ASIMETRI HARGA BERAS : STUDI KASUS 10 PROVINSI DI INDONESIA SELLY YANTY NANSYAH PUTRI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ASIMETRI HARGA BERAS : STUDI KASUS 10 PROVINSI DI INDONESIA SELLY YANTY NANSYAH PUTRI"

Transkripsi

1 ASIMETRI HARGA BERAS : STUDI KASUS 10 PROVINSI DI INDONESIA SELLY YANTY NANSYAH PUTRI DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Asimetri Harga Beras : Studi Kasus d 10 Provinsi di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2016 Selly Yanty Nansyah Putri NIM H

4 ABSTRAK SELLY YANTY NANSYAH PUTRI. Asimetri Harga Beras : Studi Kasus di 10 Provinsi di Indonesia. Dibimbing oleh Dr. SAHARA, S.P, M.Si Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pergerakan harga beras IR 64 dan asimetri harga antara produsen dengan konsumen di 10 provinsi Indonesia. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder bentuk time series bulanan periode yang diperoleh dari BPS. Menggunakan data harga GKP untuk beras di tingkat produsen dan harga beras eceran untuk tingkat konsumen. Metode yang digunakan adalah Error Correction Model (ECM). Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam jangka pendek transmisi harga beras konsumen terhadap harga beras produsen bersifat asimetris. Terjadi di 5 provinsi yaitu Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Sedangkan pada jangka panjang bersifat simetris di Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Kata kunci: Beras, Asimetri Harga, ECM ABSTRACT SELLY YANTY NANSYAH PUTRI. Asymmetry Rice Price : AStudy of 10 Provinces in Indonesia. Supervised by Dr. SAHARA, S.P, M.Si. This research examines price movement of rice IR 64 and price asymmetry between the producer anf the consumer in 10 provinces in Indonesia. Data for this study is a secondary data from BPS, monthly time series in period Using GKP price data of rice at the producer s level and retail price of rice at the consumer s level. The analytical tool on this research is Error Correction Model (ECM). The results show that in short term, transmission of consumer price on producer price is asymmetry. It happens on 5 provinces which are North Sumatra, Central Java, East Java, West Kalimantan and East Kalimantan. While in the long term, it is symmetry in North Sumatra,Central Java, East Java, NTB, West Kalimantan, Central Kalimantan and East Kalimantan. Keywords : Rice, Price asymmetric, ECM

5 ASIMETRI HARGA BERAS : STUDI KASUS D 10 PROVINSI DI INDONESIA SELLY YANTY NANSYAH PUTRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

6

7

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Manajemen IPB. Judul yang dipilih dalam penelitian adalah Asimetri Harga Beras : Studi Kasus Pada 10 Provinsi Di Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah memberikan bantuan, dukungan dan semangat bagi penulis yaitu: 1. Dr. Sahara S.P M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu dan membimbing penulis dengan sabar sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. 2. Dr. Widyastutik S.E M.Si dan Dr. Eka Puspitawati S.P M.Si sebagai dosen penguji yang telah menyumbangkan masukan yang sangat berharga dalam perkembangan skripsi 3. Orang tua, adik, serta keluarga yang selalu memberikan doa dan semangat. 4. Aminatus Sofiah, Novizariani Dewi dan Teguh Aditya selaku rekan sebimbingan dan seperjuangan penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 5. Ka Noratun J dan Ka Retno yang telah membantu memberikan masukan dalam penelitian. 6. Bambang Aji N, teman dekat penulis yang telah memberikan dukungan dan doa selama penulisan karya ilmiah ini 7. Sahabat penulis, Shelvy Y, Indah KJE, Gisa R, Vicky A, Talitha N, Cassandra, Ratri D, Irman R, Faisal, M. Aulia Teman-teman ESP 49, KKN-P Desa Cijolang, dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2016 Selly Yanty Nansyah Putri

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN x x xi ABSTRAK iv PRAKATA viii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 4 Manfaat Penelitian 4 Ruang Lingkup Penelitian 4 TINJAUAN PUSTAKA 5 Transmisi Harga 5 Transmisi Harga Tidak Simetris 5 Penyebab Asimetris Harga 8 Penelitian Terdahulu 9 Hipotesis 11 Kerangka Pemikiran 11 METODE PENELITIAN 12 Jenis dan Sumber Data 12 Metode Analisis Data 12 Model Asimetri Harga 15 GAMBARAN UMUM 15 Gambaran Pergerakan Harga Beras Indonesia 15 HASIL DAN PEMBAHASAN 21 Analisis Asimetri Harga Beras di 10 Provinsi Indonesia 22 Uji Stasioneritas 22 Uji Kointegrasi 23 Uji Kausalitas 23

10 Analisis Asimetris Harga 25 Rangkuman 32 SIMPULAN DAN SARAN 33 Kesimpulan 33 Saran 34 Daftar Pustaka 35 LAMPIRAN 37 RIWAYAT HIDUP 58

11 DAFTAR TABEL 1. Produksi dan konsumsi beras di Indonesia tahun Deskripsi statistik harga nominal produsendan konsumen beras di 10 provinsi di Indonesia tahun Hasil uji stasioneritas data harga produsen dan konsumen pada level dan first difference dengan ADF Test pada 10 provinsi Indonesia Hasil uji kointegrasi pada data harga produsen dan konsumen beras di 10 provinsi Indonesia tahun Hasil uji kausalitas dengan metode Granger Causality pada harga produsen dan konsumen Hasil model ECM pada harga berass konsumen dan harga produsen di 7 provinsi Indonesia Uji Wald test dengan model ECMpada provinsi Sumatra Utara, Jawa Tengah, dan Jawa Timur Uji Wald test dengan model ECMpada provinsi NTB dan Kalimantan Tengah Uji Wald test dengan model ECMpada provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur Pemilihan provinsi untuk uji asimetri harga beras jenis IR 64 di Indonesia 32 DAFTAR GAMBAR 1 Kontribusi rata-rata produksi padi di 10 provinsi di Indonesia (%) tahun Perkembangan rata-rata harga produsen dan harga konsumen beras di Indonesia (Rp/Kg) 2 3 Perkembangan rata-rata harga produsen dan harga konsumen beras di 10 provinsi Indonesia (Rp/Kg) 3 4 Transmisi harga asimetris menurut kecepatan dan besaran 6 5 Transmisi harga tidak simetris positif dan negatif 7 6 Kerangka pemikiran 12 7 Perkembangan harga beras riil di tingkat produsen dan konsumen tahun di Sumatra Utara 16 8 Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen tahun di Jambi 16 9 Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen tahun di Jawa Tengah Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen tahun di Jawa Timur Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen tahun di Bali Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen tahun di NTB 18

12 13 Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen tahun di Jawa Barat Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen tahun di Kalimantan Barat Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen tahun di Kalimantan Tengah Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen tahun di Kalimantan Timur 20 DAFTAR LAMPIRAN 1 Transmisi harga beras produsen-konsumen 8 provinsi 37 2 Penentuan selang optimal (optimal lag) produsen-konsumen di 8 provinsi Indonesia 45 3 Pengujian kointegrasi pada data harga beras produsen-konsumen di 8 provinsi Indonesia 49 4 Pengujian kausalitas pada data harga beras produsen-konsumen di 7 provinsi Indonesia 53 5 Pengujian asimetris harga beras 54

13 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan komoditas penting, sebagaibahan makanan utama bagi penduduk di Indonesia.Produksi beras di Indonesia lima tahun terakhir mengalami peningkatan tiap tahunnya. Terlihat dari Tabel 1 bahwa peningkatan produksi beras tahun 2014 hingga tahun 2015 adalah sebesar 2.61 juta ton. Walaupun demikian, produksi beras dalam negeri tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan konsumsi beras dalam negeri. Konsumsi beras pada tahun 2015 mencapai Kg/Kap/Tahun. Tabel 1 Produksi dan konsumsi beras di Indonesia tahun Tahun Padi Produksi (ton) Beras Konsumsi Beras (Kg/Kap/Tahun) Sumber : BPS (diolah), 2015 Di Indonesia terdapat beberapa jenis varietas beras yang di produksi. Beras yang paling sering beredar di pasaranadalah beras jenis IR 64, produksinya terdapat di 10 provinsi sentra yaitu Sumatra Utara, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Pada Gambar 1 terlihat bahwa produksi beras masih didominasi oleh provinsiprovinsi di Pulau Jawa yaitu, Jawa Timur (17.02%), Jawa Barat (16.64%), Jawa Tengah (14.25%) dan sisanya tersebar di 7 provinsi sentra produksi lainnya. Provinsi lainnya, 23.6 Jatim, Kalbar, 1.97 Kalteng, 1.13 Kaltim, 6.58 Bali, 1.23 NTB, 3.05 Sumut, 5.25 Jambi; 9.28 Jabar, Jateng, Sumber : Pusdatin Kementrian Pertanian, 2015 Gambar 1 Kontribusi rata-rata produksi padi di 10 provinsi di Indonesia (%) tahun Walaupun Indonesia memiliki banyak provinsi sentra produksi beras, namun rata-rata konsumsi beras di Indonesia sangat tinggi dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Pada tahun 2007 hingga tahun 2014 adalah sebesar rata-rata konsumsi beras di Indonesia sebesar 1.71 Kg/Kapita/Minggu. Hal ini menunjukkan tingkat

14 2 ketergantungan yang tinggi masyarakat Indonesia terhadap konsumsi beras.dengan jumlah penduduk di Indonesia hingga tahun 2016 iniadalah sebesar juta jiwa, kebutuhan konsumsi akan beras dalam negeri dipenuhi melalui impor. Menurut data BPS rata-rata volume impor beras dan bahan makanan lainnya yang berasal dari beras pada kurun waktu antara sebesar 1.32 juta ton. Volume ekspor impor beras di Indonesia berfluktuasi cukup tajam, sehingga pergerakan harga beras di Indonesia perlu mendapatkan perhatian besar dari pemerintah. Harga (Rp/Kg) 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 - Jan-11 May-11 Sep-11 Jan-12 May-12 Sep-12 Jan-13 May-13 Sep-13 Jan-14 May-14 Sep-14 Jan-15 May-15 Sep-15 Bulan Harga Produsen Harga Konsumen Sumber : BPS (diolah),2015 Gambar 2 Perkembangan rata-rata harga produsen dan harga konsumen beras di Indonesia, (Rp/Kg) Harga beras pada level produsen dan konsumen berfluktuatif dan cenderung meningkat di tahun Terlihat pada Gambar 2 bahwa harga beras di level produsen mengalami penurunan muali bulan Februari hingga April sebesar Rp.400/Kg sedangkan pada saat yang bersamaan, harga konsumen meningkat sebesar Rp.1.617/Kg dan turun kembali pada bulan April. Perumusan Masalah Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa di Indonesia, beras merupakan komoditas pangan utama sehingga harga beras merupakan hal penting untuk diteliti. Beras yang paling sering beredar dipasaran adalah jenis beras IR 64 yang produksi nya berada di 10 provinsi Indonesia yaitu Sumatra Utara, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Kondisi harga beras pada 10 provinsi di Indonesia menunjukkan pola pergerakan yang tidak sama. Pergerakan harga di tingkat konsumen cenderung berfluktuasi dibandingkan harga di tingkat produsen. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran baik pada produsen ataupun konsumen, bahwa apabila terjadi kenaikan atau penurunan harga di tingkat konsumen apakah kenaikan ataupun penurunan tersebut benar-benar ditransmisikan secara sempurna pada harga di tingkatkonsumen ataupun sebaliknya.

15 3 (Rp/Kg) Provinsi Harga Produsen Harga Konsumen Sumber : BPS (diolah), 2015 Gambar 3 Perkembangan rata-rata harga produsen dan harga konsumen beras di 10 provinsi Indonesia tahun (Rp/Kg) Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa adanya perbedaaan pola pergerakan harga beras di tingkat produsen dan tingkat konsumen. Harga konsumen tertinggi terdapat pada provinsi Kalimantan Barat yaitu sebesar Rp 6.874/Kg sedangkan harga beras di tingkat konsumen terendah terdapat di provinsi NTB sebesarrp 5.669/Kg. Sedangkan harga beras di tingkat produsen tertinggi terdapat pada provinsi Jawa Barat yaitu sebesar Rp 4.162/Kg. Harga rata-rata produsen berada di provinsi NTB yaitu hanya sebesar Rp 3.024/Kg. Hal ini menunjukkan tingginya harga di tingkat konsumen di Kalimantan Barat tidak diikuti oleh harga di tingkat produsen di Kalimantan Barat. Hal ini mengindikasikan adanya transmisi harga yang tidak ditransmisikan secara sempurna. Efisiensi pemasaran dan kesejahteraan yang didapat oleh produsen ataupun konsumen beras dapat diketahui melalui analisis transmisi harga. Transmisi harga vertikal pada umumnya dilakukan terhadap suatukomoditas pada tingkat yang berbeda dalam rantai pasok. Transmisi harga vertikalmengindikasikan adanya market power yang umumnya dipicu oleh konsentrasi pasaryang lebih tinggi pada suatu guncangandalam rantai pasok. Sementara itu transmisi hargaspasial dilakukan untuk melihat respon perubahan harga yang dipicu oleh perubahanharga komoditas yang sama di wilayah lain, baik antar daerah dalam suatu Negara (Goodwin 2006) maupun antara negara eksportir dengan negara importir (Liu 2011). Menurut Irawan (2007) transmisi harga dari pasar konsumen kepada petani cenderung bersifat asimetris, dalam pengertian bahwa jika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen maka kenaikan harga tersebut tidak diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna, sebaliknya jika terjadi penurunan harga akan diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna. Transmisi harga ini terkait dengan perubahan dua faktor utama dalam pembentukan harga yaitu permintaan dan penawaran (Tomek 2000). Salah satu penyebab transmisi harga yang tidak simetris antar pasar yang terhubung secara vertikal (dalam satu rantai pemasaran) adalah adanya perilaku tidak kompetitif antara para pedagang perantara, khususnya apabila pedagang perantara

16 4 tersebut berada pada pasar yang terkonsentrasi. Umumnya pedagang perantara akan berusaha mempertahankan tingkat keuntungannya dan tidak akan menaikkan atau menurunkan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya. Sehingga pedagang perantara akan lebih cepat bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan dengan penurunan harga. Pada akhirnya pasar petani dan konsumen menjadi tidak tertransmisi (Vavra dan Goodwin 2005). Oleh karena ituuntuk membuktikan bahwa apakah harga beras pada tingkat produsen dan tingkat kosumen terjadi secara asimetris atau tidak, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pergerakan harga beras pada tingkat produsen dan konsumen di 10 provinsi Indonesia? 2. Apakah terjadi asimetri harga beras di 10 provinsi produsen beras di Indonesia? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini diantaranya : 1. Menganalisispergerakan harga beras pada tingkat produsen dan konsumen di 10 provinsi Indonesia 2. Menganalisis simetris harga beras di 10 provinsi Indonesia Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna : 1. Bagi pemerintah,diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan stabilitas harga beras. 2. Bagi akademisi, diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan referensi bagi penelitian-penelitian lainnya. 3. Bagi masyarakat umum, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan umum mengenai transmisi harga beras pada level produsen dan konsumen di Indonesia. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menganalisis asimetris harga beras jenis IR 64di tingkat produsen dan tingkat konsumen pada 10 provinsi Indonesia. Provinsi tersebut yaitu Sumatra Utara, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur. Data yang digunakan merupakan data sekunder bentuk time series bulanan periode Menggunakan data harga GKP untuk beras di tingkat produsen dan harga beras eceran di tingkat konsumen.

17 5 TINJAUAN PUSTAKA Transmisi Harga Teori harga berperan penting dalam ekonomi neo-klasik. Harga mendorong alokasi sumber daya dan pengambilan keputusan oleh pelaku ekonomi. Para ekonom neo-klasik mengungkapkan bahwa harga merupakan indikator utama yang dapat mencerminkan tingkat efisiensi suatu pasar. Transmisi harga dan tingkat integrasi dapat dijadikan indikasi efisiensi yang terbentuk antar dua pasar yang saling berinteraksi, baik secara vertikal maupun spasial (Meyer dan von Cramon-Taubadel 2004). Pada kasus spasial, interaksi harga akan berjalan sesuai hukum satu harga (Law of One Price/LOP) dimana harga antara dua pasar yang berbeda lokasi adalah sama, selisih harga yang terjadi hanya sebesar biaya transfer antar kedua pasar tersebut. Pada model tersebut, perubahan yang terjadi di sisi permintaan dan penawaran di salah satu pasar akan mempengaruhi perdagangan dan harga jual di pasar yang lain, sampai pada akhirnya mencapai suatu titik keseimbangan harga yang tidak memungkinkan terjadinya pertukaran perdagangan antara kedua pasar tersebut (Goodwin 2006). Pada kasus vertikal, tingkat transmisi harga pada satu rantai pemasaran dapat menjadi petunjuk kinerja dari setiap lembaga pemasaran yang berada dalam rantai pemasaran tersebut. Suatu rantai pemasaran dikatakan efisien dan tertransmisi secara vertikal apabila pola interaksi harga antar level hanya tergantung pada biaya produksinya. Dengan kata lain, perubahan harga pada suatu level pemasaran akan ditransmisikan kepada level pemasaran lainnya secara selaras (Goodwin 2006). Asimetris harga secara teoritis dapat terjadi dalam hubungannya dengan karakteristik kompetisi yang tidak sempurna, misalnya akibat adanya lag informasi, promosi, dan konsentrasi pasar (Meyer dan voncramon-taubadel 2004). Transmisi Harga Tidak Simetris Transmisi harga dikatakan tidak simetris apabila terdapat perbedaan respon harga antara guncangan harga positif (saat terjadi kenaikan harga) dengan guncanganharga negatif (saat terjadi penurunan harga): Meyer dan von Cramon- Taubadel (2004) mengklasifikasikan 3 (tiga) kriteria transmisi harga yang tidak simetris sebagai berikut: Kriteria yang pertama merujuk kepada kondisi transmisi harga yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian harga. Dalam hal kecepatan waktu penyesuaian, fenomena asimetris terjadi apabila guncangan harga di salah satu pasar tidak dengan segera ditransmisikan oleh pasar lainnya. Sementara dari sisi besaran, fenomena asimetris terjadi pada saat guncangan harga di satu pasar tidak ditransmisikan secara penuh oleh pasar lainnya. Kondisi transmisi harga yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian harga ditampilkan pada Gambar 4

18 6 a. Besaran b. Kecepatan c. Besaran & Kecepatan Sumber: Meyer dan von Cramon-Taubadel 2004 Gambar 4 Transmisi harga asimetris menurut kecepatan dan besaran Pada Gambar 4 diasumsikan sumber dari guncangan harga terjadi pada Pin. Dari Gambar 4.a dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan respon dari sisi besaran penyesuaian harga di Pout antara guncangan positif dengan guncangan negatif yang terjadi di Pin. Pada saat terjadi guncanganpositif di Pin, Pout akan mentransmisikan guncangan tersebut secara sempurna, dimana kenaikan harga yang terjadi di Pout sama dengan kenaikan yang terjadi di Pin. Sementara saat terjadi guncangan negatif di Pin, penurunan harga yang terjadi di Pout tidak terjadi dengan sempurna. Hanya setengah dari guncangannegatif di Pin yang ditransmisikan oleh Pout. Gambar 4.b menjelaskan transmisi hargayang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu penyesuaian. Saat terjadi kenaikan harga di Pin pada waktu t 1, Pout akan dengan segera melakukan penyesuaian pada waktu yang sama. Sementara saat di Pin terjadi penurunan harga, Pout tidak dengan segera merespon penurunan harga tersebut, melainkan terdapat lag selama n. Sehingga guncangan negatif di P in baru akan ditransmisikan di Pout pada waktu t 1+n. Gambar 4.c menjelaskan transmisi yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran. Kenaikan harga yang terjadi di Pin pada waktut 1, tidak ditransmisikan seluruhnya pada waktu yang sama, melainkan hanya setengahnya. Pada waktu t2 barulah seluruh guncangan positif di Pin ditransmisikan secara sempurna. Sementara saat terjadi penurunan harga pada waktu yang sama di Pin, proes transmisinya dilakukan pada waktu yang lebih lama dibandingkan saat terjadi guncangan positif, yaitu pada waktu t3. Respon penurunan harga yang terjadi di Pout pun tidak sebesar penurunan harga yang terjadi di Pin. Hal ini menggambarkan bahwa terjadi transmisi yang tidak sempurna dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian yang ditunjukan oleh Pout saat terjadi guncangan negatif di Pin. Dalam Gambar 4 ditampilkan pula dampak hilangnya kesejahteraan akibat adanya transmisi harga yang tidak sempurna, yang digambarkan dalam bentuk area yang gelap. Menurut Meyer dan voncramon-taubadel (2004), transmisi harga tidak simetris dari sisi besaran menyebabkan hilangnya kesejahteraan secara permanen (Gambar 4.a), dan ukurannya hanya tergantung pada besarnya respon perubahan harga dan volume transaksi yang dilakukan. Sedangkan transmisi harga tidak

19 7 simetris dari sisi kecepatan akan menghilangkan kesejahteraan yang sifatnya sementara. Adapun ukuran atau besaran kesejahteraan yang hilang sementara tersebut sangat tergantung pada panjangnya interval waktu transmisi antara t 1 dan t 1+n, besarnya respon perubahan, dan volume transaksi yang dilakukan (Gambar 4.b). Terakhir, transmisi tidak simetris dari sisi kecepatan dan besaran akan menyebabkan perubahan kesejahteraan yang bersifat sementara sekaligus permanen (Gambar 4.c). Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) menambahkan bahwa hilangnya kesejahteraan yang sifatnya sementara dalam jumlah besar dapat memberikan dampak yang lebih buruk dibandingkan dengan hilangnya kesejahteraan permanen dalam jumlah kecil yang terjadi saat ini. Kriteria kedua, mengacu pada Peltzman (2000) dalam Meyer dan von Cramon- Taubadel (2004), transmisi harga yang tidak simetris dapat diklasifikasikan menjadi transmisi tidak simetris yang positif dan transmisi tidak simetris yang negatif. Transmisi tidak simetris yang positif adalah kondisi dimana guncangan positif akan direspon secara lebih cepat dan/atau lebih sempurna dibandingkan saat terjadi guncangan negatif (Gambar 5.a). Sebalikannya, transmisi tidak simetris yang negatif adalah situasi dimana guncangannegatif akan lebih cepat dan/atau lebih sempurna direspon dibandingkan guncangan positif (Gambar 5.b). a.transmisi Harga Tidak Simetris positif b.transmisi Harga Tidak Simetris negatif Sumber: Meyer dan von Cramon-Taubadel 2004 Gambar 5 Transmisi harga tidak simetris positif dan negatif. Pada konteks transmisi harga vertikal dalam satu rantai pemasaran, transmisi tidak simetris yang positif ataupun negatif tidak hanya dapat terjadi dari hulu ke hilir saja, melainkan dapat pula terjadi sebaliknya (dari hilir ke hulu), contohnya pada saat terjadi pergesaran kurva permintaan. Untuk menghindari kesalahan penafsiran, Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) mendefinisikan transmisi harga tidak simetris yang positif adalah kondisi transmisi harga yang lebih cepat dan/atau lebih sempurna terjadi saat adanya tekanan terhadap marjin (squeeze marjin) dibandingkan saat adanya penambahan marjin (stretch marjin). Yang dimaksud dengan squeeze marjin adalah pada saat terjadi kenaikan harga di hulu (Pin) atau penurunan harga di hilir (Pout), sementara stretch marjin adalah saat terjadi penurunan Pin atau kenaikan Pout. Dalam hal kesejahteraan, apabila transmisi harga tidak simetris berjalan dari hulu ke hilir, misal untuk kasus produk pertanian adalah dari petani ke konsumen, maka transmisi tidak sempurna yang negatif dianggap baik bagi konsumen. Hal ini disebabkan kenaikan harga input tidak akan ditransmisikan kepada konsumen, sehingga konsumen akan selalu menikmati harga yang rendah.sebaliknya, transmisi harga tidak simetris yang positif akan merugikan konsumen karena konsumen tidak pernah menikmati penurunan harga yang terjadi di tingkat petani. Akibatnya, harga di tingkat konsumen cenderung tinggi dan kesejahteraan konsumen akan berkurang.

20 8 Meskipun demikian, Vavra dan Goodwin (2005) menyebutkan bahwa untuk menghitung tingkat kesejahteraan maka perlu memperhatikan faktor biaya transaksi (adjustment cost) pada kasus transmisi vertikal) dalam perhitungan transmisi harga. Kriteria yang ketiga transmisi harga tidak simetris yang terjadi secara vertikal atau spasial. Transmisi harga vertikal yang tidak simetris terjadi pada saat kenaikan harga di level petani ditransmisikan lebih cepat dan lebih sempurna kepada harga di level konsumen, dibandingkan saat terjadi penurunan harga di level petani. Sementara transmisi harga spasial yang tidak simetris dapat dicontohkan melalui perbedaan respon harga domestik terhadap harga internasional, dimana kenaikan harga internasional lebih cepat dan lebih sempurna diadopsi oleh harga domestik dibandingkan saat terjadi penurunan harga internasional. Penyebab Asimetris Harga Market Power Irawan (2007) menjelaskan proses transmisi harga yang tidak sempurna dan bersifat asimetris terjadi pada komoditas pertanian. Pada dasarnya dinamika harga komoditas pertanian di daerah konsumen memiliki pola yang sama dengan dinamika harga di daerah produsen karena permintaan yang dihadapi petani di daerah produsen merupakan turunan dari permintaan di daerah konsumen. Namun, informasi pasar mengenai naik turunnya harga diteruskan kepada petani secara lambat dan tidak sempurna. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga di pasar konsumen lebih tinggi dibanding di pasar produsen dan perbedaan fluktuasi harga tersebut akan semakin besar apabila transmisi harga yang terjadi semakin tidak sempurna. Berbagai literatur ekonomi telah secara khusus mengidentifikasi berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya transmisi harga secara tidak simetris, baik secara spasial maupun vertikal. Sebagian besar penelitian mengaitkan fenomena transmisi harga yang tidak simetri dengan dugaan adanya market power yang dimiliki pedagang di pasar. Sebagian lagi mengemukan bahwa kehadiran biaya transaksi yang tinggi akan menyebabkan transmisi harga antar pasar menjadi tidak simetris, meskipun pasar tersebut berada pada pasar persaingan sempurna (Meyer dan von Cramon-Taubadel 2004). Ward (1982) menyebutkan bahwa transmisi harga tidak simetris yang disebabkan oleh market power juga dapat terjadi secara negatif, apabila manufaktur dan pedagang perantara yang berada pada struktur pasar oligopoli beranggapan bahwa kenaikan harga justru beresiko terhadap penurunan marjinnya. Bailey dan Brorsen (1989) menambahkan bahwa transmisi harga tidak simetris akan berjalan secara positif atau negatif tergantung dari reaksi dari pesaing. Apabila suatu perusahaan percaya bahwa tidak ada satu pun pesaingnya yang akan merespon perubahan kenaikan harga, sementara pada saat terjadi penurunan harga seluruh pesainganya akan dengan cepat merespon, maka yang terjadi adalah transmisi harga tidak simetris yang negatif. Begitu pula sebaliknya, apabila perusahaan percaya bahwa pesainganya akan lebih bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan penurunan harga maka transmisi harga tidak simetris yang terjadi adalah positif. Senada dengan hal tersebut, Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) menambahkan bahwa pada struktur pasar oligopoli, transmisi harga tidak simetris dapat terjadi secara positif maupun negatif, tergantung pada struktur dan perilaku pasar. Sementara pada pasar monopoli, transmisi harga tidak simetris yang terjadi lebih akan mengarah pada bentuk positif daripada negatif.

21 9 Adjustment Cost Transmisi harga tidak simetris dapat terjadi antar level dalam satu rantai pemasaran yang disebabkan karena adanya sejumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk menyesuaikan harganya (adjustment cost). Biaya tersebut meliputi biaya transaksi, biaya yang digunakan untuk perubahan label dan katalog harga, biaya periklanan, serta biaya akibat penyimpanan (Meyer dan von Cramon- Taubadel 2004). Beberapa faktor lain yang diduga menjadi penyebab transmisi harga tidak simetris antara lain: (1) masing-masing perusahaan akan menyikapi secara berbeda dalam penyesuaian biaya tergantung apakah harga sedang naik atau sedang turun; (2) pelaku pemasaran menahan barangnya pada saat harga naik karena takut kehabisan stok (3) adanya intervensi pemerintah (Vavra dan Goodwin 2005). Penelitian Terdahulu Sahara dan Wicaksena (2013) dalam penelitiannya tentang Asimetri Transmisi Harga Petani-Ritel pada Industri Cabai Indonesia. Sektor ritel modern meningkatkan kekuatan pasar dan mempengaruhi harga dalam model menyebutkan bahwa tidak ada asimetri harga pada rantai supply cabai di Indonesia. Menggunakan data bulanan selama 18 tahun di pulau Jawa. Dalam penelitian ini menggunakan dua metode yaitu model Houck s dan Error Correction Model (ECM). Cahyaningsih (2010) dalam penelitiannya tentang Integrasi Spasial dan Vertikal di Pasar Beras, penelitian ini menggunakan data sekunder dalam bentuk time series bulanan periode Metode analisis yang digunakan adalah Vector Error Correction Model (VECM), impuls response dan komposisi ragam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara spasial dalam perdagangan beras di Indonesia terdapat pasar-pasar kunci di Indonesia yaitu pasar di Medan, Semarang, Pontianak, Surabaya dan Jakarta. Perubahan harga beras yang terjadi pada pasar di wilayah tersebut akan menyebabkan perubahan harga beras diwilayah lain. Secara vertikal, pasar beras dalam negeri tidak terintegrasi dengan pasar beras di Vietnam dan Thailand dalam jangka panjang. Pasar beras dalam negeri sudah terintegrasi dengan pasar beras Vietnam dalam jangka pendek namun tidak terintegrasi dengan pasar beras Thailand, dan pasar beras Vietnamsudah terintegrasi dengan pasar beras Thailand dalam jangka pendek. Implikasi kebijakan perdagangan beras di Indonesia cukup difokuskan pada pasar-pasar acuan yaitu di Medan, Semarang, Pontianak, Jakarta dan Surabaya. Harga beras luar negeri tidak begitu berpengaruh pada kenaikan harga beras dalam negeri namun pengendalian impor beras tetap perlu dilakukan. Yustiningsih (2012) melakukan studi mengenai Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Beras Petani Konsumen di Indonesia. Penelitian ini menganalisis pergerakan harga Gabah Kering Panen (GKP) di level petani dan konsumen. Penelitian menggunakan data sekunder bulanan harga GKP di level petani dengan harga beras di level konsumen, dengan rentang waktu (time series) dari tahun 2000 sampai Dengan menggunakan model Error Correction Model (ECM). Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa dalam jangka pendek transmisi harga GKP petani terhadap harga beras konsumen bersifat simetris, sementara dalam jangka panjang bersifat asimetris. Fenomena transmisi harga asimetris disebabkan oleh dua

22 10 hal, yaitu penyalahgunaan market power oleh pedagang perantara dan kebijakan pemerintah. Kebijakan perberasan dirancang untuk mengintervensi harga di tingkat petani agar berada di atas level harga pemerintah, sementara harga di tingkat konsumen diserahkan kepada mekanisme pasar. Bustaman (2003) dalam penelitian berjudul Analisis Integrasi Pasar Beras di Indonesia. Penelitian ini mengukur derajat integrasi pasar beras tingkat provinsi, meliputi 15 provinsi. Menggunakan model pendekatan (ARDL) Distributed LagAuto Regressive, model ini dapat mengetahui dua aspek dari integrasi pasar yaitu integrasi pasar jangka pendek dan integrasi pasar jangka panjang. Dilakukan pengujian terhadap harga rata-rata tingkat konsumen di Indonesia dengan harga beras Thai kualitas medium (25 persen) di pelabuhan Indonesia (CIF), yang dikonversikan ke dalam satuan rupiah. Pengujian dilakukan dua arah dengan masing-masing pasar bertindak sebagai pasar lokal dan pasar acuan. Hasil pengujian integrasi vertikal antara pasar di tingkat produsen dan tingkat konsumen, saling terintegrasi jangka pendek kecuali di provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan, namun hampir semua provinsi terintegrasi di jangka panjang, tetapi besaran transmisi perubahan harga di produsen terhadap perubahan harga di konsumen lebih tinggi dibandingkan sebaliknya. Harmini, et al (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Transmisi Harga dalam SupplyChain Beras Indonesia. Penelitian ini menelaah pemasaran beras, transmisi harga beras spasial dan vertikal internasional, menggunakan data primer sebanyak 34 responden petani padi Kabupaten Karawang dan 12 pedagang beras serta data sekunder dan menggunakan model VAR/VEC. Pelaku-pelaku yang terlibat dalam pemasaran beras adalah petani padi yang menjual seluruh hasil panenya ke penggilingan padi, penggilingan padi yang menjual beras ke pedagang grosir di kecamatan dan di pasar Cipinang dan selanjutnya disalurkan pada para pedagang pengecer di daerah Jabodetabek. Marjin pemasaran terbesar diterima oleh penggilingan. Farmer s share terbesar pada saluran dari petani ke pedagang grosir kecamatan ke pengecer pasar Kabupaten Karawang. Rasio keuntungan dan biaya pemasaran terbesar pada saluran dari petani ke penggilingan ke pasar grosir Cipinang ke pasar pengecer Jabodetabek. Struktur pasar petani mendekati persaingan sempurna, sedangkan pelaku lainnya menghadapi oligopoli dan oligopsoni. Petani memiliki integrasi yang lemahdengan pasar Cipinang dan tidak memiliki integrasi dengan penggilingan dan pasar Karawang. Penggilingan memiliki integrasi yang lemah dengan pasar Karawang tetapi memiliki integrasi yang kuat dengan pasar Cipinang. Pasar Karawang memiliki integrasi yang lemah dengan pasar Cipinang. Elastisitas transmisi harga beras tertinggi terjadi antara penggilingan dengan Pasar Cipinang. Aryani (2012) dalam penelitian berjudul Integrasi Vertikal Pasar Produsen Gabah dengan Pasar Ritel Beras di Indonesia. Menganalisis integrasi pasar secara vertikal antara produsen gabah dan pasar ritel beras di Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data bulanan dari Januari tahun 2000 sampai dengan Desember tahun 2008 menggunakan model Vector Autoregression. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa pergerakan harga gabah produsen dengan harga beras konsumen di Indonesiamenunjukkan arah yang hampir sama, tetapi harga gabah produsen lebih fluktuatif dibandingkan harga beras konsumen. Pasar produsen gabah dengan pasar ritel beras di Indonesia belum terpadu secarapenuh. Dalam jangka pendek pasar gabah produsen dipengaruhi oleh harga beras ritel tetapi hargagabah produsen tidak mempengaruhi harga beras ritel. Intervensi pemerintah sangat diperlukan dalampasar gabah produsen. Apabila pasar gabah produsen dengan pasar

23 11 ritel beras terpadu secara penuh maka artinya perubahan yang terjadi pada harga ritel beras juga diikuti oleh perubahan harga gabahprodusen dengan arah perubahan yang sama, begitu juga sebaliknya. Hipotesis Hipotesis yang akan diajukan dalam penelitian ini untuk menganalisis transmisi harga beras pada level produsen dan level konsumen di 10 Provinsi Indonesia yaitu : 1. Terdapat pergerakan harga beras di 10 provinsi Indonesia baik pada tingkat produsen maupun konsumen. 2. Transmisi harga beras antara produsen dan konsumen di 10 provinsi bersifat asimetris. Kerangka Pemikiran Beras merupakan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia,sehingga tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap beras dan membuat kurva permintaan beras bersifat inelastis. Produk dengan kurva permintaan inelastis akan memberikan keuntungan yang besar bagi produsen atau petani beras, kondisi ini akan menyebabkan petani beras memiliki posisi tawar yang relatif lebih tinggi dibandingkan konsumen, sehingga produsen akan dengan mudah menaikkan harga beras tanpa harus takut kehilangan konsumen (Yustiningsih 2012). Dalam investigasi yang dilakukan oleh Otoritas Pengawas Persaingan di Inggris, basis penelitiannya adalah melihat transmisi harga yang dilakukan oleh supermarket akibat adanya penurunan harga di tingkat petani, apabila harga tidak ditransmisikan secara sempurna antar setiap tingkat pemasaran maka konsumen akhir tidak akan mendapatkan keuntungan dari penurunan harga tingkat petani dan sebaliknya (McCorriston et al. 2000) dan (Vavra dan Goodwin,2005). Sehingga harga beras merupakan merupakan hal penting untuk diperhatikan. Dalam pembentukan harga beras itu sendiri, faktor distribusi merupakan salah satu hal yang memengaruhinya, pendistribusian beras tersebut melalui beberapa lembaga yang ada dalam rantai pemasaran beras mulai dari petani hingga sampai pada konsumen akhir. Menurut Prastowo et al. (2008) menjelaskan bahwa efisiensi dalam sistem distribusi disebabkan dua hal, yaitu rantai pemasaran yang terlalu panjang, dan besarnya marjin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap mata rantai distribusi. Analisis transmisi harga vertikal digunakan untuk melihat tercapainya efisiensi pasar, yaitu apakah harga pada tingkat konsumen ditransmisikan secara sempurna terhadap harga pada tingkat produsen ataupun sebaliknya. Selain itu perlunya analisis integrasi antar pasar, karena ketika pasar tidak terintegrasi, maka fluktuasi harga yang terjadi akan menurunkan daya beli masyarakat dan kebijakan pemerintah diperlukan saat efisiensi pasar belum berjalan dengan efisien.

24 12 Pergerakan harga beras di 10 provinsi Indonesia Harga di levelkonsumen lebih berfluktuatif daripada hargalevelprodusen Analisis asimetri harga konsumen dan produsen Uji ECM Rekomendasi kebijakan bagi pemerintah Gambar 6 Kerangka pemikiran METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu datatime series, yaitu harga bulanan beras jenis IR 64 selama tahun Data tersebut terdiri dari data harga GKP di tingkat produsen dan harga beras eceran di tingkat konsumen. Pemilihan provinsi untuk penelitian didasarkan pada ketersediaan data harga beras jenis IR 64 yang terdapat di 10 provinsi sentra di Indonesia yaitu Sumatra Utara, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Metode Analisis Data Metode yang digunakan untuk menganalisis asimetris hargaantara konsumen dan produsen dengan menggunakan Error Correction Model(ECM), Pengolahan data dilakukan melalui program Microsoft Excel 2007 dan Eviews 6.0. Untuk mencapai tujuan-tujuan dalam penelitian, digunakan beberapa model analisis, yaitu analisis deskriptif dan inferensia.

25 13 Analisis deskriptif Analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis data yang bersifat eksploratif yang bertujuan untuk mendeskripsikan suatu kondisi dengan memaparkannya ke dalam bentuk tabel maupun gambar sehingga dapat memudahkan dalam menafsirkan hasil penelitian. Analisis deskriptif pada penelitian inidigunakan untuk menjawab tujuan pertama, yaitu menganalisis pergerakan harga beras pada tingkat produsen dan konsumen di 10 provinsi Indonesia. Analisis inferensia Analisis inferensia dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab tujuan kedua yaitu menganalisis asimetris harga antara produsen dan konsumen. Analisis inferensia dilakukan dengan menggunakan ECM. Model ECM Von Cramon-Taubadel dan Loy dalam analisa transmisi harga telah dinyatakan valid oleh Hassouneh et al.(2012). Hassouneh et al.(2012) membandingkan beberapa model ekonometri dalam analisa transmisi harga, dengan mempertimbangkan ada atau tidaknya unit roots dan kointegrasi dalam dua data series harga. Mereka menyimpulkan ECM dan VECM adalah model yang valid untuk menguji pola transmisi harga pada kondisi data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. Konsep error correction model (ECM) digunakan untuk menganalisis transmisi harga asimetri diperkenalkan Von Cramon-Taubadel dan Fahlbusch (1994) dengan melihat signifikansi penyimpangan (error) dari model keseimbangan jangka panjangnya. Pada konsep kointegrasi, apabila terdapat pergerakan harga yang menyimpang, maka akan dimasukan sebagai bentuk error correction (error correction term/ect) (Vavra dan Goodwin 2005). Teknik prekointegrasi untuk analisa transmisi harga asimetri dapat menghasilkan regresi yang spurious karena menggunakan series data yang tidak stasioner. Metode Pemilihan Model 1. Uji Stasioneritas Data Data yang stasioner terjadi jika mean, variance, dan covariance bersifat konstan sepanjang waktu. Sedangkan data non stasioner ditunjukkan dengan adanya perubahan mean, variance, dan covariance sejalan dengan perubahan waktu. Data time series yang tidak stasioner (mengandung unit root) menyebabkan masalah spurious regression (Thomas 1997). Oleh karena itu, uji stasioneritas digunakan untuk mengetahui kestasioneran data dan menghindari masalah spurious regression (Asmarantaka 2012). Uji stasioneritas dilakukan untuk menguji karakteristik data yang digunakan. Langkah pertama dalam analisa ini adalah memeriksa stasioneritas data deret waktu dapat digunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) test. Persamaan 1 (3.1) Dimana, t adalah periode waktu, dan aj merupakankoefisien model, sedangkan εt adalah galat model. Hipotesis statistik yang diujiadalah Ho: = 0 (data deret waktu xt bersifat tidak stasioner); H1: 0 (dataderetwaktu bersifat stasioner). Data yang tidak stasioner selanjutnyadistasionerkan melalui proses pendifferensian, yang dapat dilakukan beberapa kali(d kali) hingga diperoleh pola data yang stasioner.

26 14 2. Penentuan Lag (Ordo) Optimal Penentuan jumlah lag yang digunakan dalam model dapat memanfaatkan beberapa informasi yaitu dengan Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SIC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Dalam penelitian ini kriteria yang digunakan adalah ( ) ) (3.2) ( ) ( Dimana : T = Jumlah observasi k = Panjang lag SSR = Sum Squares Residual n = Jumlah parameter yang diestimasi 3. Uji Kointegrasi Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel yang tidak stasioner mengalami kointegrasi atau tidak. Dua atau lebih variabel yang dinyatakan berkointegrasi berarti memiliki hubungan atau keseimbangan jangka panjang (long run equilibrium). Selanjutnya untuk mengetahui adanya kointegrasi antara variabelvariabel dapat dilakukan melalui dua uji statistik yaitu trace test (λtrace (τ)) dan maximum eigenvalue test (λmax) yang dituliskan dalam persamaan berikut: ( )......(3.3) ( ) ( )... (3.4) Dimana: k = 0,1,, n-1 T = Jumlah observasi yang digunakan λi = Estimasi nilai ke-i ordo eigenvalue dari matriks Π r = Jumlah vektor dari vektor kointegrasi pada hipotesis nol Hipotesis nol yang digunakan pada pengujian λtrace dan λmax, yaitu: H0: r 0 atau tidak terdapat hubungan kointegrasi H0: r 1 atau paling banyak terdapat satu persamaan kointegrasi H0: r n-1 atau paling banyak terdapat n-1 persamaan kointegrasi Jika uji statistik lebih besar dibandingkan dengan critical value pada tabel Johansen maka H0 ditolak artinya terdapat hubungan kointegrasi. 4. Uji Kausalitas Dalam analisa transmisi harga, uji kausalitas bertujuan untuk memastikan arah hubungan sebab-akibat antara variabel yang diuji. Pada penelitian ini menggunakan uji kuasalitas Engle and Granger karena dapat digunakan pada variabel yang terkointegrasi. Sedangkan uji kausalitas Granger standar memiliki kelemahan sering terjadi autokorelasi. Pengujian dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel apakah kausalitas yang terbentuk dalam dua arah (sisi permintaan dan penawaran) atau hanya satu arah saja. Pada penelitian ini uji kuasalitas megunakan metode Granger. Apabila hasil pengujian secara statistik dengan metode Granger menunjukkan hubungan kausalitas dua arah, pengujian asimetris harga selanjutnya menggunakan ECM. Hal ini untuk

27 15 membuktikan apakah pergerakan harga yang terjadi dari sektor hulu merupakan penentu utama pergerakan harga di hilir atau sebaliknya. Model Asimetri Harga Penelitian ini mengkaji apakah terjadi asimetri harga beras pada tingkat produsen dan konsumen dengan menggunakan harga beras riil yang didapat dari harga nominal dibagi dengan inflasi dari masing-masing provinsi di 10 provinsi Indonesia. Adapunmodel ECM harga beras melalui dua tahap, yaitu: Pada saat PP mempengaruhi PC Pada saat PC mempengaruhi PP ( ) ( ) Dimana : PP t PC t PP t-1 PC t-1 P ε = Harga beras di tingkat produsen periode ke-t (Rp/Kg) = Harga beras di tungkat konsumen periode ke-t (Rp/Kg) = Harga beras di tingkat produsen periode sebelumnya (Rp/Kg) = Harga beras di tungkat konsumen periode sebelumnya (Rp/Kg) = Intersep =Panjangnya lag =Error correction term = Error term Wald Test Untuk membuktikan adanya transmisi harga asimetris, pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan F-test (uji wald). simetris pada jangka pendek ; simetris pada jangka panjang GAMBARAN UMUM Gambaran Pergerakan Harga Beras di Indonesia Perkembangan harga beras di 10 provinsi di Indonesia antara produsen dan konsumen seperti yang terlihat pada Gambar 1 sampai dengan Gambar 10, secara keseluruhan menunjukkan pola pergerakan dan tren yang sama yaitu cenderung meningkat. Berikut gambaran pergerakan harga beras di 10 provinsi di Indonesia.

28 16 Sumatera Utara Gambar 7 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsen dan konsumen di Sumatra Utara tahun Berdasarkan Gambar 7 terlihat adanya perbedaan respon terhadap perubahan harga saat kenaikan dan penurunan harga yang terjadi pada pasar beras di Sumatra Utara. Harga beras di tingkat produsen dan konsumen cenderung stabil selama periode dan mulai berfluktuasi pada awal periode Pada tahun terlihat adanya perbedaan pola pergerakan harga antara produsen dan konsumen. Kenaikan harga di tingkat konsumen diikuti oleh penurunan harga di tingkat produsen. Jambi Gambar 8 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsen dan konsumen di Jambi tahun Berdasarkan Gambar 8 terlihat fluktuasi harga beras di tingkat konsumen dan produsen di Jambi. Harga berasdi tingkat produsen dan konsumen cenderung berfluktuasi pada periode , dengan fluktuasi terbesar terjadi pada periode 2014sampai 2015.

29 17 Jawa Tengah Gambar 9 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsendan konsumen di Jawa Tengah tahun Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa adanya perbedaaan pergerakan harga beras di tingkat produsen dan tingkat konsumen.harga beras di tingkat produsen dan konsumen cenderung berfluktuasi pada periode , dan 2013 dengan fluktuasi terbesar terjadi pada periode 2005sampai Jawa Timur Gambar 10 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsen dan konsumen di Jawa Timurtahun Pada Gambar 10 terlihat bahwaadanya perbedaan respon terhadap perubahan harga saat kenaikan dan penurunan harga yang terjadi pada pasar beras di Jawa Timur.Pada tahun 2007 dan 2011 terlihat adanya perbedaan pola pergerakan harga antara produsen dan konsumen. Penurunan harga di tingkat konsumen diikuti oleh kenaikan harga di tingkat produsen.harga beras di tingkat produsen dan konsumen mulaiberfluktuasi pada awal periode 2011.

30 18 Bali Gambar 11 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsen dan konsumen di Bali tahun Berdasarkan Gambar 11 terlihat bahwa adanya perbedaaan pergerakan harga beras di tingkat produsen dan konsumen.pada 2011 terlihat adanya perbedaan pola pergerakan harga antara produsen dan konsumen. Kenaikan harga produsen tidak diikuti oleh penurunan harga ditingkat konsumen, konsumen meresponnya dengan penurunan harga. Harga beras di tingkat produsen dan konsumen cenderung berfluktuasi pada periode , dengan fluktuasi terbesar terjadi pada periode NTB Gambar 12 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsen dan konsumen di NTB Gambar 12 menunjukkan adanya perbedaan respon terhadap perubahan harga saat kenaikan dan penurunan harga yang terjadi antara produsen dan konsumen pada pasar beras di NTB. Pada tahun 2009, kenaikan harga di tingkat produsen diikuti oleh penurunan harga di tingkat konsumen. Harga beras di tingkat produsen dan konsumen mulai berfluktuasi pada awal periode 2004.

31 19 Jawa Barat Gambar 13 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsen dan konsumen di Jawa Barat tahun Gambar 13 menunjukkan adanya perbedaan respon terhadap perubahan harga saat kenaikan dan penurunan harga yang terjadi anatara konsumen dan produsen pada pasar beras di Jawa Barat. Harga beras di tingkat produsen dan konsumen mulai berfluktuasi pada awal periode 2007 hingga Kalimantan Barat Gambar 14 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsendan konsumen di Kalimantan Barattahun Berdasarkan Gambar 14 terlihat harga beras antara produsen dan konsumen mulai berfluktuasi pada awal periode Fluktuasi harga antara produsen dan konsumen terbesar terjadi pada tahun Kenaikan harga produsen tidak diikuti oleh penurunan harga ditingkat konsumen, konsumen meresponnya dengan penurunan harga.

32 20 Kalimantan Tengah Gambar 15 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsen dan konsumen di Kalimantan Barat tahun Gambar 15 menunjukkan adanya perbedaan respon terhadap perubahan harga saat kenaikan dan penurunan hargayang terjadi pada pasar beras di Kalimantan Tengah. Pada tahun 2009, kenaikan harga di tingkat produsen diikuti oleh penurunan harga di tingkat konsumen. Harga beras di tingkat produsen dan konsumen cenderung stabil selama periode dan mulai berfluktuasi pada awal periode Kalimantan Timur Gambar 16 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsen dan konsumen di Kalimantan Timur tahun Gambar 16terlihat bahwa adanya perbedaan respon terhadap perubahan harga saat kenaikan dan penurunan harga antara produsen dan konsumen yang terjadi pada pasar beras di Kalimantan Timur. Pada tahun 2006, 2007, dan 2011 kenaikan harga di tingkat produsen diikuti oleh penurunan harga di tingkat konsumen. Harga beras di tingkat produsen dan konsumen cenderung stabil selama periode dan mulai berfluktuasi pada awal periode 2006.

33 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Transmisi Harga Beras di 10 Provinsi Indonesia Berdasarkan data harga nominal selama periode Januari 2003 sampai Desember 2015,terdapat perbedaan respon terhadap perubahan harga baik saat terjadi kenaikan hargaatau pada saat penurunanharga yang terjadi pada pasar beras.secara keseluruhan, berdasarkan nilai coefficient of variance (CV) pada harga beras di 10 provinsi Indonesia menunjukkan bahwaharga di tingkat konsumen yang paling bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa harga di tingkat konsumen lebih berfluktuasi daripada harga beras di tingkat produsen. Terlihat pada Tabel 2 bahwa masing-masing provinsi menunjukkan karakteristik fluktuasi harga yang berbeda. Tabel 2 Deskripsi statistik dari harga nominal produsen dan konsumen beras di 10 provinsi di Indonesia tahun Provinsi Level Mean Minimum Price Maximum Price Std.Dev CV Sumatra Utara Harga Produsen Harga Konsumen Jambi Harga Produsen Harga Konsumen Jawa Tengah Harga Produsen Harga Konsumen Harga Produsen Jawa Barat Harga Konsumen Harga Produsen Bali Harga Konsumen Kalimantan Barat Harga Produsen Harga Konsumen KalimantanTengah Harga Produsen Harga Konsumen Harga Produsen Kalimantan Timur Harga Konsumen NTB Harga Produsen Harga Konsumen Jawa Barat Harga Produsen Harga Konsumen Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa CV pada harga di tingkat konsumen yang memiliki nilai paling tinggi berada di provinsi Kalimantan Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa harga beras di tingkat konsumen di Kalimantan Tengah lebih berfluktuasi dibandingkan dengan provinsi lainnya. Sedangkan pada provinsi NTB, terlihat pada Tabel 2 bahwa nilai CV nya lebih kecil dibandingkan 9 provinsi lainnya, baik pada harga di tingkat produsen maupun harga di tingkat konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa harga di provinsi NTB tidak begitu berfluktuasi jika dibandingkan dengan kesembilan provinsi lainnya.

34 22 Analisis Asimetri Harga Beras di 10 Provinsi Indonesia Analisis asimetri harga pada 10 provinsi dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu uji stasioneritas data, uji kointegrasi, uji kausalitas, analisis asimetri harga menggunakan ECM dan terakhir uji Wald test. Uji Stasioneritas Untuk menganalisa pergerakan data time series dan melihat hubungan antara variabel, maka perlu dilakukan pengujian stasioneritas data series tersebut. Pengujian ini dilakukan untuk melihat konsistensi pergerakan data time series serta mencegah terjadinya spurious regression, yaitu kondisi dimana sebuah regresi terhadap satu variabel terhadap variabel lainnya menghasilkan nilai R 2 yang tinggi namun sebenarnya tidak ada hubungan yang berarti secara teori ekonomi. Hal ini sering terjadi pada saat kedua data time series menunjukkan karakteristik tren yang kuat dalam runtun waktu. Dalam penelitian ini, pengujian stasioneritas dilakukan dengan tes Augmented Dickey Fuller (ADF) pada kondisi level, Apabila data tidak stasioner adalah hasil pengujian stasioner data harga beras di tingkat produsen dan konsumen. Tabel 3 Hasil uji stasioneritas data harga produsen dan konsumen pada level dan first difference dengan ADF Test pada 10 provinsi di Indonesia Provinsi Variabel Sumatra Utara PC PP Jambi PC PP Jawa Barat PC PP Jawa Tengah PC PP Jawa Timur PC PP NTB PC PP Bali PC PP Kalimantan Barat PC PP KalimantanTengah PC PP Kalimantan Timur PC PP Keterangan : *** pada taraf nyata 1 persen Level Nilai ADF First Difference *** *** *** *** *** -9.56*** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** Hasil pengujian uji stasioneritas data menunjukkan bahwa variabel harga produsen dan konsumen di 10 provinsi tidak stationer pada level. Selanjutnya dilakukan pengujian pada kondisi first difference. Pada kondisi first difference dengan menggunakan ADF test, hasilnya menunjukkan semua variabel yang digunakan bersifat stasioner di 10 provinsi tersebut.

35 23 Uji Kointegrasi Pengujian adanya hubungan kointegrasi pada 10 provinsi ini dapat dilihat dari nilai trace statistic yang menunjukkan nilai trace statistic lebih besar dari nilai critical value 5 persen.pada model antara tingkat produsen dan tingkat konsumenyang memiliki t-statistik yang nyata pada level 5 persen dan level 10 persen, menunjukkan bahwa pada model tersebut terjadi hubungan kointegrasi. Hal inimenunjukkan adanya indikasi antara harga di tingkat produsen dengan harga di tingkat konsumen terintegrasi pada jangka panjang, sehingga model ECM dapat digunakan dalam penelitian ini. Tabel 4 Hasil uji kointegrasi pada data harga produsen dan konsumen beras di 10 provinsi Indonesia Provinsi r Trace Statistic ** Sumatra Utara Jambi ** Jawa Barat ** Jawa Tengah ** * Jawa Timur Bali ** NTB * * Kalimantan Barat ** Kalimantan Tengah * * Kalimantan Timur Keterangan : ** Taraf nyata 5 %, * Taraf nyata 10 % Hasil uji kointegrasi pada harga produsen-konsumen di 10 Provinsi Indonesia, dari Tabel 4 menunjukkan bahwa hanya 8 provinsi yang memiliki hubungan kointegrasi yaitu pada provinsi Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur. Sedangkan pada provinsi Jambi dan Bali tidak terjadi hubungan kointegrasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada kedua provinsi tersebut hubungan antara harga di tingkat produsen dengan harga di tingkat konsumen tidak terintegrasi pada jangka panjang, sehingga provinsi Jambi dan Bali tidak dapat dilanjutkan ke uji kausalitas. Uji Kausalitas Dalam penelitian ini pengujian kausalitas dilakukan untuk memastikan arah transmisi harga. Dalam kasus vertikal, shock harga yang disebabkan oleh perubahan permintaan (transmisi harga dari hilir ke hulu) akan memberikan efek transmisi harga yang berbeda dengan shock akibat perubahan penawaran (transmisi harga dari hulu ke hilir) (Kinnucan dan Forker 1987). Dalam penelitian ini pengujian kausalitas

36 24 dilakukan melalui pengujian secara statistik dengan menggunakan metode Granger test. Berikut adalah hasil pengujian kausalitas secara statistik dengan menggunakan Granger test. Pada penelitian ini uji kuasalitas menggunakan metode Granger. Apabila hasil pengujian secara statistik dengan metode Granger menunjukkan hubungan kausalitas dua arah, pengujian asimetris harga selanjutnya menggunakan VECM dan apabila hasil pengujian menunjukkan kausalitas satu arah maka akan pengujian asimetris harga selanjutnya menggunakan ECM. Hal ini untuk membuktikan apakah benar pergerakan harga dari sektor hulu merupakan penentu utama pergerakan harga di hilir, ataukah pergerakan harga disektor hulu lebih ditentukan oleh transaksi yang terjadi antar pelaku usaha di tingkat hilir. Tabel 5 Hasil uji kausalitas dengan metode Granger Causality pada harga produsen dan konsumen Provinsi Jumlah Lag F-Statistik Hubungan Sumatra Utara *** PC PP PP PC Jawa Tengah ** PC PP PP PC Jawa Timur * PC PP PP PC NTB ** PC PP PP PC Kalimantan Barat *** PC PP PP PC KalimantanTengah *** PC PP PP PC Kalimantan Timur *** PC PP PC PP Jawa Barat Keterangan : *** nyata pada alfa 1 persen, ** nyata pada alfa 5 persen, * nyata pada alfa 10 persen Berdasarkan Tabel 5 melalui variabel PC (harga konsumen) dan PP (harga produsen) terlihat bahwa terdapat hubungan kausalitas. Hubungan kausalitas yang terjadi adalah PC mempengaruhi PP, terjadi di 7 provinsi yaitu Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur. Sedangkan di Jawa Barat arah hubungan antara harga konsumen dengan harga produsen tidak terlihat arah hubungan sebab-akibat, Maka Jawa Barat tidak dapat dilanjutkan kedalam model penelitian. Pada variabel PP mempengaruhi PC bernilai tidak signifikan, artinya harga di tingkat produsen tidak mempengaruhi harga di tingkat konsumen.pada uji kausalitas terlihat hubungan yang terjadi adalah satu arah. Sedangkan di Jawa Barat arah hubungan antara harga konsumen dengan harga produsen tidak terlihat arah hubungan sebab-akibat, Maka Jawa Barat tidak dapat dilanjutkan kedalam model penelitian.

37 25 Analisis asimetris harga (konsumen-produsen) Pengujian analisis asimetris harga (konsumen-produsen) dilakukan untuk melihat apakah transmisi harga terjadi secara sempurna antara produsen dengan konsumen. Model asimetris harga pada penelitian ini menggunakan model ECM Von Cramon-Taubadel dan Loy. Model ini memisahkan transmisi harga tidak simetris antara transmisi jangka panjang dengan transmisi jangka pendek Analisis asimetris harga beras antara konsumen dengan produsen dilakukan pada 10 provinsi Indonesia. Sebelum masuk kedalam model ECM telah dilakukan beberapa uji, dari 10 provinsi tersebut hanya 7 provinsi yang dapat dilanjutkan kedalam model yaitu provinsi Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Tabel 6 Hasil model ECM pada harga beras konsumen dan harga produsen di 7 provinsi Intersep R 2 R 2 -adj F- statistik DW- Stat Sumut Jateng Jatim NTB Kalbar Kalteng Kaltim PC PP PC PP PC PP PC PP PC PP PC PP PC PP 0.650** a (0.988) b (0.08) *** (0.00) (0.96) 0.351*** (0.00) (0.66) 0.410*** (0.00) (0.45) (0.47) (0.47) (0.14) (0.000) (0.84) (0.79) 0.441*** (0.00) (0.17) 0.247*** (0.00) (0.38) 0.333*** (0.00) (0.000) (0.82) (0.96) (0.91) (0.70) 0.364*** (0.00) (0.17) (0.29) (0.44) ** (0.05) (0.000) (0.64) (0.36) (0.32) 0.168** (0.02) 0.238*** (0.00) (0.43) 0.209*** (0.00) (0.42) (0.29) (0.000) (0.55) (0.18) (0.36) (0.80) 0.288*** (0.00) (0.12) 0.144*** (0.00) 0.172** (0.03) (0.22) (0.000) (0.22) (0.27) (0.43) (0.20) 0.280*** (0.00) (0.18) 0.213** (0.02) 0.184** (0.02) 0.317*** (0.00) (0.000) (0.63) (0.10) *** (0.01) 0.282** (0.05) 0.367*** (0.00) (0.44) 0.366*** (0.00) 0.231*** (0.01) 0.256** (0.04) (0.000) Keterangan : a parameter estimate, b p-value,*** nyata pada 1 persen, ** nyata pada 5 persen, *nyata 10 persen Hasil proses transmisi harga pada Tabel 6 terlihat bahwa pada harga konsumen pada periode ke-t di Sumatra Utaramenunjukkan perubahan penurunan harga bernilai tidak signifikan sedangkan perubahan kenaikan memiliki nilai yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa pada saat terjadi kenaikan harga beras pada periode t di tingkat konsumen akan direspon oleh produsen, namun pada saat terjadi penurunan harga ditingkat konsumen tidak akan direspon oleh produsen. Lebih lanjut, untuk variabel indepedennya pada hubungan tingkat konsumenprodusen dalam transmisi jangka pendek terjadi perbedaan respon harga konsumen terhadap guncanganpositif dan negatif dari harga produsen. Pada harga konsumen

38 26 pada periode sebelumnya t-1, dimana pada perubahan penurunan dan kenaikan harga menunjukkan nilai yang tidak signifikan. Artinya pada saat penurunan maupun kenaikan harga di tingkat konsumen pada waktu sebelumnya tidak berpengaruh terhadap harga di produsen. Pada proses transmisi jangka panjang pada hubungan antara konsumen dengan produsen dapat dilihat dari nilai ECT-nya. Dari Tabel 6 tersebut terdapat kesamaan tanda koefisien antara ECT+ dan ECT-. Koefisien ECT+ bernilai negatif dengan nilai 0.02 sedangkan ECT- dengan nilai Koefisien ECT+ yang bernilai negatif 0.02 menunjukkan bahwa penyimpangan harga di jangka pendek akan terkoreksi kembali ke garis keseimbangan jangka panjangnya. Dengan kata lain, pada saat penyimpangan berada di atas garis keseimbangan maka penyimpangan tersebut akan kembali lagi ke garis kesimbangannya (harga beras di tingkat produsen akan menyesuaikan turun). Berdasarkan penelitian Yustiningsih (2012), untuk melihat lamanya penyesuaian harga menuju kesimbangan jangka panjang dapat dihitung dengan cara mengalikan nilai koefisien ECT dengan 12 bulan. Lama penyesuaian menuju keseimbangan tersebut berdasarkan nilai koefisiennya yaitu 2 bulan.oleh karena ECT+ bernilai signifikan, maka penyimpangan tersebut akan mempengaruhi harga beras di tingkat produsen. Jika dilihat dari tanda koefisien variabel ECT+ dan ECT- tersebut dapat disimpulkan bahwa transmisi harga beras di tingkat konsumen terhadap harga di tingkat produsen terjadi secara simetris. Proses transmisi harga hubungan antara harga konsumen dan harga produsen pada periode ke-t di Jawa Tengah menunjukkan perubahan pada penurunan harga bernilai tidak signifikan sedangkan pada perubahan kenaikan harga bernilai signifikan. Ini menunjukkan bahwa pada saat terjadi kenaikan harga beras pada periode t di tingkat konsumen akan direspon oleh produsen, namun pada saat terjadi penurunan harga di tingkat konsumen tidak akan direspon oleh produsen. Untuk variabel independennya pada hubungan harga tingkat konsumen dan tingkat produsen dalam transmisi jangka pendek terjadi perbedaan respon harga konsumen terhadap shock positif dan negatif dari harga produsen. Pada harga konsumen pada periode sebelumnya t-1, dimana pada perubahan penurunan bernilai tidak signifikan dan kenaikan harga menunjukkan nilai yang signifikan. Artinya pada saat penurunan harga di tingkat konsumen pada waktu sebelumnya tidak berpengaruh sedangkan kenaikan harga pada tingkat konsumen akan berpengaruh pada kenaikan harga di tingkat produsen. Pada proses transmisi jangka panjangpada hubungan antara konsumen dengan produsen dapat dilihat dari nilai ECT-nya. Dari Tabel 6 tersebut terdapat kesamaan tanda koefisien antara ECT+ dan ECT-. Koefisien ECT+ bernilai positif dengan nilai 0.08 sedangkan ECT- dengan nilai Koefisien ECT+ yang bernilai positif 0.08 menunjukkan bahwa penyimpangan harga di jangka pendek tidak akan terkoreksi kembali ke garis keseimbangan jangka panjangnya. Dengan kata lain, pada saat penyimpangan berada di atas garis keseimbangan maka penyimpangan tersebut tidak akan kembali lagi ke garis kesimbangannya (harga beras di tingkat produsen tidak akan menyesuaikan turun). Lama penyesuaian menuju keseimbangan tersebut berdasarkan nilai koefisiennya yaitu 1 bulan. Oleh karena ECT+ bernilai signifikan, maka penyimpangan tersebut akan mempengaruhi harga beras di tingkat produsen. Jika dilihat dari tanda koefisien variabel ECT+ dan ECT- tersebut dapat disimpulkan bahwa transmisi harga beras di tingkat konsumen terhadap harga di tingkat produsen terjadi secara simetris. Proses transmisi harga hubungan antara harga konsumen dan harga produsen pada periode ke-t di Jawa Timur menunjukkan perubahan pada penurunan harga

39 27 bernilai tidak signifikan sedangkan pada perubahan kenaikan harga bernilai signifikan. Ini menunjukkan bahwa pada saat terjadi kenaikan harga beras pada periode t di tingkat konsumen akan direspon oleh produsen, namun pada saat terjadi penurunan harga di tingkat konsumen tidak akan direspon oleh produsen. Untuk variabel independennya pada hubungan harga tingkat konsumen dan tingkat produsen dalam transmisi jangka pendek terjadi perbedaan respon harga konsumen terhadap guncangan positif dan negatif dari harga produsen. Pada harga konsumen pada periode sebelumnya t-1, dimana baik pada perubahan penurunan ataupun kenaikan harga bernilai tidak signifikan. Artinya pada saat penurunan harga di tingkat konsumen pada waktu sebelumnya tidak berpengaruh pada harga di tingkat produsen. Pada proses transmisi jangka panjang pada hubungan antara konsumen dengan produsen dapat dilihat dari nilai ECT-nya. Dari Tabel 6 tersebut terdapat kesamaan tanda koefisien antara ECT+ dan ECT-. Koefisien ECT+ bernilai negatif dengan nilai 0.02 sedangkan ECT- dengan nilai Koefisien ECT+ yang bernilai negatif menunjukkan bahwa penyimpangan harga di jangka pendek akan terkoreksi kembali ke garis keseimbangan jangka panjangnya. Dengan kata lain, padasaat penyimpangan berada di atas garis keseimbangan maka penyimpangan tersebutakan kembali lagi ke garis kesimbangannya (harga beras di tingkat produsen akan menyesuaikan turun). Lama penyesuaian menuju keseimbangan tersebut berdasarkan nilai koefisiennya yaitu 0 bulan. Oleh karena ECT+ bernilai signifikan, maka penyimpangan tersebut akan mempengaruhi harga beras di tingkat produsen. Jika dilihat dari tanda koefisien variabel ECT+ dan ECT- tersebut dapat disimpulkan bahwa transmisi harga beras di tingkat konsumen terhadap harga di tingkat produsen terjadi secara simetris. Proses transmisi harga hubungan antara harga konsumen dan harga produsen pada periode ke-t di NTB menunjukkan perubahan pada penurunan dan kenaikan harga bernilai signifikan. Ini menunjukkan bahwa pada saat terjadi penurunan dan kenaikan harga beras pada periode t di tingkat konsumen akan direspon oleh produsen. Untuk variabel independennya pada hubungan harga tingkat konsumen dan tingkat produsen dalam transmisi jangka pendekterjadi perbedaan respon harga konsumen terhadap guncanganpositif dan negatif dari harga produsen. Pada harga konsumen pada periode sebelumnya t-1, dimana pada perubahan penurunan bernilai tidak signifikan sedangkan kenaikan harga bernilai signifikan. Artinya pada saat penurunan harga di tingkat konsumen pada waktu sebelumnya tidak berpengaruh pada harga di tingkat produsen dan saat terjadi kenaikan harga pada waktu sebelumnya akan berpengaruh pada harga di tingkat produsen. Pada proses transmisi jangka panjang pada hubungan antara konsumen dengan produsen dapat dilihat dari nilai ECT-nya. Dari Tabel 6 tersebut terdapat kesamaan tanda koefisien antara ECT+ dan ECT-. Koefisien ECT+ bernilai negatif dengan nilai 0.06 sedangkan ECT- dengan nilai Koefisien ECT+ yang bernilai negatif menunjukkan bahwa penyimpangan harga di jangka pendek akan terkoreksi kembali ke garis keseimbangan jangka panjangnya. Dengan kata lain, pada saat penyimpangan berada di atas garis keseimbangan maka penyimpangan tersebut akan kembali lagi ke garis kesimbangannya (harga beras di tingkat produsen akan menyesuaikan turun). Lama penyesuaian menuju keseimbangan tersebut berdasarkan nilai koefisiennya yaitu 1 bulan.oleh karena ECT+ bernilai tidak signifikan, maka penyimpangan tersebut tidak akan mempengaruhi harga beras di tingkat produsen. Jika dilihat dari tanda koefisien variabel ECT+ dan ECT- tersebut dapat disimpulkan

40 28 bahwa transmisi harga beras di tingkat konsumen terhadap harga di tingkat produsen terjadi secara simetris. Proses transmisi harga hubungan antara harga konsumen dan harga produsen pada periode ke-t di Kalimantan Baratmenunjukkan perubahan pada penurunan harga bernilai tidak signifikan sedangkan pada perubahan kenaikan harga bernilai signifikan. Ini menunjukkan bahwa pada saat terjadi kenaikan harga beras pada periode t di tingkat konsumen akan direspon oleh produsen, namun pada saat terjadi penurunan harga di tingkat konsumen tidak akan direspon oleh produsen. Untuk variabel independennya pada hubungan harga tingkat konsumen dan tingkat produsen dalam transmisi jangka pendekterjadi perbedaan respon harga konsumen terhadap guncanganpositif dan negatif dari harga produsen. Pada harga konsumen pada periode sebelumnya t-1, pada perubahan penurunan harga bernilai tidak signifikan sedangkan pada kenaikan harga bernilai signifikan. Artinya pada saat penurunan harga di tingkat konsumen pada waktu sebelumnya tidak berpengaruh pada harga di tingkat produsen sedangkan pada saat kenaikan hargadi tingkat konsumen pada waktu sebelumnya akan berpengaruh pada harga di tingkat. Pada proses transmisi jangka panjang pada hubungan antara konsumen dengan produsen dapat dilihat dari nilai ECT-nya. Dari Tabel 6 tersebut terdapat kesamaan tanda koefisien antara ECT+ dan ECT-. Koefisien ECT+ bernilai negatif dengan nilai 0.02 sedangkan ECT- dengan nilai Koefisien ECT+ yang bernilai negatif menunjukkan bahwa penyimpangan harga di jangka pendek akan terkoreksi kembali ke garis keseimbangan jangka panjangnya. Dengan kata lain, pada saat penyimpangan berada di atas garis keseimbangan maka penyimpangan tersebut akan kembali lagi ke garis kesimbangannya (harga beras di tingkat produsen akan menyesuaikan turun). Lama penyesuaian menuju keseimbangan tersebut berdasarkan nilai koefisiennya yaitu 0 bulan.oleh karena ECT+ bernilaisignifikan, maka penyimpangan tersebutakan mempengaruhi harga beras di tingkat produsen. Jika dilihat dari tanda koefisien variabel ECT+ dan ECT- tersebut dapat disimpulkan bahwa transmisi harga beras di tingkat konsumen terhadap harga di tingkat produsen terjadi secara simetris. Proses transmisi harga hubungan antara harga konsumen dan harga produsen pada periode ke-t di Kalimantan Tengahmenunjukkan perubahan pada penurunan harga bernilai tidak signifikan sedangkan pada perubahan kenaikan harga bernilai signifikan. Ini menunjukkan bahwa pada saat terjadi kenaikan harga beras pada periode t di tingkat konsumen akan direspon oleh produsen, namun pada saat terjadi penurunan harga di tingkat konsumen tidak akan direspon oleh produsen. Untuk variabel independennya pada hubungan harga tingkat konsumen dan tingkat produsen dalam transmisi jangka pendekterjadi perbedaan respon harga konsumen terhadap guncanganpositif dan negatif dari harga produsen. Pada harga konsumen pada periode sebelumnya t-1, pada perubahan penurunan harga bernilai tidak signifikan sedangkan pada kenaikan harga bernilai signifikan. Artinya pada saat penurunan harga di tingkat konsumen pada waktu sebelumnya tidak berpengaruh pada harga di tingkat produsen sedangkan pada saat kenaikan hargadi tingkat konsumen pada waktu sebelumnya akan berpengaruh pada harga di tingkat. Pada proses transmisi jangka panjang pada hubungan antara konsumen dengan produsen dapat dilihat dari nilai ECT-nya. Dari Tabel 6 tersebut terdapat kesamaan tanda koefisien antara ECT+ dan ECT-. Koefisien ECT+ bernilai positif dengan nilai 0.18 sedangkan ECT- dengan nilai Koefisien ECT+ yang bernilai positif 0.31 menunjukkan bahwa penyimpangan harga di jangka pendek tidak akan terkoreksi kembali ke garis keseimbangan jangka panjangnya. Dengan kata lain, pada saat

41 penyimpangan berada di atas garis keseimbangan maka penyimpangan tersebut tidak akan kembali lagi ke garis kesimbangannya (harga beras di tingkat produsen tidak akan menyesuaikan turun). Lama penyesuaian menuju keseimbangan tersebut berdasarkan nilai koefisiennya yaitu 2 bulan.oleh karena ECT+ bernilaisignifikan, maka penyimpangan tersebutakan mempengaruhi harga beras di tingkat produsen. Jika dilihat dari tanda koefisien variabel ECT+ dan ECT- tersebut dapat disimpulkan bahwa transmisi harga beras di tingkat konsumen terhadap harga di tingkat produsen terjadi secara simetris. Proses transmisi harga hubungan antara harga konsumen dan harga produsen pada periode ke-t di Kalimantan Timurmenunjukkan perubahan pada penurunan dan kenaikan harga bernilai signifikan. Ini menunjukkan bahwa pada saat terjadi penurunan dan kenaikan harga beras pada periode t di tingkat konsumen akan direspon oleh produsen. Untuk variabel independennya pada hubungan harga tingkat konsumen dan tingkat produsen dalam transmisi jangka pendekterjadi perbedaan respon harga konsumen terhadap guncanganpositif dan negatif dari harga produsen. Pada harga konsumen pada periode sebelumnya t-1, pada perubahan penurunan harga bernilai tidak signifikan sedangkan pada kenaikan harga bernilai signifikan. Artinya pada saat penurunan harga di tingkat konsumen pada waktu sebelumnya tidak berpengaruh pada harga di tingkat produsen sedangkan pada saat kenaikan hargadi tingkat konsumen pada waktu sebelumnya akan berpengaruh pada harga di tingkat. Pada proses transmisi jangka panjang pada hubungan antara konsumen dengan produsen dapat dilihat dari nilai ECT-nya. Dari Tabel 6 tersebut terdapat kesamaan tanda koefisien antara ECT+ dan ECT-. Koefisien ECT+ bernilai positif dengan nilai 0.23 sedangkan ECT- dengan nilai Koefisien ECT+ yang bernilai positif 0.31 menunjukkan bahwa penyimpangan harga di jangka pendek tidak akan terkoreksi kembali ke garis keseimbangan jangka panjangnya. Dengan kata lain, pada saat penyimpangan berada di atas garis keseimbangan maka penyimpangan tersebut tidak akan kembali lagi ke garis kesimbangannya (harga beras di tingkat produsen tidak akan menyesuaikan turun). Lama penyesuaianmenuju keseimbangan tersebut berdasarkan nilai koefisiennya yaitu 3 bulan. Oleh karena ECT+ bernilaisignifikan, maka penyimpangan tersebutakan mempengaruhi harga beras di tingkat produsen. Jika dilihat dari tanda koefisien variabel ECT+ dan ECT- tersebut dapat disimpulkan bahwa transmisi harga beras di tingkat konsumen terhadap harga di tingkat produsen terjadi secara simetris. 29

42 30 Untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih meyakinkan maka dilakukan pengujian keidentikan koefisien menggunakan Wald Test seperti padatabel berikut : Tabel 7 Uji Wald Test dengan model ECM pada di provinsi Sumatra Utara, Jawa Tengah dan Jawa Timur Provinsi Wald Test F Statistik Sumatra Utara 9.64* (0.00) 0.14 (0.70) 0.21 (0.64) 6.46* (0.01) Jawa Tengah 0.08 (0.76) 1.91 (0.16) 6.08* (0.01) Jawa Timur 2.50 (0.11) 0.22 (0.63) Keterangan : * taraf nyata 10 persen Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa dari hasil pengujian koefisien dengan Wald Test melalui model ECM menunjukkan pada provinsi Sumatra Utara, Jawa Tengan dan Jawa Timur memiliki nilai koefisien pada variabel dengan variabel tidak identik secara statistik sedangkan variabel dengan identik secara statistik. Dengan kata lain, transmisi harga di tingkat konsumen terhadap harga di tingkat produsen pada jangka pendek bersifat asimetris. Dalam model ECM juga dilakukan pengujian terhadap proses transmisi harga jangka panjang, dengan membandingkan nilai koefisien ECT+ dan ECT-. Hasil dari pengujian koefisien dengan Wald Test pada provinsi Sumatra Utara terlihat bahwa koefisien ECT+ dan ECT- identik secara statistik. Dengan kata lain, transmisi harga beras di tingkat konsumen terhadap harga beras di tingkat produsen dalam jangka panjang terjadi secara simetris. Tabel 8 Uji Wald Test dengan model ECM pada di provinsi NTB dan Kalimantan Tengah Provinsi Wald Test F Statistik NTB 0.43 (0.51) 1.96 (0.16) 0.08 (0.77) 2.27 (0.13) Kalimantan Tengah 0.77 (0.38) 0.68 (0.40)

43 31 Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa dari hasil pengujian koefisien dengan Wald Test melalui model ECM menunjukkan pada provinsi NTB dan Kalimantan Tengah memiliki nilai koefisien pada variabel dengan variabel identik secara statistik sedangkan variabel dengan identik secara statistik. Dengan kata lain, transmisi harga di tingkat konsumen terhadap harga di tingkat produsen pada jangka pendek bersifat simetris. Dalam model ECM juga dilakukan pengujian terhadap proses transmisi harga jangka panjang, dengan membandingkan nilai koefisien ECT+ dan ECT-. Hasil dari pengujian koefisien dengan Wald Test pada provinsi Sumatra Utara terlihat bahwa koefisien ECT+ dan ECT- identik secara statistik. Dengan kata lain, transmisi harga beras di tingkat konsumen terhadap harga beras di tingkat produsen dalam jangka panjang terjadi secara simetris. Tabel 9 Uji Wald Test dengan model ECM pada di provinsi Kalimantan Baratdan Kalimantan Timur Provinsi Wald Test F Statistik Kalimantan Barat 5.61* (0.01) 0.00* (0.94) 0.06 (0.79) 0.25 (0.61) Kalimantan Timur 2.09* (0.14) 0.01 (0.89) Keterangan : * taraf nyata 10 persen Berdasarkan Tabel 9dapat dilihat bahwa dari hasil pengujian koefisien dengan Wald Test melalui model ECM menunjukkan pada provinsi Kalimantan Barat memiliki nilai koefisien pada variabel dengan variabel tidak identik secara statistik sedangkan variabel dengan identik secara statistik. Dengan kata lain, transmisi harga di tingkat konsumen terhadap harga di tingkat produsen pada jangka pendek bersifat asimetris. Dalam model ECM juga dilakukan pengujian terhadap proses transmisi harga jangka panjang, dengan membandingkan nilai koefisien ECT+ dan ECT-. Hasil dari pengujian koefisien dengan Wald Test pada provinsi Sumatra Utara terlihat bahwa koefisien ECT+ dan ECT- identik secara statistik. Dengan kata lain, transmisi harga beras di tingkat konsumen terhadap harga beras di tingkat produsen dalam jangka panjang terjadi secara simetris. Sedangkan pada provinsi Kalimantan Timur memiliki nilai koefisien pada variabel dengan variabel tidentik secara statistik sedangkan variabel dengan tidak identik secara statistik. Dengan kata lain, transmisi harga di tingkat konsumen terhadap harga di tingkat produsen pada jangka pendek bersifat asimetris. Dalam model ECM juga dilakukan pengujian terhadap proses transmisi harga jangka panjang, dengan membandingkan nilai koefisien ECT+ dan ECT-. Hasil dari pengujian koefisien dengan Wald Test pada provinsi Sumatra Utara terlihat bahwa koefisien ECT+ dan ECT- identik secara statistik. Dengan kata lain, transmisi harga beras di tingkat konsumen terhadap harga beras di tingkat produsen dalam jangka panjang terjadi secara simetris.

44 32 Rangkuman Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan Yustiningsih (2012) mengenai Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Beras Petani Konsumen di Indonesia. Penelitian tersebut menganalisis pergerakan harga di tingkat petani dan konsumen Hasil pendugaan model menggunakan ECM menunjukkan bahwa dalam jangka pendek transmisi harga petani terhadap harga konsumen bersifat simetris, sementara dalam jangka panjang bersifat asimetris. Sedangkan pada penelitian ini, dapat diuraikan sebagai berikut seperti yang terlihat pada tabel 10 : Tabel 10 Pemilihan provinsi untuk uji asimetri harga beras jenis IR 64 di Indonesia No. Provinsi 10 Provinsi untuk beras jenis IR 64 Uji Kointegrasi Uji Kausalitas Uji Asimetri Harga Asimetri Simetris Jangka Jangka Pendek Panjang 1 Aceh 2 Sumatra Utara 3 Sumatra Barat 4 Riau 5 Kep. Riau 6 Jambi X X X X 7 Sumatra Selatan 8 Bangka Belitung 9 Bengkulu 10 Lampung 11 DKI Jakarta 12 Jawa Barat X X X 13 Banten 14 Jawa Tengah 15 DI Yogyakarta 16 Jawa Timur 17 Bali X X X X 18 NTB X 19 NTT 20 Kalimantan Barat 21 KalimantanTengah X 22 Kalimantan Selatan 23 Kalimantan Timur 24 Kalimantan Utara 25 Sulawesi Utara 26 Sulawesi Barat 27 Sulawesi Tengah 28 Sulawesi Tenggara 29 Sulawesi Selatan 30 Gorontalo 31 Maluku 32 Maluku Utara 33 Papua 34 Papua Barat Penelitian ini menganalisis Asimetri Harga Beras. Khususnya beras jenis IR 64. Analisis asimetri harga dilakukanpada 34 provinsi namun berdasarkan data yang tersedia untuk harga beras jenis IR 64 relatif lengkap hanya di 10 provinsi yaitu Sumatra Utara, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

45 33 Untuk menganalisis adanya asimetris harga di 10 provinsi tersebut maka dilakukan beberapa tahapan. Tahapan yang pertama adalah dilakukan uji kointegrasi. Hasil dari uji kointegrasi menunjukkan bahwa dari 10 provinsi hanya 8 provinsi yang terintegrasi pada jangka panjang. Provinsi tersebut yaitu Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur. Selanjutnya kedelapanprovinsi tersebutdilakukanpengujian kausalitas. Uji kausalitas adalah untuk melihat arah hubungan yang terjadi antara harga beras produsen dengan harga beras di tingkat konsumen.hasil dari uji kausalitas menunjukkan bahwa hubungan kausalitas yang terjadi adalah harga beras di tingkat konsumen mempengaruhi harga beras di tingkat produsen, namun pada provinsi Jawa Barat tidak terlihat arah hubungan antara harga konsumen dengan harga produsen. Sehingga Jawa Barat tidak dapat dilanjutkan kedalam model. Pengujian asimetris harga dilakukan pada 7 provinsi yang tersisa yaitu Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur dilakukan analisis asimetri harga dengan menggunakan model ECM. Hasil analisis asimetri harga menunjukkan bahwa pada transmisi harga jangka pendek bersifat asimetris. Transmisi harga bersifat asimetris pada jangka pendek terjadi di 5 provinsi yaitu Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Sedangkan pada transmisi harga jangka panjang bersifat simetris pada 7 provinsi tersebut. SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dipaparkan maka kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Pergerakan harga beras di 10 provinsi secara keseluruhan menunjukkan tren yang sama yakni cenderung meningkat. Meskipun demikian,adanya perbedaan respon terhadap perubahan harga (saat kenaikan dan penurunan harga) yang terjadi antara konsumen dan produsen pada pasar beras di Jawa Barat. Hargaberas di tingkat produsen dan konsumen mulai berfluktuasi pada awal periode 2007, di mana disparitas harga terbesar terjadi pada tahun Hal ini dapat dilihat dari hasilanalisis koefisien keragaman (CV) menunjukan bahwa harga beras di tingkat konsumen lebih cepat berubah dibandingkan harga di tingkat produsen. 2. Secara keseluruhan uji asimetris harga pada 10 provinsi menunjukkan bahwa hanya 7 provinsi yang terkointegrasi yaitu Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur. Pada ketujuh provinsi tersebut terlihat bahwa terdapat hubungan kausalitas antara harga pada tingkat konsumen mempengaruhi harga di tingkat produsen. Hasil pengujian koefisien dengan menggunakan ECM, pada jangka pendek transmisi harga beras di tingkat konsumen terhadap harga beras di tingkat produsen terjadi secara asimetris di provinsi Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur namun bersifat

46 34 simetris di provinsi NTB dan Kalimantan Tengah.Sedangkan pada jangka panjang terjadi secara simetris di 7 provinsi di Indonesia. Saran 1. Pada provinsi yang menunjukkan transmisi harga bersifat asimetri, mengindikasikan masih adanya inefisiensi terutama dalam pemasaran sehingga diperlukan peran pemerintah untuk campur tangan. Untuk mengurangi asymmetric information diperlukannya laporan data statistik per provinsi dan per komoditas juga ditampilkan untuk melihat perkembangan harga di tiap pasar setiap harinya per komoditas. Statistik per komoditas juga menampilkan perkembangan harga komoditas di tiap pasar setiap harinya sehingga dapat terlihat mana harga tertinggi, rata-rata maupun yang terendah. Sehingga baik konsumen ataupun produsen dapat mengakses informasi harga dengan cepat. 2. Pada penelitian ini terdapat 3 provinsi yang belum terlihat kointegrasi antara harga produsen dan konsumen. Sehingga untuk penelitian selanjutnya diperlukan analisis lebih lanjut dengan menggunakanmetode lain atau dengan penambahan variabel faktor-faktor yang mempengaruhi asimetris harga, contohnya transaction cost atau Market Power.

47 35 DAFTAR PUSTAKA Acharya, R. N Market Power and Asymmetry in Farm-Retail Price Transmission. Working Paper.Morrison School of Agribusiness and Resource Management, Arizona Stat University East. Aryani, D Integrasi Vertikal Pasar Produsen Gabah dengan Pasar Ritel Beras di Indonesia. Jurnal Manajemen Teknologi, 11(2). Medan (ID): Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Asmarantaka, R W Pemasaran Produk-Produk Pertanian. Bunga Rampai Agribisnis : Seri Pemasaran. Bogor (ID): IPB Press Bailey DV, Brorsen BW Price Asymmetry in Spatial Fed Cattle Markets. Western Journal of Agricultural Economics, 14(2): Bustaman, A.D Analisa Integrasi Pasar Beras Indonesia [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Harga Produsen Gabah. Jakarta (ID) [BPS] Badan Pusat Statistik Perkembangan Mingguan Harga Eceran Beberapa Jenis Bahan Pokok. Jakarta (ID) Cahyaningsih, E Integrasi Spasial dan Vertikal di Pasar Beras [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Conforti, P Price Transmission in Selected Agricultural Markets. FAO Commodity and Trade Policy Research Working Paper No. 7. Roma: FAO Information Division. Firdaus M Aplikasi Ekonometrika Data Panel dan Data Time Series. Bogor (ID): IPB Press. Goodwin BK Spatial and vertical price transmission in meat markets. Paper Presented at Workshop of Market Integration and Vertical and Spatial Price Transmission in Agricultural Markets, Kentucky, Harmini, Nurmalina R, Rosiana N Transmisi Harga Gula Tebu. Prosiding Seminar (Penelitian Unggulan Departemen Agribisnis). Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Irawan B Fluktuasi harga, transmisi harga dan marjin pemasaran sayuran dan Buah. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 5 (4): Juliaviani, N Analisis Efisiensi Pemasaran Ekspor Kopi Arabika Gayo Di Provinsi Aceh [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [KEMENTAN] Kementerian Pertanian. Berbagai Terbitan. [Internet]. [diunduh Maret 2016]. Tersedia pada: Kinnucan HW, Forker OD Asymmetry in farm-retail price transmission for major dairy products. American Journal of Agricultural Economics, 69 (2): Meyer J, von Cramon-Taubadel S Asymmetric price transmission: a survey. Journal of Agricultural Economics, 55(3): Pusat Data dan Informasi Kementrian Pertanian Outlook Padi Jakarta (ID). Kementrian Pertanian.

48 36 Peltzman, S Prices Rise Faster than they fall. Journal of Political Economy, 108(3): Prastowo NJ, Tri Y, Yoni D Pengaruh Distribusi dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya terhadap Inflasi. Working Paper. Bank Indonesia. Ravalion Testing Market Integration. American Journal of Agricultural Economics,68 (1) : S. McCorriston, C. W. Morgan and A. J. Rayner Price Transmission: The Interaction Between Firm Behaviour and Returns to Scale. Discussion Papers in Economic. University Of Nottingham. Sahara, Wicaksena B Asymetry in Farm-Retail Price Transmission: The Case of Chili Industry in Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 2(1): Thomas RL Modern Econometrics An Introduction. England (UK): Addision Wesley Longman. Tomek WG Commodity Prices Revisited. Staff Paper , Department of Applied Economics and Management, Cornell University, New York. Vavra P, Goodwin BK Analysis of price transmission along food chain. Working Papers OECD Food, Agriculture and Fisheries, No 3, OECD Publishing. Ward, R.W Asymmetry in retail, wholesale and shipping point pricing for fresh vegetables. American Journal of Agricultural Economics, 64(2): Yustiningsih, F Analisa Integrasi pasar dan Transmisi Harga Beras Petani Konsumen di Indonesia. [Tesis]. Depok (ID): Fakultas Ekonomi.Universitas Indonesia.

49 37 LAMPIRAN Lampiran 1 Transmisi Harga beras Produsen-Konsumen 8 Provinsi a) Hasil Uji Stationeritas Data Harga Konsumen pada Level dan Fisrt Difference dengan ADF Test Pada Provinsi Sumatra Utara b) Hasil Uji Stationeritas Data Harga Produsen pada Level dan Fisrt Difference dengan ADF Test Pada Provinsi Sumatra Utara

50 38 c) Hasil Uji Stationeritas Data Harga Konsumen pada Level dan Fisrt Difference dengan ADF Test Pada Provinsi Jawa Tengah d) Hasil Uji Stationeritas Data Harga Produsen pada Level dan Fisrt Difference dengan ADF Test Pada Provinsi Jawa Tengah

51 39 e) Hasil Uji Stationeritas Data Harga Konsumen pada Level dan Fisrt Difference dengan ADF Test Pada Provinsi Jawa Barat f) Hasil Uji Stationeritas Data Harga Produsen pada Level dan Fisrt Difference dengan ADF Test Pada Provinsi Jawa Barat

52 40 g) Hasil Uji Stationeritas Data Harga Konsumen pada Level dan Fisrt Difference dengan ADF Test Pada Provinsi Jawa Timur h) Hasil Uji Stationeritas Data Harga Produsen pada Level dan Fisrt Difference dengan ADF Test Pada Provinsi Jawa Timur \

53 41 i) Hasil Uji Stationeritas Data Harga Konsumen pada Level dan Fisrt Difference dengan ADF Test Pada Provinsi NTB j) Hasil Uji Stationeritas Data Harga Produsen pada Level dan Fisrt Difference dengan ADF Test Pada Provinsi NTB

54 42 k) Hasil Uji Stationeritas Data Harga Konsumen pada Level dan Fisrt Difference dengan ADF Test Pada Provinsi Kalimantan Barat l) Hasil Uji Stationeritas Data Harga Produsen pada Level dan Fisrt Difference dengan ADF Test Pada Provinsi Kalimantan Barat

55 43 m) Hasil Uji Stationeritas Data Harga Konsumen pada Level dan Fisrt Difference dengan ADF Test Pada Provinsi Kalimantan Tengah n) Hasil Uji Stationeritas Data Harga Produsen pada Level dan Fisrt Difference dengan ADF Test Pada Provinsi Kalimantan Tengah

56 44 o) Hasil Uji Stationeritas Data Harga Konsumen pada Level dan Fisrt Difference dengan ADF Test Pada Provinsi Kalimantan Timur p) Hasil Uji Stationeritas Data Harga Produsen pada Level dan Fisrt Difference dengan ADF Test Pada Provinsi Kalimantan Timur

57 45 Lampiran 2 Penentuan Selang Optimal (Optimal Lag) Produsen-Konsumen di 8 Provinsi a. Hasil Pengujian Lag Optimal Pada Provinsi Sumatra Utara 1. Hasil Pengujian Lag Optimal Pada Provinsi Jawa Tengah

58 46 2. Hasil Pengujian Lag Optimal Pada Provinsi Jawa Timur 3. Hasil Pengujian Lag Optimal Pada Provinsi Jawa Barat

59 47 4. Hasil Pengujian Lag Optimal Pada Provinsi NTB 5. Hasil Pengujian Lag Optimal Pada Provinsi Kalimantan Barat

60 48 6. Hasil Pengujian Lag Optimal Pada Provinsi Kalimantan Tengah 7. Hasil Pengujian Lag Optimal Pada Provinsi Kalimantan Timur

61 49 Lampiran 3 Pengujian Kointegrasi pada Data Harga Beras Produsen-Konsumen di 8 Provinsi a. Hasil Uji Kointegrasi pada provinsi Sumatra Utara b. Hasil Uji Kointegrasi pada provinsi Jawa Tengah

62 50 c. Hasil Uji Kointegrasi pada provinsi Jawa Timur d. Hasil Uji Kointegrasi pada provinsi Jawa Barat

63 51 e. Hasil Uji Kointegrasi pada provinsi NTB f. Hasil Uji Kointegrasi pada provinsi Kalimantan Barat

64 52 g. Hasil Uji Kointegrasi pada provinsi Kalimantan Tengah h. Hasil Uji Kointegrasi pada provinsi Kalimantan Timur

65 53 Lampiran 4 Pengujian Kausalitasdi 7 provinsi a. Hasil Uji Kausalitas dengan Metode Granger Test di Sumatra Utara b. Hasil Uji Kausalitas dengan Metode Granger Test di Jawa Tengah c. Hasil Uji Kausalitas dengan Metode Granger Test di Jawa Timur d. Hasil Uji Kausalitas dengan Metode Granger Test di NTB e. Hasil Uji Kausalitas dengan Metode Granger Test di Kalimantan Barat

66 54 f. Hasil Uji Kausalitas dengan Metode Granger Test di Kalimantan Tengah g. Hasil Uji Kausalitas dengan Metode Granger Test di Kalimantan Timur Lampiran 5 Pengujian Asimetris a. Hasil Estimasi Model Asimetris Von Cramon-Taubadel dan Loy di provinsi Sumatra Utara

67 55 b. Hasil Estimasi Model Asimetris Von Cramon-Taubadel dan Loy di provinsi Jawa Tengah c. Hasil Estimasi Model Asimetris Von Cramon-Taubadel dan Loy di provinsi Jawa Timur

68 56 d. Hasil Estimasi Model Asimetris Von Cramon-Taubadel dan Loy di provinsi NTB e. Hasil Estimasi Model Asimetris Von Cramon-Taubadel dan Loy di provinsi Kalimantan Barat

69 57 f. Hasil Estimasi Model Asimetris Von Cramon-Taubadel dan Loy di provinsi Kalimantan Tengah g. Hasil Estimasi Model Asimetris Von Cramon-Taubadel dan Loy di provinsi Kalimantan Timur

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 18 III METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Mengetahui kointegrasi pada setiap produk adalah salah satu permasalahan yang perlu dikaji dan diteliti oleh perusahaan. Dengan melihat kointegrasi produk,

Lebih terperinci

INTEGRASI SPASIAL PADA PASAR MINYAK GORENG DI INDONESIA

INTEGRASI SPASIAL PADA PASAR MINYAK GORENG DI INDONESIA 101 IX. INTEGRASI SPASIAL PADA PASAR MINYAK GORENG DI INDONESIA Meskipun industri minyak goreng sawit telah tersebar di 19 propinsi, sentra produksi minyak goreng yang utama masih terpusat di Indonesia

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series 40 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series sekunder. Data-data tersebut diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dari

Lebih terperinci

III. KERANGKA PENELITIAN

III. KERANGKA PENELITIAN 23 III. KERANGKA PENELITIAN 3.1 Teori Harga Harga merupakan sinyal utama yang menjadi arah bagi pengambilan keputusan produsen, konsumen dan dan pelaku pemasaran dalam pasar. Menurut Kohls & Uhl (2002),

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Perusahaan merupakan suatu badan hukum yang memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai salah satunya yaitu mendapatkan keuntungan. Untuk mencapai

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. time series. Data time series umumnya tidak stasioner karena mengandung unit

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. time series. Data time series umumnya tidak stasioner karena mengandung unit 48 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Uji Kestasioneritasan Data Uji stasioneritas data dilakukan pada setiap variabel yang digunakan pada model. Langkah ini digunakan untuk menghindari masalah regresi lancung

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dalam penelitian dapat dijadikan landasan dalam setiap tahap penelitian. Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui metode

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 45 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Untuk menggambarkan bagaimana pengaruh capital gain IHSG dengan pergerakan yield obligasi pemerintah dan pengaruh tingkat suku bunga terhadap IHSG dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kestasioneran data diperlukan pada tahap awal data time series

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kestasioneran data diperlukan pada tahap awal data time series IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengujian Pra Estimasi 4.1.1. Kestasioneran Data Pengujian kestasioneran data diperlukan pada tahap awal data time series untuk melihat ada tidaknya unit root yang terkandung

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Obyek Penelitian Obyek penelitian adalah sesuatu yang menjadi perhatian dalam suatu penelitian, objek penelitian ini menjadi sasaran dalam penelitian untuk mendapatkan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis dan Sumber Data

METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis dan Sumber Data 41 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Jenis dan Sumber Data Analisis integrasi pasar dan transmisi harga merupakan bagian dari analisis data time series. Penelitian ini menggunakan data bulanan pada periode Januari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Bentuk data berupa data time series dengan frekuensi bulanan dari Januari 2000

III. METODE PENELITIAN. Bentuk data berupa data time series dengan frekuensi bulanan dari Januari 2000 28 III. METODE PENELITIAN 3.1. Data 3.1.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Bentuk data berupa data time series dengan frekuensi bulanan dari Januari

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. waktu (time series) dari tahun 1986 sampai Data tersebut diperoleh dari

METODE PENELITIAN. waktu (time series) dari tahun 1986 sampai Data tersebut diperoleh dari 40 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Dan Sumber Data Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang relevan dengan penelitian. Semua data yang digunakan merupakan data deret

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian. Dalam penelitian ini penulis memilih impor beras sebagai objek melakukan riset di Indonesia pada tahun 1985-2015. Data bersumber dari Badan Pusat Statistika

Lebih terperinci

Analisis Integrasi Vertikal Pasar Beras di Indonesia Asih Kusumaningsih *)

Analisis Integrasi Vertikal Pasar Beras di Indonesia Asih Kusumaningsih *) Analisis Integrasi Vertikal..(Asih Kusumaningsih) Analisis Integrasi Vertikal Pasar Beras di Indonesia Asih Kusumaningsih *) Tujuan dari penelitian ini yaitu (1) Mengetahui tren harga beras eceran di Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. sekunder yang akan digunakan ialah data deret waktu bulanan (time series) dari bulan

BAB III METODE PENELITIAN. sekunder yang akan digunakan ialah data deret waktu bulanan (time series) dari bulan 40 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang akan dipakai dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data sekunder yang akan digunakan ialah data deret waktu bulanan (time series)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector 52 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Metode analisis yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector Error Correction Model (VECM).

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 49 BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian Variabel-variabel dalam penelitian ini menggunakan variabel dependen dan independen. Variabel dependen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Obyek/Subyek yang diamati dalam penelitian ini adalah Pembiayaan Modal Kerja UMKM dengan variabel independen DPK, NPF, Margin, dan Inflasi sebagai variabel

Lebih terperinci

ANALISIS INTEGRASI PASAR BAWANG MERAH MENGGUNAKAN METODE VECTOR ERROR CORRECTION MODEL

ANALISIS INTEGRASI PASAR BAWANG MERAH MENGGUNAKAN METODE VECTOR ERROR CORRECTION MODEL ANALISIS INTEGRASI PASAR BAWANG MERAH MENGGUNAKAN METODE VECTOR ERROR CORRECTION MODEL (VECM) (Studi Kasus: Harga Bawang Merah di Provinsi Jawa Tengah) SKRIPSI Disusun Oleh: RIZKY ADITYA AKBAR 24010212130056

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Uji Stasioneritas Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji VECM, maka perlu terlebih dahulu dilakukan uji stasioneritas. Uji stationaritas yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Deskriptif 4.1.1 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Produksi padi Indonesia meskipun mengalami fluktuasi namun masih menunjukkan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Indonesia dan variabel independen, yaitu defisit transaksi berjalan dan inflasi.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Indonesia dan variabel independen, yaitu defisit transaksi berjalan dan inflasi. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini difokuskan pada variabel dependen utang luar negeri Indonesia dan variabel independen, yaitu defisit transaksi berjalan dan inflasi.

Lebih terperinci

III.METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, karena penelitian ini

III.METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, karena penelitian ini 43 III.METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, karena penelitian ini disajikan dengan angka-angka. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto (2006) yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan sumber daya alam dalam bidang pertanian merupakan keunggulan yang dimiliki Indonesia dan perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Pertanian merupakan aset

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa time series

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa time series 30 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa time series bulanan periode Mei 2006 sampai dengan Desember 2010. Sumber data di dapat dari Statistik

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. merupakan data time series dari bulan Januari 2002 sampai Desember Data

METODE PENELITIAN. merupakan data time series dari bulan Januari 2002 sampai Desember Data 23 III. METODE PENELITIN 3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data time series dari bulan Januari 2002 sampai Desember 2009. Data

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Obyek Penelitian Dalam penelitian ini, obyek yang diamati yaitu inflasi sebagai variabel dependen, dan variabel independen JUB, kurs, BI rate dan PDB sebagai variabel yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. analisis yang berupa angka-angka sehingga dapat diukur dan dihitung dengan

BAB III METODE PENELITIAN. analisis yang berupa angka-angka sehingga dapat diukur dan dihitung dengan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan analisis yang berupa angka-angka sehingga dapat diukur dan dihitung dengan menggunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Akar Unit (Unit Root Test) bahwa setiap data time series yang akan dianalisis akan menimbulkan spurious

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Akar Unit (Unit Root Test) bahwa setiap data time series yang akan dianalisis akan menimbulkan spurious 48 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengujian Akar Unit (Unit Root Test) Pengujian akar unit merupakan tahap awal sebelum melakukan estimasi model time series. Pemahaman tentang pengujian akar unit ini mengandung

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. terdiri dari data pinjaman luar negeri, pengeluaran pemerintah, penerimaan pajak,

METODE PENELITIAN. terdiri dari data pinjaman luar negeri, pengeluaran pemerintah, penerimaan pajak, III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data terdiri dari data pinjaman luar negeri, pengeluaran pemerintah, penerimaan pajak,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 46 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa data time series dari tahun 1986-2010. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS),

Lebih terperinci

ASIMETRI HARGA BERAS DI PASAR INTERNASIONAL DAN INDONESIA AMINATUS SOFIAH

ASIMETRI HARGA BERAS DI PASAR INTERNASIONAL DAN INDONESIA AMINATUS SOFIAH ASIMETRI HARGA BERAS DI PASAR INTERNASIONAL DAN INDONESIA AMINATUS SOFIAH DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 2 3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Maret 2012. Penelitian dilakukan di Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo). Penentuan tempat dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode dan Sifat Penelitian Jenis penelitian ini menggunakan metode kuantitatif karena menggunakan data penelitian berupa angka-angka dan analisis dengan menggunakan metode

Lebih terperinci

INTEGRASI PASAR CPO DUNIA DAN DOMESTIK

INTEGRASI PASAR CPO DUNIA DAN DOMESTIK 81 VII. INTEGRASI PASAR CPO DUNIA DAN DOMESTIK Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia saat ini dengan produksi CPO pada tahun 2010 mencapai 23,6 juta ton atau mencapai 44% dari total produksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. METODE PENELITIAN 1. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah Perbankan Syariah di Indonesia yang mempunyai laporan keuangan yang transparan dan di publikasikan oleh

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN HARGA JAGUNG DI PROVINSI LAMPUNG RATI PURWASIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran

3. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran 3. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Pengembangan bahan bakar alternatif untuk menjawab isu berkurangnya bahan bakar fosil akan meningkatkan permintaan terhadap bahan bakar alternatif, dimana salah

Lebih terperinci

ANALISA INTEGRASI PASAR DAN TRANSMISI HARGA BERAS PETANI-KONSUMEN DI INDONESIA TESIS

ANALISA INTEGRASI PASAR DAN TRANSMISI HARGA BERAS PETANI-KONSUMEN DI INDONESIA TESIS UNIVERSITAS INDONESIA ANALISA INTEGRASI PASAR DAN TRANSMISI HARGA BERAS PETANI-KONSUMEN DI INDONESIA TESIS FIRDAUSSY YUSTININGSIH 1006741513 FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Obyek dan Subyek Penelitian 1. Obyek Penelitian Obyek penelitian ini adalah pertumbuhan indeks pembangungan manusia Indonesia dan metode penelitiannya adalah analisis kuantitatif

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan yang mempunyai peranan strategis dalam pembangunan pertanian dan perekonomian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini 51 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah metode analisis Vector Error Correction (VEC) yang dilengkapi dengan dua uji lag structure tambahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Tengah diproxykan melalui penyaluran pembiayaan, BI Rate, inflasi

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Tengah diproxykan melalui penyaluran pembiayaan, BI Rate, inflasi BAB III METODE PENELITIAN A. Objek dan Subjek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah. Sedangkan subjek penelitian menggunakan perbankan syariah di Jawa Tengah diproxykan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SITUASI PASAR DAN INTEGRASI HARGA JAGUNG DI INDONESIA PENDAHULUAN

PERKEMBANGAN SITUASI PASAR DAN INTEGRASI HARGA JAGUNG DI INDONESIA PENDAHULUAN P R O S I D I N G 143 PERKEMBANGAN SITUASI PASAR DAN INTEGRASI HARGA JAGUNG DI INDONESIA Anisa Aprilia Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya anisa.asa@ub.ac.id PENDAHULUAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. mengandung akar-akar unit atau tidak. Data yang tidak mengandung akar unit

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. mengandung akar-akar unit atau tidak. Data yang tidak mengandung akar unit 32 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Estimasi VAR 4.1.1 Uji Stasioneritas Uji kestasioneran data pada seluruh variabel sangat penting dilakukan untuk data yang bersifat runtut waktu guna mengetahui apakah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Food and

BAB III METODE PENELITIAN. dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Food and BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Food and

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Untuk membatasi ruang lingkup permasalahan yang dijadikan objek

METODOLOGI PENELITIAN. Untuk membatasi ruang lingkup permasalahan yang dijadikan objek III. METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Untuk membatasi ruang lingkup permasalahan yang dijadikan objek penelitian, maka penelitian ini hanya menganalisis mengenai harga BBM dan nilai tukar

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Uji Stasioneritas Data

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Uji Stasioneritas Data BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Kausalitas dan Instrumen Data 1. Uji Stasioner Test Variabel Level t-statistik Sumber: Data Diolah Tabel 5.1 Uji Stasioneritas Data Prob ULN 2.065415 0.9998

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 56 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Metode analisis yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector Error Correction Model (VECM).

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Untuk membatasi ruang lingkup permasalahan maka yang dijadikan objek

III. METODOLOGI PENELITIAN. Untuk membatasi ruang lingkup permasalahan maka yang dijadikan objek 53 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Untuk membatasi ruang lingkup permasalahan maka yang dijadikan objek penelitian yang dilakukan, maka penelitian ini akan menganalisis kinerja kebijakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Respon PDB terhadap shock

METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Respon PDB terhadap shock 40 III. METODE PENELITIAN Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Respon PDB terhadap shock kredit perbankan, pembiayaan pada lembaga keuangan non bank dan nilai emisi saham pada pasar modal

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah current account

III. METODELOGI PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah current account III. METODELOGI PENELITIAN A. Deskripsi Variabel Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah current account sebagai variabel terikat dan nilai tukar, inflasi, PDB, dan aktiva luar negeri

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang telah dikumpulkan oleh pihak

III. METODE PENELITIAN. penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang telah dikumpulkan oleh pihak 46 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kuantitatif, yaitu berupa data tahunan yang berbentuk angka dan dapat diukur/dihitung. Sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peramalan merupakan unsur yang penting dalam pengambilan keputusan

BAB I PENDAHULUAN. Peramalan merupakan unsur yang penting dalam pengambilan keputusan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peramalan merupakan unsur yang penting dalam pengambilan keputusan karena beberapa faktor yang berpengaruh, tidak dapat ditentukan pada saat keputusan diambil.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Data sekuder adalah data yang diperoleh dari lembaga-lembaga atau instansiinstansi

METODOLOGI PENELITIAN. Data sekuder adalah data yang diperoleh dari lembaga-lembaga atau instansiinstansi 37 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Data sekuder adalah data yang diperoleh dari lembaga-lembaga atau instansiinstansi tertentu dalam bentuk data publikasi yang berhubungan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Data-data tersebut berupa data bulanan dalam rentang waktu (time series) Januari

III. METODOLOGI PENELITIAN. Data-data tersebut berupa data bulanan dalam rentang waktu (time series) Januari 40 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Berdsarkan kajian beberapa literatur penelitian ini akan menggunakan data sekunder. Data-data tersebut berupa data bulanan dalam rentang waktu (time

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (costless) karena pembeli (costumer) memiliki informasi yang sempurna dan

BAB 1 PENDAHULUAN. (costless) karena pembeli (costumer) memiliki informasi yang sempurna dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Biaya transaksi muncul akibat kegagalan pasar (Yeager, 1999: 29-30). Menurut Stone et al. (1996: 97), pasar yang selalu berjalan tanpa biaya apapun (costless) karena

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. atas, data stasioner dibutuhkan untuk mempengaruhi hasil pengujian

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. atas, data stasioner dibutuhkan untuk mempengaruhi hasil pengujian BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Kualitas dan Instrumen Data 1. Uji Stasioneritas Tahap pertama yang harus dilalui untuk mendapatkan estimasi VECM adalah pengujian stasioneritas data masing-masing

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan analisis yang berupa angka-angka sehingga dapat diukur dan dihitung dengan menggunakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Exchange Rate Rp/US$ ER WDI Tax Revenue Milyar Rupiah TR WDI Net Export US Dollar NE WDI

BAB III METODE PENELITIAN. Exchange Rate Rp/US$ ER WDI Tax Revenue Milyar Rupiah TR WDI Net Export US Dollar NE WDI 3 BAB III METODE PENELITIAN 3. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan permasalahan penelitian seperti

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. minyak kelapa sawit Indonesia yang dipengaruhi oleh harga ekspor minyak

BAB III METODE PENELITIAN. minyak kelapa sawit Indonesia yang dipengaruhi oleh harga ekspor minyak BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa seberapa besar volume ekspor minyak kelapa sawit Indonesia yang dipengaruhi oleh harga ekspor minyak kelapa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif merupakan pendekatan yang lebih menekankan pada

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. stasioner dari setiap masing-masing variabel, baik itu variabel independent

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. stasioner dari setiap masing-masing variabel, baik itu variabel independent BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Kausalitas Intrumen Data. 1. Uji Stasioner Data. Tahap pertama dalam metode VECM yaitu dengan melakukan pengujian stasioner dari setiap masing-masing variabel,

Lebih terperinci

f. Luas lahan panen padi (X 5 ) merupakan seluruh areal produktif atau panen tanaman padi di Indonesia dinyatakan dalam satuan ribu Ha.

f. Luas lahan panen padi (X 5 ) merupakan seluruh areal produktif atau panen tanaman padi di Indonesia dinyatakan dalam satuan ribu Ha. BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Sumber Data Penelitian Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder tahun 1980-2013 yang dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu Badan Pusat Statistik

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDB, Ekspor, dan

METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDB, Ekspor, dan III. METODE PENELITIAN A. Deskripsi Data Input Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDB, Ekspor, dan Foreign Direct Investment ((FDI). Deskripsi tentang satuan pengukuran, jenis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Analisis Faktor-Faktor Yang

III. METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Analisis Faktor-Faktor Yang III. METODE PENELITIAN A. Deskripsi Data Variabel Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Cadangan Devisa di Indonesia Periode 2000-2014 adalah cadangan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek Penelitian Penilitian ini adalah pengaruh Dana Pihak Ketiga (DPK), Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), dan Non Performing Financing (NPF) terhadap Pembiayaan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Kualitas dan Instrumen Data 1. Uji Stasioneritas. Tahap pertama yang harus dilalui untuk mendapatkan estimasi VECM adalah pengujian stasioneritas data masing-masing

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif adalah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif adalah III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIN. yaitu ilmu yang valid, ilmu yang dibangun dari empiris, teramati terukur,

BAB III METODE PENELITIN. yaitu ilmu yang valid, ilmu yang dibangun dari empiris, teramati terukur, BAB III METODE PENELITIN A. Jenis dan Pendektan Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah suatu penelitian yang didasari oleh falsafah

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Kausalitas dan Instrumen Data 1. Uji Stasioneritas Dalam mendapatkan estimasi model VECM, tahap pertama yang harus dilakukan pada pengujian data adalah dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah pengeluaran riil pemerintah (G t ), PBD riil (Y t ), konsumsi (CC t ), investasi (I t ), Indeks Harga Konsumen

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Uji Pra Estimasi Uji Akar Unit (Unit Root Test) Pada penerapan analisis regresi linier, asumsi-asumsi dasar yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Uji Pra Estimasi Uji Akar Unit (Unit Root Test) Pada penerapan analisis regresi linier, asumsi-asumsi dasar yang 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Uji Pra Estimasi 4.1.1. Uji Akar Unit (Unit Root Test) Pada penerapan analisis regresi linier, asumsi-asumsi dasar yang telah ditentukan harus dipenuhi. Salah satu asumsi

Lebih terperinci

KOINTEGRASI HARGA JAGUNG PIPIL IMPOR, HARGA JAGUNG PIPIL SUMATERA UTARA DAN KABUPATEN KARO

KOINTEGRASI HARGA JAGUNG PIPIL IMPOR, HARGA JAGUNG PIPIL SUMATERA UTARA DAN KABUPATEN KARO KOINTEGRASI HARGA JAGUNG PIPIL IMPOR, HARGA JAGUNG PIPIL SUMATERA UTARA DAN KABUPATEN KARO Febry Tita Ekaputri *), Thomson Sebayang **) dan M. Jufri **) *) Alumni Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fluktuasi Harga Komoditas Pertanian

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fluktuasi Harga Komoditas Pertanian 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fluktuasi Harga Komoditas Pertanian Fluktuasi harga merupakan permasalahan umum pada pemasaran produk pertanian. Menurut Kohls&Uhl (2002), penyebab instabilitas harga komoditas

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. langkah yang penting sebelum mengolah data lebih lanjut. Data time series yang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. langkah yang penting sebelum mengolah data lebih lanjut. Data time series yang 60 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Uji Stasioneritas Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini akan didasarkan pada langkahlangkah yang telah dijelaskan sebelumnya pada Bab III. Langkah pertama merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu pendekatan dengan cara mengukur variabel yang di lingkari oleh teori atau satu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Perusahaan memiliki tujuan yang pada dasarnya mendapatkan keuntungan demi kelancaran usahanya dan mampu bersaing dalam lingkungan bisnis secara

Lebih terperinci

ANALISIS VAR (VECTOR AUTOREGRESSION) UNTUK MEKANISME PEMODELAN HARGA DAGING AYAM EFI RESPATI

ANALISIS VAR (VECTOR AUTOREGRESSION) UNTUK MEKANISME PEMODELAN HARGA DAGING AYAM EFI RESPATI ANALISIS VAR (VECTOR AUTOREGRESSION) UNTUK MEKANISME PEMODELAN HARGA DAGING AYAM EFI RESPATI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 ABSTRAK EFI RESPATI. Analisis VAR (Vector Autoregression)

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini penulis melakukan pengujian mengenai Luas panen, Jumlah Penduduk dan Harga terhadap produksi padi di Kabupaten Gunungkidul periode tahun 1982-2015.

Lebih terperinci

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG 67 VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang terjadi pada

Lebih terperinci

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT 55 VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT Bab ini membahas sistem pemasaran rumput laut dengan menggunakan pendekatan structure, conduct, dan performance (SCP). Struktur pasar

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Permasalahan pangan di sisi penyediaan saat ini adalah permintaan pangan yang tinggi seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk, sementara pertumbuhan produksi

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Unit Root Test Augmented Dickey Fuller (ADF-Test)

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Unit Root Test Augmented Dickey Fuller (ADF-Test) BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Uji Stasioneritas Tahap pertama yang harus dilakukan untuk mendapatkan estimasi VECM adalah pengujian stasioneritas data masing-masing variabel,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. yang mempunyai hubungan dengan penelitian yang terdiri dari data kualitatif dan

III. METODE PENELITIAN. yang mempunyai hubungan dengan penelitian yang terdiri dari data kualitatif dan III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu jenis data yang di peroleh antara lain dari literatur, laporan, buku ataupun sumber

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 23 2.9 Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu, hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut : 1 Terjadi integrasi antara pasar beras domestik dengan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 59 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dijelaskan pelaksanaan tahapan-tahapan metode VECM yang terbentuk dari variabel-variabel capital gain IHSG (capihsg), yield obligasi 10 tahun (yieldobl10)

Lebih terperinci

BAB 4 PEMBAHASAN. 51 Universitas Indonesia. Keterangan : Semua signifikan dalam level 1%

BAB 4 PEMBAHASAN. 51 Universitas Indonesia. Keterangan : Semua signifikan dalam level 1% BAB 4 PEMBAHASAN 4.1. Hasil Uji Stasioneritas Data Data yang akan digunakan untuk estimasi VAR perlu dilakukan uji stasioneritasnya terlebih dahulu. Suatu data dikatakan stasioner jika nilai rata-rata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari tahun ke tahun dapat mengalami peningkatan, hal ini disebabkan karena

BAB I PENDAHULUAN. dari tahun ke tahun dapat mengalami peningkatan, hal ini disebabkan karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah serta kemakmuran

Lebih terperinci

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN 43 BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN Analisis data dilakukan melalui serangkaian tahapan pengujian menggunakan analis Vector Auto Regression (VAR). Pada tahap pertama dilakukan pengujian terhadap variabel

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari III. METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji hipotesis penelitian.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penulisan proposal ini adalah data sekunder yang

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penulisan proposal ini adalah data sekunder yang 30 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penulisan proposal ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Laporan Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia,

Lebih terperinci

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2. Departemen Ekonomi, Institut Pertanian Bogor 3

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2. Departemen Ekonomi, Institut Pertanian Bogor 3 TRANSMISI HARGA ASIMETRI DALAM RANTAI PASOK BAWANG MERAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN IMPOR DI INDONESIA: STUDI KASUS DI BREBES DAN JAKARTA ASYMMETRIC PRICE TRANSMISSION IN SUPPLY CHAIN OF SHALLOT AND ITS RELATIONSHIP

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN BAB IV HASIL PENELITIAN A. Analisis Deskriptif Data 1. Analisis Bank Indonesia Rate Bank Indonesia rate atau yang disebut dengan suku bunga Bank Indonesia (BI) merupakan kebijakan moneter (keuangan) yang

Lebih terperinci

ANALISIS INTEGRASI PASAR VERTIKAL CABAI MERAH BESAR (Capsicum annuum L.) DI JAWA TIMUR

ANALISIS INTEGRASI PASAR VERTIKAL CABAI MERAH BESAR (Capsicum annuum L.) DI JAWA TIMUR AGRISE Volume XIV No.2 Bulan Mei 2013 ISSN: 1412-1425 ANALISIS INTEGRASI PASAR VERTIKAL CABAI MERAH BESAR (Capsicum annuum L.) DI JAWA TIMUR (ANALYSIS OF GREAT RED CHILI PEPPERS (Capsicum annuum L.) VERTICAL

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN HARGA CABAI MERAH KERITING

PEMBENTUKAN HARGA CABAI MERAH KERITING PEMBENTUKAN HARGA CABAI MERAH KERITING (Capsicum annum L) DENGAN ANALISIS HARGA KOMODITAS DI SENTRA PRODUKSI DAN PASAR INDUK (Suatu Kasus pada Sentra produksi Cabai Merah Keriting di Kecamatan Cikajang,

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengujian Stasioner Data / Uji Akar (Unit Root Test) Suatu data atau variabel dapat dikatakan stasioner apabila nilai rata-rata dan memiliki varians yang konstan

Lebih terperinci