6 KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN KOMERSIAL SATWA LIAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "6 KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN KOMERSIAL SATWA LIAR"

Transkripsi

1 47 6 KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN KOMERSIAL SATWA LIAR Pemerintah sebagai representasi negara mempunyai tanggung jawab untuk mengatur, mengelola serta mengalokasikan pemanfaatan SL secara lestari dan berkeadilan dalam bentuk pengendalian atau pembatasan pemanfaatan SL secara serasi dan seimbang. Upaya pengendalian diwujudkan dalam bentuk peraturan perundangundangan yang terkait dengan pemanfaatan SL. Peraturan perundangundangan tersebut diharapkan menjadi instrumen untuk mengatur dan mengendalikan perilaku aparatur pemerintah sebagai pelaksana dan masyarakat pemanfaat SL sebagai kelompok sasaran. Maarse dalam Hoogerwerf (1983) menyatakan bahwa implementasi kebijakan atau peraturan perundangundangan dipengaruhi oleh 4 aspek, yaitu: isi kebijakan (peraturan); informasi; dukungan; dan pembagian potensi. Implementasi dapat gagal karena samarsamarnya isi dari kebijakan, misalnya tujuan tidak cukup terperinci, saranasarana dan penetapan prioritas, program yang terlalu umum atau sama sekali tidak ada. Tidak terdapat struktur komunikasi yang mampu memperlancar arus informasi baik antar pelaksana dan antar pelaksana dengan objek (sasaran) kebijakan. Pelaksanaan kebijakan akan sangat sulit jika pada pelaksanaan tidak cukup dukungan untuk kebijakan ini. Selanjutnya pembagian potensi dilakukan dengan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab kepada pihakpihak yang terkait. Berikut ini dianalisis dan dibahas aspekaspek yang mempengaruhi keefektifan implementasi peraturan perundangundangan yang terkait dengan pemanfaatan komersial kupukupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros. Aspekaspek yang dibahas meliputi: isi peraturan perundangundangan; aliran informasi dan pemahaman peraturan perundangundangan; dukungan masyarakat; serta pembagian tugas dan fungsi instansi pemerintah yang terkait dengan pemanfaatan SL. 6.1 Isi Peraturan PerundangUndangan Peraturan perundangundangan dikatakan berfungsi sebagai instrumen pengendali perilaku apabila memiliki kekuatan hukum yang berjenjang secara hierarkis, serta memiliki kecukupan isi (Mazmanian dan Sabatier 1983; Maarse dalam Hoogerwerf 1983; Isworo 1996; Harjono 2005). Kecukupan isi peraturan perundangundangan dicirikan oleh adanya kejelasan tujuan, objek hukum, sanksi serta pemberian kewenangan yang jelas bagi pelaksana (Mazmanian dan Sabatier 1983). Selanjutnya Purwanto dan Sulisyastuti (2012) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya proses implementasi adalah kualitas kebijakan (peraturan), kualitas kebijakan meliputi kejelasan tujuan dan kejelasan pelaksana. Hasil analisis menunjukkan bahwa peraturan perundangundangan pemanfaatan SL, khususnya UU 5/1990, PP 8/1999 dan Kepmenhut 447/2003 menurut urutannya telah sesuai secara hierarki. UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 merupakan legislasi dasar, PP 8/1999 merupakan aturan pelaksanaannya, serta Kepmenhut 447/2003 sebagai aturan pelaksanaan lebih lanjut yang merupakan pedoman pemanfaatan tumbuhan dan SL.

2 48 Peraturan perundangundangan yang mengatur lebih lanjut mengenai kewenangan pemerintah daerah terkait dengan pemanfaatan jenis SL yang tidak dilindungi dan non Appendix CITES di Kabupaten Maros belum ada. Oleh sebab itu, kewenangan pemberian izin pemanfaatan komersial SL kupukupu belum diimplementasikan oleh Pemerintah Kabupaten Maros. Peraturan tersebut keberadaannya diperlukan, sebab secara hierarki merupakan turunan dari UU 32/ dan PP 38/2007 serta tindak lanjut dari Permen LH 29/2009. Peraturan tersebut diharapkan sebagai penjelasan lebih lanjut dari PP 38/2007 serta menjadi pedoman bagi Pemerintah Kabupaten Maros dalam melaksanakan kewenangannya terkait dengan pemanfaatan SL. Analisis kecukupan isi peraturan perundangundangan yang terkait dengan pemanfaatan komersial SL kupukupu dilakukan terhadap UU 5/1990, PP 8/1999, PP 38/2007, Kepmenhut 447/2003, dan Permen LH 29/2009 (Tabel 6.1). Tabel 6.1 Matriks kecukupan isi peraturan perundangundangan pemanfaatan satwa liar Peraturan perundangan UU 5/1990 PP 8/1999 PP 38/2007 Kepmenhut 447/2003 Permen LH 29/2009 Tujuan Objek hukum Sanksi Kewenangan pelaksana Dijelaskan dalam Pasal 3 Dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) Tidak ada Dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) Dijelaskan dalam Pasal 1 11 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Diatur dalam Pasal 36 ayat (1) butir d Diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) Diatur dalam Lampiran AA Diatur dalam Pasal 6 16, Pasal 24 28, Pasal 31 33, Pasal 43 46, Pasal 50 55, Pasal 61 70, Pasal 80 90, Pasal 94 95, Pasal , dan Pasal Diatur dalam Pasal 3, 5, 7, Pasal 8 ayat (1) (3), Pasal 10, 13, dan 19 Diatur dalam Pasal 40 ayat (2) dan (4) Diatur dalam Pasal 58 Tidak ada Diatur dalam Pasal 112 Tidak ada Tidak ada Diatur dalam Pasal 65 butir a dan b Diatur dalam Lampiran AA Diatur dalam Pasal 9, 10, 12, 33, 43, 70, 81, 82, 85, 87, 89, 90, 94, 95, 102, 107, 108, 109, 110, dan Pasal 116. Diatur dalam Pasal 4, 6, Pasal 8 ayat 4, Pasal 11, 12, 22, 23, dan 24

3 Tabel 6.1 memperlihatkan bahwa peraturan perundangundangan yang terkait dengan pemanfaatan SL secara umum belum memenuhi syarat kecukupan sebagai instrumen pengendali, hal ini ditunjukkan oleh UU 5/1990 belum menyebutkan kewenangan yang jelas kepada pelaksana. Demikian halnya PP 38/2007 belum secara jelas menyebutkan tujuan serta sanksi dalam isi peraturan tersebut. Selanjutnya Permen LH 29/2009 juga belum menyebutkan ketentuan sanksi, padahal ketentuan sanksi dalam setiap peraturan diperlukan. Menurut Kasper dan Streit (1998) bahwa kelembagaan tanpa sanksi tidak akan berguna. Bila dianalisis lebih lanjut terhadap isi UU 5/1990, PP 8/1999, dan Kepmenhut 447/2003, maka ditemukan beberapa hal yang belum diatur dengan jelas, terutama yang terkait dengan sanksi bagi pelaku perdagangan jenisjenis SL yang tidak dilindungi. Hal ini menimbulkan interpretasi yang berbeda dari para pelaksana peraturan di lapangan. Isi peraturan perundangundangan harus jelas, karena isi yang samarsamar akan menimbulkan kesalahfahaman ketika diimplementasikan. Secara substansi, isi dari pasal 18 ayat (1) PP 8/1999 menyatakan bahwa "... Tumbuhan dan SL yang dapat diperdagangkan adalah jenis SL yang tidak dilindungi...". Pada pasal 26 ayat (1) Kepmenhut 447/2003 menyebutkan bahwa penangkapan SL wajib diliput dengan izin, selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan bahwa peredaran komersial (perdagangan) hanya dapat diizinkan bagi Pengedar Dalam Negeri atau Pengedar Luar Negeri yang terdaftar dan diakui. Hasil analisis terhadap isi PP 8/1999, ditemukan bahwa PP tersebut belum mengatur dengan jelas mengenai ketentuan sanksi bagi siapasiapa (perorangan maupun badan usaha) yang melakukan perdagangan jenisjenis SL yang tidak dilindungi tanpa izin, baik sanksi pidana maupun denda administrasi. Ketentuan sanksi terhadap siapasiapa yang bukan merupakan badan usaha yang didirikan munurut hukum Indonesia (tidak memiliki izin), kemudian melakukan perdagangan SL dari jenisjenis yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES belum dijelaskan secara spesifik. Pasal 57 PP 8/1999 menjelaskan bahwa perbuatan melakukan perdagangan jenisjenis SL yang tidak dilindungi tanpa izin dapat dihukum karena melakukan perbuatan penyelundupan. Sementara itu, aturan hukum untuk menjerat penyelundup terdapat dalam UU 10/1995 tentang Kepabeanan. Penyelundupan dalam UU tersebut hanya menyangkut kegiatan mengimpor atau mengekspor barang, tidak termasuk perdagangan yang dilakukan di tingkat lokal. Pasal 64 ayat (2) PP 8/1999 secara jelas memang menyatakan bahwa "...Pelanggaran sebagaimana pasal 50,...,57,...63, sepanjang menyangkut tumbuhan dan SL yang tidak dilindungi, maka tumbuhan dan SL tersebut diperlakukan sama dengan yang dilindungi, dirampas untuk negara...". Namun demikian ancaman sanksi tersebut tidak cukup membuat efek jera bila tidak disertai dengan ancaman pidana atau denda administrasi. Hasil wawancara dengan para pejabat di Balai Besar KSDA Sulsel menyatakan bahwa belum ada ketentuan sanksi terhadap pihakpihak yang bukan merupakan badan usaha terdaftar dan melakukan aktivitas perdagangan jenis kupukupu yang tidak dilindungi. Hal ini menyebabkan para petugas di lapangan ragu untuk bertindak, sehingga aktivitas pemanfaatan jenis kupukupu yang tidak dilindungi berlangsung secara tidak terkendali, sebab tidak ada proses hukum atas tindakan tersebut. 49

4 50 Pendapat tersebut juga sesuai dengan hasil wawancara dengan pejabat di Direktorat Penyidikan Ditjen PHKA, yang menyatakan: "...terkait dengan pasal 57 tersebut, PP 8/1999 merupakan aturan yang "akrobatik", sebab proses penyidikannya tidak bisa langsung mengacu kepada UU 5/1990 karena dalam UU tersebut tidak ada sanksi bagi pelanggaran pemanfaatan jenisjenis SL yang tidak dilindungi. Sehingga proses hukum atas pelanggaran tersebut harus mengacu kepada UU Kepabeanan, maka diserahkan kepada penyidik Bea Cukai atau Karantina, jadi prosesnya panjang...". (DP1.6). Substansi dari Kepmenhut 447/2003 masih sangat umum. Isi Kepmenhut 447/2003 menyangkut objek yang sangat luas, yaitu meliputi seluruh jenis tumbuhan dan SL. Sementara itu, kupukupu yang merupakan kelompok SL dari kelas serangga membutuhkan aturan yang lebih detail. Sebab SL tersebut memiliki siklus hidup yang spesifik dan memiliki musim perkembangbiakan. Sifat dari SL ini yang dapat terbang kemanamana menyebabkan sulitnya membatasi atau melarang pihakpihak yang tidak berhak untuk memanfaatkannya. Contoh dalam hal ini adalah sulitnya mengawasi setiap warga yang menangkap kupukupu di pekarangan rumahnya atau di tempattempat lain. Selain itu, isi dari Kepmenhut 447/2003 belum sepenuhnya dapat diimplementasikan karena karakteristik situasi di lapangan yang tidak memungkinkan. Seperti misalnya terkait dengan implementasi Pasal 61 Kepmenhut 447/2003, yang menyatakan bahwa "... Seluruh kegiatan peredaran komersial dalam negeri wajib disertai Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa Liar (SATSDN)...". Ketentuan tersebut dalam pemanfaatan komersial kupukupu di daerah penyangga TN Babul sulit untuk dilaksanakan. Para penangkap yang menjual kupukupu kepada pengumpul pedagang, selanjutnya pengumpul pedagang menjual kepada penjual souvenir atau pembeli setempat tidak disertai dokumen SATSDN. Setiap peredaran (perdagangan) kupukupu di tingkat lokal di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros yang wajib disertai dokumen SATSDN sulit untuk dilaksanakan, mengingat jarak angkut yang tidak terlalu jauh antara penjual dan pembeli. Kesulitan lainnya adalah dalam hal jarak tempat tinggal atau tempat usaha pengumpul pedagang dengan kantor BKSDA, sebab menurut ketentuan Kepmenhut 447/2003 dokumen SATSDN diterbitkan oleh Kepala BKSDA atau Kepala Seksi Wilayah yang ditunjuk. Sesuai dengan Lampiran AA PP 38/2007 disebutkan bahwa pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi melaksanakan pengawasan pemberian perizinan. Isi dari peraturan tersebut belum mengatur dengan jelas ketentuan sanksi bagi penangkap maupun pengedar tumbuhan dan satwa liar yang tidak memiliki izin. Selain itu, peraturan tersebut belum menjelaskan mekanisme pengawasan yang terkait dengan pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES. Sementara itu, substansi Permen LH 29/2009 menyebutkan bahwa penyelenggaraan pengelolaan keanekaragaman hayati dilaksanakan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK). Peraturan ini diharapkan menjadi NSPK dalam pengelolaan keanekaragaman hayati termasuk dalam hal ini pemanfaatan komersial kupukupu. Namun berdasarkan hasil penelaahan atas isi peraturan tersebut menunjukkan bahwa Permen LH 29/2009 masih sangat umum.

5 Isi dari peraturan tersebut mencakup perencanaan konservasi keanekaragaman hayati; kebijakan dan pelaksanaan konservasi, pemanfaatan berkelanjutan dan pengendalian kerusakan keanekaragaman hayati; pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati; penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati; pengembangan sistem informasi dan pengelolaan data base keanekaragaman hayati; serta pembiayaan. Substansi dari peraturan ini belum operasional untuk dijadikan sebagai pedoman dalam pengaturan pemanfaatan komersial kupukupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros. Oleh sebab itu, untuk memenuhi kecukupan isi peraturan dalam rangka pemanfaatan komersial kupukupu maka diperlukan peraturan yang lebih operasional di tingkat lapangan sesuai dengan karakteristik alami SL kupukupu dan karakteristik situasi pemanfaatan. Aturan operasional tersebut bersifat lokal spesifik yang dibuat berdasarkan data dan informasi yang dimiliki oleh pihakpihak yang terkait serta mengakomodir pengetahuan masyarakat pemanfaat kupukupu di daerah penyangga TN Babul, Kabupaten Maros. 6.2 Aliran Informasi dan Pemahaman Peraturan PerundangUndangan Implementasi peraturan akan memperoleh hasil yang optimal apabila pembuat peraturan, pelaksana di lapangan, serta kelompok sasaran memperoleh informasi yang memadai tentang objek permasalahan yang akan diatur. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Kepmenhut 447/2003 yang dibuat oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan), substansinya menyangkut hal yang sangat umum. Informasi yang dimiliki oleh pembuat peraturan tentang rumitnya permasalahan pemanfaatan berbagai jenis SL di lapangan sangat terbatas. Informasi yang terbatas tersebut menyebabkan peraturan yang dibuat terlalu menyederhanakan persoalan. Seperti misalnya dalam pemanfaatan komersial kupukupu, peraturan yang ada menyebutkan bahwa setiap penangkapan wajib diliput dengan izin. Sementara itu, dalam penerapannya terlalu sulit dilaksanakan. Sebab untuk mengontrol setiap warga yang melakukan aktivitas penangkapan maupun perdagangan kupukupu sulit dilakukan. Aspek informasi terkait juga dengan bagaimana suatu peraturan yang dibuat dikomunikasikan atau terinformasikan kepada pelaksana peraturan di lapangan dan kelompok sasaran tentang bagaimana peraturan tersebut dilaksanakan. Penyampaian informasi tentang suatu kebijakan (peraturan) dalam implementasi sering disebut sebagai sosialisasi. Sosialisasi dapat dilakukan dalam bentuk tatap muka langsung, melalui media cetak, media elektronik seperti TV dan radio, atau melalui media internet (Purwanto dan Sulistyastuti 2012). Aliran informasi tentang peraturan perundangundangan pemanfaatan SL dalam penelitian ini diukur dari tingkat pemahaman para pelaksana peraturan yaitu aparatur instansi terkait serta para penangkap dan pengumpul pedagang kupukupu sebagai kelompok sasaran. Tingkat Pemahaman adalah kemampuan individu untuk memahami secara umum tentang peraturan perundangundangan pemanfaatan SL yang mencakup: pengetahuan tentang jenisjenis peraturan perundangundangan pemanfaatan SL; tugas, hak dan kewajibannya yang terkait dengan pemanfaatan SL; prosedur dan tata cara pemanfaatan SL; serta larangan dan sanksi atas pelanggaran pemanfaatan SL. 51

6 52 Pemahaman pelaksana maupun kelompok sasaran terhadap peraturan perundangundangan pemanfaatan SL merupakan hal penting bagi keberhasilan implementasi. Aparatur pemerintah di daerah sebagai pelaksana yaitu aparatur pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros, Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel, serta Balai Besar KSDA Sulsel memegang peranan penting dalam proses implementasi peraturan. Sebab menurut kewenangannya, mereka yang berhubungan langsung dengan kelompok sasaran yaitu masyarakat pemanfaat kupukupu. Pemahaman aparatur instansi terkait terhadap peraturan perundangundangan pemanfaatan SL disajikan pada Tabel 6.2. Tabel 6.2 Tingkat pemahaman informan aparatur pemerintah terhadap peraturan perundangundangan pemanfaatan satwa liar Kode Informan Pengetahuan tentang Jumlah Kategori Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros: DM 1 DM 2 DM Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan: DS 1 DS Cukup Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan: BK 1 BK 2 BK 3 BK 4 BK 5 Keterangan: 1 : Jenisjenis peraturan perundangundangan pemanfaatan satwa liar; 2 : Tugas, hak dan kawajibannya terkait dengan pemanfaatan satwa liar; 3 : Prosedur dan tata cara pemanfaatan satwa liar; 4 : Larangan dan sanksi atas pelanggaran pemanfaatan satwa liar Baik Baik Baik Baik Baik Tabel 6.2 menunjukkan bahwa pemahaman aparatur pemerintah daerah kabupaten dan pemerintah provinsi terhadap peraturan perundangundangan pemanfaatan SL mayoritas terkategori kurang. Hasil wawancara dengan informan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros menyatakan: "...aturanaturan tentang pemanfaatan SL kami belum faham... sebab sesuai tupoksi kami, belum menyangkut hal itu..." (DM1.7). Sementara informan lainnya menyatakan: "...saya baru tahu kalau perizinan pemanfaatan SL yang tidak dilindungi/non Appendix CITES itu menjadi kewenangan kabupaten..." (DM2.1). nya pemahaman aparatur pemerintah daerah terhadap peraturan perundangundangan yang terkait dengan pemanfaatan SL disebabkan oleh

7 rendahnya perhatian terhadap SL serta masalah koordinasi dengan Balai Besar KSDA Sulsel. Seperti dinyatakan: "...banyak hal yang terlalu banyak diurus di Dishut...kayu...kawasan...rehabilitasi... sehingga masih luput perhatian terhadap pemanfaatan TSL yang tidak dilindungi.." (DM2.4). Selanjutnya dinyatakan: "... perlu ada koordinasi BKSDA ke Dishut kabupaten atau sebaliknya dalam hal pengaturan perizinan pemanfaatan TSL ini..."(dm2.2). Sementara itu, hasil wawancara dengan informan di Direktorat Jenderal PHKA menyatakan: "...kendala implementasi Kepmenhut 447/2003 di daerah sehingga belum dapat diterapkan adalah masalah pemahaman,... selain itu adalah masalah SDM yang belum siap..."(dp3.7). Selanjutnya dinyatakan bahwa "...personil pada Dinas Kehutanan di daerah sering bergantiganti sehingga perhatian terhadap persoalan pemanfaatan TSL masih rendah..." (DP3.8). nya perhatian terhadap persoalan pemanfaatn TSL oleh pemerintah daerah juga disebabkan oleh urusan TSL merupakan urusan pilihan. Oleh sebab itu menurut informan di Direktorat Jenderal PHKA bahwa "...walaupun ada PAD, tetapi kecil... sehingga lebih baik mengurus tambang dari pada TSL,...repot administrasinya..."(dp4.5). Tingkat pemahaman peraturan perundangundangan pemanfaatan SL oleh masyarakat pemanfaat sebagai kelompok sasaran juga penting diketahui. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat pemanfaat kupukupu di daerah penyangga TN Babul mayoritas terkategori kurang (Tabel 6.3). Informasi yang diperoleh dari beberapa pengumpul pedagang yang tidak memiliki izin menyatakan bahwa alasan tidak mengurus izin penangkapan adalah karena tidak mengetahui kewajibankewajiban apa yang harus dipenuhi dalam menjalankan usaha pemanfaatan kupukupu. Selain itu mereka belum mengetahui tata cara dan prosedur pengurusan izin serta persyaratan yang harus dilengkapi. Hal ini sesuai yang dinyatakan Kartodihardjo (2006) bahwa implementasi peraturan yang belum efektif disebabkan masyarakat sebagai kelompok sasaran belum memahami isi peraturan atau bahkan tidak mengetahuinya sama sekali. nya pemahaman tersebut disebabkan oleh belum ada sosialisasi tentang peraturan perundangundangan pemanfaatan SL serta kurangnya pembinaan kepada warga pemanfaat kupukupu oleh instansi terkait. Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang menyatakan: "...peraturanperaturan dari Pemerintah persisnya saya belum tahu,...tetapi yang saya tahu... seperti kami ini... para pengumpul... harus punya izin..." (KT1.26). Salah seorang pengumpul pedagang dari Desa Jenetaesa menyatakan: "...ya...harapannya agar masyarakat ini seperti kita diberikan penjelasan atau dibimbing dari pemerintah untuk berusaha lebih baik (maksudnya tertib, punya izin dll)..."(kt5.9). Selanjutnya pengumpul pedagang dari Desa Samangki menyatakan: "...saya tidak tahu aturannya, pak... saya sendiri tidak tahu apaapa tentang aturan... kewajiban dan laranganlarangan... dari dulu sudah seperti ini... semua orang menangkap... biasa saja..." (KT3.5). Tingkat pemahaman kelompok sasaran terhadap peraturan perundangundangan pemanfaatan SL yaitu warga pemanfaat kupukupu di daerah penyangga TN Babul dilakukan terhadap para penangkap dan pengumpul pedagang. Hasil analisis pemahaman peraturan perundangundangan pemanfaatan SL oleh para penangkap dan pengumpul pedagang di lokasi penelitian disajikan pada Tabel

8 54 Tabel 6.3 Tingkat pemahaman para penangkap dan pengumpul pedagang terhadap peraturan perundangundangan pemanfaatan satwa liar Kode Informan Pengetahuan tentang Jumlah Kategori Penangkap: Desa Kalabbirang TK 1 TK 2 TK 3 Desa Jenetaesa TJ 1 TJ 2 TJ 3 Desa Samangki TS 1 TS 2 TS 3 Pengumpul Pedagang Berizin: Desa Kalabbirang KI 1 2 Cukup Desa Samangki KI 2 1 Pengumpul Pedagang tidak Berizin: Desa Kalabbirang KT 1 KT Cukup Desa Jenetaesa KT 4 KT Desa Samangki KT 3 Keterangan: 1 : Jenisjenis peraturan perundangundangan pemanfaatan satwa liar; 2 : Tugas, hak dan kawajibannya terkait dengan pemanfaatan satwa liar; 3 : Prosedur dan tata cara pemanfaatan satwa liar; 4 : Larangan dan sanksi atas pelanggaran pemanfaatan satwa liar. Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang yang memiliki izin pengedar SL dalam negeri di Desa Kalabbirang menyatakan: "...tidak ada sama sekali perhatian dan kepedulian dari Dishut Maros... BKSDA juga jarang

9 ada perhatian... TN (Babul) masih ada sedikit...misalnya meminta masukan untuk pembangunan penangkaran..." (KI1.47). Selanjutnya salah seorang pengumpul pedagang dari Desa Samangki menyatakan: "...kurang pembinaan dari BKSDA,...masyarakat perlu dibina dan diawasi...bukan hanya melarang...tetapi memberikan solusi..." (KI2.34). 6.3 Dukungan Masyarakat Implementasi peraturan perundangundangan pemanfaatan SL juga sangat ditentukan oleh dukungan dari kelompok sasaran yaitu masyarakat. Dukungan masyarakat tersebut ditunjukkan oleh kepatuhannya melaksanakan peraturan. Hasil penelaahan atas isi Kepmenhut 447/2003 telah diidentifikasi sejumlah 13 poin yang terkait dengan kewajibankewajiban para pemanfaat komersial kupukupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros (Lampiran 3). Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat 2 poin (15,38 %) kewajiban yang telah dilaksanakan, sementara 11 poin (84,62 %) belum dilaksanakan. Data statistik dan laporan tahunan Balai Besar KSDA Sulsel tahun 2009 hingga 2012 menunjukkan bahwa di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros, tidak ada yang memiliki izin penangkapan komersial kupukupu. Hal tersebut menunjukkan bahwa penangkapan kupukupu dari habitat alam berlangsung secara tidak terkendali dan tidak tercatat (unreported). Artinya bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap prinsipprinsip kehatihatian dalam pemanfaatan komersial kupukupu, sehingga hal ini dapat menimbulkan ancaman terhadap populasi kupukupu di habitat alam. Bagi masyarakat pemanfaat kupukupu dalam jangka pendek, aktivitas yang berlangsung tersebut memberikan keuntungan yang berarti, namun dalam jangka panjang akan berdampak terhadap berkurang atau bahkan hilangnya sumber pendapatan mereka. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas dari para penangkap kupukupu dari habitat alam adalah anak lakilaki usia sekolah. Tingkat pendidikan yang rendah serta usia yang masih belia dari para penangkap tersebut menyebabkan minimnya pengetahuan dan kesadaran untuk patuh kepada peraturan perundangundangan. Hasil wawancara juga menujukkan bahwa mayoritas dari para penangkap tersebut memiliki pemahaman yang kurang terhadap peraturan perundangundangan pemanfaatan SL. Syarat dan prosedur memperoleh izin penangkapan untuk tujuan komersial sesuai pasal 31 dan 32 Kepmenhut 447/2003 sulit untuk dilaksanakan oleh para penangkap secara perorangan. Para penangkap yang tersebar di lokasi penelitian umumnya dikoordinir oleh beberapa pengumpul pedagang. Oleh sebab itu, idealnya pengajuan izin penangkapan hendaknya dilakukan oleh para pengumpul pedagang dengan melampirkan daftar nama para penangkap yang dikoordinir tersebut sehingga memudahkan pengawasan dan pembinaan. Namun faktanya adalah para pengumpul pedagang kupukupu tersebut tidak ada yang mengajukan dan memiliki izin penangkapan komersial sampai dengan tahun Hasil wawancara menunjukkan bahwa para pengumpul pedagang yang memiliki izin pengedar SL tetapi tidak memiliki izin penangkapan menyatakan bahwa akan menjadi beban bila harus mengajukan izin penangkapan setiap tahun. Menurut mereka, selama ini tidak pernah ada sanksi bagi siapasiapa yang memanfaatkan kupukupu tanpa izin, baik izin penangkapan maupun izin 55

10 56 pengedar. Implementasi peraturan tidak efektif akibat dari sanksi yang mungkin ada dari implementasi suatu peraturan tidak berjalan, sehingga masyarakat tidak melihat adanya resiko apabila mereka melanggar peraturan (Kartodihardjo 2006). Alasan yang dikemukakan bahwa mengurus izin penangkapan akan menambah kewajiban yang harus dikerjakan. Kewajiban yang dimaksud adalah membuat laporan kegiatan pemanfaatan setiap bulan serta wajib membayar PSDH, sedangkan di lingkungan mereka masih banyak yang tidak memiliki izin namun tidak diberikan sanksi. Salah seorang informan di Desa Kalabbirang menyatakan: "...saya pribadi mengakui kelemahan...tidak memberikan laporan secara baik...namun alasannya adalah...saya yang repot...orang lain bisa tangkap seenaknya..." (KI1.42). Oleh sebab itu, persepsi yang terbentuk dari para pemanfaat kupukupu terutama para pengumpul pedagang bahwa dengan mengikuti peraturan maka akan menambah beban pekerjaan serta mengurangi pendapatan. Hal yang hampir sama terjadi adalah terkait dengan cara memperoleh izin pengedar SL dalam negeri. Menurut salah seorang pengumpul pedagang di Desa Jenetaesa, bahwa untuk memiliki izin sebagai pengedar SL dalam negeri dirasa cukup memberatkan dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sesuai Kepmenhut 447/2003, syarat untuk memiliki izin pengedar SL dalam negeri adalah harus memiliki akte pendirian perusahaan, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Surat Izin Tempat Usaha (SITU), membuat proposal, pemeriksaan persiapan teknis, mendapat rekomendasi kepala seksi wilayah. Konsekuensi dari melaksanakan peraturan tersebut adalah menelan biaya yang tidak sedikit. Hal tersebut sesuai pendapat Kartodihardjo (2006) bahwa implementasi peraturan tidak efektif disebabkan oleh biaya yang ditanggung ketika melakukan pelanggaran peraturan sebenarnya lebih murah daripada bila peraturan dipatuhi Hasil wawancara dengan beberapa orang pengumpul pedagang menyatakan bahwa penghasilan dari pemanfaatan kupukupu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Selain itu, beberapa pengumpul pedagang juga menyatakan bahwa pendapatan yang tidak pasti dari pemanfaatan kupukupu menyebabkan mereka tidak mematuhi peraturan. Meskipun demikian, izin pengedar dalam negeri hanya diurus satu kali dan akan diperpanjang setiap lima tahun sekali. Namun menurut mereka, selain mengurus izin pengedar SL dalam negeri, masih ada lagi kewajiban lain antara lain misalnya mengurus SATSDN 12 bagi seluruh kegiatan peredaran SL di dalam negeri. 6.4 Pembagian Tugas dan Fungsi Instansi Terkait Pembagian tugas dan fungsi pelaksana peraturan perundangundangan yang terkait dengan pemanfaatan SL ditandai dengan uraian tugas dan fungsi instansi yang bertanggung jawab dalam pengaturan pemanfaatan SL. Tugas dan fungsi tersebut diberikan kepada beberapa instansi pusat maupun daerah. Terkait dengan pemanfaatan komersial kupukupu di Kabupaten Maros, pembagian tugas dan fungsi pelaksana peraturan perundangundangan terdapat pada instansi: Ditjen PHKA, Balai Besar KSDA Sulsel, LIPI, Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel, serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros. 12 SATSDN (Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri).

11 Pasal 65 poin a PP 8/1999 menyatakan: "...Departemen yang bertanggungjawab di bidang Kehutanan ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola (Management Authority) Konservasi Tumbuhan dan Satwa Liar...". Melalui Kepmenhut 104/2003, Dirjen PHKA ditunjuk sebagai Pelaksana Otoritas Pengelola CITES di Indonesia. Selanjutnya pada Pasal 1 butir 23 Kepmenhut 447/2003 dinyatakan: "...Otorita Pengelola (Management Authority) adalah Otorita yang mempunyai kewenangan berdasar peraturan perundangundangan yang berlaku di dalam mengatur dan mengelola pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar secara berkelanjutan, untuk selanjutnya ditunjuk Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan...". Pasal 1 ayat (1) Permenhut 02/ menyatakan: "...Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam adalah organisasi pelaksana tugas teknis di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Dirjen PHKA...". Selanjutnya pada Pasal 2 dinyatakan: "...Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam mempunyai tugas penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman buru, koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan konservasi berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku...". Pasal 65 poin b PP 8/1999 menyatakan: "...Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ditetapkan sebagai Otoritas Keilmuan (Scientific Authority)...". Selanjutnya menurut Lampiran AA PP 38/2007 bahwa pemberian izin pemanfaatan SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah provinsi memiliki kewenangan pengawasan pemberian izin pemanfaatan SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES. Pelaksanaan dari tugas dan fungsi Ditjen PHKA, Balai Besar KSDA Sulsel, LIPI, Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel, dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros terkait dengan pengaturan pemanfaatan komersial kupukupu di Kabupaten Maros dijelaskan lebih lanjut berikut ini Direktorat Jenderal PHKA Hasil penelaahan atas isi Kepmenhut 447/2003 menunjukkan bahwa terdapat beberapa tugas dan fungsi Direktorat Jenderal PHKA sebagai Otoritas Pengelola dalam rangka pemanfaatan komersial SL. Pelaksanaan tugas dan fungsi Ditjen PHKA terkait dengan pemanfaatan komersial SL kupukupu di Kabupaten Maros disajikan pada Tabel Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.02/MenhutII/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA)

12 58 Tabel 6.4 Pelaksanaan tugas dan fungsi Ditjen PHKA terkait pemanfaatan komersial kupukupu Instansi Tugas dan fungsi Pelaksanaan Ya Tidak Ditjen PHKA Menetapkan kuota penangkapan (pasal 6 ayat 2). Menyampaikan kuota penangkapan kepada Kepala Balai BKSDA dan Asosiasi Pemanfaat (pasal 13 ayat 1). Membuat ketentuan mengenai penilaian proposal, rencana kerja tahunan dan pertimbangan teknis terkait tata cara dan prosedur memperoleh izin pengedar atau perdagangan dalam dan luar negeri (pasal 44 ayat 6, dan pasal 51 ayat 7). Menerbitkan izin pengedar SL luar negeri (pasal 50 ayat 2). Menerbitkan SATSLN (pasal 70 ayat 1). Melakukan koordinasi dalam pengembangan kebijakan, pelaksanaan konvensi dan penegakan hukum, khususnya dengan pihak Ditjen Bea dan Cukai, POLRI dan Karantina (pasal 81 ayat 1). Menyampaikan laporan tahunan (annual report) dan laporan 2 tahunan (biennial report) kepada Sekretariat CITES (pasal 105 ayat 1). Melakukan pembinaan kepada para Balai, para pengedar SL ke dan dari luar negeri, dan para asosiasi pemanfaat TSL (pasal 107 ayat 4). Menerbitkan pedomanpedoman, petunjuk dan standar teknis yang berhubungan dengan pemanfaatan TSL serta sosialisasi ketentuanketentuan di atas (pasal 108 ayat 1). Membentuk gugus tugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dan menindaklanjuti proses hukum terhadap kasuskasus pelanggaran perundangundangan yang berkaitan dengan TSL yang mempunyai skala nasional (lintas provinsi) dan internasional (Pasal 109 ayat 1 dan 2). Tabel 6.4 menunjukkan bahwa terdapat 3 dari 10 poin tugas dan fungsi Ditjen PHKA yang belum dilaksanakan terkait dengan pemanfaatan komersial kupukupu. Seperti misalnya ketentuan mengenai penilaian proposal izin pengedar SL, pedoman, petunjuk dan standar teknis yang berhubungan dengan pemanfaatan komersial SL belum ada. Hasil wawancara dengan informan di Balai Besar KSDA Sulsel menyatakan: "... sebaiknya format proposal untuk pengajuan izin edar sudah ditetapkan... supaya para pengusaha yang mau mengajukan izin tinggal

13 mengisi saja...jangan proposalnya mereka buat sendiri seperti mengarang bebas..."(bk3.35). Hasil wawancara dan studi dokumen menunjukkan bahwa sejauh ini belum pernah ada pengajuan izin pengedar LN pemanfaatan komersial kupukupu di Kabupaten Maros kepada Direktorat Jenderal PHKA. Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang menyatakan: "...selama ini kami mengirim ke kolektor LN tidak pakai izin ekspor...tidak pakai SATS LN 14...masalahanya...dari 3 jenis, Toides helena, haliphron, dan hypolitus...harganya tidak lebih dari 30 ribu rupiah...sementara rumit mengurus CITES...harus di jakarta...mahal...jadi kalau sesuai aturan...berat..." (KI1.39). Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa Ditjen PHKA belum menyediakan pendanaan yang memadai bagi kegiatan inventarisasi atau monitoring populasi sebagai dasar penetapan kuota. Keterbatasan informasi yang dimiliki para pihak yang terkait dengan penetapan kuota terutama Balai Besar KSDA Sulsel, Ditjen PHKA, serta Pusat Penelitian Biologi LIPI menyebabkan implementasi terhadap proses pengusulan dan penetapan kuota tidak efektif di lapangan. Hasil wawancara dengan pengumpul pedagang kupukupu di Desa Kalabbirang menyatakan bahwa kuota pemanfaatan kupukupu yang ditetapkan setiap tahun tersebut sebagian besar tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Menurut mereka, terdapat jenisjenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat namun belum ditetapkan kuotanya. Sebaliknya jenisjenis yang sudah dimanfaatkan secara luas tetapi belum ada kuotanya. Dukungan dari pihakpihak lain yang terkait dengan pemanfaatan SL juga belum memadai. Koordinasi antara otoritas pengelola dan otoritas keilmuan dalam hal pendanaan juga belum jelas. Direktorat Jenderal PHKA tidak menyediakan pendanaan yang memadai dalam proses penetapan kuota. Demikian halnya dari pihak LIPI tidak secara khusus memasukkan kegiatan inventarisasi dan monitoring populasi SL ke dalam anggaran penelitian tahunannya Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan Keberhasilan implementasi peraturan pemanfaatan SL khususnya pemanfaatan komersial kupukupu di Kabupaten Maros sangat ditentukan oleh peran Balai Besar KSDA Sulsel. Sebagai pelaksana peraturan perundangundangan pemanfaatan SL, Balai Besar KSDA Sulsel dituntut melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan Kepmenhut 447/2003. Implementasi isi peraturan tersebut berdasarkan urusan dan kewenangan Balai Besar KSDA Sulsel, ditunjukkan pada Lampiran 4. Hasil penelaahan atas isi Kepmenhut 447/2003, terdapat 40 poin tugas dan fungsi Balai KSDA terkait dengan pemanfaatan komersial SL. Hasil analisis menunjukkan bahwa implementasi isi peraturan yang menyangkut pemanfaatan komersial kupukupu yang telah dilaksanakan adalah sebanyak 12 poin (30 %), sedangkan 28 poin (70 %) belum dilaksanakan. Pemahaman terhadap isi peraturan perundangundangan pemanfaatan SL oleh pejabat di Balai Besar KSDA Sulsel menunjukkan kategori baik. Pemahaman yang baik tersebut belum diwujudkan pada tataran implementasi. Implementasi peraturan perundangan yang tidak efektif disebabkan karena aparat pemerintah di SATSLN (Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri).

14 60 lapangan tidak melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya (Kartodihardjo, 2006). Hasil wawancara dan analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat 5 hal yang menyebabkan sehingga kontrol yang seharusnya dilaksanakan oleh petugas Balai Besar KSDA Sulsel tidak berjalan. Pertama, terdapat banyak jenis SL yang menjadi tanggung jawab Balai Besar KSDA Sulsel untuk diatur pemanfaatannya. Tercatat sebanyak 215 jenis SL yang terdiri atas 130 jenis yang dilindungi dan 85 jenis yang tidak dilindungi yang masuk di dalam kuota pemanfaatan untuk lokasi tangkap Sulsel Periode Tahun Selain itu, terdapat pula jenisjenis yang telah dimanfaatkan secara komersial namun belum tercantum di dalam kuota pemanfaatan. Oleh sebab itu, Balai Besar KSDA Sulsel perlu mempertimbangkan secara cermat dalam menentukan prioritas jenisjenis SL untuk kegiatan inventarisasi, monitoring populasi, maupun pemantauan pengendalian pemanfaatannya. Jumlah jenis SL yang berada dalam wilayah kerja Balai jumlahnya cukup banyak. Sementara itu, satwa liar termasuk kupukupu di habitat alam memiliki karakteristik biaya transaksi tinggi (high transaction cost). Mahalnya biaya transaksi berkaitan dengan pengorbanan yang dilakukan dalam rangka melaksanaan peraturan, biaya pengawasan, penegakan peraturan dan mengendalikan para pihak agar sumber daya tidak dimanfaatkan secara berlebihan dan ilegal. Oleh sebab itu, kebijakan yang baik (dapat diimplementasikan) harus memperhatikan adanya karakteristik tersebut. Adanya biaya transaksi dalam mekanisme peraturan tidak bisa dihindari, namun yang terpenting adalah meminimalisir biaya tersebut sehingga hanya kepada biaya yang memang diperlukan (Priyono 2004). Kedua, SL kupukupu belum menjadi SL yang "bermasalah" sehingga belum menjadi prioritas. Ketiga, SL kupukupu yang dimanfaatkan oleh masyarakat berada di daerah penyangga TN Babul sehingga pemanfaatan kupukupu tersebut seolaholah menjadi urusan dan tanggung jawab Balai TN Babul. Keempat, produk kupukupu awetan, secara fisik relatif lebih mudah disembunyikan atau disamarkan sehingga pengiriman ke luar daerah atau antar pulau sulit dikendalikan. Kelima, dengan adanya pembagian kewenangan sesuai PP 38/2007 menimbulkan kesan adanya ketidakjelasan pembagian tugas dan fungsi pengaturan pemanfaatan jenisjenis SL yang tidak dilindungi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hasil wawancara menunjukkan bahwa implementasi peraturan yang tidak efektif juga disebabkan oleh Balai Besar KSDA Sulsel kurang memberikan informasi dalam bentuk sosialisasi kepada masyarakat. Peraturan yang belum tersosialisasi dengan baik menyebabkan kurangnya pemahaman mereka tentang isi dari ketentuan peraturan tersebut. Tujuan pemberian sosialisasi adalah agar kelompok sasaran memahami isi peraturan yang akan diimplementasikan sehingga mereka tidak hanya dapat menerima akan tetapi ikut berpartisipasi atau patuh terhadap peraturan untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Hasil wawancara dan pengamatan menunjukkan bahwa petugas di lapangan belum melakukan kontrol dan tindakan terhadap aktivitas penangkapan dan perdagangan jenisjenis kupukupu yang dilindungi sehingga terkesan adanya pembiaran terhadap pelanggaran. Pelaksana peraturan tidak melarang atau

15 memproses secara hukum para pelaku yang melakukan aktivitas pemanfaatan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa terdapat beberapa alasan sehingga proses hukum tidak dilakukan terhadap pelanggaran yang terjadi dalam pemanfaatan komersial jenis kupukupu yang dilindungi. Pertama adalah karena alasan kemanusiaan, bahwa hasil yang didapat oleh masyarakat pemanfaat kupukupu mayoritas hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga seharihari maka pengenaan sanksi masih belum dapat diterapkan dengan tegas. Kedua adalah adanya hambatan psikologis dari para petugas terutama yang memiliki hubungan kekerabatan, kenalan dan lainlain untuk memproses secara hukum atas pelanggaran yang terjadi LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Otoritas Ilmiah memiliki beberapa kewenangan terkait dengan pemanfaatan SL. Pelaksanaan dari tugas dan fungsi LIPI terkait dengan pemanfaatan komersial kupukupu ditunjukkan pada Tabel 6.5. LIPI sebagai pemegang otoritas ilmiah diharapkan memiliki data dan informasi ilmiah mengenai populasi jenisjenis SL yang diperoleh dari kegiatan inventarisasi dan monitoring populasi di lapangan. Data dan informasi tersebut juga didukung oleh data biologi yang didapatkan dari kegiatan pengamatan di habitatnya atau di penangkaran serta dari informasi yang sudah ada. Hasil wawancara menunjukkan bahwa kegiatan inventarisasi dan atau monitoring populasi SL sebagai dasar penentuan kuota pemanfaatan untuk jenis kupukupu belum pernah dilaksanakan. Hasil wawancara dengan salah seorang pejabat pada Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI menunjukkan bahwa selama ini yang dilakukan LIPI sehubungan dengan pemberian rokomendasi penetapan kuota jenis kupukupu adalah berdasarkan usulan Direktorat Jenderal PHKA sebagai Otoritas Pengelola. Dasar penilaian dalam memberikan rekomendasi adalah membandingkan usulan kuota dengan usulan serta realisasi pemanfaatan pada tahuntahun sebelumnya. Pertimbangan lainnya adalah memperhatikan daerah sebaran jenisjenis berdasarkan referensi yang dimiliki. Inventarisasi dan monitoring populasi belum dilaksanakan terutama disebabkan oleh terbatasnya sumber daya, khususnya pendanaan. Hasil wawancara dengan informan tersebut menyatakan: "... ada anggaran monitoring populasi kurang lebih 200 juta per tahun,...tetapi diutamakan terhadap jenisjenis yang bermasalah..." (LP.26). Monitoring populasi hanya dilakukan terhadap jenisjenis tertentu yang apabila "bermasalah" atau mendapat "sorotan" dari masyarakat luas, sementara kelompok jenis kupukupu (Lepidoptera) belum termasuk jenisjenis yang bermasalah atau mendapat sorotan. Menurut LIPI (2003), hambatan dalam melaksanakan inventarisasi dan monitoring populasi adalah: (a) lokasi yang harus disurvei dalam rangka penentuan kuota sangat luas, bahkan mencakup seluruh wilayah Indonesia; (b) jumlah jenis yang harus ditetapkan kuotanya sangat banyak; (c) data biologi SL terutama mengenai reproduksinya masih sangat kurang; serta (d) sumber daya manusia (SDM) yang mendalami bidang SL juga masih sangat terbatas. 61

16 62 Tabel 6.5 Pelaksanaan tugas dan fungsi LIPI terkait pemanfaatan komersial kupukupu Instansi Tugas dan fungsi Pelaksanaan Ya Tidak Pusat Penelitian Biologi, LIPI Memberikan rekomendasi kepada Otoritas Pengelola tentang penetapan Daftar Klasifikasi, kuota penangkapan dan perdagangan termasuk ekspor, reekspor, impor, introduksi dari laut, semua spesimen tumbuhan dan SL (pasal 66 ayat 2 butir a, PP 8/1999). Memonitor izin perdagangan dan realisasi perdagangan, serta memberikan rekomendasi kepada Otaritas Pengelola tentang pembatasan pemberian izin perdagangan tumbuhan dan SL karena berdasarkan evaluasi secara biologis pembatasan seperti itu perlu dilakukan (pasal 66 ayat 2 butir b, PP 8/1999). Melaksanakan inventarisasi dan atau monitoring populasi SL (pasal 9 ayat 1 Kepmenhut No. 447/KptsII/2003). Mengembangkan atau menetapkan metode standar pelaksanaan inventarisasi dan atau monitoring populasi SL (pasal 9 ayat 2, Kepmenhut No. 447/KptsII/2003). Mengumpulkan data dan informasi tentang populasi jenis SL baik dari hasil inventarisasi dan monitoring maupun data dan informasi lainnya, yaitu : kondisi habitat dan populasi jenis yang ditetapkan informasi ilmiah dan teknis lain tetang populasi dan habitat atau jenis yang ditetapkan realisasi penangkapan SL dari kuota tahuntahun sebelumnya kearifan tradisional (pasal 10 dan pasal 8 ayat 2 butir a sampai d Kepmenhut No. 447/KptsII/2003). Membuat rekomendasi penetapan satwa buru terhadap jenisjenis dilindungi dari habitat alam yang populasi di habitat alamnya cukup tinggi atau melebihi daya dukung habitat. (pasal 7 ayat 5 Kepmenhut No. 447/KptsII/2003).

17 Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Lampiran AA PP 38/2007, kewenangan Pemerintah Provinsi Sulsel dalam hal ini Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel terkait dengan pemanfaatan komersial kupukupu di Kabupaten Maros adalah melaksanakan pengawasan pemberian izin pemanfaatan. Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel tersebut disajikan pada Tabel 6.6. Tabel 6.6 Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel terkait pemanfaatan komersial kupukupu Instansi Tugas dan fungsi Pelaksanaan Ya Tidak Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel Melaksanakan pengawasan pemberian Izin Pemanfaatan (Penangkapan dan Peredaran) tumbuhan dan SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES (Lampiran AA hal. 759, PP 38/2007). Hasil wawancara menunjukkan bahwa pemahaman terhadap peraturan perundangundangan pemanfaatan SL yang terkategori kurang sampai cukup merupakan salah satu penyebab sehingga pelaksanaan pengawasan pemberian izin pemanfaatan jenisjenis SL yang tidak dilindungi belum dilakukan. Selain itu adalah belum adanya payung hukum berupa peraturan daerah yang mengatur lebih lanjut terkait dengan pembagian kewenangan pengawasan pemberian izin pemanfaatan jenisjenis SL yang tidak dilindungi dan non Appendix CITES Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros Hasil wawancara menunjukkan bahwa Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros belum melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai peraturan perundangundangan yang terkait dengan pemanfaatan SL. Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros sehubungan dengan pemanfaatan komersial kupukupu seperti ditunjukkan pada Tabel 6.7. Tabel 6.7 Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros terkait pemanfaatan komersial kupukupu Instansi Tugas dan fungsi Pelaksanaan Ya Tidak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros Melaksanakan inventarisasi dan atau monitoring populasi SL (pasal 9 ayat 1 Kepmenhut 447/ 2003). Menerbitkan Izin Pemanfaatan (Penangkapan dan Peredaran) untuk tujuan komersial SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES. (pasal 13 ayat 4 Kepmenhut 447/ 2003 dan Lampiran AA hal. 759, PP 38/2007).

18 64 Hasil wawancara menunjukkan bahwa Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros belum pernah memproses serta menerbitkan izin pemanfaatan jenisjenis SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES. Informan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros, meyatakan: "...kalau menyangkut satwa liar belum... itu masih kewenangan BKSDA... kami di sini tidak mengurus hal itu..." (DM1.3). Selanjutnya dinyatakan: "...mengenai PP memang betul ada urusanurusan yang dilimpahkan ke kabupaten... tetapi itu perlu dibuat perda untuk pedoman pelaksanaan kami... tetapi sampai sekarang mengenai perizinan TSL belum ada..." (DM1.4). Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan kewenangan pengaturan pemanfaatan SL belum menjadi perhatian pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, pertama, pemahaman aparatur terhadap peraturan perundangundangan pemanfaatan SL yang kurang; kedua, belum adanya payung hukum berupa peraturan daerah yang mengatur lebih lanjut mengenai kewenangan daerah tentang pemanfaatan SL; ketiga, perhatian pemerintah daerah terkait dengan pemanfaatan SL sangat kurang sebab pendapatan daerah yang mungkin diperoleh dari pemanfaatan SL tidak signifikan terhadap pendapatan asli daerah; keempat, kurangnya sosialisasi dan koordinasi dari pemerintah pusat khususnya Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan tentang pengelolaan pemanfaatan jenisjenis SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES. Keefektifan implementasi peraturan pemanfaatan komersial SL dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa isi peraturan perundangundangan yang terkait dengan pemanfaatan SL belum mengatur dengan jelas ketentuan sanksi pidana dan denda administrasi bagi pelaku perdagangan jenisjenis SL yang tidak dilindungi tanpa izin. Pemahaman terhadap peraturan perundangundangan pemanfaatan SL oleh aparatur pemerintah daerah dan warga pemanfaat kupukupu di daerah penyangga TN Babul tergolong kurang. Dukungan masyarakat dalam implementasi peraturan pemanfaatan SL tergolong rendah, serta implementasi peraturan perundangundangan pemanfaatan SL oleh instansi pemerintah yang terkait dengan pemanfaatan komersial kupukupu di daerah penyangga TN Babul belum sepenuhnya dilaksanakan.

7 PENGUATAN KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL KUPU-KUPU

7 PENGUATAN KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL KUPU-KUPU 65 7 PENGUATAN KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL KUPU-KUPU 7.1 Permasalahan Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa secara keseluruhan, kinerja

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

Pengelolaan dan Pengawasan Sumber Daya Genetik serta Scientific Access bagi Peneliti Asing

Pengelolaan dan Pengawasan Sumber Daya Genetik serta Scientific Access bagi Peneliti Asing Pengelolaan dan Pengawasan Sumber Daya Genetik serta Scientific Access bagi Peneliti Asing Sosialisasi dan Diskusi tentang Perizinan Penelitian Asing Di Universitas Brawijaya, Malang 29 Juli 2016 Oleh:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.63/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA MEMPEROLEH SPESIMEN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR UNTUK LEMBAGA KONSERVASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Burung

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 04/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN JENIS IKAN DAN GENETIK IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 04/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN JENIS IKAN DAN GENETIK IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 04/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN JENIS IKAN DAN GENETIK IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER. 04/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN JENIS IKAN DAN GENETIK IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER. 04/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN JENIS IKAN DAN GENETIK IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 04/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN JENIS IKAN DAN GENETIK IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1444, 2014 KEMENHUT. Satwa Liar. Luar Negeri. Pengembangbiakan. Peminjaman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

4 KARAKTERISTIK SUMBER DAYA KUPU-KUPU (Lepidoptera) YANG DIMANFAATKAN SECARA KOMERSIAL

4 KARAKTERISTIK SUMBER DAYA KUPU-KUPU (Lepidoptera) YANG DIMANFAATKAN SECARA KOMERSIAL KARAKTERISTIK SUMBER DAYA KUPU-KUPU (Lepidoptera) YANG DIMANFAATKAN SECARA KOMERSIAL. Kupu-Kupu Hasil Tangkapan Pengamatan hasil tangkapan kupu-kupu meliputi jumlah individu setiap jenis dan rasio kelamin.

Lebih terperinci

SOSIALISASI DAN PEMBENTUKAN GUGUS TUGAS. Oleh : DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN Padang, 26 Oktober 2010

SOSIALISASI DAN PEMBENTUKAN GUGUS TUGAS. Oleh : DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN Padang, 26 Oktober 2010 SOSIALISASI DAN PEMBENTUKAN GUGUS TUGAS Oleh : DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN Padang, 26 Oktober 2010 DASAR HUKUM KKP (KP3K) SEBAGAI MA PP 60/2007 Pasal 53 KKP Sebagai MA Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 02/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PEMINJAMAN JENIS SATWA LIAR DILINDUNGI KE LUAR NEGERI UNTUK KEPENTINGAN PENGEMBANGBIAKAN (BREEDING LOAN) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: P.7/IV-Set/2011 Pengertian 1. Kawasan Suaka Alam adalah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR)

CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR) CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR) PENGANTAR Saat ini terdapat 2 (dua) versi RUU Perubahan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

Lebih terperinci

4 Dinas Tata Ruang, Kebersihan dan Pertamanan

4 Dinas Tata Ruang, Kebersihan dan Pertamanan LAMPIRAN 64 65 Lampiran 1 Tugas pokok dan fungsi instansi-instansi terkait No. Instansi Tugas pokok dan fungsi 1 BAPPEDA Tugas pokok: melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah bidang perencanaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.71/Menhut-II/2014 TENTANG MEMILIKI DAN MEMBAWA HASIL BERBURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.71/Menhut-II/2014 TENTANG MEMILIKI DAN MEMBAWA HASIL BERBURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.71/Menhut-II/2014 TENTANG MEMILIKI DAN MEMBAWA HASIL BERBURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

3 METODE. Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian; Sumber: Ditjen PHKA (2008)

3 METODE. Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian; Sumber: Ditjen PHKA (2008) 7 3 METODE 3. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan September 03. Lokasi penelitian terletak di Desa Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung; serta di Desa Jenetaesa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 7 TAHUN 1999 (7/1999) Tanggal : 27 Januari 1999 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENGENDALIAN PEMANFAATAN FLORA DAN FAUNA YANG TIDAK DILINDUNGI LINTAS KABUPATEN / KOTA DI PROPINSI JAWA TIMUR

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2017 KEMEN-LHK. Pengelolaan Pengaduan Dugaan Pencemaran. Perusakan Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan Hutan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SEKRETARIAT, BIDANG,

Lebih terperinci

NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa tumbuhan dan satwa liar merupakan bagian dari

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

Oleh : Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut

Oleh : Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut Oleh : Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut KRONOLOGIS PENYELARASAN URUSAN KSDI Kesepakatan Bersama Dirjen PHKA dan Dirjen KP3K No. 396. 1/ Djiv/HO/2003 dan No. 09/KB/Dep.KP/2003, tgl 30 April

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang

Lebih terperinci

2 Indonesia Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3544); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

2 Indonesia Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3544); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1349, 2014 KEMENHUT. Hasil Berburu. Memiliki. Izin. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.71/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN MEMILIKI DAN MEMBAWA HASIL

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET DI WILAYAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 06 TAHUN 2004

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 06 TAHUN 2004 SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 06 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN, PENGENDALIAN SERTA PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

STIKOM SURABAYA BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi semakin pesat,

STIKOM SURABAYA BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi semakin pesat, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi semakin pesat, perkembangan tersebut tengah berdampak pada segala aspek kehidupan manusia salah satunya

Lebih terperinci

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1347, 2014 KEMENHUT. Satwa Buru. Musim Berburu. Penetapan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/Menhut-II/2014 TENTANG PENETAPAN MUSIM

Lebih terperinci

PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA)

PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA) PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA) Sumber: LN 1991/35; TLN NO. 3441 Tentang: RAWA Indeks:

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 447/Kpts-II/2003 TENTANG TATA USAHA PENGAMBILAN ATAU PENANGKAPAN DAN PEREDARAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 447/Kpts-II/2003 TENTANG TATA USAHA PENGAMBILAN ATAU PENANGKAPAN DAN PEREDARAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 447/Kpts-II/2003 TENTANG TATA USAHA PENGAMBILAN ATAU PENANGKAPAN DAN PEREDARAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. Keanekaragaman hayati terbesar yang dimiliki Indonesia di antaranya adalah

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TAMAN BURU DAN PERBURUAN. Oleh: Bambang Dahono Adji Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Jakarta, 18 September 2014

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TAMAN BURU DAN PERBURUAN. Oleh: Bambang Dahono Adji Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Jakarta, 18 September 2014 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TAMAN BURU DAN PERBURUAN Oleh: Bambang Dahono Adji Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Jakarta, 18 September 2014 BERBURU (PP. 13/1994 tentang Perburuan Satwa Buru) menangkap

Lebih terperinci

DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI ALAM,

DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI ALAM, Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Dan Konservasi Alam No. 66/Kpts/DJ_V/2000 Tentang : Kuota Pengambilan Tumbuhan Dan Penangkapan Satwa Liar yang Tidak Dilindungi Undang-Undang Dan Tidak Termasuk

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN EVALUASI KESESUAIAN FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Page 1 of 9 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah serta Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang kehutanan;

BAB I PENDAHULUAN. b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang kehutanan; BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah dibentuk berdasarkan : 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan Perintah, Pemerintah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA JUNCTO

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 104/Kpts-II/2000 TENTANG TATA CARA MENGAMBIL TUMBUHAN LIAR DAN MENANGKAP SATWA LIAR

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 104/Kpts-II/2000 TENTANG TATA CARA MENGAMBIL TUMBUHAN LIAR DAN MENANGKAP SATWA LIAR KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 104/Kpts-II/2000 TENTANG TATA CARA MENGAMBIL TUMBUHAN LIAR DAN MENANGKAP SATWA LIAR MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa dengan Peraturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

a. merencanakan kegiatan operasional Balai; d. merencanakan penyelenggaraan pembinaan, pengendalian dan pengawasan penyelenggaraan kegiatan Balai; e.

a. merencanakan kegiatan operasional Balai; d. merencanakan penyelenggaraan pembinaan, pengendalian dan pengawasan penyelenggaraan kegiatan Balai; e. BAB XXXVI BALAI PELAYANAN PEREDARAN HASIL HUTAN PADA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN PROVINSI BANTEN Pasal 163 Susunan Organisasi Balai Pelayanan Peredaran Hasil Hutan terdiri dari: a. Kepala UPT; b. Kepala

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG PERTUKARAN JENIS TUMBUHAN ATAU SATWA LIAR DILINDUNGI DENGAN LEMBAGA KONSERVASI DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila; Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa sumber

Lebih terperinci

Transnational Organized Crime (TOC)

Transnational Organized Crime (TOC) Hukum di Indonesia untuk Melindungi Satwa Liar Ani Mardiastuti aniipb@indo.net.id Fakultas Kehutanan IPB Transnational Organized Crime (TOC) Terorisme Penyelundupan senjata Narkoba Kejahatan dunia maya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO 1 PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN B O G O R

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN B O G O R KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN B O G O R K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 128/Dik-1/2010 T e n t a n g

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

BAB I. Pendahuluan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman 1 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, termasuk tingkat endemisme yang tinggi. Tingkat endemisme

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1996 TENTANG PENINDAKAN DI BIDANG KEPABEANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1996 TENTANG PENINDAKAN DI BIDANG KEPABEANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1996 TENTANG PENINDAKAN DI BIDANG KEPABEANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 Tentang : Rawa

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 Tentang : Rawa Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 Tentang : Rawa Oleh : Presiden Republik Indonesia Nomor : 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal : 2 MEI 1991 (JAKARTA) Sumber : LN 1991/35; TLN NO. 3441 Presiden Republik

Lebih terperinci

U R A I A N J A B A T A N

U R A I A N J A B A T A N U R A I A N J A B A T A N 1. NAMA JABATAN : KEPALA BALAI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM 2. KODE JABATAN : 3. UNIT ORGANISASI : DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM 4. TUGAS POKOK/MISI

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 93 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS LINGKUNGAN HIDUP

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2011 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2011 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2011 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa sebagai penjabaran dari Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan konservasi (KHK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun1999 terdiri dari kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan Taman Buru. KHK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN BOGOR

KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN BOGOR KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN BOGOR K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK.142 /Dik-1/2010 T e n t a n g KURIKULUM

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 18/Menhut-II/2010 TENTANG SURAT IZIN BERBURU DAN TATA CARA PERMOHONAN IZIN BERBURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 18/Menhut-II/2010 TENTANG SURAT IZIN BERBURU DAN TATA CARA PERMOHONAN IZIN BERBURU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 18/Menhut-II/2010 TENTANG SURAT IZIN BERBURU DAN TATA CARA PERMOHONAN IZIN BERBURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.56/Menhut-II/2014 TENTANG MASYARAKAT MITRA POLISI KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.56/Menhut-II/2014 TENTANG MASYARAKAT MITRA POLISI KEHUTANAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.56/Menhut-II/2014 TENTANG MASYARAKAT MITRA POLISI KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dengan telah

Lebih terperinci

U R A I A N J A B A T A N

U R A I A N J A B A T A N U R A I A N J A B A T A N 1. NAMA JABATAN : KEPALA BIDANG TEKNIS KONSERVASI TAMAN NASIONAL 2. KODE JABATAN : 3. UNIT ORGANISASI : BALAI BESAR TAMAN NASIONAL 4. TUGAS POKOK/MISI JABATAN : Melaksanakan penyiapan

Lebih terperinci

2 Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lem

2 Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.754, 2014 KEMENHUT. Tarif. Kegiatan Tertentu. Tata Cara. Persyaratan. Pembangunan PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.38/Menhut-II/2014 TENTANG TATA

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a.

Lebih terperinci

Hariadi Kartodihardjo (Sumber: UU 23/2014) Adapun urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi adalah:

Hariadi Kartodihardjo (Sumber: UU 23/2014) Adapun urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi adalah: UNDANG-UNDANG NO 23/2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH: (IMPLIKASI) BAGI KEBIJAKAN KEHUTANAN DAN IZIN TAMBANG (MINERBA) 1 Hariadi Kartodihardjo (Sumber: UU 23/2014) DALAM UU ini urusan pemerintahan terdiri

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN BOGOR

KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN BOGOR KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN BOGOR K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 148 /Dik-1/2010 T e n t a n g KURIKULUM

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan telah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.9/MENHUT-II/2010 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. No. 48 Tahun 1988 tanggal 19 November Pembangunan Taman Hutan. Raya Bukit Barisan ini sebagai upaya konservasi sumber daya alam dan

PENDAHULUAN. No. 48 Tahun 1988 tanggal 19 November Pembangunan Taman Hutan. Raya Bukit Barisan ini sebagai upaya konservasi sumber daya alam dan PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan merupakan Tahura ketiga di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No. 48 Tahun 1988 tanggal 19 November

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 17/Menhut-II/2010 TENTANG PERMOHONAN, PEMBERIAN, DAN PENCABUTAN IZIN PENGUSAHAAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 17/Menhut-II/2010 TENTANG PERMOHONAN, PEMBERIAN, DAN PENCABUTAN IZIN PENGUSAHAAN TAMAN BURU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 17/Menhut-II/2010 TENTANG PERMOHONAN, PEMBERIAN, DAN PENCABUTAN IZIN PENGUSAHAAN TAMAN BURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.40/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.40/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.40/Menhut-II/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.52/MENHUT-II/2006 TENTANG PERAGAAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR DILINDUNGI

Lebih terperinci

USULAN STRUKTUR KELEMBAGAAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

USULAN STRUKTUR KELEMBAGAAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN USULAN STRUKTUR KELEMBAGAAN Dasar Hukum Lingkungan Hidup UU No. 32/2009: Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No. 18/2008: Pengelolaan Sampah PP turunannnya Kehutanan UU No. 41/1999: Kehutanan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo No. 75 Telp. / Fax ( 0565 ) 23521 Sintang 78611

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU TAHUN : 2003 NOMOR : 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET DI KABUPATEN BERAU DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.38/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.38/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.38/Menhut-II/2014 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN KEGIATAN TERTENTU PENGENAAN TARIF Rp.0,00 (NOL RUPIAH) DI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa potensi pembudidayaan perikanan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU TAHUN : 2002 NOMOR : 37 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET DI KABUPATEN BERAU DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSTANSI VERTIKAL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSTANSI VERTIKAL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEUANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSTANSI VERTIKAL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci