3 METODE. Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian; Sumber: Ditjen PHKA (2008)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "3 METODE. Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian; Sumber: Ditjen PHKA (2008)"

Transkripsi

1 7 3 METODE 3. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan September 03. Lokasi penelitian terletak di Desa Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung; serta di Desa Jenetaesa dan Desa Samangki, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros. Alasan pemilihan desa-desa tersebut karena merupakan lokasi-lokasi penangkapan berbagai jenis kupu-kupu yang diperdagangkan (Noerdjito dan Aswari 003). Gambar 3. Peta lokasi penelitian; Sumber: Ditjen PHKA (008) Fokus penelitian adalah pemanfaatan komersial kupu-kupu melalui penangkapan dari habitat alam untuk tujuan perdagangan yang dilakukan oleh warga di desa-desa yang merupakan lokasi penelitian. Subjek penelitian adalah individu warga pemanfaat kupu-kupu sebagai kelompok sasaran serta aparatur pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL.

2 8 3. Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat lintas bidang dengan menggunakan pengetahuan positif dan pengetahuan tentang nilai untuk menghasilkan suatu preskripsi (resep) tentang penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros. Pakpahan (989) menyatakan "...suatu preskripsi selalu mengandung unsur nilai dan bukan nilai...". Pendekatan penelitian menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif sesuai keperluan masing-masing kajian. Kajian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: karakteristik sumber daya kupu-kupu (Lepidoptera) yang dimanfaatkan secara komersial; karakteristik pelaku, teknik penangkapan dan pedagangan kupu-kupu; keefektifan implementasi peraturan pemanfaatan komersial SL; serta penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu. Penggunaan metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif tersebut menekankan pada penggambaran, pemahaman dan penjelasan atas data-data yang dikumpulkan. Kredibilitas data diuji secara triangulasi terhadap cara pengumpulan dan sumber data (Sugiyono 0). 3.3 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui: (a) observasi atau pengamatan untuk memperoleh data primer dan melihat langsung aktivitas pemanfaatan komersial kupu-kupu di lapangan; (b) wawancara mendalam dengan informan yang meliputi para pelaku pemanfaat kupu-kupu yaitu penangkap, pengumpul pedagang serta para pejabat di instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan pemanfaatan SL; serta (c) studi literatur terhadap beberapa data sekunder. Data primer diperoleh langsung melalui observasi dan wawancara, serta data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, data statistik dan laporan tahunan diperoleh dari instansi terkait. Observasi awal dilakukan dengan menelusuri para pengumpul pedagang serta para penangkap secara snow ball technique untuk mendapatkan informasi mengenai para pengumpul pedagang dan penangkap yang ada di lokasi penelitian. Setiap kali melakukan kunjungan ke pengumpul pedagang, dilakukan wawancara secara mendalam mengenai aspek perdagangan dan informasi jenis-jenis kupukupu dilihat dari pembelian hasil tangkapan. Wawancara juga dilakukan dengan para penangkap saat melakukan aktivitas penangkapan di lapangan, guna mendapatkan gambaran tambahan mengenai jenis-jenis kupu-kupu serta sebagai suatu cross reference terhadap data yang telah disampaikan oleh para pengumpul pedagang. Wawancara mendalam juga dilakukan terhadap petugas pada instansi terkait mengenai aspek pengaturan pemanfaatan komersial kupu-kupu. Studi literatur sebagai pelengkap data dan informasi, didapatkan dari instansi terkait. Pemilihan informan sebagai sumber data dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive. Informan yang dipilih berdasarkan pada pertimbangan tertentu yaitu bahwa orang tersebut dianggap paling tahu tentang data dan informasi apa yang diharapkan (Sugiyono 0). Pertimbangan tertentu bagi aparatur pelaksana peraturan adalah berdasarkan pada jenjang jabatan, tugas pokok dan fungsinya yang terkait langsung dengan pemanfaatan SL. Bagi kelompok sasaran khususnya pengumpul pedagang, pertimbangannya adalah yang telah menekuni usaha pemanfaatan komersial kupu-kupu lebih dari 0 tahun.

3 Jumlah informan ditentukan dengan pertimbangan-pertimbangan informasi yang diperlukan, jika tidak ada lagi informasi yang dapat dijaring maka pemilihan informan sudah dapat diakhiri (Moleong 00). Jumlah informan yang dimaksud dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3.. Tabel 3. Informan penelitian Pelaksana Peraturan Jabatan Jumlah Balai Besar KSDA Sulsel Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Direktorat Jenderal PHKA Pusat Penelitian Biologi LIPI Kepala Bidang Teknis Kepala Bagian Tata Usaha Kepala Seksi Pemanfaatan dan Pelayanan Kepala Seksi Perlindungan, Pengawetan dan Perpetaan Pengendali Ekosistem Hutan Tingkat Ahli Kepala Bidang Kehutanan Kepala Seksi Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Kepala Seksi Aneka Usaha Kehutanan Kepala Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kepala Seksi Peredaran Hasil Hutan Kepala Sub bagian Tata Usaha Kepala Seksi Wilayah II Bantimurung Pengendali Ekosistem Hutan Tingkat Ahli Polisi Kehutanan Kepala Sub Direktorat Pengawetan dan Pemanfaatan jenis Kepala Sub Direktorat Tertib Peredaran Kepala Sub Direktorat Lembaga Konservasi dan Perburuan Kepala Sub Direktorat Program dan Evaluasi Penyidikan dan Pengamanan Kepala Seksi Pembalakan Ilegal dan Satwa Liar Wilayah I Peneliti pada Bidang Zoologi Kelompok Sasaran Kategori Jumlah Penangkap Pengumpul pedagang Kelompok usia di bawah 9 tahun Kelompok usia di atas 9 tahun Memiliki izin pengedar Tidak memiliki izin pengedar 3.3. Kajian tentang karakteristik sumber daya kupu-kupu (Lepidoptera) yang dimanfaatkan secara komersial Sumber daya kupu-kupu yang dimanfaatkan secara komersial di daerah penyangga TN Babul diketahui melalui studi terhadap jenis-jenis kupu-kupu hasil 9 3 6

4 0 tangkapan yang meliputi jumlah individu setiap jenis dan rasio kelamin, serta status jenis kupu-kupu yang dimanfaatkan secara komersial dari habitat alam. Pada umumnya kondisi populasi satwa liar, termasuk kupu-kupu di alam sangat sulit untuk diketahui. Hal ini disebabkan oleh luasnya habitat, letak geografis, serta sifat dari satwa liar tersebut yang tidak memungkinkan dilakukan sensus secara terstruktur dalam satu satuan waktu yang pendek (Shine et al. 998; Schlaeper et al. 00; Iskandar dan Erdelen 006; Semiadi dan Sidik 0). Oleh sebab itu, kajian tidak langsung melalui pemantauan terhadap hasil yang dipanen/ditangkap yang ada di tingkat penangkap dapat menjadi indikator penting mengenai kondisinya di alam (TRAFFIC 008; Semiadi dan Sidik 0). Gambaran sesungguhnya mengenai kondisi populasi serta status jenis kupu-kupu di alam perlu terus dipantau secara reguler untuk memperoleh informasi sebagai dasar pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan pemanfaatan kupu-kupu secara lestari. Pengamatan jenis-jenis kupu-kupu hasil tangkapan dilakukan terhadap masing-masing 3 orang penangkap pada 3 lokasi penangkapan di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros. Pemilihan lokasi pengamatan dilakukan secara sengaja (purposive) dengan cara mengikuti pilihan para penangkap yang biasanya melakukan aktivitas penangkapan. Selama melakukan pengamatan didampingi oleh dua orang pengenal jenis kupu-kupu yang mampu mengidentifikasi kupu-kupu dengan baik. Pengamatan dilakukan pada bulan Februari, Mei, dan Agustus 03 di setiap lokasi penangkapan. Pemilihan waktu pengamatan berdasarkan pertimbangan bahwa intensitas curah hujan pada bulan-bulan tersebut secara berturut-turut adalah tinggi, sedang dan rendah. Selain itu, menurut informasi para pengumpul pedagang bahwa komposisi jenis kupu-kupu hasil tangkapan selama hingga bulan relatif sama. Jadi dengan asumsi rentang waktu pengamatan selama 3 bulan, maka akan memperoleh data komposisi jenis kupu-kupu hasil tangkapan yang berbeda. Masing-masing lokasi dilakukan pengamatan selama 3 hari. Pengamatan dilakukan pada pagi hari ( WITA) dan siang hingga sore hari (pukul WITA). Pengamatan penangkapan kupu-kupu dilakukan di sepanjang jalur berukuran lebar 0 meter dengan panjang 0 meter, menggunakan metode sensus transek (transect count) (Pollard dan Yates 993; Noerdjito dan Aswari 003). Rincian waktu pengamatan aktivitas penangkapan kupu-kupu di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3.. Tabel 3. Waktu pengamatan aktivitas penangkapan kupu-kupu di lokasi penelitian tahun 03 Bulan Desa Kalabbirang Desa Jenetaesa Desa Samangki Februari Mei Agustus Tanggal 4 Tanggal 6 Tanggal 9 Tanggal 3 Tanggal 6 Tanggal 4 Tanggal 3 Tanggal 7 Tanggal 3 Penangkapan kupu-kupu oleh para penangkap menggunakan jaring serangga (sweep net) berdiameter 0 cm dengan panjang tongkat 00 cm. Penangkapan dilakukan dengan cara berjalan perlahan atau menunggu sambil terus mengawasi keberadaan kupu-kupu untuk ditangkap. Pada setiap jalur pengamatan, jenis kupu-

5 kupu yang tertangkap dicatat jumlahnya, nama jenis dan perbedaan jenis kelaminnya. Cara memperkirakan rasio kelamin dari populasi kupu-kupu adalah dengan menghitung perbandingan jantan dengan betina hasil tangkapan. Asumsi yang mendasari praktek ini bahwa koleksi kupu-kupu liar di alam sehubungan dengan rasio kelamin adalah acak (Idris dan Hassan 04). Data jenis-jenis kupu-kupu hasil tangkapan berupa jumlah individu setiap jenis dan rasio kelamin diketahui dengan cara menghitung seluruh individu yang tertangkap di dalam transek selama waktu pengamatan. Data hasil pengamatan kemudian ditabulasi dan dijabarkan secara deskriptif Kajian tentang karakteristik pelaku, teknik penangkapan dan perdagangan kupu-kupu Kajian ini meliputi pelaku penangkapan, metode menangkap, pelaku perdagangan, aktivitas perdagangan, klasifikasi kualitas dan harga kupu-kupu, serta upaya budi daya kupu-kupu. Karakteristik penangkapan kupu-kupu dari habitat alam untuk tujuan perdagangan berkaitan dengan siapa saja yang terlibat dalam aktivitas penangkapan. Observasi lapangan serta wawancara mendalam dilakukan untuk mengetahui berapa jumlah penangkap yang secara aktif melakukan penangkapan, metode menangkap (menjaring), lokasi serta waktu penangkapan kupu-kupu. Data dan informasi tentang karakteristik perdagangan (peredaran) kupukupu dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan observasi lapangan untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan kupu-kupu, aktivitas pelaku perdagangan, klasifikasi kualitas dan harga kupu-kupu yang diperdagangkan, serta perilaku warga dalam melakukan budi daya kupu-kupu. Pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul dihitung jumlahnya serta digambarkan dalam bagan alir tata niaga kupukupu Kajian tentang keefektifan implementasi peraturan pemanfaatan komersial satwa liar Keefektifan implementasi peraturan pemanfaatan komersial SL meliputi isi peraturan, tingkat pemahaman, dukungan masyarakat, dan pembagian tugas pokok dan fungsi instansi. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi studi literatur peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan SL, dan wawancara mendalam dengan para informan untuk mengetahui tingkat pemahaman peraturan. Pemahaman peraturan oleh para pelaksana peraturan terdiri atas aparatur pada Balai Besar KSDA Sulsel, Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel, dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros, serta kelompok sasaran yang terdiri atas para penangkap dan pengumpul pedagang. Observasi dan wawancara mendalam dengan para informan terkait dengan implementasi peraturan perundang-undangan pemanfaatan komersial SL di lapangan.

6 3.3.4 Kajian tentang penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu Penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros meliputi tahapan: () identifikasi permasalahan kelembagaan yang terkait dengan karakteristik jenis kupu-kupu (Lepidoptera) yang dimanfaatkan secara komersial, karakteristik penangkapan dan peredaran (perdagangan) kupu-kupu, dan keefektifan implementasi peraturan pemanfaatan komersial SL; dan () merumuskan penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu Analisis deskriptif kuantitatif 3.4 Analisis Data Analisis deskriptif kuantitatif dilakukan dengan membuat penjelasanpenjelasan dengan memperlihatkan data-data kuantitatif yang diperoleh melalui hasil pengamatan, wawancara mendalam maupun studi literatur. Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel atau foto. Analisis dilakukan terhadap: () jenis-jenis kupu-kupu hasil tangkapan yang meliputi: jumlah individu setiap jenis kupu-kupu hasil tangkapan secara keseluruhan, jumlah individu setiap jenis berdasarkan lokasi maupun waktu pengamatan, dan jumlah individu berdasarkan status jenis, baik status perlindungan maupun menurut daftar kuota penangkapan; () jumlah pelaku pemanfaat kupu-kupu yaitu penangkap, pengumpul pedagang, pengrajin souvenir dan penjual souvenir, jumlah spesimen kupu-kupu berdasarkan kelas kualitas dan harga beberapa jenis kupu-kupu; serta (3) tingkat pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL oleh aparatur sebagai pelaksana serta para penangkap dan pengumpul pedagang sebagai kelompok sasaran Analisis pemahaman peraturan perundang-undangan Analisis pemahaman peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL bagi aparatur pelaksana di lapangan (street-level bureaucrats) dan kelompok sasaran, dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang: () jenis-jenis peraturan perundangundangan pemanfaatan SL; () hak dan kawajibannya terkait dengan pemanfaatan SL; (3) prosedur dan tata cara pemanfaatan SL; (4) larangan dan sanksi atas pelanggaran pemanfaatan SL. Berdasarkan 4 jenis pengetahuan tersebut maka dibuat 3 kategori, yaitu: Baik, apabila memiliki minimal 3 pengetahuan; Cukup, apabila memiliki maksimal pengetahuan; dan Kurang, apabila memiliki maksimal pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan pemanfatan SL Analisis deskriptif kualitatif Analisis deskriptif kualitatif merupakan analisis yang menjelaskan data dan informasi hasil wawancara dalam bentuk uraian verbal (Usman dan Akbar 006). Analisis kualitatif dilakukan dengan penekanan pada deskripsi dan pemaknaan data hasil wawancara dengan interpretasi secara kritis (Nugroho 03). Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan, selebihnya

7 adalah data tambahan seperti dokumen, foto, data statistik, laporan dan lain-lain (Moleong 00). Analisis deskriptif kualitatif dalam penelitian ini dilakukan terhadap data yang terkait dengan: () status perlindungan dan status menurut kuota jenis kupukupu yang dimanfaatkan; () metode menangkap kupu-kupu, aktivitas peredaran (perdagangan), kualitas kupu-kupu hasil tangkapan, dan perilaku warga dalam budi daya kupu-kupu; (3) implementasi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL oleh aparatur pelaksana pada instansi pemerintah yang terkait, serta implementasi oleh kelompok sasaran yaitu para penangkap dan pengumpul pedagang kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros Penelaahan atas isi peraturan perundang-undangan Penelaahan atas isi peraturan perundang-undangan adalah teknik penelitian untuk membuat penjelasan-penjelasan dengan mencermati konteks suatu isi komunikasi (Bungin 00). Konteks komunikasi yang dimaksud pada penelitian ini adalah isi teks pasal-pasal tertentu yang terkait dengan pemanfaatan komersial satwa liar. Isi teks peraturan tersebut selanjutnya dibandingan dengan implementasinya di lapangan. Penelaahan atas substansi teks peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan komersial SL dilakukan terhadap UU /990, PP 8/999, PP 38/007, Kepmenhut 447/003, dan Permen LH 9/ Analisis penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu Analisis penguatan kembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu dilakukan menggunakan analisis tema. Analisis tema atau discovering cultural themes merupakan upaya mencari "benang merah" yang mengintegrasikan lintas domain yang ada (Faisal 990; Sugiyono 0). Selanjutnya Sugiyono (0) menyatakan bahwa dari hasil analisis tema akan tersusun suatu "konstruksi bangunan" situasi sosial yang sebelumnya masih gelap atau remang-remang menjadi lebih terang dan jelas. Tahapan analisis tema penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu dimulai dengan melakukan kajian terhadap karakteristik sumber daya kupu-kupu yang dimanfaatkan secara komersial untuk mencapai tujuan penelitian (). Berdasarkan hasil kajian tersebut, dilakukan kajian terhadap karakteristik pelaku, teknik penangkapan dan perdagangan kupu-kupu untuk mencapai tujuan penelitian (). Hasil kajian keefektifan implementasi peraturan perundangundangan pemanfaatan SL dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian (3). Berdasarkan hasil kajian untuk mencapai tujuan penelitian (), (), dan (3), dirumuskan permasalahan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu. Hasil dari perumusan masalah kelembagaan tersebut selanjutnya dirumuskan solusi penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. 3

8 4 4 KARAKTERISTIK SUMBER DAYA KUPU-KUPU (Lepidoptera) YANG DIMANFAATKAN SECARA KOMERSIAL 4. Kupu-Kupu Hasil Tangkapan Pengamatan hasil tangkapan kupu-kupu meliputi jumlah individu setiap jenis dan rasio kelamin. Hasil pengamatan aktivitas para penangkap di 3 lokasi pengamatan pada bulan Februari, Mei dan Agustus 03 menunjukkan bahwa kupu-kupu hasil tangkapan berjumlah 838 individu (spesimen) yang tergolong ke dalam 89 jenis dan 4 famili. Data hasil pengamatan secara keseluruhan disajikan pada Lampiran. Jumlah individu kupu-kupu setiap jenis berdasarkan kelompok famili pada seluruh lokasi pengamatan disajikan pada Tabel 4.. Tabel 4. Jumlah jenis dan individu kupu-kupu hasil tangkapan berdasarkan famili di lokasi penelitian Famili Jumlah jenis Jumlah individu Nymphalidae Pieridae Lycaenidae Total Berdasarkan data pada Tabel 4. memperlihatkan bahwa kupu-kupu hasil tangkapan untuk tujuan komersial di daerah penyangga TN Babul didominasi oleh famili Nymphalidae. Jenis-jenis dari famili ini ditemukan paling banyak dibandingkan dengan 3 famili lainnya. Hal tersebut sesuai dengan laporan sejumlah hasil penelitian yang menyebutkan bahwa famili Nymphalidae merupakan famili yang memiliki anggota terbanyak pada berbagai lokasi penelitian. Jumlah jenis kupu-kupu berdasarkan kelompok famili menurut beberapa hasil penelitian seperti disajikan pada Tabel 4.. Tabel 4. Jumlah jenis kupu-kupu berdasarkan kelompok famili menurut beberapa hasil penelitian Peneliti Tabadepu et al. Dendang Sharma & Joshi Koneri & Saroyo Rahayu & Basukriadi Rahayuningsih et al. Tahun Lokasi Jabar Jabar India Sulut Jambi Jateng A: Nymphalidae; B: ; C: Pieridae; D: Lycaenidae Famili A B C D Famili Nymphalidae adalah kelompok terbesar dari Lepidoptera dan mencakup banyak jenis yang umumnya dapat ditemukan hampir di mana saja (Boonvanno et al. 000). Banyaknya jumlah jenis kupu-kupu hasil tangkapan

9 terutama dari famili Nymphalidae di lokasi penelitian juga berkaitan dengan ketersediaan tumbuhan pakan. Menurut Rahayu dan Basukriadi (0), kekayaan jenis kupu-kupu yang tinggi terutama dari famili Nymphalidae tidak terlepas dari faktor ketersediaan tumbuhan inang kupu-kupu, baik sebagai sumber makanan maupun tempat bernaung. Sumber pakan kupu-kupu famili Nympalidae adalah dari famili Annonaceae, Leguminosae, Compositae dan Poaceae (Peggie dan Amir 006). Beberapa jenis tumbuhan yang dikenal sebagai tumbuhan inang dan tumbuhan pakan larva kupu-kupu dari famili tersebut dapat ditemukan pada seluruh lokasi pengamatan. Sumah (0) menyatakan bahwa jenis-jenis tumbuhan pakan larva kupu-kupu yang paling sering dikunjungi oleh kupu-kupu dari kelompok famili Nymphalidae di TN Babul Kabupaten Maros adalah Lantana camara, Arenga pinnata, dan Ficus sp. Dominansi jenis-jenis dari famili Nymphalidae juga berkaitan dengan sifatnya yang polifagus sehingga membantu kupu-kupu ini hidup dalam berbagai habitat, polifagus merupakan sifat kupu-kupu yang dapat melakukan oviposisi pada beberapa jenis tumbuhan (Vane-Wright dan de Jong 003). Kupu-kupu dari famili Nympalidae adalah kelompok kupu-kupu yang memiliki jumlah jenis terbanyak dan bersifat kosmopolit, tersebar di banyak wilayah di dunia dan memiliki kemampuan bertahan hidup yang tinggi pada berbagai jenis habitat karena bersifat polifagus (Indrawan et al. 007; Tabadepu et al. 008). Selanjutnya dinyatakan oleh Majumder et al. (0) bahwa banyak jenis dari marga Nymphalidae yang bersifat active fliers sehingga membantu mereka melakukan aktivitas foraging pada wilayah yang lebih luas. Pengamatan jumlah individu setiap jenis (spesies) kupu-kupu hasil tangkapan berdasarkan kelompok famili, dilakukan pada setiap lokasi pengamatan. Hasil pengamatan tersebut disajikan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Jumlah spesies dan individu kupu-kupu berdasarkan kelompok famili pada setiap lokasi pengamatan Famili Lycaenidae Nymphalidae Pieridae Desa Kalabbirang Desa Jenetaesa Desa Samangki Spesies Individu Spesies Individu Spesies Individu Total Bila dibandingkan antara setiap lokasi pengamatan, relatif tidak terdapat perbedaan jumlah individu kupu-kupu hasil tangkapan yang mencolok antara ketiga lokasi pengamatan. Hal ini disebabkan oleh ketiga lokasi pengamatan masih dalam suatu kawasan yang relatif berdekatan. Antara lokasi pengamatan tidak terdapat rintangan geografi yang dapat menghalangi penyebaran kupu-kupu di kawasan tersebut. Meskipun menurut data tersebut memperlihatkan bahwa jumlah jenis dan individu kupu-kupu lebih banyak pada lokasi pengamatan Desa Samangki. Lokasi pengamatan tersebut terdiri atas vegetasi hutan sekunder. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa hutan yang sudah diolah atau sedikit

10 6 terganggu menghasilkan banyak jenis vegetasi sehingga mendorong datangnya kupu-kupu dan merupakan salah satu habitat yang memiliki jumlah kupu-kupu terbanyak (Sundufu dan Dumbuya 008; Rahayu dan Basukriadi 0). Menurut Efendi (009), terdapat hubungan keragaman kupu-kupu dengan habitatnya. Larva dan kupu-kupu dewasa bergantung pada keragaman tanaman inang. Walaupun kupu-kupu dapat bermigrasi ke daerah yang baru, namun jika sumber tumbuhan pakan larva kupu-kupu musnah, maka kupu-kupu tidak dapat melanjutkan keturunannya. Pengamatan jumlah individu setiap jenis (spesies) berdasarkan kelompok famili juga dilakukan pada 3 bulan pengamatan. Hasil pengamatan tersebut disajikan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Jumlah spesies dan individu kupu-kupu berdasarkan kelompok famili pada setiap bulan pengamatan Famili Lycaenidae Nymphalidae Pieridae Februari Mei Agustus Spesies Individu Spesies Individu Spesies Individu Total Hasil tangkapan memperlihatkan bahwa relatif terjadi kecenderungan jumlah individu kupu-kupu meningkat secara berturut-turut mulai bulan Februari, Mei dan Agustus. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perubahan intensitas hujan yang semakin berkurang secara berturut-turut pada bulan-bulan tersebut. Hal ini berarti bahwa keragaman dan kelimpahan jenis kupu-kupu juga dipengaruhi oleh musim. Menurut Rizal (007) dan Sumah (0) bahwa keragaman dan kelimpahan kupu-kupu lebih tinggi dapat ditemukan pada akhir musim hujan. Sementara Boovanno et al. (000) menyatakan bahwa aktivitas reproduksi kupukupu menunjukkan peningkatan pada bulan-bulan tertentu saat kondisi lingkungan optimum dan berkaitan dengan ketersediaan tumbuhan pakan larvanya. Hasil wawancara dengan salah seorang informan yang merupakan pengumpul pedagang kupu-kupu di Desa Jenetaesa menyatakan: "...setiap hari...rata-rata kupu-kupu yang dibawa penangkap ada sekitar 0 jenis...biasanya dalam minggu jenis kupu-kupu masih sama, pergantian jenis baru kelihatan dalam minggu kemudian...biasanya begitu seterusnya..." (KT4.34). Hasil wawancara dengan beberapa orang penangkap juga menunjukkan bahwa jumlah jenis kupu-kupu hasil tangkapan yang dijual kepada para pengumpul pedagang setiap hari berkisar antara 0 hingga jenis. Beberapa orang informan yang merupakan pengumpul pedagang di lokasi penelitian juga menyatakan hal yang sama. Dijelaskan oleh mereka bahwa biasanya dalam satu minggu, jenis kupu-kupu hasil tangkapan relatif sama. Setelah satu minggu kemudian jenis kupu-kupu yang ditangkap mulai berganti, walau demikian masih banyak juga jenis-jenis yang selalu muncul dan ditemukan di setiap bulan.

11 Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kupu-kupu hasil tangkapan secara keseluruhan memperlihatkan jumlah jantan lebih banyak ditangkap dibandingkan betina. Rasio kelamin antara kupu-kupu jantan dengan betina sesuai data pada Lampiran menunjukkan bahwa dari 89 jenis kupu-kupu yang ditangkap, hanya terdapat jenis yaitu Tirumala choaspes dari famili Nymphalidae yang jumlah jantan lebih sedikit dibandingkan betina. Jumlah individu berdasarkan rasio kelamin 4 jenis kupu-kupu yang dominan di setiap lokasi maupun bulan pengamatan disajikan pada Tabel 4.. Tabel 4. Jumlah individu berdasarkan rasio kelamin 4 jenis kupu-kupu dominan di lokasi penelitian Jenis Famili Jantan Betina Jumlah Catopsilia pamona Graphium agamemnon Graphium milon Ideopsis juventa Pieridae Nymphalidae Total 80 9 Hasil wawancara dengan para pengumpul pedagang di lokasi penelitian juga menunjukkan bahwa umumnya hasil tangkapan para penangkap yang dijual kepada pengumpul pedagang sebagian besar terdiri atas kupu-kupu jantan. Salah seorang pengumpul pedagang di Desa Samangki menyatakan: "...kupu-kupu hasil tangkapan lebih banyak jantan dibanding betina...biasanya perbandingan : untuk jantan..." (KI.6). Informan di Desa Kalabbirang menyatakan: "...kupukupu yang ditangkap lebih banyak jantan..." (KI.7). Selanjutnya informan di Desa Jenetaesa menyatakan: "...kupu-kupu yang banyak didapat lebih banyak jantan, kira-kira perbandingannya 0:...betina sulit didapat karena biasanya terbang tinggi, kalaupun ada yang tertangkap, kualitasnya masuk A3..." (KT4.8). Terdapat beberapa hal yang menyebabkan tingginya rasio kelamin kupukupu hasil tangkapan dari habitat alam di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros. Pertama, lokasi-lokasi pengamatan aktivitas penangkapan kupu-kupu letaknya berdekatan dengan pinggiran sungai yang lembab dan berpasir. Lingkungan tersebut umumnya banyak dikunjungi oleh kupu-kupu jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Glassberg (00) dan Utami (0) bahwa kupu-kupu jantan sering ditemukan bergerombol pada pasir atau tanah lembab untuk menghisap garam mineral dan air. Perilaku ini disebut mudpuddling. Garam mineral tersebut akan ditransver kepada betina pada saat kawin yang akan menjadi nutrisi bagi telur-telurnya. Kedua, perbedaan jumlah individu jantan dan betina hasil tangkapan adalah faktor perbedaan ukuran tubuh. Ukuran tubuh kupu-kupu jantan umumnya lebih kecil dibandingkan betina. Menurut Gilchrist (990) bahwa perbedaaan ukuran tubuh antara spesies serangga jantan dengan betina menyebabkan perbedaan dalam kemampuan terbang dan termoregulasi, sehingga berpotensi menyebabkan perbedaan perilaku antara kedua jenis kelamin tersebut. Secara umum kupu-kupu jantan lebih aktif dari pada betina, dengan demikian lebih mudah terdeteksi oleh 7

12 8 manusia. Akibatnya adalah kemungkinan mengumpulkan kupu-kupu jantan cenderung lebih tinggi daripada probabilitas untuk betina (Idris dan Hassan 04). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa spesimen kupu-kupu hasil tangkapan yang diperdagangkan paling banyak adalah jenis Catopsilia pamona dari famili Pieridae. Kupu-kupu jenis ini banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk souvenir gantungan kunci. Kupu-kupu jenis ini memiliki jumlah individu terbanyak pada seluruh lokasi maupun waktu pengamatan, sebab pada seluruh lokasi pengamatan tersedia sumber pakan dan tanaman inang yang dapat dijadikan sebagai sumber makanan dan tempat untuk meletakan telurnya. Menurut Efendi (009) dan Lamatoa et al. (03) kupu-kupu jenis ini bersifat polifagus. Tanaman inang dari jenis Catopsilia pamona antara lain yaitu Caesalpinacea, Capparaceae, dan Papilionaceae (Peggie dan Amir 006). 4. Status Jenis Kupu-Kupu Yang Dimanfaatkan Secara Komersial Hasil pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa seluruh individu dan jenis kupu-kupu di habitat alam daerah penyangga TN Babul menjadi target untuk ditangkap oleh para penangkap. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa seluruh hasil tangkapan para penangkap tersebut dibeli oleh pengumpul pedagang. Kupu-kupu hasil tangkapan, berapupun jumlahnya serta dalam kondisi apapun akan dibeli oleh para pengumpul pedagang atau pengrajin souvenir. Hasil wawancara menunjukkan bahwa kupu-kupu yang ditangkap dan diperdagangkan di daerah penyangga TN Babul terdiri atas berbagai jenis. Salah seorang informan di Desa Kalabbirang menyatakan: "...sekarang...semua jenis kupu-kupu punya nilai...sebab pengumpul-pengumpul ini membeli semua jenis yang ditangkap oleh penangkap..." (KI.4). Seorang pengumpul pedagang di Desa Samangki menyatakan: "...saya lihat ini penangkap... yang penting bisa jadi uang... semuanya ditangkap...lihat kupu-kupu terbang seperti lihat uang kertas...ha..ha...ha..." (KT3.4). Selanjutnya salah seorang pengumpul pedagang lainnya di Desa Samangki juga menyatakan: "...prinsipnya orang-orang di sini...tangkap hari ini...jadi uang hari ini..." (KI.8). Hasil pengamatan dan wawancara menunjukkan bahwa jenis-jenis yang ditangkap dari habitat alam yang selanjutnya diperdagangkan juga termasuk 4 jenis kupu-kupu yang dilindungi sebagaimana Lampiran PP 7/999 0, 3 jenis di antaranya dari genus Troides tergolong Appendix II CITES. Jumlah individu jenis kupu-kupu yang dilindungi berdasarkan hasil tangkapan menurut jenis kelamin di lokasi pengamatan disajikan pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Jumlah individu kupu-kupu yang dilindungi menurut jenis kelamin di lokasi pengamatan Jenis Famili Jantan Betina Jumlah Cethosia myrina Troides haliphron Troides helena Troides hypolitus Nymphalidae Total PP 7/999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

13 Sesuai Surat Keputusan Dirjen PHKA No: SK.6/IV-KKH/03 telah ditetapkan kuota pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar untuk periode tahun 03. Menurut Surat Keputusan tersebut, terdapat 86 jenis kupu-kupu yang ditetapkan pemanfaatannya untuk lokasi penangkapan di Provinsi Sulawesi Selatan atau dalam wilayah kerja Balai Besar KSDA Sulsel. Jenis-jenis tersebut terdiri atas 4 jenis kupu-kupu yang dilindungi yang ditetapkan kuotanya untuk tujuan penelitian, serta 8 jenis kupu-kupu yang tidak dilindungi atau Non Appendix CITES untuk tujuan pemanfaatan komersial. Daftar kuota tangkap kupu-kupu yang ditetapkan oleh Dirjen PHKA untuk wilayah kerja Balai Besar KSDA Sulsel tahun 009 hingga 03 disajikan pada Lampiran. Berdasarkan daftar tersebut, jumlah individu (spesimen) 4 jenis kupu-kupu yang dilindungi yang boleh ditangkap untuk tujuan penelitian adalah berjumlah 0 individu setiap jenis untuk kuota tahun 03. Artinya bahwa telah terjadi pelanggaran atas peraturan perundang-undangan khususnya yang terkait dengan pemanfaatan jenis kupu-kupu yang dilindungi di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros. Empat jenis kupu-kupu yang dilindungi menurut para pengumpul pedagang sering ditemukan di lokasi penelitian. Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang menyatakan: "...mengenai jenis-jenis yang dilindungi...justru paling mudah didapat di alam... dan jenis-jenis ini juga mudah ditangkar..." (KI.). Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa terdapat jenis-jenis yang ditangkap dari alam dan diperdagangkan namun belum ditetapkan di dalam kuota penangkapan periode tahun 03 untuk lokasi tangkap Provinsi Sulawesi Selatan. Daftar jenis kupu-kupu hasil tangkapan yang belum ditetapkan kuotanya secara rinci disajikan pada Lampiran. Berdasarkan kelompok famili, jumlah spesies dan individu kupu-kupu hasil tangkapan yang belum ditetapkan kuotanya disajikan pada Tabel 4.7. Tabel 4.7 Jumlah spesies dan individu kupu-kupu hasil tangkapan yang belum ditetapkan kuota penangkapannya berdasarkan kelompok famili Famili Jumlah spesies Jumlah individu Nymphalidae Pieridae Lycaenidae Total 4 34 Hasil pengamatan seperti disajikan pada Tabel 4.7 tersebut bila dibandingkan dengan seluruh hasil tangkapan pada Tabel 4. menunjukkan bahwa sebanyak 0,6 % jumlah jenis kupu-kupu hasil tangkapan yang belum ditetapkan kuotanya. Selanjutnya sebanyak 40,69 % dari jumlah individu kupu-kupu hasil tangkapan tersebut tidak ada kuota penangkapannya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada ketidaksesuaian antara daftar jenis kupu-kupu berdasarkan kuota tangkap khususnya untuk Provinsi Sulawesi Selatan dengan komposisi jenis kupukupu di habitat alam daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros. Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang menyatakan: 9

14 30 "...mengenai kuota...susah... kadang ada kuotanya tetapi tidak ada barangnya (sulit ditemukan) di alam...tetapi yang banyak di alam... dan banyak permintaan justru kurang kuotanya...misalnya blumei (Papilio blumei)...terlalu sedikit...kurang lebih 00 (ekor) per pemegang izin di sini, jadi total 00 (ekor) untuk 3 pemegang izin...sementara yang beredar bisa lebih dari (ekor)..." (KI.3). Hasil wawancara dengan aparatur Balai Besar KSDA Sulsel, Direktorat Jenderal PHKA dan LIPI menunjukkan bahwa daftar jenis kupu-kupu yang tercantum dalam kuota yang ditetapkan selama ini belum pernah dilakukan peninjauan ulang, terkait dengan komposisi jenis dan jumlah individu. Walaupun demikian menurut daftar kuota pada Lampiran menunjukkan adanya penurunan jumlah individu yang dapat ditangkap secara berturut-turut sejak tahun 009. Oleh sebab itu, ketentuan mengenai kuota tangkap kupu-kupu khususnya untuk Provinsi Sulawesi Selatan perlu ditinjau kembali. Karakteristik sumber daya kupu-kupu yang dimanfaatkan secara komersial di dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kupu-kupu hasil tangkapan sebanyak 838 individu dari 89 jenis yang tergolong dalam 4 famili. Jumlah individu kupukupu jantan hasil tangkapan lebih banyak dibandingkan betina. Kupu-kupu yang dimanfaatkan secara komersial tersebut termasuk pula 4 jenis yang dilindungi, serta terdapat 4 jenis dan 34 individu yang belum ditetapkan kuota penangkapannya.

4 KARAKTERISTIK SUMBER DAYA KUPU-KUPU (Lepidoptera) YANG DIMANFAATKAN SECARA KOMERSIAL

4 KARAKTERISTIK SUMBER DAYA KUPU-KUPU (Lepidoptera) YANG DIMANFAATKAN SECARA KOMERSIAL KARAKTERISTIK SUMBER DAYA KUPU-KUPU (Lepidoptera) YANG DIMANFAATKAN SECARA KOMERSIAL. Kupu-Kupu Hasil Tangkapan Pengamatan hasil tangkapan kupu-kupu meliputi jumlah individu setiap jenis dan rasio kelamin.

Lebih terperinci

7 PENGUATAN KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL KUPU-KUPU

7 PENGUATAN KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL KUPU-KUPU 65 7 PENGUATAN KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL KUPU-KUPU 7.1 Permasalahan Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa secara keseluruhan, kinerja

Lebih terperinci

6 KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN KOMERSIAL SATWA LIAR

6 KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN KOMERSIAL SATWA LIAR 47 6 KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN KOMERSIAL SATWA LIAR Pemerintah sebagai representasi negara mempunyai tanggung jawab untuk mengatur, mengelola serta mengalokasikan pemanfaatan SL secara

Lebih terperinci

2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 11 2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Letak dan Potensi Wisata Secara administrasi pemerintahan, lokasi penelitian terletak di Desa Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung; serta Desa Jenetaesa dan Desa Samangki,

Lebih terperinci

5 KARAKTERISTIK PELAKU, TEKNIK PENANGKAPAN DAN PERDAGANGAN KUPU-KUPU

5 KARAKTERISTIK PELAKU, TEKNIK PENANGKAPAN DAN PERDAGANGAN KUPU-KUPU 5 KARAKTERISTIK PELAKU, TEKNIK PENANGKAPAN DAN PERDAGANGAN KUPUKUPU 5.1 Pelaku Penangkapan Masyarakat yang tinggal di daerah penyangga TN Babul pada umumnya bekerja sebagai petani. Mayoritas dari mereka

Lebih terperinci

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1347, 2014 KEMENHUT. Satwa Buru. Musim Berburu. Penetapan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/Menhut-II/2014 TENTANG PENETAPAN MUSIM

Lebih terperinci

2015 PENGARUH PEMBERIAN PAKAN ALAMI DAN PAKAN SINTETIS TERHADAP LAMANYA SIKLUS HIDUP

2015 PENGARUH PEMBERIAN PAKAN ALAMI DAN PAKAN SINTETIS TERHADAP LAMANYA SIKLUS HIDUP BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu kupu adalah kelompok serangga yang termasuk ke dalam bangsa Lepidotera, yang berarti mempunyai sayap bersisik. Kupu-kupu merupakan bagian kecil dari 155.000 spesies

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN Latar belakang PENDAHULUAN Latar belakang Lepidoptera adalah serangga bersayap yang tubuhnya tertutupi oleh sisik (lepidos = sisik, pteron = sayap) (Kristensen 2007). Sisik pada sayap kupu-kupu mengandung pigmen yang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 28 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, dimulai dari bulan November- Desember 2011. Lokasi pengamatan disesuaikan dengan tipe habitat yang terdapat di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 15 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT Kupu-Kupu Taman Lestari dengan alamat Jalan Batu Karu, Sandan Lebah, Sesandan Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali.

Lebih terperinci

Kelompok Papilionidae lebih banyak aktif di siang hari untuk menghindari predator, seperti burung yang aktif pada pagi hari (Homziak & Homziak 2006).

Kelompok Papilionidae lebih banyak aktif di siang hari untuk menghindari predator, seperti burung yang aktif pada pagi hari (Homziak & Homziak 2006). 35 PEMBAHASAN Di kawasan hutan wisata alam Gunung Meja ditemukan 113 spesies kupukupu dengan total 4049 individu. Indeks Shannon Wiener dan nilai evenness keragaman kupu-kupu di Gunung Meja, menunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran besar dan memiliki warna sayap yang menarik sehingga sering diambil dari alam untuk dijadikan

Lebih terperinci

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 02/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.71/Menhut-II/2014 TENTANG MEMILIKI DAN MEMBAWA HASIL BERBURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.71/Menhut-II/2014 TENTANG MEMILIKI DAN MEMBAWA HASIL BERBURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.71/Menhut-II/2014 TENTANG MEMILIKI DAN MEMBAWA HASIL BERBURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu-kupu merupakan serangga yang memiliki keindahan warna dan bentuk sayap sehingga mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 18/Menhut-II/2010 TENTANG SURAT IZIN BERBURU DAN TATA CARA PERMOHONAN IZIN BERBURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 18/Menhut-II/2010 TENTANG SURAT IZIN BERBURU DAN TATA CARA PERMOHONAN IZIN BERBURU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 18/Menhut-II/2010 TENTANG SURAT IZIN BERBURU DAN TATA CARA PERMOHONAN IZIN BERBURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Graphium androcles/ Zdenek Hanc.

Graphium androcles/ Zdenek Hanc. Graphium androcles/ Zdenek Hanc. Alfred Russel Wallace, adalah naturalis berkebangsaan Inggris yang pernah menjelajah Kepulauan Indo-Malaya dari tahun 1856 sampai dengan 1862. Wallace melakukan ekplorasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang- I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi. Salah satu kekayaan fauna di Indonesia yang memiliki daya tarik tinggi

Lebih terperinci

KERAGAMAN KUPU-KUPU DI TAMAN WISATA ALAM BANING SINTANG. Hilda Aqua Kusuma Wardhani 1 Abdul Muis 2 1. Staf Pengajar FKIP Universitas Kapuas Sintang 2

KERAGAMAN KUPU-KUPU DI TAMAN WISATA ALAM BANING SINTANG. Hilda Aqua Kusuma Wardhani 1 Abdul Muis 2 1. Staf Pengajar FKIP Universitas Kapuas Sintang 2 ISSN 2580-5703 KERAGAMAN KUPU-KUPU DI TAMAN WISATA ALAM BANING SINTANG Hilda Aqua Kusuma Wardhani 1 Abdul Muis 2 1 Staf Pengajar FKIP Universitas Kapuas Sintang 2 Mahasiswa Pendidikan Biologi FKIP Univrsitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hayati memiliki potensi menjadi sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. hayati memiliki potensi menjadi sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keanekaragaman hayati di suatu negara memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Keanekaragaman hayati merupakan sumber penghidupan dan kelangsungan

Lebih terperinci

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kupu-kupu merupakan satwa liar yang menarik untuk diamati karena keindahan warna dan bentuk sayapnya. Sebagai serangga, kelangsungan hidup kupu-kupu sangat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni Juli 2012 dan bertempat di

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni Juli 2012 dan bertempat di 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2012 - Juli 2012 dan bertempat di Kebun Botani UPI. B. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan

Lebih terperinci

Pengenalan Jenis Kupu-kupu pada Murid SD 129 INPRES Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros Sulawesi Selatan

Pengenalan Jenis Kupu-kupu pada Murid SD 129 INPRES Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros Sulawesi Selatan Pengenalan Jenis Kupu-kupu pada Murid SD 129 INPRES Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros Sulawesi Selatan Sri Nur Aminah Ngatimin 1,*, Tamrin Abdullah 2, Andi Nasruddin 2, dan Ahdin Gassa 2 1 Staf Pengajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cagar lam merupakan sebuah kawasan suaka alam yang berarti terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Cagar lam merupakan sebuah kawasan suaka alam yang berarti terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Peraturan Pemerintah Nomer 28 tahun 2011 pasal 1 nomer 1 tentang pengolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestaian alam yang berbunyi Kawsasan Suaka Alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meidita Aulia Danus, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meidita Aulia Danus, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lepidoptera merupakan salah satu ordo dari ClassisInsecta(Hadi et al., 2009). Di alam, lepidoptera terbagi menjadi dua yaitu kupu-kupu (butterfly) dan ngengat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa satwa merupakan sebagian sumber daya alam yang tidak ternilai harganya,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Istimewa Yogyakarta terkenal dengan kota pelajar dan kota budaya, selain itu Daerah Istimewa Yogyakarta juga dikenal sebagai daerah pariwisata ini dibuktikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lampung memiliki keanekaragaman kupu-kupu yang cukup tinggi. Keanekaragaman kupu-kupu ini merupakan potensi sumber daya alam hayati

I. PENDAHULUAN. Lampung memiliki keanekaragaman kupu-kupu yang cukup tinggi. Keanekaragaman kupu-kupu ini merupakan potensi sumber daya alam hayati I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lampung memiliki keanekaragaman kupu-kupu yang cukup tinggi. Keanekaragaman kupu-kupu ini merupakan potensi sumber daya alam hayati namun belum dimanfaatkan secara optimal.

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

POPULASI KUPU-KUPU (LEPIDOPTERA ) DI PULAU MANTEHAGE, SULAWESI UTARA POPULATION OF BUTTERFLY (LEPIDOPTERA) IN MANTEHAGE ISLAND, NORTH SULAWESI

POPULASI KUPU-KUPU (LEPIDOPTERA ) DI PULAU MANTEHAGE, SULAWESI UTARA POPULATION OF BUTTERFLY (LEPIDOPTERA) IN MANTEHAGE ISLAND, NORTH SULAWESI POPULASI KUPU-KUPU (LEPIDOPTERA ) DI PULAU MANTEHAGE, SULAWESI UTARA Debry C. Lamatoa 1), Roni Koneri 1), Ratna Siahaan 1), Pience V. Maabuat 1) 1) Program Studi Biologi FMIPA Universitas Sam Ratulangi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati yang sangat indah dan beragam, yang terlihat pada setiap penjuru pulau di Indonesia banyak

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitan ini adalah penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode yang dilakukan dengandesain tujuan utama untuk membuat

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption. ABSTRACT ESWA TRESNAWATI. The Life Cycle and Growth of Graphium agamemnon L. and Graphium doson C&R. Butterflies (Papilionidae: Lepidoptera) Fed by Cempaka (Michelia champaca) and Soursoup (Annona muricata).

Lebih terperinci

KEANEKARGAMAN KUPU-KUPU DIURNAL (SUB ORDO: RHOPALOCERA) DI KOMPLEK GUNUNG BROMO KPH SURAKARTA KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN 2013

KEANEKARGAMAN KUPU-KUPU DIURNAL (SUB ORDO: RHOPALOCERA) DI KOMPLEK GUNUNG BROMO KPH SURAKARTA KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN 2013 17-147 KEANEKARGAMAN KUPU-KUPU DIURNAL (SUB ORDO: RHOPALOCERA) DI KOMPLEK GUNUNG BROMO KPH SURAKARTA KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN 2013 The Diversity Diurnal Buterfly (Sub Ordo: Rhopalocera) Complex in The

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hukum adalah qonditio sine quanon, syarat mutlak bagi masyarakat. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. hukum adalah qonditio sine quanon, syarat mutlak bagi masyarakat. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan antara hukum dan masyarakat sangatlah erat, karena hukum senantiasa dipengaruhi oleh proses interaksi sosial, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi

Lebih terperinci

SEKILAS KUPU-KUPU DI TAMAN HUTAN BANTIMURUNG. A. Letak Geografis Taman Bantimurung

SEKILAS KUPU-KUPU DI TAMAN HUTAN BANTIMURUNG. A. Letak Geografis Taman Bantimurung SEKILAS KUPU-KUPU DI TAMAN HUTAN BANTIMURUNG A. Letak Geografis Taman Bantimurung Luas taman hutan Bantimurung adalah 43.700 hektar, terletak pada 119 o. 34 119 o.55 BT dsn 4 o.42 5 o. 06 LS. Di tahun

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ini dilakukan di Hutan Penelitian

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid. TAMBAHAN PUSTAKA Distribution between terestrial and epiphyte orchid. Menurut Steeward (2000), distribusi antara anggrek terestrial dan epifit dipengaruhi oleh ada atau tidaknya vegetasi lain dan juga

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI ALAM,

DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI ALAM, Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Dan Konservasi Alam No. 66/Kpts/DJ_V/2000 Tentang : Kuota Pengambilan Tumbuhan Dan Penangkapan Satwa Liar yang Tidak Dilindungi Undang-Undang Dan Tidak Termasuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

KEBIJAKAN, PERUNDANGAN DAN KELEMBAGAAN PERBURUAN SATWA DI INDONESIA. Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA

KEBIJAKAN, PERUNDANGAN DAN KELEMBAGAAN PERBURUAN SATWA DI INDONESIA. Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA KEBIJAKAN, PERUNDANGAN DAN KELEMBAGAAN PERBURUAN SATWA DI INDONESIA Rizki Kurnia Tohir Fadlan Pramatana E351160106 E351160156 Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

B015. KEBIJAKAN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis) OLEH MASYARAKAT (STUDI KASUS DI NUSA TENGGARA BARAT)

B015. KEBIJAKAN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis) OLEH MASYARAKAT (STUDI KASUS DI NUSA TENGGARA BARAT) B015 KEBIJAKAN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis) OLEH MASYARAKAT (STUDI KASUS DI NUSA TENGGARA BARAT) 1 Rubangi Al Hasan, M.M. Budi Utomo 1 Balai Penelitian Kehutanan Mataram Jl. Dharma Bhakti

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: P.7/IV-Set/2011 Pengertian 1. Kawasan Suaka Alam adalah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN KUPU-KUPU DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG. (Butterfly diversities in Bantimurung Bulusaraung National Park)

KEANEKARAGAMAN KUPU-KUPU DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG. (Butterfly diversities in Bantimurung Bulusaraung National Park) Media Konservasi Vol. 18, No. 2 Agustus 2013 : 63 68 KEANEKARAGAMAN KUPU-KUPU DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG (Butterfly diversities in Bantimurung Bulusaraung National Park) ABDUL HARIS MUSTARI

Lebih terperinci

2016, No d. bahwa Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sudah tidak sesuai dengan

2016, No d. bahwa Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sudah tidak sesuai dengan BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.204, 2016 KEMEN-LHK. UPT Taman Nasional. Orta. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.7/MENLHK/SETJEN/OTL.0/1/2016 TENTANG

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang kehutanan;

BAB I PENDAHULUAN. b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang kehutanan; BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah dibentuk berdasarkan : 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan Perintah, Pemerintah

Lebih terperinci

U R A I A N J A B A T A N

U R A I A N J A B A T A N U R A I A N J A B A T A N 1. NAMA JABATAN : KEPALA BIDANG TEKNIS KONSERVASI TAMAN NASIONAL 2. KODE JABATAN : 3. UNIT ORGANISASI : BALAI BESAR TAMAN NASIONAL 4. TUGAS POKOK/MISI JABATAN : Melaksanakan penyiapan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari Februari 2014 di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari Februari 2014 di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari Februari 2014 di Resort Pemerihan, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, bekerja sama dan di bawah program

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

LAPORAN IVENTARISASI KUPU-KUPU Di Hutan Banyuwindu, Limbangan Kabupaten Kendal

LAPORAN IVENTARISASI KUPU-KUPU Di Hutan Banyuwindu, Limbangan Kabupaten Kendal 2010 LAPORAN IVENTARISASI KUPU-KUPU Di Hutan Banyuwindu, Limbangan Kabupaten Kendal Sekretariat I : Kp. Tawangsari RT 03/04 Limbangan - Kendal 51383 Sekretariat II : Jl. Pemuda No. 11B Kendal. telp : 0294

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KUPU-KUPU DI KAWASAN AIR TERJUN BERTINGKAT DESA LANNA KECAMATAN PARANGLOE KABUPATEN GOWA

KEANEKARAGAMAN JENIS KUPU-KUPU DI KAWASAN AIR TERJUN BERTINGKAT DESA LANNA KECAMATAN PARANGLOE KABUPATEN GOWA KEANEKARAGAMAN JENIS KUPU-KUPU DI KAWASAN AIR TERJUN BERTINGKAT DESA LANNA KECAMATAN PARANGLOE KABUPATEN GOWA Rahmatullah*, Syahribulan*, Suhadiyah*, Umar* *Alamat koresponden e-mail : rahmashaliha77@gmail.com

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 Tentang : Perburuan Satwa Buru

Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 Tentang : Perburuan Satwa Buru Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 Tentang : Perburuan Satwa Buru Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 13 TAHUN 1994 (13/1994) Tanggal : 16 APRIL 1994 (JAKARTA) Sumber : LN 1994/19; TLN NO. 3544

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (www.okezone.com 17/8/ % Spesies Primata Terancam Punah)

BAB I PENDAHULUAN. (www.okezone.com 17/8/ % Spesies Primata Terancam Punah) BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Keberadaan primata di seluruh dunia akhir-akhir ini sangat memprihatinkan akibat berkurangnya habitat mereka dan penangkapan liar untuk diperdagangkan. Degradasi dan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Burung

Lebih terperinci

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2017 KEMEN-LHK. Pengelolaan Pengaduan Dugaan Pencemaran. Perusakan Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan Hutan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN BENGKALIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKALIS,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa satwa merupakan sebagian sumber daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

2 Indonesia Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3544); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

2 Indonesia Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3544); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1349, 2014 KEMENHUT. Hasil Berburu. Memiliki. Izin. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.71/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN MEMILIKI DAN MEMBAWA HASIL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kupu-kupu merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki Indonesia dan harus dijaga kelestariannya dari kepunahan maupun penurunan keanekaragaman jenisnya.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET DI WILAYAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG PERTUKARAN JENIS TUMBUHAN ATAU SATWA LIAR DILINDUNGI DENGAN LEMBAGA KONSERVASI DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 104/Kpts-II/2000 TENTANG TATA CARA MENGAMBIL TUMBUHAN LIAR DAN MENANGKAP SATWA LIAR

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 104/Kpts-II/2000 TENTANG TATA CARA MENGAMBIL TUMBUHAN LIAR DAN MENANGKAP SATWA LIAR KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 104/Kpts-II/2000 TENTANG TATA CARA MENGAMBIL TUMBUHAN LIAR DAN MENANGKAP SATWA LIAR MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa dengan Peraturan

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id Di dalam konsep Agrowisata, usaha pertanian unggulan dikembangkan a. Latar belakang 1. PENDAHULUA}{

bio.unsoed.ac.id Di dalam konsep Agrowisata, usaha pertanian unggulan dikembangkan a. Latar belakang 1. PENDAHULUA}{ Makalah pengabdian Pada Masyarakat "Penerapan Teknik Pembuatan Taman Kupu-Kupu Di Desa Serang Untuk Meningkatkan Destinasi Wisata" 2016 Design Taman Kupu-kupu di Rest Area Desa Wisata Serang, Kecamatan

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SEKRETARIAT, BIDANG,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS SEKRETARIAT, BIDANG, SUB BAGIAN DAN SEKSI DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR MENIMBANG :

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif, karena dalam penelitian ini, Lepidoptera yang menjadi variabel tidak diberi perlakuan khusus

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

STUDI SPESIES KUPU-KUPU FAMILI Papilionidae DAN Lycanidae SERTA STATUS PERLINDUNGANNYA DI KAWASAN WISATA AIR TERJUN COBAN RAIS KOTA BATU

STUDI SPESIES KUPU-KUPU FAMILI Papilionidae DAN Lycanidae SERTA STATUS PERLINDUNGANNYA DI KAWASAN WISATA AIR TERJUN COBAN RAIS KOTA BATU STUDI SPESIES KUPU-KUPU FAMILI Papilionidae DAN Lycanidae SERTA STATUS PERLINDUNGANNYA DI KAWASAN WISATA AIR TERJUN COBAN RAIS KOTA BATU Warda Venia Ningtias, Sofia Ery Rahayu, dan Hawa Tuarita Universitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kupu-kupu

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kupu-kupu TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kupu-kupu Kupu-kupu termasuk ordo Lepidoptera, kelas Insekta yang dicirikan dengan sayap tertutup oleh sisik. Ordo Lepidoptera mempunyai 47 superfamili, salah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Nopember 2010 di PPKA Bodogol, Sukabumi, Jawa Barat (Gambar 2). Lokasi pengambilan data kupu-kupu di PPKA Bodogol, meliputi

Lebih terperinci