IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISTIK EMPULUR SAGU Bahan baku empulur sagu diperoleh dari industri rumah tangga di daerah Cimahpar, Bogor. Bahan baku awal memiliki kadar air yang cukup tinggi karena masih dalam keadaan basah. Empulur sagu tersebut selanjutnya dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari. Empulur sagu yang telah kering diperkecil lagi ukurannya dengan menggunakan hammer mill hingga lolos ayakan 35 mesh. Warna empulur sagu awal secara visual adalah putih agak kecoklatan. Namun, seiring dengan lamanya waktu pengeringan, tepung empulur sagu berubah menjadi coklat karena telah mengalami reaksi pencoklatan (browning). Reaksi pencoklatan ini dapat terjadi karena rentang waktu yang lama antara waktu panen dengan waktu pengolahan pati sagu. Warna coklat yang terbentuk akan terikat kuat dengan pati, sehingga mempengaruhi kualitas pati. Reaksi pencoklatan terjadi karena adanya kandungan fenol dan oksidasi fenol (Ozawa dan Arai 1986 dalam Derosya 2010). Empulur sagu selanjutnya dikarakterisasi untuk mengetahui komposisi yang ada di dalamnya. Karakteristik kimiawi empulur sagu meliputi komponen proksimat, kadar pati dan komponen serat. Komposisi proksimat dan pati empulur sagu disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi proksimat dan pati empulur sagu Komponen Nilai Air (%) Abu (% bk) Lemak (% bk) Protein (% bk) Serat kasar (% bk) Karbohidrat (by difference) (% bk) Pati (% bk) Dari hasil analisa proksimat, komponen bahan tertinggi adalah karbohidrat, yaitu sebesar 81.6% yang sebagian besar terdiri atas pati sebesar 55.86%. Pati merupakan karbohidrat yang akan dikonversi menjadi glukosa sebagai substrat khamir dalam fermentasi. Komponen bahan lainnya seperti lemak, protein dan abu tergolong kecil sehingga empulur sagu yang digunakan pada penelitian ini cocok untuk dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan fermentable sugar. Kadar air yang diperoleh dari penelitian Fujii et al. (1986) berkisar antara 9-12%. Kandungan air empulur sagu pada penelitian ini cukup tinggi disebabkan oleh kondisi bahan awal yang diperoleh dari industri rumah tangga di daerah Cimahpar Bogor masih dalam keadaan basah. Kadar air empulur sagu yang telah melewati tahap pengeringan adalah sebesar 14.52%. Kadar abu pada bahan menunjukkan bahan anorganik yang tidak ikut terbakar saat bahan organik dibakar. Menurut Fengel dan Wegener (1984), abu merupakan sisa setelah pembakaran sempurna dari kayu. Abu terdiri dari garam-garam kalsium, kalium dan magnesium, serta terdapat sedikit natrium, aluminium, besi, mangan sulfat, klor, dan silikat. Kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral, kemurnian dan kebersihan suatu bahan yang dihasilkan (Harijadi 1993 dalam 30

2 Dwiko 2010). Kadar abu empulur sagu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5.16%, jumlahnya lebih tinggi daripada kadar abu empulur sagu dari penelitian Fujii et al. (1986) yang hanya sebesar 3.80%. Kadar abu yang lebih tinggi menunjukkan rendahnya kemurnian pada empulur sagu. Hal ini wajar karena sagu belum diolah menjadi pati sehingga masih banyak terdapat bahan mineral dan anorganik terutama yang terdapat pada kulit batang sagu. Komponen lain yang akan dikonversi menjadi gula sederhana selain pati adalah serat. Komponen serat pada empulur sagu tergolong kecil, hanya sekitar 8%. Bagian utama dari komponen serat terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Hasil analisa komponen serat empulur sagu disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi serat empulur sagu Komponen NDF (Neutral Detergent Fiber) ADF (Acid Detergent Fiber) Selulosa Hemiselulosa Lignin Nilai (%) Berdasarkan hasil analisa komponen serat metode ADF (Acid Detergent Fiber) dan NDF (Neutral Detergent Fiber) dari Tabel 7, lignin merupakan komponen terbesar pada empulur sagu, yaitu 6.86%, diikuti oleh hemiselulosa sebesar 4.72% dan selulosa sebesar 2.93%. Jumlah lignin yang cukup besar dan selulosa yang sangat kecil membuat komponen serat pada empulur sagu kurang berpotensi untuk dikonversi menjadi gula sederhana karena komponen utama yang akan diubah menjadi gula sederhana adalah selulosa dan hemiselulosa. Lignin merupakan senyawa yang melapisi komponen serat dan pati, dengan demikian tingginya kadar lignin pada empulur sagu dapat menghambat proses hidrolisis. Tingginya kadar lignin disebabkan oleh umur dari tanaman sagu, semakin tua umur tanaman, maka kadar lignin akan semakin tinggi. Menurut Hermiati et al. (2010), lignoselulosa yang terdiri atas selulosa, hemiselulosa dan lignin berfungsi untuk membentuk kerangka struktrual dari dinding sel tumbuhan dan jumlahnya beragam pada berbagai jenis tumbuhan. Komposisi lignoselulosa pada tumbuhan bergantung dari spesies, umur dan kondisi pertumbuhan. Oleh karena itu, pemanfaatan karbohidrat yang terkandung di dalamnya membutuhkan metode hidrolisis yang tepat sehingga dapat menghasilkan rendemen gula yang tinggi. 4.2 HIDROLISIS EMPULUR SAGU SECARA ASAM DENGAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO DUA TAHAP Asam kuat berkonsentrasi rendah (encer) merupakan salah satu alternatif hidrolisis bahan berkarbohidrat dan berserat yang banyak digunakan saat ini. Di dalam struktur tanaman, karbohidrat terutama pati dan komponen serat diselubungi oleh lignin yang merupakan senyawa yang menyelimuti dan mengeraskan dinding sel. Agar asam dapat menghidrolisis serat dan pati, lignin harus diputus terlebih dahulu. Penggunaan gelombang mikro merupakan salah satu pemanasan yang dapat memutus ikatan lignin sekaligus dapat mendegradasi pati. Penelitian tentang penggunaan gelombang mikro untuk mendegradasi pati telah digunakan pada bahan seperti kentang, jagung, beras, dan gandum, baik dalam larutan air maupun asam. 31

3 Proses hidrolisis biasanya dilakukan dengan menggunakan pemanasan konvensional, yaitu dengan menggunakan otoklaf. Namun, pada penelitian ini pemanasan dilakukan dengan menggunakan microwave oven dan menggunakan otoklaf sebagai pembanding. Penggunaan gelombang mikro sebagai perlakuan pendahuluan hidrolisis dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, hal ini merupakan salah satu keunggulan penggunaan gelombang mikro dibandingkan otoklaf yang membutuhkan waktu tidak kurang dari 15 menit untuk proses hidrolisis. Waktu terlama yang telah digunakan untuk melarutkan pati pada suhu tinggi dengan menggunakan gelombang mikro adalah kurang dari 10 menit, namun dalam prosesnya mengakibatkan produk hasil hidrolisis terdekomposisi menjadi produk sekunder yang memberikan warna gelap (Koroskenyi dan Charti 2002). Proses hidrolisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah hidrolisis asam menggunakan katalis asam sulfat (H 2 SO 4 ) dengan konsentrasi rendah. Konsentrasi H 2 SO 4 yang digunakan adalah 0.3 M dan 0.5 M. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dwiko (2010), konsentrasi H 2 SO 4 terbaik yang dapat menghasilkan total gula terbanyak dari hidrolisis empulur sagu menggunakan pemanasan gelombang mikro adalah 0.3 M. Oleh karena itu, pada penelitian ini konsentrasi H 2 SO 4 sedikit ditingkatkan menjadi 0.5 M dengan harapan total gula yang dihasilkan lebih tinggi, namun tetap menggunakan konsentrasi asam 0.3 M sebagai pembanding. Dari hasil penelitian yang dilakukan Dwiko (2010), penggunaan gelombang mikro pada power level 10% dan 30% sebagian besar pati dan serat empulur sagu belum terhidrolisis, sedangkan penggunaan gelombang mikro pada power level 100% membuat hidrolisat menjadi hitam (gosong) karena besarnya paparan energi yang diterima oleh empulur sagu. Dari permasalahan tersebut, maka pada penelitian ini dilakukan kombinasi penggunaan power level rendah (power level 30%) dan sedang (power level 70%). Modifikasi pemanasan gelombang mikro bertahap ini dilakukan dengan tujuan agar ikatan lignin dapat terputus, mengurangi tingkat kristalinitas serat selulosa menjadi lebih amorf sehingga memudahkan penetrasi asam ke dalam pati, namun tetap tidak menimbulkan kegosongan akibat kelebihan energi panas yang diterima bahan. Untuk melihat perbedaan hasil hidrolisis dari perlakuan gelombang mikro pada power level dua tahap tersebut, maka dilakukan pula hidrolisis hanya menggunakan power level satu tahap, yaitu power level 70% selama 3 menit sebagai kontrol yang merupakan perlakuan terbaik dari penelitian yang dilakukan Dwiko (2010). Waktu hidrolisis antara empulur sagu dengan asam pada paparan panas dari gelombang mikro juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil hidrolisis. Pada penelitian ini perlakuan waktu hidrolisis antara empulur sagu dengan asam dan panas hanya dilakukan pada pemanasan gelombang mikro tahap 1 (power level 30%), yaitu 1 menit, 2 menit dan 3 menit. Tujuan dari perlakuan waktu pada pemanasan tahap 1 ini adalah untuk mengetahui waktu optimal dalam menghasilkan fermentable sugar dengan karakteristik terbaik, terutama yang menghasilkan kadar gula tertinggi. Pemakaian konsentrasi asam dan waktu hidrolisis pada perlakuan gelombang mikro dua tahap memperlihatkan perbedaan hasil terhadap perlakuan gelombang mikro satu tahap. Pada perlakuan konsentrasi asam lebih tinggi yang diikuti pemanasan gelombang mikro dua tahap dengan waktu kontak yang lebih lama membuat empulur sagu terhidrolisis lebih sempurna daripada perlakuan konsentrasi asam rendah yang diikuti pemanasan gelombang mikro satu tahap dengan waktu kontak yang singkat. Perbedaan hasil hidrolisis antara kedua perlakuan tersebut terhadap empulur sagu secara visual dapat dilihat pada Gambar 5, dan ditampilkan juga gambar empulur sagu sebelum hidrolisis sebagai pembanding. 32

4 (a) (b) (c) Gambar 5. Penampakan visual hidrolisat sebelum hidrolisis (a), hidrolisis dengan H 2 SO M pada gelombang mikro satu tahap (power level 70% (3`)) (b), dan hidrolisis dengan H 2 SO M pada gelombang mikro dua tahap (power level 30% (2`) dan power level 70% (3`)) (c) Pada Gambar 5 terlihat perbedaan hasil secara visual dari kombinasi perlakuan seperti konsentrasi asam H 2 SO 4, waktu, dan energi gelombang mikro yang diterima oleh bahan. Gambar (a) yang merupakan empulur sagu sebelum dihidrolisis terlihat warna alami bahan masih coklat muda, serat-serat dan air bebas masih dalam jumlah yang banyak. Gambar (b) yang merupakan hasil hidrolisis dengan kombinasi perlakuan konsentrasi asam rendah (0.3 M), waktu kontak yang singkat (3`), dan hanya menggunakan pemanasan gelombang mikro satu tahap (power level 70%) terlihat perubahan warna hidrolisat menjadi coklat tua serta jumlah serat dan air bebas berkurang. Gambar (c) merupakan hasil hidrolisis dengan kombinasi perlakuan konsentrasi asam yang lebih tinggi (0.5 M), waktu kontak lebih lama (total waktu 5`), dan menggunakan pemanasan gelombang mikro dua tahap (power level 30% dilanjutkan dengan power level 70%) terlihat warna hidrolisat berubah menjadi coklat kehitaman, serat dan air bebas berkurang dalam jumlah yang banyak, selain itu pada pinggir wadah terlihat bahan berwarna hitam yang mengindikasikan telah terbentuknya produk samping yang tidak diinginkan seperti hidroksimetilfurfural (HMF) dan furfural. Semakin tinggi konsentrasi asam, maka semakin gelap warna hirolisat yang dihasilkan. Menurut Yu et al. (1996), konsentrasi asam yang tinggi menyebabkan selulosa dan hemiselulosa lebih mudah terdegradasi menjadi glukosa dan senyawa gula lainnya, terlebih lagi diiringi waktu kontak yang lama. Namun, seiring dengan tingginya konsentrasi asam dan waktu reaksi, inhibitor yang dihasilkan juga semakin banyak. Semakin tinggi power level yang digunakan dan semakin lama waktu kontak dengan bahan, semakin gelap warna hidrolisat yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena dengan jumlah bahan yang sama tapi penerimaan energi panas yang lebih besar pada power level yang lebih tinggi membuat lebih banyak komponen pati dan serat terdegradasi yang akhirnya pembentukan produk samping seperti HMF dan furfural yang menyebabkan warna gelap juga semakin banyak. Pada proses hidrolisis asam bahan berpati dan berserat, variabel seperti konsentrasi asam, waktu hidrolisis dan energi gelombang mikro yang diberikan harus disesuaikan kombinasi penggunaannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan karakteristik fermentable sugar dengan 33

5 kandungan gula sederhana tinggi tetapi tetap rendah produk inhibitor yang tidak diinginkan seperti HMF dan furfural. Untuk melihat pengaruh kombinasi antara variabel konsentrasi asam, waktu dan energi panas yang diberikan pada proses hidrolisis empulur sagu, dapat juga dilakukan pengamatan secara mikroskopik. Hasil pengamatan secara mikroskopik dari kombinasi perlakuan yang diberikan disajikan pada Gambar 6. Pada Gambar 6 terlihat pengaruh berbagai kombinasi perlakuan konsentrasi asam, waktu dan energi panas yang digunakan terhadap perubahan struktur pati dan serat empulur sagu. Sebelum dilakukan hidrolisis, komponen serat dan pati masih utuh, serat masih tersusun rapat dan granulagranula pati belum pecah. Pati dan serat masih diselimuti oleh komponen lignin yang keras. Proses hidrolisis berjalan secara sempurna ketika asam mampu memutus ikatan lignin yang menyelimuti serat dan pati. Saat ikatan lignin terputus, komponen serat mengembang dan diikuti dengan terlepasnya granula pati dari komponen serat hingga akhirnya hancur atau terdegradasi. Bila proses hidrolisis terus berlanjut, asam mampu memutus polimer-polimer pati menjadi lebih kecil sehingga terbentuklah monomer-monomer atau gula sederhana dan serat-serat juga ikut terdegradasi menjadi monomer-monomer penyusunnya. Kombinasi perlakuan terhadap empulur sagu pada konsentrasi H 2 SO M, waktu total hidrolisis 3 menit dan menggunakan pemanasan gelombang mikro satu tahap (A1B1), ternyata masih terdapat granula pati yang utuh walaupun telah terjadi pembengkakan granula pati. Hal ini menunjukkan masih diperlukan kombinasi penggunaan konsentrasi asam, waktu dan power level yang lebih baik agar pati terdegradasi atau hancur. Perlakuan dengan pemanasan gelombang mikro dua tahap terbukti lebih efektif dalam menghidrolisis pati dan serat daripada perlakuan pemanasan gelombang mikro satu tahap. Walaupun masih terdapat pati dan serat setelah proses hidrolisis, namun semua granula pati sudah hancur dan mengembang. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada penggunaan pemanasan gelombang mikro dua tahap, semakin banyak pati yang terdegradasi, ditandai dengan pengembangan pati dan serat. Pembengkakan ukuran yang merupakan perbesaran pori akibat iradiasi gelombang mikro dijelaskan oleh Warrand dan Janssen (2006), hilangnya kekuatan antar makro molekul disebabkan oleh gelombang mikro membuat bagian kristalin pada pati dan serat menjadi lebih amorf. Pada kondisi serat dan pati menjadi lebih amorf, maka katalis mampu menembus pori granula pati sehingga struktur pati mengembang. Energi panas menyebabkan hidrasi pada bagian amorf diikuti dengan distorsi dari bagian kristalin yang kemudian merusak struktur granular, dan pada saat energi panas semakin besar menyebabkan granula pati pecah. Pemanasan gelombang mikro pada tahap 1 (power level 30%) diduga dapat membuat pati sagu mengembang pada saat tergelatinisasi. Hal ini didukung oleh Karim et al. (2008) yang menyatakan suhu gelatinasi pati sagu sekitar o C. Power level 30% yang dikonversi dalam satuan energi (W), mengandung energi sekitar 350 W (Anonim 2010) dan tergolong rendah, sehingga dapat diasumsikan dengan penggunaan power level 30% mampu membuat granula pati sagu mengembang pada saat gelatinisasi. 34

6 Slurry sebelum pemanasan (0.3 M) A1B0 A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 Slurry sebelum pemanasan (0.5 M) A1B0 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 Keterangan: A: Konsentrasi asam (A1: 0.3 M, A2: 0.5M) B: Perlakuan pemanasan (B0: otoklaf (15`), B1: PL 70% (3`), B2: PL 30% (1`) + PL 70% (3`), B3: PL 30% (2`) + PL 70% (3`), B4: PL 30% (3`) + PL 70% (3`) Gambar 6. Penampakan mikroskopik empulur sagu sebelum dan setelah pemanasan menggunakan Mikroskop Cahaya terpolarisasi perbesaran 200x 35

7 Hidrolisis menggunakan otoklaf masih lebih efektif daripada menggunakan gelombang mikro dua tahap. Hidrolisis menggunakan otoklaf mampu mengubah sebagian besar pati yang ada pada bahan menjadi gula sederhana, terbukti pada Gambar 6 perlakuan pemanasan menggunakan otoklaf (A1B0 dan A2B0) sudah tidak terdapat granula pati ditandai dengan bagian ungu kebiruan telah memudar dan hilang. Selain itu serat juga ikut terputus-putus dan hancur. Walaupun pemanasan otoklaf memerlukan waktu yang relatif lama, namun dengan suhu yang tidak terlalu tinggi (121 o C) ditambah dengan adanya tekanan saat pemanasan, proses hidrolisis asam lebih terkontrol dalam menghasilkan gula sederhana dari komponen pati, sedangkan serat belum dapat terkonversi menjadi unit monomernya walaupun sebagian besar sudah mengembang dan terputus-putus. Selain pengamatan secara visual dan mikroskopik terhadap hidrolisat, perlu dilakukan juga analisa kuantitatif untuk melihat pengaruh perlakuan gelombang mikro dua tahap secara hidrolisis asam terhadap fermentable sugar yang dihasilkan. Analisa yang dilakukan meliputi analisa terhadap bobot residu, analisa gula, dan analisa filtrat seperti kejernihan filtrat, volume filtrat, HMF dan furfural. Analisa gula meliputi perhitungan total gula dan gula pereduksi, Dextrose equivalent (DE), dan Derajat polimerisasi (DP) untuk melihat kesempurnaan proses hidrolisis. Semua data hasil perlakuan terhadap empulur sagu diolah dengan menggunakan perhitungan statistik melalui software program SAS Dari hasil perhitungan statistik, untuk melihat homogenitas dari masing-masing perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan. Hampir seluruh parameter yang diamati pada perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap dengan variabel pembeda konsentrasi asam dan waktu hidrolisis pada power level 30%, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Namun, secara keseluruhan perlakuan gelombang mikro dua tahap menunjukkan perbedaan hasil terhadap pemanasan gelombang mikro satu tahap pada beberapa parameter. Sebagian besar hasil pengamatan parameter memperlihatkan perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap lebih baik daripada pemanasan gelombang mikro satu tahap. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan perlakuan pemanasan otoklaf, semua parameter menunjukkan perlakuan otoklaf jauh lebih baik dalam menghasilkan fermentable sugar dari empulur sagu daripada perlakuan gelombang mikro. Data hasil homogenitas dengan uji lanjut Duncan secara lengkap disajikan pada Lampiran 5. Untuk memudahkan pembacaan hasil homogenitas antar perlakuan, maka dilakukan penyimbolan pada data hasil pengolahan statistik. Penyimbolan ini dilakukan berdasarkan simbol hasil output uji lanjut Duncan. Data dengan simbol yang sama atau yang mengandung huruf yang sama dengan perlakuan lainnya, berarti perbedaan perlakuan tidak menunjukkan perbedaan hasil dilihat dari parameter tertentu. Nilai semua parameter dari hasil pengolahan statistik dengan uji lanjut Duncan disajikan secara tabulasi pada Tabel 8. Analisa residu dilakukan dengan menghitung bobot residu setelah proses hidrolisis. Untuk melihat efektivitas hidrolisis, pati dan serat yang tidak terhidrolisis terhitung sebagai bobot residu. Perlakuan dengan pemanasan gelombang mikro dua tahap terbukti lebih efektif dalam menurunkan bobot residu empulur sagu daripada perlakuan gelombang mikro satu tahap. Pada Tabel 8, perbedaan variabel konsentrasi asam menghasilkan bobot residu yang berbeda antara perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap dengan pemanasan gelombang mikro satu tahap. Pada konsentrasi asam yang lebih rendah (0.3 M), perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap mampu menurunkan nilai bobot residu sekitar % lebih tinggi daripada pemanasan gelombang mikro satu tahap. Namun, peningkatan konsentrasi asam menjadi 0.5 M tidak terlalu memperlihatkan perbedaan hasil dalam menurunkan bobot residu dari kedua perlakuan pemanasan gelombang mikro, yaitu hanya berbeda sekitar %. Hal ini menunjukkan dengan kombinasi konsentrasi asam yang lebih tinggi, perlakuan gelombang mikro satu tahap sama baiknya dengan pemanasan gelombang mikro dua tahap dalam menurunkan bobot residu. 36

8 Tabel 8. Nilai bobot residu, gula pereduksi, total gula, volume filtrat, kejernihan filtrat, DE, DP, HMF, dan furfural hasil hidrolisis asam dengan berbagai perlakuan pemanasan Perlakuan Bobot Residu (%) Gula Pereduksi (g/l) Total Gula (g/l) DE DP Volum Filtrat (ml) Kejernihan Filtrat (%T) HMF (mg/l) Furfural (mg/l) A1B ef b bac a 1.08 e b a 8.10 b 0.06 b A1B a e c f 3.63 a fe b 0.28 d 0.00 b A1B b de bc fed 3.32 ba fg a 0.45 d 0.00 b A1B c dce bc cbd 3.03 b g a 0.48 d 0.00 b A1B c dc bc b 2.49 dc h cb 0.63 cd 0.00 b A2B f a a a 1.05 e a a a 1.71 a A2B d de bc fe 3.46 ba c d 0.96 cd 0.04 b A2B d dce bac ced 3.06 b c c 1.46 c 0.05 b A2B ed c ba b 2.16 d dc cb 1.56 c 0.05 b A2B ed dc ba cb 2.74 c de d 1.88 c 0.06 b 24 37

9 Secara keseluruhan dapat dilihat semakin tinggi konsentrasi asam, semakin lama waktu hidrolisis, dan semakin besar energi panas dari gelombang mikro yang diterima bahan, semakin menurunkan bobot residu, ini artinya semakin banyak bahan yang terhidrolisis. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 8 nilai bobot residu yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan pada pemanasan gelombang mikro dua tahap mampu menurunkan bobot residu hingga 26.43%, sedangkan kombinasi perlakuan pada pemanasan gelombang mikro satu tahap bobot residu terkecil masih sebesar 30.62%. Walaupun masing-masing kombinasi perlakuan yang diberikan pada empulur sagu dengan gelombang mikro dua tahap dapat menurunkan nilai bobot residu, namun memperpanjang waktu satu menit pada proses hidrolisis tidak terlalu menurunkan nilai bobot residu secara signifikan. Kecenderungan penurunan nilai bobot residu dari kombinasi perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada Gambar 7. Bobot Residu (%) B0 B1 B2 B3 B4 Bobot Residu (%) B0 B1 B2 B3 B4 Perlakuan Pemanasan Perlakuan Pemanasan Keterangan: (a) (b) B: Perlakuan pemanasan B0: otoklaf (15`), B1: PL 70% (3`), B2: PL 30% (1`) + PL 70% (3`), B3: PL 30% (2`) + PL 70% (3`), B4: PL 30% (3`) + PL 70% (3`) Gambar 7. Nilai bobot residu pada kombinasi perlakuan pemanasan dan waktu pada konsentrasi asam 0.3 M (a) dan konsentrasi asam 0.5 M (b) Pada Gambar 7, semakin tinggi konsentrasi asam, semakin lama waktu hidrolisis dan semakin besar energi panas dari gelombang mikro, maka nilai bobot residu semakin kecil, demikian juga sebaliknya. Dengan demikian, nilai bobot residu dipengaruhi oleh konsentrasi asam, lama waktu pemanasan dan energi panas dari gelombang mikro yang diterima bahan. Semakin kecil nilai bobot residu, maka pati dan serat yang terdegradasi semakin banyak. Akan tetapi, nilai bobot residu hasil hidrolisis dengan pemanasan otoklaf jauh lebih kecil dibandingkan semua perlakuan pemanasan gelombang mikro, yaitu dapat menurunkan bobot residu hingga 20-24%. Hal ini menunjukkan hidrolisis menggunakan otoklaf masih lebih efektif daripada menggunakan gelombang mikro. Gula pereduksi dan total gula merupakan parameter penting yang diukur pada proses hidrolisis. Kedua parameter inilah yang mengindikasikan produk yang terbentuk. Gula pereduksi dan total gula dihitung dengan spektrofotometer yang merupakan fungsi dari absorbansi pada panjang gelombang 550 nm. Semakin tinggi absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer, maka semakin tinggi gula pereduksi dan total gula hidrolisat, demikian juga sebaliknya. Semakin tinggi gula pereduksi dan total gula yang ada pada hidrolisat, maka semakin baik untuk dijadikan substrat fermentasi etanol. 38

10 Gula pereduksi merupakan golongan gula yang dapat mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron, contohnya adalah glukosa dan fruktosa. Ujung dari suatu gula pereduksi adalah ujung yang mengandung gugus aldehida atau keton bebas. Semua monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa) dan disakarida (laktosa, maltosa), kecuali sukrosa dan pati (polisakarida), termasuk sebagai gula pereduksi (Lehninger 1982). Dari Tabel 8 terlihat bahwa perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap menghasilkan gula pereduksi lebih tinggi daripada pemanasan gelombang mikro satu tahap. Kombinasi perlakuan konsentrasi asam dan lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap menghasilkan gula pereduksi g/l, sedangkan kombinasi konsentrasi asam dengan lama waktu hidrolisis 3 menit pada pemanasan gelombang mikro satu tahap hanya menghasilkan gula pereduksi sebesar g/l. Dari hasil tersebut terlihat bahwa konsentrasi asam, waktu hidrolisis, dan besarnya energi gelombang mikro yang diberikan pada empulur sagu berpengaruh terhadap gula pereduksi. Semakin tinggi konsentrasi asam, semakin lama waktu hidrolisis, dan semakin besar energi gelombang mikro yang diterima empulur sagu, maka semakin tinggi gula pereduksi yang terbentuk. Konsentrasi asam yang lebih tinggi dan waktu hidrolisis yang lebih lama pada paparan energi panas dari gelombang mikro yang lebih besar mampu mendegradasi karbohidrat pada bahan, tidak hanya pati namun juga serat, dengan demikian diperoleh rendemen gula pereduksi yang lebih tinggi. Namun, variabel waktu pada konsentrasi asam yang lebih tinggi dengan pemanasan gelombang mikro dua tahap tidak selalu menghasilkan peningkatan gula pereduksi. Perubahan kecenderungan menurunnya jumlah gula pereduksi dengan semakin memperpanjang waktu hidrolisis dapat dilihat pada Gambar Gula Pereduksi (g/l) Gula Pereduksi (g/l) B0 B1 B2 B3 B4 0 B0 B1 B2 B3 B4 Perlakuan Pemanasan Perlakuan Pemanasan Keterangan: (a) (b) B: Perlakuan pemanasan B0: otoklaf (15`), B1: PL 70% (3`), B2: PL 30% (1`) + PL 70% (3`), B3: PL 30% (2`) + PL 70% (3`), B4: PL 30% (3`) + PL 70% (3`) Gambar 8. Nilai gula pereduksi pada kombinasi perlakuan pemanasan dan waktu pada konsentrasi asam 0.3 M (a) dan konsentrasi asam 0.5 M (b) Pada Gambar 8 terlihat kecenderungan yang berbeda bila dilihat dari variabel konsentrasi asam terhadap gula pereduksi yang dihasilkan. Pada konsentrasi asam yang lebih rendah (0.3 M) kecenderungan gula pereduksi semakin meningkat jumlahnya seiring lamanya waktu hidrolisis pada 46

11 pemanasan gelombang mikro dua tahap. Namun, penggunaan asam yang lebih tinggi (0.5 M), saat jumlah gula pereduksi yang dihasilkan sudah banyak, perpanjangan waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap justru mengurangi jumlah gula pereduksi. Hal ini diduga telah terjadinya dekomposisi produk (gula sederhana) yang sudah terbentuk menjadi inhibitor seperti hidroksimetilfurfural (HMF) dan furfural pada suhu yang sangat tinggi. Jadi, dapat dikatakan pemakaian konsentrasi asam memiliki waktu optimum untuk menghasilkan gula pereduksi pada suhu yang tinggi. Hal ini seperti yang dijelaskan Mussatto dan Roberto (2004), bahwa konsentrasi asam dan suhu reaksi merupakan variabel penting yang dapat mempengaruhi terbentuknya senyawasenyawa yang bersifat racun pada proses fermentasi. Suhu moderat (kurang dari 160 o C) harus dijaga untuk dapat menghidrolisis pati dan menekan dekomposisi gula sederhana. Suhu yang lebih tinggi akan mempermudah dekomposisi gula sederhana dan senyawa lignin. Pada suhu dan tekanan tinggi, glukosa dan xilosa akan terdegradasi menjadi hidroksimetilfurfural (HMF) dan furfural. Pemanasan gelombang mikro dua tahap belum mampu menghasilkan jumlah gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan pemanasan otoklaf. Gula pereduksi yang diperoleh dari pemanasan otoklaf mencapai g/l, hal ini menunjukkan bahwa hidrolisis menggunakan otoklaf masih lebih efektif daripada menggunakan gelombang mikro dalam menghasilkan gula pereduksi yang lebih tinggi. Selain gula pereduksi, dalam proses hidrolisis juga terbentuk gula non-pereduksi. Kedua jenis gula tersebut dinyatakan dengan total gula. Analisis total gula dilakukan untuk melihat jumlah gula secara keseluruhan di dalam suatu hidrolisat. Perlakuan dengan kombinasi konsentrasi asam yang lebih tinggi dan waktu hidrolisis yang lebih lama pada perlakuan gelombang mikro dua tahap menghasilkan total gula yang lebih tinggi daripada perlakuan gelombang mikro satu tahap dalam menghidrolisis empulur sagu. Proses hidrolisis pada kombinasi perlakuan konsentrasi asam yang tinggi, waktu kontak yang lebih lama, dan energi gelombang mikro yang lebih besar mampu mengkonversi pati dan serat dalam jumlah yang lebih banyak. Hal ini terbukti dari nilai total gula yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan pada penggunaan pemanasan gelombang mikro dua tahap mampu menghasilkan total gula g/l, sedangkan kombinasi perlakuan pada penggunaan pemanasan gelombang mikro satu tahap nilai total gula tertinggi hanya sebesar g/l. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa konsentrasi asam, waktu hidrolisis dan besarnya energi yang diterima empulur sagu dari pemanasan gelombang mikro dua tahap berpengaruh terhadap total gula yang terbentuk. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap, semakin tinggi kemampuannya untuk mengkonversi polisakarida menjadi gula sederhana, sehingga total gula semakin tinggi, demikian juga sebaliknya. Walaupun masing-masing kombinasi perlakuan yang diberikan pada empulur sagu dengan gelombang mikro dua tahap dapat meningkatkan jumlah total gula, namun perpanjangan waktu satu menit pada proses hidrolisis tidak dapat meningkatkan jumlah total gula hidrolisat secara signifikan. Nilai total gula yang terbentuk memiliki kecenderungan yang sama dengan gula pereduksi. Pada konsentrasi asam yang lebih tinggi (0.5 M) perpanjangan waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap justru menurunkan total gula yang sudah terbentuk akibat terjadinya dekomposisi gula pada keadaan asam dan suhu yang tinggi. Dekomposisi gula tersebut menghasilkan produk samping berupa HMF dan furfural. Pada Tabel 8, jumlah total gula tertinggi yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan pada pemanasan gelombang mikro dua tahap tidak jauh berbeda dengan pemanasan otoklaf. Hal ini menunjukkan perlakuan kombinasi konsentrasi asam dan lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap lebih efektif dan efisien dalam menghidrolisis pati daripada pemanasan 47

12 otoklaf. Jumlah gula yang sama dihasilkan hanya dalam waktu total 5 menit pada pemanasan gelombang mikro dua tahap, sedangkan 15 menit pada pemanasan otoklaf. Kesempurnaan proses hidrolisis tergambar dari nilai Dekstrose Equivalent (DE) yang menyatakan nilai total pereduksi pati atau produk modifikasi pati. Semakin tinggi nilai DE, maka semakin sempurna proses hidrolisis yang terjadi. Nilai DE tertinggi adalah 100 yang berarti 100% hidrolisis berupa gula pereduksi atau glukosa. Proses hidrolisis pada kombinasi perlakuan konsentrasi asam yang tinggi, waktu kontak yang lebih lama, dan energi gelombang mikro yang lebih besar mampu mengkonversi pati dan serat dalam jumlah yang lebih banyak. Hal ini terbukti dari nilai DE yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan pada penggunaan pemanasan gelombang mikro dua tahap sebesar , sedangkan kombinasi perlakuan pada penggunaan pemanasan gelombang mikro satu tahap nilai DE hanya sebesar Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa konsentrasi asam, waktu hidrolisis dan besarnya energi yang diterima empulur sagu dari pemanasan gelombang mikro dua tahap berpengaruh terhadap nilai DE. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap, semakin tinggi kemampuannya untuk mengkonversi polisakarida menjadi gula sederhana, sehingga nilai DE semakin tinggi, demikian juga sebaliknya. Walaupun masing-masing kombinasi perlakuan yang diberikan pada empulur sagu dengan gelombang mikro dua tahap dapat meningkatkan nilai DE, namun perpanjangan waktu satu menit pada proses hidrolisis tidak dapat meningkatkan nilai DE secara signifikan. Oleh karena proses hidrolisis yang terjadi pada perlakuan otoklaf lebih sempurna dalam menghasilkan gula sederhana, maka nilai DE jauh lebih besar dibandingkan perlakuan pemanasan gelombang mikro, yaitu Tingginya nilai DE pada perlakuan pemanasan otoklaf karena waktu hidrolisis yang lama (15 menit) akan membuat sebagian besar pati dan serat mampu dipecah menjadi gula-gula sederhana. Hal ini mengikuti teori hidrolisa yang mengatakan bahwa terdapat kecenderungan seiring dengan bertambahnya waktu maka nilai DE juga akan semakin naik karena semakin lama waktu hidrolisa, maka semakin banyak pula bahan yang terhidrolisa (Griffin dan Brooks 1989). Menurut Kuntz (1997), DE berhubungan dengan Derajat Polimerisasi (DP). DP menyatakan jumlah unit monomer dalam satu molekul. Semakin rendah nilai DP, maka semakin sempurna proses hidrolisis yang terjadi karena sebagian besar polimer telah terhidrolisis menjadi monomer (DP=1). Dari kombinasi perlakuan yang diberikan pada proses hidrolisis empulur sagu, nilai DP yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap mampu mencapai DP = 2.16, sedangkan kombinasi perlakuan pada penggunaan pemanasan gelombang mikro satu tahap nilai DP = Jenis gula sederhana yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan konsentrasi asam dan waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap masih berbentuk oligosakarida. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa konsentrasi asam, waktu hidrolisis dan besarnya energi yang diterima empulur sagu dari pemanasan gelombang mikro dua tahap berpengaruh terhadap nilai DP. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap, semakin tinggi kemampuannya untuk mengkonversi polisakarida menjadi gula-gula sederhana, sehingga nilai DP semakin rendah, demikian juga sebaliknya. Walaupun masing-masing kombinasi perlakuan yang diberikan pada empulur sagu dengan gelombang mikro dua tahap dapat menurunkan nilai DP, namun peningkatan waktu satu menit pada proses hidrolisis tidak dapat menurunkan nilai DP secara signifikan. Oleh karena proses hidrolisis yang terjadi pada perlakuan otoklaf lebih sempurna dalam menghasilkan gula-gula sederhana, maka nilai DP perlakuan pemanasan otoklaf jauh lebih rendah dibandingkan perlakuan pemanasan gelombang mikro, yaitu Kecilnya nilai DP pada perlakuan pemanasan otoklaf disebabkan waktu hidrolisis yang lama (15 menit) membuat sebagian besar pati dan serat mampu dipecah menjadi gula sederhana. 48

13 Banyak faktor yang menyebabkan proses hidrolisis dari perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap ini tidak menghasilkan DP terendah yang artinya sebagian besar gulanya belum berbentuk monomer (glukosa). Salah satu faktor yang menyebabkan masih tingginya nilai DP adalah tingginya kadar lignin sehingga menghambat proses hidrolisis meskipun telah diberi perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap. Selain itu, besarnya ukuran partikel bahan (35 mesh) membuat katalis asam belum mampu sepenuhnya memecah polimer karbohidrat empulur sagu pada pemanasan gelombang mikro. Hal ini seperti yang dijelaskan Jamil et al. (2010), gelombang mikro dapat membantu proses pemanasan material tidak hanya bergantung pada muatan dielektrik bahan, tetapi juga ketebalan atau ukuran bahan agar proses perpindahan panas lebih merata. Faktor lainnya adalah terbentuknya HMF dari degradasi monomer (glukosa) sehingga mengurangi jumlah gula sederhana yang sudah terbentuk akibat hidrolisis menggunakan asam pada suhu yang tinggi. Volume filtrat merupakan salah satu parameter yang dianggap penting dalam proses hidrolisis karena dapat menggambarkan rendemen produk walaupun belum tentu mencerminkan jumlah gula yang ada di dalamnya. Pada Tabel 8 terlihat perbedaan volume filtrat yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan asam dan waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap dengan pemanasan gelombang mikro satu tahap. Volume filtrat yang dihasilkan dari perlakuan gelombang mikro dua tahap adalah ml, sedikit lebih rendah daripada pemanasan gelombang mikro satu tahap, yaitu ml. Hal ini disebabkan karena energi yang besar diterima bahan pada pemanasan gelombang mikro dua tahap menyebabkan penguapan yang tinggi. Volume filtrat dipengaruhi oleh penguapan akibat lamanya pemanasan dan kelarutan komponen bahan terutama pati dan serat di dalam larutan. Kecenderungan penurunan volume filtrat yang diperoleh dari perlakuan gelombang mikro dua tahap dapat dilihat pada Gambar Volume Filtrat (ml) B0 B1 B2 B3 B4 Volume Filtrat (ml) B0 B1 B2 B3 B4 Perlakuan Pemanasan Perlakuan Pemanasan (a) (b) Keterangan: B: Perlakuan pemanasan B0: otoklaf (15`), B1: PL 70% (3`), B2: PL 30% (1`) + PL 70% (3`), B3: PL 30% (2`) + PL 70% (3`), B4: PL 30% (3`) + PL 70% (3`) Gambar 9. Nilai volume filtrat pada kombinasi perlakuan pemanasan dan waktu pada konsentrasi asam 0.3 M (a) dan konsentrasi asam 0.5 M (b) Dari Gambar 9 terlihat semakin lama waktu pemanasan pada perlakuan gelombang mikro dua tahap, maka semakin sedikit volume filtrat yang dihasilkan, hal ini disebabkan oleh waktu pemanasan yang lama mengakibatkan penguapan yang terjadi cukup besar. Pada konsentrasi asam yang lebih tinggi, kemampuan asam menghidrolisis pati dan serat lebih besar dibandingkan konsentrasi asam 49

14 rendah. Swift (2002) menyatakan bahwa sifat kelarutan komponen serat dalam air bergantung pada ph, semakin rendah ph semakin mudah larut. Nilai kelarutan serat juga dipengaruhi oleh jumlah komponen penyusun serat pangan yang larut. Kelarutan serat menunjukkan sifat daya larut partikelpartikel serat. Peningkatan konsentrasi asam pada proses hidrolisis akan meningkatkan degradasi molekul polisakarida menjadi partikel yang lebih kecil sehingga lebih mudah larut. Menurut Gong (1981), kelarutan tergantung pada suhu, tekanan, konsentrasi bahan lain dalam larutan dan komposisi kelarutannya. Berdasarkan kelarutan dalam air, serat pangan terbagi dua yaitu serat larut dan tidak larut. Struktur dominan selulosa berupa kristal adalah bagian yang bersifat sukar larut sedangkan bagian lain berupa non-kristal lebih mudah larut. Semakin banyak partikel yang larut di dalam air atau larutan asam, maka semakin sedikit jumlah air yang terikat pada residu, dengan demikian volume filtrat yang dihasilkan lebih besar. Jadi dapat dikatakan bahwa kelarutan bahan berdasarkan konsentrasi asam berhubungan erat dengan bobot residu dan volume filtrat yang dihasilkan. Semakin mudah bahan larut, maka semakin kecil bobot residu dan semakin tinggi volume filtrat yang dihasilkan dari proses hidrolisis, demikian pula sebaliknya. Kecenderungan berkurangnya volume filtrat dengan semakin lamanya waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap tidak terjadi pada perlakuan pemanasan otoklaf. Volume filtrat yang dihasilkan pada perlakuan pemanasan otoklaf mampu mencapai ml. Walaupun waktu hidrolisis dengan menggunakan otoklaf jauh lebih lama, yaitu 15 menit, namun volume filtrat yang dihasilkan sangat tinggi, hal ini disebabkan oleh pada pemanasan otoklaf tidak terjadi penguapan, selain itu proses hidrolisis yang sempurna menyebabkan bagian terlarut pada bahan lebih banyak yang akhirnya meningkatkan volume filtrat yang dihasilkan. Tingkat kejernihan filtrat dinyatakan dengan nilai transmitan (%T) yang diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 650 nm. Kejernihan filtrat merupakan fungsi dari nilai transmitan. Semakin besar nilai transmitan, maka semakin jernih filtrat karena hampir mendekati kejernihan air (100%). Kombinasi perlakuan konsentrasi asam dan waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap menghasilkan nilai kejernihan filtrat tertentu. Kejernihan filtrat dipengaruhi oleh partikel tidak terlarut dan komponen degradasi gula (HMF dan furfural) pada hidrolisat. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap akan mengurangi jumlah partikel tidak terlarut pada bahan, akan tetapi meningkatkan jumlah produk inhibitor seperti HMF dan furfural akibat degradasi gula sehingga menyebabkan perubahan warna filtrat menjadi kecoklatan. Warna yang semakin kecoklatan ini menyebabkan nilai kejernihan sirup menjadi rendah saat dibaca dengan spektrofotometer, hal ini terbukti dari nilai kejernihan filtrat pada pemanasan gelombang mikro dua tahap semakin meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis. Konsentrasi asam yang tinggi dan waktu hidrolisis yang lama pada pemanasan gelombang mikro dua tahap menyebabkan partikel tidak terlarut menjadi berkurang, namun saat waktu hidrolisis diperpanjang terjadi penurunan kejernihan filtrat, hal ini disebabkan oleh jumlah bahan inhibitor akibat degradasi gula meningkat yang pada akhirnya membuat filtrat berwarna lebih gelap (tidak jernih). Adanya perubahan warna dari faktor konsentrasi asam dan waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap diduga karena sebagian besar pati dan serat telah larut dan terkonversi menjadi gula sederhana. Selain itu, warna filtrat yang semakin kecoklatan menunjukkan telah terbentuknya produk samping atau inhibitor. Winarno (1995) menyebutkan bahwa warna coklat pada filtrat dapat disebabkan oleh reaksi antara gula pereduksi dengan senyawa nitrogen (reaksi Maillard). Hasil reaksi Maillard gula pentosa menghasilkan furfural dan gula heksosa menghasilkan 50

15 hidroksimetilfurfural (HMF) yang berwarna coklat. Filtrat berwarna kuning kecoklatan mengindikasikan terdapatnya senyawa HMF dan furfural. Pada Tabel 8, nilai kejernihan filtrat dari perlakuan otoklaf masih lebih tinggi dibandingkan dengan pemanasan gelombang mikro, yaitu mencapai 89.85%, hal ini berarti perlakuan otoklaf mampu menurunkan partikel tidak terlarut pada empulur sagu jauh lebih tinggi daripada HMF dan furfural yang dihasilkan. Tidak demikian yang terjadi pada perlakuan gelombang mikro, proses hidrolisis yang terjadi belum sempurna mengakibatkan partikel tidak terlarut seperti oligosakarida pada filtrat lebih banyak. Dengan banyaknya partikel tidak terlarut pada filtrat mengakibatkan kejernihan filtrat berkurang walaupun jumlah HMF dan furfural yang juga mengakibatkan kekeruhan pada filtrat jumlahnya sedikit. Hidrolisis yang dilakukan dengan menggunakan asam memiliki kekurangan jika dilihat dari produk yang dihasilkan. Perlakuan asam dengan suhu yang tinggi dapat menimbulkan produk samping yang merupakan produk inhibitor pada saat proses fermentasi. Salah satu inhibitor tersebut adalah hidroksimetilfurfural (HMF). HMF merupakan senyawa yang dihasilkan dari dekomposisi glukosa, galaktosa dan manosa. Senyawa ini merupakan inhibitor dalam proses fermentasi karena dapat menghalangi proses konversi glukosa menjadi etanol. Pada penelitian ini, HMF yang terbentuk dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap menghasilkan HMF yang semakin meningkat, dan nilainya lebih tinggi daripada hidrolisat perlakuan pemanasan gelombang mikro satu tahap. Perlakuan dengan pemanasan gelombang dua tahap menghasilkan nilai HMF tertinggi 1.88 mg/l, sedangkan perlakuan gelombang mikro satu tahap hanya 0.96 mg/l. Walaupun terjadi peningkatan HMF pada pemanasan gelombang mikro dua tahap, namun kombinasi dengan konsentrasi asam dan perpanjangan waktu hidrolisis satu menit tidak menyebabkan nilai HMF meningkat secara signifikan. Nilai HMF pada perlakuan otoklaf jauh lebih besar dibandingkan dengan perlakuan gelombang mikro, yaitu mencapai mg/l, hal ini disebabkan karena hidrolisis dengan menggunakan otoklaf memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan gelombang mikro. Semakin lama waktu hidrolisis, maka semakin banyak HMF yang terbentuk karena waktu yang lebih lama membuat semakin banyak gula sederhana yang terdekomposisi menjadi HMF. Menurut Purwadi (2006), HMF dihasilkan dari degradasi berbagai jenis gula seperti manosa, galaktosa dan glukosa. Reaksi pembentukan HMF dijelaskan oleh Fennema (1985), yaitu terjadi pembentukan produk antara pada reaksi dehidrasi intramolekular, yaitu 3-deoksioson, bentukan dari D-glukosa. Reaksi β-eliminasi diteruskan dengan bentuk enol pada 3-deoksiglukoson. Cis-3.4-ene gula selanjutnya mengalami perputaran cincin dan dehidrasi untuk menghilangkan HMF. Selain HMF, produk inhibitor akibat dekomposisi gula adalah furfural. Furfural merupakan dekomposisi gula dari xilosa. Furfural sama halnya dengan senyawa HMF, furfural merupakan senyawa inhibitor dalam proses fermentasi. Dari Tabel 8 terlihat adanya kecenderungan semakin tingginya jumlah furfural yang terbentuk akibat semakin banyaknya gula pentosa yang terdekomposisi. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap, semakin banyak jumlah furfural yang terbentuk, hal ini disebabkan oleh konsentrasi asam yang lebih tinggi dan waktu hidrolisis yang lama pada penerimaan energi panas yang lebih besar akan lebih cepat mendegradasi gula-gula sederhana sehingga lebih banyak furfural yang terbentuk. Perlakuan yang menghasilkan furfural tertinggi adalah dengan pemanasan otoklaf, yaitu sebesar 1.71 mg/l, sedangkan beberapa perlakuan pada konsentrasi asam 0.3 M tidak menghasilkan furfural. Oleh karena adanya proses penetralan dengan basa, maka proses pembentukan furfural dapat dihambat atau bahkan dihentikan sama sekali seperti perlakuan dengan menggunakan 51

16 asam 0.3 M. Peningkatan ph bertujuan untuk menghambat pembentukan produk inhibitor karena produk inhibitor hanya terjadi pada tingkat keasaman yang tinggi. Dari jumlah HMF dan furfural yang terbentuk pada fermentable sugar, masih terlalu kecil untuk mempengaruhi proses fermentasi. Nigam (2001) dalam Mussato dan Roberto (2004) menemukan bahwa konsentrasi furfural sebesar 0.25 g/l dalam media fermentasi tidak cukup untuk mengurangi produksi etanol, tetapi konsentrasi setinggi 1.5 g/l dapat mengganggu respirasi dan pertumbuhan mikroorganisme sehingga produksi etanol menurun. Efek inhibisi furfural dan HMF berbeda terhadap pertumbuhan khamir, yaitu furfural lebih menghambat dibandingkan dengan HMF. Furfural dengan konsentrasi 1 g/l dalam substrat fermentasi sudah menghambat enzim-enzim mikroba untuk menghasilkan etanol seperti alkohol dehidrogenasi, aldehid dehidrogenasi dan piruvat dehidrogenasi, sedangkan HMF pada konsentrasi 2 g/l (Modig et al. 2002). Pembentukan jumlah HMF jauh lebih banyak daripada furfural baik pada perlakuan pemanasan gelombang mikro maupun otoklaf. Hal ini disebabkan karena empulur sagu memang sebagian besar terdiri dari pati, yaitu sebesar 55.86%. Oleh karena kandungan pati lebih tinggi daripada serat, terutama hemiselulosa yang dapat terdiri dari monomer xilosa, maka peluang pembentukan HMF dari dekomposisi glukosa memang lebih tinggi daripada dekomposisi xilosa yang menghasilkan furfural. Dari semua perlakuan, jumlah HMF dan furfural yang terdapat dalam hidrolisat masih tergolong kecil, hal ini disebabkan karena penetralan yang dilakukan dengan penambahan basa. Hidrolisis asam memiliki kisaran ph , sehingga dengan penambahan basa, ph menjadi lebih tinggi. Tingginya ph menghambat terjadinya dekomposisi gula karena dekomposisi gula hanya terjadi pada tingkat keasaman dan suhu yang tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yu et al. (1996), penetralan (detoksifikasi) bertujuan agar hidrolisat yang dihasilkan mempunyai kandungan inhibitor yang lebih kecil dan bertujuan untuk mengatur ph agar tidak mengganggu pertumbuhan mikroba pada proses fermentasi pembentukan etanol. 4.3 PRODUKSI BIOETANOL Substrat yang dipakai untuk proses fermentasi etanol diperoleh dari empulur sagu yang dihidrolisis secara asam. Oleh karena proses hidrolisis dilakukan dengan menggunakan katalis asam H 2 SO 4, maka ph substrat sangat rendah, berkisar antara ph Kelebihan proses hidrolisis secara asam dalam menghasilkan substrat untuk fermentasi etanol adalah tidak perlu melewati tahapan sterilisasi substrat sebelum fermentasi. Proses sterilisasi hanya diperlukan untuk substrat yang rentan terhadap perusakan gula oleh mikroba, sedangkan kondisi substrat yang sangat asam membuat mikroba perombak gula pada umumnya tidak dapat tumbuh. Oleh karena itu, proses hidrolisis secara asam untuk menghasilkan fermentable sugar berpotensi untuk mengembangkan sistem produksi bioetanol yang tidak memerlukan kondisi steril, dengan demikian dapat menekan penggunaan energi dalam menghasilkan etanol. Penentuan substrat dari perlakuan terbaik pada penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah gula pereduksi dan total gula serta jumlah HMF karena tahapan hidrolisis dilakukan secara asam. Dari hasil karakterisasi terhadap hidrolisat (produk), maka perlakuan hidrolisis pada konsentrasi asam 0.5 M dengan pemanasan gelombang mikro Tahap 1 pada power level 30% (2`) yang dilanjutkan dengan gelombang mikro Tahap 2 pada power level 70% (3`) terpilih sebagai perlakuan terbaik karena dari kombinasi perlakuan tersebut menghasilkan gula pereduksi, total gula dan DE tertinggi dibandingkan perlakuan gelombang mikro dua tahap lainnya dan merupakan 52

17 perlakuan yang menghasilkan DP terendah walaupun belum mencapai 1. Hidrolisat dari kombinasi perlakuan terbaik ini selanjutnya digunakan sebagai substrat untuk produksi etanol. Pada tahap fermentasi, selain jenis gula yang menjadi penentu utama keberhasilan dalam memproduksi etanol, jenis mikroba juga merupakan salah faktor utama yang menjadi perhatian. Oleh karena hidrolisat yang diperoleh untuk substrat fermentasi adalah dari hidrolisis secara asam, maka dipilih jenis mikroba yang dapat memproduksi etanol pada ph rendah. Tujuannya agar tidak perlu dilakukan penetapan ph yang terlalu tinggi, sehingga penambahan basa untuk meningkatkan ph dapat dikurangi. Penambahan basa yang terlalu tinggi untuk menaikkan ph dapat meningkatkan jumlah garam pada substrat yang dapat menghambat proses fermentasi. Dengan demikian, pemilihan mikroba yang tahan terhadap ph rendah pada substrat yang diperoleh dari hidrolisis secara asam dinilai lebih efisien. Fermentasi yang dilakukan untuk menghasilkan etanol pada penelitian ini adalah dengan menggunakan khamir, yaitu Issatchenkia orientalis. Substrat yang digunakan pada tahap fermentasi adalah hidrolisat (sirup) dari perlakuan terbaik yang diatur phnya dengan tujuan untuk mengetahui ph optimal pertumbuhan I. orientalis dalam memproduksi etanol. Adapun pengaturan ph yang dilakukan adalah ph 3, ph 4 dan ph 5 dengan menambahkan amoniak (NH 4 OH). Selain sirup dari perlakuan gelombang mikro tersebut digunakan juga sirup dari hidrolisis dengan otoklaf sebagai pembanding dan sirup glukosa teknis sebagai kontrol. Sirup glukosa teknis dibuat dengan konsentrasi 10% dan ditambahkan pupuk NPK dan ZA sebagai sumber nitrogen, sedangkan sirup dari perlakuan gelombang mikro dan otoklaf tidak perlu ditambahkan pupuk NPK dan ZA karena sumber nitrogen sudah didapatkan dari pengaturan ph menggunakan amoniak (NH 4 OH). Dalam larutan, NH 4 OH akan terurai menjadi NH 3 dan H 2 O. NH 3 selanjutnya akan bereaksi dengan asam sulfat menghasilkan garam (NH 4 ) 2 SO 4. Selain unsur karbon, mikroorganisme juga membutuhkan unsur nitrogen sebagai nutrisi untuk pertumbuhannya. Sumber nitrogen untuk fermentasi pada penelitian ini diperoleh dari pembentukan amonium sulfat akibat penambahan amoniak. Pemilihan amoniak untuk menghasilkan amonium sulfat sebagai sumber nitrogen didasari oleh penelitian yang dilakukan Renilaili (2011), yang menyebutkan bahwa jenis sumber nitrogen yang paling optimal dalam fermentasi adalah (NH 4 ) 2 SO 4. Untuk mengetahui jumlah nitrogen yang terdapat pada masing-masing sirup yang telah diatur phnya dengan penambahan amoniak, maka dilakukan uji kadar protein kasar. Melalui uji protein ini dapat diketahui kadar nitrogen pada sirup karena pada prinsipnya analisa protein kasar menggunakan asam sulfat pekat dengan katalisator, sehingga dapat memecah ikatan N organik dalam bahan menjadi ammonium sulfat, kecuali ikatan N; NO; dan NO 2. Ammonium sulfat dalam suasana basa akan melepaskan NH 3. Senyawa NH 3 yang dilepaskan diikat kembali oleh H 2 SO 4 membentuk ammonium sulfat. Selanjutnya asam borat akan menangkap semua N yang terdistilasi untuk kemudian dititrasi dengan H 2 SO 4 (Renilaili 2011). Reaksi yang terbentuk adalah sebagai berikut. 2 NH H 2 SO 4 (NH 4 ) 2 SO 4 + H 2 SO 4 Pengaturan ph yang dilakukan pada substrat perlakuan gelombang mikro dua tahap terbaik menghasilkan nilai nitrogen yang berbeda-beda. Semakin tinggi ph yang diinginkan, maka penambahan basa (amoniak) semakin banyak, sehingga kadar nitrogen yang terukur semakin tinggi. Kadar nitrogen dari masing-masing substrat disajikan pada Tabel 9. 53

HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI EMPULUR SAGU

HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI EMPULUR SAGU IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI EMPULUR SAGU Bahan baku empulur sagu yang didapat dari industri rakyat di daerah Cimahpar masih dalam keadaan berkadar air cukup tinggi yaitu 17.9%. Untuk itu, empulur

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu 1. Analisa Proksimat a. Kadar Air (AOAC 1999) Sampel sebanyak 2 g ditimbang dan ditaruh di dalam cawan aluminium yang telah diketahui

Lebih terperinci

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 21 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Ubi kayu merupakan salah satu hasil pertanian dengan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pembuatan etanol. Penggunaan

Lebih terperinci

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO 75 7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO 7.1 Pendahuluan Aplikasi pra-perlakuan tunggal (biologis ataupun gelombang

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup.

BAB I PENDAHULUAN. Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Jumlah energi yang dibutuhkan akan meningkat seiring berjalannya waktu dan meningkatnya jumlah penduduk.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Jagung digunakan sebagai salah satu makanan pokok di berbagai daerah di Indonesia sebagai tumbuhan yang kaya akan karbohidrat. Potensi jagung telah banyak dikembangkan menjadi berbagai

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. banyak jumlahnya. Menurut Basse (2000) jumlah kulit pisang adalah 1/3 dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. banyak jumlahnya. Menurut Basse (2000) jumlah kulit pisang adalah 1/3 dari 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kulit Pisang Kulit pisang merupakan bahan buangan (limbah buah pisang) yang cukup banyak jumlahnya. Menurut Basse (2000) jumlah kulit pisang adalah 1/3 dari buah pisang yang belum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra produksi pisang nasional.

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra produksi pisang nasional. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra produksi pisang nasional. Produksi pisang Provinsi Lampung sebesar 697.140 ton pada tahun 2011 dengan luas areal

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (AOAC, 1995)

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (AOAC, 1995) LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (AOAC, 1995) Cawan alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya akan diisi sebanyak 2 g sampel lalu ditimbang

Lebih terperinci

KARBOHIDRAT. Karbohidrat berasal dari kata karbon (C) dan hidrat atau air (H 2 O). Rumus umum karborhidrat dikenal : (CH 2 O)n

KARBOHIDRAT. Karbohidrat berasal dari kata karbon (C) dan hidrat atau air (H 2 O). Rumus umum karborhidrat dikenal : (CH 2 O)n KARBOHIDRAT Dr. Ai Nurhayati, M.Si. Februari 2010 Karbohidrat berasal dari kata karbon (C) dan hidrat atau air (H 2 O). Rumus umum karborhidrat dikenal : (CH 2 O)n Karbohidrat meliputi sebagian zat-zat

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Analisis Kimia.1.1 Kadar Air Hasil analisis regresi dan korelasi (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jumlah dekstrin yang ditambahkan pada

Lebih terperinci

III METODOLOGI PENELITIAN

III METODOLOGI PENELITIAN 19 III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat 3.1.1 Bahan Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi kayu. Bahan kimia yang digunakan di dalam penelitian ini antara lain arang aktif

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Tepung Onggok Karakterisasi tepung onggok dapat dilakukan dengan menganalisa kandungan atau komponen tepung onggok melalui uji proximat. Analisis proximat adalah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Buah Kurma Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kurma dalam bentuk yang telah dikeringkan dengan kadar air sebesar 9.52%. Buah kurma yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. LIGNOSELULOSA Lignoselulosa merupakan bahan penyusun dinding sel tanaman yang komponen utamanya terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Demirbas, 2005). Selulosa adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tidak dapat diperbaharui) disebabkan oleh pertambahan penduduk dan

I. PENDAHULUAN. yang tidak dapat diperbaharui) disebabkan oleh pertambahan penduduk dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan kebutuhan energi (khususnya energi dari bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui) disebabkan oleh pertambahan penduduk dan peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan yang digunakan Kerupuk Udang. Pengujian ini adalah bertujuan untuk mengetahui kadar air dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Non Struktural Sifat Kimia Bahan Baku Kelarutan dalam air dingin dinyatakan dalam banyaknya komponen yang larut di dalamnya, yang meliputi garam anorganik, gula, gum, pektin,

Lebih terperinci

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN KARBOHIDRAT KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa, pentosa, maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pati,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. blender, ukuran partikel yang digunakan adalah ±40 mesh, atau 0,4 mm.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. blender, ukuran partikel yang digunakan adalah ±40 mesh, atau 0,4 mm. 30 4.1.Perlakuan Pendahuluan 4.1.1. Preparasi Sampel BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Proses perlakuan pendahuluan yag dilakukan yaitu, pengecilan ukuran sampel, pengecilan sampel batang jagung dilakukan

Lebih terperinci

Kimia Pangan ~ Analisis Karbohidrat ~

Kimia Pangan ~ Analisis Karbohidrat ~ Kimia Pangan ~ Analisis Karbohidrat ~ By. Jaya Mahar Maligan Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya 2014 Metode Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan bakar memiliki peran yang penting dalam kehidupan manusia. Krisis energi yang terjadi di dunia dan peningkatan populasi manusia sangat kontradiktif dengan kebutuhan

Lebih terperinci

KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA

KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA SKRIPSI Untuk Memenuhui sebagian persyaratan Guna mencapai

Lebih terperinci

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji Somogyi-Nelson pada substrat kulit buah kakao

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji Somogyi-Nelson pada substrat kulit buah kakao BAB 1V A. Hasil Uji Pendahuluan HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Pengukuran Kadar Gula Pereduksi Berdasarkan hasil uji Somogyi-Nelson pada substrat kulit buah kakao sebelum dan sesudah hidrolisis diperoleh

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

KARBOHIDRAT. Pendahuluan. Pertemuan ke : 3 Mata Kuliah : Kimia Makanan / BG 126

KARBOHIDRAT. Pendahuluan. Pertemuan ke : 3 Mata Kuliah : Kimia Makanan / BG 126 Pertemuan ke : 3 Mata Kuliah : Kimia Makanan / BG 126 Program Studi : Pendidikan Tata Boga Pokok Bahasan : Karbohidrat Sub Pokok Bahasan : 1. Pengertian karbohidrat : hasil dari fotosintesis CO 2 dengan

Lebih terperinci

KARBOHIDRAT. Sulistyani, M.Si

KARBOHIDRAT. Sulistyani, M.Si KARBOHIDRAT Sulistyani, M.Si sulistyani@uny.ac.id KONSEP TEORI Karbohidrat merupakan senyawa yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, dan oksigen yang terdapat di alam. Karbohidarat berasal dari kata

Lebih terperinci

PENENTUAN KADAR GULA METODE NELSON-SOMOGYI. Kelompok 8 Dini Rohmawati Nafisah Amira Nahnu Aslamia Yunus Septiawan

PENENTUAN KADAR GULA METODE NELSON-SOMOGYI. Kelompok 8 Dini Rohmawati Nafisah Amira Nahnu Aslamia Yunus Septiawan PENENTUAN KADAR GULA METODE NELSON-SOMOGYI Kelompok 8 Dini Rohmawati Nafisah Amira Nahnu Aslamia Yunus Septiawan Latar Belakang Tujuan: Menentukan kadar gula pereduksi dalam bahan pangan Prinsip: Berdasarkan

Lebih terperinci

Lampiran 1.Diagram alir penelitian proses produksi bioetanol dari hidrolisat fraksi selulosa pod kakao

Lampiran 1.Diagram alir penelitian proses produksi bioetanol dari hidrolisat fraksi selulosa pod kakao Lampiran 1.Diagram alir penelitian proses produksi bioetanol dari hidrolisat fraksi selulosa pod kakao Pod Kakao Pemotongan Pengeringan Penggilingan dengan hammer mill 40 mesh Ca(OH) 2 Degumming (12 jam)

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI)

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) Di Susun Oleh : Nama praktikan : Ainutajriani Nim : 14 3145 453 048 Kelas Kelompok : 1B : IV Dosen Pembimbing : Sulfiani, S.Si PROGRAM STUDI DIII ANALIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini meningkat. Pada tahun

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini meningkat. Pada tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini meningkat. Pada tahun 2010 pemakaian BBM sebanyak 388.241 ribu barel perhari dan meningkat menjadi 394.052 ribu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi yang ramah lingkungan. Selain dapat mengurangi polusi, penggunaan bioetanol juga dapat menghemat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI AWAL BAHAN Karakterisistik bahan baku daun gambir kering yang dilakukan meliputi pengujian terhadap proksimat bahan dan kadar katekin dalam daun gambir kering.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Saat ini persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin

I. PENDAHULUAN. Saat ini persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin menipis. Menurut data statistik migas ESDM (2009), total Cadangan minyak bumi Indonesia pada tahun 2009

Lebih terperinci

Uji Kualitatif Karbohidrat dan Hidrolisis Pati Non Enzimatis

Uji Kualitatif Karbohidrat dan Hidrolisis Pati Non Enzimatis Uji Kualitatif Karbohidrat dan Hidrolisis Pati Non Enzimatis Disarikan dari: Buku Petunjuk Praktikum Biokimia dan Enzimologi Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya

Lebih terperinci

02/12/2010. Presented by: Muhammad Cahyadi, S.Pt., M.Biotech. 30/11/2010 mcahyadi.staff.uns.ac.id. Kemanisan

02/12/2010. Presented by: Muhammad Cahyadi, S.Pt., M.Biotech. 30/11/2010 mcahyadi.staff.uns.ac.id. Kemanisan Presented by: Muhammad Cahyadi, S.Pt., M.Biotech Kemanisan Beberapa monosakarida dan oligosakarida memiliki rasa manis bahan pemanis Contoh: sukrosa (kristal), glukosa (dalam sirup jagung) dan dekstrosa

Lebih terperinci

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat Kualitas pektin dapat dilihat dari efektivitas proses ekstraksi dan kemampuannya membentuk gel pada saat direhidrasi. Pektin dapat membentuk gel dengan baik apabila pektin tersebut memiliki berat molekul,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. karena karbohidrat merupakan sumber kalori yang murah. Jumlah kalori yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. karena karbohidrat merupakan sumber kalori yang murah. Jumlah kalori yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Karbohidrat 1. Definisi karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hampir seluruh penduduk dunia, khususnya bagi penduduk negara yang sedang berkembang karena

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MENIR SEGAR Pengujian karakteristik dilakukan untuk mengetahui apakah bahan baku yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengolahan tepung menir pragelatinisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi permintaan. Artinya, kebijakan energi tidak lagi mengandalkan pada ketersediaan pasokan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara bagian tropis yang kaya akan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara bagian tropis yang kaya akan sumber daya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan negara bagian tropis yang kaya akan sumber daya alamnya terutama pada tanaman penghasil karbohidrat berupa serat, gula, maupun pati. Pada umumnya

Lebih terperinci

PERTEMUAN 2 PERCOBAAN KARBOHIDRAT TUGAS PRAKTIKUM : MENGIDENTIKASI LARUTAN SAMPEL, APAKAH TERMASUK MONO, DI ATAU POLISAKARIDA DAN APA JENISNYA.

PERTEMUAN 2 PERCOBAAN KARBOHIDRAT TUGAS PRAKTIKUM : MENGIDENTIKASI LARUTAN SAMPEL, APAKAH TERMASUK MONO, DI ATAU POLISAKARIDA DAN APA JENISNYA. PERTEMUAN 2 PERCOBAAN KARBOHIDRAT TUGAS PRAKTIKUM : MENGIDENTIKASI LARUTAN SAMPEL, APAKAH TERMASUK MONO, DI ATAU POLISAKARIDA DAN APA JENISNYA. PENDAHULUAN Karbohidrat disebut juga sakarida. Karbohidrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam berbagai industri seperti makanan, minuman, kosmetik, kimia dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam berbagai industri seperti makanan, minuman, kosmetik, kimia dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Asam laktat merupakan senyawa asam organik yang telah digunakan dalam berbagai industri seperti makanan, minuman, kosmetik, kimia dan farmasi. Asam laktat dapat dipolimerisasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki TINJAUAN PUSTAKA Ubi jalar ungu Indonesia sejak tahun 1948 telah menjadi penghasil ubi jalar terbesar ke empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki kandungan nutrisi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisa Proksimat Batang Sawit Tahapan awal penelitian, didahului dengan melakukan analisa proksimat atau analisa sifat-sifat kimia seperti kadar air, abu, ekstraktif, selulosa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskriptif Data Data hasil penelitian ini diperoleh melalui beberapa tahapan, sehingga menghasilkan bioetanol. Pada penelitian ini diawali dengan tahap pengumpulan kulit durian

Lebih terperinci

UJI KUALITATIF KARBOHIDRAT DAN PROTEIN

UJI KUALITATIF KARBOHIDRAT DAN PROTEIN UJI KUALITATIF KARBOHIDRAT DAN PROTEIN Molisch Test Uji KH secara umum Uji Molisch dinamai sesuai penemunya yaitu Hans Molisch, seorang ahli botani dari Australia. Prosedur Kerja : a. Masukkan ke dalam

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

Analisa Karbohidrat. Oleh: Ilzamha Hadijah Rusdan, S.TP., M.Sc

Analisa Karbohidrat. Oleh: Ilzamha Hadijah Rusdan, S.TP., M.Sc Analisa Karbohidrat Oleh: Ilzamha Hadijah Rusdan, S.TP., M.Sc Definisi Karbohidrat Turunan aldehida atau keton yang memiliki rumus umum (CH 2 O) n atau C n H 2n O n. Karbohidrat terbentuk dari sintesa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengkukusan kacang hijau dalam pembuatan noga kacang hijau.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengkukusan kacang hijau dalam pembuatan noga kacang hijau. IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini akan menjelaskan mengenai : (4.1) Penelitian Pendahuluan, dan (4.2) Penelitian Utama. 4.1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan lama

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989)

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) LAMPIRAN Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) Pereaksi 1. Larutan ADF Larutkan 20 g setil trimetil amonium bromida dalam 1 liter H 2 SO 4 1 N 2. Aseton Cara

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil analisis proksimat bahan uji sebelum dan sesudah diinkubasi disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis proksimat pakan uji ditunjukkan pada Tabel 3. Sementara kecernaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagian wilayah Asia. Khusus wilayah Asia, penghasil singkong terbesar adalah

BAB I PENDAHULUAN. sebagian wilayah Asia. Khusus wilayah Asia, penghasil singkong terbesar adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Singkong (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu hasil pertanian tanaman pangan di daerah tropika yang meliputi Afrika, Amerika Selatan, dan sebagian wilayah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber energi berbasis fosil (bahan bakar minyak) di Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk 23 tahun lagi dengan cadangan yang ada sekitar 9.1 milyar barel (ESDM 2006),

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur analisis

Lampiran 1. Prosedur analisis LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur analisis 1. Kadar air (AOAC 1995) Sebanyak 5 g sampel ditimbang dalam cawan aluminium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Cawan kemudian dikeringkan dalam oven

Lebih terperinci

PRODUKSI GULA REDUKSI DARI BAGASSE TEBU MELALUI HIDROLISIS ENZIMATIK MENGGUNAKAN CRUDE ENZYME SELULASE DAN XYLANASE

PRODUKSI GULA REDUKSI DARI BAGASSE TEBU MELALUI HIDROLISIS ENZIMATIK MENGGUNAKAN CRUDE ENZYME SELULASE DAN XYLANASE PRODUKSI GULA REDUKSI DARI BAGASSE TEBU MELALUI HIDROLISIS ENZIMATIK MENGGUNAKAN CRUDE ENZYME SELULASE DAN XYLANASE Penyusun: Charlin Inova Sitasari (2310 100 076) Yunus Imam Prasetyo (2310 100 092) Dosen

Lebih terperinci

KIMIA. Sesi BIOMOLEKUL L KARBOHIDRAT A. PENGGOLONGAN

KIMIA. Sesi BIOMOLEKUL L KARBOHIDRAT A. PENGGOLONGAN KIMIA KELAS XII IPA - KURIKULUM GABUNGAN 21 Sesi NGAN BIOMOLEKUL L KARBOHIDRAT Karbohidrat adalah kelompok senyawa aldehid dan keton terpolihidroksilasi yang tersusun dari atom C, H, dan O. Karbohidrat

Lebih terperinci

6 KINERJA HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM- GELOMBANG MIKRO PADA BAMBU BETUNG SETELAH PRA-PERLAKUAN GELOMBANG MIKRO

6 KINERJA HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM- GELOMBANG MIKRO PADA BAMBU BETUNG SETELAH PRA-PERLAKUAN GELOMBANG MIKRO 65 6 KINERJA HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM- GELOMBANG MIKRO PADA BAMBU BETUNG SETELAH PRA-PERLAKUAN GELOMBANG MIKRO 6.1 Pendahuluan Diantara berbagai jenis pra-perlakuan bahan berlignoselulosa untuk produksi

Lebih terperinci

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN rv. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kadar Air Rata-rata kadar air kukis sagu MOCAL dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil uji lanjut DNMRT terhadap kadar air kukis (%) SMO (Tepung sagu 100%, MOCAL 0%) 0,331"

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak

I. PENDAHULUAN. menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada masa sekarang produksi bahan bakar minyak (BBM) semakin menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak mentah nasional menipis produksinya.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari perombakan bahan organik oleh mikroba dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob). Bahan organik dapat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN 4.1.1. Analisis Kandungan Senyawa Kimia Pada tahap ini dilakukan analisis proksimat terhadap kandungan kimia yang terdapat dalam temulawak kering yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah TINJAUAN PUSTAKA Ampas Sagu Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar

Lebih terperinci

cincin ungu pada batas larutan fruktosa cincin ungu tua pada batas larutan glukosa cincin ungu tua pada batas larutan

cincin ungu pada batas larutan fruktosa cincin ungu tua pada batas larutan glukosa cincin ungu tua pada batas larutan HASIL DAN DATA PENGAMATAN 1. Uji molish warna cincin ungu pada batas larutan pati cincin ungu pada batas larutan arabinosa cincin ungu pada batas larutan fruktosa cincin ungu tua pada batas larutan glukosa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial Selulosa mikrobial kering yang digunakan pada penelitian ini berukuran 10 mesh dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

SIFAT DAN REAKSI MONOSAKARIDA DAN DISAKARIDA

SIFAT DAN REAKSI MONOSAKARIDA DAN DISAKARIDA AARA I SIFAT DAN REAKSI MONOSAKARIDA DAN DISAKARIDA A. PELAKSANAAN PRAKTIKUM 1. Tujuan praktikum : Mengidentifikasi jenis sakarida sesuai dengan jenis reaksinya 2. ari, tanggal praktikum : Sabtu, 29 Juni

Lebih terperinci

Asam laktat (%)= V1 N BE FP 100% V2 1000

Asam laktat (%)= V1 N BE FP 100% V2 1000 7 Sebanyak 1 ml supernatan hasil fermentasi dilarutkan dengan akuades menjadi 25 ml di dalam labu Erlenmeyer. Larutan ditambahkan 2-3 tetes indikator phenolftalein lalu dititrasi dengan larutan NaOH.1131

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Bahan Baku Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung tapioka merk ROSE BRAND". Dari hasil analisa bahan baku (AOAC,1998), diperoleh komposisi

Lebih terperinci

Kimia Pangan ~ Analisis Karbohidrat ~

Kimia Pangan ~ Analisis Karbohidrat ~ Kimia Pangan ~ Analisis Karbohidrat ~ By. Jaya Mahar Maligan Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya 2014 Metode Analisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengepresan (Abbas et al., 1985). Onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan

I. PENDAHULUAN. pengepresan (Abbas et al., 1985). Onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Industri tapioka merupakan salah satu industri yang cukup banyak menghasilkan limbah padat berupa onggok. Onggok adalah limbah yang dihasilkan pada poses pengolahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku utama dalam penelitian ini adalah tongkol jagung manis kering yang diperoleh dari daerah Leuwiliang, Bogor. Kapang yang digunakan untuk

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Substrat 1. Karakterisasi Limbah Tanaman Jagung Limbah tanaman jagung merupakan bagian dari tanaman jagung selain biji yang pemanfaatannya masih terbatas. Limbah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

SUPARJO Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Univ. Jambi PENDAHULUAN

SUPARJO Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Univ. Jambi PENDAHULUAN SUPARJO jatayu66@yahoo.com Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Univ. Jambi PENDAHULUAN P enyediaan bahan pakan pada hakekatnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ternak akan zat-zat makanan.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENGAMATAN I. Pengujian Secara Kualitatif 1. Uji Benedict 1 Glukosa Biru Muda Orange 2 Fruktosa Biru Muda Orange 3 Sukrosa Biru Muda Biru Muda 4 Maltosa Biru Muda Orange

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan Pragel Pati Singkong Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar berwarna putih. Rendemen pati yang dihasilkan adalah sebesar 90,0%.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar 123 kalori per 100 g bahan (Rukmana, 1997). Berdasarkan kandungan tersebut, ubi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin

I. PENDAHULUAN. Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin menipis seiring dengan meningkatnya eksploitasi manusia untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan bakar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketersediaan sumber bahan bakar fosil yang terus menipis mendorong para

BAB I PENDAHULUAN. Ketersediaan sumber bahan bakar fosil yang terus menipis mendorong para 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketersediaan sumber bahan bakar fosil yang terus menipis mendorong para peneliti untuk mengembangkan usaha dalam menanggulangi masalah ini diantaranya menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenang adalah salah satu hasil olahan dari tepung ketan. Selain tepung ketan, dalam pembuatan jenang diperlukan bahan tambahan berupa gula merah dan santan kelapa. Kedua bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pisang merupakan buah yang umum ditemui di Indonesia. Badan Pusat statistik mencatat pada tahun 2012 produksi pisang di Indonesia adalah sebanyak 6.189.052 ton. Jumlah

Lebih terperinci

III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 2014 bertempat di

III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 2014 bertempat di 31 III METODELOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 2014 bertempat di Laboratorium Kimia Fisik, Laboratorium Biomassa, Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Kayu BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada pra rancangan pabrik ini bahan baku yang digunakan adalah ubi kayu. Ubi kayu (Manihot Esculenta Crant) termasuk dalam kelas Eupharbiaceace, dapat ditanam pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sumber nitrogen pada ternak ruminansia berasal dari non protein nitrogen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sumber nitrogen pada ternak ruminansia berasal dari non protein nitrogen 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencernaan Nitrogen pada Ruminansia Sumber nitrogen pada ternak ruminansia berasal dari non protein nitrogen dan protein pakan. Non protein nitrogen dalam rumen akan digunakan

Lebih terperinci

ANALISIS. Analisis Zat Gizi Teti Estiasih

ANALISIS. Analisis Zat Gizi Teti Estiasih ANALISIS KARBOHIDRAT Analisis Zat Gizi Teti Estiasih 1 Definisi Ada beberapa definisi Merupakan polihidroksialdehid atau polihidroksiketon Senyawa yang mengandung C, H, dan O dengan rumus empiris (CH2O)n,

Lebih terperinci

Proses Pembuatan Madu

Proses Pembuatan Madu MADU PBA_MNH Madu cairan alami, umumnya berasa manis, dihasilkan oleh lebah madu dari sari bunga tanaman (floral nektar); atau bagian lain dari tanaman (ekstra floral nektar); atau ekskresi serangga cairan

Lebih terperinci

BIOETANOL DARI LIMBAH KULIT SINGKONG MELALUI PROSES HIDROLISIS SDAN FERMENTASI DENGAN N SACCHAROMYCES CEREVISIAE

BIOETANOL DARI LIMBAH KULIT SINGKONG MELALUI PROSES HIDROLISIS SDAN FERMENTASI DENGAN N SACCHAROMYCES CEREVISIAE BIOETANOL DARI LIMBAH KULIT SINGKONG MELALUI PROSES HIDROLISIS SDAN FERMENTASI DENGAN N SACCHAROMYCES C S CEREVISIAE Program Magister Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut

Lebih terperinci