IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kajian Pembuatan Tepung Jagung Pembuatan tepung jagung dilakukan pada jagung pipil lima varietas jagung unggulan nasional, yaitu varietas jagung Srikandi Kuning, Bisma, Sukmaraga, Lamuru dan Arjuna. Jagung pipil ini didapatkan dari Balai Pusat Penelitian Serelia, Maros, Sulawesi Selatan. Proses penepungan yang dilakukukan merupakan modifikasi proses penepungan yang telah dilakukan pada penelitian Fahmi (2007). Teknik penepungan yang digunakan adalah teknik penepungan kering (dry process). Teknik penepungan kering ini terdiri atas beberapa tahap proses, yaitu proses pengilingan kasar, pencucian dan pengambangan, perendaman, pengeringan grits, penggilingan halus, pengeringan tepung, pengayakan tepung ukuran 100 mesh, dan pengeringan tepung setelah tepung diayak. Proses pembuatan tepung jagung diawali dengan melakukan proses penggilingan kasar pada jagung pipil. Proses penggilingan kasar ini menggunakan dics mill dengan saringan 10 mesh sehingga menghasilkan grits jagung. Grits jagung yang dihasilkan dari proses penggilingan kasar ini masih bercampur dengan kotoran, lembaga, kulit dan tip cap. Komponenkomponen yang masih bercampur dengan grits ini merupakan komponen yang tidak diinginkan terdapat pada grits jagung. Untuk memisahkan komponen yang tidak diinginkan ini dilakukan proses pencucian. Grits dicuci dengan air bersih sehingga komponenkomponen yang tidak diinginkan tersebut mengambang sehingga memudahkan proses pemisahan. Selama proses pencucian juga dilakukan proses pengadukan agar komponen-komponen yang tidak diinginkan tersebut tidak mengendap dalam tumpukan grits. Proses pencucian ini bertujuan untuk memisahkan grits (bagian endosperm jagung) dengan bagian lembaga, kulit, tip cap serta kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi.

2 Bagian lembaga jagung harus dibuang karena bagian ini dapat menyebabkan tepung jagung yang dihasilkan menjadi cepat tengik akibat reaksi oksidasi lemak karena kandungan lemaknya yang tinggi (Hoseney, 1998). Bagian kulit ari dan tip cap harus dibuang karena dapat menyebabkan tepung jagung memiliki tekstur yang kasar. Setelah proses pencucian, grits jagung kemudian direndam selama 3 jam. Proses perendaman ini berfungsi untuk memperlunak jaringan endosperm jagung sehingga memudahkan proses penggilingan selanjutnya. Kemudian, grits jagung dikeringkan menggunakan sinar matahari hingga kadar airnya mencapai ± 35% dan saat dirasa grits tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering. Pengukuran kadar air dilakukan dengan cara memegang grits dan grits tersebut tidak begitu lengket dengan tangan. Hal ini dilakukan agar proses penggilingan menjadi lebih efisien sehingga rendemen yang dihasilkan pun lebih tinggi. Selanjutnya dilakukan proses penepungan halus menggunakan disc mill dengan saringan berukuran 48 mesh. Tahapan ini bertujuan untuk memperhalus ukuran jagung menjadi tepung. Tepung jagung yang dihasilkan ini masih merupakan tepung jagung kasar. Tepung jagung yang dihasilkan kemudian dikeringkan menggunakan oven suhu 50 o C selama 2 jam. Kemudian tepung diayak menggunakan vibrating screen dengan ukuran ayakan 100 mesh. Ukuran 100 mesh ini dipilih berdasarkan penelitian Pratama (2008) yang meyatakan bahwa ukuran tepung jagung yang dianjurkan untuk membuat mie basah jagung adalah ukuran 100 mesh karena akan menghasilkan mie dengan tekstur yang lebih halus dibandingkan ukuran 80 mesh. Terakhir tepung jagung dikeringkan menggunakan oven suhu 50 o C selama 2 jam untuk mengurangi jumlah air bebas pada tepung jagung sehingga dapat memperpanjang umur simpan tepung. Kemudian tepung jagung dikemas plastik PP ukuran 200 gram dan disimpan dalam freezer. Pembuatan tepung jagung menggunakan teknik penggilingan kering pertama kali dilakukan oleh Juniawati (2003). Pada teknik ini dilakukan penggilingan sebanyak dua kali. Penggilingan pertama menggunakan 44

3 hammer mill. Kemudian dilakukan perendaman dan pencucian pada hasil penggilingan untuk memisahkan bagian endosperma jagung (grits) dengan kulit, lembaga dan tip cap. Perendaman bertujuan untuk melunakkan endosperm jagung agar mudah dihancurkan pada penggilingan kedua. Penggilingan kedua menggunakan disc mill yang bertujuan untuk menghaluskan grits jagung menjadi tepung jagung. Grits jagung terlebih dahulu dikeringkan sehingga diperoleh kadar air ± 35%. Jika kadar air terlalu tinggi maka bahan akan menempel pada disc mill sehingga dapat menimbulkan kemcetan pada alat. Sedangkan jika kadar air terlalu rendah, endosperma akan kembali menjadi keras sehingga sulit untuk ditepungkan. Kedua hal tersebut mengakibatkan rendemen tepung jagung menjadi rendah. Agar ukuran tepung jagung seragam dilakukan proses pengayakan menggunakan saringan berukuran 100 mesh. Menurut Suprapto (1998), penggilingan kering (dry process) umumnya banyak dilakukan dalam skala besar. Menurut Hoseney (1998), pada prinsipnya penggilingan biji jagung menjadi tepung merupakan proses untuk memisahkan endosperma dari bagian biji yang lain, seperti lembaga, kulit (perikarp), dan tip cap. Bagian endosperma merupakan bagian yang akan dibuat menjadi tepung jagung. Hal ini dikarenakan bagian ini memiliki kandungan pati yang paling tinggi. B. Karakterisasi Tepung Jagung Analisa karakterisasi tepung jagung yang dilakukan mencakup analisa sifat fisiko-kimia dan dan sifat fungsional dari tepung jagung. Analisa sifat fisiko-kimia meliputi analisa ph, warna, analisa proksimat (kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat), kadar pati, amilosa, dan amilopektin. Sedangkan analisa sifat fungsional tepung jagung meliputi analisa sifat amilografi, water absorption capacity, kelarutan dan swelling volume. 45

4 1. Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Tepung Jagung Analisa yang dilakukan yaitu analisa sifat fisik dan sifat kimia tepung jagung. Analisa sifat fisik meliputi analisa ph dan warna. Analisa sifat kimia meliputi analisa proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat), kadar pati, amilosa dan amilopektin. a. Analisa Sifat Fisik Tepung Jagung 1). ph Hasil analisa ph dapat dilihat pada Gambar 9. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa ph tepung jagung Srikandi Kuning 5.83, Bisma 5.85, Sukmaraga 5.90, Lamuru 6.67 dan Arjuna dari hasil analisa ph tersebut dapat diketahui bahwa nilai ph tepung jagung yang didapatkan ini masuk ke dalam range ph optimum pembentukan gel, karena menurut Manullang (1993) ph pembentukan gel optimum pada ph 4-7. Jika ph terlalu tinggi, pembentukan gel akan cepat tercapai, tapi akan cepat turun lagi. Jika ph terlalu rendah terbentuknya gel akan lambat dan bila pemanasan dilanjutkan, viskositasnya tidak berubah. Pada ph optimum ini pembetukan gel cenderung lambat, tetapi bila pemanasan diteruskan viskositas tidak berubah. Gambar 9. Nilai ph lima varietas tepung jagung Kemudian dilakukan uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan 46

5 uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap ph yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai ph yang berbeda (Lampiran 5A.1). 2). Warna Analisis warna yang dilakukan menggunakan metode Hunter dimana pengukurannya dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter CR 200 Minolta. Hasil pengukuran yang dihasilkan berupa nilai Y, x dan y. Nilai ini kemudian dikonversi ke dalam skala Hunter L a b. Untuk mendapatkan derajat Hunter dilakukan dua kali proses konversi (Hutching, 1994). Nilai L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Nilai a menggambarkan warna kromatik merah hijau dan b warna kromatik kuning biru. Hasil analisa warna tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil analisa warna lima varietas tepung jagung Varietas Sifat Fisik Srikandi Bisma Sukmaraga Lamuru Arjuna Kuning L Warna a b Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa varietas tepung jagung memiliki nilai L yang cenderung sama. Nilai L yang cenderung sama menyebabkan tidak terlihatnya signifikansi perbedaan tingkat kecerahan tepung jagung. Hal ini dapat dibuktikan dengan gambar tepung jagung pada Gambar 10. Gambar 10. Lima varietas tepung jagung ukuran 100 mesh 47

6 Tepung jagung Bisma memiliki nilai a dan b paling tinggi dibandingkan varietas tepung jagung lainnya. Tepung jagung Bisma memiliki nilai a sebesar dan nilai b Ini berarti tepung jagung Bisma memiliki warna kromatik kuning kemerahan. Warna kuning tepung jagung ini berasal dari pigmen xantofil yang terdapat pada biji jagung. Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kecerahan [Lampiran 5A.2(a)], berpengaruh nyata terhadap nilai a dan b [Lampiran 5A.2(b dan c)] yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan tingkat kecerahan yang cenderung sama dengan tingkat warna kuning kemerahan yang berbeda. b. Analisa Sifat Kimia Tepung Jagung Analisa sifat kimia tepung jagung meliputi analisa proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat), kadar pati, amilosa dan amilopektin. 1) Kadar Air Penentuan kadar air dalam suatu bahan pangan sangat diperlukan karena akan mempengaruhi daya simpan bahan pangan tersebut. Proses penyimpanan ataupun lama dari waktu pemanenan sampai bahan diolah menjadi suatu produk sangat mempengaruhi kadar air dari tepung. Makin tinggi kadar air dari suatu bahan maka makin tinggi kemungkinan bahan tersebut untuk mengalami kerusakan. Kerusakan bahan seperti tepung lebih terutama disebabkan oleh kapang dan berbagai jenis kutu (Syarief dan Halid, 1993). Daya simpan suatu bahan pangan dapat diperpanjang dengan cara menghilangkan sebagian air yang terdapat pada bahan pangan 48

7 tersebut sampai mencapai kadar air tertentu. Salah satu cara memperpanjang daya simpan tepung adalah dengan pengeringan. Menurut Fardiaz (1989), pengeringan pada tepung dapat mengurangi kadar air tepung sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan pada tepung dapat dihambat. Batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15% (bb). Gambar 11. Kadar air lima varietas tepung jagung Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa kadar air tepung jagung kelima varietas jagung yang diujikan memiliki nilai berkisar antara % (bk). Hal ini menunjukkan bahwa kadar air yang terdapat pada beberapa varietas tepung jagung belum memenuhi syarat SNI tepung jagung (SNI ) yaitu maksimum 10%. Namun, kadar air ini masih masuk dalam batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15% b/b (Fardiaz, 1989). Untuk menjaga agar tepung jagung tidak mengalami kerusakan, tepung jagung disimpan di dalam freezer suhu -20 C dan diberi silika gel sampai digunakan dalam penelitian. Kemudian dilakukan uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap kadar air yang 49

8 dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan kadar air yang berbeda (Lampiran 5A.3). 2) Kadar Abu Kadar abu secara kasar menggambarkan kandungan mineral dalam suatu bahan pangan. Kadar abu merupakan sisa-sisa setelah bahan dibakar sehingga bebas karbon. Mineral merupakan zat organik dalam bahan yang tidak terbakar selama proses pembakaran. Kadar abu sangat dipengaruhi oleh jenis bahan, umur bahan dan lain-lain. Secara kuantitatif, kadar abu yang terdapat pada suatu bahan berasal dari mineral-mineral dalam bahan yang masih segar, pemakaian pupuk dan dapat juga berasal dari kontaminasi tanah dan udara selama pengolahan. Umumnya, semakin tinggi nilai kadar abu maka semakin besar kandungan mineral dari suatu bahan pangan. Gambar 12. Kadar abu lima varietas tepung jagung Dari Gambar 12 dapat diketahui bahwa tepung jagung yang dianalisa memiliki kadar abu berkisar antara % (bk). Hal ini sesuai dengan persyaratan tepung jagung menurut SNI tepung jagung (SNI ) yaitu maksimum 1.5%. Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu yang 50

9 dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai kadar abu yang cenderung sama (Lampiran 5A.4). 3) Kadar Protein Kadar protein dalam tepung jagung bukan merupakan syarat mutu tepung dalam SNI tepung jagung. Namun, keberadaannya dalam tepung dapat melengkapi nilai gizinya. Protein utama dari tepung jagung adalah protein jenis zein. Kadar protein dihitung dengan cara menghitung kadar nitrogen (N) dalam bahan pangan menggunakan metode Kjeldahl. Gambar 13. Kadar protein lima varietas tepung jagung Dari Gambar 13 diketahui bahwa kadar protein tepung jagung berkisar antara % (bk). Kandungan protein dalam tepung sangat penting untuk melengkapi nilai gizinya. Oleh karena itu kandungan protein tepung diharapkan setinggi mungkin. Akan tetapi kadar protein juga tidak boleh terlalu tinggi karena protein dapat membentuk lapisan yang melingkupi pati sehingga membutuhkan lebih banyak energi untuk gelatinisasi pati. (BeMiller dan Whistler, 1996 dalam Fennema, 1996). Hal ini akan berdampak pada peningkatan suhu gelatinisasi dan mempengaruhi proses pembuatan mie basah jagung yang sangat bergantung pada proses gelatinisasi pati. 51

10 Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai kadar protein yang cenderung sama (Lampiran 5A.5). 4) Kadar Lemak Analisa kadar lemak yang dilakukan menggunakan metode ekstraksi soxhlet. Kadar lemak yang dianalisa merupakan kadar lemak kasar karena tidak hanya lemak yang terhidrolisa tetapi juga lilin, fosfolipid, sterol, hormon, minyak atsiri dan pigmen. Menurut BeMiller dan Whistler (1996) dalam Fennema (1996), kadar lemak yang tinggi dapat menganggu proses gelatinisasi, sebab lemak mampu membuat kompleks dengan amilosa sehingga amilosa tidak dapat keluar dari granula pati. Lemak dapat menganggu proses gelatinisasi dengan cara sebagian besar lemak akan diserap oleh permukaan granula sehingga terbentuk lapisan lemak yang bersifat hidrofobik di sekeliling granula. Lapisan lemak tersebut akan menghambat pengikatan air oleh granula. Hal ini akan menyebabkan kekentalan dan kelekatan pati berkurang akibat jumlah air berkurang untuk terjadinya pengembangan granula dan menyebabkan terjadi peningkatan suhu gelatinisasi. Dengan mengetahui kadar lemak pada tepung maka akan memudahkan dalam penentuan tujuan dan pembuatan produk, khususnya mie basah jagung yang proses pembuatannya sangat tergantung pada proses gelatinisasi pati. 52

11 Gambar 14. Kadar lemak lima varietas tepung jagung Dari hasil analisa pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa kadar lemak kelima varietas tepung jagung cukup rendah yaitu berkisar antara % (bk). Varietas jagung Lamuru memiliki kadar lemak paling rendah dibandingkan varietas jagung lainnya. Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai kadar lemak yang cenderung sama (Lampiran 5A.4). 5) Kadar Karbohidrat Kadar karbohidrat dihitung dengan metode by difference. Kadar karbohidrat yang didapatkan dari hasil perhitungan ini merupakan kadar karbohidrat kasar. Dari hasil analisa diketahui bahwa kadar karbohidrat kelima varietas tepung jagung berkisar antara % (bk). Tepung jagung varietas Lamuru memiliki kadar karbohidrat paling tinggi yaitu 88.87% (bk). Hasil analisa karbohidrat dapat dilihat pada Gambar

12 Gambar 15. Kadar karbohidrat lima varietas tepung jagung Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai kadar karbohidrat yang cenderung sama (Lampiran 5A.7). 6) Kadar Pati Kadar pati merupakan kriteria mutu terpenting tepung baik sebagai bahan pangan maupun non pangan. Menurut Thomas dan Atwell (1999) dalam Soh et al., (2006), komposisi pati merupakan faktor penting yang menetukan tekstur dan karakteristik dari produk. Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa kadar pati kelima varietas tepung jagung berkisar antara % (bk). Kadar pati yang dihasilkan ini cukup tinggi sehingga sangat membantu dalam proses gelatinisasi saat pembuatan mie basah jagung. Tepung jagung varietas Bisma memiliki kadar pati paling tinggi dibandingkan keempat varietas tepung jagung lainnya, yaitu sebesar % (bk). Hasil analisa pati dapat dilihat pada Gambar

13 Gambar 16. Kadar pati lima varietas tepung jagung Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap kadar pati yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai kadar pati yang berbeda (Lampiran 5A.8). 7) Kadar Amilosa Analisa kadar amilosa yaitu menghitung banyaknya amilosa yang terdapat dalam granula pati. Amilosa sangat berperan dalam proses gelatinisasi dan jumlah amilosa yang cukup tinggi dalam granula pati dapat meningkatkan karakteristik dari pasta pati (Soh et al., 2006). Pati yang memiliki amilosa yang tinggi yang tinggi mempunyai kekuatan ikatan hidrogen yang lebih besar karena jumlah rantai lurus yang besar dalam granula, sehingga membutuhkan energi yang tidak terlalu besar untuk gelatinisasi. 55

14 Gambar 17. Kadar amilosa lima varietas tepung jagung Dari Gambar 17. dapat dilihat bahwa kadar amilosa kelima varietas tepung jagung berkisar antara % (bk). Menurut Soh et al. (2006) kandungan amilosa dalam pati dapat meningkatkan elastisitas dan kekuatan tarik dari pasta pati dan meningkatkan daya serap air (WAC), menurunkan tingkat kelarutan dan swelling volume tepung. Dalam pembuatan pasta pati, tepung diharapkan memiliki kadar amilosa minimum sebesar 25% untuk menghasilkan mie dengan karakteristik fisik yang baik (Galvez et al., 1994 dalam Collado dan Corke, 1998). Selanjutnya dilakukan uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap kadar amilosa yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan kadar amilosa yang berbeda (Lampiran 5A.9). 8) Kadar Amilopektin Kadar amilopektin didaptkan dari selisih kadar pati dan amilosa. Dari Gambar 18 dapat diketahui bahwa kadar amilopektin kelima varietas tepung jagung berkisar antara % (bk). Kadar amilopektin pada tepung yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan mie diharapkan memiliki nilai yang cenderung rendah. Hal ini dikarenakan amilopektin menyebabkan 56

15 terjadinya kristalisasi pati sehingga dapat meningkatkan suhu gelatinisasi (Grant et al., 2000 dalam Soh et al., 2006). Gambar 18. Kadar amilopektin lima varietas tepung jagung Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar amilopektin yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai kadar amilopektin yang sama (Lampiran 5A.10). 2. Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung Jagung Analisa sifat fungsional tepung jagung meliputi analisa sifat amilografi, water absorption capacity (WAC), kelarutan dan swelling volume. a. Sifat Amilografi Sifat gelatinisasi tepung diperoleh dengan analisa menggunakan Visco Amylograph Brabender. Prinsip kerjanya yaitu menaikkan suhu suspensi tepung 1.5 C tiap menit dan mencatat perubahan viskositas yang terjadi pada suspensi tepung tersebut. Sifat amilografi yang penting untuk diamati adalah suhu gelatinisasi awal, viskositas maksimum, breakdown viscosity, setback viscosity dan viskositas akhir. Suhu gelatinisasi awal adalah suhu dimana viskositas mulai 57

16 naik. Nilainya didapat dengan cara mengalikan kecepatan suhu (1.5 C/menit) dengan waktu gelatinisasi (menit) ditambah dengan suhu awal proses pemanasan (30 C). Pemanasan yang diberikan secara terus menerus menyebabkan peningkatan viskositas suspensi. Hal ini ditunjukkan dengan kurva yang menaik. Peningkatan viskositas terjadi karena granula pati mengembang akibat menyerap air (pasting). Pemanasan terus berlanjut sampai pada suhu 95 dan pada suatu titik tertentu akan terjadi penurunan viskositas secara drastis yang disebabkan oleh lepasnya molekul amilosa dari pati. Fenomena ini disebut shear thinning (Hoseney, 1998). Viskositas maksimum adalah viskositas tertinggi dimana granula sudah mulai pecah. Break down viscosity adalah selisih antara viskositas balik dan viskositas maksimum. Setback viscocity adalah selisih antara viskositas akhir dengan viskositas balik dimana telah terjadi retrogradasi. Suhu gelatinisasi akhir adalah suhu dimana viskositas mencapai titik tertinggi. Suhu gelatinisasi akhir berguna untuk melihat viskositas akhir (viskositas tertinggi). Tabel 12. Sifat amilografi lima varietas tepung jagung Sifat Amilografi Suhu Awal Gelatinisasi ( C) Viskositas Maksimum (BU) Viskositas Akhir (BU) Breakdown Viscocity (BU) Setback Viscocity (BU) Srikandi Kuning Bisma Sukmaraga Lamuru Arjuna Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa kelima varietas tepung jagung memiliki suhu gelatinisasi awal sebesar C. Ini berarti pada range suhu inilah tepung jagung akan mulai tergelatinisasi dan terbentuk adonan yang elastis dan kohesif yang dapat dicetak menjadi untaian mie ketika keluar dari die ekstruder. Jika digunakan suhu 58

17 dibawah suhu awal gelatinisasi maka akan terbentuk adonan yang kurang elastis dan menghasilkan untaian mie yang permukaan teksturnya kasar dan mudah patah ketika melalui pencetakan pada ekstruder karena belum mengalami gelatinisasi (Hatorangan, 2007). B C D E F A Keterangan : A : Suhu awal gelatinisasi D : Viskositas setelah holding suhu 95 C B : Viskositas maksimum E : Viskositas saat suhu 50 C C : Viskositas saat holding suhu 95 C F : Viskositas setelah suhu 50 C (V.akhir) Gambar 19. Sifat amilografi lima varietas tepung jagung Viskositas maksimum lima tepung jagung berkisar antara BU dan Viskositas akhir berkisar antara BU. Viskositas maksimum terjadi pada saat range suhu C (dilihat dari Gambar 19). Hal ini berarti saat suhu adonan berkisar antara C terjadi proses peleburan granula pati, amilosa keluar, sehingga terbentuk matriks yang seragam yang dapat meningkatkan kekuatan ikatan antar granula. Viskositas akhir berarti viskositas pati saat proses gelatinisasi sudah sempurna. Breakdown viscosity lima varietas jagung berkisar antara BU dan setback viscosity sebesar BU. Breakdown 59

18 viscosity menggambarkan tingkat kestabilan pasta pati terhadap proses pemanasan dan setback viscosity menggambarkan tingkat kecenderungan proses retrogradasi pasta pati. Semakin besar nilai breakdown viscosity dan setback viscosity maka pasta pati tersebut akan semakin stabil terhadap pemanasan dan semakin tinggi tingkat kecenderungan mengalami retrogradasi. Retrogradasi yang terlalu tinggi tidak diharapkan karena menyebabkan produk yang dihasilkan cepat mengalami kekerasan dan kering. b. Water Absorption Capasity (WAC) Water absorption capacity digunakan untuk mengukur besanya kemampuan tepung untuk menyerap air. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh komposisi granula. Struktur granula pada masingmasing tepung juga sangat menentukan nilai yang terukur. Hasil analisa WAC dapat dilihat pada Gambar 20. WAC dari tepung perlu diperhatikan sebab banyaknya air yang ditambahkan pada tepung akan mempengaruhi sifat-sifat fisik dari tepung. Menurut Kulp (1975), air yang terserap dalam molekul disebabkan oleh granula secara fisik maupun terikat secara intramolekular. Gambar 20. Water absorption capacity lima varietas tepung jagung 60

19 Dari hasil analisa dapat diketahui bahwa WAC berkisar antara g/g (bk). Varietas Bisma memiliki nilai WAC paling tinggi yaitu 1.69 g/g (bk) dan varietas Srikandi Kuning memiliki nilai WAC paling rendah yaitu 1.34 g/g (bk). Hal ini disebabkan lebih tingginya kandungan amilosa pada varietas Bisma dibandingkan Srikandi Kuning. Menurut Soh, et al. (2006), kandungan amilosa yang tinggi dapat membantu penyerapan air pada granula. Kemudian dilakukan uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap nilai WAC yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai WAC yang berbeda (Lampiran 5A.11). c. Kelarutan dan Swelling Volume Kelarutan merupakan bobot tepung yang terlarut dan dapat diukur dengan cara mengeringkan dan menimbang sejumlah larutan supernatan. Swelling volume merupakan kenaikan volume tepung selama mengalami pengembangan di dalam air. Setiap jenis tepung memiliki pola karakteristik kelarutan dan swelling volume yang berbeda. Menurut Leach (1965) di dalam Wurzburg (1965), sifat pengembangan sangat bergantung pada kekuatan dan sifat alami antar molekul dalam granula, yang juga sangat bergantung pada sifat alami dan kekuatan daya ikat dalam granula. Berbagai faktor yang menentukan daya ikat tersebut adalah (1) perbandingan amilosa dengan amilopektin, (2) bobot molekul dari fraksi-fraksi tersebut, (3) distribusi bobot molekul, (4) derajat percabangan, dan (5) panjang dari cabang molekula amilopektin terluar yang dapat berperan dalam kumpulan ikatan. Komponen non-karbohidrat yang secara alami terdapat dalam pati juga mempengaruhi daya ikat. Keberadaan zat lain dalam pati juga mempengaruhi swelling volume. Tingginya kandungan lemak 61

20 dalam tepung dapat menurunkan nilai swelling volume. Menurut Moorthy (1985) dalam Balagopalan et al (1988) perbedaan varietas, faktor lingkungan dan usia tanaman itu sendiri juga dapat mempengaruhi swelling volume dan kelarutan dari tepung jagung. Gambar 21. Kelarutan lima varietas tepung jagung Gambar 22. Swelling volume lima varietas tepung jagung Suhu juga merupakan salah satu faktor yang turut menetukan besarnya nilai kelarutan. Semakin tinggi suhu maka kelarutan akan semakin meningkat. Analisa kelarutan dilakukan pada suhu 90 C dan swelling volume pada suhu 92.5 C. Dari hasil analisa pada Gambar 21 dan Gambar 22 dapat dilihat bahwa nilai kelarutan kelima varietas tepung jagung berkisar antara % dan swelling volume sebesar ml/g (bk). 62

21 Nilai kelarutan dan swelling volume paling tinggi dimiliki oleh tepung jagung varietas Srikandi Kuning dan paling rendah dimiliki oleh tepung jagung varietas Bisma. Nilai kelarutan dan swelling volume juga dipengaruhi oleh kandungan amilosa didalam bahan pangan. Semakin tinggi kandungan amilosa menyebabkan rendahnya tingkat swelling dan kelarutan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh molekul-molekulnya yang linear sehingga memperkuat jaringan internalnya (Leach, 1965 dalam Wurzburg, 1965). Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap kelarutan (Lampiran 5A.13) dan tidak berpengaruh nyata tehadap swelling volume (Lampiran 5A.12) yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai kelarutan yang berbeda dan swelling volume yang cenderung sama. C. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini secara umum terdiri atas beberapa tahap, yaitu pembuatan tepung jagung, analisis karakterisasi tepung jagung, pembuatan mie basah jagung, dan justifikasi pembuatan mie basah jagung. 1. Pembuatan Mie Basah Jagung Pada penelitian ini dilakukan pembuatan mie basah jagung menggunakan ekstruder pencetak mie model MS9, Multifunctional noodle modality machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China. Spesifikasi dari ekstruder pencetak ini dapat dilihat pada Tabel

22 Tabel 13. Spesifikasi ekstruder pencetak mie model MS9, Multifunctional Noodle Modality Machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China. Model MS9 Production capacity 9 kg/h Rating input Power 1.5 Kw Power 1.1 Kw Dimension 600x330x430 mm Net Weight 60 kg Voltage 220 V Frequensi 50 Hz Series no VA 5000 Date 2005 Gambar 23. Ekstruder pencetak mie Model MS9 Pembuatan mie basah jagung menggunakan metode ekstrusi sudah pernah dilakukan sebelumnya, seperti pada penelitian Subarna et al. (1999) melakukan teknik pembuatatn mie jagung dengan ekstrusi piston atau ram dan teknik pembuatan mie dengan sistem ektrusi ulir oleh Waniska et al. (2000). Menurut Waniska et al. (2000) keuntungan dari proses pembuatan mie basah jagung menggunakan metode ekstrusi ini adalah proses lebih sederhana, tidak perlu tahapan sheeting dan slitting, pengulian, dan pembentukan lembaran sehingga waktu proses yang dibutuhkan lebih singkat. Hal ini dikarenakan pembuatan mie basah jagung menggunakan teknik calendaring memerlukan waktu pengolahan yang cukup lama, karena tahapan prosesnya panjang yaitu pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian, pembentukan lembaran, pemotongan, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran mie dg minyak (Budiyah,2004). 64

23 Proses pembuatan mie basah jagung ini terdiri atas beberapa tahap, yaitu penimbangan bahan, pengadukan, pembuatan lembaran, pengukusan pertama, pencetakan adonan menggunakan ekstruder, dan pengukusan kedua. Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan pembuatan mie basah jagung basis 100 gram tepung jagung. Tahap penimbangan bahan dilakukan penimbangan 100 gram tepung jagung, 2% garam dapur basis tepung jagung (2 gram) dan air sampai kadar air adonan 70% basis tepung jagung. Penambahan air sampai kadar air adonan 70% basis tepung jagung ini didapatkan dari hasil optimasi pembuatan mie basah jagung yang dilakukan oleh Pratama (2008). Garam dilarutkan ke dalam air dan dicampur sedikit demi sedikit ke dalam tepung. Hal ini dilakukan agar distribusi larutan merata ke dalam adonan dan mencegah terbentuknya gumpalan-gumpalan tepung yang akan menyebabkan tidak meratanya proses gelatinisasi pati nantinya. Selanjutnya adonan dibentuk lembaran menggunakan plastik jenis HDPE dengan ketebalan ± 0.5 cm menggunakan roll pengepres. (a) (b) Gambar 24. (a) tepung jagung sebelum ditambahkan larutan garam, dan (b) lembaran adonan sebelum dikukus Kemudian dilakukan proses pengukusan terhadap adonan. Kukusan yang digunakan merupakan kukusan rumah tangga karena penelitian yang dilakukan masih skala laboratorium. Pengukusan dilakukan pada suhu uap air C. Proses pengukusan adonan bertujuan untuk membentuk pati tergelatinisasi. Pati tergelatinisasi berfungsi sebagai bahan pengikat dalam proses pembentukan untaian mie. Hal ini dikarenakan tepung jagung tidak memiliki protein gluten seperti 65

24 halnya tepung terigu. Tepung jagung memiliki protein zein dan glutelin (zeanin) yang tidak bisa membentuk massa yang lunak, elastis dan kohesif jika diadon dengan air. Hal berbeda terjadi saat tepung terigu yang memiliki protein gluten saat diadon dengan air, maka akan membentuk massa yang lunak, elastis dan kohesif namun tidak lengket dan mudah dicetak ke dalam bentuk lembaran. Pengukusan pertama (pengukusan adonan) bertujuan agar tepung mengalami gelatinisasi sebagian. Jika gelatinisasi pati sempurna maka adonan akan lengket dan sulit dicetak. Pada proses ini diharapkan adonan berada dalam kisaran suhu gelatinisasinya. Jika adonan berada dibawah kisaran suhu gelatinisasinya, mutu untaian mie kurang bagus, sehingga untaian mie mudah putus. Menurut Pratama (2008) pengukusan selama 15 menit sudah cukup untuk membentuk massa adonan yang lunak, kohesif dan cukup elastis namun tidak lengket sehingga mudah dicetak ke dalam bentuk untaian mie. Adonan yang telah mengalami gelatinisasi sebagian ini kemudian lansung dimasukkan ke dalam ekstruder untuk dicetak menjadi untaian mie. Pembentukan untaian mie harus dilakukan selagi panas karena proses gelatinisasi sebagian (tidak mencapai suhu puncak gelatinisasi) pada adonan menyebabkan pengembangan granula pati bersifat reversible (bolak-balik) sehingga pati yang sebelumnya telah tergelatinisasi mengalami rekristalisasi. Fenomena ini disebut retrogradasi. Kemudian lansung dilakukan proses pengukusan kedua pada untaian mie yang dihasilkan. Hal ini mencegah terjadinya retrogradasi yang menyebabkan untaian mie menjadi keras dan kering. Pengukusan kedua ini juga dilakukan selama 15 menit. Pada pengukusan kedua ini terjadi proses gelatinisasi secara sempurna. Menurut Harper (1981), pada proses gelatinisasi, ikatan hidrogen yang mengatur integritas struktur granula pati akan melemah. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Ketika granula mengembang, amilosa akan keluar dari granula. Granula hanya mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks 66

25 amilopektin yang membentuk gel. Setelah dingin, amilosa akan membentuk matriks yang seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula meningkat. Menurut Kim et al. (1996) kandungan amilosa yang cukup tinggi merupakan salah satu hal yang diharapkan dalam pembuatan mie non terigu karena dapat memiliki daya ikat antar granula yang lebih kuat. (a) (b) (c) Gambar 25. (a) adonan dalam ekstruder dengan pemberian tekanan secara manual (normal) (b) untaian mie keluar dari ekstruder, dan (c) mie basah jagung matang (setelah pengukusan kedua). Hasil dari pengukusan kedua berupa untaian mie basah jagung yang siap untuk dianalisis. Proses pembuatan mie basah jagung ini memerlukan dua kali tahap pengukusan. Hal ini didukung oleh penelitian Subarna et al. (1999) dan Waniska et al. (2000) yang menyatakan bahwa dalam pembuatan mie basah jagung diperlukan tahap pemasakan. Ditegaskan juga oleh Pagani (1985), untuk membuat produk pasta dari bahan non konvensional seperti dari tepung jagung atau dari campuran tepung terigu dan tepung non terigu diperlukan beberapa bentuk penyesuaian, antara lain dapat dilakukan dengan: 1. Meningkatkan sifat fungsional komponen selain protein dan tepung pensubstitusi, dalam hal ini pati dari tepung yang bersangkutan. 2. Menambahkan protein dari sumber lain yang dapat membentuk gluten; dan 3. Menambahkan zat tambahan yang dapat bereaksi dengan pati dan dapat mencegah pembengkakan pati tersebut selama pemasakan, misalnya 67

26 dengan menggunakan mono- dan digliserida dari asam-asam lemak yang membentuk kompleks dengan amilosa dan mencegah keluarnya pati dari produk ke dalam air yang digunakan untuk memasak. Pembuatan produk pasta dari tepung campuran diperlukan penyesuaian terhadap proses pengolahannya, seperti meningkatkan temperatur adonan (Ruiter, 1978). Penyesuaian tersebut bisa dilakukan dengan menambahkan air yang suhunya tinggi untuk melakukan pregelatinisasi terhadap tepung atau dengan menambahkan pati yang telah terpregelatinisasi. Untuk bahan baku yang mengandung sedikit protein seperti jagung, atau yang sama sekali tidak mengandung protein, pembuatan produk pasta harus dilakukan dengan merangsang pembentukan struktur yang khusus dari patinya. Hal ini dapat dilakukan dengan perlakuan pemanasan pada suhu tinggi terhadap adonan yang dimaksudkan untuk menggelatinisasi pati yang terkandung di dalam tepung. Analisis mie basah jagung dilakukan pada dua parameter mutu penting mie basah yaitu persen elongasi dan KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan). Sebenarnya pengukuran karakteristik mie basah belum memiliki standar yang digunakan secara universal karena produk mie yang tersebar luas dan punya ciri khas yang berbeda-beda tiap negara (Kruger, 1996). Namun, analisis yang dilakukan ini didukung oleh Hou dan Krouk (1998) yang menyatakan bahwa karakteristik fisik yang terpenting dari mie basah adalah elongasi dan KPAP. Mie basah jagung yang dinyatakan sebagai mie basah jagung yang bermutu baik memiliki persen elongasi yang tinggi dan KPAP yang rendah. Analisa persen elongasi pada penelitian pendahuluan ini menggunakan Texture Analyzer TATX-2. Hasil analisa persen elongasi dan KPAP kelima varietas mie basah jagung dapat dilihat pada Tabel

27 Tabel 14. Hasil analisa persen elongasi dan KPAP lima varietas mie basah jagung No. Varietas Jagung Rata-rata % Elongasi ± SD Rata-rata KPAP ± SD (%) 1 Srikandi Kuning ± ± Bisma ± ± Sukmaraga ± ± Lamuru ± ± Arjuna ± ± 0.14 Berdasarkan data tersebut di atas dapat dilihat bahwa nilai standar deviasi untuk kedua parameter mutu cukup tinggi. Variasi ini diperkirakan terjadi akibat basis bahan baku yang digunakan terlalu sedikit (100 g) dan adanya parameter proses yang tidak terkontrol, yaitu tekanan. Oleh sebab itulah dilakukannya justifikasi proses pembuatan mie basah jagung dengan menggunakan bahan baku yang lebih banyak dan memberikan tekanan secara manual. 2. Justifikasi Pembuatan Mie Basah Jagung Justifikasi proses pembuatan mie basah jagung dilakukan dengan menaikkan basis bahan baku menjadi dua kali lipat lebih banyak dari penelitian pendahuluan, yaitu 200 gram tepung jagung, 2% garam dapur (4 gram) dan jumlah air yang ditambah hingga kadar air tepung mencapai 70%. Selain itu juga dilakukan pemberian tekanan secara manual menggunakan sebuah balok kayu selama adonan berada dalam ekstruder. Pengukuran besarnya tekanan yang diberikan sulit dilakukan, sehingga yang diukur adalah waktu (laju) pengisian (fiiling rate). Filling rate diukur dengan cara menghitung waktu keluar mie yang pertama dari die hingga adonan tepung habis di dalam ekstruder. Perlakuan tekanan dilakukan pada tepung jagung varietas NT10. Hasil pengukuran filling rate dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil filling rate Ulangan Dengan Tekanan Tanpa Tekanan (Normal) 1 2 menit 30 detik 2 menit 50 detik 2 2 menit 35 detik 2 menit 53 detik 3 2 menit 35 detik 2 menit 52 detik Rata-Rata 2 menit 33 detik 2 menit 51 detik 69

28 Berdasarkan Tabel 15. dapat kita ketahui bahwa pemberian tekanan secara manual dapat mempersingkat waktu filling rate. Kecepatan berbanding terbalik dengan waktu. Semakin cepat mie keluar dari die maka semakin singkat waktu filling rate yang dihasilkan. Hal ini didukung oleh penelitian Fahmi (2007) yang menyatakan bahwa kualitas mie basah jagung dengan teknologi ekstrusi yang paling baik adalah mie yang dihasilkan dengan kecepatan ulir 130 rpm dibandingkan dengan kecepatan ulir 110 dan 120 rpm. Mie basah jagung yang dihasilkan dengan kecepatan ulir 130 rpm memiliki persen elongasi yang tinggi dan KPAP yang rendah. Nilai persen elongasi pada justifikasi dan penelitian selanjutnya tidak menggunakan Texture Analyzer TATX-2 tetapi menggunakan Rheoner. Hal ini dikarenakan Texture Analyzer yang ada tidak bisa digunakan. Akan tetapi, agar hasil yang didapatkan tidak rancu, dilakukan beberapa kali analisis sampel yang sama dengan penelitian pendahuluan menggunakan Rheoner. Dari hasil yang didapatkan dilakukan uji t-test menggunakan data analysis pada Microsoft Excel. Dari hasil uji ini didapatkan hasil bahwa nilai persen elongasi hasil TATX-2 tidak berbeda nyata dengan nilai persen elongasi menggunakan Rheoner pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 6A). Sehingga pergantian alat analisis tidak berpengaruh nyata pada hasil analisis yang didapatkan. Hasil analisa persen elongasi dan KPAP dapat dilihat pada Gambar 26. Gambar 26. Persen elongasi dan KPAP justifikasi mie basah jagung 70

29 Dari Gambar 25. dapat kita ketahui bahwa mie basah jagung yang dihasilkan dengan perlakuan tekanan memberikan nilai persen elongasi yang lebih tinggi dan KPAP yang lebih rendah dibandingkan mie basah jagung tanpa perlakuan tekanan. Kemudian dilakukan juga uji pengaruh tekanan terhadap hasil analisa KPAP dan persen elongasi. Uji yang dilakukan menggunakan data analysis dengan Microsoft Excel. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% tekanan berpengaruh nyata terhadap kelarutan nilai KPAP dan persen elongasi yang dihasilkan. Artinya, perbedaan tekanan akan menghasilkan KPAP dan persen elongasi yang berbeda (Lampiran 6B). Justifikasi dilanjutkan dengan melakukan analisa mikrostruktur menggunakan SEM (Scanning Elektron Microscope). Analisa mikrostruktur ini berguna untuk melihat kekuatan ikatan antar granula dan keseragaman matriks amilosa setelah terjadinya proses gelatinisasi pati secara sempurna. Analisa ini dilakukan pada sampel mie basah jagung salah satu varietas terpilih dengan dan tanpa tekanan. Sebelum dilakukan analisis menggunakan SEM sampel didehidrasi terlebih dahulu. Hal ini mencegah kerusakan alat SEM yang disebabkan oleh uap air yang dihasilkan sampel saat dianalisis dengan tekanan tinggi. Proses dehidrasi yang dipilih adalah proses dehidrasi yang tidak merusak struktur dari sampel, salah satu metode yang disarankan adalah metode freeze drying (Kalab, 1983 dalam Peleg dan Bagley, 1983). Proses freeze drying dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB. Sampel mie basah dimasukkan ke dalam tabung khusus freeze drying. Kemudian atur suhu (-76) o C. Mesin freeze dry di running dan alat vakum dinyalakan. Sampel di freeze dry ± 15 jam agar sampel mencapai kadar air maksimum 5%. Sampel yang sudah di freeze dry kemudian di simpan dalam cawan petri yang dimasukkan ke dalam desikator. Hal ini berfungsi untuk menjaga sampel dari kontaminasi. Menurut Noor (2001), 71

30 kontaminasi yang terjadi pada sampel dapat mengganggu hasil analisa, karena analisa SEM merupakan pengamatan permukaan sampel, jadi sampel benar-benar harus dipersiapkan sebersih mungkin. Kemudian sampel yang sudah kering di potong ± 1-3 mm. Sampel di letakkan di atas di atas stap yang sudah ditempeli dengan carbon double tape. Carbon double tape berfungsi untuk merekatkan sampel pada stap dan memudahkan alat membedakan pantulan sampel dan karbon saat stap ditembak elektron. Kemudian sampel dicoating dengan emas menggunakan JEOL JFC 110E Ion Sputtering Device Fine Coat. Selain berfungsi agar sampel memiliki sifat konduktif terhadap elektrik (bagus mengantarkan elektron, karena sampel biologis tidak bagus dalam mengantarkan elektron), coating juga berguna untuk mengurangi sampel menerima elektrostatik dan meningkatkan jumlah secondary electron (Noor, 2001). Hal yang terpenting dalam coating adalah membuat coating setipis mungkin. Coating juga bisa menggunakan platinum dan karbon. Coating dilakukan selama 4 menit. Menurut Noor (2001) dengan waktu 4 menit didapatkan ketebalan coating sebesar 300 A. Setelah sampel dicoating, sampel diletakkan di dalam kolom tempat sampel pada alat SEM JEOL JSM Analisa SEM dilakukan pada dua perbesaran, yaitu X2000 dan X3500. Hal ini dilakukan untuk melihat topografi pada permukaan mie basah jagung (X2000) dan melihat struktur granula pati setelah gelatinisasi (X3500). Hasil analisa menggunakan SEM dapat dilihat pada Gambar 27. Nilai X11000 dan X9000 merupakan nilai magnification (perbesaran) sebenarnya. Nilai ini didapatkan dari pembagian panjang garis yang terdapat pada gambar dengan direct magnification (panjang garis yang terdapat pada gambar, yaitu 10µm dan 5µm). Nilai 20kV merupakan tekanan yang digunakan saat penembakan elektron pada SEM. 72

31 PDS SS 20 kv X2000 (a) 20 kv X3500 (b) DS DS DS 20 kv X kv X3500 (b) (d) 20 kv X kv X3500 (e) (f) Keterangan : (a) Mie basah jagung tanpa pemberian tekanan secara manual 20kV X11000 (X2000) (b) Mie basah jagung tanpa pemberian tekanan secara manual 20kV X9000 (X3500) (c) Mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual 20kV X11000 (X2000) (d) Mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual 20kV X9000 (X3500) (e) Mie basah jagung terigu 20kV X11000 (X2000) (f) Mie basah jagung terigu 20kV X9000 (X3500) Gambar 27. (a) dan (b) Mie basah jagung tanpa pemberian tekanan manual (c) dan (d) Mie basah jagung dengan pemberian tekanan manual (e) dan (f) Mie basah terigu SS = swollen starch (pati yang mengembang); PDS = partially disintegrated starch (bagian-bagian pati yang meleleh) ; DS= disintegrated starch (pati yang meleleh). 73

32 Dari Gambar 27 dapat dilihat bahwa (a) dan (b) mie basah jagung tanpa pemberian tekanan secara manual menghasilkan gambar mikrostruktur yang tidak beraturan. Tidak terlihat jelas ikatan amilosa yang terbentuk akibat melelehnya pati (Gambar 27a.). Pada Gambar 27b. terlihat jelas bahwa antar granula amilosa yang keluar tidak membentuk matriks yang kompak dan masih banyak pati yang belum mengalami gelatinisasi sempurna, dimana PDS (bagian-bagian pati yang meleleh) tidak membentuk matriks yang kompak. Menurut Astawan (2005) proses gelatinisasi dapat menyebabkan pati meleleh dan membentuk lapisan tipis (film) yang akan memberikan kelembutan pada pati dan pengaruhi elastisitas mie. Hal ini akan berpengaruh pada nilai persen elongasi dan KPAP. Nilai persen elongasi akan menjadi lebih rendah karena tidak kuatnya amilosa yang keluar dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi, sehingga saat dilakukan penarikan terhadap untaian mie, mie cenderung mudah putus. Nilai KPAP akan cenderung lebih besar karena ikatan amilosa yang tidak kuat dan kurang kompak akan cenderung mudah lepas saat dilakukan pemasakan. Berbeda halnya dengan Gambar 27 c dan d. Pada gambar tersebut terlihat jelas ikatan yang terbentuk akibat keluarnya amilosa saat pati meleleh saat proses gelatinisasi terjadi. Matriks yang terbentuk cukup kompak dan ikatannya cukup kuat. Pati yang meleleh (DS) membentuk matriks yang cukup kompak. Hal ini akan berpengaruh pada nilai persen elongasi dan KPAP. Nilai persen elongasi akan menjadi lebih tinggi karena amilosa yang keluar cukup sempurna dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi sehingga saat dilakukan penarikan terhadap untaian mie, mie tidak mudah putus. Nilai KPAP akan cenderung lebih rendah karena ikatan amilosa yang cukup kuat dan matriks yang seragam menyebabkan tidak begitu banyak partikel-partikel pati yang lepas saat dilakukan pemasakan. Hasil SEM pada Gambar 27 e dan f (mie terigu) memperlihatkan hasil yang cenderung sama dengan Gambar 27 c dan d (mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual). Analisa SEM menggunakan 74

33 sampel mie basah terigu memperlihatkan bentuk matriks yang kuat dan kompak. Hal inilah yang membuat mie basah terigu memiliki nilai persen elongasi tinggi dan nilai KPAP yang rendah. Menurut Stanley (1987) pemberian tekanan saat membuat produk ekstruder sangat diperlukan karena sifat penyerapan air saat proses gelatinisasi sangat dipengaruhi oleh tekanan. Tekanan menyebabkan tekstur produk lebih porous, sehingga saat proses gelatinisasi dapat menyerap air lebih banyak. Banyak sedikitnya air yang terserap saat proses gelatinisasi akan mempengaruhi sempurna atau tidaknya proses gelatinisasi. Jika air yang terserap sedikit, maka yang terjadi hanya proses gelatinisasi sebagian (Muchtadi et al., 1987). Hal ini mendukung data hasil karakterisasi parameter mutu inti mie basah jagung yang dilakukan pada tahap awal justifikasi, dimana nilai persen elongasi mie basah jagung tanpa tekanan lebih rendah dibandingan mie basah jagung dengan tekanan, yaitu sebesar % dan % serta nilai KPAP mie basah jagung tanpa tekanan lebih tinggi dibandingan mie basah jagung dengan tekanan, yaitu sebesar 7.15% dan 5.56%. Oleh karena tekanan sangat berpengaruh terhadap kualitas mie basah jagung yang dihasilkan, maka pada penelitian utama akan dilakukan pembuatan mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual. D. Pembuatan Mie Basah Jagung Berdasarkan Hasil Justifikasi dan Perbandingan Mie Basah Jagung dengan Penambahan Guar Gum Pada penelitian utama ini dilakukan pembuatan mie basah jagung dengan menerapkan hasil justifikasi yang telah dilakukan. Pembuatan mie basah jagung dilakukan pada kelima varietas tepung jagung dengan pemberian tekanan secara manual saat adonan berada dalam ekstruder. Pada penelitian utama ini selain dilakukan pembuatan mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual pada semua varietas tepung jagung juga dilakukan penambahan BTP (Bahan Tambahan Pangan) jenis guar gum untuk memperbaiki karakteristik mie basah jagung yang dihasilkan. 75

34 Karakteristik fisik yang perlu diperbaiki adalah KPAP dari mie basah jagung. Kesimpulan ini dilihat dari hasil analisa karakteristik fisik pada penelitian pendahuluan bahwa nilai KPAP mie basah jagung cukup tinggi. Guar gum dipilih berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fadlillah (2005). Fadlillah (2005) menyatakan bahwa diantara guar gum, carboxyl metil cellulose (CMC), alginat, tawas, dan campuran K 2 CO 3 dan Na 2 CO 3, penambahan guar gum dengan konsentrasi 1% memiliki pengaruh yang paling besar dalam mengurangi cooking loss (KPAP) mie jagung. Oleh karena itu pada penelitian ini juga digunakan guar gum untuk mengurangi cooking loss (KPAP). Karakteristik fisik yang menjadi parameter mutu mie basah jagung sama dengan parameter mutu mie basah pada penelitian pendahuluan, yaitu persen elongasi dan KPAP. Hal ini dikarenakan menurut Hou dan Krouk (1998), persen elongasi dan KPAP merupakan paremeter mutu inti mie basah. Pada penelitian utama ini ditambahkan analisis tensile strength dan warna. Analisis yang ditambahkan ini diharapkan dapat menjadi nilai tambah dari mie basah jagung yang dihasilkan. 1. Persen Elongasi Persen elongasi merupakan persen pertambahan panjang untaian mie saat diberikan gaya tarik. Pada penelitian ini dilakukan dua metode analisa pengukuran persen elongasi, yaitu dengan proses pencelupan dalam air panas dan proses perendaman. Hal ini dilakukan berdasarkan aplikasi mie basah, yaitu untuk mie bakso (mie basah dicelup ke dalam air panas) dan mie ayam (mie basah direbus di dalam air panas). Proses pencelupan dilakukan sebanyak 3 kali celupan dan proses perebusan dilakukan sampai mie basah matang. Penentuan mie basah matang atau tidak dilakukan dengan cara memotong untaian dan dilihat masih ada atau tidaknya warna putih pada diameter mie. Jika masih ada warna putih pada diameter mie, berarti mie belum matang karena masih ada pati yang berwarna putih. 76

35 a. Persen elongasi metode celup Pengukuran persen elongasi metode celup dilakukan berdasarkan pada aplikasi mie basah sebagai mie bakso. Aplikasi mie bakso, mie basah dicelup sebanyak 2-3 kali ke dalam air panas. Untuk keseragaman hasil, dilakukan 3 kali pencelupan mie basah ke dalam air panas. Hasil analisa persen elongasi metode celup dapat dilihat pada Gambar 28. Gambar 28. Persen elongasi metode celup lima varietas tepung jagung Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa dengan penambahan guar gum sebanyak 1%, menghasilkan persen elongasi yang lebih tinggi dibandingkan tanpa penambahan guar gum. Hal ini dikarenakan guar gum berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan sehingga ikatan produk menjadi lebih kuat dan saat diberikan gaya tarik pada untaian mie, mie tidak mudah putus. Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap persen elongasi yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai persen elongasi yang berbeda (Lampiran 5B.1). Mie basah jagung varietas Lamuru memiliki nilai persen elongasi metode celup yang paling tinggi dibandingkan keempat varietas 77

36 tepung jagung lainnya. Mie basah varietas Lamuru ini memiliki nilai persen elongasi paling tinggi baik pada pembuatan mie basah tanpa penambahan ataupun dengan penambahan guar gum. Nilai persen elongasi varietas Lamuru tanpa penambahan guar gum sebesar 95.43% dan dengan penambahan guar gum sebesar %. b. Persen elongasi metode rebus Pengukuran persen elongasi metode rebus dilakukan berdasarkan pada aplikasi mie basah sebagai mie ayam. Aplikasi mie ayam, mie basah direndam sampai matang di dalam air panas. Perendaman dilakukan umumnya berkisar antara 3 5 menit. Untuk keseragaman hasil, dilakukan perendaman selama waktu pematangan yang didapatkan pada analisa KPAP. Waktu pematangan mie adalah waktu dimana untaian mie saat dipotong tidak memiliki bintik putih lagi. Hasil pengukuran waktu pematang mie dapat dilihat pada Tabel 15. Hasil analisa persen elongasi metode rebus dapat dilihat pada Gambar 29. Gambar 29. Persen elongasi metode rebus lima varietas tepung jagung Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa dengan penambahan guar gum sebanyak 1%, menghasilkan persen elongasi yang lebih tinggi dibandingkan tanpa penambahan guar gum. Hal ini dikarenakan guar gum berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan 78

37 sehingga ikatan produk menjadi lebih kuat dan saat diberikan gaya tarik pada untaian mie, mie tidak mudah putus. Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap persen elongasi yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai persen elongasi yang berbeda (Lampiran 5B.2). Mie basah jagung varietas Lamuru memiliki nilai persen elongasi metode celup yang paling tinggi dibandingkan keempat varietas tepung jagung lainnya. Mie basah varietas Lamuru ini memiliki nilai persen elongasi paling tinggi baik pada pembuatan mie basah tanpa penambahan ataupun dengan penambahan guar gum. Nilai persen elongasi varietas Lamuru tanpa penambahan guar gum sebesar 25.09% dan dengan penambahan guar gum sebesar 61.49%. Secara umum tingginya persen elongasi disebabkan oleh pemberian tekanan yang lebih besar. Hal ini menyebabkan sifat kohesif partikel-partikel pati yang bersifat sebagai pengikat saat tergelatiniasi semakin meningkat. Gelatinisasi pati terjadi saat proses pengukusan dan proses ini bertindak sebagai matriks pengikat pada mie jagung menggantikan fungsi protein gluten (gliadin dan glitinin) yang tidak terdapat pada tepung jagung, sehingga mie basah jagung bisa dengan mudah dicetak, kohesif dan bersifat elastik(rianto, 2006; Soraya, 2005; dan Budiyah, 2004). Menurut Kim et al. (1996), pati mampu menjaga struktur mie yang elastis karena amilosa yang terdapat dalam pati mampu berikatan satu sama lain membentuk matriks yang kuat dan seragam. 2. KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) atau cooking loss merupakan lepasnya partikel-partikel pati dari untaian mie yang dibuktikan dengan keruhnya air bekas masak. KPAP berpengaruh 79

38 terhadap kehilangan energi dan kualitas mie setelah mie dimasak. Tingginya KPAP mengakibatkan kuah mie menjadi keruh dan kental akibat pati yang terlepas. Penambahan guar gum sampai dengan konsentrasi tertentu dapat menurunkan nilai KPAP karena guar gum dapat berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan sehingga ketika mie dimasak komponen-komponen tersebut tidak lepas. Pengukuran KPAP diawali dengan pemasakan mie sampai mie matang (tidak memiliki bintik putih lagi) atau yang sering disebut sebagai waktu pematangan mie. Kemudian dilakukan pengeringan menggunakan oven pengering suhu 110 C selama 10 jam (Purwani et al., 2006). Hasil pengukuran waktu pematangan mie dapat dilihat pada Tabel 16. dan KPAP pada Gambar 30. Tabel 16. Waktu pemasakan sampai mie cukup matang Jenis Jagung Srikandi Kuning Bisma Sukmaraga Lamuru Arjuna Waktu 3 menit 10 detik 3 menit 39 detik 3 menit 30 detik 3 menit 25 detik 3 menit 35 detik Gambar 30. Persen KPAP lima varietas tepung jagung Pemberian tekanan dapat meningkatkan kekompakkan antar partikel dalam untaian mie yang dihasilkan, sehingga dapat menurunkan 80

39 nilai KPAP. Hal inilah yang menyebabkan nilai KPAP mie basah jagung dengan perlakuan tekanan lebih rendah dibandingkan mie basah jagung tanpa perlakuan tekanan. Penambahan guar gum pada proses pembuatan mie basah jagung juga dapat menurunkan nilai KPAP mie basah jagung yang dihasilkan. Dari Gambar 29 dapat diketahui bahwa dengan penambahan guar gum, mie basah jagung lima varietas memiliki nilai KPAP yang cukup kecil, berkisar antara %. Nilai ini dianggap kecil karena dari penelitian sebelumnya, KPAP mie basah jagung >10% (Rianto, 2006). Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap KPAP yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai KPAP yang berbeda (Lampiran 5B.3). 3. Tensile Strength Tensile strength menunjukkan kekuatan elastisitas suatu bahan. Nilai tensile strength ditunjukkan dengan tingginya kurva elastisitas yang dihasilkan kemudian nilainya dikonversi menjadi satuan kilo gram force (kgf). Semakin tinggi nilai tensile strength mie menunjukkan semakin tinggi elastisitas mie tersebut. Artinya, diperlukan kekuatan yang cukup besar untuk membuat untaian mie putus saat dilakukan penarikkan. Nilai tensile strength menggambarkan kemampuan maksimal mie untuk menahan gaya tarikan dengan besaran tertentu. Nilai tensile strength diukur dengan menghitung jumlah kotak yang dilewati oleh chart saat pengukuran elongasi pada saat chart mencapai puncak tertinggi sebelum chart turun (puncak chart saat mie putus ketika mie diberikan gaya). Kemudian jumlah kotak dikalikan dengan kekuatan saat beban 0.2 volt. Kekuatan 1 kotak chart saat 0.2 volt = 4 kgf. Hal ini berarti semakin tinggi nilai persen elongasi maka semakin tinggi pula nilai tensile strength yang dihasilkan. 81

40 Hasil analisa tensile strength metode celup dan rebus dapat dilihat pada Gambar 31 dan Gambar 32. Gambar 31. Persen tensile strength metode celup lima varietas tepung jagung Gambar 32. Persen tensile strength metode rebus lima varietas tepung jagung Dari Gambar 30 dan 31 di atas diketahui bahwa mie basah jagung pada kedua metode pengukuran persen elongasi dengan penambahan guar gum memiliki nilai tensile strength yang lebih tinggi dibandingkan nilai tensile strength tanpa penambahan guar gum. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa guar gum dapat meningkatkan nilai persen elongasi dan tensile strength (Goldstein et al., 1973). Teori ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Soraya (2006) yang menyatakan bahwa penambahan guar gum dapat meningkatkan persen elongasi dan 82

41 tensile strength karena guar gum dapat berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen lain dalam adonan sehingga terbentuk massa yang lebih kompak. Mie basah jagung varietas Lamuru memiliki nilai tensile strength yang paling tinggi baik pada mie basah dengan penambahan guar gum ataupun tanpa penambahan guar gum. Semakin besar nilai persen elongasi maka semakin besar tensile strength yang dihasilkan karena dibutuhkan kekuatan yang cukup besar untuk menarik untaian mie untuk putus,artinya semakin tinggi nilai persen elongasi mie. Daya tahan mie akibat gaya tarik yang diberikan (kekuatan mie saat ditarik) juga akan semakin besar, inilah yang disebut dengan tensile strength. Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap tensile strength yang dihasilkan. Hal ini berarti nilai tensile strength yang berbeda dikarenakan adanya perbedaan varietas tepung jagung [Lampiran 5B(4 dan 5)]. 4. Warna Analisis warna dan tensile strength berperan sebagai nilai tambah mie basah jagung yang dihasilkan. Analisis warna yang dilakukan menggunakan metode Hunter dengan menggunakan alat Chromameter CR 200 Minolta. Hasil pengukuran yang dihasilkan berupa nilai Y, x dan y. Nilai ini kemudian dikonversi ke dalam skala Hunter L a b. Untuk mendapatkan derajat Hunter dilakukan dua kali proses konversi (Hutching, 1994). Nilai L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Nilai a menggambarkan warna kromatik merah hijau dan b warna kromatik kuning biru. Hasil analisa warna mie basah jagung dapat dilihat pada Gambar 32 untuk nilai L dan Tabel 16 untuk nilai a dan b. 83

42 Gambar 33. Tingkat kecerahan lima varietas tepung jagung Dari Gambar 32 dapat diketahui bahwa kelima mie basah jagung menghasilkan tingkat kecerahan yang berbeda-beda. Mie basah jagung tanpa penambahan guar gum memiliki tingkat kecerahan yang sedikit lebih tinggi dibandingkan mie basah jagung dengan penambahan guar gum. Dengan penambahan guar gum, tingkat kecerahan mie basah cenderung mengalami penurunan. Akan tetapi penurunan tingkat kecerahan mie basah jagung yang dihasilkan ini tidak begitu signifikan. Dilihat dari hasil analisa pada Gambar 32 selisih nilai L antara mie basah tanpa dan dengan penambahan guar gum tidak begitu besar. Tingkat kecerahan mie basah tanpa dan dengan penambahan guar gum dimiliki oleh mie basah jagung varietas Bisma, yaitu sebesar dan Hal berbeda terjadi pada mie basah varietas Srikandi kuning dan Arjuna. Pada kedua varietas ini, mie basah jagung dengan penambahan guar gum mengalami kenaikan tingkat kecerahan. Akan tetapi kenaikan yang terjadi ini juga tidak begitu signifikan. Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap tingkat kecerahan yang dihasilkan. Hal ini berarti nilai tingkat kecerahan yang berbeda dikarenakan adanya perbedaan varietas tepung jagung (Lampiran 5B.6). 84

43 Tabel 17. Nilai a dan b lima varietas mie basah jagung Varietas Tanpa Guar Gum a Dengan Guar Gum Nilai Tanpa Guar Gum b Dengan Guar Gum Srikandi Kuning Bisma Sukmaraga Lamuru Arjuna Dari Tabel 17 dapat diketahui bahwa secara umum mie basah jagung yang dihasilkan memiliki warna kromatik kuning kemerahan. Dengan penambahan guar gum, tingkat kuning kemerahan dari warna kromatik mie basah jagung ada yang mengalami penurunan warna kuning dan ada yang mengalami peningkatan warna kuning. Warna kuning ini berasal dari pigmen xantofil yang terdapat pada tepung jagung. Pigmen xantofil yang paling utama adalah lutein dan zeaxanthin, yaitu mencapai 90% dari total pigmen karotenoid di dalam jagung (Watson, 2003). Warna kuning pada tepung jagung-lah yang memberikan warna kuning alami pada produk mie basah jagung ini. Mie jagung yang berwarna kuning merupakan keunggulan mie jagung dibandingkan mie terigu karena tidak diperlukan lagi penambahan bahan tambahan pangan (pewarna) untuk menghasilkan mie matang yang berwarna kuning (Fadlillah, 2005). Menurut Kidmose et al. (2002) perlakuan panas dapat menyebabkan kandungan karotenoid dalam bahan pangan menurun, stabil, bahkan meningkat. Penurunan kecerahan dapat terjadi karena degradasi pigmen oleh panas sehingga menurunkan jumlah pigmen dalam bahan. Peningkatan kecerahan terjadi karena pemanasan dapat menyebabkan kerusakan dinding sel, kehilangan air, dan inaktivasi enzim sehingga meningkatkan kemapuan ekstraksi pigmen. Waktu pemanasan yang semakin lama menyebabkan semakin banyak pigmen yang dapat diekstrak sehingga warna menjadi lebih cerah. 85

44 E. Penentuan Varietas Jagung yang Paling Cocok Untuk Dibuat Mie Basah Jagung Penentuan varietas jagung yang cocok untuk dibuat mie basah jagung didapatkan dengan cara memilih varietas jagung yang memiliki karakteristik terbaik. Karakteristik terbaik dicari berdasarkan standar karakteristik terbaik mie terigu. Menurut Eastern Pearl Flours Mills (2009), mie yang baik adalah mie yang tidak mudah putus (elastisitas tinggi). Hal ini juga didukung oleh Anonim [b] (2009) yang menyatakan bahwa karakteristik penting dari mie basah terigu adalah mie yang kenyal (tidak mudah putus) dan tidak mudah lembek bila mie direbus. Mie yang tidak mudah lembek bila direbus berarti mie memiliki tekstur yang cukup kompak sehingga untaian mie tidak mudah melepaskan patikel-partikel amilosa saat proses perebusan. Artinya, KPAP produk mie yang dihasilkan rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Soraya (2006), Rianto (2006) dan Kurniawati (2006), karakteristik mie basah terigu yang paling utama adalah persen elongasi dan KPAP. Oleh karena itu dalam penelitian ini penentuan varietas jagung yang paling cocok untuk dibuat mie basah jagung berdasarkan pada nilai persen elongasi dan KPAP. Tabel 18. Karakterisasi sifat fisik mie basah terigu Mie basah terigu KPAP (%) Persen Elongasi (%) Sumber : Soraya (2006), Rianto (2006), dan Kurniawati (2006) Tabel 19. Hasil karakterisasi sifat fisik mie basah jagung KPAP (%) Persen Elongasi (%) Srikandi Kuning Bisma Sukmaraga Lamuru Arjuna Tanpa Guar Gum Dengan Guar Gum Tanpa Guar Gum Dengan Guar Gum Tanpa Guar Gum Dengan Guar Gum Tanpa Guar Gum Dengan Guar Gum Tanpa Guar Gum Dengan Guar Gum Dari Tabel 19 dapat dilihat hasil karakterisasi sifat fisik lima varietas mie basah jagung. Hasil karakterisasi yang di-shading merupakan hasil karakterisasi terbaik berdasarkan perbandingan nilai persen elongasi 86

45 dan KPAP dari kelima varietas mie basah jagung dengan nilai persen elongasi dan KPAP mie terigu yang tercantum pada Tabel 18. Dari hasil shading dapat diketahui bahwa varietas Lamuru dan Sukmaraga merupakan varietas jagung yang paling cocok untuk dibuat mie basah jagung. Varietas Lamuru dan Sukmaraga yang ditambahkan guar gum saat proses pembuatan memiliki nilai persen elongasi yang lebih tinggi dan KPAP yang lebih rendah dibandingkan mie terigu. Nilai persen elongasi tertinggi dimiliki oleh varietas Lamuru dengan penambahan guar gum, yaitu sebesar %. Hal ini berarti varietas Lamuru merupakan varietas jagung yang paling cocok untuk dibuat mie basah jagung, diikuti oleh varietas Sukmaraga. Tiga varietas jagung lainnya, Srikandi Kuning, Bisma dan Arjuna belum cocok dijadikan mie basah jagung karena memiliki nilai persen elongasi yang lebih rendah dibandingkan mie terigu. Penambahan guar gum sangat berpengaruh terhadap nilai persen elongasi dan KPAP mie basah jagung yang dihasilkan. Dengan penambahan guar gum sebanyak 1% dapat meningkatkan nilai persen elongasi dan menurunkan persen KPAP mie basah. Tingginya nilai persen elongasi dan rendahnya KPAP mie basah jagung varietas Lamuru selain karena pengaruh penambahan guar gum saat proses pembuatan mie basah jagung, juga disebabkan karena karakteristik tepung jagung varietas Lamuru itu sendiri. Varietas ini memiliki ph tepung yang berada dalam range PH optimum pembentukan gel saat terjadinya proses gelatinisasi yaitu 6.67; memiliki kadar amilosa yang cukup tinggi (>25%) yaitu 27.68%, karena Menurut Galvez et al. (1994) dalam pembuatan pasta pati non-konvensional, tepung diharapkan memiliki kadar amilosa minimum sebesar 25% untuk menghasilkan mie dengan karakteristik fisik yang baik. Amilosa sangat berperan dalam proses gelatinisasi pati, karena proses gelatinisasi menyebabkan amilosa keluar dari granula pati dan amilosa memiliki kemampuan untuk berdisosiasi dengan sesamanya membentuk matriks yang seragam dengan ikatan antar granula yang cukup kuat. Kadar amilosa yang cukup tinggi juga menyebabkan terjadinya peningkatan elastisitas dan kekuatan tarik (tensile strength) dari 87

46 pasta pati dan meningkatkan daya serap air (WAC), serta menurunkan tingkat kelarutan dan swelling volume tepung. Hal ini dikarenakan fraksi amilosa yang keluar dari granula akan membentuk matriks yang seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula meningkat (Budiyah, 2004). Ikatan antar granula yang meningkat menyebabkan elastisitas dan tensile strength meningkat. Jika dilihat dari suhu awal gelatinisasi, kelima varietas jagung memiliki suhu awal gelatinisasi yang cukup rendah, sehingga tidak membutuhkan waktu steaming yang cukup lama agar proses gelatinisasi bisa berlansung. Tepung jagung memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi dibandingkan pati jagung. Tepung jagung memiliki suhu awal gelatinisasi C dan pati jagung C. Hal ini dikarenakan tepung jagung memiliki komposisi lebih lengkap dibandingkan tepung jagung (BeMiller dan Whistler, 1996). Nilai WAC paling tinggi, kelarutan dan swelling volume paling rendah dimiliki oleh jagung varietas Sukmaraga. Berdasarkan analisa tambahan yang dilakukan dapat dilihat bahwa kelima varietas jagung yang diujikan memiliki warna yang cenderung sama, yaitu kuning kemerahan dengan tingkat kecerahan (L) yang hampir sama dna memiliki warna kuning kemerahan. Nilai tensile strength paling tinggi dimiliki oleh varietas Lamuru. Hal ini dikarenakan semakin tinggi nilai persen elongasi maka akan semakin tinggi nilai tensile strength yang dihasilkan. Berdasarkan pembahasan diatas dapat dinyatakan bahwa varietas jagung yang paling cocok untuk dibuat mie basah jagung adalah Lamuru, diikuti oleh varietas Sukmaraga. Varietas Srikandi Kuning kurang cocok dijadikan mie basah jagung karena memiliki nilai persen elongasi yang paling rendah dan KPAP yang cukup besar. Padahal kedua parameter tersebut merupakan parameter mutu inti mie basah. Varietas jagung tersebut paling cocok dibuat mie basah dengan melakukan penambahan guar gum sebanyak 1% basis tepung jagung dalam proses pembuatan mie basah jagung. Penambahan guar gum sebanyak 1% ini untuk menghasilkan nilai persen elongasi yang lebih tinggi dan nilai KPAP yang lebih rendah. 88

47 F. Perbandingan Mie Basah Jagung dengan Mie Basah Terigu Mie basah jagung memiliki ciri khas (karakteristik) tersendiri yang berbeda dengan mie terigu. Akan tetapi, karakteristik yang dimiliki ini mesti disesuaikan dengan mie basah terigu. Hal ini dilakukan karena kebiasaan masyarakat yang mengkonsumsi mie basah terigu sebagai makanan seharihari. Untuk itulah dilakukan perbandingan mie basah jagung dengan mie basah terigu, baik dari segi proses maupun karakteristik fisik yang dianggap sebagai parameter mutu mie basah (persen elongasi dan KPAP). Perbedaan utama antara mie basah jagung dengan mie basah terigu terletak pada proses pembuatan mie. Tepung terigu memiliki protein gluten (gliadin dan glutenin) yang punya sifat dapat membentuk massa yang elastic-cohesive bila ditambahkan air dan diuleni. Gliadin memiliki berat molekul yang rendah sehingga berguna untuk meningkatkan kekentalan larutan dan glutenin bertanggung jawab terhadap sifat elastis adonan dnegan bentuk ikatan thiol-disulfida (Slade, et al., 1989). Kemudian terbentuklah matriks gluten yang berfungsi sebagi pengikat bagi komponen-komponen lainnya yang berada di dalam adonan. Berbeda halnya dengan tepung jagung. Tepung jagung tidak memiliki protein gluten. Tepung jagung memerlukan proses gelatinisasi yang berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen lain yang berada dalam adonan. Oleh karena itu, dalam pembuatan mie basah jagung diperlukan proses pengukusan agar pati dalam tepung jagung mengalami proses gelatinisasi. Proses gelatinisasi merupakan proses kritis dalam pembuatan mie basah jagung. Proses gelatinisasi berkaitan dengan suhu dan waktu proses, karena suhu dan waktu proses mempengaruhi jumlah pati yang tergelatinisasi dalam adonan. Suhu adonan diharapkan berada dalam kisaran suhu gelatinisasinya. Jika suhu adonan berada dibawah kisaran suhu gelatinisasinya, untaian mie akan memiliki tekstur yang kasar dan mudah patah. Waktu proses berpengaruh karena lamanya waktu pengukusan berguna untuk melihat pencapaian tingkat gelatinisasi yang diinginkan dari 89

48 adonan. Tingkat gelatinisasi yang terlalu rendah ataupun terlalu tinggi dapat menyebabkan karakteristik mi basah tidak sesuai dengan yang diharapkan. Warna kuning alami yang terdapat pada mie basah jagung merupakan karakteristik khas yang dapat meningkatkan nilai tambah mie basah jagung. Selain bukan karena penambahan bahan tambahan pangan, warna kuning pada mie basah jagung menunjukkan bahwa masih terdapat kandungan pigmen beta karoten pada mie. Pigmen beta karoten merupakan senyawa provitamin A yang dapat membantu meningkatkan ketahanan tubuh (Rianto, 2006). Varietas mie basah jagung yang dibandingkan dengan mie basah terigu adalah varietas Lamuru. Hal ini dikarenakan varietas ini memiliki karakteristik terbaik berdasarkan hasil perbandingan yang terdapat pada Tabel 19. Khususnya parameter mutu inti mie basah, nilai terbaik dimiliki oleh varietas ini. Persen elongasi dan KPAP dijadikan parameter mutu inti mie basah karena kebiasaan masyarakat mengkonsumsi mie menggunakan sumpit sehingga diharapkan mie basah tidak mudah putus, dalam arti nilai elongasi mie basah cukup tinggi dan diharapkan kuah dari hasil perebusan mie tidak kental akibat banyaknya partikel-partikel pati yang lepas saat dilakukan pemasakan. Banyaknya partikel pati yang lepas saat pemasakan tidak hanya membuat kuah mie hasil pemasakan menjadi kental akibat adanya pati, tetapi juga menyebabkan rapuhnya untaian mie yang mengakibatkan mie basah mudah putus. Hal ini berarti nilai KPAP mie basah diharapkan serendah mungkin. 90

49 Tabel 20. Perbandingan mie basah jagung varietas Lamuru dengan mie basah terigu Faktor Pembeda Mi Basah jagung Mi basah Terigu Pencampuran bahan, Pencampuran bahan, Pengukusan 1, Pengulian, Proses Pembuatan Pencetakan mie Pencetakan mie, Pengukusan 2, Perebusan Perebusan Warna Kuning Putih Celup tanpa % % guar gum Rebus tanpa % % guar gum Nilai Elongasi Celup dengan % Tidak dilakukan guar gum Rebus dengan % Tidak dilakukan guar gum Nilai KPAP 5.41% 5.59% Dari Tabel 20 dapat diketahui bahwa perbedaan proses pembuatan kedua mie ini adalah mie basah jagung membutuhkan dua kali proses pengukusan dan satu kali proses perebusan untuk menghasilkan mie basah jagung matang, sedangkan mie basah terigu hanya membutuhkan proses perebusan saja untuk menghasilkan mie basah terigu matang. Mie basah jagung memiliki warna kuning alami yang merupakan nilai plus dari mie basah jagung karena tidak membutuhkan bahan tambahan pangan seperti mie basah terigu agar mie basah matang berwarna kuning. Nilai persen elongasi mie basah jagung dengan metode celup ataupun dengan metode rebus tanpa penambahan guar gum dan dengan penambahan guar gum masih lebih rendah dibandingkan mie basah terigu tanpa penambahan guar gum. Akan tetapi nilai KPAP mie basah jagung lebih rendah dibandingkan mie basah terigu. Telah disebutkan sebelumnya bahwa elongasi dan KPAP merupakan faktor terpenting dalam menentukan karakteristik mie. Walaupun demikian, mie basah jagung memiliki nilai KPAP yang lebih rendah dibandingkan mie basah terigu. Karakteristik ini tentu berpengaruh terhadap eating quality produk mi pada saat dikonsumsi. Analisa kemudian dilanjutkan dengan analisa mikrostruktur menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) pada mie basah terigu. Hasil SEM dapat dilihat pada Gambar

50 20 kv X µm 20 kv X3500 5µm (a) Keterangan : (a) Mie basah terigu 20kV X11000 (X2000) (b) Mie basah terigu 20kV X9000 (X3500) (b) Gambar 34. (a) dan (b) Foto SEM mie basah terigu Nilai X11000 dan X9000 merupakan nilai magnification (perbesaran) sebenarnya. Nilai ini didapatkan dari pembagian panjang garis yang terdapat pada gambar dengan direct magnification (panjang garis yang terdapat pada gambar, yaitu 10µm dan 5µm). Nilai 20kV merupakan tekanan yang digunakan saat penembakan elektron pada SEM. Dari Gambar 34 di atas dapat dilihat bahwa (a) dan (b) mie basah terigu menghasilkan gambar mikrostruktur yang beraturan. Ikatan gluten yang dihasilkan terlihat jelas (Gambar 34a.). Hal ini dikarenakan protein gluten yang terdiri atas gliadin dan glutenin. Gliadin berfungsi sebagai plasticizer dan pemerekat yang dapat menginduksi sifat rheology yang dimiliki oleh glutenin, sedangkan glutenin berfungsi untuk membentuk visko-elastisitas tepung terigu. Glutenin bisa membentuk visko-elastisitas karena kaya akan asam amino prolin dnegan struktur sedikit terlipat dimana lipatan terbuka selama proses pencampuran dan pengulian (kneading) sehingga strukur menjadi renggang dan adonan menjadi elastis. Ini juga didukung oleh sifat protein gandum yang unik, ikatanikatan serta interaksi yang terdapat di dalamnya ( Damodaran, 1996 dalam Fennema 1996). 92

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan baku utama dan bahan tambahan serta bahan-bahan kimia. Bahan baku utama yang digunakan adalah

Lebih terperinci

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI 1 Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan suatu proses pembuatan mi jagung kering.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil kering varietas pioner kuning (P-21). Jagung pipil ini diolah menjadi tepung pati jagung

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil kering dengan varietas Pioneer 13 dan varietas Srikandi (QPM) serta bahanbahan kimia yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time 4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu 4.1.1. Cooking Time Salah satu parameter terpenting dari mi adalah cooking time yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk rehidrasi atau proses

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Suhu dan Waktu Proses Modifikasi HMT Terhadap Karakteristik Pati jagung Dalam proses modifikasi pati jagung HMT dilakukan pemilihan suhu dan waktu terbaik selama perlakuan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian sebelumnya telah dilakukan pembuatan mi jagung basah dan instan berskala laboratorium dengan berbagai formula dan bahan baku. Rianto (2006) telah berhasil melakukan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Cooking loss

PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Cooking loss 4. PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung 4.1.1. Cooking loss Menurut Kruger et al. (1996), analisa cooking loss bertujuan untuk mengetahui banyaknya padatan dari mi yang terlarut dalam air selama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun Analisis

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Optimasi Proses Dehidrasi Mi Jagung Instant Mi jagung yang telah mengalami proses pengukusan kedua selanjutnya pengalami proses dehidrasi untuk mengurangi kadar air mi. Proses

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

Lampiran 1. No. Peralatan Spesifikasi Gambar

Lampiran 1. No. Peralatan Spesifikasi Gambar Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan selama penelitian No. Peralatan Spesifikasi Gambar PILOT PLANT PAU TECO 3 Phase Induction Code AEE AO 4 Pole, INS 1 1425 RPM BS 4999 & 5000 Cont. Rating 198 BRG No.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT

METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT III. METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT 3.1.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung sukun, dan air distilata. Tepung sukun yang digunakan diperoleh dari Badan Litbang Kehutanan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Jagung Swasembada jagung memerlukan teknologi pemanfaatan jagung sehingga dapat meningkatkan nilai tambahnya secara optimal. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah

Lebih terperinci

Pengembangan Formulasi Mi Jagung Berbahan Baku Tepung Jagung Modifikasi. Development of Formulation Noodles Made from Raw Corn Starch Modified Corn

Pengembangan Formulasi Mi Jagung Berbahan Baku Tepung Jagung Modifikasi. Development of Formulation Noodles Made from Raw Corn Starch Modified Corn Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian Politeknik Negeri Lampung 24 Mei 2014 ISBN 978-602-70530-0-7 halaman 524-530 Pengembangan Formulasi Mi Jagung Berbahan Baku Tepung Jagung Modifikasi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TAPIOKA 1. Sifat Kimia dan Fungsional Tepung Tapioka a. Kadar Air Kadar air merupakan parameter yang sangat penting dalam penyimpanan tepung. Kadar air sampel

Lebih terperinci

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Ekstraksi Tepung Karaginan Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : 1. Sortasi dan Penimbangan Proses sortasi ini bertujuan untuk memisahkan

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PATI SAGU DAN AREN HMT 1. Kadar Air Salah satu parameter yang dijadikan standard syarat mutu dari suatu bahan atau produk pangan adalah kadar air. Kadar air merupakan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat 18 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Mei 2010 di Laboratorium Pilot Plant Seafast Center IPB, Laboratorium Kimia dan Laboratorium Rekayasa Proses

Lebih terperinci

DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul Halaman. 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan a. Ekstraksi pati ganyong... 66

DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul Halaman. 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan a. Ekstraksi pati ganyong... 66 DAFTAR LAMPIRAN No. Judul Halaman 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan... 66 a. Ekstraksi pati ganyong... 66 b. Penentuan kisaran konsentrasi sorbitol untuk membuat edible film 68 c. Penentuan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Air air merupakan parameter yang penting pada produk ekstrusi. air secara tidak langsung akan ikut serta menentukan sifat fisik dari produk seperti kerenyahan produk dan hal

Lebih terperinci

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4 LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis. 1. Kadar Air (AOAC, 1999) Sebanyak 3 gram sampel ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobot keringnya. tersebut selanjutnya dikeringkan dalam oven

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merah (Oriza sativa) merupakan beras yang hanya dihilangkan kulit bagian luar atau sekamnya, sehingga masih mengandung kulit ari (aleuron) dan inti biji beras

Lebih terperinci

denaturasi pada saat pemanasan dan mempertahankan bentuk pada produk akhir. Pati yang merupakan komponen utama dalam tepung (sekitar 67%) pada proses

denaturasi pada saat pemanasan dan mempertahankan bentuk pada produk akhir. Pati yang merupakan komponen utama dalam tepung (sekitar 67%) pada proses BAB III PEMBAHASAN Pembuatan mie kering umumnya hanya menggunakan bahan dasar tepung terigu namun saat ini mie kering dapat difortifikasi dengan tepung lain agar dapat menyeimbangkan kandung gizi yang

Lebih terperinci

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG Qanytah Tepung jagung merupakan butiran-butiran halus yang berasal dari jagung kering yang dihancurkan. Pengolahan jagung menjadi bentuk tepung lebih dianjurkan dibanding produk

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Analisa kadar air dilakukan untuk mengetahui pengaruh proporsi daging dada ayam dan pisang kepok putih terhadap kadar air patties ayam pisang. Kadar air ditentukan secara

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahap Persiapan Penelitian Tahap persiapan penelitian adalah tahap persiapan bahan utama yang digunakan dalam pembuatan cookies jagung yaitu tepung jagung. Kondisi bahan baku

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan Pragel Pati Singkong Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar berwarna putih. Rendemen pati yang dihasilkan adalah sebesar 90,0%.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MENIR SEGAR Pengujian karakteristik dilakukan untuk mengetahui apakah bahan baku yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengolahan tepung menir pragelatinisasi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil-hasil Penelitian Mi Jagung No. Produk Bahan Proses Parameter Mutu Keterangan 1. Mie jagung basah

Lampiran 1. Hasil-hasil Penelitian Mi Jagung No. Produk Bahan Proses Parameter Mutu Keterangan 1. Mie jagung basah Lampiran 1. Hasil-hasil Penelitian Mi Jagung No. Produk Bahan Proses Parameter Mutu Keterangan 1. Mie jagung basah Tepung jagung, air, garam, baking powder (formulasi terbaik dengan penambahan air 30 ml

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tepung Jagung Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung (zea mays LINN.) yang bersih dan baik. Penggilingan biji jagung

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. putus, derajat kecerahan, kadar serat kasar dan sifat organoleptik dilaksanakan

BAB III MATERI DAN METODE. putus, derajat kecerahan, kadar serat kasar dan sifat organoleptik dilaksanakan 14 BAB III MATERI DAN METODE 3.1 Materi Penelitian Penelitian substitusi tepung suweg terhadap mie kering ditinjau dari daya putus, derajat kecerahan, kadar serat kasar dan sifat organoleptik dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati adalah bahan baku yang sangat penting untuk industri makanan. Sebagai pengembangan produk makanan yang baru, pati memiliki sifat khusus yang fungsional. Fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di

BAB III MATERI DAN METODE. substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian analisis sifat fisik cookies berbahan baku tepung terigu dengan substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Kimia dan Laboratorium Biondustri TIN IPB, Laboratorium Bangsal Percontohan Pengolahan Hasil

Lebih terperinci

Lampiran 1. Analisis Sifat-sifat Fisik dan Mekanik Edible film. Analisis terhadap sifat-sifat fisik, mekanik dan biologis edible filmini meliputi:

Lampiran 1. Analisis Sifat-sifat Fisik dan Mekanik Edible film. Analisis terhadap sifat-sifat fisik, mekanik dan biologis edible filmini meliputi: 55 Lampiran 1. Analisis Sifat-sifat Fisik dan Mekanik Edible film Analisis terhadap sifat-sifat fisik, mekanik dan biologis edible filmini meliputi: a. Pengukuran Ketebalan Film (McHugh dan Krochta, 1994).

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dantempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di UKM Mekar Sari di Dusun Boleleu No. 18 Desa Sidomakmur Kecamatan Sipora Utara Kabupaten Kepulauan Mentawai. Sementara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pangan dan Gizi dan Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, jurusan Ilmu

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis) Kluwih merupakan kerabat dari sukun yang dikenal pula dengan nama timbul atau kulur. Kluwih dianggap sama dengan buah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu mulai dari bulan Maret hingga Mei 2011, bertempat di Laboratorium Pilot Plant PAU dan Laboratorium Teknik

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan tepung beras ketan hitam secara langsung pada flake dapat menimbulkan rasa berpati (starchy). Hal tersebut menyebabkan perlunya perlakuan pendahuluan, yaitu pregelatinisasi

Lebih terperinci

EVALUASI MUTU MI INSTAN YANG DIBUAT DARI PATI SAGU LOKAL RIAU. Evaluation on the Quality of Instant Noodles Made From Riau Sago Starch

EVALUASI MUTU MI INSTAN YANG DIBUAT DARI PATI SAGU LOKAL RIAU. Evaluation on the Quality of Instant Noodles Made From Riau Sago Starch EVALUASI MUTU MI INSTAN YANG DIBUAT DARI PATI SAGU LOKAL RIAU Evaluation on the Quality of Instant Noodles Made From Riau Sago Starch Arfendi (0706112356) Usman Pato and Evy Rossi Arfendi_thp07@yahoo.com

Lebih terperinci

PENGARUH UKURAN GRANULA BOBOT TEPUNG JAGUNG TERHADAP PROFIL GELATINISASI DAN MI JAGUNG

PENGARUH UKURAN GRANULA BOBOT TEPUNG JAGUNG TERHADAP PROFIL GELATINISASI DAN MI JAGUNG PEMBAHASAN UMUM PENGARUH UKURAN GRANULA BOBOT TEPUNG JAGUNG TERHADAP PROFIL GELATINISASI DAN MI JAGUNG Pada penelitian tahap pertama diperoleh hasil ahwa ukuran partikel tepung sangat erpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Proses Pengolahan dan Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta, CV. An-

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 3 No.1 ; Juni 2016 ISSN 2407-4624 PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW *RIZKI AMALIA 1, HAMDAN AULI

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TEPUNG BERAS DAN TEPUNG BERAS KETAN 1. Penepungan Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan Penelitian ini menggunakan bahan baku beras IR64 dan beras ketan Ciasem yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan september 2011 hingga desember 2011, yang bertempat di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Departemen

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan terigu oleh masyarakat Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari APTINDO (2014) dilaporkan bahwa konsumsi tepung

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan terigu oleh masyarakat Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari APTINDO (2014) dilaporkan bahwa konsumsi tepung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan terigu oleh masyarakat Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari APTINDO (2014) dilaporkan bahwa konsumsi tepung terigu nasional pada tahun 2011, 2012,

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat 14 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung pada bulan Juni sampai September 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Pangan, Laboratorium Percobaan Makanan, dan Laboratorium

Lebih terperinci

LOGO. Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau. Mitha Fitriyanto

LOGO. Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau. Mitha Fitriyanto LOGO Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau Mitha Fitriyanto 1409100010 Pembimbing : Prof.Dr.Surya Rosa Putra, MS Pendahuluan Metodologi Hasil dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Industri Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur dan Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan

METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan Mei 2012 sampai bulan Agustus 2012. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah Laboratorium Percobaan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014 di Laboratorium Rekayasa

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014 di Laboratorium Rekayasa III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014 di Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca Panen Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mie adalah produk makanan yang pada umumnya dibuat dari tepung terigu

I. PENDAHULUAN. Mie adalah produk makanan yang pada umumnya dibuat dari tepung terigu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mie adalah produk makanan yang pada umumnya dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan (food additives). Penggantian

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2012 sampai dengan Oktober 2012. Adapun laboratorium yang digunakan selama penelitian antara lain Pilot

Lebih terperinci

III. METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Pilot. Plant, dan Laboratorium Analisis Politeknik Negeri Lampung.

III. METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Pilot. Plant, dan Laboratorium Analisis Politeknik Negeri Lampung. III. METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Pilot Plant, dan Laboratorium Analisis Politeknik Negeri Lampung. Penelitian dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi talas segar yang dibeli di Bogor (Pasar Gunung Batu, Jalan Perumahan Taman Yasmin, Pasar

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Laporan Tugas Akhir Pembuatan Mie Berbahan Dasar Gembili

BAB III METODOLOGI. Laporan Tugas Akhir Pembuatan Mie Berbahan Dasar Gembili BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam pembuatan mie gembili adalah sebagai berikut: 1. Alat yang digunakan: a. Panci b. Slicer c. Pisau d. Timbangan e. Screen 80 mesh

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : bahan baku pembuatan pati termoplastis yang terdiri dari tapioka dan onggok hasil produksi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. Komposisi utama pati adalah amilosa dan amilopektin yang mempunyai sifat alami berbeda-beda.

Lebih terperinci

SKRIPSI PAKET TEKNOLOGI PEMBUATAN MI KERING DENGAN MEMANFAATKAN BAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG. Oleh : ANGELIA MERDIYANTI F

SKRIPSI PAKET TEKNOLOGI PEMBUATAN MI KERING DENGAN MEMANFAATKAN BAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG. Oleh : ANGELIA MERDIYANTI F SKRIPSI PAKET TEKNOLOGI PEMBUATAN MI KERING DENGAN MEMANFAATKAN BAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG Oleh : ANGELIA MERDIYANTI F24103133 2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain talas bentul, gula pasir, gula merah, santan, garam, mentega, tepung ketan putih. Sementara itu, alat yang

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian dilakukan di Desa Sido Makmur, Kec. Sipora Utara, Kab. Kep.Mentawai untuk proses penggorengan keripik ikan lemuru. Dan dilanjutkan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gembili Menurut Nur Richana (2012), gembili diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae ( tumbuh- tumbuhan) Divisio : Magnoliophyta ( tumbuhan berbiji

Lebih terperinci

MODUL 2 NUGGET IKAN. Indikator Keberhasilan: Mutu nugget ikan yang dihasilkan memiliki tekstur yang kenyal dan rasa khas ikan.

MODUL 2 NUGGET IKAN. Indikator Keberhasilan: Mutu nugget ikan yang dihasilkan memiliki tekstur yang kenyal dan rasa khas ikan. MODUL 2 NUGGET IKAN Standar Unit Kompetensi: Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa mampu mengolah nugget ikan yang bertekstur kenyal, lembut dan bercita rasa enak. Indikator Keberhasilan: Mutu nugget

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Hasil pembuatan pati dari beberapa tanaman menghasilkan massa (g) yaitu ubi

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Nilai Warna Mi Non Terigu

4. PEMBAHASAN 4.1. Nilai Warna Mi Non Terigu 4. PEMBAHASAN 4.1. Nilai Warna Mi Non Terigu Sistem warna Hunter L a b merupakan pengukuran warna kolorimetri pada makanan. Dalam teori ini, terdapat tahap pengalihan sinyal-antara antara reseptor cahaya

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2. Formulasi adonan

METODE PENELITIAN. Tabel 2. Formulasi adonan IV. METODE PENELITIAN 4.1 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam proses ekstrusi dan pre-conditioning adalah gritz jagung, tepung gandum, tepung beras, minyak dan air. Bahan yang digunakan untuk analisis

Lebih terperinci

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktek Produksi Kopi Biji Salak dengan Penambahan Jahe Merah dilaksanakan pada bulan Maret-April 2016 di Laboratorium Rekayasa Proses dan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Maret 2017 di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Maret 2017 di 16 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Maret 2017 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. 3.1. Materi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan problema sampai saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan problema sampai saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Hijauan Pakan Dalam meningkatkan meningkatkan produksi ternak, ketersediaan hijauan makanan ternak merupakan bagian yang terpenting, karena lebih dari 70% ransum ternak terdiri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya 2.1 Komposisi Kimia Udang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya lebih

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 1. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan adalah tepung sukun yang dihasilkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Petani, tepung tapioka merk Gunung Agung,

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) Amorphopallus campanulatus merupakan tanaman yang berbatang semu, mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai

Lebih terperinci

Gambar 19. Variasi suhu input udara

Gambar 19. Variasi suhu input udara VI. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Proses Pengamatan proses dilakukan pada empat parameter proses, yaitu sifat psikrometri udara, kecepatan udara, kecepatan pemasukan pati basah, dan sifat dehidrasi pati

Lebih terperinci