5 KARAKTERISTIK PELAKU, TEKNIK PENANGKAPAN DAN PERDAGANGAN KUPU-KUPU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5 KARAKTERISTIK PELAKU, TEKNIK PENANGKAPAN DAN PERDAGANGAN KUPU-KUPU"

Transkripsi

1 5 KARAKTERISTIK PELAKU, TEKNIK PENANGKAPAN DAN PERDAGANGAN KUPUKUPU 5.1 Pelaku Penangkapan Masyarakat yang tinggal di daerah penyangga TN Babul pada umumnya bekerja sebagai petani. Mayoritas dari mereka menggantungkan hidupnya kepada potensi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Salah satu bentuk pemanfaatan sumber daya alam di kawasan tersebut adalah pemanfaatan komersial kupukupu (Lepidoptera) melalui penangkapan dari habitat alam untuk diperdagangkan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa aktivitas penangkapan kupukupu di daerah penyangga TN Babul secara komersial telah berlangsung sejak tahun 1970an. Salah seorang informan di Desa Kalabbirang menyatakan: "... awal tahun 1970an...orang Jepang dan Eropa mulai menyuruh menangkap kupukupu...perintisnya di sini Alm. Hj. Beddu Rewa...semua jenis kupukupu waktu itu diambil (ditangkap)...terakhir setelah itu hanya jenisjenis tertentu yang diambil oleh mereka (orang Jepang dan Eropa)..."(KI1.1). Salah seorang informan yang merupakan pengumpul pedagang di Desa Jenetaesa menyatakan: "...saya memulai menangkap kupukupu sejak usia 10 tahun (1986)...3 tahun kemudian sudah mulai mandiri (membeli dan menjual kupukupu)..."(kt4.1). Selanjutnya dinyatakan bahwa "...awalnya (1986) menjual kupukupu hasil tangkapan ke Alm. Bpk Hj Bedu Rewa...harganya 25 rupiah per 3 ekor...lalu naik seribu rupiah per 24 ekor...hingga 10 ribu rupiah per 12 ekor..." (KT4.2). Penangkapan kupukupu dilakukan oleh para penangkap untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari penjualan hasil tangkapan kepada para pengumpul pedagang. Pemanfaatan komersial kupukupu melalui penangkapan dari habitat alam menjadi sumber mata pencaharian sebagian besar warga yang tinggal di daerah penyangga TN Babul. Informan di Desa Samangki menyatakan: "... saya bersaudara dibesarkan bersama oleh orang tua kami dengan usaha penangkapan kupukupu...boleh dikatakan bahwa 90 % masyarakat di sini hidup dari kupukupu...tetapi...ini bukan merupakan pekerjaan utama sebab bisa dikerjakan di waktuwaktu luang..." (KI2.19). Para penangkap umumnya menjadikan aktivitas penangkapan kupukupu sebagai mata pencaharian sampingan. Mereka melakukan aktivitas penangkapan pada waktu senggang, akan tetapi aktivitas tersebut bisa dilakukan secara rutin setiap hari apabila permintaan kupukupu meningkat. Para penangkap kupukupu merupakan penduduk atau warga desa yang tinggal di daerah penyangga TN Babul. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah penangkap kupukupu yang berhasil diidentifikasi selama pengamatan penangkapan kupukupu di lokasi penelitian adalah sebanyak 51 orang. Pengamatan dilakukan di 3 lokasi pada bulan Februari, Mei, dan Agustus Para penangkap yang berhasil diidentifikasi tersebut merupakan anggota penangkap dari beberapa orang pengumpul pedagang kupukupu. Jumlah 31

2 32 penangkap kupukupu di setiap lokasi berdasarkan hasil pengamatan seperti ditunjukkan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Jumlah penangkap (orang) berdasarkan hasil pengamatan menurut kelompok usia dan anggota pengumpul pedagang di lokasi penelitian Anggota pengumpul pedagang (kode) KI 1 KI 2 KT 1 KT 4 Desa Kalabbirang Desa Jenetaesa Desa Samangki a b a b a b Jumlah Total a: usia sekolah (SD SMU); b: usia dewasa. Berdasarkan hasil wawancara dengan para pengumpul pedagang, jumlah penangkap kupukupu yang diidentifikasi adalah sebanyak 115 orang. Jumlah penangkap kupukupu pada setiap lokasi pengamatan dari hasil wawancara seperti ditunjukkan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Jumlah penangkap (orang) berdasarkan hasil wawancara menurut kelompok usia dan anggota pengumpul pedagang di lokasi penelitian Anggota pengumpul pedagang (kode) KI 1 KI 2 KT 1 KT 2 KT 3 KT 4 KT 5 Desa Kalabbirang Desa Jenetaesa Desa Samangki a b a b a b Jumlah Total a: usia sekolah (SD SMU); b: usia dewasa. Hasil wawancara dengan informan dari Balai TN Babul serta beberapa orang pengumpul pedagang di lokasi penelitian menunjukkan bahwa jumlah penangkap pada kenyataannya bisa lebih banyak dari jumlah yang telah diidentifikasi (Tabel 5.2). Hal ini disebabkan oleh para penangkap secara de facto tidak terdefenisikan dengan jelas. Artinya bahwa setiap warga, khususnya yang tinggal di daerah penyangga TN Babul dapat melakukan penangkapan kupukupu, tidak ada yang membatasi atau melarang. Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang di Desa Samangki menyatakan: "...kalau menangkap di luar

3 kawasan tidak dibatasi, yang menangkap juga macammacam...boleh dibilang semua orang yang tinggal di sini menangkap juga..."(kt3.7). Menurut salah seorang informan dari Balai TN Babul menyatakan: "...mayoritas penangkap kupukupu anak lakilaki usia sekolah,... kirakira umur 5 hingga 18 tahun..." (TN1.4), selanjutnya dinyatakan: "...kalau jumlah...banyak...!...mungkin ratusan..." (TN1.5). Informan tersebut menyatakan lebih lanjut bahwa "...kami belum sampai kepada mendata siapasiapa penangkapnya..." (TN1.6). Selanjutnya salah seorang pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang menyatakan: "...penangkappenangkap ini umumnya anakanak sekolah, dari SD sampai tingkat SMA... boleh dikata semua anakanak terutama yang lakilaki yang ada di sekitar kawasan Bantimurung... pasti pernah atau sering menangkap kupukupu... kalau jumlahnya mungkin lebih dari 200an, apalagi kalau sampai ke Samangki..." (KT1.17). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Maros (2012), populasi anak lakilaki di 3 lokasi penelitian pada kelompok umur 5 19 tahun masingmasing di Desa Kalabbirang sebanyak 632 orang, Desa Jenetaesa 553 orang, dan Desa Samangki 748 orang. Jumlah anak lakilaki tersebut merupakan kelompok potensial sebagai penangkap kupukupu. Hasil wawancara serta studi dokumen laporan Balai Besar KSDA Sulsel menunjukkan bahwa seluruh penangkap kupukupu di daerah penyangga TN Babul tidak memiliki izin sebagai penangkap dari instansi terkait. Hasil wawancara dengan informan di Balai Besar KSDA Sulsel menyatakan: "...di BKSDA Sulsel...perdagangan satwa liar yang ada menurut laporan... adalah reptil seperti ular sanca batik, kemudian koral, lola merah, dan ikan napoleon..."(bk3.5). Selanjutnya dinyatakan bahwa "...kupukupu...belum jalan... masalahnya tidak ada data 3 tahun terakhir ini ( )... karena tidak ada permohonan izin tangkap..." (BK3.6). Hasil wawancara dengan pengumpul pedagang menunjukkan bahwa jumlah penangkap akan meningkat saat terjadi peningkatan permintaan kupukupu. Permintaan kupukupu meningkat dari para pengumpul pedagang terjadi antara lain pada saat wisatawan banyak berkunjung ke kawasan wisata Bantimurung. Salah seorang informan di Desa Jenetaesa menyatakan: "...bulan 4 (April) dan seterusnya mulai meningkat hasil tangkapan, pembeli juga bertambah...apalagi saat menjelang puasa atau pas (libur) lebaran banyak pengunjung, permintaan pasti naik..." (KT4.20). Jumlah penangkap yang meningkat pada waktuwaktu tertentu selain dari meningkatnya permintaan kupukupu dari para pengumpul pedagang, juga terjadi saat liburan sekolah. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa para penangkap umumnya merupakan anak lakilaki usia sekolah. Bila liburan sekolah tiba, maka menangkap kupukupu dapat dijadikan alternatif kegiatan untuk mengisi waktu liburan tersebut Metode Menjaring KupuKupu Terdapat beberapa metode yang digunakan oleh para penangkap dalam menangkap (menjaring) kupukupu. Hasil wawancara dengan salah seorang informan di Desa Jenetaesa menyatakan: "...cara tangkap kupukupu umumnya langsung dengan jaring...diburu, atau menunggu kupukupu mendekat..." 33

4 34 (KT4.13). Selanjutnya dinyatakan bahwa "...ada juga cara lain misalnya dengan kecing (buang air seni) pada pasir kering dekat sungai...biasanya untuk jenisjenis tertentu seperti Graphium milon, Hebomoia glaucippe, dan Catopsilia pamona..." (KT4.14). Para penangkap di daerah penyangga TN Babul memiliki 2 metode menjaring kupukupu. Metode dan teknik yang digunakan untuk menjaring jenis kupukupu dari habitat alam di lokasi penelitian seperti dijelaskan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Metode dan teknik menjaring kupukupu di lokasi penelitian Metode Teknik Target jenis kupukupu Pakai umpan Tanpa umpan Umpan air seni Umpan spesimen kupukupu mati Diburu Catopsilia pamona Catopsilia scylla Graphium meyeri Graphium milon Hebomoia glaucippe Pachliopta polyphontes Troides helena Troides hypolitus Seluruh jenis Metode mengumpan dengan air seni biasanya dilakukan di pinggiran sungai yang terdapat pasir yang tidak tergenang air. Penangkap kupukupu membuang air seni di pasir tersebut, selanjutnya beberapa saat kemudian kupukupu secara bergerombol datang. Jenis Graphium milon merupakan salah satu jenis yang biasanya dijumpai datang secara bergerombol pada tempat berpasir tersebut (Gambar 5.1). Gambar 5.1 Jenis Graphium milon pada pasir yang diberi umpan air seni Kupukupu yang datang secara bergerombol tersebut selanjutnya ditangkap menggunakan jaring. Hasil wawancara dengan salah seorang penangkap mengungkapkan bahwa bila kupukupu yang datang dalam jumlah banyak, seperti contoh jenis Catopsilia scylla, maka dapat ditangkap langsung dengan tangan. Metode mengumpan dengan spesimen kupukupu mati biasanya ditujukan kepada jenis kupukupu yang cenderung terbang tinggi. Metode ini biasanya

5 dilakukan dengan menancapkan spesimen kupukupu mati pada tanaman perdu di bawah tegakan pohon. Kupukupu target yang terbang di selasela tajuk pohon akan terbang merendah dan mendekati umpan. Selanjutnya dengan menggunakan jaring, kupukupu tersebut ditangkap. Metode tanpa umpan dilakukan dengan cara kupukupu diburu menggunakan jaring. Penangkap berjalan menyusuri jalanan setapak atau di semaksemak, kemudian penangkap menunggu kupukupu tersebut mendekat. Setelah diperkirakan kupukupu tersebut berada pada jangkauan yang tepat, penangkap kemudian menggerakkan jaring (sweep net) untuk menangkap kupukupu tersebut. Metode ini paling umum dilakukan oleh para penangkap, sebab bisa dilakukan di mana saja serta kupukupu yang ditangkap dengan cara ini menghasilkan beragam jenis (Gambar 5.2). 35 Gambar 5.2 Metode menjaring kupukupu tanpa umpan Kupukupu hasil tangkapan selanjutnya ditekan atau dipencet pada bagian thoraxnya untuk melemaskan, dilipat dan kemudian diletakkan pada kertas minyak berbentuk segi tiga (papilot). Selanjutnya kupukupu tersebut dimasukkan ke dalam kotak yang telah disiapkan (Gambar 5.3). Gambar 5.3 Kupukupu hasil tangkapan Hasil pengamatan serta wawancara menunjukkan bahwa penangkapan kupukupu oleh para penangkap dilakukan di berbagai lokasi di daerah penyangga TN Babul. Berdasarkan kepemilikannya, lahanlahan yang biasanya dijadikan

6 36 lokasi penangkapan adalah pada lahan negara di luar batas kawasan TN Babul, yaitu di pinggiran sungai atau di daerah datar berupa tanah lapang yang banyak ditumbuhi tumbuhan perdu. Lokasi penangkapan juga terletak di pekarangan milik keluarga atau kebun milik orang lain. Beberapa orang penangkap di Desa Samangki terkadang melakukan penangkapan di zona tradisional TN Babul tanpa sepengetahuan petugas Balai TN Babul. Bila kedapatan oleh petugas, maka hasil tangkapan akan disita beserta alat tangkapnya. Aktivitas penangkapan kupukupu biasanya dilakukan setiap hari, dari pagi hingga siang hari yang dimulai pukul hingga pukul Wita. 5.3 Pelaku Peredaran (Perdagangan) KupuKupu Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaku peredaran (perdagangan) kupukupu yang saling terkait di daerah penyangga TN Babul terdiri atas: (1) penangkap; (2) pengumpul pedagang; (3) pengrajin souvenir; (4) penjual souvenir, (5) pembeli setempat, (6) pembeli dari luar provinsi, dan (7) kolektor luar negeri. Posisi para pelaku dalam bagan alir tata niaga kupukupu di daerah penyangga TN Babul seperti ditunjukkan pada Gambar 5.4. Gambar 5.4 Bagan alir tata niaga kupukupu di daerah penyangga TN Babul Bagan alir tata niaga tersebut menunjukkan bahwa peran yang sentral ada pada pengumpul pedagang. Hasil tangkapan para penangkap hampir seluruhnya dijual kepada para pengumpul pedagang, hanya sebagian kecil yang dijual langsung kepada pengrajin souvenir. Hal ini disebabkan oleh para penangkap yang ada di daerah penyangga TN Babul umumnya telah dikoordinir oleh para pengumpul pedagang. Salah seorang pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang menyatakan: "...pengumpul atau pedagang ini memfasilitasi... dengan memodali para penangkap dan memberikan alat tangkap,...jadi... penangkappenangkap ini dikoordinir oleh...pengumpul pedagang..."(kt1.13). Umumnya telah ada kesepakatan secara tidak tertulis antara pengumpul pedagang dengan para penangkap yang dikoordinirnya bahwa seluruh hasil tangkapan harus dijual kepada para pengumpul pedagang tersebut.

7 Selain membeli kupukupu dari para penangkap yang dikoordinirnya, para pengumpul pedagang juga membeli kupukupu dari penangkap lain. Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang di Desa Jenetaesa menyatakan: "...kupukupu yang saya beli bukan hanya dari Bantimurung, tetapi ada juga dari Papua, Palu, Palopo...tapi paling banyak 10 sampai 20 persen yang dari luar Bantimurung..."(KT4.24). Selanjutnya dinyatakan bahwa bagi penangkap atau pengumpul dari luar Bantimurung, biasanya diberikan modal awal sebanyak 500 ribu hingga 2 juta rupiah sebelum mereka mendatangkan kupukupu. Hal ini dilakukannya sebagai insentif dan tanda ikatan kontrak untuk menjamin pasokan kupukupu dari tempat asal mereka tersebut. Hasil pengamatan serta wawancara menunjukkan bahwa seluruh pengumpul pedagang kupukupu di daerah penyangga TN Babul juga merupakan pengrajin dan penjual souvenir, atau minimal mereka mempekerjakan para pengrajin souvenir. Pengumpul pedagang mendistribusikan kupukupu kepada para pelaku pemanfaat lainnya di daerah penyangga TN Babul atau ke luar Kabupaten Maros. Pengumpul pedagang adalah orangorang yang membeli atau menampung hasil tangkapan para penangkap. Mereka juga mengolah kupukupu menjadi produk souvenir, atau menjual kembali dalam bentuk kupukupu yang belum atau sudah diolah kepada para pengrajin souvenir, pembeli setempat, ke luar provinsi atau kepada kolektor asing. Para pengumpul pedagang umumnya menjadikan aktivitas pemanfaatan komersial kupukupu sebagai mata pencaharian utama. Hasil wawancara menunjukkan bahwa seluruh pengumpul pedagang yang ada di lokasi penelitian telah menekuni usaha ini lebih dari 10 tahun. Pelaku peredaran (perdagangan) kupukupu di lokasi penelitian yang terdiri atas pengumpul pedagang, pengrajin souvenir dan penjual souvenir seluruhnya merupakan warga yang tinggal di daerah penyangga TN Babul. Seperti halnya para penangkap, jumlah pelaku peredaran kupukupu yang terdiri atas pengumpul pedagang, pengrajin souvenir dan penjual souvenir di daerah penyangga TN Babul tidak pasti. Setiap warga dapat dengan bebas menekuni usaha ini, meskipun ada yang melakukannya hanya secara musiman. Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang menyatakan: "... saat ini semakin banyak bermunculan penjual souvenir kupukupu, namun biasanya hanya musiman, biasanya banyak kalau lagi banyak kunjungan wisatawan... misalnya tukang ojek, jadi penjual souvenir..."(kt1.33). Selanjutnya pengumpul pedagang tersebut menyatakan: "... pengumpul pedagang kupukupu yang saya tahu di sekitar kawasan ini ada 12 orang, di luar yang musiman..."(kt1.42). Hasil wawancara serta studi dokumen laporan Balai Besar KSDA Sulsel menunjukkan bahwa terdapat 3 orang dari 12 orang pengumpul pedagang yang diidentifikasi di lokasi penelitian telah memiliki izin sebagai pengedar SL dalam negeri yang dikeluarkan oleh Balai Besar KSDA Sulsel. Sementara itu, pengumpul pedagang lainnya serta seluruh pengrajin souvenir dan penjual souvenir yang bukan merupakan pengumpul pedagang, tidak memiliki izin sebagai pengedar SL. Sejak beragam produk souvenir yang dihasilkan dari bahan kupukupu, menyebabkan meningkatnya jumlah orang yang terlibat dalam usaha pemanfaatan kupukupu. Banyak yang melakukan aktivitas ini secara musiman yaitu pada saat kupukupu melimpah atau di saat musim liburan. 37

8 38 Hasil pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa terdapat 9 orang pengrajin souvenir dan 22 orang penjual souvenir. Jumlah pengrajin souvenir dan penjual souvenir kupukupu berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian ditunjukkan pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Jumlah pengrajin dan penjual souvenir kupukupu berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian (orang) Lokasi Desa Kalabbirang Desa Jenetaesa Desa Samangki Pengrajin souvenir Penjual souvenir Total 9 22 Keterangan 11 penjual souvenir dan 4 pengrajin souvenir dijumpai di areal wisata Desa Kalabbirang Hasil wawancara dengan para informan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa para pembeli kupukupu di lokasi penelitian secara umum terbagi atas dua kelompok. Pertama, pengunjung kawasan wisata Bantimurung. Para pengunjung tersebut adalah pembeli setempat di kawasan wisata yang umumnya memiliki ketertarikan akan nilai dekoratif dari produk kupukupu. Oleh sebab itu, perdagangan dekoratif kupukupu di Bantimurung ditujukan kepada pembeli setempat yang mayoritas merupakan pengunjung kawasan wisata. Tingkat kunjungan di kawasan wisata Bantimurung menurut data tahun 2012, sejak bulan Januari hingga akhir Desember tercatat mencapai kunjungan (BTN Babul 2013). Memperhatikan tingkat kunjungan wisatawan yang tinggi maka potensi pasar bagi perdagangan dekoratif kupukupu cukup besar. Orangorang awam menaruh minat terhadap kupukupu karena nilai dekoratifnya bukan nilai ilmiah seperti para kolektor profesional. Biasanya para peminat dekoratif tersebut memerlukan kupukupu untuk hiasan, lukisan dan souvenir lain. Umumnya kelompok ini menaruh minat terhadap keindahan warna dan ukuran kupukupu. Kedua, kelompok pembeli dari luar wilayah Bantimurung dan sekitarnya. Kelompok ini terdiri atas para pedagang souvenir, pembeli dari luar provinsi atau para kolektor asing yang memiliki minat tertentu terhadap kupukupu. Morris et al. (1985) membagi 3 kolompok peminat terhadap serangga dan pemanfaatannya, yaitu: (a) Peminat yang memberikan apresiasi terhadap keindahan (rasa estetika), (b) peminat yang menaruh perhatian terhadap keinginan membentuk koleksi atau rasa pemilikan, (c) peminat yang menaruh kepentingan terhadap penelitian ilmiah. Oleh sebab adanya minat tertentu terhadap serangga, maka perdagangan serangga khususnya kupukupu dapat dikelompokkan ke dalam 3 jenis, yaitu: (a) perdagangan dekoratif, yaitu kupukupu dalam jumlah banyak digunakan untuk membuat hiasan, selanjutnya dijual kepada orangorang yang menghargai keindahan dan keunikan; (b) perdagangan spesialis, perdagangan ini bersifat "nilai tinggi, volume rendah" karena penekanannya adalah pada jenisjenis langka yang bermutu baik; serta (c) perdagangan hidup, merupakan komponen minor dari perdagangan spesialis yang mengkhususkan pada serangga hidup seperti misalnya telur, larva dan kepompong.

9 Aktivitas Peredaran (Perdagangan) KupuKupu Semakin beragamnya produk souvenir yang dibuat dari bahan kupukupu menyebabkan semua jenis kupukupu, berapupun jumlahnya serta dalam kondisi apapun akan dibeli oleh para pengumpul pedagang atau pengrajin souvenir. Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang di Desa Jenetaesa mengungkapkan bahwa setiap hari ia membeli tidak kurang dari 300 spesimen kupukupu dari para penangkap. Pengumpul pedagang tersebut adalah pemilik usaha pengedar kupukupu yang mengkoordinir 28 orang penangkap yang tersebar di beberapa desa di daerah penyangga TN Babul. Seluruh penangkap di bawah koordinasinya diberikan secara gratis masingmasing 1 buah alat tangkap yang terbuat dari jaring dan tongkat kayu atau bambu. Nilai nominal sebuah alat tangkap sekitar 50 ribu rupiah. Menurut pengumpul pedagang tersebut, setiap hari 1 orang penangkap ratarata menjual kepadanya sebanyak spesimen kupukupu hasil tangkapan. Pada puncak musim kupukupu sekitar bulan Juli September, seorang penangkap menurutnya bisa menghasilkan hingga 200 spesimen kupukupu per hari, terutama kupukupu berukuran kecil seperti misalnya jenis Catopsilia pamona atau C. scylla yang sering menyebar secara berkelompok. Pengumpul pedagang tersebut memiliki usaha souvenir di rumahnya dan mempekerjakan 6 orang karyawan. Karyawan yang dipekerjakan tersebut terdiri atas 3 orang pembuat gantungan kunci, 2 orang pembuat bingkai dan 1 orang yang bertugas mengawetkan kupukupu. Ratarata penghasilan per bulan yang diperoleh setiap karyawannya adalah 2 juta rupiah. Selain itu, ia mempunyai sebuah kios di kawasan wisata yang dijaga oleh 1 orang karyawan. Pengumpul pedagang tersebut juga mempekerjakan beberapa orang penjual asongan yang menjual produk souvenir berupa gantungan kunci serta kupukupu awetan (dalam plastik) yang ditawarkan kepada para pengunjung di dalam kawasan wisata Bantimurung. Peralatan serta bahanbahan yang dimiliki dalam menjalankan usaha penangkapan kupukupu terdiri atas alat tangkap, kertas minyak, pengawet (formalin). Selanjutnya untuk membuat souvenir dari bahan kupukupu seperti misalnya gantungan kunci, alat dan bahan yang digunakan terdiri atas gurinda, bor listrik, amplas, resin, serta gantungan kunci. Total nilai peralatan serta bahanbahan yang dimiliki oleh informan yang merupakan pengumpul pedagang di Desa Jenetaesa tersebut adalah sekitar 6 juta rupiah. Selain menjual kepada para pembeli setempat, para pengumpul pedagang juga menjual kepada pembeli di kota Makassar dan sekitarnya serta ke luar Provinsi Sulawesi Selatan. Seperti misalnya, salah seorang pengumpul pedagang di Desa Jenetaesa menyatakan: "...pengiriman ke Jawa biasanya 2 hingga 4 kali sebulan... 1 kali pengiriman ada kurang lebih 1000 ekor...selain ke Jawa juga ke Sumatera, dan Kalimantan..." (KT4.29). Dijelaskan lebih lanjut olehnya bahwa setiap kali pengiriman seberat 5 hingga 6 kg berisi spesimen kupukupu. Masingmasing spesimen kupukupu telah dibungkus dengan kertas minyak dan dikemas dalam kardus, dikirim via pos atau jasa pengiriman. Produkproduk souvenir yang dipasarkan dari hasil awetan kupukupu di kawasan wisata Bantimurung dan sekitarnya antara lain dalam bentuk kupukupu

10 40 yang telah dimasukan ke dalam bingkai, gantungan kunci, bross dan lainlain. Produk souvenir gantungan kunci seperti ditunjukkan pada Gambar 5.5. Gambar 5.5 Produk souvenir gantungan kunci Lebih lanjut dinyatakan bahwa permintaan dari pulau Jawa selalu ada setiap bulan, terkadang ia tidak sanggup menyediakan spesimen kupukupu oleh sebab tingginya permintaan, terutama pada bulan Januari hingga Maret. Permintaan kupukupu pada bulanbulan tersebut tetap ada, namun hasil tangkapan kurang. Jadi dapat dikatakan bahwa permintaan kupukupu dari para pelanggan tinggi namun pasokan hasil tangkapan para penangkap dari habitat alam terbatas. Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang menyatakan: "...hasil tangkapan kupukupu Bantimurung hampir semua dijual di tokotoko souvenir di Makassar..." (KI1.7). Selanjutnya dinyatakan bahwa "...saya mengirim ke Jakarta dalam bentuk terlipat dalam kertas minyak (papilot)..."(ki1.8). Lebih lanjut dinyatakan bahwa "...banyak kolektor asing yang menjadi langganan saya...ada beberapa dealer...jepang 2 orang,...taiwan 1 orang,...malaysia 2 orang, dan Austria..1 orang...selain itu ada beberapa orang kolektor dari Jepang... beberapa dari mereka pernah ke Bantimurung..." (KI1.9), dan "...kadang saya kewalahan tidak dapat memenuhi permintaan dari para pembeli..."(ki1.36). Berdasarkan data pada Tabel 5.2, jumlah penangkap kupukupu di daerah penyangga TN Babul sebanyak 115 orang. Dengan asumsi bahwa setiap penangkap melakukan aktivitas menangkap kupukupu selama 10 hari dalam 1 bulan, serta jumlah hasil tangkapan sebanyak 25 spesimen per hari, maka total hasil tangkapan seluruh penangkap setiap bulan sebanyak spesimen atau spesimen per tahun. Sementara itu, jumlah kuota spesimen menurut daftar kuota tangkap kupukupu untuk wilayah kerja Balai Besar KSDA Sulsel Tahun 2013 (Lampiran 2) adalah spesimen. Artinya bahwa jumlah tangkapan kupukupu dari habitat alam di daerah penyangga TN Babul menunjukkan jumlah yang sangat banyak dibandingkan kuota yang disediakan. 5.5 Klasifikasi Kualitas dan Harga KupuKupu Hasil wawancara menunjukkan bahwa kupukupu di habitat alam yang menjadi prioritas para penangkap adalah yang termasuk kualitas A1 (kelas utama), meskipun kenyataannya menunjukkan bahwa mereka menangkap seluruh

11 spesimen kupukupu yang dijumpai di habitat alam. Kupukupu hasil tangkapan yang diperdagangkan di daerah penyangga TN Babul terdiri atas 4 kelas kualitas. Umumnya telah ada kesepahaman antara para penangkap, pengumpul pedagang pembeli atau kolektor kupukupu tentang klasifikasi kualitas tersebut. Cara menguji kualitas kupukupu adalah dengan menggunakan pinset atau penjepit, selanjutnya dengan cara ditiup maka pengumpul pedagang, pembeli atau kolektor sudah mengetahui kualitas kupukupu tersebut. Klasifikasi kualitas kupukupu yang diperdagangkan di daerah penyangga TN Babul berdasarkan hasil wawancara ditunjukkan pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Klasifikasi kualitas spesimen kupukupu yang diperdagangkan Kualitas A1 A A2 A3 Uraian Tidak memiliki cacat sama sekali (mulus). Memiliki sedikit sobek pada sayapnya. Memiliki sedikit cacat, misalnya pada bagian sayap ada sobek dan warna sudah mulai memudar. Cacat dan warna sudah memudar, biasanya saat terbang sudah lambat, tidak stabil. Hasil wawancara dengan beberapa orang informan yang terdiri atas penangkap dan pengumpul pedagang yang sudah lebih dari 10 tahun menekuni usaha pemanfaatan komersial kupukupu, menyatakan bahwa kualitas kupukupu sangat ditentukan oleh beberapa faktor. Faktorfaktor yang menentukan kualitas kupukupu tersebut antara lain adalah cara menangkap, penanganan spesimen setelah ditangkap, dan kondisi kupukupu secara alami sebelum ditangkap. Hasil wawancara menunjukkan bahwa para penangkap yang sudah berpengalaman dapat meminimalisir kerusakan saat menangkap dibandingkan dengan penangkap yang belum berpengalaman. Penanganan spesimen yang tidak hatihati saat melipat kupukupu hasil tangkapan untuk dimasukan ke dalam kertas papilot juga dapat menyebabkan kerusakan. Faktor lainnya yang menentukan yaitu kondisi fisik kupukupu yang sudah mengalami kerusakan sebelum ditangkap sangat mempengaruhi kualitas kupukupu hasil tangkapan. Pengamatan kualitas kupukupu yang diperdagangkan dilakukan di tempat salah seorang pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang pada bulan September 2013 untuk mengetahui komposisi kualitas kupukupu yang dijual oleh para penangkap. Hasil pengamatan tersebut seperti disajikan pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 Jumlah spesimen kupukupu berdasarkan kelas kualitas yang dikumpulkan oleh pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang Kelas kualitas Jumlah spesimen Persentase (%) A1 A A2 A ,73 16,82 53,63 19,82 Total ,00 41

12 42 Tabel 5.6 memperlihatkan bahwa umumnya kupukupu kualitas A2 yang paling banyak diperdagangkan di daerah penyangga TN Babul. Hal ini disebabkan antara lain oleh para penangkap yang belum berpengalaman dalam menangkap kupukupu. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa mayoritas dari para penangkap merupakan kelompok anak lakilaki usia sekolah. Para penangkap tersebut relatif belum berpengalaman dalam menangkap sehingga dapat menyebabkan kerusakan spesimen kupukupu saat menangkap. Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang menyatakan: "...penangkap setelah kupukupu ditangkap, dimasukkan ke dalam amplop kertas minyak (papilot)...kadangkadang bisa rusak atau turun kualitas bila tidak hatihati melipat..." (KT1.45). Selanjutnya menurut pengumpul pedagang lainnya menyatakan: "...penangkap yang pengalaman...hasil tangkapannya bagus...tidak rusak...menurut saya... kualitas A1 itu belum sempat meletakkan telur...(ki1.40). Harga kupukupu hasil tangkapan di lokasi penelitian bervariasi, bergantung pada ukuran, kualitas serta jenis kupukupunya. Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang di Desa Jenetaesa menyatakan: "...harga kupukupu yang dibeli dari penangkap...seperti ini (sambil menunjuk satu demi satu beberapa kupukupu yang ada di meja)..ini Aoa affinis harga 300 rupiah, Papilio polites 500 rupiah, Pachliopta polyphontes 500 rupiah, Papilio ascalapus 1000 rupiah, Troides hypolitus 15 ribu rupiah, Chetosia myrina 2000 rupiah, Papilio gigon 1000 rupiah, kalau paling mahal...saya pernah jual Idea tambusisiana 2,5 juta satu ekor..."(kt5.1). Daftar harga ratarata beberapa jenis kupukupu kualitas A1 dan A2 yang diperdagangkan di daerah penyangga TN Babul ditunjukkan pada Tabel 5.7. Tabel 5.7 Harga ratarata beberapa jenis kupukupu kualitas A1 dan A2 menurut jenis kelamin di tingkat penangkap dan pengumpul pedagang (Rupiah) Jenis Catopsilia pamona Catopsilia Scylla Cethosia myrina Graphium androcles Idea blanchardi Papilio blumei Troides haliphron Troides helena Troides hypolitus Penangkap Pengumpul pedagang A1 A2 A1 A Harga terendah yang dibeli dari para penangkap adalah 200 rupiah per ekor bagi kupukupu yang berukuran kecil. Jenisjenis ini biasanya digunakan untuk membuat gantungan kunci atau bross. Setelah diolah dalam bentuk produk gantungan kunci atau bross, dijual dengan harga 2 ribu hingga 5 ribu rupiah per buah. Kupukupu yang berukuran sedang 500 rupiah per ekor. Jenisjenis ini digunakan untuk membuat gantungan kunci, bross atau dibuat dalam bingkai yang berisi beberapa spesimen.

13 Harga jual satu bingkai berisi 4 8 ekor berkisar antara ribu rupiah, bergantung pada ukuran kupukupu. Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang menyatakan "...souvenir dalam pigura (dibingkai) kami jual ke penjual souvenir 1 pigura isi 8 kupukupu seharga 120 ribu rupiah, biasanya mereka jual kembali seharga 150 ribu per pigura..." (KT2.15). Bagi kupukupu berukuran besar, harga berkisar antara 1000 hingga 25 ribu rupiah. Termasuk dalam kelompok ini adalah jenis Papilio blumei dan Graphium androcles. Selanjutnya jenisjenis yang berukuran besar dan relatif langka, harga berkisar antara ribu rupiah. Misalnya dalam hal ini adalah jenis Troides haliphron dan Troides hypolitus. Berdasarkan data yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam 1 hari, 1 orang penangkap memperoleh hasil tangkapan sebanyak 25 spesimen kupukupu. Bila diasumsikan 1 bulan menangkap selama 10 hari, maka total hasil tangkapan 1 orang penangkap sebanyak 250 spesimen/bulan. Berdasarkan asumsi bahwa harga ratarata sebesar Rp1 500/spesimen, maka nilai yang diperoleh 1 orang penangkap sebesar Rp /bulan. Sementara itu, bila diasumsikan bahwa total hasil tangkapan kupukupu dari habitat alam di daerah penyangga TN Babul sebanyak spesimen/bulan, kemudian dibagi 7 orang pengumpul pedagang (sebagai informan), maka ratarata setiap pengumpul pedagang memperdagangkan sebanyak spesimen/bulan. Bila jumlah tersebut dikalikan dengan harga Rp1 500/spesimen, maka nilai yang diperoleh 1 orang pengumpul pedagang sebesar Rp /bulan. 5.6 Upaya Budi Daya KupuKupu Beberapa orang pengumpul pedagang di lokasi penelitian menunjukkan bukti bahwa telah ada upaya positif yang dilakukan dalam rangka memperoleh spesimen kupukupu melalui budi daya. Hasil wawancara dengan para informan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa terdapat 2 orang pengumpul pedagang yang memiliki penangkaran. Salah seorang pengumpul pedagang di Desa Jenetaesa memiliki sebuah unit penangkaran kupukupu berukuran 15 x 13 m2. Total biaya yang ia keluarkan untuk membangun penangkaran tersebut kurang lebih 20 juta rupiah, yang ia bangun selama tiga tahun. Penangkaran yang ia miliki ditanami tumbuhtumbuhan pakan ulat seperti Aristolachia tagala, jeruk, nangka dan lainlain. Sementara untuk tanaman penghasil nektar ditanami jenis kembang sepatu, asoka, dan kembang seribu. Kupukupu dari penangkaran menghasilkan imago dalam jangka waktu kurang lebih 2 bulan. Kurangnya jumlah pengumpul pedagang yang membuat penangkaran antara lain disebabkan oleh penangkaran secara ekonomis tidak menguntungkan, serta maraknya penangkapan bebas dari habitat alam tanpa ada sanksi. Salah seorang pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang menyatakan: "...penangkaran dari segi bisnis tidak layak..." (KI1.31). Spesimen kupukupu yang diperoleh dari hasil penangkaran jumlahnya sedikit, serta membutuhkan waktu yang relatif lama bila dibandingkan hasil tangkapan dari alam. Di lain pihak menurutnya bahwa "...semua orang bebas menjual kupukupu...tidak ada kontrol...karena terlalu bebas...tidak ada sanksi..."(ki1.43). Sedikitnya jumlah spesimen kupukupu yang diperoleh dari hasil penangkaran dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, jumlah jenis kupukupu 43

14 44 yang ditangkar oleh 2 orang pengumpul pedagang di lokasi penelitian masih terbatas. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang jenisjenis tumbuhan pakan larva serta imago kupukupu. Hasil wawancara dengan aparatur Balai TN Babul serta studi dokumen juga menunjukkan bahwa penangkaran kupukupu yang dilakukan oleh Balai TN Babul sampai dengan akhir tahun 2012 baru ditangkarkan sebanyak 12 spesies kupukupu, yaitu: Catopsilia pamona, C. scylla, Graphium agamemnon, Pachliopta poliphontes, Papilio ascalapus, P. Demolius, P. Gigon, P. Polytes, P. sataspes, Troides helena, T haliphron, dan T. hypolitus. Kedua, hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang di Desa Jenetaesa yang melakukan penangkaran menyatakan bahwa untuk memperoleh kupukupu dalam jumlah yang memadai dari hasil penangkaran, khususnya pada generasi kedua cukup sulit. Hal ini sesuai pendapat Soehartono dan Mardiastuti (2003) yang menyatakan bahwa "... terdapat bukti bahwa terjadi hanyutan genetik (genetic drift) pada spesies kupukupu yang menyebabkan kualitas genetik kupukupu yang dihasilkan lebih rendah dari induknya. Oleh sebab itu, masukan genetik baru dari alam perlu dilakukan secara terus menerus...". Meskipun budi daya kupukupu melalui penangkaran di lokasi penelitian relatif sedikit, terdapat upaya positif yang dilakukan oleh beberapa orang pengumpul pedagang antara lain dengan menanam tanaman pakan larva dan imago kupukupu di pekarangan rumahnya. Salah seorang informan di Desa Kalabbirang menyatakan: "...saya tidak punya penangkaran...tetapi hanya menanam tanaman pakan di halaman (sambil mengajak melihatlihat pekarangan yang banyak ditanami Aristolachia sp)..." (KI1.30). Kegiatan budi daya dengan sistem pembesaran (ranching) di dekat habitat alam di daerah penyangga TN Babul juga dilakukan oleh salah seorang pengumpul pedagang di Desa Samangki. Kegiatan tersebut dilakukan melalui penanaman beberapa jenis tumbuhan pakan larva kupukupu di pekarangan rumahnya untuk memancing kupukupu meletakkan telurnya hingga menjadi kepompong (Gambar 5.6). Gambar 5.6 Kepompong yang dipelihara oleh pengumpul pedagang Hasil wawancara dengan pengumpul pedagang di desa Samangki tersebut menyatakan: "...saat ini di pekarangan rumah, saya tanami tumbuhan pakan kupukupu...(sambil mengajak melihat tanaman di pekarangannya)...ini jenis Aristolachia tagala...orang di sini bilangnya sirih hutan...ini makanan jenisjenis

15 troides...ini nangka...ini jeruk...ini kembang asoka...dan masih banyak lagi...ini ada kepompong yang menempel di ranting (ada beberapa, dan difoto)...selanjutnya kempompongkepompong ini saya akan pindahkan ke dalam wadah dari plastik sepert ini...(tutup saji)...beberapa hari kemudian kepompongkepompong ini berubah menjadi kupukupu...selanjutnya saya manfaatkan..." (KI2.4). Kegiatan yang dilakukan oleh informan tersebut berhasil memancing beberapa jenis kupukupu berkembangbiak dengan baik. Hasil yang diperoleh berupa kupukupu tersebut selanjutnya dimanfaatkan untuk dijual. Namun dinyatakan olehnya bahwa "...cara ini belum banyak dilakukan oleh masyarakat sekitar sini...padahal cukup murah dan hasilnya lumayan..." (KI2.5). Sistem pembesaran (ranching) tersebut dapat menjadi salah satu solusi untuk menjamin ketersediaan kupukupu bagi tujuan pemanfaatan komersial. Soehartono dan Mardiastuti (2003) menyatakan: "... karena sulitnya penanganan genetik (genetic drift), banyak kegiatan penangkaran yang menggunakan sistem pembesaran (ranching) di dekat habitat alami kupukupu. Pembesaran kupukupu ini dilakukan dengan cara memelihara telur atau larva yang diperoleh dari alam...". Selanjutnya dinyatakan bahwa sistem pembesaran kupukupu yang melibatkan masyarakat di pegunungan Arfak Papua, merupakan salah satu contoh yang baik. Upaya budi daya kupukupu juga telah dilakukan oleh warga di daerah penyangga TN Babul yang tergabung dalam kelompok "Forum Pelestari Kupu Kupu". Kelompok tersebut dibentuk sejak tahun Awal pembentukannya difasilitasi oleh Kantor Pusat Pengelolaan Ekoregion Sulawesi dan Maluku (PPE Suma), Kementerian Lingkungan Hidup. Keanggotaan forum ini terdiri atas berbagai unsur masyarakat di sekitar kawasan wisata Bantimurung, antara lain adalah kepala desa, guruguru, pelaku pemanfaat kupukupu, dan petugas Balai TN Babul. Kelompok ini pada awal pembentukannya diketuai oleh Kepala Desa Samangki serta memiliki beberapa kelompok kerja. Dalam perkembangannya, terjadi pergantian ketua kepada salah seorang warga yang merupakan pengumpul pedagang kupukupu. Kelompok ini telah melaksanakan kegiatan berupa pertemuan secara rutin serta melakukan kegiatan penanaman berbagai jenis bungabungaan serta tanaman pakan larva kupukupu. Penanaman jenisjenis tanaman tersebut dilakukan pada lahan milik pemerintah Kabupaten Maros seluas 2 hektar yang terletak di dekat kawasan wisata Bantimurung. Hasil wawancara dengan ketua forum tersebut menunjukkan bahwa kegiatan penanaman tumbuhtumbuhan pakan telah berhasil menarik kupukupu untuk meletakkan telur dan berkembang biak. Sampai dengan kegiatan penelitian ini berakhir, forum ini telah berhasil membangun sebuah unit penangkaran dengan ukuran 5 x 10 meter2 serta pondok metamorfosis. Jenis kupukupu yang ditangkar terdiri atas beberapa jenis kupukupu dari genus Troides dan Papilio. Dalam perkembangannya, partisipasi anggota kelompok ini semakin berkurang, walaupun demikian para pengurusnya masih secara rutin setiap pekan mengadakan pertemuan serta merawat tanaman yang telah ditanam serta bangunan penangkaran. Rencana kerja yang terukur belum disusun dengan jelas serta proses pendampingan yang kurang menyebabkan kelompok ini belum berfungsi secara aktif dan efektif. Kelembagaan lokal memiliki potensi aksi kolektif yang lebih besar dari pada kelembagaan formal yang diatur oleh 45

16 46 pemerintah, sehingga lebih cocok diterapkan pada pengelolaan CPRs yang membutuhkan pengelolaan bersama dalam bentuk aksi kolektif. Karakteristik pelaku, teknik penangkapan dan perdagangan kupukupu dalam penelitian ini menunjukkan bahwa para penangkap kupukupu di daerah penyangga TN Babul tidak jelas jumlahnya, setiap warga dapat menangkap kupukupu dan tidak ada yang membatasi. Data menunjukkan bahwa mayoritas dari para penangkap merupakan anak lakilaki usia sekolah (SD SMU). Seluruh penangkap tidak memiliki izin tangkap. Pengumpul pedagang di daerah penyangga TN Babul menempati peran yang sentral dalam aliran tata niaga kupukupu. Jumlah pengumpul pedagang yang memiliki izin sebagai pengedar SL dalam negeri sebanyak 3 orang. Kupukupu yang diperdagangkan memiliki kelas kualitas dan harga yang bervariasi. Telah ada upaya budi daya kupukupu yang dilakukan warga di lokasi penelitian dalam bentuk penangkaran, ranching, dan budi daya tanaman pakan kupukupu di pekarangan rumah.

4 KARAKTERISTIK SUMBER DAYA KUPU-KUPU (Lepidoptera) YANG DIMANFAATKAN SECARA KOMERSIAL

4 KARAKTERISTIK SUMBER DAYA KUPU-KUPU (Lepidoptera) YANG DIMANFAATKAN SECARA KOMERSIAL KARAKTERISTIK SUMBER DAYA KUPU-KUPU (Lepidoptera) YANG DIMANFAATKAN SECARA KOMERSIAL. Kupu-Kupu Hasil Tangkapan Pengamatan hasil tangkapan kupu-kupu meliputi jumlah individu setiap jenis dan rasio kelamin.

Lebih terperinci

7 PENGUATAN KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL KUPU-KUPU

7 PENGUATAN KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL KUPU-KUPU 65 7 PENGUATAN KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL KUPU-KUPU 7.1 Permasalahan Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa secara keseluruhan, kinerja

Lebih terperinci

3 METODE. Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian; Sumber: Ditjen PHKA (2008)

3 METODE. Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian; Sumber: Ditjen PHKA (2008) 7 3 METODE 3. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan September 03. Lokasi penelitian terletak di Desa Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung; serta di Desa Jenetaesa

Lebih terperinci

2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 11 2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Letak dan Potensi Wisata Secara administrasi pemerintahan, lokasi penelitian terletak di Desa Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung; serta Desa Jenetaesa dan Desa Samangki,

Lebih terperinci

Graphium androcles/ Zdenek Hanc.

Graphium androcles/ Zdenek Hanc. Graphium androcles/ Zdenek Hanc. Alfred Russel Wallace, adalah naturalis berkebangsaan Inggris yang pernah menjelajah Kepulauan Indo-Malaya dari tahun 1856 sampai dengan 1862. Wallace melakukan ekplorasi

Lebih terperinci

SEKILAS KUPU-KUPU DI TAMAN HUTAN BANTIMURUNG. A. Letak Geografis Taman Bantimurung

SEKILAS KUPU-KUPU DI TAMAN HUTAN BANTIMURUNG. A. Letak Geografis Taman Bantimurung SEKILAS KUPU-KUPU DI TAMAN HUTAN BANTIMURUNG A. Letak Geografis Taman Bantimurung Luas taman hutan Bantimurung adalah 43.700 hektar, terletak pada 119 o. 34 119 o.55 BT dsn 4 o.42 5 o. 06 LS. Di tahun

Lebih terperinci

6 KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN KOMERSIAL SATWA LIAR

6 KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN KOMERSIAL SATWA LIAR 47 6 KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN KOMERSIAL SATWA LIAR Pemerintah sebagai representasi negara mempunyai tanggung jawab untuk mengatur, mengelola serta mengalokasikan pemanfaatan SL secara

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu-kupu merupakan serangga yang memiliki keindahan warna dan bentuk sayap sehingga mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

Lebih terperinci

2015 PENGARUH PEMBERIAN PAKAN ALAMI DAN PAKAN SINTETIS TERHADAP LAMANYA SIKLUS HIDUP

2015 PENGARUH PEMBERIAN PAKAN ALAMI DAN PAKAN SINTETIS TERHADAP LAMANYA SIKLUS HIDUP BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu kupu adalah kelompok serangga yang termasuk ke dalam bangsa Lepidotera, yang berarti mempunyai sayap bersisik. Kupu-kupu merupakan bagian kecil dari 155.000 spesies

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA Nomor 19 Tahun 2013 SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENGHIJAUAN KOTA SAMARINDA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. WALIKOTA

Lebih terperinci

BAB II DATA DAN ANALISA

BAB II DATA DAN ANALISA BAB II DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data 1. Wawancara dengan Bapak Agus Hidayat, penanggung jawab Museum Serangga TMII 2. Brosur dan Flyer Museum Serangga TMII 3. Angket yang disebarkan ke 50 responden

Lebih terperinci

8 AKTIVITAS YANG DAPAT DITAWARKAN PPI JAYANTI PADA SUBSEKTOR WISATA BAHARI

8 AKTIVITAS YANG DAPAT DITAWARKAN PPI JAYANTI PADA SUBSEKTOR WISATA BAHARI 8 AKTIVITAS YANG DAPAT DITAWARKAN PPI JAYANTI PADA SUBSEKTOR WISATA BAHARI Aktivitas-aktivitas perikanan tangkap yang ada di PPI Jayanti dan sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai aktivitas wisata bahari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 46 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan dilaksanakan adalah deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 46 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA POCUT MEURAH INTAN

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 46 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA POCUT MEURAH INTAN PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 46 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA POCUT MEURAH INTAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA Menimbang a. GUBERNUR

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 07/MEN/2004 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN BENIH IKAN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 07/MEN/2004 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN BENIH IKAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 07/MEN/2004 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN BENIH IKAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang terletak pada posisi BT dan LS. Purbalingga

I. PENDAHULUAN. yang terletak pada posisi BT dan LS. Purbalingga I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki kekayaan alam melimpah berupa flora dan fauna. Indonesia juga memiliki potensi besar dalam pengembangan usaha peternakan lebah

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran besar dan memiliki warna sayap yang menarik sehingga sering diambil dari alam untuk dijadikan

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN KUPU-KUPU DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG. (Butterfly diversities in Bantimurung Bulusaraung National Park)

KEANEKARAGAMAN KUPU-KUPU DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG. (Butterfly diversities in Bantimurung Bulusaraung National Park) Media Konservasi Vol. 18, No. 2 Agustus 2013 : 63 68 KEANEKARAGAMAN KUPU-KUPU DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG (Butterfly diversities in Bantimurung Bulusaraung National Park) ABDUL HARIS MUSTARI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.71/Menhut-II/2014 TENTANG MEMILIKI DAN MEMBAWA HASIL BERBURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.71/Menhut-II/2014 TENTANG MEMILIKI DAN MEMBAWA HASIL BERBURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.71/Menhut-II/2014 TENTANG MEMILIKI DAN MEMBAWA HASIL BERBURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hayati memiliki potensi menjadi sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. hayati memiliki potensi menjadi sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keanekaragaman hayati di suatu negara memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Keanekaragaman hayati merupakan sumber penghidupan dan kelangsungan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN SEBAGAI PAKAN LARVA KUPU-KUPU DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG MAROS

PEMANFAATAN TUMBUHAN SEBAGAI PAKAN LARVA KUPU-KUPU DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG MAROS PEMANFAATAN TUMBUHAN SEBAGAI PAKAN LARVA KUPU-KUPU DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG MAROS Elis Tambaru Email: eli.tambaru@yahoo.com Jurusan Biologi Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin

Lebih terperinci

Laporan Program (Periode Juni 2012)

Laporan Program (Periode Juni 2012) Laporan Program (Periode Juni 2012) I. Pendahuluan Banyak hal telah kami capai pada bulan ke-7 di tahun ini terkait pada program konservasi mangrove di Krakatoa Nirwana Resort (KNR), Merak Belantung, Lampung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN Latar belakang PENDAHULUAN Latar belakang Lepidoptera adalah serangga bersayap yang tubuhnya tertutupi oleh sisik (lepidos = sisik, pteron = sayap) (Kristensen 2007). Sisik pada sayap kupu-kupu mengandung pigmen yang

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Desa Sibangkaja merupakan suatu desa yang terletak di Kecamatan

BAB V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Desa Sibangkaja merupakan suatu desa yang terletak di Kecamatan BAB V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1 Profile Agrowisata Sutera Sari Segara Desa Sibangkaja merupakan suatu desa yang terletak di Kecamatan Abiansemal di Kabupaten Badung dengan luas wilayah geografis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permintaan sangat tinggi. Banyaknya para pencari kroto di alam yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. permintaan sangat tinggi. Banyaknya para pencari kroto di alam yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perunggasan saat ini sangat berkembang pesat. Tidak hanya jenis unggas konsumsi, tetapi juga unggas hias. Salah satu unggas hias yang paling diminati para pecinta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berbagai makluk hidup mulai dari bakteri, cendawan, lumut dan berbagai jenis

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berbagai makluk hidup mulai dari bakteri, cendawan, lumut dan berbagai jenis 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan tropis, yang berkembang sejak ratusan juta tahun yang silam, terdapat berbagai makluk hidup mulai dari bakteri, cendawan, lumut dan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan.

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 1.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil observasi dilapangan serta analisis yang dilaksanakan pada bab terdahulu, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk merumuskan konsep

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN 29 Bab perubahan struktur agraria ini berisi tentang penjelasan mengenai rezim pengelolaan TNGHS, sistem zonasi hutan konservasi TNGHS, serta kaitan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

WAHYU KARYONO. Menjadi PKSM untuk memenuhi Panggilan Hati Oleh : Ryke L.S. Siswari

WAHYU KARYONO. Menjadi PKSM untuk memenuhi Panggilan Hati Oleh : Ryke L.S. Siswari WAHYU KARYONO Menjadi PKSM untuk memenuhi Panggilan Hati Oleh : Ryke L.S. Siswari Seperti umumnya di kabupaten kabupaten di Indonesia, jumlah penyuluh Kehutanan PNS di Kabupaten Kebumen masih jauh dari

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pulau mencapai pulau yang terdiri dari lima kepulauan besar dan 30

I. PENDAHULUAN. pulau mencapai pulau yang terdiri dari lima kepulauan besar dan 30 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan yang melimpah dengan jumlah total pulau mencapai 17.508 pulau

Lebih terperinci

IKAN GABUS DI KANCAH NASIONAL

IKAN GABUS DI KANCAH NASIONAL IKAN GABUS DI KANCAH NASIONAL Pada pertengahan 2013 sebuah majalah pertanian terkenal di tanah air tiba-tiba saja mengangkat ikan gabus ke kancah nasional. Ikan yang di Kalimantan Selatan disebut haruan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa ekowisata merupakan potensi

Lebih terperinci

Lampiran 1 Jumlah individu per jenis kelamin spesies kupu-kupu hasil tangkapan berdasarkan famili di lokasi penelitian

Lampiran 1 Jumlah individu per jenis kelamin spesies kupu-kupu hasil tangkapan berdasarkan famili di lokasi penelitian LAMPIRAN 87 Lampiran 1 Jumlah individu per jenis kelamin spesies kupu-kupu hasil tangkapan berdasarkan famili di lokasi penelitian No Famili Spesies Individu Jantan Betina Jumlah 1 Lycaenidae Arhopala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kampung Adat Dukuh Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Waktu penelitian dilaksanakan pada

Lebih terperinci

PENGENDALIAN SUMBERDAYA IKAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PENANGKAPAN DAN PENGUMPULAN GLASS ELL (SIDAT) DI MUARA SUNGAI CIMANDIRI

PENGENDALIAN SUMBERDAYA IKAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PENANGKAPAN DAN PENGUMPULAN GLASS ELL (SIDAT) DI MUARA SUNGAI CIMANDIRI PENGENDALIAN SUMBERDAYA IKAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PENANGKAPAN DAN PENGUMPULAN GLASS ELL (SIDAT) DI MUARA SUNGAI CIMANDIRI Oleh : Tedi Koswara, SP., MM. I. PENDAHULUAN Dalam Peraturan Bupati Nomor 71

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG Page 1 of 19 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 UMUM TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak

BAB I PENDAHULUAN. ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki beraneka ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak jaman kerajaan-kerajaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang- I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis

Lebih terperinci

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kupu-kupu merupakan satwa liar yang menarik untuk diamati karena keindahan warna dan bentuk sayapnya. Sebagai serangga, kelangsungan hidup kupu-kupu sangat

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. 5.1 Kondisi Umum Kawasan Muaro Silokek Durian Gadang. Kawasan Musiduga terletak di Kanagarian Muaro, Kanagarian Silokek,

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. 5.1 Kondisi Umum Kawasan Muaro Silokek Durian Gadang. Kawasan Musiduga terletak di Kanagarian Muaro, Kanagarian Silokek, V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN 5.1 Kondisi Umum Kawasan Muaro Silokek Durian Gadang Kawasan Musiduga terletak di Kanagarian Muaro, Kanagarian Silokek, Kanagarian Durian Gadang, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Herlin Nur Fitri, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Herlin Nur Fitri, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diversitas atau keanekaragaman makhluk hidup termasuk salah satu sumber daya lingkungan dan memberi peranan yang penting dalam kestabilan lingkungan. Semakin tinggi

Lebih terperinci

Statistik tabel Pariwisata Yogyakarta dan Perkembangannya

Statistik tabel Pariwisata Yogyakarta dan Perkembangannya BAB III Statistik tabel Pariwisata Yogyakarta dan Perkembangannya Potensi pariwisata di Indonesia sangat tinggi, dari Aceh hingga Papua dengan semua macam obyek pariwisata, industri pariwisata Indonesia

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

DINAS KEHUTANAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

DINAS KEHUTANAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG UPAYA PELESTARIAN MENTILIN (TARSIUS BANCANUS) SEBAGAI SALAH SATU SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh HENDRI UTAMA.SH NIP. 19800330 199903 1 003 POLISI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya alam non hayati/abiotik. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati

BAB I PENDAHULUAN. daya alam non hayati/abiotik. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan karunia dari Allah SWT yang harus dikelola dengan bijaksana, sebab sumber daya alam memiliki keterbatasan penggunaannya. Sumberdaya alam

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Burung

Lebih terperinci

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK Hutan rakyat sudah lama ada dan terus berkembang di masyarakat. Manfaat yang diperoleh dari hutan rakyat sangat dirasakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bangsa Indonesia dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya. V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Petani Petani adalah pelaku usahatani yang mengatur segala faktor produksi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kualitas

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Perlindungan hutan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan hutan (PP No. 45 tahun 2004). Perlindungan hutan dari kebakaran hutan adalah untuk menghindari kerusakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pariwisata telah berkembang pesat seiring perubahan pola pikir, bentuk, dan sifat kegiatan warga masyarakat. Perkembangan ini menuntut industri pariwisata agar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hewan sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Istimewa Yogyakarta terkenal dengan kota pelajar dan kota budaya, selain itu Daerah Istimewa Yogyakarta juga dikenal sebagai daerah pariwisata ini dibuktikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya,

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, 130 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulkan sebagai berikut: 1. Kawasan Cihampelas termasuk

Lebih terperinci

VI KARAKTERISTIK RESPONDEN PENGUNJUNG TAMAN REKREASI KAMPOENG WISATA CINANGNENG

VI KARAKTERISTIK RESPONDEN PENGUNJUNG TAMAN REKREASI KAMPOENG WISATA CINANGNENG VI KARAKTERISTIK RESPONDEN PENGUNJUNG TAMAN REKREASI KAMPOENG WISATA CINANGNENG Pengunjung yang berwisata di TRKWC memiliki latar belakang sosial dan ekonomi yang berbeda-beda. Latar belakang atau karakteristik

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Persentase konsumsi pangan di Indonesia

Gambar 1.1 Persentase konsumsi pangan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan sebagian besar hasil bumi merupakan hasil pertanian dan perkebunan. Hasil bumi tersebut merupakan salah satu faktor penting

Lebih terperinci

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG SELATAN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya ikan sebagai bagian

Lebih terperinci

V. PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR

V. PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR V. PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR 5.1. Kebijakan Pengelolaan Pasar Tradisional Kota Bogor Terdapat tujuh buah pasar tradisional yang dibangun oleh Pemerintah Kota Bogor untuk menunjang perekomomian dan memenuhi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 28 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, dimulai dari bulan November- Desember 2011. Lokasi pengamatan disesuaikan dengan tipe habitat yang terdapat di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Perumusan Masalah

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Perumusan Masalah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konservasi satwaliar meliputi kegiatan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan (Sekditjen PHKA 2007a). Pemanfaatan satwaliar menjadi kegiatan yang dilakukan manusia

Lebih terperinci

SATU. Taman Nasional Bantimurung- Bulusaraung

SATU. Taman Nasional Bantimurung- Bulusaraung SATU Taman Nasional Bantimurung- Bulusaraung Indonesia dengan julukan zamrud khatulistiwa adalan negara tropis yang mempunyai keanekaragaman fauna dan flora terbesar setelah Brasil. Keindahan hutan hujan

Lebih terperinci

selama 12 jam. Pendapatan mereka rataratanya 1.5 juta rupiah sebulan. Saat ini, mata Nelayan 1.000.000 kerja masyarakat adalah nelayan selama 4 jam.

selama 12 jam. Pendapatan mereka rataratanya 1.5 juta rupiah sebulan. Saat ini, mata Nelayan 1.000.000 kerja masyarakat adalah nelayan selama 4 jam. Datar Luas Gambaran Umum Desa Datar Luas terletak di Kecamatan Krueng Sabee dengan luas 1600 Ha terdiri dari tiga dusun yaitu Dusun Makmur Jaya, Dusun Damai dan Dusun Subur. Desa yang dipimpin oleh Andalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meidita Aulia Danus, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meidita Aulia Danus, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lepidoptera merupakan salah satu ordo dari ClassisInsecta(Hadi et al., 2009). Di alam, lepidoptera terbagi menjadi dua yaitu kupu-kupu (butterfly) dan ngengat

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN BUPATI MADIUN,

BUPATI MADIUN BUPATI MADIUN, BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL, PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN DI KABUPATEN MADIUN BUPATI MADIUN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keterangan : * Angka sementara ** Angka sangat sementara Sumber : [BPS] Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Keterangan : * Angka sementara ** Angka sangat sementara Sumber : [BPS] Badan Pusat Statistik (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pariwisata menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang penting, dimana dalam perekonomian suatu Negara, apabila dikembangkan secara terencana dan terpadu, peran pariwisata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (www.okezone.com 17/8/ % Spesies Primata Terancam Punah)

BAB I PENDAHULUAN. (www.okezone.com 17/8/ % Spesies Primata Terancam Punah) BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Keberadaan primata di seluruh dunia akhir-akhir ini sangat memprihatinkan akibat berkurangnya habitat mereka dan penangkapan liar untuk diperdagangkan. Degradasi dan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa satwa merupakan sebagian sumber daya alam yang tidak ternilai harganya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri dari empat spesies rusa endemik yaitu: rusa sambar (Cervus unicolor),

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id Di dalam konsep Agrowisata, usaha pertanian unggulan dikembangkan a. Latar belakang 1. PENDAHULUA}{

bio.unsoed.ac.id Di dalam konsep Agrowisata, usaha pertanian unggulan dikembangkan a. Latar belakang 1. PENDAHULUA}{ Makalah pengabdian Pada Masyarakat "Penerapan Teknik Pembuatan Taman Kupu-Kupu Di Desa Serang Untuk Meningkatkan Destinasi Wisata" 2016 Design Taman Kupu-kupu di Rest Area Desa Wisata Serang, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kupu-kupu merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki Indonesia dan harus dijaga kelestariannya dari kepunahan maupun penurunan keanekaragaman jenisnya.

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN LOKASI STUDI

BAB III GAMBARAN LOKASI STUDI BAB III GAMBARAN LOKASI STUDI 3.1. Umum Danau Cisanti atau Situ Cisanti atau Waduk Cisanti terletak di kaki Gunung Wayang, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Secara geografis Waduk

Lebih terperinci

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 369/Kpts-IV/1985 TANGGAL : 7 Desember 1985 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION KETENTUAN I : TUJUAN PENGUSAHAAN

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN FEBRUARI 2011

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN FEBRUARI 2011 No.027/05/63/Th XV, 5 Mei 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN FEBRUARI 2011 Jumlah penduduk angkatan kerja pada 2011 sebesar 1,840 juta jiwa. Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 0,36

Lebih terperinci

Peningkatan Investasi Sektor Industri Ke Seluruh Wilayah Provinsi Dalam Rangka Penyebaran Dan Pemerataan Pembangunan Industri

Peningkatan Investasi Sektor Industri Ke Seluruh Wilayah Provinsi Dalam Rangka Penyebaran Dan Pemerataan Pembangunan Industri MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN PADA DISKUSI ASOSIASI PEMERINTAH PROVINSI SELURUH INDONESIA Peningkatan Investasi Sektor Industri Ke Seluruh Wilayah Provinsi Dalam Rangka Penyebaran Dan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2017 No. 103/11/Th. XX, 06 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2017 A. KEADAAN KETENAGAKERJAAN Agustus 2017: Tingkat

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia sebagai negara agraris

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI PERAIRAN UMUM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI PERAIRAN UMUM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI PERAIRAN UMUM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH BESAR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

BAB VI DINAMIKA PROSES MERENCANAKAN TINDAKAN DAN AKSI PERUBAHAN

BAB VI DINAMIKA PROSES MERENCANAKAN TINDAKAN DAN AKSI PERUBAHAN 100 BAB VI DINAMIKA PROSES MERENCANAKAN TINDAKAN DAN AKSI PERUBAHAN Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat seringkali melibatkan perencanaan, pengorganisasian, dan pengembangan sebagai aktivitas pembuatan

Lebih terperinci