode dengan produksi kokon yang masih rendah dengan rata-rata sebesar kg per boks. Kegiatan pemintalan sebagian besar dilakukan dengan alat pintal sederhana dengan menggunakan kokon segar. Pemintalan dengan alat pintal sederhana menghasilkan benang sutera mentah (raw silk). c. Kelembagaan pelaku usaha persuteraan alam belum berjalan sesuai fungsinya. Kelembagaan dalam bentuk kelompok tani hanya difungsikan dalam penerimaan bantuan, pengadaan bahan baku dan pemasaran hasil produksi. 2. Preferensi pelaku usaha dalam pengembangan persuteraan alam di Kabupaten Enrekang adalah penurunan kualitas telur ulat sutera dan keterbatasan modal sarana produksi. Peningkatan kualitas telur ulat sutera sangat dibutuhkan karena kondisi telur ulat sutera F1 yang diedarkan di masyakarat belum memberikan jaminan kualitas yang baik. Fasilitasi peningkatan modal sarana produksi diperlukan pelaku usaha karena memerlukan modal yang besar. 3. Peran yang dilakukan oleh stakeholder dalam pengembangan persuteraan alam di Kabupaten Enrekang sebagian besar telah sesuai dengan preferensi pelaku usaha. Peran yang belum dilakukan terkait preferensi penuruan kualitas telur ulat sutera adalah peningkatan kualitas sarana produksi pada usaha produksi telur F1 (Perum Perhutani). Implementasi peran stakeholder dalam peningkatan kualitas telur ulat sutera sangat berkaitan dengan proses dan rangkaian kegiatan pemuliaan dan studia adaptasi jenis-jenis baru yang panjang. Implementasi peran dalam peningkatan modal sarana produksi sangat terkait dengan keterbatasan alokasi dibandingkan dengan kebutuhan di masyarakat. Peranperan stakeholder yang tidak berkaitan langsung dengan preferensi pelaku usaha, dapat menunjang keberhasilan peran-peran yang bersesuaian dengan preferensi pelaku usaha. V. SARAN 1. Implementasi peran stakeholder dalam pengembangan persuteraan alam harus dilakukan dengan skala prioritas atas kebutuhan di masyarakat. Perencanaan harus disusun secara komprehensif dan partisipatif. 2. Peran stakeholder lebih pada menciptakan kondisi iklim usaha yang kondusif bagi usaha persuteraan alam melalui regulasi dan fasilitasi, serta peningkatan pemahaman dan kemampuan masyarakat dalam menciptakan dan menghargai barang yang berkualitas. DAFTAR PUSTAKA Balai Persuteraan Alam Pedoman Teknik Budidaya Sutera Alam c. : Laporan Hasil Inventarisasi Potensi Persuteraan Alam di Kabupaten Enrekang. Dephut Rencana Induk Pengembangan Persuteraan Alam Nasional. Departemen Kehutanan. 10

11 Ditjen IKM Peranan Depperin dalam Pengembangan IKM Sutera Alam. Makalah pada Workshop Persuteraan Alam Nasional. Makasar, Agustus Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:P.19/Menhut-II/2009 tentang Strategi Pengembangan HHBK Nasional Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:P.56/Menhut-II/2007 tentang Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera PSKMP Promosi Pembangunan Daerah melalui Pengembangan Komoditi Unggulan Sutera di Sulawesi Selatan. Salman, D Pembangunan Partisipatoris. Modul Konsentrasi Manajemen Perencanaan Program Studi Manajemen Pembangunan. Unhas. Makassar. Tarigan, Djoni Strategi Pengembangan Agroindustri Sutera Alam melalui Pendekatan Kluster. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana-IPB. Tidak dipublikasikan. 11

PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM DI KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG SKRIPSI ACHMAD SUBANDY

PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM DI KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG SKRIPSI ACHMAD SUBANDY PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM DI KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG SKRIPSI ACHMAD SUBANDY PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan Permenhut Nomor P. 56/Menhut-II/2007, Persuteraan Alam

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan Permenhut Nomor P. 56/Menhut-II/2007, Persuteraan Alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Permenhut Nomor P. 56/Menhut-II/2007, Persuteraan Alam adalah kegiatan agro-industri dengan hasil kokon atau benang sutera, terdiri dari kegiatan budidaya tanaman

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat,

BAB I. PENDAHULUAN. yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat, BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persuteraan alam merupakan kegiatan yang menghasilkan komoditi yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat, tidak memerlukan tempat luas

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 56/Menhut-II/2007 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 56/Menhut-II/2007 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 56/Menhut-II/2007 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pengembangan persuteraan alam nasional terutama

Lebih terperinci

Oleh : Lincah Andadari

Oleh : Lincah Andadari POTENSI HIBRID ULAT SUTERA HARAPAN DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI SUTERA. Oleh : Lincah Andadari Kementerian Kehutanan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Dan Pengembangan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei 10 Persentase Filamen Persentase filamen rata-rata paling besar dihasilkan oleh ulat besar yang diberi pakan M. cathayana sedangkan yang terkecil dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan M. alba var. kanva-2.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.37/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

TIPOLOGI USAHA SUTERA ALAM DI KECAMATAN DONRI- DONRI KABUPATEN SOPPENG

TIPOLOGI USAHA SUTERA ALAM DI KECAMATAN DONRI- DONRI KABUPATEN SOPPENG Tipologi Usaha Sutera Alam di Kecamatan... Nurhaedah dan Wahyudi Isnan TIPOLOGI USAHA SUTERA ALAM DI KECAMATAN DONRI- DONRI KABUPATEN SOPPENG Nurhaedah Muin * dan Wahyudi Isnan Balai Litbang Lingkungan

Lebih terperinci

Oleh/ by: Abd. Kadir., Bugi K. Sumirat ABSTRACT ABSTRAK. Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Makasar, Sulawesi Selatan.

Oleh/ by: Abd. Kadir., Bugi K. Sumirat ABSTRACT ABSTRAK. Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Makasar, Sulawesi Selatan. ANALISIS BIAYA DAN PENDAPATAN PETANI SUTERA PADA BEBERAPA TEKNIK PEMELIHARAAN ULAT SUTERA DI KABUPATEN SOPPENG (Cost and income contribution analysis on cocoon farming that apply various technique in silk-worm

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kegiatan persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar dilakukan secara terintegrasi oleh kelompok tani di Desa Pallis mulai dari pemeliharaan murbei sampai pertenunan.

Lebih terperinci

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT TIM SUTERA BALITBANGHUT PERSUTERAAN ALAM MORIKULTUR SERIKULTUR 1 FAKTOR KEBERHASILAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis Data dan Cara Pengumpulan Data 3.3 Metode Analisis Data Analisis Biaya Produksi

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis Data dan Cara Pengumpulan Data 3.3 Metode Analisis Data Analisis Biaya Produksi BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November-Desember 2011 di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat dan Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. 3.2

Lebih terperinci

PENATAAN INSTITUSI UNTUK PENINGKATAN KINERJA PERSUTERAAN ALAM DI SULAWESI SELATAN

PENATAAN INSTITUSI UNTUK PENINGKATAN KINERJA PERSUTERAAN ALAM DI SULAWESI SELATAN Penataan Institusi untuk Peningkatan Kinerja Persuteraan Alam Sulawesi Selatan (A. Sadapoto et al.) PENATAAN INSTITUSI UNTUK PENINGKATAN KINERJA PERSUTERAAN ALAM DI SULAWESI SELATAN (Institutional Arrangement

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA SISTEM

BAB IV ANALISA SISTEM 71 BAB IV ANALISA SISTEM 4.1. Analisa Situasional Agroindustri Sutera Agroindustri sutera merupakan industri pengolahan yang menghasilkan sutera dengan menggunakan bahan baku kokon yaitu kepompong dari

Lebih terperinci

BALAI PERSUTERAAN ALAM

BALAI PERSUTERAAN ALAM DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL STATISTIK PENGEMBANGAN PERSUTERAAN ALAM TAHUN 2010 BALAI PERSUTERAAN ALAM BILI-BILI, PEBRUARI 2010 KATA PENGANTAR Buku

Lebih terperinci

MENINGKATKAN HARGA JUAL KOKON dengan MEMELIHARA HIBRID BARU ULAT SUTERA

MENINGKATKAN HARGA JUAL KOKON dengan MEMELIHARA HIBRID BARU ULAT SUTERA MENINGKATKAN HARGA JUAL KOKON dengan MEMELIHARA HIBRID BARU ULAT SUTERA opendekatan PERMASALAHAN PENGEMBANGAN SUTERA DI KHPH BOALEMO GORONTALO - USAHA TANI SUTERA ALAM MERUPAKAN SALAH SATU DARI BERBAGAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri pertekstilan merupakan industri yang cukup banyak. menghasilkan devisa bagi negara. Tahun 2003 devisa ekspor yang berhasil

BAB I PENDAHULUAN. Industri pertekstilan merupakan industri yang cukup banyak. menghasilkan devisa bagi negara. Tahun 2003 devisa ekspor yang berhasil BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri pertekstilan merupakan industri yang cukup banyak menghasilkan devisa bagi negara. Tahun 2003 devisa ekspor yang berhasil dikumpulkan melalui sektor pertekstilan

Lebih terperinci

PARAPIHAK DALAM PENGEMBANGAN PERSUTERAAN ALAM. Nurhaedah M.

PARAPIHAK DALAM PENGEMBANGAN PERSUTERAAN ALAM. Nurhaedah M. PARAPIHAK DALAM PENGEMBANGAN PERSUTERAAN ALAM Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl.Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243, telp. (0411)554049, fax. (0411) 554058 e-mail: nurhaedah_muin@yahoo.com

Lebih terperinci

KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA

KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA ULAT SUTERA UNGGULAN LITBANG TIM SUTERA PUSPROHUT BALITBANGHUT KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA Penggunaan salah satu bibit untuk kondisi pemeliharaan yang beragam (C301), BS09 jarang produksi

Lebih terperinci

Tabel 5.1 Keterkaitan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Pembangunan Daerah Tahun

Tabel 5.1 Keterkaitan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Pembangunan Daerah Tahun Tabel 5. Keterkaitan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Pembangunan Daerah Tahun 3-8 VISI MISI TUJUAN SASARAN INDIKATOR SATUAN AWAL TARGET INDIKATOR 3 4 5 6 7 8 8 3 4 5 6 7 8 9 3 4 TERWUJUDNYA TEMANGGUNG

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi Dinas Pertanian Daerah Kabupaten Nganjuk Visi merupakan pandangan jauh ke depan, ke mana dan bagaimana Pembangunan Pertanian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Biaya Produksi Persuteraan Alam Biaya produksi usaha persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar dan Enrekang terdiri dari biaya produksi kokon, biaya produksi benang,

Lebih terperinci

PERANAN LITBANG dan INOVASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori)

PERANAN LITBANG dan INOVASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori) PERANAN LITBANG dan INOVASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori) PERSUTERAAN ALAM MORIKULTUR SERIKULTUR Kebutuhan nasional benang sutera adalah 800 ton per tahun, sementara

Lebih terperinci

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) Copyright (C) 2000 BPHN PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 62 TAHUN 1998 (62/1998) TENTANG PENYERAHAN

Lebih terperinci

PROSES KEBIJAKAN PERSUTERAAN ALAM DI SULAWESI SELATAN

PROSES KEBIJAKAN PERSUTERAAN ALAM DI SULAWESI SELATAN Jurnal Perennial, 2012 Vol. 8 No. 1: 1-5 ISSN: 1412-7784 Tersedia Online: http://journal.unhas.ac.id/index.php/perennial PROSES KEBIJAKAN PERSUTERAAN ALAM DI SULAWESI SELATAN Policy Process of Sericulture

Lebih terperinci

Daftar Isi. Daftar Singkatan

Daftar Isi. Daftar Singkatan Daftar Isi Daftar Singkatan i Daftar Isi iii Daftar Table iv Daftar Gambar v Datar Box vi 1 Pendahuluan 1 2 Perhutani 7 3 Dana Pembangunan Kehutanan di Jamali-Nusra 19 4 Rehabilitasi Hutan dan Lahan 29

Lebih terperinci

BUDIDAYA ULAT SUTERA DAN PRODUKSI BENANG SUTERA MELALUI SISTEM KEMITRAAN PADA PENGUSAHAAN SUTERA ALAM (PSA) REGALOH KABUPATEN PATI

BUDIDAYA ULAT SUTERA DAN PRODUKSI BENANG SUTERA MELALUI SISTEM KEMITRAAN PADA PENGUSAHAAN SUTERA ALAM (PSA) REGALOH KABUPATEN PATI BUDIDAYA ULAT SUTERA DAN PRODUKSI BENANG SUTERA MELALUI SISTEM KEMITRAAN PADA PENGUSAHAAN SUTERA ALAM (PSA) REGALOH KABUPATEN PATI Eka Dewi Nurjayanti Staff Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Wahid

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 99/M-IND/PER/8/2010 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran

BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran 62 BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Agroindustri sutera alam merupakan industri pengolahan yang mentransformasikan bahan baku kokon (hasil pemeliharaan ulat sutera) menjadi benang, kain sutera,

Lebih terperinci

KERJASAMA DALAM PENGEMBANGAN SUTERA DI SULAWESI SELATAN I. PENDAHULUAN

KERJASAMA DALAM PENGEMBANGAN SUTERA DI SULAWESI SELATAN I. PENDAHULUAN 2004 Andi Sadapotto Posted: 29 December, 2004 Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng, M F (Penanggung Jawab)

Lebih terperinci

BAB 5 ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA TAPE KETAN SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL

BAB 5 ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA TAPE KETAN SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL BAB 5 ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA TAPE KETAN SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL Dalam bab ini, akan dijelaskan mengenai temuan studi, kesimpulan serta rekomendasi pengembangan usaha tape

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan rakyat telah menjadi bagian yang sangat penting dalam perkembangan dunia kehutanan dewasa ini. Di Pulau Jawa khususnya, perkembangan hutan rakyat dirasakan

Lebih terperinci

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM TIM SUTERA BALITBANGHUT KEBUTUHAN SUTERA ALAM NASIONAL BENANG SUTERA 900 TON/THN RENDEMEN 1:8 KOKON 7.200 TON/THN KONDISI 2012 PRODUKSI KOKON 163.119 TON PRODUKSI BENANG

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL GULA KELAPA DAN AREN

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL GULA KELAPA DAN AREN WORKSHOP NASIONAL PENGEMBANGAN GULA KELAPA DAN AREN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL GULA KELAPA DAN AREN Oleh : Adisatrya Suryo Sulisto Anggota Komisi VI DPR RI Purwokerto, 16-17 Desember 2015 POTENSI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran,

I. PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan sub-sektor pertanian tanaman pangan, merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan telah terbukti memberikan peranan penting bagi pembangunan nasional,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa sebagai penjabaran dari Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 664/Kpts-II/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PERSUTERAAN ALAM MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 664/Kpts-II/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PERSUTERAAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 664/Kpts-II/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PERSUTERAAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam upaya pengendalian produksi dan distribusi bibit

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAH DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk lebih meningkatkan

Lebih terperinci

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN 2086-6755 http://ojs.unm.ac.id/index.php/sainsmat Pemberian Jenis Murbei Morus multicaulis dan Morus cathayana Terhadap Produksi Kokon Ulat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 15 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karet merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting peranannya di Indonesia. Selain sebagai sumber lapangan kerja, komoditas ini juga memberikan kontribusi yang

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN DODOL WORTEL DESA GONDOSULI KECAMATAN TAWANGMANGU KABUPATEN KARANGANYAR

PENGEMBANGAN DODOL WORTEL DESA GONDOSULI KECAMATAN TAWANGMANGU KABUPATEN KARANGANYAR PENGEMBANGAN DODOL WORTEL DESA GONDOSULI KECAMATAN TAWANGMANGU KABUPATEN KARANGANYAR Setyowati dan Fanny Widadie Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta watikchrisan@yahoo.com

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL PADA INDUSTRI JAGAD SUTERA DI KELURAHAN KAMONJI KECAMATAN PALU BARAT KOTA PALU

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL PADA INDUSTRI JAGAD SUTERA DI KELURAHAN KAMONJI KECAMATAN PALU BARAT KOTA PALU J. Agroland 22 (2) : 70-75, Agustus 2015 ISSN : 0854 641X E-ISSN : 2407 7607 ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL PADA INDUSTRI JAGAD SUTERA DI KELURAHAN KAMONJI KECAMATAN PALU BARAT KOTA PALU Analysis of Financial

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 85/Kpts-II/2001 Tentang : Perbenihan Tanaman Hutan

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 85/Kpts-II/2001 Tentang : Perbenihan Tanaman Hutan KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 85/Kpts-II/2001 Tentang : Perbenihan Tanaman Hutan MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1995 telah ditetapkan ketentuan-ketentuan

Lebih terperinci

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga C. Program PERKREDITAN PERMODALAN FISKAL DAN PERDAGANGAN KEBIJAKAN KETERSEDIAAN TEKNOLOGI PERBAIKAN JALAN DESA KEGIATAN PENDUKUNG PERBAIKAN TATA AIR INFRA STRUKTUR (13.917 ha) Intensifikasi (9900 ha) Non

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DALAM KONSEP MINAPOLITAN

PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DALAM KONSEP MINAPOLITAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN INDIVIDU PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DALAM KONSEP MINAPOLITAN Oleh: Edmira Rivani, S.Si., M.Stat. Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN

Lebih terperinci

Pedoman Penilaian dan Pelepasan Varietas Hortikultura (PPPVH) 2004

Pedoman Penilaian dan Pelepasan Varietas Hortikultura (PPPVH) 2004 Pedoman Penilaian dan Pelepasan Varietas Hortikultura (PPPVH) 2004 KENTANG (Disarikan dari PPPVH 2004) Direktorat Perbenihan Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura I. UJI ADAPTASI 1. Ruang Lingkup

Lebih terperinci

Nurhaedah M. ABSTRAK. Kata Kunci : Optimalisasi, lahan, usahatani, terpadu

Nurhaedah M. ABSTRAK. Kata Kunci : Optimalisasi, lahan, usahatani, terpadu Optimalisasi Lahan Masyarakat dengan Penerapan. OPTIMALISASI LAHAN MASYARAKAT DENGAN PENERAPAN POLA USAHATANI TERPADU (Studi Kasus Bapak Sukri di Desa Mata Allo, Kecamatan Alla, Kabupaten Enrekang Sulawesi

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 KAKAO Penyebaran Kakao Nasional Jawa, 104.241 ha Maluku, Papua, 118.449 ha Luas Areal (HA) NTT,NTB,Bali, 79.302 ha Kalimantan, 44.951 ha Maluku,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Dinas Perkebunan Provinsi Riau Laporan Kinerja A. Tugas Pokok dan Fungsi

PENDAHULUAN. Dinas Perkebunan Provinsi Riau Laporan Kinerja A. Tugas Pokok dan Fungsi PENDAHULUAN A. Tugas Pokok dan Fungsi Berdasarkan Peraturan Gubernur No. 28 Tahun 2015 tentang rincian tugas, fungsi dan tata kerja Dinas Perkebunan Provinsi Riau, pada pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN MURBEI HIBRID TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS KOKON

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN MURBEI HIBRID TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS KOKON PENGARUH PEMBERIAN PAKAN MURBEI HIBRID TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS KOKON The Effect of Feeding of Mulberry Hybrid on the Productivity and the Quality of Cocoon of Silkworm Sugeng Pudjiono 1 ) dan

Lebih terperinci

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 62 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 62 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 62 TAHUN 2014 TENTANG TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005 BOKS REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005 I. PENDAHULUAN Dinamika daerah yang semakin kompleks tercermin dari adanya perubahan

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN PENGUSAHA MIKRO KONVEKSI DI KELURAHAN PURWOHARJO KECAMATAN COMAL KABUPATEN PEMALANG WALUYO

PEMBERDAYAAN PENGUSAHA MIKRO KONVEKSI DI KELURAHAN PURWOHARJO KECAMATAN COMAL KABUPATEN PEMALANG WALUYO PEMBERDAYAAN PENGUSAHA MIKRO KONVEKSI DI KELURAHAN PURWOHARJO KECAMATAN COMAL KABUPATEN PEMALANG WALUYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

IV.B.13. Urusan Wajib Ketahanan Pangan

IV.B.13. Urusan Wajib Ketahanan Pangan 13. URUSAN KETAHANAN PANGAN Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Lebih terperinci

Topik 4. Ulat Sutera. Buku Seri Iptek V Kehutanan

Topik 4. Ulat Sutera. Buku Seri Iptek V Kehutanan Topik 4 Ulat Sutera 20. Budidaya Murbei... 68 21. Budidaya Ulat Sutera... 72 22. Murbei Unggul SULI-01... 76 23. Penanganan Kokon... 80 24. Prospek dan Tantangan Pengusahaan Sutera Alam 84 Indonesia...

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Data impor ekspor benang sutera mentah Tahun Bulan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Data impor ekspor benang sutera mentah Tahun Bulan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. MODEL PERENCANAAN PENDIRIAN AGROINDUSTRI SUTERA ALAM 1. Model Analisis Prakiraan Permintaan Benang Sutera Mentah Model analisis prakiraan permintaan benang sutera mentah digunakan

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN. rencana pembangunan jangka menengah daerah, maka strategi dan arah

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN. rencana pembangunan jangka menengah daerah, maka strategi dan arah BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah, maka strategi dan arah kebijakan pembangunan jangka menengah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan atau kontribusi yang sangat besar dalam pembangunan ekonomi suatu negara terutama negara yang bercorak agraris seperti Indonesia.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost

Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost LAMPIRAN 67 Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost Instalasi program letulet membutuhkan seperangkat PC dengan speksifikasi minimal sebagai berikut : 1. Satu

Lebih terperinci

Kabupaten/Kota (Ha) (Btg) (Kg/Thn)

Kabupaten/Kota (Ha) (Btg) (Kg/Thn) Tabel VII.1.1. Potensi Sumber Benih Di Wilayah Kerja BPDAS Sampara 2006 ( Terakhir) Kelas Sumber Benih Jenis Tanaman Luas Pohon Berproduksi Produksi Benih (Ha) (Btg) (Kg/Thn) 1 2 3 4 5 6 7 8 Keterangan

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 217 MOR SP DIPA-32.4-/217 DS21-98-8-666 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun

Lebih terperinci

Volume 5 No. 1 Februari 2017 ISSN: IDENTIFIKASI LOKASI POTENSIAL PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN GULA MERAH LONTAR DI KABUPATEN JENEPONTO

Volume 5 No. 1 Februari 2017 ISSN: IDENTIFIKASI LOKASI POTENSIAL PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN GULA MERAH LONTAR DI KABUPATEN JENEPONTO IDENTIFIKASI LOKASI POTENSIAL PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN GULA MERAH LONTAR DI KABUPATEN JENEPONTO SYAHMIDARNI AL ISLAMIYAH Email : syahmi1801@gmail.com Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

PENGUKURAN KINERJA PRIORITAS KEEMPAT

PENGUKURAN KINERJA PRIORITAS KEEMPAT PENGUKURAN KINERJA PRIORITAS KEEMPAT PROGRAM KEGIATAN INDIKATOR KINERJA SATUAN TARGET REALISASI PRIORITAS IV : MENGEMBANGKAN DAN MEMPERKUAT EKONOMI DAERAH YANG DIKELOLA BERDASARKAN KOMODITAS UNGGULAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya A. Visi Perumusan visi dan misi jangka menengah Dinas Pertanian,

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL HORTIKULTURA

DIREKTORAT JENDERAL HORTIKULTURA DIREKTORAT JENDERAL HORTIKULTURA MANUAL IKSP DIREKTORAT JENDERAL HORTIKULTURA (2016) Nama IKSP Jumlah Produksi Aneka Cabai (Ton) Direktur Jenderal Hortikultura Jumlah produksi aneka cabai besar, cabai

Lebih terperinci

Lincah Andadari 1 dan Sri Sunarti 2

Lincah Andadari 1 dan Sri Sunarti 2 KUALITAS KOKON HASIL PERSILANGAN ANTARA ULAT SUTERA (Bombyx mory L.) RAS CINA DAN RAS JEPANG Quality of crossedbreed cocoon between Japanese and Chinese races silkworm (Bombyx mory L.) Lincah Andadari

Lebih terperinci

BAB IV PROGRAM DAN KEGIATAN DINAS PERTANIAN KABUPATEN MAJALENGKA. dan sasaran pembangunan yang telah ditetapkan. Kebijakan dan program

BAB IV PROGRAM DAN KEGIATAN DINAS PERTANIAN KABUPATEN MAJALENGKA. dan sasaran pembangunan yang telah ditetapkan. Kebijakan dan program BAB IV PROGRAM DAN KEGIATAN DINAS PERTANIAN KABUPATEN MAJALENGKA A. Program dan Indikasi Kegiatan Program merupakan instrumen kebijakan untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan yang telah ditetapkan.

Lebih terperinci

A. KERANGKA PEMIKIRAN

A. KERANGKA PEMIKIRAN III. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN Agroindustri sutera alam terutama untuk produk turunannnya berupa kokon, benang sutera, dan kain merupakan suatu usaha yang menjanjikan. Walaupun iklim dan kondisi

Lebih terperinci

Kompetensi Inti Industri Daerah Kabupaten Majalengka

Kompetensi Inti Industri Daerah Kabupaten Majalengka Kompetensi Inti Industri Daerah Kabupaten Majalengka Tjutju Tarliah *1), Dedeh Kurniasih 2) 1) Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan, Jl. Setiabudhi 193, Bandung, 40153, Indonesia 2) Sistem

Lebih terperinci

DOI. Lincah Andadari, 1 Rosita Dewi, 2 dan Sugeng Pudjiono Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Jl. Gunung Batu 5 Bogor.

DOI. Lincah Andadari, 1 Rosita Dewi, 2 dan Sugeng Pudjiono Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Jl. Gunung Batu 5 Bogor. Widyariset Vol. 2 No. 2 (2016) Hlm. 96-105 Uji Adaptasi Lima Tanaman Murbei Hibrid Baru untuk Meningkatkan Produktivitas Persutraan Alam Adaptation Test of Mulberry s Five New Hybrids to Improve Natural

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk lebih meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Peranan pertanian antara lain adalah : (1) sektor pertanian masih menyumbang sekitar

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM Visi, Misi, dan Strategi Pengelolaan PBK

PEMBAHASAN UMUM Visi, Misi, dan Strategi Pengelolaan PBK PEMBAHASAN UMUM Temuan yang dibahas dalam bab-bab sebelumnya memperlihatkan bahwa dalam menghadapi permasalahan PBK di Kabupaten Kolaka, pengendalian yang dilakukan masih menumpu pada pestisida sebagai

Lebih terperinci

Analisis Kemampuan Proses Pemintalan Benang Sutera Berdasarkan Perbedaan Waktu Kerja Dengan Pendekatan Statistical Process Control (SPC)

Analisis Kemampuan Proses Pemintalan Benang Sutera Berdasarkan Perbedaan Waktu Kerja Dengan Pendekatan Statistical Process Control (SPC) Analisis Kemampuan Proses Pemintalan Benang Sutera Berdasarkan Perbedaan Waktu Kerja Dengan Pendekatan Statistical Process Control (SPC) Ir. Hardi, MT Staff Pengajar Fakultas Teknologi Industri Universitas

Lebih terperinci

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era otonomi daerah, pembangunan ekonomi menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam daerah maupun faktor eksternal, seperti masalah kesenjangan dan isu

Lebih terperinci

5. Arah Kebijakan Tahun Kelima (2018) pembangunan di urusan lingkungan hidup, urusan pertanian,

5. Arah Kebijakan Tahun Kelima (2018) pembangunan di urusan lingkungan hidup, urusan pertanian, urusan perumahan rakyat, urusan komunikasi dan informatika, dan urusan kebudayaan. 5. Arah Kebijakan Tahun Kelima (2018) Pembangunan di tahun kelima diarahkan pada fokus pembangunan di urusan lingkungan

Lebih terperinci

terhadap PDRB Kota Bandung Kota Bandung APBD Pendukung Usaha bagi Usaha Mikro UMKM binaan Kecil Menengah

terhadap PDRB Kota Bandung Kota Bandung APBD Pendukung Usaha bagi Usaha Mikro UMKM binaan Kecil Menengah RUMUSAN RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN SKPD TAHUN 2015 DAN PRAKIRAAN MAJU TAHUN 2016 KOTA BANDUNG SKPD : Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah dan Perindustrian Perdagangan Jumlah Sumber Dana APBD Kota Rp

Lebih terperinci

BAB IV PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2011

BAB IV PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2011 BAB IV PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2011 4.1. Prioritas dan Sasaran Pembangunan Daerah Berdasarkan kondisi dan fenomena yang terjadi di Kabupaten Lebak serta isu strategis, maka ditetapkan prioritas

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 19 SERI D

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 19 SERI D BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 19 SERI D PERATURAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR 166 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI SERTA URAIAN TUGAS JABATAN PADA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN

PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 2 No. 2, Agustus 2015: 129-136 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299 PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN 1* 2 3 Jun Harbi,

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM/KEGIATAN DINAS KOPERASI USAHA KECIL MENENGAH PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN ,949,470,000

RENCANA PROGRAM/KEGIATAN DINAS KOPERASI USAHA KECIL MENENGAH PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN ,949,470,000 RENCANA PROGRAM/KEGIATAN DINAS KOPERASI USAHA KECIL MENENGAH PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2015 No. A SEKRETARIAT 1,949,470,000 1) Program Pelayanan Administrasi 1,082,400,000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2002, hlm Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,

BAB I PENDAHULUAN. 2002, hlm Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manajemen merupakan hal pokok yang selalu digunakan oleh setiap industri untuk terus mengembangkan dan memajukan usaha yang dirintis, baik manajemen operasional,

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI)

PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI) PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN MARET 2015

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG DI DESA LABUAN TOPOSO KECAMATAN LABUAN KABUPATEN DONGGALA

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG DI DESA LABUAN TOPOSO KECAMATAN LABUAN KABUPATEN DONGGALA e-j. Agrotekbis 4 (4) : 456-460, Agustus 2016 ISSN : 2338-3011 ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG DI DESA LABUAN TOPOSO KECAMATAN LABUAN KABUPATEN DONGGALA Income Analysis of Corn Farming Systemin Labuan

Lebih terperinci

Kegiatan Prioritas Tahun 2010

Kegiatan Prioritas Tahun 2010 Kementerian Perindustrian pada Tahun Anggaran 2010 mendapat alokasi pagu definitif sebesar Rp.1.665.116.721.000. Kegiatan Prioritas Tahun 2010 Pembangunan sektor industri tahun 2010 akan difokuskan pada

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT I. Perumusan Masalah Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang optimal membutuhkan sebuah pemahaman yang luas dimana pengelolaan SDA harus memperhatikan aspek

Lebih terperinci

LAMPIRAN I : PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR : 2 0 T A H U N TANGGAL :

LAMPIRAN I : PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR : 2 0 T A H U N TANGGAL : STRUKTUR ORGANISASI DINAS PENDIDIKAN LAMPIRAN I : PERATURAN DAERAH PENDIDIKAN TK DAN SD PENDIDIKAN SMP DAN SM TENAGA PENDIDIKAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH PENGAJARAN TK DAN SD PENGAJARAN SMP DAN SM TENAGA

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PENGUSAHA KECIL MELALUI CAPACITY BUILDING DI DAERAH TUJUAN WISATA

STRATEGI PENGEMBANGAN PENGUSAHA KECIL MELALUI CAPACITY BUILDING DI DAERAH TUJUAN WISATA STRATEGI PENGEMBANGAN PENGUSAHA KECIL MELALUI CAPACITY BUILDING DI DAERAH TUJUAN WISATA Tim Peneliti: M. Azzam Manan, DTP Kusumawardhani, Ujud Tahajuddin, Hayaruddin Siahaan, Rochmawati LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanfaatan potensi wilayah dengan peluang yang cukup prospektif salah satunya adalah melalui pengembangan agrowisata. Agrowisata merupakan rangkaian kegiatan wisata

Lebih terperinci

BAB I PENDUHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDUHULUAN Latar Belakang BAB I PENDUHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era otonomi daerah saat sekarang, daerah diberi kewenangan dan peluang yang luas untuk mengembangkan potensi ekonomi, sosial, politik dan budaya. Sebagian besar

Lebih terperinci

Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2017

Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2017 Kementerian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2017 BIRO PERENCANAAN 2017 Formulir C Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2006 Tanggal 29 Nopember 2006

Lebih terperinci

WALIKOTA TASIKMALAYA

WALIKOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA KEPUTUSAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR : 17 TAHUN 2003 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN RINCIAN TUGAS UNIT DINAS PERTANIAN KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL Nomor : P. 07 /V-PTH/2007 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL Nomor : P. 07 /V-PTH/2007 TENTANG DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL Nomor : P. 07 /V-PTH/2007 TENTANG KRITERIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asal dan Penyebaran Tanaman Murbei Usaha persuteraan alam merupakan suatu kegiatan agroindustri yang memiliki rangkaian kegiatan yang panjang. Kegiatan tersebut meliputi penanaman

Lebih terperinci

BAGAN ORGANISASI DINAS PERINDUSTRIAN, KOPERASI, DAN UMKM KABUPATEN SRAGEN..

BAGAN ORGANISASI DINAS PERINDUSTRIAN, KOPERASI, DAN UMKM KABUPATEN SRAGEN.. DINAS PERINDUSTRIAN, KOPERASI, DAN UMKM KABUPATEN SRAGEN LAMPIRAN I :.. PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN TANGGAL : 31 MARET 2011 UMUM DAN KEPEGAWAIAN INDUSTRI KOPERASI LEMBAGA MIKRO USAHA MIKRO, KECIL,

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2013

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2013 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2013 DIREKTORAT TANAMAN SEMUSIM DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 0 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sistem akuntabilitas kinerja instansi

Lebih terperinci

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Penetapan visi sebagai bagian dari perencanaan strategi, merupakan satu langkah penting dalam perjalanan suatu organisasi karena

Lebih terperinci

Kota Bandung 20 lokasi pengecer barang hasil tembakau

Kota Bandung 20 lokasi pengecer barang hasil tembakau RUMUSAN RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN SKPD TAHUN 2016 DAN PRAKIRAAN MAJU TAHUN 2017 KOTA BANDUNG SKPD : Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah dan Perindustrian Perdagangan Jumlah Sumber Dana APBD Kota Rp

Lebih terperinci